Jawaban UAS Ilmu Tafsir

download Jawaban UAS Ilmu Tafsir

of 11

Transcript of Jawaban UAS Ilmu Tafsir

Kandungan Ayat QS Al-Baqarah : 221 Kandungan ayat : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Larangan menikahi seorang musyrikah (wanita musyrik) hingga mereka beriman Seorang amah (budak) yang beriman lebih baik dari seorang wanita musyrikah Larangan menikahkan orang-orang musyrik Seorang budak yang beriman lebih baik dari seorang laki-laki musyrik Orang-orang musyrik mengajak kepada pintu neraka Allah ta'ala mengajak kepada surga dan maghfirahNya Allah ta'ala telah menjelaskan syariatnya bagi manusia

Empat Metode Penafsiran Al-Quran Al-Tafsir Al-Tahlili adalah tafsir dengan metode mengurai dan menganalisa ayat-ayat Al-Quran secara berurutan dengan membahas segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya. Di samping diberi nama tahlili metode ini juga dikenal juga dengan nama al-tafsir al-tajzii yang scara harfiah berarti penafsiran berdasarkan bahagian-bahagian. Sebagai metode yang paling awal muncul dalam studi tafsir, metode tahlili ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat, mencakup : 1. 2. 3. Al-Munasabah (hubungan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surah dengan surah yang lain, atau antara awal surah dengan akhirnya. Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turun) yakni latar belakang sejarah atau kondisi social turunnya ayat Al-Quran. Al-Mufradat (kosa kata) atau lafal dari sudut pandang dan qaidah kebahasaan yang terdapat dalam bahasa Arab. Termasuk juga dalam langkah ini menelaah syair-syair yang berkembang pada masa sebelum dan waktu turunnya Al-Quran. 4. 5. 6. 7. Fasahah, bayan dan Ijaz yang terdapat dalam ayat ynag sedang ditafsirkan. Terutama ayat-ayat yang mengandung balaghah (keindahan bahasa). Al-Ahkam fi al-ayat, dengan melakukan istinbath sehingga diperoleh kesimpulan hukum fiqh dari ayat yang sedang ditafsirkan. Al-Hadits yang menjelaskan maksud dari kandungan ayat Al-Quran, termasuk qawl sahabat dan tabiin. Apabila tafsir bercorak saintifik maka pendapat-pendapat para pakar di bidangnya juga dijadikan rujukan oleh mufassir.

Ditilik dari kandungan dan corak pembahasan serta sumber yang dipergunakan oleh tafsir dengan metode tahlili, maka dapat dikatagorkan ke dalam tujuh metode, yaitu : Al-Tafsir bi al-Matsur, Al-Tafsir bi al-Rayi, Al-Tafsir Al-Shufi, Al-Tafsir Al-Fiqh, Al-Tafsir Al-Falsafi, Al-Tafsir Al-Ilmi dan Al-Tafsir Al-Adabi al-Ijtimai. Al-Tafsir Al-Ijmali, yakni metode tafsir yang mengemukan penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara global. Dengan metode ini mufassir hanya menafsirkan ayat-ayat AlQuran secara garis besar, tanpa perincian detail sama sekali. Oleh sebab itu penafsiran yang disajikan terasa ringkas dan padat, menyangkut kata-kata yang memerlukan penjelasan yang sangat diperlukan saja. Adakalanya metode ijmali ini terkesan menterjemah kata aja. Tetapi penterjemashan disini dimaksudkan member tafsir tentang kata yang sedang diterjemahkan itu, bukan hanya mengalih bahasa. Itu sebabnya metode ijmali terkesan membiarkan Al-Quran menjelaskan dirinya sendiri. Al-Quran sendirilah menjelaskan makna-makna sehingga lafal-lafal ayat-ayat Al-Quran menjadi lebih jelas. Dalam menafsirkan ayat, mufassir juga terkadang memasukkan riwayat berkaitan dengan asbabun nuzul ayat yang sedang ditafsirkan. Kelihatannya menukil asababun nuzul ini tidaklah terlihat menjadi syarat mutlak dalam penafsiran ijmali. Namun pencantuman asbabun nuzul tersebut memberikan nilai tambah bagi metode ijmali ini.Tafsri klassik yang disajikan dengan metode ijmali ini antara lain adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas, karya Ibnu Abbas dan Tafsir Al-Quran AlAzhim, karya Imam Jalal al-Din al-Suyuti dan Jalal al-Din Al-Mahalli. Al-Tafsir al-Muqaran (tafsir perbandingan), yakni tafsir yang mempergunakan metode perbandingan (analogi). Apa yang diperbandingkan dalam tafsir al-muqaran ini ? Yang diperbandingkan adalah antara penafsiran satu ayat dengan penafsiran ayat yang lain, yakni ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dari dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau diduga sama. Juga membandingkan antara penafsiran ayat Al-Quran dengan hadis Rasulullah SAW serta membandingkan pendapat ulama tafsir yang satu dengan yang lain dalam penafsiran Al-Quran.

Namun satu hal perlu ditegaskan disini bahwa al-tafsir al-muqarin hanya berfokur pada persoalan redaksi yang berbeda antara ayat-ayat Al-Quran, bukan dalam aspek pertentangan maknanya. Sebab dalam aspek makna, memang terdapat perbedaan, karena kosa kata Al-Quran sering mengandung makna yang berbilang. Imam AlZarkasyi menginfentaris terdapat delapan macam variasi redaski ayat-ayat Al-Quran, yakni perbedaan tata letak dalam kalimat, pengurangan dan penambahan huruf, pengawalan dan pengakhiran, perbedaan nakirah (indefinite noun) dan marifah (definite noun), perbedaan bentuk jamak dan bentyuk tunggal, perbedaan penggunaan huruf kata depan, perbedaan penggunaan kosa kata dan perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf yang lain). Kitab tafsir yang termasuk kedalam tafsir muqaran ini adalah The Quran and Its Interpreters, karya Mahmud Ayyoub. Tafsir ini mencoba memperbandingkan beberapa tafsir dari para mufassir yang berbeda latar belakang aliran, mazhab dan disiplin ilmunya, seperti Ibnu Araby (tafsir sufi), Ibnu Katsir (mazhab SyafiI dan Salafi), Al-Wahidi (tafsir lughawi) Al-Qurthuby (mazhab Maliki), Al-Zamakhsyari (tafsir Mutazili), Al-Razy (tafsir Sunny), Al-Qumi dan Al-Thabrai (Syiah klassik), ThabathabaI (Syiah modern) dan Sayyid Quthb (ijtimai). Al-Tafsir Al-Maudhui, atau tafsir tematik, adalah tafsir yang menggunakan metode tematik dalam menafsirkan Al-Quran. Yang dimaksud dengan tematik adalah suatu tema yang ditetapkan oleh mufassirnya dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut menjadi satu kesatuan dan melakukan analisis terhadap ayatayat tersebut secara spesifik dengan syarat dan langkah khsusu. Tujuannya adalah untuk menemuka makna dan konsep, sesuai dengan tema yang sedang dibahas serta menarik hubungan satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan. Semangat esensial dari metode maudhui adalah mengajak Al-Quran untuk menjelaskan sendiri apa yang dimaksudnya. Dengan kata lain metode maudhui berupaya menangkap makna Al-Quran sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Al-Quran sendiri, tanpa interfensi pemikiran mufassirnya terhadap tafsir tersebut. Pendek kata metode maudhui membiarkan Al-Quran berbicara tentang dirinya sendiri. Kitab-kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir maudhui ini adalah Al-Insan fi al-Quran dan Al-Marah fi al-Quran karya Abbas Mahmud Aqqad, Al-Riba fi alQuran dan Al-Musthalahat al-Arbaah fi al-Quran karya Abu Al-Ala al-Maududi. Sebagaimana disebut di atas, metode tematik mempergunakan penafsiran dengan cara membiarkan Al-Quran berbicara tentang dirinya sendiri. Hal ini berimplikasi kepada cara menemukan ayat atau surah Al-Quran dalam satu kesatuan tema. Kesatuan tema itulah yang menuntun penafsiran sehingga ayat-ayat yang ditafsirkan itu tidak keluar dari apa yang diinginkan oleh tema yang sudah ditetapkan. Dalam prakteknya, tafsir tematik dapat dibagi ke dalam dua katagori. yakni : Pertama, metode tematik yang berfokus pada satu surah al-Quran. Metode ini menafsirkan al-Quran dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Quran dengan mengambil bahasan pokok serta mengurai panjang lebar dari surah dimaksud. Katagori tafsir tematik berdasarkan surah ini digagas pertama kali oleh Syaikh al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, yang menerbitkan tafsirnya Tafsir al-Quran al-Karim, pada Januari 1960. Syaltut menafsikan Quran ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surah demi surah atau bagian suatu surah, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik dari padanya. Walaupun ide tentang kesatuan tujuan dan isi petunjuk surah demi surah telah pernah dilontarkan oleh Asy-Syathibi (wafat 1388 M), tetapi perwujudan ide dalam satu kitab tafsir, baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Kedua, metode tematik berdasarkan topik/subjek. Metode tematik subjek ini adalah menafsirkan al-Quran dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep kufur menurut Al-Quran, atau wanita menurut Al-Quran. Metode tematik subjek ini pertama sekali digagas oleh Prof. Dr. Ahmad Al-Kumi, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Sistematika Tafsir : Pengertian Sistem dan Sistematika Kata sistem dalam bahasa Indonesia memiliki arti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas . Sedangkan sistematika adalah urutan atau susunan. Dalam kamus besar bahasa indonesia ditulis bahwa sistematika adalah pengetahuan tentang klasifikasi (penggolongan) . Menurut para ahli tafsir Sistematika (tartib) penyusunan dalam penulisan kitab tafsir dikenal ada tiga macam : 1. Sistematika Mushafi Yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalaam mushaf, dengan dimulai dari surat al-ftihah, al-baqarah, dan seterusnya sampai al-ns 2. Sistematika Nuzuli

Yaitu penafsiran al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat al-Quran, contohnya adalah kitab al-tafsr al-hads karyanya Muhammad Izzah Darwazah. 3. Sistematika Maudhi Yaitu menafsirkan al-Quran berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topic tersebut dan kemudian ditafsirkan. 3. Perbedaan Metodologi dan Sistematika -cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisis sesuatu).

Signifikansi Asbab al-nuzul Mengenai signifikan-tidaknya asbab al-nuzul dalam penafsiran, penyusun melihat ada tiga macam pandangan. Pandangan yang pertama menganggap bahwa asbab alnuzul sangat signifikan sehingga tanpa mengetahui asbab al-nuzul memahami ayat dianggap tidak mungkin. Ulama yang masuk dalam pandangan pertama adalah alWahidi. Menurut al-Wahidi, tidak mungkin dapat menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab-nuzulnya.[16] Artinya, dengan tidak memungkinkannya menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya, maka melepas asbab al-nuzul juga menjadi tidak mungkin. Sehingga di sini, dalam pandangan al-Wahidi, Asbab al-nuzul menjadi mutlak penting dan tidak boleh dieliminir ketika menafsirkan ayat. Dalam hal ini, sebetulnya pendapat al-Wahidi tersebut menyisakan pertanyakan karena tidak semua ayat Al-Quran mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang dikatakan bersabab al-nuzul hanyalah sebagian saja. Pandangan yang kedua menempatkan asbab al-nuzul sebagai pengetahuan yang dapat membantu (alat bantu) dalam memahami ayat. Ulama yang tergolong dalam kelompok ini adalah seperti Ibnu Taimiyah dan ibnu Daqiq al-Id. Menurut Ibnu Taimiyah, Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul dapat membantu memahami ayat karena pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).[17] Sementara menurut al-Id, menjelaskan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Quran.[18]

Pendapat yang senada dengan di atas juga dianut oleh Abu al-Fath al-Qusyairi, Ali Al-Shabuni dan al-Zarqani. Al-Qusyairi tidak berbeda dengan al-Id. Menurutnya, mengetahui asbab al-nuzul adalah jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Quran.[19] Sementara itu, al-Shabuni memerinci manfaat asbab al-nuzul menjadi empat manfaat,[20] yaitu mengetahui segi hikmah yang mendorong dilaksanakannya suatu hukum, menetapkan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa ibarat itu dinyatakan berdasarkan sebab khusus, menghindarkan prasangka yang menyatakan arti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr, dan mengetahui siapa orangnya yang menjadi sebab atau kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keraguan. Pendapat Al-Shabuni ini juga senada dengan pandangan al-Qattan.[21] Lebih jauh, Al-Zarqani menyebutkan tujuh signifikansi dari asbab al-nuzul.[22] yaitu pengetahuan tentang asbab al-nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan agama-Nya melalui al-Quran; dapat membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya; dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung hasr; dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman kata; dapat diketahui bahwa sebab turun ayat tidak penah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya); dapat diketahui orang yang dengan ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran; dan pengetahuan asbab al-nuzul akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Quran serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarkannya jika ia mengetahui sebab turunnnya Ulama yang juga termasuk dalam kelompok kedua adalah Quraisy Shihab. Sungguhpun antara ayat dengan realitas (asbab al-nuzul) dipandang olehnya tidak ada hubungan kausalitas, namun menurutnya asbab al-nuzul tetap signifikan. Asbab al-nuzul tetap harus ditilik ketika menafsirkan ayat mempunyai sabab al-nuzul. Ini berdasarkan bahwa ia menerapkan al-ibrah bi khusus al-sabab, yang itu berarti bahwa ia mementingkan adanya sebab-sebab khusus dalam menafsirkan ayat. Termasuk dalam kelompok kedua adalah Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya dalam pembacaan teks perlu diperhatikan konteks-konteksnya. Baginya antara teks dengan realitas terdapat hubungan dialektis. Maksudnya, bahwa teks terbentuk di dalam realitas kebudayaannya, namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas.[23] Abu Zaid menyebutkan ada lima konteks yang mesti diperhatikan,[24] yaitu konteks sosio-kultural (al-siyaq al saqafi al-ijtimai); konteks pewacanaan (al-siyaq altakhatabi) atau konteks ekstern (al-siyaq al-khariji); konteks intern (al-siyaq al-dakhili); konteks narasi (al-siyaq al-lughawi) dan konteks pembacaan (al-siyaq al-qiraat) atau konteks interpretasi (al-siyag al-tawil). Dari sekian konteks itu asbab al-nuzul tercakup dalam konteks ekstern atau pewacanaankonteks pewacanaan ini tidak hanya berisi latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul, tetapi juga meliputi periode dan karakter wacana (makiyyah dan madaniyyah), dan konteks pewacana pertama, yaitu Muhammad SAW. Artinya, dengan tidak dapat ditinggalkannya konteks-konteks tersebut berarti asbab al-nuzul juga tak dapat ditinggalkan atau termasuk sesuatu yang harus diperhatikan, karena ia masuk dalam salah satu konteks darilima konteks dimaksud. Dalam hal ini dia mengatakan, ..bahwa usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar apabila dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular. Kajian atas asbab al-nuzul akan memberi ahli fiqh pengetahuan tentang illah (sebab) di balik hukum-hukum teks. Melalui illat itu, ia dapat menggeneralisasikan hukum terhadap realitas-realitas lain yang serupa.[25] Dengan demikian, Abu Zaid dapat dikatakan termasuk ulama yang mementingkan asbab al-nuzul sekalipun menurutnya perlu juga diperhatikan syarat-syarat lain. Tentang asbab al-nuzul ini, sesungguhnya dalam persoalan signifikansi, dapat dikatakan pandangan yang kedua tidak berbeda dengan pandangan yang pertama karena keduanya sama-sama menganggap asbab al-nuzul signifikan. Hanya saja tingkat signifikansinya berbeda antara keduanya, di mana dalam pandangan yang kedua, signifikansi dari asbab al-nuzul dapat dibilang lebih rendah dibanding pada kelompok pertama. Dalam pandangan yang pertama, dalam memahami ayat, tidak dapat tidak, harus diketahui asbab al-nuzulnya karena tanpa asbab al-nuzulnya ayat dianggap tidak akan mungkin dapat dipahami. Sementara bagi kelompik kedua, asbab al-nuzul sifatnya hanyalah membantu dalam memahami ayat. Jadi, sungguhpun kedua kelompok ini sama-sama menganggap penting asbab al-nuzul, tetapi tingkat signifikansi dari keduanya berbeda. Kalau pandangan pertama dan kedua sama-sama memandang asbab al-nuzul signifikan dalam memahami ayat, maka pandangan yang ketiga tidak mementingkan asbab al-nuzul dan memperbolehkan untuk menafikannya ketika menafsirkan ayat, atau hanya memakainya ketika asbab al-nuzul dapat membantu atau mendukung makna yang telah dihasilkan sebelumnya.Ulama yang tergolong di sini adalah Bintusy Syathi. Data untuk ini adalah, .metode yang diusulkannya menolak menganggap setiap peristiwa dalam asbab al-nuzul tersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan turunnya wahyu, tapi sekadar merupakan kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut.

Selain itu metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional mengenai sebab-sebab pewahyuan dengan cara bebas, hanya untuk melihat dukungan yang mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi makna-makna yang telah ditemukan tanp bantuannya.[26] Dalam kutipan tersebut dikatakan bahwa asbab al-nuzul hanyalah dipakai sebagai dukungan terhadap makna yang telah dicapai sebelumnya. Artinya, seandainya laporan-laporan tentang asbab al-nuzul yang ada tidak mendukung terhadap makna yang telah dihasilkannya sebelumnya maka ia tidak akan dipakai (ditinggalkan). Asbab al-nuzul hanya akan diambil jika ternyata sesuai dengan makna yang sudah dihasilkan. Dengan demikian, bagi Bintusy Syathi, ada atau tidaknya asbab al-nuzul, pada dasarnya adalah sama saja, tidak menjadi persoalan karena hanya dianggap signifikan kalau bermanfaat untuk mendukung makna yang telah diperoleh sebelumnya. Dalam hal ini, Thabathabai pun dapat dikategorikan dalam pandangan kelompok ketiga. Dia memberi penjelasan tentang lemahnya hadis-hadis asbab al-nuzul. Menurutnya, hadis hadis tentang asbab al-nuzul tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan argumen bahwa gaya kebanyakan hadis tentang asbab al-nuzul menunjukkan perawi tidak meriwayatkan asbab al-nuzul secara lisan dan tulisan melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan ayat-ayat dengan kisah itu. Dan ini berarti asbab al-nuzul tersebut didasarkan pada pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan, sehingga setiap perawi berusaha menghubungkan suatu cerita yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan.yaitu terbukti dengan banyaknya pertentangan di dalam hadis tentang asbab al-nuzul. Argumen lain yang menyebabkan tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis tentang asbab al-nuzul, menurutnya, adalah bahwa pada masa awal Islam, khalifah melarang penulisan hadis yang larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama hijriyah atau selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Sehingga, kebiasaan meriwayatkan hadis adalah menurut maknanya (periwayatan bil mana)[27] Sampai di sini menjadi jelas sejauh mana signifikansi dari asbab al-nuzul dapat mempengaruhi pemaknaan ayat. Bagi ulama yang masuk dalam kategori pandangan pertama dan kedua, seperti Al-Wahidi, Ibnu Taimiyah, al-Id, al-Qusyairi, Shihab, Abu Zaid, asbab al-nuzul jelas tidak dapat dieliminir (signifikan). Sementara bagi ulama seperti Bintusy Syathi, asbab al-nuzul hanyalah sebagai bantuan yang tidak penting, atau bukan menjadi hal yang signifikan dalam pemaknaan ayat (karena asbab al-nuzul boleh dilepas). Selanjutnya, adalah penjelasan tentang pengoperasionalan kaidah antara al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz dengan al-ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus al- sabab. Keumuman Kata dan Kekhususan Sebab Al-Qattan menyebutkan bahwa apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai sebab secara khusus, maka yang umum (amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Dalam hal ini al-Qattan mencontohkan yang pertama dengan Surat Al-Baqarah ayat 222: [28]

Ayat tersebut dikatakan berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang tidak mau mendekati dan memberi makan atau minum kepada istri-istri mereka ketika sedang haid. Seperti yang dijelaskan oleh al-Qattan dalam bukunya: Anas berkata: Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haidKemudian kata Rasulullah: , ) ( Bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.[29] Sementara yang kedua dicontohkan denganSuratal-Lail (92) ayat17-21: [30] Menurut penjelasan Al-Qattan bahwa ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakar. Penjelasannya:

Menurut Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah: Bilal, Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Umm Isa dan budak perempuan Bani Mauil. Untuk itu turunkah ayat Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa itu dari neraka.. sampai dengan akhirsurat. Hal yang serupa diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: Maka berkenaan dengan Abu Bakar tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya dan bertaqwa sampai dengan Dan kelak ia benar benar mendapatkan kepuasan).[31] Tetapi jika sebab itu khusus sementara ayat yang turun berbentuk umum, ulama usul berselisih pendapat apakah harus berpegang pada kata yang umum ataukah sebab yang khusus.[32] Terhadap pertanyaan tersebut, menurut al-Qattan, ada dua pandangan. Pandangan pertama adalah yang dianut oleh mayoritas ulama, sementara pandangan kedua adalah apa yang diikuti oleh minoritas ulama. Menurut mayoritas ulama (jumhur ulama) bahwa yang menjadi pegangan adalah kata yang umum, bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari kata yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Dia mencontohkan ayat lian pada Surat an-Nur (24) ayat 6-9 mengenai lian yang turun mengenai tudukan Hilal bin Umaiyyah kepada isterinya. : , : , : , : , , : , , [ : 6-9] Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umaiyyah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata: Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.Hilal berkata: wahai Rasulullah, apabila seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti? Rasulullah menjawab: Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera. Hilal berkata: Demi yang mengutus engku dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya, sampai dengan..termasuk orang-orang yang benar).[33] Menurut penjelasan al-Qattan selanjutnya bahwa hukum yang diambil dari kata umum tersebut (Dan orang-orang yang menuduh istrinya..) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Pendapat ini dianggapnya sebagai pendapat yang paling kuat dan sahih.[34] Sementara menurut minoritas ulama, yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan kata yang umum, karena kata yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Sehingga, untuk dapat memberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil seperti qias dan sebagainya.[35] Bagi mayoritas ulama, karena mereka memegang keumuman kata atau mengikuti paham al-ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus al-sabab, maka asbab al-nuzul menjadi tidak berarti. Contoh ulama yang memegang keumuman kata adalah Bintusy Syathi. Bagi dia, yang lebih ditekankan adalah universalitas makna, bukan kekhususan sebab. Tetapi sebaliknya, ulama yang memegang kekhususan sebab atau yang memegang kaedah al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz lebih mementingkan sabab ketimbang nash ketika memaknai ayat. Maka dari itu asbab al-nuzul menjadi signifikan. Ulama yang memegang kekhususan sebab antara lain adalah Quraisy Shihab. Menurutnya, akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas yang ditekankan, yaitu dengan memberikan catatan harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu peristiwa, pelaku dan waktu.[36] Di sini Quraisy Shihab menekankan untuk memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogkan. Dan analogi yang dilakukan, menurutnya lagi, hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq, al-shuri) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha kita. Tetapi, analogi yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana pada masa Rasul dan para sahabat[37] Nasr Abu Zaid juga masuk dalam aliran khusus al-sabab ini. Dalam hal ini ia menggugat pemegang keumuman kata. Menurutnya, Memegang keumuman kata (ungkapan) dan mengabaikan kekhususan sebab dalam menghadapi semua teks Al-Quran akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang paling serius yang disebabkan oleh sikap berpegang pada keumuman kata dengan mengabaikan kekhususan sebab adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri diturunkan secara bertahap, seperti masalah-masalah halal dan haram, terutama dalam masalah makanan dan

minuman akan terabaikan. Selain itu bahwa memegang keumuman kata dalam menghadapi semua teks yang khusus berkaitan dengan hukum akan menghancurkan hukum itu sendiri.[38] Bagi dia, usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar, menurutnya, apabila dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular.[39] Artinya menurut Abu Zaid bahwa kata-kata mendapatkan makna melalui hubungan struktural dan kontekstualnya. Dalam hal ini dia mengambil contohsurat Ali Imran (3) ayat 173. Menurutnya, bahwa makna teks atau ayat tersebut akan dapat terungkap melalui analisis struktur bahasanya dan dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Dia menjelaskan,

Firman Allah: Orang-orang yang kepada mereka ada orang yang mengatakan:mereka telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu sekalian, karena itu takutlah kepada mereka. Perkataan ini justru membuat mereka bertambah iman tidaklah mungkin kalau kata-kata an-nas dalam teks tersebut berarti semua manusia. Kalau bermakna demikian maka semua manusia berkata kepada semua manusia bahwa sesungguhnya semua manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Struktur teks itu sendiri menegaskan kekhususan acuan dari masing-masing kata an-nas, bahwa (al-nas) yang yang mengatakan bukan (al-nas) yang menjadi sasaran bicara. Ini merupakan taraf-taraf kata ganti dalam ungkapan teks. Huruf alif dan lam pada kedua kata an-nas bukan alif lam yang menunjukkan jenis (li al-jinsi), tetapi alif-lam yang menunjukkan benda yang diketahui (li al-ahd), tetapi dalam hal ini untuk mengetahuinya hanya kembali ke asbab al-nuzul. Ini berarti bahwa makna teks dapat terungkap, pertama, melalui analisis struktural bahasanya, dan kedua, dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Mengabaikan salah satu sisi tersebut menyulitkan mufassir untuk menyingkap makna. Memberi fokus hanya pada struktur bahasa tanpa mempertimbangkan konteks budaya akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan analisis yang tertutup. Sementara memberikan fokus hanya pada konteks tanpa mempertimbangkan struktur teks akan mengembalikan kita ke konsep mimetik (peniruan).[40] Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, bagi Abu Zaid, selain Asbab al-nuzul, struktur teks sendiri juga perlu diperhatikan. Menurutnya, Mereka tidak menyadari bahwa di dalam teks senantiasa ada tanda-tanda yang apabila dianalisis apa yang berada di luar teks dapat diungkapkan. Oleh karenanya, asbab al-nuzul dapat diungkapkan dari dalam teks.[41] Dari sini dapat disimpulkan, bagi ulama penganut kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz, asbab al-nuzul sangat signifikan meskipun asbab al-nuzul tidak harus dipahami secara kausalitas atau meskipun perlu juga mempertimbangkan struktur teksnya

Sebelum mengakhiri perbincangan tentang kaidah ini, barangkali tidak ada salahnya jika di sini juga dipaparkan argumen yang dibangun oleh masing-masing pemegang kaidah, baik oleh ulama mayoritas ataupun minoritas. Mayoritas (jumhur ulama) mengemukakan tiga macam dalil: Lafaz syari (pembuat syariat) saja yang menjadi hujjah dan dalil (argumen), bukan sesuatu yang mengelilinginya berupa pertanyaan atau sebab. Karena itu tidak ada jalan un tuk mengkhususkan lafaz pada sebab. Alasan mayoritas mengatakan bahwa hanya lafaz syari (pembuat syariat) sebagai hujjah adalah keadaan syari kadangkadang memalingkan pandangan dari pertanyaan yang dihadapkan kepada nabi kepada jawaban tentang sesuatu yang lebih penting dari pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, dalamsurat al-Baqarah ayat 215 diterangkan bahwa nabi ditanya tentang sesuatu yang akan mereka nafkahkan. Akan tetapi, Allah menjawab tentang orang-orang yang seharusnya menerima nafkah itu Menurut kaidah asal, lafaz-lafaz itu ditanggungkan kepada maknanya yang segera tertangkap selama tidak ditemukan sesuatu yang memalingkannya dari makna tersebut. Dalam hubungan ini, tidak ada sesuatu yang memalingkannnya dari maksud keumumannya. Dengan demikian, secara otomatis lafaz itu tetap pada keumumannya. Kekhususan sebab semata tidak harus mengeluarkan selain sebab dari cakupan lafaz yang umum Parasahabat dan mujtahid di segala masa dan tempat berhujjah (menjadikan argumen) dengan keumuman lafaz-lafaz yang datang lantaran sebab-sebab yang khusus pada peristiwa dan kejadian yang banyak tanpa memerlukan qias atau mencari alasan dengan dalil lain. Bahkan, kebanyakan pokok-pokok syariat lahir dari sebab-sebab yang khusus. Bagaimanapun khususnya sebab itu, mereka memahami dari lafaz-lafaz itu hakikat keumumannya. Kemudian, dari keumuman lafaz-lafaz tersebut mereka bentuk banyak kaidah-kaidah umum pula.

Adapun kelompok minoritas yang berpegang pada kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al lafaz, mereka mengemukakanlima alasan sebagai berikut: Ijma telah berlaku atas ketidakbolehan mengeluarkan sebab dari hukum lafaz yang umum yang datang lantaran sebab yang khusus sekalipun terdapat mukhassis (yang mengkhususkan). hal demikian mengharuskan bahwa lafaz yang umum terbatas pada person-person sebab dan tidak menjangkau yang lainnya. Sebab, sekiranya lafazlafaz yang umum itu tidak terbatas pada person-person sebab, tentunya person-person ini sama statusnya dengan person-person lainnya dalam hal boleh mengeluarkannya ketika ada mukhassisnya. Padahal, yang demikian itu terlarang menurut ijma para periwayat telah meriwayatkan asbab al-nuzul. Mereka telah memberikan perhatian yang besar terhadapnya dan membukukannya. Semua usaha itu tidak bermakna kecuali dengan mengikuti jalan pikiran minoritas yang mewajibkan terbatasnya lafaz yang umum pada person-person sebabnya yang khusus. penangguhan keterangan dari terjadinya suatu peristiwa dan munculnya pertanyaan pada lafaz umum yang datang lantaran suatu sebab, meunjukkan bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab. Sebab, penangguhan lafaz Syari sampai sesudah terjadinya sebabnya memberikan pengerian bahwa sebablah satu-satunya yang diperhatikan syari dalam menetapkan hukumnya dengan lafaz yang turun mengenainya. Kjika demikian, maka Allah tidak mempertalikannya dengan sebab itu, dan bahkan akan menurunkannya sebelum peristiwa berlangsung atau memperlambatnya. Para ahli fiqh sepakat atas bahwa seseorang yang diundang dengan kata-kata makan sianglah di tempatku, maka ia menolaknya dengan bersumpah: Demi Allah, saya tidak akan makan siangtidak kena kaffarat sumpah jika ia makan di tempat orang lain. Pendapat ini tidak lahir kecuali dengan memandang bahwa lafaz yang umum ini telah tertentu bagi sebabnya, yaitu kalimat makan sianglah di tempatku yang dengannya pengundang menghususkan dirinya. Dalam hal ini, orang yang bersumpah seolah-olah berkata: saya tidak makan siang di tempatmu saja. Karena itu, dia tidak berdosa untuk makan di tempat orang lain. Persesuaian antara pertanyaan dam jawaban wajib dalam pandangan hikmat dan ketentuan balaghah (sastra). Persesuaian ini tidak akan jadi melainkan dengan persamaan antara lafaz yang umum dengan sebabnya yang khusus. Sedangkan persamaan, tidak mungkin terjadi kecuali jika lafaz yang umum di takhshish (dijadikan khusus) dengan sebabnya yang khusus.[42] Dalam penjelasan di atas, argumen nomor dua yang diajukan oleh ulama minoritas menarik untuk dipertanyakan. Argumen dipakainya kaidah bi khusus al-sabab demi penghargaan kepada ulama yang telah mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap asbab al-nuzul, bagi penyusun, adalah argumen naif dan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menguatkan pemakaian kaidah tersebut. Argumen dalam pemilihan pemakaian kaedah, seharusnya lebih atas pertimbangan makna yang akan dihasilkan nantinya, atau seharusnya lebih karena pertimbangan implikasi yang akan timbul darinya, bukan karena sikap etis kepada tokoh atau golongan tertentu yang telah terlanjur menghasilkan sebuah rumusan tertentu. Sikap seperti itu malahan akan menyebabkan stagnasi dalam pemikiran. Lagi pula, alasan seperti itu juga akan memperlihatkan bahwa argumen yang diajukan menjadi terkesan dipaksakan, hanya demi mendukung kaidah yang dipakainya. Tapi paling tidak, signifikansi asbab al-nuzul telah dapat terlihat melalui pemaparan pemakaian kaedah. Kalau yang dianut adalah paham al-ibrah bi umum al- lafaz la bi khusus al-sabab, maka asbab al-nuzul kurang diperankan atau tidak diperankan sama sekali. Sementara kalau paham yang dipakai adalah al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz, maka asbab al-nuzul menjadi signifikan. Misi pertama Al-Quran adalah kitab yang mengajak menuju sumber segala kebahagiaan, ia mengajak umat manusia kepada marifat kepada Allah, baik Dzat, Asma, Sifat-sifat ataupun tindakan-tindakannya. Al-Quran mengungkap masalah-masalah di atas dengan ungkapan yang dapat dipahami dan ditangkap oleh semua lapisan, sesuai dengan kesiapan mereka masing-masing. Para ulama dhahir, muhadditsin, para fuqaha, dan para mufassirin menafsirkan ayat-ayat tentang tauhid dengan penafsiran yang berbeda dengan pemahaman dan penafsiran ulama batin dan ahli irfan. Adanya perbedaan tersebut tidak berarti yang satu dari kedua bentuk pemahaman itu salah. Kedua pemahaman mereka benar dalam kerangka dan kapasitas mereka masing-masing. Pemahaman ulama dhahir benar dan tepat namun, pemahaman ulama batin lebih dalam dan teliti serta dihiasi oleh sentuhan-sentuhan nilai irfan yang kental. Sebagian ayat-ayat Al-Quran, seperti ayat-ayat awal surat al-Hadid dan surat al-Ikhlash diturunkan untuk mereka yang mendalam ilmunya di akhir zaman, bukan di masa-masa awal penurunannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dalam Al-Kafi. Kendati demikian bagi ulama dhahir mereka dapat menimba manfaat yang tepat dan benar dari ayat-ayat tersebut. Dan yang demikian itu adalah salah satu sisi mujizat dan keistimewaaan Al-Quran.

Misi kedua Al-Quran adalah membawa misi pensucian jiwa dari berbagai kekotoran material agar dapat mencapai kebahagiaan abadi. Ia mengajarkan bagaimana manusia dapat berjalan menuju Allah, dan hal itu melalui dua konsep: 1. Ketakwaan dengan berbagai tingkatannya. 2. Keimanan dengan berbagai tingkatannya. Misi ketiga ialah menceritakan kisah-kisah para nabi, para wali dan orang-orang bijak serta bagaimana bimbingan Allah terhadap mereka dan peran mereka dalam membimbing umat manusia. Dalam kisah-kisah mereka terdapat banyak pelajaran dan ibrah yang dapat dipetik oleh umat manusia. Dalam kisah penciptaan Adam as, perintah sujud atas malaikat dan pengajaran asma kepada Adam serta kasus keangkuhan Iblis terhadap perintah sujud, misalnya, terdapat banyak pelajaran yang sangat agung dan mencengangkan. Oleh sebab itu, cerita-cerita semacam itu disebut berulang-ulang agar tujuan dan hikmahnya dapat dipetik oleh manusia. Misi keempat Al-Quran adalah mengungkap keadaan dan jiwa orang-orang kafir dan kaum penentang kebenaran serta menjelaskan akibat dan kesudahan mereka serta kehancuran dan kehinaan mereka, baik di dunia maupun di akhirat kelak, seperti kasus Firaun, Qorun, Namrud, Abrahah, dan tokoh-tokoh penentang kebenaran lainnya. Pada setiap kisah mereka yang diangkat dalam Al-Quran terdapat nasihat, hikmah, bahkan pelajaran. Begitu juga dapat digolongkan misi di atas, cara dan langkah sahabat-sahabat Nabi SAW dalam berjihad melawan kaum kafir, hal itu dimuat untuk membangkitkan kaum muslimin dari kelalaian dan mengobarkan semangat jihad dijalan Allah, demi menegakkan kalimatullah. Misi kelima, menerangkan undang-undang syariat Islam dan aturan-aturan Tuhan. Dalam Al-Quran telah disebutkan pokok-pokok undang-undang Islam dan hukum syariat seperti salat, zakat, khumus, haji, puasa, jihad, pernikahan, hukum waris, hukum pidana, dan perdata, perdagangan dan lain-lain. Bahkan beberapa di antaranya disebut dengan terperinci. Penjelasan hukum syariat merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat demi keteraturan dan kemapanan, kehidupan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi mereka. Oleh sebab itu Al-Quran memberikan perhatian khusus dalam masalah ini, dan hadits-hadits pun telah banyak memberikan perincian dan berbagai masalah terkait dengannya. Ayat-ayat yang tergolong dalam masalah ini telah dikelompokkan oleh para ulama dan diberi nama dengan Ayatul Ahkam, yang jumlahnya kurang lebih lima ratus ayat. Misi keenam Al-Quran adalah menyelesaikan permasalahan seputar akhirat dan hari kebangkitan, pembuktian akan kebenarannya, aneka bentuk siksa dan pahala, dan perincian tentang surga dan neraka. Sebagaimana Al-Quran juga menyebutkan nasib dan keadaan para penerima kenikmatan dan kebahagiaan dan derajat-derajat mereka. Begitu juga Quran menerangkan tingkatan-tingkatan orang-orang yang sengsara, baik mereka yang kafir, munafik, ataupun pendosa dan fasiqin. Dalam hal ini Al-Quran memakai dua metode/bahasa: A. Bahasa gamblang, bagi kaum awam dan kalangan menengah. B. Bahasa isyarat untuk kelompok khusus seperti, ayat tentang Ridhwanullahi akbar dan ayat liqaullah. Misi ketujuh Al-Quran adalah cara pemaparan argumentasi yang di sajikan oleh Allah untuk membuktikan kebenaran berbagai permasalahan, seperti pembuktianpembuktian kebenaran prinsip tauhid dengan berbagi masalahnya seperti: sifat ilmu, qudrat dan seluruh sifat-sifat kamaliah (kesempurnaan). Pada bagian ini, banyak ditemukan argumen yang mendalam dan detail, dan para ulama ahli irfan (hukama) telah mampu menyimpulkan dengan sempurna. Selain argumen yang ditegakkan oleh Allah, ia juga menukil berbagai dialog yang terjadi antara para nabi dan rosul dengan para penentang kebenaran. Dalam dialogdialog tersebut terdapat setumpuk argumen dan dalil yang membuktikan kebenaran berbagai ajaran seperti, bukti-bukti yang dijelaskan oleh Nabi Ibrahim as.[1]

Misi kedelapan Al-Quran adalah memberikan keputusan akhir bagi perselisihan yang muncul dan sedang berkembang, di tengah-tengah umat manusia tentang perjalanan kehidupan mereka dan memberikan solusi yang benar tentangnya. Dalam ayat 64 surat An-Nahl, dan ayat 76 surat An-Naml, disebutkan bahwa salah satu misi dan fungsi kehadiran Al-Quran adalah memberikan keputusan, kejelasan dan menegakkan hujjah atas apa yang diperselisihkan oleh kalangan kaum musyrikin tentang keyakinan ketuhanan dan amal mereka[2], dan yang diperselisihkan oleh Ahlul Kitab tentang Isa Al-Masih dan hukum-hukum serta keyakinan mereka.[3] Misi kesembilan Al-Quran adalah membenarkan kitab-kitab suci dan misi para rosul sebelum Nabi Muhammad Saw. Disebutkan dalam banyak ayat seperti ayat 48 surat Al-Maidah dan ayat 3 surat Ali Imran, bahwa fungsi Al-Quran adalah melegalisir apa yang termuat dalam Taurat, Injil dan kitab-kitab suci sebelumnya, selain itu ia juga berfungsi sebagai Muhaimin atas kitab-kitab suci tersebut. Arti Al-Quran sebagai Muhaimin ialah tidak sekedar membenarkan akan tetapi, ia juga berperan sebagai pengontrol atas apa yang termuat di dalamnya, ia akan menetapkan dan memberlakukan apa yang masih sesuai dengan tuntutan umat terakhir ini dan akan menghapus ajaran yang dianggap expired masa berlakunnya. Adapun terhadap kitab Taurat atau Injil yang beredar ketika itu hingga akhir zaman, yang tentunya penuh dengan tahrif dan pen yimpangan dari yang asli, Al-Quran memberikan kepalsuan dan penyimpangan tersebut, dan ini juga arti Al-Quran sebagai Muhaimin. Inilah sekilas misi dan fungsi Al-Quran sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran sendiri. Misi Al-Quran Misi pertama Al-Quran adalah kitab yang mengajak menuju sumber segala kebahagiaan, ia mengajak umat manusia kepada marifat kepada Allah, baik Dzat, Asma, Sifat-sifat ataupun tindakan-tindakannya. Al-Quran mengungkap masalah-masalah di atas dengan ungkapan yang dapat dipahami dan ditangkap oleh semua lapisan, sesuai dengan kesiapan mereka masing-masing. Disebutkan dalam QS. Fushsilat (30) Artinya : sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan pemelihara kami adalah Allah serta Istiqomah dengan prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata), jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan. Misi kedua Al-Quran adalah membawa misi pensucian jiwa dari berbagai kekotoran material agar dapat mencapai kebahagiaan abadi. Sesuai dg tingkat keimanan dan ketaqwaan masing-masing manusia. Disebutkan dalam QS. Al-Anfal : (2) Artinya : sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila di bacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka karenanya, dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal Misi ketiga ialah menceritakan kisah-kisah para nabi, para wali dan orang-orang bijak serta bagaimana bimbingan Allah terhadap mereka dan peran mereka dalam membimbing umat manusia. Dalam kisah-kisah mereka terdapat banyak pelajaran dan ibrah yang dapat dipetik oleh umat manusia. Disebutkan dalam QS. As-Shaafat : (99 102) Artinya : Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar Misi keempat Al-Quran adalah mengungkap keadaan dan jiwa orang-orang kafir dan kaum penentang kebenaran serta menjelaskan akibat dan kesudahan mereka serta kehancuran dan kehinaan mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Pada setiap kisah mereka yang diangkat dalam Al-Quran terdapat nasihat, hikmah, bahkan pelajaran. Disebutkan dalam QS. Yunus : (90 91)

Artinya : hingga bila Firaun itu telah hamper tenggelam, berkatalah dia saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan tuhan yang dipercayai oleh bani israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu sudah durhaka sejak dahulu dan kamu sudah termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Misi kelima, Al-Quran menerangkan undang-undang syariat Islam dan aturan-aturan Tuhan, seperti salat, zakat, haji, puasa, pernikahan, hukum waris, hukum pidana, dan perdata, perdagangan dan lain-lain. Bahkan beberapa di antaranya disebut dengan terperinci. Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : (110) Artinya : dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala pada sisi Allah, sesungguhnya Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan Misi keenam Al-Quran adalah menyelesaikan permasalahan seputar akhirat dan hari kebangkitan, pembuktian akan kebenarannya, aneka bentuk siksa dan pahala, dan perincian tentang surga dan neraka. Sebagaimana Al-Quran juga menyebutkan nasib dan keadaan para penerima kenikmatan dan kebahagiaan dan derajat-derajat mereka. Begitu juga Al-Quran menerangkan tingkatan-tingkatan orang-orang yang sengsara, baik mereka yang kafir, munafik, ataupun pendosa dan fasiqin. Disebutkan dalam QS. An-Nahl : (84) Artinya : dan (ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan dari tiap-tiap umat seorang saksi (rosul) kemudian tidak diiizinkan kepada orang-orang kafir (untuk membela diri) dan tidak pula mereka diperbolehkan meminta maaf

Misi ketujuh Al-Quran adalah cara pemaparan argumentasi yang di sajikan oleh Allah untuk membuktikan kebenaran berbagai permasalahan, seperti kebenaran prinsip tauhid dengan berbagi masalahnya seperti: sifat ilmu, qudrat dan seluruh sifat-sifat kamaliah (kesempurnaan).

Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : (163) Artinya : dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan melainkan Dia, yang maha pemurah lagi maha penyayang