Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas
TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM(Suatu Kajian Filosofis pada Surat Al Ikhlas)
I. PENDAHULUAN
Sepertinya tidaklah berlebihan jika dikatan bahwa pemikiran manusia itu
sangat butuh akan penuntun di dalam aktivitasnya, apalagi dalam berpikir tentang
ke-Tuhanan. Tanpa suatu penuntun maka ia akan mengalami kesesatan, contohnya
dalam hal kita memecahkan soal aritmatika maupun matematika diperlukan
adanya dalil sebagai penuntun agar memperoleh hasil yang benar. Jika salah
memakai dalil maka hasilnyapun tak akan benar, bahkan pasti salah.1[1].
Memang yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya
adalah akal. Manusia dikaruniai akal oleh Tuhan, oleh karenanya dalam ilmu
mantiq (logika) manusia dirumuskan dengan “hayawan natiq (hewan yang
berpikir)”.2[2] Akan tetapi tidak semua persoalan dapat dipecahkan oleh akal,
apalagi dalam memikirkan tentang ke-Tuhanan manusia sangatlah membutuhkan
tuntunan yang absolut (mutlak benar), tanpa tuntunan tersebut akal manusia itu
nisbi dan bersifat subjektif. Hal ini dapat dilihat dari realita yang terdapat di dalam
ajaran-ajaran agama di dunia ini, ada agama monotheistis yaitu yang mempercayai
bahwa Tuhan itu satu dan Esa,dan adapula agama polytheistis yaitu yang
mempercayai dan menyembah banyak tuhan atau dewa.3[3] Selain itu ada juga
yang menganut faham atheisme yaitu suatu aliran/golongan yang tidak
mempercayai adanya Tuhan.
1[1] Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan Alam
Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Bandar Lampung,
hal 23
2[2] Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996,hal 15
3[3] Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan pranata sosia kemasyarakatan, PT Remaja
Rosda Karya, Bandung, 2002, hal 5
Dalam hal ini Islam adalah agama tauhid. Mengenai ajarannya yang
berhubungan dengan ke-Tuhanan, manusia dituntun oleh kitab suci al qur’an yang
bersifat absolut (mutlak benar), karena kitab tersebut bersumber langsung dari
Allah swt. Adapun salah satu isi dari kitab suci tersebut yang membicarakan
tentang ke-Tuhanan adalah surat al ikhlas. Surat ini merupakan sebagian dari isi
kitab suci al qur’an yang dapat memberikan tuntunan kepada akal manusia yang
subjektif itu dalam memikirkan Allah swt (Tuhan semesta alam).
Dari pemaparan di atas, dibuatnya tulisan ilmiah ini bertujuan untuk
mengetahui tauhid dalam pandangan Islam. Dalam hal ini lebih khususkan pada
surat al ikhlas yang dapat dikatan bisa mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal
ketauhidan.. Oleh karenanya penulis memberi judul tulisan inii dengan “Tauhid
Dalam Perspektif Islam (suatu kajian filosofis pada surat al ikhlas)”
II. Tauhid
A. Definisi Tauhid Dan Pembagiannya
Tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhiidan
yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu dan
kata ahad yang berarti esa. Adapun secara istilah syar’i tauhid berarti mengesakan
Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur, dan mengikhlaskan
(memurnikan) peribadahan hanya kepada Nya, meninggalkan penyembahan
kepada selain Nya serta menetapkan asma’ul husna (nama-nama yang bagus)
dan sifat al ulya (sifat-sifat yang tinggi) bagi Nya dan mensucikan Nya dari
kekurangan dan cacat.4[4]
Dari pendefinisian tersebut, para ulama membagi tauhid menjadi tiga
bagian, yaitu: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Asma’ wa Shifat dan Tauhid
4[4] Sutisna Senjaya. Pengetian Tauhid.
Http://Sutisna.com/artikel/artikel-keislaman/pengertian-tauhid/. Diakses 22 Maret 2010
Uluhiyyah. Namun di samping itu, adapula sebagian ulama yang membagi tauhid
dalam dua bagian. Salah satu tokoh ulama yang membagi tauhid menjadi dua
bagian adalah Al ‘Alamah ibn Qayyim. Dia menjadikan tauhid rububiyyah dan
tauhid asma’ wa shifat sebagai satu bagian, dan menyebutnya dengan tauhidul
ma’rifah wal itsbat, sedangkan yang kedua adalah tauhith thalah wal qashd atau
tauhid ilahiyah dan ibadah.5[5]
Kendati para ulama berbeda-beda dalam pembagian tauhid, namun pada
dasarnya mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar mempermudah
pemahaman mereka terhadap kalimat tauhid. Dalam hal ini seseorang tidak dapat
dikatakan muslim hingga pada dirinya terhimpun semua bagian-bagian tauhid
tersebut. Jadi, satu bagian saja darinya tidak cukup, tetapi semuanya harus ada dan
harus diamalkan, baik secara lahir maupun batin.6[6]
1. Tauhid Rububiyyah.
Secara bahasa rububiyyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan
dengan penggunaan yang hakiki dan juga digunakan untuk yang lain secara
majazi atau idhafi, dan tidak untuk yang lain. Dari beberapa arti kata rabb tersebut
dibentuk kata rububiyyah, yang berarti Mencipta, Memberi rizki, Memiliki,
Menguasai, Mengatur, Memperbaiki dan Mendidik. Dan karena Allah adalah
Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan
ketuhanan tanpa yang lain, mengesakan Nya dalam hal ketuhanan dan tidak
menerima adanya sekutu bagi Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak
mungkin ada pada yang lain dari makhluk Nya.7[7]
Secara istilah, tauhid rububiyyah ialah suatu kepercayaan bahwa yang
menciptakan alam dunia beserta seisinya ini hanya Allah sendiri, tanpa bantuan
5[5] M.’Abdul Ghaffar E.M, Hal-hal yang wajib diketahui setiap muslim, Pustaka Imam
Asy Syafi’I, Jakarta, 2007, hal 133
6[6] Ibid
7[7] Abu Bakar Al Jazairi, Akidah Mukmin, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2002, hal 73
siapapun. Dunia ini ada tidak berada dengan sendirinya, tetapi ada yang
menciptakan dan ada pula yang mengaturnya, yaitu Allah swt. Allah swt Maha
Kuat, tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Dari sinilah timbullah kesadaran
bagi makhluk untuk mengagungkan Allah, makhluk harus bertuhan hanya kepada
Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut dengan tauhid
rububiyyah. Jadi tauhid rububiyyah ialah tauhid yang berhubungan dengan soal-
soal ketuhanan. Dengan kata lain, tauhid rububiyyah ialah meyakini bahwa tidak
ada yang membuat, mengurus dan mengatur semua makhluk ini selain Allah swt.8
[8] Mengenai tauhid rububiyyah ini Allah swt berfirman, yang artinya:
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)
“Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya
itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘arsy dari apa
yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiya’: 22)
Dan hadits Nabi saw yang artinya:
“Engkau adalah Rabb di langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘alaih)9[9]
2. Tauhid Asma’ wa Shifat
Secara bahasa asma’ merupakan jama’ dari kata ismun yang berarti nama,
sedangkan shifat merupakan jama’ dari kata shifatun yang mempunyai arti sifat.
Adapun secara istilah, tauhid asma’ wa shifat ialah suatu keyakinan yang
menetapkan asma-asma Allah dan sifat-sifat Nya, meniadakan sekutu bagi Nya
dalam asma-asma Nya dan tidak menyerupai asma’ dan sifat-Allah tersebut
dengan makhluk.
8[8] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 20
9[9] Hadits kutipan dari http://aboeaswad.wordpress.com/2010/06/11/macam-macam-
tauhid-dan-faedahnya/
Dalam hal ini syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata: “Manhaj salaf dan
para imam ahlu sunnah mengimani tauhid al asma’ wa shifat dengan menetapkan
apa-apa yang telah Allah tetapkan atas diri Nya dan telah ditetapkan Rasul Nya
bagi Nya, tanpa tahrif atau ta’wil (merubah lafazh nama dan sifat atau merubah
maknanya atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya), ta’thil
(menafikan sifat-sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat
Allah swt), takyif (menerangkan atau mempertanyakan keadaan yang sebenarnya
*hakikat* sifat-sifat Allah swt), dan tamtsil (mempersamakan atau menyerupakan
sifat-sifat Allah swt dengan makhluk Nya)”.10[10] Mengenai hal ini Allah swt
berfirman, yang artinya:
“Hanya milik Allah al Asmaa’ul Husna, maka bermohonlah kepada Nya dengan
menyebut al Asmaa’ul Husna itu…” (QS. Al A’raf:180)
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar” (QS. Asy Syura’: 11)
“Maha Suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka
katakan” (QS. Ash Shaffattt: 180)
3. Tauhid Uluhiyyah.
Secara bahasa kata Uluhiyyah adalah bahasa Arab yang diambil dari kata
ilaah yang artinya yang dituju atau yang disembah. Kata ilaah sendiri berasal dari
kata aliha-ya’lahu, yang bermakna menuju, memohon atau menyembah.11[11]
Adapun secara istilah ialah keyakinan yang teguh bahwa hanya Allah yang berhak
disembah (diibadahi) disertai dengan pelaksanaan pengabdian/penyembahan
kepada Nya saja dan tidak mengalihkan selain dari Nya.12[12] Oleh karenanya
tauhid uluhiyyah ini sering disebut juga sebagai tauhid dalam ibadah.
10[10] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka
Imam Syafi’I, Bogor, 2006, hal 163
11[11] Achmad Chodijim, An Nas (cet-1), PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hal 30
Tauhid ini merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul, dari yang pertama
hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad saw. Selain itu tauhid ini pula yang
menjadi tujuan Allah swt menciptakan jin dan manusia. Allah swt berfirman yang
artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu…” (QS. An Nahl:
36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku,maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al Anbiya’: 25)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5)
B. Kedudukan Tauhid Dan Fungsinya Bagi Kehidupan.
Tauhid merupakan kewajiban pertama dan paling utama yang
diperintahkan Allah swt kepada setiap hambanya. Namun sangat disayangkan
kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti akan hakikat,
kedudukan dan fungsi tauhid tersebut. Padahal tauhid inilah yang merupakan
dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum
muslimin untuk mengerti hakikat, kedudukan dan fungsinya. Hakikat tauhid
adalah mengesakan Allah swt. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
12[12] H. Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, Manhaj ‘Aqidah Imam Syafi’I, Pustaka Imam
Asy Syafi’I, hal 283
pembahasan sebelumnya, tauhid ini terbagi menjadi tiga, yaitu: Tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ wa shifat.
Adapun kedudukannya (tauhid) di dalam Islam sangat tinggi, bahkan
paling tinggi. Berikut ini adalah beberapa keutamaan tauhid, yang dengannya kita
dapat mengetahui betapa tingginya kedudukannya di dalam Islam
1. Tauhid merupakan hak Allah swt yang paling besar atas hamba-hamba Nya. Hal
ini sebagaimana yang terlihat dalam hadits Mu’adz bin Jabal ra. Rasulullah saw
berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba Nya dan
hamba atas Allah?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul Nya yang lebih
mengetahui”. Beliau mengatakan: ”Hak Allah atas hamba Nya adalah mereka
menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatupun”. (HR. Bukhari
dan Muslim)13[13]
2. Tauhid adalah hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah swt berfirman yang
artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)
3. Tauhid merupakan sebab diutusny para Rasul, dan inti serta pembuka dakwah
mereka. Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu…” (QS. An Nahl:
36)
4. Tauhid merupakan sebab diturunkannya kitab-kitab Allah swt.
“1) Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu. 2) Agar kamu tidak menyembah selain Allah.
13[13] Hadits kutipan dari
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiah/aqidah-manhaj/kedudukan-tauhid-dalam-
islam-dan-urgensinya/
Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar
gembira kepadamu dari Nya ” (QS. Hud: 1-2)
5. Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Allah saw berfirman
yang artinya:
“Dan sesungguhny telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Allah) niscaya akan hapuslah amalmu
dan teneulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar: 65)
6. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindung dari
neraka. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, yang artinya:
“Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada Ilah yang
benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga” (HR. Muslim: 26)
“Sesungguhny Allah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang berkata
laa ilaaha illallah, mencari wajah Allah dengannya (ikhlas)” (HR. Bukhari: 425)
Selanjutnya fungsi tauhid bagi kehidupan. Dalam hal ini syaikhul Islam
ibnu Taimiyah ra mengatakan: “Orang yang mau mentadabburi keadaan alam
akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan
beribadah kepada Allah swt serta taat kepada Rasulullah saw. Sebaliknya semua
kejelekan di muka bumi ini: fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-
lain penyebanya adalah menyelisihi Rasulullah saw dan berdakwah (mengajak)
kepada selain Allah swt. Orang-orang yang mentadabburi hal ini dengan
sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini, baik dalam dirinya
maupun di luar dirinya.” (Majmu’ fatawa 15/25)14[14]
Dari perkataan Ibnu Taimiyah tersebut kita dapat mengetahui bahwa
tauhid merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan ini. Sampai-sampai ia
mengatakan bahwa pada dasarnya sumber kebaikan di muka bumi ini adalah
ketauhidan. Dan sebaliknya, sumber keburukan di muka bumi seperti fitnah,
musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain pada dasarnya dikarenakan
ketidak tauhidan manusia kepada Allah swt.
14[14] Anonim. Tauhid. Http:id.wikipedia.org/wiki/Tauhid. Diakses 8 Juni 2011
Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang
sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas yang kesemuanya
merupakan ibadah kepada Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit
(ibadah murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan akidah tauhid
merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi
manusia.15[15] Oleh karenanya, nampak jelas bahwa tauhid memberikan dampak
posoitif bagi kehidupan manusia. Bila setiap individu memiliki komitmen tauhid
yang kukuh dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan yang besar untuk
membangun dunia yang lebih adil, etis dan dinamis.
III. Islam
A. Definisi Islam
Secara etimologi istilah Islam diambil dari bahasa Arab, aslama-yuslimu-
islaaman, yang berarti berserah diri, patuh, taat, tunduk. Pengertian ini menuntut
pemeluknya untuk berserah diri, tunduk, patuh dan taat kepada ajaran, tuntunan,
petunjuk dan peraturan hukum Allah swt.16[16]
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (QS.
Ali ‘Imron: 83)
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan…”
(QS. An Nisa’: 125)
15[15] Ihsan Ali Fauzi, Membumikan Al qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka, 2002, hal 51-52
16[16] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, Pendidikan Agama Islam,
Grasindo, Surabaya, 2009, hal 15-16
Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa kata Islam itu diambil dari
kata assalam yang artinya selamat, kemudian dari selamat inilah menjadi
mempunyai pengertian silm atau salm yaitu kedamaian, kesejahteraan, kepatuhan
dan penyerahan diri kepada Tuhan.17[17]
Adapun secara terminologi, Isalam berarti ketundukan dan kepatuhan
kepada peraturan-peraturan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad
saw untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun
di akhirat.18[18] Dari pengertian inilah agama Islam berarti agama yang
diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril
dengan tujuan agar manusia patuh dan tunduk kepada Nya serta supaya manusia-
manusia di dunia dan di akhitar mengalami kesejahteraan hidup.19[19]
B. Sumber-sumber ajaran Islam
Sumber ajaran Islam ialah wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al qur’an
dan Al sunnah Rasul saw. Dari kedua sumber inilah kita dapat mengetahui ajaran
Islam secara otentik. Tidak ada alternatif lain bagi seorang muslim kecuali
berpegang teguh dan kembali pada dua sumber ajaran agama itu.
Dalam ajaran agama Islam, alqur’an merupakan sumber hukum (ajaran)
Islam yang pertama dan paling utama. Ia adalah kitab suci yang memuat wahyu
(firman-firman) Allah swt, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Nya, sedikit demi sedikit selama 22 tahun
2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah untuk menjadi
pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya
17[17] Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, SH, Ilmu Dan Teknologi Dalam Islam
(cet-2), PT Rineka ipta, Jakarta, 1992, hal 6
18[18] Choiruddin Hadhuri, SP, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an Jilid 1, Gema Insani
Press, Jakarta, hal 74
19[19] Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, loc cit, hal 7
mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak.20[20]
Sedangkan Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua. Kedudukannya
sebagai sumber sesudah al qur’an adalah disebabkan karena kedudukannya
sebagai juru tafsir, yaitu untuk menjelaskan maksud al qur’an dan melengkapi
ajarannya, karena sebagai sumber utama, al qur’an tidak pantas memuat segala
masalah secara terinci.21[21] Dalam hal ini al qur’an menunjuk suunah sebagai
pedoman yang harus dipatuhi. Allah swt berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul Nya, dan
janganlah kamu berpaling dari Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah
Nya)” (QS. Al Anfal: 20)
Selain ayat tersebut, tidak sedikit ayat-ayat yang memerintahkan umat
Islam agar menjadikan sunnah sebagai pedoman di dalam hidupnya.
C. Ruang Lingkup ajaran Islam.
Pada garis besar Islam sebagai suatu sistem terdiri atas komponen-
komponen yang berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, dan ini bisa
dikatakan merupakan ruang lingkup ajaran Islam. Dalam hal ini Endang Saifuddin
Anshori dalam bukunya “Kuliah Al Islam” membagi ruang lingkup ajaran Islam
menjadi tiga bagian, yaitu Akidah, Syari’ah dan Akhlak.22[22]
1. Akidah.
Menrut etimologi akidah artinya ikatan, janji. Sedangkan menurut
terminologi akidah ialah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang
20[20] Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan tata
hukum Islam di Indonesia), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 78-79
21[21] Dr. Bustanuddin Agus, MA, Al Islam (buku pedoman kuliah mahasiswa untuk
mata pelajaran pendidikan agama Islam), PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993, hal
78
22[22] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, loc cit, hal 19
membuat jiwa tenang da menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan
keragu-raguan.
Akidah di dalam al qur’an disebut dengan iman, yang artinya
membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan
amal perbuatan (semua anggota badan). Adapun ruang lingkup iman ada enam,
yaitu iman kepada Allah, Iman kepada malaikat-malaikat Nya, iman kepada kitab-
kitabnya, iman kepada rasul-rasul Nya, iman kepada hari kiamat dan iman kepada
qadha dan qadar.23[23]
2. Sayri’ah.
Menrut etimologi syari’ah artinya jalan, aturan. Sedangkan menurut
terminologi syari’ah ialah norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam
semesta.24[24] Oleh karenanya syari’ah merupakan segala bentuk peribadaan, baik
yang berupa ibadah khusus (‘ubudiyah) seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, haji
maupun ibadah umum (mu’amalah) seperti hukum-hukum publik, hukum perdata,
dll.25[25]
3. Akhlak
Dalam pandangan Islam tujuan utama kedatangan Nabi Muhammad saw
adalah “Menyempurnakan akhlak manusia”, hal ini dijelaskan oleh beliau saw
sendiri:
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak” (HR.
Ahmad dan Bukhari)
23[23] Ibid
24[24] Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam (pokok-pokok fikiran tentang
Islam dan ummatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 26
25[25] Http://stkip.files.wordpress.com/2011/05/pendidikan-agama-Islam.pdf
Oleh karenanya itu bisa dikatakan bahwa tujuan agama Islam dengan
segala ajarannya adalah membangun manusia yang berakhlak luhur. Dengan
demikian masalah pembinaan akhlak merupakan hal yang amat penting, sebab
akhlak menyangkut martabat seseorang. Tanpa akhlak yng luhur manusia
dianggap tidak berbeda dengan-malah mungkin lebih rendah dari binatang.
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Secara terminologis ada
beberapa definisi. Misalnya menurut imam Al Ghazali, akhlak adalah sifat yang
tertanan dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.26[26]
Ruang lingkup akhlak yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan
seorang muslim adalah:
a. Akhlak kepada Allah
b. Akhlak pada sesama manusia
c. Akhlak pada alam semesta.27[27]
IV. Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Ikhlas (Suatu kajian filosofis)
Dalam konsep keTuhanan, Islam adalah suatu agama yang menyerukan
pada ketauhidan. Hal ini sangat terlihat jelas di dalam sumber-sumber ajarannya,
yaitu salah satunya adalah yang tertera di dalam al qur’an pada surat al ikhlas ayat
1-4:
1. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa;
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya segala sesuatu;
26[26] Solihin, Yes I am Muslim, Gema Insani, hal 89
27[27] Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, loc cit, hal 20
3. Dia tidak beranak dtidak pula diperanakan;
4. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Nya.
Di dalam kitab suci al qur’an, surat ini adalah surat yang ke 112 dari 114
surat, dan ia termasuk ayat-ayat Makkiyah. Surat ini memang tidak panjang
sehingga sangat mudah sekali untuk menghafalnya. Kendati demikian, kandungan
atau makna yang terdapat di dalamnya sangatlah luas sekali, dan bisa dikatakan
surat ini dapat mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan.
Al kisah, pada zaman Rasul saw ada seorang lelaki mendengar seseorang
membaca “qul huwallaahu ahad” secara berulang-ulang. Lelaki itu lantas
mendatangi Rasul saw dan menceritakan kejadian yang baru dilihatnya dengan
nada seakan meremehkan surat al Ikhlas. Mendengar cerita tersebut Rasul saw
lantas bersumpah atas nama Allah, bahwa al ikhlas sesungguhnya memiliki nilai
sebanding dengan sepertiga al qur’an (HR. Bukhari).
Dalam hadits yang lain, bahwa Rasul saw bersabda ”...Barang siapa yang
membaca surat al Ikhlas tiga kali, ia seperti mambaca seluruh al qur’an (Tafsir
Nur Ats-tsaqalayn 5/702)”)
Secara garis besar al qur’an berisikan tauhid, kisah dan hukum. Surat al
ikhlas berisikan tauhid, itulah sebabnya surat ini memiliki keutamaan yang
istimewa sesuai dengan sabda Rasul saw yang telah disebutkan di atas, yang
mengibaratkan membaca satu kali surat al ikhlas berarti telah membaca sepertiga
al qur’an.
Ayat 1: “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”
Apabila dikaji secara filosofis, kandungan tauhid yang terdapat di dalam
ayat ini memberi penjelasan bahwa Allah swt adalah Maha Tunggal, Esa (ahad).
Menurut Imam Ath-Thabarasy di dalam kitab tafsirnya “Majma’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an”, dikatakan bahwa penggunaan kata
“ahad” bukan dengan “wahid” itu dikarenakan wahid termasuk
ke dalam kata “hisab” atau hitungan, sedangkan ahad itu berarti
dzat Nya tidak terdiri dari dari rangkaian.. Kita boleh menjadikan
bagi wahid itu dua dan seterusnya., akan tetapi kita tidak boleh
menjadikan bagi ahad itu dua dan seterusnya.28[28]
Oleh karena itu ayat ini memberi penjelasan kepada kita
bahwa Allah itu bukan saja hanya wahid, tp Dia juga ahad. Tidak
ada sekutu bagi Nya, dan Dia berdiri sendiri, bukan seperti senyawa
ataupun molekul yang terdiri dari berbagai unsur, air misalnya yang terdiri dari
H2O, yang meliputi unsur Hidrogen dan Oksigen. Demikian pula garam, Nachl,
yang terdiri dari natrium dan kloroda.
Dari penjelasan tersebut keEsaan Allah swt yang terkandung di dalam
surat al Ikhlas ayat pertama ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
KeEsaan Allah swt pada dzat Nya (tauhid dzati)
KeEsaan Alah swt pada sifat Nya (tauhid sifat)
KeEsaan Allah pada perbuatan Nya (tauhid af’ali)29[29]
1. Tauhid dzati (keEsaan Allah swt pada dzat Nya)
Tauhid dzati dalam istilah bermakna bahwa dzat Allah swt adalah satu,
tidak satupun “mitsl” (serupa), sekutu dan yang setara dengan Nya.apabila dikaji
secara mendalam tauhid dzati mempunyai makna yang lebih luas disamping
makna yang disebutkan di atas. Tauhid ini meliputi:
28[28] Anonim. Tafsir Surat Al Ikhlas.
http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/11/tafsir-surat-al-ikhlas.html. Diakses 8
November 2010
29[29] Anonim. Monotheisme Dalam Islam 2.
Http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/17/monotheisme-dala m-Islam-2/. Diakses 17-
11-2007
a. Penafian akan adanya sekutu bagi Allah swt (tauhid wahidi)
b. Penafian akan adanya rangkaian-rangkaian/rangkapan pada dzat Allah
(tauhid ahadi)30[30]
Allah swt adalah Esa, dan tidak ada sekutu bagi Nya. Apabila diasumsikan ada
dua Tuhan (wajib al wujud), maka ada dua kemugkinan:
Kemungkinan pertam: Salah satu dari dua Tuhan memiliki kesempurnaan
mutlak. Sedangkan tuhan yang satunya tidak sempurna, terbatas, dan memiliki
kekurangan. Dari dua kemungkinan ini sangat jelas, bahwa Tuhan hakiki adalah
Tuhan yang memiliki kesempurnaan mutlak. Adapun tuhan yang kedua pasti
bukan Tuhan, karena ia memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, berdasarkan
kemungkinan pertama, ia menolak kejamakan Tuhan/adanya sekutu bagi Tuhan
dan menegaskan keEsaan Tuhan.
Kemungkinan kedua: Masing-masing dari kedua Tuhan memiliki
kekurangan/ketidak sempurnaan, sehingga untuk menutupi kekurangannya
mereka saling melengkapi (bekerja sama). Kemungkinan ini sangat mustahil,
karena zdat Tuhan suci dari berbagai bentuk ketidak sempurnaan.31[31]
Dalam menafikan adanya sekutu bagi Allah, Allah swt berfirman:
“Kalau sekiranya ada beberapa Tuhan di langit dan di bumiselain Allah,
niscaya binasalah keduanya. Maka MahaSuci Allah yang mempunyai ‘arsy dari
apa yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiya’: 22)
30[30] Ibid
31[31] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat.
http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/.
Diakses 23-11-2007
Demikian Allah swt memberikan tuntunan berfikir terhadap hamba Nya
tentang keMaha Esaan Nya. Andaikata ada dua Tuhan di dunia maka pada suatu
saat pasti terjadi perebutan kekuasaan atau suatu persaingan, sedang mereka
adalah pemilik kekuatan luar biasa (Maha Perkasa), maka siapakah yang akan
menetralisir suasana??? Jika tidak ada sesuatu yang menjadi penengah di dalam
kasus perselisihan itu, maka tidak ada kemungkinan lain kecuali kehancuran yang
bakal terjadi.32[32]
Selanjutnya Allah swt Esa, yang tidak memiliki rangkaian. Dalam hal ini
salah satu filosof Islam yaitu Al Kindi, ia berpendapat bahwa Allah swt tidak
mempunyai hakikat ‘aniah dan mahiah.tidak ‘aniah karena Allah bukan benda
yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di ala
mini. Allah tidak tersusun dari materi (al hayula) dan bentuk (al shurat). Akan
tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah (universal)
karena Allah tidak merupakan genus atau spesies.33[33] Mahiah adalah sesuatu
yang terbatas, karena wujudnya dapat dikonsepsi. Karena Allah swt tak terbatas,
maka tak memiliki mahiah.
Kesimpulan dari uraian tersebut, bahwa akal hanya mampu mengurai dan
menganalisis adanya kuiditas dan wujud pada maujud-maujud terbatas. Adapun
wujud Allah adalah wujud murni yang tak bercampur dengan sesuatu apapun,
termasuk kuiditas (mahiah).34[34] Oleh karena itu, bagi Al Kindi Allah adalah
unik.35[35] Dalam hal ini Rasul saw bersabda: “Berfikirlah kalian akan makhluk
Allah, dan janganlah kalian berfikir akan dzat Allah” (Al Hadits)
32[32] Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, loc cit, hal 25
33[33] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 51
34[34] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat.
http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/.
Diakses 23-11-2007
35[35] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Op cit
2. Tauhid dalam sifat sifat (KeEsaan Allah swt pada sifat Nya)
Di dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai kesatuan sifat dan dzat
Allah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah swt niscaya memliki sifat-sifat
yang sempurna, karena ketidak sempurnaan tersebut menandakan keterbatasan
dan kebutuhan. Allah swt bebas dari keterbatasan dan kebutuhan, oleh karenanya
sifat-sifat seperti hidup, ilmu, kudrat, kehendak dan sebagainya dimiliki oleh
Allah swt dalam bentuk yang paling sempurna, mutlak dan tak terbatas.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sifat-sifat tersebut mandiri dan
tidak menyatu dengan dzat Allah swt? Ataukah sifat-sifat tersebut sebelumnya
terpisah dari dzat Allah swt dan kemudian menyatu dengan dzat Nya?? Dibawah
ini ada dua argumen yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:
Argumen pertama, ini berpijak pada dua mukadimah:
a. Kesempurnaan wujud Allah juga meniscayakan kesempurnaan sifat-sifat Nya.
b. Kesempurnaan sifat Nya berarti dzat menyatu dengan sifat. Dia tidak perlu sifat di
luar dari dzat Nya. Sifat-sifat yang ada pada Nya berasal dari dzat Nya sendiri.36
[36]
Kesimpulan dari dua mukadimah tersebut adalah: kesempurnaanAllah
meniscayakan dzat suci Nya tak perlu pada sifat-sifat di luar dari dzat Nya. Oleh
karena itu, argumen ini membuktikan bahwa dzat dan sifat Nya adalah satu.
Argumen kedua, ini berpijak pada mukadimah sebagai berikut:
Dzat Allah swt adalah wajib al wujud dan sebab dari seluruh sebab.
Seluruh maujud-maujud selain Nya adalah akibat dari wajib al wujud. Seluruh
36[36] Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat.
http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/.
Diakses 23-11-2007
kesempurnaan akibat seperti hidup, ilmu, kudrat dan iradat, dalam bentuknya
lebih sempurna ada pada sebab. Karena sesuatu yang tidak dimiliki oleh sebab,
tidak mungkin diberikan kepada akibat. Jadi, mustahil sifat-sifat Allah swt itu
berada di luar dzat Nya. Karena hal itu akan meniscayakan ketidak adaan sifat dan
berefek pada ketidak sempurnaan dzat Nya.
Kedua mukadimah pertama di atas, terbukti bahwa dzat Allah swt
memiliki seluruh kesempurnaan. Dan dengan menambahkan mukadimah terakhir,
dihasilkan konklusi terakhir bahwa sifat-sifat Allah swt tidak di luar dzat Nya,
akan tetapi manunggal dengan dzat Nya.
Dari dua argumen yang telah diuraikan, terbukti bahwa dzat Allah dan
sifat-sifat Nya bukan dua subyek yang berbeda tetapi satu realitas. Perbedaannya
hanya pada tataran konsepsi (pemahaman).37[37]
3. Tauhid af’ali (keEsaan Allah swt dalam perbuatan Nya)
a. Tauhid dalam penciptaan
Secara garis besar tauhid dalam penciptaan bermakna, meyakini bahwa
pencipta yang hakiki (sesungguhnya) adalah Allah swt. Adapun pencipta yang
dihasilkan oleh seluruh keberadaan selain Allah swt berada dalam lingkaran
penciptaan Allah swt, karena Allah swt causa prima (sebab pertama) dari segala
sesuatu, dan semuanya itu tunduk pada iradah (keinginan/kehendak) Allah swt.
Dengan demikian adalah Khalik (Sang Pencipta) dan seluruh keberadaan selain
Nya adalah makhluk (ciptaan Nya), baik melalui perantara maupun tidak.
b. Tauhid dalam pengaturanMeyakini bahwa hanya Allah swt-lah yang mengatur alam semesta beserta
isi-isinya, ini juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dalam hal ini ada
dua argumentasi yang tidak akan mungkin dibantah dan pasti akan diterima oleh
akal sehat, yaitu:
37[37] Ibid
Argument pertama: Pengaturan merupakan kemestian dari kepemilikan
hakiki. Jika suatu maujud bukan pemilik hakiki atas maujud lain, maka ia tidak
akan dapat mengaturnya secara hakki dan mandiri. Kepemilikan hakiki
merupakan keniscayaan dari pencipta hakiki. Karena wujud ciptaan beserta
seluruh kondisi-kondisi wujudnya berasal dari penciptanya, maka dari itu
pengaturan merupakan konsekuensi dari penciptaan. Karena Allah adalah satu-
satunya pencipta hakiki dan mandiri, maka seluruh ciptaan-ciptaan di alam raya
ini berada pada pengaturan Nya. Tak ada maujud lain selain Nya yang memiliki
pengaturan hakiki dan mandiri kecuali hanya bersifat nisbi dan relatif.
Argumen kedua: Jika diasumsikan terdapat pengatur-pengatur yang
beragam di alam eksistensi ini yang mana mempunyai derajat yang sama dalam
pengaturan dan secara mandiri mengatur perkara-perkara alam ciptannya, maka
konsekuensi dari asumsi itu adalah berlakunya system yang khusus di alam ini.
Tetapi sebagaimana yang kita saksikan sendiri di alam ini, yakni berlakunya suatu
sistem yang harmonis dan seimbang antara ciptaan-ciptaan dan perkara-perkara
yang terdapat di dalamnya berjalan seiring dan teratur. Realitas ini menjadi saksi
dan bukti yang sangat kuat tentang adanya satu sistem pengaturan di bawah
pengatur hakiki dan mandiri, Dialah Allah swt.38[38]
Mengenai argumen yang kedua ini, Ibnu Rusyd (salah satu filosof muslim)
dalam bukunya “Manaahij Al Addillah” mengatakan bahwa: Tatanan alam
dibuktikan (diungkapkan) melalui harmoni yang bisa dilihat pada bagian-
bagiannya dan pada benda-benda yang ada di dalamnya. Ia tidak hanya harmoni
permukaan dan lahirnya saja, tetapi juga harmoni dalam batin dan intinya, yang
mengingatkan kita kepada tujuan internal seperti yang dikatakan oleh Kant (1804
M) dari kalangan modern. Harmoni ini bukan kebetulan an sich, tetapi merupakan
ciptaan Tuhan Yang Maha Pengatur dan Bijak. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa
“Ciptaan pasti ada yang menciptakan, dan gerak pasti ada yang menggerakkan.
Pencipta dan penggerak itu adalah Allah Jalla Sya’nuhu”39[39]
38[38] Ibid
39[39] Drs. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran Dan Teori Filsafat Islam (Cet-3), Bumi Aksara,
Jakarta, 2004, hal 119
Demikianlah penjelasan filosofis tentang keEsaan Allah swt yang
terkandung di dalam surat al ikhlas ayat 1 “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha
Esa”. Di sini terlihat jelas bahwa Allah swt adalah dzat yang Esa serta memiliki
sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu hanya Dialah yang layak untuk
disembah. Adapun keberadaan-keberadaan yang lain selain Nya, karena ketidak
sempurnaan, kelemahan, dan kekurangan serta ketergantungan maka tidak layak
untuk menjadi dzt yang disembah.
Ayat 2: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya segala sesuatu”Ayat ini menjelaskan bahwa semua makhluk ciptaan Allah swt bergantung
kepada Nya. Allah adalah pencipta segala sesuatu baik melalui perantara maupun
tidak, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah swt adalah
causa prima (sebab pertama) dari segala sesuatu. Oleh karena itu semua maujud-
maujud selain Nya adalah faqir, bergantung dan butuh kepada Nya.40[40]
Kefakiran makhluk-makhluknya bisa dilihat dari berbagai aspek
kehidupannya, semua makhluk berdo’a/berhasrat kepada Nya. Tidak hanya itu,
bahkan keberadaannyapun butuh (bergantung) pada Khalik, Allah swt. Dialah
tujuan dari segala makhluk (berasal dari Nya dan akan kembali kepada Nya). Dia
Maha Sempurna, Yang Maha Mengetahui dan sempurna dalam ilmu-ilmu Nya,
Yang Maha Lembut dan sempurna dalam kelembutan Nya. Kasih sayang Nya
meliputi segala sesuatu, demikian juga segala sifat yang dimiliki Nya
Ayat 3: “Dia tidak beranak dan tidak diperanakan”Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt tidak mempunyai anak karena Dia
adalah dzt Yang Maha Mulia dan Maha Agung, tidak ada yang setara dengan Nya.
Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuany. Hal ini sebagaimana
sabda Nabi saw kepada putrinya Fathimah: “Ia adalah bahagian dari diriku”
Allah swt tidak ada yang serupa dengan Nya. Anak merupakan salah satu
kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun untuk
menjaga kesinambungan keturunan. Dalam hal ini, Allah swt tidak memerlukan
itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang serupa dengan Nya,
dan Allah swt tidak memerlukan sesuatu apapun dari makhluk Nya.41[41] Tidak
40[40] Ibid
41[41] Anonim. Http://www.almanhaj.or.id. Diakses …
ada perlunya bagi Allah mempunyai anak, istri atau orang tua. Hal ini karena sifat
ketunggalan Nya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ayat 4: “Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Nya”Ayat ini memliki kandungan bahwa tidak ada sesuatupun yang menyamai
seluruh sifat-sifat Nya (dzat dan perbuatannya). Hal ini dikarenakan Allah swt
adalah Khalik (wajib al wujud) yang tidak terbatas dan memiliki kesempurnaan
mutlak, sedangkan selain Nya adalah makhluk (mumkin al wujud) yang memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas tersebut
dapat menyamai Allah swt Yang Maha Sempurna???
KESIMPULAN Islam adalah agama tauhid. Kedudukan tauhid di dalam Islam sangatlah
tinggi, bahkan merupakan yang paling tinggi. Kedudukannya yang begitu tinggi,
ini dikarenakan tauhid merupakan hak Allah swt yang paling besar atas hamba-
hamba Nya, sebagaimana yang terlihat dari hadits Mu’adz bin Jabal ra.
Rasulullah saw berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas
hamba Nya dan hamba atas Allah?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul Nya yang
lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: ”Hak Allah atas hamba Nya adalah
mereka menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatupun”. (HR.
Bukhari dan Muslim
Secara bahasa tauhid artinya mengesakan, sedangkan secara istilah berarti
mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur, dan
mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada Nya, meninggalkan
penyembahan kepada selain Nya serta menetapkan asma’ul husna (nama-nama
yang bagus) dan sifat al ulya (sifat-sifat yang tinggi) bagi Nya dan mensucikan
Nya dari kekurangan dan cacat. Dalam hal ini, mayoritas para ulama membagi
tauhid menjadi tiga bagian, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid asma’ wa shifat dan
tauhid uluhiyyah (tauhid dalam ibadah). Hal ini mungkin dilakukan demi
mempermudah pemahaman tentang tauhid itu sendiri.
Surat al Ikhlas adalah sebagian isi dari kitab suci al qur’an yang
membicarakan tentang katauhidan. Kendati isi suratnya tidak panjang, namun
makna yang terdapat di dalamnya sangat luas sekali, dan bisa dikatakan surat ini
dapat mewakili ajaran Islam itu sendiri dalam hal ketauhidan. Jika dikaji secara
filosofis, isi kandungan dari surat ini ternyata sudah melingkupi seluruh sisi
keEsaan Allah swt, baik itu tauhid rububiyyah, tauhid asma’ wa shifat dan tauhid
uluhiyyah.
Secara garis besar al qur’an berisikan tauhid, kisah dan hukum.
Kandungan yang terdapat di dalam surat al ikhlas, ternyata sudah bisa mewakili
ajaran-ajaran tauhid yang ada di seluruh isi al qur’an tersebut. Mungkin itulah
sebabnya surat ini memiliki keutamaan yang istimewa sesuai dengan sabda Rasul
saw ”...Barang siapa yang membaca surat al Ikhlas tiga kali, ia seperti mambaca
seluruh al qur’an (Tafsir Nur Ats-tsaqalayn 5/702)”)
“...bahwa al ikhlas sesungguhnya memiliki nilai sebanding dengan sepertiga al
qur’an.” (HR. Bukhari).
DAFTAR REFERENSI
1. Drs. Abu Tholib Khalik, M.Hum, Sebuah Essay Ringkas Tentang Tuhan Dan
Alam Menurut Filosof Dan Al Qur’an, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan,
Bandar Lampung
2. Drs. Nasruddin Razzak, Dienul Islam, PT Al Ma’arif, bandung, 1996
3. Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan pranata sosial kemasyarakatan, PT Remaja
Rosda Karya, Bandung, 2002
4. Sutisna Senjaya. Pengetian Tauhid. Http://Sutisna.com/artikel/artikel-keislaman/p
engertian-tauhid/. Diakses 22 Maret 2010
5. M.’Abdul Ghaffar E.M, Hal-hal yang wajib diketahui setiap muslim, Pustaka
Imam Asy Syafi’I, Jakarta, 2007
6. Abu Bakar Al Jazairi, Akidah Mukmin, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2002
7. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996
8. Wiwit Hardi Priyanto. Macam_macam Tauhid Dan Faedahnya. Http://aboeaswad.
wordpress.com/2010/06/11/macam-macam-tauhid-dan-faedahnya/. Diakses 23
Mei 2010
9. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,
Pustaka Imam Syafi’I, Bogor, 2006
10. Achmad Chodijim, An Nas (cet-1), PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008
11. H. Nabhani Idris dan Saefudin Zuhri, Manhaj ‘Aqidah Imam Syafi’I, Pustaka
Imam Asy Syafi’I
12. Al ustadz Abdurrahman Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, Kedudukan
Tauhid Dalam Islam Dan Urgensinya. Http://akhwat.web.id/muslimah-salafiah/a
qidah-manhaj/kedudukan-tauhid-dalam-islam-dan-urgensinya/. Diakses 20
Jumada al ula 1430 H
13. Anonim. Tauhid. Http:id.wikipedia.org/wiki/Tauhid. Diakses 8 Juni 2011
14. Ihsan Ali Fauzi, Membumikan Al qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka, 2002
15. Wahyuddin, Achmad, M.Ilyas, M.Saifullah, Z.Muhibbin, Pendidikan Agama
Islam, Grasindo, Surabaya, 2009
16. Drs. Rohadi Abdul Fattah dan Drs Sudarsono, SH, Ilmu Dan Teknologi Dalam
Islam (cet-2), PT Rineka ipta, Jakarta, 1992
17. Choiruddin Hadhuri, SP, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an Jilid 1, Gema Insani
Press, Jakarta
18. Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan
tata hukum Islam di Indonesia), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
19. Dr. Bustanuddin Agus, MA, Al Islam (buku pedoman kuliah mahasiswa untuk
mata pelajaran pendidikan agama Islam), PT Raja Grafindo persada, Jakarta,
1993
20. Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam (pokok-pokok fikiran tentang
Islam dan ummatnya), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
21. Http://stkip.files.wordpress.com/2011/05/pendidikan-agama-Islam.pdf
22. Solihin, Yes I am Muslim, Gema Insani
23 Anonim. Tafsir Surat Al Ikhlas. Http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2010/11/
tafsir-surat-al-ikhlas.html. Diakses 8 November 2010
24. Anonim. Monotheisme Dalam Islam 2. Http://Isyraq.wordpress.com/2007/11/17/
monotheisme-dala m-Islam-2/. Diakses 17-11-2007
25. Anonim. Monotheisme Dalam Tinjauan Filsafat. http://Isyraq.wordpress.com/20
07/11/23/monothe isme-dalam-tinjauan-filsafat/. Diakses 23-11-2007
26. Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007
27. Drs. Yudian Wahyudi Asmin, Aliran Dan Teori Filsafat Islam (Cet-3), Bumi
Aksara, Jakarta, 2004
Top Related