Mengatasi Konflik SAra (2011)

23
I. PENDAHULUAN Didalam keanekaragaman / kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa, antar golongan, maka terpeliharanya persatuan dan kesatuan / integritas nasional sangat diperlukan dalam membangun bangsa dan negara. keanekaragaman kemajemukan berarti mengandung berbagai perbedaan yang jika tidak dibina dan dikelola dengan baik akan berpotensi menimbulkan konflik, pertentangan- pertentangan yang dapat berubah menjadi gejolak sosial, munculnya aksi kerusuhan / amuk massa, bentrokan massa, maupun aksi anarkhi lainnya yang semakin membuka peluang menuju proses disintegrasi bangsa. Jika keanekaragaman / kemajemukan bangsa bisa dapat dibina dan dikelola dengan baik, maka akan dapat menjadi kekuatan maupun modal yang sangat besar dalam membangun bangsa dan negara, akan dapat menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang besar yang akan disegani dalam pergaulan dunia.

description

Mengatasi Konflik SAra (2011)

Transcript of Mengatasi Konflik SAra (2011)

I

PAGE 9

I. PENDAHULUANDidalam keanekaragaman / kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa, antar golongan, maka terpeliharanya persatuan dan kesatuan / integritas nasional sangat diperlukan dalam membangun bangsa dan negara. keanekaragaman kemajemukan berarti mengandung berbagai perbedaan yang jika tidak dibina dan dikelola dengan baik akan berpotensi menimbulkan konflik, pertentangan-pertentangan yang dapat berubah menjadi gejolak sosial, munculnya aksi kerusuhan / amuk massa, bentrokan massa, maupun aksi anarkhi lainnya yang semakin membuka peluang menuju proses disintegrasi bangsa.

Jika keanekaragaman / kemajemukan bangsa bisa dapat dibina dan dikelola dengan baik, maka akan dapat menjadi kekuatan maupun modal yang sangat besar dalam membangun bangsa dan negara, akan dapat menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang besar yang akan disegani dalam pergaulan dunia.

Kondisi rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan serta integritas nasional dewasa ini tampak memprihatinkan.

Pelbagai peristiwa seperti kerusuhan di Maluku, Poso, Cikesik, Temanggung dan lain-lainnya yang menggunakan simbol agama, kerusuhan etnis di Sampit (Kaltim), beberapa aksi kerusuhan massa seperti Amuk massa pada tanggal 20 21 Oktober 1999 di Bali, Bentrokan antara warga Desa Songan, Kec. Kintamani, Kab. Bangli dengan warga Kel. Banjar Kawan, Kec. Bangli, Kab. Bangli, dan kerusuhan yang bernuansa adat di Bali, dan lain sebagainya.

Kondisi tersebut di atas akan semakin mempersulit posisi kebangsaan kita, mempersulit proses pemulihan perekonomian serta mempersulit pergaulan antara Bangsa di dunia yang pada akhirnya akan semakin memperlemah ketahanan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Selama ini yang sering dilaksanakan adalah meredam konflik, bukan mengendalikan konflik. Konflik ditekan dan dihilangkan dengan pendekatan kekuasaan, pendekatan keamanan dan pendekatan hukum.

Semua perbedaan baik yang bersifat horisontal maupun vertikal yang sering merupakan akar permasalahan konflik tampaknya dianggap tabu untuk dimunculkan, apalagi memperdebatkan perbedaan dengan alasan stabilitas, tetapi stabilitas tersebut dapat bersifat semu.

Pola pendekatan kekuasaan, keamanan dan hukum tampaknya belum mampu mengangkat akar permasalahan konflik ke permukaan, sehingga setiap saat akan bisa memunculkan konflik baru karena masih ada masyarakat yang merasa dikalahkan.

Masyarakat pada umumnya memandang konflik sebagai konflik kekerasan, sehingga konflik umumnya dipandang negatif dan menakutkan. Persepsi masyarakat tentang konflik hanyalah perkelahian, kerusuhan, maupun aksi anarkis lainnya. Konflik pada hakekatnya dapat dikendalikan sehingga bermanfaat untuk mengembangkan masyarakat yang dinamis. Untuk itu faktor kemajemukan, baik kemajemukan horisontal seperti : etnis dan ras atau asal usul, bahasa daerah, adat istiadat / perilaku, agama dan budaya, serta kemajemukan vertikal seperti : penghasilan (ekonomi), pendidikan, pemukiman, pekerjaan dan kedudukan sosio politik dapat dibina dan dikelola dengan baik dengan mengembangkan hubungan yang harmonis, mengembangkan dialog dan mewujudkan langkah nyata bersama yang telah disepakati.

II. POTENSI KONFLIK DI BALI. 1. Potensi Konflik di Bali

Seperti kita ketahui keberadaan Bali sebagai daerah tujuan wisata sudah sangat dikenal, bahkan di manca negara. Dengan dukungan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi membuat Bali menjadi daerah yang sangat terbuka.Terbuka bagi interaksi berbagai kepentingan individu maupun kelompok, terbuka bagi interaksi informasi dan komunikasi serta terbuka bagi interaksi budaya, dan sebagainya.

Kondisi tersebut di atas menjadikan tingkat heterogenitas masyarakat Bali semakin luas dan sangat berpotensi konflik.

Proses interaksi antar individu maupun kelompok sudah terjadi pada jaman kerajaan di Bali, pada saat Danghyang Dwi Jendra melakukan Dharma Yatra ke Bali pada masa Raja Waturenggong.

Demikian pula pada saat Raja Badung (Cokorda Pemecutan II) menawan sebuah perahu karam milik bangsawan Madura (RM. Cokrodiningrat) beserta anak buahnya.

RM Cokrodiningrat kemudian membantu Raja Badung menaklukkan Raja Mengwi. Untuk itu Raja Badung memberikan wilayah Ubung kepada RM.. Cokrodiningrat dan putranya diberikan wilayah di Kepaon.

Demikian pula pada saat Raja Klungkung membawa pengawal kerajaan dari Jawa dan ditempatkan di kampung Gelgel.

Seiring dengan proses modernisasi dalam era global, maka interaksi tersebut di atas cenderung berkembang cepat dengan membawa serta berbagai kepentingan yang kadang-kadang saling berbenturan, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana merupakan potensi konflik yang cukup besar.

Proses modernisasi dalam era global dewasa ini tampaknya cenderung mempengaruhi tata nilai, sikap dan perilaku masyarakat Bali.

Masyarakat Bali pada hakekatnya adalah masyarakat yang mampu menyesuaikan dirinya dengan proses perubahan. Dengan memperhatikan proses pendidikan serta hubungan antara budaya dan agama dalam era modernisasi apakah kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut masih ada.

Aksi-aksi kekerasan yang terjadi selama ini, bahkan permasalahan adat yang berakhir dengan aksi kekerasan berupa kerusakan dan pembakaran apakah bukan merupakan cerminan perubahan tata nilai, sikap dan perilaku masyarakat, atau cerminan ketidakmampuan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan.

Potensi konflik di Bali dewasa ini semakin berkembang baik secara kwalitas maupun kwantitas. Salah satu indikasi penyebabnya adalah kondisi Bali sebagai daerah yang sangat terbuka atau semakin melemahnya ikatan emosional masyarakat dalam adat istiadat / tradisi.

Potensi konflik yang berpeluang dapat terjadi di Bali, dapat digambarkan sebagai berikut :a. Konflik Suku bangsa

Masyarakat Bali pada dasarnya merupakan masyarakat terbuka dan sangat menerima para pendatang, tidak pernah bersikap apriori, curiga atau bermusuhan. Hal inilah yang menjadikan Bali sebagai salah satu pilihan bagi para pendatang.

Berbagai krisis yang melanda bangsa kita terutama krisis ekonomi, Bali masih dianggap daerah yang menjanjikan sebagai tempat berusaha atau memperbaiki kehidupan perekonomian bagi masyarakat pendatang.

Anggapan bahwa Bali sebagai salah satu daerah yang paling aman di Indonesia mengundang eksodus para pendatang akibat berbagai kerusuhan di beberapa kota besar di Jawa, kerusuhan Maluku, kerusuhan Mataram, dan sebagainya.

Kemampuan Bali dalam memikul beban para pendatang sangatlah terbatas. Kondisi tersebut bukan tidak mungkin dapat menimbulkan dampak sosial dengan munculnya konflik kepentingan, seperti kepentingan yang terkait dengan kehidupan perekonomian, melambungnya harga tanah dan properti, dan lain sebagainya.

Salah satu contoh konkrit adalah masalah pedagang kaki lima dan pedagang acung yang sebagian besar adalah penduduk pendatang dimana jumlahnya semakin lama semakin banyak.

Jika masalah ini tidak ditangani secara mendasar dan tuntas maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi potensi konflik yang dapat diarahkan menjadi konflik yang bernuansa kesukuan.

b.Konflik Agama

Seiring dengan kedatangan warga pendatang ke Bali maka pada saat itu pula masuk agama lain di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama Hindu. Perkembangan Bali yang sedemikian besar dibarengi dengan masuknya pendatang yang secara bersamaan membawa corak budaya dan agamanya menjadikan kehidupan beragama di Bali lebih bersifat heterogen.

Heterogenitas beragama jika tidak dibina dan dikelola dengan baik sangat rentan sebagai potensi konflik.

Kasus pernyataan AM. Saefuddin yang menyinggung perasaan umat Hindu, penggunaan simbol agama Hindu oleh agama lain, upaya penghasutan / provokasi dari kelompok aliran Yehova, pelemparan mesjid di daerah Kintamani, Penolakan warga dalam Pembangunan Gereja GPIB ( Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat ) Maranatha di Banjar Teges, Padangsambian Kelod, Kec. Denpasar Barat, Denpasar. Selebaran Bali Dalam Gengaman, Penyegelan Mushola Assyafiiyah di Br. Kaliungu, bentrokan antar warga Dusun Kauman ( penduduknya mayoritas beragama Islam) dengan Dusun Pala, Desa Pengastulan, Kec. Seririt, Kab. Buleleng. Penyebaran brosur yang berjudul " Akhir Dunia Sudah Hampir Tiba ! Allah yang Kudus akan mendatangkan Penghakiman pada tanggal 21 Mei 2011 serta penyebaran buku Ya Tuhan, Tertipulah Aku di Baturiti dan beberapa tempat lainnya merupakan wujud dari upaya untuk mengadu domba antar umat beragama di daerah Bali. c.Ras / Etnis

Ras / Etnis di Bali pada umumnya adalah warga keturunan Tionghoa, Arab, India dan Pakistan.

Keberadaan warga keturunan tersebut pada umumnya lebih berorientasi ekonomi, karena mereka adalah para pedagang yang ulet. Secara umum keberadaan warga keturunan di Bali dapat menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan masyarakat Bali.

Warga keturunan Tionghoa merupakan kelompok etnis yang tampaknya paling dapat menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan masyarakat Bali.

Keuletan dan ketangguhan dalam berusaha menjadikan warga keturunan di Bali pada umumnya memiliki tingkat kehidupan perekonomian yang cukup baik.

Potensi konflik yang ada sehubungan dengan keberadaan warga keturunan tersebut kemungkinan dapat terjadi dengan dalih kesenjangan sosial maupun ekonomi antara warga keturunan dengan penduduk asli maupun penduduk pendatang lainnya.

Demikian pula dengan keberadaan orang asing di Propinsi Bali, selain menguntungkan bagi kepariwisataan Bali tidak menutup kemungkinan keberadaan orang asing dimaksud dapat merugikan, pertama dapat menjadi pelaku kejahatan, kedua dapat menjadi obyek kejahatan. d.Antar Golongan

Bali sebagai daerah terbuka menjadikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berkembang dinamis sesuai dengan kultur masyarakat Bali. Kebebasan berkumpul, berserikat dan menyatakan kehendak / pendapat maupun aspirasi menjadikan kehidupan masyarakat Bali menjadi lebih dinamis. Lebih-lebih dalam era kebebasan dan keterbukaan dewasa ini keberanian individu maupun kelompok dalam menyatakan pendapat menjadi lebih besar dan mengedepankan sikap individual dan egosentris.

Munculnya kelompok - kelompok masyarakat baik yang bersifat partisan maupun non partisan cenderung membentuk sikap premordial. Hal ini dapat dilihat dari muncul / terjadinya kasus / permasalahan bentrokan antar kelompok / warga, aksi amuk massa tanggal 20 21 Oktober 1999, aksi premanisme yang berakhir dengan kekerasan sebagai wujud dari perkembangan sikap individual, dan egosentris. Bentrok antara warga Desa Songan dengan Kelurahan Kawan, Kab. Bangli, dsb.III. Potensi Konflik Lainnya1. Konflik Adat

Berbagai permasalahan Adat yang terjadi akhir-akhir ini cenderung berlanjut dengan aksi kekerasan berupa perusakan dan pembakaran, tindakan main hakim sendiri serta pengerahan massa.

Yang menjadi pertanyaan, apakah tata nilai dan budaya luhur adat istiadat / tradisi kita sudah meluntur, atau kontaminasi pengaruh budaya kekerasan telah terjadi pada dinamika masyarakat. Atau bangsa ini belum memberikan bekal yang cukup terhadap generasi muda untuk menjadi manusia yang berbudaya, menghormati dan melaksanakan tata nilai luhur adat istiadat / tradisi.

Atau mungkin pula kita tidak pernah bersikap waspada terhadap orang-orang / oknum yang sengaja memanfaatkan lembaga Adat untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Kasus terakhir adalah Kasus Cemagi, Kab. Badung, Kasus konflik antara Budaga dan Kemoning yang dipicu oleh Klaim atas Pura Dalem yang diberinama Pura Dalem Kemoning.2. Maraknya Peredaran dan Penggunaan Minuman Keras

Dewasa ini peredaran dan penggunaan minuman keras semakin marak, baik yang tradisional maupun minuman keras import.

Peredaran dan penggunaan minuman keras tersbut marak terjadi di kalangan generasi muda yang dapat menjadi potensi konflik.

Maraknya perkelahian antar pemuda bahkan tidak jarang melibatkan warga banjar / desa, kelompok masyarakat tertentu sebagian besar diakibatkan penggunaan minuman keras. 3. Konflik Pertanahan

Masalah pertanahan memiliki potensi konflik yang lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena :

a. Kemungkinan adanya upaya provokasi guna memecah belah kesatuan dan persatuan.b. Nilai ekonomis tanah yang cukup tinggi dan menggiurkan. Beberapa konflik pertanahan yang bernuansa adat lebih banyak disebabkan oleh tingginya nilai ekonomis tanah tersebut.c. Adanya pihak-pihak lain yang berupaya untuk mengambil keuntungan.

Kasus Serangan, kasus Culik, Pecatu Graha, tanah-tanah bukti yang dipergunakan sebagai fasilitas umum, seperti Sekolah Dasar, Puskesmas, Kasus Lemukih dan sebagainya merupakan konflik masalah pertanahan yang dihadapi dewasa ini. 4.Pro dan Kontra pelaksanaan Perda No.16 Tahun 2009 tentang RTRW Prov. Bali tahun 2009-2029. Perda ini dianggap menghambat perkembangan pariwisata Bali. Tetapi pada dasarnya Perda tersebut justru akan menyelamatkan Bali dari pesatnya perkembangan pariwisata Bali.IV. Format Untuk Mengatasi dan Menyikapi Potensi Konflik di Bali.Konsep memadukan keanekaragaman/ kemajemukan masyarakat kita adalah dengan mengupayakan peningkatan dan perluasan titik-titik persamaan, memperlunak dan memperkecil titik-titik perbedaan sehingga masyarakat akan memiliki keanekaragaman nilai kehidupan untuk menjadi masyarakat yang utuh dan bulat tanpa merusak nilai-nilai yang terkandung didalam keanekaragaman tersebut.Bertitik tolak dari hal tersebut diatas, maka Pemerintah Propinsi Bali telah berupaya untuk memberdayakan masyarakat dengan peningkatan pemahaman akan arti pentingnya mengelola dan membina heterogenitas masyarakat yang mengandung potensi konflik dengan pola :

1. Mengembangkan konsep Rwa Bhineda

Didalam ajaran agama Hindu konsep Rwa Bhineda memandang bahwa perbedaan yang ada dianggap wajar, sehingga perlu dipelihara, dikelola dan tidak dipaksakan untuk dibuat sama. Mengupayakan peningkatan dan perluasan titik-titik persamaan, memperlunak dan memperkecil titik-titik perbedaan sehingga diharapkan akan terwujud masyarakat yang dinamis ditengah-tengah keanekaragaman yang ada.

2. Mengembangkan paradigma dialog dalam rangka mewujudkan proses komunikasi yang harmonis dan terarah, memperkecil perbedaan dan memperbesar / memperluas persamaan yang diwujudkan dalam langkah kebersamaan yang nyata (joint action).

a. Dialog / tatap muka antara Pemerintah, Tokoh Masyarakat,Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Politik maupun kelompok masyarakat lainnya.

b. Menyelenggarakan Musyawarah Umat Beragama.Mendukung pembentukan paguyuban kesukuan, keagamaan, etnis, dan dialog antar etnis yang direalisasi dengan pembentukan Paguyuban Antar Etnis.

c. Melakukan komunikasi dan konsultasi dengan kelompok masyarakat maupun kelompok politik.

d. Mengupayakan peningkatan kesadaran politik rakyat dalam rangka meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

e. Mengupayakan fasilitas dan mediasi komponen infra struktur politik menuju proses kemandirian.

f. Memberdayakan komponen masyarakat guna meningkatkan daya tahan masyarakat terhadap pengaruh negatif akibat era global dan keterbukaan dengan tetap mempertahankan tata nilai hidup dan berkembang di tengah-tengah dinamika masyarakat.

Membangun komunikasi antar komponen pariwisata maupun pelaku pariwisata.

g. Mendorong dan mendukung adanya kepastian hukum termasuk regulasi Perda yang sudah tidak sesuai. Bersikap terbuka dan akomodatif dalam menyikapi permasalahan maupun aspirasi yang berkembang di masyarakat.

3. Pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Prov.Bali dalam rangka mensinergikan aeluruh potensi masyarakat dalam kegiatan keamanan Bali.

4. Memperkuat peran dan eksistensi FKUB.

5. Melaksanakan kegiatan pemantauan secara intensif terhadap kemunkingan aksi terorisme serta kegiatan kelompok Islam Radikal lainnya.

6. Meningkatkan koordinasi dan kegiatan operasional Intelijen. 7. Meningkatkan koordinasi aparat keamanan.V. KESIMPULAN

1. Walaupun secara umum daerah Bali cukup stabil dan kondusif, potensi konflik masih tetap ada, konsekuensi Bali sebagai daerah terbuka dan akibat pengaruh era global, kebebasan dan keterbukaan dewasa ini.2. Potensi Konflik jika dikelola dengan baik akan menjadi satu kekuatan dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.3. Format untuk mengatasi dan menyikapi potensi konflik adalah dengan pengendalian konflik melalui dialog dan langkah nyata bersama.

4. Agama Hindu telah mengajarkan pengendalian konflik melalui konsep Rwa Bhineda.5. Pemprov Bali telah berupaya untuk mengantisipasi potensi konflik dengan upaya persuasif, pendekatan dan dialog dengan tomas, toga, todat, tokoh politik, tokoh pemuda, dsb.

VI. PENUTUP

Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan dalam uraian ini.

Semoga bermanfaat.

Denpasar, 8 Agustus 2011

BADAN KESBANGPOL DAN LINMAS

PROVINSI BALI