Isu SARA Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012

23
Isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Di Indonesia yang menganut asas kedaulatan rakyat, saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten Wali kota dan wakil wali kota untuk kota Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tata Pemerintahan Daerah (PEMDA) dalam mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Undang- undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie Ashshiqie, 2006, hal:792). Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta merupakan pesta demokrasi terbesar bagi warga Jakarta. Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 diselenggarakan pada

description

Isu sara dalam PILKADA DKI tahun 2012.

Transcript of Isu SARA Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012

Isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012BAB IPendahuluanI. Latar Belakang

DiIndonesia yang menganut asas kedaulatan rakyat, saat inipemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratifsetempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup:Gubernurdan wakil gubernur untukprovinsiBupatidan wakil bupati untukkabupatenWali kotadan wakil wali kota untukkotaSebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih olehDewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tata Pemerintahan Daerah (PEMDA) dalam mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie Ashshiqie, 2006, hal:792).Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta merupakan pesta demokrasi terbesar bagi warga Jakarta. Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 diselenggarakan pada Rabu,11 Juli2012dan Kamis,20 September2012 (putaran ke dua) untuk memilihGubernur Jakartauntuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Dalam Pemilihan Kepala Daerah ini juga warga DKI berharap adanya perubahan atau kemajuan Jakarta.DKI Jakarta yang memiliki komposisi penduduk yang beraneka ragam dan berbagai perbedaan latar belakang, akan memiliki banyak penilaian dan pertimbangan sebelum memilih. Hal yang paling berpengaruh dan mendasari warga DKI dalam pertimbangannya memilih kepala daerahnya antara lain; partai pengusung, kepentingan, janji (visi dan misi), dan bahkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan).Kekuatan raykat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan khususnya dalam Pilkada menjadikan partisipasinya sangat penting. Dengan tingginya partisipasi masyarakat dalam Pilkada, hal ini dapat dijadikan alat ukur tingkat keberhasilan demokratisasi sehingga bisa meningkatkan legitimasi bagi para calon kepala daerah jika nantinya terpilih.

II. Permasalahan

Masyarakat DKI Jakarta yang terdiri dari berbagai macam latar belakang membuat mereka memiliki berbagai pertimbangan untuk memilih dalam Pilkada. Latar belakang calon gubernur dan wakilnya merupakan pertimbangan yang cukup besar pengaruhnya kepada warga DKI dalam memilih kepala daerahnya, para pemilih biasanya akan melihat latar belakang calon kepala daerahnya dari; pendidikan, pengalaman (track record), suku dan bahkan agama. Kedua hal terakhir yang disebutkan itulah yang biasa menimbulkan berbagai sentimen dan isu-isu SARA yang menjurus pada perpecahan. Isu SARA selalu menjadi hal yang sensitif di negeri ini didukung dengan kuatnya rasa kesukuan dan agama, Putaran ke dua Pilkada DKI Jakarta dianggap kental dengan hembusan isu-isu yang berbau SARA. Hal sensitif ini mampu mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya sehingga sering kali dieksploitasi para politisi maupun partai untuk mendiskreditkan lawan-lawannya. Hal tersebut sering kali menyebabkan para pemilih mengesampingkan kompetensi dan pengalamn para calon, hal ini dapat menciderai nilai-nilai demokrasi.

BAB IIKerangka TeoriEverett Hughes (dalam Jenkins, 1977:10-11) menyatakan bahwa suku bangsa bukan merupakan satu unit sosial yang dapat ditentukan berdasarkan tingkat pengukuran tertentu atau perbedaan-perbedaan yang dapat diamati secara nyata, sebaliknya keberadaan suatu sukubangsa lebih ditentukan karena mereka yang berada dalam lingkaran satu sukubangsa(the ins) dan mereka yang di luar lingkaran sukubangsa tersebut(the outs),berbicara,merasa dan bertindak sebagai dua kelompok yang terpisah satu dengan yang lain. Eksistensi sukubangsa tidak semata-mata sebuah refleksi dari adanya perbedaan kebudayaan,tapi sebagai konsekuensi berkembangnya relasi antarathe insdanthe outs. Sedangkan menurut Durkheim seorang Ahli Sosiologi agama berarti A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden -- beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them.(dalam Kamanto. 2004. Hal.67) Konsep partisipasi politik menurut Miriam Budiardjo (dalam Faturohman, 2002: 185) adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pempinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Indikator yang dapat kita lihat sebagai penanda bahwa seorang individu menjadi salah satu partisipan politik adalah kegiatannya berupa individu atau kelompok dan bertujuan secara aktif dalam kehidupan politik, memilih pimpinan, atau memengaruhi kebijakan public.Partisipasi menurut Oxpord Learners Pocket Dictionary yang terbitkan oleh Oxpord University Press, Parcipate In Take Part Or Become Involved In Activity, karena itu dalam partisipasi ada yang mengambil bagian atau menjadi keseluruhan dan sebuah kegiatan berbentuk kerja sama. Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara bisa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.Menurut Michel Rush dan Phillip Althoff menurutnya partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bemacam-bermacam tingkatan di dalam sistem politik. Aktivitas politik itu bisa bergerak dari keterlibatan sampai dengan aktivitas jabatannyaMenurut Ramlan Subakti (dalam Subakti, 1992: 141-142) rambu-rambu konsep partisipasi politik adalah sebagai berikut :Pertama, partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu bukan sikap dan orientasi.Kedua, kegiatan itu dilakukan untuk memengaruhi pemerintah selaku pembuat kebijakan politik. Ketiga, kegiatan yang berhasil maupun yang gagal memengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.Keempat, kegiatan memengaruhi pemerintah bisa secara langsung maupun tidak langsung.Kelima, kegiatan pemerintah bisa dilakukan dengan prosedur yang wajar (konvensional) dan tak berupa kekerasan serta dengan cara-cara kekerasan.Definisi kampanye yang dimaksud dalam Pasal 1: Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kampanye, kata dia, adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menyampaikan misi, visi, dan program calon. Sedangkan unsur kampanye yang termaktub dalam Pasal IV Surat Keputusan KPU DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Tata Cara Kampanye harus memenuhi empat unsur yang bersifat kumulatif.Unsur yang bersifat kumulatif adalah (1) kegiatan dilaksanakan oleh pasangan calon atau tim atau juru kampanye dan (2) kegiatan dilakukan untuk meyakinkan pemilih dalam rangka memperoleh dukungan sebesar-besarnya. Lalu (3) kegiatan dilakukan untuk menawarkan visi, misi, program pasangan calon secara tertulis atau lisan dalam bentuk kampanye yang ditetapkan KPU DKI, dan (4) kegiatan diselenggarakan pada jadwal waktu dan wilayah yang telah ditetapkan KPU DKI.[footnoteRef:2] [2: Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/09/04/228427403/Surat-Larangan-Kampanye-di-Luar-Jadwal-Diterbitkan]

Demokrasi menurut H. Harris Soche (dalam Hanindita, 1985) adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah. Menurut Robert A. Dahl Sebuah demokrasi idealnya memiliki : (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.Menurut H. Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985) Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.Menurut Henry B. Mayo dalam bukunya yang berjudul An Intriduction to Democrate Theory (1960) sistem politik akan berlangsung dengan demokratis jika kebijaksanaan umum (keputusan negara atau lembaga dalam sebuah system politik) ditentukan atas dasar mayoritas oleh perwakilan rakyat yang diawasi secara ketat oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan pada prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.Henry B. Mayo juga menyimpulkan bahwa ada enam nilai demokrasi, keenam nilai tersebut adalah 1. Menyelesaikan permasalahan dengan damai dan secara melembaga2. Menjamin adanya perubahan secara damai dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai batas minimum5. Mengakui adanya keanekaragaman (perbedaan) dan menganggapnya wajar.6. Menjamin tegaknya demokrasi .

Rainer Forst dalam Toleration and Democracy (2007) menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara ( permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam hal ini, Forst lebih memilih konsepsi kedua, yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa. Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan, yaitu : Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran.Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis.Pasal 4Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa :a.memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; ataub.menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:1.membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;2.berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;3.mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau4.melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

BAB IIIPEMBAHASANPilkada DKI Jakarta merupakan sarana partisipasi politik warga DKI Jakarta. Partisipasi politik yang terjadi oleh masyarakat menjadi acuan terpenting bagi setiap calon gubernur dalam meningkatkan keterpilihannya dalam pemilihan kepala daerah. Berbagai cara dapat ditempuh oleh para calon gubernur untuk meningkatkan keterpilihannya dalam pemilihan daerah. Strategi-strategi politik juga sangatlah penting dalam menunjang pencalonannya. Tidak dapat dipungkiri peran partai politik sangatlah menunjang bagi para calon gubernur untuk menjaring simpatisan serta menjadi sarana pengatur strategi politik bagi calon gubernur. Salah satu fungsi partai politik adalah sarana komunikasi politik. Komunikasi politik yang dimaksud merupakan gabungan kepentingan dari aspirasi masyarakat dengan kepentingan partai sebagai penyalur asprasi rakyat. (Budiardjo. 2005. Hal.163). Jika dilihat dari perspektif psikologi sosial, isu mengenai perbedaan SARA seperti sebuah keniscayaan. Kita harus membedakannya menjadipandangan mengenai SARA dansentimenterhadap perbedaan SARA. Pandangan mengenai SARA lebih ditujukan ke dalam diri sendiri, sementara sentimen SARA bersifat agresif ke orang lain.Warga Jakarta tentu saja juga mencari informasi mengenai kompetensi dan pengalaman sang kandidat. Warga yang menginginkan perubahan merasa lebih cocok dengan pasangan Jokowi-Ahok. Sementara warga yang merasa Jakarta sudah cukup baik sehingga tidak perlu ada perubahan signifikan, berafiliasi secara ideologi dengan Foke-Nara. Pada tahap ini, muncul apa yang dinamakaningroupdanoutgruopdalam istilah psikologi sosial. Salah satu ciriingroup/outgroupadalah membanding-bandingkan dan cenderung akan selalu menilai kelompoknya (ingroup) lebih baik dari kelompok lain. Jika ada hal positif dari kelompok lain, mereka justru menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompoknya sehingga harus disaingi dan diusahakan agar menjadi milik kelompoknya. Pembelaan terhadap kelompoknya bisa timbul dalam reaksi yang berlebihan.Misal, keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi jangan heran jika muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut. Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor kenyamanan dalam berinteraksi sosial.Jadi, dari kacamata psikologi sosial, pandangan mengenai SARA hampir mustahil tidak muncul dalam interaksi sosial, terutama dalam peristiwa se-akbar Pilkada DKI Jakarta ini. Seperti yang saya tuliskan di alinea ketiga, kita harus bisa membedakan pandangan mengenai SARA dan sentimen terhadap SARA. Peristiwa-peristiwa yang mewarnai pilkada Jakarta belakangan ini bisa jadi mengarah ke sentimen terhadap SARA. Sentimen terhadap perbedaan SARA adalah bentuk agitatif untuk menjatuhkan kelompok lain.Seperti yang telah disebutkan bahwa Pilkada DKI memiliki nuansa yang kental akan hembusan-hembusan isu SARA terutama pada putarana kedua. Isu SARA ini digunakan sebagai black campaign atau kampanye hitam yang bertujuan untuk mendiskreditkan calon pasangan lain, dalam kasus ini pasangan Jokowi Ahok. Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang merupakan calon wakil gubernur yang berketurunan China menjadi target atau sasaran utama kampanye SARA tersebut. Tujuan akhir dari kampanye-kampanye SARA tersebut adalah agar warga DKI tidak memilih pasangan Jokowi Ahok.Isu (sentimen) SARA menjadi isu sentral dalam Pemilukada DKI, terutama putaran kedua. SARA sebagaimana singkatannya adalah hal-perihal yang menyangkut Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Dalam Pemilukada DKI Jakarta, isu (sentimen) SARA terasa kental sekali. Terutama yang menyangkut Suku, Agama dan Ras. Seberapa efektifkah isu (sentimen) SARA dalam Pemilukada DKI Jakarta ini dalam menjaring pemilih. Berbagai survey telah dilakukan oleh lembaga survey. Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Cosulting (SMRC).Berdasarkan agama, diketahui mayoritas nonmuslim memilih pasangan Jokowi-Ahok. 95,1 Persen pemeluk Kristen, 89,3 persen pemeluk Katolik dan 86,7 persen pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Katolik memilih pasangan yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini. Sementara 51,9 persen pemeluk Islam memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, sebaliknya 48,1 persen memilih Jokowi-Ahok. Muslim, tidak seperti non-Muslim, ternyata tidak solid dalam sikap dan pilihan politiknya, seperti dijelaskan SMRC dalam rilis hasil survei pada Minggu 23 September 2012.[footnoteRef:3] [3: (Viva News tanggal 24 September 2012,http://metro.news.viva.co.id/news/read/353741-exit-pollisu-sara-pengaruhi-jokowi-ahok-)]

Berdasarkan suku, Ras, survei yang digelar Saiful Mujani Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya etnis Betawi yang mayoritas memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (75,1 persen). Namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.Etnis Jawa, 63,3 persen memilih Jokowi-Ahok. Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini.Paling tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih Jokowi-Ahok. Kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok. Sementara mayoritas etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan yang diprediksi semuaquick countmenang itu.[footnoteRef:4] [4: (Viva News tanggal 24 September 2012,http://metro.news.viva.co.id/news/read/353712-exit-pollpemilih-foke-dan-jokowi-berdasar-etnis)]

Sensitifnya hal-hal yang mengenai agama dan kesukuan menjadi alasan mengapa SARA selalu dihembuskan dalam berbagai pemilihan umum, baik yang secara kecil-kecilan maupun secara massif yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 ini.Majalah TEMPO edisi 23 September 2012 melaporkan bahwa dalam sigi yang dilakukan pada 2-7 September 2012 itu, resistensi terhadap pemimpin kepala daerah yang beragama lain (nonMuslim) masih tinggi. Sebanyak 57,4 persen responden menyatakan berkeberatan jika dipimpin orang beragama Protestan, dan 56 persen responden menolak dipimpin orang beragama Katolik. Jadi, dapat dikatakan bahwa 57 persen respon menolak pimpinan beragama Kristen.Selain itu, hasil sigi TEMPO itu memperlihatkan bahwa 44,3 persen responden Muslim menyatakan setuju agama Islam melarang memilih pemimpin nonMuslim. Sebanyak 48 persen menyatakan tidak jadi masalah memilih pemimpin nonMuslim. Sisanya, 7,7 persen, tidak tahu. Para pemilih menyebutkan alasan utama memilih Foke-Nara adalah pasangan itu mewakili agama yang mereka anut.Efek isu agama jauh lebih dominan ketimbang konsolidasi partai pendukung Fauzi-Nachrowi, kata Direktur Komunikasi Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi (TEMPO, 23/09/2012).Selain tema agama, menurut Burhanuddin, isu etnis sangat mempengaruhi pilihan. Sebanyak 45,9 persen pemilih mengatakan keberatan jika dipimpin oleh orang etnis Tionghoa. Selanjutnya, 50,4 persen mengaku tidak keberatan, dan 3,7 persen, tidak tahu.Dari segi suku/etnis, 10,9 persen menolak jika dipimpin oleh orang Jawa (84,9 persen tidak keberatan, 4,2 persen tidak tahu), 7,1 persen menolak jika dipimpin oleh orang Betawi (89,6 persen tidak keberatan, 3,3 persen tidak tahu), dan 45,9 persen menolak jika dipimpin oleh orang Tionghoa. Untuk pimpinan Tionghoa ini, menariknya adalah antara yang menolak dan menerima (tidak keberatan) selisihnya tipis, bahkan yang menerima persentasenya lebih besar, yakni 50,4 persen. Sisanya, 3,7 persen, tidak tahu.Dari hasil survei yang dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan LSI itu membuktikan bahwa isu SARA yang gencar dikumandangkan oleh kubu Foke-Nara selama sebelum putaran kedua Pilkada DKI Jakarta itu dilangsungkan pada 20 September lalu itu, pengaruhnya cukup signifikan.Dengan Pengaruh yang cukup signifikan ini, tentunya hal ini memiliki dampak-dampak positif dan negatif bagi kedua calon gubernur. Dampak inilah yang akan memengaruhi jalannya pilkada dan akan menjadi salah satu faktor acuan masyarakat dalam memilih calon gubernur. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang merupakan wujud kedaulatan masyarakat lokal dalam membentuk sejarah politik yang dapat mengubah paradigma berfikir terhadap demokrasi pada masyarakat lokal. Sebagai bentuk menumbuhkan kesadaran masyarakat sebagai bagian dari proses politik, dan ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah bentuk partisipasi politik yang paling minimal. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai bentuk partisipasi yang kecil bagi terciptanya budaya politik rakyat lokal menjadi jalan pembuka untuk menuju jalan kearah partisipasi politik yang lebih jauh.Bentuk partisipasi masyarakat yang lebih jauh adalah dengan menjadi simpatisan calon kepala daerah. Seringkali fanatisme seseorang simpatisan terhadap tokohnya sangatlah berlebihan hingga mengabaikan nilai dan norma yang ada dan menghalalkan segala cara. Dalam hal ini dengan melakukan kampanye-kampanye hitam yang melanggar aturan-aturan tertulis maupun norma dan nilai yang berlaku dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan oleh simpatisan baik mendapat komando dari orang yang memiliki wewenang di atasnya maupun tanpa komando.Tentunya kampanye hitam yang dilakukan mencederai semangat demokrasi yang dilaksanakan dalam menjalankan pilkada. Kampanye dengan menekankan sentimen kesukuan dan agama. Kampanye yang dilakukan pula masuk dalam kampanye pemilu yang menekankan masyarakat merupakan sebuah objek. Objek yang dimaksud adalah masyarakat hanya menjadi pemilih sehingga hal yang perlu dilakukan adalah memengaruhi masyarakat dengan janji-janji dan pandangan-pandangan yang menggiring masyarakat untuk memilih calon pemimpinnya tersebut.

Dalam perkembangan terakhir ditemukan pelanggaran kampanye yang menyinggung isu kesukuan dan agama. "Kasus pertama adalah perihal selebaran gelap mengenai Jokowi-Basuki yang dilakukan di masa tenang," kata Ramdansyah di Mapolda Metro Jaya, Kamis (4/10/12) malam. "Tanggal 19 September silam saya mendapati pengedaran selebaran yang isinya berupablack campaign yang ditujukan untuk Jokowi-Basuki. Dari tiga orang, saya hanya berhasil menangkap satu orang, ya SS itu," kata Supriyadi. Senada dengan Supriyadi, Ramdansyah menyatakan bahwa Panwaslu sudah menetapkan bahwa kasus ini sudah memasuki ranah pidana. Setelah melakukan pemeriksaan selama dua minggu, kata dia, Panwaslu memutuskan persoalan ini sudah masuk ke ranah pidana. SS sebagai terlapor dikenai pasal tentang pelanggaran alat peraga kampanye yangmengandung SARApada masa tenang Pasal 116 Ayat 1 dan 2 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.[footnoteRef:5] [5: Diakses dari http://pilkada.kompas.com/berita/read/2012/10/05/11205948/Panwaslu.DKI.Kembali.Laporkan.Pelanggaran.Pilkada 11 oktober 2012 23.17 WIB ]

Dengan melihat pengertian dan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi, kita dapat melihat bahwa sentimen kesukuan dan agama dalam bentuk kampanye sangat berlawanan dengan semangat demokrasi. Sentimen kesukuan dan agama sangatlah berlawanan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi seperti mengakui adanya keanekaragaman dan menganggapnya wajar. Dengan komposisi masyarakat DKI Jakarta yang beranekaragam diperlukan toleransi untuk mempertahankan keutuhan masyarakat.Bentuk sentimen kesukuan dan agama dalam pilkada DKI Jakarta tidak hanya dalam bentuk kampanye. Pada tanggal 12 Agustus 2012 seseorang mengunggah video yang berisi sentimen kesukuan dan agama dengan konten yang berisi ancaman larangan memilih dalam Pilkada DKI Jakarta bagi para etnis Tionghoa. Video yang diunggah oleh akun dengan nama PP10Tahun1959 dalam situs YouTube ini menjadi ancaman serius bagi keutuhan dan perstuan di DKI Jakarta. Isu ini sangat sensitif melihat pada tahun 1998 terjadi peristiwa yang

Pemerintah sedang menyelidiki pengunggah video bernuansa SARA di internet. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto kepada wartawan hari ini mengatakan beredarnya video tersebut dapat mencederai proses demokrasi. "Tayangan video lewat Youtube yang berisi hasutan di masyarakat yang cenderung mengancam etnis tertentu, sangat disayangkan proses demokrasi menjadi tidak baik," kata Djoko.Video berjudul 'Koboy Cina Pimpin Jakarta itu,' diunggah pada 12 Agustus 2012. Video tersebut berisi ancaman agar etnis tertentu tidak menggunakan hak pilih mereka pada Pilkada DKI putaran kedua yang akan dilaksanakan 20 September nanti. Video menampilkan seorang narator dengan wajah disamarkan membacakan ancaman dengan latar belakang rekaman peristiwa kerusuhan 1998. Sementara itu, Kepala Kepolisian RI, Timur Pradopo menyatakan tengah melakukan penyelidikan pelaku pembuat dan penggugah video ini. "Semua masih dalam penyelidikan, nanti kita sampaikan akhirnya," kata Timur. Menkopolhukam menyatakan peredaran video ini terkait dengan Pilkada DKI sedangkan peristiwa penembakan di Solo belum dapat disimpulkan karena masih dalam penyelidikan. "Kita tak ingin buat analisa dan kesimpulan sebelum ditemukan faktanya dan bukti."[footnoteRef:6] [6: Diakses dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/08/120823_videosara.shtml ]

pengunggahan video ini tentunya memiliki motif-motif yang menjadi dasar perilaku sentimennya. Dalam pelaksanaannya motivasi ini dapat dikaitka dengan kepentingan-kepentingan pihak-pihak terkait.Pilkada DKI Jakarta telah berakhir dengan kemenangan Pihak Joko Widodo dan Basuki Tjahaja P. dalam Pilkada putaran kedua. Apabila kita melihat sentimen kesukuan dan agama dengan menangnya kubu Joko Widodo , kita dapat melihat bahwa kekhawatiran warga DKI Jakarta dengan munculnya isu sentimen kesukuan dan agama tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap keterpilihan kubu Joko Widodo. Kita juga dapat melihat bahwa survei majalah tempo yang ada sebelum Pilkada tahap kedua yang menunjukan bahwa kecenderungan masyarakat memilih kepala daerahnya berdasarkan kesukuan dan agama tidak memiliki pengaruh yang besar,Disini dapat dilihat bahwa kemungkinan terjadi perubahan poros indikator masyarakat dalam memilih calon kepala daerahnya. Kemungkinan perubahan indikator yang terjadi tentunya dapat terjadi karena berbagai hal mulai, berikut ini beberapa kemungknan yang terjadi : 1. Strategi politik yang baik dari pasangan Joko Widodo2. Keinginan perubahan masyarakat yang mancapai puncak sebelum pilkada3. Bentuk kampanye dan strategi politik yang kurang baik dari kubu Fauzi Bowo, dll.

BAB IVKESIMPULANSetiap tindakan yang dilakukan oleh masing-masing calon gubernur memiliki dampak politik yang berbeda-beda. Pelemparan isu sentimen kesukuan dan agama dapat merugikan dan menguntungkan bagi setiap calon. Bagi Fauzi Bowo keteguhan masyarakat betawi terhadap nilai-nilai budayanya dapat menjadi salah satu basis pendukungnya dengan melempar isu ini kepada masyarakat betawi. Namun pada satu sisi, DKI Jakarta merupakan ibukota yang memiliki keanekaragaman suku, etnis dan agama. Dengan pelemparan isu ini, tentunya banyak masyarakat memiliki pendapat berbeda menganggap isu ini sebagai salah satu budaya politik yang buruk dan memecah belah keutuhan bangsa. Hal ini pula dapat menurunkan keterpilihan Fauzi Bowo sebagai salah satu calon gubernur.Dampak yang terjadi pada kubu Joko Widodo adalah dengan menurunnya dukungan dari mayoritas masyarakat Muslim dengan pelemparan isu agama terhadap calon wakil gubernurnya Basuki Cahaya P. Sebagai negara mayoritas Muslim, tentunya DKI Jakarta sebagai ibukota Indonesia juga merupakan kota dengan mayoritas Muslim. Hal inilah yang dapat menurunkan keterpilihan Joko Widodo. Disamping hal tersebut, pelemparan isu kesukuan dan agama memiliki dampak poitif yang dapat meningkatkan keterpilihannya antara lain, walaupun memiliki masyarakat mayoritas Muslim, [footnoteRef:7] menurut hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masyarakat cenderung sekuler dalam melakukan pertimbangan politik. Dengan mengesampingkan pertimbangan agama tentunya isu agama akan kurang efektif sebagai strategi dalam menurunkan keterpilihan Joko Widodo. Selain itu terdapat banyak pemilih baru yang didominasi kaum muda yang menginginkan perubahan serta cenderung tidak senang akan isu kesukuan dan agama yang dianggap memecah belah bangsa. [7: Diakses dari http://www.metrotvnews.com/jakartamemilih/news/2012/09/16/106277/LSI-Mayoritas-Pemilih-Jakarta-Sekuler/6 9 Oktober 2012 22.56 WIB]

Tidak dapat dipungkiri seringkali pembentukan isu ini dilakukan oleh simpatisan yang kelompoknya lebih kecil dan dilakukan tanpa komando dari pihak tertinggi. Hal ini merupakan bentuk dukungan dengan oleh masyarakat yang dapat melanggar peraturan pilkada. Dalam Hal ini peran Panitia Pengawas Pemilu sebagai salah satu penegak peraturan sangatlah dibutuhkan. Salah satu peran Panwaslu adalah Menerima laporan dugaan pelanggaran perundang-undangan pemilu dan Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten/kota atau kepolisian atau instansi lainnya untuk ditindaklanjuti.[footnoteRef:8] Hal inilah yang harus dilakukan untuk menekan tindakan kampanye yang melanggar peraturan. Masyarakat juga memiliki peran penting dalm mengawasi pilkada secara langsung dan dapat melaporkan pelanggaran pilkada pada instansi yang berwenang seperti Panwaslu. [8: Pedoman Pengawasan Pemilu 2009, 2009, Bawaslu RI, Jakarta.]

Sekarang, dengan berhasil menang dalam Pilkada DKI Jakarta, pasangan pluralisme pertama di DKI ini, Jokowi-Ahok harus bisa membuktikan lima tahun ke depan, bahwa seruan-seruan SARA tersebut sama sekali tidak benar. Bahwa pimpinan yang benar-benar dibutuhkan warga Jakarta adalah mereka yang sungguh-sungguh mempunyai integritas yang tinggi, jujur dan bersih dari segala macam praktik KKN, mempunyai kapabilitas sebagai seorang pimpinan sejati, perduli kepada kepentingan rakyat banyak, dan seterusnya. Semua itu bisa datang dari WNI beragama apapun dia, dari etnis apapun dia, dari daerah mana pun dia, dan seterusnya. Bukan hanya bisa dari agama tertentu atau etnis tertentu.Apabila Jokowi-Ahok kelak berhasil membuktikan prestasi mereka sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik, seperti yang mereka janjikan, penulis sangat yakin bahwa ke depan isu SARA akan semakin tidak laku di DKI Jakarta, dan juga di NKRI ini.

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam . 2005. Dasar dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Donald, Parulian. 1997. Menggugat PEMILU. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. 2004. Kepemimpinan Nasional & Good Governance. Edisi ke-8, Juli 2004/ Jumadil Ula 1425 H. Yogyakarta.Rush, Michael. Phllip Althoff. 2003. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.