BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

24
1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan masyarakat utama bagi negara maju dan berkembang. WHO mengemukakan bahwa penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak. Infeksi terbanyak terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita) adalah infeksi saluran nafas akut (ISPA) (Kaur dkk., 2011). Berdasarkan hasil observasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, peringkat pertama penyakit infeksi di seluruh Puskesmas Kota pada tahun 2014 adalah ISPA. Terdapat 2 Puskesmas dengan persentase ISPA tertinggi yaitu Puskesmas Umbul Harjo II (13,08%) dan Puskesmas Wirobrajan (13,06%) (Dinkes DIY, 2014). Tingginya penyakit infeksi tidak terhindarkannya penggunaan antibiotik sebagai salah satu penanganan penyakit infeksi. Khusus untuk kawasan Asia Tenggara, penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak provinsi di Indonesia (Depkes RI, 2011). Berbagai studi menemukan, sekitar 40%-62% antibiotik digunakan untuk penyakit-penyakit yang tidak memerlukannya (Kepmenkes RI, 2011). Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik mendorong terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. Dengan kemajuan teknologi, jumlah dan jenis antibiotik yang bermanfaat secara klinis semakin meningkat, sehingga diperlukan ketepatan yang tinggi dalam memilih antibiotik. Pemilihan antibiotik yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif yaitu timbulnya resistensi bakteri dan efektifitas

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan masyarakat utama bagi

negara maju dan berkembang. WHO mengemukakan bahwa penyakit ini

merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak. Infeksi terbanyak terutama

pada anak-anak di bawah lima tahun (balita) adalah infeksi saluran nafas akut

(ISPA) (Kaur dkk., 2011). Berdasarkan hasil observasi Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta, peringkat pertama penyakit infeksi di seluruh Puskesmas Kota pada

tahun 2014 adalah ISPA. Terdapat 2 Puskesmas dengan persentase ISPA tertinggi

yaitu Puskesmas Umbul Harjo II (13,08%) dan Puskesmas Wirobrajan (13,06%)

(Dinkes DIY, 2014).

Tingginya penyakit infeksi tidak terhindarkannya penggunaan antibiotik

sebagai salah satu penanganan penyakit infeksi. Khusus untuk kawasan Asia

Tenggara, penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak

provinsi di Indonesia (Depkes RI, 2011). Berbagai studi menemukan, sekitar

40%-62% antibiotik digunakan untuk penyakit-penyakit yang tidak

memerlukannya (Kepmenkes RI, 2011). Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik

mendorong terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Dengan kemajuan teknologi, jumlah dan jenis antibiotik yang bermanfaat

secara klinis semakin meningkat, sehingga diperlukan ketepatan yang tinggi

dalam memilih antibiotik. Pemilihan antibiotik yang kurang tepat dapat

menimbulkan dampak negatif yaitu timbulnya resistensi bakteri dan efektifitas

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

2

antibiotik yang rendah terhadap bakteri tertentu. Resistensi bakteri terhadap

antibiotik mempunyai arti klinis yang amat penting. Suatu bakteri yang awalnya

peka terhadap suatu antibiotik, setelah beberapa tahun kemudian dapat resisten,

dan berakibat pada sulitnya proses pengobatan karena sulitnya memperoleh

antibiotik yang dapat membasmi bakteri tersebut (Jawetz dkk., 2005).

Studi yang telah dilakukan di Indonesia selama 1990-2010 mengenai

resistensi antibiotik, resistensi terjadi hampir pada semua bakteri–bakteri patogen

penting. Hal tersebut merupakan dampak negatif dari pemakaian antibiotik yang

irasional, penggunaan antibiotik dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama

pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, serta pemakaian

antibiotik secara berlebihan. Dampak lainnya dari pemakaian antibiotik secara

irasional dapat berakibat meningkatkan toksisitas, dan efek samping antibiotik

tersebut (WHO, 2011). Hal ini harus ditanggulangi bersama dengan cara yang

efektif, antara lain dengan melakukan monitoring serta evaluasi penggunaan

antibiotik di pusat pelayanan kesehatan, salah satunya dengan melakukan kajian

ketepatan penggunaan antibiotik yang merupakan salah satu bentuk tanggung

jawab farmasis dalam rangka mempromosikan penggunaan antibiotik yang

rasional.

Kajian ketepatan penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui

rasionalitas penggunaan antibiotik. Penilaian ketepatan ini meliputi: tepat indikasi,

pemilihan jenis antibiotik, dosis, interval, dan lama pemberian. Penelitian

mengenai kajian ketepatan penggunaan antibiotik belum pernah dilaksanakan di

Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta sehingga penelitian ini diharapkan dapat

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

3

meningkatkan kualitas pelayanan pengobatan terutama dalam pemilihan dan

penggunaan antibiotik yang tepat untuk terapi infeksi tertentu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pola peresepan antibiotik di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta

pada tahun 2014?

2. Bagaimana ketepatan penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman

pengobatan dasar puskesmas tahun 2007, guideline WHO tahun 2001, dan

Drug Information Handbook tahun 2006?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pola peresepan antibiotik di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta.

2. Memperoleh gambaran ketepatan penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman

pengobatan dasar puskesmas tahun 2007, guideline WHO tahun 2001, dan

Drug Information Handbook tahun 2006.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai informasi tambahan bagi tenaga kesehatan dalam penggunaan

antibiotik di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta.

2. Bermanfaat dalam menambah wawasan tentang kesehatan, terutama tentang

penggunaan antibiotik yang rasional.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

4

E. Tinjauan Pustaka

1. Definisi dan Klasifikasi Antibiotik

Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh mikrobayang

berfungsi untuk membunuh atau menekan pertumbuhan bakteri. Prinsip

umum terapi dengan menggunakan antibiotik yaitu memiliki efek samping

yang rendah bagi tubuh manusia dan mempunyai toksisitas selektif terhadap

bakteri patogen (Nugroho, 2011).

Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

(Siswandono dan Soekardjo, 2000):

a. Berdasarkan struktur kimia antibiotik

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai

berikut:

1) Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, dibekasin,

gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin,

sisomisin, streptomisin, tobramisin.

2) Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan karbapenem

(ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin

(sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim),

golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin,

amoksisilin).

3) Golongan Glikopeptida, antara lain vankomisin, teikoplanin,

ramoplanin dan dekaplanin.

4) Golongan Makrolida, antara lain eritromisin, azitromisin,

klaritromisin, roksitromisin.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

5

5) Golongan Tetrasiklin, antara lain doksisiklin, oksitetrasiklin,

klortetrasiklin.

6) Golongan Polipeptida, antara lain polimiksin dan kolistin.

7) Golongan Kuinolon, antara lain asam nalidiksat, siprofloksasin,

ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.

8) Golongan Oksazolidinon, anatara lain linezolid.

9) Golongan Sulfonamida dan turunannya, antara lain sulfadiazin,

sulfametoksazol, dapson, dan asam paraaminosalisilat.

10) Golongan Diaminopirimidin, antara lain trimetoprim dan

pirimetamin.

11) Golongan Turunan Nitrobenzen, antara lain kloramfenikol.

12) Golongan Linkosamida, antara lain klindamisin dan linkomisin.

13) Golongan Nitroimidazol, antara lain metronidazol dan tinidazol.

14) Golongan Turunan Asam Nikotinat, antara lain isoniazid,

pirazinamid, dan etionamid.

15) Golongan Antibiotik Polien, antara lain nistatin dan amfoterisin B.

16) Golongan Turunan Azol, antara lain mikonazol, ketokonazol, dan

flukonazol.

17) Golongan Nitrofuran,antara lain nitrofurantoin dan furazolidin.

18) Antibiotik lain yang penting, seperti rifampisin, etambutol,

spektinomisin, griseofulvin, tiasetazon, clofazimin.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

6

b. Berdasarkan toksisitas selektif

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, terdapat antibiotik yang

bersifat bakteriostatik dan bakterisid. Agen bakteriostatik menghambat

pertumbuhan atau multiplikasi bakteri sedangkan agen bakterisida

membunuh bakteri. Kedua istilah tersebut berkaitan dengan istilah kadar

hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Kadar

hambat minimum merupakan kadar minimal yang diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan mikroba dan KBM merupakan kadar minimal

yang diperlukan untuk membunuh mikroba (Nugroho, 2011). Antibiotik

tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi

bakterisid apabila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM

(Anonim, 2008).

c. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik

Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik

dikelompokkan sebagai berikut (Kepmenkes RI, 2011):

1) Inhibitor sintesis dinding sel bakteri

Memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim dinding sel

dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya antara

lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin, karbapenem,

monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti

vancomisin, basitrasin, fosfomisin, dan daptomisin.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

7

2) Inhibitor sintesis protein bakteri

Memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara

menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan

menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat-obat yang

aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri seperti

aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin,

oksazolidinon, kloramfenikol.

3) Menghambat sintesa folat

Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti sulfonamida dan

trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi

harus membuat asam folat dari PABA (asam paraaminobenzoat),

pteridin, dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat

merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal

ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa-

senyawa antimikroba.

4) Mengubah permeabilitas membran sel

Memiliki efek bakteriostatik dan bakteriostatik dengan

menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya

substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat-obat yang

memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B,

gramisidin, nistatin, kolistin.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

8

5) Mengganggu sintesis DNA

Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti metronidasol,

kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam

deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis

DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang

menyebabkan terbukanya danterbentuknya superheliks pada DNA

sehingga menghambat replikasi DNA.

6) Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin.

d. Berdasarkan aktivitas antibiotik

Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai

berikut (Kee dan Hayes, 1996):

1) Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)

Golongan ini efektif untuk melawan beberapa jenis organisme,

contohnya seperti tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap

organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik

berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit

infeksi yang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.

2) Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)

Golongan ini efektif untuk melawan satu jenis organisme, contohnya

penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang

disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum

sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam

melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

9

berspektrum luas.

e. Berdasarkan pola bunuh antibiotik

Terdapat 2 pola bunuh antibiotik terhadap kuman yaitu (Anonim,

2008):

1) Time dependent killing.

Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal

jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat

minimal (KHM) kuman, sebagai contoh adalah pada antibiotik

penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.

2) Concentration dependent killing.

Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal

jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tetapi tidak

memerlukan mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama,

misalnya pada antibiotik golongan aminoglikosida dan

fluorokuinolon.

f. Berdasarkan indikasi penggunaan antibiotik, maka terapi antibiotik dapat

dibagi tiga, yakni terapi empiris, terapi definitif, dan terapi profilaksis

(Kepmenkes RI, 2011).

1) Terapi empiris, antibiotik diberikan pada kasus infeksi yang belum

diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik

untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

10

pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,

sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pemilihan jenis

dan dosis antibiotik berdasarkan data epidemiologi dan pola

resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit

setempat. Rute pemberian antibiotik pada terapi empirik secara per

oral seharusnya namun bila pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Pemberian antibiotik

empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam selanjutnya harus

dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi

klinis pasien serta data penunjang lainnya.

2) Terapi definitif, antibiotik diberikan pada kasus infeksi yang sudah

diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Pemberian

antibiotik untuk terapi definitif bertujuan untuk eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab

infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Rute

pemberian antibiotik secara per oral namun pada infeksi sedang

sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik

parenteral dan jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian

antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per

oral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi

klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah

dikonfirmasi selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

11

mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang

lainnya.

3) Terapi profilaksis, antibiotik yang diberikan untuk pencegahan

pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotik yang diberikan

adalah antibiotik yang berspektrum sempit dan spesifik.

Untuk menentukan penggunaan antibiotik dalam menangani penyakit

infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip umum dibawah ini

(Leekha dkk., 2011):

a. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini dapat dilakukan secara klinis

berdasarkan kriteria diagnosa ataupun pemeriksaan-pemeriksaan

tambahan lain yang diperlukan. Gejala panas sama sekali bukan kriteria

untuk diagnosis adanya infeksi.

b. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan

ilmiah berdasarkan pengalaman atau epidemiologi di daerah setempat

atau dari informasi-informasi ilmiah lain.

c. Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan terapi antibiotik misalnya

infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena

kontaminasi kuman-kuman enterik.

d. Jika diperlukan antibiotik, pemilihan antibiotik yang sesuai berdasarkan

spektrum antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi

pada pasien, ada tidaknya interaksi yang merugikan, bukti akan adanya

manfaat klinik dari masing-masing antibiotik untuk infeksi yang

bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya. Dari

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

12

sisi bakteri, pertimbangkan site of infection and most likely colonizing,

berdasar pengalaman atau evidence based sebelumnya bakteri apa yang

paling sering, pola kepekaan antibiotik yg beredar.

e. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat

kinetika masing-masing antibiotik dan fungsi fisiologis sistem tubuh

(misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain-lain). Perlu

dipertimbangkan dengan cermat pemberian antibiotik, misalnya pada ibu

hamil dan menyusui, anak-anak, dan orang tua.

f. Evaluasi efek obat, meliputi apakah obat bermanfaat, kapan dinilai,

kapan harus diganti atau dihentikan serta adakah efek samping yang

terjadi.

2. Faktor Kegagalan Terapi Antibiotik

Keberhasilan terapi dengan antibiotik pada kasus infeksi dapat

dilihat secara klinik dan mikrobiologi dimana secara klinik dapat

digambarkan dengan kondisi pasien yang membaik, sedangkan secara

mikrobiologi dapat dilihat dari eradikasi mikroorganisme yang menginfeksi.

Berikut ini adalah faktor–faktor yang dapat menyebabkan kegagalan terapi

antibiotik (Tripathi, 2008).

a. Pemilihan jenis antibiotik, dosis, rute pemberian, durasi pengobatan yang

tidak sesuai dengan kasus infeksi.

b. Penatalaksaan terapi dengan antibiotik yang terlambat diberikan.

c. Pertahanan tubuh pasien yang menerima antibiotik sangat buruk, seperti

pada pasien leukimia, neutropenia dan kasus infeksi lainnya.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

13

d. Kesalahan atau kegagalan dalam mengatasi hal-hal mekanik seperti

drainase abses, empisema, pengeluaran batu ginjal, pencucian luka,

teknik debrimen.

e. Terapi penyakit yang tidak tepat penyebabnya dengan antibiotik

misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus, malignansi, parasit.

f. Munculnya organisme resisten atau organisme yang menginfeksi berubah

sehingga dapat menyebabkan kekambuhan.

3. Resistensi Bakteri

Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan

bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal

yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya (Tripathi, 2003). Resistensi

terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan

turun atau hilangnya efektivitas obat dalam mengobati infeksi. Bakteri yang

mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak

bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat

minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari dkk.,2008).

Suatu bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik karena sebagai

berikut (Nugroho, 2011):

a. Bakteri mensintesis suatu enzim yang dapat menginaktivasi antibiotik,

misalnya Staphylococci merupakan bakteri memproduksi enzim β

lactamase yang dapat memecah cincin β-lactam dari penisilin (antibiotik

golongan β-lactam).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

14

b. Bakteri mengubah sisi ikatan obat (drug-binding site), misalnya

perubahan protein sisi ikatan pada subunit 50S yang diperatarai plasmid

mengakibatkan resistensi terhadap eritromisin.

c. Bakteri mengembangkan jalur lainuntuk menghindari reaksi yang

dihambat oleh antibiotik, misalnyapada kasus resistensi bakteri terhadap

trimetropim. Produksi dihidrofolat reduktase oleh plasmid yang tidak

mempunyai afinitas terhadap trimetropim mengakibatkan resistensi

terhadap antibiotik tersebut. Resistensi sulfonamid juga diperantarai

plasmid, menghasilkan bentuk dihidropteroat sintetase oleh plasmid

tersebut dengan afinitas rendah terhadap sulfonamid, namun berafinitas

tinggi terhadap p-amino benzoic acid (PABA).

d. Bakteri menurunkan pengambilan obat kembali (drug uptake), misalnya

gen resisten dalam plasmid yang mengkode protein yang dapat terinduksi

dalam membran bakteri, mengakibatkan proses efluks yang tergantung

energi (energy-dependent efflux) terhadap tetrasiklin.

Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang

meluas dan irasional. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk

kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang

tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor yang mendukung

terjadinya resistensi, antara lain (Depkes RI, 2011):

a. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) dimana pemakaiannya

terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang

salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

15

b. Faktor yang berhubungan dengan pasien yaitu pada pasien dengan

pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan

antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus,

misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat.

Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan

terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan.

Bahkan pasien membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan dari dokter

(self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang

rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.

c. Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care

expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan

meningkat ketika diagnosa awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan

dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan

dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

d. Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan penggunaan terapi

kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.

e. Perilaku hidup tidak sehat terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya

tidak mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat

yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.

f. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak dimana antibiotik juga

dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan

ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin

untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

16

dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya

resistensi.

g. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi

serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran

barang sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas. Hal ini

memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotik.

h. Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan

antibiotik baru

i. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan

pemakaian antibiotik, misalnya, pasien dapat dengan mudah

mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu

juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan

mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi

4. Penggunaan Antibiotik yang Rasional

WHO menyatakan bahwa lebih dari setengah peresepan obat diberikan

secara tidak rasional. Kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain

(Depkes RI, 2008):

a. Sesuai dengan indikasi penyakit

Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik

yang akurat.

b. Diberikan dengan dosis yang tepat

Pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan kronologis

penyakit.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

17

c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat

Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.

d. Lama pemberian yang tepat

Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu

tertentu.

e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin

f. Hindari pemberian obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis

keluhan penyakit. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis

obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah.

g. Meminimalkan efek samping dan alergi obat

Prinsip umum peresepan antibiotik berdasarkan WHO tahun 2001, yaitu:

a. Aktivitas spektrum

Informasi antibiotik yang digunakan dalam terapi sebaiknya telah

diketahui aktivitasnya terhadap bakteri penyebab infeksi, selain itu

pemilihan jenis antibiotik memperhatikan keefektivan dan keamanan

untuk kasus infeksi yang dituju.

b. Farmakokinetik dan farmakodinamik

Farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik ditentukan oleh 3 faktor,

yakni waktu paruh dalam serum, distribusi antibiotik dalam cairan dan

jaringan tubuh serta akumulasi antibiotik dalam sel fagositik. Dosis

antibiotik yang diberikan harus konsisten dengan waktu paruh dalam

tubuh. Infeksi patogen intraseluler membutuhkan antibiotik dengan level

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

18

yang lebih tinggi. Selain itu, jumlah ikatan obat dengan protein

menentukan kadar obat antibiotik dalam darah.

c. Rute administrasi antibiotik

Rute administrasi antibiotik berkaitan dengan ketersediaan antibiotik

dalam tubuh. Antibiotik diberikan melalui rute yang paling sesuai dengan

kondisi pasien dan dosis optimum untuk infeksi yang terjadi. Umumnya

antobiotik diberikan melalui oral namun pada beberapa kondisi pasien

membutuhkan injeksi antibiotik seperti infeksi berat, kolaps, gangguan

usus, dan lainnya.

d. Dampak antibiotik terhadap kondisi tubuh

Jika ada pilihan antibiotik yang memiliki rata-rata penyembuhan, biaya

dan toleransi yang sama maka antibiotik yang dipilih dalam mengatasi

infeksi hendaknya memiliki efek merugikan sekecil mungkinj pada flora

normal host. Sehingga adverse drug reaction dapat dihindari seperti

beberapa kasus diare terkait antibiotik.

e. Biaya

Harga antibiotik yang cost effective mejadi hal yang perlu diperhatikan.

Antibiotik yang memiliki efikasi, toleransi dan keefektifan yang sesuai

dengan harga murah adalah pertimbangan dalam pengobatan.

f. Kombinasi antibiotik

Pada beberapa pertimbangan klinis kombinasi antibiotik diperlukan untuk

mendapatkan efek yang diinginkan. Indikasi umum terapi kombinasi

antibiotik antara lain untuk memperoleh efek sinergis antibiotik, mencegah

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

19

terjadinya resistensi, dan untuk memperluas spektrum aktivitas antibiotik

dari penyebab yang belum diketahui atau infeksi oleh berbagai macam

bakteri.

g. Pedoman Pengobatan

Literatur dan pustaka seperti formularium sebaiknya mencantumkan

pilihan antibiotik yang sesuai untuk berbagai macam indikasi infeksi

berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM) yang telah disetujuia para

ahli. Formularium ini perlu dievaluasi pada selang waktu tertentu.

Kasus penggunaan antibiotik yang tidak rasional perlu dikendalikan,

beberapa guideline kini memiliki kebijakan dalam peresepan antibiotik

diantaranya adalah (Ritter dkk, 2008):

a. Tidak meresepkan antibiotik pada penyakit ringan seperti batuk dan

demam atau penyakit saluran pernafasan karena virus seperti sakit

tenggorokan atau faringitis.

b. Membatasi peresepan antibiotik pada penyakit sistitis akut hanya sampai 3

hari pada wanita sehat.

c. Membatasi peresepan antibiotik melalui telepon kecuali pada kasus –

kasus tertentu.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

20

Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak menurut Kepmenkes tahun

2011, yaitu:

a. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum

sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan

lama pemberian yang tepat.

b. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan

pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan

antibiotik lini pertama.

c. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan

pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara

terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan

antibiotik tertentu (reserved antibiotics).

d. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan

diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil

pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang

lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).

e. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:

1) Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan

kuman terhadap antibiotik.

2) Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab

infeksi.

3) Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

21

4) Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi

dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.

5) Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan

aman.

Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan

beberapa langkah sebagai berikut (Kepmenkes RI, 2011):

a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan

antibiotik secara bijak.

b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang

c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidanginfeksi.

d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim

(teamwork).

e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara

bijak yang bersifat multi disiplin.

f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.

g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih

rincidi tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya

dan masyarakat.

5. Profil Puskesmas Wirobrajan

Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 74 Tahun 2008

Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta merupakan unit pelaksana teknis untuk

menunjang operasional dinas dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat

di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Puskesmas Wirobrajan

beralamatkan di Jalan Bugisan WB II/437 Gang Dorodasih Kecamatan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

22

Wirobrajan Kota Yogyakarta. Kegiatan pelayanan kesehatan di puskesmas ini

meliputi Balai Pengobatan Umum (BPU), Balai Pengobatan Gigi (BPG),

BKIA/KB, unit farmasi, unit puskesmas keliling, konseling gizi, kesehatan

lingkungan, promosi kesehatan, poli lansia.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

128/Menkes/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan

Masyarakat, fungsi puskesmas adalah sebagai berikut:

a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau

penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat

dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta

mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif

memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan

setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk

pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah

mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa

mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

b. Pusat pemberdayaan masyarakat

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka

masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki

kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan

masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan

kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

23

menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.

Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan

dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya

masyarakat setempat.

c. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama

Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan

tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab

puskesmas meliputi:

1) Pelayanan kesehatan perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat

pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan

penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan

pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan

perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu

ditambah dengan rawat inap.

2) Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat

publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan

meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa

mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi

kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan,

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/.../potongan/S1-2015-314204-introduction.pdf · Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut

24

perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana,

kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya

Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu

kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan obat dan bahan medis

habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan pengelolaan obat

dan bahan medis habis kakai dimulai dari perencanaan, permintaan,

penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan

pelaporan serta pemantauan dan evaluasi yang bertujuan untuk menjamin

kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan bedis habis

pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi atau

kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen,

dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan, sedangkan kegiatan

pelayanan farmasi klinik berhubungan langsung dengan pasien terkait obat

dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk

meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes RI, 2006).

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh keterangan mengenai ketepatan

penggunaan antibiotik melalui distribusi peresepan antibiotik berdasarkan jenis

antibiotik yang paling banyak diresepkan, bentuk sediaan yang paling banyak

diresepkan, serta kesesuaian indikasi, jenis antibiotik, dosis, frekuensi, dan durasi

antibiotik yang digunakan berdasarkan pedoman yang diacu di Puskesmas

Wirobrajan Yogyakarta pada tahun 2014.