Isi
-
Upload
tya-si-baiq -
Category
Documents
-
view
49 -
download
1
Transcript of Isi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke atau Gangguan Peredaran Darah Otak (GPOD) adalah gangguan
fungsi otak, fokal (atau global), timbul mendadak (akut), berlangsung lebih dari
24 jam (kadang-kadang berakhir dengan kematian sebelum 24 jam), yang
disebabkan gangguan peredaran darah otak.1 Stroke dibagi dalam dua kelompok
utama yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Subtipe dari stroke iskemik
berupa stroke trombotik disebabkan oleh agregasi dari factor-faktor darah. Jenis
lain stroke embolik, disebabkan tersumbatnya secara mendadak arteri di otak
akibat jendalan darah benda asing yang terbawa aliran darah. Subtipe stroke
hemoragik adalah perdarahan intaserebral yang disebabkan oleh banyak factor dan
perdarahan suaraknoid yang umumnya karena pecahnya kantong aneurisma
intracranial atau pecahnya Arteriovenosus malformation.2
Stroke merupakan penyebab utama invaliditas kecacatan sehingga orang
yang mengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain dengan kelompok
usia 45 tahun ke atas.1 Dengan kombinasi seluruh tipe stroke secara keseluruhan,
stroke menempati urutan ketiga penyebab utama kematian dan urutan pertama
penyebab utama disabilitas. Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih
tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemik. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya.2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi stroke infark emboli?
2. Bagaimana cara mendiagnosis pasien stroke infark emboli?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada stroke infark emboli?
4. Bagaimana prognosis serta komplikasi pada stroke infark emboli?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi stroke infark emboli
1
2. Bagaimana cara mendiagnosis pasien stroke infark emboli
3. Bagaimana penatalaksanaan pada stroke infark emboli
4. Bagaimana prognosis serta komplikasi pada stroke infark emboli
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan para pembaca
khususnya kalangan medis agar dapat membuat diagnosa tentang stroke infark
emboli, serta membuat perencanaan penatalaksanaan stroke terutama stroke infark
emboli.
2
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Indentitas
Nama : Tn. S
Umur : tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat :
Satus Perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 22-01-2014
2.2 Anamnesa (Autho/Heteroanamnesa)
- Keluhan Utama : Badan sebelah kanan lemas
- Keluhan yang berhubungan dengan keluhan utama : Kejadian mendadak
- Perjalanan penyakit :
Pasien datang ke IGD RSD Mardi Waluyo Blitar hari senin tanggal 19
Januari 2014 jam 17.00 WIB. Pasien merupakan rujukan dari BP Mitra
Husada dengan GCS 315 dan GDA 285. Keluarga pasien mengeluh bahwa
pasien mendadak lemas pada tubuh dan tangan serta kaki kanan. Selain itu,
pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak dapat berkomunikasi dengan
sekitar, baik bicara dan memahami perkataan orang lain. Keluhan timbul
secara mendadak setelah beraktifitas. Sebelumnya dari keterangan keluarga
pasien tidak mengeluh seperti pusing, muntah, dada berdebar-debar, nyeri
pada dada kiri dan sesak nafas.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (+)
Gula darah (disangkal)
Penyakit lain disangkal
3
- Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak terdapat anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang
sama dengan pasien.
Penyakit lain disangkal
- Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum alkohol (-)
Riwayat minum jamu-jamuan (-)
Riwayat Merokok (+)
Setiap hari melakukan aktifitas hanya di sekitar rumah
- Keadaan Psikososial : menengah kebawah
2.3 Status Interne Singkat
- Keadaan Umum
Tampak lemah, kesadaran stupor (GCS E3V1M5).
- Tanda Vital
Tensi : 200/150 mmHg
Nadi : 76 x / menit, ireguler
Pernafasan : 20 x /menit, reguler
Suhu : 36 oC
- Kulit
Turgor kulit lambat/menurun (-)
- Kepala
Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-), kelainan mimic wajah / bells
palsy (-).
- Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata terlihat agak cekung.
- Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
- Mulut
Bibir pucat (-), mukosa bibir kering (-), bibir cianosis (-), bibir perot (-).
4
- Telinga
SDE
- Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
- Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan abdominothoracal, retraksi (-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri bawah : SIC V 1 cm medial Linea Medio
Clavicularis Sinistra
batas kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
pinggang jantung : SIC III Linea Para Sternalis Sinistra
(batas jantung terkesan normal)
Auskultasi: Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-)
Dinamis (depan dan belakang)
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-)
- Abdomen
Inspeksi : dinding perut tampak datar
5
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,
pembesaran lien (-).
Perkusi : timpani seluruh lapang perut, meteorismus (+)
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
- Ektremitas
Palmar eritema (-/-)
Akral dingin Oedem
- -
- -
- -
- -
2.4 Status Neurologik
A. Kesan umum
- Keadaan Umum : Kesan lemah
- Kesadaran : Stupor
G.C.S: 214
- Pembicaraan : (- Disartri : (+)
(- Monoton : (-)
(- Scanning :
(- Motorik : (+)
(- Afasi (+) (- Sensorik : (+)
(- Amnesik (Anomik) : (+)
- Kepala : (- Besar : (-) - Muka : (- Mask (topeng) : (-)
(- Asymmetri : (-) (- Myopathik : (-)
(- Sikap paksa : (-) (- Fullmoon : (-)
(- Torticollis : Tidak dilakukan
B. Pemeriksaan Khusus
1. Rangsangan Selaput Otak
- Kaku Tengkuk : (-) - Brudzinski I : (-)
- Laseque : (-) - Brudzinski II : (-)
- Kernig : (-)
6
2. Saraf Otak
NI KANAN KIRI NII KANAN KIRI
Hyp/Anosmi : SDE SDE Visus : SDE
Parosmi : SDE SDE Melihat warna : SDE
Funduskopi :Tidak dilakukan
N III, IV, VI : KANAN KIRI
Kedudukan bola mata : Simetris
Pergerakan bola mata ( Kenasal : SDE SDE
( Ketemporal : SDE SDE
( Keatas : SDE SDE
( Kebawah : SDE SDE
( Ketemporal
Bawah
: SDE SDE
Exophthalmus : (-) (-)
Celah mata (Ptosis) : (-) (-)
PUPIL
Bentuk : Bundar Bundar
Lebarnya : 3mm 3mm
Perbedaan lebar : Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Reaksi cahaya langsung : Normal Normal
Reaksi cahaya konsensuil : Normal Normal
Reaksi akomodasi : Normal Normal
Reaksi konvergensi : Normal Normal
Doll eye phenomena (-) (-)
7
N V KANAN KIRI
Cabang Motorik : SDE SDE
Otot masseter : SDE SDE
Otot temporal : SDE SDE
Otot pterygoideus int/ext : SDE SDE
Cabang Sensorik : ( I : SDE SDE
( II : SDE SDE
( III : SDE SDE
Refleks kornea langsung : Normal Normal
Refleks kornea konsensuil : Normal Normal
N VII KANAN KIRI KANAN KIRI
Waktu Diam Waktu Gerak:
- Kerutan dahi : Simetris Simetris - Mengerut dahi : SDE SDE
- Tinggi alis : Simetris Simetris - Menutup mata : SDE SDE
- Sudut mata : Simetris Simetris - Bersiul : SDE SDE
- Lipatan
Naso-labial : Normal Normal
- Memperlihatkan
gigi
SDE SDE
Pengecapan 2/3-
Depan lidah : Tidak
dilakukan
N VIII
Vestibular Cochlear KANAN KIRI
(- Vertigo : Tidak
dilakukan
− Weber : Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
(- Nystagmus ke : Tidak
dilakukan
− Rinne : Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
(- Tinnitus Aureum : SDE − Schwabach : Tidak Tidak
8
dilakukan dilakukan
(- Test Kalori : Tidak
dilakukan
− Tuli
konduktip
: Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
− Tuli
perseptip
: Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
N IX, X
Bagian Motorik :
− Suara biasa/ parau/
tak bersuara
: SDE Menelan : Normal
− Kedudukan arcus
pharynx
: Kanan : Tidak dilakukan Kiri : Tidak dilakukan
− Kedudukan uvula : Ditengah
− Pergerakan arcus
pharynx/ uvula
: Kanan : Tidak dilakukan Kiri : Tidak dilakukan
− Vernet-Rideau
phenomenon
: SDE
− Detik Jantung : 76 x/menit
(ireguler)
Bising usus : (+) Normal
Bagian sensorik : Pengecapan 1/3 belakang lidah
Refleks Oculo-
Cardiac
: Tidak dilakukan Refleks muntah
(pharynx)
: Tidak dilakukan
Refleks
Carotica-Cardiac
: Tidak dilakukan Refleks palatum
moile
: Tidak dilakukan
N XI − Mengangkat Bahu : Kanan : SDE Kiri : SDE
− Memalingkan kepala, kanan : SDE Kiri : SDE
N XII − Kedudukan lidah waktu istirahat ke tengah
− Kedudukan lidah waktu gerak SDA
− Atrofi kanan : (-) Kiri : (-) Fasikulasi/Tremor Kanan : (-) Kiri : (-)
− Kekuatan lidah menekan pada bagian dalam kanan : SDE Kiri : SDE
3. Sistem Motorik
9
(N.B. : Normal = 5, Parase ringan (bisa melawan gravitasi/tidak bisa
melawan tahanan sedang) = 4, Bisa melawan gravitasi/tidak bisa melawan
tahanan ringan = 3, Gerakan sendi (tapi bisa melawan gravitasi) = 2,
Konraksi saja/tanpa gerakan sendi = 1, Tidak ada respon = 0).
Kekuatan Otot
− Tubuh : Otot perut : Normal
Otot pinggang : Normal
Kedudukan diagfragma: - Gerak : Tidak dilakukan
- Istirahat : Tidak dilakukan
− Lengan : (Kanan/Kiri) - Tungkai : (Kanan/Kiri)
- M. Deltoid (Abduksi
lengan atas)
: SDE Flex artic coxae (Tungkai atas) : SDE
- M. Biceps (Flexi
lengan atas)
: SDE Extensi artic coxae (Tungkai atas) : SDE
- M. Triceps (Extensi
lengan atas)
: SDE Flexi sendi lutut (Tungkai bawah) : SDE
- Flexi sendi
pergelangan tangan
: SDE Extensi sendi lutut (Tungkai
bawah)
: SDE
- Extensi sendi
pergelangan tangan
: SDE Flexi plantar kaki : SDE
- Membuka jari-jari
tangan
: SDE Extensi dorsal kaki : SDE
- Menutup jari-jari
tangan
: SDE Gerakan jari-jari : SDE
Besar Otot (Sebutkan otot mana) Response terhadap
Perkusi
- Atrofi : (-) - Normal
- Pseudohyperfi : (-) - Reaksi myotonik : Tidak dilakukan
Palpasi Otot Tonus Otot Lengan
Tungkai
- Nyeri : (-) Ka. Ki. Ka. Ki.
10
- Kontraktur : (-) Hypotoni : -/- -/-
- Konsistensi : Lunak Spastik : -/- -/-
Rigid : -/- -/-
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
Gerakan-Gerakan Involunter
- Tremor : Waktu istirahat (-)
Waktu gerak (-)
- Chorea : (-)
- Athetose : (-)
- Myokloni
- Fasikulasi
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
Koordinasi
- Jari tangan-jari tangan
- Jari tangan-hidung
- Ibu jari kaki-jari tangan
- Tumit-lutut
- Pronasi-supinasi
- Tapping dengan jari-jari tangan
- Tapping dengan jari-jari kaki
Gait: Station
: SDE
: SDE
: SDE
: SDE
: SDE
: SDE
: SDE
Gait : - Jalan diatas tumit : Tidak dilakukan -
- Jalan diatas jari kaki : Tidak dilakukan -
- Tandem Walking : Tidak dilakukan -
- Jalan lurus lalu putar : Tidak dilakukan -
- Jalan mundur
-Hopping
- Berdiri dengan satu kaki
:
:
:
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Station: - Romberg Test : Tidak dilakukan
4. Sistem Sensorik
Rasa eksteroceptik Kanan Kiri
11
- Rasa nyeri superficial SDE SDE
- Rasa suhu (panas/dingin) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Rasa raba ringan SDE SDE
Rasa proprioceptik Kanan Kiri
- Rasa getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Rasa tekan SDE SDE
- Rasa nyeri tekan SDE SDE
Refleks kulit Refleks tendon/Periost :
Refleks dinding
perut
: Tidak dilakukan - Refleks mandibula : Tidak dilakukan
- Refleks biceps : +3/+2
- Refleks cremaster : Tidak dilakukan - Refleks triceps : +3/+2
- Refleks
interscapular
: Tidak dilakukan - Refleks periosto-
radial
: Tidak dilakukan
- Refleks gluteal : Tidak dilakukan - Refleks periosto-
ulnar
: Tidak dilakukan
- Refleks anal : Tidak dilakukan - Refleks patella : +3/+2
- Refleks achilles : +2/+2
5. Refleks-Refleks
(N.B. : 0 = Tidak ada gerakan, +1 = Ada kontraksi tidak ada gerakan
sendi, +2 = Normal, +3 = Meningkat berlebihan, +4 = Clonus)
Refleks Patologik
Tungkai Kanan Kiri Lengan
- Babinski : + - - Hoffmann Tromner : -/-
- Chaddock : + -
- Oppenhein : + -
- Rossolimo : Tidak dilakukan
- Gordon : + -
12
- Schaefer : + -
- Mendel-Bechterew : Tidak dilakukan
- Stransky : Tidak dilakukan
- Gonda : - -
6. Susunan Saraf Otonom
- Miksi
- Salivasi
: Normal
: Tidak dilakukan
- Defekasi
- Sekresi keringat
: Normal
: Dalam batas normal
7. Columna Vertebralis
- Kelainan Lokal : ( Skoliosis : (-)
( Kyphose : (-)
( Kyphoskoliose : (-)
( Gibbus : (-)
- Nyeri tekan/ketok lokal : Tidak dilakukan
- Nyeri tekan sumbu : Tidak dilakukan
- Nyeri tarik sumbu : Tidak dilakukan
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
a. Haemoglobin : 14,0 (n: L 13,5-18 g/dL; P 11,5-16,0
g/dL)
b. Leukosit : 9.400 (n: 4000-11000 /cmm)
c. Eritrosit : 4.510.000 (n: L 4,5-6,5 jt/cmm; P 3-6 jt/cmm)
d. Trombosit : 300.000 (n: 150.000-450.000 /cmm)
e. Hematokrit : 42,7 (n: L 40-54 %; P 35-47 %)
f. MCV/MCH/MCHC : 94.7/31.0/32.8
g. LED/BBS : 63-101 (n: L 0-15 /jam; P 0-20 /jam)
h. Hitung Jenis : eos/bas/stab/seg/lim/mon
- / - / 3 / 63/ 29/ 5 (n:1-2/0-1/3-5/54-
62/25-33/3-7)
Gula Darah Acak : 101 (n: 70-140 mg/dL)
Kolesterol : 124 (n: < 250 mg/dL)
Trigliserida : 70 (n: < 150 mg/dL)
Faal Hati
13
a. Bilirubin Total : 0,66 (n: Sampai 1 mg%)
b. Bilirubin Direk : 0,17 (n: Sampai 0,25 mg%)
c. SGOT : 30 (n: L 37 U/L; P 31 U/L)
d. SGPT : 11 (n: L 40 U/L; P 31 U/L)
e. Gamma GT : 23
CT-Scan
Gambar 2.1 Gambaran Ct-Scan Kepala
14
Gambar 2.1 Gambaran Ct-Scan Kepala
- Tampak lesi hipodens batas kurang tegas, wedge-shapes di lobus
temporoparietal kiri sesuai dengantentori A. Cerebri media kiri
disertai gambaran MCA kiri dense sign dan effacerment sulci
dan gyri di regio tersebut.
- Sulci dan gyri di luar lesi tampak baik
- Sistem ventrikel dan cisterna tampak baik
- Tak tampak deviasi midline
- Tampak kalsifikasi di basal ganglia kanan kiri
- Pons dan cerebellum tampak baik
- Orbita, musculi ekstraocculi dan nervus opticus kanan kiri tampak
baik
- Mastaoid dan sinus paranasal kanan kiri tampak baik
- Calvaria dan soft tissue scalp tak tampak kelainan
Kes: Subacute embolic cerebral infarction di lobus temproparietal kiri
sesuai dengan tentori A. Cerebri media sinistra
2.6 Working Diagnosa
Diagnosa klinis : Hemiparese (D) + afasia + hipertensi + stupor
Diagnosa topis : Hemisfer sinistra
Diagnosa etiologi : CVA emboli infark
2.7 Penatalaksanaan
Farmakologi :
- IVFD NS 20 tetes/ menit
- Injeksi Piracetam 3x3 gr
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Simarc 1x2 gr
Non Farmakologi :
15
- Pasang NGT
- Monitoring GCS ,vital sign dan keluhan pasien
- Fisioterapi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Cerebrovascular disease adalah abnormalitas otak yang disebabkan oleh
proses patologi pembuluh darah. Proses patologi meliputi oklusi lumen karena
emboli atau thrombus, pecah pembuluh darah, perubahan permeabilitas dinding
pembuluh darah, atau peningkatan viskositas darah yang mengalir di pembuluh
darah otak. Proses patologi pembuluh tidak hanya aspek umum (emboli,
thrombosis, atau pecah pembuluh), juga menganai gangguan dasar, seperti
aterosklerosis, hipertensi, perubahan aterosklerosis, arteritis, aneurysmal
dilatation, dan pembentukan malformasi. Terdapat dua tipe lesi pembuluh yang
menyebabkan perubahan parenkim otak, yaitu iskemik (dengan atau tanpa infark)
dan pendarahan. 1,2
3.2 Epidemiologi
16
Data epidemiologik dari berbagai wilayah di seluruh dunia saat ini
menunjukkan bahwa stroke menduduki peringkat kedua dalam urutan penyebab
kematian. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organitation), pada tahun
1999 diperkirakan 5,54 juta orang meninggal karena stroke. Jumlah ini merupakan
9,5% dari seluruh kematian di dunia. Angka kejadian di Indonesia masih belum
diketahui secara pasti. 1 Misbach dkk (1997) mendapatkan 2057 penderita dari 28
rumah sakit di seluruh Indonesia selama kurun waktu Oktober 1996 sampai
dengan Maret 1997.
Kejadian stroke kardioemboli bervariasi dari setiap penelitian. The National
Institute of Neurogical Disorders and stroke (NINDS), Stroke data bank (1983
1986), mendapatkan dari 1273 penderita stroke Infark, 246 (14%) penderita
merupakan stroke kardioemboli. Streifler mengumpulkan data dari berbagai
proyek multisenter, dengan kriteria diagnosa dan pemeriksaan penunjang yang
beragam mendapatkan angka stroke kardioemboli antara 15-20% dari seluruh
stroke Infark. Prevalensi stroke kardioemboli lebih tinggi pada usia dibawah 45
tahun, antara 23-36%,walaupun pada kenyataannya penyakit jantung mayor yang
mendasarinya lebih banyak pada usia yang lebih tua. Kardioemboli merupakan
saalah satu dari 3 penyebab stroke paling sering pada dewasa muda.3,4
3.3 Klasifikasi
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas
gambaran klinik, patologi anatomi, system pembuluh darah dan stadiumnya.
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke
mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun
patogenesisnya serupa.5
Berdasarkan penyebabnya stroke dapat digolongkan menjadi dua golongan
yaitu stroke iskemik (infark) dan stroke hemorhagik (perdarahan). Stroke iskemik
2/3 berupa stroke trombotik dan 1/3 berupa stroke embolik, sedangkan stroke
perdarahan terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subarahnoid.5
Selain itu, Simon RP (1999) juga membagi stroke iskemik menurut
perjalanannya menjadi:
1. Serangan iskemik sepintas atau Transient Ischemic Attact (TIA)
17
2. Defisit neurologi iskemik yang reversibel atau Reversible Ischemic
Neurological Deficit (RIND)
3. Stroke progresif atau stroke in evolution
4. Stroke komplit
Berdasarkan patogenesisnya stroke iskemik dapat digolongkan menjadi:
1. Stroke iskemik trombotik
2. Stroke iskemik embolik
3. Stroke iskemik karena sebab lain, misal karena kelainan hematologic
4. Stroke iskemik dengan penyebab yang belum diketahui
3.4 Faktor Resiko
Mengenai faktor resiko untuk terjadinya stroke, dapat diajukan banyak hal,
namun dapat dibagi ke dalam faktor resiko yang tidak dapat dirubah (Non-
modifiable) dan faktor resiko yang dapat dirubah (Modifiable), antara lain:6
Tabel 3.1 Faktor Resiko Stroke
3.5 Patogenesa
Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak bisa bersumber dari
jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi pada perjalanannya melalui
jatung, misalnya sel tumor, udara dan lemak pada trauma, parasit dan telurnya.
Yang sering terjadi adalah emboli dari bekuan daran (clots) karena penyakit
jantungnya sendiri. Trombus intracardiak di atrium ventrikel kiri paling sering
18
menyebabkan emboli, walaupun trombus di atrium, ventrikel kanan dan
ekstremitas dapat menyebabkan emboli otak melalui septal defek di jantung.
Trombus di ventrikel kiri dapat pula terjadi karena proses koagulopati trombosik
tanpa disertai kelainan jantung.4,5
Caplan LR (1991) membagi berbagai tipe dari bahan emboli yang
berasal dari jantung, yaitu:7
1. trombus merah, trombus terutama mengandung fibrin (aneurisma
ventrikel)
2. trombus putih, aggregasi pletelet – fibrin (Infark miokard)
3. vegetasi endocarditis marantik
4. bakteri dan debris dari vegetasi endocarditis
5. kalsium (kalsifikasi dari katup dan anulus mitral)
6. myxoma dan framen fibroelastoma
Pembentukan trombus atau emboli dari jantung belum sepenuhnya
diketahui, tetapi ada beberapa faktor prediktif pada kelainan jantung yang
berperan dalam proses pembentukan emboli, yaitu:4,5,7
1. Faktor mekanis
Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah gangguan irama (atrial
fibrilasi), mungkin mempunyai korelasi erat dengan timbulnya emboli.
Terjadinya emboli di serebri setelah terjadi kardioversi elektrik pada pasien
atrial fibrilasi. Endokardium mengontrol jantung dengan mengatur kontraksi
dan relaksasi miokardium, walaupun rangsangan tersebut berkurang pada
endokardium yang intak. Trombus yang menempel pada endokardium yang
rusak (oleh sebab apapun), akan menyebabkan reaksi inotropik lokal pada
miokardium yang mendasarinya, yang selanjutnya akan menyebabkan
kontraksi dinding jantung yang tidak merata, sehingga akan melepaskan
material emboli. Luasnya perlekatan trombus berpengaruh terahadap terjadinya
emboli. Perlekatan trombus yang luas seperti pada aneurisma ventrikel
mempunyai resiko (kemungkinan) yang lebih rendah untuk terjadi emboli
dibandingkan dengan trombus yang melekat pada permukaan sempit seperti
pada kardiomiopati dilatasi, karena trombus yang melekat pada permukaan
sempit mudah lepas. Trombus yang mobil, berdekatan dengan daerah yang
19
hiperkinesis, menonjol dan mengalami pencairan di tengahnya serta rapuh
seperti pada endokarditis trombotik non bakterial cenderung menyebabkan
emboli.
2. Faktor aliran darah
Pada aliran laminer dengan shear rate yang tinggi akan terbentuk trombus
yang terutama mengandung trombosit, karena pada shear rate yang tinggi adesi
trombosit dan pembentukan trombus di subendotelial tidak tergantung pada
fibrinogen, pada shear rate yang tinggi terjadi penurunan deposit fibrin,
sedangkan aggregasi trombosit meningkat. Sebaliknya pada shear rate yang
rendah seperti pada stasis aliran darah atau resirkulasi akan terbentuk trombus
yang terutama mengandung fibrin, karena pada shear rate yang rendah
pembentukan trombus tergantung atau membutuhkan fibrinogen. Stasis aliran
darah di atrium, merupakan faktor prediktif terjadinya emboli pada penderita
fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang rendah, gagal jantung, Infark miokardium,
kardiomiopati dilatasi
3. Proses trombolisis di endokardium
Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik endokardium berperan untuk
terjadinya emboli, walupun pemecahan trombus ini tidak selalu menimbulkan
emboli secara klinik. Hal ini telah dibuktikan bahwa bekuan (clot) setelah
Infark miocard, menghilang dari ventrikel kiri tanpa gejala emboli dengan
pemeriksaan ekhokardiografi. Keadaan kondisi aliran lokal yang menentukan
kecepatan pembentukan deposit platelet disertai dengan kerusakan endotelium
yang merusak proses litik, kedua hal ini akan menyebabkan trombus menajdi
lebih stabil
3.6 Tanda dan Gejala
Perbedaan klinis stroke iskemik (trombotik dan emboli) maupun hemoragik
(intraserebral dan subaraknoid)
TANDA & GEJALA INFARK HEMORAGIK
Permulaan Subakut Akut
Waktu Serangan Bangun pagi Aktivitas
20
Peringatan Sebelumnya ++ -
Nyeri Kepala ± ++
Muntah - ++
Kejang - ++
Kesadaran Menurun + ++
Bradikardi + Sejak awal serangan
Ptosis - +
Rangsang Meningeal - ++
Papil Edem - ++
Lokasi Kortikal/Subkortikal Subkortikal
Tabel 3.2 Tanda dan GejalaGambaran
KlinikStroke Trombotik Stroke Embolik ICH SAH
Serangan Saat istirahat/tidur malam,Sering didahului TIA
Saat aktivitas sehari-hari, tidak saat tidur
Saat melakukan aktivitas
Nyeri kepala sangat hebat, mendadak, biasanya saat aktivitas
Defisit Neurologik
Fokal, sering memberat secara gradual
Fokal, seringkali maksimal saat serangan
Fokal, sangat akut disertai tanda peningkatan TIK (nyeri kepala, muntah, kesadaarn menurun, kejang,dll)
Defisit neurologic jarang dijumpaiTanda rangsangan selaput otak
Tekanan darah Hipertensi (sering) Normotensi Hipertensi berat (sering)
Hipertensi (jarang)
Temuan khusus lainnya
Penyakit jantung/pembuluh darah arterosklerotik
Aritmia jantung, fibrilasi atrial, kelainan katup jantung, bising karotis/tanda sumber embolik lain
Penyakit jantung hipertensif, retinopati hipertensif
Perdarahan subhialoid/preretinal likwor berdarah
CT Scan Kepala
Area Hipodens Area hipodens pada infark hemoragik, tampak pula area hiperdens
Area hiperdens intraserebral / intraventikular
Area hiperdens di sisterna basalis
Tabel 3.3 Gambaran Klinis Berbagai Macam Stroke
21
3.7 Penegakan Diagnosa
Diagnosis klinis stroke dibuat berdasarkan batasan stroke. Adanya deficit
neurologic fokal (atau global) yang timbul mendadak, berlangsung lebih 24 jam,
serta ditemukannya factor resiko yang mendasari terjadinya kelainan vaskuler
primer pada otak, merupakan petunjuk bahwa yang sedang kita hadapi adalah
kasus stroke. Beberapa kelainan non-vaskular, dan vascular sekunder (non
primer), dapat memberikan gejala dan tanda klinik yang menyerupai stroke.
Dibawah ini merupakan langkah diagnosis stroke :8
Gambar 3.1 Diagram Diagnosa Stroke
3.8 Penatalaksanaan8,9,10
Pada prinsipnya tujuan utama terapi pada stroke adalah:
1. Mencegah kerusakan otak yang bersifat ireversibeL
22
- Tumor- Trauma- Infeksi- Fenomena Todd- Lain-lain
(1)
(2)
(3)
(4)
- Trombotik - Intraserebral- Embolik - Subaraknoid
Besar dan letak lesi
Kelainan Vaskular yang mendasari terjadinya stroke
Iskemik Perdarahan
Vaskular Non Vaskular
Defisit Neurologic Fokal
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah kecacatan yang lebih berat
4. Mencegah serangan ulang
Penatalaksanaan stroke meliputi:
1. Terapi umum
Pedoman terapi ini meliputi 5B, yaitu:
a. Breath
Menjaga agar fungsi pernafasan dan oksigen adekuat terutama pada
penderita dengan kesadaran menurun.
b. Blood
- Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat hingga normotensi pada
stroke fase akut harus dihindarkan karena menurunkan perfusi ke otak.
Obat antihipertensi dipertimbangkan terutama pada penderita muda
dengan tekanan darah 180/100 mmHg atau penderita tua dengan
tekanan darah 210/120 mmHg atau lebih.
- Penurunan tekanan darah rata-rata tidak boleh lebih dari 20% dari
tekanan darah arterial rata-rata. Beberapa obat antihipertensi yang
direkomendasikan antara lain: Nitroprusid, nitrigliserin, labetolol,
diltiazem yang diberikan secara iv, sedangkan oral dapat diberikan
captopril, nifedipin dan lain-lain.
Cairan
- Tujuan dari terapi cairan adalah euvolemi. Optimal CVP bervariasi di
antara pasien. Jika terjadi hipovolemi yang dapat mengakibatkan
hipotensi, maka CVP dipertahankan antara 5-12 mmHg.
- Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak
tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat celcius pada penderita
panas)
- Elektrolit (sodium, potassium, kalsium, magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai harga
normal
23
- Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil BGA
- Cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan dosis 1 ml/kgBB/jam adalah
yang dianjurkan pada penderita PIS
- Cairan yang mengandung dekstrosa dihindari kecuali ada hipoglikemia
- Sistemik hiposmolality (< 280 mmol/kg) harus segera diterapi dengan
manitol atau hipertonik salin 3%
- Status euvolume harus dipertahankan dengan memantau keseimbangan
cairan, central venous pressure dan berat badan
c. Brain
- Penurunan kesadaran
• Dipantau dengan GCS (Glasgow Coma Scale) serta tanda-tanda
vital (tekanan darah, derajat nadi, frekuensi pernafasan) serta
waspada agar jangan mengalami aspirasi
- Peningkatan tekanan intrakranial
Beberapa cara untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat,
antara lain:
• Tirah baring dengan kepala ditinggikan 20-300
• Hipotermi
• Hiperventilasi dengan ventilasi sehingga PaCO2 30-35 mmHg
• Manitol 20% 100 ml atau 0,25-0,5 g/kgBB/kali dalam waktu 15-30
menit, 4-6 kali sehari
d. Bowel
- Dengan memperhatikan fungsi saluran cerna dan nutrisi
- Nutrisi enteral harus segera dimulai setelah 48 jam untuk mencegah
terjadinya malnutrisi
- Bisa juga memakai nasoduodenal tube untuk emngurangi resiko
terjadinya aspirasi
- Penelitian membuktikan terjadi penurunan angka kematian sebanyak
6% pada penderita disphagic stroke yang mendapatkan nutrisi enteral
seawall mungkin dibandingkan dengan yang tidak dipasang tube
feeding selama 1 minggu pertama
e. Bone and body skin
24
- Dengan cara mengubah posisi tidur miring kiri dan kanan secara
bergantian tiap selang waktu beberapa jam. Hal ini dilakukan untuk
mencegah komplikasi seperti decubitus, postural pneumoni, dan lain-
lain
- Perawatan dan pemantauan kulit
2. Terapi khusus stroke infark
Penanggulangan stroke iskemik yang diderita oleh sebagian besar (> 80%)
dari seluruh penderita stroke. Upaya yang paling krusial untuk menurunkan
kecacatan dan kematian akibat stroke adalah upaya terapi stroke pada fase akut.
Untuk mencegah kecacatan dan kematian karena stroke, penderita harus
diperlakukan dengan prinsip ‘time is brain’. Menurut cara pandang ini, serangan
stroke akut merupakan keadaan darurat yang harus segera ditangani. Terapi stroke
harus dimulai sedini mungkin, agar tidak terjadi kecacatan dan kematian.
Beberapa penelitian klinik telah menunjukkan bahwa iskemia serebral yang
berlangsung lebih dari 6 jam dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara
permanen.
Strategi pengobatan stroke iskemik saat ini tertuju pada tatalaksana
modifikasi faktor resiko melalui kombinasi perubahan gaya hidup, termasuk diet,
olahraga, henti merokok, operasi karotis pada resiko tinggi dan terapi
farmakologik dengan antihipertensi, antihiperlipidemia, antikoagulan dan atau
antiplatelet.
Strategi pengobatan stroke iskemik ada 2, yaitu:
a. Reperfusi yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk
memperbaiki area iskemik dengan obat-obatan antitrombotik
(antikoagulan, antiplatelet dan trombolitik)
b. Neuroproteksi yaitu mencegah kerusakan otak agar tidak berkembang
lebih berat akibat adanya area iskemik. Obat yang digunakan antara lain
pirasetam, CPD cholin dan lain-lain.
Obat-obatan yang digunakan pada stroke infark, antara lain:
a. Terapi antiplatelet
Terapi antiplatelet memegang peran penting dalam prevensi jangka
panjang stroke iskemik dan kejadian vaskuler pada penderita yang telah
25
mengalami stroke iskemik akut atau TIA. Pada meta analisis dari 287 studi
penelitian yang melibatkan penderita dengan resiko tinggi untuk kejadian
vaskuler iskemik terapi antipletelet menurunkan resiko stroke sebesar
30%. Beberapa faktor membantu kita menentukan pemilihan penggunaan
antiplatelet yang harus segera diberikan pada TIA atau stroke iskemik.
Faktor-faktor seperti penyakit komorbid, efek samping obat dan biaya
pengobatan akan mempengaruhi penentuan pemilihan obat, mulai dengan
aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dan dipyridamole ER, ADP
antagonis reseptor ticlopidine dan clopidogrel. Aspirin merupakan
antiplatelet yang lebih murah dan akan berpengaruh pada kepatuhan
jangka panjang. Belum cukup data untuk merekomendasikan pilihan
antiplatelet selain aspirin. Tidak terdapat bukti untuk meningkatkan dosis
aspirin akan memberikan keuntungan tambahan.
b. Aspirin
Aspirin dengan dosis antara 50 hingga 1300 mg per hari, efektif untuk
prevensi stroke iskemik setelah serangan stroke atau TIA. Penelitian
dengan dosis tinggi dan rendah menunjukkan efikasi yang sama dalam
prevensi kejadian vaskuler. Dan pada dosis tinggi aspirin memberikan
resiko perdarahan saluran cerna yang lebih besar. Dampak terapi
disebabkan kemampuan aspirin untuk menghambat cyclo-oxygenase
secara ireversibel dan mengurangi pembentukan thromboxane A2 yang
diketahui sebagai aktivator untuk trombosit yang kuat. Pemberian aspirin
dalam waktu 48 jam pada stroke iskemik akut memberikan keuntungan
yang kecil, tapi bermakna secara statistic dalam mengurangi terjadinya
stroke iskemik sekunder. Dalam studi International Stroke Trial (IST)
dilaporkan lebih sedikit penderita yang memperoleh stroke berikutnya
pada kelompok yang diberikan aspirin dalam 14 hari pertama stroke (RR
23%). Pada CAST (Chinese Acute Stroke Trial) penderita yang diberikan
aspirin lebih sedikit mengalami serangan stroke ulang dalam 30 hari
pengamatan (RR 30%). Masih diperdebatkan tentang dosis aspirin yang
optimal. Dosis harian antara 30 hingga 325 mg dianjurkan pada
pencegahan stroke sekunder. Beberapa penderita masih menunjukkan
26
kejadian vaskuler walaupun mereka telah mempergunakan aspirin.
Beberapa penderita menunjukkan resisten terhadap aspirin secara biokimia
seperti yang dilaporkan pada penelitian agregasi platelet. Pada keadaan
seperti ini dianjurkan segera menentukan pilihan antiplatelet yang lain
untuk prevensi stroke.
c. Dipyridamole
Dipyridamole adalah inhibitor phosphodiesterase platelet yang
mempertahankan cyclic adenosine monophosphate, sehingga mencegah
agregasi platelet. Dipyridamole juga bekerja sebagai vasodilator dan
mencegah adhesi platelet ke dinding pembuluh darah. Studi dipyridamole
hanya untuk prevensi sekundee stroke. European Stroke Prevention Study
(ESPS 1) membandingkan dipyridamole dan aspirin terhadap plasebo dan
mendapatkan penurunan resiko relative stroke sebesar 38% lebih besar
pada mereka dengan terapi kombinasi. Diduga ini adalah efek tambahan
dari dipyridamole dan selanjutnya pada studi ESPS 2 diperoleh hasil ER
dipyridamole 200 mg 2 kali sehari bersama dengan aspirin 50 mg per hari
adalah lebih superior dibanding monoterapi dengan aspirin denga
penurunan resiko absolute sebesar 2,9% dan RR 23%. Juga lebih efektif
dibanding plasebo dengan RR 37%. Sering dijumpai keluhan nyeri kepala
yang menyebabkan penghentian obat, namun secara statistik tidak ada
peningkatan angka perdarahan secara bermakna dibandingkan dengan
pengobatan aspirin momoterapi.
d. Triclopidine
Sebagai derivate dari thienopyridine telah dilakukan evaluasi
ticlopidine pada 3 penelitian secara acak (CATS-TASS-AAAPS) dengan
penurunan resiko keluaran sebesar 23% dibanding plasebo. Kerja samping
obat yang terbanyak adalah diarrhea (12%), gejala gastrointestinal lain dan
rash pada kulit serta dengan kemungkinan frekuensi perdarahan yang sama
dengan aspirin. Neutropenia terjadi pada 25% kasus dan juga dilaporkan
gambaran thrombotic thrombocytopenic purpura pada penderita dengan
ticlopidine.
e. Clopidogrel
27
Clopidogrel adalah inhibitor fungsi platelet yang bersifat ireversibel
dengan hambatan pada reseptor adenosine diphosphat untuk mencegah
agregasi platelet. Clopidogrel memiliki profil kemanan yang sama dengan
aspirin pada penderita dengan resiko tinggi pada kejadian iskemin yang
berulang namun disebutkan angka kejadian perdarahan gastrointestinal dan
intracranial yang lebih rendah. Tolerabilitas copidogrel telah ditunjukkan
pada studi CAPRIE dan MATCH dimana copidogrel diberikan untuk
jangka waktu 1,5 hingga 3 tahun. The Copidogrel versus Aspirin in
Patients at Risk of Ischemic Events (CAPRIE) studi merupakan penelitian
terkontrol yang meelibatkan sekitar 20000 penderita yang diberikan
aspirin 325 mg atau copidogrel 75 mg per hari. Studi ini menunjukkan
penurunan resiko absolute 0,5% dan sebesar 8,7% penurunan resiko
relative untuk kelompok copidogrel pada primary end point.
f. Terapi antikoagulan
Bukti meta analisis menunjukkan warfarin adalah efektif pada
pencegahan primer stroke thromboembolik pada penderita dengan fibrilasi
atrium (AF) dengan penurunan resiko sebesar 68%. Lebih jauh pada studi
investigasi pencegahan stroke sekunder pada penderita dengan AF non
rematik dan TIA atau stroke minor yang baru terjadi, warfarin lebih efektif
dibanding aspirin dengan perbandingan 90 terhadap 40 kejadian vaskuler
(utamanya stroke) yang dapat dicegah tiap tahun untuk setiap 1000
penderita. Percobaan pemberian inhibitor thrombin ximelagatran pada AF
hasilnya setara dengan warfarin, namun FDA tidak merekomendasikan
obat ini berdasarkan resiko keamanan obat. Studi warfarin dibandingkan
dengan aspirin untuk pencegahan serangan ulang iskemia serebral yang
bukan berasal dari jantung dihentikan karena tingginya komplikasi
perdarahan dengan warfarin (WARSS-Warfarin Aspirin Recurrent Stroke
Study) dan tidak ada peebedaan yang bermakna efektivitas warfarin dan
aspirin untuk pencegahan serangan ulang stroke iskemik pada penderita
dengan stroke non kardioemboli; perbedaan lebih besar dan tidak
bermakna antara aspirin dibanding warfarin pada pria dibandingkan
wanita. Hasil studi WASID menunjukkan warfarin tidak lebih baik untuk
28
pencegahan sekunder penderita dengan stenosis intracranial. Lebih banyak
dijumpai komplikasi perdarahan dengan mortalitas lebih besar pada
kelompok warfarin. Sesuai dengan konsensus, maka warfare hanya
diberikan pada penderita dengan AF, sumber emboli t yang jelas berasal
dari jantung (katub prothesa, infark miokard dengan thrombus mural,
kardiomiopati dan gagal jantung kongesti) dan juga diindikasikan pada
thrombosis vena serebral.
g. Trombolitic agents (rtPA)
Pemberian suntikan rtPA intravena 0,9 mg/kg berat badan dengan dosis
maksimal 90 mg, dilakukan dengan prosedur tertentu. Berdasarkan criteria
NINDS (National Institute of Neurogical Disorders and Stroke),
pemberian rtPA hanya dilakukan dalam selang waktu 3 jam setelah
serangan stroke iskemik akut dengan syarat, antara lain:
- Gambaran CT-Scan kepala tidak menunjukkan adanya perdarahan
- Penderita tidak pernah mengalami trauma kepala maupun serangan
stroke selama 3 bulan terakhir
- Serta tekana darah sistolik < 185 mmHg dan diastolik < 110 mmHg
h. Neuroprotektan
Hingga saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui manfaat neuroprotekta yang diduga dapat melindungi sel
neuron dari kematian akibat stroke iskemik akut. Beberapa diantaranya
adalah golongan penghambat kanal kalsium (nimodipin, flunarisin),
antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel, selfotel, serestat,
magnesium), agonis GABA (klomethiazol), penghambat peroksidase lipid
(titrilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimomab) dan activator metabolic
(pirasetam, sitikolin). Sangat diharapkan pemberian neuroprotektan pada
stroke iskemik akut akan dapat menurunkan angka kecacatan dan
kematian.
3.9 Pencegahan10,11
Terdapat dua cara untuk mencegah terjadinya stroke, yaitu:
1. Pencegahan primer
29
Pencegahan primer adalah langkah-langkah untuk mencegah terjadinya
ateroma, yaitu:
Mengatur tekanan darah baik sistolik meupun diastolic
Mengurangi makan asam lemak jenuh
Berhenti merokok
Minum aspirin 2 kali sehari, 300 mg per hari, pada:
- Individu dengan anamnesa keluarga dengan penyakit vaskuler
- Umur lebih dari 50 tahun
- Tidak ada ulkus lambung
- Tidak ada penyakit mudah berdarah
- Tidak alergi aspirin
2. Pencegahan sekunder
Bila tedapat gejala TIA atau iskemik retina, maka ini merupakan bukti bahwa
pencegahan primer gagal. Gejala ini merupakan tanda bahwa terjadi
tromboemboli atau penyakit pembuluh darah yang primer. Cara-cara pencegahan
sekunder, antara lain:
a. Hipertensi diturunkan melalui
- Minum obat antihipertensi
- Mengurangi berat badan
- Mengurangi netrium dan meningkatkan kalium
- Olahraga
- Jangan minum amfetamin
b. Turunkan kadar kolesterol yang meningkat
c. Mangurangi natrium makanan dan meningkatkan intake kalium melalui
sayur dan buah-buahan
d. Mengurangi obesitas
Karena resiko hipertensi dan DM berkurang, maka secara sekunder resiko
stroke juga berkurang
e. Mengurangi minum alkohol
f. Mengurangi rokok
g. Mengurangi kadar gula darah pada penderita DM
h. Mengontrol penyakit jantung
30
Penyakit jantung yang berbahaya antara lain: Gangguan irama, gangguan
katub dan kerusakan miokard
i. Olahraga
Olahraga akan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar LDL dan
mengurangi obesitas
j. Mengurangi hematokrit kalau meningkat
Phlebotomy dianjurkan untuk mengurangi hematokrit yang meningkat
k. Mengurangi trombositosis dengan aspirin
l. Berilah kontrasepsi estrogen rendah pada wanita dengan hipertensi dan
yang menghisap rokok
m. Hindari penyalahgunaan obat narkotik
Komplikasi dari pemkaian narkotika adalah krisis hipertensi dengan infark
atau perdarahan otak
n. Obat-obat antitrombotik
Berilah antiplatelet agregating agents. Agregasi trombosit ada 3 jalur,
yaitu:
- Asam arakhidonat
- ADP
- Platelet activating factor (PAP)
Aspirin (menghambat jalur 1), dosis 300 mg/hari 2 kali sekali. Ticlopidine
(menghambat jalur 2 dan 3), kombinasi aspirin dan ticlopidine adalah yang
terbaik.
o. Pengobatan pembedahan
Carotid endarterectomy, maupun EC/IC hypass, ternyata tidak bermanfaat
untuk pencegahan stroke
3.10 Prognosis
Indikator prognosis adalah : tipe dan luasnya serangan, age of onset, dan
tingkat kesadaran. Hanya 1/3 pasien bisa kembali pulih setelah serangan stroke
iskemik. Umumnya, 1/3-nya lagi adalah fatal, dan 1/3- nya mengalami kecacatan
jangka panjang. Jika pasien mendapat terapi dengan tepat dalam waktu 3 jam
setelah serangan, 33% diantaranya mungkin akan pulih dalam waktu 3 bulan.
31
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala,
sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress
akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke.
3.11 Komplikasi
Pasien yang mengalami gejala berat, misalnya imobilisasi dengan
hemiplegia berat, rentan terhadap komplikasi yang dapat menyebabkan kematian
lebih awal, yaitu: Pneumonia, septicemia (akibat ulkus dekubitus atau infeksi
saluran kemih), trombosis vena dalam dan emboli paru, infark miokard, aritmia
jantung, dan gagal jantung, ketidakseimbangan cairan. Sekitar 10% pasien dengan
infark serebri meninggal pada 30 hari pertama. Hingga 50% pasien yang bertahan
akan membutuhkan bantuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Faktor-
faktor yang mempunyai kontribusi pada disabilitas jangka panjang meliputi ulkus
decubitus. epilepsy, jatuh berulang dan fraktur, spastisitas dengan nyeri,
kontraktur dan kekakuan sendi bahu.
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien didiagnosis stroke infark emboli berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis yang
mendukung stroke infark emboli yaitu :
Pasien mendadak lemas pada tubuh dan tangan serta kaki kanan
Pasien mengalami penurunan kesadaran
Tidak dapat berkomunikasi dengan sekitar, baik bicara dan memahami
perkataan orang lain
Keluhan timbul secara mendadak setelah beraktifitas
Sebelumnya dari keterangan keluarga pasien tidak mengeluh seperti pusing,
muntah, dada berdebar-debar, nyeri pada dada kiri dan sesak nafas.
Riwayat hipertensi tidak terkontrol
Sedangkan dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ditemukan
Kesadaran stupor dengan GCS 315
Vital Sign
o TD : 200/150 mmHg
o Nadi : 76 x/menit, ireguler
Afasia (+)
Pemeriksaan nervus cranialis sulit dievaluasi
33
Didapatkan lateralisasi pada ekstremitas kanan
Didaptkan hemiparese dextra
Kekuatan motorik
0 5
0 5
Reflek fisiologi
BPR +3 +2 KPR +3 +2
KPR +3 +2 APR +3 +2
Reflek patologis
Tungkai Kanan Kiri Lengan
- Babinski : + - - Hoffmann Tromner : -/-
- Chaddock : + -
- Oppenhein : + -
- Rossolimo : Tidak dilakukan
- Gordon : + -
- Schaefer : + -
- Mendel-Bechterew : Tidak dilakukan
- Stransky : Tidak dilakukan
- Gonda : - -
Pada pemeriksaan CT-Scan kepala didapatkan gambaran tampak lesi hipodens
batas kurang tegas, wedge-shapes di lobus temporoparietal kiri sesuai
dengantentori A. Cerebri media kiri disertai gambaran MCA kiri dense sign dan
effacerment sulci dan gyri di regio tersebut. Kesimpulan : Subacute embolic
cerebral infarction di lobus temproparietal kiri sesuai dengan tentori A. Cerebri
media sinistra.
Pada pemeriksaan EKG
34
o Irama : Irreguler
o HR : 142/menit
o Sinus : Sinus tachycardi
o AF ditandai dengan absennya gelombang P
Pada hasil pemeriksaan fisik pemeriksaan nervus cranialis sulit dievaluasi
dikarenakan kondisi pasien yang mengalami penurunan kesadaran sehingga tidak
bisa berkomunikasi dengan sekitar, baik berbicara dan memahami perkataan
orang lain. Pada pemeriksaan refleks fisiologis ditemukan hiperrefleks dan
beberapa pemeriksaan patologis positif pada ekstremitas kontrakateral
menunjukan lesi bersifat UMN (upper motoric neuronal).
Pada pemeriksaan CT-Scan kepala didapatkan gambaran tampak lesi
hipodens batas kurang tegas, wedge-shapes di lobus temporoparietal kiri sesuai
dengan tentori A. Cerebri media kiri disertai gambaran MCA kiri dense sign dan
effacerment sulci dan gyri di regio tersebut. Gambaran tersebut didapatkan khas
pada Subacute embolic cerebral infarction. Emboli yang terperangkan di arteri
serebri akan menyebabkan reaksi endotel pembuluh darah, permeabilitas
pembuluh darah meningkat, vaskulitis atau aneurisma pembuluh darah, iritasi
lokal, sehingga terjadi vasospasme lokal. Selain keadaan diatas, emboli juga
menyebabkan obstruksi aliran darah, yang dapat menimbulkan hipoksia jaringan
dibagian distalnya dan statis aliran darah, sehingga dapat membentuk formasi
rouleaux, yang akan membentuk klot pada daerah stagnasi baik distal maupun
proksimal. Gangguan fungsi neuron akan terjadi dalam beberapa menit kemudian,
jika kolateral tidak segera berfungsi dan sumbatan menetap. Bagian distal dari
obstruksi akan terjadi hipoksia atau anoksia, sedangkan metabolisme jaringan
tetap berlangsung, hal ini akan menyebabkan akumulasi dari karbondiaksida
(CO2) yang akan mengakibatkan dilatasi maksimal dari arteri, kapiler dan vena
regional. Akibat proses diatas dan tekanan aliran darah dibagian proksimal
obstrupsi, emboli akan mengalami migrasi ke bagian distal. Keadaan hipoksia dan
peningkatan CO2 pada daerah distal yang terkena akan semakin luas sehingga
kerusakan neuron akan terjadi lebih luas. Maka dari itu klinis yang muncul pada
Subacute embolic cerebral infarction akan lebih berat dibandingkan jenis strok
lainnya.
35
Penatalaksanaan farmakologi pada kasus adalah : IVFD NS 20 tetes/menit,
neurotropic : piracetam inj. 3 x 3 gr, AH2 reseptor antagonis: Ranitidin inj. 2 x 1
ampl IV, Antikoagulan : Simarc 1x2 mg. Ranitidine untuk mencegah stress ulcer.
Piracetam digunakan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada syaraf-syaraf
otak. Simarc diberikan sebagai antikoagulan untuk mencegah terjadinya bentukan
emboli berulang. Penatalaksanaan non-farmakologi pada kasus ini adalah
pemasangan NGT dan fisioterapi. Pemasangan NGT dilakuakan karena melihat
pasien yang tidak sadar sehingga perlu bantuan alat untuk memenuhi nutrisi. Pada
pasien dengan riwayat stroke perlu dilakukan fisioterapi untuk melatih motorik
yang mengalami parese.
Simarc (Na Warfarin) adalah anti koagulan oral yang mempengaruhi
sintesa vitamin K-yang berperan dalam pembekuan darah- sehingga terjadi deplesi
faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati dengan menghambat karboksilasi
vitamin K dari protein prekursomya. Karena waktu paruh dari masing-masing
faktor pembekuan darah tersebut, maka bila terjadi deplesi faktor Vll waktu
protrombin sudah memanjang. Tetapi efek anti trombotik baru mencapai puncak
setelah terjadi deplesi keempat faktor tersebut. Jadi efek anti koagulan dari
warfarin membutuhkan waktu beberapa hari karena efeknya terhadap faktor
pembekuan darah yang baru dibentuk bukan terhadap faktor yang sudah ada
disirkulasi. Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap trombus yang
sudah terbentuk, tetapi dapat mencegah perluasan trombus. Warfarin telah terbukti
efektif untuk pencegahan stroke kardioembolik. Karena meningkatnya resiko
pendarahan, penderita yang diberi warfarin harus dimonitor waktu protrombinnya
secara berkala.13,14
Farmakokinetik : Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1
jam setelah pemberian, kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam, Waktu paruh : 20-60
jam; rata-rata 40 jam, Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau
IV, Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal,
Ekskresi: melalui urine clan feses. Farmakodinamik : 99% terikat pada protein
plasma terutama albumin, absorbsinya berkurang bila ada makanan di saluran
cerna.13,14
36
Indikasi peggunaan obat ini antara lain untuk profilaksis dan pengobatan
komplikasi tromboembolik yang dihubungkan dengan fibrilasi atrium dan
penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya emboli sistemik
setelah infark miokard (FDA approved), profilaksis TIA atau stroke berulang
yang tidak jelas berasal dari problem jantung. Kontraindikasi penggunaan simarc
yaitu pasien dengan hipersensitif terhadap warfarin atau komponen lain dalam
sediaan, hemoragi, hemofilia, trombositopenia purpura, leukemia, operasi mata
atau saraf, anestesia blok lumbar regional atau operasi besar lainnya, pasien yang
mengalami pendarahan pada saluran pencernaan, pernapasan, aborsi, anuerism,
defisiensi asam askorbat, riwayat pendarahan diastesis, prostatektomi, poliartritis,
pendarahan pada kolon, hemoragi serebrovaskular, eklampsia dan pre-eklampsia,
hipertensi tidak terkontrol, penyakit hepatik parah, perikarditis atau efusi
perikardial, endokarditis bakteri sub akut, visceral carcinoma, setelah punktur
spinal dan diagnostik lain atau prosedur terapi untuk pendarahan signifikan,
riwayat nekrosis yang diinduksi warfarin, pasien tidak patuh, kehamilan. 13,14
Interaksi obat : Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain
seperti asetaminofen, beta bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin,
gemfibrozil, hidantoin, glukagon, kuinolon, sulfonamid, kloramfenikol, simetidin,
metronidazol, omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi
non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat, karbamazepin dll. 13,14
Efek samping dapat terjadi perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis
kulit dan jaringan lain, alopesia, urtikaria, dermatitis, demam, mual, diare, kram
perut, hipersensitivitas dan priapismus. Hati- hati untuk usia di bawah 18 tahun
belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Hati- hati bila digunakan pada orang
tua. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat melewati plasenta
sehingga bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya. Dijumpai pada
ASI dalam bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui. 13,14
Sediaan simarc peroral bentuk tablet 2 mg, 2,5 mg, 5mg, 7,5 mg, dan10 mg.
Dosis inisial dimulai dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari.
Obat diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum
tidur agar dapat dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi
sangat tergantung pada kasusnya. Secara umum, terapi anti koagulan harus
37
dilanjutkan sampai bahaya terjadinya emboli dan trombosis sudah tidak ada.
Pemeriksaan waktu protrombin dilakukan setiap hari begitu dimulai dosis inisial
sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas terapeutik. Setelah
tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada penilaian dokter
dan respon penderita terhadap obat. Interval yang dianj urkan adalah 1-4 minggu. 13,14
Prognosis pada pasien stroke ditentukan berdasarkan tipe dan luasnya
serangan, age of onset, dan tingkat kesadaran. Hanya 1/3 pasien bisa kembali pulih
setelah serangan stroke iskemik dan lainnya akan mengalami gejala yang menetap.
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cerebrovascular disease adalah abnormalitas otak yang disebabkan oleh
proses patologi pembuluh darah. Manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral,
baik fokal maupun menyeluruh (global) yang berlangsung dengan cepat,
berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa ditemukannya
penyebab selain dari pada gangguan vaskuler (WHO).
Tujuan penatalaksanaan komprehensif pada kasus stroke adalah meminimalkan
jumlah sel yang rusak melalui perbaikan jaringan penumbra dan mencegah perdarahan
lebih lanjut pada perdarahan intraserebral, mencegah secara dini komplikasi neurologik
maupun medik dan mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan. Jika
secara keseluruhan dapat berhasil baik, prognosis pasien diharapkan akan lebih baik.
Pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya rujukan ke rumah sakit harus segera
dilakukan karena keberhasilan terapi stroke sangat ditentukan oleh kecepatan tindakan
pada stadium akut; makin lama upaya rujukan ke rumah sakit atau makin panjang saat
antara serangan dengan pemberian terapi, makin buruk prognosisnya.
4.2 Saran
38
Perlu perhatian khusus bagi para dokter pelayanan primer untuk mengetahui
dasar-dasar tentang stroke sebagai dasar penanggulangan untuk melakukan
pertolongan pertama dan rujukan ke rumah sakit terdekat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams and Victor's. 2000. Principles of Neurology. 7th edition.
2. Adams, H.P., et al. 2003. Guidelines for the Early Management Stroke of
patients With Ischemic Stroke. A Scientific Statement from the Stroke Council
of the American Stroke Association. Stroke 34:1056-1083
3. Asinger RW. Cardiogenic brain embolism. The second report of the cerebral
embolism task force. Arc. Neurol. 1989 (46): 727-43
4. Helgason CM. Cardioembolic stroke: topography and pathogenesis in
cerebrovascular and brain metabolism reviews. New York: Raven Press, 1989:
28-58
5. Chandra, B. 1994. Neurologi Klinik. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK Unair.
Surabaya
6. Harrison, P., Lewis. 2006. Harrison Principles of Internal Medicine. 16th
Edition. Pennsylvania: Mc Graw Hill
7. Caplan RL. Stroke a clinical approach. 2nd ed. Boston: Butterworth, 1993:
349-60
8. Wahjoepramono EJ, Stroke : Tatalaksana Fase Akut. Jakarta : FK Universitas
Pelita harapan ; 2005. p. (f.risk),171-5
39
9. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
10. Silbernagl, Stefan. 2006. Teks Atlas Patofisiologi. Jakarta: EGC
11. Warlow, C.P., et al. 1996. Stroke. A Practical Guide to Management. London:
Blackwell Science. pp 598-649
12. Widjaja, D. 2006. Biomolecular Events in Acute Ischemic Stroke. Department
of Neurology. Airlangga University. Faculty of Medicine. Surabaya
13. Lexi-Comp's Drug Information Handbook - 14th edition, 2006
14. Karmila N, Pengaruh Pemberian Warfarin. e-USU Repository :2010. p.17-30
Avaiableat
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6349/1/10E00182.pdf
accessed on : 5 Desember 2012.
40