ILEUS

22
I. PENDAHULUAN Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Gangguan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus yang disebut ileus obstruktif atau oleh gangguan peristaltic yang selanjutnya disebut sebagai ileus paralitik (Sjamsuhidajat et al, 2010). Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdomenalis yang sering dijumpai dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus gawat abdomen. Gawat perut dapat disebabkan oleh kelainan didalam abdomen berupa inflamasi, dan penyulitnya, ileus obstruktif, iskemik, dan perdarahan. Sebagian kelainan dapat disebabkan oleh cedera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan (Yates, 2004). Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000 – 400.000 menderita ileus setiap tahunnya. Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruksi tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank Data Departement Kesehatan Indonesia (Sjamsuhidajat et al, 2010). 1

description

ileus

Transcript of ILEUS

I. PENDAHULUAN

Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya

obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.

Gangguan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus yang disebut

ileus obstruktif atau oleh gangguan peristaltic yang selanjutnya disebut sebagai

ileus paralitik (Sjamsuhidajat et al, 2010).

Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdomenalis yang

sering dijumpai dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus gawat abdomen.

Gawat perut dapat disebabkan oleh kelainan didalam abdomen berupa inflamasi,

dan penyulitnya, ileus obstruktif, iskemik, dan perdarahan. Sebagian kelainan

dapat disebabkan oleh cedera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan

perforasi saluran cerna atau perdarahan (Yates, 2004).

Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Di

Amerika diperkirakan sekitar 300.000 – 400.000 menderita ileus setiap tahunnya.

Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruksi tanpa hernia

yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank

Data Departement Kesehatan Indonesia (Sjamsuhidajat et al, 2010).

Dasar pengobatan ileus adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,

menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi traktus

gastrointestinal, mengatasi peritonitis dan syok bila ada serta menghilangkan

obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi kembali normal dengan

cara operasi. Prognosis baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan segera

(Sjamsuhidajat et al, 2010).

1

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Klinik

Dengan melihat patogenesis yang terjadi, maka gambaran klinik yang

dapat ditimbulkan sebagai akibat obstruksi usus dapat bersifat sistemik dan

serangan yang bersifat kolik.

Gambaran klinik yang bersifat sistemik meliputi (Mukherjee S, 2008) :

1. Dehidrasi berat

2. Hipovolemia

3. Syok

4. Oliguria

5. Gangguan keseimbangan elektrolit

6. Perut gembung

7. Kelebihan cairan usus

8. Kelebihan gas dalam usus

Gambaran klinik serangan kolik meliputi :

1. Nyeri perut berkala

2. Distensi berat

3. Mual / muntah

4. Gelisah / menggeliat

5. Bunyi usus nada tinggi

6. Halangan pasase

7. Obstipasi

8. Tidak ada flatus

Pada obstruksi usus dengan strangulasi, terjadi nekrosis atau gangguan

dinding usus yang menyebabkan timbulnya perdarahan pada dinding usus.

Bahaya umum dari keadaan ini adalah sepsis, toxinemia, bahkan shock

(Brunicardi, 2005).

B. Anamnesis

Obstruksi usus halus sering menimbulkan nyeri kolik dengan muntah

hebat. Juga didapatkan distensi perut dan bising usus meningkat. Pada

anamnesis intususepsi, didapatkan bayi tampak gelisah dan tidak dapat

ditenangkan, sedangkan diantara serangan biasanya anak tidur tenang karena

2

sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah sewaktu

kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red currant jelly) per anum, yang

berasal dari intususeptum yang tertekan, terbendung, atau mungkin sudah

mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu serangan dan pada

pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya memanjang dengan batas

jelas seperti sosis. Bila invaginasi disertai strangulasi, harus diingat

kemungkinan terjadinya peritonitis setelah perforasi. Pada volvulus

didapatkan nyeri yang bermula akut, tidak berlangsung lama, menetap, disertai

muntah hebat. Biasanya penderita jatuh dalam keadaan syok (Brunicardi,

2005).

Ileus obstruksi usus besar agak sering menyebabkan serangan kolik

yang intensitasnya sedang. Muntah tidak menonjol, tetapi distensi tampak

jelas. Penderita tidak dapat melakukan defekasi atau flatus. Bila penyebabnya

adalah volvulus sigmoid maka perut dapat besar sekali (Brunicardi, 2005).

Strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti takikardia,

pireksia (demam), lokal tenderness dan guarding, rebound tenderness, nyeri

lokal, hilangnya suara usus lokal, untuk mengetahui secara pasti adanya

strangulasi hanya dengan laparotomi.4

C. Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi

Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung.

Benjolan

pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia

inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk

sosis.

Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi

sebelumnya (Leaper, 2010) .

2. Perkusi

Hipertimpani

3. Auskultasi

Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada

fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.

3

4. Palpasi

Kadang teraba massa seperti pada tumor (pada colok dubur teraba

massa di rektum atau terdapat darah dan lendir), invaginasi atau hernia.

Adanya darah pada pemeriksaan colok dubur dapat menyokong strangulasi

atau neoplasma. Pada volvulus teraba massa yang nyeri dan bertambah

besar. Bila didapatkan feses yang mengeras kemungkinan adanya skibala,

bila feses negatif maka obstruksi usus diduga letaknya lebih tinggi.

Ampula rekti yang kolaps juga harus dicurigai adanya obstruksi. Bila

ditemukan nyeri tekan lokal atau general pada pemeriksaan palpasi

dinding abdomen maka pikirkan adanya peritonitis.

D. Patofisiologi

Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah

sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab

mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana

peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik

peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.

Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus. Lumen usus yang

tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas

yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan

pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter

cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorpsi

dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan

penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan

utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan

ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—hipotensi, pengurangan

curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan

usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi

cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan

usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat

nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum

dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia (Price, 2014).

4

Gambar 2.1. Patofisiologi Obstruksi Usus (Price, 2014).

E. Pemeriksaan Penunjang

Pada penyakit ileus, pemeriksaan penunjang yang

ditemukan sejatinya tidak memiliki kekhususan tertentu.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk

membantu penegakkan diagnosis penyakit ileus diantaranya

sebagai berikut (Sari, 2005):

1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah

Leukosit ditemukan normal atau sedikit meningkat.

Apabila terjadi peningkatan leukosit yang berarti, dapat

mengindikasikan terjadinya peritonitis. Kimia darah

menunjukkan gangguan elektrolit (Sari, 2005).

2. Pemeriksaan urinalisa

5

Pemeriksaan urin dilaukan untuk mengetahui adanya

dehidrasi dan asidosis metabolik. Berat jenis yang

meningkat serta ketonuria dapat mengindikasikan

terjadinya dehidrasi dan asidosis metabolic (Sari, 2005).

3. Kolonoskopi

Sensitif dan spesifik terhadap neoplasma, dan dapat

langsung dilakukan biopsi, (Sari, 2005).

4. Gambaran Radiologi

Gambaran radiologi yang ditemukan yaitu adanya

distensi usus dengan multiple air fluid level, distensi usus

bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi

usus halus. Obstruksi kolon dapat terlihat sebagai distensi

usus yang terbatas dengan gambaran haustra, terkadang

ada gambaran massa yang terlihat. Dari gambaran

radiologi, kolon yang terdistensi menunjukkan gambaran

khas seperti bentuk pigura dari dinding abdomen (Sari,

2005).

Dalam melakukan penegakan diagnosis ileus, foto

abdomen yang dilakukan adalah dengan 3 posisi.

Gambaran yang ditemukan dapat berupa kelainan antara

lain sebagai berikut (Sari, 2005) :

a. Ileus obstruks letak tinggi

1) Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal

junction) dankolaps usus di bagian distal sumbatan.

2) Coil spring appearance

3) Herring bone appearance

4) Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign)

b. Ileus obstruksi letak rendah

1) Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi

2) ambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi

abdomen

6

3) Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sedangkan pada

ileus paralitik gambaran radiologi ditemukan dilatasi usus yang

menyeluruhdari gaster sampai rectum.

Gambar 2.2. Radiologi ileus postoperative setelah operasi

cholecystectomy terbuka (Burt, 2014).

7

Gambar 2.3. Radiologi dilatasi massiv pada kolon pada

pasien lansia

(Burt, 2014).

F. Penegakan Didnosis

Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab

misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat

hernia. Gejala umum berupa syok,oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya

ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan diusus, hiperperistaltis berkala

berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada

inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi

sewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada

tinggi. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah

satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan

meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan

pembengkakan atau massa yang abnormal. Gejala permulaan pada obstruksi

kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar terutama berupa obstipasi

dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah. Pada

inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya

pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat

gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi

terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah

membesar (Livingston dan Edward, 2011).

Dengan stetoskop, diperiksa suara normal (bising usus) dari usus yang

berfungsi. Pada penyakit ini, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan

8

bernada tinggi, atau tidak terdengar sama sekali. Nilai laboratorium pada

awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,leukositosis, dan

gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi

tegak,terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga

dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian

kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus

obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan

rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium inloop) untuk

mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia (Sudoyo et al.,

2009).

Pada saat sekarang ini radiologi memainkan peranan penting dalam

mendiagnosis secara awal ileus obstruktifus secara dini. Gambaran radiologi

dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air fluid level,distensi usus

bagian proksimal, absen dari udara kolon pada obstruksi usus halus. Obstruksi

kolon biasanya terlihat sebagai distensi usus yang terbatas dengan gambaran

haustra, kadang-kadang gambaran massa dapat terlihat. Pada gambaran

radiologi, kolon yang mengalami distensi menunjukkan gambaran seperti

pigura dari dinding abdomen (Livingston dan Edward, 2011).

9

Gambar 2.4. Gambaran radiologi ileus pada bayi.

Livingston, Edward dan Edward Passaro. 2011. Postoperative Ileus.

Digestive Diseases and Science. Vol 35 (1): 121-132.

G. Tatalaksana

1. Farmakologi

Pada pasien ileus, obat yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

a. Analgesik nonopioid, salah satunya adalah ketorolak. Obat ini

biasanya diberikan dengan cara injeksi intravena arau intramuskular

walaupun dapat diberikan per oral. Mekanisme kerja ketorolak adalah

menghambat secara selektif enzim siklooksigenase-1 (COX-1). Akan

10

tetapi, obat ini tidak boleh diberikan lebih dari lima hari karena akan

menyebabkan iritasi lambung (Gunawan et al. 2012).

b. Antiemesis, misalnya metoklorpamid. Obat ini merangsang saraf

parasimpatis dengan meningkatkan motilitas saluran pencernaan tanpa

mempengaruhi sekresi asam lambung, empedu, serta pankreas

(Gunawan et al. 2012).

c. Antibiotik spektrum luas jika terdapat infeksi setelah operasi (Sudoyo

et al., 2009).

2. Nonfarmakologi

Penatalaksanaan dari sisi nonfarmakologi dilakukan dengan

beberapa cara, salah satunya berupa dekompresi. Dekompresi dilakukan

dengan cara pemasangan pipa nasogastrik dan rectal tube jika diperlukan.

Selain itu, pemasangan infus diperlukan untuk menjaga keseimbangan

cairan dan elektrolit. Pemberian cairan dengan cara parenteral ini harus

dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian nutrisi

parenteral (Sudoyo et al., 2009).

Setelah dilakukan dekompresi dan pemasangan infus, tatalaksana

selanjutnya adalah pembedahan. Pembedahan ini hanya dilakukan pada

ileus obstruktif. Operasi dilakukan setelah dekompresi agar tidak terjadi

komplikasi seperti ruptur usus dan sepsis (Syamsuhidayat dan De Jong,

2010).

Gambar 2.5. Pemasangan pipa nasogastrik

H. Prognosis

11

Pada ileus paralitik, prognosis baik apabila penyakit primernya dapat

diatasi. Setelah dilakukan pembedahan dekompresi, prognosis tetap

tergantung pada penyakit yang mendasari. Sedangkan pada ileus obstruktif

atau obstruksi intestinal ada kemungkinan terjadinya kambuhan obstruksi

dalam jangka 10 tahun karena adhesi sekitar 1-50%. Dengan adanya

perkembangan teknik laparatomi dan penunjang diagnostik, angka mortalitas

pada obstruksi intestinal menurun hingga 5% (Ratnasari, 2011).

Pada sumber lain terbagi menjadi dua yaitu, obstruksi yang tak

mengakibatkan strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 5%.

Kebanyakan yang meninggal adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi

yang disertai dengan strangulasi mempunyai angka kematian 8%. Kalau

operasi dilakukan dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala yang

bersangkutan

I. Komplikasi

Komplikasi dari ileus dapat menuju pada keadaan ketidakseimbangan

elektrolit, dehidrasi, perforasi pada intestinum, infeksi. Jika obstruksi yang

terjadi memblok supply darah untuk intestinum, dapat menyebabkan gangren.

Dan jika terjadi pada bayi baru lahir, ileus paralisis dapat menghancurkan

dinding intestinum yang mengancam jiwa (Lehler, 2014).

III. PEMBAHASAN

Penatalaksanaan awal dari pasien dengan obstuksi ditujukan pada

resusitasi cairan yang agresif, dekompensasi usus yang mengalami obstruksi dan

mencegah aspirasi. Koreksi elektrolit harus dilakukan segera mungkin (Cagir,

2014) .

Langkah awal yang paling penting adalah resusitasi cairan yang agresif

karena pasien dengan obstruksi usus sering banyak kehilangan cairan dan

elektrolit, khususnya kalium. Resusitasi dilakukan dengan cairan kristaloid seperti

NaCl 0,9% atau ringer laktat dan keberhasilan resusitasi dapat dimonitor dengan

12

produksi urin minimal 0,5cc/kg/jam. Diharapkan setelah resusitasi secara klinis

hemodinamik pasien stabil dan fungsi renal dapat kembali ke normal (Cagir,

2014).

Dekompensasi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) mutlak harus

dilakukan dalam mengobati ileus obstruktif yang disebabkan adhesi pasca operasi.

NGT dapat juga mencegah distensi intestinal karena tertelan udara dan mencegah

aspirasi selama pasien muntah . Secara simptomatis, dekompensasi membantu

meringankan distensi abdomen dan dapat meningkatkan ventilasi pada pasien

dengan gangguan respirasi (Cagir, 2014).

Tindakan operasi dapat dilakukan setelah rehidrasi dan organ vital

berfungsi dengan baik. prosedur Hartmann menggunakan pendekatan laparoskopi

banyak digunakan dalam penanganan ileus. Laparoskopi tidak hanya aman dan

efektif, tetapi juga dapat mengakibatkan waktu pemulihan secara signifikan lebih

cepat dan komplikasi pascaprosedur lebih sedikit (Halim, 2008).

Selain tindakan operasi, penatalaksanaan non operatif dapat dilakukan juga

sebagai penatalaksaan dari ileus obstrukstif usus baik total maupun parsial pada

pasien dengan gejala klinis tanpa tanda peritonitis dan strangulata. Dibawah ini

bagan penatalaksanaan small bowel obstruction (BSO) menurut guideline for

management of small bowel obstrution (Halim, 2008)

13

Diagram 3.1. penatalaksanaan Small Bowel Obstruktion menurut

Guideline for management of Small Bowel Obstruction 2008.

Pasien yang diterapi dengan non operatif memerlukan observasi ketat

selama 24-48 jam. Adanya tanda dan gejala demam, takikardi, leukositosis, nyeri

tekan terlokalisir, nyeri abdomen yang terus menerus dan peritonitis

mengindikasikan adanya obstruksi dengan komplikasi. Apabila terdapat 3 gejala

berikut : nyeri berkelanjutan, takikardi, leukositosis, tanda rangsang peritonitis

14

dan demam memiliki angka prediktif 82% untuk ileus obstruksi strangulata

sementara bila terdapat 4 dari gejala diatas memiliki angka prediktif mendekati

100% (Halim, 2008)

Apabila pada foto abdomen ulang ternyata terdapat udara bebas

intaabdomen atau tanda-tanda obstruktif “close-loop” maka pasien harus segera

diterapi operatif. Apabila dalam CT- Scan terdapat bukti iskemia, strangulata atau

gangguan vaskuler maka pasien juga harus diterapi operatif. Apabila setelah 48

jam ternyata tidak ada perbaikan dengan terapi non operatif maka sebaiknya

dilakukan terapi operatif segera (Halim, 2008).

Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakan

yang dilakukan berupa dekompensasi, menjaga keseimbangan cairan dan

elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang

adekuat. Beberpa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau obat

parasimpatomimetik tidak memberikan hasil yang konsisten. Untuk dekompresi

dilakukan pemasangan pipa nasogastrik. Pemberian cairan, koreksi gangguan

elektrolit dan nutrisi paraenteral diberikan sesuai kebutuhan dan prinsip

pemberian nutrisi paraenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu

metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus

paralitik pasca operasi dan klonidin bermanfaat untuk ileus paralitik karena obat-

obatan. Tindakan operatif dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric

untuk mencegah sepsis sekunder dan ruptur usus. Operasi yang dilakukan diawali

dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan

dengan hasil explorasi melalui laparotomi. pintas usus dengan ileostomi,

kolostomi, reseksi dengan anastomosis (Djumhana, 2013).

IV. KESIMPULAN

15

1. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi

usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan

2. Gambaran klinik yang dapat ditimbulkan sebagai akibat obstruksi usus dapat

bersifat sistemik dan serangan yang bersifat kolik

3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya : pemeriksaan darah

rutin, urinalisis, kolonoskopi, radiologi,

4. Penatalaksanaan farmakologi yang dapat diberikan diantaranya : Analgesik

nonopioid, antiemesis, antibiotik spektrum luas

5. Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat diberikan diantaranya : dekompensasi,

pemasangan infus hingga pembedahan.

6. Prognosis baik apabila penyakit primernya dapat diatasi

7. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya : ketidakseimbangan elektrolit,

dehidrasi, perforasi pada intestinum, infeksi, gangrene hingga dapat

mengancam jiwa

16