ikhlas beramal 3.docx

20
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid berkata bahwa: “Amal tanpa niat adalah sia- sia. Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya’. Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah. Amalan yang dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang munafik, yang aspek luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh dengan penipuan dan kepalsuan. Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah penipuan belaka, karena ibadah yang mereka lakukan bukan karena menjalankan perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk mendapatkan penilaian manusia. Oleh karena itu segala perbuatan yang baik harus diiringi oleh niat, untuk lebih sempurnanya amal perbuatan yang kita lakukan. Dari perbuatan tersebut harus diiringi dengan keikhlasan semata-mata karena Allah, sehingga perbuatan kita jauh dari sifat riya’ yang hanya ingin mendapat pujian orang lain, dalam melakukan amal perbuatan. B. Rumusan Masalah

Transcript of ikhlas beramal 3.docx

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSehubungan dengan pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid berkata bahwa: Amal tanpa niat adalah sia-sia. Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya. Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah. Amalan yang dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang munafik, yang aspek luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh dengan penipuan dan kepalsuan. Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah penipuan belaka, karena ibadah yang mereka lakukan bukan karena menjalankan perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk mendapatkan penilaian manusia.Oleh karena itu segala perbuatan yang baik harus diiringi oleh niat, untuk lebih sempurnanya amal perbuatan yang kita lakukan. Dari perbuatan tersebut harus diiringi dengan keikhlasan semata-mata karena Allah, sehingga perbuatan kita jauh dari sifat riya yang hanya ingin mendapat pujian orang lain, dalam melakukan amal perbuatan.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian dari latar belakang di atas, kelompok kami membahas beberapa hal yang berkaitan dengan niat atau motivasi beramal dan menjahui perbutan riya atau syirik kecil. Berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, penyusun memberi batasan dalam makalah ini, dan penyusun dapat mengembangkan menjadi sub-sub sebagai berikut:1. Bagaimana niat atau motivasi beramal ?2. Bagaimana menjahui perbuatan riya ?

BAB IIPEMBAHASANA. NIAT/MOTIVASI BERAMAL Teks Hadits Terjemah: Al-Humaidiy Abdullah bin al-Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya bin Said al-Anshariy telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy telah mengabarkan kepadaku bahwa ia telah mendengar Alqamah bin Waqqash al-Laytsiy berkata, aku telah mendengar Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar, ia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW telah telah bersabda: Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa yang ia niatkan dalam berhijrah. (H.R. Bukhari dan Muslim).[footnoteRef:2] [2: Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia]

Penjelasan HadisHadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadit ini pada akhir bab Jihad.[footnoteRef:3] [3: [2] http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbaiin: Bab Niat, 25-03-2011]

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi'i berkata : "Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu." Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi'i, "Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih", sejumlah Ulama' mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.[footnoteRef:4] [4: http//salafidb.googlepage.com, Ibid.]

Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah. Menurut riwayat, wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap dikawini di Madina. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.[4]Allah berfirman dalam surat Al-Bayyinah ayat 5: Terjemah:Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,[5] dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5)Anniyat jamak dari niyyat . Dalam bahasa diartikan al-qhoshdu (tujuan), yaitu hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya.[6] Imam Ibnul Qayyim berkata, Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak. (Ilamul Muwaqqiin VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur).[7]Dalam kitab Riyadhush Shalihin dalam bab ikhlas Imam Nawawi berpendapat:Ikhlas ialah: seluruh ketaatan yang semata-mata ditunjukan karena Allah. Yakni ketaatan seseorang mukmin yang dinamakan taqarrub itu tertuju kepada Allah bukan dibuat-buat untuk manusia, untuk mendapatkan pujian manusia atau untuk supaya disayangi manusia, atau maksud apa saja selain taqarrub kepada Allah.[8] Dalam kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai berikut:Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan, perbuatan, dan jihadnya, tanpa mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian, superioritas, atau pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak tercela, sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.Sesuai penjelasan di atas, maka perbuatan yang mendapatkan pahala hanyalah perbuatan yang sejalan dengan perintah Allah saw. Dengan demikian, meskipun sesuatu itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tetapi perbuatan tersebut bertentangan dengan perintah Allah saw. atau melanggar aturan Allah swt., maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak termasuk dalam kategori niat yang dikehendaki dalam hadis di atas. Jadi, inti niat yang benar adalah harus sesuai dengan perintah Allah swt.[9]Niat pada prinsipnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Niat bersemayam di dalam hati masing-masing orang. Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat seseorang melakukan sesuatu kecuali Allah sendiri, sebab ia Maha Mengetahui yang tampak maupun yang tersembunyi. atau motivasi itu bertempat di dalam hati. Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang baik, Allah pasti mengetahuinya, dan demikian pula sebaliknya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. befirman dalam QS. Ali Imran (3): 29: Terjemah: Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Ali Imran [3]: 29)Meskipun niat merupakan sesuatu yang abstrak, namun Allah swt. menjadikannya sebagai prioritas penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja direkayasa oleh manusia untuk mendapatkan penghargaan sesama manusia, tetapi aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun tidak tampak bagi manusia, tapi ia tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan pentingnya aspek niat, Nabi saw,. bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim sebagai berikut:Amru al-Naqid telah menceritakan kepada kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Jafar bin Burqan telah menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam hatimu. (H.R. Muslim) Hal-hal yang bersifat materi sering menipu pandangan orang. Adakalanya kepentingan dunia menodai hasil akhir dari segala amal ibadah manusia. Seeorang yang melakukan amal shaleh tetapi diselubungi dengan kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa saja mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya di dunia, tetapi pahala akhirat tidak diperolehnya karena tidak disertai dengan ikhlas dalam perbuatannya. Fenomena seperti ini disinyalir oleh Allah swt. dalam QS. Hud (11): 15-16: Terjemah:Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.[10] (Q.S. Hud [11]:15-16)Berdasarkan ayat di atas, tampak dengan sangat jelas bahwa seseorang yang melakukan kebajikan karena memburu kepentingan duniawi belaka, maka amalan yang diperbuatnya tidak lebih dari fatamorgana yang secara sepintas menjanjikan kebahagiaan, tapi pada hakikatnya hanya baying-bayang semua yang akan mengakibatkan kekecewaan. Oleh sebab itu, bukanlah suatu yang mustahil jika seseorang dalam hidupnya di dunia banyak melakukan kebaikan tapi tidak secara ikhlas, namun di akhirat tidak menemukan yang menjadi dambaannya. Kenyataan sepeti ini juga dipertegas Allah swt. dalam QS. Al-Furqan (25): 23: Terjemah:Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,[11] lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Q.S.Al-Furqan [25]: 23)Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas di sisi Allah tidak pernah rugi. Bahkan amal yang dilakukannya mendapat ganjaran berlipat ganda dan kebahagiaan abadi. Janji seperti ini ditegaskan Allah swt. dalam bentuk tasybih (perumpamaan) dalam QS. Al-Baqarah (2): 265-266.Pelajaran yang terdapat dalam Hadits 1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah taala).2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah taala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah. 4. Seorang mumin akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. 5. Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. 6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat. 7. Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.[12]

B. MENJAUHI PERBUATAN RIYA/SYIRIK KECIL Teks hadis Artinya: Telah bercerita kepadaku Yunus, telah bercerita kepadaku Laits dari Yazid yaitu Ibnu Had dari Amar dari Mahmud Ibnu Labid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah syirik kecil. Para sahabat bertanya,Apakah syirik yang paling kecil itu Ya Rasulallah?. Rasulullah Saw menjawab, Riya. [13] Allah Azza wa Jalla berfirman, Pada hari kiamat ketika membalas hamba-hamba karena amal perbuatan mereka, Pergilah kamu pada orang-orang , di mana kamu memperlihatkan amal perbuatan kepada mereka di dunia. Maka lihatlah,apakah kamu mendapatkan balasan disisi mereka?.[14] Telah bercerita kepadaku Ibrahim Ibnu Abil Abbas, telah bercerita kepadaku Abdurrahman Ibnu Abi Zinad dari amar Ibnu Abi Amrin dari Asim Ibnu Umar al-Thofari dari Mahmud Ibnu Labid bawa Rasulullah saw. bersabda "Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku, kemudian menyebutkan maknanya. (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan).[15]Penjelasan SingkatRiya berasal dari kata yang arti dasarnya adalah (melihat). Riya dalam bentuk mashdarnya berarti tindakan memperlihatkan atau memamerkan sesuatu. Riya dalam pengertian istilah syariat adalah melakukan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah swt., melainkan bertujuan untuk mendapat perhatian orang, baik untuk tujuan popularitas, mendapat pujian, atau motif-motif selain karena Allah swt.Dalam dimensi semantik, riya adalah memperlihatkan kepada orang lain berbeda dengan kenyataannya. Dalam terminologi syariat, riya adalah melakukan taat dan meninggalkan maksiat tetapi dengan memperhatikan selain Allah SWT, atau menceritakannya, atau dia merasa suka amal tersebut dilihat orang lain demi tujuan-tujuan duniawi.[16] Sifat riya memiliki beberapa tingkatan. Jika keseluruhan Tujuannya adalah perbuatan riya, maka tentu itu membatalkan ibadah. Jika tujuan ibadah dan Riya itu sebanding dengan mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan baginya dan tidak pula kejelekan.[17] Keluar kepada manusia dengan pakaian yang bagus adalah riya tetapi tidak haram, kerena didalamnya tidak ada riya dengan amalan ibadah.[18] Hal ini ditunjukkan dengan hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a. bahwa ia berkata, Apabila Rasulullah saw. hendak keluar menemui para sahabatnya, ia bercermin pada permukaan air, lalu memperbaiki serban dan merapikan rambutnya. Aisyah bertanya, Apakah engkau melakukan hal itu, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, Benar, Allah SWT. Menyukai hamba-hamba-Nya yang berhias untuk saudara-saudaranya apabila ia keluar menemui mereka. Jika perbuatannya semata-mata karena riya, tanpa ada tujuan ibadah, ketika kemudian terbebas dari riya maka barangkali tidak sia-sia amalannya. Namun dikurangi pahalanya, atau disiksa berdasarkan kadar riya yang diperbuatnya[19]. Amal ibadah yang disertai dengan syirik di dalam nya, Allah tidak akan menerima amal tersebut sebagaimana hadis di bawah ini: ( )Terjemah: Sekali kali Allah tidak akan menerima suatu amal yang di dalamnya terdapat sebesar biji sawi dari riya. (Ketiga hadis ini diriwayatkan oleh al-Mundziri di dalam kitab at-Tarhibnya).Seseorang yang beramal dan masih di sertai syirik di dalamnya seperti beramal dengan maksud agar dikatakan sebagai orang yang alim dan ahli baca Al-Quran, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka karena ia menjadikan makhluk, yaitu kemasyhuran, sebagai tuhannya. Ibadahnya itu bukan karena Allah tetapi karena Makhluk-Nya.Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa : 142 Terjemahnya:Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.[20] dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[21] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.[22] (Q.S. An-Nissa[4]: 142)Firman Allah dalam Q.S Al-Maun: 4-7 Terjemahnya:Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Q.S. Al-Maaun [107]: 4-7)[23]Orang yang beramal dengan maksud agar ia dikatakan sebagai orang yang dermawan, maka ia pun dimasukkan ke dalam neraka, karena tujuan ibadahnya itu hanyalah ingin memperoleh kemasyhuran. Maka memberinya kemasyhuran di dunia dan di akhirat tiada apa-apa lagi baginya kecuali neraka. Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra :18 Terjemahnya:Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir. (Q.S. Al-Isra [17]: 18) Riya dalam pokok keimanan, maka itu adalah kemunafikan. Pelakunya kekal di dasar neraka. Jika riya itu dalam pokok-pokok fardhu, bukan dengan pokok-pokok keimanan, maka itu lebih ringan. Dan jika riyaitu dalam ibadah sunnah atau dalam sifat-sifat ibadah, hukumnya telah disebutkan di atas. Riya merupakan suatu kondisi yang bertolak belakang dengan ikhlas, dalam pengertian bahwa jika unsur riya ada dalam suatu perbuatan maka otomastis keikhlasan akan berkurang nilainya, dan bahkan bisa hilang sama sekali. Orang yang beribadah didasari oleh unsur riya tidak akan mendapat pahala dari Allah swt., karena motif ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat bahaya dari riya, maka Rasulullah saw. dalam hadis yang disebutkan di atas menggolongkannya dalam kelompok syirik kecil. Hal tersebut karena dia melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam ibadah yang dilakukannya, tetapi di balik pengabdian tersebut dia melibatkan makhluk Allah swt. sebagai mitivasi dalam perwujudan ibadahnya kepada Allah, sehingga pengabdiannya tidak lagi ikhlas karena Allah swt.Sebagaimana dosa-dosa yang lain, riya juga mempunyai tingkatan-tingkatan sesuai dengan kadar besarnya motif luar yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan sesuatu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulum al-Din, membagi riya menjadi beberapa tingkatan, yaitu:1. Tingkatan paling berat, yaitu orang yang tujuan setiap ibadahnya hanyalah untuk riya dan tidak mengharapkan pahala. Misalnya, seseorang yang hanya melakukan shalat jika berada di hadapan orang banyak, sedangkan jika sendirian ia tidak melaksanakannya, bahkan kadang-kadang shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.2. Tingkatan kedua ialah orang yang beramal dengan mengharapkan pahala, tetapi unsur riya lebih dominan. Jika dilihat orang maka ia banyak melakukan amal kebajikan, tetapi jika sendirian amalnya sangat sedikit. Misalnya, seseorang yang memberikan banyak sedekah di hadapan orang, tapi jika tidak ada yang melihat, maka sedekahnya sedikit.3. Tingkatan ketiga, yaitu seimbang antara niat memperoleh pahala dari Allah dan riya. Sikap seperti ini menodai perbuatan baik uang dilakukannya, dalam pengertian mencampur adukkan antara pahala dan dosa.4. Tingkatan keempat ialah menjadikan riya (dilihat orang) hanya sebagai pendorong untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat orang pun, dia tetap melakukan ibadah. Hanya saja ia merasa lebih semangat kalau dilihat orang.Imam Ali r.a mengemukakan tiga cirri-ciri orang riya sebagai berikut:[24]1. Malas beramal kalau sendirian2. Semangat beramal kalau dilihat orang banyak3. Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang lain.Ciri-ciri orang riya sebagaimana disebutkan Imam Ali di atas, hendaknya dijadikan sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal membentengi segala amalan kita dari segala bentuk riya. Syaqiq bin Ibrahim sebagaimana dikutip Abu Laits Samarqandi mengemukakan tiga perkara yang dapat dijadikan benteng amal, sebaga berikut:[25]1. Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt. agar penyakit ujub dalam hatinya hilang;2. Semata-mata hanya mencari ridha Allah swt. agar hawa nafsunya teratur3. Senantiasa hanya mengharap ridha Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riyaOleh sebab itu, besarnya ancaman dan bahaya bagi orang yang melakukan amalan karena riya, tidak boleh menjadi alasan dan membuat kita enggan melakukan amal ibadah. Justru hendaknya ancaman-ancaman seperti itu dijadikan sebagai motivasi untuk semakin berusaha membersihkan segala amalan kita dari segala bentuk riya, sekecil apapun bentuknya.Sehubungan dengan hal ini, Abu Bakar al-Wasith berpendapat bahwa menghilangkan riya dalam beramal sangat penting. Namun, jika belum dapat membersihkan diri dari unsur-unsur riya dalam amalan, kita tidak boleh berputus asa dan tidk boleh menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan amal tersebut karena takut riya. Oleh sebab itu, tetaplah beramal seraya memohon ampun kepada Allah swt. atas kemungkinan riya yang ada dalam amalan yang kita lakukan, dengan harapan Allah swt. memberi taufik dalam melakukan amal-amal dengan ikhlas.

BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanNiat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting, sebab ia merupakan kunci kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk perbuatan yang orientasinya adalah mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang menentukan nilai dan kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan yang menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu. Riya akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena segala amal ibadahnya akan sia-sia. Itulah sebabnya riya sangat berbahaya, bahkan dikategorikan sebagai syirik kecil. Namun demikian, seseorang tidak boleh enggan untuk beramal karena takut riya. Tetapi yang bijaksana adalah tetap berpacu dalam memperbanyak ibadah dan amal kebajikan seraya memohon taufiq dari Allah swt. agar dikaruniai keikhlasan dalam segala amalannya.B. Saran-saranDengan adanya makalah mengenai niat/motivasi beramal dan menjauhi perbuatan riya/syirik kecil, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang bagaimana posisi niat dalam beramal dan menjauhi perbuatan riya. Sehingga dapat menambah khasah ilmu pengetahuan kita. Penyusun menyadari sebaik apapun sebuah karya tulis dalam makalah ini, kiranya akan lebih baik lagi jikalau teman-teman mahasiswa dan lebih khusus dosen pengasuh mata kuliah fiqih dapat memberikan sumbang saran yang membangun sehingga makalah ini akan menjadi bahan pembelajaran yang berkembang untuk pembuatan karya ilmiah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). h.15-16 Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan Untuk Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994) Hal.489 Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990) Hal. 280 Musnad Ahmad 22523, Kitab: 13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist Mahmud Bin Labid Radiyallahuanhu. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia. Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123. Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15. http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbaiin: Bab Niat, 07-04-2013 http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar,07-04-2013 http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. 08-04-2013

http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. 08-04-2013

www.google.com, pdf. Hadits Arbain Nawawi, Hadits Pertama: Niat, 08-04-2013

[1]Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia[2] http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbaiin: Bab Niat, 25-03-2011[3] http//salafidb.googlepage.com, Ibid.[4]http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar [5]Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.[6] http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. (26-03-2011)

[7]http://muslim.or.id, Abul Abbas Khalid Syamhudi, Ibid, h. 14[8]Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). h.15-16 [9] Ibid[10] Maksudnya: apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat.[11]Yang dimaksud dengan amal mereka disini ialah amal-amal mereka yang baik-baik yang mereka kerjakan di dunia amal-amal itu tak dibalasi oleh Allah Karena mereka tidak beriman.

[12]www.google.com, pdf. Hadits Arbain Nawawi, Hadits Pertama: Niat, 23-03-2011[13]Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan Untuk Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994) Hal.489 [14]Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990) Hal. 280 [15]Musnad Ahmad 22523, Kitab: 13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist Mahmud Bin Labid Radiyallahuanhu. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia. [16]Ibnu Hajar Al-AsQalani, Syarah Bulughul Maram penerjemah Achmad Sunarto (Cet ke I, Surabaya; Maktabah Asy-Syuruq Mesir,2001) Hal. 948 [17]Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan, Op Cit, Hal. 287 [18]Al-Ghazali, Ibid.[19]Al-Ghazali, Ibid. Hal. 288[20]Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani Para mukmin. dalam pada itu Allah telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.[21]Riya Ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.[22]Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, Yaitu bila mereka berada di hadapan orang.[23]Sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.

[24]Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123.[25]Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.