Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

48
Pengembangan Ekonomi Perdesaan buletin Juli-Agustus 2009 Pantai Selatan Pulau Jawa “ Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Membangun Desa “ Pengembangan Pusat Kegiatan Perdesaan (Rural Town) Sebagai Langkah Integrasi Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Menjadi Wilayah Fungsional Peluang dan Tantangan Ekowisata Di jantung Kalimantan Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan Strategi Penyediaan RTH Di Kawasan Perkotaan Revitalisasi Permukiman Kampung Kota Merancang Kampung Hijau Di Tepian Sungai Kota : Kasus Tegalpanggung, Yoyakarta Peran Perencana dalam Proses Perenca- naan Tata Ruang Yang Partisipatif BKPRN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL H.S. Dillon “Apapun yang kita lakukan itikadnya untuk membantu umat, ikhtiar kita jangan berhenti selama hayat masih dikandung badan.”

description

diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Ditjen Penataan Ruang Kemen PU

Transcript of Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

Page 1: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 1

Pengembangan Ekonomi Perdesaan

buletin

Juli

-Agu

stus

200

9

Pantai Selatan Pulau Jawa“ Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Membangun Desa “

Pengembangan Pusat Kegiatan Perdesaan (Rural Town) Sebagai Langkah Integrasi Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Menjadi Wilayah Fungsional

Peluang dan Tantangan Ekowisata Di jantung Kalimantan

Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Strategi Penyediaan RTH Di Kawasan Perkotaan

Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

Merancang Kampung Hijau Di Tepian Sungai Kota : Kasus Tegalpanggung, Yoyakarta

Peran Perencana dalam Proses Perenca-naan Tata Ruang Yang Partisipatif

BKPRNBADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

H.S. Dillon“Apapun yang kita lakukan itikadnya untuk membantu umat, ikhtiar kita jangan berhenti selama hayat masih dikandung badan.”

Page 2: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

2 buletin tata ruang *

dari redaksi. sekapur sirih.

Kita syukuri dengan kesadaran yang mendalam penerbitan Buletin Tata Ru-ang edisi Juli – Agustus 2009 ini, karena tanpa izin-Nya tidak akan mungkin buletin ini bisa terus melanjutkan penerbitannya. Untuk itu, selayaknya kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 2, mengenai Azas yang menjadi dasar penyelenggaraan penataan ru-ang, disebutkan bahwa azas penyelenggaraan penataan ruang antara lain adalah : keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Yang dimaksud dengan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, kese-imbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara ka-wasan perkotaan dan kawasan perdesaan.

Adalah konsepsi pemikiran yang logis, yaitu perlunya diciptakan suatu kondi-si keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Kondisi ini juga sesuai dengan isu utama yang dinilai tidak pernah surut, yaitu : “Pengembangan Ekonomi Perdesaan”. Isu itulah yang kemudian menjadi tema utama dalam Buletin Tata Ruang edisi Juli-Agustus ini. Tema yang aktual dan relevan dengan kondisi dan permasalahan bidang penataan ruang dewasa ini, sekaligus penegasan bahwa tidak ada yang perlu dipertentangkan antara pembangunan perkota-an dan pembangunan perdesaan, karena saling melengkapi.

Kawasan perdesaan sebagai kawasan yang memiliki kegiatan utama per-tanian, dan kawasan yang mengelola sumberdaya alam, tentunya memiliki peran sebagai pemasok komoditas berbagai kebutuhan hidup masyarakat perkotaan, sekaligus berperan sebagai kantong yang menyuplai kebutuhan tenaga kerja manusia dalam berbagai tingkatan kualifikasi. Bahkan kawasan perdesaan boleh jadi memegang peran yang penting dalam menciptakan harmonisasi kehidupan alam yang lestari.

Keterkaitan perkotaan dan perdesaan amatlah kuat dan sulit dipisahkan, arti-nya upaya pengembangan ekonomi perdesaan akan memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan kegiatan ekonomi di perkotaan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, tata ruang semestinya dapat tampil men-jadi alat mempercepat upaya pengembangan ekonomi perdesaan, melalui arahan pemanfaatan ruang yang mampu menjamin ketepatan pemilihan komoditas yang sesuai dan lokasi usaha yang tepat, dengan dukungan infra-struktur serta pemasaran produk yang memadai.

Sebagai sebuah harapan hal tersebut sangatlah pada tempatnya apabila di-perhatikan sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan di bidang penataan ruang.

Direktur Jenderal Penataan Ruang-Departemen Pekerjaan Umum

Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Imam S. Ernawi

Ungkapan rasa syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah me-limpahkan ridho, kesehatan, dan keselamatan, se-hingga kami masih diberi kesempatan untuk men-jumpai para pembaca yang budiman.

Pembangunan nasional yang merata dan ber-imbang tentunya menjadi dambaan kita bersama. Kota yang maju, penuh dinamika dengan berbagai kegiatan ekonomi yang senantiasa berkembang dan warga kota yang sejahtera tentunya menjadi tantangan untuk dapat kita wujudkan. Tentu-nya kondisi tersebut lebih ’sempurna’, apabila kota tersebut didukung oleh perdesaan yang mampu mengembangkan diri berdasar potensi yang di-miliki. Perdesaan yang selain berkembang secara dinamis secara ekonomi, juga didukung oleh har-monisasi kehidupan warganya dengan lingkungan hidup di sekitar.

Dewan Redaksi pada edisi keempat ini memilih tema sebagaimana harapan dan tantangan seba-gaimana dilukiskan di atas, yaitu : “Pengembang-an Ekonomi Perdesaan”. Adalah sangat tidak ideal apabila perkembangan dinamika kota tidak diikuti oleh upaya dan program serta kegiatan pembangunan ekonomi perdesaan. Terbayang betapa permasalahan akan terus terjadi di kota se-bagai dampak kepincangan pembangunan dan di perdesaan sendiri tak akan putus dirundung per-masalahan sebagai akibat terabaikannya potensi pengembangannya.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, pada edisi ke-empat ini kami menurunkan laporan profil wilayah yaitu Kawasan Pantai Selatan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, guna memberikan gam-baran potensi di salah satu kawasan Pulau Jawa bagian selatan yang cenderung tertinggal diban-dingkan dengan kawasan utara Pulau Jawa. Untuk profil tokoh kami kedepankan Bapak HS Dillon yang mempunyai komitmen kuat terhadap masalah per-tanian yang menjadi penggerak perekonomian perdesaan.

Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Pemerintah Kabupaten Ciamis (Jawa Barat) dan Pemerintah Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) yang telah membantu pelaksanaan survai dalam rangka penulisan profil wilayah, dan kepada Bapak HS Dillon yang telah memberikan kesediaan dan waktunya untuk kami wawancara. Ucapan terima kasih juga kami sam-paikan kepada semua yang terlibat dalam pener-bitan edisi keempat ini, utamanya para penyum-bang tulisan, gambar/foto, dan lain sebagainya.

Selamat membaca.

Page 3: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 1

topik utama.

Pengembangan Pusat Kegiatan Perdesaan (Rural Town) Sebagai Langkah Integrasi Kawasan Perdesaan dan Perkotaan

Menjadi Wilayah FungsionalOleh : Dr. Emil Elestianto Dardak, MSc

Senior Associate Director, Tusk Advisory Pte Ltd

Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantan

Oleh: I. Ketut Ardhana

Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Oleh : Ernan RustiadiKepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB

topik lain.Strategi Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan

Oleh : Agus Sutanto,ST, MScKasubdit Kerjasama Lintas Sektor Dit. Tarunas

Revitalisasi Permukiman Kampung KotaOleh: Ir. Izhar Chaidir, MA

agenda kerja BKPRN.Juli - Agustus 2009

wacana.

Merancang Kampung Hijau di Tepian Sungai Kota: Kasus Tegalpanggung, Yogyakarta

Oleh: Ribut Lupiyanto

pengembangan profesi.

Peran Perencana dalam Proses Perencanaan Tata Ruang yang Partisipatif

Oleh : Hendricus Andy SimarmataKetua Bidang Pengembangan Ikatan Ahli Perencanaan

Pelindung: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc., DR. Ir. Bambang Susantono, MCP, MSCE., Ir. Max Pohan., Ir. Hermian Roosita., Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM. l Penanggung Jawab: Ir. Iman Soedradjat, MPM., Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc., Ir. Heru Waluyo, M.Com., Drs. Sofjan Bakar, M.Sc., DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM. l Penasehat Redaksi: DR. Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng., Ir. Iwan Taruna Isa, MURP., Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus (IT), Ir. Harry Djauhari, CES. l Pemimpin Redaksi: Ir. Maman Djumantri, M. Si., l Wakil Pemimpin Redaksi: Ir. Soerono, MT l Redaktur Pelaksana: Agus Sutanto, ST, M.Sc l Sekretaris Redaksi: Rahma Julianti, ST, M.Sc l Staf Redaksi: Ir. Nana Apriatna, MT., Ir. Gunawan, MA., Ir. Laksmi Wijayanti, MCP., Hetty Debbie R., ST., Tessie Krisnaningtyas, SP., Dian Zuchraeni, ST, Ayu A. Asih, S.Si.l Koordinasi Produksi: Aron Nugraha, SH l Staf Produksi: Endang Artati, S.Sos l Koordi-nasi Sirkulasi: Supriyono, S.Sos l Staf Sirku-lasi: Dhyan Purwati, S.Kom., Alwirdan, BE l Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN l Alamat Redaksi: Gedung G II, Jalan Patti-mura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta 12110 l Telp. (021) 7226577 l Fax: (021) 7226577 l website BKPRN: http://www.bktrn.org lEmail: [email protected] dan [email protected]

daftar isi.02profil tokoh.H.S. Dillon

profil wilayah.Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalangg Tekad untuk Membangun Desa

06

19

2227

34 36

40

43

39

Seorang petani sawi sedang menyirami hasil panennyaDok. Redaksi Butaru

Page 4: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

2 buletin tata ruang *

prof il tokoh.

Harbrinderjit Singh DillonBerkarya demi mencerdaskan kehidupan Bangsa.

HS Dillon, lahir di Medan pada 23 April 1945. Sejak masa kanak-kanak hingga remajanya beliau hidup di lingkungan perkebunan sehingga akrab dengan kehidupan para kuli perkebunan. Di mata Dillon kecil para kuli ini adalah pekerja keras. Mereka tak pernah lelah menderes pohon-pohon karet dari pagi hingga petang, namun mengapa kehidupan mereka begitu miskin? Pertanyaan ini terus melekat di hatinya dan nyaris menjadi obsesinya hingga kini. Dengan latar belakang inilah, maka setelah lulus SMA, HS Dillon memutuskan kuliah di Fakultas Pertanian IPB, semata-mata untuk mendapatkan landasan bagi keberpihakkannya pada para buruh tani dan perkebunan. Setelah lulus S1, beliau mengawali karir di Departemen Pertanian. Karirnya di institusi ini difokuskan sebagai perancang kebijakan untuk meningkatkan ekonomi Indonesia melalui pendekatan rekayasa penyediaan pangan berbasis ekonomi pertanian.

Sejalan dengan tugasnya di bidang ekonomi pertanian, HS Dillon tidak pernah lupa pada mimpi masa kanak-kanaknya, yaitu untuk mengangkat harkat kehidupan para petani. Karena itu beliau terus mencari celah-celah Institusi yang bisa dimasuki untuk mendapatkan jalan bagi terwujudnya cita-citanya. Dengan tujuan itu mulailah beliau ikut serta bergiat dalam institusi dan lembaga strategis seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Dewan Ekonomi Nasional, Badan Koordinasi Penangulangan Kemiskinan serta lembaga lain dengan berbagai posisi jabatan penting. Disamping kegiatan di Indonesia, beliau juga aktif pada lembaga tingkat dunia seperti Asian Society of Agricultural Economists, Seoul dan The Director-General of FAO, Rome.

Gelar PhD. Agricultural Economics dari Cornell University diraihnya pada tahun 1983. Bidang utama yang diambilnya adalah International Trade and Development, dengan minornya, Resource economics dan developmental sociology. Setelah pensiun dari PNS, saat ini HS Dillon memiliki beberapa jabatan Co-Chair The Nature Conservancy Board of Advisor in Indonesia, Presiden Komisaris PTPN X, Senior Governance Advisor, PT. Freeport Indonesia, Senior Governance Advisor, Centre for Agricultural Policy Studies, dan Mentor & Senior Advisor to Chairman of MWA.

Untuk mengetahui lebih rinci gagasan dan pandangan HS Dillon, sebagai Tokoh kita pada edisi ini, atas kemiskinan dan korupsi yang layak untuk diperjuangkan bagi negeri ini, maka Tim Butaru telah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan beliau pada suatu sore bulan Ramadhan di kantornya. Gaya bicara dan luapan emosi beliau dalam menyampaikan gagasan serta mimpinya, kami tuliskan kembali untuk pembaca Butaru disini.

Butaru : Sedikit informasi yang kami ketahui, Bapak lahir di Medan tapi dari kepanjangan nama Bapak adalah Harbrinderjit Singh Dillon, ini berarti orang tua bapak berasal dari India. Mungkin bisa diceritakan kepada kami latar belakangnya sehingga keluarga Bapak memutuskan tinggal di Indonesia ?

H.S Dillon : Sebetulnya ayah saya juga sudah lahir di sini, pada awalnya mbahnya ayah saya, jadi saya di sini generasi kelima. Jaman dulu itu orang Arab, Cina, India meninggalkan istri mereka untuk berpetualang di Indonesia, any way jadi itu dulu polanya. Mbahnya mbah saya itu yang bawa keluarganya kemari sehingga ayah saya dan saudara-saudaranya lahir di sini. Tapi mereka sebagian sekolah di India, ayah saya juga begitu. Sekitar umur enam tahun ayah saya sekolah di sana sampai kuliah setelah itu baru kembali ke Indonesia. Jadi sebenarnya kalau sudah lima generasi berarti Indonesia ini sudah bapak anggap sebagai rumah. Oiya…sebetulnya kalau kita coba untuk memahami kebudayaan Nusantara , pengaruh kebudayaan India dan Cina itu besar sekali. Kita anggaplah mungkin peradaban di sini dipengaruhi oleh agama ( saya ngga percaya itu ), seperti Budha itu dibawa oleh orang India. Hindu, Islam kemari, kalau ke Sumatra dibawa oleh India kalau ke Jawa dibawa oleh orang Cina, orang Arab datang terakhir. Dalam perdagangan itu perlu kita ketahui bahwa orang India dan Cina, lebih maju dari pada orang Arab yang posisi geografis wilayahnya jauh dari laut. Dengan begitu, tentunya susah sekali siapa yang pribumi disini. Jadi artinya, saya besar di medan tahun 50an itu ngga ada perasaaan ada yang pribumi atau pun yang bukan pribumi. Perasaan itu sama sekali ngga ada. Kami tinggal di Kesawat itu india semua, sedangkan orang Cina ada di belakang,

Page 5: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 3

prof il tokoh. Harbrinderjit Singh Dillon. Berkarya demi mencerdaskan kehidupan Bangsa

kalau yang betul-betul pribumi itu orang Padang, Batak sedikit, Aceh. Jadi yang bikin perbedaan di Republik ini adalah pemimpin terutama pemuka agama. Umat nggak ada masalah. Mereka ini, apa yang mereka khotbahkan tiap Jum’at, apa yang mereka khotbahkan tiap Minggu, selama yang mereka khotbahkan itu agama, yang kita dapat hanya perbedaan. Tapi kalau mereka mulai khotbahkan Ketuhanan mungkin kita akan temukan hal yang sama yaitu kemanusiaan. Jadi yang bikin rusak negeri ini sebetulnya para elit.

Butaru : Dari biografi singkat Bapak, dapat diketahui bahwa karier utama Bapak adalah dibidang Pertanian, sesuai dengan latar belakang pendidikan. Kemudian Bapak dipercaya juga sebagai Direktur Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan dan juga sebagai Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Bagaimana kaitan karier utama Bapak dengan bidang pemerintahan dan hak azasi manusia?

H.S Dillon : Untuk memahami itu ada yang perlu saya jelaskan. Begini …kenapa awalnya saya kuliah pertanian. Jadi dulu ayah saya lebih terdidik pada waktu itu bila dibandingkan dengan sebagian besar orang-orang Singh India, (pada umumnya mereka adalah pedagang tapi ayah sempat sekolah) bahkan pihak belanda pun senang pada ayah, sehingga pada tahun 49-an kami bisa beli mobil. Dulu kalau mau beli mobil itu pake jatah. Jadi dulu kalau kami lewat prapatan, itu kan, lewat perkebunan, saya lihat orang yang istilahnya penderes, itulah kuli perkebunan. Waktu saya tamat sekolah (saya anak paling kecil) ayah tetap minta saya masuk kedokteraan tapi abang-abang saya sudah jadi dokter, mau jadi ekonom saya bilang nggak mau, lalu saya bilang saya mau masuk ke pertanian, dibiarkanlah, karena ayah saya bukan orang yang terlalu menuntut. Tapi saya mengambil bidang saya sosial ekonomi pertanian, karena tujuan saya sebetulnya belajar untuk membantu para petani. Tesis saya waktu itu adalah meneliti bagaimana perbedaan buruh perkebunan dengan rakyat tani diluar. Apa yang kelihatannya seakan-akan bertentangan, saya orang pertanian lalu masuk ke Komnas HAM, politik…dan sebagainya, sama sekali tidak bertentangan. Kalau kita lihat awalnya kenapa saya masuk pertanian, karena pertanian itulah instrumen yang paling tepat pada saat itu. Kalau kita betul-betul mau bantu rakyat miskin, orang miskin itu awalnya ada di pedesaan. Setelah itu saya masuk ke Komnas HAM adalah agar bisa menguatkan platform dalam upaya saya menyuarakan kepentingan petani. Saya juga jadi anggota ekonomi nasional yang dipimpin oleh Pak Emil. Pak Emil itu orang baik tapi otaknya terlalu percaya dengan pasar sedangkan saya tidak percaya dengan pasar. Karena, pasar tidak mengenal orang miskin. Jangan pernah harapkan pasar bisa membantu orang miskin. Setelah itu dibentuklah tim gabungan tindak pidana korupsi yang kemudian dibubarkan oleh Mahkamah Agung. Setelah itu Marzuki dan Rizal Ramli minta saya bikin Badan Penanggulanagan Kemiskinan. Saat yang bersamaan ada lowongan untuk eksekutif direktur pada partnership government reform. Jadi itulah yang saya lihat. Dari 4 tempat yang saya duduki itu hanyalah cara yang lain untuk meneruskan perjuangan ini. Disini, saya sekarang sebagai penasehat Freeport mulai dari 2 tahun lalu. Orang Papua itu tak ada satu orang pun yang bisa mengelola uang pemerintah. Saya dengan bantuan PT Freeport juga mendirikan yang namanya people driven, yang saya terjemahkan menjadi sarwodaya. Kita tidak membangun manusia, kita mengentaskan kemiskinan. Kita mencoba merakit tangga. Penyakitnya di dunia ini, terperangkap oleh cara berfikir orang-orang Barat. Jadinya rakyat kecil menjadi sekedar kebutuhan basic needs, tapi mereka tidak mampu menemukenali kalau rakyat kecil itu memiliki kemampuan. Jadi kalau di paradigma saya, kita coba temukenali kemampuan mereka, bersama-sama dengan mereka membangun tangga dan anak tangga itu sederhana dan merekalah yang menaiki tangga menjauh dari kemiskinan. Saya ingin menjelaskan bahwa semua ini, membuat semakin utuh pemahaman saya tentang segala penyakit yang dibuat oleh manusia. Adanya kemiskinan tentunya bukan karena orang tidak bekerja keras, tetapi karena ada pemiskinan. Oleh karena itu buku saya terakhir saya namakan PRIBUMISASI PENJAJAHAN.

Butaru : Sekarang kami ingin berbincang seputar masalah kemiskinan di Indonesia, apa sebenarnya parameter yang tepat untuk membuat justifikasi bahwa seseorang atau sekelompok masyarakat itu masuk kategori miskin?

H.S Dillon : Ini yang paling gampang tanyakan langsung pada masyarakat sekitar. Jadi kemiskinan itu ada yang namanya kemiskinan absolute dan kemiskinan relative. Kalau untuk saya orang miskin itu orang yang tidak bisa memperbaiki masa depannya. Kalau paham saya, mereka

Page 6: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

4 buletin tata ruang *

prof il tokoh. Harbrinderjit Singh Dillon. Berkarya demi mencerdaskan kehidupan Bangsa

itu bukan kapasitasnya yang nggak ada tapi karena keadaan struktur sosialnya. Kita kan bisa lihat, buruh tani kerja. Siapa yang bilang dia malas, mungkin lebih malas dosen perguruan tinggi negri (ha…ha… yang ini guyon loh). Jadi jawaban sederhananya, orang yang dimiskinkan itu adalah orang yang tidak diberikan peluang.

Butaru : Jadi pak, kalau saya tidak salah menyimpulkan bahwa akar dari kemiskinan di Indonesia lebih kepada masalah sosial dan ekonomi, sebenarnya bukan karena mereka malas?

H.S Dillon : Ini sebetulnya bukan hanya di Indonesia. Begitu banyak Phd di IPB kenapa keadaan pertanian jadi seperti ini. Bukan salah “adik-adik” saya tapi salah kalian (pejabat). Karena kalian tidak berpihak pada petani. Nah, tunjukkan pada saya, tidak satu pun UU yang kalian hasilkan yang pro petani, tunjukkan pada saya dipasal mana. Nah inilah kejadiannya, orang yang sudah mapan itu tidak mau membantu yang lain. Pola kita ini sudah diketahui betul oleh para pendiri bangsa ini. Makanya pada pembukaan UUD, seharusnya tiap bulan kita baca kembali, disana ada istilah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sampai sekarang saya nggak bisa memahami, kalimat itu masuknya darimana. Saya menduga, itu yang memasukkan Bung Hatta tapi nggak secara tertulis. Pokoknya waktu piagam Jakarta dikeluarkan, tau-tau kalimat itu masuk. Mencerdaskan kehidupan bangsa, itu bukan saja mendidik orang perorang tapi dalam seluruh kehidupan kita, kita harus cerdas. Sekarang ini kan yang kita lihat kebodohan. Iya, karena ada proses pembodohan sejak dulu. Reformasi yang kita kenal dalam sejarah manusia modern, itu kan melawan pembodohan yang dibuat oleh agama waktu itu, seluruh kemajuan ilmu ditentang oleh agama. Nah tujuan reformasi di Indonesia juga begitu, tapi dalam beberapa aspek bukan terjadi reformasi tapi malah terjadi deformasi. Saya rasa hanya saya yang memberikan nama ini di Indonesia. Kalau ada reformasi pada jaman pak Harto timbul krisis. Kirisis itu adalah akumulasi pembiaran-pembiaran yang kita lihat. Kedzaliman terjadi pada orang lain, tapi karena tidak menggangu kita, ya kita biarkan. Artinya lembaga pada saat itu tidak mampu menghadapi tantangan pada masa itu, apa lagi masa yang akan datang. Karena gagal harus dirombak, itulah namanya reformasi. Andaikata kita main bola kalau gagal pasti pelatihnya bilang ganti formasi. Proses ganti formasi itu scramble dan itu yang sedang terjadi di sini.

Butaru : Apa program-program yang telah dilaksanakan maupun sedang direncanakan oleh Departemen Pertanian dalam kaitannya untuk penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan kawasan perdesaan ?

H.S Dillon : Waktu dulu yang paling mengemuka, ya upaya kita swasembada beras. Dalam swasembada itu penghampiran kita sistemik. Dari pengambilan benih sampai dengan ke pemasaran. Jadi kita buat lembaga-lembaga. Sebelum masa tanam, kita umumkan berapa harga pupuk, pestisida, dan harga gabah keringnya. Jadi petani sudah tau berapa banyak untungnya. Sebagian besar di Jawa ini bukan petani tapi buruh tani. Petani yang ada pun paling punya tanah satu bau. 43 persen petani dan buruh tani nggak punya tanah. Apa yang kita perbaiki bukan hanya sistemnya tapi cara mengorganisasi diri kita. Buat namanya kelompok “sahamparan”. Kalau dulu kelompok petani ini kan menurut permukimannya. Nah kita pentingkan perawatannya yang sahamparan supaya semua upaya bersama itu bisa dikerjakan. Jadi ada upaya kita merekayasa kehidupan desa sendiri, karena banyak sekali wewenang yang menyangkut pertanian dan pedesaan itu nggak ada di Departemen Pertanian.

Butaru : Kawasan perdesaan adalah basis dari sektor pertanian, tapi sekarang ada kecenderungan alih fungsi dari lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan, bagaimana Bapak melihat konflik ini dan mungkin ada usulan kompromistis yang bisa ditawarkan agar kepentingan sektoral tersebut dapat berjalan seimbang?

H.S Dillon : Masalahnya di bangsa Indonesia ini kan nggak ada pemahaman yang utuh dan nggak ada upaya untuk melaksanakan hal itu dengan utuh. Orang PU jalan sendiri, tanah ini hilang, yang bertanggung jawab orang PU. Jalan kota dan segala macem, kan itu hal yg ngga bisa ditolak, kompensasinya itu tatkala permukiman semakin banyak seharusnya mereka membangunnya di luar (maksudnya di luar Pulau Jawa). Jadi bukan transmigrasi orang-orang yang gagal di sini ( di Jawa) yang mau dipindahkan kesana. Jadi kalau kita mau sungguh-sungguh membangun kawasan di luar Pulau Jawa, semua infrastruktur wilayah harus dibangun.

Page 7: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 5

prof il tokoh. Harbrinderjit Singh Dillon. Berkarya demi mencerdaskan kehidupan Bangsa

Setiap wilayah harus mampu bertahan sendiri. Saya ingat, waktu itu kita datangi tiga menteri, Menteri Keuangan, Perdagangan dan Perindustrian, jadi kita bawa data-data ini. PU dulu pernah minta, kalian mau dimana nanti meningkatkan produksi, segala macam infrastruktur supaya kita siapkan jalannya. Kalau betul-betul kita beritikad baik dalam otonomi daerah, orang-orang yang disini (Jakarta) dipindahkan ke daerah

Butaru : Bapak juga pernah aktif sebagai Anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apakah menurut Bapak ada kaitan yang signifikan antara kemiskinan dengan korupsi?

H.S Dillon : Erat sekali, jadi proses abstraksi itu sudah ada sejak jaman VOC membawa tanaman dari Indonesia. Disini kita lihat, kalau tidak terjadi proses korupsi yang begitu besar tentu dana itu kan akan dipakai di perdesaan. Paradigmanya kan, kalau menurut pasar, uang itu mengalir ke pihak yang penghasilannya terbesar. Bayangin kalau korupsi masih ada di Departemen Agama dan Departemen Pendidikan, padahal disinilah landasan akhlak. Dulu waktu saya kerja partnership, kita cari di hadist, nggak ada kata korupsi disana. Itukan tidak pernah dibicarakan kholifah-kholifah pada masa itu, karena betapa jujurnya mereka. Akhirnya mereka dibunuh, semua orang yang berbuat baik pada rakyat pasti nggak lama bertahannya, kita masih beruntung nggak dibunuh.

Butaru : Kadang-kadang kita sering melihat adanya masyarakat miskin yang dijadikan obyek politik dalam beberapa kebijakan seperti Raskin dan BLT, ada komentar tentang hal ini Pak?

H.S Dillon : Itu meringankan penderitaan, bukan menanggulangi kemiskinan. Ada dua sisi disana. Ada satu sisi dimana pemerintah tidak mempersiapkan dengan baik. Tapi ada sisi lain dari bangsa kita ini yang menyangkut sikap. Dan itu nampak sekali di Aceh. Ada beda antara bencana di Aceh dengan di Yogja. Ada satu hal yang sangat penting di Republik ini yang kita lupa, saya bekas pimpinan Komnas HAM, saya anggap pada saat ini Pemerintah melalaikan beberapa fungsi dasar dia sebagai pemerintahan, tapi pada sisi lain kita selalu menuntut hak tanpa sebelumnya membicarakan kewajiban. Sebagian besar orang di Indonesia ini nggak bayar pajak. Waktu saya eselon III saya bayar pajak loh. Kata mereka pajak pak Dillon, SPT nihil saja. Saya bilang janganlah dusta kalian. Semua kalian kan mengajar, ada penghasilan lain-lain. Jadi saya bayar pajak. Jadi sebetulnya orang yang tidak bayar pajak itu tidak pantas menuntut pada pemerintah. Saya hitung yang namanya kita bilang berhasil menanggulangi kemiskinan itu dibutuhkan 5 juta per jiwa. Dia pasti bisa menyelamatkan diri, pasti dia sudah bisa beli alat untuk modal dirinya. Petani harus naik kelas. Artinya jangan terlalu mengharapkan pada Presiden. Intinya untuk kalian yang muda-muda ini harus berupaya membuat kehidupan bangsa ini menjadi cerdas.

Butaru : Sebagai penutup perbincangan, apa yang menjadi cita-cita Bapak, baik untuk pribadi maupun negeri ini yang sudah dan belum tercapai?

H.S Dillon : Cita-cita ngga ada lagi. Untuk diri saya sendiri bu, saya sangat mensyukuri apa yang saya dapat, setiap kali saya dipecat saya selalu mendapatkan yang terbaik. Itikad,. ..ikhtiar, apa pun yang kita kerjakan itikad untuk membantu umat dan ikhtiar kita jangan berhenti selama hayat masih dikandung badan. Abang saya pernah berpesan, kau akan mati dan rakyat ini akan tetap miskin, karena banyak pejabat yang nggak punya rasa malu.

Yang saya inginkan maunya kata itu nggak benar terjadi. Maunya sebelum saya meninggal sudah ada pertanda kebaikan di Negeri ini.

Butaru : Baik Pak, terima kasih atas perbincangan yang menarik ini dan semoga Bapak diberi kesehatan dan kemampuan untuk terus berkarya. Selamat sore

Page 8: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

6 buletin tata ruang *

prof il wilayah.oleh: Redaksi Butaru

Kawasan Pantai Selatan Jawa,Menggalang Tekad untuk Membangun Desa

BENARKAH MASYARAKAT DI KAWASAN PANTURA LEBIH SEJAHTERA DARIPADA MASYARAKAT DI KAWASAN PANSELA ?

Secara fisik geografis Pulau Jawa membentang dari Timur ke Barat. Secara administratif pemerintahan, pulau ini terbagi menjadi 6 pemerintahan provinsi, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Fisik lingkungan Pulau Jawa dengan bentuknya yang pipih, sisi sebelah utara menghadap laut Jawa, sedangkan sisi sebelah selatan menghadap lautan Indonesia. Dengan kondisi fisik demikian maka keseluruhan wilayah-wilayah kabupaten di Pulau Jawa secara umum memiliki dua arah orientasi yaitu yang berorientasi ke arah laut Jawa di sisi Utara, umumnya dikenal dengan sebutan Pantura dan yang berorientasi ke arah lautan Indonesia di sisi Selatan, umumnya dikenal dengan sebutan Pansela. Disamping posisi geografisnya tersebut, ditambah pula dengan kondisi sumberdaya alam yang dimilikinya maka wilayah-wilayah kabupaten di kawasan Pantura dan Pansela masing-masing memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayahnya masing-masing.

Hingga saat ini wacana yang beredar di masyarakat, adalah masyarakat di Pantura kondisi sosial ekonominya lebih sejahtera bila dibandingkan dengan saudaranya yang tinggal di Pansela. Benarkah pemerintah dan pemerintah daerah masing-masing kabupaten menganaktirikan pembangunan di Pansela? Bahkan sebuah ekspedisi penelusuran Pansela yang baru-baru ini (Mei 2009) dilaksanakan oleh grup Kompas melaporkan kesimpulan yang sama sebagaimana cuplikan laporan yang kami kutip berikut ini.

Kawasan Selatan, Wajah Ketakberdayaan. Pulau Jawa bagian selatan, dari ujung Timur Jawa di Banyuwangi, sampai di ujung Barat di Ujung Kulon, Banten, adalah ketertinggalan. Kondisi infrastruktur dan tingkat kesejahteraan penduduk di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Banten nyaris sama. Wilayah utara Jawa sangat terbuka, berkembang, dan maju, secara sosial dan ekonomi. Wilayah

ini terlihat pesat perkembangannya. Wilayah Selatan justru sebaliknya, tidak ubahnya daerah yang nyaris tak tersentuh pembangunan. Tertinggal. Di Jawa Timur, daerah-daerah seperti itu setidaknya melintasi delapan kabupaten yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.

Pada sebagian besar daerah-daerah di Pansela, infrastruktur jalan sebagai urat nadi berkembangnya suatu wilayah, tidak memadai, sehingga menjadi kendala bagi pengembangan kawasan itu. Jalan-jalan lebih sempit dan berkategori jalan kelas kabupaten. Paling tinggi jalan kelas provinsi, khususnya sejumlah ruas jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten. Akibatnya akses transportasi dari satu kota ke kota lain tidak sebaik wilayah utara. Ketertinggalan wilayah selatan juga merupakan dampak dari kondisi geografis kawasan tersebut. Terutama dimulai dari Pacitan hingga Blitar, yang merupakan bentangan Pegunungan Kapur. Kondisinya kering dan miskin sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Ada beberapa daerah yang memiliki sumber daya alam, tetapi saat ini belum tergarap optimal. Akibatnya, wilayah tersebut terbelit kemiskinan. Tak mengherankan, wilayah selatan Jatim merupakan gudang pengekspor tenaga kerja (TKI/TKW). Kemiskinan dan ketidaktersediaan lapangan pekerjaan di daerah itu membuat warganya harus mengadu nasib di negara orang. Beberapa kabupaten yang dikenal pemasok (TKI/TKW) antara lain Trenggalek, Blitar, Malang, juga Tulung Agung.

Dengan gambaran kondisi wilayah Pansela sebagaimana dipaparkan diatas maka bila kita kembali kepada pertanyaan yang menjadi sub judul tulisan ini: “Benarkah Masyarakat Di Pantura Lebih Sejahtera daripada Masyarakat Di Pansela, masihkah relevan untuk dipertanyakan”?. Untuk dapat memperoleh jawaban dan kesimpulan yang obyektif maka tulisan berikut ini akan memaparkan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat yaitu profil ekonomi regional antara kabupaten-kabupaten di kawasan Pansela dan Pantura. Disamping itu untuk memperoleh gambaran yang lebih riil dan detail atas kondisi sosial ekonomi masyarakat

Page 9: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 7

No Prov/ Kab

Jumlah

Penduduk -

S U P A S 2005

( Jiwa )

PDRB 2006

( Milyar

Rupiah )

Laju

Pertum

buhan

PDRB

2006 (%)

PDRB per

Kapita

2006 ( Rp)Klasifikasi

Wilayah

Lokasi

Wilayah

I BANTEN 5,57 10.610.241

1 Lebak 1.154.890 5.437,90 3,15 4.595.990 Daerah Tertinggal Pansela

2 Pandeglang 1.062.969 5.633,53 4,03 5.241.650 Daerah Tertinggal Pansela

a Tangerang 3.259.063 28.042,14 6,88 8.329.950 Pantura

b Serang 1.755.491 13.726,88 4,82 7.056,030 Pantura

II JAWA BARAT 6,31 11.305,576

3 Sukabumi 2.168,892 12.914,08 3.98 5.177.000 Daerah Tertinggal Pansela

4 Cianjur 2.079.770 12.073,86 3,34 5.173.000 Pansela

5 Garut 2.196.422 15.890,28 4,11 6.305,000 Pansela

6 Tasikmalaya 1.619.052 8.183,00 4.01 4.480.000 Pansela

7 Ciamis 1.511.942 11.189.90 3.84 6.114.000 Pansela

c Cirebon 2.044.257 11.489,38 5,14 4.733.000 Pantura

d Indramayu 1.689.247 10.813,76 5,10 5.289.000 Pantura

e Subang 1.380.047 9.606,30 5,04 5.861.000 Pantura

f Karawang 1.926.471 29.915,39 7,55 12.175.000 Pantura

g Bekasi 1.983.815 65.346,68 6,02 27.059.000 Pantura

III JAWA TENGAH 5.32 7.552.711

8 Cilacap 1.616.922 23.034.93 4.72 16.829.000 Pansela

9 Kebumen 1.196.304 4.082.25 4.08 2.920.000 Pansela

10 Purworejo 712.851 4.094.29 5.23 4.812.000 Pansela

11 Wonogiri 977.471 4.040.53 4.07 3.498.000 Daerah Tertinggal Pansela

h Rembang 563.122 3.321.59 5.53 4.268.000 Daerah Tertinggal Pantura

i Pati 1.160.564 6.033.08 4.45 4.705.000 Pantura

j Jepara 1.041.360 5.677.32 4.19 4.813.000 Pantura

k Demak 1.008.822 3.977.18 4.02 3.339.000 Pantura

l Semarang 878.278 7.340.03 3.81 7.361.000 Pantura

m Kendal 907.771 6.913.71 3.66 6.600.000 Pantura

Tabel 1 Perbandingan Profil Ekonomi Wilayah Di Kawasan Pansela Dan Pantura Tahun 2006

n Batang 673.406 3.503.53 2.51 4.618.000 Pantura

o Pekalongan 830.632 4.568.47 4.21 4.798.000 Pantura

p Pemalang 1.329.990 5.178.58 3.72 3.387.000 Pantura

q Tegal 1.400.588 4.418.70 5.19 2.727.000 Pantura

r Brebes 1.751.460 8.402.06 4.71 4.141.000 Pantura

IV D.I YOGYAKARTA 3.70 8.680.929

12 Kulon Progo 373.757 2.414.96 4.05 6.455.180 Daerah Tertinggal Pansela

13 Bantul 859.968 5.722.47 2.02 6.504.100 Pansela

14 Gunung Kidul 681.554 4.412.84 3.82 6.457.290 Daerah Tertinggal Pansela

V JAWA TIMUR 5.79 12.830.630

15 Pacitan 545.670 2.017.62 4.27 3.660.700 Daerah Tertinggal Pansela

16 Trenggalek 665.070 2.637.99 4.79 3.929.790 Daerah Tertinggal Pansela

17 Tulung Agung 969.461 9.884.75 5.60 10.113.150 Pansela

18 Blitar 1.065.838 7.637.80 5.38 7.141.720 Pansela

19 Jember 2.261.477 14.368.70 5.70 6.259.210 Pansela

20 Banyuwangi 1.514.605 13.673.56 5.18 8.981.690 Pansela

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

di kawasan Pansela, tulisan ini akan dilengkapi pula dengan profil dua wilayah kabupaten di kawasan Pansela yaitu Kabupaten Ciamis dan Cilacap.

LINGKUP WILAYAH KAWASAN PANSELA

Berdasarkan studi “Penataan Ruang Wilayah Untuk Percepatan Pembangunan Koridor Pantai Selatan Jawa” yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Wilayah I, Departemen Pekerjaan Umum, kawasan

Pansela meliputi 5 provinsi dan 22 kabupaten. Di Provinsi JawaTimur, meliputi 8 kabupaten yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Di Provinsi JawaTengah, melintasi 4 kabupaten yaitu Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Wonogiri sedangkan di Provinsi D.I. Yogyakarta melintasi 3 kabupaten yaitu Kulon progo, Bantul dan Gunung kidul. Untuk Provinsi Jawa Barat dan Banten melintasi 7 kabupaten yaitu Lebak, Pandeglang, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan

Ciamis. Dalam rangka untuk memperoleh perbandingan yang obyektif atas kondisi ekonomi wilayah-wilayah di kawasan Pansela dengan Pantura, maka disini ditampilkan pula 25 kabupaten yang berlokasi di kawasan Pantura.

KINERJA EKONOMI WILAYAH-WILAYAH DI KAWASAN PANSELA DAN PANTURA

Kinerja ekonomi masing-masing wilayah kabupaten sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut yang ditinjau disini meliputi nilai PDRB, nilai PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB tahun 2006, sebagaimana ketersediaan data statis-tik dari BPS. Disamping data-data ekonomi tersebut, perbandingan kondisi kesejahteraan antara wilayah-wilayah di Pansela dan Pantura dapat pula dilihat dari klasifikasi wilayah tersebut berdasarkan tingkat ketertinggalan sosial ekonominya pada skala Nasional dengan memakai dasar acuan Kepmeneg PDT No. 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal. Hasil tabulasi secara menyeluruh atas 4 indikator kesejahteraan masyarakat di Pansela dan Pantura dapat dilihat pada tabel 1.

STRUKTUR PDRB berdasarkan lapangan usaha di semua kabupaten di kawasan Pansela hampir seluruhnya bertumpu pada sektor pertanian sebagai sektor basis, kemudian diikuti dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kondisi ini ada pengecualian untuk Kabupaten Cilacap dan Tulungagung yang sektor basisnya bertumpu pada industrI pengolahan. Kabupaten Cilacap bertumpu pada industri pengolahan minyak, sedangkan Kabupaten Tulung Agung bertumpu pada industri pengolahan bahan galian batu marmer dan onyx. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, seluruh kabupaten di kawasan Pansela umumnya mengandalkan sektor pariwisata sebagai penyumbang PAD utamanya.

NILAI PDRB wilayah-wilayah di kawasan Pansela, berada pada nilai minimum dan maksimum antara 2,7 sampai 19 triliyun, sedangkan di kawasan Pantura

Page 10: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

8 buletin tata ruang *

21 Malang 2.336.363 19.030.26 5.74 7.997.920 Pansela

22 Lumajang 999.461 8.457.90 5.22 8.345.380 Pansela

s Situbondo 605.208 5.104.30 5.49 8.249.310 Daerah Tertinggal Pantura

t Probolinggo 1.021.279 9.138.25 5.69 8.809.720 Pantura

u Sidoarjo 1.697.435 34.535.04 5.74 19.953.920 Pantura

v Bojonegoro 1.228.939 8.198.80 5.78 6.595.810 Pantura

w Tuban 1.063.375 8.728.57 7.33 8.135.010 Pantura

x Lamongan 1.187.065 6.198.89 5.39 5.217.840 Pantura

y Gresik 1.118.841 20.990.49 6.81 18.272.050 Pantura

INDONESIA 6.13 13.354.680

ANGKA MIN 2.017,62 2,02 2.920.000 Pansela

ANGKA MAKS 13.030,26 5,74 10.113.150 Pansela

ANGKA RATA-RATA

8.946,98 4,38 6.408.717 Pansela

K E S E N J A N G A N

MIN - MAKS89 % 65 % 71 % Pansela

ANGKA MIN 3.321.59 2.51 2.727.000 Pantura

ANGKA MAKS 65.346.68 7.55 27.059.000 Pantura

ANGKA RATA-RATA

9.130.99 3.46 4.850.399 Pantura

K E S E N J A N G A N

MIN - MAKS95 % 67 % 90 % Pantura

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

antara 3,3 sampai 65,3 triliyun. Meskipun perbandingan nilai minimum-maksimum kawasan Pantura dan Pansela menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan namun bila dilihat pada nilai rata-ratanya, maka kedua kawasan ini hanya memiliki perbedaan tipis pada kisaran angka 0,2 triliyun atau 200 milyar saja. Fenomena ini tentu saja memberikan gambaran yang menarik karena meskipun wilayah-wilayah di kawasan Pantura relatif lebih maju namun kesenjangan antar wilayahnya juga lebih tinggi (95%) bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah di kawasan Pansela (89%). (Lihat tabel 1 dan diagram 1)

LAJU PERTUMBUHAN PRDB wilayah-wilayah di kawasan Pansela, berada pada nilai minimum dan maksimum antara 2,02 sampai 5,74%, sedangkan di kawasan Pantura antara 2,51 sampai 7,55%. Perbandingan nilai minimum-maksimum kawasan Pansela dan Pantura menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu besar yaitu 0,5% pada angka minimum dan 1,75% pada angka maksimum. Namun bila dilihat pada angka rata-ratanya, diperoleh fakta yang mengejutkan karena ternyata laju pertumbuhan ekonomi di kawasan Pansela lebih tinggi daripada di kawasan Pantura dengan perbedaan mendekati 1%. Ditinjau dari laju pertumbuhan PDRB-nya maka kesenjangan antar wilayah di kawasan Pantura juga lebih tinggi (67%) bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah di kawasan Pansela (65%). Pada konteks Nasional, laju pertumbuhan PDRB di kawasan Pantura pada empat kabupaten (Tangerang, Karawang, Tuban dan Gresik) berada pada nilai yang sangat tinggi diatas angka Nasional (6,13%) sedangkan di Pansela tidak ada satupun. (Lihat tabel 1 dan diagram 2).

NILAI PDRB PER KAPITA wilayah-wilayah di kawasan Pansela, berada pada nilai minimum dan maksimum antara 2,9 sampai 10,1 juta rupiah, sedangkan di kawasan Pantura antara 2,7 sampai 27 juta rupiah. Meskipun perbandingan nilai minimum-maksimum kawasan Pantura dan Pansela menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan namun bila dilihat pada nilai rata-ratanya diperoleh fakta yang mengejutkan karena ternyata PDRB per kapita rata-rata di kawasan Pansela berkisar 6,4 juta rupiah jauh lebih tinggi dari Pantura yang berkisar 4,9 juta rupiah . Fenomena ini tentu saja memberikan gambaran yang menarik karena dalam konteks regional ternyata masyarakat di kabupaten-kabupaten yang berlokasi di kawasan Pansela memiliki kesejahteraan lebih tinggi dan lebih merata daripada saudaranya di kawasan Pantura. Pada konteks Nasional nilai PDRB perkapita pada tiga kabupaten (Bekasi, Sidoarjo dan Gresik) di Pantura berada pada nilai yang sangat tinggi diatas angka Nasional (13,5 juta rupiah) sedangkan di Pansela hanya ada satu kabupaten yaitu Cilacap yang PDRB perkapitanya diatas angka Nasional. Kesenjangan antar wilayah di Pantura bila ditinjau dari angka PDRB perkapita juga sangat tinggi (90%) bila dibandingkan dengan wilayah di kawasan Pansela (71%). (Lihat tabel 1 dan diagram 3).

KABUPATEN TERTINGGAL. Dalam rangka penanganan daerah tertinggal di seluruh Indonesia, pemerintah telah mengamanatkan penangangannya pada Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal sebagai koordinator kementerian dan lembaga di tingkat pusat. Oleh karenanya sebagai titik tolak bagi penetapan kebijakan penanganan pada daerah tertinggal maka melalui Kepmeneg PDT No. 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkanlah kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam klasifikasi daerah tertinggal. Untuk kabupaten di kawasan Pansela, dari 22 kabupaten, yang termasuk daerah tertinggal berjumlah 9

Sumber : BPS

Page 11: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 9

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

kabupaten (Lebak, Pandeglang, Sukabumi, Garut, Wonogiri, Kulon Progo, Gunung Kidul, Pacitan dan Trenggalek), sedangkan kawasan Pantura, dari 25 kabupaten, daerah tertinggalnya hanya 2 kabupaten, yaitu Rembang dan Situbondo.

POTENSI-POTENSI DI KAWASAN PANSELA

Kawasan Pansela sebagian besar merupakan hamparan lahan pertanian dan perkebun-an yang produktif, kalaupun ada lahan tandus atau karst justru menjadi sumber bahan tambang semisal marmer dan onyx di Tulung Agung atau emas di Cikotok yang selama ini juga sudah dikuras dipasarkan di kawasan Pantura. Yang paling mencolok adalah potensi bahari, khususnya sektor kelautan dan pariwisata. Ketika Laut Jawa over fishing, perairan selatan Jawa ibarat surga bagi

nelayan, bayangkan, di Jawa Timur, dari potensi perairan selatannya sebesar 590,020 ton per tahun, yang tergarap baru 197,640 ton. Dari produksi ikan 453,034 ton per tahun di Jawa Timur, kontribusi kawasan Pansela hanya 12,12 persen. Di Banten, pemanfaatan sektor kelautan 117,170 ton/tahun (2002), padahal potensi di perairan selatannya 656,000 ton.

Dengan potensi tersebut, semestinya pusat-pusat perikanan dan pelabuhan, seperti Pelabuhanratu (Sukabumi), Cilacap, Prigi (Trenggalek), Sendangbiru (Malang), Puger (Jember), Muncar Banyuwangi), bisa menjadi pelabuhan (ikan), menyaingi Muara Angke di Jakarta, Tegal, atau Brondong di Lamongan. Bahkan Sendangbiru diprospek menjadi kota nelayan yang bakal dilengkapi dengan berbagai fasilitas, begitu juga Muncar yang akan dijadikan kawasan industri perikanan. Akan tetapi, semua rancangan tersebut belum terwujud karena kendala yang membelit wilayah selatan.

Potensi wisata bahari yang elok juga menanti penggarapan serius. Dengan kontur alam yang menawan, pantai-pantai di selatan Jawa ibarat menjadi primadona. Bila digarap serius, dari Ujungkulon (Banten), Palabuhanratu-

Pangandaran (Jabar), Parangtritis (Yogyakarta), hingga Plengkung (Banyuwangi) merupakan lokasi selancar yang menarik perhatian peselancar dunia, bisa menjadi sumber pendapatan daerah yang menggiurkan. Bahkan bisa dipadukan dengan wisata goa-goa purba yang tersebar terutama di perbatasan Jateng-Jatim.

KETERSEDIAAN PRASARANA JALAN DI KAWASAN PANSELA

Untuk menggerakkan denyut kehidupan di kawasan Pansela, infrastruktur menjadi faktor kunci, runyamnya, jalan lintas selatan (JLS) sepanjang sekitar 1,474 kilometer—meliputi Banten-Jawa Barat (421,7 km), Jawa Tengah (212,6 km), Yogyakarta (122,7 km), dan Jawa Timur (618,8 km)—belum terkoneksi, bahkan di Yogyakarta saja, yang ruasnya paling pendek, lahan yang dibebaskan baru 20,12 km. Dengan kondisi alam yang bergunung-gunung, memang pembangunan JLS membutuhkan biaya sangat mahal.Ambil contoh Jatim yang memiliki ruas JLS terpanjang, untuk menghubungkan delapan kabupaten, anggaran awal (2002) Rp 3,197 triliun membengkak jadi Rp 7,5 triliun. Pembebasan lahan termasuk lahan Perhutani bisa pelik, karena itulah, lima pemerintah provinsi bersama 22 pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat harus punya komitmen kuat dan solid untuk mewujudkan urat nadi di kawasan selatan itu.

KABUPATEN CIAMIS, MEMBANGUN EKONOMI DESA MELALUI DIVERSIFIKASI USAHA

Geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108°20’ sampai dengan 108°40’ Bujur Timur dan 7°40’20” sampai dengan 7041’20’’ Lintang Selatan. Wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah Timur dengan Kota Banjar dan Propinsi Jawa Tengah, dan sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia. Luas Wilayah Kabupaten Ciamis secara keseluruhan mencapai 244.479 ha. Wilayah selatan Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang mencapai 91 km. Dengan adanya garis pantai tersebut, Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas 67.340 ha. Wilayah administratif Kabupaten Ciamis meliputi 36 kecamatan, 334 desa, dan 7 kelurahan.

Fisik Lingkungan Kabupaten Ciamis secara menyeluruh terletak pada lahan dengan keadaan morfologinya datar – bergelombang sampai pegunungan, yang berkisar antara 0 % - > 40 %. Kemiringan lereng datar, yaitu 0 – 2 % berada pada bagian Tengah Timur Laut ke Selatan Kabupaten Ciamis, sedang untuk kemiringan 2 – >40 % hampir tersebar pada seluruh kecamatan di Kabupaten Ciamis ini.

Sementara itu ditinjau dari keadaan fisiografinya Kabupaten Ciamis berada pada 4 (empat) ketinggian, yaitu:

1. Dengan ketinggian terendah yaitu 0 – 25 meter dpl tersebar pada bagian wilayah Kecamatan Lakbok, Padaherang bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Selain itu ketinggian terendah tersebut tersebar pada bagian Selatan Kabupaten Ciamis yaitu pada sepanjang pantai Selatan yang termasuk pada wilayah bagian Selatan Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Pangandaran dan Kalipucang.

Page 12: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

10 buletin tata ruang *

2. Ketinggian tanah 25 – 1000 meter dpl yang tersebar hampir pada seluruh kecamatan,

3. Ketinggian tanah tertinggi yaitu 1500 – 2500 meter dpl berada pada bagian Utara Kabupaten Ciamis, yaitu di Kecamatan Cikoneng bagian Utara, Kecamatan Sadananya dan Cipaku bagian Barat Laut, Kecamatan Kawali bagian Barat Daya, Kecamatan Panjalu dan Panumbangan bagian Selatan, Kecamatan Cihaurbeuti bagian Timur Laut – Timur, serta sebagian wilayah bagian Utara Kecamatan Panjalu.

Potensi Sumberdaya Bahan Galian Mineral yang tersebar di wilayah Kabupaten Ciamis terdiri dari bahan galian untuk industri dan bahan galian untuk bangunan (logam dan non logam). Potensi bahan galian bangunan terdiri dari Pasir dan Kerikil merupakan bahan galian yang dapat dijumpai pada endapan sungai atau teras Sungai Cijolang dan Citanduy; dan Batu Kali/belah (andesit) tersebar pada permukaan tanah disebelah Selatan Kecamatan Kalipucang, Tambaksari; Batu Gamping terdapat di Kecamatan Padaherang, Langkaplancar dan Cimerak. Sedangkan bahan galian untuk industri terdiri dari Timbal dan Seng, bahan galian ini terdapat pada fisiografi vulkan yang menyebar di wilayah puncak Gunung Sawal; Phosfat, bahan galian ini terdapat pada wilayah perbukitan karst sekitar kecamatan Pamarican, Langkaplancar dan Kalipucang; Kalsit, bahan galian ini terdapat pada wilayah perbukitan karst sekitar Kecamatan Pamarican dan Langkaplancar.

Potensi Sumberdaya Air Kabupaten Ciamis utamanya berasal dari aliran satu sungai besar, yaitu Sungai Citanduy yang merupakan muara bagi beberapa sungai kecil dengan muara terakhir adalah Sagara Anakan. Sungai Citanduy mengalir dari Sukadana sampai Kalipucang yang sekaligus menjadi batas Kabupaten Ciamis bagian Timur – Tenggara dengan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah.

Selain sungai besar dan kecil, Kabupaten Ciamis masih memiliki sumber – sumber air yang dapat dimanfaatkan selama 3 – 9 bulan per-tahunnya, bahkan terdapat sumber air yang dapat dimanfaatkan sepanjang tahun yaitu berada di Kecamatan Ciamis. Sungai – sungai dan Mata Air yang berada dan mengalir di Kabupaten Ciamis dan digunakan sebagai sumber air oleh PDAM Tirta Galuh, diantaranya adalah : Sungai Citanduy, Sungai Cileueur, Sungai Cireong, Sungai Cimuncang, Sungai Cimuntur, Sungai Ciputrahaji, Sungai Citumang, Sungai Cikarak, Sungai Palataran, Mata air Cigeresik dan Mata air Binuang.

Potensi Kepariwisataan di Kabupaten Ciamis dapat dikatagorikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: Objek Wisata Budaya, Wisata Alam, dan Wisata Khusus/ Minat. Objek Wisata Budaya terdiri dari: situ lengkong panjalu, astana gede kawali, karangkamulyan, kampung kuta, situs gunung susuru, museum fosil. Objek Wisata Alam terdiri dari: objek wisata pangandaran, cagar alam pananjung, lembah putri, karapyak, palatar agung, majingklak, karang tirta, batu hiu, batu karas, madasari, keusik luhur. Objek Wisata Minat Khusus terdiri dari: curug tujuh, citumang, karang nini, goa donan, cukang taneuh.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN CIAMIS

Visi Pengembangan Kabupaten Ciamis ditetapkan dalam rangka mendukung kepedulian pemerintah daerah demi keberhasilan pembangunan di perdesaan, pernyataan dalam visi tersebut secara eksplisit mencerminkan cita-cita masa depan yang hendak dituju oleh semua pemangku kepentingan, yakni:

“Dengan Iman dan Taqwa Ciamis Terdepan Dalam Agribisnis dan Pariwisata di Priangan Timur tahun 2009”. Untuk mewujudkan visi maka ditetapkanlah Misi Pengembangan

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Page 13: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 11

No Kecamatan LuasProsentase

Luas Kec Thd Kab (%)

Jumlah Penduduk

2007 (Jiwa)

Kepadatan Penduduk

2007 (jiwa/km)

Prediksi Jumlah

Penduduk 2013 (jiwa)

Kepadatan Penduduk

2013 (jiwa/km)

1 WP. UTARA 983,03 40,21 868.157 883 857.799 873

2 WP. TENGAH 779,56 31,89 429.776 551 425.839 546

3 WP. SELATAN 682,2 27,90 240.564 353 108.836 346

KABUPATEN CIAMIS 2.444,79 100,00 1.538.497 629 1.519.511 622

TABEL 2 WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN CIAMIS DAN JUMLAH PENDUDUK 2007 - 2013

yakni:

1. Menciptakan Iklim Investasi yang kondusif dalam Agribisnis dan Pariwisata.

2. Mengembangkan Jiwa Kewirausahaan Aparatur dan Masyarakat

3. Mengembangkan jaringan Kemitraan Agribisnis dan Pariwisata

4. Meningkatkan Produksi dan Kualitas Pertanian dan Pariwisata

5. Menyelenggarakan Kepemerintahan yang Baik

Untuk mencapai efektifitas dalam implementasi pembangunan di semua bidang maka berdasarkan Peraturan daerah Nomor 3 Tahun 1999 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ciamis, Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pengembangan yaitu sebagai berikut:

1). Wilayah Pengembangan (WP) Utara

Pusat WP Utara adalah Kota Ciamis dengan pusat pembantu adalah Kota Kawali yang terdiri dari: a) Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Utara 1 yang mencakup Kota Kawali (pusat), Jatinagara dan Cipaku; b) SWP Utara 2 yang mencakup Panjalu (pusat), Panawangan dan Panumbangan; c) SWP Utara 3 yang mencakup Rancah (pusat), Rajadesa, Sukadana dan Tambaksari dan d) SWP Utara 4 (empat) yang mencakup Ciamis (pusat), Cikoneng, Cijeungjing, Cihaurbeuti dan Sadananya.

2). Wilayah Pengembangan (WP) Tengah

Pusat utama WP Tengah adalah Kota Banjar dengan pusat pembantu adalah Kota Banjarsari yang terdiri dari: a)

Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Tengah 1 yang mencakup Banjar (pusat), Pataruman, Langensari, Purwaharja (sekarang telah mengalami pemekaran menjadi Kota Banjar) serta Cisaga; b) SWP Tengah 2 (dua) yang mencakup Banjarsari (pusat), Lakbok dan Padaherang dan c) SWP Tengah 3 yang mencakup Pamarican (pusat), Cimaragas dan Langkaplancar.

3). Wilayah Pengembangan (WP) Selatan

Pusat utama WP Selatan adalah Kota Pangandaran dengan pusat pembantu adalah Kota Cijulang yang terdiri dari: a) Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Selatan 1 (satu) yang mencakup Pangandaran (pusat) dan Kalipucang; b) SWP Selatan 2 (dua) yang mencakup Cijulang (pusat) dan Cimerak dan c) SWP Selatan 3 (tiga) yang mencakup Parigi (pusat) dan Cigugur.

Pembagian wilayah pengembangan ini didasarkan pada kondisi geografis, potensi fisik lingkungan dan sumber daya alam, serta kemudahan aksesibilitas.

Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Ciamis sebagaimana direncanakan dalam RTRW Kabupaten Ciamis 2003-2013, pada tahun 2013 diprediksikan akan berkisar 1, 52 juta jiwa. Bila dibandingkan dengan data penduduk eksisting tahun 2007 yang telah berjumlah 1,54 juta jiwa maka prediksi tersebut jelas “under estimated”. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) yang dijadikan basis perhitungan proyeksi tersebut adalah sebesar 0,26% pertahun dan kenyataannya telah terjadi laju pertumbuhan alamiah yang melampaui angka ini. Fakta ini dapat memberikan gambaran yang menarik karena peningkatan jumlah penduduk merupakan indikasi atas peningkatan perekonomian di Kabupaten Ciamis.

Dari jumlah penduduk dan tingkat kepadatannya pada masing-masing wilayah pengembangan memberikan gambaran bahwa kecamatan-kecamatan di Utara paling berkembang dibandingkan Tengah dan Selatan. Hal ini terlihat dari kepadatan penduduk di wilayah Utara telah mendekati rata-rata 900 jiwa/km2 , dengan konsentrasi terpadat di Kecamatan Ciamis yang mencapai 5.700 jiwa/km2 atau sama dengan kepadatan di kawasan perkotaan pada umumnya. Wilayah Tengah rata-rata 550 jiwa/km2 , terpadat di Kecamatan Mangunjaya yang mencapai 1.000 jiwa/km2. Wilayah Selatan rata-rata 350 jiwa/km2, terpadat di kecamatan Pangandaran yang mencapai 726 jiwa/km2. Bila ditinjau dari rasio jenis kelaminnya, komposisi penduduk laki-laki dan perempuan pada semua wilayah menunjukkan prosentase yang seimbang. Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia menunjukkan perbandingan usia penduduk tidak produktif (usia 0-14 & 65+tahun) dibanding usia produktif (usia 15-64 tahun) menunjukan angka beban tanggungan pada Tahun 2007 sebesar 47,90% ternyata tidak banyak mengalami perubahan dibanding tahun 2006.

STATUS PENGEMBANGAN WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN CIAMIS

Status pengembangan atau tingkat kemajuan sosial ekonomi wilayah-wilayah kecamatan di Kabupaten Ciamis

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Sumber : Pemda Kabupaten Ciamis

Page 14: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

12 buletin tata ruang *

Diagram Kinerja Ekonomi Pada Tiap Kecamatan Di Kab. Ciamis Kuadran II

• Cijeungling• Rancah• Sukadana• Panawangan• Lumbung• Panjalu• Mangunjaya• Lakbok

Kuadran I

• Ciamis• Cikoneng• Kawati• Padaherang• Banjarsari• Sidamulih• Parigi• Pangandaran

• Cisaga • Sidangkasi• Cihaurbeuti• Sadananya• Cipaku• Jatinagara• Sukamantri• Panumbangan• Langkaplancar• Purwadadi• Pamarican• Cimaragas• Cimerak• Cigugur• Kali pucung Kuadran IV

• Tambaksari• Rajadesa• Baregbeg• Cidolog• Cijulang

Kuadran III

Sumber : diolah dari PDRB perkecamatan Kabupaten Ciamis Menurut Lapangan Usaha 2005-2006, BPS dan Bappeda Kab. Ciamis

Catatan : 1. Sumbu horizontal (X) nilai PDRB perkapita Kab. Ciamis

2. Sumbu vertikal (Y), nilai laju pertumbuhan PCRB Kab. Ciamis

dapat dilihat dari 3 aspek yaitu jumlah desa berdasarkan kategorinya, PDRB perkapita dan laju pertumbuhan PDRB nya. Berdasarkan 3 aspek tersebut maka dapat diambil kesimpulan status pengembangan tiap-tiap kecamatan berdasarkan posisinya dalam kuadran kinerja ekonomi dan tingkat disparitas wilayahnya. Status pengembangan wilayah semua kecamatan di Kabupaten Ciamis dapat dilihat sebagaimana pada tabel 3 dibawah ini.

Desa Tertinggal. Pada tahun 2006 melalui Kepmeneg PDT No.B254/M-PDT/VII/2006 institusi tersebut mempublikasikan desa-desa tertinggal di Kabupaten Ciamis sebanyak 156 desa sedangkan versi Bappeda Provinsi Jawa Barat adalah sebanyak 38 desa. Atas dasar perbedaan yang mencolok tersebut maka Bappeda Kabupaten Ciamis menyusun Kajian Pengembangan Kawasan Tertinggal untuk mengidentifikasi Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), Desa Transisi (DTR), dan Desa Tertinggal (DTT). Hasil dari kajian tersebut memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. WP. UTARA, dari total 189 desa/kelurahan, 41 Desa merupakan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), 127 desa merupakan Desa Transisi (DTR), dan 21 desa sebagai Desa Tertinggal (DTT). Dengan demikian desa tertinggal pada wilayah ini hanya berkisar 11%.

2. WP. TENGAH, dari total 93 desa/kelurahan, 10 Desa merupakan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), 63 desa merupakan Desa Transisi (DTR), dan 20 desa sebagai Desa Tertinggal (DTT). Dengan demikian desa tertinggal pada wilayah ini mencapai 21%.

3. WP. SELATAN, dari total 58 desa/kelurahan, 7 Desa merupakan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), 31 desa merupakan Desa Transisi (DTR), dan 20 desa sebagai Desa Tertinggal (DTT). Dengan demikian desa tertinggal pada wilayah ini mencapai 35%. Dengan prosentase yang demikian tinggi maka WP. Selatan merupakan wilayah yang prosentase desa tertinggalnya paling besar dari seluruh wilayah di kabupaten Ciamis.

Identifikasi status desa yang dibagi menjadi 3 kategori tersebut didasarkan pada kondisi desa yang dikaji terhadap 25 indikator yang terkait aspek-aspek faktor alam/lingkungan, kependudukan dan ketenagakerjaan, sarana/prasarana & akses, serta sosial dan ekonomi penduduk. Indikator dominan yang menyebabkan desa tertinggal adalah indikator penduduknya yang bermata-pencaharian sebagai buruh tani (lebih dari 30%); sebagian besar keluarga bekerja di sektor pertanian (lebih dari 30%); bahan bakar yang dipergunakan untuk memasak adalah kayu bakar; tidak ada potensi wilayah sebagai sumber pendapatan langsung desa (seperti tambang galian golongan C), serta terbatasnya sarana keuangan seperti Bank Umum, BPR, koperasi atau pegadaian sebagai lembaga formal keuangan. Indikator desa tertinggal tersebut tentunya secara tidak

langsung telah memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pengembangan pada masing-masing kecamatan dan secara akumulasi mencerminkan pula tingkat kemajuan pengembangan pada WP. Utara, Tengah dan Selatan di Kabupaten Ciamis.

Kinerja Ekonomi Kecamatan. Berbeda dengan fakta tentang jumlah desa tertinggal pada tiap kecamatan yang menunjukkan kesimpulan bahwa WP. Selatan merupakan wilayah dengan jumlah desa tertinggal paling banyak, maka tinjauan terhadap kinerja ekonomi pada masing-masing kecamatan menunjukkan fakta yang sebaliknya. Kinerja ekonomi masing-masing kecamatan yang ditunjukkan dengan nilai PDRB perkapita dan laju pertumbuhannnya sebagaimana terlihat pada tabel 3, memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. WP. UTARA, PDRB perkapita rata-rata berkisar 7,5 juta rupiah (dibawah angka Kabupaten) dengan laju pertumbuhan 4,86% (diatas angka Kabupaten). Dengan demikian WP ini berada pada kuadran II (kinerja sedang), meskipun ada 8 kecamatan yang berada pada kuadran IV (kinerja terendah). Bila mempertimbangkan prosentase desa tertinggalnya maka dapat disimpulkan tingkat disparitas WP ini kecil hingga sedang saja, kecuali kecamatan Panjalu yang disparitasnya tinggi. WP. Utara memiliki 3 Kecamatan dengan status pengembangan wilayah yang baik yaitu Ciamis, Cikoneng dan Kawali.

2. WP. TENGAH, PDRB perkapita rata-rata berkisar 8 juta rupiah (sedikit dibawah angka Kabupaten) dengan laju pertumbuhan 4,72% (diatas angka Kabupaten). Dengan demikian WP ini berada pada kuadran II (kinerja

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Page 15: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 13

No Keca -matan

JumlahDesa / Kel

Jumlah Desa

Berdasarkan Kategori 2008

PDRBPER

KAPITA2007

( ribu )

LAJUPERTUMBUHANPDRB

2007 ( % )

KUADRAN

KINERJAEKO

NOMI

TINGKAT

DISPARITAS

WILAYAH

DPP DTR DTT

WP. UTARA 189 41 127 21 7.523 4,86 II Kecil

1 Cijeungjing 11 3 8 0 7.810 5.02 II Kecil

2 Cisaga 10 1 3 6 6.679 3.44 IV Kecil

3 Tambaksari 4 0 4 0 9.803 3.57 III Kecil

4 Rancah 12 2 9 1 7.638 4.92 II Sedang

5 Rajadesa 11 0 10 1 8.662 4.05 III Sedang

6 Sukadana 6 1 5 0 7.494 5.93 II Kecil

7 Ciamis 12 7 0 0 13.300 7.23 I Sedang

8 Baregbeg 9 1 8 0 8.619 3.79 III Sedang

9 Cikoneng 9 3 6 0 8.718 7.15 I Sedang

10 Sindangkasih 9 2 7 0 7.197 4.27 IV Sedang

11 Cihaubeuti 11 1 10 0 7.935 3.18 IV Sedang

12 Sadananya 8 2 6 0 5.844 4.50 IV Sedang

13 Cipaku 13 1 12 0 5.385 4.59 IV Sedang

14 Jatinagara 6 1 3 2 6.906 4.59 IV Kecil

15 Panawangan 12 2 10 10 6.757 5.01 II Sedang

16 Kawali 10 3 6 6 8.494 5.47 I Sedang

17 Lumbung 8 2 5 5 7.785 6.17 II Sedang

18 Panjalu 6 1 1 1 5.528 5.59 II Tinggi

19 Sukamantri 7 1 4 4 5.986 4.25 IV Kecil

20 Panumbangan 14 2 10 10 6.915 4.55 IV Kecil

WP. TENGAH 93 10 63 20 8.093 4.72 II Sedang

21 Langkaplancar 12 0 5 7 6.438 3.77 IV Kecil

22 Padaherang 14 2 5 7 9.369 5.59 I Tinggi

23 Mangunjaya 5 0 5 0 7.855 5.52 II Kecil

24 Banjarsari 21 2 18 1 8.226 6.25 I Tinggi

25 Lakbok 10 2 8 0 6.748 5.83 II Sedang

26 Purwadadi 9 0 8 1 7.277 4.01 IV Sedang

27 Pamarican 13 1 9 3 7.601 3.66 IV Sedang

28 Cidolog 5 2 2 1 11.797 3.77 III Sedang

29 Cimaragas 4 1 3 0 7.523 4.09 IV Sedang

WP. SELATAN 58 7 31 20 8.849 4.32 III Tinggi

30 Cimerak 10 4 5 1 5.730 3.79 IV Sedang

31 Cijulang 7 0 4 3 11.673 3.74 III Tinggi

32 Cigugur 7 0 2 5 6.629 4.09 IV Kecil

33 Parigi 10 1 7 2 9.281 4.69 I Sedang

34 Sidamulih 7 0 6 1 9.440 4.67 I Sedang

35 Pangandaran 8 2 3 3 11.337 5.72 I Tinggi

36 Kalipucang 9 0 4 5 7.852 3.56 IV Kecil

KABUPATEN CIAMIS 340 58 221 61 8.155 4.64

PROVINSI JAWA BARAT 12.434 6.86

INDONESIA 15.731 6.92

Sumber:1. Jumlah desa/kel: keterangan dalam peta

wilayah Kabupaten Ciamis2. Jumlah desa berdasarkan Kategori: kajian

pengembangan kawasan tertinggal, Bappeda Kab, Ciamis, 2008

3. PDRB perkapita dan Laju pertumbuhan PDRB: PDRB perkecamatan Kabupaten Ciamis Menurut Lapangan Usaha 2005-2007, BPS dan Bappeda Kab. Ciamis.

4. Kuadran Kinerja: diolah dari PDRB perkecamatan Kabupaten Ciamis Menurut Lapangan Usaha 2005-2007, BPS dan Bappeda Kab. Ciamis.

5. Tingkat Disparitas wilayah: hasil analisis namun laju pertumbuhan PDRB berada dibawah angka Kabupaten Ciamis)

Catatan:1. DPP = Desa Pusat Pertumbuhan2. DTR = Desa Transisi3. DTT = Desa Tertinggal4. I = kuadran I, wilayah dengan kinerja ekonomi terbaik ( nilai

PDRB perkapita dan laju pertumbuhan PDRB berada diatas angka Kabupaten Ciamis)

5. II = kuadran II, wilayah dengan kinerja ekonomi sedang atas ( nilai PDRB perkapita berada dibawah angka Kabupaten Ciamis namun laju pertumbuhan PDRB berada diatas angka Kabupaten Ciamis)

6. III = kuadran III, wilayah dengan kinerja ekonomi sedang bawah ( nilai PDRB perkapita berada diatas angka Kabupaten Ciamis namun laju pertumbuhan PDRB berada dibawah angka Kabupaten Ciamis)

7. IV = kuadran IV, wilayah dengan kinerja ekonomi terburuk ( nilai PDRB perkapita dan laju pertumbuhan PDRB berada dibawah angka Kabupaten Ciamis).

sedang), meskipun ada 4 kecamatan yang berada pada kuadran IV (kinerja terendah). Bila mempertimbangkan prosentase desa tertinggalnya maka dapat disimpulkan tingkat disparitas WP ini sedang hingga tinggi. WP. Tengah tidak memiliki Kecamatan dengan status pengembangan wilayah yang baik karena meskipun ada 2 kecamatan dengan kinerja ekonominya baik yaitu Padaherang dan Banjarsari, namun keduanya tingkat disparitas wilayahnya tinggi.

3. WP. SELATAN, PDRB perkapita rata-rata berkisar 8,85 juta rupiah (diatas angka Kabupaten) dengan laju pertumbuhan 4,32% (dibawah angka Kabupaten). Dengan demikian WP ini berada pada kuadran III (kinerja sedang), meskipun ada 2 kecamatan yang berada pada kuadran IV (kinerja terendah). Bila mempertimbangkan prosentase desa tertinggalnya maka dapat disimpulkan tingkat disparitas WP ini sedang hingga tinggi. WP. Selatan memiliki 2 Kecamatan dengan status pengembangan wilayah yang baik yaitu Parigi dan Sidamulih.

Dengan melihat kinerja ekonomi serta tingkat disparitas wilayah pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Ciamis, maka untuk menyiasati keterbatasan dana serta dalam rangka mencapai sasaran untuk mensejahteraan masyarakat perdesaan maka perlu dirumuskan langkah-langkah strategis pengembangan wilayah yang sesuai

KABUPATEN CILACAP

ADMINISTRASI WILAYAH

Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah 2.142,59 km² atau sekitar 6,6% dari total wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di bagian utara, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Jawa Barat) di sebelah Barat. Kabupaten Cilacap terbentang dengan kondisi lanskap yang cukup beragam, mulai dari pegunungan di bagian utara hingga muara dan pesisir pantai di bagian selatan. Bagian utara adalah daerah perbukitan yang merupakan lanjutan dari rangkaian pegunungan Bogor di Jawa Barat, dengan puncaknya Gunung

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Tabel 3 PDRB Perkapita dan Pertumbuhannya Perwilayah

Page 16: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

14 buletin tata ruang *

Pojoktiga (1.347 meter), sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah. Kawasan hutan menutupi lahan Kabupaten Cilacap bagian utara, timur, dan selatan. Di sebelah selatan terdapat pulau Nusa Kambangan, yang memiliki Cagar Alam Nusa Kambangan. Di bagian barat daya terdapat sebuah inlet yang dikenal dengan Segara Anakan, yang saat ini semakin mengalami pendangkalan. Ibukota kabupaten Cilacap berada di tepi pantai Samudra Hindia, dan wilayahnya juga meliputi bagian timur pulau Nusa Kambangan.

Kabupaten Cilacap terdiri atas 24 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Desa-desa yang berjumlah 269 desa tersebar di 21 kecamatan, sedangkan 15 kelurahan ada di 3 kecamatan eks kota administratif Cilacap yang juga merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karangpucung, Sidareja, Gandrungmangu, Kedungreja, Patimuan, Cipari, Bantarsari, Kawunganten, Jeruklegi, Kesugihan, Maos, Sampang, Kroya, Adipala, Binangun, Nusawungu, Kampung Laut, Cilacap Utara, Cilacap Tengah dan Cilacap Selatan. Ibukota Kabupaten Cilacap adalah Cilacap, yang terdiri atas kecamatan Cilacap Utara, Cilacap Tengah, dan Cilacap Selatan. Cilacap dulunya merupakan Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif sehingga Kota Administratif Cilacap kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Cilacap. Di antara kota-kota kecamatan yang cukup signifikan di Kabupaten Cilacap adalah: Majenang, Karangpucung, Sampang, Sidareja, dan Kroya. Majenang menjadi pusat pertumbuhan kabupaten Cilacap di bagian Barat sedangkan Kroya dan Sampang menjadi pusat pertumbuhan di Bagian Timur.

FISIK WILAYAH KABUPATEN CILACAP

Segara Anakan di bagian selatan Kabupaten Cilacap pada awalnya merupakan muara dari banyak sungai di kabupaten Cilacap. Namun lama kelamaan terjadi sedimentasi muara yang mencapai 1 juta m3 sehingga menjadi suatu dataran yang rendah. Di wilayah selatan ini, ada sungai-sungai yang pada awalnya bisa dilayari sehingga menghubungkan bagian barat dan timur dari Kabupaten Cilacap, misalnya dari kota Cilacap hingga ke pulau Nusa Kambangan. Namun karena tingginya sedimentasi, maka perahu penumpang yang dulu melayari kawasan ini sekarang sudah tidak bisa berlayar lagi

karena air yang semakin dangkal. Pemda setempat pernah bekerjasama dengan BPPT untuk membuat perahu yang dapat berlayar di air yang dangkal, namun masih belum berhasil karena alur yang dilayari semakin dangkal.

Dengan kondisi bentang alam dengan ketinggian antara 6-198 meter di atas permukaan laut, maka beberapa wilayah di Kabupaten Cilacap sering dilanda banjir dan tanah longsor, terutama pada musim penghujan. Banjir dan tanah longsor ini menerjang permukiman serta persawahan penduduk. Kecamatan Majenang, Cimanggu, Cipari, dan Wanareja merupakan daerah yang dilanda bencana paling parah seperti yang terjadi pada awal Februari yang lalu. Banjir bandang terjadi di Mulyadadi, Pahonjean, dan Mulyasari. Sementara itu, longsor terjadi di Kecamatan Cimanggu, Karangpucung, dan Dayeuhluhur. Di Kecamatan Cimanggu, longsor terjadi di sejumlah desa di antaranya Kutabima dan Negarajati. Di Desa Bingkeng, Pamulihan, dan Sidamulya

longsor menerjang puluhan rumah warga dan jalan-jalan di desa setempat sehingga mereka sempat terisolasi. Di wilayah timur, sejumlah desa di Kecamatan Kroya juga terendam banjir setelah hujan deras mengguyur wilayah itu. Ketinggian air yang paling tinggi terjadi di Desa Gentasari dan Sikampuh yang mencapai 40 centimeter. Akibat banjir, kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 4 Kroya terhenti dan puluhan hektar sawah sehingga sebagian tanaman padi puso dan lainnya terancam mati. Seharusnya seminggu lagi warga bisa memetiknya, kini mereka terpaksa memanennya lebih awal.

TRANSPORTASI WILAYAH KABUPATEN CILACAP

Kabupaten Cilacap memiliki sarana transportasi yang cukup lengkap, karena infrastruktur jalannya meliputi jalan darat (kereta api dan mobil/motor), laut (kapal), dan udara (pesawat terbang). Kabupaten Cilacap dilalui jalan negara

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Page 17: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 15

Jalur jalan Cilacap-Wangon via Jeruklegi juga mengalami kerusakan. Jalur kereta api juga melintasi wilayah kabupaten ini. Stasiun Kroya adalah stasiun yang terbesar di Kabupaten Cilacap. Di sini bertemu dua jalur kereta, dari Bandung dan dari Cirebon, menuju Yogyakarta/Surabaya Gubeng. Di samping melayani transportasi penumpang, jalur kereta api ini juga melayani pergerakan barang baik itu semen, pupuk, BBM, dan produk industri lainnya.

Cilacap memiliki sebuah lapangan terbang perintis Tunggul Wulung yang dapat didarati oleh pesawat jenis CN-235. Dalam rencananya, bandara ini akan dijadikan bandara komersial. Sementara ini, Merpati Nusantara Airlines melayani rute penerbangan Cilacap--Jakarta--Cilacap 7 kali dalam seminggu. Selain itu, Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC) merupakan pelabuhan terbesar di pantai selatan Pulau Jawa. Selain PPSC, terdapat 13 tempat pelelangan ikan di Cilacap. Pelabuhan Tanjung Intan adalah pelabuhan ekspor-impor terutama untuk komoditas pertanian. Beberapa perusahaan besar pun memiliki pelabuhan khusus tersendiri, seperti Pelabuhan Minyak Pertamina UP IV, pelabuhan milik PT Holcim, dll.

KONDISI PEREKONOMIAN KABUPATEN CILACAP

Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Kabupaten Cilacap. Sektor pertanian yang memegang peranan yang cukup strategis berupa bahan tanaman pangan yang meliputi: padi sawah, padi gogo, jagung, ketela rambat dan kedelai.

Subsektor perikanan pun digeluti sebagian besar penduduk yang tinggal di pesisir pantai selatan wilayah ini. Jumlah nelayan laut sekitar 33.000 orang dengan luas sebaran tangkapan mencapai 5.200 km2. Armada penangkapan ikan mencapai 4.538 armada berbagai jenis, dengan dukungan prasarana berupa Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap yang berkapasitas 250 kapal, 7 unit dermaga, 11 TPI, 2 unit depot BBM, 4 unit galangan kapal, 5 unit pabrik es

lintas selatan Pulau Jawa, yakni jalur Bandung-Yogyakarta-Surabaya. Jalur Lintas Selatan (JLS) yang melintasi propinsi Jawa Tengah mencapai panjang 220 km. Sekitar 46% diantaranya berada di wilayah Kabupaten Cilacap. Saat ini, Pemda kabupaten cilacap telah membebaskan 15 km lahan untuk pembangunan JLS ini, namun baru 1,75 km yang sudah direalisasikan menjadi jalan. Kendala yang dihadapi oleh Pemda adalah pembiayaan pembangunan jalan ini berasal dari pemerintah pusat, yang hingga saat ini masih belum jelas secara keseluruhan. Dengan begitu, Pemda belum dapat membebaskan lahan lainnya bila belum jelas kapan realisasi pembangunannya. Kondisi ini dapat menimbulkan calo-calo tanah dan meningkatnya harga tanah yang harus dibebaskan oleh Pemda nantinya.

Transportasi angkutan darat dilayani oleh Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten dan Jalan Poros Desa. Total Panjang Jalan di Kabupaten Cilacap lebih dari 2.000 km. Jalan Nasional dan Jalan Provinsi sebagian besar dalam kondisi cukup baik dan baik. Di beberapa bagian ruas jalan nasional mengalami kerusakan ringan, sedang, sampai kerusakan berat, terutama jalan dari Kesugihan menuju Kota Cilacap.

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Page 18: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

16 buletin tata ruang *

berkapasitas 236 ton, dan 7 unit cold storage berkapasitas 75 ton. Sistem penangkapan ikan oleh nelayan Cilacap belum ada yang mencapai lepas pantai ZEE. Oleh karena itu, dibutuhkan fasilitas/alat tangkap ikan yang digunakan untuk mencapai Zone tersebut, baik armada kapalnya maupun alat deteksi ikan / alat penginderaan ikan jarak jauh. Potensi perikanan laut yang begitu besar masih belum banyak tersentuh dan digali. Budidaya perikanan pun masih memiliki potensi untuk dikembangkan, seperti budidaya rumput laut di utara pulau Nusa Kambangan dan budi daya kerapu karamba di bagian selatannya. Perikanan darat pun memiliki potensi untuk pengembangan lahan tambak dan budi daya perikanan darat yang tersebar hampir di seluruh kecamatan.

Kota Cilacap adalah satu dari tiga kawasan industri utama di Jawa Tengah (selain Semarang dan Surakarta). Dengan digalakkannya investasi, diharapkan banyak investor yang berkeinginan untuk menanamkan modal di Cilacap. Infrastruktur yang ada diharapkan lebih dapat ditingkatkan untuk mendukung program investasi tersebut. Di samping itu di Kota Cilacap sendiri telah tersedia Kawasan Industri yang terletak di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah. Di kawasan ini masih tersedia lahan yang dapat dikembangkan untuk industri. Beberapa kawasan juga telah disiapkan untuk pengembangan Kawasan Industri Baru seperti di Desa Bunton Kec. Adipala dan di Desa Karangkandri Kec.Kesugihan. Beberapa sentra industri kecil seperti sabutret yang ada di Wanareja, dapat mengikutsertakan masyarakat untuk membentuk suatu industri. Disamping itu terdapat beberapa industri pupuk kantong, biji coklat, dan olahan karet, tepung terigu, benang tenun, penggergajian kayu, dan pasir besi. Menurut penelitian yang pernah dilakukan, industri di Cilacap banyak yang bersifat footloose, sehingga kurang memberikan dampak yang berarti bagi kesejahteraan penduduk di Kabupaten Cilacap sendiri.

Di kabupaten Cilacap pun terdapat beberapa industri besar. Industri besar yang ada di Kota Cilacap ini tidak berpengaruh

langsung pada perkembangan desa-desa sekitar. Bahkan pabrik semen Holcim memiliki kawasan pertambangan ekslusif yang berada di pula Nusa Kambangan, yang tidak dapat diintervensi oleh Pemda setempat. Industri-industri besar yang terdapat di Kabupaten Cilacap adalah:

1. Pertamina Unit Pengolahan IV

2. Pabrik Semen HOLCIM

3. Pabrik Tepung Panganmas Inti Persada

4. PLTU Karangkandri

5. Pengolahan Ikan PT Juifa Internasional

Pekerja migran dari kabupaten Cilacap juga menyumbangkan banyak devisa, terutama karena kiriman uang mereka (remitan) ke daerah asal. Buruh migran tersebut berasal dari seluruh kecamatan yang ada. Untuk saat ini kencenderungan buruh migran menuju ke Asia Timur, seperti Korea Selatan dan Taiwan. Apabila dicermati, remitan dan devisa dari buruh migran tersebut (TKI/TKW) merupakan potensi ekonomi yang besar.

Sebenarnya, pemerintah daerah perlu mempersiapkan sumberdaya yang memadai agar pekerja migran dari Cilacap lebih banyak mengisi sektor formal di luar negeri. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa remitan yang dikirimkan merupakan salah satu penggerak perekonomian di sebagian wilayah Kabupaten Cilacap. Untuk kecamatan Dayeuhluhur dan Wanareja, kecenderungan migrasi tenaga kerja masih mengarah di kota-kota besar di Jawa Barat dan Jakarta (migrasi internal). Terutama untuk tenaga kerja laki-laki berangkat pada saat di desa sedang tidak ada pekerjaan di sektor pertanian. Buruh migran tersebut seringkali hanya menjadi buruh migran musiman.

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN CILACAP

Menurut Bapak Hamzah (Bappeda Kabupaten Cilacap), desa-desa yang ada di Kabupaten Cilacap relatif hampir sama tingkat perkembangannya. Tidak ada desa yang terlihat sangat maju/berkembang atau pun tertinggal. Namun dapat dikatakan bahwa desa-desa di bagian timur kabupaten Cilacap relatif lebih mudah berkembang dibandingkan desa-desa yang berada di sekitar Kampung Laut karena kondisi alamnya. Namun di bagian timur Kabupaten Cilacap ini terdapat permasalahan yang terkait dengan status tanah yang dimanfaatkan penggunaannya oleh masyarakat setempat. Status tanah yang bermasalah adalah tanah yang diklaim sebagai milik TNI-AD. Masyarakat yang memanfaatkan wilayah tersebut untuk bertani atau pun tinggal harus meminta izin dari TNI untuk pemanfaatannya. Dengan begitu rencana pengembangan wilayah ini sebagai kawasan wisata bahari oleh pemda setempat tidak dapat terlaksana karena Pemda tidak memiliki wewenang untuk pengendaliannya.

Daerah sebelah barat sekitar kampung Laut yang dapat dikatakan lebih tertinggal dibanding wilayah lainnya, dikarenakan kultur setempat yang keras. Dengan kultur itu, kegiatan konservasi yang sudah lama dilakukan tidak berhasil karena hanya diambil kayunya tanpa menggantinya kembali. Perubahan yang dilakukan untuk daerah tersebut mau diterima asal membawa keuntungan pribadi. Misalnya kegiatan pengerukan laguna yang dilakukan

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Page 19: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 17

IBU YAYAH DAN SAPI PELIHARAANNYA

oleh pemda. Pada saat kapal pengeruk beroperasi, kapal tersebut diduduki oleh masyarakat setempat, padahal pengerukan itu untuk membantu pemulihan kawasan. Kalau dilihat dari pendanaan APBD atau pun APBN yang dialokasikan, penganggaran perpenduduk untuk wilayah pesisir selatan lebih besar dibanding untuk wilayah utara Kabupaten Cilacap, dimana penganggaran untuk 1000 penduduk di utara sama dengan untuk 100 penduduk di bgian selatan.

Konflik pertanian pun terjadi di kawasan hutan dibagian utara Kabupaten Cilacap. Masyarakat merasa sudah lama mendiami dan mengelola sawah dan permukiman di kawasan tersebut. Bahkan ada satu desa yang seluruh wilayahnya berada di kawasan perhutani. Wilayah utara Kabupaten Cilacap diarahkan untuk pengembangan pertanian, sehingga di Kecamatan Majenang terdapat Agropolitan sebagai pusat pengembangan pertanian. Berbagai infrastruktur pendukung telah dibangun, termasuk akses jalan dan fasilitas pertanian lainnya.

Kota Cilacap yang merupakan salah satu PKN di bagian selatan pulau Jawa berkembang karena adanya industri besar seperti Pertamina. Bila dilihat PDRB Kabupaten Cilacap dengan migas, maka nilainya bisa sangat tinggi, namun bila PDRB dilihat tanpa migas, maka nilainya menjadi sangat rendah. Dengan begitu, Kabupaten Cilacap dikenal pula sebagai wilayah yang memiliki PDRB tinggi namun masih banyak memiliki masyarakat miskin. Selain itu, Pelabuhan Cilacap pada awalnya lebih dikenal dibanding pelabuhan Semarang di Jawa Tengah. Pada sekitar tahun 80-an, berbagai komoditas keluar dari pelabuhan Cilacap. Namun saat ini, semakin sedikit komoditas yang masuk dan keluar dari pelabuhan Cilacap. Ini menjadi tantangan terdiri bagi Pemda Kabupaten Cilacap dalam pengembangan dan pembangunan wilayahnya.

PARA PIONER PELAKU EKONOMI PERDESAAN DI KABUPATEN CIAMIS DAN CILACAP

Berkembangnya ekonomi perdesaan di Kabupaten Ciamis adalah sebuah keniscayaan yang dapat diwujudkan melalui kerja keras dan keuletan dari pribadi-pribadi sederhana yang merelakan diri untuk menjadi contoh atau pionir bagi pelaksanaan kebijakan bantuan Pemda yang ditujukan untuk kemajuan ekonomi keluarga dan desanya. Tentu saja keberpihakan Pemda Kabupaten Ciamis melalui bantuan untuk diversifikasi usaha bagi masyarakat perdesaan seperti Ibu Yayah, Pak Bebeng, Pak Ujang, Pak Ade serta warga desa lainnya merupakan langkah strategis yang

akan memberikan dampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa.

Ibu Yayah, peternak sapi potong. Ibu Yayah dan suaminya serta 3 orang anaknya tinggal di Desa Kondang Jajar, Kecamatan Cijulang. Dulu, untuk menghidupi keluarganya, mereka hanya mengandalkan penghasilan sebagai buruh tani, namun saat ini disamping bertani mereka memiliki 13 ekor (8 induk dan 5 anak) sapi jenis limosin. Sapi jenis ini adalah bibit terbaik yang punya nilai jual tinggi. Untuk sapi anak umur 4 bulan harganya mencapai 5 juta per ekor. Dengan memiliki sapi-sapi ini sekarang mereka punya tabungan, karena untuk kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi dari penghasilan bertani. Ibu Yayah adalah contoh dari pribadi yang memiliki tekad untuk meraih masa depan yang lebih baik melalui kerja keras, keuletan dan kesabaran, karena apa yang dinikmatinya saat ini adalah hasil dari usaha selama 11 tahun. Apa yang dicapai oleh Ibu Yayah saat ini diawali dari bantuan Pemda Kabupaten Ciamis berupa satu ekor bibit sapi betina induk beserta pendampingan teknis pemeliharaan oleh tim penyuluh lapangan. Berkat ketekunan dan kerjasama yang baik, maka sekarang Ibu Yayah telah menjadi peternak mandiri dan dapat membantu warga desa lainnya yang baru mulai usaha ternak sapi potong.

Bapak dan Ibu Bebeng, perajin gula merah. Pak Bebeng dan istrinya memiliki anak 3 orang yang semuanya sudah berumahtangga. Mereka dikaruniahi 6 orang cucu yang semuanya tinggal dalam beberapa rumah yang berdekatan di Desa Kondang Jajar, Kecamatan Cijulang. Ketika ditanya sejak kapan mereka membuat gula merah, Pak Bebeng mengatakan sejak kecil dia sudah melihat orangtuanya membuat gula merah. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku gula merah maka setiap hari Pak Bebeng memanjat 36 batang pohon kelapa untuk menyadap nira. Lahan dan pohon kelapa ini bukan milik Pak Bebeng tapi barang sewaan. Nira hasil sadapan kemudian diolah menjadi gula merah oleh istri Pak bebeng dibantu anak dan cucunya. Dalam satu hari mereka bisa menghasilkan sekitar 15 kg, yang dijual kepada pengepul dengan harga 7.000 rupiah per kilogram. Hasil produksi ini sepertinya cukup menjajikan, namun ternyata keuntungan bersih setelah dikurangi biaya sewa lahan, pohon kelapa dan kayu bakar

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Ibu Yayah dan Sapi Peliharaannya

Page 20: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

18 buletin tata ruang *

Bapak H Karsono, pengrajin sebutret

Perjalanan tim redaksi ke arah barat di wilayah selatan pulau jawa sampai pada hamparan perkebunan karet milik Perhutani dan masyarakat di Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap. Masuk jauh menelusuri hamparan kebun yang masih produktif, sampailah tim redaksi ke suatu kawasan permukiman dimana terdapat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) An-Nur pimpinan bapak H. Karsono yang menerima tim redaksi dengan tangan terbuka. PKBM ini dikenal dengan aktivitas anggotanya dalam mengembangkan kerajinan dari sebutret (serat sabut kelapa keriting berkaret alam). Di desanya, bapak H Karsono dikenal sebagai tokoh masyarakat yang memiliki perhatian pada pembangunan desanya. Pondok pesantren untuk siswa setingkat SMP yang berdiri di dekat rumah beliau selalu ramai dengan anak-anak yang belajar dan berkarya dalam memanfaatkan hasil alam desanya. Dengan pengetahuan dan kemauan yang dimiliki oleh Bapak H Karsono, beliau mempelopori pemanfaatan serat sabut kelapa yang banyak dihasilkan di sekitarnya dengan karet alam yang yang selama ini menjadi sumber penghasilan penduduk. Produk ini sebenarnya adalah produk mediator yang dapat dibuat menjadi berbagai macam produk olahan jadi sehingga dapat langsung dimanfaatkan, seperti menjadi matras, kasur, pot tanaman, dan lain-lain. Salah satu alasan Bapak H Karsono mengembangkan kerajinan ini adalah untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di desanya. Pengolahan bahan baku karet alam dengan sabut kelapa yang mudah diperoleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat secara mandiri, sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Apalagi produk ini memiliki pasar ekspor yang cukup luas. Proses pengolahan dimulai dari pengeringan, pengeritingan, dan pencetakan sabut kelapa, serta penyemprotan dan perekatan bahan dengan kompon (hasil olahan lebih lanjut dari lateks), hingga pembentukan produk jadi seperti bahan jok mobil, matras, bantal kursi, kasur, pot tanaman dan sebagainya. Teknologi yang digunakan adalah teknologi sederhana. Pengolahan kerajinan ini membutuhkan mesin teknologi tepat guna dan juga tetap membutuhkan tenaga manusia untuk mengurai kembali sabut kelapa yang telah dikeriting. Menurut Bapak H Karsono, proses ini belum dapat digantikan dengan mesin, sehingga akan dapat menyerap tenaga kerja perdesaan.

Hingga saat ini, permintaan akan produk dari sebutret cukup besar, bahkan belum dapat dipenuhi oleh pengrajin yang dibina oleh Bapak H Karsono. Permintaan ekspor minimal 150 meter kubik per bulan, sedangkan kapasitas satu unit usaha yang ada hanya mampu 50 meter kubik per bulan. Untuk itu perlu dikembangkan unit-unit usaha masyarakat yang lebih luas, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pasar yang prospektif.

Pada akhirnya dengan adanya kebijakan Pemda Kabupaten Ciamis untuk memberikan peluang sebesar-besarnya bagi diversifikasi usaha masyarakatnya yang tinggal di perdesaan maka harapan untuk mengentaskan desa tertinggal serta mempersempit disparitas wilayah dapat dicapai. Dibawah ini dapat kita lihat cerahnya wajah-wajah optimis yang akan mewarnai masa depan dan menggapai VISI Kabupaten Ciamis yaitu Terdepan Dalam Agribisnis Dengan berlandaskan Iman dan Taqwa

nilai rupiah yang diterima Pak Bebeng dan keluarganya tidak mencukupi untuk biaya kehidupan sehari-hari bagi 11 jiwa. Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa yang serupa dengan kondisi Pak Bebeng, maka setahun yang lalu Pemda Kabupaten Ciamis memberikan bantuan satu ekor bibit sapi betina induk. Jadi saat ini keluarga Pak Bebeng memiliki peluang seperti Ibu Yayah.

Pembangunan UPTD Terminal Agribisnis Parigi , Desa parigi, Kecamatan Cijulang.

Hingga saat ini struktur distribusi prosentase PDRB berdasarkan lapangan usaha di Kabupaten Ciamis didominasi oleh sektor pertanian yaitu sebesar 32%. Dengan dasar inilah maka Pemda Kabupaten Ciamis merasa perlu untuk menjadikan pembangunan terminal agribisnis terpadu sebagai prioritas utama dalam memfasilitasi kelancaran kegiatan industri dan bisnis dalam bidang pertanian agar dapat dilakukan pada satu lokasi.

Kegiatan agribisnis yang telah berkembang baik disini adalah industri pengolahan kelapa dari industri hulu sampai hilir. Mata rantai industri pengolahan kelapa ini cukup panjang, dengan demikian diharapkan membawa manfaat dalam penyerapan tenaga kerja cukup besar.

Beberapa warga desa Parigi yang terlibat dalam aktivitas industri kelapa antara lain Bapak Ujang, perajin kopra yang mampu menghasilkan 5 ton perbulan, Bapak Ade bersama

istrinya yang mengolah air kelapa menjadi bahan makanan nata de coco, dan ibu-ibu yang menjadi pengrajin sapu lidi. Disamping mereka ini masih banyak warga desa yang terkait dengan industri hilir kelapa seperti pembuatan arang dari batok kelapa atau pengolahan sabut kelapa menjadi bahan pengisi jok kursi.

prof il wilayah. Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad Untuk Menbangun Desa

Page 21: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 19

Dikotomi kota dan desa dalam perencanaan pembangunan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bahkan dikotomi tersebut diarahkan pada tercapainya kesesuaian tindakan pembangunan terhadap kebutuhan desa maupun kota dalam memenuhi fungsi optimalnya. Kota, sebagai pusat aglomerasi kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Kota didukung dengan pembangunan fisik yang juga lebih intens dalam mendukung efisiensi kegiatan perkotaan. Disisi lain, daerah yang bukan perkotaan disebut sebagai perdesaan, sehingga dapat didefinisikan bahwa di daerah inilah tingkat kepadatan penduduk diperkirakan lebih rendah daripada perkotaan. Kegiatan ekonomi dan sosial pun jauh lebih sedikit. Pembangunan fisik juga tidak intensif.

Dalam Undang-Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007, kawasan perkotaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian. Susunan fungsi kawasan adalah sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Susunan fungsi kawasan adalah sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Dalam perspektif yang lebih umum, kawasan dapat diklasifikasi menjadi dua jenis utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Pada dasarnya, rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana struktur ruang meliputi rencana sistem permukiman dan sistem jaringan prasarana, sedangkan rencana pola ruang mencakup peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam rencana pola ruang, peruntukan ruang mencakup kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Dalam menyusun rencana tata ruang berdasarkan UU No.26/2007, ditekankan bahwa rencana struktur ruang wilayah nasional meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama. Untuk tingkat provinsi dan kabupaten, rencana struktur ruang wilayah juga meliputi hal yang sama dengan tingkat nasional tetapi dalam sistem jaringan prasarana wilayah provinsi atau kabupaten.

Mengacu kepada definisi-definisi formal diatas, maka rencana tata ruang merupakan sebuah alat untuk mengarahkan pengembangan wilayah. Wilayah kota

topik utama.Oleh : Dr. Emil Elestianto Dardak, MSc

Senior Associate Director, Tusk Advisory Pte Ltd

Pengembangan Pusat Kegiatan Perdesaan (Rural Town) sebagai Langkah

Integrasi Kawasan Perdesaan Dan Perkotaan Menjadi Wilayah Fungsional

dirancang sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah, sedangkan penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat perdesaan, pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya, konservasi sumber daya alam, pelestarian warisan budaya lokal, pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan, dan penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan. Salah satu bentuk kawasan perdesaan dapat berupa agropolitan.

Dapat dilihat bahwa UU No.26/2007 telah mendefinisikan kawasan perkotaan dan perdesaan dengan jelas, sehingga kebijakan penataan ruang sesuai dengan fungsi yang ditentukan bagi masing-masing jenis kawasan. Namun demikian, dikotomi ini hendaknya tidak menyebabkan adanya disconnect antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Dalam definisi ini, kebijakan penataan ruang di kawasan perkotaan akan mempengaruhi kawasan perdesaan terkait. Begitu pun sebaliknya, sehingga adanya sinergitas diantara dua kawasan tersebut perlu ditekankan sesuai dengan mandat UU No.26/2007 mengenai keterkaitan sistem perkotaan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya. Keterkaitan kawasan perkotaan dan perdesaan perlu diatur dalam rencana tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten, sehingga tidak menjadi perencanaan terpisah antara urban planning dan rural planning, melainkan menuju kepada regional planning.

Kritik terhadap pendekatan perencanaan wilayah yang cenderung terfragmentasi antara kebijakan perkotaan dan perdesaan juga dikemukakan oleh Hodge dan Monk (2004) di Inggris. Mereka menyatakan bahwa mengasosiasikan kawasan perdesaan dengan tingkat ekonomi yang rendah tidak selamanya tepat, karena di beberapa sistem kawasan justru kawasan perdesaan bisa digolongkan menjadi perkotaan dari segi tingkat ekonomi, dan sebaliknya.

Page 22: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

20 buletin tata ruang *

Beberapa kawasan perkotaan justru bisa tidak melebihi beberapa kawasan perdesaan dari segi tingkat ekonomi. Hoggart (1990) juga memiliki pandangan yang sama. Dia mengkritik perencana wilayah dan akademisi yang tidak mengedepankan teori untuk mengidentifikasi perbedaan struktural antara wilayah-wilayah desa yang ada saat ini. Pandangan ini menjadi kontradiktif dengan persepsi umum yang ada diantara para ekonom bahwa kawasan perdesaan merupakan kawasan yang secara ekonomi lebih rendah tingkatnya dibandingkan kawasan perkotaan. Kekuatan ekonomi perdesaan ini akan ditentukan menurut keterkaitan desa dan kota dari segi struktur ekonomi perdesaan.

Pandangan bahwa kawasan perdesaan dapat lebih superior secara ekonomi daripada kawasan perdesaan mungkin terdengar tidak umum. Namun pandangan ini jangan hanya diartikan sebagai kemunginkan superior atau tidaknya ekonomi perdesaan, melainkan perlu disimpulkan bahwa dikotomi kota desa tidak lagi bisa diterapkan seperti biasanya. Membandingkan daerah perdesaan dan perkotaan hanya dari segi tingkat ekonomi tidak lagi tepat. Daerah perdesaan harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisah dengan daerah perkotaan. Caffyn dan Dahlstrom (2005) menyarankan adanya integrasi daerah perkotaan dan perdesaan, dimana fokusnya lebih kepada interdependensi dan kesamaan (commonalities). Hal ini sesuai dengan tren yang ada dalam kajian kebijakan Eropa yang menekankan kepada interdependensi dan fokus yang menuju kepada wilayah fungsional, dan bukannya separasi antara kota dan perdesaan.

Pengembangan kota sekunder atau rural town dapat menjadi salah satu cara untuk implementasi integrasi perdesaan dan perkotaan. Rondinelli (1991) mencermati kebijakan pemerintah di negara-negara Asia yang bertujuan menciptakan pola yang seimbang pada pembangunan kota, serta bagaimana langkah-langkah mereka seringkali gagal mencapai tujuannya. Kegagalan ini menciptakan suatu kesadaran akan pentingnya langkah mendifusikan pertumbuhan perkotaan dan bukannya menekan atau membatasinya.

Berdasarkan kegagalan dan kesadaran tersebut, negara-negara Asia telah merubah fokus kebijakan pengembangan perkotaan. Fokus tersebut menuju ke arah kebijakan yang berinvestasi di kota-kota sekunder dan kecil, dengan potensi pertumbuhan yang memungkinkan integrasi

pasar perkotaan dan perdesaan. Untuk lebih memahami bagaimana pengembangan kota kecil atau rural town dapat mendorong integrasi kawasan perdesaan dan perkotaan menjadi wilayah fungsional, maka perlu dipahami inseparability antara kawasan perdesaan dan perkotaan yang dapat dicapai dengan menganalisa proses pembangunan ekonomi.

Dari perspektif regional, pembangunan ekonomi dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi pertumbuhan ekonomi dan dimensi struktur ruang atau spasial (Parr, 1979). Kedua dimensi ini saling terkait tanpa adanya urutan yang jelas atau tepat, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat mendorong terjadinya perubahan struktur ruang. Sebaliknya juga dapat terjadi dimana ada kasus bahwa karakteristik dan kecepatan dari perubahan ekonomi wilayah selama suatu periode waktu tertentu dapat dipengaruhi oleh struktur ruang diawal periode tersebut. Dalam memahami mekanisme integrasi perkotaan dan perdesaan, penekanan ditempatkan pada bagaimana pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya perubahan struktur ruang.

Parr (1987) memberikan sebuah contoh pembangunan ekonomi wilayah yang melibatkan perubahan struktur ruang. Studi kasus ini melibatkan sebuah kawasan ekonomi yang baru tumbuh dengan tingkat pendapatan per kapita yang pada awalnya relatif rendah. Parr menggunakan kepadatan penduduk sebagai ukuran perubahan struktur spasial. Dalam model kasus yang digunakan untuk kajian Parr, pertumbuhan ekonomi mendorong pertumbuhan penduduk. Tingkat pertumbuhan penduduk lebih tinggi di pusat wilayah dan menurun seiring dengan menjauhnya dari pusat wilayah. Parr menggunakan istilah metropolis untuk mengacu kepada pusat wilayah. Metropolis dianggap sebagai pusat pertumbuhan yang sedang berkembang. Ada dua kemungkinan yang dapat mengikuti pola ini yang dikenal juga sebagai Regional Concentration with Metropolitan Centralization.

Kemungkinan pertama adalah sebuah wilayah dimana pada awalnya perekonomiannya didorong oleh kegiatan tradisional yang akhirnya mengalami proses industrialisasi. Dalam hal ini, Lampard (1995) menekankan bahwa apabila perbedaan biaya transportasi tidak signifikan, maka kegiatan ekonomi tidak perlu terletak dekat dengan pasar. Ini menyebabkan terjadinya pola konsentrasi untuk lokasi kegiatan produksi. Perlu ditekankan bahwa absennya biaya transportasi yang signifikan memungkinkan konsentrasi kegiatan hanya di wilayah sekitar yang berada pada radius tertentu dari metropolis

topik utama. Pengambangan Pusat Kegiatan Perdesaan (Rural Town) sebagai Langkah Integrasi Kawasan Perdesaan Dan Perkotaan Menjadi Wilayah Fungsional

Page 23: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 21

Pada wilayah non-metropolis di dalam ekonomi tersebut, atau area di luar pusat pertumbuhan, juga terjadi pertumbuhan ekonomi namun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih lambat. Pertumbuhan di bagian non-metropolis dapat disebabkan oleh pendapatan yang diperoleh oleh commuters yang bekerja di metropolis, serta meningkatnya permintaan dari penduduk metropolis terhadap produk non-metropolis dan kegiatan ekonomi untuk bahan baku dan makanan yang disuplai dari bagian non-metropolis kawasan tersebut. Oleh karena itu, proses pertumbuhan ekonomi bermuara dari industrialisasi yang berlangsung di pusat pertumbuhan, yang kemudian menetes (trickle down) ke wilayah sekitar atau bagian non-metropolis.

Kemungkinan kedua adalah wilayah dengan pertumbuhan yang awalnya terjadi di bagian non-metropolis wilayah tersebut, yang kemudian menciptakan stimulus untuk bagian metropolis dari wilayah tersebut. Ini kemungkinan dapat terjadi untuk wilayah-wilayah permukiman baru. Perkembangan kegiatan pertanian dan kegiatan berbasis sumber daya alam di bagian non-metropolis menciptakan permintaan terhadap barang dan jasa yang hanya ada di bagian metropolis. Barang dan jasa ini biasanya mencakup barang manufaktur yang digunakan sebagai input terhadap produksi atau konsumsi akhir, serta jasa seperti perbankan, keuangan, grosir, transportasi dan jasa berorientasi konsumen.

Lokasi nodal (terpusat) dari metropolis dan economies of scale yang ada pada kegiatan ekonomi yang berlangsung di bagian metropolis, sebagaimana dikemukakan oleh Parr (1973), menyebabkan adanya disproportionate multiplier effect yang dialami metropolis dari pertumbuhan yang berawal dari bagian non-metropolis. Dengan kata lain, karena daerah sekitar yang terdiri dari kegiatan pertanian atau ekstraksi sumber daya alam mengalami pertumbuhan, maka leverage atau pengungkit terjadi karena daerah metropolis dapat memproduksi barang atau jasa yang diinginkan daerah sekitar secara lebih efisien.

Namun demikian, terdapat sebuah prakondisi yang penting agar economies of scale dapat terjadi. Prakondisi ini dapat dijelaskan dengan menggambarkan wilayah dalam bentuk lingkaran, dimana metropolis menjadi nukleus dalam bentuk lingkaran kecil di tengah lingkaran utama. Jika pertumbuhan berawal hanya dari sebagian daerah sekitar yang berada di lingkaran utama dan di luar nukleus, maka pengungkit atau leverage maksimum tidak dapat dicapai. Economies of scale membutuhkan pertumbuhan yang bermuara dari sebagian besar daerah sekitar. Tingkat daya pengungkit ini akan menentukan potensi economies of scale. Besarnya daya pengungkit dapat digambarkan sebagai hasil dari proporsi daerah sekitar yang mengalami pertumbuhan dan leverage spasial maksimum.

Degree of leverage dapat dijadikan persamaan berikut:

22

22

22 rA

rrR

rRA

ππππ

ππ=

−×

Dimana A adalah daerah sekitar (hinterland) yang mengalami pertumbuhan ekonomi, R adalah radius dari seluruh wilayah ekonomi, dan r adalah radius dari nukleus atau metropolis.

Rasio akhir dapat dihitung secara mudah tanpa menghitung kedua rasio lain yang dikalikan dalam formula di atas. Penting untuk diingat bahwa rasio lainnya memiliki fungsi penting dalam menentukan optimal tidaknya pengaturan spasial dari segi utilisasi sumber daya alam untuk seluruh wilayah. Rasio dari daerah sekitar yang mengalami pertumbuhan ekonomi terhadap total daerah sekitar, mereprentasikan proporsi dari daerah sekitar yang mengalami pertumbuhan. Rasio ini secara tunggal memberikan tingkat optimalnya daya pengungkit. Semakin dekat ke angka 1, maka pengungkit semakin optimal. Pengungkit ruang maksimum merupakan rasio dari daerah sekitar terhadap luas nukleus. Hasil dari kedua rasio ini adalah rasio dari daerah sekitar yang mengalami pertumbuhan terhadap area nukleus.

Rasio ini menunjukkan tingkat pengungkit berdasarkan seberapa besar daerah hinterland atau sekitar yang mengalami pertumbuhan sebagai pasar potensial untuk nukleus berbanding terhadap area nukleus itu sendiri. Namun demikian, perhitungan ini, tidak mempertimbangkan kepadatan penduduk dan perbedaan ketersediaan sumber

daya alam atau disparitas. Oleh karena itu, luas wilayah dapat disubstitusi dalam formula ini dengan indikator lain seperti jumlah populasi, produksi pertanian, atau luas lahan subur. Gambar berikut memberikan ilustrasinya.

Sebagai kesimpulan, integrasi desa dan kota sebagai sebuah wilayah fungsional dapat lebih dipahami dengan mengedepankan konsep growth pole di wilayah perdesaan. Optimalisasi ini lebih dapat dicapai dengan mengembangkan kota sekunder atau rural town yang juga dapat sebagai diffuser dari pertumbuhan kota besar melalui jaringan sistem perkotaan yang dibentuk oleh struktur ruang dan infrastruktur

topik utama. Pengambangan Pusat Kegiatan Perdesaan (Rural Town) sebagai Langkah Integrasi Kawasan Perdesaan Dan Perkotaan Menjadi Wilayah Fungsional

Growth

center

Hinterland

Border of

functional

region

Area of

growth

center

Proportion

of

hinterland

Capacity

Degree of

leverage=

Page 24: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

22 buletin tata ruang *

topik utama.Oleh: I Ketut Ardhana

Peluang dan Tantangan Ekowisatadi Jantung Kalimantan

Pendahuluan

Selama ini, perhatian pengembangan sektor pariwisata masih berorientasi pada wilayah perkotaan. Ini terlihat dari maraknya pembangunan sarana dan prasarana wisata di wilayah perkotaan, seperti makin banyaknya pembangunan mall, restaurant, cafe dan tempat hiburan lainnya. Kebijakan ini menyebabkan semakin tingginya tingkat urbanisasi ke perkotaan. Sebaliknya di pihak lain, pasar-pasar tradisional menjadi semakin stagnan. Paradigma kebijakan program pembangunan wisata tidak hanya terkonsentrasi pada wilayah perkotaan saja, namun sudah semestinya melirik potensi-potensi yang dimiliki oleh wilayah perdesaan. Dengan begitu, konsentrasi ”kue pembangunan” tidak hanya dinikmati oleh penduduk dan masyarakat perkotaan saja, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat perdesaan yang bertempat tinggal di kawasan yang jauh dari gemerlap dan hingar-bingarnya kehidupan perkotaan. Ini sangat penting diperhatikan mengingat perlunya perubahan kebijakan yang lebih memperhatikan kehidupan masyarakat perdesaan. Salah satu harapan dengan adanya perubahan kebijkan itu adalah berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pengembangan industri pariwisata yang terdapat di masyarakat perdesaan, khususnya wisata lingkungan. Tujuannya adalah menciptakan kesempatan dan peluang kerja bagi masyarakat yang mendiami wilayah perdesaan, dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Sejak dimulainya era otonomi daerah, sebenarnya perhatian pemerintah pusat dan daerah sudah memberi perhatian lebih luas dalam pengembangan kawasan perdesaan, termasuk membidik peluang-peluang ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu program pemerintah yang berkaitan langsung dengan masyarakat perdesaan adalah meningkatkan sektor wisata lingkungan dan agrowisata yang diharapkan mampu memberi kontribusi pada pengembangan wilayah perdesaan. Namun dalam kenyataannya tetap muncul kendala-kendala sebagai akibat kurang sinerginya kebijakan pemerintah atau dengan kata lain masih egosektoral, dalam arti kurangnya koordinasi dan integrasi antara kebijakan dan peraturan yang diimplementasikannya. Hal ini berdampak pada masih munculnya keragu-raguan dari berbagai pihak yang berminat berinvestasi di sektor pariwisata, terutama dengan masih belum jelas atau masih tumpang tindihnya berbagai peraturan yang berkaitan dengan masalah penataan tata ruang pada kawasan yang dianggap berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata, misalanya wisata lingkungan. Kebijakan yang sudah mulai mengarah pada masyarakat perdesaan, ditengarai akan berakibat pada semakin intensnya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Ini dikhawatirkan akan dapat mengganggu kawasan-kawasan yang diperuntukkan untuk pelestarian lingkungan dan sebagainya. Kebijakan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi itu dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi peraturan yang berkaitan dengan penataan tata ruang di masyarakat perdesaan. Untuk itu, perlu perhatian yang lebih serius dari pemerintah pusat

topik utama. Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantan

dan pemerintah daerah serta komponen masyarakat lainnya untuk lebih mengkonsentrasikan perhatian agar masalah penataan tata ruang itu segera dapat diwujudkan. Bagaimana pun juga, masalah ini adalah masalah yang mendesak untuk diperhatikan agar tidak terjadi perusakan lingkungan yang semakin tidak terkontrol.

Membahas pengembangan ekowisata di masyarakat perdesaan, khususnya di masyarakat yang terletak di wilayah perbatasan, dirasakan sangat signifikan. Akhir-akhir ini, masalah perbatasan mendapat sorotan tajam tidak hanya dari kalangan akademisi tetapi juga dari kalangan birokrat, pemerintah pusat hingga daerah. Ini disebabkan kesan-kesan negatif yang tercipta sebagai akibat wilayah perbatasan yang dijadikan sebagai tempat lalu lalangnya masalah tenaga kerja ilegal (illegal workers), pembalakan hutan (illegal logging), dan penyelundupan (smuggling). Selain itu, ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan serta munculnya ketegangan-ketegangan di wilayah perbatasan sebagai akibat dari tidak terjangkaunya wilayah ini sehingga dapat menjadi jalan masuk bagi larinya teroris yang mengkhawatirkan dunia internasional (transnational-terrorists). Tidaklah mengherankan, suasana ini menyebabkan munculnya citra negatif terhadap apa yang disebut “perbatasan” dan bahkan telah mengusik kedamaian yang sudah tercipta di wilayah perbatasan. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, muncul berbagai pandangan berkaitan dengan bagaimana mengelola wilayah perbatasan sehingga kehidupan masyarakatnya dapat disejahterakan. Dalam kaitan ini, berbagai program sedang disiapkan seperti pengembangan sekolah-sekolah kejuruan di daerah perbatasan dan juga kemungkinan pengembangan kawasan tersebut dalam kaitannya dengan dunia kepariwisataan. Dengan harapan-harapan akan adanya perubahan melalui pengembangan kawasan wisata, maka perlu dilihat pula semangat otonomi daerah yang sudah dikembangkan berkaitan dengan bagaimana program pariwisata ini dikembangkan. Pengembangan berbagai

Page 25: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 23

topik utama. Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantan

potensi wilayah perbatasan yang ada perlu diperhatikan baik dari aspek modal sosialnya, potensi ekonomi yang dapat dikembangkan, dan juga mengenai potensi sumber daya manusia yang tersedia. Untuk dapat memahami situasi di wilayah perbatasan, maka dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa hal antara lain, pertama: bagaimana kita dapat memahami kondisi wilayah perbatasan yang sebenarnya mempunyai potensi wisata yang penting dan menarik untuk dikembangkan. Kedua, potensi-potensi apa saja yang dimiliki dalam kaitannya dengan aspek sosial budaya dan interdependensi ekonomi masyarakat. Ketiga, bagaimana kebijakan atau peraturan yang ada yang harus diperbaiki berkaitan dengan pengembangan kawasan wisata tersebut. Dengan menganalisis dari ketiga aspek ini, maka tulisan ini akan memberikan kontribusi dalam memahami secara lebih baik mengenai kondisi riil yang perlu dikembangkan berkaitan dengan ekowisata di wilayah perbatasan yang nota bene merupakan wilayah perdesaan, dan diupayakan untuk dapat menyiasati persoalan tersebut sehingga kita dapat mengantisipasinya dengan mengelola kehidupan masyarakat di sana secara lebih baik.

“The Heart of Borneo”: Peluang dan Tantangan Ekowisata di Wilayah Perbatasan

Di masa lalu, terutama di era Orde Baru, ketimpangan-ketimpangan program pembangunan banyak terjadi dikarenakan kebijakan pembangunan yang diterapkan bersifat sentralistik. Hal ini berdampak besar terhadap tingkat kemajuan program pembangunan yang dicapai, misalnya semakin menonjolnya jurang pemisah kemajuan yang dicapai antara masyarakat perkotaan dan masyarakat perdesaan. Masyarakat perdesaan, dalam kaitannya dengan masyarakat yang tinggal di perbatasan, terkonsentrasi di daerah yang masih dikenal sebagai daerah terbelakang, terpinggirkan, dan kurang tersentuh dengan arus modernisasi yang terjadi. Konsep masyarakat perbatasan sering dihubungkan dengan daerah pinggiran, kawasan yang terbelakang, atau istilah yang populer di masa lalu dikenal sebagai kawasan atau daerah-daerah yang tertinggal dan terpencil. Kondisi itu berlawanan dengan kondisi di wilayah yang berada di pusat-pusat pemerintahan atau kekuasaan, sehingga ada kesan umum bahwa daerah di perbatasan adalah miskin, terbelakang, serta penuh ketergantungan dengan wilayah lain. Sebaliknya, wilayah pemerintahan pusat itu sedang berkembang atau lebih kaya, maju, dan memberikan bantuan atau subsidi kepada

wilayah-wilayah yang dianggap terpencil. Lebih-lebih dengan munculnya gejolak di wilayah itu, seringkali ada anggapan bahwa kehidupan masyarakat di sana tidak stabil serta riskan yang cenderung mengarah untuk munculnya konflik. Persoalan ini tentu tidak bisa dibiarkan berkembang begitu saja. Untuk itu perlu adanya penanganan yang lebih baik dalam upaya untuk memikirkan potensi apa yang dapat dikembangkan di masa depan.

Dalam perjalanan sejarah sebelum munculnya negara modern, masyarakat di perbatasan tidaklah merasa

terpisahkan antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pada awalnya terjadinya penyebaran etnik yang sama yang menuju ke suatu wilayah, dan mereka hidup secara berdampingan antara yang satu dengan yang lainnya. Namun demikian, ketika muncul negara modern, mereka secara seketika dipisahkan oleh wacana politik berdasarkan keharusan memilih

salah satu kewarganegaraan yang dianggapnya dapat melindungi mereka. Hal ini tampaknya sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rajah (1960:116), yang mengatakan bahwa wilayah perbatasan itu sebagai garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. “Borders, as well recognized with natural or geographical features, ... perhaps the most importantly consideration that makes operating along border areas a strategic necessity as the fact of the border itself, that is, a line of demarcation between two sovereign nations”. Dari kutipan tersebut tampak bahwa perbatasan dibagi berdasarkan ciri-ciri alam dan geografis. Untuk itu perlunya kebijakan strategis diterapkan, meskipun pada kenyataannya masyarakat terbagi antara dua negara modern. Ini berarti bahwa meskipun ada batas diantara mereka namun terdapat peluang yang harus dimanfaatkan secara strategis. Selain itu, Kyoto Kusakabe dan Zin Mar Oo (2004) dalam tulisannya “Gender and Power at the Burmese Power“ yang mengutip dari Donnan dan Wilson (1999: 126-127) mencatat sebagai berikut: “… (a) borders, we see the confluence of culture, power and the state…states act as aggregations of the rulers for social and economic action …In the lives of border peoples the border is a resource, an opportunity and a barrier, but it is also a symbol of their role in the cultural value system and in systems of economic value, which are important to the daily functioning of the states in which they live.” Dalam pendapatnya itu, dapat dilihat bagaimana dalam kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan sebagai sebuah potensi atau sumber ekonomi, sebagai sebuah peluang atau kesempatan sekaligus juga sebagai halangan atau hambatan. Akan tetapi, ini juga menjadi sebuah simbol dalam peran mereka dalam sistem nilai budaya dan dalam sistem nilai ekonomi yang cukup penting pada fungsi masyarakat dan negara dimana mereka hidup.

Page 26: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

24 buletin tata ruang *

Secara sosial budaya, masyarakat Krayan di Kalimantan Timur cukup kreatif dalam mengkonstruksikan nilai budaya mereka, yang sebenarnya dapat dipromososikan untuk pengembangan dunia kepariwisataan di sana. Sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, masyarakat perdesaan di kawasan perbatasan yang dikenal dengan Lun Dayeh ini juga melakukan pekerjaan tradisional seperti berburu, memetik hasil hutan, dan lainnya. Berburu memang sering dikaitkan dengan kehidupan orang Dayak pada umumnya. Berburu di hutan merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat yang hidup berdekatan dengan hutan. Di Krayan, misalnya di Long Bawan, sektor pertanian memainkan peranan penting. Terdapat beberapa alasan antara lain karena hasil hutan tidak dapat dikelola secara maksimal. Hal ini dapat dimengerti karena tidak ada industri kehutanan seperti di Samarinda, Kalimantan Timur. Ini berarti bahwa produksi hutan biasanya dipergunakan oleh masyarakat lokal secara traditional dan tidak dalam kaitannya dengan keuntungan ekonomi. Kebanyakan mereka yang tinggal di wilayah tersebut adalah petani yang tidak mengembangkan sektor pertanian secara professional. Adapun sebabnya adalah mereka menghadapi kesulitan dalam masalah pemasaran. Beras yang berasal dari Long Bawan dan daerah sekitarnya dikenal sebagai “Beras Adan”, yang rasanya dianggap enak dan kualitas baik. Beras itu dijual ke Sarawak dan Brunei Darussalam. Cukup menarik untuk melihat bahwa padi di sini ditanam di sawah yang bergantung pada air yang berasal dari sungai dan hujan. Mereka tidak menanam padi dengan menggunakan cara tertentu seperti yang dikenal dengan shifting cultivation method, tetapi masih memanfaatkan tanah yang sama. Masyarakat Lun Dayeh di perbatasan juga memiliki ketrampilan membuat anyaman tikar maupun lemang, sejenis makanan yang terbuat dari ketan yang dimasukkan ke dalam bumbung. Akan tetapi, karena kurangnya fasilitas promosi dan jaringan kerjasama yang terkoordinasi menyebabkan lemahnya nilai jual dari barang-barang dan potensi-potensi pariwisata yang ada di Krayan.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ternyata penduduk Lun Dayeh belum mampu memanfaatkan peluang ekonomi di sektor pariwisata yang ada. Memang sudah ada orang-orang yang memiliki minat untuk mengembangkan pariwisata yang sekaligus menjadi pemandu wisata di wilayah Krayan. Dalam hal ini ia menunggu wisatawan yang datang dari Serawak. Kesempatan ini sering dimanfaatkan oleh penduduk seberang, seperti yang ada di Ba Kelalan Serawak, untuk membawa wisatawan atau turis menggunakan sepeda untuk menyeberang ke Krayan, dalam kaitannya dengan aktifitas eko wisata yang ada di sana. Peluang-peluang ekonomi seperti itu tidak bisa dimanfaatkan secara baik karena lemahnya posisi tawar yang dimiliki penduduk di sana. Selain itu, misalnya saja pada masyarakat Dayak (Lun Dayeh) yang menempati wilayah perbatasan di tiga negara seperti Brunei, Sabah (Malaysia) dan Krayan (Kalimantan Timur Indonesia) yang mengangkat nilai budaya Ulu Padas yang dianggap dapat menyatukan mereka (the heart of Borneo). Apabila konsep ini dikembangkan tentu akan mempunyai nilai budaya sendiri di sana. Apabila diangkat untuk mengembangkan sektor eko wisata, tentu hal ini akan dapat memberi kontribusi yang besar karena berbagai etnis yang berasal dari Sabah, Malaysia dan Brunei akan berkunjung ke tempat ini. Ini akan memberikan nilai positif bagi pengembangan kawasan wisata di Kalimantan Timur

(Maunati, 2007: 250). Selain sumberdaya alam, kawasan Kalimantan Timur memiliki potensi sumberdaya manusia yang baik. Di masa lalu, kawasan perbatasan di Kalimantan Timur seperti di Pa Betung (Kalimantan Timur) dan Long Pasia (Sabah) memiliki banyak penduduk. Namun ketika terjadi regrouping desa, banyak diantara mereka pindah ke tempat yang lebih ramai di Long Bawan sebagai salah satu pusat administrasi pemerintahan kecamatan di Kalimantan Timur.

Kini semakin banyak pendatang yang bermukim di Krayan. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Krayan adalah Long Pasia di Sabah, Malaysia. Masyarakat Lun Dayeh di Krayan yang memiliki etnisitas yang sama dengan masyarakat yang bertempat tinggal di perbatasan Long Pasia yang berada di wilayah Sabah ini sudah melirik potensi-potensi yang mungkin dikembangkan di masa datang, terutama dikaitkan dengan pengembangan ekowisata. Jumlah penduduk Long Pasia sekitar 700 orang. Menurut tradisi lisan, mereka pernah bertempat tinggal di tempat lain, dan baru pada tahun 1950-an bermigrasi ke Long Pasia. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang berbatasan dengan Long Pasia sampai sekarang adalah Maligan. Mereka dikatakan tidak berperang lagi karena tradisi headhunting sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat di sana. Dilihat dari kondisi alamnya, Long Pasia memiliki keindahan alam karena dikelilingi pegunungan hijau sehingga dapat menarik wisatawan. Mata pencaharian yang digeluti masyarakatnya adalah bertani. Yang menarik untuk diungkapkan di sini adalah bahwa mereka banyak yang bergerak di sektor pariwisata, khususnya ekowisata. Kawasan Long Pasia ini telah dikembangkan sejak lama untuk program ekowisata, karena diharapkan dapat memberikan masa depan yang cerah. Selain hamparan sawah, di sini juga dapat dilihat banyak sekali pengelolaan kawasan ekowisata, dimana terdapat danau dan air terjun yang dikelola dengan baik. Selain itu, kawasan Long Pasia ini memiliki berbagai keindahan alam yang unik seperti bunga-bunga anggrek khas Kalimantan. Potensi alam yang dikembangkan menjadikan Long Pasia sebagai andalan pemerintah Malaysia, khususnya pemerintahan di Sabah, untuk mengembangkan pariwisata lingkungan (eco-tourism).

Kebijakan pemerintah Malaysia dalam mengembangkan industri pariwisata ini berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat di perbatasan yaitu meningkatnya kesejahteraan mereka. Misalnya saja, jasa yang ditawarkan seperti pemandu wisata dibayar RM 80 sampai dengan RM 100 ( 1RM=Rp 2.260), sementara dalam pemandu dalam bahasa Inggris dibayar RM 150 per harinya. Seorang porter

topik utama. Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantantopik utama. Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantan

Page 27: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 25

mendapat upah sekitar RM 50 per hari. Selain pemandu wisata, penyewaan homestay juga menjadi trend yang menarik di sana (Maunati, 2007: 275—276). Di Malaysia, lokasi mana yang dikembangkan untuk kawasan wisata, mana yang menjadi kawasan hunian penduduk, dan mana lokasi hutan yang dilindungi, memang sudah cukup jelas. Ini bisa dimengerti karena pemerintah Malaysia cukup ketat dan tegas dalam menjaga peraturan tentang tata ruang. Jadi tidak semua pihak dapat membangun lahan-lahan wisata tanpa terkoordinasi apabila kawasan tersebut peruntukannya bukan untuk pengembangan kawasan wisata. Menurut keterangan dari pegelola homestay, selain mendaftar pada petugas yang mengurus aktifitas kepariwisataan, mereka juga membayar fee setiap kali memperoleh tamu atau turis yang berkunjung, yakni RM 5 untuk setiap malam per orangnya. Turis yang datang ini kebanyakan berasal dari Inggris dan Australia. Pemandu memiliki kewajiban untuk memberikan fee kepada petugas apabila memperoleh tamu. Ini adalah contoh langsung bagaimana pariwisata lingkungan memberi kontribusi pada kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan Malaysia. Masyarakat di perbatasan pun tidak langsung mengubah pola kehidupannya dari petani menjadi pekerja pariwisata. Ini dapat dilihat dari tetap berlangsungnya profesi mereka sebagai petani atau pekebun yang sehari-hari bekerja mengelola tanaman pertanian di kebun-kebun mereka. Di samping itu, mereka tetap pergi ke hutan untuk berburu dan juga menjaga kelestarian hutan yang menjadi tempat atau lahan untuk mencari kehidupan sehari-harinya.

Kebijakan Tata Ruang, Ekonomi dan Kerjasama Regional

Bagi Indonesia, perlu dibuat kebijakan yang lebih pasti terhadap mana lokasi-lokasi yang diperuntukkan untuk lahan hutan, kawasan wisata, dan kawasan hunian penduduk kedepannya. Ini penting dilakukan karena akan memberikan kepastian berusaha bagi penduduk untuk mengembangkan dan sekaligus memajukan kawasan dimana mereka bertempat tinggal. Selain itu, mereka juga tidak terlalu tergantung dengan negara lain seperti ketergantungan secara ekonomi dengan negara tetangga seperti Malaysia. Untuk itu, perlu implementasi peraturan yang mengakomodasikan tidak hanya kepentingan pemerintah, tetapi juga kepentingan pengusaha dan masyarakat di perbatasan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini, studi-studi tentang agraria dan hukum agraria perlu dilakukan secara lebih intensif. Pembahasan tentang tata

ruang di daerah-daerah perdesaan perlu diintensifkan melalui penguatan kemauan politik pemerintah daerah dalam mengatur tata ruang yang ada di wilayahnya. Masalah penataan ruang menjadi penting tidak hanya di wilayah perkotaaan, tetapi juga di daerah perbatasan pada khususnya dan masyarakat perdesaan di Indonesia pada umumnya.

Untuk itu, perlu digali potensi yang mereka miliki, tidak hanya menyangkut potensi sumber daya alam tetapi juga potensi sumber daya manusianya. Dalam kaitannya dengan pengembangan sumber daya alam ini, wilayah perbatasan memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perolehan devisa negara yang diperoleh sebagai akibat pengembangan dunia kepariwisataan. Akan tetapi, upaya ke arah ini belum dikembangkan secara optimal. Sebenarnya, upaya mengakui dan meningkatkan kesejahteraan mereka sudah terdapat pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini berarti bahwa pemanfaatan kekayaan alam oleh negara adalah dalam rangka kemakmuran rakyat dimana pun mereka berada, baik di perkotaan maupun di perdesaan sampai ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun. Di wilayah perbatasan misalnya, terdapat komunitas penduduk yang dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki perangkat hukum adat yang sudah diwarisi secara turun temurun sepanjang sejarah kehidupan mereka. Ini berarti bahwa kalau pengembangan wilayah perbatasan dalam kaitannya dengan masalah wisata atau lebih tepatnya ekowisata digiatkan, perlu mengikutkan peran mereka yang merupakan salah satu bagian dari rakyat, dan termasuk keberadaan masyarakat hukum adatnya. Selain itu, pada pasal 18 ayat (5) menegaskan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Pada ayat tersebut dimaksudkan bahwa pendelegasian dari tugas yang merupakan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mengandung arti bahwa pemerintah daerah dapat mengatur apa yang menjadi wewenang pemerintah pusat pada tingkat daerah. Salah satu pengaturan tersebut adalah melakukan pemberdayaan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang berada di berbagai daerah, termasuk di perdesaan atau perbatasan. Bahkan disebutkan secara khusus pada pasal 18B ayat (1) yang dikatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat bahkan secara tegas disebutkan dalam pasal 18B, ayat (2) yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak–hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Di sini tampak bahwa penghormatan dan pengakuan akan hak-hak masyarakat hukum adat disyaratkan agar tidak

topik utama. Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantan

Page 28: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

26 buletin tata ruang *

Hasil Perhitungan CDI Kota Besar

Hasil Perhitungan CDI Kota Kecil

bertentangan dengan prinsip hidup bernegara. Dalam artian bahwa seyogyanya pengaturan akan pengakuan dan penghormatan ini diatur secara tersendiri dalam suatu peraturan perundang-undangan yang mandiri. Memang selama ini telah ada UU No 5 Tahun 1960 Tentang UUPA dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang mengatur didalamnnya beberapa substansi hak masyarakat hukum adat. Akan tetapi ini belumlah cukup. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya perdebatan tentang cara pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat yang hingga saat ini belum bisa diformalkan dalam bentuk peraturan yang mengatur. Kenyataannya di lapangan seperti di Kalimantan Timur misalnya, tampak bahwa butuh pengaturan keberadaan kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya yang mudah dan sederhana. Ini penting dilakukan mengingat perlunya kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, meskipun mereka berada di perbatasan. Dalam kenyataannya, di Kalimantan Timur masih terdapat keberagaman kriteria dan belum ada batas tanah adat yang definitif dan pasti. Demikian juga di Papua, menggunakan batasan alam. Kondisi ini memungkinkan terjadinya tumpang tindih penguasaan tanah adat (hak ulayat). Persoalan-persoalan seperti ini masih menjadi kendala dalam memanfaatkan lahan bagi pengembangan ekowisata seperti yang terjadi juga di Kecamatan Krayan di Kalimantan Timur. Dalam kaitan ini perlu diperjelas tentang mana eksistensi daerah WWF yang dipergunakan oleh pihak dunia internasional untuk mempertahankan lingkungan di Kalimantan. Selain itu, perlu juga diperjelas tentang kawasan-kawasan mana yang dapat dikembangkan oleh masyarakat lokal di perbatasan untuk mengembangkan kawasan ekowisata sehingga tidak mengganggu konsep pelestarian yang dikelola badan internasional seperti yang dilakukan oleh WWF.

Pembahasan tentang tata ruang dalam kaitannya dengan lokasi wisata lingkungan ini sangat mendesak bagi Kalimantan, mengingat di masa depan telah muncul wacana untuk mengembangkan rencana paket penggabungan pariwisata lingkungan (ecotourism) Kalimantan Timur, Sabah, Sarawak atau yang dikenal dengan “the heart of Borneo”. Apabila rencana ini dapat direalisasikan, maka wisata lingkungan akan memberikan karakteristik tersendiri dalam pengembangan dunia kepariwisataan di wilayah perbatasan Indonesia. Tidak mengherankan impian itu dapat diwujudkan, dan karenanya pertemuan seminar tentang pariwisata lingkungan sudah sering pula dilakukan. Masyarakat yang menjaga wilayah perbatasan tentu berharap bahwa kawasan perbatasan ini tidak hanya dijadikan sebagai kawasan pertahanan negara dalam kaitannya dengan masalah kedaulatan bangsa. Kawasan perbatasan dapat ditingkatkan menjadi wilayah pengembangan ekonomi (economic zone). Dengan kebijakan dan peraturan tata ruang yang tegas dan jelas, tentu pikiran positif memajukan kawasan perbatasan bukan hanya sebagai impian belaka, tetapi secara riil dan prospektif akan dapat direalisasikan di masa depan. Tentu tujuan yang ingin diraih adalah memastikan kepastian hukum tentang pengaturan tata ruang yang solid, sehingga masalah lingkungan dapat dijaga dan dipelihara dengan baik (sustainable agricultural and tourism development). Selain itu, sekaligus diharapkan meningkatya kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan pada khususnya dan masyarakat perdesaan di Indonesia pada umumnya

Referensi Pilihan:

Ardhana, I Ketut, Jayl Langub dan Daniel Chew, Borders of Kinship and Ethnicity: Cross Border Relations between the Kelalan Valley, Sarawak, and the Bawan Valley, East Kalimantan” in Borneo Research Bulletin, Vol 35. Helsinki-Finland: University of Helsinki, 2004.

Kusakabe, Kyoto dan Zin Mar Oo. „Gender and Power at the Burmese Power” Makalah dipresentasikan pada Centre for International Borders Research (CIBR), Electronic Working Papers Series, 2004: www.qub.ac.uk/cibr.

Maunati, Yekti. “Dinamika Etnisitas dan Identitas: Kasus Masyarakat Perbatasan Kalimantan Timur, Sarawak dan Sabah”, dalam I Ketut Ardhana (et al). Dinamika Etnsisitas dan Hubungan Ekonomi Pada Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur-Sabah: Studi Kasus di Wilayah Krayan dan Long Pasia. Jakarta: Pusat Sumberdaya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2007.

Padoch, Christine. “A Study of a Bornean System of Intensive Agriculture as a Model for Development. Institute for Environmental Studies University of Wisconsin, 1981.

Tirtosudarmo, Riwanto. “Wilayah Perbatasan dan Tantangan Indonesia Abad 21” Sebuah Pengantar”, dalam Dari Entikong Sampai Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan, Malaysia Timur (Sarawak-Sabah). Jakarta: Sinar Harapan, 2005.

topik utama. Peluang dan Tantangan Ekowisata di Jantung Kalimantan

Page 29: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 27

topik utama.Oleh : Ernan Rustiadi

Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB

Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dan Agropolitan Sebagai Strategi

Pembangunan Perdesaan

Faktanya, Indonesia adalah “negara perdesaan”. Dominasi perdesaan di Indonesia tidak hanya ditunjukkan oleh luasnya area kawasan perdesaan, tapi juga oleh masih ditunjukkan oleh masih besarnya jumlah penduduk di kawasan perdesaan. Bahkan bagi berbagai wilayah, khususnya di luar Pulau Jawa, proporsi penduduk perdesaan dapat mencapai 100% dari seluruh wilayah kabupaten. Namun kawasan perdesaan masih cenderung disalahpahami, termasuk oleh ahli perencanaan yang justru lebih cenderung “urban bias” yaitu memandang dan lebih mementingkan perkotaan dibandingkan perdesaan. Perencanaan kawasan perdesaan sudah lama tidak menjadi perhatian para profesional perencana, seolah kawasan perdesaan tidak memerlukan perencanaan pembangunan dan penataan ruang.

Desa, Perdesaan dan Mikropolitan

Pengertian perdesaan di Indonesia masih menyimpan dilema, karena sebagian pihak masih rancu dan tidak dapat membedakan pengertian desa dan kawasan perdesaan. Terjemahan operasional dan resmi mengenai perdesaan saat ini masih bertumpu pada definisi perdesaan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang berbasis pada unit administratif. Sedangkan UU No.26/2007 mengenai Penataan Ruang maupun UU penataan ruang sebelumnya (UU No.24/1992) menekankan tentang arti kawasan perdesaan sebagaimana juga kawasan perkotaan, yaitu sebagai unit fungsional yang berbeda, dengan pengertian desa dan kota sebagai unit wilayah administratif. Referensi dunia mengenai kriteria teknis kawasan perdesaan tersedia sangat luas. Terdapat keragaman yang sangat lebar mengenai kriteria kawasan perdesaan maupun perkotaan antar negara-negara di dunia.

Menurut hemat penulis, secara garis besar, terdapat tiga kriteria umum kawasan perdesaan. Pertama, kawasan perdesaan dicirikan oleh tingkat kerapatan permukiman dan kerapatan penduduk yang rendah. Untuk konteks Indonesia yang sangat beragam struktur demografi, kependudukan,

sistem sosio-budaya serta kondisi geofisiknya, menetapkan standar yang sama mengenai jumlah dan kepadatan penduduk untuk kriteria kawasan perdesaan maupun perkotaan dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru.

Kedua, kawasan perdesaan memiliki bentang alam dengan dominasi pola ruang pertanian dalam arti luas, pengelolaan sumberdaya alam, dan atau lingkungan alami. Sebagian besar perdesaan memang masih bercorak agraris yang dicirikan oleh mata pencaharian penduduknya yang bekerja di bidang-bidang pertanian (pertanian bahan makanan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan), yang kemudian terkait dalam rantai sistem agribisnis. Namun di banyak wilayah, masih banyak perdesaan subsisten yang sebagian besar penduduknya belum terlalu terintegrasi dalam sistem agribisnis, mengingat sebagian besar penduduknya masih merupakan masyarakat peramu dan pemburu. Di beberapa kawasan perdesaan, terdapat kegiatan pertambangan, pengelolaan jasa lingkungan termasuk ekowisata, serta pengelolaan kawasan konservasi. Pada perdesaan yang sudah lebih berkembang dan memiliki akses yang lebih baik, kegiatan industri rumah tangga perdesaan dan kegiatan jasa sudah menjadi mata pencarian yang dominan. Dengan demikian, perdesaan tidak selalu identik dengan pertanian. Lebih khususnya lagi tidak identik dengan kegiatan pertanian dalam arti sempit (on-farm). Ciri perdesaan yang permanen adalah dominasi lanskap alami dan atau penggunaan lahan agraris yang tetap menonjol. Sedangkan dalam hal stuktur ekonomi dan ketenagakerjaan, bisa saja sudah didominasi kegiatan pertanian olahan (off-farm) dan kegiatan non pertanian (non farm).

Ketiga, ciri penting lain dari kawasan perdesaan adalah adanya nilai-nilai budaya dan norma tertentu, sebagai hasil relasi sosial yang panjang antar sesama warga masyarakat perdesaan, dan atau relasi antar warga masyarakat perdesaan berkenaan dengan alam sekitarnya. Ciri ini tidak terlihat secara fisik, melainkan tercermin dari bagaimana masyarakat perdesaan berinteraksi baik dalam perspektif sistem sosial maupun terkait dengan cara-cara berhubungan dengan alam sekitarnya.

Kriteria operasional mengenai kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan di Indonesia nampaknya akan semakin jelas pada Peraturan Pemerintah mengenai Penyelenggaraan Penataan Ruang yang saat ini tengah disiapkan oleh pemerintah. Namun, akibat ditetapkannya batas jumlah penduduk kawasan perkotaan sejumlah minimal 50.000 jiwa yang tertuang dalam UU No.26/207, secara operasional akan dijumpai banyak ibukota kabupaten, khususnya di Kawasan Timur Indonesia yang tidak dapat dikategorikan sebagai kawasan perkotaan, karena jumlah penduduknya belum melampaui 50.000 jiwa. Dengan kriteria ini, di Pulau Papua, jumlah kawasan perkotaan secara formal kemungkinan Fungsi Pertanian yang Mendominasi Kawasan Perdesaan

Page 30: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

28 buletin tata ruang *

besar hanya berkisar lima kawasan saja, sedangkan sisanya masih merupakan kawasan perdesaan. Artinya, sebagian besar ibukota kabupaten di Pulau Papua masuk dalam kategori perdesaan

Ketertinggalan pembangunan kawasan perdesaan dan lemahnya keterkaitan desa-kota sebagaimana hasil penelitan Rondinelli (1985) dan Douglass (1998), diantaranya adalah akibat kurang berkembangnya pusat-pusat kegiatan dan pelayanan (urban function centers atau mikropolitan) di tingkat perdesaan, dan juga lemahnya peran kota-kota kecil dan kota-kota menengah. Dengan demikian, pusat-pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan wilayah yang tidak masuk dalam kategori perkotaan, menjadi sangat penting secara kelembagaan penataan ruang. Pusat-pusat kegiatan/pertumbuhan non perkotaan ini akan berperan sangat penting, khususnya di kabupaten-kabupaten di Kawasan Timur Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya yang kurang berkembang.

Masalah Pembangunan dan Penataan Ruang Perdesaan

Ahli pembangunan perdesaan negara sedang berkembang, Dalal-Clayton (2003) menyimpulkan bahwa isu umum pembangunan perdesaan di Dunia Ketiga (negara-negara yang sedang berkembang) adalah: (1) masalah kemiskinan & lapangan kerja, (2) masalah pengelolaan berkelanjutan dan akses terhadap sumberdaya agraria, dan (3) masalah keterkaitan desa-kota (spatial & sectoral links). Permasalahan perdesaan di Indonesia tidak jauh berbeda dari gambaran umum Dalal-Clayton. Perdesaan di Indonesia menyimpan banyak permasalahan, karena lebih dari dua pertiga penduduk miskin Indonesia tersebar dan ditampung di perdesaan. Rendahnya tingkat produktivitas penduduk serta rendahnya akses penduduk pada pelayanan-pelayanan dasar akibat alam, kelembagaan dan terbatasnya infrastruktur, merupakan masalah yang harus dipecahkan. Untuk mengembangkan keterpaduan pusat-pusat kegiatan yang terintergrasi dengan infrastruktur fisik maupun infrastruktur hijaunya (green infrastructure) yang sesuai dengan karakteristik perdesaan, kawasan perdesaan memerlukan penataan ruang. Dengan demikian sebagaimana layaknya di perkotaan, kawasan perdesaan juga memerlukan perencanaan dan pengendalian tata ruang secara sistematis.

Kawasan perdesaan di Indonesia sangat beragam dan

kompleks, bahkan secara tipologis jauh lebih kompleks dari keragaman kawasan perkotaan. Dengan demikian, penataan kawasan perdesaan juga membutuhkan berbagai pendekatan sesuai dengan tipologi perdesaannya. Keragaman tipologi perdesaan bersumber dari berbagai faktor, diantaranya: faktor stadia pekembangan desa, faktor agroekosistem, kegiatan utama penduduk perdesaan, dan lain-lain. Gambar Stadia Pertumbuhan Kawasan Perdesaan dalam tulisan ini menunjukkan secara diagramatis stadia-stadia perkembangan kawasan perdesaan.

Tingkat terendah dari stadia pembangunan perdesaan (Stadia 1) atau Stadia Sub-Subsisten adalah stadia dimana penduduk desa tergantung pada adanya pasokan/subsidi untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Ini terlihat sebagaimana awal berkembangnya desa-desa transmigrasi. Pada Stadia 2, masyarakat perdesaan masuk dalam Stadia Subsisten dengan kemampuan penduduk berproduksi, hingga dapat memenuhi kebutuhan pokok (khususnya pangan) secara mandiri. Dengan meningkatnya prodktivitas, masyarakat desa akan memasuki Stadia Marketable Surplus (hasil usaha taninya telah melebihi kebutuhannya sendiri). Tahap ini selanjutnya mengisyaratkan (sinyal) perlunya dikembangkan kegiatan-kegiatan pengolahan (industri pengolahan) terutama untuk memenuhi permintaan atas barang-barang olahan utama. Oleh karena itu, pada tahap ini diharapkan telah masuk dalam Stadia Industri Pertanian berskala kecil. Adanya industri hasil pertanian menyebabkan peningkatan permintaan hasil pertanian, hingga batas tertentu produksi olahan disamping untuk memenuhi kebutuhan sendiri terutama untuk diekspor ke luar kawasan perdesaan. Income diharapkan akan meningkat, sehingga semakin meningkatkan konsumsi produk-produk non pertanian. Jika terus mengalami perkembangan, selanjutnya pembangunan perdesaan dapat berkembang memasuki Stadia Industri Non Pertanian dalam skala kecil yang akan meningkatkan pendapatan dan permintaan barang mewah. Tahap paling akhir, perdesan dapat masuk dalam kelas Stadia Industri Umum. Oleh karena itu, secara teoritik, pada dasarnya kawasan perdesaan tidak hanya tergantung sektor pertanian saja. Dalam kenyataannya, situasi perkembangan pembangunan kawasan perdesaan umumnya seringkali tertahan (mengalami stagnasi) sampai pada stadia II (stadia subsisten) saja.

Strategi-strategi Penataan Ruang Kawasan Perdesaan

Walaupun penataan ruang kawasan perdesaan memerlukan pendekatan yang beragam, namun pada dasarnya pengembangan kawasan perdesaan sebagaimana diamanahkan dalam UU No.26/2007 diarahkan untuk: (i) pemberdayaan masyarakat perdesaan, (ii) pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya, (iii) konservasi sumber daya alam, (iv) pelestarian warisan budaya lokal; (v) pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan (vi) penjagaan keseimbangan pembangunan.

Ketentuan peraturan di atas mengisyaratkan bahwa maksud dari ditunjuk dan ditetapkannya suatu kawasan perdesaan tertentu untuk dilaksanakan penataan ruang adalah berdasarkan satu atau lebih enam butir arahan di atas. Pemberdayaan masyarakat sebagai arahan yang pertama dan paling utama di dalam penataan uang mengandung maksud bahwa penataan ruang kawasan perdesaan pertama-

topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Page 31: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 29

tama merupakan instrumen “perlindungan” bagi masyarakat perdesaan dari ancaman degradasi dan kerusakan lingkungan, termasuk ancaman bencana alam maupun bencana buatan manusia. Kedua, pemberdayaan masyarakat harus diarahkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat perdesaan mengenai situasi di lingkungannya, sehingga masyarakat dapat menentukan cara-cara atau pengambilan keputusan terkait dengan penataan ruang dengan pilihan terbaik. Ketiga, pemberdayaan mengandung arti adanya pengakuan dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal di dalam penataan ruang, karena dalam kenyataannya masyarakat lokal dengan kearifan lokal yang dimilikinya telah melakukan penataan ruang. Keempat, pemberdayaan mengandung arti memberikan perlindungan dan penguatan akses masyarakat terhadap sumberdaya perdesaan bagi masyarakatnya. Terakhir, pemberdayaan masyarakat perdesaan melalui penataan ruang diarahkan untuk pengembangan perekonomian perdesaan termasuk pengembangan kegiatan pertanian bahan makanan, kegiatan perikanan, kegiatan peternakan, kegiatan perkebunan, kegiatan kehutanan, kegiatan pertambangan, pengelolaan jasa lingkungan, kerajinan dan industri perdesaan.

Arahan kedua dalam penataan ruang perdesaan adalah untuk pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya. Ketentuan ini mengandung arti bahwa disamping merupakan kawasan yang memiliki fungsi sosial ekonomi, kawasan perdesaan yang umumnya merupakan permukiman dengan kerapatan rendah, memiliki ruang terbuka hijau yang luas. Dengan begitu, kawasan perdesaan pada umumnya memberikan berbagai

Stadia Pertumbuhan Kawasan Perdesaan

bentuk jasa lingkungan kepada kawasan perkotaan dan kawasan lain di bawahnya. Kawasan perdesaan yang memiliki jasa lingkungan tersebut (fungsi lindung bagi kawasan di bawahnya), dapat berupa kawasan perdesaan yang berasosiasi dengan kawasan ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi resapan air yang penting bagi keberlanjutan daerah aliran sungai, termasuk perdesaan pulau-pulau kecil dengan kekayaan terumbu karang dan padang lamun. Pertahanan kualitas lingkungan hidup juga mengandung arti bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan dapat menjamin mutu hidup generasi masa kini dan masa depan di perdesaan dan wilayah lain yang didukungnya, sehingga tetap terpenuhinya hak-hak dasar seperti ketersediaan air, mencegah dan meminimalkan dampak bencana.

Arahan ketiga penataan ruang kawasan perdesaan dimaksudkan untuk konservasi sumber daya alam. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang kawasan perdesaan dengan lingkungan kawasan lingkungan khas, diselenggarakan berdasarkan perlindungan plasma nutfah, pengawetan keanekaragaman hayati (gen, spesies, ekosistem) dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.

Arahan keempat, pelestarian warisan budaya lokal. Hal ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang kawasan perdesaan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan pelestarian warisan budaya lokal dengan pendekatan kawasan yang memiliki kesatuan entitas budaya, yang memerlukan perlindungan khusus sebagai bagian dari keberagaman kekayaan kebudayaan nasional. Dimana, budaya lokal mengandung arti budaya milik penduduk asli perdesaan yang telah dipandang sebagai warisan

topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Page 32: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

30 buletin tata ruang *

budaya. Sedangkan pelestarian budaya lokal dimaksudkan agar budaya lokal yang sudah ada dalam masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupannya tetap menjadi hak masyarakat lokal.

Arahan kelima, pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan. Ketentuan ini menekankan bahwa suatu kawasan perdesaan ditunjuk dan ditetapkan penataan ruangnya sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan, yaitu kawasan budidaya pertanian yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Dengan demikian, penataan ruang kawasan perdesaan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan dalam mewujudkan, kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan baik secara lokal, regional, maupun nasional.

Arahan keenam, penataan ruang kawasan perdesaan adalah bagian dari upaya penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan. Penataan ruang kawasan perdesaan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan guna menciptakan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan melalui pengembangan pusat pertumbuhan atau kawasan cepat tumbuh di kawasan perdesaan. Pengembangan pusat pertumbuhan dan kawasan cepat tumbuh di kawasan perdesaan diupayakan dengan kegiatan berbasis pertanian seperti kawasan agropolitan; maupun kegiatan berbasis sumberdaya non pertanian seperti:

pertambangan, industri atau kerajinan rumah tangga perdesaan, dan jasa lingkungan.

Agropolitan sebagai sebagai Motor Pengembangan Ekonomi Perdesaan

Konsep agropolitan lahir sebagai jawaban atas kegagalan pembangunan inter-regional yang cenderung urban bias (Lipton, 1977). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (trickle down effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya. Ternyata net-effect yang terjadi malah menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect). Backwash di negara-negara Dunia Ketiga, telah menimbulkan berjuta-juta orang merana karena menderita kerugian. Yang paling merasakan dampaknya adalah kehidupan masyarakat terbanyak yaitu masyarakat perdesaan (Serageldin,1996).

Dengan berkembangnya masalah-masalah serupa di berbagai Negara, terutama di negara-negara berkembang, maka pembangunan wilayah perdesaan menjadi suatu alternatif untuk mengurangi disparitas antar wilayah dan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian agregat nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu ide yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan.

Friedman dan Douglass (1975) serta Rondinelli (1985), menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan, dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Menurut Pradhan 2003, model agropolitan ini sebenarnya didasarkan pada pendekatan perencanaan pembangunan perdesaan di Cina yang diorganisasikan oleh Mao Tse Tsung pada awal tahun 1960-an. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan, sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri.

Inti pengembangan agropolitan sebagaimana dikemukakan oleh Friedman adalah menciptakan spatial closure di kawasan perdesaan. Sebagaimana yang dilakukan Mao Tse Tsung di China, kawasan perdesaan dilindungi dari “kebocoran nilai tambah” akibat terlalu banyak mengalirkan bahan mentah tanpa olahan yang mengakibatkan nilai tambah produk-produk perrtanian tidak terakumulasi di desa. Di negara komunis seperti di China, spatial closure dilakukan dengan pelarangan, pencegahan serta memaksa dibangunnya industri-industri perdesaan. Namun Leeds dalam Rondinelli (1985) mengemukakan bahwa tidak mungkin suatu lokasi bisa benar-benar “tertutup” karena eksistensi dari suatu unit wilayah pada dasarnya ditentukan oleh karakteristik spesialisasinya. Spesialisasi akan sangat diperlukan untuk mendorong suatu proses pertukaran. Spesialisasi membutuhkan pertukaran, dan karena itu tidak ada suatu wilayah tertutup yang bisa menyediakan segalanya. Konsentrasi penduduk di daerah perkotaan sebenarnya juga terjadi karena adanya proses pertukaran dan interaksi. Oleh karena itu, secara teoritis seseorang

topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Page 33: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 31

tidak akan menginginkan adanya otonomi, ketertutupan, atau pembatasan. Seseorang akan lebih mengharapkan terjadinya aliran barang, jasa, orang, properti, pengetahuan, informasi dan nilai-nilai tertentu, keluar dan masuk dalam suatu wilayah. Hanya saja, agar aliran ini bisa saling memperkuat keterkaitan antar wilayah, maka struktur interaksi antar wilayah ini harus diorganisasikan.

Salah satu bentuk pengorganisasiannya adalah dengan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan dan kota-kota kecil menengah. Pusat pertumbuhan dan kota kecil menengah tesebut mampu menyediakan fasilitas-fasilitas pelayanan dasar dan pasar untuk komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh wilayah perdesaan. Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan kota-kota pertanian. Karena itu penyediaan infrastruktur perkotaan seperti listrik, jalan, gudang, pasar dan sebagainya dirasakan cukup untuk mengubah daerah-daerah perdesaan menjadi kota-kota pertanian. Dengan dukungan infrastruktur perkotaan, diharapkan aktivitas pertanian menjadi berkembang sehingga kesejahteraan petani akan meningkat.

Perspektif demikian, meskipun tidak salah tetapi bersifat simplifikasi. Konsep agropolitan sebenarnya lahir sebagai respon dari munculnya ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan. Dalam jangka panjang, ini pun merugikan bagi tata-kehidupan bangsa secara nasional. Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (strengthening rural-urban linkages).

Menurut Saefulhakim (2004), secara terminologi agropolitan berasal dari kata agro dan metropolis/metropolitan. Agro berasal dari istilah bahasa latin yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”. Ini kemudian digunakan untuk menunjuk kepada berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sementara metropolis mempunyai pengertian sebagai sebuah titik pusat dari beberapa/berbagai aktivitas. Dengan demikian, agropolis atau agro-metropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Karena itu, pengembangan agropolitan sendiri berarti pengembangan berbagai hal yang dapat memperkuat fungsi/peran AGROPOLIS sebagai lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian dimana tipologi pengembangan disesuaikan dengan karakteristik tipologi kawasan yang dilayaninya.

Sementara itu menurut Anwar (2005), pengertian agropolitan adalah merupakan tempat-tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur berhirarki. Agropolis mengandung arti adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar kawasan perdesaan (Micro Urban-village) yang dapat bertumbuh dan berkembang. Kota-kota ini berfungsi koordinasi kepada sistem kegiatan-kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela

kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya. Oleh karenanya, kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional satu atau lebih kota-kota pertanian pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem hirarki keruangan (spatial hierarchy) satuan-satuan permukiman petani, yang terdiri dari pusat agropolitan dan pusat-pusat produksi di sekitarnya. Lebih jauh, pembangunan agropolitan adalah suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan. Pembangunan ini mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif ) serta bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti migrasi desa-kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumber daya, pemiskinan desa, dll. (Rustiadi, 2004).

Dari perspektif ekonomi regional, menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan pada kawasan agropolitan terjadi karena dua strategi yang saling melengkapi: strategi dari sisi supply/produksi (supply-side strategy) dan strategi dari sisi permintaan (demand-side strategy). Strategi dari sisi supply adalah strategi menumbuhkan atau meningkatkan produktivitas. Hal ini dapat ditumbuhkan melalui tiga pendekatan. Pertama, melalui pengembangan komoditas/produk/sektor basis pertanian yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif (comparative and competitive advantages). Kedua, mengembangkan komoditas/produk/sektor unggulan yang mampu menciptakan multiplier effect terhadap pembangunan regional (khususnya kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja) serta memiliki keterkaitan lintas sektor yang tinggi. Ketiga, setiap sektor/produk unggulan, sebisa mungkin (sepanjang memenuhi kelayakan ekonomi) didiversifikasi hulu-hilir sektor/komoditas unggulan di perdesaan.

Ketiga pendekatan dalam rangka strategi sisi supply di atas akan menciptakan akumulasi nilai tambah di kawasan perdesaan serta mencegah terjadinya kebocoran wilayah (regional leakages). Salah satu penyebab kawasan perdesaan menjadi relatif tidak berkembang, disamping karena rendahnya aktivitas produksi (barang dan jasa), adalah karena tingginya kebocoran wilayah. Syarat dasar agar kebocoran wilayah tidak terjadi adalah penguasaan sebesar-

Sumber : hasanzainuddin. files.wordpress.com

topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Page 34: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

32 buletin tata ruang *

besarnya sistem-sistem produksi oleh penduduk di kawasan perdesaan, sehingga menjamin akumulasi nilai tambah yang dihasilkan dan dapat dinikmati sebesar-besarnya oleh masyarakat setempat. Syarat berikutnya adalah sebisa mungkin dilakukannya proses-proses peningkatan nilai tambah (dari kegiatan pengolahan dan marjin tata niaga /distribusi) yang berlangsung di dalam kawasan perdesaan.

Suatu pusat kegiatan diperlukan guna mendorong berkembangnya aktivitas pengolahan dan distribusi. Untuk itu, diperlukan adanya sistem kelembagaan serta sistem prasarana dan sarana-sarana yang mendukung. Dengan demikian, dari kacamata teori central place, kawasan agropolitan merupakan area sistem produksi yang kombinasi range atau radius kawasan dengan total volume produksinya mencapai threshold skala keekonomian yang layak untuk tumbuh secara kompetitif dan berkelanjutan.

Strategi “demand side” adalah suatu strategi pengembangan kawasan yang diupayakan melalui peningkatan sisi konsumsi rumah tangga perdesaan dan pertanian sebagai bentuk peningkatan kesejahteraannya. Peningkatan konsumsi akan barang dan jasa, khususnya barang dan jasa yang bersifat dasar, dapat dilakukan dengan meningkatkan “akses” rumah tangga dalam pemenuhan konsumsi dasarnya. Pendekatan ini dilandasi atas pemikiran bahwa seringkali rendahnya kesejahteraan rumah tangga pertanian dan perdesaan bukan dikarenakan semata-mata rendahnya pendapatan, melainkan karena tingginya biaya akses untuk mengkonsumsi barang dan jasa tersebut sehingga menurunkan “daya beli” rumah tangga. Atau juga dapat dipandang sebagai akibat “kelangkaan” barang dan jasa yang penting untuk dikonsumsi demi kesejahteraannya. Tingginya biaya akses untuk mengkonsumsi barang dan jasa rumah tangga perdesaan terjadi karena berbagai faktor yang bersifat fisik, ekonomi dan kelembagaan.

Faktor yang bersifat fisik adalah faktor-faktor geografis alamiah (hambatan alam) maupun akibat ketiadaan prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi. Ini berakibat pada mahalnya biaya transportasi. Penduduk perdesaan harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa yang sama dengan penduduk perkotaan. Bahkan seringkali penduduk perdesaan tidak dapat mengkonsumsi barang dan jasa karena ketiadaan/kelangkaan barang dan jasa tersebut pada waktu dan tempat yang dibutuhkan. Tidak tersedianya dan jauhnya lokasi sarana pendidikan, kesehatan, air bersih, sumber energi (BBM, gas, listrik) hingga pasar penyedia kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau di banyak

kawasan perdesaan adalah masalah-masalah strategis yang perlu diselesaikan dari strategi demand side. Oleh karenanya, penyediaan prasarana dan sarana dasar sistem permukiman di kawasan perdesaan dapat meningkatkan konsumsi barang dan jasa penduduk perdesaan dan rumah tangga pertanian, sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraannya.

Dari sisi permintaan, tidak berkembangnya kawasan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat konsumsi barang dan jasa di tingkat lokal. Rendahnya konsumsi barang dan jasa di tingkat lokal seringkali bukan diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, melainkan karena tidak tersedianya pusat-pusat pelayanan yang menyediakan barang dan jasa untuk dikonsumsi. Akbat keterbatasan infrastruktur serta struktur ruang yang tidak efisien dan tidak kondusif, orientasi masyarakat perdesaan dalam memenuhi pemenuhan konsumsi barang dan jasa cenderung dilakukan jauh di luar kawasannya (khususnya di perkotaan). Hal ini menyebabkan transaksi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi barang dan jasa berlangsung di luar kawasan, sehingga marjin tata niaganya tidak dinikmati masyarakat perdesaan. Pada dasarnya, semakin besar proporsi uang hasil pendapatan yang diperoleh dibelanjakan secara lokal, maka semakin besar tingkat “income multiplication” (derajat penggandaan pendapatan). Setiap rupiah pendapatan yang diperoleh berpeluang menciptakan penggandaan pendapatan bagi masyarakat di sekitarnya secara keseluruhan.

Dengan memadukan strategi sisi supply dan strategi sisi permintaan, maka keberadaan pusat-pusat kegiatan di perdesaan pada kawasan agropolitan dapat menjadi pusat-pusat pengolahan dan distribusi (sebagaimana diharapkan melalui strategi sisi supply) yang dapat terintegrasi sekaligus dengan pusat permukiman dengan fasilitas-fasilitas pusat pelayanan penyedia barang dan jasa. Dengan demikian, strategi pengembangan kawasan agropolitan pada dasarnya adalah strategi mengembangkan kawasan perdesaan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih pusat-pusat pelayanan fasilitas perkotaan (urban function center) pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Pusat pelayanan fasilitas perkotaan (urban function center) adalah lokasi pusat pelayanan sistem permukiman dan agribisnis

topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Page 35: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 33

yang dapat berbentuk atau mengarah pada pembentukan kota tani skala kecil/sedang (agropolis) yang berbasis pada kegiatan jasa dan industri berbasis pertanian.

Tidak semua kawasan perdesaan sesuai untuk dikembangkan dengan strategi agropolitan. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar mengenai Stadia Pertumbuhan Kawasan Perdesaan, hanya perdesaan pada Stadia 3 ke atas yang layak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan. Selanjutnya, beberapa kriteria lain yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik wilayah pengembangan agropolitan antara lain: (i) Memiliki daya dukung dan potensi fisik kawasan yang memadai, (ii) Memiliki komoditas dan produk olahan pertanian unggulan, (iii) Luas kawasan dan jumlah penduduk yang cukup memadai untuk tercapainya economic of scale dan economic of scope yang biasanya berada dalam radius 3-10 km dan mencakup beberapa desa hingga gabungan sebagian atau beberapa bagian kecamatan, (iv) Tersedianya prasarana dan sarana permukiman yang memadai, (v) Tersedianya prasarana dan sarana produksi yang mendukung pengembangan komoditas/produk unggulan, (vi) Adanya satu atau beberapa pusat kegiatan/pelayanan yang terintegrasi atau adanya sistem manajemen kawasan dengan otonomi yang cukup, (vii) Berkembangnya aktivitas sektor-sektor sekunder (pengolahan), dan tersier (jasa dan finansial), (viii) Kelembagaan ekonomi komunitas lokal yang kuat, dan (ix) Akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi (terutama lahan) yang mencukupi.

Menurut Rondinelli (1985), sejauh ini hasil analisis menunjukkan bahwa kota kota kecil-menengah yang ada di beberapa negara berkembang dapat menunjang berbagai fungsi sosial, ekonomi dan jasa yang sangat penting bagi proses pengembangan wilayah baik secara regional maupun nasional. Meskipun begitu, tidak semua kota-kota itu bisa menyediakan berbagai fungsi dengan baik. Pada beberapa kondisi, kota-kota kecil menengah bisa memberikan dorongan yang positif bagi pengembangan daerah hinterland-nya. Selain itu, kota-kota kecil menengah juga dapat mentransformasi masyarakat perdesaan yang subsisten menjadi wilayah pertanian komersial dan sekaligus mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan di negara-negara berkembang.

Selanjutnya Johnson dalam Douglas (1998), mengemukakan bahwa berdasarkan teori pusat lokasi (central – place theory). Hasil penelitiannya di India menunjukkan bahwa pengembangan kota kecil di perdesaan untuk mengisi celah antara kota besar yang bersifat parasit dengan wilayah perdesaan merupakan kondisi yang diperlukan untuk melakukan komersialisasi pertanian di perdesaan. Selanjutnya, peranan yang harus dilakukan oleh kota-kota kecil menengah dalam mendorong pembangunan wilayah perdesaan (Rondinelli 1979, de Jong 1998) adalah sebagai: (i) Pusat untuk menyediakan barang-barang tahan lama dan tidak tahan lama, (ii) Pusat jasa publik dan jasa privat, (iii) Penghubung ke pasar yang lebih besar bagi produk-produk perdesaan, (iv) Pusat suplai faktor-faktor produksi, (v) Pusat agro-processing dan resource-processing, serta (v) Pusat pengetahuan dan informasi.

Menurut Anwar (2001), sumbangan fasilitas urban pada mikropolitan dalam menyediakan infrastruktur, khususnya adalah dalam mendukung upaya untuk mengatasi persoalan yang mengarah kepada pengurangan kesenjangan

produktivitas antara kegiatan sektor-sektor pertanian dan non-pertanian melalui peningkatan human capital, social capital dan teknologi wilayah perdesaan di sekitarnya. Berkembangnya kegiatan non-pertanian terutama yang dapat memberi dampak kepada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi defisit neraca perdagangan, akan sangat ditentukan oleh kemampuan strategi kebijaksanaan pertanian dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk-produk pertanian olahan dan kegiatan agroindustri baik untuk permintaan di pasaran domestik maupun dunia. Dalam kaitan dengan strategi tersebut, keunggulan komparatif dari masing-masing wilayah ditentukan oleh keadaan ekosistemnya. Oleh karena itu, fasilitas perkotaan dan organisasi kelembagaan yang melengkapinya juga perlu disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan setempat.

Penutup

Sesuai dengan ide awalnya, agropolitan adalah suatu ide akademis yang populis, yakni suatu pendekatan dan strategi pembangunan kawasan perdesaan untuk melawan arus aglomerasi perkotaan. Sebagai suatu strategi pembangunan, pendekatan ini juga telah menjadi landasan pengembangan kawasan transmigrasi di luar Pulau Jawa dalam rangka pemerataan penduduk dan pengembangan wilayah. Dalam hal ini, strategi agropolitan dapat diterapkan tanpa dieksplisitkan. Namun dalam perspektif saat ini di Indonesia, di luar pengertian ini, agropolitan memiliki dua pengertian lainnya. Pengertian yang kedua, agropolitan juga dapat dilihat sebagai fenomena, dimana secara faktual, pada kenyataannya kebanyakan kota-kota yang tumbuh berkembang saat ini di Indonesia pada awalnya tumbuh melalui tahapan agropolitan. Pengertian yang ketiga, adalah pengertian agropolitan sebagai suatu program yang diimplementasikan melalui sekumpulan proyek. Ide awalnya adalah agar fenomena agropolitan berlangsung dengan lebih terencana dan mengalami percepatan. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, pengertian yang ketiga inilah yang saat ini menjadi pemahaman yang paling populer. Di banyak daerah, program agropolitan dilaksanakan sebagai proyek-proyek tanpa satu keterpaduan dan bahkan tanpa dilandasi pemahaman utuh akan arti pendekatan atau strategi agropolitan

topik utama. Penataan Ruang Kawasan Perdesaan & Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan

Page 36: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

34 buletin tata ruang *

topik lain.Oleh : Agus Sutanto,ST Msc

Kasubdit Kerjasama Lintas Sektor Dit. Tarunas

Strategi Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan

Kawasan perkotaan seringkali disebut sebagai pusat peradaban manusia yang berkembang sebagai konsentrasi penduduk dengan berbagai kegiatannya. Tidak mengherankan segala bentuk pencapaian budaya manusia, termasuk teknologi, mudah ditemukan di sini.

Perkembangan kawasan perkotaan yang pesat, sejalan dengan perkembangan kegiatan penduduknya, secara ironis telah menyebabkan kondisi yang justru tidak mencerminkan pencapaian budaya yang tinggi. Permasalahan klasik perkotaan seperti kemiskinan, kekumuhan, kesemrawutan, individualisme, kriminalitas, dan berbagai permasalahan lainnya justru lebih menggambarkan tingkat peradaban yang rendah.

Bila kita amati proses perkembangan perkotaan di Indonesia, tingkat perkembangan fisik dan ekonomi selalu dibarengi dengan peningkatan kompleksitas permasalahan perkotaan. Sangat sulit menemukan sebuah perkotaan yang tumbuh dan berkembang sekaligus mencegah, apalagi menyelesaikan, permasalahannya.

Salah satu permasalahan yang saat ini dihadapi oleh hampir seluruh kawasan perkotaan di Indonesia adalah semakin berkurangnya ruang publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) publik. Perkotaan metropolitan dan besar pada umumnya memiliki ruang terbuka hijau dengan luas di bawah 10% dari luas kawasan perkotaannya. Kondisi tersebut jauh di bawah ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang mewajibkan pengelola perkotaan untuk menyediakan RTH publik dengan luas minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.

No Kota Proporsi RTH publik

1 Jakarta 9,97 %

2 Bandung 8,76 %

3 Bogor 19,32 %

4 Surabaya 9 %

5 Surakarta 16 %

6 Malang 4 %

7 Makassar 3 %

8 Medan 8 %

9 Jambi 4 %

10 Palembang 5 %

Sumber: Nirwono Joga, Aspek Lingkungan Dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang Berkelanjutan, Jakarta 1 Oktober 2009

Rendahnya proporsi luas RTH publik di kawasan perkotaan disebabkan oleh tingginya permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan,

sementara banyak pihak beranggapan RTH memiliki nilai ekonomi yang rendah sehingga termarjinalkan.

Dengan berlakunya UUPR, banyak pengelola perkotaan (baca: pemerintah daerah) yang merasakan kesulitan untuk memenuhi ketentuan penyediaan RTH publik seluas 20% dari luas kawasan perkotaan. Kesulitan pengelola perkotaan dapat dipahami mengingat kondisi berikut:

a. pola perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia pada umumnya masih bersifat ekstensif (sprawling), menyebabkan permintaan lahan menjadi sangat tinggi;

b. lahan di kawasan perkotaan telah dikuasai oleh masyarakat;

c. tidak adanya “bank” lahan yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan lahan untuk kepentingan publik;

d. keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk mengakuisisi lahan-lahan yang telah dikuasai masyarakat.

Sebagai contoh, saat ini proporsi luas RTH publik di DKI Jakarta adalah 9,97% atau masih kurang 10,03% dari ketentuan UUPR. Dengan luas wilayah kurang lebih 65.000 (enampuluh lima ribu) hektar, Pemerintah DKI Jakarta masih harus mengadakan lahan seluas 6.520 hektar atau 650.200.000 meter persegi. Bila diasumsikan rata-rata harga lahan di wilayah DKI Jakarta adalah Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah) per meter persegi, diperlukan anggaran tidak kurang dari 130 trilyun rupiah untuk mengakuisisi lahan masyarakat!! Nilai tersebut lebih dari 6,5 kali APBD DKI Jakarta Tahun 2009 (Rp.19,37 trilyun). Sebuah angka yang sangat fantastis.

Untuk menutup defisit RTH-nya, DKI Jakarta mengalokasikan anggaran dengan kisaran Rp.800 milyar hingga Rp.1 trilyun per tahun. Sebagian besar dari angka tersebut dialokasikan untuk pemeliharaan RTH yang ada, sehingga hanya sebagian kecil saja yang dialokasikan untuk akuisisi lahan dan pengembangan RTH baru. Bisa dibayangkan, diperlukan waktu yang sangat lama untuk memenuhi ketentuan UUPR sebagaimana disampaikan di atas.

Kesulitan yang dihadapi kota-kota besar kini juga mulai dirasakan oleh kota-kota yang lebih kecil. Namun perilaku pengelola perkotaan dan masyarakat yang tidak menghargai nilai RTH juga masih terlihat. Banyak kota kecil yang semakin hari semakin gersang karena pepohonannya ditebang untuk pelebaran jalan tanpa ada pengganti. Banyak taman dan lapangan terbuka yang dikonversi menjadi mall, hotel, perkantoran, atau ruko. Sekilas, terkesan ada pandangan bahwa warna hijau hanya cocok untuk kawasan perdesaan, sementara perkotaan tidak perlu hijau.

Bila pemerintah daerah dan masyarakat tidak segera merubah pandangannya, munculnya permasalahan seperti yang dihadapi DKI Jakarta hanya masalah waktu. Untuk itu

Page 37: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 35

kota-kota kecil harus menjaga keberadaan ruang terbuka hijau yang ada dan sudah harus mulai mencadangkan lahan untuk mengembangkan ruang terbuka hijau. Selagi harga lahan masih relatif terjangkau, sebelum lahan-lahan dikuasai pelaku ekonomi yang hanya berhitung keuntungan finansial.

Penyediaan lahan untuk pengembangan RTH publik sesungguhnya dapat diupayakan dengan menerapkan pola-pola kerja sama dengan dunia usaha sebagai berikut:

1. Penyediaan RTH publik sebagai syarat perizinan pemanfaatan ruang

Tingginya permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan di satu sisi merupakan hambatan bagi penyediaan lahan untuk RTH. Di sisin lain, kondisi ini dapat diubah menjadi peluang dengan mewajibkan penyediaan RTH publik bagi permohonan izin pemanfaatan ruang dengan nilai investasi tertentu. Dengan pola ini, lokasi RTH berada di luar lokasi pemanfaatan ruang investor namun tetap disesuaikan dengan penetapan lokasi dalam rencana tata ruang. Sedangkan luas dan desainnya disesuaikan dengan anggaran yang disediakan pihak swasta.

2. Penyediaan RTH publik sebagai bagian dari desain kawasan

Maraknya pembangunan super block untuk hunian, perkantoran, atau pusat bisnis di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya merupakan peluang tersendiri bagi penyediaan RTH publik. Sesuai prosedur yang umum berlaku, desain kawasan yang akan dibangun memerlukan persetujuan dari pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk menetapkan syarat minimal RTH yang harus disediakan pihak pengembang, disertai catatan bahwa RTH tersebut harus dapat diakses publik dan kepemilikannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Terdapat kemungkinan pihak pengembang akan merasa keberatan sehubungan dengan syarat kepemilikan, namun hal ini dapat diantisipasi dengan kewajiban penyediaan RTH publik di lokasi lain sebagaimana diuraikan sebelumnya.

3. Penyediaan RTH publik sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR)

Keberadaan perusahaan-perusahaan dengan modal besar di kawasan perkotaan juga dapat dijadikan peluang dalam penyediaan RTH publik. Sebagaimana diketahui, perusahaan besar umumnya mengalokasikan anggaran

untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam kerangka CSR. Untuk memanfaatkan anggaran CSR, pemerintah daerah perlu memberikan panduan dan fasilitasi untuk mengarahkan perusahaan-perusahaan tersebut agar membiayai penyediaan lahan dan pemeliharaan RTH publik. Sebagai bentuk apresiasi, pemerintah daerah dapat mengumumkan penyediaan dan pemeliharaan RTH publik oleh pihak swasta. Pemberian nama taman/RTH sesuai dengan nama perusahaan yang memberikan andil juga patut dipertimbangkan.

Penerapan pola-pola kerja sama tersebut di atas tentu memerlukan payung hukum, sehingga pemerintah daerah perlu menerbitkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah. Dalam menyusun dan menetapkan peraturan tersebut perlu kehati-hatian dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing kawasan perkotaan dalam menarik investasi swasta.

UPAYA SEMENTARA

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, besarnya defisit RTH publik, terbatasnya ketersediaan lahan, dan terbatasnya anggaran pemerintah daerah merupakan kombinasi yang menyulitkan pemenuhan proporsi RTH publik dalam waktu singkat. Untuk itu diperlukan inovasi untuk memenuhi fungsi sosial dan fungsi ekologis RTH publik. Tentu sebelumnya perlu dilakukan perhitungan untuk mengetahui fungsi sosial dan ekologis RTH bila ketentuan penyediaan 20% dari luas kawasan perkotaan dapat dipenuhi. Selanjutnya juga perlu dihitung fungsi sosial dan fungsi ekologis yang sudah dipenuhi oleh RTH yang ada. Dengan demikian inovasi atau terobosan yang dikembangkan adalah untuk memenuhi defisit pemenuhan fungsi tersebut.

Upaya pemenuhan defisit fungsi hidrologis, misalnya, dapat diupayakan dengan menyediakan sumur resapan atau biopori untuk mengurangi limpasan air hujan. Sementara pemenuhan defisit fungsi klimatologis dapat dipenuhi dengan mendorong pengembangan roof garden pada bangunan-bangunan publik dan komersial. Yang relatif sulit adalah menutup defisit fungsi sosial RTH publik sebagai ruang aktivitas dan interaksi warga perkotaan. Hal ini dapat diupayakan dengan membuka akses terhadap lahan-lahan publik seperti halaman perkantoran pemerintah untuk dimanfaatkan sebagai ruang aktivitas publik.

Upaya di atas adalah upaya sementara sambil terus mengupayakan pemenuhan RTH publik hingga mencapai proporsi 20% dari luas kawasan perkotaan sebagaimana diamanatkan dalam UUPR

Hutan kota serengseng

topik lain. Strategi Penyediaan RTH Di Kawasan Perkotaan

Page 38: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

36 buletin tata ruang *

topik lain.Oleh: Ir. Izhar Chaidir, MA

Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

Pengantar

Harga lahan yang tinggi dan keinginan untuk menjadikan Jakarta sebagai Kota Jasa (Service City), menyebabkan pola-pola perkembangan superblock menjadi suatu trend yang akhirnya menggusur banyak kawasan permukiman kampung kota. Apalagi dengan adanya program pembangunan 1000 menara rumah susun, yang semakin menyebabkan banyaknya terjadi transformasi kawasan permukiman kampung kota menjadi kawasan rumah susun sederhana (milik maupun sewa). Sejalan dengan perkembangan ini, apakah revitalisasi permukiman kampung kota masih diperlukan di Jakarta?

Perkembangan Kota Jakarta dan Dampaknya Terhadap Permukiman Kampung Kota

Urbanisasi dan perkembangan pembangunan ekonomi yang pesat di Kota Jakarta menyebabkan terjadinya perubahan yang pesat juga terhadap perkembangan ruang fisik kota, khususnya di kawasan pusat kota. Kawasan-kawasan yang semula merupakan lahan kosong atau ruang terbuka hijau berubah menjadi kawasan-kawasan permukiman, industri dan pergudangan, atau pun kawasan komersial lainnya, seperti perdagangan dan perkantoran. Ketidakseimbangan antara supply dan demand dalam penyediaan perumahan, menyebabkan munculnya permukiman kampung kota, yang bercirikan kawasan yang padat, kumuh, jorok, tidak mengikuti aturan-aturan resmi, dan mayoritas penghuninya miskin. Pada tahap selanjutnya, kawasan-kawasan permukiman kampung kota ini, kawasan industri dan pergudangan, serta lahan kosong atau ruang terbuka lainnya berubah fungsi menjadi kawasan komersial yang dianggap mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi, yaitu mall (kawasan perdagangan multi fungsi) dan perkantoran, termasuk apartemen.

Dampak positif dari perkembangan kota tersebut adalah mulai teraturnya penataan kawasan-kawasan pada koridor-koridor jalan tersebut dan tersedianya bangunan-bangunan pencakar langit untuk mendukung Jakarta sebagai Service City. Namun di sisi lain perkembangan tersebut juga menyebabkan munculnya kawasan-kawasan kumuh baru dan semakin buruknya kondisi lingkungan kawasan-kawasan kumuh yang ada. Hal ini semakin diperburuk lagi, karena perkembangan ini semakin memiskinkan masyarakat kampung kota, karena tercerabutnya akar kehidupan sosial dan ekonomi yang mereka miliki, ketika mereka direlokasi ke tempat yang baru. Permukiman-permukiman kampung kota yang ada menjadi tergusur atau bertransformasi ke bentuk lainnya atau semakin menurun kualitas lingkungannya, serta terbentuknya permukiman-permukiman kampung kota yang baru

Program Pembangunan Perumahan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah mempunyai program pembangunan perumahan untuk mengatasi masalah penyediaan perumahan yang disesuaikan dengan kondisi kawasan, sebagaimana yang tercantum di dalam RTRW DKI Jakarta 2010, yaitu:

a. Pembangunan baru pada lingkungan siap bangun baik yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun maupun yang berdiri sendiri;

b. Pemugaran terhadap bangunan dan lingkungan perumahan bersejarah atau berciri khas budaya tertentu;

c. Pemeliharaan lingkungan perumahan terhadap kawasan yang sudah mantap;

d. Perbaikan lingkungan terhadap kawasan perumahan kumuh kategori ringan;

e. Peremajaan terhadap kawasan perumahan kumuh Perkembangan kota Jakarta, sebenarnya mulai pesat sejak dikeluarkannya kebijakan “Pola Intensitas” pada 7 jalan-jalan utama, yaitu Jl. MH. Thamrin, Jl. Jend. Sudirman, Jl. Jend. Gatot Subroto, Jl. Letjen S. Parman, Jl. Letjen MT. Haryono, Jl. HR Rasuna Said, dan Jl. Tomang Raya pada tahun 1989. Kebijakan ini merubah pola pembangunan yang semula horizontal dan berbentuk pita, menjadi bangunan-bangunan tinggi (vertikal) dan berbentuk superblock. Kebijakan superblock ini sekaligus merupakan terobosan untuk mengatasi permasalahan manajemen kota, yaitu masalah lalulintas dan penyediaan prasarana kota lainnya. Kebijakan ini juga didukung oleh kebijakan pemberian insentif bagi pembangunan rumah susun/flat, sehingga menyebabkan terjadinya proses transformasi dari permukiman kampung kota menjadi apartemen/rumah susun.

Rumah Susun Tebet Barat

Page 39: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 37

topik lain. Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

kategori sedang dan berat dengan membangun Rumah Susun Murah/Sederhana.

Untuk pembangunan rumah susun murah/sederhana dikaitkan dengan peremajaan pada kawasan perumahan kumuh kategori sedang dan berat, dan diprioritaskan pada kawasan yang terletak di sekitar jalan lingkar dalam serta yang berada di bagian lingkar luar yang memiliki akses tinggi terhadap jaringan jalan arteri tersebut, serta pada kawasan perumahan yang terletak berdekatan atau berada di dalam kawasan ekonomi prospektif. Sedangkan pembangunan perumahan pada kawasan konservasi atau kawasan resapan air dibatasi dengan kepadatan rendah disertai upaya mempertahankan fungsi resapan air, khususnya kawasan di sebelah selatan jalan lingkar luar. Perubahan fungsi pemanfaatan ruang pada kawasan-kawasan yang telah mantap, dan memiliki nilai sejarah, budaya serta arsitektur khas, seperti kawasan Menteng dan Kebayoran Baru dikendalikan secara khusus.

Namun demikian masih terdapat backlog perumahan sebanyak 70.000 unit setiap tahunnya. Hal ini selain disebabkan karena keterbatasan anggaran pemerintah yang ada, juga disebabkan oleh belum efektifnya kewajiban pengembang/developer untuk menyediakan rumah susun. Selain itu, pengembang juga tidak mau berinvestasi pada pembangunan rumah susun sederhana untuk masyarakat golongan menengah dan bawah, karena tipisnya margin keuntungan.

Sejarah Kota Jakarta dalam Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

Untuk program perbaikan lingkungan atau revitalisasi permukiman kampung kota, DKI Jakarta pernah sukses dengan program perbaikan kampung atau Kampong Improvement Program (KIP) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Proyek Muhammad Husni Thamrin atau Proyek MHT. Proyek ini bahkan memperoleh penghargaan dari Yayasan Aga Khan pada tahun 1980 dan dinyatakan sebagai Praktek Global Terbaik oleh Bank Dunia dalam rangka memperbaiki kekumuhan dan kemiskinan pada tahun 2004.

Proyek MHT I, dimulai dari tahun 1969-1984. Proyek ini dicetuskan untuk memperbaiki lingkungan permukiman kumuh dan kualitas hidup penghuninya dengan biaya rendah. Dan proyek ini terbukti dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan mengatasi masalah penyediaan perumahan. Proyek MHT II, dimulai dari tahun 1985-1989. Proyek ini dilaksanakan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan dilaksanakan secara sektoral dengan perbaikan komponen fisik lingkungan.

Proyek MHT III, dimulai dari tahun 1990-1999. Proyek ini dilaksanakan di 85 Kelurahan secara terpadu dengan menggunakan konsep tribina (sosial, ekonomi, dan fisik lingkungan). Kemudian dilanjutkan dengan Proyek MHT IV sampai tahun 2001, yang sudah mulai memasukkan unsur legal.

Setelah berakhirnya era Proyek MHT, hampir tidak terdengar lagi proyek revitalisasi permukiman kampung kota lainnya. Proyek-proyek pembangunan skala besar atau pun proyek-proyek pembangunan rumah susun, lebih banyak menghiasi pembangunan Kota Jakarta. Beberapa kasus yang masih muncul antara lain upaya revitalisasi

kawasan Menteng, Kebayoran Baru, dan Kawasan Kota Tua; perbaikan lingkungan yang dipelopori oleh Ibu Harini Bambang Wahono, Kampung Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan; atau pun proyek-proyek perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh beberapa LSM.

Revitalisasi Kawasan Menteng, Kebayoran Baru, dan Kawasan Kota Tua adalah upaya revitalisasi lingkungan permukiman yang bernilai bersejarah atau berciri khas budaya tertentu. Kawasan Menteng dan Kebayoran baru adalah kawasan permukiman yang bernilai sejarah. Sedangkan di Kawasan Kota Tua ada Pecinan dan Kampung Arab, yaitu permukiman yang berciri khas budaya tertentu. Revitalisasi kawasan permukiman ini, tidak saja bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan dan masyarakat permukiman tersebut, tetapi juga menjadikan kawasan tersebut sebagai obyek wisata sejarah yang menarik.

Perbaikan permukiman kampung kota yang dipelopori Ibu Harini Bambang Wahono di Kampung Banjarsari sejak tahun 1980 ini, dilakukan melalui peningkatan kebersihan dan penghijauan lingkungan, serta melalui kegiatan komposting. Ibu Harini Bambang Wahono sendiri telah dianugerahi penghargaan Juara Nasional Konservasi Alam dan Penghijauan yang diselenggarakan Departemen Pertanian dan Kehutanan pada tahun 2000 dan dianugerahi penghargaan Kalpataru oleh Presiden Megawati pada tahun 2001. Model revitalisasi permukiman kampung kota ini yang juga disebut program “green and clean” sudah menjadi suatu raw model dan telah di-copy di banyak tempat, serta mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk pihak swasta melalui CSR-nya (Corporate Social Responsibility). Upaya revitalisasi ini tidak saja meningkatkan kualitas lingkungan dan pendapatan masyarakatnya, tetapi juga memunculkan rasa kebanggaan masyarakatnya tinggal di kampung tersebut.

Revitalisasi Permukiman Kampung Kota ke Depan

Dalam rangka menanggapi perkembangan permasalahan permukiman kampung kota, dan belajar dari beberapa kasus yang ada di lapangan, serta pengalaman yang sudah dimiliki dalam pelaksanaan Proyek MHT, sejak tahun 2006 dan pada tahun-tahun ke depan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah dan akan mengembangkan Proyek Perbaikan Kampung Terpadu. Ada beberapa alasan mengapa proyek ini akan dikembangkan:

Rumah Susun di Muara Angke

Page 40: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

38 buletin tata ruang *

a. Besarnya luas kawasan kumuh yang ada di Jakarta. Dari total kawasan perumahan seluas 42.440,61 Ha (66,52 % luas Jakarta), 20,18% adalah kawasan permukiman kumuh. Sehingga bila kawasan ini tidak ditangani secara serius, maka akan menimbulkan masalah penurunan kualitas lingkungan yang juga akan berdampak pada kualitas SDMnya (lihat peta);

b. Munculnya kesadaran bahwa penyelesaian masalah kekumuhan dan kemiskinan harus melibatkan semua unsur pemangku kepentingan, seperti halnya Proyek MHT. Masalah permukiman bukanlah urusan masing-masing individu, tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Jadi, upaya meningkatkan kualitas permukiman kumuh harus ditangani dan diselesaikan dengan pendekatan yang bertumpu pada masyarakat, yang dilaksanakan secara komprehensif (tridaya), terpadu, dan berkesinambungan, sesuai dengan karakteristik kawasan kampung kota tersebut (lihat skema bagan).

c. Efisiensi anggaran, efektivitas program, dan keberlanjutan. Program yang disusun bersama-sama dengan masyarakat menyebabkan masyarakat mempunyai rasa memiliki program tersebut sehingga program tersebut dapat terus berlanjut. Sedangkan anggaran yang disuntikkan hanya sebagai stimulan bagi penumbuhan dan penguatan peranserta masyarakat.

Sehingga Proyek ini mempunya tagline: “Comprehensive-Integrated-Sustainable-Replicable

Adapun metoda pelaksanaan yang akan dilakukan adalah:

1. Pembangunan Perbaikan Kampung Terpadu diselenggarakan dengan metoda tridaya yang

diterapkan dalam seluruh proses dan tahap kegiatan pembangunan.

2. Pelaksanaan dilakukan secara bertahap, yaitu :

a. Pengorganisasian;

b. Stabilitasi; dan

c. Pelepasan.

3. Lokasi tidak menyeluruh di wilayah kelurahan, tetapi hanya pada kawasan kumuh yang memerlukan penataan, tetapi tetap memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sekitarnya. Sampai saat ini sudah terpilih 113 RW atau mencakup area seluas 3.141 Ha yang sedang dan akan dilakukan perbaikan kampung.

Adapun program-program yang dapat dilakukan dalam Perbaikan Kampung Terpadu adalah perbaikan rumah secara swadaya, penghijauan lingkungan dengan mengandalkan peranserta masyarakat, pembuatan septic tank komunal atau IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah) yang dapat dibangun di bawah jalan setapak, daur ulang sampah atau komposting, peningkatan jalan lingkungan atau orang, dan pembuatan sumur resapan dan biopori.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpukan bahwa upaya untuk mempertahankan permukiman kampung kota dan merevitalisasinya tetap diperlukan dalam pengembangan Kota Jakarta. Upaya ini jauh lebih efisien, efektif, murah, dan berkelanjutan dalam rangka penyediaan perumahan untuk masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

topik lain. Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

Page 41: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 39

atau Proyek Perbaikan Kampung Terpadu pada masa yang akan dating adalah memadukan program secara lintas sektoral, mengefektifkan dana-dana CSR (Corporate Social Responsibility), serta pendampingan terhadap masyarakat secara berkesinambungan

topik lain. Revitalisasi Permukiman Kampung Kota

Pustaka:

Darrundono, Mencari model pembangunan perumahan yang berkelanjutan, 2007Vera Revina Sari, The Proces of Redevelopment in Jakarta City Center, 2001Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Jakarta dalam Dinamika Penataan Kota 1987-1992, 1992Dinas Perumahan dan Gedung Pemda, Perbaikan Kampung Terpadu, MHT 2009RTRW DKI Jakarta 2010, 1999Jo Santoso dkk, Sistem Perumahan Sosial di Indonesia

agenda kerja BKPRN. JULI - AGUSTUS 2009

Agenda Kegiatan Bulan Juli :• Diskusi untuk Masukan Kajian Lingkungan Hidup

Strategis (KLHS)• FGD Perumusan Konsep Koridor Pengembangan

Ekonomi Berbasis Penataan Ruang• Pembahasan Draft Raperpres Rencana Tata Ruang

Kawasan Batam, Bintan dan Karimun• RapatPersiapanStock taking (audit tata ruang) kawasan

kehutanan• Rapat Pembahasan Persetujuan Substansi Raperda

RTRW Yogyakarta• RapatPembahasanRPPBentukTataCaradanPeranSerta

Masyarakat dalam Penataan Ruang• Rapat PembahasanUsulan KawasanGrati sebagai KSN

dari segi hankam• RapatTerbatasPembahasanFinalisasiRancanganPerda

RTRWP Sumbar• RapatPembahasanDraftRancanganPeraturanPresiden

(Raperpres) Pengelolaan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Cagar Budaya Warisan Dunia Candi Borobudur

• Ekspose Substansi Kehutanan Terkait RTRW ProvinsiNusa Tenggara Barat

Agenda Kegiatan Bulan Agustus :• Workshop Tapak Ekologis sebagai Landasan dalam

Pengembangan Wilayah yang Berkelanjutan

• Roundtable Discussion “ Kawasan Strategis Nasional : Konsep & Pengelolaannya.

• Pembahasan Rencana Tata Ruang Kawasan StrategisNasional PBPB Sabang

• Pembahasan Raperda Kab. Jayapura tentang RTRWKab. Jayapura

• PembahasanRaperdaKab.SumbaBaratDayatentangRTRW Kab. Sumba Barat Daya

• FGD:tentangMenjaringKesepakatanterkaitKegiatanSinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang Wilayah Koridor Pantai Timur Sumatera Berbasis RTRWN

• Workshop “ Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Provinsi DKI Jakarta

• Koordinasi Penyiapan Kebijakan Penataan KawasanDAS Bengawan Solo Berbasis Penataan Ruang

• Pembahasan Draft Raperpres Rencana Tata RuangKawasan Medan, Binjai, Deli Serang dan Karo (Mebidang-Ro)

• Lokakarya KLHS dalam Perencanaan Pembangunandan Analisa Kebijakan : Lesson Learned, Pengembangan Regulasi, dan Clearing House

• Harmonisasi RancanganProgramLintas SektoruntukTahun Anggaran 2010 dan Program Jangka Menengah terkait Pengembangan Kawasan Merauke

• Pemaparan Kawasan Pertahanan Pangkalan TNI AL-Batam

Page 42: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

40 buletin tata ruang *

wacana. Merancang Kampung Hijau di Tepian Sungai Kota:

Kasus Tegalpanggung, YogyakartaOleh : Ribut Lupiyanto

Perkembangan kota terutama di negara berkembang, selain menunjukkan kemajuan yang menggembirakan juga menimbulkan dilema yang mengkhawatirkan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Lingkungan kota cenderung berkembang secara ekonomis, tetapi menurun secara ekologis. Perkembangan sarana dan prasarana fisik jauh meninggalkan, bahkan meminggirkan kebutuhan ekologis kota.

Dinamika sosial budaya kota semakin kompleks dan menjadi tantangan berat bagi pembangunan kota. Kawasan fisik perkotaan terus dipadati bangunan, permukaan diperkeras baik dengan atap bangunan maupun pekarangan, berkesan sumpek, dan ruang terbuka hijau terus menyempit atau bahkan hilang. Tendensi percepatan pembangunan ekonomi pada kawasan-kawasan prioritas penanganannya kurang mendapat sentuhan. Akibat kondisi ini vitalitas kawasan semakin menurun, terjadi perubahan fungsi, terbatasnya pelayanan jaringan prasarana dan sarana, degradasi kualitas lingkungan, serta kerusakan bentuk ruang kota. Pada beberapa kawasan yang tergolong penting dan vital di perkotaan yang awalnya merupakan kawasan strategis, saat ini kondisinya memprihatinkan. Salah satu contohnya adalah Kawasan Tegalpanggung di Kota Yogyakarta.

KAMPUNG TEGALPANGGUNG : Potensi, Problematika, dan Peluang Penataan

Tegalpanggung secara administratif masuk Kecamatan Danurejan dan secara geografis terletak di tengah-tengah Kota Yogyakarta yang dibatasi oleh :

• SungaiCodepadasisibarat• Saluran buangan kolam renang Umbang Tirta, jalan

lingkungan dan Jl. Lempuyangan pada sisi utara• Jl.HayamWurukpadasisitimur• Jl.JuminahanpadasisiselatanLetak kawasan terhadap Kota Yogyakarta yang berada di tengah, merupakan potensi karena kedekatan dengan sumber ekonomi. Oleh karena itu, Kawasan Tegalpanggung menjadi incaran para pendatang (urbanis) untuk bermukim, sehingga lingkungan perumahan semakin padat (Lihat Gambar 1).

Kepadatan bangunan bisa dikategorikan sangat tinggi (lebih dari 80%) dan ruang terbuka hijau sulit ditemukan. Luas area Kawasan Tegalpanggung adalah 35,06 Ha, dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 11.783 jiwa. Berarti kondisi kepadatan penduduk mencapai 336,10 jiwa/Ha. Gambar 1 menunjukkan ruang terbuka hanya berupa jalan-jalan yang sempit dan tidak dilengkapi prasarana atau utilitas secara layak. Secara umum kondisi bangunan di Kawasan Tegalpanggung adalah tipikal perkampungan kota; dilingkupi oleh deretan bangunan dengan kondisi struktur permanen (sebagian besar berfungsi komersial)

di sepanjang jalan dan di bagian dalamnya terdapat bangunan-bangunan dengan kondisi struktur campuran antara permanen, semi permanen dan temporer (sebagian besar untuk rumah tinggal).

Tegalpanggung di tepi Sungai Code yang melintasi wilayah tengah kota dan berhubungan dengan lokasi strategis kota. Oleh karena itu, kawasan Tegalpanggung menjadi sangat strategis untuk diremajakan, dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas dan vitalitas lingkungan dan permukiman. Revitalisasi dengan konsep tridaya, yaitu pemberdayaan sosial kemasyarakatan, usaha perekonomian dan pendayagunaan prasarana kawasan berpeluang dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan.

REVITALISASI VERTIKAL

Salah satu solusi revitalisasi kawasan kota adalah revitalisasi vertikal, yaitu dengan mengembangkan rumah susun. Proses penentuan prioritas pengembangan rumah susun lebih baik dilakukan dengan partisipasi masyarakat. Pemilihan tempat dilakukan dengan kriteria :

• bebas dari kemungkinan penetapan garis sempadanSungai Code

• kemungkinanmendapatsinarmataharisangatbesar• dekatdenganfasilitasumumlingkungan• mendapatkan nilai efisensi yang besar dalam

penggunaan lahan• kebutuhan pengadaan lahan terbuka sebagai ruang

umum terbuka (public space). Berdasarkan kriteria tersebut diatas telah didapatkan tanah

seluas 900 m2 di RW-I. Lahan ini memiliki identifikasi :

wacana. Merancang Kampung Hijau Di Tepian Sungai Kota : Kasus Tegalpanggung, Yogyakarta

Page 43: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 41

• CukupjauhdariKaliCode(75meter)• Dekatdenganjalanutamakampung(20meter)• Dapatdicapaiolehkendaraanberoda4(empat),dengan

perbaikan jalan yang ada dan penataan halaman dan 3 (tiga) bangunan rumah yang ada.

• Lahandatar/rata,berbentukrelatifbujursangkar• Lahanlebihtinggi(2,5meter)dibandingdengansebelah

selatan dan barat dayanya.Dengan proses yang sama dengan di atas, maka dapat diidentifikasi potensi pengembangan rumah susun yang lain. Potensi yang dihasilkan berada di Kampung Purwokinanti. Lahan yang ada masih agak longgar dan posisinya lebih rendah dari jalan utama (Jl. Juminahan), sehingga jumlah lantai ada lima, pada lantai kedua bisa diakses langsung dari jalan. Di sebelah utara dan sekitarnya merupakan area yang padat bangunan dan padat penduduk, sehingga untuk mendukung keberadaan rumah susun, kawasan ini perlu ditata kembali (revitalisasi) sesuai dengan kehidupan masyarakat yang sehat, bersih, aman, nyaman, dan layak. Penataan dapat dilaksanakan baik dengan sistem konsolidasi tanah maupun dengan cara-cara standard lainnya berdasarkan situasi dan kondisi kawasan.

REVITALISASI HORISONTALUntuk mendukung pembangunan vertikal perlu revitalisasi horisontal dengan penataan lingkungan fisik. Revitalisasi horisontal dapat dilakukan bersama-sama dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari pengembangan vertikal dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan mendukung terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penataan horisontal adalah :a. Membatasi atau bahkan sama sekali melarang

penambahan bangunan baru Guna mewujudkan prinsip ini perlu dilakukan proses

pendidikan terhadap masyarakat dengan terus menerus diingatkan dalam berbagai forum. Selain itu perlu juga ditegakkan peraturan sebagai instrumen pengendali pembangunan. Artinya setiap pembangunan harus memiliki ijin membangun. Pengawasan ini dapat dilakukan mulai tingkat kelompok masyarakat yang paling rendah misalnya RT atau RW.

b. Meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka Setiap bentuk ruang terbuka harus mendapat perhatian

dari masyarakat sebagai aset yang bernilai tinggi bagi kehidupan mereka baik sebagai bagian dari ruang kehidupan sosial (misalnya ruang terbuka sebagai tempat berkumpul, bermain, menyelenggarakan perhelatan, sebagai tempat evakuasi bencana, dan lain sebagainya) maupun sebagai bagian dari instrumen mekanisme alam dalam menjaga kualitas lingkungan.

Eksisting Desain

c. Mengembangkan green architecture Salah satu isu penting dalam menjaga kenyamanan

Kawasan Tegalpanggung adalah menjaga agar pertambahan kepadatan bangunan tidak diikuti dengan kenaikan suhu. Suhu maksimum harian rata-rata permukaan atap berwarna hitam/gelap dapat mencapai 76°C. Jika diganti warna putih akan turun hingga 52°C atau dapat menghemat 11% biaya mesin penyejuk udara (AC). Namun, penerapannya di iklim tropis lembab seperti Kawasan Tegalpanggung akan menimbulkan kesilauan yang tidak nyaman secara visual (karena langit sering tertutup awan putih merata yang menyilaukan, bukan warna biru).

Yeang (1996, dalam Frick dan Suskiyanto, 2007) menyarankan agar permukaan bangunan ditutupi oleh tumbuhan, karena akan relatif tetap sejuk ketika terkena terik matahari. Atap hijau sesuai untuk Indonesia, karena tidak menyilaukan mata, seperti atap putih. Studi Roy F. Weston (2002) menemukan bahwa jika semua atap di Chicago menerapkan atap hijau, akan diperoleh penghematan energi hingga 100 juta dollar (900 milyar rupiah) per tahun. Penerapan teknologi ini layak diusahakan di Tegalpanggung dengan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Rekomendasi desain bangunan untuk Kawasan Tegalpanggung dapat mengikuti Metode Mahoney (Prasasto, 2006, dalam Widodo B., 2004) berdasarkan data iklim tipikal, yaitu :• beruangterbukauntukpenetrasiangin• ruang-ruangsatuderetyangterkenaalirananginsecara

menerus• bukaan lebar, 40-80%, terlindungi dari hujan (karena

pada waktu hujan tetap perlu dibuka), dan terlindungi dari sinar langsung matahari (sinar matahari langsung tidak boleh masuk ke dalam ruangan)

• dindingringan,kelembamanwaktupendek;berkapasitaspanas kecil

• atap ringan, berisolatorpanas, permukaan terang ataureflektif, memiliki loteng

• perlindunganterhadaphujanlebatdiperlukan• bukaan di dinding pada ketinggian tubuh manusia

menghadap ke arah angin• bukaanterlindungidarihujan• harustersediadrainaseuntukairhujanyangmencukupi.

wacana. Merancang Kampung Hijau Di Tepian Sungai Kota : Kasus Tegalpanggung, Yogyakarta

Eksisting Desain

Page 44: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

42 buletin tata ruang *

Konsep arsitektur hijau selain pada bangunan utama juga dapat diaplikasikan untuk bangunan pendukung, seperti pagar. Gambar 5 menunjukkan arahan pengembangan pagar hijau, meskipun material dasar adalah tembok atau lainnya.

d. Meningkatkan aksesibilitas ramah lingkungan

Peningkatan aksesibilitas perlu memperhatikan hirarki jaringan jalan. Salah satu pertimbangan dalam peningkatan aksesibilitas adalah akses untuk mobil pemadam kebakaran. Oleh karena itu gang atau jalan di dalam kampung yang saat ini telah memiliki lebar mencukupi untuk dilewati mobil pemadam kebakaran harus tetap dipertahankan dan bila mungkin ditingkatkan dengan menambah tempat-tempat untuk berbalik arah.

Sedangkan jaringan jalan lain yang hirarkhinya lebih rendah harus memperhatikan alat transportasi minimal dari masing-masing keluarga. Saat ini sepeda motor tampaknya sudah menjadi alat transportasi minimal bagi keluarga. Oleh karena itu dalam peningkatan akses sebagai bagian dari penataan horisontal harus minimal memperhatikan kemungkinan akses sepeda motor, baik dari lebar jalan, kemudahan manuver maupun jenis material permukaan.

e. Penataan dan pengembangan utilitas

Jaringan drainase merupakan prasarana yang sangat penting dalam peningkatan kualitas lingkungan. Sering dijumpai jaringan sanitasi dan drainase bercampur satu dengan yang lain, sering tersumbat, dan menimbulkan bau tidak sedap. Untuk itu ruas jalan hingga gang perlu diarahkan dengan penyediaan drainase yang dapat meresapkan air dan dipinggirnya ditanami tumbuhan atau taman hijau.

Areal pekarangan banyak pula yang dilapisi dengan concrete paving blocks atau konblok yang dipasang secara rapat atau

Eksisting Desain

A

B

Eksisting Desain

Eksisting Desain

dengan plesteran dari semen dan pasir. Hal ini berdampak pada penurunan koefisien resapan air hujan ke dalam tanah sekaligus meningkatkan suhu lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi dengan cara mengganti konblok dengan menggunakan rumput atau bila diperlukan perkerasan dapat menggunakan porus paving block atau grass block.

penghujan dan krisis air saat kemarau. Berkurangnya lahan hijau dan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor mengakibatkan polusi udara dan pemanasan kota yang tinggi. Fasilitas yang kurang memadai dan kesadaran yang kurang juga menyebabkan masalah sampah dan limbah kota yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, revitaliasasi kota yang berkelanjutan merupakan kebutuhan mendesak dan pendekatan pelestarian lingkungan seharusnya menjadi pertimbangan utama dan prioritas penanganan.

MENUJU ECO-RIVER CITY

Keberadaan sungai yang melintasi kota merupakan dilema pembangunan, di satu sisi adalah potensi dan di sisi lain menimbulkan beragam permasalahan. Sungai memiliki potensi dalam transportasi, pengembangan ekonomi, ekowisata, sosial budaya, dan lainnya. Sungai juga rentan sebagai muara pencemaran, pembuangan sampah, pusat kawasan kumuh, dan kemiskinan kota. Kompleksitas permasalahan yang ada sekarang membutuhkan pendekatan multi aspek dalam pengembangannya, seperti aspek tata kota, lingkungan, sosial, ekonomi, hukum/legalitas, politik, dan lainnya. Pengembangan, pelestarian dan pemanfaatan sungai yang melintasi kota sebagai bagian upaya pembangunan wajah kota memerlukan upaya revitalisasi yang strategis.

Dalam rangka mengupayakan pengembangan sungai dalam pembangunan kota, telah muncul konsep Eco-river city. Konsep ini secara garis besar menjadikan eksistensi sungai dengan segala potensinya sebagai basis pembangunan kota yang berkelanjutan. Penekanan utamanya adalah menata kawasan sungai yang ramah lingkungan. Implementasi kampung hijau di kawasan tepi sungai sebagaimana dipaparkan sebelumnya kiranya dapat menjadi pilar utama menuju pengembangan Eco-river city

pengembangan profesi.

wacana. Merancang Kampung Hijau Di Tepian Sungai Kota : Kasus Tegalpanggung, Yogyakarta

Page 45: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 43

pengembangan profesi.

PERAN PERENCANA DALAM PROSES PERENCANAAN TATA RUANG YANG PARTISIPATIF

Oleh : Hendricus Andy SimarmataKetua Bidang Pengembangan Ikatan Ahli Perencanaan

We reject the view that the planners plan for use, not people. We argue that people — through social issues, social processes, and social organization — are fundamental to all planning activities. Therefore, all planners must more effectively integrate the social dimensions of planning into practice

Heidi Hoernig, Danielle Leahy, Zhi Xi (Cecilia) Zhuang,

Robert Earley, Lynn Randall, and Graham Whitelaw (2005)

Pendahuluan

Plan for People merupakan suatu slogan yang seharusnya mendorong para perencana untuk bekerja lebih terfokus kepada masyarakat. Rencana Tata Ruang yang disusun oleh perencana adalah media perantara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, para perencana harus lebih banyak bekerja sama dengan masyarakat (plan by people) dan turut serta mendorong kegiatan perencanaan tata ruang agar menjadi proses yang partisipatif. Keterlibatan masyarakat menjadi komponen penting dalam perencanaan. Begitu juga halnya dalam pembangunan karena anggota masyarakat memiliki perspektif yang berbeda-beda, baik dalam haknya sebagai orang memiliki pengetahuan maupun sebagai aktor strategis dalam pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi rencana tersebut (Chambers 1997; Arnstein, 1969)Keberhasilan penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sebagai tahapan pertama dari penataan ruang, maka perencanaan memegang peran strategis dan vital untuk dapat menentukan keberhasilan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan yang partisipatif memberikan peluang yang lebih besar untuk terciptanya pemanfaatan ruang yang terpadu dan sinergis, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien. Tulisan ini baru mencoba menguraikan proses partisipatif dalam tahapan perencanaan tata ruang saja, beserta apa peran dan kontribusi yang dapat dilakukan oleh para perencana.

Perencanaan PartisipatifDalam beberapa referensi tentang perencanaan partisipatif, terdapat beberapa kesamaan tahapan dalam proses

perencanaan. Secara umum, setidaknya ada 4 (empat) tahapan yang harus diperhatikan oleh para perencana, yaitu:1. Tahapan Pengkondisian (prepatory action) Tahap awal ini sangat penting untuk menjamin

keberhasilan proses partisipatif. Situasi dan kondisi wilayah atau kota yang akan direncanakan harus dapat mencerminkan terciptanya suasana yang menceritakan tentang agenda-agenda kegiatan perencanaan tata ruang di kota/wilayah mereka, seperti misalnya pembicaraan di warung kopi, pangkalan ojek, tempat gaul anak muda, dan seterusnya.Contoh masa pengkondisian yang ideal adalah seperti pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), dimana hampir semua pojok kota dihiasi oleh berbagai promosi para kandidat. Substansi yang paling penting pada masa ini adalah bahwa urgensi proses perencanaan sangat penting untuk menentukan masa depan kota/wilayah mereka pada 20 tahun mendatang.

Oleh karena itu, perencana harus dapat berperan aktif menciptakan kondisi tersebut, terutama dalam berinteraksi dengan tokoh masyarakat, media massa, tokoh agama, dan lain-lain. Perencana harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa proses penataan ruang tersebut penting untuk perikehidupan kota/wilayah tersebut.

2. Tahapan Pembentukan Forum Stakeholder (key stakeholder group)

Tahap pembentukan forum penataan ruang ini sangat penting untuk dapat menjamin suksesnya pelaksanaan proses perencanaannya nanti. Menurut Friedmann (2001), setidaknya ada 3 (tiga) aktor yang terlibat, yaitu: 1) Politisi dan Pemerintah (politicians and bureaucrats) yang mewakili lembaga pemerintahan pada setiap level wilayah, 2) Dunia Usaha (corporate capital) baik yang bersifat trans-nasional maupun domestik, dan 3) organisasi kemasyarakatan (civil society), seperti misalnya keluarga, organisasi keagamaan, klub hobi, NGO, dan lain-lain.

Food Fest kemang yang selalui ramai dikunjungi oleh anak muda. sumber : image.travebuddy.com

Page 46: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

44 buletin tata ruang *

pengembangan profesi .

Substansi yang paling penting dalam tahapan ini adalah pemilihan perwakilan dari ketiga aktor tersebut (representative system). Secara umum, kriteria yang harus dipenuhi oleh wakil-wakil dari ketiga aktor tersebut, antara lain adalah harus mampu menyampaikan aspirasi kelompoknya (people voice), memiliki pengaruh di dalam kelompoknya (influenced people), dan memiliki kepentigan dalam pembangunan kota/wilayah di sana (interested people) Oleh karena itu, peran perencana di sini sangat vital dalam menyeleksi partisipan yang memenuhi kriteria tersebut diatas, selain mendesain tata laksana dan sistem kerja forum penataan ruang tersebut. Perencana juga harus mampu menguraikan tugas dan fungsi dari masing-masing perwakilan stakeholder tersebut.

3. Tahapan Pemilihan Media Partisipasi (participatory tools)Menurut Amerasinghe, Farrell, Jin, Shin, and Stelljes (2008), setidaknya ada 7 (tujuh) jenis instrumen partisipasi, yaitu pengumuman terbuka (notice and comment), dengar-pendapat publik (public hearing), diskusi kelompok terfokus (focus group discussion), workshop partisipatif (Participatory Workshops), konsultasi penasehat (Citizen Advisory Committees), perundingan juri (Citizen Juries), dan pemilihan langsung (Referenda). Pemilihan instrumen didasarkan pada kriteria-kriteria, seperti karakteristik dan pengetahuan masyarakat, waktu yang tersedia, serta kemampuan dan kapasitas pemerintah dan perencana.Oleh karena itu, perencana mempunyai peran untuk dapat menilai instrumen mana yang paling tepat untuk digunakan dalam proses perencanaan tersebut. Tidak menutup kemungkinan untuk dapat digunakan lebih dari satu instrumen dalam satu proses perencanaan. Kemampuan perencana untuk memodifikasi instrumen tersebut agar lebih sesuai dengan kultur budaya kota/wilayah tersebut juga sangat diperlukan agar menghasilkan produk yang partisipatif.

4. Tahapan Pembentukan Forum Pakar (Expert’s Choice) Tahapan ini diperlukan apabila dalam media partisipasi

yang dilaksanakan tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu yang direncanakan. Untuk dapat memberikan pilihan-pilihan yang lebih bervariatif, obyektif, dan tepat sasaran, maka dibutuhkan pendapat pakar yang memiki kompetensi dan kapasitas dalam permasalahan atau kebijakan yang akan dipilih. Jadi, Forum pakar ini dibentuk untuk menghasilkan lebih banyak pilihan dan lebih informatif (well-informed choice) kepada para partisipan (stakeholder) dalam proses pengambilan keputusan nantinya.Oleh karena itu, peran perencana adalah harus mampu memfasilitasi terciptanya variasi pilihan yang lebih informatif untuk mencegah kebuntuan dalam proses pengambilan keputusan rencana tata ruang (Siregar,

2009). Perencana juga harus mampu berperan sebagai koordinator yang akomodatif (inclusive) terhadap pendapat maupun pandangan dari berbagai disiplin kepakaran yang terlibat dalam proses tersebut

Penutup

Dalam melaksanakan proses perencanaan tata ruang partisipatif, perencana harus mampu mengawinkan kemampuan analitis dan sintesis secara berimbang agar dapat menjadi seorang fasilitator perencanaan tata ruang yang tepat. Perencana harus bisa menyadari posisinya dalam proses pembangunan, khususnya dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Perannya sebagai pihak yang netral dalam proses tersebut harus terus dijaga dan ditingkatkan kemampuan teknisnya dalam memberikan alternatif-alternatif solusi yang lebih informatif mengenai rencana tata ruang yang disusun tersebut.Perencana memang tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang berkaitan dengan masa depan dan ke-utopis-an. Dalam praktek perencanaan yang partisipatif, seringkali ditemui kendala bagi masyarakat untuk memahami gambaran masa depan yang ditawarkan oleh para perencana tersebut, dan begitu juga sebaliknya, tidak semua perencana mampu menyerap dan memahami keinginan masa depan dari para stakeholder bagi kota/wilayahnya. Padahal pengetahuan tersebut sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan suatu konsesus terhadap gambaran kota/wilayah yang mereka cita-citakan.Untuk menghasilkan konsesus tersebut, maka proses perencanaannya tentunya tidak akan berjalan dalam satu kali iterasi. Frekuensi dan intensitas dari forum yang diadakan akan terus bergulir sepanjang belum terjadinya kesepakatan terhadap substansi dari perencanaan tata ruang tersebut. Para perencana harus mampu memetakan (setting), mengarahkan (steering), dan mendorong (accelerating) proses perencanaan yang terjadi menjadi lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran. Oleh karena itu, kepemilikan mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi juga mutlak diperlukan oleh para perencana untuk dapat mewujudkan rencana tata ruang yang partisipatif tersebut

Page 47: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

* buletin tata ruang 45

pengembangan profesi .

DIES EMAS PLANOLOGI ITB

Dalam suasana semangat menegakkan peran ilmu perencanaan, peringatan 50 tahun kiprah ilmu perencanaan di Indonesia oleh Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Planologi Pangripta Loka ITB akan menjadi saat yang penting untuk refleksi, kontemplasi, serta proyeksi peran ilmu perencanaan. Oleh karena itu, maka akan diadakan Acara Dies Emas Planologi ITB yang bertemakan “Learning from the past, managing the present, shaping the future.” Rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan diharapkan bisa menjadi ajang para akademisi, praktisi, serta berbagai kelompok pemerhati untuk berbagi pengalaman, pandangan, serta kritik bagi formulasi pengembangan ilmu dan praktek perencanaan guna memenuhi perannya dalam pembangunan bangsa.

Rangkaian Kegiatan

Learning from the past = Pelepasan Buku Sejarah (15 November 2009) =Pelepasan Buku Kenangan (15 November 2009) =Temu Alumni (15 November 2009)

Managing the present =Pre Event (16 Oktober 2009) =Award (15 November 2009) =Debat Terbuka (15 November 2009) =Stad Festival (15 November 2009)

Shaping the future =Konferensi Mahasiswa (9 – 10 November 2009) =Seminar Nasional dan Lokakarya (14 November

2009) =Seminar Internasional ( 12—13 November 2009)

Untuk kegiatan yang lebih detil, acara seminar internasional ini telah dipublikasikan melalui situs http://www.ppgc.or.id/

Sekretariat: Gedung Labtek IXA Lt. 5 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No.10, Bandung 40132 Website : www.plano50.org E-mail: [email protected]: Taora Violiza (08158291792)

Page 48: Buletin TATA RUANG. Edisi Juli-Agustus 2009. Pengembangan Ekonomi Perdesaan.

46 buletin tata ruang *

“A Goal without a plan is just a wish”

- Antoine de Saint-Exupery -