Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas

37
Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Suatu Kajian Filosofis pada Surat Al Ikhlas) I. PENDAHULUAN Sepertinya tidaklah berlebihan jika dikatan bahwa pemikiran manusia itu sangat butuh akan penuntun di dalam aktivitasnya, apalagi dalam berpikir tentang ke- Tuhanan. Tanpa suatu penuntun maka ia akan mengalami kesesatan, contohnya dalam hal kita memecahkan soal aritmatika maupun matematika diperlukan adanya dalil sebagai penuntun agar memperoleh hasil yang benar. Jika salah memakai dalil maka hasilnyapun tak akan benar, bahkan pasti salah. 1 [1]. Memang yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia dikaruniai akal oleh Tuhan, oleh karenanya dalam ilmu mantiq (logika) manusia dirumuskan dengan “hayawan natiq (hewan yang berpikir)”. 2 [2] Akan tetapi tidak semua persoalan dapat dipecahkan oleh akal, apalagi dalam memikirkan tentang 1[1] Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan Alam Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, hal 23 2[2] Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996,hal 15

Transcript of Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas

Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas

TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM(Suatu Kajian Filosofis pada Surat Al Ikhlas)

 

I. PENDAHULUAN

Sepertinya tidaklah berlebihan jika dikatan bahwa pemikiran manusia itu

sangat butuh akan penuntun di dalam aktivitasnya, apalagi dalam berpikir tentang

ke-Tuhanan. Tanpa suatu penuntun maka ia akan mengalami kesesatan, contohnya

dalam hal kita memecahkan soal aritmatika maupun matematika diperlukan

adanya dalil sebagai penuntun agar memperoleh hasil yang benar. Jika salah

memakai dalil maka hasilnyapun tak akan benar, bahkan pasti salah.1[1].

Memang yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya

adalah akal. Manusia dikaruniai akal oleh Tuhan, oleh karenanya dalam ilmu

mantiq (logika) manusia dirumuskan dengan “hayawan natiq (hewan yang

berpikir)”.2[2] Akan tetapi tidak semua persoalan dapat dipecahkan oleh akal,

apalagi dalam memikirkan tentang ke-Tuhanan manusia sangatlah membutuhkan

tuntunan yang absolut (mutlak benar), tanpa tuntunan tersebut akal manusia itu

nisbi dan bersifat subjektif. Hal ini dapat dilihat dari realita yang terdapat di dalam

ajaran-ajaran agama di dunia ini, ada agama monotheistis yaitu yang mempercayai

bahwa Tuhan itu satu dan Esa,dan adapula agama polytheistis yaitu yang

mempercayai dan menyembah banyak tuhan atau dewa.3[3] Selain itu ada juga

yang menganut faham atheisme yaitu suatu aliran/golongan yang tidak

mempercayai adanya Tuhan.

1[1] Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan Alam

Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Bandar Lampung,

hal 23

2[2] Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996,hal 15

3[3] Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan pranata sosia kemasyarakatan, PT Remaja

Rosda Karya, Bandung, 2002, hal 5

Dalam hal ini Islam adalah agama tauhid. Mengenai ajarannya yang

berhubungan dengan ke-Tuhanan, manusia dituntun oleh kitab suci al qur’an yang

bersifat absolut (mutlak benar), karena kitab tersebut bersumber langsung dari

Allah swt. Adapun salah satu isi dari kitab suci tersebut yang membicarakan

tentang ke-Tuhanan adalah surat al ikhlas. Surat ini merupakan sebagian dari isi

kitab suci al qur’an yang dapat memberikan tuntunan kepada akal manusia yang

subjektif itu dalam memikirkan Allah swt (Tuhan semesta alam).

Dari pemaparan di atas, dibuatnya tulisan ilmiah ini bertujuan untuk

mengetahui tauhid dalam pandangan Islam. Dalam hal ini lebih khususkan pada

surat al ikhlas yang dapat dikatan bisa mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal

ketauhidan.. Oleh karenanya penulis memberi judul tulisan inii dengan “Tauhid

Dalam Perspektif Islam (suatu kajian filosofis pada surat al ikhlas)”

II. Tauhid

A.     Definisi Tauhid Dan Pembagiannya

Tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan

yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu dan

kata ahad yang berarti esa. Adapun secara istilah syar’i tauhid berarti mengesakan

Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur, dan mengikhlaskan

(memurnikan) peribadahan hanya kepada Nya, meninggalkan penyembahan

kepada selain Nya serta menetapkan asma’ul husna (nama-nama yang bagus)

dan sifat al ulya (sifat-sifat yang tinggi) bagi Nya dan mensucikan Nya dari

kekurangan dan cacat.4[4]

Dari pendefinisian tersebut, para ulama membagi tauhid menjadi tiga

bagian, yaitu: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Asma’ wa Shifat dan Tauhid

4[4] Sutisna Senjaya. Pengetian Tauhid.

Http://Sutisna.com/artikel/artikel-keislaman/pengertian-tauhid/. Diakses 22 Maret 2010

Uluhiyyah. Namun di samping itu, adapula sebagian ulama yang membagi tauhid

dalam dua bagian. Salah satu tokoh ulama yang membagi tauhid menjadi dua

bagian adalah Al ‘Alamah ibn Qayyim. Dia menjadikan tauhid rububiyyah dan

tauhid asma’ wa shifat sebagai satu bagian, dan menyebutnya dengan tauhidul

ma’rifah wal itsbat, sedangkan yang kedua adalah tauhith thalah wal qashd atau

tauhid ilahiyah dan ibadah.5[5]

Kendati para ulama berbeda-beda dalam pembagian tauhid, namun pada

dasarnya mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar mempermudah

pemahaman mereka terhadap kalimat tauhid. Dalam hal ini seseorang tidak dapat

dikatakan muslim hingga pada dirinya terhimpun semua bagian-bagian tauhid

tersebut. Jadi, satu bagian saja darinya tidak cukup, tetapi semuanya harus ada dan

harus diamalkan, baik secara lahir maupun batin.6[6]

1. Tauhid Rububiyyah.

Secara bahasa rububiyyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan

dengan penggunaan yang hakiki dan juga digunakan untuk yang lain secara

majazi atau idhafi, dan tidak untuk yang lain. Dari beberapa arti kata rabb tersebut

dibentuk kata rububiyyah, yang berarti Mencipta, Memberi rizki, Memiliki,

Menguasai, Mengatur, Memperbaiki dan Mendidik. Dan karena Allah adalah

Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan

ketuhanan tanpa yang lain, mengesakan Nya dalam hal ketuhanan dan tidak

menerima adanya sekutu bagi Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak

mungkin ada pada yang lain dari makhluk Nya.7[7]

Secara istilah, tauhid rububiyyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang

menciptakan alam dunia beserta seisinya ini hanya Allah sendiri, tanpa bantuan

5[5] M.’Abdul Ghaffar E.M, Hal-hal yang wajib diketahui setiap muslim, Pustaka Imam

Asy Syafi’I, Jakarta, 2007, hal 133

6[6] Ibid

7[7] Abu Bakar Al Jazairi, Akidah Mukmin, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2002, hal 73

siapapun. Dunia ini ada tidak berada dengan sendirinya, tetapi ada yang

menciptakan dan ada pula yang mengaturnya, yaitu Allah swt. Allah swt Maha

Kuat, tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Dari sinilah timbullah kesadaran

bagi makhluk untuk mengagungkan Allah, makhluk harus bertuhan hanya kepada

Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan tauhid

rububiyyah. Jadi tauhid rububiyyah ialah tauhid yang berhubungan dengan soal-

soal ketuhanan. Dengan kata lain, tauhid rububiyyah ialah meyakini bahwa tidak

ada yang membuat, mengurus dan mengatur semua makhluk ini selain Allah swt.8

[8] Mengenai tauhid rububiyyah ini Allah swt berfirman, yang artinya:

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)

“Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya

itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘arsy dari apa

yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiya’: 22)

Dan hadits Nabi saw yang artinya:

“Engkau adalah Rabb di langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘alaih)9[9]

2. Tauhid Asma’ wa Shifat

Secara bahasa asma’ merupakan jama’ dari kata ismun yang berarti nama,

sedangkan shifat merupakan jama’ dari kata shifatun yang mempunyai arti sifat.

Adapun secara istilah, tauhid asma’ wa shifat ialah suatu keyakinan yang

menetapkan asma-asma Allah dan sifat-sifat Nya, meniadakan sekutu bagi Nya

dalam asma-asma Nya dan tidak menyerupai asma’ dan sifat-Allah tersebut

dengan makhluk.

8[8] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 20

9[9] Hadits kutipan dari http://aboeaswad.wordpress.com/2010/06/11/macam-macam-

tauhid-dan-faedahnya/

Dalam hal ini syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata: “Manhaj salaf dan

para imam ahlu sunnah mengimani tauhid al asma’ wa shifat dengan menetapkan

apa-apa yang telah Allah tetapkan atas diri Nya dan telah ditetapkan Rasul Nya

bagi Nya, tanpa tahrif atau ta’wil (merubah lafazh nama dan sifat atau merubah

maknanya atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya), ta’thil

(menafikan sifat-sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat

Allah swt), takyif (menerangkan atau mempertanyakan keadaan yang sebenarnya

*hakikat* sifat-sifat Allah swt), dan tamtsil (mempersamakan atau menyerupakan

sifat-sifat Allah swt dengan makhluk Nya)”.10[10] Mengenai hal ini Allah swt

berfirman, yang artinya:

“Hanya milik Allah al Asmaa’ul Husna, maka bermohonlah kepada Nya dengan

menyebut al Asmaa’ul Husna itu…” (QS. Al A’raf:180)

“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha

Mendengar” (QS. Asy Syura’: 11)

“Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka

katakan” (QS. Ash Shaffattt: 180)

3. Tauhid Uluhiyyah.

Secara bahasa kata Uluhiyyah adalah bahasa Arab yang diambil dari kata

ilaah yang artinya yang dituju atau yang disembah. Kata ilaah sendiri berasal dari

kata aliha-ya’lahu, yang bermakna menuju, memohon atau menyembah.11[11]

Adapun secara istilah ialah keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak

disembah (diibadahi) disertai dengan pelaksanaan pengabdian/penyembahan

kepada Nya saja dan tidak mengalihkan selain dari Nya.12[12] Oleh karenanya

tauhid uluhiyyah ini sering disebut juga sebagai tauhid dalam ibadah.

10[10] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka

Imam Syafi’I, Bogor, 2006, hal 163

11[11] Achmad Chodijim, An Nas (cet-1), PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hal 30

Tauhid ini merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul, dari yang pertama

hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad saw. Selain itu tauhid ini pula yang

menjadi tujuan Allah swt menciptakan jin dan manusia. Allah swt berfirman yang

artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk

menyerukan), “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu…” (QS. An Nahl:

36)

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami

wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku,maka

sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al Anbiya’: 25)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan

memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan

supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian

itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5)

B. Kedudukan Tauhid Dan Fungsinya Bagi Kehidupan.

Tauhid merupakan kewajiban pertama dan paling utama yang

diperintahkan Allah swt kepada setiap hambanya. Namun sangat disayangkan

kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti akan hakikat,

kedudukan dan fungsi tauhid tersebut. Padahal tauhid inilah yang merupakan

dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum

muslimin untuk mengerti hakikat, kedudukan dan fungsinya. Hakikat tauhid

adalah mengesakan Allah swt. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada

12[12] H. Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, Manhaj ‘Aqidah Imam Syafi’I, Pustaka Imam

Asy Syafi’I, hal 283

pembahasan sebelumnya, tauhid ini terbagi menjadi tiga, yaitu: Tauhid

rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ wa shifat.

Adapun kedudukannya (tauhid) di dalam Islam sangat tinggi, bahkan

paling tinggi. Berikut ini adalah beberapa keutamaan tauhid, yang dengannya kita

dapat mengetahui betapa tingginya kedudukannya di dalam Islam

1. Tauhid merupakan hak Allah swt yang paling besar atas hamba-hamba Nya. Hal

ini sebagaimana yang terlihat dalam hadits Mu’adz bin Jabal ra. Rasulullah saw

berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba Nya dan

hamba atas Allah?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul Nya yang lebih

mengetahui”. Beliau mengatakan: ”Hak Allah atas hamba Nya adalah mereka

menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatupun”. (HR. Bukhari

dan Muslim)13[13]

2. Tauhid adalah hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah swt berfirman yang

artinya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)

3. Tauhid merupakan sebab diutusny para Rasul, dan inti serta pembuka dakwah

mereka. Allah swt berfirman yang artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk

menyerukan), “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu…” (QS. An Nahl:

36)

4. Tauhid merupakan sebab diturunkannya kitab-kitab Allah swt.

“1) Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi

serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha

Bijaksana lagi Maha Tahu. 2) Agar kamu tidak menyembah selain Allah.

13[13] Hadits kutipan dari

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiah/aqidah-manhaj/kedudukan-tauhid-dalam-

islam-dan-urgensinya/

Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar

gembira kepadamu dari Nya ” (QS. Hud: 1-2)

5. Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Allah saw berfirman

yang artinya:

“Dan sesungguhny telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang

sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Allah) niscaya akan hapuslah amalmu

dan teneulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar: 65)

6. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindung dari

neraka. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, yang artinya:

“Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada Ilah yang

benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga” (HR. Muslim: 26)

“Sesungguhny Allah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang berkata

laa ilaaha illallah, mencari wajah Allah dengannya (ikhlas)” (HR. Bukhari: 425)

Selanjutnya fungsi tauhid bagi kehidupan. Dalam hal ini syaikhul Islam

ibnu Taimiyah ra mengatakan: “Orang yang mau mentadabburi keadaan alam

akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan

beribadah kepada Allah swt serta taat kepada Rasulullah saw. Sebaliknya semua

kejelekan di muka bumi ini: fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-

lain penyebanya adalah menyelisihi Rasulullah saw dan berdakwah (mengajak)

kepada selain Allah swt. Orang-orang yang mentadabburi hal ini dengan

sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini, baik dalam dirinya

maupun di luar dirinya.” (Majmu’ fatawa 15/25)14[14]

Dari perkataan Ibnu Taimiyah tersebut kita dapat mengetahui bahwa

tauhid merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan ini. Sampai-sampai ia

mengatakan bahwa pada dasarnya sumber kebaikan di muka bumi ini adalah

ketauhidan. Dan sebaliknya, sumber keburukan di muka bumi seperti fitnah,

musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain pada dasarnya dikarenakan

ketidak tauhidan manusia kepada Allah swt.

14[14] Anonim. Tauhid. Http:id.wikipedia.org/wiki/Tauhid. Diakses 8 Juni 2011

Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang

sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas yang kesemuanya

merupakan ibadah kepada Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit

(ibadah murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan akidah tauhid

merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi

manusia.15[15] Oleh karenanya, nampak jelas bahwa tauhid memberikan dampak

posoitif bagi kehidupan manusia. Bila setiap individu memiliki komitmen tauhid

yang kukuh dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan yang besar untuk

membangun dunia yang lebih adil, etis dan dinamis.

III. Islam

A. Definisi Islam

Secara etimologi istilah Islam diambil dari bahasa Arab, aslama-yuslimu-

islaaman, yang berarti berserah diri, patuh, taat, tunduk. Pengertian ini menuntut

pemeluknya untuk berserah diri, tunduk, patuh dan taat kepada ajaran, tuntunan,

petunjuk dan peraturan hukum Allah swt.16[16]

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal

kepada Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan

suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (QS.

Ali ‘Imron: 83)

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas

menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan…”

(QS. An Nisa’: 125)

15[15] Ihsan Ali Fauzi, Membumikan Al qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam

kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka, 2002, hal 51-52

16[16] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, Pendidikan Agama Islam,

Grasindo, Surabaya, 2009, hal 15-16

Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa kata Islam itu diambil dari

kata assalam yang artinya selamat, kemudian dari selamat inilah menjadi

mempunyai pengertian silm atau salm yaitu kedamaian, kesejahteraan, kepatuhan

dan penyerahan diri kepada Tuhan.17[17]

Adapun secara terminologi, Isalam berarti ketundukan dan kepatuhan

kepada peraturan-peraturan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad

saw untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun

di akhirat.18[18] Dari pengertian inilah agama Islam berarti agama yang

diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril

dengan tujuan agar manusia patuh dan tunduk kepada Nya serta supaya manusia-

manusia di dunia dan di akhitar mengalami kesejahteraan hidup.19[19]

B. Sumber-sumber ajaran Islam

Sumber ajaran Islam ialah wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al qur’an

dan Al sunnah Rasul saw. Dari kedua sumber inilah kita dapat mengetahui ajaran

Islam secara otentik. Tidak ada alternatif lain bagi seorang muslim kecuali

berpegang teguh dan kembali pada dua sumber ajaran agama itu.

Dalam ajaran agama Islam, alqur’an merupakan sumber hukum (ajaran)

Islam yang pertama dan paling utama. Ia adalah kitab suci yang memuat wahyu

(firman-firman) Allah swt, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril

kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Nya, sedikit demi sedikit selama 22 tahun

2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah untuk menjadi

pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya

17[17] Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, SH, Ilmu Dan Teknologi Dalam Islam

(cet-2), PT Rineka ipta, Jakarta, 1992, hal 6

18[18] Choiruddin Hadhuri, SP, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an Jilid 1, Gema Insani

Press, Jakarta, hal 74

19[19] Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, loc cit, hal 7

mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak.20[20]

Sedangkan Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua. Kedudukannya

sebagai sumber sesudah al qur’an adalah disebabkan karena kedudukannya

sebagai juru tafsir, yaitu untuk menjelaskan maksud al qur’an dan melengkapi

ajarannya, karena sebagai sumber utama, al qur’an tidak pantas memuat segala

masalah secara terinci.21[21] Dalam hal ini al qur’an menunjuk suunah sebagai

pedoman yang harus dipatuhi. Allah swt berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul Nya, dan

janganlah kamu berpaling dari Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah

Nya)” (QS. Al Anfal: 20)

Selain ayat tersebut, tidak sedikit ayat-ayat yang memerintahkan umat

Islam agar menjadikan sunnah sebagai pedoman di dalam hidupnya.

C. Ruang Lingkup ajaran Islam.

Pada garis besar Islam sebagai suatu sistem terdiri atas komponen-

komponen yang berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, dan ini bisa

dikatakan merupakan ruang lingkup ajaran Islam. Dalam hal ini Endang Saifuddin

Anshori dalam bukunya “Kuliah Al Islam” membagi ruang lingkup ajaran Islam

menjadi tiga bagian, yaitu Akidah, Syari’ah dan Akhlak.22[22]

1. Akidah.

Menrut etimologi akidah artinya ikatan, janji. Sedangkan menurut

terminologi akidah ialah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang

20[20] Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan tata

hukum Islam di Indonesia), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 78-79

21[21] Dr. Bustanuddin Agus, MA, Al Islam (buku pedoman kuliah mahasiswa untuk

mata pelajaran pendidikan agama Islam), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993, hal

78

22[22] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, loc cit, hal 19

membuat jiwa tenang da menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan

keragu-raguan.

Akidah di dalam al qur’an disebut dengan iman, yang artinya

membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan

amal perbuatan (semua anggota badan). Adapun ruang lingkup iman ada enam,

yaitu iman kepada Allah, Iman kepada malaikat-malaikat Nya, iman kepada kitab-

kitabnya, iman kepada rasul-rasul Nya, iman kepada hari kiamat dan iman kepada

qadha dan qadar.23[23]

2. Sayri’ah.

Menrut etimologi syari’ah artinya jalan, aturan. Sedangkan menurut

terminologi syari’ah ialah norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan

Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam

semesta.24[24] Oleh karenanya syari’ah merupakan segala bentuk peribadaan, baik

yang berupa ibadah khusus (‘ubudiyah) seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, haji

maupun ibadah umum (mu’amalah) seperti hukum-hukum publik, hukum perdata,

dll.25[25]

3. Akhlak

Dalam pandangan Islam tujuan utama kedatangan Nabi Muhammad saw

adalah “Menyempurnakan akhlak manusia”, hal ini dijelaskan oleh beliau saw

sendiri:

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak” (HR.

Ahmad dan Bukhari)

23[23] Ibid

24[24] Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam (pokok-pokok fikiran tentang

Islam dan ummatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 26

25[25] Http://stkip.files.wordpress.com/2011/05/pendidikan-agama-Islam.pdf

Oleh karenanya itu bisa dikatakan bahwa tujuan agama Islam dengan

segala ajarannya adalah membangun manusia yang berakhlak luhur. Dengan

demikian masalah pembinaan akhlak merupakan hal yang amat penting, sebab

akhlak menyangkut martabat seseorang. Tanpa akhlak yng luhur manusia

dianggap tidak berbeda dengan-malah mungkin lebih rendah dari binatang.

Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti

budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Secara terminologis ada

beberapa definisi. Misalnya menurut imam Al Ghazali, akhlak adalah sifat yang

tertanan dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah,

tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.26[26]

Ruang lingkup akhlak yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan

seorang muslim adalah:

a. Akhlak kepada Allah

b. Akhlak pada sesama manusia

c. Akhlak pada alam semesta.27[27]

IV. Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas (Suatu kajian filosofis)

Dalam konsep keTuhanan, Islam adalah suatu agama yang menyerukan

pada ketauhidan. Hal ini sangat terlihat jelas di dalam sumber-sumber ajarannya,

yaitu salah satunya adalah yang tertera di dalam al qur’an pada surat al ikhlas ayat

1-4:

1. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa;

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya segala sesuatu;

26[26] Solihin, Yes I am Muslim, Gema Insani, hal 89

27[27] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, loc cit, hal 20

3. Dia tidak beranak dtidak pula diperanakan;

4. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Nya.

Di dalam kitab suci al qur’an, surat ini adalah surat yang ke 112 dari 114

surat, dan ia termasuk ayat-ayat Makkiyah. Surat ini memang tidak panjang

sehingga sangat mudah sekali untuk menghafalnya. Kendati demikian, kandungan

atau makna yang terdapat di dalamnya sangatlah luas sekali, dan bisa dikatakan

surat ini dapat mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan.

Al kisah, pada zaman Rasul saw ada seorang lelaki mendengar seseorang

membaca “qul huwallaahu ahad” secara berulang-ulang. Lelaki itu lantas

mendatangi Rasul saw dan menceritakan kejadian yang baru dilihatnya dengan

nada seakan meremehkan surat al Ikhlas. Mendengar cerita tersebut Rasul saw

lantas bersumpah atas nama Allah, bahwa al ikhlas sesungguhnya memiliki nilai

sebanding dengan sepertiga al qur’an (HR. Bukhari).

Dalam hadits yang lain, bahwa Rasul saw bersabda ”...Barang siapa yang

membaca surat al Ikhlas tiga kali, ia seperti mambaca seluruh al qur’an (Tafsir

Nur Ats-tsaqalayn 5/702)”)

Secara garis besar al qur’an berisikan tauhid, kisah dan hukum. Surat al

ikhlas berisikan tauhid, itulah sebabnya surat ini memiliki keutamaan yang

istimewa sesuai dengan sabda Rasul saw yang telah disebutkan di atas, yang

mengibaratkan membaca satu kali surat al ikhlas berarti telah membaca sepertiga

al qur’an.

  Ayat 1: “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”

Apabila dikaji secara filosofis, kandungan tauhid yang terdapat di dalam

ayat ini memberi penjelasan bahwa Allah swt adalah Maha Tunggal, Esa (ahad).

Menurut Imam Ath-Thabarasy di dalam kitab tafsirnya “Majma’

al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an”, dikatakan bahwa penggunaan kata

“ahad” bukan dengan “wahid” itu dikarenakan wahid termasuk

ke dalam kata “hisab” atau hitungan, sedangkan ahad itu berarti

dzat Nya tidak terdiri dari dari rangkaian.. Kita boleh menjadikan

bagi wahid itu dua dan seterusnya., akan tetapi kita tidak boleh

menjadikan bagi ahad itu dua dan seterusnya.28[28]

Oleh karena itu ayat ini memberi penjelasan kepada kita

bahwa Allah itu bukan saja hanya wahid, tp Dia juga ahad. Tidak

ada sekutu bagi Nya, dan Dia berdiri sendiri, bukan seperti senyawa

ataupun molekul yang terdiri dari berbagai unsur, air misalnya yang terdiri dari

H2O, yang meliputi unsur Hidrogen dan Oksigen. Demikian pula garam, Nachl,

yang terdiri dari natrium dan kloroda.

Dari penjelasan tersebut keEsaan Allah swt yang terkandung di dalam

surat al Ikhlas ayat pertama ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

      KeEsaan Allah swt pada dzat Nya (tauhid dzati)

      KeEsaan Alah swt pada sifat Nya (tauhid sifat)

      KeEsaan Allah pada perbuatan Nya (tauhid af’ali)29[29]

1. Tauhid dzati (keEsaan Allah swt pada dzat Nya)

Tauhid dzati dalam istilah bermakna bahwa dzat Allah swt adalah satu,

tidak satupun “mitsl” (serupa), sekutu dan yang setara dengan Nya.apabila dikaji

secara mendalam tauhid dzati mempunyai makna yang lebih luas disamping

makna yang disebutkan di atas. Tauhid ini meliputi:

28[28] Anonim. Tafsir Surat Al Ikhlas.

http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/11/tafsir-surat-al-ikhlas.html. Diakses 8

November 2010

29[29] Anonim. Monotheisme Dalam Islam 2.

Http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/17/monotheisme-dala m-Islam-2/. Diakses 17-

11-2007

a. Penafian akan adanya sekutu bagi Allah swt (tauhid wahidi)

b. Penafian akan adanya rangkaian-rangkaian/rangkapan pada dzat Allah

(tauhid ahadi)30[30]

Allah swt adalah Esa, dan tidak ada sekutu bagi Nya. Apabila diasumsikan ada

dua Tuhan (wajib al wujud), maka ada dua kemugkinan:

Kemungkinan pertam: Salah satu dari dua Tuhan memiliki kesempurnaan

mutlak. Sedangkan tuhan yang satunya tidak sempurna, terbatas, dan memiliki

kekurangan. Dari dua kemungkinan ini sangat jelas, bahwa Tuhan hakiki adalah

Tuhan yang memiliki kesempurnaan mutlak. Adapun tuhan yang kedua pasti

bukan Tuhan, karena ia memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, berdasarkan

kemungkinan pertama, ia menolak kejamakan Tuhan/adanya sekutu bagi Tuhan

dan menegaskan keEsaan Tuhan.

Kemungkinan kedua: Masing-masing dari kedua Tuhan memiliki

kekurangan/ketidak sempurnaan, sehingga untuk menutupi kekurangannya

mereka saling melengkapi (bekerja sama). Kemungkinan ini sangat mustahil,

karena zdat Tuhan suci dari berbagai bentuk ketidak sempurnaan.31[31]

Dalam menafikan adanya sekutu bagi Allah, Allah swt berfirman:

“Kalau sekiranya ada beberapa Tuhan di langit dan di bumiselain Allah,

niscaya binasalah keduanya. Maka MahaSuci Allah yang mempunyai ‘arsy dari

apa yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiya’: 22)

30[30] Ibid

31[31] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat.

http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/.

Diakses 23-11-2007

Demikian Allah swt memberikan tuntunan berfikir terhadap hamba Nya

tentang keMaha Esaan Nya. Andaikata ada dua Tuhan di dunia maka pada suatu

saat pasti terjadi perebutan kekuasaan atau suatu persaingan, sedang mereka

adalah pemilik kekuatan luar biasa (Maha Perkasa), maka siapakah yang akan

menetralisir suasana??? Jika tidak ada sesuatu yang menjadi penengah di dalam

kasus perselisihan itu, maka tidak ada kemungkinan lain kecuali kehancuran yang

bakal terjadi.32[32]

Selanjutnya Allah swt Esa, yang tidak memiliki rangkaian. Dalam hal ini

salah satu filosof Islam yaitu Al Kindi, ia berpendapat bahwa Allah swt tidak

mempunyai hakikat ‘aniah dan mahiah.tidak ‘aniah karena Allah bukan benda

yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di ala

mini. Allah tidak tersusun dari materi (al hayula) dan bentuk (al shurat). Akan

tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah (universal)

karena Allah tidak merupakan genus atau spesies.33[33] Mahiah adalah sesuatu

yang terbatas, karena wujudnya dapat dikonsepsi. Karena Allah swt tak terbatas,

maka tak memiliki mahiah.

Kesimpulan dari uraian tersebut, bahwa akal hanya mampu mengurai dan

menganalisis adanya kuiditas dan wujud pada maujud-maujud terbatas. Adapun

wujud Allah adalah wujud murni yang tak bercampur dengan sesuatu apapun,

termasuk kuiditas (mahiah).34[34] Oleh karena itu, bagi Al Kindi Allah adalah

unik.35[35] Dalam hal ini Rasul saw bersabda: “Berfikirlah kalian akan makhluk

Allah, dan janganlah kalian berfikir akan dzat Allah” (Al Hadits)

32[32] Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, loc cit, hal 25

33[33] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 51

34[34] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat.

http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/.

Diakses 23-11-2007

35[35] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Op cit

2. Tauhid dalam sifat sifat (KeEsaan Allah swt pada sifat Nya)

Di dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai kesatuan sifat dan dzat

Allah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah swt niscaya memliki sifat-sifat

yang sempurna, karena ketidak sempurnaan tersebut menandakan keterbatasan

dan kebutuhan. Allah swt bebas dari keterbatasan dan kebutuhan, oleh karenanya

sifat-sifat seperti hidup, ilmu, kudrat, kehendak dan sebagainya dimiliki oleh

Allah swt dalam bentuk yang paling sempurna, mutlak dan tak terbatas.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sifat-sifat tersebut mandiri dan

tidak menyatu dengan dzat Allah swt? Ataukah sifat-sifat tersebut sebelumnya

terpisah dari dzat Allah swt dan kemudian menyatu dengan dzat Nya?? Dibawah

ini ada dua argumen yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:

Argumen pertama, ini berpijak pada dua mukadimah:

a. Kesempurnaan wujud Allah juga meniscayakan kesempurnaan sifat-sifat Nya.

b. Kesempurnaan sifat Nya berarti dzat menyatu dengan sifat. Dia tidak perlu sifat di

luar dari dzat Nya. Sifat-sifat yang ada pada Nya berasal dari dzat Nya sendiri.36

[36]

Kesimpulan dari dua mukadimah tersebut adalah: kesempurnaanAllah

meniscayakan dzat suci Nya tak perlu pada sifat-sifat di luar dari dzat Nya. Oleh

karena itu, argumen ini membuktikan bahwa dzat dan sifat Nya adalah satu.

Argumen kedua, ini berpijak pada mukadimah sebagai berikut:

Dzat Allah swt adalah wajib al wujud dan sebab dari seluruh sebab.

Seluruh maujud-maujud selain Nya adalah akibat dari wajib al wujud. Seluruh

36[36] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat.

http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/.

Diakses 23-11-2007

kesempurnaan akibat seperti hidup, ilmu, kudrat dan iradat, dalam bentuknya

lebih sempurna ada pada sebab. Karena sesuatu yang tidak dimiliki oleh sebab,

tidak mungkin diberikan kepada akibat. Jadi, mustahil sifat-sifat Allah swt itu

berada di luar dzat Nya. Karena hal itu akan meniscayakan ketidak adaan sifat dan

berefek pada ketidak sempurnaan dzat Nya.

Kedua mukadimah pertama di atas, terbukti bahwa dzat Allah swt

memiliki seluruh kesempurnaan. Dan dengan menambahkan mukadimah terakhir,

dihasilkan konklusi terakhir bahwa sifat-sifat Allah swt tidak di luar dzat Nya,

akan tetapi manunggal dengan dzat Nya.

Dari dua argumen yang telah diuraikan, terbukti bahwa dzat Allah dan

sifat-sifat Nya bukan dua subyek yang berbeda tetapi satu realitas. Perbedaannya

hanya pada tataran konsepsi (pemahaman).37[37]

3. Tauhid af’ali (keEsaan Allah swt dalam perbuatan Nya)

a. Tauhid dalam penciptaan

Secara garis besar tauhid dalam penciptaan bermakna, meyakini bahwa

pencipta yang hakiki (sesungguhnya) adalah Allah swt. Adapun pencipta yang

dihasilkan oleh seluruh keberadaan selain Allah swt berada dalam lingkaran

penciptaan Allah swt, karena Allah swt causa prima (sebab pertama) dari segala

sesuatu, dan semuanya itu tunduk pada iradah (keinginan/kehendak) Allah swt.

Dengan demikian adalah Khalik (Sang Pencipta) dan seluruh keberadaan selain

Nya adalah makhluk (ciptaan Nya), baik melalui perantara maupun tidak.

b. Tauhid dalam pengaturanMeyakini bahwa hanya Allah swt-lah yang mengatur alam semesta beserta

isi-isinya, ini juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dalam hal ini ada

dua argumentasi yang tidak akan mungkin dibantah dan pasti akan diterima oleh

akal sehat, yaitu:

37[37] Ibid

Argument pertama: Pengaturan merupakan kemestian dari kepemilikan

hakiki. Jika suatu maujud bukan pemilik hakiki atas maujud lain, maka ia tidak

akan dapat mengaturnya secara hakki dan mandiri. Kepemilikan hakiki

merupakan keniscayaan dari pencipta hakiki. Karena wujud ciptaan beserta

seluruh kondisi-kondisi wujudnya berasal dari penciptanya, maka dari itu

pengaturan merupakan konsekuensi dari penciptaan. Karena Allah adalah satu-

satunya pencipta hakiki dan mandiri, maka seluruh ciptaan-ciptaan di alam raya

ini berada pada pengaturan Nya. Tak ada maujud lain selain Nya yang memiliki

pengaturan hakiki dan mandiri kecuali hanya bersifat nisbi dan relatif.

Argumen kedua: Jika diasumsikan terdapat pengatur-pengatur yang

beragam di alam eksistensi ini yang mana mempunyai derajat yang sama dalam

pengaturan dan secara mandiri mengatur perkara-perkara alam ciptannya, maka

konsekuensi dari asumsi itu adalah berlakunya system yang khusus di alam ini.

Tetapi sebagaimana yang kita saksikan sendiri di alam ini, yakni berlakunya suatu

sistem yang harmonis dan seimbang antara ciptaan-ciptaan dan perkara-perkara

yang terdapat di dalamnya berjalan seiring dan teratur. Realitas ini menjadi saksi

dan bukti yang sangat kuat tentang adanya satu sistem pengaturan di bawah

pengatur hakiki dan mandiri, Dialah Allah swt.38[38]

Mengenai argumen yang kedua ini, Ibnu Rusyd (salah satu filosof muslim)

dalam bukunya “Manaahij Al Addillah” mengatakan bahwa: Tatanan alam

dibuktikan (diungkapkan) melalui harmoni yang bisa dilihat pada bagian-

bagiannya dan pada benda-benda yang ada di dalamnya. Ia tidak hanya harmoni

permukaan dan lahirnya saja, tetapi juga harmoni dalam batin dan intinya, yang

mengingatkan kita kepada tujuan internal seperti yang dikatakan oleh Kant (1804

M) dari kalangan modern. Harmoni ini bukan kebetulan an sich, tetapi merupakan

ciptaan Tuhan Yang Maha Pengatur dan Bijak. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa

“Ciptaan pasti ada yang menciptakan, dan gerak pasti ada yang menggerakkan.

Pencipta dan penggerak itu adalah Allah Jalla Sya’nuhu”39[39]

38[38] Ibid

39[39] Drs. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran Dan Teori Filsafat Islam (Cet-3), Bumi Aksara,

Jakarta, 2004, hal 119

Demikianlah penjelasan filosofis tentang keEsaan Allah swt yang

terkandung di dalam surat al ikhlas ayat 1 “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha

Esa”. Di sini terlihat jelas bahwa Allah swt adalah dzat yang Esa serta memiliki

sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu hanya Dialah yang layak untuk

disembah. Adapun keberadaan-keberadaan yang lain selain Nya, karena ketidak

sempurnaan, kelemahan, dan kekurangan serta ketergantungan maka tidak layak

untuk menjadi dzt yang disembah.

   Ayat 2: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya segala sesuatu”Ayat ini menjelaskan bahwa semua makhluk ciptaan Allah swt bergantung

kepada Nya. Allah adalah pencipta segala sesuatu baik melalui perantara maupun

tidak, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah swt adalah

causa prima (sebab pertama) dari segala sesuatu. Oleh karena itu semua maujud-

maujud selain Nya adalah faqir, bergantung dan butuh kepada Nya.40[40]

Kefakiran makhluk-makhluknya bisa dilihat dari berbagai aspek

kehidupannya, semua makhluk berdo’a/berhasrat kepada Nya. Tidak hanya itu,

bahkan keberadaannyapun butuh (bergantung) pada Khalik, Allah swt. Dialah

tujuan dari segala makhluk (berasal dari Nya dan akan kembali kepada Nya). Dia

Maha Sempurna, Yang Maha Mengetahui dan sempurna dalam ilmu-ilmu Nya,

Yang Maha Lembut dan sempurna dalam kelembutan Nya. Kasih sayang Nya

meliputi segala sesuatu, demikian juga segala sifat yang dimiliki Nya

  Ayat 3: “Dia tidak beranak dan tidak diperanakan”Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt tidak mempunyai anak karena Dia

adalah dzt Yang Maha Mulia dan Maha Agung, tidak ada yang setara dengan Nya.

Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuany. Hal ini sebagaimana

sabda Nabi saw kepada putrinya Fathimah: “Ia adalah bahagian dari diriku”

Allah swt tidak ada yang serupa dengan Nya. Anak merupakan salah satu

kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun untuk

menjaga kesinambungan keturunan. Dalam hal ini, Allah swt tidak memerlukan

itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang serupa dengan Nya,

dan Allah swt tidak memerlukan sesuatu apapun dari makhluk Nya.41[41] Tidak

40[40] Ibid

41[41] Anonim. Http://www.almanhaj.or.id. Diakses …

ada perlunya bagi Allah mempunyai anak, istri atau orang tua. Hal ini karena sifat

ketunggalan Nya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

  Ayat 4: “Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Nya”Ayat ini memliki kandungan bahwa tidak ada sesuatupun yang menyamai

seluruh sifat-sifat Nya (dzat dan perbuatannya). Hal ini dikarenakan Allah swt

adalah Khalik (wajib al wujud) yang tidak terbatas dan memiliki kesempurnaan

mutlak, sedangkan selain Nya adalah makhluk (mumkin al wujud) yang memiliki

keterbatasan dan kekurangan. Bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas tersebut

dapat menyamai Allah swt Yang Maha Sempurna???

KESIMPULAN Islam adalah agama tauhid. Kedudukan tauhid di dalam Islam sangatlah

tinggi, bahkan merupakan yang paling tinggi. Kedudukannya yang begitu tinggi,

ini dikarenakan tauhid merupakan hak Allah swt yang paling besar atas hamba-

hamba Nya, sebagaimana yang terlihat dari hadits Mu’adz bin Jabal ra.

Rasulullah saw berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas

hamba Nya dan hamba atas Allah?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul Nya yang

lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: ”Hak Allah atas hamba Nya adalah

mereka menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatupun”. (HR.

Bukhari dan Muslim

Secara bahasa tauhid artinya mengesakan, sedangkan secara istilah berarti

mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur, dan

mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada Nya, meninggalkan

penyembahan kepada selain Nya serta menetapkan asma’ul husna (nama-nama

yang bagus) dan sifat al ulya (sifat-sifat yang tinggi) bagi Nya dan mensucikan

Nya dari kekurangan dan cacat. Dalam hal ini, mayoritas para ulama membagi

tauhid menjadi tiga bagian, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid asma’ wa shifat dan

tauhid uluhiyyah (tauhid dalam ibadah). Hal ini mungkin dilakukan demi

mempermudah pemahaman tentang tauhid itu sendiri.

Surat al Ikhlas adalah sebagian isi dari kitab suci al qur’an yang

membicarakan tentang katauhidan. Kendati isi suratnya tidak panjang, namun

makna yang terdapat di dalamnya sangat luas sekali, dan bisa dikatakan surat ini

dapat mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan. Jika dikaji secara

filosofis, isi kandungan dari surat ini ternyata sudah melingkupi seluruh sisi

keEsaan Allah swt, baik itu tauhid rububiyyah, tauhid asma’ wa shifat dan tauhid

uluhiyyah.

Secara garis besar al qur’an berisikan tauhid, kisah dan hukum.

Kandungan yang terdapat di dalam surat al ikhlas, ternyata sudah bisa mewakili

ajaran-ajaran tauhid yang ada di seluruh isi al qur’an tersebut. Mungkin itulah

sebabnya surat ini memiliki keutamaan yang istimewa sesuai dengan sabda Rasul

saw ”...Barang siapa yang membaca surat al Ikhlas tiga kali, ia seperti mambaca

seluruh al qur’an (Tafsir Nur Ats-tsaqalayn 5/702)”)

“...bahwa al ikhlas sesungguhnya memiliki nilai sebanding dengan sepertiga al

qur’an.” (HR. Bukhari).

DAFTAR REFERENSI

1. Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan

Alam Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan,

Bandar Lampung

2. Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996

3. Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan pranata sosial kemasyarakatan, PT Remaja

Rosda Karya, Bandung, 2002

4. Sutisna Senjaya. Pengetian Tauhid. Http://Sutisna.com/artikel/artikel-keislaman/p

engertian-tauhid/. Diakses 22 Maret 2010

5. M.’Abdul Ghaffar E.M, Hal-hal yang wajib diketahui setiap muslim, Pustaka

Imam Asy Syafi’I, Jakarta, 2007

6. Abu Bakar Al Jazairi, Akidah Mukmin, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2002

7. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996

8. Wiwit Hardi Priyanto. Macam_macam Tauhid Dan Faedahnya. Http://aboeaswad.

wordpress.com/2010/06/11/macam-macam-tauhid-dan-faedahnya/. Diakses 23

Mei 2010

9. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,

Pustaka Imam Syafi’I, Bogor, 2006

10. Achmad Chodijim, An Nas (cet-1), PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008

11. H. Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, Manhaj ‘Aqidah Imam Syafi’I, Pustaka

Imam Asy Syafi’I

12. Al ustadz Abdurrahman Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, Kedudukan

Tauhid Dalam Islam Dan Urgensinya. Http://akhwat.web.id/muslimah-salafiah/a

qidah-manhaj/kedudukan-tauhid-dalam-islam-dan-urgensinya/. Diakses 20

Jumada al ula 1430 H

13. Anonim. Tauhid. Http:id.wikipedia.org/wiki/Tauhid. Diakses 8 Juni 2011

14. Ihsan Ali Fauzi, Membumikan Al qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam

kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka, 2002

15. Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, Pendidikan Agama

Islam, Grasindo, Surabaya, 2009

16. Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, SH, Ilmu Dan Teknologi Dalam

Islam (cet-2), PT Rineka ipta, Jakarta, 1992

17. Choiruddin Hadhuri, SP, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an Jilid 1, Gema Insani

Press, Jakarta

18. Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan

tata hukum Islam di Indonesia), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

19. Dr. Bustanuddin Agus, MA, Al Islam (buku pedoman kuliah mahasiswa untuk

mata pelajaran pendidikan agama Islam), PT Raja Grafindo persada, Jakarta,

1993

20. Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam (pokok-pokok fikiran tentang

Islam dan ummatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

21. Http://stkip.files.wordpress.com/2011/05/pendidikan-agama-Islam.pdf

22. Solihin, Yes I am Muslim, Gema Insani

23 Anonim. Tafsir Surat Al Ikhlas. Http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/11/

tafsir-surat-al-ikhlas.html. Diakses 8 November 2010

24. Anonim. Monotheisme Dalam Islam 2. Http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/17/

monotheisme-dala m-Islam-2/. Diakses 17-11-2007

25. Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat. http://Isyraq.wordpress.com/20

07/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/. Diakses 23-11-2007

26. Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2007

27. Drs. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran Dan Teori Filsafat Islam (Cet-3), Bumi

Aksara, Jakarta, 2004