KONFLIK PILKADA

21
KADAR KONFLIK PEMILIHAN KEPALA DAERAH Abstraksi Pilkada adalah tonggak demokrasi langsung di daerah, namun pelaksanaannya rawan konflik. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap aspek dan faktor yang potensial pemicu konflik yang melatarbelakanginya. Dari pemahaman ini, potensi konflik dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin sehingga pilkada dapat terselenggara dengan aman, lancar dan demokratis. Bila konflik tidak bisa dihindari, mka diperlukan sebuah manajemen dan resolusinya untuk menyalurkan serta menganalisa agar konflik tidak lepas kendali dan terjadi luar konteks proses demokrasi. Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi 1

Transcript of KONFLIK PILKADA

Page 1: KONFLIK PILKADA

KADAR KONFLIK PEMILIHAN

KEPALA DAERAH

Abstraksi

Pilkada adalah tonggak demokrasi langsung di

daerah, namun pelaksanaannya rawan konflik.

Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang

mendalam terhadap aspek dan faktor yang

potensial pemicu konflik yang

melatarbelakanginya. Dari pemahaman ini,

potensi konflik dapat dihindari dan ditekan

seminimal mungkin sehingga pilkada dapat

terselenggara dengan aman, lancar dan

demokratis. Bila konflik tidak bisa dihindari, mka

diperlukan sebuah manajemen dan resolusinya

untuk menyalurkan serta menganalisa agar

konflik tidak lepas kendali dan terjadi luar

konteks proses demokrasi.

A. Pendahuluan

Konflik merupakan realitas sosial yang terjadi dalam setiap

lapisan masyarakat, dari tingkat keluarga, RT, Desa, sampai ke tingkat

negara, dan bahkan dunia. Konflik terjadi karena adanya perbedaan

kepentingan antara satu individu dengan individu yang lain, antara

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

1

Page 2: KONFLIK PILKADA

individu dengan masyarakat atau antara satu kelompok masyarakat

dengan masyarakat lain. Konflik merupakan fakta sosial, karena manusia

hidup dalam kelompok masyarakat yang di dalamnya terdapat norma-

norma, aturan-aturan, adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Persoalannya

adalah, bagaimana agar konflik tidak berubah menjadi ketegangan sosial

atau bahkan sampai pada kekerasan sosial.

Menjelang pemilihan pimpinan Kepala Daerah PILKADA hampir

selalu diliputi oleh ketakutan akan terjadinya kekerasan komunal antar

kelompok etnis, agama, maupun asal daerah. Di sini sengaja memakai

istilah kekerasan, karena orang seringkali mencampuradukkan antara

konflik dengan kekerasan. Menurut Simon Fisher dkk (2001), konflik

berbeda dengan kekerasan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak

atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki

sasaran-sasaran yang tidak sejalan, sedangkan kekerasan adalah tindakan,

perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan

kerusakan secara fisik, sosial atau lingkungan dan /atau menghalangi

seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Pengertian tersebut

menegaskan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari,

dia berada diantara kita dan selalu bersama-sama kita, dan konflik

menjadikan manusia menjadi berubah, tanpa konflik kehidupan akan

statis. Lebih jauh dikatakan, jika konflik selalu ada, berarti konflik itu

sebenarnya dibutuhkan, dan manfaat konflik diantaranya adalah membuat

orang-orang menyadari adanya banyak masalah yang akan mendorong ke

arah perubahan yang diperlukan, mencari solusi, menumbuhkan

semangat, mempercepat perkembangan pribadi, menambah kepedulian

diri, mendorong kedewasaan psikologis, dan menimbulkan kesenangan.

Dalam tulisan ini yang dimaksud konflik disini adalah pertikaian

antar komunitas etnis, agama dan daerah dalam bentuk kekerasan

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

2

Page 3: KONFLIK PILKADA

sehingga menimbulkan korban manusia, hewan maupun kerusakan sosial

lingkungan dan benda-benda lainnya.

Setiap kelompok atau golongan menginginkan (jika perlu

memaksakan) agar yang menjadi Kepala Daerah tersebut adalah berasal

dari golongan atau kelompoknya. Dari kenyataan ini seharusnya nafsu

kritis rasionalis kita sebagai bangsa yang katanya Bhinneka Tunggal Ika

itu bertanya : Mengapa kita ingin agar pemimpin daerah kita berasal dari

orang yang se Etnis, se iman jika perlu serahim dengan kita ?. Apakah

keinginan tersebut memang merupakan keinginan mayoritas atau hanya

sekedar keinginan dari orang yang kepingin DUDUK dan tim suksesnya

yang mencoba memanipulasi sentimen Etnis dan golongan dari

masyarakat lapis bawah (grassroot) ?

Untuk mengatasi benturan yang disebabkan oleh perbedaan

kelompok ini, biasanya para politikus kita lewat partai politik,

menawarkan solusi klasik yaitu membagi kue jabatan menjadi dua, yaitu;

jika Gubernur atau Bupatinya berasal dari kelompok Etnis atau agama A,

maka wakilnya dari kelompok B, begitu pula sebaliknya. Solusi seperti

inilah yang sering disebut politikus sebagai solusi terbaik.

Jika kita merenung lebih dalam, maka dibalik nafsu yang

menginginkan agar orang dari kelompoknyalah yang menjadi pemimpin

sebenarnya terdapat rasa ketakutan dan keserakahan. Rasa ketakutan

karena jika yang menang dari kelompok atau golongan atau etnis lain,

maka golongan atau kelompoknya akan di anaktirikan atau

dimarjinalkan, sedangkan keserakahan timbul dalam bentuk harapan

bahwa jika yang menjadi pemimpin berasal dari kelompoknya, maka ia

akan mendapat perhatian lebih karena ada hubungan emosional dari

kesamaan etnis, agama dan golongan, dengan demikian akan

mendapatkan kemudahan-kemudahan.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

3

Page 4: KONFLIK PILKADA

Sebagai suatu entitas sosial berdimensi paradoksal, Pilkada dari

satu sisi bisa menjadi wujud demokrasi dalam era otonomi daerah dan

dari sisi lain akan menjadi ajang perebutan kuasa dan money. Mereka

yang kurang mengenal realitas dan seluk beluk sosial di daerah tertentu

umumnya optimis dengan Pilkada mendatang, sedangkan mereka yang

mewarisi pemikiran kritis historis meragukan jaminan kebenaran dan

kejujuran langkah-langkah prosedural Pilkada, “Siapa yang menjamin

kebenaran pelaksanaan Pilkada?” merupakan pertanyaan hakiki Pilkada.

B. Potensi dan Peluang-Peluang Konflik

Potensi konflik dalam proses pilkada merupakan sesuatu yang

perlu diwaspadai dan diantisipasi, karena manifestasinya sesungguhnya

tidak dikehendaki. Ada beberapa daerah tertentu yang mempunyai potensi

konflik sangat besar dan ekskalatif, baik yang sifay horisontal maupun

vertikal. Beberapa daerah lainnya justru sudah terjadi atau manifest,

meskipun faktor pemicunya bukan soal pilkada.

Sebagian lainnya, konflik yang terjadi telah dapat diredam,

namun bara apinya belum dapat dipadamkan, laksana api dalam sekam.

Sementara itu, daerah-daerah lain yang dipandang masih adem ayem juga

memendam bara konflik yang besar karena faktor kesenjangan ekonomi

dan sosial misalnya.

Potensi konflik yang nyaris tersebar di semua daerah di Indonesa

itu perlu diwaspadai dan diantisipasi sejak dini. Tujuannya tidak hanya

agar pilkada dapat berjalan lancar dan sukses, tetapi juga sebagai awal

atau pintu masuk bagi upaya mengelola daerah secara adil yang pada

gilirannya dapat mengatasi akar persolan konflik atau sengketa yang

terjadi di masyarakat. Pelaksanaan pilkada bukanlah sesuatu yang berdiri

sendiri sebagai manifestasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Pilkada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

4

Page 5: KONFLIK PILKADA

pengelolaan daerah. Pilkada yang demokratis justru dimaksudkan untuk

mencari pemimpin yang berkualitas dan akan menjadi problem solverI

bagi setiap permasalahan di daerah, dan bukan sebaliknya menjadi

sumber atau pangkal masalah.

Secara normatif, proses pilkada sejak tahap perencanaan hingga

pasca pelaksanaannya bukan arena konflik, tetapi justru sarana

pembelajaran masyarakat agar semakin dewasa dalam berdemokrasi dan

berbeda pendapat. Tapi persoalannya pilkada adalah kegiatan politik yang

dilakukan di tempat dan lingkungan masyarakat yang sangat heterogen

kepentingannya, sehingga terjadinya konflik politik adalah sesuatu yang

sulit dihindarkan. Persoalannya adalah bagaimana mengelola konflik itu

agar tidak merusak sendi-sendi demokrasi dan bangunan masyarakat

secara keseluruhan, tetapi justru sebaliknya sebagai alat untuk

menyalurkan berbagai perbedaan dengan cara-cara yang beradab dan

tanpa kekerasan atau kerusuhan massa. Justru inilah hakekat lain dari

penyelenggaraan pilkada, dan bukan sebaliknya sebagai ajang atau

pemicu konflik betapapun besarnya potensi ke arah itu.

Persoalannya adalah pilkada langsung yang digelar mulai bulan

Juni 2005, merupakan sesuatu yang baru, sementara pengalaman

masyarakat sangat minim. Keberhasilan melaksanakan pemilu tahun 2004

merupakan pelajaran berharga, tetapi masih tidak cukup dan belum teruji

kemapanannya. Demikian juga praktik-praktik demokrasi di tingkat desa

berupa pemilihan kepala desa terjadi dalam lingkup kecil (desa) dimana

penduduk dan kepentingannya relatif homogen dibalur sistem

kemasyarakatan yang bercirikan paguyuban.

Sebaliknya pengalaman empirik yang terjadi akhir-akhir ini di

berbagai daerah memberikan contoh sebaliknya. Fenomena kekerasan

lebih sering mengemuka, baik yang dilakukan oleh massa, kelompok

masyarakat atau aparat negara. Kekerasan demi kekerasan sering

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

5

Page 6: KONFLIK PILKADA

dipertontonkan dengan telanjang dalam kehidupan sehari-hari atau lewat

media massa.

Praktek dan realitas yang sering dipilih untuk mendesakkan

kehendak dan mengatasi persoalan adalah sesuatu yang dikhawatirkan

akan terjadi dan berlanjut dalam proses pilkada. Kekhawatiran ini telah

menjadi realitas umum di masyarakat yang sesungguhnya menghendaki

sebaiknya agar pilkada berjalan lancar dan aman. Semua pihak kawatir

jika pilkada justru menjadi penyulut atau pemicu konflik yang telah ada

dan memperluasnya dalam tingkatan yang lebih enskalatif dan mendalam.

Kekawatiran ini bukan sesuatu yang mengada-ada atau didramatisir,

tetapi jsutru lebih mengacu pada pengalaman masa lalu.

Di era orde baru konstalasi sosial politik di permukaan kelihatan

adem ayem, karena konon rezim orde baru yang berkuasa mampu

menekan konflik sosial ke tingkat yang dapat dikendalikan. Tapi asumsi

itu tidak semua benar sebab potensi konflik ternyata tidak mengecil atau

mati justru semakin berkembang di bawah permukaan. Kedahsyatan dari

manifestasi potensi konflik dapat dilihat di penghujung dan pasca

jatuhnya rezim Soeharto. Rezim Soeharto yang didukung militer dengan

mengedepankan pendekatan represif ternyata tidak mampu mematikan

potensi konflik yang ada, tetapi justru semakin mendorong

berkembangnya konflik yang kemudian meledak tak terkendali pasca

jatuhnya rezim Soeharto.

Kondisi demikian ini sering disebut sebagai bentuk euforia

reformasi, tetapi juga manifestasi dari ledakan konflik yang terpendam.

Lagi pula konflik sosial sesungguhnya senantiasa ada (omnipresent) atau

ada dimana-mana. Keberadaannya melekat pada struktur sosial dan setiap

kegiatan dan kehidupan sosial masyarakat, oleh karenanya tidak bisa

dihilangkan. Dimanapun tempatnya, sejarah mencatat bahwa kekuatan

yang dimiliki rezim otoritarian atau totalitarian tidak pernah mampu

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

6

Page 7: KONFLIK PILKADA

membunuh potensi konflik, melainkan sekedar menekannya ke bawah

permukaan tanpa meresolusikannya secara layak. Suatu saat rezim itu

akan runtuk karena pembusukan yang terjadi di dalam (social and

political decay) sebagaimana yang dialami rezim Soeharto. Dan seiring

dengan bergulirnya demokratisasi, maka potensi konflik itu menjadi

manifest, seolah tiba-tiba saja datang.

Indonesia adalah contoh par-execelent akan hal ini, yang mana

hingga saat ini belum menemukan sistem yang melembaga untuk

mengelola konflik secara demokratis. Pemilu yang digelar tahun 1999 dan

2004 adalah salah satu upaya terpenting untuk mengkanalisasi konflik dan

mengelolanya untuk tujuan produktif.

1. Dalam proses Penyaringan Balon Kepala Daerah (konflik dalam

rekruitmen kandidat)

Ketidakjujuran dan manipulasi dalam proses pilkada, mulai dari

tahap penyaringan calon yang layak menjadi Kepala Daerah (memenuhi

dan mematuhi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah), penentuan

jumlah pemilih (angka-angka statistik abstrak), perhitungan suara dan

permainan-permainan kotor yang menipu rakyat (pemberian suara oleh

manipulator Pilkada).

Seleksi calon Kepala Daerah yang tidak memenuhi norma-

norma obyektif –legal (profesional, kredibilitas, accountable) akan

mengundang reaksi massa di daerah pemilihan. Rakyat berharap tim

seleksi calon Kepala Daerah sungguh-sungguh bersih, berkompeten dan

terpercaya. Permainan pada tahap pencalonan akan menyengsarakan

keadaan daerah yang dipimpinnya. Yang layak dicalonkan adalah mereka

yang benar-benar berkompetensi profesional dan berdedikasi dalam

membangun daerah.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

7

Page 8: KONFLIK PILKADA

Proses rekruitmen kandidat calon kepala daerah sangat ditentukan

oleh parpol meskipun semua orang dapat mengajukan dirinya, tapi harus

melalui lembaga partai politik, walaupun sekarang sudah ada calon

independent namun aturan masih belum mengaturnya secara lebih rinci.

Jadi dalam pelaksanaan pemilihan langsung, kesempatan bagi calon

individu atau perseorangan terbuka luas, tapi justru hal ini telah

meningkatkan potensi konflik yang lebih besar pula. Contoh konkrit yang

telah melakukan pencalon independent adalah pencalonan Irwandy Yunus

sebagai Calon Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.

Potensi konflik dalam rekruitmen calon dapat muncul apabila

parpol menolak calon perseorang karena memiliki calon sendiri.

Sementara calon perseorangan tidak dapat menerima penolakan tersebut.

Seperti disebutkan dalam pasal 59 ayat (6) Undang-undang Pemerintahan

Daerah bahwa parpol hanya dapat mengusulkan satu pasangan calin dan

pasangan itu tidak dapat diusulkan lagi oleh parpol atau gabungan parpol

lain. Dengan demikian, ada kecenderungan parpol atau gabungan parpol

mengusulkan pasangan calon pilihan mereka sendiri, tanpa

mengakomodasi calon perseorangan. Padahal calon perseorangan itu bisa

saja mengjukan klaim bahwa ia adalah tokoh yang berpengaruh, sehingga

mampu meraup banuk suara pendukung. Klaim itu dinilai wajar

mengingat pilkada langsung melibatkan suara rakyat sepenuhnya.

Persoalannya, seringkali semua calon yang lolos seleksi atau

gagal mengklaim bahwa mereka mendapat dukungan luas. Menjadi

persoalan jika kegagalan itu lebih disebabkan oleh keputusan parpol yang

tidak mau mencalonkannya karena menilai ada calin lain yang lebih layak

dan pas dengan kepentingan parpol yang mencalonkan. Biasanya ketika

tokok sebagai calon perseorangan tidak dipilih sebagai calon kepala

daerah atau wakil kepala daerah oleh partai politik di daerah tersebut,

maka tokoh yang bersangkutan dapat tersinggung dan marah. Hal inilah

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

8

Page 9: KONFLIK PILKADA

yang memicu konflik di daerah, selama pelaksanaan pilkada langsung.

Oleh karena itu perlu mekanisme terbuka dalam pencalonan pasangan

kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk calon perseorangan.

2. Dalam proses pemilihan Calon Kepala Daerah

Para Calon Kepala Daerah dan Tim Suksesnya dalam kampanye

sangat memahami hal ini. Memang biaya yang paling murah untuk

memobilisasi massa adalah dengan membakar rasa fanatisme etnis dan

golongan. Padahal kadar fanatisme antara masyarakat bawah dan elit

politiknya berbeda. Fanatisme masyarakat bawah terhadap golongannya

biasanya murni, sedangkan fanatisme para elite politiknya umumnya

hanya semu, sekedar agar mendapat dukungan mayoritas saja.

Bahkan dalam proses kampanye tidak jarang para juru kampanye

dari Calon Kepala Daerah tertentu melakukan black campain, carracter

assassination, intimidasi dan menggelorakan sentimen golongan ataupun

kelompoknya serta yang tak dapat dielakkan lagi adalah mobilisasi massa

yang bisa menimbulkan keributan antar para pendukung.

Sedangkan dalam proses pemilihan, kondisi yang akan timbul

yaitu adanya serangan fajar, sabotase, manipulasi data. Hal inilah yang

perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait baik dari pihak

keamanan, Panwasda maupun penyelenggara (KPUD sampai petugas

TPS).

Kekecewaan dan ketidakpuasan sosial yang terkait dengan

langkah-langkah prosedural pencalonan hingga pemilihan hanya akan

mempertebal akumulasi sosial dalam masyarakat yang merasa “kalah”

dalam pilkada. Bukan mustahil, perasaan-perasaan di atas akan

memancing mereka untuk melakukan tindakan-tindakan konfliktual

dalam masyarakat.

3. Mengentalnya Gejala Primordialisme

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

9

Page 10: KONFLIK PILKADA

Dalam proses Pilkada gejala primordialisme sangat sulit

disingkirkan, karena sikap keakuan antara inside dan outside atau ingroup

dan outgroup pasti selalu menjadi lem perekat yang paling mudah dan

murah dalam mempengaruhi emosi massa. Namun dibalik itu justru sikap

primordialisme ini cenderung lebih mudah menyulut emosi massa, dan

mudah menjadi benturan-benturan yang bisa menimbulkan tindak

kekerasan. Tanpa pencerahan politik yang lebih baik, rakyat akan

cenderung memilih calon-calon sedaerah, sesuku, sebahasa dan sebudaya.

Sedangkan calon-calon yang sebenarnya lebih layak dan cocok akan

tersingkir dari kalangan masyarakat yang belum dewasa dalam

pendidikan politik.

4. Beberapa Kendala Teknis Penyelenggaraan Pilkada

Di samping soal potensi konflik yang masih membayangin

penyelenggaraan pilkada, muncul juga persoalan-persoalan teknis yang

tidak kalah berat dan serius. Persoalan tekni sini tidak bisa dianggap

sepele dibandingkan dengan persoalan lain seperti soal demokrasi dan

potensi konflik karena jika tidak ditangani dengan baik, justru akan

mengacaukan proses demokrasi dan memicu konflik yang lebih luas.

Beberapa persoalan teknis penyelenggaraan pilkada yang masih

belum terselesaikan biasanya bervariasi antar daerah, namun ada

kesamaan diantara mereka yaitu soal mepetnya waktu yang tersedia dan

kendala dana yang minim. Kedua hal ini membawa implikasi yang luas

terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan pilkada seperti proses

distribusi logistik dan sosialisasi pilkada.

Beberapa KPUD mengeluh soal minim dan belum turunnya

anggaran, baik dari APBD maupun APBN. Bahkan diantara KPU

kabupaten di daerah pemekaran ada belmu memiliki personel dan

sebagian diantaranya dalam proses seleksi calon-calon anggota KPU

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

10

Page 11: KONFLIK PILKADA

padahal pelaksanaan pilkada semakin dekat. Sebelum calon-calon itu

terpilih dan diangkat KPU pusat, KPU kabupaten belum bisa melakukan

pilkada. Sambil menunggu kucuran dana yang jumlahnya tidak banyak,

KPUD harus tetap melaksanakan tugasnya, meskipun tidak optimal.

Pilkada seharusnya menjadi ajang uji coba pluralisme politik tanpa

melahirkan konflik terpola yang berbasiskan etnik, agama atau segala bentuk

kebudayaan. Demokrasi dalam dirinya mengandaikan kesatuan kultural yang

merangkul semua kelompok sosial. Suatu politik peradaban dalam

membangun suatu demokrasi diharapkan dapat lahir dari pilkada. Kesadaran

mendasar akan adanya keterkaitan antara demokratisasi dan konflik identitas

kelompok sosial perlu ditumbuhkan sejak sekarang sehingga beberapa

langkah antisipatif dapat ditempuh. Antena Early Warning System (EWS)

perlu segera dipasang.

Penegakan hukum positif secara bersih dan terpercaya dinantikan

dalam pelaksanaan Pilkada. Sanksi hukum positif yang transparan selayaknya

dikenakan pada pihak-pihak yang terbukti mempermainkan dan

memanipulasi Pilkada demi kepentingan-kepentingan terselubung golongan

atau kelompok sosial tertentu. Pemantauan dan kontrol normatif oleh

pemerintah pusat dalam kerja sama dengan masyarakat termasuk suatu

kebutuhan mendasar.

Disamping adanya wadah pengaduan masyarakat tentang langkah-

langkah non prosedural dan langkah manipulatif dalam penanganan

problematika sosial masyarakat, sebuah jembatan antar anasir sosial (etnis,

agama, kebudayaan dan politik) perlu segera dibangun menyongsong Pilkada

mendatang. Menghadapi potensial konfliktual, tampaknya nilai-nilai tradisi

lokal berupa kesetiakawanan, kerjasama, saling percaya dan tenggang rasa

antar kelompok sosial sudah waktunya dibangkitkan kembali setelah sekian

lama dipolitisasi oleh pihak-pihak yang memanipulasi perkembangan sosial

masyarakat yang begitu majemuk.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

11

Page 12: KONFLIK PILKADA

Untuk itu sebagai langkah antisipatif penanggulangan konflik dalam

pelaksanaan Pilkada yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Syarat calon Kepala Daerah harus sesuai dengan aturan main (UU

maupun PP), bagi yang tidak memenuhi syarat, KPUD harus tegas untuk

mencoret, jangan sampai ada kompromi-kompromi di belakang layar.

2. Penyelenggara ( KPUD sampai petugas TPS) dan Panwasda Pilkada

harus tetap menjaga netralisasi, jangan sampai ada keberpihakan pada

calon Kada tertentu.

3. Aturan kampanye harus tegas, artinya kalau ada peserta dan tim

suksesnya yang melakukan pelanggaran terhadap aturan kampanye harus

diberi sanksi dan ditindak.

4. Membangun etika politik siap kalah, sehingga apapun hasilnya jika

dilaksanakan dengan jurdil dan transparan maka siap menerima kekalahan

itu.

5. Menghindari sikap primordialisme yang berlebihan.

6. Sosialisasi aturan main dalam Pilkada. Ini harus dilakukan semaksimal

mungkin, mengingat untuk pertama kalinya Pilkada dilaksanakan secara

langsung, sehingga masyarakat benar-benar memahami dan mengerti

aturan dan tata cara dalam Pilkada, bukan hanya sebagai formalitas politik

saja.

7. Panwasda harus bisa mengantisipasi akan adanya serangan fajar

ataupun serangan senja dalam bentuk apapun.

Masyarakat tidak bisa maju dan berkembang hanya karena

kebanggaan terhadap kelompok atau golongannya yang menjadi pemimpin,

tetapi dari kebajikan dan kebijakan pemimpin itu sendiri, serta

penghayatannya terhadap moral yang diajarkan oleh agamanya.

Sebagai saran, mari kita berpikir dengan jernih, kita pilih bersama

orang-orang yang layak untuk menjadi pemimpin tanpa melihat kelayakan

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

12

Page 13: KONFLIK PILKADA

asal etnis atau agamanya, kemudian kita dudukkan dia bersama-sama.

Namun jika ternyata dia tidak becus, maka bersama-sama kita ingatkan dia.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Abdul Asri. 2005. Manajemen dan Resolusi Konflik Pilkada.

Jakarta: Pustaka Cidesindo.

Sanit, Arbi. 1981. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.

Sjamsudin, Nazarudin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik Organisasi

13