BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang...

69
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perubahan selalu berlaku pada semua masyarakat manusia, setiap saat dimana pun mereka hidup dan berada. Perubahan dapat berlangsung secara tiba-tiba dan serentak, misalnya suatu pemerintahan dihancurkan oleh revolusi dan kemudian digantikan oleh pemerintahan yang berbeda dengan tatanan atau orde sebelumnya. Kadangkala perubahan itu berlangsung lambat secara gradual yang sukar diterima masyarakat, bahkan anggota masyarakat tersebut tidak sadar atau tidak memperhatikan akan berlakunya perubahan yang telah melanda kehidupan mereka. Perubahan dalam kerangka kehidupan politik, setiap saat dapat disaksikan melalui interaksi antarindividu, baik dalam hubungan yang sejajar maupun antara atas dan bawah. Dikeluarkannya perintah di satu pihak dan ditaatinya oleh pihak lain, diumumkannya sebuah keputusan dan ditaatinya oleh pihak lain, merupakan suatu kondisi selain sering terjadi keberatan dan penolakan atas perintah serta keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Hal itu menggambarkan bermacam-macam perilaku yang berhubungan satu dengan yang lain. 1 1 Sudiono Sastroatmodjo, Perilaku Politik (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), 2.

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang...

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan selalu berlaku pada semua masyarakat manusia,

setiap saat dimana pun mereka hidup dan berada. Perubahan dapat

berlangsung secara tiba-tiba dan serentak, misalnya suatu

pemerintahan dihancurkan oleh revolusi dan kemudian digantikan

oleh pemerintahan yang berbeda dengan tatanan atau orde

sebelumnya. Kadangkala perubahan itu berlangsung lambat secara

gradual yang sukar diterima masyarakat, bahkan anggota

masyarakat tersebut tidak sadar atau tidak memperhatikan akan

berlakunya perubahan yang telah melanda kehidupan mereka.

Perubahan dalam kerangka kehidupan politik, setiap saat dapat

disaksikan melalui interaksi antarindividu, baik dalam hubungan

yang sejajar maupun antara atas dan bawah. Dikeluarkannya

perintah di satu pihak dan ditaatinya oleh pihak lain, diumumkannya

sebuah keputusan dan ditaatinya oleh pihak lain, merupakan suatu

kondisi selain sering terjadi keberatan dan penolakan atas perintah

serta keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Hal

itu menggambarkan bermacam-macam perilaku yang berhubungan

satu dengan yang lain.1

1Sudiono Sastroatmodjo, Perilaku Politik (Semarang: IKIP Semarang Press,

1995), 2.

2

Tahun 1990-an akhir, kehidupan politik di Indonesia

mengalami perubahan besar dalam waktu yang cepat. Reformasi

diperjuangkan oleh mahasiswa dan para tokoh reformis berhasil

mengantarkan lengsernya kekuatan Orde Baru (Orba) dibawah

tangan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesisa kedua dari

kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Para pejuang reformasi

ini menilai pemerintahan Orba sarat akan korupsi, kolusi, dan

nepotisme (KKN). Sejak saat itulah hak demokrasi atau suara rakyat

memperoleh kebebasannya kembali, setelah lebih dari tiga dasa

warsa merasa tertekan, dibungkam, dan dibatasi. 2 Sejak saat itu

pulalah Era Orba diganti dengan Era Reformasi.

Salah satu perubahan yang terjadi di Indonesia adalah

perubahan dalam bidang politik yang menyangkut pula perubahan

sosial budaya, khususnya seni pertunjukan. Pengalaman yang

menunjukkan bahwa seni pertunjukan mengalami perubahan sejalan

dengan pola perubahan masyarakat penyangganya.3 Perkembangan

dan perubahan seni pertunjukan banyak sekali dipengaruhi oleh

faktor-faktor nonseni, dan yang paling kuat adalah faktor politik,

perubahan sosial, dan ekonomi.4

2Bintang Hanggoro Putra, Kebangkitan Barongsai di era Reformasi (Tesis

sebagai syarat untuk mencapai derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Pengkajian

Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2002), 7. 3 Kodiran, “Kesenian dan Perubahan Masyarakat” dalam Kebudayaan

Rakyat dalam Perubahan Sosial. Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora ke-

5 Fakultas Satra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 5-8 Desember 1998, 541-

544. 4 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan

Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 12.

3

Dalam konteks perubahan politik tersebut, berpengaruh pula

pada konteks dan keragaman penampilan budaya etnis Tionghoa

mulai marak kembali, setelah 32 tahun terkungkung dalam

keterbatasannya. Salah satu unsur keragaman budaya etnis Tionghoa

yang hidup di Indonesia dan telah ditransmisikan sebagai warisan

budaya leluhur masyarakat etnis Tionghoa adalah penampilan

Barongsai. Sebagai warisan berarti telah terjadi proses transmisi

secara vertikal atau kepada anak cucu dan juga transmisi horizontal

atau manusia yang satu dapat belajar dari manusia yang lainnya.

Selama proses transmisi tersebut dapat terjadi perubahan, karena

pada hakikatnya kebudayaan bersifat dinamis sesuai dengan jiwa

jaman. 5 Sifat dinamis yang menjadi ciri perubahan kebudayaan,

tentunya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor

inilah yang nantinya akan memberikan warna dinamika penampilan

Barongsai di Kota Semarang, baik yang terkait langsung dengan

estetik maupun di luar estetik penampilan Barongsai. Hal ini penting

untuk diungkap dalam konteks penelitian ini guna memberikan

gambaran yang rinci tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

dinamika penampilan Barongsai.

Penampilan dan atau seni pertunjukan masyarakat etnis

Tionghoa yang selama Orde Baru nyaris mati itu, kini hidup kembali

5Timbul Haryono, “Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelamatan dan

Pelestarian Warisan Budaya Lokal” Orasi Ilmiah disampaikan pada Upacara Dies

Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009), 5; Periksa juga Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 88.

4

dan menarik perhatian publik. Seni pertunjukan akan tetap bertahan

dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat pendukungnya,

sepanjang masih dibutuhkan dan memiliki fungsi sosial yang penting

dalam kehidupan masyarakat.6

Masyarakat etnis Tionghoa mempunyai akar sejarah lebih dari

500 tahun di bumi Nusantara serta menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari bangsa Indonesia.7 Banyaknya warga masyarakat

etnis Tionghoa yang menetap di Indonesia, dengan turut serta

membawa kebudayaannya, membuat masyarakat Indonesia lama

kelamaan beradaptasi dengan kebudayaan tersebut. Kemampuan

menyerap dan mengolah kebudayaan asing telah dimiliki

nenekmoyang bangsa Indonesia pada saat kebudayaan di Nusantara

berkontak dengan kebudayaan asing yang berasal dari India dan Cina

pada awal abad ke-6 sampai abad ke-15. Kebudayaan Indonesia pada

masa itu bukan semata-mata sebagai „recipient culture‟ yang pasif dan

hanya pasrah saja terhadap pengaruh kebudayaan asing, akan tetapi

tetap aktif dan selektif menerima unsur-unsur yang berasal dari

luar.8

Perkembangan dan perubahan sosial budaya lebih banyak

ditimbulkan oleh faktor-faktor yang datang dari luar daripada yang

berasal dari dalam masyarakat. Adapun mekanisme dinamika

6Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi

Seni (Surakarta: Isi Press Solo, 2007), 132. 7Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2004),

xi. 8Timbul Haryono, 2009: 4.

5

kebudayaan yang berasal dari luar adalah difusi, akulturasi, dan

pembauran. Difusi berarti persebaran unsur-unsur umum

kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain di

wilayah tertentu. Akulturasi merupakan suatu pertemuan antara dua

kebudayaan atau lebih yang satu dengan yang lain berbeda.

Selanjutnya asimilasi merupakan suatu proses yang terjadi karena

pertemuan intensif dan berlangsung relatif lama di antara mereka

yang berlainan latar belakang ras, suku bangsa, golongan, dan

kebudayaannya. 9 Pluralisme kebudayaan dan heterogenitas

masyarakat merupakan hasil dari proses sejarah perkembangan

kebudayaan dan masyarakat melalui mekanisme persebaran unsur-

unsur umum kebudayaan, kontak-kontak kebudayaan, dan

pembauran antara berbagai ras, bangsa, serta suku bangsa lain yang

sudah berlangsung lama.10 Salah satu kebudayaan yang dibawa oleh

masyarakat etnis Tionghoa adalah penampilan Barongsai.

Penampilan Barongsai di Indonesia populer ketika masih ada

perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa

Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan

memiliki sebuah perkumpulan Barongsai. Penampilan Barongsai

kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya G30S/PKI,

9 Kodiran, “Perkembangan Kebudayaan dan Implikasinya terhadap

Perubahan Sosial di Indonesia,” (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada

Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 3 Juni 2000), 4-5;

Periksa Kodiran, “Akulturasi sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan,” (Humaniora Buletin Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Nomor 8 Juni-

Agustus, Yogyakarta, 1998), 87. 10 Kodiran, 2000: 16.

6

terlebih lagi dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun

1967 tanggal 6 Desember 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat

istiadat Cina, maka penampilan Barongsai, arak-arakan toapekong,

dan perayaan Imlek hanya dapat dirayakan dalam lingkungan intern

atau keluarga saja. Dampak dari adanya Inpres tersebut adalah

lunturnya adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa, seperti

merayakan Imlek serta segala macam bentuk kebudayaan

masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia dilarang, penampilan

Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi, sehingga

generasi muda etnis Tionghoa kini tidak paham lagi tentang bahasa

Mandarin dan adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa. 11 Akibat

larangan ini, kebanyakan masyarakat etnis Tionghoa yang lahir

sesudah tahun 1966 hanya berbicara, menulis, dan membaca dalam

bahasa Indonesia.12

Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah

peristiwa Mei tahun 1998 adalah munculnya penampilan Barongsai

di banyak kota di Indonesia. Penampilan Barongsai mula-mula

digunakan pada perayaan Tahun Baru Imlek saja, tetapi selanjutnya

ditampilkan di banyak kesempatan, misalnya pada pembukaan

sebuah mal, peristiwa-peristiwa penting semacam pembukaan pesta

olah raga, dan arak-arakan di jalan protokol. Dengan kata lain

11 Stuart W. Greif, ”WNI” Problematik Orang Indonesia Asal Cina (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1994), xi-xvii. 12 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2010), 1.

7

terjadilah boom tarian Barongsai, suatu hal yang mengagumkan,

karena untuk jangka waktu yang panjang (32 tahun), tarian ini

dilarang sama sekali dipertunjukkan di tempat umum di semua

wilayah Indonesia.13

Munculnya seni pertunjukan didukung oleh kelompok-

kelompok seniman bebas, yang organisasinya sangat labil, tetapi

keseniannya terus hidup dan terus menerus mengalami transformasi.

Ini suatu pertanda bahwa kenyataan faktual dalam mengamati

fenomena seni pertunjukan harus mengikut sertakan data yang

memberikan isyarat, the nature of performing arts in Indonesia, yaitu

kelompok-kelompok yang menopang kehadirannya. Bagaimana cara

suatu kelompok muncul, berkembang, pecah, mati dan tumbuh lagi,

bertransformasi, dan seterusnya.14

Penampilan Barongsai adalah kesenian tradisional masyarakat

etnis Tionghoa yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1417, dibawa

oleh seorang saudagar Islam dari Tiongkok.15 Penampilan Barongsai

merupakan penampilan budaya yang memiliki unsur ritual, tari, dan

olahraga di dalamnya. Penampilan Barongsai dikenal di dunia

internasional dengan nama Lion Dance. Penampilan Barongsai ini

13 Agni Malagina, “Tarian Barongsai Nan Eksotis dari Global ke Lokal

Kembali ke Global.” dalam I Wibowo dan Thung Ju Lan ed., Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2010), 184. 14 Bakdi Soemanto, “Kesenian: Tarik Menarik antara Nasional dan Daerah,”

dalam Mencermati Seni Pertunjukan I Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum.

(Surakarta: The Ford Foundation & Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni

Indonesia, 2003), 80-81. 15 Budi Haliman Halim, “Kisah Haji Ong Heng Keng”, Harian Suara Merdeka,

tanggal 19 September 1999.

8

menggunakan topeng singa yang dimainkan oleh dua orang. Masing-

masing bertugas di bagian depan sebagai kepala singa yang bertugas

mengekspresikan emosi, seperti membuka mulut, menggerakkan

kepala, telinga, dan kelopak mata. Seorang di bagian belakang

sebagai ekor yang tidak kalah pentingnya untuk mendukung

ekspresi, seperti menggaruk kepala, mengangkat bagian kepala dan

kaki depan, serta berguling-guling. Gerakan dasar yang digunakan

adalah gerak dasar kuda-kuda Wu Shu. Penampilan Barongsai

biasanya dibagi dalam dua kategori, yaitu kategori lantai dan kategori

tonggak. Kategori lantai adalah penampilan Barongsai di arena tanpa

menggunakan alat peraga bantu, sedangkan kategori tonggak adalah

penampilan Barongsai di atas tonggak besi yang disusun berderet

dan bertingkat dari rendah sampai tinggi sesuai dengan ketentuan.

Daya tarik dan penampilan khas Barongsai ini adalah gerakan-

gerakan atraktif akrobatik baik di lantai maupun di atas tonggak.

Penampilan Barongsai merupakan penampilan budaya yang

berasal dari negeri Tiongkok, akan tetapi di Tiongkok, penampilan ini

disebut dengan Wu Shi, masyarakat etnis Tionghoa di Kota Semarang

menyebutnya Samsi. Dalam bahasa Inggris, Barongsai dikenal

dengan nama Lion Dance. Semuanya mempunyai arti yang sama,

yaitu tarian singa. Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa Samsi

adalah perwujudan dari patung hewan yang ”menjaga” kelenteng (ada

di sisi pintu masuk Klenteng), di mana mukanya mirip singa,

9

badannya mirip kuda, dan kakinya seperti rusa. Binatang ini tidak

diketahui apakah sungguh-sungguh ada di dunia ini atau tidak,

karena keberadaannya hanyalah berupa dongeng atau legenda saja.16

Menelusuri asal-usul penampilan Barongsai, tidak dapat

terlepas dari sejarah kedatangan orang-orang dari negara Tiongkok di

Indonesia, khususnya di Kota Semarang. Di kalangan masyarakat

etnis tionghoa di Kota Semarang tersiar cerita mengenai kedatangan

armada Zheng He di Semarang. Pada abad ke-15, Kaisar Zhu Di

Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk

mengadakan kunjungan muhibah ke Laut Selatan. Armada itu

dipimpin oleh Laksamana Zheng He (Sam Po Kong) dibantu oleh

Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua. Ketika armada

berlayar di daerah pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak

sakit keras. Menurut perintah Zheng He, armada itu singgah di

pelabuhan Simongan Kota Semarang. Setelah mendarat Zheng He

dan awak kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah kemudian

dijadikan suatu tangsi untuk sementara.

Guna menghormati Laksamana Zheng He, Wang Jinghong

membuat patung Zheng He dan diletakkannya di dalam gua,

kemudian patung itu banyak disembah orang. Sejak saat itu, setiap

tanggal 1 bulan Imlek (Sincia) dan tanggal 15 bulan Imlek (Cap Go

Meh) orang berbondong-bondong menyembah patung Sam Po Kong di

gua Sam Po yang dimeriahkan dengan arak-arakan penampilan

16 Bintang Hanggoro Putra, 2002: 7-10.

10

budaya berupa Liong dan Barongsai atau Samsi. Beberapa tahun

kemudian di tempat itu dibangunlah sebuah kelenteng yang

dinamakan Gedong Batu.

Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan

(sekarang Gedong Batu) dikuasai oleh Johanes, seorang tuan tanah

keturunan Yahudi. Dia menjadikan kawasan itu sebagai sumber

keuntungan dengan menarik pajak yang tinggi bagi warga Cina yang

akan bersembahyang di Kelenteng Gedong Batu. Demi kelanjutan

kegiatan penyembahan di kelenteng Sam Po Kong Gedong Batu, maka

Yayasan Sam Po Kong mengumpulkan dana untuk membuat tiruan

patung Cheng Ho dan diletakkannya di Tay Kak Sie (Kelenteng

Keinsyafan Besar) yang dibangun tahun 1771 di Gang Lombok,

sebuah perkampungan masyarakat Cina di Kota Semarang.17

Setelah kawasan Gedong Batu jatuh ke tangan Oei Tjie Sien,

ayah Oei Tiong Ham, saudagar kaya yang dikenal dengan julukan „Si

Raja Gula‟ di Indonesia, muncullah acara baru, yaitu setiap tahun

baru Imlek masyarakat etnis Tionghoa mengarak patung duplikat dari

kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok ke Gedong Batu untuk

meminta mukjizat dari patung aslinya. Arak-arakan yang melewati

jalan-jalan besar Kota Semarang itu tampak meriah dengan hadirnya

Liong dan Barongsai atau Samsi. Bisa diduga dari acara inilah

masyarakat Kota Semarang mengenal penampilan Barongsai.

17Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Jakarta: Pustaka Populer Obor,

2000), 63.

11

Upacara yang dilangsungkan secara arak-arakan merupakan

bentuk penyajian yang unik dan khas. Masing-masing tempat

memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda yang menjadi

ciri bentuk penyajiannya. Aspek-aspek estetis bentuk penyajian yang

disajikan sangat erat bertalian dengan simbol-simbol maknawi

dengan berlatar belakang pada pola budaya yang berlaku dan

dijunjung oleh warga masyarakat pendukungnya.

Berbagai aspek seni pertunjukan yang tampak serta terdengar,

terlibat di dalam tatanan upacara ritual terdiri dari gerak, suara, dan

rupa.18 Ketiga aspek ini menyatu menjadi suatu keutuhan di dalam

bentuk penyajiannya. Suatu pertunjukan memiliki sederet aspek

yang membangun wujudnya. Gerak sebagai salah satu aspek utama

yang divisualisasikan, tidak selalu mudah dicerna maksud

penampakannya. Hubungan antara berbagai gerak tidak selalu

ditemukan berada dalam tata urutannya. Gerak sangat

dimungkinkan bergayutan dan bermitra dengan mitos, musik,

busana, garis-garis yang dilewati oleh para pelakunya di area

pergelaran, penonton, serta sederet kelengkapan yang saling

bergantung antara yang satu dan yang lain.19

Berdasarkan uraian di atas, penampilan Barongsai sebagai

produk budaya menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut sebagai

18A.M. Hermin Kusmayati, Arak-Arakan Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di Madura (Yogyakarta: Tarawang Press, 2000), 75.

19 A.M. Hermin Kusmayati, “Keragaman yang Padan dan Padan Beragam dalam Seni Pertunjukan,” dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara (Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Sekolah

Tinggi Seni Indonesia, 2005), 212.

12

fenomena sosial budaya. Kendatipun demikian, kegelisahan akedemik

dan perdebatan tentang konteks dan keragaman penampilan

Barongsai di Kota Semarang masih belum tuntas. Oleh karena itu

pula, konteks dan keragaman penampilan Barongsai dalam

masyarakat etnis Tionghoa di Kota Semarang perlu dikaji dan diteliti

secara mendalam melalui penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah

utama dalam penelitian ini adalah konteks dan keragaman

penampilan Barongsai di Kota Semarang periode 1998-2013. Secara

khusus dan lebih tegas rumusan masalah dinyatakan sebagai

berikut.

1. Bagaimana bentuk, fungsi, dan makna penampilan

Barongsai dalam konteks kebudayaan etnis Tionghoa

Semarang?

2. Mengapa penampilan Barongsai masih bertahan hingga era

reformasi, meskipun di era orde baru mendapat tekanan

kuat dari penguasa (negara)?

3. Faktor-faktor apa yang memengaruhi dinamika penampilan

Barongsai?

13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah

dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui,

memahami, menginterpretasikan, dan mendeskripsikan konteks dan

keragaman penampilan Barongsai dalam masyarakat etnis Tionghoa

di Kota Semarang dari tahun 1998 sampai tahun 2013. Berkaitan

dengan kajian terhadap masalah yang dikemukakan tersebut, hasil

penelitian ini dapat diperoleh manfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan dan seni, khususnya penampilan budaya yang

mencakup ritual, seni pertunjukan, dan olahraga yang menjadi dasar

berkembangnya suatu bentuk penampilan budaya dalam masyarakat

yang berupa informasi dan dokumentasi. Informasi yang diperoleh

dari penelitian ini khususnya bagi peneliti, pengelola seni

pertunjukan wisata, atau pembaca yang tertarik dibidang fenomena

budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, dapat digunakan

mendukung dan membangun pelestarian dan keragaman budaya

sebagai bahan masukan pada pemerintah Kota Semarang khususnya

dan Propinsi Jawa Tengah pada umumnya.

Manfaat berupa dokumentasi yang diperoleh dari penelitian ini,

berkaitan langsung dengan lembaga yang menangani nilai-nilai

tradisional dalam masyarakat khususnya dalam bidang budaya, baik

terkait dengan ritual, seni, dan olahraga. Dokumentasi yang didapat

dapat digunakan sebagai pemerkaya bacaan serta wawasan

14

penampilan budaya, dan sekaligus sebagai wahana upaya pelestarian

seni tradisional.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini diawali tulisan R.M. Soedarsono

membahas perkembangan berbagai macam seni pertunjukan di

Indonesia dari masa prasejarah sampai masuk ke era globalisasi.

Buku berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, (Gadjah

Mada University Press, 2002), ini sangat informatif sebagai sebuah

buku yang mengurai sejarah pertunjukan Indonesia dengan

mengklasifikasikan menurut masa, fungsi dalam masyarakat, dan

pertunjukan yang terkait dengan pariwisata di Era Globalisasi. Seni

pertunjukan berdasarkan masanya dibagi atas masa Prasejarah,

masa pengaruh Hindu, masa pengaruh Islam, masa pengaruh Cina,

masa pengaruh Barat, masa kemerdekaan, masa Orde Baru dan

Globalisasi. Lebih lanjut dalam buku ini diuraikan tentang fungsi seni

pertunjukan menjadi tiga, yaitu seni pertunjukan yang berfungsi

sebagai sarana ritual, seni pertunjukan yang berfungsi sebagai

hiburan, dan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi

estetis.

Terkait dalam penelitian disertasi ini, dengan objek kajian seni

pertunjukan Barongsai ditempatkan pada masa pengaruh Cina. Masa

pengaruh Cina, walaupun tidak seluas perkembangan seni

15

pertunjukan yang bernuansa Hindu dan Islam, jelas mempengaruhi

berbagai bentuk seni pertunjukan di Indonesia.20 Seni pertunjukan

Barongsai yang menampilkan binatang mitologi Cina berkaki empat

ini sangat khas, terutama kepalanya yang sangat besar yang kadang-

kadang mirip singa, dan sesekali mirip harimau, namun tidak

memberikan kesan menakutkan. 21 Deskripsi yang cukup rinci

mengenai seni pertunjukan pada setiap periode adalah hasil

penajaman sejarah seni pertunjukan, R.M. Soedarsono memberi

penajaman sejarah pada setiap periode seni pertunjukan dengan

memberi contoh bentuk seni pertunjukan pada setiap masanya yang

masih dapat dilihat pada masa kini.

Pustaka berikutnya yang berjudul Masyarakat dan Kebudayaan

Cina di Indonesia (1993) yang ditulis Hidajat Z.M. ini, menguraikan

persoalan sosio-kultural golongan minoritas keturunan Cina di

Indonesia, dalam rangka untuk pembinaan kesatuan bangsa. Buku

ini berisi dasar-dasar kehidupan sosial kultural golongan minoritas

keturunan Cina, yaitu dasar berpikirnya, pandangan hidup serta

ajaran-ajaran filsafatnya. Selanjutnya mengenai sistem kepercayaan,

struktur sosial dan segala aspek lainnya yang berhubungan dengan

kehidupan sosial kultural orang Cina pada umumnya dan khususnya

golongan minoritas keturunan Cina di Indonesia. Uraian selanjutnya

berhubungan dengan latar belakang sejarah sosiologis kulturalnya,

20 R.M.Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di era Globalisasi

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 53-60. 21 R.M. Soedarsono, 2002: 58-59.

16

persebarannya dan hubungannya dengan Cina perantau lainnya di

daerah Asia Tenggara dan lebih khusus di Indonesia. Selanjutnya

dikemukakan juga masalah yang berhubungan dengan akibat

penetapan dan pemusatan orang-orang Cina di Asia Tenggara, serta

melukiskan tentang permasalahan yang berhubungan dengan

golongan minoritas keturunan Cina di Indonesia dan usaha-usaha

pemerintah Indonesia dalam menanggulanginya.22

Buku karya Aimee Dawis, Orang Tionghoa Indonesia Mencari

Identitas: Hubungan Antara Ingatan Kolektif dan Media (2010) secara

khusus meneliti dari kaca mata media, bagaimana orang Indonesia

Tionghoa tumbuh di lingkungan media dan budaya yang terkekang

selama 33 tahun dalam era Orde Baru pimpinan Soeharto. Buku ini

menelaah ingatan kolektif generasi tentang masa remaja orang

Indonesia Tionghoa yang tumbuh besar di Iingkungan yang

dikendalikan oleh pemerintah dan berdampak pada pembentukan

dan pemeliharaan jati diri mereka, serta pemahaman kembali

ketionghoaan mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini

sebagai langkah pertama menuju pemahaman mengenai proses

konstruksi ulang dan negosiasi ulang jati diri di antara orang

Indonesia Tionghoa melalui media.23

22 Hidajat Z.M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia (Bandung: C.V.

Tarsito edisi kedua, 1993), 11-12. 23 Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2010), 8-13.

17

Kong Yuanzhi menulis buku yang berjudul Muslim Tionghoa

Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (2007). Buku ini

memberikan gambaran perjalanan Cheng Ho (1371-1433) bahariawan

besar bukan hanya di dalam sejarah pelayanan Tiongkok, tetapi juga

di sepanjang sejarah pelayaran dunia. Selama 28 tahun (1405-1433)

ia memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30

negara dan kawasan yang terletak di Asia Tenggara, Samudra Hindia,

Laut Merah, dan Afrika Timur.24 Perjalanan Cheng Ho di Nusantara

dilakukan selama tujuh kali Asia-Afrika pada abad ke-15 yang

merupakan suatu lembaran sejarah yang gemilang. Salah satu hasil

penting dari seluruh pelayaran Cheng Ho adalah 24 peta navigasi

yang diterbitkan dengan judul Zheng He‟s Navigation Map. Peta

tersebut berisi pokok-pokok mengenai arah pelayaran, jarak di

lautan, berbagai pelabuhan, dan lain-lain. Selain itu, Cheng Ho juga

berjasa besar dalam penyebaran agama Islam, pembauran, dan

peningkatan sumber daya manusia dalam bidang perdagangan dan

pertanian bagi daerah yang dikunjunginya. Buku yang mengupas

perjalanan Cheng Ho ini merupakan rekonstruksi sejarah masyarakat

keturunan Tionghoa di Indonesia khususnya dan masyarakat

Tionghoa di negara lain pada umumnya, dalam peran sertanya bagi

24Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara

(Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), 3.

18

proses pembentukan identitas kebangsaan dan dakwah agama

Islam.25

Artikel Agni Malagina berjudul Tarian Barongsai Nan Eksotis

dari Global ke Lokal kembali ke Global (2010) yang merupakan hasil

seminar “Sesudah Air Mata Kita Kering” yang diadakan di Jakarta

pada Mei 2008, selanjutnya makalah-makalah tersebut dibuat buku

dan diterbitkan oleh Kompas. Dari hasil penelusurannya, Agni

Malagina menyoroti fenomena yang mencolok terjadi setelah peristiwa

Mei 1998 yaitu munculnya Barongsai dan tarian Naga di banyak kota

di Indonesia. Terjadinya boom tarian Barongsai ini, menurut Agni

Malagina merupakan suatu hal yang mengagumkan karena untuk

jangka waktu yang panjang (30 tahun) tarian ini dilarang sama sekali

diperagakan di tempat umum di semua wilayah Indonesia. Agni

Malagina melihat bahwa secara perlahan pementasan Barongsai

mengalami pergeseran, yaitu sebagai komoditas jalanan kaki lima

yang pemainnya muncul tanpa diundang dan sering disebut

Barongsai ngamen.26

Penelitian mengenai Barongsai pemah dilakukan oleh Bintang

Hanggoro Putra berjudul Kebangkitan Barongsai di Era Reformasi

(2002), yang mengungkap permasalahan tentang latar belakang

kehidupan, fungsi, dan bangkitnya kembali Barongsai di era

25Kong Yuanzhi, 2007: xxxii. 26 Agni Malagina. “Tarian Barongsai Nan Eksotis dari Global ke Lokal

Kembali ke Global.” dalam I Wibowo dan Thung Ju Lan ed., Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2010), l84-206.

19

reformasi. Barongsai merupakan kesenian khas Cina telah lama

hidup dan berkembang di Indonesia. Tidak ditemukan bukti yang

pasti sejak kapan Barongsai masuk ke Indonesia, tetapi berdasar

kajian literer dan hasil empirik di lapangan bisa diduga Barongsai

telah ada di Indonesia sejak abad ke-14. Kesenian Barongsai sejak

dahulu berfungsi sebagai sarana ritual, yaitu sebagai wahana

penghubung antara kehidupan manusia di dunia nyata dengan para

leluhur dan atau Tuhan. Selain fungsi ritual, pada masa sekarang

kehidupan Barongsai lebih didominasi dengan fungsi hiburan.27

Tulisan Vivy Kumala Sari yang berwujud artikel berjudul

Memahami Barongsai Tiongkok (2003), memberikan pemahaman

mengenai bentuk, fungsi, dan makna Barongsai Tiongkok sebagai

tempat asalnya barongsai. Selajutnya, dalam uraian artikel ini Vivy

membandingkan antara Barongai Tiongkok Utara dengan Barongsai

Tiongkok Selatan.

Barongsai Tiongkok Utara bentuknya anthropomorphic,

mendekati bentuk singa yang sebenarnya. Singa di Tiongkok

dianggap suci, dan Barongsai disimbolkan sebagai lambang kesucian.

Gaya permainannya berupa kekuatan fisik, akrobat, dan gerak-gerik

singa. Gaya permainannya yaitu Barongsai lantai untuk unsur

betina, jenis akrobat, jenis kuda-kuda/tonggak, jenis meja dan

jejangkungan merupakan unsur jantan.

27Bintang Hanggoro Putra, 2002: 94-96.

20

Barongsai Tiongkok Selatan bentuknya anthropomorphic,

bergaya grotes (bentuk tidak selalu mengacu pada alam nyata,

bahkan sering bertentangan). Barongsai yang berunsur betina

berwarna merah, kuning, biru, dan hijau, sedangkan unsur jantan

berwarna hitam. Cara memainkannya adalah kombinasi, yaitu

pengaruh dari Tiongkok Utara dengan akrobatnya, dan Tiongkok

Selatan dengan Kung Fu/silat. Gaya bermainnya tidak menjadi

patokan, bisa saja berimprovisasi, yang penting memainkan

keindahan Barongsai itu sendiri.28

Pustaka dan atau hasil penelitian di atas belum secara

mendalam mencermati aspek tekstual seni pertunjukan Barongsai

secara lengkap. Berbeda dengan tulisan dan hasil penelitian

terdahulu, tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada tekstual dan

kontekstual seni pertunjukan Barongsai. Berdasarkan beberapa

sumber pustaka yang dipelajari, belum ditemukan penelitian yang

membicaakan atau menyinggung topik permasalahan dalam disertasi

ini.

E. Landasan Teori

Kajian teoretis dilakukan sebagai kerangka penjelasan dan

pendekatan dalam menganalisis permasalahan serta sebagai panduan

dalam pengumpulan data di lapangan. Teori mengacu pada kaitan

28 Vivy Kumala Sari. "Memahami Barongsai Tiongkok," Panggung Jumal Seni

STSI (Bandung Nomor XXVII Tahun 2003), 24-25.

21

hubungan fungsional konsep-konsep yang menjadi landasan dari

perwujudan satuan-satuan gejala yang dipelajari. Konsep adalah

suatu pengertian abstrak yang didasarkan atas seperangkat konsepsi,

atau merupakan konsepsi yang telah teruji keabsahan, generalisasi,

dan operasionalnya dalam suatu kajian yang terus menerus. Konsep

membatasi ruang lingkup perhatian dan atau kajian. 29 Sebelum

menguraikan teori-teori yang digunakan untuk membedah,

menganalis, dan membantu menjawab masalah dalam penelitian ini,

lebih dahulu dipaparkan beberapa konsep untuk memberikan

kesamaan persepsi atau disebut juga definisi operasional.

Terkait dengan pilihan dimensi waktu dalam penelitian ini,

yaitu pada peride 1998-2013 mempunyai dua alasan. Pertama, pada

tahun 1998 merupakan tonggak kebangkitan dan kebebasan ekspresi

politik dan sosial budaya khususnya pada masyarakat etnis Tionghoa

dalam berkesenian yaitu dalam wujud penampilan Barongsai. Eforia

itu bangun dari tidurnya selama 32 tahun penampilan Barongsai

terlarang bernafas dan berkiprah di belahan wilayah Indonesia di

bawah pemerintahan Orde Baru (Orba). Kedua, tahun 2013

merupakan tahun penting dengan ditandainya sebuah peristiwa

bersejarah yaitu pada tanggal 21 Pebruari 2013 dalam rapat anggota

Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat di Bandung,

diputuskan bahwa KONI Pusat menerima Federasi Olahraga

29 Tjetjep Rohendi Rohidi, Metodologi Penelitian Seni (Semarang: Cipta Prima

Nusantara, 2011), 125-126.

22

Barongsai Indonesia (FOBI) sebagai cabang olahraga baru yang

menjadi anggota KONI Pusat. FOBI adalah suatu federasi yang

menaungi lima organisasi Barongsai di Indonesia, yaitu Persatuan

Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia (Persobarin), Persatuan Naga

Barongsai Indonesia (Pernabi), Asosiasi Liong dan Barongsai Seluruh

Indonesia (ALBSI), Persaudaraan Liong Barong Bogor (PLBB) dan

Asosiasi Liong dan Barongsai Bandung (ALBA). Kelima organisasi itu,

pada acara Kongres FOBI di Jakarta tanggal 9 Agustus 2012 telah

memilih Dahlan Iskan sebagai Ketua Umum FOBI periode 2012-2016

dan Wakil Ketua Umum Kuncoro Wibowo, sedangkan susunan

pengurus besar FOBI sudah dikukuhkan oleh KONI Pusat dengan

surat keputusan tanggal 22 Maret No.33 tahun 2013.30

Untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh terhadap

masalah yang dikaji dalam disertasi ini digunakan pendekatan

performance studies. Pendekatan ini digunakan untuk kerangka

analisis penampilan Barongsai yang mengandung berbagai aspek

yang saling berhubungan dan proses interaksi dalam penampilan

Barongsai.

Banyak peristiwa budaya yang tidak memiliki kata atau istilah

atau kategori yang disebut „seni‟, walaupun mereka menciptakan

„pertunjukan‟ yang mendemonstrasikan sentuhan estetis yang tinggi.

30Wawancara dengan Budi Widodo ketua Persobarin Jawa Tengah tanggal 30

Oktober 2013 di Rumahnya Jalan tanjung Mas Raya A-21 Semarang; periksa

http://www.jpnn.com/read/2013/06/19/177584/index.php?mib=berita.detail&id=176378, diunduh 23 Juni 2014

23

Dengan demikian, kini banyak peristiwa yang dahulu tidak bisa

dikatakan sebagai „seni‟ atau performance sekarang telah ada

payungnya, yaitu „performance studies‟ atau „kajian penampilan‟.31

Performance studies atau kajian penampilan adalah sebuah

disiplin baru, sebuah pendekatan interdisipliner yang

mempertemukan berbagai disiplin, antara lain kajian sejarah,

linguistik, kritik sastra, antropologi, antropologi tari, etnomusikologi,

folklore, semiotika, teater, dan koreografi. Dua tokoh terkemuka dari

disiplin performance studies adalah almarhum Victor Turner

antropolog dan Richard Schechner aktor, sutradara teater, pakar

pertunjukan, dan editor “The Drama Review”. Turner dan Edward M.

Bruner dalam bukunya yang berjudul Anthropology of Experience

menjelaskan bahwa sebuah kajian antropologi memusatkan

perhatian kepada “experience, pragmatics, practice, dan performance”.

Hal ini dirasa perlu karena pengalaman yang dialami bukan hanya

dalam bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imaji dan impresi atau

kesan. Lebih lanjut, tentang Anthropology of Experience Bruner

menjelaskan bahwa ada jarak yang tidak bisa dihindarkan antara

realitas pengalaman, ekspresi, dan ketegangan. Ketiganya merupakan

pokok dan atau kunci masalah dalam antropologi pengalaman. Dalam

konteks ini, sebuah ekspresi tidak pernah hanya merupakan teks

31 Richard Schechner, Performance Studies An introduction (New York:

Routledge, 2002), 31; periksa Tati Narawati, “Performance Studies: An Introduction (Sebuah Tinjauan Buku)” dalam Panggung Jurnal Seni STSI Bandung, Nomor XXVII

tahun 2003: 6.

24

yang terisolasi dan statis. Ekspresi selalu mencakup aktivitas yang

meneliti waktu sebagai sebuah proses. Hal ini berhubungan dengan

teks yang dipertunjukan, bahwa antropologi pertunjukan adalah

bagian dari antropologi pengalaman.32

Performance studies menekankan pentingnya untuk

mempelajari pengalaman atau penampilan sebagai suatu proses atau

bagaimana penampilan mewujud di dalam ruang, waktu, konteks

sosial dan budaya masyarakat pendukungnya. Masih terkait tentang

proses penampilan, Schechner menjelaskan dalam bukunya yang

berjudul Performance Studies An Introduction, sub bab “Performance

Processes” sebagai berikut.

“The performance process in a time-space sequence composed of proto-performance, performance, and aftermath. This three-phase sequence may be further divided into ten parts: Proto-performance 1. Training 2. Workshop 3. Rehearsal Performance 4. Warm-up 5. Public performance 6. Events/contexts sustaining the public performance 7. Cooldown Aftermath 8. Critical responses 9. Archives 10. Memories.

32 Edward M. Bruner, “Experience and Its Expression,“ dalam Anthropology

of Experience, 1986: 7; periksa Sal Murgiyanto, “Mengenal Kajian Pertunjukan,”

dalam Pudentia (ed)., Metodologi Kajian Tradisi Lisan, 1998:10.

25

This process applies to all kinds of performances-the performing arts, sport and other popular entertainments, ritual, and the performances of everyday life”.33

(Sebuah proses pertunjukan bila ditinjau dari urutan waktu dan ruang, terdiri dari sebelum, pada saat, dan sesudah

pertunjukan. Ketiga tahapan ini terbagi lagi menjadi sepuluh bagian, yaitu: Sebelum pertunjukan (proto)

1. Pelatihan 2. Diklat

3. Latihan

Saat pertunjukan: 4. Pemanasan

5. Penampilan di depan publik 6. Konteks dalam mempertahankan penampilan

7. Pendinginan

Sesudah pertunjukan 8. Tanggapan atau kritik

9. Arsip (hal yang perlu direkam) 10. Hal yang perlu diingat (evaluasi)

Proses ini berlaku untuk semua jenis pertunjukan baik seni pertunjukan, olahraga dan hiburan populer lainnya, ritual, dan

pertunjukan dalam kehidupan sehari-hari).

Masih terkait dengan penampilan, Martha C. Sims dan Martin

Stephens dalam bukunya yang berjudul Living Folklore (2005)

menyatakan bahwa, “penampilan adalah sebuah aktivitas

pengungkapan yang meminta keterlibatan, kenikmatan pengalaman

yang ditingkatkan, serta mengundang respons”.34 Suatu penampilan

memerlukan bekerja sebuah bingkai (frames) yang dikenali baik oleh

33 Richard Schechner, 2002: 191. 34 Lono Simatupang, Pergelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya

(Yogyakarta: Jalasutra, 2013), 31.

26

penyaji maupun oleh penonton sebagai penanda bahwa yang berada

dalam bingkai tersebut adalah penampilan. Bingkai tersebut dapat

berwujud dalam pelbagai bentuk mulai dari konvensi-konvensi

mengenai tempat, waktu, materi ungkap, teknik pengungkapan,

hingga pada tanda-tanda bahasa, gerak, rupa yang spesifik. 35

Penampilan (performance) memiliki tiga unsur pokok, yaitu: 1)

penampilan adalah peristiwa, yang secara ketat atau longgar, bersifat

terancang (misalnya: tempatnya, waktunya, pesertanya, aturannya)

yang membedakan penampilan dari peristiwa-peristiwa lain yang

terjadi secara kebetulan; 2) sebagai sebuah interaksi sosial,

penampilan ditandai dengan kehadiran secara fisik para pelaku

peristiwa dalam sebuah ruang fisik tertentu, dan 3) peristiwa

penampilan terarah pada penampilan ketrampilan dan kemampuan

olah diri, jasmani, rohani, atau keduanya. Lebih tegasnya, peristiwa

penampilan selain melibatkan ”performer” atau pemain juga

melibatkan ”audience” atau penonton.36

Sesuatu dapat dikatakan penampilan, jika mempunyai objek

penampilan, ada penonton, dan ada respons dari orang lain, serta

memberikan kesan melalui tanda-tanda. Di dalam sebuah

penampilan ada titik awal dan titik akhir, buka dan tutup, yang bisa

dikategorikan dalam tahap before performance, performance, dan after

performance. Performance arts atau seni pertunjukan merupakan

35 Lono Simatupang, 2013: 31. 36G.R.Lono Lastoro Simatupang. ”Budaya sebagai Strategis dan Strategis

Budaya,” GLOBAL –LOKAL. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th.X, Juli 2000, 7-8.

27

bagian dari performance studies atau kajian penampilan, yang

kehadiran aspek atau unsur seninya sengaja ditampilkan dan atau

terbawa serta. Hasil yang diutamakan dalam performance studies

yaitu berupa wigati atau makna yang berguna bagi yang menonton

dan atau masyarakat.37

Selanjutnya, performance studies atau „kajian penampilan‟

merupakan semua perbuatan manusia yang kehadirannya di

hadapan masyarakat penikmat dengan cara „ditampilkan‟. Schechner

lewat buku terbarunya yang berjudul Performance Studies An

Introduction membedakan antara “performing arts studies” atau

pengkajian seni pertunjukan dengan “performance studies” atau

pengkajian Penampilan. Pengkajian seni pertunjukan menurut

Schechner hanya merupakan bagian dari performance studies atau

pengkajian penampilan, karena semua perbuatan manusia yang

„ditampilkan‟ termasuk dalam wilayahnya. Performance studies bukan

saja meliputi musik, tari, drama, dan resitasi, tetapi juga pencak

silat, akrobat, sulap, parade, ritual, demonstrasi, olah raga,

permainan, sirkus, karnaval, ziarah, nyekar, bahkan juga perang, dan

lain-lain.38

37 Sal Murgiyanto menyampaikan informasi ini berdasarkan keahliannya

dalam bidang performance studies atau kajian pertunjuan. Wawancara

diberlangsung di Rumah Pak Sal, di Yogyakarta pada tanggal 16 Maret 2014 pukul

13.30 s.d. 16.00 wib. 38 Sal Murgiyanto, 1998: 9; periksa Richard Schechner, 2002: 2; periksa Tati

Narawati, 2003: 2.

28

Schechner dalam bukunya yang berjudul Performance Studies:

An Introduction, dalam bab 2 berjudul “What Is Perfomance?”

menjelaskan.

In business, sport, and sex, “to perform” is to do something up to a standar-to succeed, to excel. In the arts, “to perform” is to put on a show, a play, a dance, a concert. In everyday life, “to

perform”, is to show off, to go to extremes, to underline an action for those who are wathching. “To perform” can also be understood in relation to: being, doing, showing doing, explaining showing doing.39

(Dalam bidang bisnis, olahraga dan kehidupan seks, istilah to

perform adalah untuk melakukan sesuatu hingga mencapai

hasil standar, hingga berhasil, maupun hingga melampaui hasil

yang diharapkan. Dalam seni, istilah to perform adalah

menampilkan sebuah pertunjukan, drama, tari, konser. Dalam

kehidupan sehari-hari, istilah to perform, adalah untuk

menunjukkan, untuk mencapai tingkat ekstrim, untuk

menegaskan sebuah tindakan bagi siapapun yang melihatnya.

To perform dapat juga dipahami dalam kaitannya dengan:

keberadaan, berbuat, menunjukkan sebuh tindakan, mampu

menjelaskan tindakan yang dilakukan).

Dengan demikian „to perform‟ dapat dipahami sebagai: 1) being atau

keberadaan; 2) doing atau melakukan; 3) showing doing atau

memperlihatkan tentang yang dilakukan; dan 4) explaining showing

doing atau menjelaskan tentang memperlihatkan yang dilakukan.

Keunikan dari sebuah peristiwa pernampilan bukanlah pada

bendanya, akan tetapi pada interaktivitasnya.

Sasaran kajian penampilan tidak terbatas pada tontonan yang

dilakukan di atas panggung konvensional, tetapi juga terjadi di luar

39 Richard Schechner, 2002: 22.

29

panggung.40 Artinya, apa yang dimaksud performance tidak selalu apa

saja yang ditampilkan di atas pentas atau panggung seni

pertunjukan, yang biasanya dikategorikan sebagai seni berdasarkan

pemahaman konvensional, tetapi apa saja aktivitas manusia yang ada

di luar pentas. Schechner secara tegas menjelaskan apa yang disebut

sebagai performance studies demikian:

The one overriding and underlying assumption of performance studies is that the field is wide open. There is no finality in performance studies, either theoretically or operationally. There are many voices, opinions, methods, and subjects…, anything at all can be studied as „performance‟.41

(Hal yang mendasari dan merubah asumsi mengenai kajian

penampilan adalah karena bidang ini terbuka lebar. Tidak

pernah ada sebuah kejelasan yang sebenarnya didalamnya,

baik teori maupun operasionalnya. Ada banyak suara,

pendapat, metode, dan subjek … di mana semua hal tersebut

dapat dipahami sebagai penampilan).

Yang membuat performance studies menjadi khas adalah: 1)

perilaku manusia menjadi objek kajian; 2) praktik artistik merupakan

bagian besar dari proyek performance studies; 3) penelitian lapangan

yang berbentuk participant observation atau observasi terlibat sangat

penting; 4) performance studies selalu berada dalam lingkungan

sosial. 42 Lebih lanjut Schechner mengatakan bahwa, performance

studies harus dipahami sebagai sebuah spektrum yang luas. Artinya,

sebagai kontinum atau rangkaian dari aksi atau perbuatan manusia

40 Sal Murgiyanto, 1998: 9. 41 Richard Schechner, 2002: 1. 42 Richard Schechner, 2002: 1-2.

30

yang meliputi ritual, permainan, olah raga, hiburan popular, seni

pertunjukan baik itu teater, tari, dan musik, serta kehidupan sehari-

hari, profesional, gender, media, dan internet. 43 Lebih tegas

Schechner membagi performance studies menjadi delapan macam

ruang lingkup, yaitu: 1) kehidupan sehari-hari; 2) seni; 3) olah raga;

4) bisnis; 5) teknologi; 6) seks; 7) ritual, baik yang sakral maupun

yang sekuler; 8) drama. 44 Delapan aspek itu merupakan aktivitas

atau pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari yang dapat

dikategorikan sebagai sebuah performance atau penampilan.

Dengan demikian pendekatan performance studies sangat

terbuka, tidak ada batas di dalamnya, baik secara teoretis maupun

operasionalnya. Banyak metode serta sasaran dalam performance

studies, apa saja dapat dikaji sebagai sebuah performance atau

„penampilan‟. Performance studies, tekanannya untuk mempelajari

pengalaman atau penampilan sebagai suatu proses atau bagaimana

penampilan mewujud di dalam ruang, waktu, konteks sosial dan

budaya masyarakat pendukungnya.45 Banyak metode serta sasaran

dalam performance studies, apa saja dapat dikaji sebagai sebuah

performance atau penampilan, demikian halnya penampilan

Barongsai di Kota Semarang.

Dalam antropologi kajian tentang tari atau antropologi tari,

sumbangan pokok-pokok pikiran dan ide-ide dasar antropologi tari

43 Richard Schechner, 2002: 2. 44 Richard Schechner, 2002: 25. 45 Periksa Sal Murgiyanto, 1998:11.

31

dari ketiga tokoh atau pakar yaitu Curt Sachs, Franz Boas, dan

Gertrud P. Kurath tidak bisa dilupakan. Dalam konteks antropologi

tari, pokok-pokok pikiran Sachs dituangkan dalam buku tari yang

pertama kali yang berjudul “Eine Weltgeschichte des Tanzes”,

diterbitkan pada tahun 1933 dan diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris pada tahun 1937 menjadi “World History of the Dance”. 46

Sachs membandingkan berbagai macam bentuk tari dan kemudian

menentukan suatu daerah kebudayaan berdasarkan atas kesamaan-

kesamaan bentuk-bentuk tarian dari masyarakat atau suku bangsa

yang ada di daerah kebudayaan tersebut. Kajian Sachs ini yang

berpusat pada sistemisasi, klasifikasi, dan difusi, dapat dikatakan

sebagai studi komparatif yang pertama mengenai tari, yang dilakukan

dengan langkah-langkah sistematis dengan orientasi teoretis yang

cukup jelas. Kekuatan kajian Sachs terletak pada substansinya, atau

informasi etnografis yang dikandungnya.47

Sementara itu Frans Boas adalah salah satu pendiri antropologi

di Amerika Serikat, meskipun berasal dari tradisi Jerman Boas

menolak banyak gagasan dari tempat asalnya dan berpusat pada

variabilitas budaya, menolak bahasa seni atau tari universal dan

menempatkan dasar untuk kemungkinan meneliti tarian dalam

46 Adrienne L. Kaeppler, “Dance in Anthropologycal Perspective” dalam

Jurnal Annual Review of Anthropology, Vol.7 (1978), 36; periksa Heddy Shri Ahimsa-

Putra“Etnosains untuk Etnokoreologi Nusantara (Antropologi dan Khasanah Tari)” dalam Etnokoreologi Nusantara (batasan kajian, sistematika, dan aplikasi keilmuannya), R.M. Pramutomo (Ed.) (Surakarta: ISI Press Surakarta, 2007), 87.

47 Adrienne L. Kaeppler, 1978: 33; periksa Adrienne L. Kaeppler, “Dance Ethnology and the Anthropology of Dance” dalam Dance Research Journal Vol. 32

No.1 (Summer, 2000), 118.

32

konteks relativisme budaya.48 Dimulai dari karakterisasi Boas yang

ditulis oleh Kealiinohomoku (1976) sebagai berikut.

Tari adalah fenomena manusia secara universal, tetapi karena tubuh manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuan gerak, dan karena relatif terbatas dalam kelompok formasi yang

sangat tampak pada manusia, pola tari yang sejenis dibuat di tempat terpisah dan tidak terkait. Tetapi setiap budaya memiliki konfigurasi karakteristik tari yang unik untuk pola

gerakan, gaya, dinamika, nilai dan raison d‟etre tari yang berbeda ketika membandingkan tarian dari satu kebudayaan

dengan kebudayaan lain.49

Penjelasan Boas berikutnya, seperti yang dikutip I Made Bandem

dalam bukunya yang berjudul Etnologi Tari Bali, adalah “a study of

culture and social forms as expressed through the medium of dance; or

how dance functions within the cultural pattern”. Artinya, suatu studi

tentang kebudayaan dan bentuk-bentuk kemasyarakatan yang

diungkapkan melalui media tari, atau bagaimana tari berfungsi di

dalam pola-pola kebudayaan.50

Sebelum membicarakan etnokoreologi, ada beberapa istilah

yang perlu dicermati dan diklarifikasi. Istilah pertama yang perlu

mendapat perhatian adalah Dance Ethnology, Dance Anthropology,

Choreology, Ethnochoreography, dan Dance Studies. Istilah-istilah

tersebut mempunyai tujuan pemahaman yang sama, yaitu memberi

nama bagi kegiatan penelitian tentang tari etnis.51 Munculnya disiplin

Etnologi Tari (Dance Ethnology) atau Antropologi Tari (Dance

48 Adrienne L. Kaeppler, “Dance Ethnology and the Anthropology of Dance” dalam Dance Research Journal Vol. 32 No.1 (Summer, 2000), 119. periksa Adrienne

L. Kaeppler, 1978: 34. 49Periksa Adrienne L. Kaeppler, 1978: 34. 50 I Made Bandem, Etnologi Tari Bali (Denpasar: Kanisius, 1996), 21. 51 Periksa R.M. Soedarsono, 2007: 2; periksa Ahimsa-Putra, 2007:90-91.

33

Anthropology) merupakan solusi bagi penelitian tari-tarian Indonesia

yang masuk kategori tari rakyat, karena pada umumnya tari-tarian

rakyat yang mampu hidup langgeng adalah yang secara kontekstual

berfungsi ritual dalam kehidupan masyarakat.

Untuk memperjelas istilah Etnokoreologi, Kurath ahli sejarah

seni, musik dan drama, Koordinator Pusat Penelitian Tari di Ann

Arborn Michigan Amerika Serikat, guru tari modern, penampil konser

atau penari, produser acara dan drama tari, telah dianggap sebagai

“pelopor” dari etnologi tari, menulis artikel berjudul “Panorama of

Dance Ethnology”. 52 Kendatipun sebelumnya, Kurath juga telah

menulis artikel yang berjudul “Choreology and Anthropology” dalam

jurnal American Anthropologist pada tahun 1956 yang menjelaskan

bahwa koreologi adalah ilmu pola-pola gerakan, yang merupakan

bagian dari ilmu memahami manusia. Pada makna yang lebih luas,

ilmu baru dari ilmu-ilmu etnis ini berhubungan dengan karakteristik-

karakteristik dan ekspresi-ekspresi sebuah gerakan apapun, baik

secara fungsi ataupun secara artistik. Dalam makna yang lugas atau

sempit koreologi menganalisis bentuk-bentuk teratur dari gerakan-

gerakan yang dikenal sebagai tarian, bentuk tertua dari seni.53

Artikel berikutnya, berjudul “Panorama of Dance Ethnology”

diterbitkan dalam Chicago Jurnal Current Anthropology pada tahun

52 Gertrude Prokosh Kurath, “Panorama of Dance Ethnology”, dalam Chicago

Juornals Current Anthropology, Vo. 1, No. 3 (May , 1960), 236; periksa Adrienne L.

Kaeppler, 1978: 35. 53 Gertrude Prokosh Kurath, “Choreology and Anthropology” dalam Jurnal

American Anthropologist, New Series, Vol.58 No.1 (Februari, 1956), 177.

34

1960 memperkenalkan istilah Ethnochoreography yang dimaknai

sama dengan Dance Ethnology. Kurath mendefinisikan sebagai

“sebuah studi ilmiah tentang tarian-tarian etnik di dalam semua

signifikansi kultural, fungsi religius atau simbolis, atau tempat sosial

mereka”. 54 Namun Kurath kemudian memperkenalkan lagi istilah

Choreology, berikut di bawah ini rumusannya.

Choreology recognizes the cultural setting of dance, including the cultural position of individuals and of the sexes, and pattern of cocial organization and economic activity. It can identify local styles and styles spread over larger areas. Further, choreologists can design comparative studies to solves problems of prehistory, orthogenesis, diffusion, and internal and acculturation changes.55

(Koreologi mengenal setting kultural tari, termasuk posisi kultural individu, jenis kelamin dan pola organisasi sosial dan kegiatan ekonomi. Hal ini dapat mengidentifikasi gaya lokal dan

gaya yang tersebar di wilayah yang lebih besar. Selanjutnya, koreologis dapat mendesain studi komparatif untuk

menyelesaikan masalah pra sejarah, ortogenesis, difusi, dan perubahan internal dan akulturasi).

Kutipan di atas, Kurath telah mengemukakan istilah Choreology yang

lebih tepat digunakan untuk penelitian tentang tari. Istilah ini berasal

dari bahasa Yunani choros yang berarti tari, dan logos yang berarti

ilmu pengetahuan.56

Pemikiran dan ide-ide Kurath tentang choreology, yang

didefinisikan sebagai “the science of movement patterns” atau “ilmu

tentang pola gerak”. 57 Ilmu ini meliputi hal-hal yang sangat rinci

54 Gertrude Prokosh Kurath, 1960: 235; periksa I Made Bandem, 1996:21. 55 Gertrude Prokosh Kurath, 1960: 236; periksa R.M. Soedarsono, 2007:8. 56 R.M. Soedarsono, 2007:8. 57 Adrienne L. Kaeppler, 1978: 36; periksa Ahimsa-Putra, 2007:91.

35

mulai dari “an observed pattern in order to perceive the structure” atau

“pola yang diamati dengan tujuan untuk mengetahui struktur” dan

“the synthetic proses of choreosocial relationships” atau “proses

sintesis hubungan koreososial”. Deskripsi dan analisis tersebut dapat

ditekankan penggunaannya untuk mengatasi masalah ruang dan

waktu yang meliputi studi wilayah, intrusi dan difusi, dan masalah-

masalah perubahan.58

Singkatnya, kontribusi Kurath pada penelitian etnologi tari,

atau sebagaimana beberapa orang menyebutnya “ethnochoreology”,

adalah dalam kumpulan karyanya dengan detail empiris. Banyak

detail empiris Kurath yang disajikan dengan baik, sehingga peneliti

lain dapat memanfaatkan informasinya sebagai tambahan materi

penelitian dan mengembangkan gagasan dan kepeloporannya untuk

penelitian lebih lanjut.59

R.M.Soedarsono menguraikan secara kronologis munculnya

istilah choreology yang pernah dipergunakan di Eropa Barat. Claire

Holt dalam bukunya Art in Indonesia:Continuities and Change (1967)60

dan Anya Peterson Royce dalam bukunya The Anthropology of Dance

(1980) 61 telah menawarkan pendekatan Choreology, tetapi tidak

digunakan bahkan hanya menyarankan serta memberi petunjuk-

petunjuk, bahwa seorang peneliti harus memahami berbagai konsep

58 Adrienne L. Kaeppler, 1978: 36. 59 Adrienne L. Kaeppler, 1978: 37. 60 R.M. Soedarsono, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia

(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000). 61Periksa Anya Peterson Royce, The Anthropology of Dance (Bloomington dan

London: Indiana University Press, 1980).

36

antropologi, linguistik, sejarah, serta sistem pencatatan tari

Labanotation.62 Labanotation atau Kinetography Laban seperti yang

dikenal di Eropa, suatu sistem internasional untuk notasi tarian yang

mirip dengan notasi musik, telah ada sejak tahun 1928.63

Kendatipun demikian, ternyata penggunaan istilah etnologi tari

masih banyak yang memperdebatkan. Beberapa alasan disampaikan,

yaitu istilah “etnologi tari” oleh Kurath pada awalnya mengacu pada

istilah “ilmu choreology” dan pada karyanya tentang postur tubuh

sebagai perilaku yang dipelajari, yang biasanya tidak dianggap

sebagai domain dari ahli etnografi. Alasan berikutnya, penggunaan

istilah “choreology” oleh Kurath, Kealiinohomoku, dan kemudian oleh

Royce, yang berarti “studi tentang tarian”. Istilah tersebut tampaknya

62 Periksa R.M. Soedarsono, 2001: 15-16. 63 Labanotation atau Kinetography Laban, adalah sistem pencatatan tari

yang diprakarsai oleh Rudolf von Laban pada tahun 1928. Notasi Laban ini dapat

mencatat semua gerakan tubuh manusia mulai dari yang sederhana sampai ke

yang kompleks atau rumit. Notasi laban telah berhasil diterapkan guna mencatat

gerak tubuh manusia, baik dalam bidang kajian antropologi, atletik, dan physiotherapy. Beberapa hal penting yang harus diketahui dalam Notasi Laban

ialah, (1) Simbol-simbol yang merupakan huruf-huruf dari bahasa gerak menunjukkan arah dan level dari bagian badan yang digerakkan; (2) Pencatatan

gerak dititikberatkan pada arah atau tujuan dari gerak, misalnya maju, mundur,

kiri, serong maju kiri, serong maju kanan, atas, tengah, bawah, berputar ke kanan,

berputar ke kiri dan sebagainya; (3) Tubuh manusia secara geris besar dibagi

menjadi dua, yaitu bagian kanan dan bagian kiri, yang masing-masing masih dibagi

lagi menjadi bagian-bagian dari anggota badan seperti kepala, bahu, lengan, tangan, jari tangan, dada, pinggang, tungkai, kaki, dan sebagainya; (4) Pencatatan

Notasi Laban dilakukan dan dibaca dari arah hadap penari; (5) Notasi Laban dicatat

dan dibaca dari bawah ke atas, kemudian dilanjutkan ke kanan; Periksa Ann Hutchinson, Labanotation or Kinetography The System of Analyzing and Recording Movement. Revised Third edition (New York: Theatre Arts Books, 1970), 6; periksa

Adrienne L. Kaeppler, 1978: 40; periksa R.M. Soedarsono, “Notasi Laban: Satu Kemungkinan Sistem Notasi Tari bagi Indonesia”, dalam Edi Sdyawati, dkk., Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari (Jakarta: Direktorat

Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1986), 329-330; Periksa juga glosari simbol Notasi Laban pada sub

bab lampiran.

37

tidak tepat secara antropologi, karena istilah tersebut menekankan

pada konten/isi tarian bukan pada elemen kontekstual dari

hubungan sosial dan asosiasi filosofis dengan struktur dan estetika

budaya.

Meskipun setuju dengan Kurath, Kealiinohomoku, dan Royce,

bahwa “subject choreology adalah tarian”, Kaeppler lebih

menyarankan bahwa kontribusi potensial dari sebuah tarian dalam

perspektif antropologi adalah apa yang dapat diceritakan oleh sebuah

tarian tentang masyarakat dan perilaku manusia yang telah

menghasilkan sistem budaya yang beragam.64 Lebih lanjut Kaeppler

dengan gagasannya, bahwa analisis gerakan tari dari sudut pandang

antropologis meliputi semua sistem gerak terstruktur, termasuk yang

diasosiasikan dengan ritual religius dan sekuler, upacara, hiburan,

seni bela diri, bahasa isyarat, olah raga, dan permainan. Semua hal

tersebut berasal dari proses kreatif yang memanipulasi, yaitu

menggunakan secara trampil tubuh manusia dalam ruang dan

waktu.65

Apa yang membuat kajian gerak bersifat antropologis adalah

fokusnya pada sistem, pentingnya tujuan, makna dan evaluasi

budaya. Para antropolog tertarik pada sistem gerak terstruktur secara

sosial, aktivitas-aktivitas yang menciptakannya, bagaimana dan oleh

siapa sistem-sistem tersebut dinilai, dan bagaimana sistem-sistem

64Adrienne L. Kaeppler, 1978: 40-41. 65 Adrienne L. Kaeppler, 2000: 117.

38

tersebut dapat membantu memahami masyarakat. Beberapa

antropolog memilih tidak terlibat dalam rincian gerakan, melainkan

fokus pada konteks dan makna. Antropolog lain menggabungkan

perhatian terperinci pada gerakan itu sendiri dengan sistem-sistem

sejarah, sosial dan budaya dimana gerakan tersebut melekat.

Singkatnya, tujuan dari penelitian antropologi bukanlah

sekedar untuk memahami tarian dalam konteks budayanya,

melainkan lebih untuk memahami masyarakat melalui analisis sistem

gerak. Berbeda dengan kajian antropologis tari, fokus dari para

etnolog tari seringkali pada muatan tari, dan kajian konteks budaya

bertujuan pada menjelaskan tarian tersebut. Perhatian terhadap

identitas etnis, status minoritas, konsep tubuh, diri, dan kepribadian

merupakan topik-topik yang mendapatkan perhatian dalam etnologi

tari.66

Dua kutipan di bawah ini memberikan gambaran tentang

uraian di atas, pertama pendapat antropolog Adrienne Kaeppler:

Etnolog tari biasanya adalah seorang penari yang melihat tari

sebagai sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat dipelajari terpisah dari konteks budayanya dan dapat dideskripsikan dan dibandingkan dengan bentuk-bentuk tarian lain. Seringkali

mereka sama sekali tidak tahu atau tidak peduli terhadap bagian “etnologi” dari etnologi tari. Dengan menggunakan

peralatan deskriptif, mereka merekam tari sebagaimana terjadi dalam pertunjukan tertentu. Seringkali sumbernya “second-hand” karena biasanya perekaman dilakukan dari film.

Prosedur ini menghasilkan sebuah deskripsi tentang bagaimana sebuah tarian dipertunjukan dalam kesempatan tertentu.

66 Adrienne L. Kaeppler, 2000: 120.

39

Sekelompok bahan-bahan dapat dikumpulkan dan dideskrpsikan dengan cara begini, sehingga memungkinkan

tarian dianalisis dari sudut pandang pengamat terhadap struktur dari berbagai tipe tarian yang ada dalam masyarakat

dan memilah-milah ciri-ciri seperti pola gerak, motif, garis arah dan pengulangan.Tetapi etnolog tari ingin mengetahui lebih dari hal-hal yang telah disebutkan. Antropologi abad XX telah

berkembang dari pendekatan deskriptif khas ilmu pengetahuan alam ke pendekatan yang lebih menitikberatkan pada teori. Bagi seorang antropolog, deskripsi tari-tarian dari seluruh

dunia bukanlah etnologi, melainkan sekedar data yang masih harus dianalisis dengan cara yang bermakna secara etnografis

baik dari sudut teori maupun metode.67 Bandingkan pendapat di atas dengan penyataan analisis tari

Janet Adshead, yang ditulis di bawah subjudul A time and a place for

dance analysis, sebagai berikut.

Perkembangan yang bersamaan di dalam riset tari sendiri sangat bermanfaat untuk mendemonstrasikan seberapa keras

dan dalamnya riset dalam antropologi tari dan disiplin-disiplin lain yang diterapkan dalam riset tari. Antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, teologi, disiplin-disiplin ini memiliki

sumbangan yang sangat berguna untuk memahami tempat dan tujuan (kegiatan) tari dalam konteks yang luas, untuk

menerangi fungsi-fungsi tari dalam kehidupan manusia. Yang tampak masih sangat kurang adalah hadirnya dasar yang cukup kuat untuk membuat pernyataan-pernyataan yang

merefleksikan tanggapan yang mendalam dan sarat informasi terhadap tari itu sendiri sehingga tempat tari dalam kehidupan dapat lebih tepat ditentukan.68

Kaeppler dan Adshead melihat tari dari sudut pandang yang berbeda,

tetapi keduanya menekankan perlunya analisis tari.

67 Gertrude Prokosch Kurath, Half A Century of Dance Research (Flagstaff,

Arizona: Cross Cultural Dance Research, 1986), 37; periksa Sal Murgiyanto, “Mengenal Kajian Pertunjukan,” dalam Pudentia MPSS, Metodologi Kajian Tradisi Lisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998),

22. 68 Janet Adshead, ed., Dance Analysis: Theory and Practice (Cecil Courts,

London: Dance Books, 1988), 6; periksa Sal Murgiyanto, 1998: 22-23.

40

Etnokoreologi sebagai disiplin ilmu, arah dasar yang perlu

mendapat perhatian adalah pemahaman akan tari dalam budaya,

yang berarti juga tari dalam masyarakat. Pemahaman berbagai

struktur dan berbagai fungsi di dalam masyarakat juga sangat perlu

diperhatikan dalam kajiannya.69

Istilah etnokoreologi terkait erat dengan istilah etnik. Istilah

etnik biasanya digunakan untuk menunjuk pada pengelompokan

suku-suku bangsa, seperti misalnya Jawa, Sunda, Madura, Minang,

Tionghoa dan masih banyak lagi suku-suku yang lain. Dalam

hubungannya dengan studi musik dan tari, maka istilah

ethnomusicology dan ethnochoreology yaitu ilmu musik dan ilmu tari

yang dihubungkan dengan sifat-sifat etniknya. Pada mulanya kedua

istilah tersebut juga berhubungan erat dengan kesuku bangsaan itu,

yang oleh orang banyak dianggap unik, eksotis, dan agak

terbelakang. Seiring dengan perkembangan waktu, kedua disiplin

ilmu tersebut cenderung menganggap semua jenis golongan budaya

sebagai golongan etnik. Semua kesenian dari berbagai kebudayaan,

Barat maupun Timur, klasik maupun tidak, dipandang sejajar

sebagai pokok penelitian.70

69 Edi Sedyawati, “Etno-Koreologi Nusantara: Perspektif, Paradigma, dan

Metodologi”, dalam Etnokoreologi Nusantara (batasan kajian, sistematika, dan aplikasi keilmuannya), R.M. Pramutomo (Ed.) (Surakarta: ISI Press Surakarta,

2007), 74. 70 Edi Sedyawati, “Tari sebagai salah Satu Penryataan Budaya”, dalam

Sedyawati, Yulianti Parani, Sal Murgiyanto, R.M. Soedarsono, Amir Rohkyatmo, Ben Suharto, Sukidjo, Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari (Jakarta:

Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), 3.

41

Penelitian ini pada dasarnya mengungkap dan menempatkan

penampilan Barongsai sebagai produk budaya, sehingga fokus

penelitian pada aspek tekstual yang dilengkapi analisis gerak tarinya

menggunakan Labanotation. Namun demikian untuk menjawab

masalah yang lebih kompleks dan menyeluruh, perlu pula

mengungkap penampilan Barongsai dari aspek kontekstual yaitu

memandang Barongsai dalam perspektif historis, politik, sosiologi,

antropologi, dan budaya. Dengan demikian penelitian ini

menggunakan perpaduan analisis tekstual dan kontekstual, disebut

juga penelitian yang menggunakan pendekatan multidisiplin.

Untuk melacak konteks dan keragaman penampilan Barongsai

di Kota Semarang dari tahun 1998-2013, yang terkait dengan situasi

politik yang berpengaruh besar terhadap penampilan Barongsai

digunakan teori sejarah yaitu kategori „sejarah pemikiran‟ (history of

thought/history of ideas/intellectual history) yang bermakna sebagai

“the study of the role of ideas in historical events and process”,71

(Pengkajian dari peran ide-ide dalam kejadian dan proses bersejarah).

Dalam praksisnya teori sejarah pemikiran ini perlu memperhatikan

kajian teks yang dikaitkan dengan konteks historisnya.72 Penampilan

Barongsai sebagai media ekspresi dan media komunikasi visual di

Kota Semarang dapat dilacak sejak tahun 1998 sampai 2013. Teori

71 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana , 2003), 189. 72 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003: 191.

42

tersebut digunakan untuk memaparkan perjalanan penampilan

Barongsai dari tahun 1998 sampai 2013.

Penampilan Barongsai di Kota Semarang 1998-2013

dieksplanasikan secara diakronis, artinya meneliti gejala-gejala yang

memanjang dalam waktu tetapi dalam ruang yang terbatas. 73

Penampilan Barongsai sebagai ungkapan kreativitas estetis dan

produk masyarakat sampai sekarang masih hidup serta telah

mengalami berbagai perubahan, seiring dengan berbagai perubahan

yang terjadi dalam masyarakat yang melahirkan, dari waktu ke

waktu. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang menyangga

penampilan budaya, termasuk upacara ritual arak-arakan Barongsai,

seni pertunjukan Barongsai, dan olahraga dengan segala aktivitas

budaya yang meliputi mencipta, memberi peluang untuk bergerak,

memelihara, menularkan atau mewariskan, dan mengembangkan

untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi.74

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa penelitian ini merupakan

penelitian multidisiplin, maka tidak dapat dihindari analisisnya

meminjam konsep dan teori dari beberapa disiplin ilmu yang relevan

dengan objek kajian. Salah satunya teori perubahan sosial Arnold

Hauser, dan juga dikolaborasikan dengan beberapa teori perubahan

sosial yang lain. Dijelaskan dalam teori ini, bahwa seni adalah

produk sosial, sehingga adanya perubahan dalam jagad seni

73 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 5. 74 Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981),

39.

43

merupakan produk dari masyarakat yang berubah pula. Perubahan

bentuk penampilan sangat dimungkinkan terjadi, karena adanya

pengaruh yang datang dari dalam maupun dari luar komunitas

tersebut.75 Di sisi yang lain, kebudayaan selalu mengalami perubahan

dari waktu ke waktu. Lambat atau cepatnya sebuah perubahan

tergantung dari dinamika masyarakat itu sendiri. Perubahan

kebudayaan dapat terjadi akibat pengaruh faktor-faktor internal yang

muncul dari dinamika yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat

pendukung kebudayaan itu sendiri, atau akibat pengaruh eksternal

yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. 76 Jika terjadi

perubahan sosial dan atau perubahan masyarakat, akan terjadi juga

perubahan kebudayaannya, dalam konteks ini penampilan Barongsai.

Selanjutnya, menurut Wilbert Moore seperti yang dikutip Lauer,

mendefinisikan perubahan sosial atau masyarakat sebagai perubahan

penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur

sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Moore

memasukkan ke dalam definisi perubahan masyarakat berbagai

ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai, dan fenomena

kultural.77 Dengan demikian definisi ini mengandung arti mencakup

beberapa aspek. Perubahan masyarakat adakalanya diartikan sebagai

variasi atau modifikasi dalam aspek proses sosial, pola sosial, dan

75 Arnold Hauzer, The Sociology of Art. Trans. Kenneth J. Nortcott (Chicago

and London: The University of Chicago Press, 1974), 135. 76 Sjafri Sairin, “Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamika Perubahan”, dalam

Humaniora Bulletin (Fakultas Sastra UGM No. VI Oktober-Nopember 1997), 2. 77 R.H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Bina Aksara,

1989), 4.

44

bentuk-bentuk sosial, serta setiap modifikasi pola antarhubungan

yang mapan dan standar perilaku.

Difusi, akulturasi, inovasi merupakan mekanisme lain yang

menyebabkan terjadinya suatu perubahan masyarakat. Proses

menyebarnya kebudayaan suatu daerah ke daerah lain,

bercampurnya dua kebudayaan atau lebih yang berlainan dalam

suatu daerah, pembaruan atau penemuan-penemuan alat-alat, cara-

cara, teknologi baru dalam suatu daerah, akan menyebabkan

rangsangan-rangsangan, kecenderungan-kecenderungan, kebutuhan-

kebutuhan, cara-cara, pola-pola, atau gaya-gaya hidup baru bagi

warga masyarakat suatu daerah. Munculnya kondisi ini, merupakan

suatu mekanisme yang wajar sebagai upaya untuk tetap adaptif dan

atau survive dengan perkembangan lingkungan yang dihadapinya.78

Hal-hal yang demikian pada gilirannya, akan menimbulkan

perubahan dalam kehidupan masyarakat baik secara individual

atapun sosial.

Penampilan Barongsai sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari kehidupan masyarakat etnis Tionghoa Kota Semarang, niscaya

tidak akan bebas dari pengaruh-pengaruh perubahan tersebut.

Asumsinya, penampilan Barongsai akan berubah mengikuti pola

perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik yang

menyangkut perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya dan juga

78 Triyanto, “Kesenian dalam Perubahan Masyarakat”, dalam Jurnal Media

FPBS IKIP Semarang No. 1 tahun XIX Maret 1996: 103.

45

dalam dimensi lokal, nasional, maupun global. Secara lebih tegas,

substansi perubahan sosial adalah perbedaan atau sesuatu yang

berbeda dibandingkan dengan keadaan dari sebelum terjadi

perubahan.

Penampilan Barongsai dalam masyarakat etnis Tionghoa di

Kota Semarang tidak luput dari kepercayaan totemisme. Penampilan

yang berkaitan dengan totemisme, masyarakat berupaya

menghadirkan roh binatang itu dalam bentuk tiruan binatang yang

berupa topeng-topeng binatang totem tersebut. E.B. Tylor yang

dituangkan dalam bukunya Primitive Culture, serta teori J.G. Frazer

dalam bukunya berjudul The Golden Bough, tentang hadirnya

binatang totem yang berpusat pada binatang pelindung.79

Topeng Barongsai yang menyerupai singa masih digunakan

sebagai upacara ritual tahun Baru Imlek, seni pertunjukan, maupun

olahraga dapat dipahami sebagai sisa-sisa kepercayaan totemisme.

Menurut Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul The

Elementary Forms of The Religious Life, mengatakan bahwa agama

tertua dalam kehidupan manusia adalah totemisme. 80 Dapat

dimengerti dalam masyarakat primitif memiliki binatang sebagai

pelindung, maka dari itu masyarakat primitif atau masyarakat masa

kini yang masih memelihara sisa-sisa totemisme, tabu untuk

membunuh atau makan binatang yang disakralkan. Teori tentang

79R.M. Soedarsono, 2002: 16; periksa juga Daniel L. Pals, Seven Theories of

Religion. Terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit QALAM, 2001), 72-90. 80Daniel L. Pals, 2001:166-184.

46

totemisme tersebut digunakan untuk mengurai keragaman Barongsai

sebagai bentuk ritual yang merupakan produk masyarakat

pendukungnya.

Apa yang terjadi pada perubahan penampilan Barongsai,

diperkirakan disebabkan pengaruh pergolakan politik dari era Orde

Baru menuju Era Reformasi. Janet Wolff dalam bukunya berjudul

The Social Production of Art, mengatakan bahwa perubahan seni

selalu terkait dengan masyarakat pemiliknya, dengan kata lain seni

adalah produk masyarakat.81 Pandangan Wolff ini banyak diilhami

oleh Arnold Hauser dalam tulisannya bertajuk Art as a Product of

Society.82

Kedudukan Barongsai sebagai bagian dari penampilan yang

berkembang di masyarakat dicermati dengan teori Arnold Hauzer

tentang perbedaan seni menurut strata masyarakat penikmatnya

yang terurai dalam buku berjudul The Sociology of Art. Hauser

mengelompokkan seni menjadi empat, yaitu: seni kaum elite budaya

(the art of the culture elite), seni rakyat (folk art), seni populer (popular

art), dan seni massa (mass art). 83 Teori ini untuk menjelaskan

penampilan Barongsai sebagai seni rakyat dan ciri-ciri yang melekat

pada bentuk penampilannya. Untuk mengamati perilaku masyarakat

sebagai ekspresi budaya yang ditekankan pada hubungan perilaku

81Periksa Janet Wolff, The Social Production of Art (New York: St, Martin

Press, Inc., 1981), 26-84. 82Periksa Arnolt Hauser, 1985: 94. 83Periksa Arnold Hauser, 1985: 547-555.

47

sosial dengan penampilan Barongsai, digunakan teori perilaku estetis

(aesthetic behavior) Desmond Morris dalam bukunya yang berjudul

Manwatching: A Field Guide to Human Bahavior (1977), menyatakan

bahwa masyarakat secara naluriah ingin menikmati sajian estetis.84

Selanjutnya, masih tentang konsep perilaku manusia Morris

menjelaskan ada lima konsep perilaku manusia, yaitu: (1) inborn

actions, adalah perilaku yang sudah dimiliki manusia sejal lahir; (2)

discovered actions, adalah perilaku yang tanpa direncanakan terlebih

dahulu, dan muncul ketika menghadapi sesuatu yang segera

ditanggapi atau direspon; (3) absorbed actions, adalah perilaku yang

dilakukan seseorang karena ia merasa perlu untuk melakukan

perilaku yang sama dilakukan oleh orang lain; (4) trained actions,

adalah perilaku yang harus dipelajari; dan (5) mixed actions, adalah

perilaku yang merupakan perpaduan antara keempatnya.85

Penampilan dapat dilihat dari tiga faset. Pertama, penampilan

diamati melalui bentuk yang disajikan. Kedua, penampilan dilihat

dari segi fungsi yang dibawakannya bagi komponen-komponen yang

terlibat di dalamnya. Ketiga, penampilan dipandang dari segi makna

yang tersimpan di dalam aspek-aspek penunjang wujud

penyajiannya. Bentuk, fungsi, dan makna saling berhubungan serta

merupakan rangkaian yang memperkuat kehendak atau harapan

84Desmond Morris, Manwatching: A Field Guide to Human Bahavior, (New

York: Harry N. Abrams, Inc, Publishers, 1977), 121; seperti yang dikutip R.M.

Soedarsono, 2002: 124. 85 Desmond Morris, 1977: 8-23.

48

para pendukungnya. Seni pertunjukan dapat dilihat dan didengar

melalui bentuk fisik yang disajikan. Sosok yang terungkap secara

fisik ini mengetengahkan makna dan memiliki fungsi tertentu bagi

komunitasnya.86

Penampilan Barongsai adalah salah satunya sebuah bentuk

seni, maka dalam penggarapannya perlu mempertimbangkan

pengetahuan komposisi tari yang juga disebut pengetahuan

koreografi. Apabila dirinci ada cukup banyak elemen-elemen

koreografi yaitu gerak tari, desain lantai (floor design), desain atas (air

design), desain musik, desain dramatik, dinamika, tema, rias kostum,

property tari, dan pementasan.87 Kelengkapan sebuah bentuk seni

pertunjukan antara lain jika ada materi tarinya dalam bentuk

komposisi gerak secara utuh, pola lantai, musik iringan, dan rias

serta busana yang mendukung penyajian.

Hal yang penting dapat diambil dari pendapat-pendapat di atas

adalah konsep tentang bentuk yang menyangkut bagian-bagian dari

sebuah keutuhan keseluruhan. Jika konsep tersebut dikaitkan

dengan tari maka dapat dikatakan bahwa studi bentuk tari adalah

studi tentang bagian-bagian dari sebuah bentuk keseluruhan tari.

Dalam konteks pertunjukan tari maka dapat diambil pengertian

86A.M. Hermin Kusmayati, “ Seni Pertunjukan Upacara di Pulau Madura

1980-1998”, (Disertasi untuk meraih gelar Doktor dalam Ilmu Sastra, Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta, 1999), 283. 87R.M.Soedarsono,”Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari,” dalam

Edi Sedyawati, dkk. Pengetahuan Elemater Tari dan Beberapa Masalah Tari,

(Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), 103.

49

bahwa studi tentang bentuk seni pertunjukan adalah sebuah kajian

tentang bagian-bagian atau elemen-elemen dari seni pertunjukkan

tari, yang meliputi pelaku, gerak, suara, dan rupa.

Berbicara tentang fungsi, seni pertunjukan mempunyai fungsi

yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia. 88 Dalam

kehidupan masyarakat di negara maju dengan negara berkembang,

sangat berbeda dalam mereka memanfaat seni pertunjukan dalam

hidup mereka. Di negara maju, yang tata kehidupannya sudah

mengacu pada budaya industrial, segala sesuatunya bisa diukur

dengan uang. Sebagian besar bentuk seni pertunjukannya

merupakan penyajian estetis, yang hanya mempentingkan keindahan

atau estetis seninya. Seni pertunjukan ritual boleh dikatakan sangat

sedikit atau tidak ada. Kondisi sebaliknya, di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia, yang dalam tata kehidupannya

masih banyak mengacu pada budaya agraris, seni pertunjukan

memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Lebih-lebih apabila

penduduk negara tersebut memeluk agama yang selalu melibatkan

seni dalam kegiatan-kegiatan upacaranya.89

Curt Sachs dalam bukunya History of the Dance, menawarkan

bahwa fungsi tari ada dua, yaitu (1) guna tujuan magis; dan (2)

88 R.M. Soedarsono, “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kehidupan

Manusia: Kontinuitas dan Perubahannya”, (Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar

pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oktober 1985), 17-22. 89 R.M. Soedarsono, 2002: 118.

50

sebagai tontonan.90 Kurath dalam sebuah artikelnya yang berjudul

“Panorama of Dance Ethnology”, secara rinci mengutarakan ada 14

fungsi tari dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) untuk iniasi

kedewasaan; (2) percintaan; (3) persahatan; (4) perkawinan; (5)

pekerjaan; (6) pertanian; (7) perbintangan; (8) perburuan; (9)

menirukan binatang; (10) menirukan perang; (11) penyembuhan; (12)

kematian; (13) kerasukan; dan terakhir (14) lawakan. 91 Sedyawati

menawarkan argumennya tentang fungsi pertunjukan, yang meliputi,

(1) sebagai pelengkap atau pernyataan kejayaan sesuatu lembaga; (2)

sarana mencari nafkah; (3) upacara adat; (4) sarana rekreasi; (5)

penghayatan rasa indah.92

Schechner menjelaskan tentang tujuh fungsi performance

sebagai berikut: (1) untuk menghibur; (2) untuk membuat sesuatu

menjadi indah; (3) untuk menandai atau mengubah identitas; (4)

untuk mengembangkan komunitas; (5) untuk menyembuhkan; (6)

untuk mengajar, mengajak, atau meyakinkan; (7) untuk setuju

dengan yang sakral serta mahluk-mahluk yang menakutkan.93

Selanjutnya masih tentang fungsi, R.M. Soedarsono

membedakan fungsi seni pertunjukan menjadi dua kelompok, yaitu

90 Curr Sachs, World History of the Dance. Terj. Bessie Schoenberg, (New

York: W.W. Norton & Company, Inc., 1963), 5; periksa R.M. Soedarsono, 2002:121. 91 Gertrude Prokosch Kurath, 1960: 133-254; periksa R.M. Soedarsono,

2002:121. 92 Edi Sedyawati, “Tari sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya”, dalam Edi

Sedyawati, dkk. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari (Jakarta:

Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), 8. 93 Richard Schechner, 2002: 38; periksa Tati Narawati, 2003:7.

51

kelompok fungsi primer dan kelompok fungsi sekunder. Pembagian

fungsi primer menjadi tiga berdasarkan atas „siapa‟ yang menjadi

penikmat seni pertunjukan. Seni pertunjukan disebut sebagai seni

pertunjukan karena dipertunjukkan bagi penikmat. Dengan demikian

secara garis besar seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu

(1) sebagai sarana ritual; (2) sebagai hiburan pribadi; (3) sebagai

presentasi estetis.94 Berbeda halnya dengan seni pertunjukan yang

berfungsi sekunder, misalnya (1) sebagai pengikat solidaritas

sekelompok masyarakat; (2) sebagai pembangkit rasa solidaritas

bangsa; (3) sebagai media komunikasi; (4) sebagai media propaganda

keagamaan; (5) sebagai media propaganda politik; (6) sebagai media

propanda program-program pemerintah; (7) sebagai media meditasi;

(8) sebagai sarana terapi; (9) sebagai perangsang produktifitas.95

Oleh karena begitu kompleksnya fungsi seni pertunjukan

dalam kehidupan masyarakat, maka tidak pernah ada kesamaan dan

kesepakatan pendapat. Tiap-tiap pakar seni pertunjukan mempunyai

sudut pandang yang berbeda dalam mengkatorisasikan fungsi seni

pertunjukan. Untuk menganalisis masalah fungsi penampilan

Barongsai dalam penelitian, maka dipilih dan digunakan teori fungsi

dari R.M. Soedarsono, meskipun ada kolaborasi dari pendapat pakar

lain yang sesuaikan dengan kebutuhan dan data penelitian di

lapangan.

94Periksa R.M. Soedarsono, 2001: 170-172; periksa R.M. Soedarsono, 2002:

122-123; Periksa R.M. Soedarsono, 1985: 18. 95 R.M. Soedarsono, 2001: 172.

52

Berkaitan dengan analisis teks penampilan, teks dalam seni

pertunjukan berbeda dengan teks dalam linguistik. Jika teks dalam

linguistik mempunyai satu lapis (single layer) yaitu bahasa, maka

teks seni pertunjukan mempunyai multilapis (multi layers) yaitu

semua lapis atau elemen dari seni pertunjukan yang terdiri dari:

penari, gerak, musik, rias, busana, tata panggung, dan lain-lain.96

Oleh karena itu teks Barongsai yang menjadi fokus dalam penelitian

ini adalah para pelaku penampilan Barongsai dan elemen-elemen

penampilan Barongsai.

Untuk menjawab masalah makna teks penampilan Barongsai

tersebut di atas, digunakan teori semiotika pertunjukan Marco de

Marinis dan Tadeuzs Kowzan. Istilah semiotika diperkenalkan oleh

Hippocrates (460-377 SM) penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu

gejala-gejala. Gejala menurut Hippocrates merupakan semeion-

bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.

Semiotika ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-

sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan

tanda tersebut mempunyai arti. Tanda-tanda itu berupa tanda-tanda

yang dapat diindera oleh manusia, baik tanda berupa bunyi, visual,

dapat diraba, dirasakan, atau bahkan dapat dicium baunya. 97

96 Marco de Marinis, 1993: 10-12; periksa Tati Narawati, 2003: 47-48;

Periksa Heddy Shri Ahimsa Putra, “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual, dan Post Modernitis", dalam Ketika Orang Jawa Nyeni

(Yogyakarta: Galang Press, 2000), 24. 97 Rachmat Djoko Pradopo, “Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya”,

dalam Jurnal Humaniora No. 7 Januari-Maret 1998, 42-43; periksa Heddy Shri

Ahimsa-Putra, ”Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya”, dalam (Dialog Ilmiah Dwi

53

Semiotika dalam konteks penampilan, Marco de Marinis 98

dalam bukunya The Semiotic of Performance, menjelaskan bahwa teks

dalam penampilan sebagai sebuah fenomena yang otonom serta

merupakan entitas yang multi-lapis. Sebuah penampilan merupakan

perpaduan antara berbagai aspek atau lapis yang menunjang seperti

lakon, pemain dan atau penari, busana, musik iringan, tempat

pentas, bahkan juga penonton. Untuk lebih jelas, lihat penyataan De

Marinis yang berangkat dari kegelisahan akademis setelah

mengadakan penelitian tentang semiotik teater berikut ini.

My research could be characterized in general by the following theoretical and methodological concerns.

a) A rejection of all arbitrary or methaphorical extensions of the “linguistic model” to the field of nonverbal semiotics.

b) An aversion toward the equally arbitrary and metaphorical concept of a language of theater or the like which forms the basis of the semiolinguestic approaches mentioned above.

c) A critique of all erroneous conceptions of the dramatic text in which the spectator is envisioned as a secondary or derivative element unessential to the task of semiotic analysis. According to this line of thinking, the spectator is somehow “contained” within the dramatic text itself, and can be located there through the work of the semiotician.

d) The goal of conceptualizing theater as an autonomous, primary phenomenon, and as a multilayered entity (i.e.,

materially heterogeneous and constructed of many different codes) resulting from the combination of some very specific traits with other less specific or completely non specific traits.

e) The conviction that the study of theater sub specie semioticae does not exhaust all aspects of theater. Like every other cultural object, theater is not only signification and communication, even if it can be understood more fully

Bulanan Unit Pengkajian dan Pengembangan Budaya FIB Universitas Gadjah Mada

Juni 2002), 1-3; periksa Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar

Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 6. 98Marco de Marinis, 1993: 1-9; seperti yang dikutip R.M. Soedarsono, 2001:

5.

54

if one approaches it from the standpoint of signification and communication.99

(Penelitian ini ditandai secara umum oleh beberapa hal teoritis

dan metodologis sebagai berikut: a. penolakan terhadap semua perubahan atau perluasan

metafora model linguistik terhadap bidang semiotika

nonverbal. b. keengganan terhadap perubahan konsep dan konsep

metaforikal (kiasan) dalam bahasa teater atau sejenisnya

yang sederajat dalam membentuk dasar dari pendekatan semiolinguistik seperti disebutkan di atas.

c. kritik dari semua konsep teks drama yang keliru. Disebut keliru karena pemirsa dianggap sebagai unsur sekunder yang keberadaannya tidak penting dalam tugas menganalisa

semiotika. Pemirsa entah bagaimana ada dalam teks drama itu sendiri, dan dapat berada dalam teks drama tersebut

melalui semiotika. d. tujuan mengkonsepkan teater sebagai fenomena otonom

mendasar, dan sebagai entitas yang berlapis-lapis (seperti

kode-kode yang menyusun materi yang beragam) menghasilkan kombinasi berbagai sifat yang sangat spesifik; artinya memiliki ciri-ciri khusus yang kurang, atau malah

justru benar-benar tidak spesifik. e. keyakinan bahwa studi teater semiotika tidak membuang

semua aspek teater. Seperti objek budaya lainnya, teater ini tidak hanya makna dan komunikasi, bahkan jika dipahami secara lebih lengkap adalah bahwa disebut mendekati teater

jika berangkat dari pijakan makna dan komunikasi).

De Marinis ketika membicarakan tentang sebuah teks

penampilan menduga bahwa sebuah penampilan dapat dianggap

sebagai sebuah teks. Hal ini juga menandakan bahwa konseptualisasi

semiotika penampilan dari segi tekstual. Selanjutnya, teks

penampilan merupakan kumpulan unit tekstual (ekspresi) yang tidak

teratur, memerlukan kode yang berbeda-beda, tidak sama satu

99 De Marinis, 1993: 1.

55

dengan yang lain dan seringkali tidak spesifik dimana strategi

komunikatif dilakukan yang juga bergantung pada konteks produksi

dan penerimaannya. Teks penampilan adalah model teoretis dari

fenomena penampilan yang dapat diamati, untuk dianggap sebagai

prinsip yang menjelaskan tentang penggunaan penampilan sebagai

fenomena makna atau komunikasi. Dengan demikian, model teoretis

dari sebuah aspek objek penampilan adalah aspek tekstualnya.100

Kendatipun de Marinis dalam bukunya The Semiotic of

Performance, tidak menguraikan secara eksplisit lapis-lapis dalam

penampilan, pokok-pokok pikirannya terbaca sebagai analisis

tekstual dari sebuah penampilan yang mempunyai sifat holistik. Oleh

karena itu, untuk kebutuhan mempertajam analisis dalam penelitian

ini dipandang perlu teori de Marinis dikolaborasikan dengan teori

Tadeuz Kowzan yang diuraikan secara jelas dalam bukunya yang

berjudul Theatre as sign-system: a semiotic of text and performance.

Selanjutnya, Tadeuz Kowzan 101 seperti yang dikutip Sal

Murgiyanto,102 Nur Sahid,103 mengatakan bahwa dalam penampilan

terdapat 13 sistem tanda, yakni kata, nada, mimik, gerak isyarat,

gerakan-gerakan, tata rias, gaya rambut, kostum, properti, setting,

tata cahaya, musik, dan pengaruh bunyi. Kowzan membagi 13 sistem

100 De Marinis, 1993: 47-48; De Marinis, “The Performance Text”, dalam

Henry Bial (Ed.,) The Performance Studies Reader, (London and New York:

Routledge, 2007), 280-281. 101 Elaine Aston & George Savona, Theatre as Sign-System: A Semiotic of Text

and Performance (London and New York: Routledge, 1991), 105; 102 Sal Murgiyanto, 1998:12-13; Nur Sahid, Semiotika Teater (Yogyakarta:

Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia, 2012), 2-3.

56

tanda tersebut menjadi dua kelompok, berikut penjelasan Aston dan

Savona tentang pendapat Kowzan.

The eight groups with which Kowzan heads his taxonomy relate directly to the actor as opposed to the five which he classifies as „outside the actor‟. By using the distinction between auditive and visual signs, Kowzan establishes four larger groups of signs, distinguishing between the auditive and visual signs generated by the actor and the auditive and visual signs generated by system outside the actor.104 (Kedelapan kelompok yang tercakup dalam taksonomi Kowzan adalah berhubungan langsung dengan aktor, sebagaimana berbeda dari lima kelompok terakhir yang oleh Kowzan

diklasifikasikan sebagai „outside the actor‟ berada di luar aktor. Dengan menggunakan pembedaan antara tanda-tanda auditif

dan tanda-tanda visual, Kowzan menetapkan empat „kelompok tanda-tanda‟ yang lebih besar, membedakan antara tanda-tanda auditif dan tanda-tanda visual yang dicetuskan oleh

aktor dan antara tanda-tanda auditif dan tanda-tanda visual yang dicetuskan oleh sistem-sistem di luar aktor).

Pada dasarnya semiotika penampilan tidak dipandang secara

teoretis, tetapi sebagai suatu metodologi, yakni suatu cara kerja, cara

pendekatan penampilan guna membuka praktik-praktik dan

kemungkinan-kemungkinan dalam memandang peristiwa

penampilan.105 Dalam pandangan semiotika penampilan sebenarnya

segala sesuatu yang dipresentasikan di hadapan penonton dalam

kerangka penampilan adalah suatu “sign” (tanda). Membaca tanda-

tanda adalah cara pertama manusia memahami dan mengerti dunia.

Langkah kerja pertama semiotika penampilan adalah harus

104 Aston & Savona, 1991:105-106. 105 Aston & Savona, 1991:1.

57

menentukan unit signifikatif tontonan atau unit semiologik. 106

Kowzan secara tentatif menawarkan suatu kriteria temporal yang bisa

menembus berbagai level penampilan, yakni bahwa setiap unit

signifikatif adalah suatu irisan (slice) yang berisi semua tanda-tanda

yang diemisi secara simultan.107

F. Metode Penelitian

Pendekatan dalam konteks ini terkait dengan disiplin (ilmu)

atau aliran, dan tidak diartikan sebagai pendekatan kualitatif. Yang

dimaksud pendekatan kualitatif merupakan kualitas data, sebagai

jenis penelitian atau jenis data yang dianalisis.108 Data kualitatif tidak

berupa angka, tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi,

sifat, ciri, keadaan, dari suatu atau gejala, atau pernyataan mengenai

hubungan-hubungan antara sesuatu dengan suatu yang lain.

Sesuatu ini dapat berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau

gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan atau peristiwa-

peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat.109 Sebuah data dalam

penelitian kualitatif dianggap sebagai sebuah totalitas. Dalam

penelitian kualitatif seorang peneliti harus mampu

106 Keir Elam, The Semiotics Theatre and Drama (London: Routledge, 1991),

47; periksa Sahid, 2012:67. 107 Erika Fischer Lichte, 1991. The Semiotics of Theatre, (Indianapolis:

Indiana University Press, 1991), 132; periksa Sahid, 2012:67. 108 R.M. Soedarsono, Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung:

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 33-34. 109 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah

Pandangan, (Makalah disampaikan pada Kuliah Umum “Paradigma Penelitian Ilmu-

ilmu Humaniora” diselenggarakan oleh Program Studi Lingustik, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan di Bandung, 7 Desember 2009), 18.

58

mengeksplanasikan semua bagian yang bisa dipercaya dari informasi

yang diketahuinya, serta tidak akan menimbulkan kontradiksi

dengan interpretasi yang disajikannya. Interpretasi seorang peneliti

seperti „menebak teka-teki‟ yang tersembunyi.110

Untuk memperoleh data karya seni, ada tiga aspek yang

mendasar yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1) karya seni yang

dicipta atau diapresiasi, 2) apa yang diketahui oleh orang atau

mereka yang terlibat dalam aktivitas seni, dan 3) apa yang dilakukan

mereka dalam peristiwa dan lingkungan pada suatu waktu dan

tempat tertentu.111 Oleh karena itu, peneliti harus memahami ketiga

aspek tersebut dan mampu menunjukkan kaitan antara satu dengan

lainnya.

Penelitian disertasi yang berjudul “Konteks dan Keragaman

Penampilan Barongsai di Kota Semarang pada periode 1998-2013”,

ini merupakan penelitian kajian penampilan, dengan objek material

Barongsai yang khas milik masyarakat etnis Tionghoa. Penampilan

Barongsai di Kota Semarang jika dicermati mengandung unsur seni

pertunjukan tari, arak-arakan upacara ritual, dan olah raga. Oleh

karena keunikan dan penampilan yang khas tersebut, dan dalam

rangka menjawab dan mengkaji masalah digunakan pendekatan

performance studies sebagai ‟payung teori‟ dalam penelitian ini.

110 Pertti Alasuutari, Researcing Culture: Qualitative Method and Culture

Studies (London, et al.: Sage Publications, 1996), 7-12. 111Tjetjep Rohendi Rohidi, Metodologi Penelitian Seni (Semarang: Cipta Prima

Nusantara, 2011), 180.

59

Penelitian ini merupakan penelitian perpaduan antara

penelitian tekstual yang dilengkapi dengan analisis gerak yang

menggunakan Labanotation, serta penelitian kontekstual yang

menekankan pada aspek historis (diakronis), sosiologi, antropologi,

dan politik. Pendekatan ini dapat disebut pendekatan multidisiplin,112

karena disiplin yang dipergunakan sebagai pendekatan lebih dari

satu. Hal tersebut diperlukan untuk membedah masalah yang

kompleks, perlu ditunjang berbagai teori, konsep, dan metode/teknik

analisis dari disiplin ilmu lain sebagai ilmu bantu.

Pendekatan performance studies dalam penelitian ini untuk

mendeskripsikan fenomena sosial humaniora sebagaimana adanya.

Dalam pendekatan ini peneliti berupaya mempelajari, memahami,

dan mendeskripsikan penampilan Barongsai di Kota Semarang

sebagai peristiwa budaya, yang menyajikan pandangan hidup subjek

sebagai objek studi. Artinya, studi ini akan terkait bagaimana subjek

berpikir, hidup, dan berperilaku.113

Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang Jawa Tengah sebagai

lokasi berlangsungnya fenomena penampilan Barongsai yang hidup

dalam masyarakat etnis Tionghoa. Kota Semarang dipilih sebagai

setting penelitian karena merupakan sentral masyarakat etnis

Tionghoa dengan sejarah keberadaannya yang panjang dan kompleks.

Kota Semarang merupakan satu-satunya Kota di seluruh wilayah

112R.M. Soedarsono, 2001: 33-34. 113 Suwardi Indraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2006), 50.

60

Indonesia yang berani menampilkan Barongsai, meskipun sebagai

bagian dari acara ritual Kelenteng. Daerah lain di luar Kota Semarang

tidak terlihat aktivitas penampilan Barongsai, karena rasa takut yang

mencekam terhadap pelarangan dari pemerintah di era orde baru.

Dalam kondisi demikian, di Kota Semarang terdapat enam

perkumpulan Barongsai yang berani bertahan yaitu perkumpulan

Djien Hoo Tong, Dharma Asih, Porsigap, Sam Po Tong, dan Yin Yie.

Keenam perkumpulan Barongsai tersebut menunjuk Soetikno Widjojo

sebagai koordinator dan sekaligus sebagai pelindung kegiatan dari

perkumpulan Barongsai tersebut. 114 Saat ini berdasarkan data

Persobarin Jawa Tengah tercatat sebanyak 46 perkumpulan

Barongsai yang masih aktif, dari jumlah tersebut 20 perkumpulan

Barongsai terdapat di Kota Semarang. Namun demikian, berdasarkan

pengamatan awal peneliti di lapangan masih terdapat kurang lebih 17

perkumpulan Barongsai yang belum terdaftar dalam Persobarin Jawa

Tengah.

Kota Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia,

yang banyak dihuni oleh masyarakat etnis Tionghoa di era reformasi

ini sedang menggeliat mempertunjukkan Barongsai. Penampilan

Barongsai menjadi fenomena budaya yang unik dan khas di tengah-

tengah masyarakat etnis Tionghoa yang tentunya bersinggungan

dengan masyarakat lokal Semarang atau masyarakat pribumi.

114 Wawancara dengan Budi Widodo (Tan Kong Sing) Ketua Persobarin Jawa

Tengah di Rumahnya Jl. Tanjung Mas Raya No. A21 Semarang tanggal 30 Oktober 2010.

61

Penampilan Barongsai menjadi “boom” di mana-mana di wilayah Kota

Semarang bahkan ke luar Kota Semarang hingga saat ini.

Setting yang terkait dengan pelaku yaitu warga masyarakat

yang masih aktif, artinya sebagai pemilik dan pendukung penampilan

Barongsai baik perorangan maupun kelompok. Setting kegiatan,

berupa komunikasi secara alami yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari. Penelitian ini memiliki sasaran konteks dan keragaman

penampilan Barongsai di Kota Semarang pada periode 1998-2013

yang banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik itu politik

maupun sosial budaya. Penampilan Barongsai dipilih, karena

fenomena ini merupakan peristiwa yang unik yang jarang diamati

oleh banyak orang dalam aspek tekstual maupun kontekstualnya

secara utuh.

Dalam jenis penelitian kualitatif ini sumber data dapat

diperoleh dari: sumber tertulis, sumber lisan, dan rekaman. Dalam

mengumpulkan data dari sumber tertulis diperlukan metode

penelitian perpustakaan, sedangkan untuk mendapatkan sumber

lisan dilakukan metode observasi dan wawancara. Adapun data-data

yang berupa rekaman menggunakan atau memerlukan pengamatan

secara teliti. Sumber data tersebut dapat di bagi dua yaitu: (1)

sumber primer, yaitu sumber-sumber asli baik berupa dokumen

maupun peninggalan lain yang masih orisinal dari data sejarah

mengenai objek kajian; (2) sumber sekunder, yaitu penggunaan

62

sumber-sumber lain yang dapat menunjang data primer berupa

informan/narasumber lain yang dianggap memahami permasalahan

yang diteliti. Sumber yang termasuk kategori primer yaitu rekaman

(tulisan) langsung dari peristiwa pertunjukan yang diteliti. Dengan

demikian peneliti memiliki peluang untuk menginterpretasikan

sendiri, dan bukan hanya meminjam interpretasi peneliti lain.

Selanjutnya menurut Pertti Alasuutari, seorang peneliti yang

menggunakan sumber primer diharapkan bisa menguak „misteri‟

yang terekam di dalamnya, atau ia juga bisa „menebak teka-teki‟ yang

tersembunyi di dalamnya.115

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi,

dan wawancara sebagaimana yang utama digunakan dalam metode

performance studies. Studi pustaka merupakan tahapan penting yang

harus dilakukan peneliti untuk menelaah hasil-hasil penelitian atau

buku yang terkait dengan objek yang akan diteliti agar terhindar dari

plagiat. Selain itu tujuan studi pustaka adalah untuk memperdalam

pengetahuan tentang masalah yang diteliti, menegaskan kerangka

teoretis, mempertajam konsep, dan menghindari pengulangan atas

masalah yang telah diajukan dalam sebuah penelitian.116 Informasi

dari studi pustaka dapat ditemukan dari perorangan atau lembaga

yang berupa artikel baik di Jurnal Seni Wiled, Jurnal Panggung,

115 R.M. Soedarsono, 2001: 33-34. 116Periksa Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:

Gramedia, 1977), 29-30.

63

Jurnal Humaniora, Jurnal Harmonia, Jurnal Mudra, Jurnal Current

Anthropology, Jurnal Annual Review of Anthropology, dan Dance

Research Journal. Foto dan gambar baik dari VCD lokal Semarang

maupun di luar Semarang, dan tulisan-tulisan yang berkenaan

dengan sasaran yang dikaji. Dokumen dan informasi yang diperoleh

untuk kepentingan ini adalah tulisan yang berupa artikel atau berita

dari koran yang terbit di Kota Semarang maupun di luar Kota

Semarang, yaitu koran Suara Merdeka, koran Kompas, dan radar

Semarang. Selain itu, juga dokumen yang berupa laporan kegiatan

upacara ritual masyarakat etnis Tionghoa yang melibatkan

penampilan Barongsai seperti yang dimiliki Yayasan Kelenteng Tay

Kak Sie, Departemen Agama, seksi Kebudayaan dan Pariwisata Jawa

Tengah, maupun Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) Jawa

Tengah.

Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah observasi.

Observasi dilakukan secara deskriptif, terfokus dan diakhiri dengan

selektif berkenaan dengan peristiwa, pelaku, dan tempat penampilan

Barongsai. Secara khusus peneliti melakukan pengamatan di

kawasan Pecinan, kelenteng-kelenteng yang ada di Semarang,

perkumpulan-perkumpulan Barongsai, tempat-tempat keramaian dan

peristiwa arak-arakan Barongsai di Kota Semarang.

Proses pengumpulan data selanjutnya adalah melalui

wawancara mendalam yang diawali dengan wawancara deskriptif,

64

struktural, dan kontras secara khusus ditujukan kepada informan

terpilih (informan kunci) yang didasarkan atas penilaian peneliti

terhadap calon informan yang paling mengetahui tentang gejala yang

dikaji, ingin dipahami, dan tindakan yang dilakukan oleh subjek

penelitian, serta hal yang berkenaan dengan objek penelitian. Materi

wawancara dan informan seperti daftar pada lampiran.

Berkenaan dengan hal itu, di bawah ini dikemukakan metode

penelitian dari Gertrude Prokosch Kurath yang dituangkan dalam

artikelnya yang berjudul “Dance in Anthropologycal Perspective” yang

dipublikasikan dalam Jurnal Annual Review of Anthropology. Pokok-

pokok pikiran Kurath berikutnya, dituangkan dalam bukunya yang

berjudul Half A Century of Dance Research. Dalam aplikasinya tidak

menutup kemungkinan dibantu atau dikolaborasi dengan metode

penelitian Janet Adshead yang dituangkan dalam bukunya yang

berjudul Dance Analysis Theory and Practice, yang merupakan

kumpulan tulisan bersama Pauline Hodgens, Valerie A Briginshaw,

dan Michael Huxley yang dianggap tepat dan lazim dalam penelitian

seni. Khususnya penelitian yang menggunakan pendekatan

performance studies atau kajian penampilan.

Berikut metode Kurath yang ditawarkan untuk penelitian

pertunjukan tari adalah sebagai berikut: (1) Melakukan penelitian

lapangan dan berbagai persiapan sebelumnya. Tugas penting peneliti

melakukan pengamatan kerja lapangan dengan deskripsi dan

65

pencatatan dan atau perekaman. Dalam tahap ini digunakan alat

bantu berupa alat rekaman audio visual. Rekaman audio visual

sangat bermanfaat untuk melakukan transkripsi data-data lapangan;

(2) Studi laboratorium, untuk mengamati perbedaan struktur dan

gaya. Memori dan pengamatan manusia secara langsung terbatas,

maka struktur dan gaya pertunjukan menjadi jelas jika peneliti

mengamati dan membandingkan secara teliti notasi tari dan musik

melalui catatan-catatan dan hasil rekaman audio visual; (3)

Mengidentifikasi dan menjelaskan gaya, ciri-ciri stilistik, variasi

gerak, bentuk, fungsi, dan makna melalui simbol-simbol dan diskusi

verbal; (4) Memperjelas ciri-ciri gaya dan variasi gerak, bentuk, fungsi,

dan makna, dengan bantuan informasi dari penduduk asli, nara

sumber ahli atau sumber primer maupun sumber sekunder; (5)

Klasifikasi dan presentasi grafis dari sikap, gerakan-gerakan tubuh,

postur, gestur dan langkah; (6) Tahap analisis, yaitu mengidentifikasi

gerakan dasar, motif-motif, dan frase yang dikombinasikan dengan

asosiasinya terhadap metrik dan irama musik; (7) Dilanjutkan

analisis ciri-ciri khas musikal dan menotasikannya; dan terakhir (8)

Pengambilan kesimpulan, teori, perbandingan dengan tari-tarian dari

budaya lain, untuk penjelasan sejarah.117

Sementara itu, peneliti juga menggunakan metode yang

ditawarkan Adshead yang terbagi ke dalam empat tahap sebagai

117 Periksa Adrienne L. Kaeppler, 1978: 36; Periksa Gertrude Prokosch

Kurath, 1986: 408-410; seperti yang dikutip Sal Murgiyanto, 1998: 25-27.

66

berikut. Pertama, “describing the components of the dance”, yaitu

mengenali dan mendeskripsikan komponen-komponen pertunjukan

tari seperti gerak, penari, aspek visual, dan elemen-elemen auditif.118

Kedua, “discerning the form of the dance”, yaitu memahami hubungan

antara komponen pertunjukan dalam perjalanan ruang dan waktu:

bentuk koreografi.119 Ketiga, “interpreting the dance”, yaitu melakukan

interpretasi berdasarkan konsep dan latar belakang sosial budaya,

konteks pertunjukan, gaya dan genre, tema/isi tarian, dan konsep

interpretasi spesifik. 120 Keempat, “evaluating the dance”, yaitu

melakukan evaluasi berdasarkan: nilai-nilai yang berlaku di dalam

kebudayaan dan masyarakat pendukung tarian; nilai-nilai khusus

yang terkait dengan gaya dan genre, isi dan pesan tari; konsep-

konsep spesifik tarian yang mencakup efektivitas koreografi, dan

efektivitas pertunjukan. 121 Ringkasnya, analisis pertunjukan tari

mencakup atas deskripsi, pemahaman, interpretasi, dan evaluasi

tarian, baik teks atau pertunjukan tari itu sendiri, maupun konteks

atau hal-hal yang berada di luar pertunjukan, tetapi ikut menbangun

118 Janet Adshead , “Describing the Components of the Dance”, dalam

Janet Adshead, (ed.) Dance Analysis Theory and Practice (London: Dance Books

Ltd., 1988), 21. 119 Janet Adshead , “Discerning the Form of the Dance”, dalam Janet

Adshead, (ed.) Dance Analysis Theory and Practice (London: Dance Books Ltd.,

1988), 41. 120 Pauline Hodgens, “Interpreting the Dance”, dalam Janet Adshead, (ed.).,

Dance Analysis Theory and Practice (London: Dance Books Ltd., 1988), 60. 121 Pauline Hodgens, “Evaluating the dance”, dalam Janet Adshead, (ed.).,

Dance Analysis Theory and Practice (London: Dance Books Ltd., 1988), 90; seperti

yang dikutip Sal Murgiyanto, Kritik Tari Bekal dan Kemampuan Dasar (Jakarta:

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002),10.

67

makna dan menentukan keberhasilan sebuah pertunjukan bagi para

pendukungnya.

Metode Kurath tersebut di atas dalam konteks penelitian ini,

peneliti tidak menggunakan atau meninggalkan salah satu tahap

yaitu tahap sintesis formasi, langkah-langkah, musik, dan kata-kata

ke dalam tarian secara lengkap. Tahap ini berimplikasi pada

pertunjukan tari secara lengkap, yang membutuhkan waktu yang

lama untuk membuat kejelasan dan kelancaran pertunjukan.

Berkaitan dengan analisis data dilakukan juga teknik uji

keabsahan data dengan menggunakan triangulasi data, yakni dengan

mencocokkan data dari hasil studi dokumen, observasi, dan

wawancara serta mencocokkan data dari sumber/informan yang

lain. 122 Deskripsi menyeluruh dan tampilan makna dari sasaran

penelitian, digunakan pula sumber-sumber ilmiah guna memberikan

wawasan yang luas setiap aspek yang dikaji. Penggambaran dengan

wawasan yang luas dari sasaran yang dikaji akhirnya digunakan

dalam menyusun laporan lebih lanjut dengan memperhatikan

interaksi emik dan etik.

G. Sistematika Penulisan

Disertasi ini dibuat dalam enam bab pokok kajian yang masing-

masing bab diuraikan sub bab pokok kajian. Bab pertama,

122 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rusdakarya,

1996), 178.

68

merupakan pengantar penelitian, yang menyampaikan latar belakang

dan alasan, yang dijadikan dasar ditetapkannya objek material

penampilan Barongsai serta rumusan masalahnya. Tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian, dan diakhiri sistematika penulisan, juga dijelaskan dalam

bab pertama ini.

Pada bab kedua, dipaparkan hasil dan pembahasan tentang

gambaran umum kota Semarang dan masyarakat Tionghoa

Semarang. Dalam bab dua ini juga mencakup sub bab lokasi,

lingkungan alam, dan kependudukan, sub bab kota Semarang dalam

perspektif sejarah, dan sub bab masyarakat etnis Tionghoa di

Semarang. Selanjutnya, sub bab masyarakat etnis Tionghoa di

Semarang terbagai dalam sub bab-sub bab istilah Cina, China, dan

Tionghoa, sub bab Cina peranakan dan Cina Totok di Semarang, dan

sub bab pola-pola kebudayaan Tionghoa Semarang yang meliputi

kosmologi, sistem religi dan kepercayaan, kelenteng di kawasan

Pecinan Semarang, sistem upacara dan perayaan. Terakhir dalam sub

bab ini pertunjukan masyarakat etnis Tionghoa di Semarang.

Bab ketiga, deskripsi hasil dan pembahasan tentang

keragaman penampilan Barongsai dalam masyarakat etnis Tionghoa

di Semarang. Bab ini mencakup asal mula dan aliran Barongsai

masyarakat etnis Tionghoa di Semarang, Barongsai dalam upacara

69

ritual arak-arakan tahun baru Imlek, Barongsai sebagai seni

pertunjukan tari, dan Barongsai sebagai olahraga.

Bab empat memaparkan hasil dan pembahasan konteks sosial

politik penampilan Barongsai dalam era Reformasi di kota Semarang.

Selanjutnya dipaparkan dalam sub bab Barongsai dalam kehidupan

politik, Barongsai dalam kehidupan sosial budaya, dan faktor-faktor

yang memengaruhi dinamika penampilan Barongsai. Sebagai akhir

atau penutup, bab lima memaparkan kesimpulan berdasarkan hasil

dan pembahasan yang diperoleh dalam penelitian ini, serta saran-

saran yang berpijak pada temuan di lapangan.