Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO
-
Upload
liza-amanda-saphira -
Category
Documents
-
view
555 -
download
2
description
Transcript of Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO
Ikterus Neonatorum et causa Inkompatibilitas ABO
Liza Amanda Saphira
102011202 / D4
Email : [email protected]
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2011/2012
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510. Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Pendahuluan
Penyakit kuning atau ikterus merupakan masalah yang sering didapatkan pada bayi baru
lahir, merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus, oleh karena, neonatus sedang
mengalami proses maturasi yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan suatu penyakit.
Sebagian besar ikterus adalah fisiologis, namun karena potensi toksik dari bilirubin, maka semua
bayi baru lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat.
Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua-ketiga setelah lahir, jarang berpotensi menjadi
kernikterus, biasanya hilang dalam 2 minggu, kadar bilirubin indirek < 20 mg/dl. Ikterus pada
neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila : (1) timbul saat lahir atau hari pertama kehidupan, (2)
kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat yakni > 5mg/dl/hari, (3) BST > 12 mg/dl, (4) ikterus
menetap sampai > 2 minggu, dan (5) peningkatan bilirubin direk > 2 mg/dl (Maisel S, 2006).
Hiperbilirubinemia neonatal diartikan sebagai kadar bilirubin serum total (BST) ≥ 5 mg/dl.
Ensefalopati bilirubin adalah manifestasi akut dari toksisitas bilirubin yang terlihat pada minggu-
minggu pertama kehidupan.1
Pada skenario didapatkan pasien adalah seorang bayi yang dilahirkan pada usia
kehamilan 38 minggu secara normal pervaginam, tampak kuning setelah 12 jam dilahirkan. Bayi
tampak kurang aktif, menangis lemah, dan tidak mau menyusu. Warna kuning mulai tampak
pada usia 12 jam, menjalar cepat ke seluruh tubuh pada usia 24 jam. Pada makalah ini akan
dibahas mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, gejala klinis, serta
penatalaksanaan dari kasus tersebut.
1
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat
dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap orang
tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis.
Termasuk di dalam aloanamnesis adalah semua keterangan dari dokter yang merujuk, catatan
rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri. 1
Berdasarkan anamnesis sering dapat ditentukan sifat dan beratnya penyakit dan
terdapatnya faktor-faktor yang mungkin menjadi latar belakang penyakit, yang semuanya
berguna dalam menentukan sikap untuk penatalaksaan selanjutnya. Dengan anamnesis akan
didapatkan data subyektif, pihak pasien (orang tua, pengantar, atau pasiennya sendiri) diberikan
kesempatan untuk mengingat kembali dan menceritakan secara rinci masalah kesehatan yang
sering dialami, termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan, tanda-tanda yang timbul, riwayat
terjadinya keluhan dan tanda, sampai saat pasien tersebut dibawa berobat. Anamnesis yang
lengkap harus dilakukan pada semua pasien, termasuk terhadap: 1
a. Identitas pasien: merupakan bagian yang paling penting dalam anamnesis. Pada bagian
identitas ini yang ditanyakan yaitu nama pasien dengan jelas dan lengkap, umur, jenis
kelamin, nama orang tua, alamat, umur, pendidikan, dan pekerjaan orang tua, agama dan
suku bangsa.
b. Keluhan utama: merupakan keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa
berobat.
Pasien adalah seorang bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan 38 minggu secara normal
pervaginam, tampak kuning setelah 12 jam dilahirkan. Bayi tampak kurang aktif, menangis
lemah, dan tidak mau menyusu. Warna kuning mulai tampak pada usia 12 jam, menjalar cepat ke
seluruh tubuh pada usia 24 jam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan (+) jaundice pada seluruh
tubuh, TTV dalam batas normal. Penanganan dari pasien ini harus dimulai dengan riwayat secara
menyeluruh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk melakukan diagnosis.
a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal). Penyakit ibu semasa hamil dapat
menjadi faktor predisposisi penyebab ikterus neonatorum karena membuat bayi
2
jadi sepsis. Tes TORCH juga ditanyakan untuk menyingkirkan kemungkinan-
kemungkinan ikterus akibat infeksi kongenital.
b. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi. Riwayat kehamilan yang perlu
ditanyakan adalah berbagai permasalahan pada saat sang ibu melahirkan. Yang
dapat ditanyakan adalah apakah sang bayi susah saat keluar, hamil langsung atau
dengan operasi, apakah ada trauma lahir, apakah ada penundaan pengikatan tali
pusat, dan sebagainya.
c. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya.
d. Riwayat inkompatibilitas darah. Riwayat inkompatibilitas darah wajib ditanyakan
karena berhubungan dengan penegakkan diagnosis kerja dan karena prevalensi
ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas darah cukup tinggi.
e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar.2
Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada neonatus secara klinis, sederhana dan
mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat – tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan
lain – lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada
masing – masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya.2
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut.2
Pemeriksaan laboratorium penunjang
3
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong
risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,
lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin.2,3
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
Golongan darah dan ‘Coombs test’.
Pelacakan adanya proses hemolisis ditandai dengan adanya anemia, kadar hemoglobin
kurang dari normal (sesuai umur), peningkatan retikulosit, dimana pada bayi cukup bulan jumlah
normal retikulosit 4-5%, bayi kurang bulan 6-10%. Pada gambaran darah tepi didapatkan
eritrosit mikrositik hipokromik, mikrosferosit, polikromasia, normoblas dan adanya eritrosit
berinti.3
Penegakan diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu dengan
tes Coombs. Ada 2 metode tes Coombs yang sering digunakan, yakni metode langsung dan tak
langsung. Metode langsung yakni eritrosit yang akan diperiksa dicuci lebih dahulu kemudian
dicampur dengan serum Coombs, yaitu serum hewan yang mengandung anti zat spesifik
terhadap human globulin. Terjadinya aglutinasi pada tes ini membuktikan adanya antizat yang
melapisi eritrosit. Metode tak langsung, merupakan tes untuk menunjukkan adanya antibodi
dalam serum yang diperiksa, dalam hal ini bayi. Tes ini bergantung pada kemampuan anti IgG
(Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan uji
ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung
antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, kemudian dilakukan pencucian. Suatu substansi lalu
ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk
membantu terjadinya aglutinasi eritrosit, kemudian serum Coombs ditambahkan. Adanya
aglutinasi menunjukkan bahwa serum yang diperiksa berisi antizat yang melapisi eritrosit.3
Derajat Ikterus pada Neonatus Menurut Kramer
4
Tabel 1. Derajat ikterus menurut krammer 4
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar .
Diagnosis dan diagnosis banding
Adapun diagnosis pasti skenario ini adalah ikterus neonatorum et causa inkompatibilitas
ABO dengan diagnosis banding adalah ikterus neonatorum et causa inkompatibilitas Rh, ikterus
neonatorum et causa sepsis, ikterus neonatorum et causa sferositosis.
Secara epidemiologi inkompatibilitas rhesus lebih jarang dibandingkan dengan
inkompatibilitas ABO. Diagnosis kerja didapat dari anamnesis tentang kelahiran keberapa serta
riwayat golongan darah ibu dan anak serta rhesus. Cenderung pada ikterus neonatorum
inkompatibilitas ABO menyerang anak pertama sedangkan inkompatibilitas rhesus tidak
menyerang anak pertama karena belum terbentuknya antibodi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
gejala klinik anemia dan ikterus yang lebih berat pada inkompatibilitas rhesus dibandingkan pada
neonatus inkompatibilitas ABO. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan skala anemia dan
ikterus yang lebih berat pada inkompatibilitas rhesus dibandingkan dengan inkompatibilitas
ABO. Coombs test pada keduanya bisa didapatkan hasil positif.3,4
Untuk menyingkirkan diagnosis banding ikterus neonaturom karena sepsis pada
anamnesis dapat ditanyakan keadaan umum neonatus, riwayat kelahiran, penyakit ibu semasa
5
kehamilan serta serologi TORCH. Keadaan umum neonatus yang dapat dilihat adalah apakah
terjadinya sepsis yang ditandai dengan bayi yang rewel, tidak mau menyusu badan demam, dan
sebagainya. Riwayat kelahiran apakah kelahiran secara antisepsis atau proses kelahiran kurang
steril. Serologi TORCH untuk menyingkirkan kemungkinan bahwa neonatus terinfeksi TORCH
sewaktu masih janin. Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat keadaan umum bayi, yang penting di
sini adalah kondisi anatomis bayi untuk menyingkirkan kemungkinan terinfeksi TORCH pada
saan masih janin. Peningkatan/ penurunan suhu, kenaikan/penurunan frekuensi nadi dan napas
dapat dinilai untuk melihat apakah bayi sepsis atau tidak. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
lihat juga jumlah leukosit, CRP, serta LED. Selanjutnya apabila diyakini neonatus tersebut akibat
sepsis dapat dilakukan biakan darah untuk melihat jenis kuman penyebab sepsis.3,4,5
Pada umumnya ikterus neonatorum et causa sferositosis jarang dijumpai di Asia terutama
di Indonesia. Epidemiologi paling banyak sferositosis adalah di Eropa Utara. Sferositosis
6
merupakan kelainan kongenital yang berkaitan dengan genetika. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda-tanda splenomegali. Pada pemeriksaan penunjang analisis morfologi darah
ditemukan bentuk kelainan darah, yakni sferosit. Di mana terdapat kelainan morfologi darah dan
dinding sel yang menyebabkan eritrosit mudah lisis.5
Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs’ direk
positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah. Hiperbilirubinemia sering
merupakan satu – satunya kelainan laboratorium. Kadar Hb biasanya normal tapi dapat serendah
10 – 12 g/dl. Retikulosit dapat naik 10 – 15%, dengan polikromasia yang luas dan kenaikan
jumlah sel darah merah berinti. Pada 10 – 20% bayi yang terkena, kadar bilirubin tak
terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dl atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi.4
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.4
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.4
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.4
4. Gangguan dalam ekskresi
7
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya diakibatkan kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi
atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.4
Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab dari penyakit hemolitik pada
neonatus. Penyakit ini diakibatkan antibodi anti-A dan anti-B serta komponen lainnya dari ibu
masuk ke peredaran darah janin melewati plasenta. Biasanya, kasus ini terjadi pada janin dengan
golongan darah A atau B dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang ditemukan
pada golongan darah O ibu adalah dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan darah atau B
juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan darah B) yang
sebagian besar didominasi dari kelas IgM.3,5
Epidemiology
Di Amerika Serikat, hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi
baru lahir dalam tingkat bilirubin unconjugated serum lebih dari 30 umol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena penulis
studi yang berbeda tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal
atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan
visual penyakit kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung
baik pada perhatian pengamat dan karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.5
Dengan peringatan di atas, studi epidemiologi memberikan kerangka acuan untuk
estimasi kejadian. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford dilaporkan 6,1% dari bayi dengan
kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol / L (12,9 mg / dL). Dalam sebuah studi di Amerika
Serikat 2003, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki jumlah bilirubin serum tingkat dalam kisaran
tersebut maka fototerapi direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics 1994.5
Insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insiden lebih tinggi di Asia Timur dan
Indian dan pada orang kulit hitam. Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada orang-
orang keturunan Yunani yang tinggal di luar Yunani. Insiden lebih tinggi pada penduduk yang
tinggal di dataran tinggi. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar
bilirubin serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m ketinggian. 5
8
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-
laki. Ini tampaknya tidak berhubungan dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan
yang pada bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal berbanding terbalik dengan usia
kehamilan.5
Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85 sampai 90%) terjadi dari
penguaraian hemoglobin dan sebagian kecil (10 sampai 15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel – sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai
cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tetrapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air ( bilirubin tak terkonjugasi,
indirek ). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut
dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit
melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat ( bilirubin terkonjugasi, direk ).6
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk di eksresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon
menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan dieksresikan melalui
feses. Sebagian urobilinogen direabsorbsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya dieksresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini dieksresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.6
Pada dewasa normal, level serum bilirubin < 1 mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa
bila level serum bilirubinnya > 2 mg/dl, dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila
kadarnya > 7 mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk mengeksresikannya, atau disebabkan oleh kegagalan
hati ( karena rusak ) untuk mengeksresikan bilirubin yang diproduksi
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah,
dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2 – 2,5 mg/dl), senyawa ini akan
9
berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau
jaundice.6
Pada Inkompatibilitas ABO, ini diakibatkan antibodi anti-A dan anti-B serta komponen
lainnya dari ibu masuk ke peredaran darah janin melewati plasenta. Biasanya, kasus ini terjadi
pada janin dengan golongan darah A atau B dari ibu yang bergolongan darah O, karena pada ibu
yang bergolongan darah O mempunyai antibodi dari kelas IgG, sedangkan ibu dengan golongan
darah A atau B juga mempunyai anti-B (pada golongan darah A) dan anti-A (pada golongan
darah B) yang sebagian besar didominasi dari kelas IgM. Karena mampu menembus plasenta,
antibodi IgG dapat melekat secara imunologis ke eritrosit janin. Sel – sel ini sekarang dilapisi
oleh antibodi (mengalami opsonisasi) sehingga dapat disingkirkan oleh sistem retikuloendotel
janin, tempat sel – sel tersebut dihancurkan. Karenanya terjadi hemolisis ekstravaskuler.6
Walaupun demikian, hanya sebagian kecil tampak pengaruh hemolisis pada bayi baru
lahir. Hal ini disebabkan oleh karena isoaglutinin anti-A dan anti-B yang terdapat dalam serum
ibu sebagian besar berbentuk 19-S, yaitu gamaglobulin-M yang tidak dapat melalui plasenta
(merupakan makroglobulin) dan disebut isoaglutinin natural, hanya sebagian kecil dari ibu yang
bergolongan darah O, mempunyai antibodi 7-S, yaitu gamaglobulin-G (isoaglutinin imun) yang
tinggi.7
Manifestasi klinis
Bayi baru lahir ( neonatus ) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira – kira 6
mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga; sedangkan ikterus obstruksi
(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning kehijau – hijauan atau kuning kotor. 8
Pada inkompatibilitas ABO, sebagian besar kasusnya ringan, dengan ikterus sebagai satu
– satunya manifestasi klinis. Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saat lahir; tidak
ada pucat dan hidrops fetalis sangat jarang. Jika ditemukan, hati dan limpa tidak sangat
membesar. Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama.4 Jika ikterus ini tidak ditangani,
dapat menjadi cukup berat; menyebabkan kernikterus sampai kematian.8
Anemia biasanya ringan atau tidak ada, dan tidak didapat tanda – tanda pucat.
Konsentrasi hemoglobin biasanya normal, tapi bisa juga rendah sebesar 8 mg/dl. Polikromasia,
retikulositosis (naik sampai 30%), dan peningkatan jumlah sel darah merah yang berinti ini dapat
10
dilihat. Sferositosis (naik sampai 40%) terlihat pada neonatus yang secara klinis mengalami
penyakit hemolitik ABO. 9
Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek dalam mengobati peningkatan bilirubin pada HDN adalah
menghilangkan sumber bilirubin (yaitu sel – sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi) dan
kemudian menyingkirkan penumpukan bilirubin tidak terkonjugasi.9
Fototerapi efektif untuk menurunkan level bilirubin yang meningkat. Apabila
peningkatan level bilirubin sangat cepat, pengobatan diarahkan pada koreksi tingkat anemia atau
hiperbilirubinemia yang membahayakan dengan jalan melakukan transfusi tukar memakai darah
yang golongannya sama seperti golongan darah ibu.4
Pada penyakit hemolitik ABO, fototerapi akan dimulai apabila level bilirubin melebihi 10
mg/dl pada usia 12 jam, 12 mg/dl pada 18 jam, 14 mg/dl pada 24 jam, atau 15 mg/dl pada lain
waktu. Apabila level bilirubin mencapai 20 mg/dl, perlu dilakukan transfusi tukar (Cloherty et al,
2008). Pada inkompatibilitas ABO, darah untuk transfusi tukar sebaiknya golongan O Rh-negatif
atau Rh yang kompatibel dengan ibu dan janin, cross-matched melawan ibu dan janin, serta
mempunyai titer yang rendah terhadap antibodi anti-A atau anti-B. Biasanya, digunakan sel
golongan O dengan plasma golongan AB supaya tidak terdapat antibodi anti-A atau anti-B.9
Prognosis
Ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas ABO apabila dapat didiagnosa dengan cepat
dan mendapat penanganan yang baik akan sembuh spontan.
Kesimpulan
Ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab tersering
terjadinya ikterus, terutama di Indonesia. Pada skenario ini diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk konfimasi adalah pemeriksaan
penunjang. Ikterus akibat inkompatibilitas ABO disebabkan perbedaan golongan darah ibu dan
bayinya. Perbedaan ini menghasilkan suatu antibodi dari ibu yang menyerang eritrosit dari bayi
sehingga menyebabkan terjadinya hemolisis darah yang berujung sampai ikterus. Tatalaksana
yang paling utama adalah dilakukannya fototerapi sementara dan transfusi tukar untuk
penyembuhan.
11
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. p. 10-8,
31-5.
2. Swartz M, editor. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2000.h. 128-30.
3. Abraham MR, Julien IE, Hoffman CD, Rudolph. Buku ajar pediatri Rudolph. Jakarta:
EGC; 2006.h.183-9.
4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi ke-15.
Jakarta: EGC; 2000.h.682.
5. Waldron PE, Cashore WJ, editors. Hemolytic diseases of the fetus and newborn.
Cambridge: Cambridge University Press; 2005.h.91-119.
6. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi ke-22.
Jakarta: EGC; 2001.h.393-9.
7. Etika R, Harianto A, Indarso F. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Divisi Neonatologi
bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya; 2006: h.3.
8. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 2, edisi III. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI; 2007: h.504
9. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Jakarta:
EGC; 2007: h.1109.
12