Informed Consent

download Informed Consent

of 31

description

inform counsent

Transcript of Informed Consent

INFORMED CONSENTMenurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:

1. Diagnosa yang telah ditegakkan.2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ). Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:

1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

Tujuan Informed Consent:a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

Sumber: Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia

MALPRAKTEK?Banyak kasus yang dilaporkan sebagai 'malpraktek' sebenarnya bukan benar benar malpraktek. Hubungan yang tidak harmonis antara dokter dan pasien, salah satunya akibat komunikasi yang tidak berjalan seperti yang diharapkan adalah salah satu faktor pemicunya. Dokter, disatu sisi sering mengabaikan empati, yang sebenarnya justru paling diharapkan pasien. Sebagian besar keluhan ketidak puasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin baik antara dokter dengan pasien dan keluarga pasien. Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk memeriksa dan memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga pasien. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan kemungkinan yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan pemeriksaan berikutnya, bukan hanya memeriksa pasien dan memberi obat saja. Pasien juga perlu untuk menanyakan ke dokter, minta dijelaskan kemungkinan kemungkinan penyakitnya.

Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan malpraktek. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi faktor faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan regiment therapeutic. Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberi jaminan proses yang sebaik mungkin, sama sekali tidak menjanjikan hasil. Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan mal praktek.

Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal hal diluar dugaan karena harus ada bukti bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan tertulis ( Informed Consent ), maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh karena itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib memberi penjelasan yang sejelas jelasnya agar pasien dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya.

Istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat, karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga bersalah ini dapat disalahgunakan oleh pihak pihak tertentu untuk kepentingan sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan. Masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan oleh dokter atau RS yang ada, pada umumnya merupakan masalah miskomunikasi antara pasien dan dokter, sehingga yang tepat adalah istilah "Sengketa Medik". Harus dianalisis terlebih dahulu setiap peristiwa buruk ( adverse event ) yang terjadi, sebab tidak semua adverse event identik dengan malpraktik kedokteran. Setelah dianalisis, baru dapat diketahui apakah masuk katagori pidana atau kecelakaan ( misadventure ). Sengketa Medik yang ada harus diselesaikan melalui peradilan profesi terlebih dahulu.

Sumber:Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti, S.H, M.Hum, M.ScHukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, Ns.Ta'adi, S.Kep, M.HKesFarmacia vol VIII no !2 Juli 2009

PENCEGAHAN MASALAH HUKUM DALAM PRAKTIK KEDOKTERANMasyarakat yang mulai sadar hukum namun belum memahami bagaimana hukum itu, ditambah adanya aktor aktor intelektual yang sering kurang bertanggung jawab. menyebabkan masyarakat mudah terprovokasi. Disamping kita juga tidak boleh menutup mata, bahwa ternyata banyak masalah ketidak puasan pasien yang berasal dari pribadi pribadi dokter yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik, tidak berempati kepada penderita dan keluarganya. Jika hubungan dokter-pasien sudah erat, maka seorang pasien tidak akan begitu mudah menuntut dokternya, jika timbul sesuatu yang tidak diharapkannya. Akhir akhir ini makin sering terjadi tuntutan dan gugatan hukum terhadap para dokter dan RS di Indonesia. Untuk itu sudah selayaknya masyarakat kedokteran Indonesia dan RS melakukan usaha bersama secara proaktif, yang ditujukan untuk melindungi, mencegah atau paling sedikit mengurangi jumlah kejadian tuntutan kepada para dokter dan dokter gigi. Diantara upaya yang sangat mungkin dilakukan oleh dokter dan manajemen RS dalam usaha pencegahan maraknya tuntutan hukum tersebut, antara lain dengan:

1. Upaya Pencegahan Resiko.a. Product Liability Preventionb. Quality Assurancec. SOPd. Risk Managemente. Peningkatan Pengetahuan Hukum ( Kliniko Mediko Legal )f. Taat dan Patuh pada Hukum, Peraturan, Norma, Susila, Etika Profesi, dllg. Pintar berkomunikasi dan berempati dengan pasien dan keluarganya.h. Kepekaan sosial

2. Menyiapkan Legal Defencea. STR dan SIP yang valid dan relevanb. Rekam Medis yang baik, benar dan lengkapc. Informed Consent

3. Advokasi bagi Dokter Terlapor dari Organisasi Profesinya / Legal Aid / Penasehat Hukum.

4. Koperasi / Asuransi Anggota Profesi

Langkah mana yang akan menempati urutan awal dalam pencegahan resiko ini, tergantung kepada pribadi para dokter dan kebijaksanaan RS masing masing. Namun yang penting adalah ada kemauan dan usaha untuk mencegah terjadinya tuntutan hukum.

Sumber: Buku Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia

UU NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATANPerlindungan Pasien

Pasal 56(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secaracepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atauc. gangguan mental berat.

(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 290/MENKES/PER/III/2008TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri Kesehatan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803);4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit;7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.

M E M U T U S K A N :Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN.

BAB IKETENTUAN UMUMPasal 1Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

BAB IIPERSETUJUAN DAN PENJELASANBagian KesatuPersetujuanPasal 2(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.Pasal 3(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.Pasal 4(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.Pasal 5(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan.(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.Pasal 6Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien

Bagian KeduaPenjelasanPasal 7(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dane. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.f. Perkiraan pembiayaan.Pasal 8(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umumb. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringanc. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).Pasal 9(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.Pasal 10(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya.(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.Pasal 11(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan.Pasal 12(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.

BAB IIIYANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUANPasal 13(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan

BAB IVKETENTUAN PADA SITUASI KHUSUSPasal 14(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.Pasal 15Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.

BAB VPENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERANPasal 16(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.

BAB VITANGGUNG JAWABPasal 17(1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.(2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran.

BAB VIIPEMBINAAN DAN PENGAWASANPasal 18(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing.(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.Pasal 19(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masing-masing(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik

BAB IXKETENTUAN PENUTUPPasal 20Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.Pasal 21Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 26 Maret 2008Menteri Kesehatan,

PERNYATAAN IDI TENTANG INFORMED CONSENT1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri. Oleh karena itu, semua tindakan medis ( diagnostik, terapeutik maupun paliatif ) memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis. Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya ( "Informed Consent" ).

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi itu kepada keluarga terdekat. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting.

6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis ( berkaitan dengan informasi "Informed Consent" ). Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.

7. Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri. Untuk tindakan yang bukan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.

8. Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu itu.

9. "Informed Consent" diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah.

10. Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, "Informed Consent" diberikan oleh orangtua / kurator / wali.Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua / wali. "Informed Consent" diberikan oleh keluarga terdekat / induk semang ( guardian ).

11. Dalam hal pasien tidak sadar / pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan / atau darurat, yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan "Informed Consent" dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.

12. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik, maka RS / Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Sumber: Lampiran SKB IDI No.319/P/BA./88

ASPEK HUKUM INFORMED CONSENTPada dasarnya dalam praktik sehari hari, pasien yang datang untuk berobat ke tempat praktik dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan untuk dilakukan suntikan. Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dll. Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam keadaan tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien bisa mengerti dan memahami isi pembicaraan. Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent. Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:

1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:

1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).2. Tidak berupaya menekan ( Force ).3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).

Sumber:1. Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti S.H, M.Hum, M.Sc2. Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, Ns Ta'adi, S.Kep, M.HKes

PERLIDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA PROFESI KESEHATANTenaga profesi kesehatan harus mengembangkan dan mengetahui 16 Wajib Hukum Profesi Kesehatan dalam setiap tindakannya, supaya terhindar dari perkara sengketa medik. Ke 16 Wajib Hukum Profesi Kesehatan tersebut adalah:1. Adequate Information.Tenaga kesehatan harus aktif menanyakan sakit apa, dimana, kapan, bagaimana, berapa lama, dst.

2. Informed Consent.Tenaga kesehatan harus menginformasikan semua langkah atau tindakan yang akan dikerjakan beserta risiko risiko medis yang kemungkinan terjadi, mengingat pekerjaan medis adalah pekerjaan yang uncertain ( tidak pasti ).

3. Medical Record ( Rekam Medis ).Semakin lengkap suatu Rekam Medis semakin baik itikad seorang tenaga kesehatan dalam merawat pasien dan semakin kuat dalam kedudukan hukum.

4. Standard Profession of Care ( Doctrine of Necessity ).Biasa disebut dengan doktrin keseriusan, doktrin ini menggunakan doktrin necessity.

5. Second Opinion.Apabila dalam memberi pelayanan kesehatan kepada pasien, lebih dari 2 atau 3 kali tidak ada kemajuan, maka tenaga kesehatan wajib melakukan second opinion.

6. Medical Risk.Tenaga kesehatan harus selalu siap setiap saat mengantisipasi terjadinya risiko.

7. Medical Emergency Care.Artinya dalam keadaan darurat atau emergency, pelayanan kesehatan harus cepat dan tepat, risiko menjadi nomor dua.

8. Social Insurance of Health Care.Kesehatan menurut masyarakat internasional atau PBB harus dibantu oleh asuransi sosial, sebab pelayanan kesehatan adalah wajib hukumnya.

9. Medical Liability.Pembagian tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan akan memudahkan dalam pemecahan suatu masalah bila terjadi suatu sengketa medik.Dalam pembagian jenis tanggung jawab akan diketahui tugas, kewajiban dan tanggung jawab dari masing masing tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan akan lebih tenang dalam melaksanakan pekejaannya karena sudah dibatasi dengan hal hal yang tercantum dalam Management Medical Liability.

10. Negligent Medical Care ( Culpa Levisimma / Lichte Sculd ).Kesalahan dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan haruslah wajar, misalnya kesalahan karena kurang pengalaman, karena kurang pengetahuan sehingga menyebabkan kurang hati hati. Kesalahan tidak boleh lebih dari 2x. Tetap berpedoman pada SOP.

11. Contributory Negligence.Terhadap kesalahan yang terjadi diteliti darimana asalnya ( dari pasien / teknologi / tenaga medis / tenaga non medis ).

12. Assumption of Risk ( Volenti non fit injura ).Semua risiko medis yang akan terjadi sudah di asumsikan terlebih dahulu.

13. Medical Intervention.Pelayanan kesehatan harus selalu mengintervensi pelaksanaan wajib hukum Informed Consent dan Medical Record / Rekam Medis dalam setiap pelayanan kesehatan sebagai perlindungan hukum tenaga kesehatan.

14. Medicare Medicaid Program.Dalam setiap pemeliharaan kesehatan harus selalu memikirkan biaya kesehatan.Medical program harus selalu selaras dengan medicare program, misalnya tidak ada keluhan terhadap jantung maka tidak perlu dilakukan rekam jantung.

15. Medical Committee ( Intern Justice of Medical Profession ).Dalam pelayanan kesehatan harus ada badan komite medis yang menyusuri setiap kesalahan medis yang terjadi.

16. Acreditation of Health Care ( Joint Commission ).Badan akreditasi pelayanan kesehatan terdiri dari asosiasi medis ( kumpulan dokter, RS, pelayan kesehatan lainnya ), bukan dari pemerintah.Tugasnya membimbing, bukan memerintah atau menilai.

Sumber: Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti. S.H, M.Hum, M.Sc

Paragraf 2 UU RI NO 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERANPersetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran GigiPasal 451. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:

1. diagnosis dan tata cara tindakan medis;2. tujuan tindakan medis yang dilakukan;3. alternative tindakan laindari risikonya;4. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

PASAL 7d KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIASetiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk insani.

Penjelasan dan Pedoman PelaksanaanSegala perbuatan dokter terhadap pasien bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiannya. Dengan sendirinya ia harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia.

Kadang-kadang dokter terpaksa harus melakukan operasi atau cara pengobatan tertentu yang membahayakan. Hal ini dapat dilakukan asal tindakan ini diambil setelah mempertimbangkan masak-masak bahwa tidak ada jalan/cara lain untuk menyelamatkan jiwa selain pembedahan. Sebelum operasi dimulai, perlu dibuat persetujuan tertulis lebih dahulu atau dan keluarga (Informed Consent). Sesuai peratunan Menteri Kesehatan tentang informed consent, batas umur yang dapat memberi informed consent adalah 18 tahun.

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan seseorang yang pada suatu waktu akan menemui ajalnya. Tidak seorang dokterpun, betapapun pintarnya akan dapat mencegahnya.

Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berpikir dan mengumpulkan pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Semua usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani.

NFORMED CONSENTDr. Aswin W. Sastrowardoyo SpOGInformed consent adalah lebih daripada hanya sekedar mendapatkan tanda tangan seorang pasien pada suatu formulir persetujuan. Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu1. Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai orang yang memberi terapi atau melakukan tindakan mediklah yang harus menjelaskan dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini. Proses komunikasi ini tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus dibicarakan1:

1. Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui;2. Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan;3. Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan;4. Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa melihat biayanya maupun apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh asuransi);5. Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain yang tersedia; dan6. Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan atau tindakan tidak dilakukan.

Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai kesempatan untuk bertanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu pengobatan atau tindakan. Dengan demikian dia akan dapat membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik mengenai suatu intervensi medik. Keputusan yang dia ambil bisa berupa persetujuan maupun penolakan akan intervensi tersebut. Informed consent baru dianggap sah kalau diberikan oleh seorang pasien/klien yang kompeten dan diberikan secara sukarela2

INFORMED CONSENT, HUKUM, DAN ETIKA3Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kesehatan / kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda. Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap informed consent rumit dan kontroversial, intisari dari pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah dimengerti. Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Visi legal ini lebih berfokus pada kompensasi finansial daripada pada pemberian informasi dan izin yang diberikan pasien secara umum. Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis. Pasien mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter, yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral/etika datang dari prinsip menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai hak untuk membuat pilihan secara otonomi. Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk diinterpretasikan dan diperbandingkan. Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hal ini. Selanjutnya dibahas mengenai dasar-dasar etika dalam informed consent.

INFORMED CONSENT DAN ETIKA3,4Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika di dalam informed consent.:

1. Respek/menghargai terhadap otonomi (respect for autonomy)2. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence)3. Kemaslahatan (beneficence)4. Keadilan (justice)

Keempat prinsip ini bersifat prima facie, suatu istilah yang diperkenalkan filosof Inggris, W.D. Ross, yang berarti: Suatu prinsip adalah memikat, kecuali apabila prinsip tersebut mempunyai konflik dengan prinsip lain. Apabila terdapat konflik, kita harus memilih di antara keduanya. Selain itu, selain 4 prinsip ini, sering juga ditambahkan5:

5. Harga diri (dignity)6. Kebenaran dan kejujuran (truthfulness and honesty)

Penjelasan keenam hal di atas:1. Menghargai Otonomi (Voluntas aegroti suprema lex). Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti bahwa si pasien/klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa menghilangkan kebebasannya3,4.

2. Tidak menyebabkan yang buruk (non-maleficence / primum non nocere). Di dalam prinsip ini, doktertidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain. Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal yang diinginkan masyarakat secara common sense3,4.

3. Kemaslahatan (Salus aegroti suprema lex). Adalah kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan menghilangkan kecederaan dari pasien3,4. Dalam hal informed consent untuk ad. 2 dan ad. 3: adalah kewajiban dokter untuk memberi penjelasan mengenai pengobatan atau tindakan, baik manfaat maupun kekurangannya.

4. Keadilan. Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya3,4.

5. Harga Diri. Pasien, dan dokter mempunyai hak atas harga dirinya5.

6. Kebenaran dan Kejujuran. Kebenaran dan kejujuran adalah suatu keharusan di dalam hubungan dokter pasien / subyek. Informed consent diberikan oleh pasien / subyek berdasarkan informasi yang benar dan jujur5.

TOPIK INFORMED CONSENT DALAM PENGAJARAN6James Sabin melakukan pengajaran topik Medical Ethics (Informed Consent) dalam bentuk seminar. Setelah peserta didik membaca buku pegangan Principles of Biomedical Ethics (Beauchamp and Childress) dan The Learning Curve (Atul Gawande) di majalah New Yorker, peserta didik diminta membuat tulisan mengenai topik ini. Selanjutnya dilakukan diskusi dengan topik kasus-kasus khusus. Salah satu kasus yang dibicarakan adalah kasus dengan mahasiswa kedokteran yang diminta oleh chief residence untuk mengambil darah arteri dari lengan seorang pasien. Tindakan ini akan menimbulkan rasa sakit. Si mahasiswa mempunya hubungan yang beik dengan pasien yang berusia 64 tahun ini. Pertanyaannya adalah apa yang wajib disampaikan kepada pasien dalam hubungannya dengan informed consent tindakan ini? Informasi agar pasien mengerti tindakan yang akan diambil, dasar-dasar ilmiah di belakang tindakan itu, risiko dan manfaatnya dibicarakan. Apakah pasien harus tahu bahwa yang akan mengambil darah adalah seorang mahasiswa? Jawabannya: iya. Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah pasien harus diberitahu bahwa ini adalah kali pertama saya akan melakukan tindakan ini? pengajaran dilakukan dengan role-playing, dengan si pengajar sebagai obyek pemeriksaan. Seminar dan role-playing adalah cara yang baik untuk memperkenalkan berbagai aspek dari bioetika, termasuk di dalamnya informed consent. Dalam hal masalah di atas, para peserta didik akhirnya mengemukakan beberapa ide yang baik. Rumah sakit tempat mereka bekerja harus mempunyai kebijakan yang jelas dalam melatih mahasiswa melakukan tindakan. Pada saat akan melakukan tindakan, si mahasiswa akan menyatakan:Saya seorang mahasiswa, bekerja dengan dokter X. Saya belum pernah melakukan tindakan ini, tetapi saya sudah dilatih untuk melakukannya. Dokter X akan berada disini juga untuk meyakinkan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Apakah Bapak setuju?" Menarik sekali cara interaksi dosen-mahasiswa ini dalam mengungkap berbagai segi informed consent.

1. 1. Patient Physician Relationship Topics: Informed Consent. AMA web-site:http://www.ama-assn.org/ama/pub/physician-resources/legal-topics/patient-physician-relationship-topics/informed-consent.shtm2. 2. Cherry K. What is Informed Consent?http://psychology.about.com/od/iindex/g/def_informedcon.htm3. 3. Faden, RR, Beauchamp, TL. Foundations in Moral Theory p.3-14. In: A History and Theory of Informed Consent. Oxford University Press. 1986.4. 4. Principles of Bioethics. In the website: Ethics in Medicine. University of Washington School of Medicine.http://depts.washington.edu/bioethx/tools/princpl.html5. 5. Walter, Klein eds. The Story of Bioethics: From seminal works to contemporary explorations. Cited by Medical Ethicshttp://en.wikipedia.org/wiki/Medical_ethics6. 6. Sabin J. Teaching Medical Ethics (Informed Consent). Health Care Organizational Ethics. 2008http://healthcareorganizationalethics.blogspot.com/2008/02/teaching-medical-ethics-informed.html

Aswin W. Sastrowardoyo

INFORMED CONSENT25 January 2007 Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medisdr. Rano Indradi S, M.Kes (Health Information Management Consultant)Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama dalam proses pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu hal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right to determination). Dalam artikel ini akan dipaparkan pelaksanaan dari 3 hak mendasar tersebut berkaitan dengan proses pengisian formulir pernyataan menyetujui terhadap suatu rencana tindakan medis. Proses untuk menyatakan setuju ini disebut dengan Informed Consent. Hak dan kewajiban yang lain dari seorang pasien akan dipaparkan dalam artikel yang lain. Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu sarana pelayanan kesehatan (saryankes) seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik untuk menyembuhan (terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab penyakitnya (diagnostik). Pasien yang mengalami radang dan infeksi pada usus buntunya sehingga perlu dipotong melalui operasi, maka operasi ini termasuk tindakan medis terapeutik. Pada kasus penyakit lain, kadang-kadang dokter yang merawat perlu melakukan tindakan medis diagnostik, misalnya biopsi, pemeriksaan radiologi khusus, atau pengambilan cairan tubuh untuk pemeriksaan lebih lanjut guna memperjelas penyebab penyakit.

Hak atas informasiSebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko, persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu :Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau petugas medis lain yang diberi wewenang. Informasi ini meliputi :

* Bentuk tindakan medis* Prosedur pelaksanaannya* Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya* Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya* Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan* Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif tersebut

Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas, Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya, Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.

Kriteria pasien yang berhakTidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyatan, yaitu :

- Pasien tersebut sudah dewasa.Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun.

- Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.- Pasien dalam keadaan sadar.Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.

- Pasien dalam keadaan sehat akal.

Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya.Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.

Hak suami/istri pasienUntuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria dalam keadaan sadar dan sehat akal. Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.

Dalam keadaan gawat daruratProses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi. Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.

Tidak berarti kebal hukumPelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum. Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerima APAPUN resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien TIDAK AKAN menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.

/