I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

21
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang perkembangan wilayahnya cukup pesat. Hal ini disebabkan predikat provinsi ini sebagai kota pendidikan, kota budaya dan daerah tujuan wisata. Keberagaman predikat itu menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk dari seluruh pelosok nusantara masuk ke Yogyakarta. Mereka menjadi motor penggerak perkembangan perekonomian. Tetapi, di sisi lain mereka juga membutuhkan sarana dan prasarana seiring dengan pengembangan industri pendidikan, pariwisata dan jasa-jasa lainnya yang juga membutuhkan sarana dan prasarana pendukung. Alih fungsi lahan menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan lagi dalam upaya pemenuhan sarana dan prasarana di Yogyakarta. Data Kanwil BPN D.I. Yogyakarta menyebutkan bahwa dalam durasi tahun 2000, 2003, dan 2005 terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah, tegal, lahan kosong ke permukiman, jasa dan usaha, rata-rata seluas 73,899 Ha. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Sleman selalu menjadi wilayah terluas dalam alih fungsi lahan. Sebagai contoh, pada tahun 2005, dari alih fungsi lahan seluas 76,5834 Ha, sebagian besar (48,4% atau 37,0743 Ha) terjadi di Sleman (Tabel 1.1).

Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang perkembangan

wilayahnya cukup pesat. Hal ini disebabkan predikat provinsi ini sebagai kota

pendidikan, kota budaya dan daerah tujuan wisata. Keberagaman predikat itu menjadi

daya tarik tersendiri bagi penduduk dari seluruh pelosok nusantara masuk ke

Yogyakarta. Mereka menjadi motor penggerak perkembangan perekonomian. Tetapi,

di sisi lain mereka juga membutuhkan sarana dan prasarana seiring dengan

pengembangan industri pendidikan, pariwisata dan jasa-jasa lainnya yang juga

membutuhkan sarana dan prasarana pendukung.

Alih fungsi lahan menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan lagi dalam

upaya pemenuhan sarana dan prasarana di Yogyakarta. Data Kanwil BPN D.I.

Yogyakarta menyebutkan bahwa dalam durasi tahun 2000, 2003, dan 2005 terjadi

perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah, tegal, lahan kosong ke permukiman,

jasa dan usaha, rata-rata seluas 73,899 Ha. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Sleman

selalu menjadi wilayah terluas dalam alih fungsi lahan. Sebagai contoh, pada tahun

2005, dari alih fungsi lahan seluas 76,5834 Ha, sebagian besar (48,4% atau 37,0743

Ha) terjadi di Sleman (Tabel 1.1).

2

Tabel 1.1. Perubahan Penggunaan Lahan (Ha)

Kabupaten/Kota 2000 2003 2005 Luas Wilayah

Yogyakarta 6,1781 0,5431 3,0119 3.250

Sleman 39,0561 43,2952 37,0743 57.482

Bantul 13,2760 7,5797 19,1324 50.685

Kulon Progo 6,7860 8,2234 4,8152 58.627

Gunungkidul 7,4118 12,4946 12,8196 148.536

Jumlah 72,7080 72,136 76,8534

Sumber: Laporan Kegiatan Operasional Penatagunaan Lahan Tahun, 2000, 2003,

2005 Kanwil BPN Provinsi D.I. Yogyakarta.

Data alih fungsi lahan ini didukung dengan kemorosotan luas sawah di DIY.

Dalam durasi tujuh tahun sejak tahun 2000 – 2007 telah terjadi pengurangan luas

sawah di DIY sebesar 648,114 Ha dengan Sleman sebagai kabupaten tertinggi yang

mencapai 282,98 Ha atau 43,7% dari total D.I. Yogyakarta. Dengan demikian rata-

rata per tahun penyusutan luas lahan sawah di Sleman mencapai 40,43 Ha.

Tabel 1.2. Luas Sawah di Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta (Ha)

Kabupaten/Kota 2000 2003 2005 2006 2007

Yogyakarta 244 231,30 222,81 134,0517 134,0517

Sleman 25.410 25.329,54 25.207,44 25.170 25.127,0193

Bantul 16.355 15.923,95 15.903,59 16.600 16.130,4887

Kulon Progo 10.758,29 10.606,72 10.598,49 10.598 10.729,61

Gunungkidul 7.597 7.597 7.596 7.596 7.595,0063

Jumlah 60.364,29 59.688,51 60.098,052 59.716,176 59.716,1760

Sumber: Laporan Kegiatan Operasional Penatagunaan Lahan Tahun, 2000, 2003,

2005, 2007, Kanwil BPN Provinsi D.I. Yogyakarta.

Jika ditelusuri lebih lanjut ke tahun-tahun berikutnya, penurunan luas lahan

sawah di Sleman terus terjadi. Dalam durasi dua belas tahun sejak tahun 2000 sampai

dengan 2012, lahan sawah telah berkurang sebesar 636 Ha, atau rata-rata 53 Ha per

tahun.

3

Tabel. 1.3. Luas Lahan Sawah kabupaten Sleman Tahun 2000 – 2012

No. Tahun Luas (Ha)

1. 2000 25.410,00

2. 2003 25.329,54

3. 2005 25.207,44

4. 2006 25.170,00

5. 2007 25.127,02

6. 2009 24.983,27

7. 2010 24.889,61

8. 2011 24.849,96

9. 2012 24.774,00

Sumber: Diolah dari data Laporan Kegiatan Operasional

Penatagunaan Lahan Tahun, 2000, 2003, 2005, 2007,

Kanwil BPN Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Sleman dalam

angka 2013.

Pesatnya perubahan alih fungsi lahan di Kabupaten Sleman jika tidak segera

ditangani secara serius akan menimbulkan banyak masalah, baik secara sosial,

ekonomi, ekologis, dan politis. Permasalahan dari sisi sosial dan ekonomi akibat alih

fungsi lahan merupakan fokus dalam penelitian ini. Ditinjau dari aspek sosial,

perkembangan kota berakibat pada pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah

pinggiran kota (urban fringe) yang ditandai dengan perembetan kenampakan fisik

kekotaan ke arah luar (urban sprawl). Akibatnya, masyarakat pedesaan semakin

terdesak oleh perkembangan kota sehingga terjadi tekanan sosial-budaya atas

masuknya budaya, pola relasi, pola produksi ala kota ke desa. Ketidaksiapan

menerima perubahan akan menimbulkan guncangan budaya (culture shock) pada

masyarakat desa. Selain itu, konflik horisontal juga potensial terjadi karena

banyaknya para migran yang masuk ke wilayah urban fringe. Data Biro Pusat

Statistik Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa dalam durasi tiga tahun dari 2005 –

4

2007 telah terjadi migrasi masuk sebanyak 49.627 jiwa dan migrasi keluar sebanyak

26.101 jiwa.

Secara ekologis, perkembangan wilayah yang tidak terkontrol akan memacu

terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang bertolak belakang

dengan upaya mempertahankan swasembada pangan dan pembangunan

berkelanjutan/sustainable development. Gambar 1.1. menunjukkan bahwa dalam

durasi tahun 2000-2005, Kabupaten Sleman merupakan daerah penyangga pangan di

DI.Yogyakarta sebagai penghasil padi terbesar di antara empat kabupaten/kota

lainnya. Produksi padi di Sleman selalu di atas 200.000 ton per tahun.

Gambar 1.1. Produksi Padi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun

2001 – 2005

Sumber: BPS Provinsi DIY, Provinsi DIY dalam Angka, 2001 - 2005

Status Sleman sebagai lumbung padi DIY terus dipertahankan pada tahun-

tahun berikutnya. Bahkan, melalui pengembangan teknologi pertanian, di tengah

kemerosotan luas lahan pertanian, produksi padi bisa mencapai di atas 300.000 ton

5

pada tahun 2012 dan 2013. Tetapi, peningkatan jumlah produksi padi ini tidak berarti

berkurangnya lahan pertanian bukan merupakan masalah, karena perlu dilihat pula

dampaknya pada aspek-aspek yang lain.

Tabel 1.4. Produksi Padi Kabupaten Sleman Tahun 2006-2013

No. Tahun Jumlah Produksi (ton)

1. 2006 251.649

2. 2007 242.878

3. 2008 268.928

4. 2009 269.404

5. 2010 266.073

6. 2011 232.713

7. 2012 312.815

8. 2013 307.851

Sumber: BPS Propinsi DIY

Lahan pertanian juga memiliki fungsi sebagai resapan dan posisi Sleman

sebagai daerah hulu sangat memegang peranan penting bagi penyediaan air, baik

untuk wilayah sendiri maupun untuk wilayah-wilayah lain di daerah hilir. Jika hal ini

tidak diperhatikan maka akan terjadi ketidakseimbangan ekologis di masa datang,

salah satunya adalah krisis air. Keresahan tentang hal ini disampaikan pula oleh

Gubernur D.I. Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam pernyataannya

yang dipublikasikan Kedaulatan Rakyat, gubernur minta pada Pemkab Sleman untuk

lebih tegas dalam membatasi pembangunan rumah-rumah baru di kawasan Sleman

Tengah, seperti Kecamatan Depok, Ngemplak dan Ngaglik. Menurut Sultan, Sleman

merupakan daerah resapan air yang menjadi tumpuan wilayah Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Bantul (Kedaulatan Rakyat, 26 Mei 2009).

6

Secara ekonomis, perubahan alih fungsi lahan berdampak pada hilangnya

sumber-sumber pendapatan bagi para petani di daerah urban fringe dan pedesaan.

Daya tarik gaya hidup kota bisa berakibat para petani berpikiran pragmatis dengan

berani menjual lahannya untuk dibelikan barang-barang yang menjadi ciri masyarakat

modern. Di sisi lain, mereka tidak siap masuk ke sektor non-pertanian sehingga

lambat laun terjadi proses pemiskinan karena tidak mampu mengakses sumber-

sumber produksi sebagai basis penghasilan keluarga.

Tabel 1.5. Jumlah Keluarga Miskin di Sleman Tahun 2003 – 2009

No.

Kecamatan

Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1. Gamping 2.324 2.491 2.744 2.898 2.840 3.145 4.087

2. Godean 2.472 2.598 3.148 3.227 3.168 3.221 4.578

3. Moyudan 1.606 1.669 2.179 2.181 2.173 2.089 2.307

4. Minggir 2.287 2.584 2.887 2.940 2.872 2.986 3.522

5. Seyegan 4.100 4.270 4.742 4.900 4.813 4.716 4.385

6. Mlati 5.118 4.709 5.154 5.252 4.914 3.998 4.450

7. Depok 2.521 2.515 2.685 2.807 2.733 2.570 2.013

8. Berbah 2.842 2.814 3.663 4.126 3.421 3.072 3.648

9. Prambanan 5.554 4.900 5.033 5.415 4.276 3.849 4.145

10. Kalasan 2.492 2.399 3.212 3.557 3.379 4.347 5.130

11. Ngemplak 2.861 2.981 3.238 3.299 3.274 2.996 3.727

12. Ngaglik 2.452 2.404 3.065 3.161 2.971 2.868 3.354

13. Sleman 6.246 6.078 6.282 6.296 6.132 6.181 7.030

14. Tempel 4.942 5.294 5.715 5.748 5.307 5.221 5.454

15. Turi 1.693 1.798 1.766 1.852 1.846 2.370 2.662

16. Pakem 1.603 1.509 1.705 1.631 1.476 1.472 1.635

17. Cangkringan 2.544 2.862 3.518 3.228 3.106 3.158 3.030

JUMLAH 53.657 53.875 60.736 62.518 58.701 56.867 65.157

Persentase (%) 23,68 23,13 25,09 25,46 23,40 20,23 22,98

Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sleman.

7

Data di atas menunjukkan besarnya jumlah KK miskin di Sleman dari tahun

ke tahun yang prosentasenya di atas 20% dari total jumlah penduduk Sleman. Cukup

besarnya KK miskin di Sleman ini sebagian di antaranya tentu dialami para keluarga

petani karena persentase penduduk Sleman yang bekerja sebagai petani menduduki

peringkat pertama pada tahun 2005 dan peringkat kedua dalam durasi tahun 2006 –

2009.

Tabel 1.6. Proporsi Penduduk yang Bekerja Per Lapangan Usaha

Kabupaten Sleman (%)

No.

Sektor

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

1. Pertanian 28,60 21,61 22,19 18,44 20,31

2. Pertambangan &

Penggalian 2,27 0,76 0,57 0,61 0,67

3. Industri 11,70 13,64 12,86 15,48 12,83

4. Listrik, Gas & Air 0,26 0,01 0,16 0,07 0,30

5. Bangunan 4,33 8,12 7,81 7,08 7,77

6. Perdagangan 21,83 22,88 25,99 27,07 26,36

7. Angkutan dan

Komunikasi 4,05 4,87 2,94 4,25 3,42

8. Keuangan 4,27 2,51 3,34 3,75 3,43

9 Jasa-jasa 22,69 25,60 24,15 23,31 24,90

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten Sleman Akhir

Masa Jabatan Tahun 2005-2010.

Dari sudut pandang politis, ketidakmampuan pemerintah mengendalikan alih

fungsi lahan akan berakibat pada deligitimasi pemerintah di hadapan masyarakat dan

stakeholder lainnya. Era otonomi daerah memberi wewenang pada daerah untuk

menyelenggarakan penataan ruang di wilayahnya. Jika desentralisasi penataan ruang

8

ternyata tidak memberi jawaban atas kompleksitas permasalahan tata ruang daerah,

maka akan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah daerah.

Penataan ruang yang berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan

dilakukan Pemkab Sleman dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, misalnya :

Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Izin Peruntukan Penggunaan Lahan, Peraturan

Bupati Sleman No. 11 Tahun 2007 tentang Pengembangan Perumahan. Untuk

mendukung pelaksanaan berbagai peraturan tersebut, secara kelembagaan dibentuk

Badan Pengendalian Pertanahan Daerah (BPPD) Kabupaten Sleman. Pembentukkan

BPPD didasarkan Perda No 12 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama atas

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2000 tentang Organisasi

Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman. Peraturan yang diterbitkan

selanjutnya adalah Keputusan Bupati Sleman No 37 /Kep.KDH/2003 tentang Struktur

Organisasi, Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi serta Tata Kerja Badan

Pengendalian Pertanahan Daerah.1

Berbagai bentuk komunikasi pembangunan dalam rangka pengendalian lahan

segera disusun oleh BPPD, seperti menerbitkan SK Kepala BPPD No. 51 tahun 2007

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Penggunaan Lahan. Beraneka ragam

publikasi ditujukan untuk mengatasi permasalahan tanah di Sleman. Bentuk

publikasi yang gencar dilakukan BPPD Sleman adalah pemasangan papan informasi

1 Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009, BPPD telah berubah menjadi Dinas

Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD). Tetapi, pada tahun 2014, berdasar Perda Nomor 8 Tahun

2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Slema Nomor 9 Tahun 2009

Tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman, DPPD diubah menjadi Kantor

Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD).

9

larangan pengubahan alih fungsi lahan secara ilegal. Papan larangan ini dipasang di

tempat strategis yang dapat dengan mudah dibaca masyarakat.2 Sasarannya agar

masyarakat memiliki pengetahuan tentang kebijakan Pemkab Sleman di bidang

pertanahan dan kesadaran masyarakat tentang penatagunaan lahan meningkat.

Dengan pemasangan papan larangan ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh

informasi yang benar tentang kebijakan Pemkab Sleman di bidang pertanahan,

khususnya tentang lahan sawah yang tidak boleh dibangun pemukiman/gedung

(http://bppd.slemankab.go.id /?mod=detail_berita&id=132).

Gambar 1.2. Foto Papan Larangan Perubahan Alih Fungsi Lahan Secara Ilegal

Sumber: dokumentasi peneliti.

Berbagai kebijakan Pemkab Sleman berkaitan dengan pengendalian lahan ini

penulis maknai sebagai kebijakan sosial untuk melindungi masyarakat Sleman pada

umumnya dan para petani khususnya, yang kemudian diikuti dengan pengembangan

2 Beberapa kawasan strategis yang dipasangi papan larangan alih fungsi lahan diantaranya: (1) Jalan

Munggur - Sleman, Desa Sidomoyo, Kecamatan Godean; (2) Jalan Sendari - Gombang, Tirtoadi,

Mlati; (3) Jalan Klangon - Tempel Sumberahayu, Moyudan; (4) Jalan Jogja - Kebon Agung,

Margokaton, Seyegan; (5) Jalan Kaliurang KM 14, Degolan Umbulmartani, Ngemplak; (6) Jalan

Palagan – Rejodani, Sariharjo, Ngaglik; (7) Jalan Sambisari, Tridadi, Sleman.

10

model-model komunikasi pembangunan yang selaras dengan kebijakan tersebut.

Kajian terhadap strategi komunikasi pembangunan merupakan bagian dari Ilmu

Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan. Penelitian ini menggunakan pendekatan

development support communication (DSC) yang bersasaran pada pemberdayaan

masyarakat. Pendekatan DSC muncul untuk mengkritisi pendekatan development

commuication (DC) yang merupakan turunan dari modernisasi yang memandang

manusia sebagai obyek dalam pembangunan. Pendekatan ini juga identik dengan

communication for development yang memaknai komunikasi sebagai proses

interaksi, tukar gagasan (information sharing) sehingga menghasilkan pemahaman

bersama (mutual understanding) yang dapat memfasilitasi aksi bersama (collective

action) sesuai dengan program pembangunan yang dirancang. Program pembangunan

yang dirancang pun harus dilakukan secara partisipatif, diselaraskan dengan potensi

dan kebutuhan masyarakat, sehingga pada akhirnya dapat menyejahterakan seluruh

lapisan masyarakat.

Berdasarkan peta permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Mengapa terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten

Sleman?

2. Bagaimana dampak sosial dan ekonomi alih fungsi lahan di Kabupaten

Sleman terhadap masyarakat pada umumnya dan petani khususnya?

11

3. Apa jenis-jenis kebijakan dalam menekan laju perubahan alih fungsi lahan di

Sleman, serta apa bentuk-bentuk komunikasi pembangunan untuk

mensosialisasikan kebijakan tersebut?

4. Sejauhmana efektivitas kebijakan pengaturan lahan yang disosialisasikan

melalui komunikasi pembangunan dalam mempengaruhi pemahaman

masyarakat untuk menekan laju alih fungsi lahan di Sleman ?

1.2. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih

fungsi lahan pertaninan ke non pertanian di Kabupaten Sleman, khususnya di

desa kasus yang dipilih.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis dampak sosial dan ekonomi terhadap

masyarakat pada umumnya dan petani khususnya akibat alih fungsi lahan.

Analisis dampak sosial dan ekonomi akan memberi gambaran tentang

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di daerah penelitian.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis jenis-jenis kebijakan dalam

mengendalikan laju perubahan lahan di Sleman serta bentuk-bentuk

komunikasi pembangunan untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut.

4. Menganalisis efektivitas kebijakan pengaturan lahan yang disosialisasikan

melalui komunikasi pembangunan dalam pengendalian lahan yang tercermin

dari besaran perubahan alih fungsi lahan dan sikap masyarakat atas alih fungsi

lahan.

12

1.3. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan akademik dalam

menjelaskan faktor-faktor yang mempenagruhi alih fungsi lahan, baik faktor

yang berasal dari luar maupun dari dalam daerah/desa penelitian yang dipilih.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan akademik untuk

mengembangkan teori-teori dalam menjelaskan dan menganalisis dampak

sosial dan ekonomi bagi masyarakat pada umumnya dan petani khususnya

yang diakibatkan alih fungsi lahan.

3. Oleh karena penelitian ini juga mengupas aspek kebijakan pemerintah, maka

hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan pada perumus kebijakan

dalam pengaturan tentang tata guna lahan dan alih fungsi lahan.

1.4. Keaslian Penelitian

Kajian tentang alih fungsi lahan banyak dilakukan di negara-negara sedang

berkembang, baik di kawasan Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. Hostettler (2007)

telah melakukan penelitian di Kota Autlan negara bagian Jalisco di Mexico tentang

pengaruh migrasi antar negara (transnational migration) terhadap perubahan alih

fungsi lahan melalui dana yang dikirim kembali oleh para migran kepada keluarga

mereka di daerah asal (remittance). Mata pencaharian utama warga kota Autlan di

bidang pertanian tadah hujan melalui budidaya jagung. Tetapi, dalam durasi tahun

1994 sampai dengan 2004, harga jagung telah mengalami penurunan hingga

mencapai 46%. Merosotnya harga jagung ini telah mengubah pola pertanian jagung

13

ke budidaya azul agave yang digunakan untuk produksi tequila. Terdapat 84%

perubahan pola usaha tani dari pertanian jagung ke budidaya azul agave.

Selain faktor ekonomi (merosotnya harga jagung), faktor pendorong lain atas

perubahan pola usaha tani disebabkan oleh faktor lingkungan (curah hujan, kualitas

lahan dan topografi), faktor politis/institusional (subsidi pertanian, kepemilikan

lahan), dan faktor demografi (ketersediaan tenaga kerja). Selain itu, terdapat faktor

global meskipun tidak terlalu penting, yaitu adanya perjanjian perdagangan

internasional atau NAFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara).

Atas pengaruh berbagai faktor tersebut, sebagian besar petani menyewakan

lahan pada perusahaan tequila dalam durasi tujuh tahun (waktu yang dibutuhkan

untuk satu siklus pertumbuhan azul agave). Sementara lahan mereka disewakan,

petani masih menerima subsidi pertanian dari negara. Dalam durasi tujuh tahun ini,

banyak petani mencari pekerjaan di luar sektor pertanian dan bermigrasi ke Amerika

serikat.

Migrasi internasional menjadi strategi memperoleh mata pencaharian,

terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam rentang waktu 1980 – 2004,

ada sekitar 50% rumah tangga yang memiliki paling sedikit seorang anggota keluarga

yang bermigrasi untuk bekerja ke Amerika Serikat. Uang yang dikirimkan para

migran ini memberi kontribusi 45% dari total pendapatan keluarga. Bagi keluarga

berpenghasilan rendah, uang kiriman digunakan memperbaiki rumah. Sementara,

bagi keluarga yang berpenghasilan lebih tinggi, kiriman uang digunakan untuk

membangun rumah baru dengan mengubah lahan pertanian menjadi perumahan.

14

Penelitian Hostettler ini lebih menonjolkan faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan lahan pertanian ke perumahan yang dimulai dari perubahan pola usaha tani

karena daya tarik azul agave. Banyak petani Mexico menyewakan lahan untuk

budidaya azul agave dan mereka pergi ke Amerika Serikat untuk bekerja. Uang hasil

kerja inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk renovasi dan pembangunan rumah-

rumah baru dengan menggusur lahan pertanian. Jika penelitian Hostettler melihat

faktor-faktor pengaruh, maka penelitian ini lebih melihat dampak sosial dan ekonomi

terhadap petani akibat alih fungsi lahan.

Penelitian di benua Afrika dilakukan oleh Magigi (2008) di Dar Es Salaam,

salah satu wilayah perkotaan yang mengalami urbanisasi yang pesat di Tanzania.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa urbanisasi, kemiskinan perkotaan, kerentanan

makanan dan ketidakterlibatan masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan lahan

merupakan faktor pendukung dan katalisator dalam alih fungsi lahan, transaksi lahan,

imigrasi dan pesatnya perkembangan keseluruhan masalah perkotaan. Akibat yang

dihasilkan oleh faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa buruknya tata kelola lahan

perkotaan bukan penyebab tunggal, tetapi juga disebabkan kelemahan institusi

perencana dalam merealisasikan dan beradaptasi dengan tantangan yang dihadapi

pertanian di wilayah perkotaan dalam kaitannya dengan proses perkembangan lahan

perkotaan.

Pemecahan masalah tersebut dapat dicapai dengan: (1) mengadopsi

pendekatan partisipatoris dalam perencanaan perkotaan, (2) peningkatan jumlah

pemukiman, (3) kerjasama kelembagaan, (4) desentralisasi peran ke tingkat lokal, dan

15

(5) penguatan organisasi petani dengan cara institusionalisasi dan pemberian

kesempatan untuk berkontribusi dalam dialog politik. Strategi ini akan efektif jika:

(1) pemerintah meninjau ulang kebijakan dan peraturan tentang tata ruang, (2) semua

pihak terkait dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, dan (3) dilakukan

informasi dan komunikasi yang menyadarkan/memberdayakan masyarakat.

Ada titik temu yang sama antara penelitian Magigi ini dengan penelitian ini,

yaitu sama-sama melakukan kajian terhadap kebijakan pemerintah dalam tata guna

lahan. Bedanya, Magigi fokus pada proses perumusan kebijakan perencanaan tata

guna lahan, sedangkan penelitian ini lebih diarahkan untuk menganalisis strategi

komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya sosialisasi kebijakan pada

masyarakat serta efektivitasnya dalam menekan laju alih fungsi lahan.

Penelitian alih fungsi lahan di Indonesia di antaranya dilakukan oleh

Siwiretno (2008) yang meninjau determinan penyusutan luas lahan sawah di

Kabupaten Sleman dalam periode 1976-2006. Sama dengan penelitian Hostettler,

Siwiretno melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan alih fungsi

lahan. Hasilnya, untuk Kabupaten Sleman ditemukan adanya dua determinan, yaitu

bertambahnya luas lahan pekarangan dan bertambahnya jumlah penduduk. Penelitian

ini juga melihat pengaruh RUTRD (Rencana Umum Tata Ruang Daerah) dalam

pengendalian atas penyusutan luas lahan sawah di Kabupaten Sleman. Meskipun ada

persamaan dalam melihat efektivitas kebijakan, penelitian ini lebih jauh melihat

metode sosialisasi kebijakan dalam kerangka komunikasi pembangunan.

16

Ismaya (2004) meneliti dari tinjauan Ilmu Hukum tentang prosedur

pengeringan tanah, sanksi terhadap pelanggaran izin pengeringan, kendala yang

dihadapi dalam pemberian sanksi dan solusinya. Penelitian Ismaya dilakukan di

Kabupaten Sleman sebagai wilayah yang tinggi alih fungsi lahannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah atau

pengeringan di Sleman diatur dalam Perda Nomor 19 tahun 2001 tentang Izin

Peruntukkan Penggunaan Tanah. Sampai saat penelitian dilakukan pada tahun 2004,

belum pernah ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran mekanisme perubahan

penggunaan tanah yang tidak sesuai prosedur. Hal ini disebabkan kendala perangkat

hukumnya, masalah kelembagaan, tidak adanya orang yang menjadi pelapor dan

saksi. Solusi yang diambil Pemeritah Kabupaten Sleman dengan tindakan

pencegahan/preventif, seperti: sosialisasi perundang-undangan, penyuluhan

pertanahan, dan pengetatan perizinan perubahan lahan.

Hasil penelitian Ismaya diperkuat dengan data yang dihasilkan penelitian

Hariawan (2007) bahwa implementasi kebijakan IMB (Izin Mendirikan Bangunan)

di Kabupaten Sleman selama lebih dari 17 tahun sejak diterbitkannya Peraturan

Daerah Nomor 1 Tahun 1990, baru menghasilkan capaian angka kepemilikan 28,65%

dari total jumlah bangunan. Angka tersebut menjadi indikasi kuat bahwa kebijakan

perizinan IMB di Kabupaten Sleman belum optimal dalam mencapai tujuannya.

Ada tiga faktor penyebab belum optimalnya kebijakan tersebut, yaitu:

pertama faktor pelayanan, masih adanya ketidakpastian pelayanan terutama pada

aspek waktu dan biaya, keterbatasan struktur kelembagaan penyelenggaranya, serta

17

kompleksitas regulasi pendukung perizinan IMB. Kedua faktor kesadaran masyarakat

yang masih rendah tentang kemanfaatan bersama yang akan didapat melalui

efektifnya perizinan IMB. Hal ini juga dipengaruhi oleh belum efektifnya sosialisasi

kebijakan yang selama ini dijalankan, serta rendahnya pelibatan stakeholders non-

pemerintah dalam perumusan kebijakan dimaksud. Ketiga faktor law enforcement,

kegiatan penegakan peraturan daerah terkait dengan IMB terkendala aspek regulatif

khususnya tentang pengaturan sanksi, ketidakseimbangan keluasan wilayah kerja dan

jumlah bangunan dengan kemampuan pengawasan, serta adanya resistensi

masyarakat dalam kegiatan penertiban bangunan.

Ketiga faktor di atas menunjukkan bahwa kebijakan IMB belum mampu

memberikan manfaat nyata kepada masyarakat dan masih memiliki kontribusi yang

minim pada tertib tata bangunan, apalagi terhadap tata lingkungan dan tata ruang.

Bagi masyarakat, kebijakan tersebut masih dilihat sebagai sebuah bentuk fungsi

pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah yang belum berorientasi pada sistem

pelayanan yang berpihak pada kebutuhan masyarakat.

Baik penelitian Ismaya dan Hariawan sama-sama meninjau tentang kebijakan

pengendalian alih fungsi lahan, tetapi belum mengupas tentang strategi sosialisasi

kebijakan dalam bingkai komunikasi pembangunan yang akan dilakukan dalam

penelitian ini.

Penelitian alih fungsi lahan di luar D.I. Yogyakarta pernah dilakukan di Bali.

Sebagai daerah tujuan wisata, alih fungsi lahan pertanian digunakan untuk fasilitas

pariwisata seperti hotel, restoran dan lapangan golf. Penelitian dilakukan di Desa

18

Beraban, kawasan wisata Lahan Lot, Kabupaten Tabanan – Bali, yang merupakan

lahan subur pertanian. Dengan alasan kebutuhan lahan untuk pengembangan

pariwisata, pemerintah Tabanan membujuk dan/atau menekan pemilik lahan agar

bersedia melepas lahan demi pembangunan pariwisata. Akibat alih fungsi lahan ini,

52,86% petani memilih tetap bertani dengan cara menggarap sawah yang tidak

dialihfungsikan dan/atau membeli lahan di luar desa. Sisanya, 47,14%, memilih

bekerja ke luar sektor pertanian dengan memasuki pekerjaan di sektor pariwisata.

Semakin luas lahan yang dilepas, semakin besar kecenderungan untuk ke luar dari

sektor pertanian (Matera, 1996).

Penelitian di Tabanan Bali ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan terjadi

justru karena kebijakan pemerintah dengan dalih pengembangan pariwisata. Hal ini

sangat berbeda dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Sleman yang mengeluarkan

kebijakan untuk menghambat alih fungsi lahan pertanian.

Alih fungsi lahan akibat tekanan perkembangan Jakarta dan Botabek terjadi di

Kabupaten Karawang. Alih fungsi ini dipicu dengan perkembangan industri yang

berakibat pada durasi tahun 1992 – 1997 lahan sawah beririgasi teknis telah

berkurang 2.028 Ha di Kabupaten Karawang (Jamal, 1999). Penelitian di wilayah ini

diarahkan pada analisis ekonomi atas faktor-faktor yang mempengaruhi besaran harga

jual lahan, seperti: status lahan, jarak dari jalan utama desa, jarak dari saluran tersier,

serta jarak dari kawasan industri dan perumahan. Analisis kelembagaan seperti

kebersamaan petani dalam kelompok tani, kebutuhan yang sama atas air irigasi,

ternyata tidak berpengaruh terhadap harga jual lahan. Hasil penelitian juga

19

menunjukkan bahwa peraturan yang dikeluarkan pemerintah tidak sepenuhnya

berpihak pada petani dalam hal perlindungan terhadap lahan sawah atau proses alih

fungsinya.

Penelitian Jamal telah melakukan telaah pada aspek kelembagaan petani

dengan hasil yang menunjukkan bahwa keberadaan organisasi petani ternyata tidak

berpengaruh terhadap harga jual lahan. Dengan kata lain, organisasi petani tidak

memiliki posisi tawar karena harga jual lahan sepenuhnya tergantung mekanisme

pasar. Penelitian ini juga melihat aspek kelembagaan petani dengan sudut pandang

yang berbeda, yaitu hendak meninjau strategi komunikasi pembangunan dengan

pendekatan kelompok (organisasi tani) sejauhmana mampu berperan dalam

pengendalian alih fungsi lahan.

Jika di Jawa alih fungsi terjadi dari lahan pertanian ke non pertanian, lain

halnya dengan wilayah luar Jawa. Penelitian di DAS Nopu Kabupaten Donggala

Sulawesi Tengah menunjukkan adanya alih fungsi dari lahan hutan ke pertanian dan

kakao (Monde, 2008). Alih fungsi tersebut justru mengakibatkan penurunan kualitas

lahan, meningkatnya erosi dan aliran permukaan, serta petani pun tidak dapat

memenuhi kebutuhan layak. Penelitian Monde ini mengambil unit analisis alih fungsi

lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan kakao, sementara alih fungsi lahan

dalam penelitian ini dari lahan pertanian menjadi perumahan, jasa dan industri.

20

Tabel I.7. Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian ini

No. Judul Penelitian Nama Peneliti Fokus / Hasil

Penelitian

Fokus Penelitian ini

1. Alih Fungsi Tanah

Pertanian untuk

Pembangunan

Fasilitas

Pariwisata dan

Dampaknya

Terhadap Petani

(Studi di Kawasan

Wisata Lahan Lot,

Kabupaten

Tabanan Bali).

Metera, 1996 Alih fungsi lahan

terjadi justru karena

kebijakan pemerintah

dengan dalih

pengembangan

pariwisata.

Mengkaji kebijakan

pemerintah Sleman

dalam mengendalikan

alih fungsi lahan

pertanian.

2. Analisis Ekonomi

dan Kelembagaan

Alih Fungsi Lahan

Sawah ke

Penggunaan Non

Pertanian di

Kabupaten

Karawang Jawa

Barat.

Jamal, 1999 Kajian pada aspek

kelembagaan petani

dengan hasil yang

menunjukkan bahwa

keberadaan organisasi

petani ternyata tidak

berpengaruh terhadap

harga jual lahan.

Dengan kata lain,

organisasi petani tidak

memiliki posisi tawar

karena harga jual

lahan sepenuhnya

tergantung mekanisme

pasar.

Penelitian ini juga

melihat aspek

kelembagaan petani

dalam pengendalian

alih fungsi lahan.

3. Pelaksanaan

Perubahan

Penggunaan

Tanah Pertanian

ke Non Pertanian

di Kabupaten

Sleman.

Ismaya, 2004

Dua penelitian ini

sama-sama meninjau

tentang kebijakan

pengendalian alih

fungsi lahan, tetapi

belum mengupas

tentang strategi

sosialisasi kebijakan.

Menganalisis strategi

sosialisasi dalam

bingkai komunikasi

pembangunan.

4. Kebijakan

Perizinan IMB di

Kabupaten

Sleman: Evaluasi

Kebijakan

Pengendalian

Hariawan,

2007

21

Bangunan di

Tengah Tuntutan

Kepastian

Pelayanan.

5. Land Use Change

and Transnational

Migration: The

Impact of

Remittances in

Western Mexico.

Hostettler,

2007

Menganalisis faktor-

faktor yang

mempengaruhi

perubahan alih fungsi

lahan bagi

perlindungan sosial

bagi petani.

Menganalisis dampak

sosial dan ekonomi

akibat alih fungsi

lahan.

6. Determinan

Penyusutan Luas

Lahan Sawah di

Kabupaten Sleman

dalam Periode

1976-2006.

Siwiretno,

2008 Faktor determinan

dalam penyusutan

sawah.

Pengaruh RUTRD

(Rencana Umum

Tata Ruang

daerah) dalam

pengendalian atas

penyusutan sawah.

Kebijakan pemerintah

dalam pengendalian

lahan dianalisis dari

sisi proses

komunikasinya dan

dampak.

7. Improving Urban

Land Governance

with Emphasis on

Integrating

Agriculture Based

Livelihoods in

Spatial Land Use

Planning Practise

in Tanzania.

Magigi, 2008 Proses perumusan

kebijakan

perencanaan tata guna

lahan.

Strategi komunikasi

yang dilakukan oleh

pemerintah dalam

upaya sosialisasi

kebijakan pada

masyarakat serta

efektivitasnya dalam

menekan laju alih

fungsi lahan.