Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

19
Ikterus Neonatorum et causa Inkompatibilitas ABO Liza Amanda Saphira 102011202 / D4 Email : [email protected] Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2011/2012 Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510. Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Pendahuluan Penyakit kuning atau ikterus merupakan masalah yang sering didapatkan pada bayi baru lahir, merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus, oleh karena, neonatus sedang mengalami proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Sebagian besar ikterus adalah fisiologis, namun karena potensi toksik dari bilirubin, maka semua bayi baru lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat. Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua-ketiga setelah lahir, jarang berpotensi menjadi kernikterus, biasanya hilang dalam 2 minggu, kadar bilirubin indirek < 20 mg/dl. Ikterus pada neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila : (1) timbul saat lahir atau hari pertama kehidupan, (2) kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat yakni > 5mg/dl/hari, (3) BST > 12 mg/dl, (4) ikterus menetap sampai > 2 minggu, dan (5) peningkatan bilirubin direk > 2 mg/dl (Maisel S, 2006). Hiperbilirubinemia neonatal 1

description

makalah

Transcript of Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Page 1: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Ikterus Neonatorum et causa Inkompatibilitas ABO

Liza Amanda Saphira

102011202 / D4

Email : [email protected]

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2011/2012

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510. Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Pendahuluan

Penyakit kuning atau ikterus merupakan masalah yang sering didapatkan pada bayi baru

lahir, merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus, oleh karena, neonatus sedang

mengalami proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan suatu penyakit.

Sebagian besar ikterus adalah fisiologis, namun karena potensi toksik dari bilirubin, maka semua

bayi baru lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat.

Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua-ketiga setelah lahir, jarang berpotensi menjadi

kernikterus, biasanya hilang dalam 2 minggu, kadar bilirubin indirek < 20 mg/dl. Ikterus pada

neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila : (1) timbul saat lahir atau hari pertama kehidupan, (2)

kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat yakni > 5mg/dl/hari, (3) BST > 12 mg/dl, (4) ikterus

menetap sampai > 2 minggu, dan (5) peningkatan bilirubin direk > 2 mg/dl (Maisel S, 2006).

Hiperbilirubinemia neonatal diartikan sebagai kadar bilirubin serum total (BST) ≥ 5 mg/dl.

Ensefalopati bilirubin adalah manifestasi akut dari toksisitas bilirubin yang terlihat pada minggu-

minggu pertama kehidupan.1

Pada skenario didapatkan pasien adalah seorang bayi yang dilahirkan pada usia

kehamilan 38 minggu secara normal pervaginam, tampak kuning setelah 12 jam dilahirkan. Bayi

tampak kurang aktif, menangis lemah, dan tidak mau menyusu. Warna kuning mulai tampak

pada usia 12 jam, menjalar cepat ke seluruh tubuh pada usia 24 jam. Pada makalah ini akan

dibahas mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, gejala klinis, serta

penatalaksanaan dari kasus tersebut.

1

Page 2: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat

dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap orang

tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis.

Termasuk di dalam aloanamnesis adalah semua keterangan dari dokter yang merujuk, catatan

rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri. 1

            Berdasarkan anamnesis sering dapat ditentukan sifat dan beratnya penyakit dan

terdapatnya faktor-faktor yang mungkin menjadi latar belakang penyakit, yang semuanya

berguna dalam menentukan sikap untuk penatalaksaan selanjutnya. Dengan anamnesis akan

didapatkan data subyektif, pihak pasien (orang tua, pengantar, atau pasiennya sendiri) diberikan

kesempatan untuk mengingat kembali dan menceritakan secara rinci masalah kesehatan yang

sering dialami, termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan, tanda-tanda yang timbul, riwayat

terjadinya keluhan dan tanda, sampai saat pasien tersebut dibawa berobat. Anamnesis yang

lengkap harus dilakukan pada semua pasien, termasuk terhadap: 1

a. Identitas pasien: merupakan bagian yang paling penting dalam anamnesis. Pada bagian

identitas ini yang ditanyakan yaitu nama pasien dengan jelas dan lengkap, umur, jenis

kelamin, nama orang tua, alamat, umur, pendidikan, dan pekerjaan orang tua, agama dan

suku bangsa.

b. Keluhan utama: merupakan keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa

berobat.

Pasien adalah seorang bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan 38 minggu secara normal

pervaginam, tampak kuning setelah 12 jam dilahirkan. Bayi tampak kurang aktif, menangis

lemah, dan tidak mau menyusu. Warna kuning mulai tampak pada usia 12 jam, menjalar cepat ke

seluruh tubuh pada usia 24 jam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan (+) jaundice pada seluruh

tubuh, TTV dalam batas normal. Penanganan dari pasien ini harus dimulai dengan riwayat secara

menyeluruh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk melakukan diagnosis.

a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,

malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal). Penyakit ibu semasa hamil dapat

menjadi faktor predisposisi penyebab ikterus neonatorum karena membuat bayi

2

Page 3: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

jadi sepsis. Tes TORCH juga ditanyakan untuk menyingkirkan kemungkinan-

kemungkinan ikterus akibat infeksi kongenital.

b. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi. Riwayat kehamilan yang perlu

ditanyakan adalah berbagai permasalahan pada saat sang ibu melahirkan. Yang

dapat ditanyakan adalah apakah sang bayi susah saat keluar, hamil langsung atau

dengan operasi, apakah ada trauma lahir, apakah ada penundaan pengikatan tali

pusat, dan sebagainya.

c. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya.

d. Riwayat inkompatibilitas darah. Riwayat inkompatibilitas darah wajib ditanyakan

karena berhubungan dengan penegakkan diagnosis kerja dan karena prevalensi

ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas darah cukup tinggi.

e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

Pemeriksaan Fisik

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari

kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat

lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama

pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita

sedang mendapatkan terapi sinar.2

Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada neonatus secara klinis, sederhana dan

mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk

ditekankan pada tempat – tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan

lain – lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada

masing – masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar

bilirubinnya.2

Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan

penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan

kemungkinan penyebab ikterus tersebut.2

Pemeriksaan laboratorium penunjang

3

Page 4: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus

yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong

risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,

lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil

pemeriksaan kadar serum bilirubin.2,3

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus

antara lain :

Golongan darah dan ‘Coombs test’.

Pelacakan adanya proses hemolisis ditandai dengan adanya anemia, kadar hemoglobin

kurang dari normal (sesuai umur), peningkatan retikulosit, dimana pada bayi cukup bulan jumlah

normal retikulosit 4-5%, bayi kurang bulan 6-10%. Pada gambaran darah tepi didapatkan

eritrosit mikrositik hipokromik, mikrosferosit, polikromasia, normoblas dan adanya eritrosit

berinti.3

Penegakan diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu dengan

tes Coombs. Ada 2 metode tes Coombs yang sering digunakan, yakni metode langsung dan tak

langsung. Metode langsung yakni eritrosit yang akan diperiksa dicuci lebih dahulu kemudian

dicampur dengan serum Coombs, yaitu serum hewan yang mengandung anti zat spesifik

terhadap human globulin. Terjadinya aglutinasi pada tes ini membuktikan adanya antizat yang

melapisi eritrosit. Metode tak langsung, merupakan tes untuk menunjukkan adanya antibodi

dalam serum yang diperiksa, dalam hal ini bayi. Tes ini bergantung pada kemampuan anti IgG

(Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan uji

ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung

antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, kemudian dilakukan pencucian. Suatu substansi lalu

ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk

membantu terjadinya aglutinasi eritrosit, kemudian serum Coombs ditambahkan. Adanya

aglutinasi menunjukkan bahwa serum yang diperiksa berisi antizat yang melapisi eritrosit.3

Derajat Ikterus pada Neonatus Menurut Kramer

4

Page 5: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Tabel 1. Derajat ikterus menurut krammer 4

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan

tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan

terapi sinar ataukah tranfusi tukar .

Diagnosis dan diagnosis banding

Adapun diagnosis pasti skenario ini adalah ikterus neonatorum et causa inkompatibilitas

ABO dengan diagnosis banding adalah ikterus neonatorum et causa inkompatibilitas Rh, ikterus

neonatorum et causa sepsis, ikterus neonatorum et causa sferositosis.

Secara epidemiologi inkompatibilitas rhesus lebih jarang dibandingkan dengan

inkompatibilitas ABO. Diagnosis kerja didapat dari anamnesis tentang kelahiran keberapa serta

riwayat golongan darah ibu dan anak serta rhesus. Cenderung pada ikterus neonatorum

inkompatibilitas ABO menyerang anak pertama sedangkan inkompatibilitas rhesus tidak

menyerang anak pertama karena belum terbentuknya antibodi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

gejala klinik anemia dan ikterus yang lebih berat pada inkompatibilitas rhesus dibandingkan pada

neonatus inkompatibilitas ABO. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan skala anemia dan

ikterus yang lebih berat pada inkompatibilitas rhesus dibandingkan dengan inkompatibilitas

ABO. Coombs test pada keduanya bisa didapatkan hasil positif.3,4

Untuk menyingkirkan diagnosis banding ikterus neonaturom karena sepsis pada

anamnesis dapat ditanyakan keadaan umum neonatus, riwayat kelahiran, penyakit ibu semasa

5

Page 6: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

kehamilan serta serologi TORCH. Keadaan umum neonatus yang dapat dilihat adalah apakah

terjadinya sepsis yang ditandai dengan bayi yang rewel, tidak mau menyusu badan demam, dan

sebagainya. Riwayat kelahiran apakah kelahiran secara antisepsis atau proses kelahiran kurang

steril. Serologi TORCH untuk menyingkirkan kemungkinan bahwa neonatus terinfeksi TORCH

sewaktu masih janin. Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat keadaan umum bayi, yang penting di

sini adalah kondisi anatomis bayi untuk menyingkirkan kemungkinan terinfeksi TORCH pada

saan masih janin. Peningkatan/ penurunan suhu, kenaikan/penurunan frekuensi nadi dan napas

dapat dinilai untuk melihat apakah bayi sepsis atau tidak. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat

lihat juga jumlah leukosit, CRP, serta LED. Selanjutnya apabila diyakini neonatus tersebut akibat

sepsis dapat dilakukan biakan darah untuk melihat jenis kuman penyebab sepsis.3,4,5

Pada umumnya ikterus neonatorum et causa sferositosis jarang dijumpai di Asia terutama

di Indonesia. Epidemiologi paling banyak sferositosis adalah di Eropa Utara. Sferositosis

6

Page 7: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

merupakan kelainan kongenital yang berkaitan dengan genetika. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan tanda-tanda splenomegali. Pada pemeriksaan penunjang analisis morfologi darah

ditemukan bentuk kelainan darah, yakni sferosit. Di mana terdapat kelainan morfologi darah dan

dinding sel yang menyebabkan eritrosit mudah lisis.5

Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs’ direk

positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah. Hiperbilirubinemia sering

merupakan satu – satunya kelainan laboratorium. Kadar Hb biasanya normal tapi dapat serendah

10 – 12 g/dl. Retikulosit dapat naik 10 – 15%, dengan polikromasia yang luas dan kenaikan

jumlah sel darah merah berinti. Pada 10 – 20% bayi yang terkena, kadar bilirubin tak

terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dl atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi.4

Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi:

1. Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis

yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim

G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.4

2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak

terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah

defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.4

3. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin

dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi

albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang

mudah melekat ke sel otak.4

4. Gangguan dalam ekskresi

7

Page 8: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di

luar hepar biasanya diakibatkan kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi

atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.4

Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab dari penyakit hemolitik pada

neonatus. Penyakit ini diakibatkan antibodi anti-A dan anti-B serta komponen lainnya dari ibu

masuk ke peredaran darah janin melewati plasenta. Biasanya, kasus ini terjadi pada janin dengan

golongan darah A atau B dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang ditemukan

pada golongan darah O ibu adalah dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan darah atau B

juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan darah B) yang

sebagian besar didominasi dari kelas IgM.3,5

Epidemiology

Di Amerika Serikat, hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi

baru lahir dalam tingkat bilirubin unconjugated serum lebih dari 30 umol / L (1,8 mg / dL)

selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena penulis

studi yang berbeda tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal

atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan

visual penyakit kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung

baik pada perhatian pengamat dan karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.5

Dengan peringatan di atas, studi epidemiologi memberikan kerangka acuan untuk

estimasi kejadian. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford dilaporkan 6,1% dari bayi dengan

kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol / L (12,9 mg / dL). Dalam sebuah studi di Amerika

Serikat 2003, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki jumlah bilirubin serum tingkat dalam kisaran

tersebut maka fototerapi direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics 1994.5

Insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insiden lebih tinggi di Asia Timur dan

Indian dan pada orang kulit hitam. Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada orang-

orang keturunan Yunani yang tinggal di luar Yunani. Insiden lebih tinggi pada penduduk yang

tinggal di dataran tinggi. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar

bilirubin serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m ketinggian. 5

8

Page 9: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-

laki. Ini tampaknya tidak berhubungan dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan

yang pada bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal berbanding terbalik dengan usia

kehamilan.5

Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85 sampai 90%) terjadi dari

penguaraian hemoglobin dan sebagian kecil (10 sampai 15%) dari senyawa lain seperti

mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah

dibebaskan dari sel darah merah. Sel – sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai

cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tetrapirol

bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air ( bilirubin tak terkonjugasi,

indirek ). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut

dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit

melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam

glukoronat ( bilirubin terkonjugasi, direk ).6

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem

empedu untuk di eksresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon

menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan dieksresikan melalui

feses. Sebagian urobilinogen direabsorbsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta

membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya dieksresikan ke dalam

empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,

tempat zat ini dieksresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.6

Pada dewasa normal, level serum bilirubin < 1 mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa

bila level serum bilirubinnya > 2 mg/dl, dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila

kadarnya > 7 mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang

melebihi kemampuan hati normal untuk mengeksresikannya, atau disebabkan oleh kegagalan

hati ( karena rusak ) untuk mengeksresikan bilirubin yang diproduksi

dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan

menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah,

dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2 – 2,5 mg/dl), senyawa ini akan

9

Page 10: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau

jaundice.6

Pada Inkompatibilitas ABO, ini diakibatkan antibodi anti-A dan anti-B serta komponen

lainnya dari ibu masuk ke peredaran darah janin melewati plasenta. Biasanya, kasus ini terjadi

pada janin dengan golongan darah A atau B dari ibu yang bergolongan darah O, karena pada ibu

yang bergolongan darah O mempunyai antibodi dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan

darah A atau B juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan

darah B) yang sebagian besar didominasi dari kelas IgM. Karena mampu menembus plasenta,

antibodi IgG dapat melekat secara imunologis ke eritrosit janin. Sel – sel ini sekarang dilapisi

oleh antibodi (mengalami opsonisasi) sehingga dapat disingkirkan oleh sistem retikuloendotel

janin, tempat sel – sel tersebut dihancurkan. Karenanya terjadi hemolisis ekstravaskuler.6

Walaupun demikian, hanya sebagian kecil tampak pengaruh hemolisis pada bayi baru

lahir. Hal ini disebabkan oleh karena isoaglutinin anti-A dan anti-B yang terdapat dalam serum

ibu sebagian besar berbentuk 19-S, yaitu gamaglobulin-M yang tidak dapat melalui plasenta

(merupakan makroglobulin) dan disebut isoaglutinin natural, hanya sebagian kecil dari ibu yang

bergolongan darah O, mempunyai antibodi 7-S, yaitu gamaglobulin-G (isoaglutinin imun) yang

tinggi.7

Manifestasi klinis

Bayi baru lahir ( neonatus ) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira – kira 6

mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai

kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga; sedangkan ikterus obstruksi

(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning kehijau – hijauan atau kuning kotor. 8

Pada inkompatibilitas ABO, sebagian besar kasusnya ringan, dengan ikterus sebagai satu

– satunya manifestasi klinis. Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saat lahir; tidak

ada pucat dan hidrops fetalis sangat jarang. Jika ditemukan, hati dan limpa tidak sangat

membesar. Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama.4 Jika ikterus ini tidak ditangani,

dapat menjadi cukup berat; menyebabkan kernikterus sampai kematian.8

Anemia biasanya ringan atau tidak ada, dan tidak didapat tanda – tanda pucat.

Konsentrasi hemoglobin biasanya normal, tapi bisa juga rendah sebesar 8 mg/dl. Polikromasia,

retikulositosis (naik sampai 30%), dan peningkatan jumlah sel darah merah yang berinti ini dapat

10

Page 11: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

dilihat. Sferositosis (naik sampai 40%) terlihat pada neonatus yang secara klinis mengalami

penyakit hemolitik ABO. 9

Penatalaksanaan

Tujuan jangka pendek dalam mengobati peningkatan bilirubin pada HDN adalah

menghilangkan sumber bilirubin (yaitu sel – sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi) dan

kemudian menyingkirkan penumpukan bilirubin tidak terkonjugasi.9

Fototerapi efektif untuk menurunkan level bilirubin yang meningkat. Apabila

peningkatan level bilirubin sangat cepat, pengobatan diarahkan pada koreksi tingkat anemia atau

hiperbilirubinemia yang membahayakan dengan jalan melakukan transfusi tukar memakai darah

yang golongannya sama seperti golongan darah ibu.4

Pada penyakit hemolitik ABO, fototerapi akan dimulai apabila level bilirubin melebihi 10

mg/dl pada usia 12 jam, 12 mg/dl pada 18 jam, 14 mg/dl pada 24 jam, atau 15 mg/dl pada lain

waktu. Apabila level bilirubin mencapai 20 mg/dl, perlu dilakukan transfusi tukar (Cloherty et al,

2008). Pada inkompatibilitas ABO, darah untuk transfusi tukar sebaiknya golongan O Rh-negatif

atau Rh yang kompatibel dengan ibu dan janin, cross-matched melawan ibu dan janin, serta

mempunyai titer yang rendah terhadap antibodi anti-A atau anti-B. Biasanya, digunakan sel

golongan O dengan plasma golongan AB supaya tidak terdapat antibodi anti-A atau anti-B.9

Prognosis

Ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas ABO apabila dapat didiagnosa dengan cepat

dan mendapat penanganan yang baik akan sembuh spontan.

Kesimpulan

Ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab tersering

terjadinya ikterus, terutama di Indonesia. Pada skenario ini diagnosis kerja dapat ditegakkan

berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk konfimasi adalah pemeriksaan

penunjang. Ikterus akibat inkompatibilitas ABO disebabkan perbedaan golongan darah ibu dan

bayinya. Perbedaan ini menghasilkan suatu antibodi dari ibu yang menyerang eritrosit dari bayi

sehingga menyebabkan terjadinya hemolisis darah yang berujung sampai ikterus. Tatalaksana

yang paling utama adalah dilakukannya fototerapi sementara dan transfusi tukar untuk

penyembuhan.

11

Page 12: Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. p. 10-8,

31-5.

2. Swartz M, editor. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2000.h. 128-30.

3. Abraham MR, Julien IE, Hoffman CD, Rudolph. Buku ajar pediatri Rudolph. Jakarta:

EGC; 2006.h.183-9.

4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi ke-15.

Jakarta: EGC; 2000.h.682.

5. Waldron PE, Cashore WJ, editors. Hemolytic diseases of the fetus and newborn.

Cambridge: Cambridge University Press; 2005.h.91-119.

6. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi ke-22.

Jakarta: EGC; 2001.h.393-9.

7. Etika R, Harianto A, Indarso F. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Divisi Neonatologi

bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya; 2006: h.3.

8. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 2, edisi III. Jakarta: Media Aesculapius

FKUI; 2007: h.504

9. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Jakarta:

EGC; 2007: h.1109.

12