Isi Lapkas Peritonitis
-
Upload
fathin-rahmani-salman -
Category
Documents
-
view
23 -
download
1
description
Transcript of Isi Lapkas Peritonitis
BAB I
STATUS PASIEN
No. CM : 310823
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SW
Umur : 12 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Datar Gunung Tugu
Tgl MRS : 11 Juni 2015
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri di seluruh bagian perut sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak 1
hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus, dan semakin sakit jika bergerak. Selain itu,
perut terasa keras dan kembung. Pasien mual dan muntah setiap selesai makan, muntah
berisi makanan ± ½ gelas aqua, namun muntah terakhir berwarna hijau. Pasien juga
mengeluh demam dan BAB cair >10x, lendir (-), darah (-) dalam 12 jam terakhir. Padahal
dalam 4 hari terakhir pasien tidak bisa BAB dan kentut.
Pasien memiliki riwayat jatuh dari pohon 1 minggu SMRS, dan bagian anusnya
tertusuk ranting pohon.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat. Pasien tidak pernah minum obat dalam
jangka waktu yang lama. Riwayat mengonsumsi pencahar (-)
Riwayat Psikososial
Pasien tidak merokok
1
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Status Gizi : Tampak Kurus
Vital Sign
TD : 110/70 mmHg
N : 116 x/menit
R : 24 x/menit
S : 37.5oC
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata :
• Pupil : bentuk bulat, diameter 3 mm/3 mm
• Refleks pupil : +/+, isokor
• Konjungtiva : anemis -/-
• Sklera : ikterik -/-
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)
Thorax :
Paru
• Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris
• Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan
(-), vokal fremitus simetris
• Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
• Auskultasi : vesikular (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
• Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula sinistra
• Perkusi : batas jantung relatif dalam batas normal
• Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
2
Abdomen :
• Inspeksi : Distensi abdomen (+), defense muscular (+)
• Auskultasi : Bising usus 2x/menit
• Perkusi : Timpani
• Palpasi : perut distensi tegang dan nyeri tekan seluruh kuadran abdomen
(+), tidak ada pembesaran hepar dan spleen
Ekstremitas : akral dingin, RCT < 2 detik, edema (-/-)
Rectal Toucher
• Tonus sfingter ani baik
• Mukosa rektum licin
• Nyeri tekan (+)
• Massa (-)
• Pada handscoen, darah (-), lendir (-), feses (+)
RESUME
Laki-laki, 12 tahun, nyeri di seluruh bagian perut sejak 1 hari SMRS. Perut terasa
keras dan kembung. Nausea (+), vomitus (+), febris (+), diare (+). Sebelumnya tidak bisa
BAB dan flatus. Memiliki riwayat jatuh dari pohon dengan bagian anusnya tertusuk ranting
pohon.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : nadi 116x/menit, suhu 37.5°C,
Pernapasan 24 x/menit, tekanan darah 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
adanya distensi abdomen, defans muscular, nyeri tekan di seluruh regio abdomen, BU
menurun.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Peritonitis e.c. perforasi rektum
Peritonitis e.c. typhoid perforasi
3
PENATALAKSANAAN
Rencana Terapi
• Puasakan
• NGT à dekompresi
• DC
• Farmakologi
o Ranitidine 2 x 0.25 mg
o Metronidazole 3 x 500 mg
• Intervensi operative : Laparotomi Eksplorasi
Rencana Diagnostik
• Pemeriksaan laboratorium : hematologi rutin, elektrolit
• Foto polos abdomen 3 posisi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 14.2 13.5-17.5 g/dL
Hematokrit 30.2 42-52 %
Eritrosit 2.77 4.7-6.1 10^6/µL
Leukosit 9.4 4.8-10.8 10^3/µL
Trombosit 223 150-450 10^3/µL
MCV 108.9 80-94 fL
MCH 51.3 27-31 pg
MCHC 47.1 33-37 %
RDW-SD 142.8 37-54 fL
PDW 17.7 9-14 fL
MPV 12.8 8-12 fL
Kimia Klinik
Glukosa Darah Puasa 75 70-110 mg%
Natrium (Na) 128.9 135-148 mEq/L
4
Kalium (K) 2.93 3.50-5.30 mEq/L
Calcium Ion 0.61 1.15-1.29 mmol/L
AST (SGOT) 20 15-37 U/L
ALT (SGPT) 18 12-78 U/L
Ureum 57.6 10-50 mg%
Kreatinin 0.7 0-1.0 mg%
Imunoserologi
HbsAg Non reactive Non reactive
Widal (Salmonella
Typhi - O)
Negatif Negatif
Widal (Salmonella
Typhi - H)
Negatif Negatif
Foto Rontgen
Interpretasi :
Preperitoneal fat tidak jelas. Kontur kedua ginjal tidak jelas. Psoas line tidak jelas. Tidak
tampak konkremen opak. Distribusi udara dalam usus halus berlebih dengan penebalan
sebagian dindingnya, membentuk gambaran herring bone. Distribusi udara dalam kolon
normal. Air fluid level (+) step ladder pada posisi LLD, free air subdiafragma (+).
Skeletal yang terekspose tidak tampak osteofit.
Kesan : Menyokong ileus obstruktif letak tinggi, pneumoperitoneum
Cor, pulmo, pleura, skeletal tampak normal
Kesan : Menyokong adanya pneumoperitoneum ditandai bayangan udara subdiafragma
bilateral
5
LAPORAN OPERASI
WORKING DIAGNOSIS
Peritonitis et causa perforasi rektum
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut
dan dinding perut dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan bakterimia atau sepsis. Apabila tidak
ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal disebut peritonitis primer.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara
kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron di daerah
abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling
mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. Lapisan
peritonium dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa)
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri
saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf
autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan
atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila
dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot
yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka
akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk
dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya
untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena
adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan
seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi
nyeri.
7
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan
suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah.
Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan
limfatik melalui stomata kecil. Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu
gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid,
sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden &
descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
B. Anatomi
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh. Dinding perut mengandung struktur
muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dinding perut terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari
luar ke dalam, lapisan kulit yang terdiri dari :
1. Kutis
2. Subkutis
- Fascia superfisial (fascia camper)
- Fascia profunda (fascia scarpa)
8
3. Otot dinding perut
a. Kelompok ventrolateral
- Tiga otot pipih : Musculus obliquus abdominis eksternus, musculus obliquus
abdominis internus, musculus transversus abdominis
- Satu otot vertikal : musculus rectus abdominis
b. Kelompok posterior : musculus psoas major, musculus psoas minor, musculus
iliacus, musculus quadratus lumborum
4. Fascia tranversalis
5. Peritoneum
Dinding abdomen dilapisi oleh peritoneum parietale yang merupakan membrana
serosa tipis yang terdiri atas selapis mesotel yang terletak pada jaringan ikat dan
melanjutkan diri ke bawah dengan peritoneum parietale yang melapisi rongga pelvis.
Peritoneum dibagi dua :
1. Peritoneum pars parietal, yang melapisi dinding internal abdominal serta mendapat
suplai neurovaskular dari regio dinding yang dilapisinya
2. Peritoneum pars visceral, yang melapisi organ intraperitoneal dan mendapat suplai
neurovaskular dari organ yang ditutupinya
Organ peritoneal adalah organ yang ditutupi oleh peritoneum pars visceral, di
antaranya : hati, spleen, gaster, duodenum pars bulbosa, jejunum, ileum, colon
9
transversum, colon sigmoid, rektum pars superior. Organ retroperitoneal terdiri dari
ginjal, kelenjar adrenal, pankreas, sisa duodenum, colon ascenden dan descenden.
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian
belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian
bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar
ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies
superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis
eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya
lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan
peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis
dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. Dinding perut
membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-
aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan,
dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga
10
pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh
perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal
terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika
inferior. Banyaknya vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersarafi
secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. Lumbalis I.
C. Etiologi
Infeksi peritoneal diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi bakteri hematogen dari organ peritoneal atau monomikrobial.
Penyebab paling sering peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis
akibat penyakit hepar kronis. Kira- kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan
asictes akan berkembang menjadi peritonitis bacterial.
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder polimonobakterial. Sering terjadi pada appendicitis,
perforasi gaster, kolon akibat diverkulitis, volvulus.
3. Peritonitis tersier
Peritonitss yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman dan akibat
tindakan operasi sebelumnya.
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi
dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga
karena trauma abdomen.
Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok
Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk,
tepung).
11
Area sumber Penyebab
Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma,
limfoma, tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan,
batu empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan
apendiks
Iskemia kolon
Divertikulitis
Keganasan
12
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan
ovarium
Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma
* Keterangan, Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian
atas, termasuk pankreas, saluran empedu, dan kolon. Kadang bisa juga berasal dari
trauma endoskopi. Jahitan operasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering
terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis
sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi) seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk
penyakit inflamasi (mis. apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko
kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko ini dapat
meningkat hingga lebih dari 50% pada penyakit kolon gangren dan perforasi viseral.
Setelah operasi trauma abdomen juga dapat mengakibatkan peritonitis sekunder dan
abses. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses juga makin tinggi dengan adanya
keterlibatan duodenum, pankreas, perforasi kolon, kontaminsai peritoneal, syok
perioperatif, dan transfusi yang masif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan
karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi
seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya
peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah
antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia
13
coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif
lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae
15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada
kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus,
10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan
inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab
asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri
gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi
asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif.
Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan
jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan
bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan
mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan
spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian
cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan
terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan
organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau
tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid
sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk
infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan
IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari
95% pasien peritonitis didahului dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami
gejala klinis yang sangat mirip asites. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan
biasanya tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier,
peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi
penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril
atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya
cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari
14
organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga
abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien
peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.
D. Patofisiologi
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya : apendisitis, salpingitis),
rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks,
sedangkan stafilokok dan streptokok sering masuk dari luar.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang
kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktifitas peristaltik berkurang, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung
usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.
E. Gejala
1. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya datang dengan onset tiba-tiba, hebat pada penderita dengan perforasi,
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, rasa
seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri lebih terasa pada daerah
di mana terjadinya peradangan peritoneum. Menurunnya intesitas dan penyebaran
dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intesitasnya
15
bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak
seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika
digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
2. Dinding perut akan terasa tegang (defans muskular), biasanya karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi yang menyakitkan,
atau bisa pula tegang karena iritasi peritoneum.
3. Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita ditemukan gejala anoreksia, mual, muntah. Penderita diikuti badan
terasa demam dan mengigil hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh dapat
mencapai 38oC sampai 40oC.
4. Facies hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, dan muka tampak pucat.
Peritonitis dengan facies hiprocrates biasanya pda stadium pre terminal. Hal ini
ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut difleksikan dan respirasi
interkosta yang terbatas karena gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.
5. Syok
Syok dapat terjadi oleh dua faktor. Yang pertama akibat perpindahan cairan
intravaskular ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua
disebabkan terjadinya sepsis generalisata.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Merupakan tes yang paling sederhana dilakukan adalah hitung sel darah dan
urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih lebih dari 20.000/mm. Pada
perhitungan diferensial menunjukan pergeseran ke kiri dan dominasi oleh
polimononuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah
leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada peritonitis adalah dilakukan foto thoraks PA lateral serta
foto polos abdomen. Pada foto thoraks dapat menunjukkan gambaran proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Pada foto
16
polos diafragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibatnya
adanya udara bebas dalam cavum peritoneum. Pada pemeriksaan foto polos
abdomen dijumpai asites, tanda-tanda obstruksi usus berupa air-udara dan kadang-
kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon
menunjukkan dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik. Usus-usus yang melebar
biasanya berdinding tebal.
G. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dan
sebagainya) atau penyebab radang lainnya.
Terapi antibiotika harus diberikan segera setelah diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan
radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan
endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi
rongga peritoneum.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal di garis tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh
abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan di
atas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Towsend, M. Jr, dkk. Sabiston textbook of Surgery. Elsivier. United State of America.
2008
2. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger textbook of Surgery 9th edition. Appelton-Century
Corp
3. Fauci et al. 2008, Horrison’s Principal of Internal Medicine Volume 1, McGraw hill.
4. Brunicardi, F. Charles, dkk. Schwartz’s Principles of Surgery Eight Edition.
5. Zinner M. Dkk. Abdominal Operations tenth editions. United States of America. 1997.
18