KARAKTERISTIK SURFAKTAN PADA PROSES PEROLEHAN …
Transcript of KARAKTERISTIK SURFAKTAN PADA PROSES PEROLEHAN …
KARAKTERISTIK SURFAKTAN
PADA PROSES PEROLEHAN MINYAK DARI AIR FORMASI
SKRIPSI
ISTI FANYA SAKINAH
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1440 H
KARAKTERISTIK SURFAKTAN
PADA PROSES PEROLEHAN MINYAK DARI AIR FORMASI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
Isti Fanya Sakinah
NIM. 11140960000008
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1440 H
ii
ABSTRAK
ISTI FANYA SAKINAH. Karakteristik Surfaktan pada Proses Perolehan
Minyak dari Air Formasi. Dibimbing oleh HENDRAWATI dan SRI MUJIATI
Penurunan produksi minyak bumi tiap tahunnya menjadi masalah yang
sangat serius karena tidak sebanding dengan kenaikan konsumsi yang secara
signifikan mengalami peningkatan. Upaya untuk menanggulangi turunnya
produksi minyak bumi, telah dikembangkan teknologi pengurasan tahap lanjut
yaitu EOR (Enhanced Oil Recovery). Salah satu dari beberapa teknologi EOR
yaitu Chemical Flooding (injeksi kimia) dengan menggunakan surfaktan.
Pengunaan surfaktan ini dimaksudkan untuk menurunkan tegangan antar-muka
terhadap IFT (Interfacial Tension) dan peningkatan perolehan minyak. Penelitian
ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh surfaktan terhadap peningkatan
perolehan minyak dan menentukan surfaktan terbaik dari beberapa sampel
surfaktan. Seleksi surfaktan dilakukan terhadap surfaktan S98 dan S116 dengan
crude oil C1 dan C2. Seleksi surfaktan yang terbaik menggunakan beberapa uji
parameter yaitu compatibility, themal stability, phase behavior, dan pengukuran
IFT (Interfacial Tension). Perolehan % recovery crude oil C1 adalah 13,8957%
dan crude oil C2 adalah 1,3073%. Tegangan antar-muka terhadap nilai IFT dari
surfaktan S116 dengan crude oil C1 dan crude oil C2 pada konsentrasi 1% sesuai
dengan literatur mencapai 10-3
dyne/cm yang artinya sangat baik.
Kata kunci : Enhanced Oil Recovery, Surfaktan, Interfacial Tension, Chemical Flooding
iii
ABSTRACT
ISTI FANYA SAKINAH. Characteristics of Surfactants in the Oil Process from
the Formation Water Advisor by HENDRAWATI and SRI MUJIATI
The decline in oil production each year is a very serious problem because
it is not comparable to the increase in consumption which has significantly
increased. Efforts to tackle the decline in petroleum production, advanced
dewatering technology has been developed, namely EOR (Enhanced Oil
Recovery). One of several EOR technologies is Chemical Flooding (chemical
injection) using surfactants. The use of this surfactant is intended to reduce the
interface tension of IFT (Interfacial Tension) and increase oil recovery. This study
aims to study the effect of surfactants on increasing oil recovery and selecting the
best surfactants from several surfactant samples. Surfactant selection was carried
out on S98 and S116 surfactants with C1 and C2 crude oil. The best surfactant
selection uses several parameter tests namely Compatibility, Themal Stability,
phase behavior, and IFT (Interfacial Tension). Obtaining % recovery of crude oil
C1 is 13.8957% and crude oil C2 is 1.3073%. Interface voltage on the IFT value
of S116 surfactant with crude oil C1 and crude oil C2 at a concentration of 1% is
in accordance with the literature reaching 10-3
dyne/cm which means very good.
Keywords: Enhanced Oil Recovery, Surfactant, Interfacial Tension, Chemical Flooding
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahi robbil alamin, puji syukur penulis panjatkan pada Allah
SWT karena berkat rahmat, hidayah serta inayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya atas tauladannya
sehingga kami selaku umatnya dapat terus melanjutkan perjuangannya dalam
menegakkan syiar islam.
Penyusunan skripsi berjudul “Karakteristik Surfaktan pada Proses
Perolehan Minyak dari Air Formasi” disusun sebagai persyaratan
melaksanakan penelitian tugas akhir di Program Studi Kimia Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyusunan skripsi selesai dengan
bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada :
1. Dr. Hendrawati M. Si selaku pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan, waktu serta bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
2. Ir. Sri Mujiati M. Si selaku pembimbing II yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, pengarahan, waktu serta bimbingannya kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
x
3. Isalmi Aziz, MT dan Dr. Siti Nurbayti, M. Si selaku dosen penguji I dan
penguji II yang telah bersedia memberikan masukkan terhadap penyelesaian
skripsi ini;
4. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
5. Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
6. Nurhasni, M. Si selaku dosen penguji seminar proposal dan seminar hasil
yang telah bersedia memberikan masukkan terhadap penyelesaian skripsi ini;
7. Seluruh dosen Program Studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama
mengikuti perkuliahan;
8. Orang tua penulis serta saudara yang penulis cintai dan sayangi serta
senantiasa memberikan dukungan moril maupun materil serta tiada hentinya
memanjatkan do’a kepada Allah SWT demi keberhasilan penulis;
9. Ka vivi dan Ka Nita selaku pembimbing lapangan yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan penelitian dan menerima keluh kesah penulis;
10. Mba Eva, Mba weny, Mas Acip, Mas Ipul, Mas Reka, Mas Nanda, Mas Isa,
Mas fuad, Mas Panji, Mas Ryan dan senior – senior lainnya di Pertamina RTC
yang telah membantu penulis dalam penelitian;
11. Chinta Permata Sari dan Muhammad Imad Iltidzam selaku teman
seperjuangan dalam riset pada laboratorium yang selalu membantu dan
memberikan semangat;
xi
12. Alfinatul Jannah, Sinta Dara Pertiwi, Irfan Nashiruddin, Muhammad Yasir
Hijri, Gita Novi Ariani, Silvia Fidyati, Chandra Sandio Poernomo Putra,
Muhammad Amora Fany Idris dan Yannuar Wibi Sudarto yang telah
memberikan semangat dan membantu penulis;
13. Semua pihak serta teman-teman Kimia 2014 dan Dapur Seni yang telah
membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membaca
dan menjadi salah satu jembatan ilmu dikemudian hari.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ciputat, Juli 2019
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3 Hipotesis ................................................................................................ 5
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7
2.1 Peningkatan Produksi Minyak (Enhanced Oil Recovery).................... 7
2.2 Crude Oil ............................................................................................. 10
2.3 Air Formasi ......................................................................................... 11
2.4 Surfaktan ............................................................................................. 11
2.4.1 Struktur Surfaktan dan Stabilitas Emulsi ..................................... 15
2.4.2 Surfaktan dalam Industri Perminyakan ........................................ 16
2.4.3 Screening Test Surfaktan Sebelum Proses Injeksi Kimia ............... 18
2.5 Parameter Uji ....................................................................................... 19
2.5.1 Uji Kompatibilitas ............................................................................. 19
2.5.2 Uji Stabilitas Termal ......................................................................... 20
2.5.3 Uji Kelakuan Fasa ............................................................................. 20
xiii
2.5.4 Pengukuran IFT ................................................................................. 22
2.5.5 Uji Imbibisi ........................................................................................ 22
2.6 Fourier Transform Infra-Red (FT-IR) / Spektroskopi Infra Merah ....... 22
2.7 Spining Drop Tensionmeter ................................................................. 24
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 26
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 26
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 26
3.3 Bagan Alir Penelitian ........................................................................... 27
3.4 Prosedur Penelitian .............................................................................. 29
3.4.1 Preparasi Sampel Crude Oil.............................................................. 29
3.4.2 Preparasi air formasi .......................................................................... 29
3.4.3 Seleksi surfaktan ................................................................................ 29
3.4.4 Karakterisasi Surfaktan dengan FTIR .............................................. 32
3.4.5 Uji fraksi crude oil dengan Gas Chromatography-SimDis ............. 32
3.4.7 Perolehan Peningkatan Minyak ........................................................ 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 35
4.1 Hasil Uji Fraksi crude oil dengan GC-SimDis (Simulasi Distilasi) ....... 35
4.2 Seleksi Hasil Uji Surfaktan C1 ............................................................. 39
4.2.1 Hasil Uji kompatibilitas .................................................................... 39
4.2.2 Hasil Uji Nilai IFT (Interfacial Tension) ......................................... 40
4.2.3 Hasil Uji Termal ................................................................................ 41
4.2.4 Hasil Uji Kelakuan Fasa.................................................................... 42
4.2.5 Hasil Uji Imbibisi .............................................................................. 44
4.3 Seleksi Hasil Uji Surfaktan C2 ............................................................. 45
4.3.1 Hasil Uji Kompatibilitas ................................................................... 45
4.3.2 Hasil Uji Nilai IFT (Interfacial Tension) ......................................... 46
xiv
4.3.3 Hasil Uji Termal ................................................................................ 48
4.3.4 Hasil Uji Kelakuan Fasa.................................................................... 48
4.3.5 Hasil Uji Imbibisi .............................................................................. 51
4.4 Hasil Uji Gugus Fungsi dengan FTIR .................................................. 52
4.5 Hasil Seleksi Surfaktan Berdasarkan 5 Parameter Uji........................... 54
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 56
5.1 Simpulan ............................................................................................. 56
5.2 Saran ................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 57
LAMPIRAN ..................................................................................................... 61
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Molekul Surfaktan ............................................................................ 13
Gambar 2. Bentuk Misel .................................................................................... 14
Gambar 3. Kelakuan Fasa berdasarkan sistem Winsor ........................................ 21
Gambar 4. Skema Kerja Alat FT-IR ................................................................... 23
Gambar 5. Elongated droplet minyak dalam tabung berisi larutan surfaktan yang
diputar. ............................................................................................ 24
Gambar 6. Bagan Penelitian Seleksi Surfaktan ................................................... 27
Gambar 7. Bagan Penelitian Perolehan Minyak .................................................. 28
Gambar 8. Hasil analisa sampel crude oil C1 dengan menggunakan GC
Simdis Kromatogram ....................................................................... 37
Gambar 9. Hasil analisa sampel crude oil C1 dengan menggunakan GC Simdis
kurva distribusi boiling point ........................................................... 37
Gambar 10. Hasil analisa sampel crude oil C2 dengan menggunakan GC Simdisk
Kromatogram................................................................................... 38
Gambar 11. Hasil analisa sampel crude oil C2 dengan menggunakan GC Simdis
kurva distribusi boiling point ........................................................... 38
Gambar 12. Spektra FT-IR S116 ........................................................................ 53
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Distribusi titik didih fraksi sampel crude oil C1 dan C2 ........................ 35
Tabel 2. Hasil uji kompatibilitas C1 ................................................................... 39
Tabel 3. Pengukuran Nilai IFT ........................................................................... 40
Tabel 4. Data Termal Surfaktan ......................................................................... 42
Tabel 5. Uji Phase Behavior .............................................................................. 43
Tabel 6. Hasil Recovery Oil C1 .......................................................................... 44
Tabel 7. Hasil pengamatan uji kompatibilitas ..................................................... 46
Tabel 8. Nilai IFT Untuk Konsentrasi Surfaktan 0,5% dan 1% ........................... 47
Tabel 9. Hasil Analisis Termal ........................................................................... 48
Tabel 10. Uji Phase Behavior ............................................................................ 49
Tabel 11. Hasil Recovery Oil C2 ........................................................................ 51
Tabel 12. Perkiraan Gugus FTIR ........................................................................ 53
Tabel 13. Perbandingan Hasil Seleksi Surfaktan Pada C1 dan C2 ....................... 55
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alat instrumen yang digunakan ...................................................... 61
Lampiran 2. Crude Oil ....................................................................................... 61
Lampiran 3. Air Formasi .................................................................................... 62
Lampiran 4. Surfaktan........................................................................................ 62
Lampiran 5. Proses penyaringan air formasi ....................................................... 63
Lampiran 6. Batuan sintetik ............................................................................... 63
Lampiran 7. Pengamatan uji kompatibiltas ......................................................... 64
Lampiran 8. Pengamatan uji termal .................................................................... 65
Lampiran 9. Pengamatan uji imbibisi ................................................................. 66
Lampiran 10. Pengamatan Uji Kelakuan Fasa .................................................... 66
Lampiran 11. Hasil uji imbibisi C1 .................................................................... 67
Lampiran 12. Hasil uji imbibisi C2 .................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Minyak bumi merupakan bahan bakar yang dihasilkan oleh alam dari fosil-
fosil yang terpendam berjuta-juta tahun. Fosil adalah sisa tulang-belulang
binatang atau sisa tumbuhan zaman purba yang telah membatu dan tertanam di
bawah lapisan tanah. Minyak bumi (petroleum) adalah campuran yang kompleks,
terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen
yang mengandung sulfur, oksigen, dan nitrogen dan sangat sedikit komponen
yang mengandung logam (Seprima, 2016).
Minyak bumi sangat dibutuhkan sebagai sumber kehidupan manusia.
Minyak bumi didapatkan dari dasar sumur minyak yang hasilnya bermanfaat bagi
manusia. Sebagaimana Allah SWT telah menciptakan minyak bumi pada zaman
Nabi Sulaiman. Hal ini telah disinggung dalam surat Saba’ ayat 12. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat Saba’ [34] ayat 12 yang berbunyi:
Artinya: “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang
perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya
di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan
tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di
bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di
antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang
apinya menyala-nyala”. (Q.S. Saba’ : 12).
2
Menurut Ali (2007), penafsiran kata “Al-Qithr” pada kedua tulisan
tersebut jelas, bahwa “Al-Qithr” lebih tepat diartikan sebagai “ter/tar/ tir” yang
merupakan “minyak mentah”. Dalam Al Qur’an Surat Saba’ ayat 12 berbunyi “wa
asalnaa lahuu ‘ainal qithr”. Jika kata “qithr” di sini diterjemahkan sebagai
“ter/tir” maka itu merupakan “minyak mentah” yang tidak memerlukan tafsiran
tambahan dengan kata “yang meleleh” seperti yang terdapat pada kitab-kitab tafsir
dan Terjemah Al Qur’an. Jadi, dalam al-Quran sudah dibahas tentang minyak
bumi di dunia ini.
Industri minyak bumi sudah berjalan lebih dari 100 tahun dan produksi
minyak bumi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sedangkan konsumsi
minyak selalu mengalami kenaikan (Agnesia, 2017). Hal ini menyebabkan dunia
akan mengalami krisis energi termasuk Indonesia. Krisis energi tersebut akan
menyebabkan kenaikan harga minyak bumi menjadi lebih mahal. Turunnya
produksi minyak bumi di Indonesia disebabkan oleh penurunan jumlah cadangan
minyak yang ditemukan. Salah satunya adalah kurangnya kemampuan untuk
mengolah suatu lapangan minyak, kurangnya pemerintah secara finansial untuk
mengembangkan lapangan baru, kurangnya ketersediaan teknologi yang
diperlukan untuk mengembangkan lapangan, dan sumber daya manusia (SDM)
dalam mengolah dan mengembangkan produksi tersebut, serta industri nasional
yang masih menggunakan teknologi konvesional (Ikha, 2011).
Teknologi konvensional dalam bidang pengeboran minyak di lapangan
adalah teknologi sederhana. Teknologi tersebut digunakan oleh industri minyak
bumi, minyak bumi tersebut hanya mampu memproduksi maksimal 45% dari total
cadangan minyak bumi yang ada. Sedangkan, sekitar 55% minyak bumi yang
3
tertinggal masih terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksi
dengan teknologi konvensional, sehingga perlu diterapkan peningkatan perolehan
minyak bumi tahap lanjut atau lebih dikenal dengan istilah Enhanched Oil
Recovery (EOR) (Ko et al, 2014).
Peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery)
merupakan usaha terkini untuk meningkatkan produksi minyak pada lapangan tua
yang telah mengalami penurunan produksi yang signifikan. Upaya menangulangi
turunnya produksi minyak, telah dikembangkan teknologi pengurasan tahap lanjut
(EOR) pada sumur minyak tua yang masih mempunyai sisa minyak cukup banyak
di dalam reservoir. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(2016), terdapat sekitar 13 ribu sisa sumur minyak bumi yang masih dapat diolah
lebih lanjut. Dengan mengolah sumur minyak tua yang ada, diharapkan dapat
menambah produksi minyak bumi dengan tidak melakukan pengeboran lagi
sehingga lebih praktis dan ekonomis.
Terdapat beberapa metode EOR, yaitu thermal recovery, gas injection dan
chemical flooding. Salah satu metode EOR yang akan dilakukan pada penelitian
ini adalah chemical flooding ataupun injeksi kimia. Salah satu bahan kimia yang
digunakan untuk injeksi kimia adalah surfaktan. Penggunaan surfaktan dalam
teknologi injeksi kimia ini dimaksudkan untuk menurunkan tengangan antar-muka
antara minyak dan air serta membawa minyak yang tidak dapat terbawa oleh air
(Baihaqi, 2015).
Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak
yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat
aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air
4
dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka maka tekanan kapiler
pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat dikurangi sehingga
minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan dapat didesak dan diproduksi.
Agar dapat menguras minyak yang masih tersisa secara optimal maka diperlukan
jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air formasi dan reservoir tersebut
(Rivai et al, 2011). Tegangan antarmuka yang baik untuk proses EOR ini berkisar
antara 10-2
-10-3
dyne/cm (Ultralow Interfacial Tension). Sistem EOR
memungkinkan surfaktan dapat digunakan dalam beberapa formulasi untuk
meningkatkan produksi minyak bumi yaitu dengan kombinasi alkali, pelarut,
ataupun polimer. Sampai saat ini, surfaktan yang banyak digunakan oleh industri
perminyakan di Indonesia dalam proses chemical flooding adalah petroleum
sulfonat. Namun, surfaktan tersebut harganya relatif mahal dan tidak terbarukan.
Sedangkan untuk formulasi surfaktan lainnya untuk mencapai ultralow IFT masih
belum optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Campbel (2009), yaitu formulasi surfaktan
dilakukan dengan mencampurkan surfaktan primer (surfaktan utama), surfaktan
sekunder (surfaktan kedua atau surfaktan pembantu), pelarut, sedangkan
passivator dan polimer digunakan pada saat core flooding. Formula surfaktan
hasil penelitian ini dapat meningkatkan produksi minyak 85 %. (Campbel et al,
2009). Penelitian lain menyebutkan bahwa dengan mencampurkan surfaktan
anionik kuat dan anionik lemah secara bersama – sama ditambahkan pada solvent,
co-surfactant, polimer dan alkali akan memperoleh surfaktan yanng lebih larut
dalam larutan brine dengan total padatan terlarut atau TDS (Total Dissolve Solid)
yang tinggi serta mengandung kation divalen (Ca dan Mg). Hasil formulasi ini
5
dapat memenuhi kriteria parameter Screening test surfaktar EOR, yaitu nilai Inter
Facial Tension (IFT) mencapai 10-3
dyne/cm (Berger et al, 2007).
Pada penelitian ini akan dilakukan pengaruh konsentrasi formulasi
surfaktan terhadap perolehan crude oil dari perbandingan 2 lapangan minyak yang
berbeda untuk memperoleh nilai tegangan antar muka (IFT) antara air formasi dan
minyak pada pengurasan minyak tahap lanjut dari C1 pada suhu 50 dan C2 pada
suhu 40 yang dilakukan melalui uji kompatibilitas, kelakuan fasa, stabilitas
termal, nilai IFT, dan imbibisi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaruh surfaktan terhadap perolehan minyak pada EOR?
2. Diantara surfaktan S98 dan S116, manakah surfaktan terbaik
berdasarkan kriteria parameter uji (Kompatibilitas, Stabilitas Termal,
Kelakuan Fasa, Nilai IFT, dan Imbibisi) ?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penambahan surfaktan mempengaruhi perolehan minyak terbanyak.
2. Surfaktan optimum yang dapat digunakan untuk chemical flooding
antara lain surfaktan kompatibel, stabil, menghasilkan emulsi fasa
tengah, dan menghasilkan nilai IFT terendah.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan beberapa surfaktan terhadap peningkatan perolehan pada
minyak.
6
2. Menentukan surfaktan terbaik dari beberapa surfaktan untuk chemical
flooding berdasarkan kriteria parameter uji (Kompatibilitas, Stabilitas
Termal, Kelakuan Fasa, Nilai IFT, dan Imbibisi).
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
khususnya pengembangan peningkatan kualitas minyak bumi dan aplikasinya
sebagai surfaktan chemical flooding EOR.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peningkatan Produksi Minyak (Enhanced Oil Recovery)
Enhanced Oil Recovery (EOR) merupakan teknik yang digunakan untuk
meningkatkan produksi minyak pada suatu sumur dengan cara mengangkat
minyak yang sebelumnya tidak dapat diproduksi lagi. Berdasarkan proses
produksinya, perolehan minyak bumi pada reservoir dapat dibagi menjadi tiga
tahap yaitu primary revovery, secondary recovery, dan tertiery recovery. Teknik
EOR dilakukan setelah tahap primer dan sekunder dikerjakan. Primary recovery
merupakan cara memproduksi minyak menggunakan tenaga dorong alami yang
berasal dari tekanan sumur dan menggunakan pompa atau dengan gas lift (Naqvy,
2012).
Setelah energi alamiah habis, produksi minyak menurun maka dilakukan
teknologi produksi skunder, biasa disebut dengan secondary production dengan
menginjeksikan air. Teknologi injeksi air cukup mahal, jika selisih keekonomian
antara hasil produksi minyak dan injeksi sedikit, maka dilakukan teknologi
produksi tersier, biasa disebut tertiary production. Pada teknologi ini
menggunakan injeksi panas dan kimia, inilah yang baru disebut dengan Enhanced
Oil Recovery (EOR). Enhanced Oil Recovery (EOR) umumnya digunakan untuk
meningkatkan produksi minyak setelah menggunakan energi alamiah reservoir
(recovery primer). Total produksi minyak dengan menggunakan teknologi primer
dan skunder kurang lebih mampu mengambil 40% minyak yang terkandung.
Diharapkan dengan menggunakan teknologi EOR, dapat meningkatkan produksi
minyak (Donaldson et al. 1985).
8
Peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut/enhanced oil recovery
merupakan usaha terkini untuk meningkatkan produksi minyak pada sumur
lapangan tua yang telah mengalami penurunan produksi yang signifikan, dimana
water cut sudah sangat tinggi mendekati angka 99% di beberapa lapangan. Pada
kondisi ini, harus dilakukan implementasi teknologi pengurasan tahap lanjut agar
dapat menaikkan produksi minyak. Mengingat sebagian besar lapangan minyak di
Indonesia telah mengalami penurunan produksi atau pada tahap akhir dari primary
dan secondary recovery, sedangkan untuk menemukan lapangan-lapangan baru
sangat sulit karena daerah yang belum dieksplorasi kebanyakan berada di laut
dalam yang beresiko tinggi. Oleh karena itu, pengembangan teknologi pengurasan
tahap lanjut merupakan keharusan (Eni et al. 2010).
Menurut Hirasaki et al. (2003) peningkatan perolehan minyak bumi (oil
recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam air
injeksi. Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan
surfaktan flooding. Karakteristik air/fluida yang diinjeksikan ke dalam sumur
minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada
di dalam cekungan minyak bumi. Demikan pula dengan penginjeksian surfaktan
(umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah
ada di dalam reservoir minyak bumi.
Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar
ke dalam minyak dan air dan tegangan antarmuka yang rendah meningkatkan
capillary number. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi
immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang
efektif. Technology Assesment Board (1978) menyatakan bahwa surfactant
9
flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai
potensi peningkatan recovery minyak.
Pemilihan surfaktan merupakan proses yang penting dalam mempengaruhi
keberhasilan enhanced oil recovery. Sebelum proses implementasi, dibutuhkan
penelitian laboratorium yang intensif untuk mendapatkan surfaktan yang cocok
pada reservoir. Selain itu, parameter lain seperti konsentrasi optimal, laju injeksi,
dan kelakuan surfaktan pada kondisi reservoir, harus telah diuji dengan baik.
Beberapa percobaan yang dapat dilakukan dalam memilih surfaktan di antaranya
adalah: uji kelarutan minyak, efek dari elektrolit, uji densitas dan uji viskositas
larutan surfaktan, identifikasi formula optimal surfaktan-cosolvent, dan
identifikasi formulasi optimal untuk percobaan core flood (Lake 1989).
Ayirala (2002) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi interaksi
antara surfaktan dengan permukaan pori batuan yang berpengaruh terhadap
wettability/sifat kebasahan adalah: struktur surfaktan, konsentrasi surfaktan,
komposisi permukaan pori, stabilitas thermal surfaktan, co-surfaktan, elektrolit,
pH dan temperatur, porositas dan permeabilitas batuan serta karakteristik
reservoir. Adsorpsi surfaktan pada antar muka padat-cair merupakan kondisi yang
tidak diperlukan tetapi dibutuhkan untuk perubahan kebasahan/wettability.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa wettability berubah dari oil-wet ke
water-wet karena adsorpsi surfaktan.
Injeksi air merupakan salah satu metode peningkatan perolehan minyak
yang banyak digunakan di industri perminyakan. Hal ini karena air mudah
diperoleh, murah dan memiliki mobilitas yang cukup rendah sehingga diharapkan
10
pendesakannya baik. Sedangkan yang menggunakan bahan kimia yang dicampur
dengan air dilakukan pada tertiary recovery/EOR (Wahyono, 2009).
2.2 Crude Oil
Crude oil biasa disebut sebagai minyak mentah atau minyak bumi yang
merupakan cairan kental, berwarna coklat gelap, atau kehijauan, mudah terbakar,
dan berada di lapisan atas pada beberapa area kerak bumi. Crude oil terdiri dari
campuran komplek beberapa macam hidrokarbon dan senyawa organik lainnya.
Kandungan senyawa hidrokarbon dalam campuran bervariasi mulai dari 50 %
sampai lebih dari 97 % yang terdiri dari alkana, sikloalkana dan beberapa jenis
senyawa aromatik. Komponen lainnya adalah senyawa nitrogen, oksigen, sulfur,
dan logam-logam terikut lainnya seperti besi, nikel, tembaga dan vanadium.
(Norman, 2001). Senyawa selain hidrokarbon yang terdapat dalam crude oil
adalah sulfur, nitrogen, oksigen, trace metal (Ni, Fe, Hg, As, Ag, Al, Ca, Cd, Cu,
K, Mg, Mn, Na, Pb, Sn, dan Si), kaolin, garam, (NaCl, MgCl2, CaCl2, KCl,
MgCl2-6H20) dan CO2 (Fernando, 2012).
Senyawa hidrokarbon dalam crude oil terbagi atas empat kelompok, yaitu
saturated, aromatik, resin, dan asphaltene (SARA) (Auflem 2002, dalam
Fernando 2012). Pemisahan senyawa ini dilakukan berdasarkan kelarutan dalam
berbagai pelarut organik. Kelompok senyawa saturated (hidrokarbon jenuh)
merupakan kelompok senyawa hidrokarbon parafinik berupa alkana rantai lurus
atau bercabang dan alkana siklis. Fraksi ini merupakan fraksi terbesar dalam
crude oil, contohnya metana, propana, n-heptana, siklopentana, dan wax.
Kelompok senyawa aromatis merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki
cincin aromatis atau cincin benzen, fraksi ini dalam crude oil relatif berada dalam
11
jumlah kecil namun terkandung di dalam semua jenis crude oil seperti benzena
dan naftalena.
Pada penelitian ini mengunakan crude oil C1 pada suhu reservoir 50 dan
crude oil C2 pada suhu reservoir . Suhu – suhu pada crude oil ini sudah
ketetapan reservoirnya. Dapat dilihat dilampiran 2 hal 60 untuk melihat wujud
crude oil.
2.3 Air Formasi
Air formasi merupakan air yang terakumulasi dalam suatu reservoir
bersama minyak mentah hasil pengeboran banyak mengandung garam-garam. Air
formasi biasanya disebut dengan oil field water atau connate water atau intertial
water. Air formasi selalu ditemukan di dalam reservoir yang menempati sebagian
minimal 10 % dari keseluruhan pori. Di dalam air formasi terlarut sejumlah ion
antara lain kation (Na+, Ca
2+, Mg
2+, Ba
2+, Sr
2+, dan Fe
3+) dan anion ( Cl
-, HCO
3-,
SO42-
, CO32-
). Kandungan garam dalam air formasi dapat mempengaruhi
interfacial tension minyak dan air sehingga akan mempengaruhi juga keefektifan
pelepasan minyak dari batuan dengan teknik chemical flooding (baihaqi, 2015).
Dapat dilihat dilampiran 3 hal 62 untuk melihat wujud air formasi.
2.4 Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif
permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air
karena strukturnya yang amphifilik, yaitu adanya dua gugus yang memiliki derajat
polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Gugus hidrofilik bersifat mudah
larut dalam air, sedangkan gugus hidrofobik bersifat mudah larut dalam minyak
(Pratomo, 2005).
12
Menurut Warren S. Perkins (1998), istilah surfactant berasal dari kata
surface active agent (permukaan agen aktif). Surfaktan sangat banyak digunakan
karena kemampuannya dalam mempengaruhi sifat permukaan (surface) dan antar
muka (interface). Interface adalah bagian atau lapisan tempat dua fasa yang tidak
sama saling bertemu/kontak (Perkins, 1998). Surfaktan mempunyai gugus
hidrofobik (hydrophobic/ lyophobic) dan hidrofilik (hydrophilic/ lyophilic).
Bagian “kepala” mengacu pada pelarut dari hidrofilik, dan bagian “ekor” mengacu
pada grup hidrofobik.
Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphifilik, berarti surfaktan
terdiri dari hidrokarbon rantai (kelompok hidrofobik, "ekor") dan kelompok
hidrofilik ("kepala"). Oleh karena itu, surfaktan larut dalam pelarut organik dan
air. Surfaktan mengadsorpsi atau berkonsentrasi di permukaan atau antarmuka
fluida/cairan untuk mengubah sifat permukaan secara signifikan, khususnya untuk
mengurangi tegangan permukaan atau tegangan antar muka (IFT) (Sheng, 2011).
Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktivitas surfaktan diperoleh
karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar
yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan
minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Sifat rangkap ini menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi
pada antarmuka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan
tunggal dengan gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon
berada pada fase minyak. Dapat dilihat pada gambar 1.
13
Surfaktan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan
permukaan (surface tension) suatu fasa dan menurunkan tegangan antarmuka
(interfacial tension) antar dua fasa yang berbeda derajat polaritasnya.
Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu
molekul, menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar muka antara
fasa yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogennya seperti minyak/air
atau udara/air. Pembentukan film pada antar muka ini mampu menurunkan
energi antar muka dan menyebabkan sifat-sifat khas pada molekul surfaktan
(Georgiou et al, dalam Hambali, 1992).
Molekul agregat surfaktan dalam air membentuk misel (micell), yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Misel terdiri atas daerah interior hidrofobik, yaitu
tempat ekor hidrofobik saling bergabung. Pada daerah ini, ekor hidrofobik
dikelilingi oleh hidrofilik, yaitu tempat kepala molekul surfaktan berinteraksi
dengan air. Konsentrasi ketika terbentuk misel disebut konsentrasi kritis misel
(CMC). Tegangan permukaan air mengalami penurunan, dan detergensi
campuran meningkat secara drastis di daerah CMC itu (Perkins, 1998).
Gambar 1. Molekul Surfaktan
(Green and Willhite, 1998)
14
Nilai CMC surfaktan pada industri perminyakan sangat penting.
Konsentrasi surfaktan yang digunakan harus lebih tinggi dari CMC, karena
berpengaruh pada penurunan tegangan antar muka. Jika konsentrasi diatas
nilai CMC, maka adsorbsi surfaktan ke permukaan batuan meningkat sangat
kecil. CMC mewakili konsentrasi larutan surfaktan karena hampir terjadi
adsorpsi maksimum (Schramm, 2000).
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya yang dapat didefinisikan
yaitu (Suprinigsih, 2010):
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus
anionik yang cukup besar, biasanya gugus sulfat atau surfonat. Contohnya
adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat asam
lemak rantai panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Surfaktan ini memecah dalam media air, dengan bagian kepala
bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Contohnya adalah
Gambar 2. Bentuk Misel
( Myers, 2006)
15
garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan
garam alkil dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil
poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina
oksida.
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam
amino, betain, fosfobetain.
2.4.1 Struktur Surfaktan dan Stabilitas Emulsi
Myers (2006) menjelaskan bahwa tidak ada metode kuantitatif dan mutlak
dalam pemilihan surfaktan untuk aplikasi tertentu. Untuk mempersempit
kemungkinan dan membatasi jumlah percobaan dalam pemilihan surfaktan, dapat
dilihat dari keefektifan surfaktan dalam adsorbsi antarmuka minyak-air. Hal
tersebut harus sesuai dengan kondisi aktual yang digunakan, termasuk sifat fase
minyak serta kondisi suhu dan tekanan. Surfaktan yang digunakan harus
menghasilkan lapisan antarmuka yang stabil dan kuat (ulet) dengan viskositas
tinggi dan kemampuannya menghasilkan ukuran tetesan (droplet) sesuai dengan
kondisi emulsifikasi. Hal ini dapat memperlihatkan keefektifan surfaktan dalam
menurunkan tegangan antar muka (Myers, 2006).
Pemilihan surfaktan untuk aplikasi tertentu, harus mempertimbangkan
jenis emulsi yang diinginkan dan sifat fase minyak (oil phase). Surfaktan yang
larut air disebut emulsi O/W (Oil in Water), sedangkan surfaktan larut dalam
16
minyak disebut W/O (Water in Oil). Lapisan antarmuka sangat berperan dalam
stabilitas emulsi, campuran surfaktan yang mempunyai perbedaan sifat kelarutan,
akan menghasilkan emulsi dengan stabilitas yang lebih baik. Makin polar fase
minyak, maka diperlukan surfaktan yang makin polar, agar memberikan stabilitas
dan emulsifikasi optimum.
2.4.2 Surfaktan dalam Industri Perminyakan
Hambali et al (2012) menjelaskan bahwa surfaktan untuk aplikasi EOR
dalam industri perminyakan memerlukan karakteristik tertentu. Karakteristik
surfaktan yang dibutuhkan diantaranya, tahan pada kondisi air formasi (brine
water) yang mempunyai tingkat salinitas dan kesadahan yang tinggi, deterjensi
baik pada air sadah, tahan pada suhu tinggi (103 – 115 oC), memiliki IFT 10
-3-10
-6
dyne/cm, adsorpsi < 0,25%. Perlunya surfaktan yang tahan pada salinitas dan
kesadahan tinggi mengingat sebagian besar air formasi (air dalam reservoir) di
sumur minyak Indonesia mempunyai tingkat salinitas (5.000 – 30.000 ppm) dan
kesadahan (>500 ppm) yang tinggi. Aplikasi surfaktan petroleum sulfonat pada
salinitas air formasi yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada
pori-pori batuan, sehingga sumur minyak tersebut dapat mengalami kerusakan dan
diperlukan biaya sangat mahal untuk memperbaikinya (Amri, 2009).
Umumnya reservoir minyak mempunyai kondisi ; suhu tinggi berkisasr
70–120 oC, salitinas tinggi, brine dengan kandungan hardness (kekerasan) dan
memiliki TDS (total padatan terlarut) sekitar 20.000 mg/L. Surfaktan yang
diinjeksikan kedalam reservoir, harus tetap stabil terhadap kondisi tersebut dalam
waktu yang lama karena prosesnya memakan waktu hingga bertahun-tahun.
Selain itu injeksi surfaktan harus menghindari adanya pengendapan atau
17
pemisahan fasa lain yang tidak diinginkan. Surfaktan juga harus dapat
mengembangkan tegangan antar muka (IFT) yang sangat rendah dengan minyak
mentah di dalam kondisi reservoir, rendah adsorpsi batuan reservoir, larut satu
fasa dengan air pada saat pencampuran dan suhu injeksi serta harus dapat
meningkatkan wettability permukaan pori pada non water-wet formation (formasi
basah-non water) (Sukriya, 2011).
Menurut Myers (2006), terdapat empat mekanisme utama dalam
pencapaian EOR menggunakan senyawa aditif surface active, antara lain
sebagai berikut,
a. Tegangan antarmuka antara minyak dan larutan kurang dari
10-3
mN/m.
b. Secara spontan, membentuk emulsifikasi atau mikroemulsi dari
minyak yang terjebak dalam pori-pori batuan.
c. Kontrol keterbatasan pori – pori batuan, untuk mengoptimalkan
pengambilan minyak.
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa chemical flooding merupakan
salah satu metode recovery tersier dengan cara menginjeksikan zat-zat kimia
ke dalam reservoir. Penambahan zat-zat kimia ini bertujuan untuk merubah
sifat fisik fluida reservoirnya dengan sasaran untuk menurunkan tegangan
antar muka minyak-air.
Industri perminyakan, penggunaan surfaktan dapat diformulasikan
dengan alkali, polimer ataupun alkali-polimer untuk meningkatkan recovery
minyak. Efektivitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka
minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang
18
digunakan, konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan,
karakteristik air formasi (fluida), karakteristik batuan core, kadar garam
larutan, dan adsorpsi larutan cosurfaktan. Jenis surfaktan yang digunakan
harus disesuaikan dengan kondisi reservoir terutama terhadap kadar garam,
suhu, dan tekanan karena akan mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk
menurunkan tegangan antar muka (IFT) minyak-air. Semakin tinggi
kesesuaian formula surfaktan yang dihasilkan dengan kondisi reservoir (fluida
dan batuan core), maka perolehan (recovery) minyak bumi juga akan makin
tinggi (Mucharam dalam Hambali, 2001). Selain itu, surfaktan yang
diinjeksikan pada teknologi EOR juga dipengaruhi oleh temperatur dan
permeabilitas (Wibowo et al, 2007). Agar surfaktan efektif meningkatkan %
oil recovery, surfaktan harus mampu menurunkan IFT sampai 10-3
Dyne/cm
2.4.3 Screening Test Surfaktan Sebelum Proses Injeksi Kimia
Pemilihan surfaktan untuk jenis reservoir harus didasarkan pada
pengujian laboratorium. Beberapa parameter yang harus diuji dalam
laboratorium sebelum diaplikasikan di lapangan adalah; compatibility dan
stabilitas kelarutan, phase behavior study, penentuan nilai tegangan antar
muka, viskositas mikroemulsi, thermal stability (ketahanan panas), filtrasi dan
adsorbsi (Sugihardjo et al, 2008).
Sedangkan menurut Myers (2006), beberapa faktor yang
mempengaruhi pemilihan surfaktan untuk EOR adalah sebagai berikut,
a. Surfaktan menghasilkan tegangan antarmuka O/W yang rendah.
b. Compatibility atau kecocokan surfaktan dengan aditif lain, seperti
polimer.
19
c. Surfaktan harus stabil pada kondisi minyak-batuan di dalam reservoir
meliputi suhu, tekanan, dll.
d. Aktivitas surfaktan harus tahan dibawah kondisi brine water yang
mengandung ion dan salinitas tertentu.
e. Karakteristik kelarutan surfaktan dalam fase minyak dan air.
Compatibility dan stabilitas kelarutan dapat dilihat pada saat
melarutkan surfaktan dalam larutan brine. Larutan terbaik untuk diinjeksikan
ke dalam reservoar adalah larutan yang jernih (clear solution), tidak keruh
(hazy solution) dan tidak membentuk endapan. Tetapi, bukan berarti larutan
keruh tidak dapat diinjeksikan. Larutan yang keruh dapat diinjeksikan tetapi
harus stabil, yang dapat dilakukan pengujian dengan membiarkan larutan
beberapa hari pada suhu kamar dan menyinarinya dengan menggunakan
lampu terpolarisasi. Jika terbentuk suatu birefringence, maka baiknya tidak
disuntikkan.
2.5 Parameter Uji
2.5.1 Uji Kompatibilitas
Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kecocokan
antara surfaktan dengan air formasi dalam suatu reservoir. Uji ini merupakan uji
paling awal dilakukan sebelum uji-uji lainnya. Apabila pada uji ini surfaktan tidak
cocok (tidak kompatibel), maka surfaktan dianggap tidak layak untuk reservoir
yang bersangkutan. Oleh karena itu, uji-uji lainnya tidak perlu dilakukan.
Ada tiga kemungkinan yang terjadi pada pencampuran surfaktan dengan
air formasi, yaitu larutan yang larut sempurna yang terbentuk larutan jernih,
20
koloid (milky) terbentuk campuran yang terlihat seperti air susu (milky), dan
terbentuknya suspensi.
Pada uji kompatibilitas diharapkan campuran yang terjadi adalah larutan
sempurna dan jernih, sedangkan suspensi sangat tidak diharapkan karena
dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan pada saat larutan surfaktan diinjeksikan
ke dalam batuan.
2.5.2 Uji Stabilitas Termal
Uji stabilitas termal ditujukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap
kinerja surfaktan. Diharapkan kinerja surfaktan tidak terpengaruh (menurun) oleh
pemanasan. Uji ini terdiri atas 2 macam, yaitu uji kualitatif dan kuantitatif.
Uji kualitatif dilakukan dengan mengamati perubahan wujud larutan,
sedangkan uji kuantitatif dilakukan dengan pengukuran IFT secara berkala dalam
waktu 60 hari pemanasan. Diharapkan pada hasil pengamatan larutan tidak
terbentuk gumpalan/butiran, sedangkan nilai IFT diharapkan tetap stabil (rendah)
atau menurun.
2.5.3 Uji Kelakuan Fasa
Uji kelakuan fasa dilakukan untuk mengetahui kinerja surfaktan dalam
membentuk emulsi. Salah satu syarat utama penggunaan surfaktan sebagai
injection chemical pada chemical flooding adalah dapat membentuk emulsi fasa
tengah (Mikroemulsi). Berdasarkan kelakuan fasa dari larutan surfaktan dan
minyak, di tunjukkan pada Gambar 3.
21
Penjelasan dari gambar diatas sebagai berikut,
1. Sistem winsor I adalah sistem yang terdapat kelebihan fasa minyak.
Emulsi yang terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi fasa bawah (emulsi
yang terbentuk berada dalam fasa air).
2. Sistem winsor II adalah sistem yang terdapat kelebihan fasa air. Emulsi
yang terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi fasa atas (emulsi yang
terbentuk berada dalam fasa minyak).
3. Sistem winsor III adalah sistem yang terdapat keseimbangan antara fasa
air dan fasa minyak (mikroemulsi). Emulsi yang terbentuk pada sistem ini
yaitu emulsi fasa tengah berupa mikroemulsi.
Jenis kelakuan fasa yang paling diharapkan dalam proses chemical
flooding ini adalah emulsi fasa tengah (sistem winsor III) atau mikroemulsi atau
paling tidak emulsi fasa bawah (Lemigas, 2002). Terbentuknya sistem winsor III
menandakan kinerja surfaktan yang baik. Kinerja yang dimaksud adalah pada
Gambar 3. Kelakuan Fasa berdasarkan sistem Winsor
(chem.chem.kumamoto-u.ac.jp)
22
kondisi tersebut dihasilkan nilai IFT yang sangat rendah atau mencapai ultralow
IFT sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat berjalan secara optimal.
2.5.4 Pengukuran IFT
IFT (Interfacial Tension) atau tegangan antarmuka merupakan parameter
yang sangat penting untuk menentukan apakah suatu jenis surfaktan baik atau
tidak sebagai injection chemical. Menurut badan penelitian dan pengembangan
energi dan sumber daya mineral, pada teknik chemical flooding ini dibutuhkan
nilai IFT yang sangat rendah (ultralow IFT), yaitu berkisar antara 10-2
-10-3
dyne/cm (Berger et al, 2007). Semakin rendah nilai tegangan antarmuka minyak
dan air, maka akan mempermudah proses pengaliran tetesan-tetesan minyak yang
terperangkap dalam batuan. Pengukuran nilai IFT ini menggunakan instrumentasi
Spinning Drop Tensiometer.
2.5.5 Uji Imbibisi
Uji imbibisi dilakukan untuk mengetahui kinerja surfaktan dalam
mengangkat minyak dari batuan sintetik. Batuan sintetik yang telah disaturasi
dengan minyak, direndam dalam larutan surfaktan dan diletakkan dalam oven
pada suhu 400C untuk minyak C2 dan 50
0C untuk minyak C1. Volume minyak
yang terangkat dari batuan dihitung dalam persen terhadap banyaknya minyak
yang tersaturasi. Semakin besar volume minyak yang dapat terangkat, berarti
kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan
air semakin baik.
2.6 Fourier Transform Infra-Red (FT-IR) / Spektroskopi Infra Merah
Sinar inframerah (infra red = IR) memiliki panjang gelombang yang lebih
panjang dibandingkan dengan UV-Vis sehingga energinya lebih rendah dengan
23
bilangan gelombang anatara 600-4000 cm-1
atau panjang gelombang sekitar 1,7 x
10-3
cm sampai dengan 2,5 x 10-4
cm. Sinar infra merah hanya dapat
menyebabkan vibrasi (getaran) pada ikatan baik berupa ulur (streaching = str)
maupun berupa tekukkan (bending = bend). Energi vibrasi untuk molekul adalah
spesifik yang berarti bilangan gelombang yang spesifik. Namun pada prakteknya
spektroskopi IR lebih diperuntukan untuk menentukan adanya gugus-gugus
fungsional utama dalam suatu sampel yang diperoleh berdasarkan bilangan
gelombang untuk vibrasi tersebut (Sitorus et al, 2013).
Mekanisme kerja spektroskopi IR, diawali dengan sinar radiasi IR sebelum
menembus sampel dan reference displit terlebih dahulu. Setelah sinar IR displit,
sinar terbagi menjadi dua arus, yaitu sinar yang menuju sampel dan sinar yang
menuju larutan baku pembanding. Kemudian kedua berkas sinar tersebut masuk
ke chopper sehingga keluar output sinar yang diteruskan ke monokromator. Sinar
masuk melalui celah masuk atau entrance pada monokromator. Didalmnya
terdapat gratting dan sinar difokuskan oleh gratting. Setelah itu sinar keluar
Gambar 4. Skema Kerja Alat FT-IR
( Griffith, 1975 )
24
melalui celah keluar atau extrance slit dan masuk ke alat scan frekuensi baru
diteruskan ke detektor. Oleh detektor sinar diubah menjadi sinyal elektrik dan
diperkuat oleh amplifier. Kemudian sinyal tersebut diinterpretasikan dalam bentuk
spektrum infra merah dengan bantuan perangkat lunak dalam komputer (Thermo,
2001). Skema kerja alat FT-IR dapat dilihat pada gambar 4 dan dapat dilihat
dilampiran 1 hal 62 untuk Gambar FT-IR.
2.7 Spining Drop Tensionmeter
Alat ini hanya dapat digunakan untuk pengukuran tegangan antarmuka
cair-cair. Ilustrasi pengukuran nilai IFT antara surfaktan dengan minyak dapat
dilihat pada Gambar 5 dan lampiran 1 hal 62. Suatu tube sampel diisi dengan
larutan surfaktan yang sudah dilarutkan dalam air formasi dan dimasukkan
minyak. Tabung di putar dengan kecepatan tinggi. Droplet minyak dapat dilihat
dengan lampu pada alat. Bentuk droplet minyak tergantung pada tegangan
antarmuka kedua cairan. Batas pengukuran untuk menggunakan alat spinning
drop tensiometer adalah 10-6
mN/m (pederson et al, 1989).
Ilustrasi pengukuran IFT surfaktan terhadap minyak mentah, Tetesan
minyak mentah dimasukkan ke dalam campuran surfaktan. Keseluruhan massa itu
dirotasikan sehingga tetesan minyak mentah tadi akan berada di tengah. Rotasi
tabung yang horizontal menciptakan gaya sentrifugal ke arah dinding tabung,
Gambar 5. Elongated droplet minyak dalam tabung berisi larutan surfaktan yang diputar.
( Drelich, et al, 2002)
25
bulatan (droplet) cairan akan mulai memanjang (elongated) dan perpanjangan ini
akan berhenti bila tegangan antarmuka dan gaya sentrifugal yang seimbang.
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2017 sampai dengan
Maret tahun 2018 di Laboratorium Research & Tecnologi center, Pertamina,
Pulogadung Jakarta - Timur.
3.2 Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan dalam penelitin ini yaitu, peralatan gelas (pipet
ukur, labu ukur,corong pisah, gelas ukur, dan beaker glass), pipet mikro, alat
vakum, neraca analitik digital, piknometer, oven, viscometer bath, serta alat uji
imbibisi. Instrumentasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah FTIR
(Shimadzu, IR Prestidge–21), GC-Simdis dan Spinning Drop Tensiometer.
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, crude oil C1
dan C2, air formasi (AF1 dan AF2), dan surfaktan dengan kode S98 dan S116
(koleksi pertamina, dapat dilihat pada lampiran 4 hal 61. Untuk pengujian
imbibisi digunakan pasir silika dan semen.
27
3.3 Bagan Alir Penelitian
Seleksi Surfaktan Berdasarkan Karakter Uji
Preparasi sampel crude oil C1
dan C2
Preparasi air formassi AF1 dan
AF2
Ditambahkannya surfaktan S98
dan S116 dengan konsentrasi
0,5% dan 1 %
Kompatibilitas dan
Stabilitas termal Imbibisi Kelakuan fasa dan
Nilai IFT
Surfaktan terbaik Karakterisasi surfaktan
FTIR
Karakterisasi GC-Simdis
AF1
AF2
Crude C1 Crude C2
Disaring
Ditambahkannya surfaktan S98
dan S116 dengan konsentrasi
0,5% dan 1 %
Gambar 6. Bagan Penelitian Seleksi Surfaktan
28
Uji Perolehan Minyak (Detail dari imbibisi)
Batuan Sintetik Ditimbang M1
Direndam selama 3 hari dengan crude
oil C1 dan crude oil C2
Ditambahkan masing-masing batuan dengan surfaktan S98 dan S116
Di oven dengan suhu 400C
dan 500C selama ±7 hari
Diukur volume hasil perolehan minyak dan dihitung kenaikan
perolehan minyak
Ditimbang M2
Gambar 7. Bagan Penelitian Perolehan Minyak
29
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Preparasi Sampel Crude Oil
Sampel crude oil yang digunakan yaitu crude oil C1 dan C2 yang berasal
dari lapangan minyak yang berbeda. Sampel crude oil dipanaskan selama 1 jam
pada suhu 500C untuk minyak C1 dan 40
0C untuk minyak C2, ketika dipanaskan
crude oil dihomogenkan dengan cara pengocokan/pengadukkan agar sampel
crude oil tersebut lebih homogen sebelum diujikan.
3.4.2 Preparasi air formasi
Air formasi adalah air yang ikut terproduksi bersama-sama dengan minyak
dan gas. Air formasi hampir selalu ditemukan didalam reservoir (sumur minyak),
minimal 10% terdapat pada pori-pori batuan yang ada. Preparasi air formasi yang
berasal dari sumur minyak pada sampel AF1 dan AF2, dilakukan dengan cara
penyaringan menggunakan kertas whattman 42 air formasi yang semula terdapat
sisa-sisa minyak yang menempel dan endapan kuning menjadi jernih. Kemudian
air formasi ditambahkan surfaktan dengan variasi konsentrasi.
3.4.3 Seleksi surfaktan
Seleksi ini bertujuan untuk memilih surfaktan dilihat dari kemampuan
surfaktan dalam teknik chemical flooding pada skala laboratorium. Surfaktan yang
diseleksi ini didasarkan pada 5 jenis parameter uji, yaitu uji kompatibilitas, uji
pengukuran tegangan permukaan atau nilai IFT, uji stabilitas termal, uji kelakuan
fasa, dan uji imbibisi.
30
A. Uji kompatibilitas (Lemigas, 2008)
Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kecocokan
antara surfaktan dengan air formasi dalam suatu reservoir. Dua jenis surfaktan
dilarutkan masing – masing dengan konsentrasi 0,5% dan 1 % dalam air formasi.
Lalu larutan surfaktan dituangkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2ml dan
ditempatkan pada suhu kamar. Kemudian larutan surfaktan dilakukan pengamatan
selama 3 bulan. Kemudian dilihat larutan surfaktan yang memenuhi kriteria yaitu
jernih dan larut sempurna. kemudian dilakukan tahap termal sesuai suhu reservoir
yang digunakan.
B. Pengukuran Nilai IFT (Interfacial Tension), (Lemigas, 2008)
Pengukuran nilai IFT dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop
tensiometer. Alat berserta komputer dinyalakan dan suhu diatur sampai 500C
untuk crude oil C1 dan 400C untuk crude oil C2. Pemilihan suhu diatur sesuai dari
suhu reservoir crude oil nya masing – masing. Tube sampel diisi dengan larutan
surfaktan sampai penuh. Didalam tube sampel tersebut tidak boleh ada gelembung
udara karena dapat mengganggu proses pengukuran. Sebanyak 1 mikroliter
sampel crude oil diinjeksikan menggunakan syringe ke dalam tube sampel yang
telah berisi larutan surfaktan. Lalu tube sampel tersebut dimasukkan ke dalam
alat. Frekuensi putaran diatur sebesar 6000 rpm selama 30 menit. Gambar droplet
minyak yang terbentuk di capture dan diukur diameter droplet minyak tersebut.
Penentuan nilai IFT dilakukan berdasarkan rumus dibawah ini :
Ƴ = tegangan antarmuka (mN/m)
r = jari-jari droplet (mm)
Δp = perbedaan densitas fluida (g/mL)
Ƴ = 𝟏
𝟒 r
3 Δp w
2
31
w
= kecepatan putaran (rpm)
C. Uji Stabilitas Termal (Lemigas, 2008)
Uji stabilitas termal ditujukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap
kinerja surfaktan. Dua jenis surfaktan dilarutkan dalam air formasi dengan
konsentrasi 0,5%, dan 1%. Lalu larutan surfaktan sebanyak 2 ml tersebut
dituangkan ke dalam tabung reaksi dan dilakukan pemanasan dalam oven pada
suhu 500C untuk C1 dan 40
0C untuk minyak C2. Larutan diamati dan nilai IFT
nya diukur setelah 1 hari, 7 hari, 14 hari, 30 hari, dan 60 hari.
D. Uji Kelakuan Fasa (Phase Behavior), (Lemigas, 2008)
Uji kelakuan fasa dilakukan untuk mengetahui kinerja surfaktan dalam
membentuk emulsi. Sebanyak 2 mL larutan 2 jenis surfaktan dengan konsentrasi
0,5%, dan 1% dituangkan ke dalam pipet tabung dan dimasukkan juga sampel
crude oil dengan volume yang sama. Setelah itu, pipet tabung dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 500C untuk minyak C1 dan 40
0C untuk minyak C2. Pipet
tabung didiamkan dalam oven selama 30 menit dan dilakukan pengocokan secara
perlahan-lahan. Setelah itu pipet tabung dimasukkan kembali ke dalam oven dan
dilakukan pengamatan terhadap emulsi yang setelah 1 hari, 7 hari, 14 hari, 30
hari, dan 60 hari. Surfaktan yang bagus akan menghasilkan emulsi tengah.
E. Uji Imbibisi (Lemigas, 2008)
Uji imbibisi dilakukan untuk mengetahui kinerja surfaktan dalam
mengangkat minyak dari batuan sintetik. Core yang telah disaturasi dikeringkan
kemudian ditimbang. Setelah itu dilakukan uji imbibisi dengan alat imbibisi.
Sebelumnya disiapkan larutan S98 dan S116. Dilihat dari hasil kompatibilitas,
stabilitas termal, kelakuan fasa, nilai IFT untuk melihat apakah surfaktan tersebut
32
bisa mengangkat minyak yang berada dalam batuan core. Setelah itu, alat imbibisi
dimasukkan ke dalam oven pada suhu 500C untuk air formasi AF1, minyak C1
dan 400C untuk air formasi AF2, minyak C2. Volume crude oil yang dapat
terangkat diamati selama 7 hari (tiap hari diamati kenaikkan crude).
3.4.4 Karakterisasi Surfaktan dengan FTIR
Karakterisasi dengan instrumentasi FTIR ini bertujuan untuk mengetahui
gugus fungsi yang terdapat dalam surfaktan. Sinar inframerah ditembakkan pada
sampel dan dengan bantuan software komputer ditampilkan spektrogram gugus
fungsi dari sampel. Diambil sampel surfaktan didalam botol lalu surfaktan terbaik
di pipet sebanyak 3 tetes kedalam alat FTIR untuk di lihat uji gugus fungsinya.
3.4.5 Uji fraksi crude oil dengan Gas Chromatography-SimDis
Penentuan fraksi-fraksi yang terdapat pada sampel crude oil dilakukan
berdasarkan ASTM D7169. Metode ini dilakukan dengan menggabungkan antara
GC simdis (simulation distilation). GC simdis dapat menganalisa sampel
hidrokarbon yang memiliki panjang rantai dari C14-C120. Lalu dilakukan
penggabungan hasil kromatogram dan kurva distribusi titik didihnya. Dapat
dilihat gambar alat GC-Simdis pada lampiran 1 hal 60. Untuk analisa dengan GC
Simdis, crude oil ditimbang sebanyak 0.2159 g dan dilarutkan ke dalam larutan
CS2 sampai beratnya mencapai 10.0377 g. Lalu diinjeksikan kedalam kolom
sebesar 0,5 mikroliter. Keduanya dilakukan dengan kondisi operasi berdasarkan
ASTM D7169.
3.4.6 Preparasi Batuan Sintetik
Batuan sintetik atau core dibuat dari campuran pasir silika dan semen
dengan komposisi (70:30). Campuran tersebut ditambahkan akuades secukupnya
33
(umumnya 20% dari total campuran), lalu di aduk hingga menjadi adonan.
Disiapkan cetakan yang terbuat dari paralon dengan tinggi 2,5 inch dan diameter 1
inch. Adonan tersebut dicetak dalam paralon lalu dilakukan pemanasan dalam
oven pada suhu 800C selama 2 hari (2 x 12 jam). Sesudah adonan tersebut kering,
core dikeluarkan dari cetakan dan diukur massa kering, tinggi, dan diameternya.
Dapat dilihat pada lampiran hal 68 untuk melihat wujud batuan sintetik.
3.4.7 Perolehan Peningkatan Minyak (Lemigas, 2008)
Batuan sintetik atau core yang telah terbentuk di timbang untuk
menghasilkan berat kosong dari core. Selanjutnya core yang sudah ditimbang
kemudian disaturasi dengan alat yang terdiri dari vakum, waterbath, dan
erlenmeyer. Core dimasukkan ke dalam alat saturasi dengan pompa vakum
selama 30 menit. Setelah itu core dimasukkan dalam wadah dan ditambahkan
sampel C1 dan C2 kedalam wadah sampai semua core terendam. Perendaman
dilakukan selama 3 hari (3x12 jam). Core tersebut lalu dikeluarkan dari wadah
kemudian dikeringkan dan ditimbang massa basahnya. Selanjutnya core yang
sudah di timbang di masukkan ke dalam wadah dan ditambahkan surfaktan S98
dan S116 hingga core terendam surfaktan. Kemudian di oven sesuai suhu
reservoir dari crude masing-masing selama 7 hari (7 x 24 jam). Diamati setiap hari
untuk kenaikan perolehan minyak pada masing masing surfaktan. Selajutnnya
dihitung persen volume sampel minyak yang diperoleh. Perhitungan hasil
perolehan minyak :
% recovery = v minyak yang terangkat (ml) : vcs x 100
Untuk mengetahui nilai vcs, yaitu
V core = x r2 x t
V core setelah saturasi (vcs) =
34
Keterangan : = 3,14
= 0,848 gr/ml
M1 = Massa awal
M2 = Massa Akhir
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Fraksi crude oil dengan GC-SimDis (Simulasi Distilasi)
Pengujian uji fraksi minyak dengan GC-Simdis dilakukan berdasarkan
ASTM D7169. Tujuan menguji karakterisasi sampel minyak mentah dengan GC
simdis agar diketahui fraksi-fraksi minyak yang terdapat pada minyak mentah.
GC Simdis dapat menganalisa komposisi hidrokarbon dalam crude oil yang
mempunyai panjang C14-C120. Merge (penggabungan) kromatogram keduanya
akan menghasilkan kromatogram gabungan. Simulasi distilasi ini di kalibrasi
dengan standar alkana dengan titik didih yang sudah diketahui sehingga dapat
langsung dibandingkan dengan komponen sampel. Waktu retensi dari standar
dikalibrasi dengan titik didihnya dan digunakan software khusus untuk
mengkonversikannya ke dalam persen fraksi massa. Dapat dilihat pada tabel 1
untuk distribusi titik didih fraksi sampel crude oil C1 dan C2.
Tabel 1. Distribusi titik didih fraksi sampel crude oil C1 dan C2
Distribusi Titik Didih
Titik Didih 0C % fraksi
massa (C1)
% fraksi
massa (C2)
Fraksi
0 – 30 0,0 0,0 Gas
30 – 145 41,1 0,0 Nafta
145 – 240 32,2 11,0 Kerosin
240 – 330 18,3 27,0 Light Gas Oil
330 – 370 3,6 8,0 Heavy Gas Oil
370 – 700 0,0 47,0 Residu
Pada kedua crude oil ini bisa dilihat dengan jelas untuk mengetahui fraksi
yang terkandung apakah berat atau tidak. Pada crude oil C1 fraksi minyak
36
mentah menunjukkan bahwa fraksi yang paling dominan yaitu nafta, dengan
fraksi massa sebesar 41,1%. Dapat dilihat pada Tabel 1, bahwa nafta mempunyai
titik didih berkisar antara 30-1450C. Untuk itu dapat dikatakan bahwa crude oil
C1 merupakan fraksi ringan. Fraksi ringan pada minyak mentah umumnya
mengandung komponen-komponen seperti gas, nafta, bensin dan kerosin. Hal ini
dapat didukung bahwa minyak mentah C1 pada suhu ruang berbentuk cairan.
Minyak mentah C1 dapat dikatakan fraksi ringan terlihat juga dari peak dan
interpretasi hasil simdis juga mengatakan bahwa kandungan dari minyak mentah
C1 bisa disebut fraksi ringan seperti nafta, sedangkan sisanya termasuk kedalam
fraksi sedang seperti kerosin, light gas oil dan heavy gas oil. Dapat dilihat
Gambar 8 dan 9, hasil kromatogram dari GC simdis dan plot kurva distribusi titik
didihnya.
Pada Gambar 10 dan 11, crude oil C2 fraksi minyak mentah menunjukkan
bahwa fraksi yang paling dominan yaitu, residu dengan fraksi massa sebesar
47,0%. Dapat dilihat pada Tabel 1, bahwa residu mempunyai titik didih berkisar
antara 370 – 700 0C. Untuk itu dapat dikatakan bahwa crude oil C2 merupakan
fraksi berat. Fraksi berat pada minyak mentah umumnya mengandung,
asphalthene, paraffin, dan wax. Hal ini dapat didukung bahwa minyak mentah C2
pada suhu ruang mengeras yang sebelumnya diasumsikan banyak terkandung wax
atau paraffin. Minyak mentah C2 tidak memiliki adanya fraksi ringan melainkan
fraksi sedang seperti kerosin, light gas oil dan heavy gas oil.
37
Gambar 8. Hasil analisis sampel crude oil C1 dengan menggunakan GC Simdis Kromatogram
Gambar 9. Hasil analisis sampel crude oil C1 dengan menggunakan GC Simdis kurva
distribusi boiling point.
38
Gambar 10. Hasil analisis sampel crude oil C2 dengan menggunakan GC Simdis
Kromatogram
Gambar 11. Hasil analisis sampel crude oil C2 dengan menggunakan GC Simdis kurva distribusi boiling point.
39
4.2 Seleksi Hasil Uji Surfaktan C1
4.2.1 Hasil Uji kompatibilitas
Uji kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk mengetahui
apakah suatu jenis surfaktan compatible dengan air injeksi/formasi suatu reservoir
dan menjadi salah satu pertimbangan terpenting dalam pemilihan surfaktan untuk
aplikasi EOR (Enhanced Oil Recovery). Idealnya, surfaktan akan larut sempurna
dan membentuk larutan yang jernih dengan air injeksi. Uji kompatibilitas
dinyatakan positif/baik apabila surfaktan dan air injeksi dapat bercampur
sempurna tanpa terjadi gumpalan pada larutan. Dan bernilai negatif/tidak dapat
digunakan sebagai formula surfaktan pada EOR, jika terjadi presipitasi atau tidak
bercampur. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sampel surfaktan S116 terhadap
air injeksi Lapangan C1 memiliki hasil uji compatibility yang positif. Dibuktikan
hasil pengujian kompatibilitas yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan gambar pada
Lampiran 7 hal 64, dengan tidak adanya presipitasi/endapan yang terbentuk, ini
menunjukkan surfaktan dapat larut sempurna.
Tabel 2. Hasil uji kompatibilitas C1
No Kode
Sampel Konsentrasi (%)
Hasil kompatibilitas, Hari
1 7 14 21 1 bln 2 bln 3 bln
1 S98 0,5 x x x x x x x
2 S98 1 x x x x x x x
3 S116 0,5
4 S116 1
Note : = Jernih, larut sempurna.
X = Keruh, terdapat endapan, partikel diawan-awan, milky, Atau
keruh tetapi larut sempurna.
bln = bulan
Pada umumnya, kelarutan surfaktan dapat dilihat dari jenis surfaktan yang
di uji. Surfaktan yang memiliki sifat hidrofilik (suka terhadap air) yang lebih
40
tinggi akan lebih larut dalam air formasi. Sebaliknya, surfaktan yang memiliki
sifat lipofilik (suka terhadap minyak) yang lebih tinggi akan sulit larut dalam air
atau dapat dikatakan lebih larut dalam minyak.
4.2.2 Hasil Uji Nilai IFT (Interfacial Tension)
Pengukuran nilai IFT dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop
tensiometer. Alat berserta komputer dinyalakan dan suhu diatur sampai 500C.
Tube sampel diisi dengan larutan surfaktan sampai penuh. Didalam tube sampel
tersebut tidak boleh ada gelembung udara karena dapat mengganggu proses
pengukuran.
Tegangan antarmuka atau IFT (Interfacial Tension) minyak-air merupakan
parameter yang sangat penting untuk menentukan apakah suatu jenis surfaktan
baik sebagai injection chemical dalam proses chemical flooding. Pengukuran nilai
IFT ini menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer. Hasil pengukuran IFT
pada beberapa sampel jenis surfaktan dapat dilihat pada Tabel 3. Sampel surfaktan
pada pengujian IFT ini menggunakan variasi konsentrasi untuk melihat
perbandingan setiap konsentrasi.
Tabel 3. Pengukuran Nilai IFT
Kode Sampel Konsentrasi (%) Nilai IFT, dyne/cm
S98 0,5 1,2 x 10-2
S98 1 5,1 x 10-2
S116 0,5 1,1 x 10-2
S116 1 8,8 x 10-3
Hasil pengukuran nilai IFT dari kedua sampel di Tabel 3. Surfaktan jenis
S116 mampu berinteraksi lebih baik dengan fasa air yang mengandung banyak
ion-ion jika dibandingkan dengan surfaktan S98. Sampel surfaktan S98 cenderung
41
mengasilkan nilai IFT lebih besar, hal ini dapat dipengaruhi oleh gugus hidrofob
dan hidrofil dari tiap surfaktan sehingga konsentrasi optimum tiap surfaktan akan
berbeda-beda bergantung dengan interaksi surfaktan tersebut dengan air dan
minyak.
Selain itu pada nilai IFT yang dihasilkan, dapat diprediksikan bahwa rantai
non polar dari surfaktan jenis S116 lebih panjang dari Surfaktan yang lain karena
memiliki nilai IFT yang lebih kecil. Hal itu disebabkan karena untuk mendapatkan
nilai IFT yang kecil, interaksi polar dengan interaksi non polarnya harus
seimbang. Berdasarkan Tabel 3, surfaktan yang mampu menghasilkan nilai IFT
minimum (mencapai orde 10-3
) pada kecepatan rotasi 6000 rpm adalah S116 pada
konsentrasi 1% Dapat disimpulkan bahwa surfaktan tersebut adalah yang paling
baik untuk digunakan dalam surfaktan EOR dibandingkan dengan surfaktan
lainnya apabila ditinjau dari kemampuan menurunkan nilai IFT.
4.2.3 Hasil Uji Termal
Pada pengamatan kali ini dilihat manakah sampel yang mempunyai nilai
tegangan antarmuka yang stabil pada pemanasan. Pemanasan yang digunakan
pada air formasi AF1 ini pada suhu 50 , hal ini karena dari suhu dalam reservoir
untuk sampel yang dipakai berkisar 50 . Konsentrasi yang digunakan pada
perlakuan ini yaitu 0,5 % dan 1 %. Dimana dapat dilihat perbandingan dari kedua
konsentrasi tersebut pada Tabel 4 dan gambar pada Lampiran 8 hal 65. Kondisi
yang diharapkan pada pemanasan pada beberapa sampel tetap dalam keadaan larut
sempurna dan dapat mempertahankan nilai tegangan antarmuka tersebut.
42
Tabel 4. Data Termal Surfaktan
No Kode
Sampel Konsentrasi
Hasil pengamatan termal, Hari
0 1 7 14 21 28 35 42
1 S98 0,5 x x x x x x x
2 S98 1 x x x x x x x x
3 S116 0,5
4 S116 1
Note : = stabil terhadap panas, larutan jernih, larut sempurna.
X = tidak stabil terhadap panas, larutan menjadi keruh atau terdapat
endapan.
Hasil diatas menandakan bahwa sampel S116 stabil terhadap pemanasan
dibandingkan dengan sampel S98 yang tidak stabil terhadap pemanasan. setelah
dilakukan kurang dari 2 bulan pada sampel S98 tersebut memiliki endapan atau
gumpalan pada larutan.
4.2.4 Hasil Uji Kelakuan Fasa
Keberhasilan dalam pelaksanaan EOR juga dipengaruhi oleh kelakuan fasa
emulsi pada sistem minyak-surfaktan-air. Kelakuan fasa menunjukkan
compatibility (kecocokan) surfaktan dengan minyak yang akan diproduksikan.
Terdapat empat tipe kelakuan fasa, tipe pertama yaitu emulsi fasa bawah dan
terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil). Tipe kedua adalah tipe fasa tengah
(mikroemulsi), terdiri dari 3 fasa, terjadi kelebihan air dan juga minyak. Tipe
ketiga adalah tipe emulsi fasa atas (minyak) dengan kelebihan fasa air (excess
water), dan tipe keempat adalah tipe makroemulsi.
Berdasarkan pengamatan visual terhadap kelakuan fasa campuran antara
minyak bumi dan formula dari berbagai variasi surfaktan dengan crude C1 dan
disimpan dalam oven dengan suhu 50 (suhu reservoir). Air formasi yang
digunakan sebagai pelarut adalah air formasi AF1. Hasil dari variasi surfaktan
43
dengan konsentrasi 0,5 % dan 1 % dapat dilihat pada tabel 5 dan Lampiran 10 hal
66, terhadap uji phase behavior.
Tabel 5. Uji Phase Behavior
No. Kode
sampel Konsentrasi (%)
Pengamatan, hari
0 1 7 14 21
1 Blanko - x x x x x
2 S98 0,5 x
3 S98 1 x
3 S116 0,5
4 S116 1 x x
note : = mikroemulsi di tengah
X = tidak terbentuk emulsi, emulsi dibawah dan diatas.
Surfaktan yang memiliki performa baik ditunjukkan dengan terbentuknya
mikroemulsi tipe III, yaitu mikroemulsi yang terbentuk di tengah fasa crude dan
surfaktan. Dapat dilihat pada lampiran hal. 65, berdasarkan pengamatan terhadap
uji phase behavior yang telah dilakukan, mikroemulsi tipe III dihasilkan pada
kedua sampel surfaktan yaitu S98 dan S116.
Terbentuknya emulsi minyak-air pada kedua jenis surfaktan disebabkan
interaksinya lebih cenderung suka terhadap gugus hidrofiliknya. Sampel minyak
mentah yang termasuk fraksi berat memiliki sifat kenonpolaran yang tinggi.
secara teori rantai alkil dari surfaktan ini harus seimbang dengan sampel minyak
yang digunakan. Hal itu dapat meningkatkan interaksi nonpolar dengan cara
menambahkan ko-surfaktan atau surfaktan pembantu yang rantai alkil nya lebih
panjang dari kedua jenis surfaktan ini sehingga sifat non polar dari surfaktan nya
bertambah.
44
4.2.5 Hasil Uji Imbibisi
Uji imbibisi adalah uji yang dilakukan untuk melihat kemampuan
surfaktan dalam mengangkat minyak yang terperangkap dalam batuan. Hal ini
bertujuan agar pori-pori batuan yang dibuat dapat dengan mudah dimasuki oleh
minyak. Selanjutnya batuan tersebut dijenuhkan dengan sampel minyak mentah
dengan cara direndam dengan minyak serta di vakum.
Imbibisi dengan konsentrasi surfaktan 1% menggunakan pelarut air
formasi C1. Penjenuhan core dilakukan menggunakan dengan crude oil C1.
Disimpan pada oven 50 . Berdasarkan dari pengamatan pada gambar yang
diambil pada lampiran 9 hal 66 dan hasil uji pada pengamatan hari ke-11 crude
yang terangkat pada sampel S98 dapat dilihat pada Lampiran 11 hal 67.
Tabel 6. Hasil Recovery Oil C1
No
Kode
sampel
Diamet
er
(mm)
Tinggi
(mm)
W core
kering
(g)
W core
basah
(g)
V core
(mL)
V
crude
dalam
core
(mL)
V core
setelah
saturasi
V crude
yang
terangkat
(mL)
Recove
ry
(%)
1
Blanko
27,90 50,20 52,6434 57,6151 122699,215 122,6992 5,8628 0 0
2 S98 26,80 45,40 44,8618 49,1336 102389,214
102,3894 5,0375 0,7 13,895
7
3 S116 27,05 47,38 47,8254 52,2790 108857,724
108,8577 5,2518 0 0
Performa surfaktan dapat ditentukan berdasarkan recovery oil atau jumlah
crude oil yang terangkat oleh surfaktan dari total crude oil yang tersimpan dalam
core. Hasil Surfaktan yang dapat mengangkat minyak hanya S98, sedangkan
surfaktan lainnya yang diuji tidak dapat mengangkat minyak sedikit pun. Hasil
recovery oil dapat dilihat padaTabel 6, dapat diketahui bahwa recovery oil paling
besar dihasilkan oleh surfaktan S98 yaitu mencapai 13,8957%.
45
Pengangkatan minyak oleh surfaktan berkaitan dengan nilai tegangan
antarmukanya. Semakin kecil nilai tengangan antarmuka artinya semakin besar
sudut kontak antara minyak dengan air sehingga seharusnya perolehan minyak
akan semakin besar. Hasil Perolehan minyak kurang sesuai dengan penelitian ini,
karena pada penilitian ini nilai IFT S116 memiliki nilai IFT yang rendah sesuai
dengan teori tetapi tidak mengangkat crude. Faktor lainnya yang dapat
menyebabkan minyak sulit terangkat oleh surfaktan kemungkinan adalah karena
minyak yang tersimpan masuk hingga ke pori-pori terdalam. Crude oil yang
digunakan tergolong ke dalam jenis light oil sehingga diperkirakan akan sangat
mudah masuk ke dalam pori-pori core. Minyak yang masuk hingga ke pori-pori
terdalam akan sulit untuk dikeluarkan karena pori-pori yang kecil.
4.3 Seleksi Hasil Uji Surfaktan C2
4.3.1 Hasil Uji Kompatibilitas
Analisis kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk
mengetahui apakah suatu jenis surfaktan compatible dengan air injeksi/formasi
suatu reservoir dan menjadi salah satu pertimbangan terpenting dalam pemilihan
surfaktan untuk aplikasi EOR. Idealnya, surfaktan akan larut sempurna dan
membentuk larutan yang jernih dengan air injeksi. Uji kompatibilitas dinyatakan
positif/baik apabila surfaktan dan air injeksi dapat bercampur sempurna tanpa
terjadi gumpalan pada larutan. Dan bernilai negatif/tidak dapat digunakan sebagai
formula surfaktan pada EOR, jika terjadi presipitasi atau tidak bercampur. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa sampel surfaktan S116 terhadap air injeksi
lapangan C2 memiliki hasil uji compatibility yang positif. Dibuktikan dengan
tidak adanya presipitasi/endapan yang terbentuk, ini menunjukkan surfaktan dapat
46
larut sempurna. Hasil pengujian kompatibilitas ini dapat dilihat pada Tabel 7 dan
gambar pada lampiran 7 hal 64.
Tabel 7. Hasil pengamatan uji kompatibilitas
No Kode Konsentrasi Hasil Kompatibilitas, Hari
0 1 7 14 21 90
1 S116 0,5
2 S116 1
3 S98 0,5 x x x x x x
4 S98 1 x x x x x x
Note : = Jernih, larut sempurna
X = Keruh, terdapat endapan, partikel diawan-awan, milky, atau
keruh tetapi larut sempurna.
Surfaktan pada sampel S98 tidak larut sempurna atau mengindikasikan
terbentuknya endapan dengan sendirinya atau disebabkan oleh komponen lain
dalam air injeksi sehingga tidak dapat digunakan sebagai surfaktan untuk aplikasi
EOR. Hal tersebut dikarenakan selain hilangnya materi yang berguna, beberapa
endapan memungkinkan penyumbatan atau menyebabkan plugging pada sumur
injeksi yang dapat menyebabkan kerusakan reservoir/formation damage. Oleh
karena itu kompatibilitas surfaktan yang akan digunakan merupakan syarat mutlak
yang harus dipenuhi untuk menentukan surfaktan yang sesuai sebagai surfaktan
untuk surfaktan enhanced water flooding, jika kompatibel/positif dan dapat
dilakukan pengujian lebih lanjut terhadap larutan surfaktan untuk mengetahui
kinerjanya.
4.3.2 Hasil Uji Nilai IFT (Interfacial Tension)
Tegangan antarmuka atau IFT (Interfacial Tension) minyak-air merupakan
parameter yang sangat penting untuk menentukan apakah suatu jenis surfaktan
baik sebagai injection chemical dalam proses chemical flooding. Pengukuran nilai
47
IFT ini menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer. Hasil pengukuran IFT
pada beberapa sampel jenis surfaktan dapat dilihat pada Tabel 8. Sampel
surfaktan menggunakan konsentrasi 0,5% dan 1 %.
Tabel 8. Nilai IFT Untuk Konsentrasi Surfaktan 0,5% dan 1%
Hasil pengukuran nilai IFT dari kedua sampel di Tabel 8. Surfaktan jenis
S116 mampu berinteraksi lebih baik dengan fasa air yang mengandung banyak
ion-ion jika dibandingkan dengan surfaktan S98. Sampel surfaktan S98 cenderung
mengasilkan nilai IFT lebih besar, hal ini dapat dipengaruhi oleh gugus hidrofob
dan hidrofil dari tiap surfaktan sehingga konsentrasi optimum tiap surfaktan akan
berbeda-beda bergantung dengan interaksi surfaktan tersebut dengan air dan
minyak.
Selain itu pada nilai IFT yang dihasilkan, dapat diprediksikan bahwa rantai
non polar dari surfaktan jenis S116 dan turunannya lebih panjang dari surfaktan
yang lain karena memiliki nilai IFT yang lebih kecil. Hal itu disebabkan karena
untuk mendapatkan nilai IFT yang kecil, interaksi polar dengan interaksi non
polarnya harus seimbang. Berdasarkan tabel 8, surfaktan yang mampu
menghasilkan nilai IFT minimum (mencapai orde 10-3
) adalah S116. Dapat
disimpulkan bahwa surfaktan tersebut adalah yang paling baik untuk digunakan
Kode Surfaktan Konsentrasi (%) Nilai IFT, dyne/cm
S116 0,5 1,1 x 10-2
S116 1 3,1 x 10-3
S98 0,5 1,7 x 10-1
S98 1 4,4 x 10-2
48
dalam surfactant EOR dibandingkan dengan surfaktan S98 apabila ditinjau dari
kemampuan menurunkan nilai IFT.
4.3.3 Hasil Uji Termal
Pada pengamatan kali ini dilihat manakah sampel yang mempunyai nilai
tegangan antarmuka yang stabil pada pemanasan. Pemanasan yang digunakan
pada air formasi AF2 ini pada suhu 40 . Konsentrasi yang digunakan pada
perlakuan ini yaitu 0,5 % dan 1 %. Dapat dilihat pada Tabel 9 dan gambar pada
Lampiran hal 65, Kondisi yang diharapkan pada pemanasan pada beberapa sampel
tetap dalam keadaan larut sempurna dan dapat mempertahankan nilai tegangan
antarmuka tersebut.
Tabel 9. Hasil Analisis Termal
No Kode Konsentrasi
(%)
Data Pengamatan termal surfaktan dengan air formasi
pada suhu 40 celcius , Hari
0 1 7 14 21 28 35 42
1 S116 0,5
2 S116 1
3 S98 0,5 X x x x x x x x
4 S98 1 X x x x x x x x
Note : = stabil terhadap panas, larutan jernih, larut sempurna.
X = tidak stabil terhadap panas, larutan menjadi keruh atau terdapat
Endapan.
Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat tabel 9, bahwa sampel yang tidak
stabil terhadap panas dalam jangka waktu 1 hari adalah S98. Pada S98 memiliki
kestabilan yang kurang dikarenakan larutan yang dihasilkan keruh.
4.3.4 Hasil Uji Kelakuan Fasa
Keberhasilan dalam pelaksanaan EOR juga dipengaruhi oleh kelakuan fasa
emulsi pada sistem minyak-surfaktan-air. Kelakuan fasa menunjukkan
compatibility (kecocokan) surfaktan dengan minyak yang akan diproduksikan.
49
Terdapat empat tipe kelakuan fasa, tipe pertama yaitu emulsi fasa bawah dan
terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil). Tipe kedua adalah tipe fasa tengah
(mikroemulsi), terdiri dari 3 fasa, terjadi kelebihan air dan juga minyak. Tipe
ketiga adalah tipe emulsi fasa atas (minyak) dengan kelebihan fasa air (excess
water), dan tipe keempat adalah tipe makroemulsi.
Berdasarkan pengamatan visual terhadap kelakuan fasa campuran antara
minyak bumi dan formula dari berbagai variasi surfaktan dengan crude C2 dan
disimpan dalam oven dengan suhu 40 (suhu reservoir C2). Air formasi yang
digunakan sebagai pelarut adalah air formasi AF2. Hasil dari beberapa variasi
surfaktan dengan konsentrasi 0,5 % dan 1% dapat dilihat pada Tabel 10, terhadap
uji phase behavior.
Surfaktan yang memiliki performa baik ditunjukkan dengan terbentuknya
mikroemulsi tipe III, yaitu mikroemulsi yang terbentuk di tengah fasa crude dan
surfaktan.
Tabel 10. Uji Phase Behavior
No Kode
sampel
Konsentrasi
(%)
Pengamatan terbentuknya emulsi, hari
0 1 2 3 4 5 6 7 14 21
1 Blanko - x x x x x x x x x x
2 S98 0,5 x x x x x x x
3 S98 1 x x x x x x x x x x
4 S116 0,5 x
5 S116 1
note : = mikroemulsi di tengah
X = tidak terbentuk emulsi, emulsi dibawah dan diatas.
Surfaktan yang memiliki persforma baik ditunjukkan dengan terbentuknya
mikroemulsi tipe III, yaitu mikroemulsi yang terbentuk di tengah fasa crude dan
50
surfaktan. Berdasarkan pengamatan terhadap uji phase behavior yang telah
dilakukan, mikroemulsi tipe III dihasilkan sampel surfaktan S116.
Hasil pengamatan visual di Lampiran 10 hal 66, dapat dilihat bahwa
mikroemulsi terbentuk pada fasa bawah ditandai dengan berlebihnya larutan
surfaktan pada campuran minyak dan surfaktan menunjukkan bahwa jenis
mikroemulsi fasa bawah/tipe III, yang mengindikasikan bahwa larutan surfaktan
berada pada tingkat salinitas rendah (low salinity), selain mengindikasikan tingkat
salinitas yang rendah, hal tersebut juga diduga terjadi karena faktor karakteristik
minyak itu sendiri.
Pada uji ini juga dilihat rasio kelarutan minyak dan air terhadap lama
pemanasan dari penghitungan tampak dari pipet-pipet pengujian phase behaviour.
Kelarutan minyak ditentukan oleh volume minyak dari volume surfaktan dalam
mikroemulsi. Rasio kelarutan minyak digunakan untuk kelakuan fasa tipe I dan
tipe III. Selama 1 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa
kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya
terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Oleh karena itu, diihat kelarutan
minyak terhadap lama pemanasan.
Terbentuknya emulsi minyak-air pada ketiga jenis surfaktan disebabkan
interaksinya lebih cenderung suka terhadap gugus hidrofiliknya. Sampel minyak
mentah yang termasuk fraksi berat memiliki sifat kenonpolaran yang tinggi.
secara teori rantai alkil dari surfaktan ini harus seimbang dengan sampel minyak
yang digunakan. Hal itu dapat ditingkatkan meningkatkan interaksi nonpolar
dengan cara menambahkan ko-surfaktan atau surfaktan pembantu yang rantai alkil
51
nya lebih panjang dari ketiga jenis surfaktan ini sehingga sifat non polar dari
surfaktan nya bertambah.
4.3.5 Hasil Uji Imbibisi
Uji imbibisi adalah uji yang dilakukan untuk melihat kemampuan
surfaktan dalam mengangkat minyak yang terperangkap dalam batuan. Hal ini
bertujuan agar pori-pori batuan yang dibuat dapat dengan mudah dimasuki oleh
minyak. Selanjutnya batuan tersebut dijenuhkan dengan sampel minyak mentah
dengan cara direndam dengan minyak serta di vakum.
Imbibisi dengan konsentrasi surfaktan 0,5% menggunakan pelarut air
formasi AF2. Penjenuhan core dilakukan menggunakan dengan crude C2.
Disimpan pada oven 40 . Berdasarkan dari pengamatan pada gambar yang
diambil pada Lampiran 9 hal 67, pada pengamatan hari ke- 3 crude yang terangkat
dibeberapa surfaktan hanya sedikit. Hal ini kemungkinan pengamatan yang
kurang siap, dikarenakan alat yang masih kurang memadai sehingga tidak bisa
dianalisa lebih lanjut. Hasil uji imbibisi dapat dilihat pada Lampiran 12 hal 67.
Tabel 11. Hasil Recovery Oil C2
No
Kode
sampel
Diamet
er
(mm)
Tinggi
(mm)
W core
kering
(g)
W core
basah
(g)
V core
(mL)
V
crude
dalam
core
(mL)
V core
setelah
saturasi
V crude yang
terangkat
(mL)
Recove
ry
(%)
1
Blanko
26,96 47,38 47,6600 54,0655 108773,
589 108,7735 7,5536 0 0
2 S98 26,86 48,16 48,7625 55,2491 109100,852
109,1008 7,6492 0,4 1,3073
3 S116 27,03 44,38 44,4167 50,5999 101814,360
101,8143 7,2915 0 0
Performa surfaktan dapat ditentukan berdasarkan recovery oil atau jumlah
crude oil yang terangkat oleh surfaktan dari total crude oil yang tersimpan dalam
core. Hasil Surfaktan yang dapat mengangkat minyak hanya S98, sedangkan
52
surfaktan lainnya yang diuji tidak dapat mengangkat minyak sedikit pun. Hasil
recovery oil dapat dilihat pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa recovery oil
paling besar dihasilkan oleh surfaktan S98 yaitu mencapai 1,3073%.
Pengangkatan minyak oleh surfaktan berkaitan dengan nilai tegangan
antarmukanya. Semakin kecil nilai tengangan antarmuka artinya semakin besar
sudut kontak antara minyak dengan air sehingga seharusnya perolehan minyak
akan semakin besar. Hasil Perolehan minyak kurang sesuai dengan penelitian ini,
karena pada penilitian ini nilai IFT S116 memiliki nilai IFT yang rendah sesuai
dengan teori tetapi tidak mengangkat crude. Faktor lainnya yang dapat
menyebabkan minyak sulit terangkat oleh surfaktan kemungkinan adalah karena
minyak yang tersimpan masuk hingga ke pori-pori terdalam. Crude oil yang
digunakan tergolong ke dalam jenis light oil sehingga diperkirakan akan sangat
mudah masuk ke dalam pori-pori core. Minyak yang masuk hingga ke pori-pori
terdalam akan sulit untuk dikeluarkan karena pori-pori yang kecil.
4.4 Hasil Uji Gugus Fungsi dengan FTIR
Karakterisasi surfaktan dengan FTIR ini bertujuan untuk mengetahui
gugus – gugus fungsi yang terdapat dalam surfaktan. Surfaktan S116 adalah
surfaktan yang terbaik saat di seleksi pada kriteria parameter uji. Pada penentuan
gugus fungsi surfaktan dengan FTIR diperoleh spektra Inframerah seperti terlihat
pada Gambar 12. Dilihat pada tabel 12 untuk perkiraan gugus fungsi FTIR pada
surfaktan S116.
53
Tabel 12. Perkiraan Gugus FTIR
Bilangan gelombang (cm-1
) S116 Perkiraan gugus fungsi
3400 - 3200 O-H (regang)
1790 - 1740 C=O (rengang)
1680 - 1642 C=O (amida)
1662 - 1631 C=C alkena (regang)
1638 - 1618 NH2 (amida)
1300 - 1250 -NO2
1075 - 1000 C-O alkohol (regang)
1043 - 1037 C-N
1175 - 1038 C-O-C (rengang)
859 - 750 N-H
Gambar 12. Spektra FT-IR S116
54
Berdasarkan spektra FT-IR yang ditunjukkan pada Gambar 12, terdapat
peak pada bilangan gelombang 3100-3400 cm-1
menunjukkan mode vibrasi –OH
stretching. Pada daerah bilangan gelombang 1662-1631 cm-1
adalah puncak
serapan dari CH=CH stretching. Pada daerah bilangan gelombang 1638-1618 cm-1
menunjukkan adanya –CO-NH2. Pada daerah bilangan gelombang 1300-1250 cm-
1 menunjukkan adanya
O-NO2. Pada daerah bilangan gelombang 1140-1080 cm
-1
menunjukkan adanya –CH-NH2. pada daerah bilangan gelombang 1175-1038 cm-
1 menunjukkan adanya –COOCO-R.
4.5 Hasil Seleksi Surfaktan Berdasarkan 5 Parameter Uji
Pada pengujian ini yang paling baik dari segi crude oil C1 dan C2 adalah
S116 dapat dilihat dari Tabel 13. Tetapi pada saat recovery oil, pada sampel S116
tidak terangkat dikarenakan semakin tinggi nilai tegangan antar muka pada suatu
surfaktan mendekati nilai orde 10-3
dyne/cm maka semakin kecil sudut kontak
antara minyak dengan air sehingga perolehan minyak akan semakin kecil.
Begitupun sebaliknya, Semakin kecil nilai tengangan antarmuka artinya semakin
besar sudut kontak antara minyak dengan air sehingga seharusnya perolehan
minyak akan semakin besar (Baihaqi, 2015).
55
Tabel 13. Perbandingan Hasil Seleksi Surfaktan Pada C1 dan C2
Dapat dilihat pada tabel 13, bahwa dari kedua sampel surfaktan yang
memiliki pengujian paling baik ialah sampel surfaktan S116. Pada pengujian ini
sampel S116 memiliki hasil yang bagus untuk hasil parameter uji screening test
tetapi tidak memiliki nilai recovery yang baik dibanding S98.
Jenis
Surfaktan
Crude
oil
Parameter Uji
Kompati
bilitas
Stabilitas
Termal
Kelakuan
Fasa
Nilai IFT
dalam
Konsentrasi
0,5 dan 1 %
(dyne/cm)
Imbibisi (%)
S98 C1 Tidak Baik
Tidak Stabil
Mikroemulsi 1,2 x 10-2 13,8957
5,1 x 10-2
S98 C2 Tidak
Baik
Tidak
Stabil
Terbentuk
emulsi
dibawah
1,7 x 10-1 1,3073
4,4 x 10-2
S116 C1 Baik Stabil Mikroemulsi 1,1 x 10-2 0
8,8 x 10-3
S116 C2 Baik Stabil Mikroemulsi 1,1 x 10-2 0
3,1 x 10-3
56
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Pada selektivitas uji surfaktan baik crude C1 maupun crude C2 sampel
surfaktan yang terbaik ialah S116. Karena pada sampe surfaktan S116
menghasilkan larutan jernih dan larut sempurna, nilai IFT yang mencapai
pada orde 10-3
dyne/cm, terbentuknya emulsi, tetapi pada uji imbibisi
crudenya tidak terangkat sempurna.
2. Pada uji imbibisi perolehan minyak dengan crude yang terangkat ada pada
sampel S98, pada C1 recovery oil nya mencapai 13,8957%. Sedangkan pada
C2 recovery oil nya mencapai 1,3073%.
5.2 Saran
Perlu dilakukan karakteristik lebih lanjut seperti TGA dan GC-MS. Perlu
dilakukan pengujian karakteristik EOR yang lebih lama kurang lebih selama 3
bulan serta memperhatikan kondisi peralatan teknis yang digunakan pada saat
pengujian, seperti kondisi temperatur untuk mendapatkan hasil yang optimal
terhadap pengaruh surfaktan yang dihasilkan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan.
57
DAFTAR PUSTAKA
[Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral]. 2016. Minyak Bumi.
https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/akomoditas/minyak-
bumi/item267.
Abdel M. 2006. Surfactant Formulations in Enhanced Oil Recovery, Chapter 11,
pp. 325 - 345, “In Surfactant Science Series”, Vol. 128, Handbook of
Detergents, Part D: Formulation. Edited by Showell, S.M., CRC Press,
Taylor and Francis Group, New York.
Ali S. 2007. Sumur Minyak Pertama dalam Al-Qur’an. Jakarta
Agnesia P. 2017. Sintesis dan Karakterisasi APG. Depok: Departemen Kimia
Universitas Indonesia.
Amri Q. 2009. Surfaktan Metil Ester Sulfonat Guna Meningkatkan Recovery
Minyak Bumi. E. Hambali, M. Rivai, P. Suarsana, Sugiharjo, E. Zulchaidir,
H. Handoko.
Auflem I H. 2002. Inluence of Asphaltene Aggregation & Pressure on Crude Oil
Emulsion Stability. Nowergian Upniversity of Science & Technology.
Ayirala S. 2002. Surfactant-Induced Relative Permeability Modifications for Oil
Recovery Enhancement.[tesis]. Lousiana State University and Agricultural
and Mechanical College.
Baihaqi M. 2015. Seleksi dan Formulasi Untuk Meningkatkan Produksi Minyak
Bumi Melalui Teknik Chemical Flooding. [Skripsi] Universitas Indonesia.
Berger, Paul D, Huimin Christie. 2007. Mixed Anionic Surfactant Composition for
Oil Recovery. US Paten 2007/0191655A1.
Campbell CB, Denslow TA, Gabriel P, Adam CJ. 2009. Enhanced Oil Recovery
Surfactant Formulation and Method of Making the Same. Chevron
Coorporation. US Patent 2009/0111717 A1.
Donaldson EC, Chilingarian GV, The Fu Yen. 1985. Enhanced Oil Recovery
Fundamentals and Analyses. Netherlands: Elsevier Science Publishers B.V.
Drelich J, Fang Ch, Whit C.L. 2002. Measurement of Interfacial Tension in Fluid-
Fluid System. Encyclopedia of Surface and Colloid Science. Michigan
Technological University. Michigan: Marcel Dekker, Inc.
Elkamel A , Al-Sahhaf T, Ahmed S. 2002. Studying the Interactions Between an
Arabian Heavy Crude Oil and Alkaline Solutions. New York: Petroleum
Science and Technology Vol. 20, Nos.7 & 8, pp. 789-807.
Emegwalu CC. 2009. Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A
Possibility For The Norne E- Segment. [tesis] Department Of Petroleum
Engineering And Applied Geophysics. Norwegian University of Science
and Technology.
58
Eni, Hestuti, Syahrial E, Sugihardjo. 2010. Screening Test dan Karakterisasi
Surfaktan. Lembaran Publikasi Migas. Vol. 44. No. 2, Agustus 2010: 108 –
116.
Fernando Y. 2012. Formulasi Demulsifier untuk Mengoptimalkan Proses
Demulsifikasi Heavy Crude Oil Jatibarang. [Skripsi]. FMIPA. Universitas
Indonesia.
French TR, Josephson CB, Evans DB. 1991. The Effect of Alkaline Additives on
the Performance of Surfactants Systems Designed to Recover Light Crude
Oil. Bartlesville UK: IIT Research Institute, National Institute for Petroleum
and Energy Research.
Georgiou GCL. Sung and M. M. Shara. 1992. Surface Active Compounds from
Microorganism. Bio/tech 10 : 60 – 65.
Gomaa EE. 1997. Enhanced Oil Recovery : Modern Management Approach.
Paper for IATMI- IWPL/MIGAS Conference. Surakarta.
Green DW. and Willhite GP. 1998. Enhanced Oil Recovery. SPE textbook series,
6. SPE,Richardson, Texax, 545 pp. Gudiña, E. J. 2013. Potential therapeutic
applications of biosurfactants. Trends in Pharmacological Sciences, 34(12),
667–675.
Griffith P. 1975. Chemical Infrared Fourier Transform Spectroscopy. John Wiley
& Sons: New York.
Gurgel A, Moura MCPA, Dantas TNC, Barros EL, Dantas AA. 2008. A Review
on chemical flooding Methods applied in Enhanced Oil Recovery. Brazilian
Journal of Petroleum and Gas. v.2, n.2, p. 83-95, 2008. ISSN 1982-0593.
Halim HP. 2011. Pengaruh Konsentrasi Nonyl Phenol Ethoxylate Non-Ionik
Terhadap Kinerja Surfaktan Metil Ester Sulfonat Sebagai Bahan Chemical
Flooding. Depok : Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia.
Hambali E, Dadang R, Riztiara N. 2012. Pemanfaatan Metil Ester Jarak Pagar
Menjadi Surfaktan MES Untuk Aplikasi Sebagai Oil Well Stimulation Agent.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, hlm. 8-15 Vol. 17 No.1 ISSN 0853 – 4217
Hirasaki GJ, Zhang DL. 2003. Surface Chemistry of Oil Recovery From
Fractured, Oil-Wet, Carbonate Formations. SPE 80988- International
Symposium on Oilfield Chemistry held in Houston, Texas, U.S.A.
Ikha S. 2011. Formulasi Surfaktan Untuk Screening Awal Chemical Flooding
Pada EOR. Depok: Departemen Kimia Universitas Indonesia.
Jackson AC, 2006. Experimental Study of the Benefit of Sodium Carbonate on
Surfactant for Enhanced Oil Recovery. Texas: The University of Tecas at
Austin.
Jhon FM, Suhendri. 2013. Pengilangan minyak Nabati. Pekanbaru.
59
Ko, Kwan Min, Sung Bum Jang, Bo Hyun Chon, Hee Yeon jang. 2014.
Surfactants Flooding Characteristics of Dodecyl Alkyl Sulfate for Enhanced
Oil Recovery. Elsevier : Journal of Industrial and Engineering Chemistry
20 (2014) 228–23.
Lake LW. 1989. Enhanced Oil Recovery. New Jersey: Prentice Hall.
Lemigas. 2002. Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang Akar
Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih : Penentuan
Parameter Batuan, Fluida Reservoir dan Rancangan Fluida Injeksi.
Lemigas, Jakarta.
Levitt DB. 2006. Experimental Evaluation Of High Performance EOR Surfactants
For A Dolomite Oil Reservoir. [tesis]. The University of Texas at Austin.
Morrow. 1992. Enhanced Oil Recovery using Alkylated, Sulfonated, Oxidized
Lignin Surfactants. US Paten 5,094,295.
Myers D. 2006. Surfactant Science and Technology (3rd
ed). United States of
America: Wiley Interscience A John Wiley & Sons, Inc., Publication.
Naqvi S. 2012. Enhanced Oil Recovery of Heavy Oil by Using Thermal and Non-
Thermal Methods. Dalhousie University, Nova Scotia, Canada.
Norman JH. 2001. Nontechnical Guide to Petroleum Geology Exploration,
Drilling and Production, p. 4, 2nd. Edition. Oklahoma, Penn Well
Corporation.
Perkins WS. 1998. Surfactans A Primer: 51-54.
Pratomo A. 2005. Pemanfaatan Surfaktan Berbasis Minyak Sawit Pada Industri
Perminyakan. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis
Minyak sawit pada Berbagai lndustri. Bogor.
Rivai, Ani S, Tun TI. 2011. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan Metil Ester
Sulfonat dan Formulasinya Untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR).
J. Tek. Ind. Pert. Vol. 21 (1), 41-49
Rachmat S. 2009. Reservoir Minyak dan Gas Bumi. http://www.migas-
indonesia.net/.
Schramm LL. 2000. Surfactants: Fundamentals and Applications in the
Petroleum Industry. United Kingdom: Cambridge University Press.
Seprima S. 2016. Minyak bumi. Depok: Departemen Kimia Universitas Indonesia
Sheng JJ. 2011. Modern Chemical Enhanced Oil Recovery:Theory and Practice.
Gulf Professional Publishing is an imprint of Elsevier. 30 Corporate Drive,
Suite 400. Burlington, MA 01803, USA.
Sukriya INM. 2011. Formulasi Surfaktan untuk Screening Awal Chemical
Flooding pada EOR (Enhanced Oil Recovery). Universitas Indonesia.
60
Sugihardjo, Tobil Edward ML, Syahrial Ego. 2008. Important Parameters of
Injecting Fluid Design In ASP-EOR Projects IPA08-E-024. Jakarta:
Proceeding, Indonesian Petroleum Association.
Supriningsih D. 2010. Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai Surfaktan
untuk Enhanced Oil Recovery (EOR). Depok : Departemen Kimia
Universitas Indonesia.
Sitorus M, Sutiani, Ani. 2013. Pengelolaan dan Manajemen Laboratorium Kimia.
Medan: Graha Ilmu.
Technology Assesment Board. 1978. Enhanced Oil Recovery Potential in the
United States. http://govinfo.library.unt.edu/ota_5/DATA/1978/7807.PDF.
[02-02-2011]
Thermo Nicolet. 2001. Introduction to FTIR Spectrometry. Thermo Nicolet Inc:
Madison, USA.
Wahyono K. 2009. Warta Pertamina. http://www.pertamina.com/.
Wibowo EB, Buntoro A, Natsir M. 2007. Upaya Peningkatan Perolehan Minyak
Menggunakan Metode Chemical Flooding Di Lapangan Limau.
Yogyakarta.
61
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat instrumen yang digunakan
a. Spinning drop tensiometer
b. FTIR
c. GC-SIMDIS
Lampiran 2. Crude Oil
62
Lampiran 3. Air Formasi
Lampiran 4. Surfaktan
63
Lampiran 5. Proses penyaringan air formasi
Lampiran 6. Batuan sintetik
64
Lampiran 7. Pengamatan uji kompatibiltas
65
Lampiran 8. Pengamatan uji termal
66
Lampiran 9. Pengamatan uji imbibisi
Lampiran 10. Pengamatan Uji Kelakuan Fasa
A. Kelakuan fasa pada crude oil C1
67
B. Kelakuan fasa pada crude oil C2
Lampiran 11. Hasil uji imbibisi C1
No Kode
sampel
Pengamatan Crude yang terangkat (mL), hari
1 2 3 4 5 6 7 11
1 Blanko - - - - - - - -
2 S98 - - - 0,2 0,3 0,6 0,7 0,7
3 S116 - - - - - - - -
note : - = crude yang tidak terangkat
Lampiran 12. Hasil uji imbibisi C2
No Kode sampel Pengamatan crude yang terangkat (mL), hari
1 2 3 4 5 6 7
1 Blanko - - - - - - -
2 S98 - - - 0,1 0,1 0,1 0,1
3 S116 - - - - - - -
note : - = crude yang tidak terangkat
68
Contoh perhitungan dari recovery oil (%):
Diketahui : Sampel surfaktan S116
r = 27,03 mm t = 44,38 mm V minyak yang terangkat = 0
= 3,14 = 0,848
M1 = 44,4167 M2 = 50,5999
Ditanya ; % recovery?
Jawab ;
V core : x r2 x t
3,14 x (27,03)2 x 44,38
3,14 x 730,6209 x 44,38
= 101814,360
V crude dalam core ;
=
= 101,8143
Vcs ;
=
=
= 7,2915
% recovery ;
=
= 0