Jihad sebagai Jalan Keluar - rachmat.staff.ugm.ac.idrachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/jihad.pdf ·...
-
Upload
doannguyet -
Category
Documents
-
view
214 -
download
1
Transcript of Jihad sebagai Jalan Keluar - rachmat.staff.ugm.ac.idrachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/jihad.pdf ·...
1
“Fundamentalisme Islam” sebagai Jihad untuk Keluar dari Ketidakadilan Internasional 1
Nur Rachmat Yuliantoro 2
KAJIAN tentang bahasa politik Islam dan bagaimana bahasa politik itu
digunakan atau disalahgunakan merupakan sebuah kajian yang
menarik sekaligus menantang. Menarik dalam artian hasil kajian itu
akan menambah kaya tsaqafah atau pemahaman kita tentang Islam,
tetapi juga menantang karena keluasan bahasannya membutuhkan
serangkaian rambu pembatas agar tidak timbul kesalahpahaman. Ter-
lepas dari “kontradiksi” itu, pemahaman tentang bahasa politik Islam
dan penerapannya diharapkan dapat membantu kita bersikap lebih baik
dan lebih adil terhadap berbagai masalah nasional maupun interna-
sional yang menyangkut umat Islam.
Dalam kajian tentang bahasa politik itu, salah satu buku yang paling
sering dibicarakan orang adalah karya Bernard Lewis, Bahasa Politik Is-
lam.3 Menurut Lewis, bahasa politik Islam bisa dipahami melalui peng-
gunaan kata-kata, bagaimana kata-kata itu dipahami, serta dalam ke-
rangka metafor dan alusi yang merupakan bagian penting dari seluruh
komunikasi. Dengan kata lain, Lewis hendak menegaskan bahwa teks
(istilah) politik Islam tak bisa dilepaskan dari konteksnya. Islam
memiliki ciri yang berbeda dari agama lain yang memisahkan hal-hal
yang dianggap urusan agama dengan urusan negara (politik). Islam, se-
1 Disampaikan dalam Kajian Politik dan Pidana bertemakan “Bahasa Politik Islam dan Relevansinya dengan Realitas Politik Internasional” yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 Maret 2002.
2 Staf pengajar pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
3 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (alih bahasa oleh Ihsan Ali-Fauzi), Jakarta: Gramedia, 1994.
2
bagaimana diakui pula oleh Lewis, adalah al-din wa al-siyasah: tidak
ada pemisahan antara agama dan politik.
Dengan menilik sejarah, akan tampak bahwa perkembangan bahasa
politik Islam mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan Is-
lam sendiri. Atau dengan kata lain, dalam konteks kebahasaan bahasa
politik merupakan bagian integral dari bahasa agama. Sejumlah istilah
atau konsep penting dalam politik nasional kita umpamanya, berasal
dari istilah-istilah yang disebutkan dalam Quran maupun Sunnah Nabi,
yang dalam penggunaannya kemudian bisa saja selaras atau melenceng
dari pengertian dan konsep awalnya.
Asal-usul bahasa politik Islam, sebagaimana aspek-aspek pokok lainnya
dalam Islam, harus ditelusuri dari penuturan Quran, Sunnah Nabi, dan
praktek-praktek awal generasi muslim. Dalam pengamatan Lewis, ba-
hasa politik Islam mengalami perkembangan yang pesat. Juga sebagai-
mana telah ditunjukkan berulang-ulang dalam berbagai peristiwa be-
lakangan ini, Islam menyediakan sistem simbol mobilisasi politik yang
paling efektif, baik untuk menggerakkan rakyat dalam mempertahankan
sebuah rezim yang diperlukan maupun untuk melawan sebuah rezim
yang dipandang tidak memiliki legitimasi, tidak islami, atau mungkin
kehilangan legitimasi karena melakukan penyimpangan.-penyimpangan.
Perkembangan bahasa politik Islam memang tak bisa dilepaskan dari
sejarah peradaban Islam itu sendiri. Dalam prakteknya, ada tiga bahasa
yang berpengaruh menumbuhkembangkan bahasa politik Islam, ter-
utama pada zaman klasik, yaitu Arab, Turki, dan Persia. Kejayaan Islam
memang pernah terukir di ketiga wilayah itu sebagai pusat-pusat politik.
Persinggungan Islam dengan budaya lokal menyebabkan berlakunya hu-
kum setempat. Artinya, di sini pasti ada modifikasi-modifikasi bahasa,
seiring dengan kondisi-kondisi geopolitik yang ada.
3
Perkembangan bahasa politik Islam juga dipengaruhi interaksinya de-
ngan kekuatan politik lain. Hal itu bisa ditelusuri, umpamanya, lewat
pengaruh wacana Yunani dan Romawi yang banyak diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Dalam peradaban Turki Utsmani, bahasa Arab, Per-
sia, dan Turki (termasuk Turko-Mongol), secara harmonis dikombinasi-
kan. Pada dua abad terakhir, pemikiran dunia Islam sekali lagi bertrans-
formasi dengan pengaruh politik luar, kali ini dengan Eropa (Barat). Hal
ini menyebabkan bahasa politik Islam terpaksa harus dirumuskan kem-
bali di tingkat gagasan dan istilah-istilah yang dipakai secara kompre-
hensif. Tarik-menarik antara Islam dan Barat merupakan fenomena
yang kontroversial. Hal itu terjadi bahkan hingga kini, setidaknya di
level bahasa politik. Ini dengan mudah bisa dilihat di negara-negara
mayoritas Islam yang menggunakan pendekatan demokrasi dalam sis-
tem pemerintahannya, seperti halnya Indonesia.
Bagi Islam, juga agama lain yang tidak memisahkan urusan agama dan
politik, politisasi agama kemudian menjadi sulit untuk dihindari dan
menjadi realitas umum. Resikonya, bagi pemeluk sebuah agama yang
teguh, ada reduksi dan perasaan yang mewajibkan ia membela dan
mempertahankan agamanya lewat jalur politik.4 Dalam banyak kasus,
upaya pembelaan ini dipandang oleh musuh-musuh Islam sebagai “an-
caman fundamentalisme Islam”.
“Fundamentalisme Islam”
Seorang Islamolog Barat, William Montgomery Watt, pernah menyatakan
bahwa “fundamentalisme Islam” — dengan legitimasi agama sebagai
sandaran konsep dan tindakan — akan menjadi sumber kekerasan dan
ketidaknyamanan terhadap masyarakat non-Islam. Dengan menangkap
4 M. Alfan Alfian, Politisasi Bahasa Agama, dapat diakses pada http://www.skopeonet.com/magazine/magazine_detil.cfm?k=179.
4
pandangan Watt tersebut, tersirat jelas bahwa “fundamentalisme Islam”
dalam pengertian Barat adalah suatu fenomena politik atau gerakan po-
litik Islam yang dianggap berbahaya karena memusuhi kapitalisme dan
sekularisme. 5
Sejak ambruknya komunisme, “fundamentalisme Islam” menjadi isu dan
komoditi politik internasional yang sangat menguat, terutama di Dunia
Barat. Pada perkembangan menjelang akhir abad ini, seorang artikulator
demokrasi liberal, Francis Fukuyama melihat masyarakat Muslim
merasa sangat terancam dengan nilai-nilai Barat yang diimpor ke Dunia
Muslim dan ada perasaaan betapa martabat Muslim terluka begitu
dalam oleh kegagalannya untuk mempertahankan koherensi masyarakat
tradisional santri dan keberhasilan teknik dan nilai Barat yang merasuk
ke Dunia Islam, yang membuat ummat Islam mengalami alienasi, ano-
mie, minder dan kecil hati. Oleh karenanya, sepaham dengan Watt, Fu-
kuyama menilai bahwa “fundamentalisme Islam” akan menjadi bahaya
besar terhadap Barat.
Sejak era Perang Salib sekitar abad ke 9 - 11, Barat selalu cemas dan
curiga berlebihan terhadap Islam. Sikap semacam itu dewasa ini kem-
bali diartikulasikan Samuel Huntington sebagai “the clash of civilization",
meski pandangan Huntington itu keliru dan menyesatkan. Pandangan
Huntington paralel dengan persepsi Michael Walzer pada kurun 1980-an
yang melukiskan “fundamentalisme Islam” sebagai “the Islamic Explo-
5 Dalam pengertian umum, “fundamentalisme” sebenarnya merupakan upaya un-tuk mengatasi kebekuan pemikiran Islam. Ibnu Taimiyah menyatakan “fundamental-isme” sebagai gerakan mujaddid (pembaharu) yang berusaha mengecam dan mengikis segala keyakinan, kepercayaan dan praktek-praktek dari luar Islam yang menyusup ke dalam ajaran Islam. Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengajak ummat kembali pada Quran dan Sunnah, membuka pintu ijtihad dan menentang taqlid, sehingga ia sering disebut sebagai “bapak fundamentalisme Islam” pada zaman modern. Ia mengecam kebodohan ummat Islam tentang syariat, praktek-praktek bid’ah dan syirik sebagai situasi ja-hiliyah sebelum kelahiran Muhammad SAW. Gagasannya memperoleh kaki dalam gerakan Wahabi di wilayah Arab sampai kini. Lihat Herdi Sahrasad, Al Chaidar, dan Muhammad Muntasir, Fundamentalisme Islam, Barat, dan Kita, dapat diakses pada www.geocities.com/madanipress/Islam_Fundamentalisme_dan_Ideologi_Revolusi.html
5
sion”: Islam memainkan peran penting dalam pembunuhan, peperangan
dan konflik yang berstruktur kekerasan.
Kenyataan yang menyakitkan itu diperparah lagi oleh cara dan model
media Barat dalam melakukan pembunuhan karakter terhadap Islam.
Akbar S. Ahmed menunjukkan bagaimana media massa Barat telah
sukses dalam membangun citra negatif Islam, sehingga masyarakat
Barat menolak nilai-nilai Islam seperti toleransi, egalitarianisme, dan
kecintaan pada ilmu pengetahuan. Barat dengan demikian juga menolak
universalisme Islam. Kenyataan-kenyataan ini telah membuat ummat
Islam di berbagai belahan bumi mengambil prakarsa dan cara sendiri
sesuai situasi dan kondisi sosial-kulturalnya dalam beraksi menghadapi
modernisasi, westernisasi, dan sekuIarisasi.
Dalam konteks globalisasi pada milenium ketiga ini, barangkali penger-
tian “fundamentalisme Islam” yang paling mendekati kebenaran obyektif
adalah definisi Fazlur Rahman. Secara umum, kata Rahman, sekarang
“fundamentalisme” diartikan sebagai gerakan yang menentang wester-
nisasi dan sekularisasi di Dunia Islam. “Fundamentalisme Islam”,
demikian Fazlur Rahman, adalah gerakan yang menampilkan Islam se-
bagai sistem alternatif, sebagai kekuatan pembebas (liberating force),
yang membebaskan pemikiran ummat baik dari berabad-abad tradisi
maupun dari dominasi intelektual dan spiritual Barat. Karena ia adalah
gerakan pembebasan, maka “fundamentalisme” sangat dekat dengan
perjuangan politik.
Dalam perkembangan lain, ada kesadaran ummat bahwa globalisasi
adalah “politik” imperialis baru dari Barat yang diwarnai semangat
Islamophobi. Meminjam paparan Hannah Arendt, semua “politik” adalah
perjuangan untuk merebut kekuasaan, di mana the ultimate kind of
power is violence. Di sini kekuasaan dan kekerasan merupakan suatu
keniscayaan. Dalam situasi dihadapkan pada kapitalisme global yang
6
meluluhlantakkan Dunia Islam, maka sandaran agama merupakan pi-
lihan terakhir ummat untuk bertahan, berontak, survival — apa pun re-
siko dan konsekuensi yang akan terjadi. Dalam upaya menghadapi kapi-
talisme inilah maka jihad menemukan relevansinya.
Keluar dari Ketidakadilan Internasional dengan Jihad
Jihad merupakan salah salah satu tema penting dalam ajaran Islam.
Diriwayatkan dari Thabrani bahwasanya Nabi SAW mengingatkan,
“'Puncak perkara adalah Islam. Barangsiapa berislam, maka ia selamat.
Tiang Islam adalah salat dan atapnya adalah jihad. Yang dapat menca-
painya hanya orang yang paling utama di antara mereka.” Yang mena-
rik, sebagai salah satu kata kunci dalam bahasa politik Islam, kata jihad
adalah kata yang paling sering disalahartikan, tidak saja oleh masya-
rakat Barat, namun juga bahkan oleh sebagian kalangan muslim sendi-
ri. Kesalahpahaman tersebut, baik disengaja ataupun tidak, agaknya
berangkat dari kesalahan menginterpretasi tuntunan Quran maupun
Sunnah tentang kewajiban berjihad. Upaya mereduksi makna penting
jihad, misalnya, karena besarnya kecenderungan untuk mengkonotasi-
kan jihad dengan perang, sebagaimana yang mereka pahami dari hadits-
hadits Nabi berikut ini: diriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Sungguh, berangkat (perang) di jalan Allah adalah lebih baik daripada
dunia seisinya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim), dan “Barangsiapa
yang kedua kakinya berdebu karena membela agama Allah, maka Allah
mengharamkannya dari api neraka.” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan
Tirmidzi).
Bila dihadapkan kepada mereka yang memusuhi Islam, maka umat Is-
lam harus berjihad. Dalam kaitan inilah, jihad diartikan sebagai “me-
luangkan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga serta menanggung
7
segala kesulitan di dalam memerangi musuh dan menahan agresinya.”6
Namun demikian, mengingat jalan kekerasan fisik baru boleh dilakukan
jika umat Islam diserang secara fisik pula, maka penerapan jihad pun
bisa berbeda-beda; tergantung skala prioritas; dan karenanya tidak bisa
dimaknai secara tunggal sebagai melulu perang fisik secara frontal.
Dalam kaitannya dengan realitas politik dan ekonomi internasional, ti-
daklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa umat Islam sekarang
masih berada dalam situasi ter-dzalim-i, tidak saja oleh kekuatan hege-
moni Barat, namun juga oleh para penguasa negeri-negeri Islam sendiri.
Banyak pemimpin negeri-negeri Islam yang tunduk begitu saja kepada
kemauan Amerika Serikat, misalnya, untuk membantunya dalam “ko-
alisi memerangi terorisme” pasca tragedi WTC.7 Sebagian besar dunia
Islam masih berada dalam cengkeraman imperialisme Barat dalam ham-
pir semua aspek kehidupan. Imperialisme itu memang tidak lagi berben-
tuk kolonialisme langsung, tetapi digantikan oleh masuknya nilai-nilai
politik, ideologi, ekonomi, dan sosial budaya Barat ke dalam praktek ke-
hidupan keseharian masyarakat Islam. Terlalu banyak contoh bagai-
mana nilai-nilai Barat itu, alih-alih mengembangkan, justru menghan-
curkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam. Bila masyarakat Islam
tidak ingin hancur, maka jihad adalah suatu hal yang niscaya!
Wa Allahu a’lam bi’l shawab.
6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (terjemahan) Jilid 11, p. 50.7 Meskipun AS berupaya keras membungkus misi perburuan terhadap Islam seba-
gai “memburu teroris”, “memburu kelompok radikal, militan, fundamentalis”, aroma perburuan terhadap Islam tidak bisa dihilangkan. Kampanye antiterorisme AS dengan jelas telah berubah menjadi kampanye “anti-Islam radikal”, atau “anti-Islam militan”. AS juga tetap mempertahankan hegemoni imperial dan politik standar gandanya. Pasca tragedi WTC AS bukannya berubah, tetapi malah menjadi-jadi menjalankan politik diskriminasi dan anti-Islam. Lihat Adian Husaini, “Dialog Islam-Barat Apa Perlu?”, da-pat diakses di http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000030.html.