eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan...

49
BAB IV ANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN DILIHAT DARI KEPUTUSAN 518 K/PDT.SUS-PHI/2014 A. Posisi Kasus Identitas Pemohon YUSNIARI, bertempat tinggal di Dusun Pasir Putih Utara RT/RW. 02/01, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, MARTHEN LEMPANG, bertempat tinggal di Niru No. 23 Karang Janggu Cakranegara, Kelurahan Karang Janggu, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat,DWI YANTORO, bertempat tinggal di Jalan Raya Serani Blok 18A No. 13 RT/RW. 001/005 Kelurahan Sekarpuro, Kecamatan Pakis, BTN Sawojajar 2, Kotamadya Malang- Jawa Timur, SURYADI, bertempat tinggal di Dusun Maluk Loka RT/RW. 08/03. Desa Maluk, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat; 58

Transcript of eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan...

Page 1: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

BAB IV

ANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-

HAK PEKERJA YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM

SUATU PERUSAHAAN DILIHAT DARI KEPUTUSAN 518 K/PDT.SUS-

PHI/2014

A. Posisi Kasus

Identitas Pemohon

YUSNIARI, bertempat tinggal di Dusun Pasir Putih Utara RT/RW.

02/01, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat,

Nusa Tenggara Barat, MARTHEN LEMPANG, bertempat tinggal di Niru No.

23 Karang Janggu Cakranegara, Kelurahan Karang Janggu, Kota Mataram,

Nusa Tenggara Barat,DWI YANTORO, bertempat tinggal di Jalan Raya

Serani Blok 18A No. 13 RT/RW. 001/005 Kelurahan Sekarpuro, Kecamatan

Pakis, BTN Sawojajar 2, Kotamadya Malang-Jawa Timur, SURYADI,

bertempat tinggal di Dusun Maluk Loka RT/RW. 08/03. Desa Maluk,

Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat;

kesemuanya adalah karyawan PT Newmount Nusa Tenggara sekaligus selaku

Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PUK SPKEP SPSI PT NTT yang

bekedudukan di Townsite Batu Hijau PT Newmount Nusa Tenggara,

Kecamatan Sekongkang, Kabupaten sumbawa Barat, NTB, berdasarkan Surat

Kuasa Khusus Nomor 058-A/PUK.SPKEP/SPSI/XII/2013 tanggal 28

November 2013, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Tergugat II, III, IV dan

58

Page 2: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

VI ;

Melawan

PT. NEWMONT NUSA TENGGARA, berkedudukan di Menara

Rajawali Lantai 26, Jalan Dr Ide Anak Agung Gde Agung (d/h Jalan Mega

Kuningan) Lot. #5.1, Kawasan Mega Kuningan Jakarta

Selanjutnya, Penggugat menguraikan alasan-alasan dan dasar-dasar

Gugatan perselisihan hubungan industrial pemutusan hubungan kerja (PHK)

ini sebagai berikut :

1. Bahwa Penggugat mempunyai hak untuk mengajukan Gugatan

perselisihan hubungan industrial pemutusan hubungan kerja (PHK) ini ke

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Mataram.

2. Bahwa para pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke PHI

apabila para pihak telah menempuh tahap mediasi, namun gagal mencapai

kesepakatan atau apabila para pihak/salah satu pihak menolak anjuran

yang dikeluarkan oleh mediator.

Hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 5

Undang-Undang Nomor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (“UU No. 2/2004”) menyatakan: “Dalam hal penyelesaian melalui

konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak

dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.”

Pasal 14 ayat (1) UU No. 2/2004 secara tegas menyatakan: “Dalam hal

anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak

oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak

59

Page 3: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.”

Bahwa dalam proses menyelesaikan perkara ini, para pihak sebelumnya

telah menempuh tahap bipartite (Bukti P-1A s/d P-1F) dan mediasi.

Selanjutnya, mediator telah mengeluarkan Anjuran Nomor 567/564/

Nakertrans/2013 pada 31 Juli 2013 (Bukti P-2). Oleh karena itu, Penggugat

mempunyai hak untuk mengajukan Gugatan ini ke Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Mataram di Mataram.

Bahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial

(perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat sebagai pengusaha

dengan Para Tergugat sebagai pekerja yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU

No. 2/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Perselisihan Hubungan

Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”

Bahwa secara lebih khusus, jenis perselisihan hubungan industrial

dalam perkara ini adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja antara

Penggugat dengan Para Tergugat yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No.

2/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Perselisihan pemutusan hubungan

kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian

pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah

60

Page 4: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

satu pihak” ;

Bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja dalam perkara ini

timbul karena perbedaan pendapat dan tidak adanya kesepakatan antara

Penggugat sebagai pengusaha dengan Para Tergugat sebagai pekerja

mengenai keinginan Penggugat untuk mengakhiri hubungan kerja Para

Tergugat.

Bahwa Penggugat ingin melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap Para Tergugat sebagai upaya untuk dapat mempertahankan

keberlangsungan kegiatan operasional Penggugat.

Bahwa dengan demikian, Pengadilan Hubungan Industrial merupakan

pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Hal

ini sesuai dengan Pasal 1 angka 17 UU No. 2/2004 yang menyatakan sebagai

berikut: “Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang

dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa,

mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial”.

Pasal 56 juga secara tegas menyatakan: “Pengadilan Hubungan

Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:

a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;

d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat

pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Bahwa lebih lanjut, Pengadilan Hubungan Industrial yang dimaksud

61

Page 5: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Mataram. Hal

ini sesuai dengan Pasal 81 UU No. 2/2004 yang menyatakan: “Gugatan

perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

pekerja/buruh bekerja” ;

Bahwa tempat Para Tergugat bekerja yang berkaitan dengan perkara ini

berada di wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Mataram, yaitu di Provinsi NTB. Dengan demikian, Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Mataram merupakan pengadilan

yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini;

Bahwa berdasarkan penjelasan di atas sudah sepatutnya Majelis Hakim

Yang Mulia menerima pengajuan Gugatan ini karena telah diajukan ke

Pengadilan Hubungan Industrial yang berwenang setelah dilakukan tahapan

dan mekanisme sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13/2003,

perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang

penggantian hak atas pemutusan hubungan kerja Para Tergugat gross

(sebelum dikurangi pajak) adalah sebagai berikut:

Tergugat I (Drs. ASHAR – NB0568).

Masa Kerja 15 tahun 10 bulan dan besarnya gaji/bulan Rp7.764.000,00

diperoleh perhitungan sebagai berikut:

1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.

= 9 x Rp7.764.000,00

62

Page 6: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

= Rp69.876.000,00

Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13/2003 yang mengatur

bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan

kewajiban membayar uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal

156 ayat (2), maka besarnya uang pesangon yang diterima Tergugat I

adalah:

= 2 x Uang Pesangon.

= 2 x Rp 69.876.000,00

= Rp139.752.000,00 (seratus tiga puluh sembilan juta tujuh ratus lima

puluh dua ribu rupiah).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 6 bulan upah.

= 6 x Rp 7.764.000,00

= Rp46.584.000,00 (empat puluh enam juta lima ratus delapan puluh

empat ribu rupiah).

3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan

Masa Kerja

= 15/100 x (Rp139.752.000,00 + Rp27.950.400,00)

= 15/100 x Rp186.336.000,00

= Rp27.950.400,00 (dua puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh ribu

empat ratus rupiah).

Tergugat II (YUSNIARI – NB3013).

Masa Kerja 13 tahun dan besarnya gaji/bulan Rp11.293.000,00 diperoleh

63

Page 7: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

perhitungan sebagai berikut:

1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.

= 9 x Rp11.293.000,00

= Rp101.637.000,00

Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya

uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:

= 2 x Uang Pesangon.

= 2 x Rp101.637.000,00

= Rp203.274.000,00 (dua ratus tiga juta dua ratus tujuh puluh empat ribu

rupiah).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.

= 5 x Rp11.293.000,00

= Rp. 56.465.000,00 (lima puluh enam juta empat ratus enam puluh lima

ribu rupiah).

3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan Masa

Kerja

= 15/100 x (Rp203.274.000,00 + Rp56.465.000,00)

= 15/100 x Rp259.739.000,00

= Rp38.960.850,00 (tiga puluh delapan juta sembilan ratus enam puluh

64

Page 8: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

ribu delapan ratus lima puluh rupiah).

Tergugat III (MARTHIN LEMPANG – NB4119).

Masa Kerja 12 tahun 10 bulan dan besarnya gaji/bulan Rp9.873.000,00

diperoleh perhitungan sebagai berikut:

1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.

= 9 x Rp9.873.000,00

= Rp 88.857.000,00

Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya

uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:

= 2 x Uang Pesangon.

= 2 x Rp88.857.000,00

= Rp177.714.000,00 (seratus tujuh puluh tujuh juta tujuh ratus empat belas

ribu rupiah)

2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.

= 5 x Rp9.873.000,00

= Rp49.365.000,00 (empat puluh sembilan juta tiga ratus enam puluh

lima ribu rupiah).

3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan

Masa Kerja.

65

Page 9: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

= 15/100 x (Rp177.714.000,00 + Rp49.365.000,00)

= 15/100 x Rp 227.079.000,00

= Rp. 34.061.850,- (tiga puluh empat juta enam puluh satu ribu delapan

ratus lima puluh rupiah).

Tergugat IV (DWI YANTORO – NB2046).

Masa Kerja 13 tahun dan besarnya gaji/bulan Rp12.099.000,00 diperoleh

perhitungan sebagai berikut:

1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.

= 9 x Rp12.099.000,00

= Rp108.891.000,00

Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya

uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:

= 2 x Uang Pesangon.

= 2 x Rp108.891.000,00

= Rp217.782.000,- (dua ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh

dua ribu rupiah).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.

= 5 x Rp12.099.000,00

= Rp60.495.000,00 (enam puluh juta empat ratus sembilan puluh lima

66

Page 10: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

ribu rupiah).

3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan

Masa Kerja.

= 15/100 x (Rp 217.782.000,00 + Rp60.495.000,00)

= 15/100 x Rp278.277.000,00

= Rp41.741.550,- (empat puluh satu juta tujuh ratus empat puluh satu ribu

lima ratus lima puluh rupiah ).

Tergugat V (MANSYUR BETHAN – NB2828).

Masa Kerja 13 tahun dan besarnya gaji/bulan Rp15.107.000,00 diperoleh

perhitungan sebagai berikut:

1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.

= 9 x Rp15.107.000,00

= Rp135.963.000,00

Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya

uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:

= 2 x Uang Pesangon.

= 2 x Rp135.963.000,00

= Rp271.926.000,00 (dua ratus tujuh puluh satu juta sembilan ratus dua

puluh enam ribu rupiah).

67

Page 11: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.

= 5 x Rp 15.107.000,00

= Rp75.535.000,00 (tujuh puluh lima juta lima ratus tiga puluh lima ribu

rupiah).

3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan

Masa Kerja.

= 15/100 x (Rp271.926.000,00 + Rp.75.535.000)

= 15/100 x Rp347.461.000,00

= Rp52.119.150,00 (lima puluh dua juta seratus sembilan belas ribu

seratus lima puluh rupiah).

Tergugat VI (SURYADI – NB3883).

Masa Kerja 13 tahun 3 bulan dan besarnya gaji/bulan Rp13.778.000,00

diperoleh perhitungan sebagai berikut:

1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.

= 9 x Rp13.778.000,00

= Rp124.002.000,00

Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya

uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:

= 2 x Uang Pesangon.

68

Page 12: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

= 2 x Rp124.002.000,00

= Rp248.004.000,00 (dua ratus empat puluh delapan juta empat ribu

rupiah).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.

= 5 x Rp13.778.000,00

= Rp68.890.000,00 (enam puluh delapan juta delapan ratus sembilan

puluh ribu rupiah).

3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan

Masa Kerja.

= 15/100 x (Rp248.004.000,00 + Rp68.890.000,00)

= 15/100 x Rp316.894.000,00

= Rp47.534.100,00 (empat puluh tujuh juta lima ratus tiga puluh empat

ribu seratus rupiah).

Bahwa, karena gugatan ini diajukan berdasarkan alat bukti yang sah, otentik

dan kuat, maka Penggugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara ini menyatakan putusan ini dapat diperintahkan untuk

dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum kasasi (Uitvoerbaar

bij Voorraad).

B. Kompensasi PHK Dengan Alasan Efisiensi menurut Peraturan

Perundang-undangan

Mengenai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi diatur dalam

Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal

69

Page 13: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

156 ayat (2), uang masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan

uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dalam hal ini yang

perlu diperhatikan khususnya pihak pengadilan hubungan industrial dalam

memeriksa dan menyelesaikan perkara yang menyangkut PHK dengan alasan

efisiensi ini yaitu masalah hak pekerja/buruh yang mendapat uang pesangon

sebanyak dua kali lipat dari ketentuan yang berlaku. Mengingat dampak PHK

dengan alasan efisiensi ini sangat berdampak besar bagi pekerja/buruh.

Masalah kompensasi selain sensitif, karena menjadi pendorong seseorang untuk bekerja juga berpengaruh terhadap moral dan disiplin tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap perusahaan atau organisasi manapun seharusnya dapatmemberikan kompensasi yang seimbang dengan beban kerja yang dipikul tenaga kerja. Dengan demikian, tujuan pembinaan tenaga kerja adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang berdaya guna daan berhasil dapat tewujud. 1

1. Batasan Kompensasi

Pemahaman mengenai kompensasi disini tidak sama dengan upah.

Upah merupakan salah satu perwujudan real dari pemberian kompensasi.

Bagi suatu perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang

paling besar diberikan kepada tenaga kerja. Pengertian kompensasi selain

terdiri atas upah, dapat berupa tunjangan in natura, fasilitas perumahan,

fasilitas kendaraan, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, pakaian

seragam (tunjangan pakaian), dan sebagainya yang dapat dinilai dengan

uang serta cenderung diberikan secara tetap. Jadi, kompensasi adalah

imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para

tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan

tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang 1 B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.cit, hal.181

70

Page 14: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

telah ditetapkan.

Salah satu perwujudan dari kompensasi adalah gaji dan upah.

Penentuan besarnya gaji dan upah berkaitan dengan kualitas pegawai yang

dimiliki perusahaan, sebab ada anggapan bahwa erat antara besar –

kecilnya penghasilan yang diperoleh pegawai dengan kualitas pegawai

tersebut.2 Disamping kualitas pegawai, pemberian gaji atau upah berkaitan

juga dengan rasa keadilan antara para pegawai didalam suatu perusahaan

maupun antar pegawai didalam beberapa perusahaan.

Pandangan lama menyatakan bahwa kenaikan gaji atau upah secara otomatis akan dibarengi dengan kenaikan produktivitas. Kenyataannya tidak demikian, kadang terjadi kenaikan produktivitas karena adanya kenaikan gaji atau upah, akan tetapi terkadang juga hal itu tidak terjadi. Gaji atau upah bukan satu- satunya faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Tingkat keterampilan karyawan dan teknologi yang digunakan merupakan 2 (dua) faktor penting lain yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Faktor-faktor lain seperti sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja/buruh, lingkungan fisik dan psikologis serta aspek-aspek lain dari budaya perusahaan juga mempengaruhi produktivitas pekerja/buruh.3

Pandangan lainnya adalah bahwa antara imbalan dan prestasi kerja

atau kinerja tidak ada hubungannya secara langsung, namun demikian

kiranya tidak ada orang yang bekerja hanya untuk mencari kesenangan

saja atau bahwkan hanya merupakan ibadah dan bukan untuk

mendapatkan uang. Apabila para pekerja/buruh yang baik tidak diberikan

imbalan yang cukup dan adil, pekerja akan mendapatkan kekecewaan

menjadi tidak produktif dan kualitas kinerjanya menurun,

2F. Winami dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah, Widyatama, Yogyakarta, 2006, hal.7

3 Ibid, hal.8

71

Page 15: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

kemungkinannya mereka akan meninggalkan perusahaan tersebut.

Imbalan pada dasarnya adalah biaya tenaga kerja yang harus dikendalikan dan setiap terjadi peningkatan besarnya imbalan, seharusnya disertai dengan peningkatan jumlah penhasilan perusahaan. Imbalan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada gaji dan upah. Imbalan mencakup semua pengeluaran perusahaan untuk pekerja/buruh dan diterima atau dinikmati pekerja, baik secara langsung, rutin maupun tidak langsung. 4

Melihat pelaksanaannya, perusahaan umumnya cenderung menghindarkan pemberian kompenen upah yang bersifat rutin atau tetap dalam jumlah besar. Hal ini dimaksudkan, agar jika dikemudian hari terjadi PHK, pengusaha tidak terbebani untuk menyediakan dana konpensasi dalam jumlah besar.5

2. Komponen Kompensasi Yang diberikan Kepada Pekerja/Buruh

Kompensasi yang diberikan kepada pekerja/buruh yang hubungan

kerjanya terputus dengan perusahaan, terdiri dari

a. Uang pesangon ;b. Uang penghargaan masa kerja ; danc. Uang penggantian hak, yang meliputi :

1) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ;2) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya

ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja. Penggantian perumahan, pengobatan dsn perawatan ditetapkan 15 % (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat ;

3) Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB (misalnya uang pisah) ;

4) Uang pisah yang besarnya sesuai yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. 6

Kasus atau kondisi tertentu, ada kalanya pekerja/buruh berhak untuk

mendapatkan keseluruhan komponen kompensasi diatas. Namun, ada

kalanya pula pekerja/buruh hanya mendapatkan 1 (satu) atau 2 (dua) saja

4 Ibid, hal.105 Edy Sutrisno Sidabutar, Op.cit, hal.446 Ibid, hal.44

72

Page 16: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

dari ke-4 (empat) komponen kompensasi tersebut atau bahkan sama sekali

tidak dapat. Pemberian pesangon maupun penghargaan masa kerja

dipengaruhi oleh masa kerja pekerja/buruh. Artinya sudah berapa lama

pekerja/buruh terseut pada perusahaan akan berpengaruh dalam pemberian

peangon dan penghargaan masa kerja, bila mana terjadi PHK.selanjutnya

mengenai mengenai ketentuan komponen upah yang digunakan sebagai

dasar perhitungan uang pesangon, uang pengghargaan masa kerja dan uang

pengggantian hak yang seharusnya diterima diatur dalam Pasal 157 undang-

undang nomor 13 tahun 2003 terdiri dari :

a. Upah pokok ; dan

b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan

kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari

catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang

apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai

upah dianggap seslisih antara harga pembelian dengan harga yang harus

dibayar oleh pekerja/buruh.

Komponen pengupahan tersebut merupakan salah satu sara dari Hubungan Industrial Pancasila (HIP), oleh karena itu, ada beberapa kriteria dalam menentukan pengupahan, antara lain:a. Struktur upah perlu disederhanakan dan diupayakan agar uah pokok

lebih besar dari tunjangan lainnya ;b. Idealnya diperlukan penentuan komponen upah secara umum yang

dapat digunakan untuk setiap pekerjaan dan keperluan. 7

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker)

Republik Indonesia (RI) Nomor PER 01/MEN/1990 yang dimaksud upah

minimum adalah upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap dengan 7 John Suprihanto, Op.cit, hal.112

73

Page 17: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

kebutuhan pokok serendah- rendahnya 75 % dari upah minimum.

Pengertian upah pokok seperti diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga

Kerja RI Nomor SE-07/MEN/1990 adalah imbalan dasar yang diberikan

secara tetap untuk tenaga kerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam

satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, misalnya

mingguan atau bulanan, tanpa dikaitkan dengan kehadiran atau

prestasi/produkvitas tertentu.

Untuk mencapai ratio upah terendah dan tertinggi yang lebih seimbang dan memadai secara bertahap jarak terendah dan tertinggi perlu didekatkan, antara lain dengan cara ;a. Diberlakukan skala upah secara landai (sliding scale) ;b. Diadakan pertimbangan antara upah pokok dan tunjangan ; dan c. Peninjauan upah minimum secara konsisten. 8

Berdasarkan petunjuk pelaksanaan Upah Minimum Regional

(UMR) dan Upah Sundulan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan

Hubungan Inudstrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor B.

407/N/BW/1995 tanggal 18 Juni 1995, bahwa pemberian UMR perlu

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Dengan adanya kenaikan UMR, tidak boleh dilakukan pegeseran tunjangan tidak tetap (sebelumnya telah diberikan) menjadi tunjangan tetap dengan tunjangan untuk memenuhi UMR ;

b. Tunjangan-tunjangan yang selama ini telah diberikan, tetap menjadi hak tenaga kerja dan harus tetap diberikan ;

c. Khusus mengenai tunjangan transport, meskipun diberikan sebaikanya tidak dimasukkan ke dalam komponen upah ; 9

Akan tetapi, apabila terjadi perseisihan karena upah sundulan, maka dapat

dipecahkan dengan cara :

a. Mencari persentase kenaikan antara golongan penerima upah secara

8 Ibid, hal, 1139 B.Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.cit, hal. 194

74

Page 18: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

berurutan ;

b. Menghitung upah baru yang dilakukan dengan cara menambah upah

lama dengan persentase kenaikan dikalikan upah baru.

3. Dasar Perhitungan Kompensasi

Tujuan utama didirikannya perusahaan (swasta) oleh pemiliknya

adalah memperoleh laba. Walaupun demikian perusahaan tetap

diharapkaan memperhatikan kepentingan keseluruhan stakeholder, yaitu :

pemegang saham, manajemen, karyawan, pelanggan, supplier, pemerintah

dan masyarakat. Di samping itu, memenangkan persaingan juga

merupakan suatu hal yang tidak boleh diabaikan perusahaan. Berkaitan

dengan itu, semua volume, biaya dan harga adalah 3 (tiga) variabel yang

memainkan peranan penting dalam memperoleh laba dan memenangkan

persaingan.

Variabel biaya akan mempunyai dampak yang lebih cepat mempengaruhi laba dibandingkan variabel volume dan harga, sebab penghematan biaya satu rupiah akan langsung berdampak pada tambahan keuntungan yang sama. Oleh karena itu, struktur dan tingkat biaya operasional menjadi perhatian setiap perusahaan.10

Pekerja melihat gaji/upah dalam kerangka hidup yang layak bagi diri dan keluarganya, dan untuk itu pekerja bersedia memberikan jasa pada pemberi kerja dengan mengharapkan peningkatan gaji/upah, perkembangan karier, dan rasa aman akan hari depannya. Perusahaan didirikan pada dasarnya untuk mencari untung, perusahaan akan berusaha meningkatkan penjualan, mengatur strategi harga dan menekan biaya operasional keseluruhan, termasuk biaya tenaga kerja, dengan mengikuti mekanisme pasar tenaga kerja. Bagi industri tertentu yang padat karya, kenaikan upah/gaji pekerja langsung mempunyai dampak besar kepada keuntungan perusahaan secara keseluruhan.11

Pemerintah mengaharapkan tercapainya keseimbangan dan

10 F. Winarmi dan G. Sugiyarso, Op.cit, hal. 1311 Ibid, hal.14

75

Page 19: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

perkembangan yang optimal, diantara kepentingan pekerja dan perusahaan

serta keseluruhan stakeholders. Mengingat pasar tenaga kerja yang

menempatkan pekerja dalam posisi lemah, maka disinilah peran utama

pemerintah menjaga keseimbangan agar jangan sampai gaji/upah turun

pada tingkat yang tidak manusiawi. Pemerintah menentukan konsep dan

besarnya upah minimum sebagai patokan dasar yang harus diikuti

perusahaan dalam pengupahan.

Upah minimum telah ditetapkan pada tahun 1996, namun sampai sekarang, masih ada yang menafsirkan upah minimum propinsi (UMP), dahulu disebut UMR sebagai upah standar, sehingga seiap kali ditetapkan selalu mengundang protes yang kalangan organisasi, pekerja/buruh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak menyetujui atau besarnya UMP yang ditetapkan dengan alasan terlalu kecil atau cukup memenuhi kebutuhan hidup pekerja beserta keluarganya.12

Sesuai dengan ketentuan Permen Nomor 01/MEN/1999 jo.

Kepmen Nomor 226/MEN/2000 tentang Upah Minimun dan Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa

setiap tahun pemerintah dalam hal ini Pemerintah Propinsi menetapkan

UMP dengan tujuan kesejahteraan atau pah yang diterima pekerja/buruh

tidak merosot atau lebih rendah dari perkembangan harga- harga di pasar

dan inflasi atau dengan kata lain, uapah yang diterima pekerja/buruh

sesuai dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) seorang pekerja/buruh.

Berdasarkan Permen Nomor 01/MEN/1999, dinyatakan bahwa UMP hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, besarnya dirundingkan secara bipartit antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh untuk disepakati dan sebagai standar untuk menetapkan upah yang hasil dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan PKB. Bagi perusahaan yang belum berdiri serikat

12 Thoga M. Sitorus, Op.cit, hal.52

76

Page 20: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

pekerja/serikat buruh, diharapkan supaya pekerja membentuk tim 5-10 orang mewakili para pekerja untuk berunding dengan pihak pengusaha dan sesuai dengan prinsip hubungan industrial, pengusaha sebagai mitra pekerja harus secara terbuka menerima permintaan pekerja untuk berunding.13

Pemberian kompensasi sebagai akibat dari berakhirnya hubungan

kerja, dipengaruhi oleh masa kerja pekerja/buruh yang di PHK. Menurut

ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dasar

penetapananya adalah sebagai berikut :

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2

(dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3

(tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun,

4 (empat) bulan upah

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,

5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,

6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun,

7 (tujuh) bulan upah

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)

tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

13 Ibid, hal, hal.56

77

Page 21: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

Untuk pemberian uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (2))

ditetapkan sebagai berikut :

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,

2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)

tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua

belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima

belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18

(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21

(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24

(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan

upah.

Untuk pemberian uang penggantian hak yang seharusnya diterima diatur

dalam Pasal 156 ayat 4, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya

ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

78

Page 22: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan

15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang

penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 13 Tahun

2003, pemberian kompensasi bagi pekerja/buruh yang hubungan kerjanya

terputus dengan perusahaan, diatur dengan memperhatikan alasan-alasan

PHK, baik alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh atau yang terletak

pada diri pengusaha itu.

C. Analisis Hukum Terhadap Kasus putusan 518 K/Pdt.Sus-PHI/2014

1. Pemahaman tentang PHK karena Efisiensi

Melihat kasus diatas bahwa penulis melihat bahwa pemahaman

tentang Perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja alasan

efisiensi terdapat dua pandangan saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam

Pasal 164 UU Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi “

1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan

mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau

keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh

berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156

ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan

Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal

79

Page 23: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

156 ayat (4).

2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah

diaudit oleh akuntan publik.

3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan

memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja

sebesar (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Jika dicermati kembali, penekanan harus diberikan pada klausul

“perusahaan tutup”, karena Pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi

perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan

tutup, bukan karena alasan lainnya. Berikut akan coba dipenggal satu

persatu kalimat yang terdapat pada ayat-ayat di atas :

Ayat (1)

a. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan

mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau

keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh

berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156

80

Page 24: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan

Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156

ayat (4). (mengisyaratkan bahwa sebenarnya PHK dibenarkan oleh

UUK, namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk

dapat melakukan PHK tersebut).

b. karena perusahaan tutup, (merupakan alasan untuk melakukan PHK)

c. yang disebabkan karena ;

1) perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2

(dua) tahun; atau

2) keadaan memaksa (force majeur) (merupakan sebab-sebab mengapa

perusahaan tutup, dan secara terminologi sebab tersebut menjadi

dasar munculnya mengapa uang pesangon dan penghargaan masa

kerja yang menjadi hak pekerja hanya 1 kali ketentuan Pasal 156

UUK)

d. dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1

(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja

sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (hak pekerja atas PHK yang

dilakukan perusahaan

ayat (3)

a. pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan

81

Page 25: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,

dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja

sebesar (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (mengisyaratkan bahwa

sebenarnya PHK dibenarkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan,

namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk dapat

melakukan PHK tersebut.)

b. karena perusahaan tutup (merupakan alasan untuk melakukan PHK)

c. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja ;

1) bukan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus

menerus selama 2 (dua) tahun; atau

2) bukan karena keadaan memaksa (force majeur)

3) tetapi perusahaan melakukan efisiensi

Butir 1) dan 2) bukanlah sebab-sebab perusahaan tutup, tetapi

merupakan klausul pengecualian untuk membedakan dengan sebab-

sebab pada ayat (1). Yang menjadi penyebab perusahaan tutup adalah

butir 3), yaitu untuk melakukan efisiensi. Dan secara terminologi sebab

tersebut menjadi dasar munculnya mengapa uang pesangon dan

penghargaan masa kerja yang menjadi hak pekerja menjadi 2 kali

ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan

d. Dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2

(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja

82

Page 26: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (hak pekerja atas

PHK yang dilakukan perusahaan)

Dari penggalan kedua ayat yang terdapat pada Pasal 164 ayat (1)

dan (3) di atas terlihat bahwa :

a. butir b : alasan untuk melakukan PHK, yaitu tutupnya perusahaan

b. butir c : penyebab mengapa perusahaan tutup, dan menjadi dasar untuk

menentukan besarnya hak pekerja karena terjadinya PHK

Tutupnya perusahaan karena rugi dan force majeur, pesangon dan

penghargaan masa kerjanya hanya 1 kali ketentuan Pasal 156 Undang-

undang Ketenagakerjaan, sedangkan apabila tutupnya perusahaan karena

melakukan efisiensi pesangon dan penghargaan masa kerjanya hanya 2 kali

ketentuan Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan.

Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164

ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaaan tidak dapat diartikan bahwa hal

tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja

atau juga “Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK

pekerja yang ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan

perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah

sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan

efisiensi, caranya dengan menutup perusahaan". Di Pasal tersebut

disebutkan kata "pengusaha", bisa saja pengusaha memiliki suatu

perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak. Dengan adanya

83

Page 27: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara

menutup salah satu perusahaan anak.

Jika perusahaan tersebut tutup, maka "pengusaha dapat melakukan PHK atas tenaga kerjanya".14Selanjutnya jika penutupan perusahaan tersebut disebabkan oleh kerugian selama 2 tahun berturut-turut atau force majeur, maka diterapkan ketentuan Pasal 164 ayat (1). Namun jika penutupan perusahaan untuk kepentingan efisiensi maka diterapkan Pasal 164 ayat (3).

Dilihat dari kasus tersebut, maka seharusnya Pengadilan Hubungan

Industrial memutuskan perkara tersebut harus melihat alasan yang diajukan

pihak pengusaha, bahwa mereka melakukan pemutusan hubungan kerja

dengan alasan penutupan perusahaan yang mana usahanya mereka merugi

sejak tahun 2000. Dan kedua pihak pekerja yang mengajukan gugatan

dengan alasan efisiensi. Namum seperti yang telah kita lihat penjelasan

diatas maka dapat dilihat disini bahwa pemahaman oleh kedua pekerja

tersebut belum mengerti maksud dari efisiensi.

Sedangkan dalam Pasal 164 ayat (3) Pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup

bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan

karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan

efisiensi. Dan bila kita lihat dalam kasus ini maka seharusnya pihak

Pengadilan Hubungan Industrial memutus perkara tersebut harus dengan

pertimbangan bahwa Perusahaan tersebut tutup dengan alasan penutupan

perusahaan disebabkan merugi selama 2 tahun berturut- turut. Maka dalam

putusan pemberian uang pesangon terhadap karyawan juga harus mengacu

14 http://boedexx.blogspot.com/2009/08/phk-karena-wfisiensi.html diunduh pada tanggal 15 Maret 2017

84

Page 28: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

pada Pasal 156 ayat (2), dimana kedua pekerja tersebut mempunyai hak

yang sama dengan 26 karyawan lainnya yaitu sebesar 9 (sembilan) bulan

upah, karena sudah lebih dari 8 tahun masa kerja mereka.

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial juga memutuskan

pemberian upah lebih dari apa yang dituntut dan yang ada dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

2. Besarnya Uang Pesangon yang Seharusnya diterima oleh Pekerja Dilihat

dari Kasus Yusniari, Marthen Lempang, Dwi Yantoro dan Suryadi

Berdasarkan kasus diatas kita banyak menemukan kesalahan

dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut khusus yang

terlihat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam putusan

PHI memutuskan bahwa dalam pembayaran uang pesangon, PHI

memutus lebih yang dari dituntut oleh penggugat (pekerja/buruh), yaitu

masalah pembayaran uang pesangon, penghargaan masa kerja,

pengobatan dan perumahan, upah selama skorsing dan cuti yang belum

diambil.

Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.Ultra petita sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan keberadaan peradilan perdata yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan kehakiman di Indonesia.15

Melihat kasus yang terjadi Yusniari, Marthen Lempang, Dwi Yantoro

dan Suryadi tersebut, pihak pekerja melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke

MA. Ada beberapa pertimbangan yang menarik diperhatikan dilakukan oleh

15 Miftakhul Huda, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian- undang.html diunduh pada tanggal 20 Maret 2017

85

Page 29: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

pihak pengusaha yaitu ;

1. Bahwa pertimbangan PHI yang dalam menafsirkan pengurangan tersebut

hanya mirip efisiensi adalah pertimbangan yang kurang mendalam dan

kurang luas serta sangat formil, ini akibat disebabkan tidak

memperhatikan dan mempertimbangkan sama sekali alasan-alasan yang

dikemukakan oleh Pemohon Kasasi. ;

2. Bahwa dengan besarnya uang kewajiban Pemohon Kasasi terhadap Para

Termohon Kasasi sangat memukul manajemen Pemohon Kasasi sebab

usaha Pemohon Kasasi adalah usaha padat karya (tambang minerba)

bukan padat modal sehingga nilai tersebut sangat membebani.

3. Bahwa setelah mendapatkan saran maupun petunjuk dari beberapa pihak

seperti tersebut diatas maka Pemohon Kasasi lalu mengadakan

musyawarah kembali dengan para buruh yang mana begitu alot dan

panjang, namun akhirnya tercapai kesepakatan antara Pemohon Kasasi

dengan pihak buruh/ALBUM yaitu dilakukan PHK ke 4 buruh dan

pemberian pesangon 1 X dan usaha Pemohon Kasasi tidak dilakukan

penutupan. (merupakan jalan keluar yang paling akhir dan baik) ;

4. Bahwa Para Termohon Kasasi tidak menerima hasil musyawarah lalu

melakukan perlawanan terhadap kesepakatan tersebut ke Dinas Tenaga

Kerja Nusa Tenggara yang semata-mata hanya ingin mendapat hak yang

lebih dari pada teman-teman yang lainnya (ke 4 buruh) tanpa

memperdulikan maupun mempertimbangkan komitmen, rasa hormat dan

solidaritas sesama buruh dan juga tidak mau tahu dengan kondisi

86

Page 30: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

keuangan Pemohon Kasasi atau saran-saran dari Serikat Pekerja maupun

Tokoh Masyarakat Sumbawa (lingkungan Pabrik) ;

Pendapat penulis

Setelah diajukannya kasasi ke Mahkamah Agung menolak tersebut

dengan pertimbangan dan alasan bahwa tidak dapat dibenarkan bahwa

alasan Judex Factienya tidak salah menerapkan hukum.

Dalam kasus tersebut sama sekali hakim dalam putusannya tidak

melihat alasan-alasan dari pihak pemohon kasasi dalam hal ini pihak

Pengusaha. Bahwa sejak mulanya pengusaha ingin melakukan penutupan

perusahaan, namun berdasarkan pertimbangan pemerintah dan adanya

musywarah dengan organisasi buruh setempat maka perusahaan ini

dinyatakan tetap berlanjut, maka dalam hal ini dapat diambil kesimpulan

bahwa Perusahaan melakukan PHK bukan alasan penutupan melainkan

pengurangan pekerja/buruh.

Maka dalam hal ini seharusnya Mahkamah Agung dalam

memutuskan perkara ini, khususnya dalam pemberian uang pesangon hanya

9 bulan bukan 16 bulan.

Perusahaan seharusnya tak boleh lagi melakukan PHK terhadap

pegawainya bila PHK itu hanya berdalih embel-embel demi efisiensi

perusahaan. Hal ini sesuai dengan penilaian Mahkamah Konstitusi yang

menilai bahwa pemutusan hubungan kerja dengan dalih reorganisasi dan

efisiensi merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang membatalkan

87

Page 31: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

bunyi Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang

Ketenagakerjaan.

Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara pasal 164 ayat (3) UU

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur seputar

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam putusannya, MK menyatakan

bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup secara permanen

dan sebelumnya perusahaan melakukan sejumlah langkah terlebih dahulu

dalam rangka efisiensi.

Dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan,

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2

(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (Force

Majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan

pekerja/buruh berhak atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal

156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan

Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 15 ayat

(4).” Perusahaan harus memberi tahu karyawan sebelum PHK dilakukan

dan alasan PHK. Pada perusahaan tertentu, pemberitahuan ini dilakukan 30

hari sebelum PHK.

Walaupun PHK merupakan pilihan terakhir perusahaan sebagai

upaya efisiensi, seharusnya perusahaan menempuh dulu beberapa upaya

dalam rangka efisiensi tersebut. Upaya-upaya tersebut termaktub dalam

putusan MK, seperti diantaranya mengurangi upah dan fasilitas pekerja

88

Page 32: eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat

tingkat atas, mengurangi shift, mengurangi jam kerja, meliburkan atau

merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu, dan lain-

lain.

89