ILEUS
-
Upload
bara-kharisma -
Category
Documents
-
view
28 -
download
1
description
Transcript of ILEUS
I. PENDAHULUAN
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.
Gangguan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus yang disebut
ileus obstruktif atau oleh gangguan peristaltic yang selanjutnya disebut sebagai
ileus paralitik (Sjamsuhidajat et al, 2010).
Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdomenalis yang
sering dijumpai dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus gawat abdomen.
Gawat perut dapat disebabkan oleh kelainan didalam abdomen berupa inflamasi,
dan penyulitnya, ileus obstruktif, iskemik, dan perdarahan. Sebagian kelainan
dapat disebabkan oleh cedera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan
perforasi saluran cerna atau perdarahan (Yates, 2004).
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Di
Amerika diperkirakan sekitar 300.000 – 400.000 menderita ileus setiap tahunnya.
Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruksi tanpa hernia
yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank
Data Departement Kesehatan Indonesia (Sjamsuhidajat et al, 2010).
Dasar pengobatan ileus adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi traktus
gastrointestinal, mengatasi peritonitis dan syok bila ada serta menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi kembali normal dengan
cara operasi. Prognosis baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan segera
(Sjamsuhidajat et al, 2010).
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Klinik
Dengan melihat patogenesis yang terjadi, maka gambaran klinik yang
dapat ditimbulkan sebagai akibat obstruksi usus dapat bersifat sistemik dan
serangan yang bersifat kolik.
Gambaran klinik yang bersifat sistemik meliputi (Mukherjee S, 2008) :
1. Dehidrasi berat
2. Hipovolemia
3. Syok
4. Oliguria
5. Gangguan keseimbangan elektrolit
6. Perut gembung
7. Kelebihan cairan usus
8. Kelebihan gas dalam usus
Gambaran klinik serangan kolik meliputi :
1. Nyeri perut berkala
2. Distensi berat
3. Mual / muntah
4. Gelisah / menggeliat
5. Bunyi usus nada tinggi
6. Halangan pasase
7. Obstipasi
8. Tidak ada flatus
Pada obstruksi usus dengan strangulasi, terjadi nekrosis atau gangguan
dinding usus yang menyebabkan timbulnya perdarahan pada dinding usus.
Bahaya umum dari keadaan ini adalah sepsis, toxinemia, bahkan shock
(Brunicardi, 2005).
B. Anamnesis
Obstruksi usus halus sering menimbulkan nyeri kolik dengan muntah
hebat. Juga didapatkan distensi perut dan bising usus meningkat. Pada
anamnesis intususepsi, didapatkan bayi tampak gelisah dan tidak dapat
ditenangkan, sedangkan diantara serangan biasanya anak tidur tenang karena
2
sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah sewaktu
kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red currant jelly) per anum, yang
berasal dari intususeptum yang tertekan, terbendung, atau mungkin sudah
mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu serangan dan pada
pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya memanjang dengan batas
jelas seperti sosis. Bila invaginasi disertai strangulasi, harus diingat
kemungkinan terjadinya peritonitis setelah perforasi. Pada volvulus
didapatkan nyeri yang bermula akut, tidak berlangsung lama, menetap, disertai
muntah hebat. Biasanya penderita jatuh dalam keadaan syok (Brunicardi,
2005).
Ileus obstruksi usus besar agak sering menyebabkan serangan kolik
yang intensitasnya sedang. Muntah tidak menonjol, tetapi distensi tampak
jelas. Penderita tidak dapat melakukan defekasi atau flatus. Bila penyebabnya
adalah volvulus sigmoid maka perut dapat besar sekali (Brunicardi, 2005).
Strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti takikardia,
pireksia (demam), lokal tenderness dan guarding, rebound tenderness, nyeri
lokal, hilangnya suara usus lokal, untuk mengetahui secara pasti adanya
strangulasi hanya dengan laparotomi.4
C. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung.
Benjolan
pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia
inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk
sosis.
Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi
sebelumnya (Leaper, 2010) .
2. Perkusi
Hipertimpani
3. Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada
fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.
3
4. Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor (pada colok dubur teraba
massa di rektum atau terdapat darah dan lendir), invaginasi atau hernia.
Adanya darah pada pemeriksaan colok dubur dapat menyokong strangulasi
atau neoplasma. Pada volvulus teraba massa yang nyeri dan bertambah
besar. Bila didapatkan feses yang mengeras kemungkinan adanya skibala,
bila feses negatif maka obstruksi usus diduga letaknya lebih tinggi.
Ampula rekti yang kolaps juga harus dicurigai adanya obstruksi. Bila
ditemukan nyeri tekan lokal atau general pada pemeriksaan palpasi
dinding abdomen maka pikirkan adanya peritonitis.
D. Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah
sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab
mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana
peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik
peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.
Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus. Lumen usus yang
tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas
yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan
pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter
cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorpsi
dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan
penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan
utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan
ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—hipotensi, pengurangan
curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan
usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi
cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan
usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat
nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum
dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia (Price, 2014).
4
Gambar 2.1. Patofisiologi Obstruksi Usus (Price, 2014).
E. Pemeriksaan Penunjang
Pada penyakit ileus, pemeriksaan penunjang yang
ditemukan sejatinya tidak memiliki kekhususan tertentu.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
membantu penegakkan diagnosis penyakit ileus diantaranya
sebagai berikut (Sari, 2005):
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
Leukosit ditemukan normal atau sedikit meningkat.
Apabila terjadi peningkatan leukosit yang berarti, dapat
mengindikasikan terjadinya peritonitis. Kimia darah
menunjukkan gangguan elektrolit (Sari, 2005).
2. Pemeriksaan urinalisa
5
Pemeriksaan urin dilaukan untuk mengetahui adanya
dehidrasi dan asidosis metabolik. Berat jenis yang
meningkat serta ketonuria dapat mengindikasikan
terjadinya dehidrasi dan asidosis metabolic (Sari, 2005).
3. Kolonoskopi
Sensitif dan spesifik terhadap neoplasma, dan dapat
langsung dilakukan biopsi, (Sari, 2005).
4. Gambaran Radiologi
Gambaran radiologi yang ditemukan yaitu adanya
distensi usus dengan multiple air fluid level, distensi usus
bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi
usus halus. Obstruksi kolon dapat terlihat sebagai distensi
usus yang terbatas dengan gambaran haustra, terkadang
ada gambaran massa yang terlihat. Dari gambaran
radiologi, kolon yang terdistensi menunjukkan gambaran
khas seperti bentuk pigura dari dinding abdomen (Sari,
2005).
Dalam melakukan penegakan diagnosis ileus, foto
abdomen yang dilakukan adalah dengan 3 posisi.
Gambaran yang ditemukan dapat berupa kelainan antara
lain sebagai berikut (Sari, 2005) :
a. Ileus obstruks letak tinggi
1) Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal
junction) dankolaps usus di bagian distal sumbatan.
2) Coil spring appearance
3) Herring bone appearance
4) Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign)
b. Ileus obstruksi letak rendah
1) Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi
2) ambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi
abdomen
6
3) Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sedangkan pada
ileus paralitik gambaran radiologi ditemukan dilatasi usus yang
menyeluruhdari gaster sampai rectum.
Gambar 2.2. Radiologi ileus postoperative setelah operasi
cholecystectomy terbuka (Burt, 2014).
7
Gambar 2.3. Radiologi dilatasi massiv pada kolon pada
pasien lansia
(Burt, 2014).
F. Penegakan Didnosis
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab
misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat
hernia. Gejala umum berupa syok,oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya
ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan diusus, hiperperistaltis berkala
berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada
inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi
sewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada
tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah
satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan
meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan
pembengkakan atau massa yang abnormal. Gejala permulaan pada obstruksi
kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar terutama berupa obstipasi
dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah. Pada
inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya
pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat
gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi
terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah
membesar (Livingston dan Edward, 2011).
Dengan stetoskop, diperiksa suara normal (bising usus) dari usus yang
berfungsi. Pada penyakit ini, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan
8
bernada tinggi, atau tidak terdengar sama sekali. Nilai laboratorium pada
awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,leukositosis, dan
gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi
tegak,terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga
dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian
kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus
obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan
rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium inloop) untuk
mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia (Sudoyo et al.,
2009).
Pada saat sekarang ini radiologi memainkan peranan penting dalam
mendiagnosis secara awal ileus obstruktifus secara dini. Gambaran radiologi
dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air fluid level,distensi usus
bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi usus halus. Obstruksi
kolon biasanya terlihat sebagai distensi usus yang terbatas dengan gambaran
haustra, kadang-kadang gambaran massa dapat terlihat. Pada gambaran
radiologi, kolon yang mengalami distensi menunjukkan gambaran seperti
pigura dari dinding abdomen (Livingston dan Edward, 2011).
9
Gambar 2.4. Gambaran radiologi ileus pada bayi.
Livingston, Edward dan Edward Passaro. 2011. Postoperative Ileus.
Digestive Diseases and Science. Vol 35 (1): 121-132.
G. Tatalaksana
1. Farmakologi
Pada pasien ileus, obat yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a. Analgesik nonopioid, salah satunya adalah ketorolak. Obat ini
biasanya diberikan dengan cara injeksi intravena arau intramuskular
walaupun dapat diberikan per oral. Mekanisme kerja ketorolak adalah
menghambat secara selektif enzim siklooksigenase-1 (COX-1). Akan
10
tetapi, obat ini tidak boleh diberikan lebih dari lima hari karena akan
menyebabkan iritasi lambung (Gunawan et al. 2012).
b. Antiemesis, misalnya metoklorpamid. Obat ini merangsang saraf
parasimpatis dengan meningkatkan motilitas saluran pencernaan tanpa
mempengaruhi sekresi asam lambung, empedu, serta pankreas
(Gunawan et al. 2012).
c. Antibiotik spektrum luas jika terdapat infeksi setelah operasi (Sudoyo
et al., 2009).
2. Nonfarmakologi
Penatalaksanaan dari sisi nonfarmakologi dilakukan dengan
beberapa cara, salah satunya berupa dekompresi. Dekompresi dilakukan
dengan cara pemasangan pipa nasogastrik dan rectal tube jika diperlukan.
Selain itu, pemasangan infus diperlukan untuk menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pemberian cairan dengan cara parenteral ini harus
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian nutrisi
parenteral (Sudoyo et al., 2009).
Setelah dilakukan dekompresi dan pemasangan infus, tatalaksana
selanjutnya adalah pembedahan. Pembedahan ini hanya dilakukan pada
ileus obstruktif. Operasi dilakukan setelah dekompresi agar tidak terjadi
komplikasi seperti ruptur usus dan sepsis (Syamsuhidayat dan De Jong,
2010).
Gambar 2.5. Pemasangan pipa nasogastrik
H. Prognosis
11
Pada ileus paralitik, prognosis baik apabila penyakit primernya dapat
diatasi. Setelah dilakukan pembedahan dekompresi, prognosis tetap
tergantung pada penyakit yang mendasari. Sedangkan pada ileus obstruktif
atau obstruksi intestinal ada kemungkinan terjadinya kambuhan obstruksi
dalam jangka 10 tahun karena adhesi sekitar 1-50%. Dengan adanya
perkembangan teknik laparatomi dan penunjang diagnostik, angka mortalitas
pada obstruksi intestinal menurun hingga 5% (Ratnasari, 2011).
Pada sumber lain terbagi menjadi dua yaitu, obstruksi yang tak
mengakibatkan strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 5%.
Kebanyakan yang meninggal adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi
yang disertai dengan strangulasi mempunyai angka kematian 8%. Kalau
operasi dilakukan dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala yang
bersangkutan
I. Komplikasi
Komplikasi dari ileus dapat menuju pada keadaan ketidakseimbangan
elektrolit, dehidrasi, perforasi pada intestinum, infeksi. Jika obstruksi yang
terjadi memblok supply darah untuk intestinum, dapat menyebabkan gangren.
Dan jika terjadi pada bayi baru lahir, ileus paralisis dapat menghancurkan
dinding intestinum yang mengancam jiwa (Lehler, 2014).
III. PEMBAHASAN
Penatalaksanaan awal dari pasien dengan obstuksi ditujukan pada
resusitasi cairan yang agresif, dekompensasi usus yang mengalami obstruksi dan
mencegah aspirasi. Koreksi elektrolit harus dilakukan segera mungkin (Cagir,
2014) .
Langkah awal yang paling penting adalah resusitasi cairan yang agresif
karena pasien dengan obstruksi usus sering banyak kehilangan cairan dan
elektrolit, khususnya kalium. Resusitasi dilakukan dengan cairan kristaloid seperti
NaCl 0,9% atau ringer laktat dan keberhasilan resusitasi dapat dimonitor dengan
12
produksi urin minimal 0,5cc/kg/jam. Diharapkan setelah resusitasi secara klinis
hemodinamik pasien stabil dan fungsi renal dapat kembali ke normal (Cagir,
2014).
Dekompensasi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) mutlak harus
dilakukan dalam mengobati ileus obstruktif yang disebabkan adhesi pasca operasi.
NGT dapat juga mencegah distensi intestinal karena tertelan udara dan mencegah
aspirasi selama pasien muntah . Secara simptomatis, dekompensasi membantu
meringankan distensi abdomen dan dapat meningkatkan ventilasi pada pasien
dengan gangguan respirasi (Cagir, 2014).
Tindakan operasi dapat dilakukan setelah rehidrasi dan organ vital
berfungsi dengan baik. prosedur Hartmann menggunakan pendekatan laparoskopi
banyak digunakan dalam penanganan ileus. Laparoskopi tidak hanya aman dan
efektif, tetapi juga dapat mengakibatkan waktu pemulihan secara signifikan lebih
cepat dan komplikasi pascaprosedur lebih sedikit (Halim, 2008).
Selain tindakan operasi, penatalaksanaan non operatif dapat dilakukan juga
sebagai penatalaksaan dari ileus obstrukstif usus baik total maupun parsial pada
pasien dengan gejala klinis tanpa tanda peritonitis dan strangulata. Dibawah ini
bagan penatalaksanaan small bowel obstruction (BSO) menurut guideline for
management of small bowel obstrution (Halim, 2008)
13
Diagram 3.1. penatalaksanaan Small Bowel Obstruktion menurut
Guideline for management of Small Bowel Obstruction 2008.
Pasien yang diterapi dengan non operatif memerlukan observasi ketat
selama 24-48 jam. Adanya tanda dan gejala demam, takikardi, leukositosis, nyeri
tekan terlokalisir, nyeri abdomen yang terus menerus dan peritonitis
mengindikasikan adanya obstruksi dengan komplikasi. Apabila terdapat 3 gejala
berikut : nyeri berkelanjutan, takikardi, leukositosis, tanda rangsang peritonitis
14
dan demam memiliki angka prediktif 82% untuk ileus obstruksi strangulata
sementara bila terdapat 4 dari gejala diatas memiliki angka prediktif mendekati
100% (Halim, 2008)
Apabila pada foto abdomen ulang ternyata terdapat udara bebas
intaabdomen atau tanda-tanda obstruktif “close-loop” maka pasien harus segera
diterapi operatif. Apabila dalam CT- Scan terdapat bukti iskemia, strangulata atau
gangguan vaskuler maka pasien juga harus diterapi operatif. Apabila setelah 48
jam ternyata tidak ada perbaikan dengan terapi non operatif maka sebaiknya
dilakukan terapi operatif segera (Halim, 2008).
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakan
yang dilakukan berupa dekompensasi, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang
adekuat. Beberpa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau obat
parasimpatomimetik tidak memberikan hasil yang konsisten. Untuk dekompresi
dilakukan pemasangan pipa nasogastrik. Pemberian cairan, koreksi gangguan
elektrolit dan nutrisi paraenteral diberikan sesuai kebutuhan dan prinsip
pemberian nutrisi paraenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu
metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus
paralitik pasca operasi dan klonidin bermanfaat untuk ileus paralitik karena obat-
obatan. Tindakan operatif dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric
untuk mencegah sepsis sekunder dan ruptur usus. Operasi yang dilakukan diawali
dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan
dengan hasil explorasi melalui laparotomi. pintas usus dengan ileostomi,
kolostomi, reseksi dengan anastomosis (Djumhana, 2013).
IV. KESIMPULAN
15
1. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi
usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan
2. Gambaran klinik yang dapat ditimbulkan sebagai akibat obstruksi usus dapat
bersifat sistemik dan serangan yang bersifat kolik
3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya : pemeriksaan darah
rutin, urinalisis, kolonoskopi, radiologi,
4. Penatalaksanaan farmakologi yang dapat diberikan diantaranya : Analgesik
nonopioid, antiemesis, antibiotik spektrum luas
5. Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat diberikan diantaranya : dekompensasi,
pemasangan infus hingga pembedahan.
6. Prognosis baik apabila penyakit primernya dapat diatasi
7. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya : ketidakseimbangan elektrolit,
dehidrasi, perforasi pada intestinum, infeksi, gangrene hingga dapat
mengancam jiwa
16