IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN · selama proses sintesis surfaktan APG yang...

23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk APG yaitu dengan pengujian karakteristik-karakteristik surfaktan APG yang sesuai jika dibandingkan dengan APG produk komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C 12 pada penelitian sebelumnya (Noerdin, 2008). Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati tapioka dan fatty alcohol C 10 . Pemilihan penggunaan tapioka karena tapioka merupakan salah satu jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuat APG. APG dapat dibentuk dari bahan berbasis pati salah satunya adalah tapioka (Margareta,1999). Keberadaan pati tapioka mudah didapatkan, selain itu pati tapioka memiliki karakteristik fisiko kimia yang sesuai dengan pati pada umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh sifat fisiko kimia pati mengandung amilosa dan amilopektin yang tersusun oleh D-glukosa. Penggunaan fatty alcohol dipilih sesuai dengan karakteristik fisiko kimia bahan baku penyusun APG, salah satunya yaitu fatty alcohol C 10 . Fatty alcohol C 10 memiliki rantai C panjang sehingga dapat berperan sebagai gugus hidrofobik dari surfaktan APG. Selain itu, penggunaan fatty alcohol C 10 lebih memudahkan dalam proses pembuatan APG pada tahap distilasi karena dengan penggunaan rantai C yang lebih pendek, sehinga waktu yang diperlukan pada tahap distilasi akan lebih cepat dan memerlukan suhu yang lebih rendah. Produk APG diamati melalui penampakan dan dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui bahwa APG murni telah tersintesis. Pengamatan secara visual mengindikasikan bahwa APG dengan bahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 telah tersintesis dengan melihat penampakkannya berupa pasta berwarna coklat dan bau yang sesuai. Bentuk produk APG berupa pasta memiliki kesesuaian bentuk dengan APG komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C 12 . Jika dilihat dari warna masing-masing produk APG, APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C 10 tidak memiliki kesesuaian warna jika

Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN · selama proses sintesis surfaktan APG yang...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG

bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya

produk APG yaitu dengan pengujian karakteristik-karakteristik surfaktan APG

yang sesuai jika dibandingkan dengan APG produk komersial dan APG berbahan

baku pati sagu dan fatty alcohol C12 pada penelitian sebelumnya (Noerdin, 2008).

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati tapioka dan

fatty alcohol C10. Pemilihan penggunaan tapioka karena tapioka merupakan salah

satu jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuat APG. APG

dapat dibentuk dari bahan berbasis pati salah satunya adalah tapioka

(Margareta,1999). Keberadaan pati tapioka mudah didapatkan, selain itu pati

tapioka memiliki karakteristik fisiko kimia yang sesuai dengan pati pada

umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh sifat fisiko kimia pati mengandung amilosa

dan amilopektin yang tersusun oleh D-glukosa. Penggunaan fatty alcohol dipilih

sesuai dengan karakteristik fisiko kimia bahan baku penyusun APG, salah satunya

yaitu fatty alcohol C10. Fatty alcohol C10 memiliki rantai C panjang sehingga

dapat berperan sebagai gugus hidrofobik dari surfaktan APG. Selain itu,

penggunaan fatty alcohol C10 lebih memudahkan dalam proses pembuatan APG

pada tahap distilasi karena dengan penggunaan rantai C yang lebih pendek,

sehinga waktu yang diperlukan pada tahap distilasi akan lebih cepat dan

memerlukan suhu yang lebih rendah.

Produk APG diamati melalui penampakan dan dianalisis karakteristiknya

untuk mengetahui bahwa APG murni telah tersintesis. Pengamatan secara visual

mengindikasikan bahwa APG dengan bahan baku tapioka dan fatty alcohol C10

telah tersintesis dengan melihat penampakkannya berupa pasta berwarna coklat

dan bau yang sesuai. Bentuk produk APG berupa pasta memiliki kesesuaian

bentuk dengan APG komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty

alcohol C12 . Jika dilihat dari warna masing-masing produk APG, APG berbahan

baku tapioka dan fatty alcohol C10 tidak memiliki kesesuaian warna jika

dibandingkan dengan produk komersial, tetapi memiliki kesesuaian warna dengan

APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C12.

APG komersial memiliki penampakan warna bening, sedangkan APG

berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 dan APG berbahan baku pati sagu

dan fatty alcohol C12 berwarna coklat tua. Warna coklat tua yang terbentuk pada

produk akhir APG diperoleh dari proses pembuatannya, timbulnya warna gelap

dapat disebabkan karena pengaruh suhu yang terlalu tinggi dan penggunaan

katalis asam yang digunakan dalam pembentukan senyawa alkil poliglikosida.

Menurut Buchanan et al. (1998), warna gelap produk surfaktan APG dapat terjadi

selama proses sintesis surfaktan APG yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

:

a. Suhu pemanasan yang terlalu tinggi dan tidak terkontrol pada tahap proses

distilasi, sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk

yang terjadi selama distilasi.

b. Penggunaan katalis asam pada proses sintesis surfaktan APG. Pemilihan

katalis ini merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG.

c. Turunan furan dengan warna kelam yang tinggi seperti furfuraldehid. Turunan

furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh katalis dengan

asam kuat.

d. Logam seperti Fe, Ca, Mn, dan Mg akan menimbulkan warna yang tidak

diinginkan dalam produk surfaktan.

Selain itu, analisis karakteristiknya meliputi tegangan permukaan,

tegangan antar muka, kestabilan emulsi, stabilitas busa, pH, dan HLB untuk

mengetahui indikasi telah tersintesis APG C10. Dari hasil uji karakteristik

surfaktan, APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 telah memiliki

kesesuaian karakteristik sebagai surfaktan APG (Tabel 2). APG berbahan baku

tapioka dan fatty alcohol C10 memiliki kemampuan menurunkan tegangan

permukaan dan tegangan antar muka. Setelah penambahan APG berbahan baku

tapioka dan fatty alcohol C10, terjadi penurunan tegangan permukaan air sebesar

52 % dan penurunan tegangan antar muka air dan xilena sebesar 76 %. APG

berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 memiliki kemampuan menstabilkan

emulsi dan membentuk busa dengan nilai kestabilan emulsi 65 % dan nilai

stabilitas busa yang terbentuk sebesar 48 %. pH yang dimiliki sebesar 8,75

merupakan suatu basa dan sesuai dengan karakteristik derajat keasaman APG

pembanding. APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 memiliki nilai

HLB 14,1, hal ini menunjukkan kesesuaian dengan nilai HLB APG pembanding

yaitu merupakan jenis pengemulsi O/W.

Tabel 2. Karakteristik APG Komersial, APG C12-Pati Sagu, dan APG C10-Pati

Tapioka

Karakteristik APG

komersiala

APG

C12-pati sagub

APG

C10-pati tapioka

Bentuk Pasta Pasta Pasta

Warna Bening Coklat tua Coklat tua

pH 8,50 7,15 8,75

Tegangan permukaanc 34,05 dynes/cm 32,2 dynes/cm 34,5 dynes/cm

Tegangan antar mukac 10,15 dynes/cm 13,08 dynes/cm 9,3 dynes/cm

Kestabilan emulsi 61 % 72,3 % 65 %

Stabilitas busa 87 % 67 % 48 %

HLB 13,3 8,81 14,1

aPT Cognis

bNoerdin (2008)

c konsentrasi APG 0,1 g/L

Selain itu, penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menentukan nilai

critical micelle concentration (CMC) dari APG sintesis. Menurut Schueller dan

Romanousky (1998), pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan

permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada

saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi

penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah.

Pengukuran nilai CMC diperoleh dengan mengukur tegangan permukaan

dan tegangan antar muka. APG yang ditambahkan dengan berbagai konsentrasi

hingga tegangan antar muka dan tegangan permukaan tidak lagi mengalami

penurunan dan stabil. Pengukuran tegangan antar muka larutan APG sintesis

menghasilkan CMC dicapai pada konsentrasi 0,6 g/L dan pengukuran tegangan

permukaan menghasilkan CMC dicapai pada konsentrasi 0,5 g/L, disajikan dalam

Gambar 11 dan Gambar 12. Hasil penelitian dari Ware et al. (2007) menyatakan

pengukuran tegangan permukaan air dengan penambahan APG C10 memiliki nilai

CMC 0,5 g/L. Dalam penelitian ini, hasil nilai CMC yang diperoleh digunakan

sebagai konsentrasi APG yang ditambahkan untuk pengukuran tegangan antar

muka sebagai respon utama dalam metode permukaan respon untuk optimasi pada

penelitian utama.

Gambar 11. Grafik Tegangan Permukaan Air dengan Penambahan APG pada

Penelitian Pendahuluan

Gambar 12. Grafik Tegangan Antar Muka Air dan Xilena dengan

Penambahan APG pada Penelitian Pendahuluan

4.2. ANALISIS HASIL OPTIMASI NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA

DENGAN PENAMBAHAN APG

Proses pembuatan APG dengan reactor double jacket dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya suhu, tekanan, waktu reaksi, jenis katalis, nisbah mol

pati-butanol dan nisbah mol pati-fatty alcohol. Di dalam penelitiaan ini diamati

faktor nisbah mol pati-butanol dan nisbah mol pati-fatty alcohol.

Metode permukaan respon merupakan bentuk analisis statistik yang

digunakan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dan bertujuan

untuk menemukan kondisi optimum dari respon tersebut. Di dalam penelitian ini,

metode permukaan respon digunakan untuk menentukan nilai optimasi parameter

tegangan antar muka dari faktor-faktor yang digunakan.

Tegangan antar muka merupakan salah satu karakteristik yang penting

untuk menentukan sifat suatu surfaktan. Hasil analisis statistik optimasi dengan

metode permukaan respon didapatkan koefisien dan nilai signifikansi tegangan

antar muka air dan xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Tabel 3

(Lampiran 3). Model persamaan kuadratik yang diperoleh dari analisis statistik

permukaan respon adalah: Y = 9,354561 – 0,398990 X1 – 0,411616 X2 +

0,809388 X12

+ 0,025000 X1X2 + 0,855307 X22. Grafik dan kontur permukaan

respon parameter tegangan antar muka sebagai fungsi dari nisbah mol pati-butanol

(X1) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) disajikan pada Gambar 13 dan Gambar

14.

Tabel 3. Koefisien Parameter dan Nilai Signifikansi Optimasi Tegangan Antar

Muka

Parameter Koefisien parameter Signifikansi (%)

Intersep 9,354561 99,99

Nisbah mol pati-butanol (X1) -0,398990 92,11

Nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) -0,411616 92,6

X1*X1 0,809388 97,12

X2*X2 0,025000 97,53

X1*X2 0,855307 52,9

R2 = 0,8060

17

16

15

14

13

12

11

10 5 6 8 10 11

Nisbah mol pati-butanol

1,78

2,50

4,25

6,00

6,72

Nis

bah

mo

l p

ati

-fatt

y a

lco

ho

l

17

16

15

14

13

12

11

10

Teg

angan

Anta

r M

uka

(dynes

/cm

)

Gambar 13. Permukaan Respon Tegangan Antar Muka sebagai Fungsi dari

Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dan Nisbah Mol Pati-Fatty

Alcohol (X2)

Gambar 14. Kontur Permukaan Respon Tegangan Antar Muka sebagai Fungsi

dari Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dan Nisbah Mol Pati-Fatty

Alcohol (X2)

APG merupakan salah satu emulsifier. Menurut Suryani et al. (2000),

emulsifier merupakan “surface active agent” yang mempunyai dua gugus yaitu

gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Penurunan tegangan antar muka oleh

emulsifier akan mempermudah pembentukan permukaan antar muka yang sangat

luas. Artinya kontak antara fasa terdispersi dan fasa pendispersi lebih baik (lebih

luas) dengan adanya emulsifier. Bila tegangan antar muka mendekati nilai nol,

maka emulsi akan terbentuk dengan spontan. Pengukuran tegangan antar muka

menggunakan metode Du Nouy untuk mengetahui tegangan antar muka suatu zat

yang berbeda kepolarannya dalam suatu larutan yang ditambahkan surfaktan.

Pada penelitian ini digunakan air sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non

polar.

Dari grafik dan kontur permukaan respon yang terbentuk diketahui

bahwa pada rentang nisbah mol pati-butanol 1 : 6 – 1 : 10 (mol) didapatkan titik

kritis minimum pada konsentrasi 1 : 8,49 (mol). Peningkatan konsentrasi butanol

menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena, akan tetapi setelah

melalui titik kritis tersebut didapatkan konsentrasi butanol menyebabkan

peningkatan tegangan antar muka.

Sebelum titik kritis, peningkatan konsentrasi butanol menyebabkan

penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan penambahan konsentrasi butanol pada proses pembuatan APG,

menghasilkan APG dengan kinerja yang baik untuk menurunkan tegangan antar

muka. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin tinggi konsentrasi butanol yang

digunakan, maka semakin besar peluang butanol untuk mengadisi glukosa pada

gugus aldehid untuk membentuk butyl glycoside pada tahap butanolisis. Hal ini

menyebabkan hasil reaksi pada proses butanolisis lebih baik. Menurut Fessenden

dan Fessenden (1982), suatu alkohol dapat mengadisi suatu gugus karbonil, salah

satunya aldehid dan keton.

Setelah melalui titik kritis, peningkatan konsentrasi butanol

menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini

menunjukkan bahwa setelah melalui kondisi optimum, dengan penambahan

konsentrasi butanol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan

kinerja yang kurang baik untuk menurunkan tegangan antar muka . Hal ini dapat

disebabkan oleh konsentrasi butanol yang terlalu tinggi akan menghasilkan sisa

reaksi yang dapat mengganggu keseimbangan reaksi pada tahap transasetalisasi.

Pada proses transasetalisasi sisa butanol yang terlalu banyak dapat mengganggu

tahap transasetalisasi untuk membentuk senyawa APG murni. Jika butanol yang

tersisa tidak diuapkan seluruhnya, maka akan mengganggu keseimbangan reaksi

transasetalisasi. Oleh karena itu diperlukan perhitungan yang tepat untuk

menentukan jumlah konsentrasi butanol. Menurut Balzer (2000), dalam

pembentukan APG menggunakan metanol, untuk mencapai keseimbangan reaksi

menjadi produk dapat dilakukan dengan mengevaporasi metanol yang terjadi

selama transglikosida.

Dari grafik dan kontur permukaan respon yang terbentuk diketahui

bahwa pada rentang nisbah mol pati- fatty alcohol 1 : 2,5 – 1 : 6 (mol) didapatkan

titik kritis minimum pada konsentrasi 1 : 4,66 (mol). Peningkatan konsentrasi fatty

alcohol akan menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena, akan

tetapi setelah melalui titik kritis, konsentrasi fatty alcohol menyebabkan

peningkatan tegangan antar muka air dan xilena.

Sebelum titik kritis, peningkatan konsentrasi fatty alcohol menyebabkan

penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan penambahan konsentrasi fatty alcohol pada proses pembuatan APG,

menghasilkan APG dengan kinerja yang baik untuk menurunkan tegangan antar

muka. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi fatty alcohol yang

digunakan, maka semakin besar peluang fatty alcohol bereaksi dengan butyl

glikosides yang telah terbentuk, sehingga keseluruhan reaksi trasasetalisasi dapat

menghasilkan senyawa alkyl polyglicosides yang lebih sempurna sebelum tahap

netralisasi dan distilasi. Menurut Hart (2003), dengan kehadiran alkohol berlebih,

hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut membentuk asetal/ketal.

Produk butyl glycosides direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8-

C22) dengan katalisator asam dengan jumlah 25-50% dari berat katalis pertama.

Pada proses transasetalisasi ini, gugus butil akan diganti dengan alkil rantai

panjang untuk membentuk alkyl polyglycosides, sedangkan butanol dan air akan

teruapkan (Gibson et al., 2001). Dalam proses transasetalisasi digunakan fatty

alcohol untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang

bersifat hidrofobik. Dengan demikian, untuk memperoleh sifat hidrofobik

diperlukan fatty alcohol rantai yang panjang, sebab semakin panjang rantai maka

sifat non polar akan semakin tinggi (Wuest et al., 1992). Selain itu, dengan lebih

banyak fatty alcohol yang bereaksi, maka jumlah gugus alkil rantai panjang yang

terbentuk sebagai bagian yang bersifat hidrofobik akan lebih banyak.

Setelah titik kritis, peningkatan konsentrasi fatty alcohol menyebabkan

peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa

setelah melalui kondisi optimum, dengan penambahan konsentrasi fatty alcohol

pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang kurang

baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini terjadi jika distilasi

kelebihan fatty alcohol tidak teruapkan seluruhnya dan meninggalkan sisa pada

produk akhir APG. Keberadaan fatty alcohol pada produk akhir APG dapat

menggangu karakteristik kinerja surfaktan. Menurut Buchanan et al, (1998),

diperlukan proses distilasi untuk menghilangkan alkohol rantai panjang yang

tidak bereaksi.

Grafik permukaan respon yang terbentuk didapat respon optimum

minimum berupa permukaan yang menyerupai lembah. Nilai kritis nisbah mol

pati-butanol (X1) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) dalam bentuk code

berturut turut adalah 0,243 dan 0,237. Nilai tersebut dikonversi menjadi

konsentrasi sebenarnya (uncode) dan diperoleh titik optimum minimum untuk

faktor nisbah mol pati-butanol (X1) pada konsentrasi 1: 8,49 (mol) dan nisbah mol

pati-butanol (X1) pada konsentrasi 1: 4,66 (mol). Pada konsentrasi optimum

tersebut, validasi dilakukan untuk memperoleh respon tegangan antar muka air

dan xilena yang diinginkan sesuai dengan kondisi optimum pada model.

Validasi dilakukan berdasarkan pada titik optimum konsentrasi nisbah mol

pati-butanol (X1) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) pada model. Hasil

validasi nilai tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG yang

diproduksi pada kondisi optimum didapatkan sebesar 9,00 dynes/cm. Hasil

validasi ini telah mendekati nilai tegangan antar muka pada model sebesar 9,23

dynes/cm. Hal ini menunjukkan bahwa tegangan antar muka APG hasil validasi

telah sesuai dengan model.

17

16

15

14

13

12

11

10

Pengaruh dari satu faktor perlakuan terhadap nilai tegangan antar muka

pada faktor utama lain yang bernilai tetap disajikan pada empat gambar yang

berbeda, yaitu Gambar 15-18. Dari Gambar 15, diketahui bahwa pada konsentrasi

butanol rendah, peningkatan konsentrasi fatty alcohol berpengaruh terhadap

penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan

tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi fatty alcohol. Namun, ketika telah

mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi fatty alcohol perlahan akan

meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.

Gambar 15. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2) dengan Nisbah

Mol Pati-Butanol (X1) Rendah Terhadap Tegangan Antar Muka

Dari Gambar 16, diketahui bahwa pada konsentrasi fatty alcohol rendah,

peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar

muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan

peningkatan konsentrasi butanol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum,

peningkatan konsentrasi butanol perlahan akan meningkatkan tegangan antar

muka dengan kenaikan lebih landai.

Teg

an

ga

n A

nta

r M

uk

a (

dy

nes/

cm

)

17

16

15

14

13

12

11

10

Teg

angan

Anta

r M

uka

(dynes

/cm

)

Gambar 16. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dengan Nisbah Mol

Pati-Fatty Alcohol (X2) Rendah Terhadap Tegangan Antar Muka

Dari Gambar 17, diketahui bahwa pada konsentrasi butanol tinggi,

peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar

muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan

peningkatan konsentrasi fatty alcohol. Namun, ketika telah mencapai titik

minimum, peningkatan konsentrasi fatty alcohol perlahan akan meningkatkan

tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.

17

16

15

14

13

12

11

10

Teg

angan

Anta

r M

uka

(dynes

/cm

)

Gambar 17. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2) dengan Nisbah

Mol Pati-Butanol (X1) Tinggi Terhadap Tegangan Antar Muka

Dari Gambar 18, diketahui bahwa pada konsentrasi fatty alcohol tinggi,

peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar

muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan

peningkatan konsentrasi butanol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum,

peningkatan konsentrasi butanol perlahan akan meningkatkan tegangan antar

muka dengan kenaikan lebih landai.

17

16

15

14

13

12

11

10

Teg

ang

an A

nta

r M

uk

a (d

yn

es/c

m)

Gambar 18. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dengan Nisbah Mol

Pati-Fatty Alcohol (X2)Tinggi Terhadap Tegangan Antar Muka

4.3. PEMBANDINGAN KARAKTERISTIK APG YANG DIPRODUKSI

PADA KONDISI OPTIMUM DENGAN APG KOMERSIAL

Karakteristik APG yang diproduksi pada kondisi optimum dibandingkan

dengan APG komersial sebagai standar. Pengujian karakteistik APG yang

dilakukan adalah pH, tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan

emulsi, stabilitas busa, HLB dan analisis gugus fungsional dengan fourier

transform infrared spectroscopy (FTIR).

Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan

permukaan. Hal tersebut dilakukan dengan cara membentuk lapisan pelindung

yang menyelimuti globula fasa terdisfersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan

lebih mudah terdisfersi dalam sistem dan bersifat stabil (Fennema, 1985).

Kestabilan emulsi merupakan salah satu karakteristik yang penting untuk

menentukan sifat suatu surfaktan. Menurut Kamel (1991), emulsi yang stabil

mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga

proses itu tidak teramati pada tingkat waktu tertentu yang diinginkan. Dalam

penelitian ini, pengukuran kestabilan emulsi dilakukan dengan cara menambahkan

APG, air, dan xilena kemudian mencampurnya menggunakan alat vortex,

sehingga terbentuk suatu emulsi yang sempurna. Dalam metode ini, air berperan

sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Penambahan APG bertujuan

sebagai emulsifier antara air dan xilena. Kestabilan emulsi menunjukkan

kemampuan APG dalam membentuk emulsi antara air dan xilena.

Hasil pengukuran kestabilan emulsi air dan xilena dengan penambahan

APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 64 % (Tabel 4). Hal ini

menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum telah mampu

berperan sebagai emulsifier sehingga terbentuk suatu emulsi air dan xilena yang

stabil. Jika dibandingkan dengan APG komersial pada penambahan konsentrasi

dan waktu pengamatan yang sama, hasil pengukuran kestabilan emulsi air dan

xilena dengan penambahan APG komersial sebesar 61 %. Larutan APG yang

diproduksi pada kondisi optimum memiliki kestabilan emulsi yang lebih besar.

Tabel 4. Nilai Uji Kestabilan Emulsi Air dan Xilena

Surfaktan Kestabilan emulsi (%) Rata-rata (%)

APG yang diproduksi

pada kondisi optimum 65 64 64 64

APG komersial 61 62 61 62

APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki pH sebesar 7,98

diukur dengan pH meter (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang

terbentuk memiliki sifat basa sesuai dengan karakteristik APG yang umumnya

diinginkan memiliki pH 8-10. APG komersial memiliki pH 8,5, jika dibandingkan

dengan APG yang diproduksi pada kondisi optimum kedua APG tersebut

memiliki pH yang sama, yaitu basa. Sifat basa dari APG yang diproduksi pada

kondisi optimum ini diperoleh dari proses pembuatan APG dengan penambahan

NaOH pada tahap netralisasi dan pemucatan dengan tujuan agar senyawa APG

sebagai asetal akan lebih stabil dalam kondisi basa.

Tabel 5. Nilai Uji pH APG

Surfaktan pH Rata-rata

APG yang diproduksi

pada kondisi optimum

8,06 7,88 7,97

APG komersial 8,45 8,56 8,50

Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB dari surfaktan yang akan

digunakan. HLB (hydrophilic-lipophilic balance) merupakan ukuran afinitas

terhadap air dan minyak yang pertama kali dikemukakan oleh Griffin (Suryani et

al., 2000). Pengelompokkan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya

disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kisaran HLB Surfaktan dan Penggunaannya

Kisaran HLB Aplikasi

3-6 Emulsi w/o

7-9 Pembasahan

8-18 Emulsi o/w

13-15 Deterjen

15-18 Solibilizer

Sumber: Tadros (1992)

Pada penelitian ini, penentuan nilai HLB menggunakan metode bilangan

air (water number method) yaitu dengan cara membuat suatu kurva hubungan

antara nilai HLB dari bermacam-macam surfaktan yang telah diketahui nilai

HLB-nya dan air digunakan untuk titrasi (Lampiran 4). Surfaktan yang digunakan

untuk membentuk kurva dalam metode ini adalah asam oleat, cocoamide DEA,

dan polisorbat. Kurva yang diperoleh digunakan untuk interpolasi nilai HLB

surfaktan yang belum diketahui nilai HLB-nya (Gambar 19).

Gambar 19. Kurva standar HLB

Dengan metode bilangan air, nilai HLB APG yang diproduksi pada

kondisi optimum sebesar 13,8. Bila dibandingkan dengan APG komersial

memiliki nilai HLB sebesar 13,3. Kisaran nilai HLB APG sintesis telah sama

dengan nilai HLB komersial sebagai standar. Selain itu, hal ini ini menunjukkan

bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum merupakan jenis pengemulsi

O/W. Berdasarkan nilai HLB menunjukkan bahwa aplikasi APG salah satunya

adalah untuk deterjen.

Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang

terjadi di antara molekul dalam cairan. Apabila surfaktan ditambahkan ke suatu

cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan

permukaan dan antar muka cairan tersebut. Sebagian besar surfaktan, pada tingkat

0.1% akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mN m-1

(dynes cm-1

). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan

saling tertarik satu sama lain oleh gaya Van der Waals yang menggantikan ikatan

hidrogen air.

Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada

permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka

surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan

tegangan permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam

larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian

hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan

membentuk bulatan yang dikenal micelles. Konsentrasi surfaktan dimana micelles

pertama kali terbentuk disebut sebagai ’critical micelle concentration’ (CMC)

(Porter, 1991). Menurut Schueller dan Romanousky (1998), pada konsentrasi

surfaktan di bawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan

meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau

lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka

atau penurunannya sangat rendah.

Ketika ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dengan

konsentrasi rendah telah mampu menurunkan tegangan permukaan air dan CMC

dicapai pada konsentrasi 0,6 g/L (nilai tegangan permukaan 34,55 dynes/cm),

sedangkan APG komersial memiliki nilai CMC 0,6 g/L (nilai tegangan

permukaan 31,95 dynes/cm). APG yang diproduksi pada kondisi optimum

memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan air lebih besar bila

dibandingkan dengan penambahan APG komersial, tetapi ketika mendekati nilai

CMC tegangan permukaan air yang ditambahkan APG yang diproduksi pada

kondisi optimum memiliki tegangan permukaan yang lebih kecil (Gambar 20).

Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum

memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan lebih baik daripada APG

komersial setelah melalui CMC.

Gambar 20. Grafik Tegangan Permukaan Air dengan Penambahan APG yang

Diproduksi pada Kondisi Optimum dan APG Komersial

Pada penelitian ini, nilai tegangan permukaan air yang terukur sebesar 72

dynes/cm, sedangkan setelah ditambahkan APG, terjadi penurunan tegangan

permukaan air. Pada penambahan konsentrasi APG yang semakin meningkat,

menyebabkan peningkatan penurunan tegangan permukaan air, dengan kata lain

tegangan permukaan air semakin kecil. Setelah mencapai titik CMC, penambahan

APG tidak menyebabkan penurunan tegangan permukaan. Setelah melalui titik

CMC, penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dapat

menurunkan tegangan permukaan air sebesar 57 %, sedangkan APG komersial

sebesar 53 %. Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi

optimum memiliki kemampuan lebih baik jika dibandingkan dengan APG

komersial dalam menurunkan tegangan permukaan air.

Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian dimana dua fasa

saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan yaitu antar muka dimana satu

fasa kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka adalah gaya per

satuan panjang yang terjadi pada antar muka antara dua fasa cair yang tidak dapat

tercampur (Moecthar, 1989).

Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan

menurunkan tegangan permukaan antara dua fasa yang berbeda dalam larutan.

Pengukuran tegangan antar muka dengan metode Du Nouy digunakan untuk

mengetahui tegangan antar muka suatu zat yang berbeda kepolarannya dalam

suatu larutan yang ditambahkan surfaktan. Pada penelitian ini digunakan air

sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Hasil pengukuran tegangan

antar muka air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi

optimum dan APG komersial menunjukkan adanya penurunan tegangan antar

muka dengan bertambahnya konsentrasi APG yang ditambahkan hingga terbentuk

CMC (Gambar 21).

Ketika ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dengan

konsentrasi rendah telah mampu menurunkan tegangan antar muka dan nilai CMC

dicapai pada konsentrasi 0,9 g/L (nilai tegangan antar muka 9,75 dynes/cm),

sedangkan penambahan APG komersial memiliki nilai CMC 0,8 g/L (nilai

tegangan antar muka 10,5 dynes/cm). Walaupun nilai CMC APG yang diproduksi

pada kondisi optimum lebih tinggi, namun mampu menurunkan tegangan antar

muka lebih besar jika dibandingkan dengan APG komersial setelah CMC tercapai

(Gambar 21).

Gambar 21. Grafik Tegangan Antar Muka Air dan Xilena dengan Penambahan

APG yang Diproduksi pada Kondisi Optimum dan APG Komersial

Pada penelitian ini, nilai tegangan antar muka air dan xilena yang terukur

sebesar 38 dynes/cm. Setelah ditambahkan APG, terjadi penurunan tegangan antar

muka air dan xilena. Ketika CMC terbentuk, penambahan APG tidak lagi

menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Setelah air dan

xilena ditambahkan APG dan melalui titik CMC, penambahan APG yang

diproduksi pada kondisi optimum menghasilkan penurunkan tegangan antar muka

sebesar 76 %, sedangkan APG komersial sebesar 74 %. Hal ini menunjukkan

bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan

menurunkan tegangan antar muka lebih baik daripada APG komersial.

Tegangan antar muka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi

nilai tegangan antar muka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan

pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989). Hal ini sesuai dengan hasil

karakteristik APG yang diproduksi pada kondisi optimum dan APG komersial

pada pengujian tegangan permukaan dan teg angan antar muka yang dilakukan.

Kehadiran busa pada shampo atau cairan pencuci kemungkinan

memberikan pengaruh psikologi, sebagian orang menganggap bahwa jika shampo

tidak berbusa maka shampo tersebut tidak baik. Walaupun demikian, pada awal

penggunaannya pembentukan busa penting untuk menunjukkan bahwa surfaktan

mulai bekerja (Hargreaves, 2003).

Busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk dinding-

dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120o. Formasi tersebut

mirip dengan struktur sarang lebah. Dinding-dinding yang terbentuk dari cairan

ini memisahkan kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003;

Lynn, 1996). Pembentukan busa pada sebuah cairan disertai dengan perluasan

permukaan cairan-udara yang besar. Kestabilan cairan dalam pembentukan busa

erat hubungannya dengan stabilitas busa. Efektivitas dari surfaktan dalam

mempertahankan stabilitas busa karena kecenderungan berkumpul pada lapisan

antar muka kedua bahan (Swern,1979).

Surfaktan dapat menyebabkan terjadinya pembusaan (Hui, 1996).

Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging,

yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu (MPOB, 2001).

Dalam penelitian ini, uji stabilitas busa dilakukan dengan cara menambahkan

APG ke dalam air kemudian dikocok menggunakan vortex. Selanjutnya diamati

busa yang terbentuk, dan diukur volume busa yang tersisa setelah 1 jam. Volume

sisa busa akhir dibandingkan dengan volume busa awal yang terbentuk dan

dihitung sebagai stabilitas busa.

Hasil uji stabilitas busa menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada

kondisi optimum memiliki kemampuan membentuk busa. Busa yang dibentuk

berwarna putih dan cenderung lembut. Stabilitas busa larutan APG yang

diproduksi pada kondisi optimum sebesar 77 %, sedangkan APG komersial

sebesar 87 % (Tabel 7). Hal ini enunjukkan bahwa APG komersial memiliki

kemampuan mempertahankan busa lebih baik. Busa yang dihasilkan harus stabil

agar bertahan lebih lama selama proses pencucian (MPOB, 2001).

Larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum membentuk busa

secara cepat ketika dikocok. Hal ini menunjukkan bahwa molekul surfaktan mulai

bekerja mengikat udara dan membentuk sistem emulsi dengan udara sebagai fasa

terdispersi dan air sebagai medium pendispersi. Menurut Hui (1996), dalam

pembusaan surfaktan akan terkonsentrasi pada permukaan antara air dan udara,

dimana gugus hidrofobik berikatan dengan udara dan gugus hidrofilik akan

berikatan dengan air.

Tabel 7. Nilai Uji Stabilitas Busa

Surfaktan Stabilitas busa (%) Rata-rata (%)

APG yang diproduksi pada

kondisi optimum

78 76 77

APG komersial 86 88 87

Pada spektrofotometri fourier transform infrared (FTIR), spektrum infra

merah terletak pada daerah dengan panjang gelombang dari 0,78 sampai 1000 µm

atau bilangan gelombang dari 12.800 sampai 1 cm-1

. Aplikasi teknik spektroskopi

infra merah sangat luas, baik untuk tujuan analisis kuantitatif maupun kualitatif.

Untuk analisis kualitatif dan kuantitatif maka pola spektrum FTIR suatu senyawa

perlu dilakukan analisis referensi sebagai pembanding. Instrumentasi spektrum

infra merah dibagi ke dalam tiga jenis radiasi, yaitu: infra merah dekat (bilangan

gelombang 1.280 – 4.000 cm-1

), infra merah pertengahan (bilangan gelombang

4000 - 200 cm-1

), dan infra merah jauh (bilangan gelombang 200 - 10 cm-1

) (Nur

et al., 1989).

Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui adanya gugus fungsi di

dalam suatu senyawa. APG yang diproduksi pada kondisi optimum hasil

penelitian dibandingkan dengan APG komersial yang memiliki gugus-gugus

fungsi pada senyawanya. Gugus fungsi APG komersial dijadikan acuan dan

pembanding adanya gugus-gugus yang ada dalam APG yang diproduksi pada

kondisi optimum untuk memastikan telah terjadi sintesis senyawa alkyl

polyglikosides. Menurut Harborne (1996), dengan membandingkan spektrum infra

merah dari dua senyawa yang diperkirakan identik maka seseorang dapat

menyatakan apakah kedua senyawa tersebut identik atau tidak. Pelacakan tersebut

lazim disebut dengan bentuk sidik jari (finger print) dari dua spektrum infra

merah. Jika puncak spektrum infra merah kedua senyawa pada bilangan

gelombang tertentu sama maka dalam banyak hal kedua senyawa tersebut adalah

identik.

Hasil analisis FTIR didapatkan pita serapan yang hampir sama antara

APG komersial dan APG hasil penelitian, ditemukan beberapa pita serapan gugus

kimia pada rentang bilangan gelombang yang sama. Dengan acuan tabel pita

serapan pada Sukkary et al. (2007), gugus eter (C-O-C) sebagai komponen gugus

utama pada APG telah tersintesis yaitu pada bilangan gelombang 1.120-1.170 cm-

1. Selain itu komponen lain yang ada dalam APG berupa gugus O-H terbentuk

pada bilangan gelombang 3.200-3.400 cm-1

, gugus fungsi CH2 dan gugus fungsi

CH3 ditunjukkan pada Gambar 22 dan Gambar 23.

Gambar 22. Hasil analisis FTIR APG yang diproduksi pada kondisi optimum

Gambar 23. Hasil analisis FTIR APG komersial sebagai standar