ILWI Buletin No 02-2009

15
 uletin ILWI (  Indonesian Land reclamation & Water management Institute), adalah sebuah lembaga kajian dibidang reklamasi dan pengelolaan air. Lembaga ini berupaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan di bidang reklamasi & pengelolaan air kepada masyarakat. Salah satunya dengan penerbitan bulletin.  Buletin ini kami kirimkan secara gratis Tulisan, saran dan pemberitaan media menjadi bagian dari isi buletin ini. Alamat : Jl. Rajawali II No. 5A Manukan, Condong Catur Yogyakarta 55283 atau P.O. Box 7277/JKSPM Jakarta Selatan 12072 Email : [email protected]  Runtuhnya Tanggul Situ Gintung  No : 02-2009  April 2009

Transcript of ILWI Buletin No 02-2009

Page 1: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 1/15

 

uletin 

ILWI ( Indonesian Land reclamation &

Water management Institute), adalah

sebuah lembaga kajian dibidang

reklamasi dan pengelolaan air. Lembaga

ini berupaya untuk menyebarkan

informasi dan pengetahuan di bidang

reklamasi & pengelolaan air kepada

masyarakat. Salah satunya denganpenerbitan bulletin. 

Buletin ini kami kirimkan secara gratis 

Tulisan, saran dan pemberitaan media

menjadi bagian dari isi buletin ini.

Alamat :

Jl. Rajawali II No. 5AManukan, Condong Catur

Yogyakarta 55283

atau

P.O. Box 7277/JKSPM

Jakarta Selatan 12072

Email : [email protected]  

Runtuhnya TanggulSitu Gintung

 No : 02-2009

 April 2009

Page 2: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 2/15

 ILWI Buletin No 02-2009 2

Pengantar RedaksiPembaca yang budiman, berita tidak enak datang dipengujung

musim penghujan kali ini. Situ yang seharusnya menjadi penyelematwarga dari masalah banjir justru mengalami kegagalan teknis. Jutaanmeter kubik air mengalir cepat , merangsek hingga ke dalam rumah-rumah penduduk. Akibatnya fatal, tak hanya rumah dan harta bendayang hilang, bahkan puluhan nyawa manusia juga melayang sia-sia.

Kami turut merasa belangsukawa dan mengucapkan turutberduka cita atas meninggalnya beberapa warga Tangerang, Banten,yang menjadi korban jebolnya Situ Gintung, di Cireundeu, Tangerang.Kita sesali kejadian tersebut.

Pembaca, berkaitan dengan runtuhnya tanggul Situ Gintung,Buletin ILWI kali ini, akan membahas tentang kegagalan tanggultersebut, mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Kami jugamelengkapinya dengan membahas upaya-upaya kesiapasiagaan danmitigasi terhadap bencana, yang bagi kebanyakan masyarakat kitabelum menganggap serius masalah ini. Dimana hal ini juga terlihatdalam kasus jembatan Situ Gintung.

Disamping mengangkat permasalahan Situ Gintung, kami jugamenampilkan artikel lainnya yang berkaitan dengan banjir ataumanajamen air. Seperti usaha mencari jalan menuju Jakarta bebasbanjir , tanggul penahan badai di New Orleans, Amerika Serikat,penahan air dari air dan lai-lain. Pembaca, selamat menikmati buletinedisi ini.

Redaksi ILWI

Page 3: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 3/15

 ILWI Buletin No 02-2009 3

Antisipasi Lemah, Warga Tak Siap 

Besarnyanya jumlah korban akibat jebolnya Tanggul Situ Gintung, membuat banyak orang terperanjat.Disamping masalah teknis, kesiapsiagaan menghadapi bencana tersebut memang dipertanyakan. Perlu ada upaya untuk mempersiapkan warga dalam menghadapi bencana semacam ini.

Jumat pagi, 27 Maret 2009, sebagian warga baru

menyelesaikan Sholat Subuh di Masjid Jabarul Rohmah.

Saat beberapa orang mulai beranjak dari Masjid, yang

  jaraknya hanya sekitar seratus meter dari mulut Tanggul

Situ Gintung, itu, mendadak suara gemuruh yang diiringi

dengan aliran air, datang tepat ke arah Masjid. Warga

pun berlari menyelamatkan diri.

Tepat di depan Masjid air dengan jumlah besar

itu, terbelah menjadi dua. Meski tak membuat Masjid

ambruk, air tak tertahankan bergerak liar merangsek 

bangunan di kiri kanannya. Beberapa warga kalang kabut

keluar dari rumahnya, sayangnya sebagian lagi justru tak sempat menyelamatkan diri, mereka pun hanyut terbawa

air. Memilukan, beberapa orang yang hanyut justru

disaksikan sendiri oleh keluarganya.

Masyarakatpun mulai menyoroti kelemahan dari

tanggul ini, sehingga tak mampu menahan tekanan air

yang semakin banyak. Kontroversi mengenai kekuatan

struktur, nyaris membuat orang lupa akan perlunya

memperhatikan kesiapsiagaan warga setempat dalammenghadapi bencana. Padahal jika masyarakat setempat

sedikit lebih awas terhadap kemungkinan robohnya

tanggul tentu jumlah korban tak sebesar ini.

Sedikit melihat kebelakang, pascakeluarnya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana, perhatian terhadap usaha-usaha

menanggulangi bencana sebenarnya sudah mulai

meningkat. Meski masih terbatas tapi gaungnya sudah

mulai kelihatan.

Dalam menghadapi masa-masa pasca bencana,

dalam hal ini situasi tanggap darurat, pemerintah dan

pemangku kepentingan lain juga telah bisa bertindak 

lebih sigap dan terkoordinasi. Penyelamatan korban,pengobatan dan bantuan lebih cepat bisa dilakukan.

Sehingga korban bisa lebih cepat tertangani.

Sayangnya untuk urusan pra bencana, kelihatan

benar perhatian terhadap hal ini sangat minim sekali.

Bagaimana mungkin orang membangun rumah di

bantaran sungai yang letaknya hanya beberapa puluh

meter di dekat pintu air yang berfungsi sebagai tempat

pelimpasan air. Secara kasat mata memang bisa dilihat,

betapa mulut tanggul yang berada di Kampung Gintung,

Cirendeue, Kecamatan Ciputat Timur, cukup tinggi. Jauh

melebihi tinggi rumah yang disapu air ketika tanggul

tersebut jebol. Ini sangat terkait dengan mitigasi bencana.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah

kesiapsiagaan menghadapi bencana. Jika melihat dariberbagai cerita di berbagai media dan beberapa kesaksian

warga, terlihat memang warga tak cukup maksimal

menyikapi tanda-tanda akan adanya bencana.

Sebagaian warga sudah mulai curiga dengan

banyak jumlah air di situ tersebut, apalagi sudah terdengar

bunyi krek di sekitar tanggul. Kebanyakan warga tak 

tanggap akan tanda-tanda tersebut, mungkin mereka

meanggap hal itu adalah hal kejadian biasa. Maklum,

kolam air raksasa itu sudah sekitar 77 tahun bertetangga

dengan mereka. Akibatnya kepekaan terhadap perubahan

yang terjadi menjadi sangat kecil, begitu air datang tak 

terbendung, warga pun kalang kabut menyelamatkan diri.

Ketidaksiapan warga ini sekaligus menunjukkan

bahwa kebanyakan dari kita hanya menganggap gempa

dan tsunami saja, sebagai bencana besar. Perhatian untuk 

melakukan kesiapsiagaan dan mitigasi tercurah kepada

kedua bencana.

Sebagai contoh simulais-simulasi menghadapi

tsunami, meski masih minim , tapi sudah dilakukan

diberbagai tempat. Sosialisasi cara-cara menyelamatkan

diri juga sudah sering dilakukan. Sehingga, pengetahuan

masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami relatif 

lebih baik.

Demikian juga untuk menghadapi gempa bumi,

berapa sekolah terutama untuk daerah yang punyapengalaman terkena gempa bumi, seperti Bantul di

Yogyakarta, sudah melaksanakan simulasi penyelamatan

diri jika gempa datang. Setidaknya anak-anak tahu apa

yang harus mereka lakukan.

Untuk urusan mitigasi juga sudah sedikit maju.

Persyaratan kontruksi rumah tahan gempa telah

disosialisasikan kepada masyarakat. Daerah mana yang

berada di atas sesar , yang mungkin mengalami

goncangan besar jika terjadi gempa juga sudah dipetakan,

sehingga masyarakat bisa menghindari daerah itu jika

ingin membangun rumah.

Nah, kejadian yang menimpa warga di sekitar

Situ Gintung ini, memang kembali mengingatkan kitabahwa ada bahaya besar yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Untuk itu perlu ada tindakan-tindakan untuk menyikapi

itu, tentu dalam kaitannya untuk mencegah sekaligus

Page 4: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 4/15

 ILWI Buletin No 02-2009 4

mengantisipasi jika bencana yang sama benar-benar

terjadi.

Pertama, tentu saja perlu memperhatikan

bagaimana keadaan situ-situ yang lain, apakah

strukturnya cukup baik dan dianggap masih mampumenampung air sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

Untuk hal ini, tentu pemerintahlah yang paling berperan.

Kapasitas warga hanya sebatas memberi tahu tetang

kerusakan yang mungkin terjadi dan merawat lingkungan

disekitar situ. Ini penting karena jika lingkungannya tak 

terawat apalagi sampai dirusak pasti akan mengancam

daya dukung dari tanggul yang ada di situ tersebut.

Sedangkan yang kedua adalah tahapan

prabencana yang harus dipahami secara bersama oleh

pemerintah, warga setempat dan kelompok masyarakat

lain. Semua pemangku kepentingan disekitar situ harus

merumuskan tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari kerugian dan korban jika terjadi bencana.

Beberapa contoh adalah membersihkan lagi bantaran

sungai yang mungkin dilalui air, jika situ tersebut meluber.

Jangan sampai ada penduduk yang membangun

rumah di tempat itu. Karena, tanpa harus menunggu

tanggul jebol pun posisi rumah yang menjorok hingga

berbatasan dengan air sungai sangat berbahaya.

Disamping itu perlu diperhatikan adalah sistem

peringatan dini (early warning system), warga setempatdiharuskan memahami keadaan dimana kondisi situ

tersebut sudah dalam keadaan berbahaya. Mereka harus

tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dan kemana

harus menyelamatkan diri. Untuk itu warga perlu

mendapat dukungan dari pemerintah daerah maupun

kelompok masyarakat yang lain. Sehingga mereka tak 

harus menunggu tanggul benar-benar jebol baru lari

menyelamatkan diri.

Untuk kesiapsiagan ini, mungkin perlu

mencontoh apa yang dilakukan pemerintah dan penduduk 

sekitar Gunung Merapi di Yogyakarta. Warga di kaki

gunung itu sudah memahami langka-langkah apa yang

harus dilakukan jika Merapi mulai menunjukan tanda-

tanda bahaya. Sementara itu pemerintah daerah setempat

  juga memfasilitasi usaha-usaha untuk kesiapsiagaan di

daerah itu.

Memang , tak terlalu identik menganalogikan

bahaya gunung berapi dan jebolnya situ. Apalagi bahaya

yang timbul akibat jebolnya situ sebenarnya masih bisa

dihindari dengan memperbaiki struktur, memperhatikan

kapasitas dan menjaga lingkungan. Tapi, kesiapsiagaan

semacam itu tetap perlu dilakukan. Agar masyarakat bisa

hidup tenang bertetangga dengan kolam raksasa.

(SR/Bidang Penanggulangan Bencana)

.

Page 5: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 5/15

 ILWI Buletin No 02-2009 5

Runtuhnya Tanggul Situ GintungApa penyebabnya ?

Pada dinihari Jumat 27 Maret tanggul Situ Gintung runtuh. Tanggul yang dibangun pada tahu 1932 ini, pada awalnya mempunyai luas 31 ha, namun seiring dengan berjalannya waktu luas situ ini berkurang menjadi 21 ha.Kapasitas waduk ini 1.5 juta meter kubik air dan khabarnya pada saat kejadian menampung sebanyak sekitar 2  juta meter kubik air.

 

Kronologis kejadian

Mengutip beberapa laporan media yang ada, beberapa

kejadian penting sebelum peristiwa runtuhnya Situ

Gintung

Kamis 26 maret, pkl 16.00 WIB

Hujan deras disertai es dan angin kencang melanda

kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya, termasuk wilayah

Ciputat dan Cirendeu

Kamis 26 Maret, pkl 23.00 WIB

Warga mulai mendengar suara gemuruh dari arah tanggul

Kamis 26 Maret, pkl 24.00 WIB

Beberapa warga mulai berbenah dan siaga

Jumat 27 Maret, pkl 04.00 WIB

Warga mulai mendengar suara gemuruh lebih keras dari

sebelumnya. Suara berasal dari arah tanggul.

Jumat 27 Maret, pkl 05.00 WIB

Tanggul telah jebol dan air sudah menerjang Kampung

Situ RT 1/8 Cirendeu, Ciputat, Tangerang bantenargamulai mendengar suara gemuruh lebih keras dari

sebelumnya.

 Kondisi struktural situ di Jabodetebak

Seperti diketahui situ ini adalah peninggalan

zaman Belanda, yang didirikan sekitar tahun 1930’an.

Sebenarnnya keberadaan situ-situ didaerah Jabotabek 

sudah ada sejak dua abad yang lalu. Berarti jikadibandingkan dengan Situ Gintung, masih banyak situ-situ

yang berusia tua lainnya.

Menjadi pertanyaan adalah bagaimana keadaan

dan ketahanan situ-situ itu sebenarnnya? Secara struktural

ada beberapa masalah yang dihadapi situ berusia lanjut

yang operasionalnya dilakukan tanpa perawatan yang

memadai. Seperti sedimen yang semakin menumpuk dan

tumbuhnya pepohonan pengganggu di tanggul.

Sedimen yang banyak akan membuat kapasitas

situ berkurang dan permukaan air menjadi semakin

meninggi. Banyak orang menganggap adanya tanaman

disekitar tanggul bisa menyebabkan tanggul bertambah

kuat. Tapi dalam kenyataannya, hal yang berlawanan bisa

terjadi, akar-akar tanaman dan pelapukannya justru bisa

membuat rongga didalam tanah sehingga tanggul lebih

mudah dilalui dan digerus oleh air.

Page 6: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 6/15

 ILWI Buletin No 02-2009 6

 

Dalam hal kondisi tanah, kondisi tanah di daerah

Jakarta Selatan/ Tangerang relatif lebih baik bila

dibandingkan dengan kondisi tanah di Jakarta Utara,

sehingga untuk kasus Situ Gintung tampaknya kondisitanah bawah sesungguhnya tidak menjadi masalah.

Permasalahan yang mungkin terjadi adalah akibat

sedimen yang semakin tebal di dasar situ dan menebalnya

dinding-dinding situ menyebabkan kapasitasnya

berkurang. Ini terbukti dengan mengecilnya luas situ dari

sekitar 31 hektar menjadi 21 hektar.

Dikarenakan kemampuannya menampung air

menjadi lebih kecil, menjadikan muka air di Situ ini

menjadi lebih tinggi.

Beberapa kemungkinan yang mengakibatkan

runtuhnya tanggul ini dapat dijelaskan dalam mekanisme

kegagalan berikut ini.

 Mekanisme kegagalan

Beberapa mekanisme kegagalan sering menjadi

penyebab dari timbulnya keruntuhan tanggul. Beberapa

mekanisme itu digambarkan seperti dibawah ini.

Mekanisme kegagalan tanggul

 Limpasan

limpasan  Longsor d i lereng luar Erosi d i kaki tanggul 

Limpasan gelombang   Ketidak stab ilan mikro Penurunan muka tanah 

Long sor di lereng d alam   piping   Tekanan es 

pergeseran   Erosi lereng luar Tumb ukan

Page 7: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 7/15

 ILWI Buletin No 02-2009 7

 Limpasan

Dalam kondisi yang kurang ekstrim hanya sapuan

air terhadap lereng luar yang dihadapi. Keadaan ini belum

memasuki keadaan batas, sampai ke saat di mana muka air

mulai mendekati puncak tanggul. Dalam kejadian seperti

itu sapuan aliran air yang menjulang dan masuknya air ke

dalam kawasan yang dilindungi menjadi signifikan dan

terkadang menjadi awal dari keadaan yang dramatis.Aliran air yang melimpas ini dapat menggerus, mengawali

timbulnya mikro-ketakstabilan dan makro-ketakstabilan.

Penurunan

Penurunan muka-tanah itu sendiri sesungguhnya

tidak mengarah ke kegagalan tanggul. Akan tetapi

pengaruh penurunan muka-tanah yang berlebihan ini dapat

mengakibatkan elevasi puncak tanggul tidak memenuhi

persyaratan, dan ini menjadi sebab terjadinya limpasan

sebagaimana yang disebutkan diatas.

Pada tanah yang mengandung bahan organik dan sisa

pembusukan tanaman, proses penurunan terjadi dalam

 jangka waktu yang panjang.

Ketidakstabilan makro (pembentukan bidang longsor)

Pada tanah homogen, anggapan tradisional

tentang permukaan kegagalan slip berupa lingkaran

menjadi hal yang diyakini mendekati kenyataan. Namun

pada tanah takhomogen, permukaan slip akan paling

mungkin terjadi di sepanjang lapisan tanah yang paling

lemah.

Ketakstabilan mikro

Mekanisme ini merupakan bentuk ketakstabilan

lereng yang khusus, analog dengan makro-ketakstabilan.

Mikro-ketakstabilan terjadi pada permukaan lereng (diatas atau di bawah permukaan air) yang pada permukaan

ini partikel tanah terlepas dari lereng akibat pengaruh

aliran air tanah yang merembes ke luar. Fenomena ini

biasanya terjadi di bagian bawah lereng sebelah dalam,

selama atau segera setelah muka air (sungai atau laut)

yang tinggi. Pada prakteknya, mikro-ketakstabilan ini

ditemukan lebih sering pada bahan bukan-kohesif seperti

pasir. Slip yang lebih dalam lebih mungkin terjadi dalam

bahan kohesif seperti lempung. Mikro-ketakstabilan agak 

mudah dicegah dengan memberikan bahan tapisan atau

dengan mengurangi kecuraman bagian lereng

bersangkutan.

Piping

Mekanisme erosi yang terjadi di dalam tanggul

oleh aliran air yang terkonsentrasi secara berangsung-

angsur akan membentuk ’pipa’ dibawah tanggul.

Mekanisme ini umumnya terjadi pada bahan butiran

(seperti pasir) dan dengan gradien tekanan air yang besar.

Piping biasanya berawal dengan aliran kecil yang

mengangkut sedikit butiran. Saluran yang dibentuk oleh

erosi ini secara berangsur-angsur berpindah ke arah hilir

dan menciptakan aliran rembesan. Kemungkinan

mekanisme ini tergantung pada permeabilitias bahan

bersangkutan, beda muka air pada kedua sisi tanggul danpanjang rembesannya.

Pergeseran

Tekanan horisontal tanah harus dapat ditahan

oleh kuat geser dari bidang geser dasar tanggul. Jika tinggi

muka air meningkat maka tekanan dibuidang geser

menjadi meningkat dan dapat mendorong tanggul secara

horizontal.

Berdasarkan analisa sementara, beberapa

kemungkinan yang mempengaruhi runtuhnya tanggul SituGintung ini adalah terjadinya pelimpasan/penggerusan,

 piping dan pergeseran.

Untuk membahas permasalahan runtuhnya tanggul

Situ Gintung ini Buletin ILWI berkesempatan untuk 

melakukan wawancara dengan Sawarendro, dari konsultan

Witteveen + Bos yang pada Sabtu tanggal 28 Maret 2009

melihat lokasi situ Gintung bersama koleganya.

Saat wawancara dengan latar belakang Situ Gintung

 yang telah mengering 

Berikut wawancaranya

 Apa yang menyebabkan keruntuhan itu terjadi?

Ada beberapa kemungkinan mekanisme

kegagalan yang berujung pada runtuhnya sebuah tanggul:

limpasan, erosi, pergeseran, tumbukan, piping dlsbya.

Dari penglihatan di lokasi dan informasi sementara yang

ada, kelihatannya kemungkinan disebabkan oleh limpasan,

piping atau pergeseran horizontal atau kombinasi.

Limpasan berdasarkan informasi ada hujan lebat

yang melimpas dan merusak struktur tanggul. Namun ada juga informasi yang menyebutkan bahwa beberapa waktu

sebelum kejadian telah terjadi rembesan yang cukup

signifikan di dasar tanggul. Kemungkinan ini merupakan

fenomena piping itu. Namun perlu penelitian yang lebih

dalam untuk itu.

Apakah piping?

Kenaikan muka air di dalam situ, menyebkan

gradient/kemiringan ketinggian potensial air menjadi

besar, dan ini berakibat bahwa air membawa partikel

material tanggul yang berakibat timbulnya pipa dan

kekosongan di dasar tanggul. Material yang dibawa mula-

mula kecil dan kemudian besar, dan pada saat tertentumemberikan akibat yang dramatis.

Page 8: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 8/15

 ILWI Buletin No 02-2009 8

Tanggul sudah dibangun lebih dari 25 tahun?

Mengapa baru sekarang terjadi?

Perlu dilihat kembali, apakah ketinggian air pada

  jumat pagi itu adalah kondisi ekstrim yang belum pernah

terjadi sebelumnya? Pada dasarnya, situasi yang terjadi

dipengaruhi dua (2) faktor utama: Pertama adalah beban,

air untuk tanggul dipandang sebagai beban dan yang

kedua adalah kekuatan tanggul itu sendiri. Jika bebanmelampaui kekuatan kritis tanggul, maka keruntuhan akan

terjadi.

Apakah normal tanggul 1930 an itu bisa runtuh?

Untuk tanggul sungai memang biasanya didisain

untuk 50 atau 100 tahun. Tidak berati bahwa setelah 50

atau 100 tahun tidak bisa digunakan lagi. Namun perlu ada

re design (perencanaan kembali) dengan

mempertimbangkan beberapa faktor lain yang dalam

perjalanan waktu berubah? Misalnya knaikan muka air

laut, penurunan muka tanah dsbnya.

  Apakah kejadian ini karena kita tidak ramah padalingkungan?

Keramahan pada lingkungan tentu sangat

bermanfaat, sedimentasi juga berkaitan erat dengan

penangan an lingkungan. Namun disamping itu, perlu

diberikan penekanan bahwa  performance tanggul dan

struktur flood control lainnya sangat sensitif terhadap baik 

buruknya perawatan. Kemungkinan terjadinya bencana

berkaitan erat dengan tingkat perawatan yang dilakukan.

Beikutnya adalah untuk memanfaatkan denganbaik risk mapping terhadap pelaksanaan tata ruang. Anda

bisa bayangkan seberapa resiko yang terjadi jika kita

tinggal disebelah tanggul yang menahan air lebih tinggi

dari tempat kita berada. Resiko tinggal pada ketinggian 1,

2, 5, 7, atau 10 m dibawah air itu tentu saja berbeda.

Namun jika tinggi air tidak ekstrim, berarti kekuatan

tanggul yang menurun. Misalnya proteksi lereng dan

puncaknya tidak memadai lagi, yang lamb at laun tergerus

dan menurunkan kekuatan tanggul itu sendiri

Untuk dam, misalnya yang digunakan untuk 

pembangkit listrik, design life time nya bisa lebih lama,

misal, 200 atau 500 tahun.

.

Lokasi situ-situ di Jabodetabek

Page 9: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 9/15

 ILWI Buletin No 02-2009 9

 

Mencari Jalan Menuju Jakarta ‘bebas banjir’

Disela kunjungannya ke negeri Belanda, Wakil Presiden Jusuf Kalla berkesempatan untuk membicarakan 

permasalahan banjir diJakarta dengan  counterpartnya di negeri kincir angin tersebut. Kunjungan itu untuk mempererat kerjasama dalam penanggulangaan banjir ini.

Sebelumnya telah berkunjunga ke Jakarta, Wakil Menteri

Transportasi dan Pengelolan Air, Mrs. J.C. Huizinga-

Heringa. Bekas anggota parlemen Belanda pernah

mengunjungi Indonesia sewaktu menjadi anggota

parlemen Belanda dan pernah mengunjungi Kalimantan

untuk melihat situasi bekas lahan sejuta hektar yang oleh

beberapa kalangan disebut-sebut sebagai pemberi andil

bagi meningkatnya efek rumah kaca.

Dalam kunjungan kali ini, dilakukan sejumlah

pembicaraan dengan pihak kemeterian Pekerjaan Umum

dan kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Dari

pembicaraan dan diskusi tersebut disepakati untuk 

melakukan kerjasama di sejumlah bidang yang berkaitan

dengan masalah pekerjaan Umum khusunya pengeloaaan

air dan maslaah lingkungan hidup.

Dalam kesempatan kunjungan ini, pemerintah belanda

menyerahkan dua buah ’floating buldozer’ untuk 

pemerintah provinsi DKI Jakarta. Kedua alat diserahkan

dalam seremni yang dilakukan di balai Kota Gubernur

DKI pada tanggal 20 Janurai 2009..

Seromoni penyerahan ’floating buldozer’ di Balai Kota’

SURAT PEMBACARedaksi ILWI menerima beberapa surat dari pembaca. Beberapa surat/email pembaca yang kami terima berasal dari:

-  Bp Anwari (Kalimantan Selatan)

-  Bp. Kushariadi (Jakarta)

-  Bp. Nurrachman W (Bandung)

-  Bp Lugiman (Bekasi)-  Bp. Gerard Pichel (Dhaka, Bangladesh)

-  Bp Hermono Budinetro (Solo)

-  Bp Adi Purwanto (Jakarta)

-  Bp ZZA Dengkeng (Rotterdam, Belanda)

-  Bp Rudianto Handojo (Jakarta)

-  Bp Teguh Kriswanto (Jakarta)

-  Bp Ayub Sulaiman Pulungan (Jakarta

-  Bp Wim Lattuputy (Apeldoorn, Belanda)

-  Dll

Redaksi mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungan, serta kesediaan untuk memberikan masukan/tulisan

yang kiranya bermanfaat bagi peningkatan kwalitas isi buletin ini.

Page 10: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 10/15

 ILWI Buletin No 02-2009 10

 

Konsep-Konsep Penanggulangan Banjir Jakarta

Banjir di Jakarta memiliki sejarah yang panjang. Selain faktor-faktor alam, masalah banjir ini berkaitan erat dengan laju urbanisasi dan tidak adanya pengembangan dan perbaikan fasilitas drainase yang seimbang. Pada tahun 1948 jumlah penduduk di Jakarta sekitar 1,2 juta orang. Dalam master plan drainase Jakarta, yang pertama yang dirumuskan oleh NEDECO 1973, dilaporkan bahwa kepadatan penduduk waktu itu sudah mencapai 5 juta orang.Jumlah ini meningkat menjadi 10 juta di tahun 1996 (NEDECO 1996) dan pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 12 juta sampai 13 juta pada siang hari (SAPI 2004). Llaju urbanisasi berdampak, pada peningkatkan banjir, akibat tidak tertampungnya aliran runoff, perkembangan sistem drainase semakin tidak bisa berpacu mengimbangi perubahan-perubahan yang terjadi.

Tulisan ini mengulas secara ringkas mengenai konsep-

konsep penanggulangan banjir yang direkomendasikan

oleh beberapa studi terdahulu . Juga akan diberikangambaran mengenai permasalahan yang berkaitan dengan

timbulnya masalah banjir yang berulang dengan frekuensi

yang lebih sering ini.

Menghadapi persoalan (baca:tantangan) ini diperlukan

pola pendekatan baru yang lebih melibatkan publik 

sebagai stakeholders (pemangku kepentingan). Kerjasama

yang erat antar stakeholders menjadi prasyarat

keberhasilan penanggulangan banjir.

Konsep studi terdahulu

Van Breen & Banjir Kanal Barat

Kesadaran perlunya diambil tindakan penanggulangan

banjir sudah ada sejak lama. Pada tahun 1918, Prof. Ir. H.Van Breen merencanakan untuk Banjir Kanal Barat

(BKB). Banjir Kanal Barat (BKB) dibangun pada tahun

1920, mulai dari sungai Ciliwung melingkar ke Barat yang

pada waktu itu merupakan bagian utama kota. Terjadi

perbaikan sistem pengendalian banjir, namun tidak adanya

saluran sejenis untuk mengalihkan banjir di wilayah Timur

kota menyebabkan wilayah Timur tersebut tetap banjir

akibat luapan sungai-sungai yang berasal dari luar kota.

Satgas khusus pada 1965

Pada bulan Pebruari 1965, satuan tugas khusus dibentuk 

oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen

Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik melalui suratKeppres untuk membantu Pemerintah Kota Jakarta

mengatasi masalah banjir yang tertuang dalam Rencana

Pengembangan untuk Jakarta Raya.

Setelah banjir besar pada Pebruari 1970, bantuan teknis

diberikan oleh Pemerintah Belanda atas permintaan

Pemerintah Indonesia. The Master Plan for Drainage and

Flood Control of Jakarta oleh NEDECO 1973 merupakan

hasil dari inisiatif tersebut.

 NEDECO 1973

Pengendalian banjir didefinisikan oleh NEDECO 1973

sebagai upaya mengalihkan banjir dari sungai-sungai dan

mencegahnya mengalir ke dalam wilayah kota. Drainase

ini diartikan sebagai upaya evakuasi runoff pada saat

hujan lebat yang terjadi di wilayah kota tersebut untuk 

bisa mengalir dengan lancar ke dalam saluran pengalihan

banjir.

NEDECO 1973 merekomendasikan rehabilitasi sistem

drainase yang ada untuk penyaluran runoff secara efisien,dan upaya-upaya yang spesifik untuk mengendalikan

banjir. Upaya pertama dalam pengendalian banjir adalah

usulan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) dari

sungai Cipinang ke arah Timur sebagai penampung dan

pengalih banjir dari sungai-sungai Cipinang, Sunter,

Buaran, dan Cakung. Selain itu direkomendasikan

pelebaran saluran BKB pada titik belokan ke utara ke

sungai Angke di Pesing, untuk menampung banjir dari

sungai Grogol dan Sekretaris.

Pada daerah diantara BKB dan BKT direkomendasikan

untuk dibangun waduk/polder (empolderment), untuk 

mengatasi masalah banjir di berbagai area terisolasi yangmengalami proses penurunan tanah.

Berdasarkan Master Plan NEDECO 1973, Jakarta dibagi

menjadi 6 zona drainase yang sebagian besar meliputi

daerah dataran rendah di Jakarta (termasuk Banjir Kanal

Barat dan Banjir Kanal Timur). Peta dari pembagian zona

tersebut diperlihatkan di dalam Gambar 1.

Page 11: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 11/15

 ILWI Buletin No 02-2009 11

Zona Drainase Menurut Master Plan NEDECO 1973

 JICA 1991

Study on Urban Drainage and Wastewater DisposalProject in the City of Jakarta – Master Plan Study (JICA

1991) adalah studi utama berikutnya mengenai drainase

perkotaan sesudah NEDECO 1973. Studi ini mengamati

bahwa laju pertambahan penduduk yang sangat pesat di

Jakarta (4,6 juta pada tahun 1975 menjadi 8,8 juta pada

tahun 1988), telah mengakibatkan semakin mempersulit

situasi drainase dan banjir di dalam kota. Studi ini juga

menekankan bahwa proyek-proyek seperti BKB dan BKT

yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi sungai-

sungai utama Jakarta akan berhasil apabila perubahan pola

penggunaan lahan akibat proses urbanisasi yang sangat

cepat juga disertai dengan pembangunan sistem

drainasenya sendiri yang layak. Oleh karena itu tujuanstudi meliputi perumusan master plan drainase, sanitasi

dan pembangunan saluran limbah (sewerage) seluruh kota

untuk tahun 2010. Tujuan studi tersebut termasuk studi

kelayakan untuk drainase dan pembangunan saluran

limbah untuk area prioritas yang dipilih dalam master

plan.

JICA (1991) mengidentifikasi kawasan banjir dan solusi

mengatasinya. Jembatan dengan tinggi bebas yang tidak 

mencukupi diidentifikasi sebagai salah satu penyebab

terjadinya banjir, termasuk kurang besarnya kapasitas

aliran dari saluran drainase yang ada. Berbagai usulan

pemecahan masalah banjir telah disampaikan yaitu

perbaikan dan peningkatan saluran drainase yang ada,

perbaikan persilangan dengan jembatan dan pembangunan

stasiun pompa.

Berdasarkan Master Plan JICA 1991, Jakarta juga dibagi

ke dalam 6 zona, yang meliputi seluruh wilayah di DKI

Jakarta. Pembagian ke dalam 6 zona dengan pertimbangan

bahwa saluran yang secara hidrolik terhubung akan

dikembangkan sebagai satu sistem dan secara praktis

pembagian zona merupakan pembagian zona berdasarkan

alur sungai. Peta dari pembagian zona dapat dilihat pada

Gambar 2.

  Jakarta Flood Control Advisory Mission (NEDECO

1996)

Pada dua bulan pertama tahun 1996, di Jakarta terjadi dua

kali banjir besar. Yang pertama terjadi pada bulan Januari

sebagai akibat hujan lebat di daerah hulu sungai Ciliwung.

Banjir kedua terjadi di bulan Pebruari yang diakibatkan

curah hujan yang sangat tinggi di Jakarta. Kedua kejadian

ini, terutama yang kedua, menunjukkan ketidakmampuan

system drainase kota untuk mengalirkan air dengan debit

puncak ke Teluk Jakarta. Jakarta Flood Control AdvisoryMission (NEDECO 1996) dimulai pada bulan Juni 1996.

Pekerjaan yang dilakukan adalah perumusan Rencana

Tindak (Action Plan) untuk mitigasi bencana banjir di

wilayah Jabotabek. Misi ini menggarisbawahi cara

pendekatan perlindungan banjir yang diusulkan dalam

NEDECO 1973 berdasarkan pada dua hal di bawah ini:

- Pengalihan banjir ke dalam saluran banjir.

- Perbaikan drainase kota dengan jalan:

pembersihan atau peningkatan saluran-saluran

kota dan membuat sistem drainase polder dengan

pemompaan.

Area polder yang ditentukan di sini merupakan kawasanyang rendah yang tidak memungkinkan aliran air drainase

secara gravitasi, dan harus terisolasi dan dilindungi

daridaerah sekitarnya dengan membangun tanggul-tanggul

atau pembatas sepanjangpinggiran polder. Dalam sistem

ini kelebihan air hujan ditampung pada lokasi tertentu

kemudian dipompa keluar ke laut, sungai yang terdekat

atau kolam penyimpan air di luar area polder. Area dengan

garis kontur tanah lebih rendah + 6 meter di atas

permukaan air laut dipilih untuk pembentukan polder di

masa datang.

NEDECO 1996 melihat bahwa strategi proteksi banjir

seperti tersebut di atas relevan dengan kondisi yangberlangsung selama ini. Fokus utama rekomendasi

mencakup empat (4) hal:

1. Membangun Banjir Kanal Timur: beberapa upaya yang

akan dilaksanakan, seperti yang akan dibahas dalam

bagian berikutnya, merupakan usulan untuk menangani

berbagai masalah yang timbul sebelum pekerjaan besar

pembangunan saluran banjir ini selesai.

2. Melanjutkan pemeliharaan dengan jalan pengerukan

dan penambahan kapasitas sungai-sungai besar.

3. Melanjutkan pembuatan polder di kawasan cekungan

rendah yang baru karena meningkatnya proses tanah

ambles.4. Melaksanakan pembangunan secara bertahap waduk 

penampung Halim.

 JICA 1997 

JICA 1997 merupakan studi manajemen air secara luas di

wilayah Jabotabek. Studi pengendalian banjir mengikuti

pendekatan logis yang dirumuskan oleh studi NEDECO

(1973). Studi ini mempertimbangkan BKB dan

Cengkareng Drain sebagai bagian kunci dalam upaya

menanggulangi banjir di bagian barat Jakarta. Penyebab

banjir di bagian tengah Jakarta disebabkan oleh banjir dari

sungai-sungai Ciliwung, Krukut dan Cideng. Tujuan dari

studi ini termasuk perumusan master plan untuk pengendalian banjir sebagai bagian dari manajemen air

sungai secara keseluruhan. Master plan banjir pada

dasarnya terdiri dari

Page 12: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 12/15

 ILWI Buletin No 02-2009 12

upaya-upaya penanganan:

- Pembangunan saluran banjir terdiri dari 2 lajur

terowongan, masing-masing panjangnya sekitar

1000 m (di bawah Kota Bogor yang padat

penduduknya) untuk menyalurkan air dari sungai

Ciliwung ke Cisadane.

- Perbaikan Pintu Air Manggarai untuk menambah

kapasitas menjadi 360 m3/detik. JICA 1997aterdiri dari detail desain untuk proyek drainase

perkotaan di Jakarta. Rancangan terinci ini

berlandaskan pada studi kelayakan yang

dilakukan oleh JICA pada tahun 1991 untuk 

Cengkareng Barat, Sepak, Bojong, dan wilayah

Meruya. Proyek ini mencakup rancangan terinci

seluas 38 km2 dan terdiri dari dua area sub-

drainase, yaitu Cengkareng Barat dan Meruya.

Ciliwung-Cisadane River Flood Control Project,

merupakan hasil dari JICA 1997 belum dilaksanakan

karena belum ada kesepakatan antara Pemerintah

Indonesia dan semua pihak yang berkepentingan dalamproyek ini, termasuk masyarakat dan pemerintah daerah di

wilayah hilir sungai Cisadane untuk melaksanakannya.

 JICA 1997 A

Studi JICA (1997A) merupakan kelanjutan dari studi JICA

(1991) menekankan pada perubahan tata guna lahan yang

terjadi akibat dari urbanisasi yang cepat di kawasan

Cengkareng bagian barat, kali Sepak and kawasan

Meruya. Dalam studi tersebut JICA menyelesaikan Study

on Detailed Design for Urban Drainage Project in the City

of Jakarta, yang merupakan studi untuk Zona 1 (salah satu

Zona dalam Studi JICA 1991) yang mencakup wilayah

kurang lebih 38 km2. Kawasan ini termasuk 2 wilayahsub-drainase yaitu Cengkareng barat (36.71 km2) dan

kawasan Meruya (1.27 km2).

SAPI 2004

Special Assistance for Project Implementation (SAPI

2004) dimulai pada tahun 2003. Studi SAPI (2004),

memfokuskan pada upaya untuk penjinakan banjir di

bagian tengah kota Jakarta yang menggabungkan upaya

teknis dengan aspek sosial. Studi menekankan pada

perbaikan BKB, termasuk Pintu air Manggarai, kali

Ciliwung Bawah, dan Bendung Pasar baru di K.Cisadane.

Lingkup studi termasuk kajian atas kapasitas saluran saatini, persiapan dari desain dasar dan rencana pelaksanaan,

dan penyelidikan terhadap dampak dari pelaksanaan

proyek dan dampak sosial yang mungkin timbul.

WJEMP Pusat 3-10(2004)

WJEMP Pusat 3-10 memiliki lingkup kerja untuk wilayah

Jabodetabek. Serangkaian tindakan mitigasi yang

menyangkut perbaikan sungai (dredging), situ/danau dan

pembuatan OSD (On site Stoorm Detention) merupakan

bagian dari rekomendasi studi WJEMP Proyek, Pusat 3-

10.

Dalam Studi Pusat 3-10 (tahun 2004), wilayah DKIJakarta dibagi menjadi 8 Zona Drainase. Pembagian

wilayah DKI Jakarta menjadi 8 Zona Drainase, dimana

batas dari Zona Drainase tersebut bukan alur sungai

seperti pada pembagian Zona menurut Master Plan JICA

1991, tetapi sedapat mungkin lebih mempertimbangkan

batasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Peta dari zona-zona

ini dapat dilihat dalam Gambar 3.

Pem ba gia n Zona Menurut Studi Pusat 3-10

WJEMP DKI 3-9(2004)

Ruang lingkup penelitian DKI 3-9 akan mencakup seluruh

wilayah DKI Jakarta, fokus pada saluran mikro dan sub

makro. Sejumlah usulan tindakan mitigasi (teknis) untuk 

mengurangi genangan di 78 daerah rawan genangan diDKI merupakan sebagian rekomendasi dari studi ini.

Pemetaan GIS untuk sistim drainase di Jakarta, perbaikan

institusi dan operasi pemeliharaan juga terdapat dalam

hasil studi WJEMP DKI 3-9.

 Jakarta Flood Managment (2007)

Setelah banjir Jakarta pada 2007, atas permintaan

pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda memberikan

bantuan teknis. Bantuan teknis ini meliputi pembuatan

hazard/flood map dan sejumlah usulan penanggulangan

non teknis lainnya.

Persoalan Jakarta

Topographi rendah

Topographi Jakarta yang rendah dan datar dimana sekitar

40 % dari wilayahnya berada pada ketinggian dibawah

permukaan laut, mengakibatkan pembuangan air ke laut

tidak dapat berjalan secara alamiah (gravitasi). Oleh

karenanya pembuangan air dari lebih 40 % wilayah

Jakarta harus dibantu dengan pemompaan dan tersedianya

tempat penampungan air sementara (waduk).

 Luas badan air

Water body ratio (rasio luas badan air dibandingkandengan daerah tangkapan) di wilayah Jakarta berkisar 2.8

% (2002) Angka ini sudah termasuk luas wilayah untuk 

badan sungai dan saluran. Nilai koefisien ini sangat

Page 13: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 13/15

 ILWI Buletin No 02-2009 13

rendah, akibatnya tak perlu menunggu hujan di daerah

hulu ( upstream ), hujan yang jatuh di Jakarta saja sudah

cukup untuk menggenangi kota ini. Apalagi jika ditambah

hujan di hulu yang mengakibatkan meningginya muka air

di sungai dan melimpasi tanggul yang ada. Nilai koefisien

yang layak sekitar 6-8% dari luas wilayah. Ini

diperuntukkan untuk retention basin (waduk & danau),

sebagai penampungan air sementara sebelum dapatdipompakan ke sungai atau laut.

13 sungai

Ada 13 sungai yang mengalir membelah Jakarta. Saat

hujan tinggi terjadi di hulu akan meningkatkan

permukaan air di sungai. Permukaan air yang tinggi akan

mengancam daerah rendah di Jakarta terutama daerah

Jakarta Utara. Pembangunan BKT (Banjir Kanal Timur)

akan dapat mengurangi tinggi muka air pada sungai-sungai

di Jakarta. Akibatnya akan mengurangi resiko banjir pada

daerah rendah di utara Jakarta.

Konservasi, pembuatan waduk, tanggul pengatur debit

(sluice dam) bisa membantu untuk menghindarkan airdatang secara bersamaan di daerah hilir (Jakarta).

Pengerukan mulut sungai membantu menjaga kapsitas

debit sungai.

Tanah lunak, penyedotan air dan amblesan

Tanah yang lunak, dikombinasikan dengan penyedotan air

tanah yang terus menerus mengakibatkan land subsidence 

(amblesan). Penurunan muka tanah di Jakarta berkisar

antara 3-5 cm per tahun. Dengan kecepatan penurunan

(land subsidence rate) seperti ini maka tinggi muka tanah

akan menurun sebesar 60 cm-100 cm dalam waktu 20

tahun.

Ini berarti bahwa efektifitas dari struktur penahan banjir(tanggul dan pompa) akan berkurang efektifitas seiring

dengan berjalan waktu.

Land subsidence di Jakarta

Agar tetap mampu untuk melakukan proteksi terhadap

banjir maka diperlukan investasi baru lagi. Kuantitas

penyedotan air tanah harus segera dikurangi dan pada

akhirnya harus dilarang atau dikombinasikan dengan

metode tertentu yang lebih mengarah kepada sustanaible

solution. Investasi pada air pemipaan (PDAM) danpemakainya harus diberikan insentif dan pemakai air tanah

harus diberikan disinsentif (retribusi/pajak).

 Kenaikan muka air laut

Akibat pemanasan global, tinggi permukaan laut akan

meningkat. IPCC (Intergovermental Panel on Climate

Change) dalam prediksinya memperkirakan bahwa

kenaikan muka air laut berkisar antara 18 cm sampai 59

cm sampai tahun 2100. Karena sifatnya global, maka

penangan masalah ini harus dilakukan secara global

dengan cara menurunkan konsentrasi CO2 di udara.

 Fungsi Jakarta, urbanisasi dan permasalahan sosial 

Jakarta memiliki fungsi yang cukup banyak sebagai

ibukota, tempat perdagangan, industri dan fungsi lainnya.

Di satu sisi, fungsi yang banyak tersebut akan memberikan

potensi yang besar bagi peningkatan pendapatan propinsi.

Namun dilain pihak, fungsi tersebut memberikan daya

tarik urbanisasi yang besar dengan segala macam

permasalahan sosialnya. Pemerintah harus menyediakan

sarana pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan

dan sarana lain. Ketidakcukupan (ketidak seimbangan)

antara urbanisasi dan penyediaan sarana tersebut

berdampak pada ‘ketidakteraturan’. Ketidak teraturan iniberwujud dalam kesemrawutan lalu lintas, bertempat

tinggal di bantaran kali (membuat sempitnya aliran) dan

degradasi lingkungan lainnya.

Pemerintah DKI perlu duduk bersama dengan pemerintah

daerah tetangga untuk bisa bekerjasama sedemikian

fungsi-fungsi yang ada bisa terdistribusi dan terkelola

dengan baik.

Tinggal di bantaran banjir, resiko dan penyelesaiannya

Secara sadar atau tidak penduduk Jakarta telah memilih

untuk tinggal di dataran rendah yang rawan banjir . Dalam

kondisi yang demikian , ancaman banjir akan terus ada

dan masyarakat bersama pemerintah harus terus berupayadan berpikir dalam perjuangan tanpa henti dengan air (in a

never ending struggle with the water).

Kejadian banjir yang ada bisa menjadi pemicu dan pemacu

agar kita bisa lebih cepat bergerak dan tidak kalah dengan

kecepatan persoalan banjir yang muncul. Hal yang sama

terjadi di negeri Belanda di mana banjir besar di sana pada

tahun 1953 yang menewaskan ribuan penduduk memaksa

mereka untuk menangani permasalahan banjir secara lebih

baik dan terintegrasi, diselesaikan melalui jalur teknis dan

institusi.

PolderPolder adalah suatu daerah tertutup yang tinggi muka

airnya dikontrol secara artificial menggunakan pompa.

Untuk dapat menjalankan fungsinya secara efektif, polder

dilengkapai dengan sejumlah elemen:

•  Tanggul/dinding penahan limpasan air

•  Saluran

•  Waduk 

•  Saluran

•  Pompa dengan atau tanpa pintu air

Tingkat keamanan polder disesuaikan dengan tingkat

resiko dan nilai ekonomis dari daerah yang ingin

dilindungi.

Institusi pengelola

 Mampukan pemerintah bekerja sendiri?

Sodetan Grogol Pesanggrahan 

Cideng river 

Petukangancanal 

Krukut bawah river 

Kerendang river 

20 

20 

20  30 40  

40 

Muara karangriver 

Page 14: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 14/15

 ILWI Buletin No 02-2009 14

Pengalaman selama ini, di Indonesia dan di negara

lainnya, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki

keterbatasan kapasitas (keuangan dan sumber daya

lainnya) untuk menghadapi persoalan banjir dan

pengelolaan air. Jika pemerintah bekerja sendiri,

maka penyelesaian akan kalah cepat dengan

persoalan yang muncul.

Agar bisa survive hidup didaerah yang lebih rendah

dari muka laut ini membutuhkan partisipasi publik 

yang luas, melibatkan stakeholders (pemangku

kepentingan) dan beneficiaries (yang mendapatkan

kenikmatan dari tertanggulanginya banjir).

Pengalaman juga menunjukkan persoalan

pengelolaan air terutama bukan disebabkan oleh

ketidak mampuan teknis, namun sering disebabkan

oleh tak memadainya kebijakan dan lemahnya

institusi dengan kekurangan anggaran (untuk Operasi

dan Pemeliharaan) sebagai simpton yang kelihatan.

Pembangunan infrastruktur banjir yang tidak disertaidengan operasi dan pemeliharaan yang jelas akan

mengakibatkan infrastruktur berumur pendek dan

tidak berfungsi efektif.

Organisasi pengelola polder seperti ini seyogianya

dihidupkan di lingkungan masyarakat penerima

manfaat polder ini. Mereka yang mendapatkan

manfaat dari sistim polder ikut mengelola dan

membiayai operasi dan pemeliharaan infrastruktur

banjir ini. Penerima manfaat harus memberikan

kontribusi dan berhak untuk ikut menentukan. Prinsip

ini dikenal dengan prinsip benefit-pay-say .

Prinsip ini pula yang digunakan Belanda dengan

mendirikan organisasi Waterboard  dalam

pengelolaan polder-polder yang mereka miliki.

*) Penulis bekerja di konsultan

(Witteveen+Bos/Nedeco) dan koordinator tim ahli

  ILWI (Indonesian Land reclamation and Water management Institute).

Penahan Air dengan Air

Pembuatan boxbarrier pada beberapa tahun belakangan ini

mulai diperkenalkan. Consultant engineer Movares, BAMInfraconsult dan GMB Infra dari Belanda

memeperkenalkan metode ini sebagai ’tanggul sementara ’

penahan air. Penahan air dapat menjadi alternatif penehan

air berupa kantung asir yang kerap digunakan dalam

beberapa kejadian penggulangan banjir.

Percobaan yang dilakukan untuk menguji

kemampuan teknik ini menunjukkan bahwa enam (6)

orang dalam tempo 18 jam dapat memasang tanggul

sementara sepanjang 1 km. Untuk 1 km dibutuhkan 150

bak, dan setiap 1 bak dapat menggantikan fungsi 700

karung pasir dalam metode konvensional. Sebagai

perbandingan, dalam metode konvensional pemasangan

karung pasir untuk suatu lokasi dibutuhkan wkatu 45 jamuntuk memasang karung sepanjang 1 km.

Dari percobaan kelihatan bahwa tanggul

sementara ini cukup stabil untuk kondisi tanah keras

maupun tanah lunak, demikian ujar Ernst oosterveld dari

Movares sebagaimana yang dikutip majalah De Ingenieur.

Page 15: ILWI Buletin No 02-2009

8/3/2019 ILWI Buletin No 02-2009

http://slidepdf.com/reader/full/ilwi-buletin-no-02-2009 15/15

 ILWI Buletin No 02-2009 15

Sumber: De Ingenieur; Nr 20/21

Tanggul Penahan Badai New Orleans

Pembangunan tanggul penahan badai New Orleans di Amerika Serikat dimulai awal tahun ini. Tanggul sepanjang 

3 km harus sudah selesai pada musim panas tahun ini, sebelum musim orkan datang lagi. Sebuah rencana yang ketat. 

Agar bencana sebagaimana yang diakibatkan olehKatrina di tahun 2005 tidak terulang kembali, US Army Corps of engineer  mendapat tugas dariKongres Amerika untuk membangun sebuah tanggulpenahan banjr di New Orleans. Sebelum musimorkan 2009, konstruksi itu diharapkan mampu untukmenahan kemungkinan bencana yang diakibatkanorkan berikutnya.

Realistiskah rencana ini? Tampaknya tidak.Namun target ini, kemungkinan dapat jugadirealisasikan, setidaknya itu menurut keyakinanbeberapa insinyur Belanda yang terlibat dalamperencanaan dan pelaksanaan proyek ini. . Tempo

pembangunan yang ditargetkan sedemikian cepatini, memaksa pelaksanaan dan disain harusdilakukan secara terintegrasi. Pelaksaan dimulai,sambil disain disempurnakan, menuju disain yangdefinitif.

Proyek New Orleans ini yang diharapkan bisamemberikan keamanan yang memadai bagimasyarakat sekitar, meiputi pembangunan tanggulyang besar maupun kecil, penguatan 500 km tanggul(dike) dan pemasangan stasion pompa.Storm barrier, yang sedang dikerjakan di timur neworleans oleh kontraktor Shaw diperkirakan akanmenelan biaya sebesar 700 juta dolar.

Penahan air Gulf Intecoastal Waterway (GIWW)

Penahan Bayaou Bienvenue mempunyai alur seleba 17 m