pemakain surfaktan
-
Upload
tia-hulwah-jiddan -
Category
Documents
-
view
227 -
download
14
Transcript of pemakain surfaktan
PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL
POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN
DODEKANOL
FEBRUADI BASTIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemurnian
Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol”
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Februadi Bastian
NRP. F351080051
ABSTRACT
FEBRUADI BASTIAN. Purification of Alkyl Polyglycosides Nonionic
Surfactant Based on Tapioca Starch and Dodecanol. Supervised by ANI
SURYANI and TITI CANDRA SUNARTI.
Alkyl polyglycosides (APG) , a nonionic surfactant, has got some green
labels such as Ecocert, EU Eco-flower and Green Seal as environmentally
friendly surfactant. Sugar as APG's raw material, supplied the hydrophilic group,
and fatty alcohol acted as hydrophobic group. Some undesirable compounds
formed during the APG production had caused low quality. The research aimed
to increase the quality and performance of APG, by controlling its process. The
catalyst of p-toluene sulfonic acid (PTSA) was added and investigated the effect
of catalysis concentration (0,018-0,036 mole per mole of starch) to enhance the
butanolysis of starch. Addition 0-10% of activated carbon and 0-0,3% of NaBH4
in APG pre-purification process; 2% (w/w) of H2O2 35% and 500 ppm of MgO in
the bleaching process were examined to process high quality and high
performance of APG. The results showed that 0.027 mole of PTSA per mole
starch and process temperature of 140 OC could minimize the residual sugars after
butanolysis. The best APG was obtained from purification step by addition 0%
of activated carbon and 0,2% of NaBH4, with the characteristics of clarity of
59,02(%T); the ability to reduce surface and interfacial tensions at 1%
concentration were 61,98% and 95,60% respectively; 81,71% of stability of
emulsion, 62,5% of foam height and stable up to 315 minutes.
Keywords: Nonionic surfactant, alkyl polyglycoside, purification, bleaching
RINGKASAN
FEBRUADI BASTIAN. Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida
(APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan
TITI CANDRA SUNARTI.
Produksi surfaktan saat ini telah beralih ke produksi dengan bahan baku
yang ramah lingkungan dan terbarukan. Salah satu jenis surfaktan yang ramah
lingkungan yaitu alkil poliglikosida (APG). Surfaktan APG telah mendapatkan
berbagai sertifikat yang menyatakan bahwa APG merupakan surfaktan yang
ramah lingkungan seperti Ecocert, EU Eco-flower dan Green Seal. Surfaktan
APG biasa digunakan pada formulasi beberapa produk personal care, kosmetik,
detergen, maupun herbisida.
APG merupakan jenis surfaktan berbasis gula yang disintesis dari glukosa
dan alkohol lemak. Glukosa akan membentuk gugus hidrofilik dan alkohol lemak
akan membentuk gugus hidrofobik dengan bantuan katalis p-toluene sulfonic acid
(PTSA). Kebutuhan surfaktan nonionik Indonesia saat ini masih dipenuhi dari
impor yang jumlahnya semakin tahun semakin meningkat, padahal Indonesia
memiliki potensi produksi pati dan PKO yang cukup besar.
Salah satu permasalahan dalam sintesis surfaktan APG yaitu terbentuknya
warna gelap yang tidak diinginkan. Warna gelap ini berasal dari residu glukosa
hasil hidrolisis pati yang tidak bereaksi dengan alkohol lemak untuk membentuk
APG. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan desain proses produksi
dan pemurnian APG dengan karakteristik dan kinerja yang baik.
Sintesis APG menggunakan pati sebagai bahan bakunya melalui dua tahap
yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada proses butanolisis terjadi proses
hidrolisis pati menjadi gula sederhana dan proses alkoholisis antara gula
sederhana dan butanol hingga membentuk butil glikosida. Selama proses
butanolisis terdapat residu gula yang tidak bereaksi yang berpotensi membentuk
polidekstrosa dan hidroksil metil furfural (HMF) yang merupakan penyebab
warna gelap. Oleh karena itu dilakukan variasi perlakuan penambahan katalis dan
pengaturan suhu selama proses butanolisis untuk menghasilkan produk butanolisis
yang memiliki residu gula yang rendah dan tingkat kecerahan yang masih tinggi.
Perlakuan rasio mol katalis PTSA yang digunakan yaitu 0,018-0,036 mol
PTSA : 1 mol pati, sedangkan perlakuan suhu yaitu 140-150 OC. Hasil terbaik dari
proses butanolisis yaitu kombinasi rasio mol katalis 0,027 : 1 mol pati dan
perlakuan suhu 140 OC. Kombinasi perlakuan ini menghasilkan residu gula yang
cukup rendah yaitu 39,7% dan kejernihan yang masih tinggi yaitu 45,75%T.
Hasil terbaik pada proses butanolisis kemudian digunakan untuk proses
sintesis pada tahap selanjutnya. Residu gula yang dihasilkan pada proses
butanolisis akan membentuk polidekstrosa dan HMF pada proses transasetalisasi.
Oleh karena itu dilakukan tahap pemurnian yang meliputi proses penyaringan
netralisasi, penambahan arang aktif, penambahan NaBH4 dan destilasi, kemudian
untuk meningkatkan kejernihan produk dilakukan proses pemucatan (bleaching).
Penambahan arang aktif dimaksudkan untuk mengurangi warna gelap yang
terbentuk setelah proses transasetalisasi, sedangkan penambahan NaBH4
dilakukan untuk mengubah residu glukosa yang masih tersisa menjadi sorbitol
melalui proses hidrogenasi. Sorbitol lebih tahan pada suhu tinggi selama proses
destilasi yang menggunakan suhu 140-160 OC dibandingkan dengan glukosa,
sehingga kerusakan glukosa menjadi HMF dapat terhindarkan.
Konsentrasi arang aktif yang ditambahkan sebanyak 0-10% sedangkan
konsentrasi penambahan NaBH4 yaitu 0-0,3% dari bobot hasil transasetalisasi.
Penambahan arang aktif dan NaBH4 dapat meningkatkan kejernihan produk APG
yang dihasilkan. Penambahan arang aktif 5% mampu meningkatkan kejernihan
APG dibandingkan perlakuan tanpa penambahan arang aktif dan penambahan
arang aktif 10%, namun penambahan arang aktif dapat menurunkan kinerja APG
yang dihasilkan. Pengaruh penambahan NaBH4 hingga 0,2% mampu
meningkatkan kejernihan dan kinerja APG.
Kombinasi perlakuan terbaik yaitu tanpa penambahan arang aktif (0%) dan
NaBH4 0,2%. Pada kombinasi perlakuan ini diperoleh tingkat kejernihan sebesar
59,02%(Transmisi); kemampuan menurunkan tegangan permukaan sebesar
61,94%; kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sebesar 95,60%;
kestabilan emulsi 81,71%; tinggi busa yang dihasilkan sebesar 62,5%; stabilitas
busa selama 315 menit; dan rendemen sebesar 58,55%.
Kata kunci: surfaktan nonionik, alkil poliglikosida, pemurnian, pemucatan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL
POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN
DODEKANOL
FEBRUADI BASTIAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG)
Berbasis Tapioka dan Dodekanol
Nama Mahasiswa : Februadi Bastian
NRP : F351080051
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 30 Desember 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulisan hasil penelitian dengan judul “Pemurnian Surfaktan
Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol” dapat
terselesaikan dengan baik. Penulisan penelitian ini diajukan sebagai salah satu
tahapan penyelesaian tesis di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu antara lain:
1. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi
2. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku Ketua Komisi Pembimbing
3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing
4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si., selaku Dosen Penguji Luar Komisi
5. Teknisi laboratorium dan staf TIP : Ibu Rini, Ibu Sri, Ibu Ega, Pak
Sugiardi, dan Pak Edi, Serta Ibu Nur. Terima kasih bantuannya.
6. Siti Aisyah, Donna Imelda, Saud, Andrew, Niken, Citra, Fatma, Deli,
Dessy, Kartika, Jaelani, Bpk. Adi Salamun dan Bpk Agus yang banyak
membantu selama penelitian.
7. Bapak, Mama, Kakak dan Adik yang selalu memacu agar cepat selesai.
8. Istri, Febriani Antasari dan Ananda Fadhil Hafizahin Bastian atas
kesabaran, dukungan dan doa.
9. Bpk. Erwin Susanto dan Bpk. Abun Lie dari PT Ecogreen atas bantuan
bahan baku alkohol lemak.
10. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
IPB, yang telah memberikan sebagian bantuan dana penelitian.
11. Teman-teman TIP IPB angkatan 2008 dan teman-teman di PTD
12. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan hasil penelitian.
Penulis meyakini bahwa tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Oleh
karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang dapat membantu
kesempurnaan hasil penelitian ini.
Bogor, Januari 2011
Februadi Bastian
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Ujungpandang pada tanggal 5 Februari 1982. Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Adolf Bastian
dan Ibu Dina Sulle. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun
1994 di SD Sudirman I Makassar, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah
tingkat pertama di SLTP Neg. 6 Makasaar. Pada tahun 1997, penulis kemudian
melanjutkan pendidikan di SLTA Neg. 2 Makassar dan lulus pada tahun 2000.
Ditahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Program
Studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis memulai karir di sebuah media lokal di kota
Makassar. Pada Tahun 2006 penulis terangkat menjadi staf pengajar di Jurusan
Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Tak lepas dari
hobby penulis di bidang IT, selama tahun 2006-2008 penulis sempat menjadi
koordinator ICT pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan staf Bidang
Program dan Teknis ICT Global Development Learning Network (GDLN)
Universitas Hasanuddin.
Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan pendidikan program master di jurusan
Teknologi Industri Pertanian IPB dengan sponsor pembiayaan dari BPPS dan
bantuan penelitian yang berasal dari Departemen Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Bogor, Januari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ ix
1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
1.2.1 Tujuan Umum .......................................................................... 3
1.2.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5
2.1 Surfaktan ........................................................................................... 5
2.1.1 HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) ...................................... 6
2.1.2 Tegangan Permukaan .............................................................. 7
2.1.3 Tegangan Antarmuka ............................................................... 7
2.1.4 Kemampuan pembusaan ........................................................... 7
2.1.5 Stabilitas Emulsi ...................................................................... 8
2.2 Alkil Poliglikosida ............................................................................ 9
2.2.1 Butanolisis ............................................................................... 12
2.2.2 Transasetalisasi ........................................................................ 13
2.2.3 Netralisasi ................................................................................ 14
2.2.4 Distilasi .................................................................................... 15
2.2.5 Pemucatan (bleaching) ............................................................. 15
2.2.6 Bahan Pemucat ........................................................................ 16
2.2.7 Katalis ...................................................................................... 18
2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4) ................................................... 19
2.2.9 Arang Aktif .............................................................................. 20
2.2.10 Proses Pencoklatan ................................................................. 21
2.3 Bahan Baku Alkil Poliglikosida......................................................... 22
2.3.1 Alkohol Lemak ........................................................................ 22
2.3.2 Sumber Karbohidrat ................................................................. 23
2.3.3 Tapioka .................................................................................... 24
3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 27
3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 27
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 28
3.3 Alat dan Bahan .................................................................................. 28
3.4 Metode Penelitian.............................................................................. 28
3.4.1 Penentuan Rasio Mol Katalis dan Suhu Butanolisis .................. 28
3.4.2 Tahap Produksi APG (sintesis dan pemurnian) ......................... 30
3.4.2.1 Proses Sintesis APG (Butanolisis dan Transasetalisasi)... 30
3.4.2.2 Proses Pemurnian APG................................................... 30
3.4.3 Karakterisasi ............................................................................ 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 33
4.1 Pengaruh Rasio Mol Katalis dan Suhu pada Proses Butanolisis ......... 33
4.1.1 Residu Gula Pereduksi ............................................................. 34
4.1.2 Residu Total Gula .................................................................... 36
4.1.3 Kejernihan ............................................................................... 38
4.1.4 Pemilihan Rasio Mol dan Suhu Terbaik Proses Butanolisis ...... 40
4.2 Produksi APG ................................................................................... 41
4.2.1 Proses Sintesis (Butanolisis dan Transasetalisasi) ..................... 41
4.2.2 Proses Pemurnian APG ............................................................ 42
4.2.2.1 Proses Penyaringan ......................................................... 42
4.2.2.2 Proses Netralisasi ........................................................... 43
4.2.2.3 Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 ............................. 44
4.2.2.4 Proses Distilasi ............................................................... 44
4.2.2.5 Proses Pemucatan (Bleaching) ........................................ 45
4.2.2.6 Karakteristik Kejernihan ................................................. 45
4.2.2.7 Rendemen ...................................................................... 47
4.3 Karakterisasi APG ............................................................................. 48
4.3.1 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan ...................... 48
4.3.2 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka ...................... 50
4.3.3 Kestabilan Emulsi .................................................................... 52
4.3.4 Pembusaan (Tinggi dan Kestabilan Busa) ................................. 54
4.3.5 Penentuan Perlakuan Terbaik ................................................... 56
4.3.6 Analisa Gugus Fungsi .............................................................. 58
4.3.7 Karakterisasi Formasi Emulsi dengan menentukan nilai HLB.. 58
4.3.8 Perbandingan Karakteristik APG Sintesis dan APG Komersial . 60
4.4 Perhitungan Biaya Bahan Baku Untuk Produksi APG ....................... 61
5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 63
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 63
5.2 Saran ................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 65
LAMPIRAN ............................................................................................. 69
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai HLB dan Aplikasinya ...................................................................... 6
2 Data Impor Surfaktan Nonionik Indonesia ............................................... 9
3 Syarat Mutu Tapioka ................................................................................ 25
4 Derajat Polimerisasi dan Persentase Residu Total Gula dari Berbagai
Sampel ..................................................................................................... 38
5 Perbandingan Karakteristik APG Sintesis dan APG Komersial ................ 61
6 Biaya Bahan Baku Pembuatan APG ......................................................... 62
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Proses Sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan Metode Satu dan
Dua Tahap. ......................................................................................... 10
2 Proses Sintesis APG Satu Tahap ......................................................... 11
3 Proses Sintesis APG Dua Tahap .......................................................... 12
4 Reaksi Perubahan Gugus Aldehid/Keton Menjadi Gugus Alkohol
dengan Pereduksi NaBH4 .................................................................... 20
5 Proses Perubahan D-glukosa Menjadi HMF ........................................ 22
6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG ......................................... 24
7 Diagram Alir Proses Butanolisis Tahap Pertama ................................. 29
8 Diagram Alir Proses Produksi APG .................................................... 32
9 Pengaruh Faktor Rasio Mol Katalis dan Faktor Suhu Terhadap Residu
Gula Pereduksi .................................................................................... 35
10 Pengaruh Faktor Rasio Mol Katalis dan Faktor Suhu Terhadap Residu
Total Gula ........................................................................................... 37
11 Hasil dari Proses Butanolisis ............................................................... 39
12 Pengaruh Rasio Mol Katalis dan Suhu Terhadap Kejernihan (%T) ...... 39
13 Perbandingan Hasil Pengamatan Residu Gula Pereduksi, Residu Total
Gula dan Kejernihan Dari Tiap Perlakuan ........................................... 41
14 Hasil Akhir Proses Transasetalisasi ..................................................... 42
15 Perubahan Warna Pada Saat Netralisasi Menggunakan NaOH............. 44
16 APG Kasar Hasil Proses Destilasi ....................................................... 45
17 Produk APG Murni Hasil Proses Pemucatan (Bleaching) .................... 46
18 Hasil Analisa Kejernihan Produk APG Sintesis ................................... 47
19 Rendemen APG dari Perlakuan Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 48
20 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan dari APG yang
Dihasilkan ........................................................................................... 50
21 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka APG Sintesis pada
Konsentrasi 1% Bahan Aktif ............................................................... 52
22 Proses Penghitungan Kestabilan Emulsi .............................................. 53
23 Tingkat Kestabilan Emulsi Air dan Xilena dari Penambahan APG ...... 54
24 Pengaruh Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 Terhadap Tinggi Busa 55
25 Pengaruh Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 Terhadap Stabilitas
Busa .................................................................................................... 56
26 Skor dari Perlakuan Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 .................. 57
27 Perbandingan Gugus Fungsi FTIR Antara APG Hasil Sintesis dan
APG Komersial ................................................................................... 59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Prosedur Analisis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ....................... 71
2 Analisa Statistik Residu Gula Reduksi Hasil Proses Butanolisis .......... 75
3 Analisa Statistik Residu Total Gula Hasil Proses Butanolisis............... 76
4 Analisa Statistik Kejernihan Hasil Proses Butanolisis .......................... 77
5 Perbandingan Residu Gula Reduksi, Residu Total Gula, dan
Kejernihan Hasil Proses Butanolisis .................................................... 78
6 Hasil Perbandingan Gula Reduksi Setelah Proses Transasetalisasi....... 79
7 Proses Butanolisis ............................................................................... 80
8 Analisa Statistik Kejernihan APG Murni ............................................. 81
9 Analisa Statistik Rendemen APG Murni ............................................. 83
10 Analisa Statistik Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan
APG Murni ......................................................................................... 84
11 Analisa Statistik Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka
APG Murni ......................................................................................... 87
12 Analisa Statistik Kestabilan Emulsi APG Murni.................................. 90
13 Analisa Statistik Pembusaan APG Murni ............................................ 93
14 Penentuan Perlakuan Terbaik Pemurnian APG Melalui Pembobotan
parameter ukurnya ............................................................................. 95
15 Perhitungan HLB ................................................................................ 96
16 Perhitungan Biaya Bahan Baku Produksi APG .................................... 97
I P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Surfaktan merupakan senyawa yang memiliki kemampuan menurunkan
tegangan permukaan dan antarmuka. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan
hidrofobik dalam satu molekul. Karena sifat inilah surfaktan dapat digunakan
sebagai bahan penggumpal, pembusaan, dan emusifier oleh industri farmasi,
kosmetik, kimia, pertanian dan pangan.
Peningkatan kebutuhan akan surfaktan diikuti oleh semakin berkembangnya
industri-industri pengguna surfaktan. Saat ini perilaku industri selalu dihadapkan
pada masalah lingkungan terutama dari segi bahan baku dan limbah yang
dihasilkan. Untuk menjawab masalah tersebut, industri surfaktan mulai
menghasilkan surfaktan yang memiliki sifat bebas dari toxic, biodegradable, dan
mudah diformulasikan dengan komponen lain. Flider (2001) menyatakan bahwa
surfaktan berbahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu berbasis
minyak-lemak (monogliserida, digliserida, poligliserol ester, MES, dietanolamida,
dan sebagainya), berbasis karbohidrat (alkil poliglikosida, sorbitan esters, sukrosa
ester, alkil xylosides, dan n-metil glukamida), ekstrak bahan alami (lesitin dan
saponin), dan biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme (rhamnolipida,
sophorolipida, lipopeptida dan sebagainya).
Alkil poliglikosida merupakan surfaktan nonionik ramah lingkungan yang
dihasilkan dari bahan baku pati dan alkohol lemak. Surfaktan alkil poliglikosida
(APG) merupakan salah satu surfaktan nonionik yang ramah lingkungan karena
disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis minyak nabati dan
karbohidrat seperti tapioka, sagu, dan lain-lain. APG telah diklasifikasikan
sebagai surfaktan kelas satu yang ramah lingkungan (Hill et al. 2000) yang
banyak digunakan untuk industri personal care product, herbisida, kosmetik dan
industri tekstil. Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan
membran, mengurangi efek iritan serta dapat terurai dengan baik secara aerob dan
anaerob (Mehling et al. 2007)
Kebutuhan akan APG di Indonesia saat ini dipenuhi dari impor. APG
sebagai surfaktan nonionik mempunyai keunggulan yaitu sifat tidak beracun
(nontoxic), tidak menyebabkan iritasi dan ramah terhadap lingkungan. Hal ini
mengakibatkan tingginya mengakibatkan permintaan dunia terhadap surfaktan ini
mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009), sedangkan jumlah impor surfaktan
nonionik yang masuk ke indonesia pada tahun 2009 mencapai 18.176 ton. Disisi
lain Indonesia memiliki potensi kelapa sawit yang sangat besar dengan hasil
produksi CPO mencapai 17 juta ton pada tahun 2008 dan produksi PKO 2,6 juta
ton pada tahun 2009 yang dapat disintesa menjadi alkohol lemak. Jumlah produksi
alkohol lemak indonesia pada tahun 2009 mencapai 155.000 ton. Potensi akan
sumber pati di Indonesia juga sangat besar. Sumber karbohidrat yang potensial di
Indonesia dapat berasal dari umbi-umbian seperti ubi kayu ataupun dari batang
seperti sagu. Namun jika dibandingkan antara kedua sumber pati tersebut, ubi
kayu lebih mudah dibudidayakan jika dibandingkan dengan sagu. Produksi ubi
kayu Indonesia pada tahun 2008 mencapai 21,7 juta ton.
Melihat potensi permintaan yang besar di Indonesia akan surfaktan
nonionik, maka peluang untuk produksi APG sebagai salah satu surfaktan
nonionik masih sangat besar.
Permasalahan dalam proses pengolahan pati dan alkohol lemak menjadi
APG yaitu kelarutan monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida yang rendah
terhadap alkohol lemak; proses pemisahan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi;
menghilangkan by-product yang terbentuk seperti warna yang gelap; bau yang
menyengat; dan performa yang kurang bagus.
Pada pembuatan APG, pati digunakan sebagai sumber gugus hidrofiliknya
melalui beberapa tahapan proses. Pertama yaitu tahap butanolisis untuk mengubah
pati menjadi gula sederhana dan membuat ikatan dengan alkohol rantai pendek
dengan bantuan katalis asam. Proses dilanjutkan ke tahap transasetalisasi untuk
mengganti alkohol rantai pendek dari butanol dengan alkohol rantai panjang yang
berasal dari alkohol lemak. Alkohol lemak yang tidak bereaksi dikeluarkan
melalui proses distilasi, kemudian APG yang dihasilkan dilakukan proses
pemucatan untuk mendapatkan APG murni.
Permasalahan utama dalam sintesis surfaktan alkil poliglikosida (APG)
yaitu terbentuknya warna gelap yang tidak diinginkan. Warna yang gelap
diakibatkan oleh proses pencoklatan non-enzimatis dengan terbentuknya
furfuraldehid dari turunan pati. Penggunaan bahan baku yang berasal dari pati
ataupun gula-gula sederhana dalam pembuatan alkil poliglikosida sangat mudah
mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam maupun
basa selama proses sintesis. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-
product yang tidak diinginkan selama proses sintesis APG
Perbedaan sifat kepolaran dari bahan baku menyebabkan ikatan antara
glukosa hasil degradasi pati dengan alkohol lemak sulit untuk saling terikat,
sehingga glukosa lebih mudah membentuk sebuah polimer (polydextrose) atau
terjadinya dehidrasi pada glukosa menjadi hidroksil metil furfural (HMF) sebelum
berikatan dengan alkohol lemak. Terbentuknya polimer glukosa dan HMF
merupakan penyebab terjadinya warna gelap. Kondisi ini sangat dimungkinkan
untuk terjadi karena perlakuan suhu yang tinggi, kandungan air bahan dan
keadaan asam selama proses sintesis.
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan desain proses
produksi dan pemurnian APG dengan karakteristik dan kinerja yang baik.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui pengaruh suhu, dan rasio mol katalis selama proses butanolisis
terhadap karakteristik dan tingkat konversi pati.
2. Mendapatkan konsentrasi penambahan arang aktif dan NaBH4 pada proses
pemurnian terhadap karakteristik dan kinerja APG yang dihasilkan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 S u r f a k t a n
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat
hidrofilik yang bersifat polar dan hidrofobik yang bersifat non polar. Karena sifat
ini surfaktan dapat larut dalam larutan yang berbeda derajat polaritas dan ikatan
hidrogennya seperti air dan minyak. Konfigurasi hidrofilik dan hidrofobik tersebut
membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di berbagai industri. Aplikasi
surfaktan dalam industri antara lain sebagai pembasah, pembentukan busa,
penstabil emulsi, dan lain sebagainya yang memanfaatkan perbedaan sifat dari
gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan
Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara
luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut
adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan
amfoterik (Rieger 1985). Pembagian jenis-jenis surfaktan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa
gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya
merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.
2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan
ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan
terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.
3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,
kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak
membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang
menyebabkan terjadinya momen dipol.
4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik
seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media
dan nilai pH.
Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya grup yang dapat
larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya grup tersebut adalah gugus
hidroksil (R–OH) dan gugus eter (R–O–R’). Daya larut dalam air gugus hidroksil
dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat.
Kelarutan grup hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan
penggunaan grup multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk
multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil)
antara lain: glukosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan
poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991).
Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat
dibagi menjadi empat kelompok yaitu :
1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester
2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida
3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin
4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan
sophorolipid
2.1.1 H L B (Hydrophile-Lipophile Balance)
Keseimbangan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada surfaktan
dihitung dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Menurut Holmberg
et al. (2003) nilai HLB menentukan aplikasi dari surfaktan yang dihasilkan. Nilai
HLB dan aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai HLB dan aplikasinya
Nilai HLB Aplikasi
3 – 6 Pengemulsi W/O
7 – 9 Wetting agent
8 – 14 Pengemulsi O/W
9 – 13 Detergen
10 – 13 Solubilizer
12 – 14 Dispersant Sumber : Menurut Holmberg et al. (2003)
2.1.2 Tegangan permukaan
Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang dibutuhkan untuk
memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan
disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik dari molekul cairan. Tegangan
permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan
dalam dyne/cm atau mN/m.
Pada cairan terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah pemukaan
dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-
menarik molekul di bawah permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan
gaya tarik dari molekul-molekul dibawahnya yang mencoba menarik ke tubuh
cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan
luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola
(sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan
tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan
maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue 1989).
2.1.3 Tegangan antarmuka
Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut,
kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki
oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya
meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan
tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka adalah gaya
persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cair yang tidak dapat
tercampur. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan
tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan
permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989)
2.1.4 Kemampuan pembusaan
Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa, baik secara
diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah
sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair.
Kestabilan busa diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini
teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas
sehingga diperoleh suatu kestabilan (Noerdin 2008).
Struktur busa cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran busa
rata-rata melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi cair lebih dari 5%, maka
gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir bola, sebaliknya, jika kurang dari
5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur busa dapat berubah
jika diberi gaya dari luar, apabila gaya tersebut kecil, maka struktur busa akan
kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang
diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi (Noerdin 2008).
Kemampuan pembusaan dipengaruhi oleh panjang rantai hidrokarbon.
Dibandingkan dengan surfaktan anionik sebagai agen pembusa yang telah lama
digunakan, surfaktan nonionik dianggap sebagai surfaktan yang memiliki
kemampuan pembusaan yang lebih rendah. Ware et al. (2007), melakukan
pengujian kemampuan pembusaan antara surfaktan Sodium Lauryl Sulfate (SLS),
APG C10 dan APG C12. Hasilnya yang diperoleh yaitu kemampuan surfaktan APG
memiliki kemampuan pembusaan lebih rendah dibandingkan surfaktan SLS.
2.1.5 Stabilitas emulsi
Mekanisme kerja dari surfaktan untuk menstabilkan emulsi yaitu dengan
menurunkan tegangan permukaan dengan membentuk lapisan pelindung yang
menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan
lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil. Emulsi yang stabil
mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga
proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel
1991)
Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak
stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak
membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas
emulsi merupakan salah satu karakter penting dan mempunyai pengaruh besar
terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000)
2.2 Alkil poliglikosida (APG)
Alkil poliglikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium
oleh Emil Fischer sekitar 100 tahun yang lalu. Aplikasi paten dengan
menggunakan alkil poliglikosida sebagai bahan bakunya dipublikasikan di Jerman
sekitar 40 tahun kemudian hingga saat ini berbagai penemuan tentang alkil
poliglikosida terus berkembang. Pada awalnya Fischer mereaksikan glukosa dan
alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain
kemudian mereaksikannya pada alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai
alkil dari octil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol
lemak. Hasil sintesis yang diperoleh berupa kumpulan dari alkil mono, poli, dan
oliglikosida. Karena kompleksitas inilah maka produk yang dihasilkan disebut
Alkil poliglikosida (Hill 2000).
Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang ramah
lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis
karbohidrat dan alkohol lemak. APG telah diuji mengenai dampak terhadap
lingkungan dan telah mendapatkan beberapa green label seperti Ecocert, EU Eco-
flower, Green Seal dan sebagainya sebagai surfaktan yang ramah lingkungan.
APG juga tidak beracun atau berbahaya bagi manusia, memiliki sifat iritasi yang
rendah pada kulit jika dibandingkan dengan surfaktan lainnya (Mehling et al.
2007). Saat ini produksi APG dunia mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009).
Kebutuhan surfaktan nonionik APG di Indonesia saat ini dipenuhi dari impor.
Kebutuhan surfaktan nonionik di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Data impor surfaktan non ionik Indonesia
Tahun Jumlah (Kg) Nilai (US$)
2003 14.527.188 17.351.004
2004 25.342.925 38.339.722
2005 16.735.515 29.790.690
2006 15.408.042 26.659.130
2007 14.865.928 28.353.164
2008 17.168.473 42.172.772
2009 18.176.494 38.617.994
Jan-Agt 2010 17.016.995 38.878.278 Sumber: BPS (2010)
Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda,
yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol
lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan
pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan
APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 1. Pada diagram proses
tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur
pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis pati-alkohol lemak melalui
proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis
dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing
prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan (Hill
2000).
PATI
BUTANOLISIS
BUTANOL
TRANSASETALISASI
NETRALISASI
ASETALISASI
GLUKOSA ANHIDRAT /
GLUKOSA MONOHIDRAT
ALKOHOL
LEMAK
ALKOHOL
LEMAK
DISTILASI
PEMUCATAN
APG
BUTANOL
DAN AIR
ALKOHOL
LEMAK
PROSES SATU TAHAPPROSES DUA TAHAP
Gambar 1 Proses sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan metode satu dan dua
tahap (Hill 2000)
Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi
dua tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa,
tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan
tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C8-22
terutama C12-18 dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan
pada suhu diatas 125 OC dan dengan tekanan 4-10 bar. Reaksi transasetalisasi
dilaksanakan pada temperatur 115-118 OC pada kondisi vakum dengan rasio mol
pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1:1,5 sampai 1:7, 1:2,5 sampai 1:7, dan
1:3 sampai 1:5, sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai
1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8.
Menurut Buchanan et al. (1998) tahapan proses APG dengan dua tahap
meliputi langkah-langkah dasar sebagai berikut: 1) reaksi glikosidasi
menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk
membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, 2)
transglikosidasi dari butil glikosida dengan C8 sampai C20 alkohol menjadi APG
rantai panjang, dengan pemisahan butanol selama reaksinya, 3) netralisasi dari
katalis asam, 4) distilasi untuk memisahkan rantai panjang alkohol yang tidak
bereaksi, 5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk, dan 6)
isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan
pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan. Untuk proses sintesis APG
tipe tahap tunggal (Gambar 2) meliputi semua langkah dari proses dua tahap
(Gambar 3), dengan pengecualian pada penggabungan langkah 1 dan 2 yang
ditunjukkan di atas dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan rantai
panjang alkohol.
Gambar 2 Proses sintesis APG satu tahap (Hill 2000)
Keterangan :
I. Reaksi Glikosidasi (Butanolisis)
II. Reaksi Transglikosidasi (Transasetalisasi)
Gambar 3 Proses sintesis APG dua tahap (Hill 2000)
2.2.1 Butanolisis
Lueders (2000), melakukan penelitian dengan mereaksikan pati dengan
butanol dan katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA) dengan rasio mol 11,3 butanol,
dan 0,012 mol p-toluene sulfonic acid dalam reaktor bertekanan pada suhu 160 OC
selama 30 - 40 menit. Hasil yang diperoleh dari proses sintesis tersebut yaitu 87%
butilglikosida yang berwarna coklat tua. Penggunaan suhu atau konsentrasi katalis
yang rendah mengakibatkan penurunan jumlah konversi yang nyata. Butil
glikosida yang dihasilkan dapat langsung di konversi langsung menjadi APG
dengan mereaksikannya dengan alkohol rantai panjang. Wuest et al. (1992),
melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan
0,036 mol PTSA per satu mol pati. Dengan suhu 140 OC selama 30 menit dengan
tekanan 5 bar. Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah
mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan.
Butil glikosida terbentuk dari sakarida, butanol, asam dan dalam keadaan
panas serta bertekanan, Jika bahan baku sakarida yang digunakan berasal dari pati,
maka terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain
terbentuknya butil glikosida atau butil oligosida juga terbentuk warna yang gelap
akibat degradasi dari gula. Pada proses butanolisis juga terjadi pemisahan air dari
I.
II.
Pati-patian Butanol Butil Glikosida Air
Alkohol
lemak
Butanol Alkil Poliglikosida
hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+ dari katalis (Lueders
1989).
Alkoholisis pati menjadi glikosida memerlukan kondisi yang lebih
kompleks daripada glikosidasi dari D-glukosa atau transglikosidasi dari alkil
glikosida sederhana. Penyebabnya adalah struktur molekul dari pati yang tersusun
dari amilosa dan amilopektin yang memiliki kemampuan swelling terbatas pada
alkohol, khususnya alkohol hidrofobik, dan berkurangnya jembatan hidrogen
antar molekul. Ikatan α(1,6) glikosida pada atom karbon kedua menunjukkan
kestabilan yang lebih besar daripada ikatan atom yang pertama pada alkil
glikosida sederhana (Lueders 2000).
2.2.2 Transasetalisasi
Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati
(glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8–C22). Sehingga proses pengikatan
glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al.
1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan
glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses
asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi.
Gugus hidrofobik pada APG diperoleh dari alkohol rantai panjang alkohol
lemak. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya
sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon.
Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil
yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol
lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai
bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan
berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai
maka titik didihnya semakin tinggi. Selama proses transasetalisasi berlangsung,
sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan keluar melalui
proses distilasi vakum.
Selama proses transasetalisasi diharapkan air yang terdapat pada bahan
segera mungkin diuapkan bersamaan dengan butanol yang tidak bereaksi selama
proses butanolisis. Kehadiran air dan glukosa dapat menyebabkan terbentuknya
polidektrosa yang merupakan hasil samping yang tidak diinginkan dan merupakan
salah satu penyebab terbentuknya warna gelap.
Kondisi asam dan suhu tinggi selama sintesis alkil poliglikosida
menghasilkan produk sekunder seperti polidekstrosa, dan warna kotoran. Dengan
menggunakan suhu yang lebih rendah (<100 OC) pada proses asetalisasi
menghasilkan produk sekunder yang rendah, namun waktu reaksi yang
dibutuhkan lebih lama. Pada penggunaan suhu tinggi (>120 OC) dapat
mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat.
Namun hal penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu bagaimana cara untuk
menghilangkan air dalam sistem reaksi dengan mengurangi tekanan. Namun air
masih diperlukan dalam jumlah tertentu (sekitar 0,1-0,25%) untuk menghindari
terjadinya dehidrasi pada glukosa yang dapat menyebabkan karamelisasi
(Eskuchen dan Nitsche 1997).
2.2.3 Netralisasi
Tahapan netralisasi bertujuan unutk menghentikan proses transasetalisasi
dengan menambahkan basa hingga mencapai pH 8–10. Basa yang digunakan
untuk proses netralisasi meliputi alkali metal, almunium salt, selain itu dapat
digunakan dari anion, dari basa organik maupun inorganik seperti sodium
peroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, almunium
hidroksida dan sebagainya. Penggunaan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH
tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Proses penambahan dengan
menggunakan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak
memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et
al. 1992). Proses netralisasi juga diperlukan karena sakarida akan lebih mudah
rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang
tinggi.
Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi
menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat destilasi menggunakan
suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH4)
yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk
setiap 10 -20 g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam
dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses
distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol
dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol
lemak pada suhu 180 OC, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki
warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat.
Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1–10% sebelum dan
sesudah proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan
sebelum proses distilasi. Namun karena sifat arang aktif yang hidrofobik maka
akan mengurangi sifat nonpolar dari surfaktan (Rosu 2007)
2.2.4 Distilasi
Tahapan distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak
ikut bereaksi. Proses distilasi ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah
untuk memisahkan/menguapkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses
distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 140-180 OC dengan tekanan vakum,
tergantung alkohol lemak yang digunakan. Semakin panjang rantai alkohol lemak
maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan.
Pada tahapan destilasi diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak
sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5% dari berat produk.
Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi
efektifitas kerja dari surfaktan APG.
Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar
berbentuk pasta yang berwarna kecoklatan dan berbau kurang enak. Oleh karena
itu perlu dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh APG yang memiliki
penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.
2.2.5 Pemucatan (bleaching)
Proses pemurnian APG terdiri dari beberapa tahap yaitu : tahap netralisasi,
distilasi, pelarutan dan tahap pemucatan serta isolasi produk (Buchanan et al.
2000). Proses pemucatan merupakan tahapan akhir dari sintesis APG untuk
menghasilkan APG dengan penampakan dan bau yang lebih baik. Proses
pemucatanan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dengan penambahan
air dan NaOH yang dilakukan pada suhu 80-90 OC selama 30-120 menit pada
tekanan normal (Hill et al. 2000).
Buchanan et al. (2000) menyatakan bahwa warna gelap produk surfaktan
APG dapat terjadi selama proses sintesis yang disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu:
1. Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak terkontrol pada tahapan distilasi,
sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk
yang terjadi selama distilasi.
2. Penggunaan katalis asam pada proses sintesis. Pemilihan katalis ini
merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG.
3. Turunan furan dengan warna yang gelap yang tinggi seperti furfuraldehid.
Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh
katalis asam kuat.
4. Logam seperti Fe, Ca, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak
diinginkan dalam produk APG.
2.2.6 Bahan Pemucat
Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat
memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan
kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang
membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau
diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat
juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul
berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan
(Kirk dan Othmer 1985).
Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam
pemucatan, yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan pemucatan dengan reaksi
reduksi. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan karena
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Keunggulan penggunaan
bahan kimia sebagai bahan pemucat adalah karena hilangnya sebagian produk
dapat dihindarkan dan zat warna diubah menjadi zat yang tidak berwarna yang
tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren 1985)
Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching
agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide,
CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya
diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup
kuat.
Hidrogen peroksida (H2O2) tidak berwarna, berbau khas agak keasaman,
dan larut dengan baik dalam air. Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida
adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang
intinya menghasilkan oksigen. Hidrogen peroksida biasa digunakan sebagai
bleaching agent pada industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa
dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen,
makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika (pembuatan PCB).
Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen
menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin
meningkatnya konsentrasi H2O2.
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator
yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan
residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan
konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa
dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen
peroksida pun semakin tinggi.
Hidrogen peroksida dalam kondisi asam sangat stabil, sedangkan pada
kondisi basa sangat mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat
dengan naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen
peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO-). Anion yang
terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut :
H2O2 + HO- ↔ HOO
- + H2O
Ion HOO- inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan.
Namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu, dekomposisi
hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut :
H2O2 + HO2 → H2O + O2 + HO
Pada proses pemucatan diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang
pertama karena menghasilkan ion HOO- sedangkan dengan adanya logam transisi
maka dekomposisi hidrogen peroksida akan diarahkan mengikuti persamaan
reaksi yang kedua. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan
memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O2 namun daya
pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama
(Fuadi dan Sulistya 2008)
2.2.7 Katalis
Pemilihan katalis pada proses sintesa APG sangat menentukan keberhasilan
terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung.
Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi
meliputi :
1. Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.
2. Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam
sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam
lemak tersulfonasi, dll.
3. Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat,
alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari
asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.
Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat,
karena katalis tersebut cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa
asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi
dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan
dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak
korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill 2000).
Buchanan et al. (2000), menentukan katalis asam yang digunakan dalam
proses butanolisis dengan perbandingan rasio mol/mol katalis yaitu 0,018 – 0,036.
Sedangkan untuk reaksi transasetalisasi ditambahkan katalis kira-kira 25-50% dari
berat katalis pertama.
2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4)
Natrium borohidrat dikenal juga sebagai natrium tetrahidroborat, merupakan
senyawa pereduksi anorganik dengan rumus NaBH4. Senyawa ini berbentuk padat
berwarna putih, biasa terdapat berbentuk serbuk ataupun granula. Kegunaan
senyawa ini sangat luas baik dalam skala laboratorium maupun skala teknis.
Sebagian besar digunakan dalam pemucatan pulp kayu. Berat molekul NaBH4
yaitu 37,83 mol/g, dan nilai densitas 1,0740 g/cm3. NaBH4 biasa digunakan untuk
mengubah gugus aldehid dan keton menjadi gugus alkohol (Anonim 2010b).
Himakumar et al. (2006) menyatakan bahwa NaBH4 merupakan senyawa
pereduksi yang menyimpan unsur hidrogen, dan bereaksi dengan air untuk
menghasilkan sejumlah hidrogen. Reaksi NaBH4 dan air dapat dilihat pada
persamaan reaksi berikut:
NaBH4 + 4H2O → NaBO2.2H2O + 4 H2 + 300 kl
Sejumlah H2 yang dihasilkan dari reaksi tersebut digunakan untuk
mengubah gugus aldehid pada glukosa ataupun gugus keton pada fruktosa
menjadi sorbitol. Sorbitol diketahui lebih tahan pada suhu tinggi sehingga pada
proses destilasi yang menggunakan suhu 140-180 OC sorbitol tidak mengalami
kerusakan hingga penbentukan warna gelap dapat dihindari. McCurry et al
(2000), menambahkan 1 g NaBH4 pada setiap 10-20 g kelebihan glukosa yang
tidak bereaksi.
Reaksi pembentukan gugus alkohol dari gugus aldehid ataupun keton
dengan menggunakan NaBH4 dapat juga dimulai dengan ionisasi NaBH4 menjadi
Na+ + (BH4)
- . Mula-mula salah satu atom H dari BH4 mendekati ikatan rangkap
C=O. salah satu ikatan akan bergeser ke O sehingga atom H akan berikatan
dengan C. Atom O- akan mengikat salah satu atom H dari air hingga membentuk
gugus alkohol. Secara simultan gugus BH3- mampu berikatan dengan atom O
+
(Fox dan Whitesell 1994) Proses ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Reaksi perubahan gugus aldehid/keton menjadi gugus alkohol dengan
pereduksi NaBH4 (Fox dan Whitesell 1994).
2.2.9 Arang Aktif
Arang aktif dibuat dengan mengaktifasi arang dengan tujuan untuk
memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup,
sehingga memperbesar kapasitas adsorpsi terhadap zat warna. Mutu arang aktif
yang diperoleh tergantung dari luas permukaan partikel, ukuran partikel, volume
dan luas penampung kapiler, sifat kimia permukaan arang, sifat arang secara
alami, jenis bahan pengaktif yang digunakan dan kadar air.
Daya adsorpsi arang aktif disebabkan karena arang mempunyai pori-pori
dalam jumlah besar, dan adsorpsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi
potensial antara permukaan arang dan zat yang diserap. Arang aktif sebagai bahan
pemucat lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan dengan bleaching
clay (Ketaren 2005).
Luders (1991), melakukan penambahan arang aktif sebesar 1–10% setelah
proses netralisasi APG pada suhu 40-100 OC. arang aktif dipisahkan dengan
perlakuan sentrifugasi dan dilanjutkan dengan penyaringan. Penggunaan arang
aktif sebaiknya menggunakan yang berbentuk serbuk karena memiliki daya serap
yang lebih bagus dibandingkan dengan arang aktif yang berbentuk granula,
namun penggunaan arang aktif serbuk dapat menyisakan partikel-partikelnya pada
produk yang dihasilkan.
2.2.10 Proses Pencoklatan
Proses karamelisasi yang terjadi pada proses sintesis APG merupakan reaksi
pencoklatan non enzimatis yang melibatkan degradasi gula karena pemanasan
(Mathur 1978). Tanpa melibatkan reaktan yang mengandung nitrogen seperti
protein dan asam amino (Putra 1990). Karamelisasi memberikan warna mulai dari
kuning hingga coklat tua hingga warna gelap selama peningkatan suhu
(Broadhursh 2002).
Proses karamelisasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) tahap 1,2 enolisasi,
(2) tahap dehidrasi, dan (3) tahap pembentukan pigmen. Pada tahap pertama
menghasilakn 1,2 enediol. Reaksi ini akan lebih cepat pada pH basa. Tahapan
kedua dapat terjadi melalui tahapan dehidrasi (pelepasan air) atau reaksi fisi
(pemecahan). Dehidrasi terjadi pada pemanasan gula dalam suasana asam, yaitu
pada nilai pH dibawah 6,4 dan mencapai maksimal pada nilai pH dibawah 3.
Setelah reaksi dehidrasi maka terbentuk senyawa 4-hidroksimetil-2-furfuraldehida
yang merupakan senyawa prekursor dari pigmen coklat (Shallenber dan Birch
1975).
Menurut Aida (2007), pembentukan furfural dari D-glukosa diawali dengan
pembentukan 1,2 enediol, kemudian terbentuk D-Fruktosa dan dilanjutkan
pembentukan 3-Ketose. Setelah itu terbentuk arabinosa yang terdehidrasi
mengeluarkan H2O hingga menjadi furfural. Skema proses perubahan glukosa
menjadi furfural dapat dilihat pada Gambar 5.
Pada keadaan asam encer, monosakarida bersifat relatif stabil dan pada
penambahan asam kuat akan terhidrasi menjadi furfural atau hidroksi metil
furfural. Pada penambahan alkali encer monosakarida dapat mengalami isomerasi
atau terbentuk senyawa yang lebih pendek D-manosa dan D-1-fruktosa. Sedang
pada penambahan alkali kuat enediol dapat berubah menjadi formaldehid atau
pentosa (Winarno 1992). Proses dehidrasi pelepasan H2O pada gula heksosa
membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya hidroksil metil furfural
(HMF).
Gambar 5 Proses perubahan D-Glukosa menjadi HMF (Aida 2007)
2.3 Bahan Baku Alkil poliglikosida
2.3.1 Alkohol lemak
Alkohol lemak dapat diperoleh dari sumber petrokimia (alkohol lemak
sintetik) maupun dari sumber minyak dan lemak nabati. Alkohol lemak yang
digunakan dalam sintesis APG berfungsi untuk membangun gugus hidrofobik.
Alkohol lemak alami dapat diperoleh setelah melalui proses transesterifikasi dan
fraksinasi lemak dan minyak (trigliserida) kemudian di hidrogenasi (Noerdin
2008).
Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa
barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan
dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan
kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar
80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku
pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu
bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena
surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika
dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963).
Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan
melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat
bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi
dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan
hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O)
diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon
karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).
Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril
(dodekanol/dodecy alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6
mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 OC, tidak berwarna dan tidak
larut dalam air.
2.3.2 Sumber Karbohidrat
Gugus Hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Untuk proses
sintesis sumber karbohidratnya dapat bersumber dari pati atau dari glukosa.
Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga
biaya produksi. Pemilihan penggunaan bahan baku gula akan meningkatkan biaya
bahan baku, tetapi dapat menurunkan biaya produksi karena peralatan yang
digunakan lebih sedikit (Gambar 6) (Eskuchen dan Michael 1997).
Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan APG karena lebih praktis, mudah
didapatkan dan lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa.
Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati
dengan diameter sekitar 10-100 µm. Pati terdiri dari gugus amilosa dan
amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa
adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung pada ikatan glikosida
α(1,4). Amilopektin merupakan polisakarida yang memiliki rantai cabang yang
menyusun unit D-glukosa pada ikatan glikosida α(1,4) dan α(1,6) pada
percabangannya. Proses alkoholisis pati menjadi alkil glikosida membutuhkan
kondisi yang lebih ekstrim jika dibandingkan dengan proses glikosidasi D-
glukosa. Alasannya karena struktur makromolekul pati terdiri dari amilopektin
dan amilosa yang dapat menghambat kemampuan mengembang pati dalam
alkohol, khususnya alkohol hidrofobik.
PATILow DE
Syrup Deksrosa
Low DE
Syrup Deksrosa
Glukosa
MonohydrateGLUKOSA
Dua Tahapan Proses
1. Butanolisis
2. Transasetalisasi
Satu Tahap Proses
Asetalisasi
Alkyl Polyglicoside (APG)
Harga bahan baku mahal
Peralatan mahal
Gambar 6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG (Eskuchen dan Michael
1997).
Hill (2000) menggambarkan proses alkoholisis pati menggunakan metanol
dalam reaktor tubular bertekanan dan bersuhu tinggi. Pati dicampurkan dengan
metanol, dan katalis dengan rasio 6,8 mol metanol dan 0,005 mol p-toluene
sulfonic acid per mol glukosa direaksikan dalam reaktor dengan suhu 167 OC
selama 8 menit menghasilkan produk yang terdiri dari sekitar 77% metil
monoglucosides (45% metil α-D-glukopiranosida, 27% metil-β-D
glukopiranosida, 5% metil α/β-D-glukofuranosida), 14% metil diglukosida, 3%
metil triglukosida, dan <1% oligomer lainnya.
2.3.3 Tapioka
Tapioka merupakan pati yang berasal dari ubi kayu. Kadar pati ubi kayu
cukup besar, yaitu 25-35%. Salah satu ciri khas dari tapioka yaitu kandungan
lemak dan proteinnya yang rendah dibandingkan dengan pati jenis lain. Tabel 3
menunjukkan syarat mutu dari tapioka. Besarnya potensi pati ubi kayu ini juga
didukung dengan besarnya produksi ubi kayu di Indonesia. Produktifitas ubi kayu
Indonesia pada tahun 2000 adalah 125 kw/ha dan pada tahun 2004 sebesar 155
kw/ha. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan sebesar 32%. Sedangkan rata-
rata pertumbuhan produktivitas dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah
sebesar 30%. Ditahun 2008 produksi ubi kayu Indonesia mencapai 20 juta ton
(Anonim 2009). Berdasarkan struktur kimia, tapioka adalah polimer glukosa yang
terdiri atas rantai lurus amilosa (20-25%) dan rantai cabang amilopektin (75-
80%).
Tabel 3 Syarat mutu tapioka (Miller 2009)
Kandungan Jumlah
Air (% maksimum) 13
Pati (%minimum) 85
Abu (% maksimum) 0,2
pH 5 – 7
Sulfur dioksida (ppm) 30
Sianida (ppm) 0
3 METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus
melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi
hidrolisis pati menjadi gula sederhana kemudian dilanjutkan dengan proses
alkoholisis membentuk butil glikosida. Namun tidak semua produk hasil hidrolisis
pati membentuk butil glikosida, sehingga terdapat residu gula yang tidak ikut
bereaksi dengan butanol. Proses butanolisis berlangsung dengan bantuan katalis
asam (PTSA) dan menggunakan suhu yang tinggi. Kondisi asam dan suhu tinggi
diperlukan untuk menghidrolisis pati dan membentuk butil glikosida, namun
kondisi asam dan suhu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi pada gula menjadi
HMF yang menyebabkan warna gelap. Oleh karena itu diperlukan penambahan
katalis dan perlakuan suhu yang tepat untuk dapat meminimalkan residu gula
namun masih menghasilkan warna dengan tingkat kejernihan yang masih tinggi.
Residu gula yang tidak bereaksi dan pembentukan warna gelap pada tahap
butanolisis harus diminimalkan untuk menghindari terbentuknya polidekstrosa
selama proses transasetalisasi dan meningkatkan tingkat kejernihan produk APG.
Pada proses transasetalisasi, butil glikosida akan direaksikan dengan alkohol
lemak C12 untuk membentuk APG. Residu gula yang terdapat dalam larutan dari
hasil butanolisis juga mampu berikatan dengan alkohol lemak membentuk APG,
namun karena perbedaan kelarutan maka gula sederhana lebih mudah untuk saling
berikatan satu sama lainnya membentuk endapan polidekstrosa. Polidekstrosa
merupakan produk sekunder yang tidak diharapkan karena merupakan salah satu
penyebab warna gelap pada produk APG dan dapat menurunkan kinerja APG.
Pada tahap pemurnian dilakukan pemisahan polidekstrosa dengan penyaringan.
Untuk meningkatkan kejernihan produk diberikan perlakuan penambahan arang
aktif. Sebelum tahap distilasi, residu glukosa yang masih tersisa akan diubah
menjadi sorbitol dengan menggunakan senyawa hidrogenasi seperti NaBH4.
Sorbitol memiliki sifat yang lebih tahan panas dan stabil dalam kondisi asam
maupun basa (Lueders 2000), sehingga dapat menghindari terbentuknya HMF
akibat rusaknya glukosa karena suhu yang tinggi selama proses distilasi.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada pada bulan Februari 2010- Agustus 2010.
3.3 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan meliputi reaktor double jacket yang dilengkapi
dengan termostat, agitator dan motor, kondesor, pompa vakum, magnetic stirrer,
oven, Cole-parmer surface tensiometer, vortex mixer, pH meter, hot plate,
termometer, Spectrofotometer, serta peralatan gelas.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : tapioka, dodekanol
(alkohol lemak C12), butanol, MgO, DMSO, NaOH, H2O2, p-toluena sulfonic
acid, aquades, xylene, piridina, benzena, larutan DNS, larutan fenol, glukosa
standar, H2SO4, NaBH4, arang aktif, span 20, tween 80, dan asam oleat.
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Tahap 1. Penentuan rasio mol katalis dan suhu proses butanolisis
Tahapan ini adalah tahap butanolisis dengan penambahan butanol dengan
rasio mol 8,5:1 mol pati dan H2O dengan rasio mol 8:1 mol pati. Proses
butanolisis berlangsung selama 30 menit dengan tekanan 6-8 kg/cm2 dan
kecepatan pengadukan 200 rpm (Wuest et al. 1992). Gambar 7 menunjukkan
diagram alir dari proses butanolisi pada tahap pertama. Untuk meningkatkan
efisiensi proses ditambahkan p-toluena sulfonic acid (PTSA) yang berfungsi
sebagai katalis dan memberikan suasana asam. Suhu yang tinggi juga diperlukan
selama proses butanolisis. Pada tahap ini akan dikaji perbandingan rasio mol
katalis: pati dan suhu yang berbeda. Rancangan percobaan pada tahap pertama
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu rasio mol katalis
dan suhu reaksi:
Rasio mol katalis terdiri dari 3 taraf yaitu:
A1 = 0,018 mol/mol pati
A2 = 0,027 mol/mol pati
A3 = 0,036 mol/mol pati
Suhu reaksi terdiri dari 2 taraf yaitu:
B1 = 140 OC
B2 = 150 OC
Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang
dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata
5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut:
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ɛijk
Keterangan:
Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan
µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)
Ai = Pengaruh faktor A (rasio mol katalis) taraf ke-i (i=1,2,3)
Bj = Pengaruh faktor B (suhu reaksi) tarf ke-j (j=1,2)
(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k
(k=1,2)
Hasil dari butanolisis kemudian dianalisis residu gula pereduksi, residu total
gula, dan kecerahan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1. Hasil rasio mol
katalis dan perlakuan suhu terbaik kemudian akan digunakan pada proses sintesis
pada tahap selanjutnya.
AIR
(8 mol)
n-Butanol
(8,5 mol)
Tapioka
(1 mol)
BUTANOLISISP : 6-8 Kg/cm
2
T : 140 OC dan 150
OC
t : 30 menit
200 RPM
Katalis
(0,018; 0,027;
0,036 mol)
Butil glikosida, residu gula,
air, dan butanol
ANALISA
Kejernihan, gula reduksi, dan total
gula
Gambar 7 Diagram alir proses butanolisis tahap pertama
3.4.2 Tahap 2. Tahap produksi APG (proses sintesis dan proses
pemurnian)
3.4.2.1 Proses Sintesis APG (proses butanolisi dan proses transasetalisasi)
Hasil rasio mol katalis dan suhu terbaik pada proses butanolisis yang
dilakukan di tahap pertama kemudian akan digunakan pada proses sintesis APG.
Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1 mol pati
dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati. Lama reaksi butanolisis yaitu 30 menit
pada tekanan 6-8 kg/cm2
dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Pada proses
transasetalisasi ditambahkan alkohol lemak C12 dengan perbandingan rasio mol
alkohol lemak : pati yaitu 5 : 1. Suhu reaksi 115 OC – 120
OC selama 2 jam, dalam
keadaan vakum (-15 cmHg) dan kecepatan pengadukan 200 rpm (Merupakan
modifikasi metode Wuest et al. (1992)). Hasil dari tahap ini akan dihitung jumlah
gula yang tidak bereaksi sebagai total gula pereduksi. Prosedur analisa dapat
dilihat pada Lampiran 1.
3.4.2.2 Proses pemurnian APG (penyaringan, netralisasi, distilasi dan
bleaching)
Proses pemurnian terdiri dari tahap penyaringan untuk memisahkan
polidesktrosa, netralisasi untuk menghentikan proses transasetaslisasi, distilasi
untuk memisahkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi, dan pemucatan untuk
meningkatkan warna APG.
Setelah proses transasetalisasi dilakukan penyaringan untuk memisahkan
endapan polidekstrosa yang terbentuk. Penyaringan dilakukan dengan
menggunakan kain saring setelah larutan mencapai suhu 80 OC. Kemudian
dilakukan proses netralisasi pada suhu 80 OC dengan menggunakan NaOH hingga
mencapai pH 9 (Wuest et al. 1992). Setelah dinetralisasi kemudian dilakukan
penambahan arang aktif yang berfungsi sebagai adsorben dari warna gelap. Pada
penambahan arang aktif dilakukan pengadukan selama 1 jam pada suhu 30 OC.
Kemudian larutan disentrifugasi 3000 rpm selama 30 menit dan disaring vakum
untuk memisahkan arang aktif (Lueders 1991). Dilakukan juga penambahan
NaBH4 untuk mengubah sisa glukosa menjadi sorbitol. Kemudian dilanjutkan ke
tahap distilasi untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada suhu
140-160 OC. Hasil yang diperoleh yang berupa APG kasar kemudian dilarutkan
dengan menggunakan air dengan konsentrasi 50%, kemudian dipucatkan dengan
menggunakan H2O2 dengan konsentrasi 35% sebanyak 2% (b/b) dari berat
larutan dan penambahan magnesium oksida 500 ppm pada suhu 70 OC selama 1
jam (McCurry et al. 1994). Gambar 8 menunjukkan diagram alir tahap produksi
APG.
Tahap pemurnian mengkaji pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4
setelah proses netralisasi. Rancangan percobaan pada tahapan pemurnian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu konsentrasi arang
aktif dan konsentrasi NaBH4 :
Konsentrasi arang aktif terdiri dari 3 taraf yaitu :
A1 = 0%
A1 = 5%
A2 = 10%
Konsentrasi NaBH4 terdiri dari 4 taraf yaitu :
B1 = 0%
B2 = 0,1%
B3 = 0,2%
B4 = 0,3%
Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang
dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata
5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + ɛijk
Keterangan :
Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan
µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)
Ai = Pengaruh faktor A (konsentarsi arang aktif) taraf ke-i (i=1,2,3)
Bj = Pengaruh faktor B (konsentrasi NaBH4) taraf ke-j (j=1,2,3,4)
(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor T taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k
(k=1,2)
Hasil dari proses tahapan produksi APG kemudian dianalisa rendemen dan
kejernihan produk yang dihasilkan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1.
3.4.3 Tahap 3. Karakterisasi
Tiap sampel kemudian dianalisa tegangan permukaan, tegangan antar
muka, kestabilan emulsi, kestabilan busa, gugus fungsi dan HLB. kemudian hasil
terbaiknya dibandingkan dengan APG komersial. Prosedur karakterisasi produk
disajikan pada Lampiran 1. Nilai karakterisasi kemudian dibandingkan dengan
APG komersial.
AIR
(8 mol)
n-Butanol
(8,5 mol)
Tapioka
(1 mol)
BUTANOLISISP : 6-8 Kg/cm
2
T : Suhu terbaik dari tahap 1
t : 30 menit
200 RPM
Katalis
Terbaik dari tahap
1
Butil glicoside, residu gula,
air, dan butanol
Fatty Alcohol C12
5 mol/1 mol patiTRANSASETALISASI
P : -15 cmHg
T : 115-120 OC
t : 120 menit
200 RPMKatalis
(50% dari mol
butanolisis)
NETRALISASI
setelah pendinginan hingga
suhu 80OC (30 menit) pada
tekanan 1 ATM hingga
mencapai pH 9
DISTILASI
P : -76 cmHg
T : 140 – 160 OC
APG KASAR
fatty alcohol
BLEACHING
P : 1-2 Bar, T : 70OC,
t : 30 menit
NaOH 50%
H2O2 2% Dan MgO
(500 ppm)
APG MURNI
Butanol, air
Air (50% b/b) T :
70OC
ANALISA
Kejernihan, tegangan antar muka,
tegangan permukaan, kestabilan
emulsi, rendemen, Gugus fungsi
(FTIR), HLB
Penambahan arang aktif
0%; 5%; 10%
Sentrifugasi 3000 rpm selama 30
menit dan penyaringan vakumArang Aktif
Penambahan NaBH4
0%; 0,1%; 0,2%; 0,3%
Penyaringan
T : 80 OC
Endapan
Polidekstrosa
Gambar 8 Diagram alir proses produksi APG
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis
Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan
bahan baku sakarida yang memiliki dextrose equivalent (DE) yang rendah seperti
sirup dextrosa atau pati melalui proses butanolisis terlebih dahulu (Eskuchen dan
Michael 1997). Pada proses ini terjadi proses hidrolisis asam untuk memutus
ikatan glikosida pada pati kemudian terbentuk gula sederhana. Gula sederhana
tersebut akan berikatan dengan butanol melalui proses alkoholisis hingga
terbentuknya butil monoglikosida atau butil poliglikosida.
Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka. Alasan
pemilihan bahan baku tapioka karena lebih mudah didapatkan, selain itu harga
tapioka yang juga relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan jenis pati lain
atau menggunakan gula dengan tingkat derajat ekuivalensi yang tinggi.
Karakteristik fisiko kimia tapioka sesuai dengan pati pada umumnya yang
mengandung amilosa dan amilopektin yang disusun oleh D-glukosa.
Alkoholisis pati membutuhkan kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan
proses alkoholisis D-glukosa. Hal ini disebabkan karena pati masih mengandung
amilosa dan amilopektin yang memiliki keterbatasan pelarutan dan sweeling pada
alkohol, khususnya alkohol hidrofobik. Karena hal tersebut maka diperlukan suhu
yang tinggi dan bertekanan, serta kondisi asam untuk memutus ikatan glikosida
pati. Pemecahan pati menjadi D-glukosa diharapkan dapat berikatan dengan
butanol. Pada proses ini terjadi pelepasan H2O akibat proses pembentukan asetal
antara gugus aldehid pati dan alkohol dengan bantuan katalis asam. Suhu yang
tinggi dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pati juga
mampu membuat dehidrasi gula sederhana yang telah terbentuk menjadi hidroksil
metil furfural (HMF). Senyawa HMF ini menyebabkan warna gelap pada produk
hasil proses butanolisis. Selain pembentukan warna gelap juga terdapat residu dari
gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol.
Proses butanolisis diberikan perlakuan penambahan katalis PTSA dengan
rasio mol/mol pati sebesar 0,018 – 0,036, sedangkan perlakuan suhu yang
diberikan yaitu suhu 140 OC dan 150
OC. Proses ini berlangsung selama 30 menit
dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Dengan
proses penambahan berbagai konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu
diharapkan butil glikosida yang terbentuk akan menjadi maksimal. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah residu total gula ataupun gula pereduksi yang dihasilkan.
Semakin rendah residu total gula, maka dapat diasumsikan butil glikosida yang
terbentuk akan semakin banyak. Jumlah residu gula pereduksi menunjukkan
jumlah glukosa yang tidak bereaksi dengan butanol untuk menghasilkan butil
glikosida. Residu gula yang dihasilkan dari proses butanolisis akan
mempengaruhi terbentuknya polidekstrosa pada tahap transasetalisasi.
Selain berdampak pada jumlah residu gula yang dihasilkan, perlakuan
penambahan konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu selama proses
butanolisis juga berdampak pada kejernihan produk hasil proses butanolisis.
Semakin tinggi konsentrasi rasio mol maka pH selama proses butanolisis semakin
rendah. pH yang rendah dan suhu yang semakin tinggi dapat menyebabkan
rusaknya gula hingga terbentuknya HMF yang menyebabkan warna menjadi
gelap.
4.1.1 Residu gula pereduksi
Pemecahan ikatan glikosida pati menjadi glukosa akan berikatan dengan
butanol menjadi butil glikosida dengan bantuan katalis PTSA, namun tidak semua
hasil pemecahan pati yang terbentuk mampu menghasilkan butil glikosida.
Terdapat residu glukosa dari proses butanolisis yang terlarut dalam filtrat dan
dihitung sebagai gula pereduksi.
Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus karbonil yang reduktif.
Sifat pereduksi ini ditentukan oleh ada tidaknya gugus OH bebas yang reaktif.
Gugus reduktif ini terdapat pada atom C no 1 pada glukosa. Jumlah residu gula
reduksi menentukan kualitas APG yang akan dihasilkan, karena jika gula
pereduksi tinggi maka pembentukan polidekstrosa akan semakin tinggi.
Hasil pengukuran gula pereduksi dari produk hasil proses butanolisis
berkisar antara 18.075 – 58.281,25 ppm. Dari hasil analisa ragam menunjukkan
faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor
berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan (α=0,05) dari faktor rasio mol
katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018; 0,027; dan 0,036
masing-masing berbeda nyata satu sama lain. Dari hasil uji lanjut Duncan
(α=0,05) perlakuan rasio mol 0,027 pada suhu 150 OC (sampel A2B2) dan
perlakuan rasio mol 0,036 pada suhu 140 OC (sampel A3B1) menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Pengaruh dari faktor rasio mol katalis dan
faktor suhu terhadap residu gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Pengaruh faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula
pereduksi.
Semakin tinggi residu gula pereduksi yang dihasilkan pada proses
butanolisis menyebabkan kemungkinan pembentukan warna gelap semakin tinggi
pada proses selanjutnya dalam pembuatan APG. Oleh karena itu diharapkan
residu gula pereduksi yang dihasilkan serendah mungkin. Semakin tinggi rasio
mol katalis PTSA/1 mol pati yang ditambahkan selama proses butanolisis maka
semakin rendah residu gula pereduksi yang dihasilkan. Demikian pula dengan
perlakuan suhu, semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan maka residu gula
pereduksi semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya rasio
katalis maka semakin banyak ion H+ yang dapat digunakan untuk membentuk
asetal antara gugus aldehid glukosa dan butanol. Luders (2000), menyatakan
bahwa diperlukan ion H+ yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi
antara gula dan butanol.
Panas yang cukup diperlukan untuk membantu reaksi antara glukosa dan
butanol. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
0.018 0.027 0.036
Gu
la P
ered
uks
i (p
pm
)
Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati
140
150
Suhu (OC)
digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu
150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan
perlakuan suhu 140 OC. Pada suhu 150
OC reaksi antara glukosa dan butanol
lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula
reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit,
perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Luders (2000), suhu yang digunakan untuk proses
butanolisis adalah 140-165 OC. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan
berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan
berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan
pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang
tinggi.
4.1.2 Residu total gula
Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan
menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau
polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga
mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil
oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat
bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye
hingga kekuningan yang stabil (Winarno 2008).
Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil
hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin
tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis
yang menggunakan suhu 140-150 OC dan dalam keadaan asam mendukung untuk
terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total
gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4% dari
total pati yang digunakan.
Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor
perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap
pembentukan residu total gula (Lampiran 3). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)
dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol
0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol
0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036
tidak berbeda nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) pada tiap perlakuan menunjukkan
hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu
150 OC (sampel A3B1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio
mol katalis 0,027 pada suhu 140 OC dan 150
OC (sampel A2B1 dan A2B2).
Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu
total gula dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total
gula
Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah
residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi
memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses
butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati
dan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan
butanol. Pada perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu total gula yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC.
Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data
derajat polimerisasi (DP) dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses
butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total
gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis
berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi
gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5%;
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
0.018 0.027 0.036
Tota
l Gu
la (p
pm
)
Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati
140
150
Suhu (OC)
sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis
sebesar 25,1-82,4% (Tabel 4). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari
residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya
polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang
pada tahap transasetalisasi (McCurry 2000).
Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel
Sampel Perlakuan DP Residu Gula (%)
A1B1a Katalis 0,018; suhu 140
OC 2,4 82,40
A1B2a Katalis 0,018; suhu 150
OC 1,9 49,75
A2B1a Katalis 0,027; suhu 140
OC 1,8 39,70
A2B2a Katalis 0,027; suhu 150
OC 2,2 31,35
A3B1a Katalis 0,036; suhu 140
OC 2,9 38,20
A3B2a Katalis 0,036; suhu 150
OC 2,4 28,51
Ludersb
Katalis 0,012; suhu 165OC
(syrup glukosa low DP) n/a
c 13,00
Keterangan : aperlakuan penelitian, bLuders (2000), cdata tidak tersedia
4.1.3 Kejernihan
Luders (1991) dan Noerdin (2008) menyatakan bahwa warna produk hasil
butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan
oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H2O hingga membentuk hidroksil
metil furfural (HMF) (Gambar 5). Perlakuan suhu tinggi hingga 150 OC juga
menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil
butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG
selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang
dihasilkan juga akan semakin gelap.
Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang
gelombang 470 nm (McCurry 1994), dengan menghitung %Transmisi sampel.
Hasil dari perhitungan %Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara
0,1 – 80,35 %T. Semakin rendah nilai %T maka semakin gelap produk.
Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi
kedua faktor berpengaruh nyata (Lampiran 4). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)
dari faktor rasio mol katalis, penambahan katalis dengan rasio mol 0,027; dan
0,036 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan katalis
dengan rasio mol 0,018. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap tiap
kombinasi perlakuan menunjukkan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,036
pada suhu 140 OC dan 150
OC (A3B1 dan A2B2) serta perlakuan rasio mol katalis
0,027 pada suhu 150 OC tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan rasio mol
katalis 0,018; suhu 150 OC (A1B2) dan kombinasi perlakuan rasio mol katalis
0,027; suhu 140 O
C (A2B1) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Warna dari hasil proses butanolisis yaitu kuning muda hingga hitam. Warna dari
hasil proses butanolisis ini dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik kejernihan APG
akibat pengaruh penambahan rasio mol katalis dan perlakuan suhu dapat dilihat
pada Gambar 12.
Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC
Gambar 11 Hasil dari proses butanolisis
Gambar 12 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu terhadap kejernihan (%T)
Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis dan semakin tinggi perlakuan
suhu maka kejernihan produk yang dihasilkan akan semakin rendah. Perlakuan
0102030405060708090
0.018 0.027 0.036
Kej
ern
ihan
(%T)
Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati
140
150
Suhu (OC)
penambahan rasio mol katalis 0,027 dan 0,036 dengan kombinasi perlakuan suhu
150 OC menghasilkan nilai kejernihan yang sangat rendah. Semakin tinggi
penambahan rasio mol katalis menyebabkan penurunan pH yang semakin tinggi
pula. Kondisi asam ini menyebabkan gula sederhana hasil hidrolisa pati
mengalami dehidrasi hingga membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pendapat
Winarno (1992) yang menyatakan bahwa asam akan menyebabkan dehidrasi pati
menjadi furfural, yaitu suatu turunan aldehid. Perlakuan suhu yang semakin tinggi
menyebabkan reaksi pembentukan warna gelap semakin tinggi. Suhu yang tinggi
dapat meningkatkan pembentukan butil glikosida namun dapat menyebabkan by-
product yang tidak diinginkan yaitu pembentukan warna gelap (Luders 2000).
4.1.4 Pemilihan rasio mol dan suhu terbaik proses butanolisis
Residu total gula diasumsikan sebagai gula yang tidak mampu berikatan
dengan butanol membentuk butil glikosida. Semakin tinggi residu total gula maka
semakin rendah produk butil glikosida yang terbentuk.
Semakin tinggi rasio mol katalis/1 mol pati dan semakin tinggi perlakuan
suhu yang diberikan selama proses butanolisis maka tingkat %Transmisi
kecerahan dari hasil butanolisis semakin rendah, dan produk yang dihasilkan
semakin gelap. Dari Gambar 13 dapat dilihat pada perlakuan rasio mol katalis
0,018 (pada suhu 140 OC dan 150
OC) hasil dari proses butanolisis memiliki
tingkat kejernihan yang tinggi. Pada perlakuan ini diindikasikan bahwa telah
terjadi proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana, karena tidak terdapat lagi
suspensi pati. Jika dilihat dari jumlah residu total gula pada kombinasi perlakuan
rasio mol 0,018; suhu 140 OC (A1B1) masih cukup tinggi yaitu 82,40%, artinya
pembentukan butil glikosida masih rendah. Jika suhu dinaikkan menjadi 150 OC
(A1B2) maka total gula akan menurun menjadi 49,75%.
Berdasarkan perbandingan tersebut maka dipilih perlakuan rasio mol 0,027
dan suhu proses butanolisis 140 OC (A2B1) karena memiliki residu total gula yang
cukup rendah (39,7%) dan kejernihan yang masih tinggi (45,75 %T). Hasil
perbandingan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernian dapat dilihat
pada Gambar 13. Perlakuan rasio mol dan suhu ini kemudian digunakan
seterusnya pada proses butanolisis untuk menghasilkan sampel APG.
Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036
B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC
Gambar 13 Perbandingan hasil pengamatan residu gula pereduksi, residu total
gula dan kejernihan dari tiap perlakuan
4.2 Tahap produksi APG
4.2.1 Proses Sintesis (proses butanolisis dan proses transasetalisasi)
Pada proses butanolisis jumlah rasio mol katalis PTSA yaitu 0,027 mol : 1
mol pati, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC sesuai
dengan perlakuan terbaik pada tahap penentuan rasio mol katalis dan suhu proses
butanolisis. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1
mol pati dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati Proses ini berlangsung selama
30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm.
Secara umum proses transasetalisasi merupakan proses penggantian C4 oleh
C12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Pada proses ini terjadi pemutusan
ikatan antara sakarida dan butanol kemudian digantikan oleh alkohol lemak C12.
Pada proses ini berlangsung pada suhu 115-120 OC selama dua jam dengan
kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum (-15 cmHg). Selama
berlangsungnya proses ini butanol dan air dikeluarkan melalui proses penguapan
dan kondensasi.
Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna
coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2–2,4.
Rata-rata gula pereduksi yang masih terdapat dalam larutan hasil transasetalisasi
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
%Tr
an
smis
i
Ko
nse
ntr
asi (
pp
m)
Residu Total Gula (ppm)
Residu Gula Pereduksi (ppm)
Kejernihan (%Transmisi)
yaitu sebesar 563,64 ppm (Lampiran 6), sedangkan menurut Lueders (2000),
kandungan D-glukosa yang tersisa dalam larutan hasil transasetalisasi sebesar 450
ppm.
Polidekstrosa sangat berpengaruh terhadap Pada pembentukan warna gelap
karena jika dilanjutkan pada proses distilasi maka produk APG akan semakin
gelap. McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi
terdiri dari dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan
sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak. Hasil dari
proses transasetalisasi dapat diihat dari Gambar 14.
Gambar 14 Hasil akhir proses transasetalisasi
4.2.2 Proses Pemurnian APG
Proses pemurnian dilakukan untuk memperoleh APG yang memiliki
penampakan lebih jernih, karena aplikasi APG saat ini lebih banyak digunakan
pada industri personal care product yang menuntut kondisi fisik APG yang lebih
menarik dan memiliki kinerja yang bagus. Tahap proses pemurnian meliputi:
penyaringan, netralisasi, penambahan arang aktif dan NaBH4, distilasi dan
pemucatan.
4.2.2.1 Proses Penyaringan
Setelah proses transasetalisasi larutan didinginkan hingga mencapai suhu 80
OC. Di dasar larutan terdapat endapan coklat tua gelap. Jika endapan ini
dipisahkan menggunakan kain saring akan diperoleh pasta yang akan mengeras
pada suhu ruang. Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), endapan ini merupakan
polidekstrosa hasil polimerisasi glukosa yang tidak bereaksi dengan alkohol
lemak. Endapan ini harus dipisahkan, karena akan menyebabkan penurunan
kualitas fisik dan kinerja APG yang dihasilkan. Tidak semua polidekstrosa dapat
tersaring, karena ada juga yang masih larut dalam larutan. Rata-rata endapan
polidektrosa yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 4,3% dari jumlah
transasetalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat McCurry (2000) bahwa
kandungan polidekstrosa berkisar antara 2-13% dan kandungan by-product
lainnya sebesar 1-3% dari hasil proses transasetalisasi.
4.2.2.2 Proses Netralisasi
Proses netralisasi dilakukan untuk menghentikan proses transasetalisasi. Jika
tidak dilakukan netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil
transasetalisasi akan mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini
disebabkan karena larutan masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140 OC
yang dapat merusak APG yang telah terbentuk. Perlakuan proses netralisasi
produk dilakukan dengan penambahan NaOH 50% hingga pH larutan mencapai
pH 9. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus
ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil
dalam kondisi basa (Noerdin 2008). Penggunaan larutan sodium hidroksida
(NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol ataupun
produk APG (Wuess et al. 1996).
Pada saat penambahan NaOH untuk menetralkan larutan terjadi perubahan
warna pada larutan hasil proses transasetalisasi. Mulanya larutan berwarna coklat
muda kemudian setelah penambahan NaOH larutan berubah menjadi coklat tua
(Gambar 15). Perubahan warna ini disebabkan karena masih terdapat kandungan
sakarida dalam larutan. Menurut Soeharsono (1988), jika sakarida diberikan
larutan basa berkadar tinggi, maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi, D-
glukosa akan berubah menjadi D-manosa atau D-fruktosa. Monosakarida akan
mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan hidroksil metil furfural (HMF)
selama proses pencoklatan non-enzimatis.
Gambar 15 Perubahan warna pada saat netralisasi menggunakan NaOH
4.2.2.3 Penambahan Arang aktif dan NaBH4
Untuk meningkatkan kejernihan produk maka diberikan perlakuan
penambahan arang aktif 0%, 5%, dan 10% setelah netralisasi. Arang aktif
dipisahkan dengan melakukan sentrifugasi dan penyaringan. Setelah itu
ditambahkan NaBH4 sebanyak 0,1%, 0,2% dan 0,3% (b/b). Pada saat penambahan
NaBH4 akan menghasilkan gelembung dan busa yang cukup banyak. Hal ini
menandakan terjadi pelepasan H2 dari NaBH4 yang akan mengubah gugus aldehid
pada sisa glukosa yang tidak bereaksi menjadi gugus alkohol untuk menghasilkan
sorbitol.
4.2.2.4 Proses Distilasi
Proses distilasi dilakukan untuk memisahkan kelebihan alkohol lemak yang
tidak bereaksi. Alkohol lemak C12 (dodekanol) memiliki titik didih 259 OC. Hasil
pengamatan yang dilakukan pada suhu 140 OC dengan tekanan vakum -76cmHg
dan selama kurang lebih 1 jam dodekanol mampu menguap. Proses distilasi
dihentikan jika suhu mencapai 160 OC. Jika dari suhu melebihi 160
OC, maka
produk yang dihasilkan akan gosong dan rusak. Proses aliran dodekanol yang
menguap juga dapat diamati pada lubang kaca yang terdapat pada kondensor, jika
sudah tidak terdapat titik-titik embun, maka proses distilasi dihentikan.
Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh APG kasar yang berwarna
coklat tua (Gambar 16). Mula-mula APG kasar ini berbentuk cair yang kemudian
akan menjadi keras pada suhu kamar. Hal ini berhubungan dengan titik leleh dari
APG C12 yaitu berkisar antara suhu 116-119OC (Ware et al. 2007)
Gambar 16 APG Kasar Hasil proses destilasi
4.2.2.5 Proses pemucatan (bleaching)
Sebelum dilakukan pemucatan, APG kasar hasil dari proses distilasi
dilarutkan terlebih dahulu dengan perbandingan penambahan akuades (suhu 90
OC) 1 : 1 dengan APG kasar hingga konsentrasi bahan aktif APG 50%. Setelah
dipanaskan suhu diturunkan hingga 70 OC kemudian dilakukan penambahan MgO
500 ppm dan H2O2 35% sebanyak 2% (b/b) dari larutan. Selama penambahan
H2O2 suhu akan naik hingga 110 OC. Proses ini berlangsung selama kurang lebih
45 menit hingga gelembung akibat penambahan H2O2 hilang.
Kemurnian H2O2 yg digunakan tidak boleh lebih dari 50% dan penambahan
pada saat bleaching tidak boleh lebih dari 3%, karena sifat H2O2 yang sangat
oksidatif (Hill et al. 2000). Penambahan H2O2 berlebih akan menyebabkan
kerusakan pada produk APG sehingga APG yang dihasilkan menjadi 2 lapisan.
hal ini menandakan bahwa ikatan antara gugus hidrofilik dan hidrofobiknya telah
rusak. Hasil proses pemucatan dapat dilihat pada Gambar 17.
4.2.2.6 Karakteristik kejernihan
Pembentukan warna gelap selama proses sintesis APG terjadi karena
terbentuknya polidekstrosa selama proses transasetalisasi karena kondisi asam,
suhu tinggi dan kandungan air. Warna gelap juga terbentuk dari degradasi glukosa
menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Arang aktif telah dikenal sebagai salah
satu absorben yang mampu menyerap zat warna, sehingga dapat mengurangi
warna gelap produk. NaBH4 merupakan senyawa hidrogenasi yang mampu
mereduksi glukosa menjadi sorbitol yang lebih tahan panas.
Setelah dilakukan pemucatan terjadi perubahan warna pada produk APG,
produk yang dihasilkan berwarna putih kekuningan hingga coklat muda (Gambar
18). APG hasil sintesis berbentuk pasta sedangkan APG komersial bersifat cairan
kental berwarna keruh transparan. Hal ini disebabkan karena APG komersial
mengkombinasikan alkohol lemak C8, C10, C12 dan C14. Menurut Ware et al
(2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10 akan menghasilkan
APG yang berisfat cairan kental, sedangkan menggunakan alkohol lemak C12 akan
menghasilkan APG yang berbentuk pasta. Pada alkohol lemak dengan jumlah C
yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan berbentuk padat pada suhu kamar.
Gambar 17 Produk APG murni hasil proses pemucatan (bleaching)
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai kejernihan sebagai %Transmisi
berkisar antara 27,86–63,68. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa faktor
penambahan arang aktif berbeda nyata terhadap kejernihan APG yang dihasilkan,
demikian pula dari faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata terhadap
kecerahan APG yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor antara penambahan arang
aktif dan penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Hasil
uji Duncan (α=0,05) menunjukkan faktor penambahan NaBH4 0,2% dan 0,3%
tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0% dan
Arang Aktif 0%
Arang Aktif 5%
Arang Aktif
10%
NaBH4
0%
NaBH4
0,1%
NaBH4
0,2% NaBH4 0,3%
0,1% (Lampiran 8). Hasil penelitian terhadap warna APG dapat dilihat pada
Gambar 18.
Gambar 18 Hasil analisa kejernihan produk APG sintesis
Hasil analisa warna menunjukkan penggunaan arang aktif 5% mampu
menghasilkan kejernihan produk yang lebih tinggi dengan nilai %Transmisi yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena arang aktif mampu menyerap HMF yang
terbentuk. faktor penambahan arang aktif 10% menyisakan partikel arang aktif
berlebih yang tersisa pada produk, sehingga menyebabkan produk menjadi lebih
gelap.
Perlakuan penambahan NaBH4 mampu meningkatkan kejernihan produk.
Hal ini disebabkan karena NaBH4 mengubah sisa glukosa yang tidak bereaksi
menjadi sorbitol yang lebih tahan pada suhu tinggi selama proses distilasi
(McCurry 2000).
4.2.2.7 R e n d e m e n
Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah
dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan terhadap bahan
baku untuk setiap tahap pada sintesa APG, antara lain yaitu tapioka dan dodekanol
(alkohol lemak C12)
Hasil sidik ragam menunjukkan faktor penambahan arang aktif berpengaruh
nyata terhadap rendemen APG yang dihasilkan. Demikian pula faktor
penambahan NaBH4. Namun interaksi dari kedua faktor tidak berpengaruh nyata
terhadap rendemen yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05), tiap
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10
%Tr
ansm
isi
Arang Aktif (%)
NaBH4 0%
NaBH4 0,1%
NaBH4 0,2%
NaBH4 0,3%
perlakuan penambahan arang aktif berbeda nyata. Penambahan NaBH4 0,1%;
0,2%; dan 0,3% tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada perlakuan tanpa
penambahan NaBH4 0% (Lampiran 9). Hasil dari perhitungan rendemen dapat
dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Rendemen APG dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4
Dari hasil perhitungan rendemen, dapat dilihat bahwa semakin tinggi
penambahan arang aktif, maka semakin rendah rendemen yang diperoleh.
Rendemen yang diperoleh antara 47,07– 59,85%. Arang aktif dapat mengurangi
tingkat rendemen karena sifat arang aktif yang mampu menyerap senyawa
surfaktan. Pengaruh penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang lebih rendah
dibandingkan tanpa penambahan NaBH4. Meskipun rendemen APG yang
dihasilkan rendah, namun beberapa bahan baku masih dapat di recovery dan
digunakan kembali, seperti butanol dan alkohol lemak yang diperoleh dari proses
distilasi.
4.3 Tahap Karakterisasi APG
4.3.1 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan
Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut,
kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki
oleh surfaktan. Surfaktan akan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya
40
45
50
55
60
65
0 5 10
Ren
dem
en (%
)
Konsentrasi Arang Aktif (%)
NaBH4 0%
NaBH4 0,1%
NaBH4 0,2%
NaBH4 0,3%
meningkatkan gaya adhesi sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan
(Matheson 1996).
Pengujian kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan dengan
berbagai konsentrasi APG murni. Konsentrasi yang digunakan yaitu 0,001%;
0,01%; 0,05%; 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%. Dengan berbagai konsentrasi
tersebut akan dilihat kecenderungan penurunan dari kemampuan untuk
menurunkan tegangan permukaan. Dari hasil pengamatan dilihat semakin tinggi
konsentrasi APG yang ditambahkan maka tegangan permukaan cairan akan
semakin rendah (Lampiran 10). Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan
permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik. Dari
perhitungan dengan konsentrasi APG 1%, persentase penurunan tegangan
permukaan berkisar antara 60,63 - 61,94%. Sebagai pembanding pada konsentrasi
yang sama, APG komersial memiliki kemampuan menurunkan tegangan
permukaan sebesar 58,89%. Dari hasil uji ragam, penambahan arang aktif
berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan. Hasil
uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap faktor penambahan arang aktif menunjukkan
bahwa penambahan arang aktif 5% dan 10% tidak berbeda nyata. Hasil uji ragam
menunjukkan faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata. Hasil uji Duncan
(α=0,05) menunjukkan hanya perlakuan penambahan NaBH4 0,1% tidak berbeda
nyata dengan tanpa penambahan NaBH4. Penambahan NaBH4 0,2% menghasilkan
nilai peningkatan kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penambahan NaBH4 0%; 0,1% dan 0,3%. Hasil analisa
terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan dapat dilihat pada
Gambar 20.
Penambahan arang aktif 5% dan 10% menunjukkan hasil kemampuan
menurunkan tegangan permukaan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
tanpa penggunaan arang aktif. Hal ini disebabkan karena sifat arang aktif yang
non polar. Penambahan arang aktif mampu menyerap gugus hidrofobik, surfaktan
dapat teradsorpsi pada arang aktif karena interaksi hidrofobik (Rosu 1997),
sehingga mampu menurunkan kemampuan APG dalam menurunkan tegangan
permukaan.
Gambar 20 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari APG yang
dihasilkan
Penambahan NaBH4 juga mampu mengurangi pembentukan polidekstrosa
yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan menurunkan tegangan
permukaan maupun tegangan antar muka. Glukosa yang tidak bereaksi berubah
menjadi sorbitol sehingga mengurangi proses terbentuknya polidekstrosa yang
dapat menurunkan kinerja APG.
Perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan pada
konsentrasi 1% APG. Pada konsentrasi yang rendah, molekul surfaktan dalam
larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air, jika ditambahkan konsentrasi
surfaktan, maka surfaktan akan teradsorbsi pada permukaan hingga mencapai
kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan, pada tahap ini telah
terbentuk misel. Misel terbentuk ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu
yang disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Pada konsentrasi dibawah
CMC tegangan permukaan dan antar muka akan turun dengan meningkatnya
konsentrasi surfaktan. Jika konsentrasinya lebih tinggi maka tidak terjadi
penurunan tegangan permukaan atau penurunannya sangat rendah (Balzer 2000).
4.3.2 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka
Tegangan antar muka adalah gaya persatuan panjang dari dua fase cair yang
tidak dapat tercampur. Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian
dimana dua fase saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan adalah antar
muka dimana satu fase kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka
sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan
59.5
60
60.5
61
61.5
62
62.5
0 5 10
Ke
mam
pu
an m
en
uru
nka
n t
ega
nga
n
Pe
rmu
kaan
(%
)
Konsentrasi arang aktif (%)
0%
0,10%
0,20%
0,30%
NaBH
4
selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama.
Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan untuk
menurunkan tegangan antar muka dua fase yang berbeda dalam larutan. Dalam
aplikasinya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini erat hubungannya
dengan pembentukan emulsi, kemampuan daya bersih atau dalam penggunaan
sebagai oil recovery.
Perhitungan penurunan kemampuan tegangan antarmuka dilakukan pada
laruran air dan xilena. Tegangan antar muka air dan xilena yaitu 42 dyne/cm.
Konsentrasi penambahan APG hasil sintesis pada campuran air dan xilena yaitu
0,001–1%. Dengan berbagai konsentrasi tersebut akan dilihat kecenderungan
penurunan dari kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka. Dari hasil
pengamatan dilihat semakin tinggi konsentrasi APG yang ditambahkan maka
tegangan antar muka cairan air dan xilena akan semakin rendah.
APG hasil sintesis dengan konsentrasi 1% bahan aktif memiliki nilai
penurunan tegangan antar muka antara 1,85–2,35 dyne/cm atau memiliki nilai
kemampuan penurunan tegangan antarmuka 95,6–94,4%, dengan konsentrasi
yang sama (1%) APG komersial memiliki nilai penurunan tegangan antar muka
2,7 dyne/cm (kemampuan menurunkan tegangan sebesar 93,57%).
Hasil uji ragam pada faktor penambahan arang aktif, dan faktor penambahan
NaBH4 berpengaruh nyata, namun interaksi kedua faktor menunjukkan hasil yang
tidak berpengaruh nyata. Pada kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4
0,2% memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling tinggi
(95,6%) dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lainnya. Sedangkan
kombinasi perlakuan arang aktif 10% dan NaBH4 0% merupakan perlakuan yang
memiliki nilai kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling rendah
yaitu 94,4%. Semua kombinasi perlakuan antara arang aktif dan NaBH4 0,2%
memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tertinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan arang aktif 0%; 0,1% dan 0,3% (Lampiran 11).
Hal ini menunjukkan penambahan NaBH4 hingga konsentrasi 0,2% mampu
menaikkan kinerja APG untuk menurunkan tegangan antarmuka, namun pada
konsentrasi 0,3% kemampuan APG untuk menurunkan tegangan antar muka tidak
berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,2%. Pola ini hampir sama dengan
hasil analisa pada kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan.
Pada konsentrasi NaBH4 0,3% jika dikombinasikan dengan penambahan arang
aktif (0%, 5%, dan 10%) diduga terjadi reduksi terhadap APG yang telah
terbentuk. Proses reduksi ini terjadi karena tingginya konsentrasi NaBH4 yang
dapat merusak gugus eter yang telah terbentuk antara glukosa dan alkohol lemak.
Rusaknya gugus ini akan menyebabkan menurunnya kinerja APG. Hasil dari
perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG hasil sintesis
pada konsentrasi 1% dapat dilihat pada Gambar 21
Gambar 21 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG sintesis pada
konsentrasi 1% bahan aktif
4.3.3 Kestabilan emulsi
Emulsi merupakan penyatuan dari dua atau lebih jenis larutan yang tidak
saling larut, salah satu cairan terdispersi kedalam cairan yang lain (Gambar 22).
Namun karena perbedaan berat molekul ataupun karena pengaruh gaya kohesi
maka larutan tersebut secara perlahan akan terpisah lagi. Alkil poliglikosida
memiliki kemampuan untuk menstabilkan emulsi yang memiliki kepolaran
berbeda, karena memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik, semakin panjang rantai
alkil yang dimiliki oleh APG maka kelarutan surfaktan dalam larutan nonpolar
akan lebih stabil (Sukkary et al. 2007).
Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan dengan menambahkan APG
sebanyak 0,1%; 0,5% dan 1% pada larutan air dan xilena kemudian dikocok
menggunakan vortex dan didiamkan selama 300 menit, tinggi emulsi yang
terbentuk kemudian diukur untuk melihat kestabilan emulsinya. Kombinasi
93.894
94.294.494.694.8
9595.295.495.695.8
0 5 10
Ke
mam
pu
an m
en
uru
nka
n t
ega
nga
n
anta
r m
uka
(%
)
Konsentrasi Arang Aktif (%)
0%
0,10%
0,20%
0,30%
NaBH
4
penambahan arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% menghasilkan tinggi emulsi yang
lebih tinggi. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0% dan 0,3%
menghasilkan kestabilan emulsi yang paling rendah. Kestabilan emulsi
dipengaruhi oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh APG. Pada
pegujian ini digunakan air sebagai bahan polar dan xylene sebagai bahan non
polar, penambahan APG diharapkan dapat membentuk emulsi antara air dan
xilena.
Gambar 22 Proses penghitungan kestabilan emulsi
Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan pada tinggi emulsi pada menit ke
300. Hasil uji ragam menunjukkan pengaruh faktor penambahan arang aktif dan
NaBH4 berpengaruh nyata, demikian pula dengan interaksi kedua faktor. Semakin
tinggi penambahan arang aktif maka kestabilan emulsi larutan semakin rendah.
Sedangkan penambahan NaBH4 0,2% menunjukkan kestabilan emulsi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Dari hasil uji lanjut Duncan
(α=0,05) kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0%; dan kombinasi
perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0,1% menunjukkan tinggi emulsi yang tidak
berbeda nyata. Perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% (A1B3)
yang memiliki kestabilan emulsi paling tinggi (81,71%) berbeda nyata dengan
dengan perlakuan kombinasi arang aktif 5% NaBH4 0,2% (A2B3) , namun
perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,3% (A1B4) tidak berbeda
nyata pada perlakuan A1B3 dan A2B3. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan
NaBH4 0% dan 0,3% (A3B1 dan A3B4) merupakan kombinasi perlakuan yang
memiliki kestabilan emulsi yang paling rendah yaitu 67,07%, kedua perlakuan ini
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0,1
dan 0,2 (A3B2 dan A3B3) serta perlakuan kombinasi arang aktif 5% dan NaBH4
0% (A2B1). Data hasil uji statistik mengenai kestabilan emulsi dapat dilihat pada
Lampiran 12. Hasil pengukuran kestabilan emulsi pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 23.
Penambahan arang aktif selama proses pemurnian APG dapat
menurunkan jumlah gugus hidrofobik, sehingga kemampuan untuk membuat
emulsi antara air dan xilena pun semakin berkurang. Kemampuan pembentukan
emulsi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan menurunkan tegangan
antarmuka dari surfaktan (Iglauer et al. 2009)
Gambar 23 Tingkat kestabilan emulsi air dan xilena dari penambahan APG
4.3.4 Pembusaan (tinggi dan kestabilan busa)
Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa baik diinginkan
maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah sistem koloid
dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan busa
diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini teradsorpsi ke
daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas sehingga diperoleh
suatu kestabilan (Noerdin 2008).
60
65
70
75
80
85
0 5 10
Kes
tab
ilan
em
uls
i (%
)
Konsentrasi Arang Aktif (%)
0%
0,10%
0,20%
0,30%
NaBH
4
Dibandingkan dengan surfaktan anionik yang terkenal sebagai foaming
agent, APG termasuk kategori surfaktan low foam (Ware et al. 2007), oleh karena
itu penggunaannya sangat cocok untuk personal care product. Untuk
meningkatkan jumlah busa dari produk yang menggunakan APG, maka dapat
ditambahkan foaming agent seperti fatty alcohol sulphates atau fatty alcohol ether
sulfate (Anonim 2010a).
Penghitungan tinggi busa dilakukan dengan konsentrasi APG murni 1%.
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan penambahan arang aktif tidak
berpengaruh nyata pada faktor penambahan arang aktif hadap tinggi busa. Namun
faktor perlakuan penambahan NaBH4 berpengaruh nyata terhadap tinggi busa
yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
busa yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (α=0,05%) pada faktor penambahan
NaBH4 0%; 0,1%; dan 0,2% berbeda nyata, sedangkan faktor penambahan NaBH4
0,3% tidak berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,1% dan 0,2%. Tinggi
busa yang terbentuk berkisar antara 55-62% dari tinggi larutan, sedangkan tinggi
busa dari APG komersial yaitu 67,5%. Tinggi busa yang dihasilkan dari penelitian
ini dapat dilihat dari Gambar 24.
Gambar 24 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap tinggi busa
Stabilitas busa adalah lama terbentuknya busa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa busa stabil hingga 300–315 menit. Analisa ragam
menunjukkan faktor penambahan arang aktif, penambahan NaBH4, dan interaksi
50.00
52.00
54.00
56.00
58.00
60.00
62.00
64.00
0 5 10
Tin
ggi B
usa
(%
)
Konsentrasi Arang Aktif (%)
0%
0,1%
0,2%
0,3%
NaBH
4
kedua faktor berpengaruh nyata. Hasil uji duncan (α=0,05) menunjukkan
perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0%; 0,2% dan 0,3% tidak
berbeda nyata dan memberikan nilai kestabilan busa yang tertinggi yaitu antara
312-320 menit, sedangkan perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,1%
merupakan perlakuan yang memiliki nilai kestabilan busa yang paling rendah
yaitu 307 menit. Data statistik mengenai pembusaan dapat dilihat pada Lampiran
13 Kestabilan busa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat dari Gambar
25.
Gambar 25 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap stabilitas busa
Kemampuan menghasilkan busa dipengaruhi oleh gugus hidrofobik
surfaktan, semakin panjang rantai alkohol lemak yang digunakan, maka semakin
tinggi kestabilan bisa yang diperoleh. Ware et al. (2007) melakukan perhitungan
kestabilisan busa dengan membandingkan antara APG C8, APG C10, dan APG
C12, hasil yang diperoleh APG C12 menghasilkan tinggi busa dan kestabilan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan APG lainnya.
4.3.5 Penentuan perlakuan terbaik
Penentuan perlakuan terbaik dari berbagai perlakuan penambahan arang
aktif dan NaBH4 dilakukan dengan membandingkan hasil perkalian bobot dari
variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel. Variabel kinerja yaitu: kejernihan,
kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka, kestabilan emulsi,
290.00
295.00
300.00
305.00
310.00
315.00
320.00
325.00
0 5 10
Kes
tab
ilan
bu
sa (
men
it)
Konsentrasi Arang Aktif
0%
0,1%
0,2%
0,3%
NaBH
4
dan pembusaan. Kejernihan produk memiliki bobot tertinggi yaitu 30%, karena
subjek utama penelitian ini untuk memperoleh APG yang memiliki warna yang
lebih terang. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan, kemampuan
untuk menurunkan tegangan antar muka, dan kestabilan emulsi memperoleh nilai
bobot yang sama yaitu 20%, sedangkan nilai bobot untuk kestabilan busa yaitu
10%. Perhitungan skoring dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai skor penentuan
terbaik dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Skor dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4
Dari Gambar 26 dapat dilihat bahwa perlakuan penambahan arang aktif 0%
dan penambahan NaBH4 0,2% adalah perlakuan terbaik. Perlakuan ini memiliki
nilai skor tertinggi dibandingkan dengan pelakuan lainnya. Hasil perkalian bobot
dari variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel menunjukkan nilai
karakteristik kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kemampuan
menurunkan tegangan antarmuka, kestabilan emulsi, dan pembusaan APG yang
dihasilkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun jika
dilihat dari karakteristik kejernihan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan
kombinasi perlakuan penambahan arang aktif 5% dan NaBH4 0,2%.
2.652.45
1.7
3.22.95
2.15
4.64.25
2.4
4.2
3.55
2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0 5 10
Sko
r
Konsentrasi Arang Aktif (%)
NaBH4 0%
NaBH4 0,1%
NaBH4 0,2%
NaBH4 0,3%
4.3.6 Analisa Gugus Fungsi
Spektrofotometer infra merah transformasi fourier (FTIR) merupakan alat
untuk mendeteksi gugus fungsi suatu senyawa dengan spektrum infra merah dari
senyawa organik yang memiliki sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah
akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami
rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H
dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda.
Hasil analisa FTIR menunjukkan peak yang hampir sama antara APG
sintesis dan APG komersial. Gugus eter (C-O-C) pada APG hasil sintesis terdapat
pada serapan jumlah gelombang 1.151,72 cm-1
sedangkan APG komersial terdapat
pada serapan jumlah gelombang 1.153,02 cm-1
. Gugus OH pada APG hasil
sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang 3.368,60 cm-1
sedangkan APG
komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 3395,15 cm-1
. Hal ini sesuai
pendapat Sukkary et al (2007), bahwa gugus eter (C-O-C) sebagai komponen
gugus utama pada APG terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.120–1.170 cm-
1, sedangkan gugus OH terbentuk pada serapan jumlah gelombang 3.200–3400
cm-1
. Terbentuknya gugus eter menandakan bahwa sintesis antara glikosida dan
alkohol lemak telah terbentuk dan struktur gugus hidrofobik telah terbentuk,
sedangkan gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari APG. Hasil dari
pengamatan perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG
komersial dapat dilihat pada Gambar 27.
4.3.7 Karakteristik formasi emulsi dengan menentukan nilai HLB
Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) merupakan nilai perbandingan gugus
hidrofilik dan lipofilik pada surfaktan. Semakin panjang rantai lipofilik, maka
semakin rendah nilai HLB. Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah larut dalam
minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (w/o). Sebaliknya surfaktan
dengan nilai HLB tinggi akan larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak
dalam air (o/w). Nilai HLB berkisar antara 1-20 (Holmberg et al. 2003).
Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB surfaktan yang akan digunakan.
Pengelompokan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya disajikan
pada Tabel 2.
Gambar 27 Perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG
komersial
Metode untuk menentukan HLB dari APG yang digunakan adalah metode
titrimetri dengan metode bilangan air (water number method). Akuades
digunakan sebagai titran dan larutan yang mengandung 1 g dalam 25 ml campuran
(95:5 v/v) piridina dan benzena sebagai titrat. Kepala polar yang diperoleh dari
glukosa yang bersifat hidrofilik akan tarik menarik dengan molekul air yang
besifat polar dan ion nitrogen dari piridina yang bersifat non polar. Ekor dari APG
yang diperoleh dari alkohol lemak bersifat hidrofobik akan menarik molekul
benzena yang non polar dan cincin heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik
akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen. Pada kondisi tersebut larutan
telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air
maupun piridina dan benzena (Noerdin 2008).
Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan liniar dari jenis surfaktan
yang telah diketahui nilainya. Menurut Moectar (1989), nilai HLB tween80 ialah
15, nilai HLB span20 adalah 8,6 dan asam oleat adalah 1. Hasil pengukuran dari
surfaktan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari data tersebut dibuatkan
kurva standarnya, dimana pada perhitungan HLB selanjutnya menggunakan kurva
standar tersebut untuk menentukan nilai HLB. Kurva standar HLB dapat dilihat
pada Lampiran 15. Persamaan linear dari kurva standar (y=0,259x-2,38)
digunakan untuk menentukan nilai HLB dari APG sintesis dan APG komersial.
Nilai HLB APG perlakuan terbaik yang diperoleh yaitu 10,24; sedangkan APG
Komersial yaitu 12,01. Dengan demikian APG hasil sintesis merupakan APG
golongan pengemulsi o/w. demikian pula APG komersial yang juga masuk dalam
nilai kisaran jenis surfaktan pengemulsi o/w.
4.3.8 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial
Hasil sintesis APG dengan perlakuan terbaik dibandingkan dengan APG
komersial (Glucopon) menunjukkan bahwa karakteristik kemampuan untuk
menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan kestabilan emulsi
APG hasil sintesis menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan APG
komersial, namun dari karakteristik warna dan pembusaan APG komersial
memiliki nilai yang lebih baik. Hasil perbandingan karakteristik APG sintesis dan
APG komersial dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial
Karakteristik
APG Sintesis
APG
Komersial
Perlakuan penambahan
arang aktif 0% dan
NaBH4 0%
Perlakuan
terbaik proses
pemurnian
Kejernihan (%T) 27,86 59,02 77,04
Kemampuan untuk
menurunkan tegangan
permukaan (%)
61,18 61,94 58,89
Kemampuan untuk
menurunkan tegangan
antarmuka (%)
94,88 95,60 93,57
Kestabilan emulsi (%) 72,0 81,71 73,2
Tinggi Busa (%) 57,5 62,5 67,5
Kestabilan Busa (menit) 312,5 315 342,5
Hasil perbandingan ini dapat dilihat bahwa APG hasil sintesis memiliki
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan APG komersial. Perbedaan
karakteristik ini disebabkan oleh perbedaan penggunaan alkohol lemak. APG
komersial menggunakan alkohol lemak campuran dari C10-C16, sedangkan APG
sintesis menggunakan alkohol lemak C12.
4.4 Perhitungan biaya bahan baku untuk produksi APG
Perhitungan biaya bahan baku untuk memproduksi APG dilakukan dengan
basis 1 ton tapioka. Dari 1 ton tapioka akan menghasilkan 1,8 ton APG kasar atau
3,7 ton APG murni. Bahan baku yang digunakan yaitu: tapioka, PTSA, butanol,
alkohol lemak C12, DMSO, NaOH, NaBH4, H2O2, dan MgO. Perhitungan neraca
massa produksi APG dapat dilihat pada Lampiran 16.
Berdasarkan neraca massa diperoleh kebutuhan bahan baku dan jumlah
produk yang dihasilkan. Untuk memproses 1 ton tapioka dibutuhkan biaya bahan
baku sebesar Rp. 35.341.409 untuk menghasilkan APG murni. Sedangkan jika
hanya memproduksi APG kasar dibutuhkan biaya bahan baku sebesar Rp.
27.645.531. APG murni yaitu APG kasar yang telah melalui proses pemucatan
menggunakan H2O2 dan penambahan akuades hingga konsentrasi bahan aktif
APG 50%. Biaya bahan baku produksi APG dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Biaya bahan baku pembuatan APG
Bahan Baku Berat (kg) Harga (Rp./kg) Total (Rp.)
Tapioka 1.000,00 2.500a 2.500.000,00
PTSA 47,55 47.500a 2.258.625,00
Butanol 388,27 10.650a 4.135.092,60
Dodekanol 1.123,76 15.420a 17.328.322,48
DMSO 107,38 12.350a 1.326.088,03
NaOH 27,83 3.500b 97.403,56
NaBH4 12,94 522.500c 6.763.237,43
H2O2 73,94 12.500b 924.321,91
MgO 1,84 4.500b 8.318,89
Total biaya APG murni 35.341.409,91
Total biaya APG kasar 27.645.531,67 Sumber : a) www.alibaba.com
b) www.icis.com/staticpages/a-e.htm
c) www.linkinghub.elsevier.com
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :
1. Perlakuan terbaik untuk proses butanolisis yaitu kombinasi rasio mol
katalis : pati yaitu 0,027 : 1 dan suhu 140 OC. Pada perlakuan ini memiliki
nilai kejernihan (%T) sebesar 45,75 dan residu total gula sebesar 69.345,2
ppm atau sebesar 39,70%.
2. Perlakuan terbaik pada proses pemurnian adalah kombinasi penambahan
konsentrasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% dilihat dari karakteristik
warna (59,02 %T)dan kinerja produk yaitu kemampuan untuk menurunkan
tegangan permukaan (61,94%), kemampuan untuk menurunkan tegangan
antarmuka (95,6%), stabilitas emulsi (81,71%), tinggi busa (62,5%) dan
kestabilan busa (315 menit). Hasil analisa gugus fungsi APG sintesis
menunjukkan lintasan yang mirip dengan APG komersial. Nilai HLB APG
hasil sintesis dan APG komersial masuk dalam kisaran surfaktan
pengemulsi o/w.
3. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar
muka serta kestabilan emulsi APG hasil sintesis memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan APG komersial, namun nilai kejernihan dan
pembusaan APG hasil sintesis lebih rendah jika dibandingkan dengan
APG komersial.
4. Biaya bahan baku untuk memproduksi APG murni dengan basis
perhitungan 1 ton tapioka yaitu sebesar Rp. 35.341.409, sedangkan untuk
memproduksi APG kasar yaitu sebesar Rp. 27.645.531.
5.2 S a r a n
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk penelitian selanjutnya
yaitu :
1. Penelitian lanjutan mengenai aplikasi dalam produk sehingga dapat
dievaluasi pengaruh proses pemurnian terhadap berbagai konsentrasi APG
2. Dilakukan modifikasi perlakuan pada proses transasetalisasi antara lain
dengan modifikasi waktu proses dan jumlah katalis yang tepat untuk
mengurangi terbentuknya polidekstrosa.
3. Penelitian dengan menggunakan pelarut seperti gliserol dan polioksialkil
glikol untuk membantu memisahkan APG dan alkohol lemak.
4. Penelitian analisis tekno ekonomi
DAFTAR PUSTAKA
Aida, TM., sato, Y., Watanabe, M., Tajima, K., Nonaka, T., Hattori, H., Arai, K.,
2007. Dehydration of D-glucose in high temperature water at pressures up
80 MPa. J of Supercritical Fluid 40:381-388
Anonim, 2009. http://www.bps.go.id. Luas panen, produktivitas dan produksi ubi
kayu. [diakses 10 Desember 2009].
Anonim, 2010a. http://www.cognis.com/countries/Indonesia/bh/History/ Sejarah
cognis Indonesia. [diakses 5 November 2010]
Anonim, 2010b. Sodium borohydride, http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium
_borohydride [1 November 2010]
Bodner, G.M., dan Pardue, H.L. 1989. Chemistry An Experimental Science. John
Willey and Sons. Inc., New York.
Balzer, D., 2000. Surfactant properties. Di dalam : Balzer D and Luders H, editor.
Noninonic Surfactants Alkyl Polyglucosides. Ed ke-10. USA: Marcel
Dekker. Hlm 85-278.
BPS, 2010. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta
Broadhursh, A. H., 2002. Modeling Adsorrption of Cane Sugar Solution Colorant
in Packed-Bed Ion exchanges. Thesis. University Of Natal, South Africa
Buchanan, M., Charles, W., dan Matthew. Penemu; United States Paten, 20 Juni
1998. Process for Making Alkylpolyglycosides. US006077945.
Djatmiko, B.,dan S. Ketaren.1985. Pemurnian Minyak Makan. Agroindustri Press,
Jurusan Teknologi Industri Pertanian. FATETA. IPB, Bogor.
Eskuchen, R., dan Michael Nitsche. 1997. Technology and Production of Alkyl
Poliglycosides. Di dalam : Hill, K., von Rybinski, W., Stoll, G., Editor.
1997. Alkyl Polyglicoside: Technology, Properties and Applications. New
York : VCH Publishers. hlm : 10 – 11
Flider, F. J., 2001. Commercial considerations and markets for naturally derived
biodegradable surfactant. Inform 12: 1161 – 1164
Fox, Marye A., dan Whitesell J.K. 1994. Organic Chemistry. Jones and Bartlett
Publishers. London
Fuadi, A.M., dan Sulistya H., 2008. Pemutihan pulp dengan hidrogen peroksida.
Reaktor 12: 123-128.
Gibson, MW., 2001. Process for reducing cycle times in reaction during the
production of alkyl polyglicosides. http://www.uspto.gov [13 Januari
2010]
Gorius, O., Bertho, JN., dan Nuzillard, JN., 2001. Determination and prediction of
the average polymerization degree of alkyl polyglucosides. J Anal Chimica
Acta 440: 231-237
Hargreaves, T. 2003. Cemical formulation: An Overview of Surfactant-Based
Preparation Used In Everyday Life. RSC Paperbacks, Chambridge.
Hill, K., von Rybinski, W., Stoll, G. 2000. Alkyl Polyglicoside: Technology,
Properties and Applications. New York : VCH Publishers
Hill, K., 2009. Alkyl Polyglycosides – Where green meets performance. SOFT
Journal 2 : 6-14
Himakumar, L., Viswanathan, B., dan Murthy, S., 2006. Catalytic effects in
generation of hydrogen from NaBH4. J of the Catalysis Society of India 5:
94-100
Hoffmann, B., dan Platz, G., 2001. Phase and aggregation behaviour of
alkylglycosides. J Colloids and Interface Sci 6: 171-177
Holmberg, K., B. Jönsson, B. Kronberg dan B. Lindman. 2003. Surfactants and
Polymers in Aqueous Solution (2nd ed.), Wiley, New York
Iglauer, S., Yongfu Wu, Shuler, P., Tang Y., Goddard, W.A., 2009. Alkyl
polyglycoside surfactant-alcohol cosolvent formulations for improved oil
recovery. J Colloids and Surface 339: 48-59.
Johansson, I., dan Svensson M., 2001. Surfactants based on fatty acids and other
natural hydrophobes. J Colloids and Interface Sci 6: 178-188
Kamel, B.S., 1991. Emulsifier. Di dalam Food Additive User’s Handbook. Smith,
Jim (ed). Van Nostrand Reinhoid. New York.
Ketaren, S., 2005. Pengantar Tekknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit
Unibersitas Indonesia (UI-Press). Jakarta
Kirk, R.E. dan Othmer, D.F. 1985. Encyclopedia of Chemical Technology. Vol. 1.
The Interscience Encyclopedia Inc., New York.
Kuang, D., O.J. Obaje., dan A.M. Ali. 2000. “Synthesis and characterization of
acetylated glucose fatty esters from palm and palm kernel oil fatty methyl
esters”. J. of Oil Palm 12 (2):14-19.
Lueders, H., Penemu: United States Patent, 11 april 1989. Process for producing
colorless butyloligoglycosides. US4820814
Lueders, H., Penemu; United States Patent, 5 Februari 1991. Method of
manufacturing alkyl oligoglycosides. US4990605.
Luders, H., 2000. Structure and nomenclature of surface-active alkyl glucosides.
Di dalam : Balzer D and Luders H, editor. Noninonic Surfactants Alkyl
Polyglucosides. Ed ke-10. USA: Marcel Dekker. Hlm 1-75.
Matheson, K. L., 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and
Uses. Di dalam : Spitz, L., editor. Soap and Detergents : A Theoretical
and Practical Review. AOCS Press, Champaign, Illinois.
Mathur, R. B. A., 1978. Handbook of Cane Sugar Technology. Oxford and
Publishing Co. Calcuta, Bombay, New Delhi.
McCurry, Pattrick Jr., Klein, Robert L., Gibson, Michael W., Beaulieu, James D.,
dan Varvil Janet R. Penemu: United States Patent, 8 November 1994.
Continuous bleaching of alkylpolyglycosides. US5362861
McCurry, Pattrick Jr., Carl E. Pickens. Penemu; United States Patent, 21
Augustus 2000. Process for preparation of alkylglycosides. US4950743.
Mehling, A., Kleber, M., dan Hensen, H. 2007. Comparative studies on the ocular
and dermal irritation potential of surfactants. J Food and Chem Toxicol 14
: 747-758
Miller, JB., dan Wistler Roy., 2009. Starch : Chemistry and Technology.
Academic Press.USA
Moechtar. 1989. Farmasi Fisika: Bagian Larutan dan Dispersi, Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Porter, M.R. 1991. Handbook of Surfactant. Chapman & Hall, New York.
Presents, Z., 2000. All About Fatty Alcohol. http://www.condea.org. [13 Maret
2010]
Putra I. N. K., 1990. Kajian reaksi pencoklatan thermal pada proses pembuatan
gula merah dari nira aren. Thesis. IPB Bogor.
Rieger, M. M. 1985. Surfactan in Cosmetic. Surfactan Science Series. Marcel
Dekker Inc., New York. pp
Rosu, M., Anita M., Aydin K., dan Adrian S., 2007. Surfactant adsorption onto
activated carbon and its effect on absorption with chemical reaction. J
Chem Eng Sci 62:7336-7343
Shallenber, R. S dan G. G. Birch. 1975. Sugar Chemistri. The Avi Publ. Co. Inc
Soeharsono, 1978. Petunjuk Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi, UGM
Yogyakarta.
Sukkary, M. M., A. Nagla, Aid S. I dan Azab, W. I., 2007. Synthesis and
characterization of some alkyl polyglycosides surfactans. J of Dispersion
and Technol 2:129-137
Suryani, A., Sailah, I., dan Hambali, E., 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian, IPB-Bogor.
Tadros, T.F., 1992. Encyclopedia of Physical Science and Technology 2nd
edition,
vol-16. Academic Press Inc., California.
Winarno, F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Winarno, F.G., 2008. Kimia Pangan dan Gizi (Edisi Terbaru). PT. Embrio
Biotekindo, Bogor.
Ware, AM., Waghmare JT., dan Momin SA., 2007. Alkylpolyglycoside:
carbohydrate based surfactant. J of Dispersion Sci and Technol 28: 437-
444
Wuest, W., Eskuchen, R., Wollman, J., Hill, K., Biermann, M., penemu; United
States Patent, 11 Agustus 1992. Process for preparing alkylglucoside
compounds from oligo- and/or polysaccharides. US005138046
Lampiran 1. Prosedur Analisis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)
1. Analisa stabilitas emulsi (Modifikasi ASTM D 1436. 2000)
Stabilitas emulsi diukur diantara air dan xilena. Xilena dan air
dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5
menit menggunnakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antara air dan
xilena diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa sebelum dan
sesudah ditambahkan surfaktan dibandingkan nilainya. Penetapan
stabilitas emulsi dengan cara yang sederhana, yaitu dengan cara
pengukuran berdasarkan pemisahan dengan asumsi bahwa sistem emulsi
yang sempurnah bernilai 100
% 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = (𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 − 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑖𝑠𝑎ℎ𝑎𝑛)
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑥 100
2. Pengukuran tegangan permukaan metode Du Nouy (ASTM D-1331.2000)
Peralatan dan wadah sampel yang digunakan harus dibersihkan
terlebih dahulu dengan larutan asam sulfat-kromat dan dibilas dengan
aquades, lalu dikeringkan. Cincin platinum yang digunakan pada alat
tensiometer dan mempunyai mean circumferense = 5,945.
Posisi alat diatur agar horizontal dengan water pass dan diletakkan
pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar
matahari dan panas. Larutan surfaktan dengan ragam konsentrasi,
dimasukkan ke dalam gelas kimia dan diletakkan di atas dudukan
tensiometer. Suhu cairan di ukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum
dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di
bawah permukaan cincin). Skala vernier tensiometer diatur pada posisi nol
dan jarum penunjuk harus berada pada posisi terhimpit dengan garis pada
kaca. Selanjutnya kawat torsi diputar perlahan-lahan sampai film cairan
tepat putus, saat film cairan tepat putus, skala di baca dan dicatat sebagai
nilai tegangan permukaan.
3. Pengukuran tegangan antar muka (ASTM D-1331. 2000)
Metode menentukan tegangan antarmuka hampir sama dengan
pengukuran tegangan permukaan. Tegangan antarmuka menggunakan dua
cairan yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu larutan surfaktan dengan
ragam konsentrasi dan xilena (1:1). Larutan surfaktan terlebih dahulu
dimasukkan ke dalam wadah sampel, kemudian dicelupkan cincin
platinum ke dalamnya (lingkaran logam tercelup ± 3 mm di bawah
permukaan cincin). Setelah itu, secara hati-hati larutan xilena ditambahkan
di atas larutan surfaktan sehingga sistem terdiri atas dua lapisan. Kontak
antara cincin dan larutan xilena sebelum pengukuran harus dihindari.
Setelah tegangan antarmuka mencapai equilibrium, yaitu benar-benar
terbentuk dua lapisan terpisah yang sangat jelas, pengukuran selanjutnya
dilakukan dengan cara yang sama pada pengukuran tegangan permukaan.
4. Penentuan HLB
Nilai HLB digunakan untuk menentukan sifat kelarutan APG di
dalam air dan menentukan aplikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB yang
dimiliki surfaktan APG.
Penentuan nilai HLB (Gupta et al. 1983 dalam Kuang et al. 2000).
HLB dari surfaktan APG ditentukan menggunakan metode bilangan air
(water number method). Larutan yang mengandung 1 g surfaktan APG
dalam 24 ml campuran piridina dan benzena 95:5 (v/v) dititrasi dengan
akuades
Sampai kekeruhan permanen. Nilai HLB dari dari sampel surfaktan
APG diperoleh dengan interpolasi pada kurva standar HLB
5. Spektroskopi infra merah
Analisis spektroskopi infra merah memberikan informasi mengenai
adanya gugus fungsi yang terdapat dalam molekul. Vibrasi dari setiap
gugus fungsi akan muncul pada bilangan gelombang yang berbeda.
6. Pengukuran rendemen
Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh
setelah proses pemucatan dengan berat total bahan baku awal yang
digunakan
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 % = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑃𝐺 𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑎𝑤𝑎𝑙 x 100
7. Pengukuran kejernihan (Spectrofotometer)
Alat Spectrofotometer 20 dinyalakan 15 menit sebelum digunakan.
Pilih %Transmisi. Kemudian panjang gelombang diset pada panjang
gelombang 470 nm (McCurry 1994). Kuvet kemudian diisi dengan larutan
blanko (aquades) dan selanjutnya diset hingga menunjukkan angka 100%.
Setelah itu kuvet yang berisi larutan blanko diganti dengan contoh
surfaktan surfaktan yang akan diukur kejernihannya dan dicatat persen
transmitan yang terbaca pada skala.
8. Pengukuran gula reduksi metode DNS (Miller 1959).
- Pembuatan Pereaksi DNS
DNS sebanyak 5 g dilarutkan dalam 100 ml NaOH 2 N, diaduk dan
ditambahkan 250 ml akuades. Potassium tartat sebanyak 15 g
ditambahkan, kemudian diaduk sampai larut dan ditepatkan hingga
tanda tera (500 ml)
- Pembuatan Standar Glukosa
Standar glukosa dibuat pada konsentrasi 0, 50, 100, 150 dan 200 ppm
- Pengukuran Kadar Gula Pereduksi metode DNS
Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 550 nm terhadap 0,5 ml sampel yang
ditambahkan dengan 1,5 ml pereaksi DNS dan diletakkan dalam air
mendidih selama 5 menit.
9. Pengukuran Total Gula (Dubois et al. 1959)
Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 490 nm terhadap 2 ml sampel yang ditambahkan
dengan 1 ml pereaksi fenol 5% dan 5 ml H2SO4 pekat dan didiamkan
selama 10 menit.
10. Kestabilan Busa (Sukkary et al. 2007)
Pengukuran kestabilan busa dilakukan dengan konsentrasi APG
0,5% yang dilarutkan dalam air. Kemudian dimasukkan 5 ml kedalam
tabung ulir 10 ml. Kemudian di kocok hingga busa terbentuk. Busa yang
terbentuk kemudian diukur tinggi dan berapa lama kestabilannya.
Lampiran 2 Analisa statistik residu gula pereduksi hasil proses butanolisis
Hasil perhitungan residu gula pereduksi hasil proses butanolisis
kode mol Suhu Gula
reduksi (ppm)
Standar Deviasi
A1B1 0,018 140 58.281,25 220.97
A1B2 0,018 150 43.906,25 574,52
A2B1 0,027 140 37.812,5 353,55
A2B2 0,027 150 24.550 176,77
A3B1 0,036 140 22.612,5 247,49
A3B2 0,036 150 18.075 335,88
Analisa ragam residu gula pereduksi hasil proses butanolisis
Sumber Variasi Dk Jk kt F Hitung F tabel
0.05
Rata-rata 1 14.040.810.469 14.040.810.469
perlakuan mol 2 1.946.028.750 973.014.375 8.231,71 5,14 perlakuan suhu 1 345.076.875 345.076.875 2.919,36 5,99 interaksi mol*suhu 2 58.046.562,5 29.023.281,25 2.45,58 5,14
Error 6 709.218,75 118.203,13
Jumlah 12 16.390.671.875
Uji lanjut Duncan faktor rasio mol terhadap residu gula pereduksi
Rasio Mol
Rata-rata (ppm)
N Duncan 0.05
0,018 51.093,75 4 C
0,027 31.181,25 4
B
0,036 20.343,75 4
A
Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap residu gula pereduksi
Kode Rata-rata
(ppm) N Duncan 0,05
A1B1 58.281,25 2 F
A1B2 43.906,25 2
E
A2B1 37.812,5 2
D
A2B2 24.550 2
C A3B1 22.612,5 2
B
A3B2 18.075 2
A
Lampiran 3 Analisa statistik residu total gula hasil proses butanolisis
Hasil perhitungan residu total gula hasil proses butanolisis
kode mol suhu Total gula
(ppm) Standar Deviasi
A1B1 0,018 140 143.928,57 1.683,59
A1B2 0,018 150 86.904,76 1.515,23
A2B1 0,027 140 69.345,24 1.683,59
A2B2 0,027 150 54.761,90 1.094,33
A3B1 0,036 140 66.726,19 1.851,95
A3B2 0,036 150 44.047,62 2.609,56
Analisa ragam residu total gula hasil proses butanolisis
Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F
tabel
0,05
Rata-rata 1 72.296.598.639 72.296.598.639
perlakuan mol 2 8.660.848.923 4.330.424.461 1.339,17 5,14
perlakuan suhu 1 2.963.265.306 2.963.265.306 916,38 5,99
interaksi mol*suhu 2 1.015.440.760 507.720.379,80 157,01 5,14
Error 6 19.401.927,44 3.233.654,57
Jumlah 12 84.955.555.556
Uji lanjut Duncan faktor rasio mol terhadap residu total gula
Rasio Mol
Rata-rata (ppm) N
Duncan 0,05
0.018 115.416,67 4 B
0.027 62.053,57 4
A
0.036 55.386,90 4
A
Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap residu total gula
Kode Rata-rata (ppm)
N Duncan 0.05
A1B1 143.928,57 2 E
A1B2 86.904,76 2
D
A2B1 69.345,24 2
C
A2B2 54.761,90 2
B
A3B1 66.726,19 2
C B
A3B2 44.047,62 2
A
Lampiran 4 Analisa statistik kejernihan hasil proses butanolisis
Hasil perhitungan kejernihan hasil proses butanolisis
kode mol suhu Kejernihan
(%T) Standar Deviasi
A1B1 0,018 140 80,35 0,64
A1B2 0,018 150 62,05 0,35
A2B1 0,027 140 45,75 0,64
A2B2 0,027 150 0,1 0
A3B1 0,036 140 5,75 0,92
A3B2 0,036 150 0,1 0
Analisa ragam kejernihan hasil proses butanolisis
Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F
tabel 0,05
Rata-rata 1 12.558,27 12.558,27
perlakuan mol 2 9.855,94 4.927,97 16611,1
3 5,14 perlakuan suhu 1 1.614,72 1.614,72 5442,88 5,99 interaksi mol*suhu 2 836,06 418,01
1409,014 5,14
Error 6 1,78 0,30
Jumlah 12 24.866,72
Uji lanjut Duncan faktor rasio mol terhadap kejernihan
Rasio Mol
Rata-rata (%T)
Duncan 0.05
Duncan 0.05
0.018 71,2 4 B
0.027 22,92 4
A
0.036 2,93 4
A
Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kejernihan
Kode Rata-rata (%T) N Duncan 0.05
A1B1 80,35 2 C
A1B2 62,05 2
B
A2B1 45,75 2
B
A2B2 0,1 2
A
A3B1 5,75 2
A
A3B2 0,1 2
A
Lampiran 5 Perbandingan residu gula reduksi, residu total gula, dan
kejernihan hasil proses butanolisis
Sampel Perlakuan Residu Gula
Reduksi
(ppm)
Residu Total
Gula (ppm)
Kejernihan
(%T)
A1B1 Katalis 0,018; suhu 140OC 58.281,3
f 143.928,6
e 80,35
c
A1B2 Katalis 0,018; suhu 150OC 43.906,3
e 86.904,8
d 62,05
b
A2B1 Katalis 0,027; suhu 140OC 37.812,5
d 69.345,2
c 45,75
b
A2B2 Katalis 0,027; suhu 150OC 24.550,0
c 54.761,9
b 0,1
a
A3B1 Katalis 0,036; suhu 140OC 22.612,5
b 66.726,2
bc 5,75
a
A3B2 Katalis 0,036; suhu 150OC 18.075,0
a 44.047,6
a 0,1
a
Keterangan : angka yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Lampiran 6 Hasil perhitungan gula reduksi setelah proses transasetalisasi
Sampel
Gula pereduksi (ppm)
rata-rata Ulangan
1 Ulangan2
A1B1 523,75 493,75 508,75
A1B2 548,75 557,5 553,13
A1B3 531,25 547,5 539,38
A1B4 526,25 532,5 529,38
A2B1 618,75 606,25 612,5
A2B2 597,5 582,5 590
A2B3 605 571,25 588,13
A2B4 558,75 551,25 555
A3B1 571,25 580 575,63
A3B2 546,25 541,25 543,75
A3B3 563,75 582,5 573,13
A3B4 595 592,5 593,75
rata-rata 563,54
Lampiran 7. Proses butanolisis
Hasil pengamatan proses butanolisis tahap pertama
Sampel Pati
(g)
Butanol
(g)
Air
(g) PTSA (g)
Suhu
(OC)
pH Keterangan
Warna
A1B1-1 40,50 157,25 32,85 0,85 140 2,4 Kuning muda
A1B1-2 40,50 157,25 32,85 0,85 140 2,2 Kuning muda
A1B2-1 40,49 157,26 32,85 0,85 150 2,2 Kuning tua
A1B2-2 40,49 157,26 32,86 0,85 150 2,3 Kuning tua
A2B1-1 40,48 157,25 32,85 1,28 140 1,8 Kuning tua
A2B1-2 40,51 157,25 32,85 1,28 140 1,6 Kuning tua
A2B2-1 40,49 157,23 32,86 1,28 150 1,6 Hitam
A2B2-2 40,50 157,25 32,85 1,28 150 1,6 Hitam
A3B1-1 40,51 157,25 32,86 1,71 140 1,2 Coklat tua +
A3B1-2 40,51 157,27 32,85 1,71 140 1,2 Coklat tua +
A3B2-1 40,51 157,27 32,85 1,71 150 1,1 Hitam
A3B2-2 40,51 157,25 32,84 1,71 150 1,2 Hitam
Lampiran 8 Analisa statistik kejernihan APG murni
Hasil perhitungan kejernihan APG murni
Sampel Kejernihan (%T) Rata-
Rata (%T) Warna
1 2
glucopon 76,38 77,62 77,01
Buram, Transparan
A1B1 27,99 27,73 27,86 merah bata A1B2 46,88 46,24 46,56 Kuning tua
A1B3 59,29 58,75 59,02 kuning muda A1B4 59,84 59,16 59,50 kuning muda
A2B1 37,76 37,33 37,54 coklat muda A2B2 45,71 45,92 45,81 kuning tua
A2B3 63,97 63,39 63,68 putih kekuningan
A2B4 62,81 63,10 62,95 putih kekuningan
A3B1 28,77 28,91 28,84 coklat muda
A3B2 29,17 29,04 29,11 hijau kehitaman
A3B3 29,44 29,44 29,44 hijau kehitaman
A3B4 29,85 29,72 29,79 hijau kehitaman
Analisa ragam kejernihan APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F tabel
0,05
Rata-rata 1 45.084,72 45.084,72 Perlakuan Arang Aktif 2 2.440,71 1.220,35 14.957,66 3,88
perlakuan NaBH4 3 1.557,28 519,09 6.362,43 3,49 interaksi 6 771,27 128,55 1.575,56 3,00
Error 12 0,98 0,08
Jumlah 24 49.854,96
Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kejernihan
Arang aktif Rata-Rata N Duncan 0,05
0% 48,24 8
B
5% 52,50 8
A
10% 29,29 8 C
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kejernihan
NaBH4 Rata-rata N Duncan 0,05
0% 31,41 6 C
0,10% 40,49 6
B
0,20% 50,72 6
A
0,30% 50,74 6
A
Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kejernihan
Sampel Rata-rata N Duncan 0,05
A1B1 27,86 2 E
A1B2 46,56 2
C
A1B3 59,02 2
B A
A1B4 59,50 2
A
A2B1 37,54 2
D
A2B2 45,81 2
C
A2B3 63,68 2
B A
A2B4 62,95 2
B
A3B1 28,84 2
D
A3B2 29,11 2 E
A3B3 29,44 2 E
A3B4 29,79 2 E
Lampiran 9 Analisa statistik rendemen APG murni
Hasil perhitungan rendemen APG murni
Sampel Ulangan 1 Ulangan
2 Rata-rata
A1B1 59,52 60,17 59,85 A1B2 57,94 60,16 59,05
A1B3 58,82 58,28 58,55 A1B4 57,43 56,94 57,18
A2B1 56,55 55,40 55,97 A2B2 54,50 55,40 54,95
A2B3 55,15 54,44 54,95 A2B4 52,29 54,42 53,36
A3B1 51,22 48,71 49,96 A3B2 47,60 47,69 47,65
A3B3 49,07 46,26 47,66 A3B4 46,34 47,80 47,07
Analisa ragam rendemen APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F
tabel 0,05
Rata-rata 1 69.563,26 69.563,26 Perlakuan Arang Aktif 2 457,52 228,76 186,84 3,88 perlakuan NaBH4 3 22,48 7,49 6,12 3,49
interaksi 6 1,83 0,30 0,25 3,00 Error 12 14,69 1,22
Jumlah 24 70.059,78
Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap rendemen APG murni
Arang aktif Rata-Rata N Duncan 0,05
0% 58,66 8 C
5% 54,77 8
B
10% 48,09 8
A
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap rendemen APG murni
NaBH4 Rata-rata N Duncan
0,06
0% 55,26 6 B
0,10% 53,88 6
A
0,20% 53,67 6
A
0,30% 52,54 6
A
Lampiran 10 Analisa statistik kemempuan menurunkan tegangan permukaan APG murni
Hasil perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan APG murni
Sampel
Tegangan Permukaan (dyne/cm)
0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Glucopon 38,8 38,6 34,1 34,3 33,1 33,1 32,9 32,7 32,8 32,7 32,6 32,7 31,7 31,6 29,5 29,7 A1B1 37,4 37,7 33,5 33,5 31,4 31,5 30,5 30,7 29,8 29,6 28,9 29,3 28,6 28,3 28,0 27,9
A1B2 37,5 37,4 33,0 32,9 31,0 31,2 30,6 30,5 29,1 29,4 28,6 28,7 28,1 28,0 28,1 27,9 A1B3 37,5 37,3 32,8 32,9 31,0 31,0 29,6 29,8 29,0 29,2 28,6 28,6 28,0 27,8 27,5 27,3
A1B4 37,4 37,5 33,2 33,4 30,9 31,2 30,1 30,4 29,7 29,5 28,8 29,0 28,4 28,1 27,7 27,6
A2B1 37,4 37,6 34,4 34,2 31,9 31,8 30,5 30,8 30,2 30,4 29,6 29,6 28,8 28,5 28,2 28,4 A2B2 37,6 37,3 33,8 33,9 31,6 31,9 30,5 30,4 29,8 29,9 29,3 29,4 28,8 28,4 28,0 28,2
A2B3 37,5 37,3 33,5 33,3 31,2 31,5 30,5 30,3 29,9 29,6 29,5 29,0 28,2 28,4 28,0 27,9
A2B4 37,3 37,7 33,8 33,7 31,8 31,7 30,5 30,6 30,2 30,0 29,1 29,5 28,5 28,4 28,2 28,0
A3B1 37,6 37,5 34,3 34,5 33,8 32,0 30,9 30,8 30,5 30,4 29,7 29,8 28,7 28,9 28,4 28,3 A3B2 37,6 37,4 33,8 34,0 31,7 31,8 30,9 30,8 30,3 30,0 29,7 29,5 28,5 28,7 28,2 28,4
A3B3 37,5 37,5 33,7 33,5 31,5 31,7 30,6 30,2 29,8 29,7 29,2 29,4 28,4 28,3 28,0 28,1
A3B4 37,5 37,7 34,1 34,3 31,9 31,8 30,5 30,4 29,8 29,8 29,4 29,4 28,4 28,6 28,1 28,1
Hasil perhitungan rekapitulasi kemampuan menurunkan tegangan permukaan
APG murni
Sampel
Tegangan Permukaan (dyne/cm) Penurunan TP (konsentrasi
1%) (%) 0 0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Glucopon 72 38,70 34,20 33,10 32,80 32,75 32,65 31,65 29,60 58,89
A1B1 72 37,55 33,50 31,45 30,60 29,70 29,10 28,45 27,95 61,18
A1B2 72 37,45 32,95 31,10 30,55 29,25 28,65 28,05 28,00 61,11
A1B3 72 37,40 32,85 31,00 29,70 29,10 28,60 27,90 27,40 61,94
A1B4 72 37,45 33,30 31,05 30,25 29,60 28,90 28,25 27,65 61,60
A2B1 72 37,50 34,30 31,85 30,65 30,30 29,60 28,65 28,30 60,69
A2B2 72 37,45 33,85 31,75 30,45 29,85 29,35 28,60 28,10 60,97
A2B3 72 37,40 33,40 31,35 30,40 29,75 29,25 28,30 27,95 61,18
A2B4 72 37,50 33,75 31,75 30,55 30,10 29,30 28,45 28,10 60,97
A3B1 72 37,55 34,40 32,90 30,85 30,45 29,75 28,80 28,35 60,63
A3B2 72 37,50 33,90 31,75 30,85 30,15 29,60 28,60 28,30 60,69
A3B3 72 37,50 33,60 31,60 30,40 29,75 29,30 28,35 28,05 61,04
A3B4 72 37,60 34,20 31,85 30,45 29,80 29,40 28.50 28.10 60.97
Analisa ragam kemampuan menurunkan tegangan permukaan APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F
tabel 0,05
Rata-rata 1 89.544,77 89.544,77 Perlakuan Arang Aktif 2 1,76 0,88 37,69 3,88
perlakuan NaBH4 3 1,14 0,38 16,31 3,49 interaksi 6 0,26 0,04 1,83 3,00
Error 12 0,28 0,02
Jumlah 24 89.548,21
Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kemampuan
menurunkan tegangan permukaan APG murni
Arang aktif Rata-Rata
(%) N
Duncan 0,05
0% 61,46 8 B
5% 60,95 8
A
10% 60,83 8
A
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kemampuan menurunkan
tegangan permukaan APG murni
NaBH4 Rata-rata
(%) N Duncan 0,05
0% 60,83 6
A
0,10% 60,93 6
A
0,20% 61,39 6 C
0,30% 61,18 6
B
Lampiran 11 Analisa statistik kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG murni
Hasil perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG murni
Sampel
Tegangan Antar Muka (dyne/cm)
0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Glucopon 20,2 20,0 7,6 7,8 5,5 5,6 3,8 3,7 3,5 3,5 3,0 3,2 3,0 2,9 2,7 2,7 A1B1 18,1 18,3 6,8 6,9 4,5 4,3 3,3 3,4 3,2 3,0 2,9 2,8 2,5 2,4 2,2 2,1
A1B2 17,7 17,8 6,7 6,8 4,2 4,4 3,3 3,2 3,0 3,1 2,7 2,8 2,4 2,4 2,1 2,2 A1B3 17,3 17,2 6,3 6,2 3,9 4,0 3,0 2,9 2,6 2,5 2,4 2,4 2,2 2,1 1,9 1,8
A1B4 17,4 17,3 6,7 6,5 4,1 4,2 3,0 3,1 2,7 2,8 2,4 2,6 2,3 2,2 2,0 1,9
A2B1 18,0 18,4 7,3 7,2 4,4 4,6 3,2 3,4 3,0 3,2 2,9 3,0 2,6 2,5 2,3 2,3 A2B2 17,7 17,8 7,0 7,0 4,4 4,5 3,3 3,1 3,1 3,0 2,7 2,7 2,4 2,6 2,2 2,3
A2B3 17,4 17,5 6,9 6,8 4,2 4,4 3,2 3,1 2,9 2,7 2,5 2,7 2,5 2,3 2,0 2,1
A2B4 17,6 17,7 7,0 7,0 4,4 4,4 3,3 3,3 3,0 2,8 2,7 2,8 2,5 2,6 2,2 2,0
A3B1 18,4 18,2 7,4 7,3 4,6 4,5 3,2 3,4 3,1 3,3 3,0 3,1 2,8 2,6 2,4 2,3 A3B2 18,1 18,0 7,2 7,3 4,5 4,5 3,3 3,2 3,2 3,2 2,9 3,0 2,6 2,7 2,2 2,2
A3B3 17,8 17,6 7,0 7,0 4,4 4,2 3,1 3,2 3,0 2,9 2,9 2,9 2,5 2,5 2,1 2,2
A3B4 17,7 17,9 7,3 7,4 4,5 4,6 3,2 3,2 3,0 3,0 2,8 3,1 2,6 2,6 2,1 2,2
155
Hasil perhitungan rekapitulasi kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG
murni
Sampel Rata-rata Tegangan Antar Muka (dyne/cm) Penurunan TAM
(konsentrasi 1%) (%) 0 0,001 0,01 0,05 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Glucopon 42 20,10 7,70 5,55 3,75 3,50 3,10 2,95 2,70 93,57
A1B1 42 18,20 6,85 4,40 3,35 3,10 2,85 2,45 2,15 94,88
A1B2 42 17,75 6,75 4,30 3,25 3,05 2,75 2,40 2,15 94,88
A1B3 42 17,25 6,25 3,95 2,95 2,55 2,40 2,15 1,85 95,60
A1B4 42 17,35 6,60 4,15 3,05 2,75 2,50 2,25 1,95 95,36
A2B1 42 18,20 7,25 4,50 3,30 3,10 2,95 2,55 2,30 94,52
A2B2 42 17,75 7,00 4,45 3,20 3,05 2,70 2,50 2,25 94,64
A2B3 42 17,45 6,85 4,30 3,15 2,80 2,60 2,40 2,05 95,12
A2B4 42 17,65 7,00 4,40 3,30 2,90 2,75 2,55 2,10 95,00
A3B1 42 18,30 7,35 4,55 3,30 3,20 3,05 2,70 2,35 94,40
A3B2 42 18,05 7,25 4,50 3,25 3,20 2,95 2,65 2,20 94,76
A3B3 42 17,70 7,00 4,30 3,15 2,95 2,90 2,50 2,15 94,88
A3B4 42 17,80 7,35 4,55 3,20 3,00 2,95 2,60 2,15 94,88
Analisa ragam kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F
Hitung F tabel
0,05
Rata-rata 1 216.193,05 216.193,05 Perlakuan Arang Aktif 2 0,89 0,45 14,54 3,88 perlakuan NaBH4 3 1,37 0,46 14,85 3,49
interaksi 6 0,18 0,03 1,00 3,00 Error 12 0,37 0,03
Jumlah 24 216195,86
Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kemampuan
menurunkan tegangan antarmuka APG murni
Arang aktif Rata-Rata
(%) N Duncan 0,05
0% 95,18 8 A
5% 94,82 8
B
10% 94,73 8
B
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kemampuan menurunkan
tegangan antarmuka APG murni
NaBH4 Rata-rata
(%) N
Duncan 0,05
0% 94,60 6 B
0,10% 94,76 6 B
0,20% 95,20 6
A
0,30% 95,08 6
A
157
Lampiran 12 Analisa statistik kestabilan emulsi APG murni
Hasil perhitungan kestabilan emulsi APG murni
Waktu (menit)
Tinggi Emulsi (mm)
Glucopon A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
5 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 10 41 41 41 41 41 41 41 40 41 41 41 41 40 41 41 40 40 40 41 41 41 41 41 41 41 41 15 41 41 41 40 40 40 38 40 39 40 40 41 38 39 41 40 40 39 41 40 41 41 41 41 41 41 20 41 41 39 40 40 40 37 38 37 39 38 39 37 37 39 40 39 39 40 40 41 40 41 40 41 41 25 40 41 39 40 40 40 36 37 37 38 36 38 37 37 38 39 36 38 40 39 40 40 40 40 40 41 30 39 39 38 39 38 38 36 36 36 37 33 35 35 36 37 38 36 36 39 39 38 39 38 40 39 40 35 38 39 37 38 37 36 35 36 36 36 33 35 35 36 37 38 35 36 39 39 35 36 38 39 38 40 40 37 37 37 38 37 36 35 36 36 36 33 34 35 35 36 37 33 34 38 38 34 36 37 38 37 39 45 37 37 36 38 36 36 35 35 36 36 33 34 35 35 35 36 30 31 38 38 32 33 36 37 37 39 50 36 36 35 36 36 35 35 35 36 36 33 33 35 35 35 36 30 30 38 38 30 31 36 37 36 37 55 36 36 35 36 34 35 35 35 36 36 33 30 34 35 35 36 30 30 37 38 30 31 35 37 35 36 60 36 36 33 35 34 35 35 35 36 36 33 30 34 35 35 35 30 30 37 37 30 31 35 35 34 35
90 34 35 33 35 33 35 35 35 36 36 30 30 34 34 35 35 30 30 35 37 30 30 34 35 34 33 120 32 33 30 33 33 30 35 35 35 36 30 29 33 34 35 35 30 30 33 35 30 30 34 35 32 33 150 30 31 30 33 30 30 35 35 35 36 30 29 33 33 35 35 30 30 33 35 28 30 32 33 32 33
180 30 30 29 30 30 30 35 35 35 36 29 28 33 33 35 34 30 30 30 33 28 29 31 30 30 30 210 30 30 29 30 29 30 35 34 35 34 29 28 30 32 32 34 30 30 29 28 28 29 29 28 29 28 240 30 30 29 30 29 30 34 34 33 34 28 28 30 30 32 32 30 30 29 28 28 28 29 28 28 27 270 30 30 29 30 29 30 34 34 33 34 28 28 30 30 32 32 30 30 28 28 28 28 29 28 28 27 300 30 30 29 30 29 30 34 33 32 33 28 28 30 30 32 32 30 30 28 27 28 28 29 28 28 27
Hasil rekapitulasi perhitungan kestabilan emulsi APG murni
Waktu Tinggi Emulsi (mm)
Glucopon A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4
5 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0 41,0
10 41,0 41,0 41,0 40,5 41,0 41,0 40,5 40,5 40,0 41,0 41,0 41,0 41,0
15 41,0 40,5 40,0 39,0 39,5 40,5 38,5 40,5 39,5 40,5 41,0 41,0 41,0
20 41,0 39,5 40,0 37,5 38,0 38,5 37,0 39,5 39,0 40,0 40,5 40,5 41,0
25 40,5 39,5 40,0 36,5 37,5 37,0 37,0 38,5 37,0 39,5 40,0 40,0 40,5
30 39,0 38,5 38,0 36,0 36,5 35,0 37,0 37,5 36,0 39,0 38,5 39,0 39,5
35 38,5 37,5 36,5 35,5 36,0 35,0 37,0 35,0 35,5 39,0 35,5 38,5 39,0
40 37,0 37,5 36,5 35,5 36,0 35,0 37,0 35,0 33,5 38,0 35,0 37,5 38,0
45 37,0 37,0 36,0 35,0 36,0 35,0 35,0 35,5 30,5 38,0 32,5 36,5 38,0
50 36,0 35,5 35,5 35,0 36,0 35,0 35,0 35,5 30,0 38,0 30,5 36,5 36,5
55 36,0 35,5 32,0 35,0 36,0 31,5 34,5 35,5 30,0 37,5 30,5 36,0 35,5
60 36,0 34,0 32,0 35,0 36,0 31,5 34,5 35,0 30,0 37,0 30,5 35,0 34,5
90 34,5 34,0 32,0 35,0 36,0 30,0 34,0 35,0 30,0 36,0 30,0 34,5 33,5
120 32,5 31,5 31,5 35,0 35,5 29,5 33,5 35,0 30,0 34,0 30,0 34,5 32,5
150 30,5 31,5 30,0 35,0 35,5 29,5 33,0 35,0 30,0 34,0 29,0 32,5 32,5
180 30,0 29,5 30,0 35,0 35,5 28,5 33,0 34,5 30,0 31,5 28,5 30,5 30,0
210 30,0 29,5 29,5 34,5 34,5 28,5 31,0 33,0 30,0 28,5 28,5 28,5 28,5
240 30,0 29,5 29,5 34,0 33,5 28,0 30,0 32,0 30,0 28,5 28,0 28,5 27,5
270 30,0 29,5 29,5 34,0 33,5 28,0 30,0 32,0 30,0 28,0 28,0 28,5 27,5
300 30,0 29,5 29,5 33,5 32,5 28,0 30,0 32,0 30,0 27,5 28,0 28,5 27,5
% 73,2 72,0 72,0 81,7 79,3 68,3 73,2 78,0 73,2 67,1 68,3 69,5 67,1
Analisa ragam kestabilan emulsi APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F
Hitung F tabel
0,05
Rata-rata 1 126.008,58 126.008,58 Perlakuan Arang Aktif 2 277,12 138,56 79,86 3,88 perlakuan NaBH4 3 175,24 58,41 33,67 3,49
interaksi 6 79,81 13,30 7,67 3,00 Error 12 20,82 1,74
Jumlah 24 126561,57
Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kestabilan emulsi APG
murni
Arang aktif Rata-
Rata (%) N Duncan 0,05
0% 76,22 8 C
5% 73,17 8
B
10% 67,99 8
A
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kestabilan emulsi APG
murni
NaBH4 Rata-rata
(%) N Duncan 0,05
0% 69,11 6 A
0,10% 71,14 6
B
0,20% 76,42 6
D
0,30% 73,17 6
C
Tabel 51 Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kestabilan emulsi
Interaksi Rata-rata
(%) N Duncan 0,05
A1B1 71,95 2
C B
A1B2 71,95 2
C B
A1B3 81,71 2 E
A1B4 79,27 2 E D
A2B1 68,29 2
A
A2B2 73,17 2
C
A2B3 78,05 2
D
A2B4 73,17 2
C
A3B1 67,07 2
A
A3B2 68,29 2
A
A3B3 69,51 2
B A
A3B4 67,07 2
A
Lampiran 13 Analisa statistik pembusaan APG murni
Hasil perhitungan pembusaan APG murni
Sampel Tinggi Busa (%)
Stabilitas Busa (menit)
Rata-rata Tinggi
Busa (%)
Stabilitas busa
(menit) 1 2 1 2
Glucopon 67,5 67,5 340 345 67,5 342,5
A1B1 57,5 57,5 310 315 57,5 312,5 A1B2 57,5 60 310 305 58,75 307,5
A1B3 62,5 62,5 310 320 62,5 315
A1B4 62,5 60 320 320 61,25 320
A2B1 57,5 57,5 305 300 57,5 302,5 A2B2 60 57,5 305 305 58,75 305
A2B3 60 60 310 310 60 310
A2B4 60 55 300 300 67,5 300 A3B1 55 55 300 300 55 300
A3B2 57,5 60 305 300 58,75 302,5 A3B3 60 60 310 305 60 307,5
A3B4 60 60 300 300 60 300
Analisa ragam tinggi busa APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F
Hitung
F tabel
0,05
Rata-rata 1 83.426,04 83.426,04 Perlakuan Arang Aktif 2 13,02 6,51 3,13 3,88
perlakuan NaBH4 3 55,21 18,40 8,83 3,49 interaksi 6 18,23 3,04 1,46 3,00
Error 12 25,00 2,08 Jumlah 24 83.537,50
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap tinggi busa APG murni
NaBH4 Rata-rata
(%) N Duncan 0,05
0% 56,67 6
A
0,10% 58,75 6
B
0,20% 60,83 6 C
0,30% 59,58 6 C B
Analisa ragam kestabilan busa APG murni
Sumber Variasi dk jk kt F Hitung F
tabel 0,05
Rata-rata 1 2.260.134,38 2.260.134,38 Perlakuan Arang Aktif 2 581,25 290,63 31,00 3,88
perlakuan NaBH4 3 136,46 45,49 4,85 3,49 interaksi 6 210,42 35,07 3,74 3,00
Error 12 112,50 9,38
Jumlah 24 2.261.175,00
Uji lanjut Duncan faktor penambahan arang aktif terhadap kestabilan busa APG
murni
Arang aktif Rata-Rata
(%) N
Duncan 0,05
0% 313,75 8
A
5% 304,38 8
A
10% 302,50 8 B
Uji lanjut Duncan faktor penambahan NaBH4 terhadap kestabilan busa APG
murni
NaBH4 Rata-rata (%) N Duncan
0,05
0% 305,00 6
A
0,10% 305,00 6
A
0,20% 310,83 6 B
0,30% 306,67 6
A
Uji lanjut Duncan tiap perlakuan terhadap kestabilan busa
Sampel Rata-rata
(%) N Duncan 0,05
A1B1 312,50 2 B
A1B2 307,50 2
A
A1B3 315,00 2 B
A1B4 320,00 2 B
A2B1 302,50 2 B A
A2B2 305,00 2 B A
A2B3 310,00 2 B A
A2B4 300,00 2 B A
A3B1 300,00 2 B A
A3B2 302,50 2 B A
A3B3 307,50 2 B A
A3B4 300,00 2 B A
Lampiran 14 Penentuan perlakuan terbaik pemurnian APG melalui
pembobotan parameter ukurnya
Sampel Kejerniha
n (%T) TP (%)
TAM (%)
Kestabilan Emulsi
(%)
tinggi Busa (%)
Kestabilan Busa
(menit)
A1B1 27,86 61,18 94,88 71,95 57,50 312,50 A1B2 46,56 61,11 94,88 71,95 58,75 307,50
A1B3 59,02 61,94 95,60 81,71 62,50 315,00 A1B4 59,50 61,60 95,36 79,27 61,25 320,00
A2B1 37,54 60,69 94,52 68,29 57,50 302,50 A2B2 45,81 60,97 94,64 73,17 58,75 305,00
A2B3 63,68 61,18 95,12 78,05 60,00 310,00 A2B4 62,95 60,97 95,00 73,17 57,50 300,00
A3B1 28,84 60,63 94,40 67,07 55,00 300,00 A3B2 29,11 60,69 94,76 68,29 58,75 302,50
A3B3 29,44 61,04 94,88 69,51 60,00 307,50 A3B4 29,79 60,97 94,88 67,07 60,00 300,00
Sampel kejernihan TP TAM
Kestablian Emulsi
Tinggi Busa
Kestabilan Busa Jumlah Urutan
0,3 0,2 0,2 0,2 0,05 0,05
A1B1 1 4 3 3 3 4 2,65 7 A1B2 3 4 3 3 3 3 3,20 5
A1B3 4 5 5 5 5 3 4,60 1 A1B4 4 5 4 4 4 4 4,20 3
A2B1 2 3 3 2 3 2 2,45 8 A2B2 3 3 3 3 3 2 2,95 6
A2B3 5 4 4 4 4 3 4,25 2 A2B4 5 3 3 3 3 2 3,55 4
A3B1 1 3 2 1 2 2 1,70 12 A3B2 1 3 3 2 3 2 2,15 10
A3B3 1 4 3 2 4 2 2,40 9 A3B4 1 3 3 1 4 2 2,00 11
Nilai kejernihan
(<30=1), (30-40=2), (41-50=3), (51-60=4), (>61=5)
Nilai tegangan permukaan
(<60=1), (60-60,5=2), (60,51-61,00=3), (61,01-61,50=4),(>61,51=5)
Nilai tegangan antarmuka
(<94=1),(94,00-94,50=2), (94,51-95,00=3), (95,01-95,50=4), (>95,51=5)
Nilai Kestabilan emulsi (<68,00=1), (68,01-71,50=2), (71,51-75,00=3), (75,01-80,50=4), (>80,51=5)
Tinggi Busa
(<55=1), (55-57,5=2), (57,51-60,00=3), (60,01-62,5=4), (>62,5=5)
Kestabilan Busa
(<300=1), (300-305=2), (306-310=3), (311-315=4), (>316=5)
Lampiran 15 Perhitungan HLB
Hasil titrasi akuades
Surfaktan Akuades yang digunakan
Rata-rata HLB Ulangan 1 Ulangan 2
Asam oleat 14,3 16,8 15,55 1
Span20 38,3 37,7 38 8,6
Tween80 67,7 70 68,85 15
Kurva standar HLB
Nilai HLB
Surfaktan Aquadest yang digunakan
Rata-rata HLB Ulangan 1 Ulangan 2
APG Komersial 55,7 55,4 55,55 12,01
APG terbaik 48,4 49,1 48,75 10,24
y = 0.259x - 2.380R² = 0.980
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
HLB
Volume Aquades (ml)
HLB
Lampiran 16 Perhitungan biaya bahan baku produksi APG
Neraca massa produksi APG berbasis 1 ton tapioka
BUTANOLISIS
TAPIOKA
1000 Kg
BUTANOL
3882,7 Kg
PTSA
31,7 Kg
Gula Sisa : 365,9 Kg
PTSA : 31,7 Kg
Butilglikosida :1012,6 Kg
Butanol sisa :3425,9 Kg
Air :967,1 Kg
AIR
888,8 Kg
TRANSASETALISASI
PTSA : 15,8 Kg
FAC12 : 5751,2 Kg
DMSO : 107,3 Kg
BUTANOL
3882,7 Kg
AIR
888,8 KgGula Sisa : 2,7 Kg
PTSA : 47,5 Kg
DMSO :107,3 Kg
APG+FA sisa+Polidekstrosa:
6748,2 Kg
PENYARINGAN
ENDAPAN
POLIDEKSTROSA
276,2 Kg
Gula Sisa : 2,7 Kg
PTSA : 47,5 Kg
DMSO :107,3 Kg
APG+FA sisa: 6471,9 KgNaOH : 27,8 Kg
NaBH4 : 12,9 Kg
Air : 72,9 Kg
NETRALISASI
Sorbitol : 2,7 Kg
PTSA : 47,5 Kg
DMSO :107,3 Kg
APG+FA sisa: 6471,9 Kg
NaOH : 27,8 Kg
NaBO2.2H2O : 84,5 Kg
DESTILASI
PTSA : 47,5 Kg
DMSO :107,3 Kg
FA sisa: 4627,5 Kg
NaOH : 27,8 Kg
NaBO2.2H2O : 84,5 Kg
APG KASAR :
1848,6 Kg
PEMUCATAN
Air : 1848,6 Kg
H2O2 : 73,945
MgO : 1,8 Kg
H2O2 : 73,945
APG MURNI :
3699,1 Kg
A1
A2
A2A3 A4
A5
A5
A6
A7
A7A8
A9
A9A10
A11
A11A12 A13
A14
Neraca massa proses butanolisis
Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)
A1 A2
Tapioka 1000.000,00
Gula sisa 365.954,60
Butanol 3.882.716,05
Air 888.888,89
PTSA 31.700,00 31.700,00
Butilglikosida 1.012.635,52
Butanol sisa 3.425.925,93
Air 967.088,89
jumlah 5.803.304,94 5.803.304,94
Neraca massa proses transasetalisasi
Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)
A2 A3 A4 A5
Gula sisa 365.954,60 2.765,40
PTSA 31.700,00 15.850,00 47.550,00
Butil glikosida 1.012.635,52
Butanol sisa 3.425.925,93
Air 967.088,89 888.888,89
Butanol 3.882.716,05
FA C12 5.751.234,57
DMSO 107.375,55 107.375,55
APG+FA C12 sisa
+polidekstrosa 6.748.234,57
Jumlah 5.803.304,94 5.874.460,12 4.771.604,94 6,905,925,52
Total 11.677.765,06 11.677.530,46
Neraca massa proses penyaringan
Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)
A5 A6 A7
gula sisa 2.765,40 2.765,40
PTSA 47.550,00 47.550,00
DMSO 107.375,55 107.375,55
APG+FA C12 sisa+
polidekstrosa 6.748.234,57
endapan polidekstrosa 276.237,02
APG+FAC12 sisa 6.471.997,55
Jumlah 6.905.925,52 276.237,02 6.629.688,50
Total 6.905.925,52 6.905.925,52
Neraca massa proses netralisasi
Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)
A7 A8 A9
APG+FAC12 Sisa 6.471.997,55 6.471.997,55
Gula sisa 2.765,40
PTSA 47.550,00 47.550,00
DMSO 107.375,55 107.375,55
Air 72.926,57
NaOH 27.829,59 27.829,59
NaBH4 12.944,00
Sorbitol 4.124,52
NaBO2.2H2O 84.511,45
Jumlah 6.629.688,50 113.700,16 6.743.388,65
Total 6.743.388,65 6.743.388,65
Neraca massa proses destilasi
Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)
A9 A10 A11
APG+FAC12 sisa 6.471.997,55
PTSA 47.550,00 47.550,00
DMSO 107.375,55 107.375,55
NaOH 27.829,59 27.829,59
Sorbitol 4.124,52
NaBO2.2H2O 84.511,45 84.511,45
APG Kasar 1.848.643,82
FAC12 sisa 4.627.478,25
Jumlah 6.743.388,65 4.894.744,83 1.848.643,82
Total 6.743.388,65 6.743.388,65
Neraca massa proses pemucatan
Komponen Masuk (kg) Keluar (kg)
A11 A12 A13 A14
APG kasar 1.848.643,82
H2O2 73.945,75 73.945,75
MgO 1.848,64
Air 1.848.643,82
APG murni 3.699.136,28
Jumlah 3.697.287,64 75.794,40 73.945,75 3.699.136,28
Total 3.773.082,04 3.773.082,04