Papua dan MISS SARA - repository.unisba.ac.id

1
Papua dan MISS SARA MISS yang satu ini sama sekali tidak ada kaitaimya dengan Alya Nurshabrina, pe- menang Miss Indonesia 2018 dari Jawa Barat atau Miss Fili- pina, Catriona Gray, yang pada 17 Desember tahun lain dino- batkan sebagai Miss Universe 2018. Akan tetapi, untuk konteks di Indonesia, MISS SARA, sejak merebaknya ekses dugaan tin- dakan diskriminasi rasial ter- hadap mahasiswa asal Papua di Kota Malang dan penangkapan paksa mahasiswa asal Papua di Surabaya ini tampaknya lebih membetot perhatian publik ke- thnbang miss-miss lainnya, mesM sejak bulan-bulan ter- akhir di 2017, kontes kecan- tikan {pegeant) jadi sorotan masyarakat dan mulai ramai diperbincangkan. Itu sebabnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta media massa untuk menginformasikan hal yang menginspirasi dari masya rakat Papua di Jabar. Kang Emil, sebagaimana dikutip ha- rian ini {Pikiran Rakyat, 20/- 8/2019), berharap, kalau bisa, berita di Jabar jadi penyejuk, bagaimana memanusiakan (ma^arakat Papua). Dulu, di era Orde Baru, nama MISS SARA itu adalah barang tabu untuk dimuncuUcan dalam pers Indonesia. Siapa yang membangkang, taruhannya adalah tindakan pemberedelan dari pemerintah. Pada prak- tiknya, apa yang boleh dan tidak boleh ditulis, diberitakan, atau diterbitkan oleh pers In donesia tidak ditentukan oleh serangkaian aturan resmi, te tapi biasanya dilakukan lewat "budaya telefon". Telefon kepada para pemim- pin redaksi lazimnya berupa imbauan yang datang dari se- orang pejabat senior di peme- rintahan. Kerap kali telefon se- macam ini cukup berhasil me- madamkan pemberitaan yang dinilainya sensitif. Jika sebuah media t^ menuruti aturan atau imbauan, lak lama kemudian media tersebut akan menda- patkan "surat cinta" alias surat peringatan. Kemungkinan ter- akhir yang paling buruk adalah pencabutan surat izin terbit atau pemberedelan dan pem- berettelan umumnya heisifat.;^ permanen. Ini berarti penerbit- Alex Sobur Dosen Fakultas llmu Komunikasi Universitas Islam Bandung an pers sepenuhnya herhenti beroperasi sehingga ujung- ujungnya kebankrutan pun' kerap menyertai. Tabu-tabu atau sederetan hal yang dipandang sebagai kelewat batas itulah yang dimaksud dengan MISS SARA dalam tulisEui ini —kependekan dari Menghasut, Insinuasi, Sensasi, Spekulasi, dan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Lewat panduan ini, pelbagm hal yang berkaitan dengan konflik an- taragama, perlawanan atau pemberontakan terhadap pe merintah pusat oleh sekelom- pok separatis (seperti yang dulu pemah teijadi di Aceh, Timor Timur, serta Papua Barat), hanya bisa dilaporkan dalam batas pagar yang luar biasa ke- tatnya. Selain MISS SARA, masih ada sejumlah topik yang tidak boleh diturunkan yang sud^ menjadi rahasia umum. Hal ini hanya bisa turun jika penerbit- an pers sudah siap mati bunuh diri. Para wartawan dan pe- mimpin redaksi yang membera- rukan diri menguji coba sampai mana sebenamya batas lapang- an bermain yang tersedia, akhimya berkutat dalam ruang dengan pagar yang serbakabur. Kejenakaan & ejekan Pendengaran dan pengli- hatan kita menyaksikan aksi unjuk rasa di Jayapma, Manok- wari, dan Sorong, seperti yang teijadi belakangan, tentu teru- sik oleh berita atau tuhsan bahkan orasi yang bernuansa SARA, baik di media sosial maupun media arus utama (mainstream). Meski dalam bidang agama sebetulnya me- mang telah ada juga hal ne™- sur SARA yang tak seberbahaya seperti yang kita alami ban- an ini. Kita bisa melihat dalahi cen- ta-cerita berunsur humol yang isinya menertawaltan kelucuan di antara suku-suku, bangsa, agama, dan ras. Cerita macam ini agaknya lebih berfungsi sep bagai pemancing senda gurau yang disampaikan secara santai guna mengisi waktu senggang. Andai si pendengar terpingkal- pingkal, sekurangnya ter- senyum geli, cukup sampailah pesan sang pencerita. Sesungguhnya, SARA itu punya daya pakai luas dalam bidang "ipoleksosbudhankam- nas". Pengertiannya secara sederhana adalah sikap, ucapan, atau tindakan yang menjurus pada pertentangan antara suku-suku bangsa, ras, agama, dan golongan dalam masyarakat. Pertentangan ini tentu saja bisa menimbulkan sakit hati, keresahan, dan pada gilirannya berujung pada per- pecahan bangsa. Unsur SARA ini, seba gaimana temarasikan dalam berbagai karya sastra kita, me- nyelusup dalam penuhsan yang bemada adu domba. Suku-suku bangsa yang banyak diadu terutama Jawa, Batak, dan Mi- nang. Ras yang ditertawakan antara lain Cina, India, Belanda, dan Arab. Pada mulanya maksud pengafang, boleh jadi, sekadar berseloroh. Umpamanya, pe- ri bahasa "tipu Aceh gurindam Bams" dan "lagak Padang omong Betawi" yang sebe namya terasa bukan untuk menghina suku bangsa (ethnic slur), melainkan sekadar senda gurau. Juga peribahasa "bagai Cina hendak karam", menunjukkan sekelompok orang yang ri but atau riuh; "bagai Belanda minta tanah"', menunjukkan ke- serakahan, diberi satu minta dua. Arab, Melayu, dan India tak Input dari cerita berbau SARA. Cerpen "Salah Paham" karya Soeman HS, misalnya, jelas memperlihatkan kedungu- an seorang Melayu yang selalu salah tanggap terhadap lawan ceritanya, seorang India. Dalam Folklor Indonesia (1986), James Danandjaja men- ceritakan "Kisah Pastor dan Ha- ji" serta "Seorang Pastor dan Suster" yang jelas-jelas bersangkut-paut dengan unsur keagamaan (Katolik), bahkan cerita yang terakhir, dibumbui imsur pomografi. Jelas, dua cerita terakhir bisa memancing ketersinggungan. Bahkan, orang Arab yang pelit, Cina yang mata duitan, dan Melayu yang malas, kerap jadi bulan- bulanan sekadar untuk bahan guyonan. Selagi cerita itu hanya untuk berkelakar tanpa kecen- demngan mencela suku, ras, agama, dan antargolongan, ten- tulah dapat diterima sebagai hi- buran. Mengurangi konflik Jika hari-hari ini tampak kian nyata potensi konflik bemuansa SARA yang teijadi di Papua, lantas bagaimana multienergi konflik SARA macam ini bisa dibilangkan atau setidaknya dikurangi? Tentu saja dalam hal ini diperlukan pola bam yang lebih jujur d^ lebih arif. Hams kita akui, upaya meng- hindarkan konflik selama ini ki ta selalu mengandalkan retorika yang bersifat eufemistik disertai ihformasi manipulatif. Padahal, jelas cara-cara seperti ini tidak lantas kian mendekatkan kita kepada penyelesaian substan- sicd, kalau tidak dibilang malah Man memaihpatkan energi kon fl ik itu sendiri. Jika pada momen tertentu teijadi benturan antaragama atau antaretnis, Mta hanya me- nempuh jalan bagaimana pers atau media massa jangan sam- pai memberitakan peristiwa tersebut. Kita seakan tidak per- nah memiMrkan suatu pe nyelesaian yang lebih mendasar dm komprehensif terhadap inti persoalan yang sebenamya. Eufemisme dan manipulasi informasi —lewat blokade pem-' beritaan yang sama Mta laku- kan jika teijadi konflik-konflik bemuansa SARA lainnya. Seakan-akan Mta tidak menya- dari bahwa dengan cara sepeiti itu sesungguhnya Mta tengah merancang bom waktu yang siap meledak di masa men- datang. Oleh karena itu, tentu saja diperlukan dialog baik formal maupun informal di antara pi- hak-pihak terkait seperti pe merintah, ulama, ormas, dan hujan AWAL musin hujan di wilayah Jabar mun- diu*. - Krisis air bakal lebih lama. bekasi SIKAPI serius tawar- an Bekasi bergabung dengan DKI. - Satu-satu melepaskan diri dari Jabar. RIBUAN peserta BPJS Kesebatan FBI di- nonaktifkan. - Ini akibat dompetBPJS tak sehat. para ehte pohtik demi masa de- pan kebangsaan yang lebih ter- tata, pun agar kaum melenial ti dak semakin teralienasi aMbat pembahan sosial yang cepat dan ketidakadilan ekonomi aMbat industrialisasi dan urbanisasi. Saya Mra, para ilmuwan be- nar tatkMa berpendapat bahwa apa yang hams Mta lakukan bukanlah menutupi konflik, melainkan belajar mengelola- nya. Kita perlu belajar kepada Soedjatmoko yang selalu kritis. Dalam bidang politik, Soed jatmoko bukan sekadar meng- hendaM suatu sistem terbuka dan demoMatis. la juga menuntut adanya me- kanisme yang sanggup mem- bela dan mengangkat jutaan rakyat yang jatuh ke dalam po- sisi pohtik yang malang. Ini ter- jadi pada kelompok-kelompok masyarakat yang tak kuasa mempeijuangkan hak-hak politiknya aMbat hambatan struktural. Soedjatmoko adalah di an tara sangat sedfldt cendeMawan dunia yang tak terpenjara oleh tembok peiruMran ataupun sis tem nilai tertentu. Jarak dan transendensi yang ditariknya atas berbagai tembok dan sis tem nilai tetap beipadu dengan kehangatan jiwanya yang me- ' ngagumkan pada komunitas, gemeinshaft, bangsanya.*** :: repository.unisba.ac.id ::

Transcript of Papua dan MISS SARA - repository.unisba.ac.id

Page 1: Papua dan MISS SARA - repository.unisba.ac.id

Papua dan MISS SARAMISS yang satu ini

sama sekali tidak

ada kaitaimyadengan Alya Nurshabrina, pe-menang Miss Indonesia 2018dari Jawa Barat atau Miss Fili-pina, Catriona Gray, yang pada17 Desember tahun lain dino-batkan sebagai Miss Universe2018.

Akan tetapi, untuk konteks diIndonesia, MISS SARA, sejakmerebaknya ekses dugaan tin-dakan diskriminasi rasial ter-hadap mahasiswa asal Papua diKota Malang dan penangkapanpaksa mahasiswa asal Papua diSurabaya ini tampaknya lebihmembetot perhatian publik ke-thnbang miss-miss lainnya,mesM sejak bulan-bulan ter-akhir di 2017, kontes kecan-tikan {pegeant) jadi sorotanmasyarakat dan mulai ramaidiperbincangkan. Itu sebabnya,Gubernur Jawa Barat RidwanKamil meminta media massauntuk menginformasikan halyang menginspirasi dari masyarakat Papua di Jabar. KangEmil, sebagaimana dikutip ha-rian ini {Pikiran Rakyat, 20/-8/2019), berharap, kalau bisa,berita di Jabar jadi penyejuk,bagaimana memanusiakan(ma^arakat Papua).

Dulu, di era Orde Baru, namaMISS SARA itu adalah barangtabu untuk dimuncuUcan dalampers Indonesia. Siapa yangmembangkang, taruhannyaadalah tindakan pemberedelandari pemerintah. Pada prak-tiknya, apa yang boleh dantidak boleh ditulis, diberitakan,atau diterbitkan oleh pers Indonesia tidak ditentukan oleh

serangkaian aturan resmi, tetapi biasanya dilakukan lewat"budaya telefon".

Telefon kepada para pemim-pin redaksi lazimnya berupaimbauan yang datang dari se-orang pejabat senior di peme-rintahan. Kerap kali telefon se-macam ini cukup berhasil me-madamkan pemberitaan yangdinilainya sensitif. Jika sebuahmedia t^ menuruti aturan atauimbauan, lak lama kemudianmedia tersebut akan menda-patkan "surat cinta" alias suratperingatan. Kemungkinan ter-akhir yang paling buruk adalahpencabutan surat izin terbitatau pemberedelan dan pem-berettelan umumnya heisifat.;^permanen. Ini berarti penerbit-

Alex Sobur

Dosen Fakultas llmu Komunikasi

Universitas Islam Bandung

an pers sepenuhnya herhentiberoperasi sehingga ujung-ujungnya kebankrutan pun'kerap menyertai.Tabu-tabu atau sederetan hal

yang dipandang sebagai kelewatbatas itulah yang dimaksuddengan MISS SARA dalamtulisEui ini —kependekan dariMenghasut, Insinuasi, Sensasi,Spekulasi, dan Suku, Agama,Ras, dan Antargolongan. Lewatpanduan ini, pelbagm hal yangberkaitan dengan konflik an-taragama, perlawanan ataupemberontakan terhadap pemerintah pusat oleh sekelom-pok separatis (seperti yang dulupemah teijadi di Aceh, TimorTimur, serta Papua Barat),hanya bisa dilaporkan dalambatas pagar yang luar biasa ke-tatnya.

Selain MISS SARA, masihada sejumlah topik yang tidakboleh diturunkan yang sud^menjadi rahasia umum. Hal inihanya bisa turun jika penerbit-an pers sudah siap mati bunuhdiri. Para wartawan dan pe-mimpin redaksi yang membera-rukan diri menguji coba sampaimana sebenamya batas lapang-an bermain yang tersedia,akhimya berkutat dalam ruangdengan pagar yang serbakabur.Kejenakaan & ejekanPendengaran dan pengli-

hatan kita menyaksikan aksiunjuk rasa di Jayapma, Manok-wari, dan Sorong, seperti yangteijadi belakangan, tentu teru-sik oleh berita atau tuhsanbahkan orasi yang bernuansaSARA, baik di media sosialmaupun media arus utama(mainstream). Meski dalambidang agama sebetulnya me-mang telah ada juga hal ne™-sur SARA yang tak seberbahayaseperti yang kita alami ban- anini.

Kita bisa melihat dalahi cen-ta-cerita berunsur humol yangisinya menertawaltan kelucuandi antara suku-suku, bangsa,agama, dan ras. Cerita macam

ini agaknya lebih berfungsi sepbagai pemancing senda gurauyang disampaikan secara santaiguna mengisi waktu senggang.Andai si pendengar terpingkal-pingkal, sekurangnya ter-senyum geli, cukup sampailahpesan sang pencerita.Sesungguhnya, SARA itu

punya daya pakai luas dalambidang "ipoleksosbudhankam-nas". Pengertiannya secarasederhana adalah sikap,ucapan, atau tindakan yangmenjurus pada pertentanganantara suku-suku bangsa, ras,agama, dan golongan dalammasyarakat. Pertentangan initentu saja bisa menimbulkansakit hati, keresahan, dan padagilirannya berujung pada per-pecahan bangsa.Unsur SARA ini, seba

gaimana temarasikan dalamberbagai karya sastra kita, me-nyelusup dalam penuhsan yangbemada adu domba. Suku-suku

bangsa yang banyak diaduterutama Jawa, Batak, dan Mi-nang.

Ras yang ditertawakan antaralain Cina, India, Belanda, danArab. Pada mulanya maksudpengafang, boleh jadi, sekadarberseloroh. Umpamanya, pe-ribahasa "tipu Aceh gurindamBams" dan "lagak Padangomong Betawi" yang sebenamya terasa bukan untukmenghina suku bangsa (ethnicslur), melainkan sekadar sendagurau.

Juga peribahasa "bagai Cinahendak karam", menunjukkansekelompok orang yang ributatau riuh; "bagai Belanda mintatanah"', menunjukkan ke-serakahan, diberi satu mintadua. Arab, Melayu, dan India ■tak Input dari cerita berbauSARA. Cerpen "Salah Paham"karya Soeman HS, misalnya,jelas memperlihatkan kedungu-an seorang Melayu yang selalusalah tanggap terhadap lawanceritanya, seorang India.Dalam Folklor Indonesia

(1986), James Danandjaja men-

ceritakan "Kisah Pastor dan Ha-

ji" serta "Seorang Pastor danSuster" yang jelas-jelasbersangkut-paut dengan unsurkeagamaan (Katolik), bahkancerita yang terakhir, dibumbuiimsur pomografi. Jelas, duacerita terakhir bisa memancingketersinggungan. Bahkan,orang Arab yang pelit, Cinayang mata duitan, dan Melayuyang malas, kerap jadi bulan-bulanan sekadar untuk bahan

guyonan. Selagi cerita itu hanyauntuk berkelakar tanpa kecen-demngan mencela suku, ras,agama, dan antargolongan, ten-tulah dapat diterima sebagai hi-buran.

Mengurangi konflikJika hari-hari ini tampak kian

nyata potensi konflik bemuansaSARA yang teijadi di Papua,lantas bagaimana multienergikonflik SARA macam ini bisadibilangkan atau setidaknyadikurangi? Tentu saja dalam halini diperlukan pola bam yanglebih jujur d^ lebih arif.Hams kita akui, upaya meng-

hindarkan konflik selama ini kita selalu mengandalkan retorikayang bersifat eufemistik disertaiihformasi manipulatif. Padahal,jelas cara-cara seperti ini tidaklantas kian mendekatkan kita

kepada penyelesaian substan-sicd, kalau tidak dibilang malahMan memaihpatkan energi konflik itu sendiri.

Jika pada momen tertentuteijadi benturan antaragamaatau antaretnis, Mta hanya me-nempuh jalan bagaimana persatau media massa jangan sam-

• pai memberitakan peristiwatersebut. Kita seakan tidak per-nah memiMrkan suatu penyelesaian yang lebih mendasardm komprehensif terhadap intipersoalan yang sebenamya.Eufemisme dan manipulasi

informasi —lewat blokade pem-'beritaan yang sama Mta laku-kan jika teijadi konflik-konflikbemuansa SARA lainnya.Seakan-akan Mta tidak menya-dari bahwa dengan cara sepeitiitu sesungguhnya Mta tengahmerancang bom waktu yangsiap meledak di masa men-datang.Oleh karena itu, tentu saja

diperlukan dialog baik formalmaupun informal di antara pi-hak-pihak terkait seperti pemerintah, ulama, ormas, dan

hujan

AWAL musin hujandi wilayah Jabar mun-diu*.

- Krisis air bakal lebih

lama.

bekasi

SIKAPI serius tawar-

an Bekasi bergabungdengan DKI.

- Satu-satu melepaskandiri dari Jabar.

RIBUAN pesertaBPJS Kesebatan FBI di-

nonaktifkan.

- Ini akibat dompetBPJStak sehat.

para ehte pohtik demi masa de-pan kebangsaan yang lebih ter-tata, pun agar kaum melenial tidak semakin teralienasi aMbatpembahan sosial yang cepatdan ketidakadilan ekonomiaMbat industrialisasi dan

urbanisasi.

Saya Mra, para ilmuwan be-nar tatkMa berpendapat bahwaapa yang hams Mta lakukanbukanlah menutupi konflik,melainkan belajar mengelola-nya. Kita perlu belajar kepadaSoedjatmoko yang selalu kritis.Dalam bidang politik, Soedjatmoko bukan sekadar meng-hendaM suatu sistem terbukadan demoMatis.

la juga menuntut adanya me-kanisme yang sanggup mem-bela dan mengangkat jutaanrakyat yang jatuh ke dalam po-sisi pohtik yang malang. Ini ter-jadi pada kelompok-kelompokmasyarakat yang tak kuasamempeijuangkan hak-hakpolitiknya aMbat hambatanstruktural.

Soedjatmoko adalah di antara sangat sedfldt cendeMawandunia yang tak terpenjara olehtembok peiruMran ataupun sistem nilai tertentu. Jarak dantransendensi yang ditariknyaatas berbagai tembok dan sistem nilai tetap beipadu dengan

kehangatan jiwanya yang me-'ngagumkan pada komunitas,gemeinshaft, bangsanya.***

:: repository.unisba.ac.id ::

librarydi01
Typewriter
Pikiran Rakyat, Kamis, 22 Agustus 2019
librarydi01
Typewriter