Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan

download Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan

of 77

Transcript of Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan

BULETIN

ISSN : 1693 - 3265 Volume 8, Nomor 3, September 2010

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANImplikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH) Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ? Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010

Volume 8, Nomor 3, September 2010

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih, Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R. Redaksi Pelaksana Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan, Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Dari Meja Redaksi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 3, Edisi September 2010 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian. Pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) sebagai amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia harus dilakukan untuk membangun industri jasa keuangan yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi guna mewujudkan perekonomian yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus dilihat apakah dapat meningkatkan fungsi administratif kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa keuangan agar kebijakan yang telah ditetapkan dilaksanakan secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan bebas dari berbagai penyimpangan atau penyelewengan dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU berkaitan LPJK tidak boleh dilihat terpisah dari UU lain yang terkait. Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU mengenai LPJK hendaknya secara sungguh mempertimbangkan best practice dan dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan. Menyoroti hal tersebut, dalam edisi kali ini Buletin akan khusus menghadirkan artikel berkaitan dengan rencana pembentukan OJK, yaitu: Implikasi Landasan Hukum, Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, yang ditulis oleh Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM; Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peran dan Fungsi Bank Indonesia di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, yang ditulis oleh Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM; Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Oleh Dr. Wimboh Santoso, Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia; Independensi Bank Indonesia dan Peran Baru Dalam Stabilitas Sistem Keuangan, oleh Drs. Ec. Abdul Mongid, MA; serta Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, oleh Oka Mahendra, SH; Sementara itu, dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan pula seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia: RUU OJK, Adakah Solusi ? Selanjutnya sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku: Konstitusi Ekonomi. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2010, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Selamat membaca. Jakarta, September 2010

Redaksi

i

Halaman ini sengaja dikosongkan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ Daftar Isi.......................................................................................................................................................... Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI....................................................................... Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan................................... Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan........................................................................ Dr. Wimboh Santoso (Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia) Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan........................................... Drs. Ec. Abdul Mongid, MA Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan................................................................................. Oka Mahendra, SH Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH).......................................................................................... Veri Dhyatmika Adhiraharja Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?................ Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010...................... Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010................................................................................ Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) 55 - 70 51 -53 47 - 49 45 - 46 37 - 43 23 - 36 17 - 22 11 - 16 1-9 i iii

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RIOleh: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM

A. LANDASAN DAN STATUS BANK INDONESIA Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia (UUBI), Bank Indonesia adalah Lembaga Negara yang independen. Sebagai Lembaga Negara yang independen, Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya dilarang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI). Bahkan ditegaskan di dalam UUBI, BI wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak-pihak yang disebutkan di muka.

masih merupakan bagian dari Eksekutif. Konsekuensinya Bank Indonesia dituntut transaparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas kepada publik dalam menetapkan kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh masyarakat. Apakah sebenarnya hakekat independen itu, apakah independen berarti BI steril sama sekali dari segala bentuk intervensi?. Adakah batas-batas toleransinya?. Secara teoritis, pada hakekatnya terminologi independensi itu mempunyai cakupan yang sangat luas. Independence: the state or condition of being free from

Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun terhadap kewajiban untuk menolak campur tangan, diancam penjara minimal 2 (dua) tahun, maksimal 5 (lima) tahun serta denda minimal Rp 2 miliar, maksimal Rp 5 miliar. Demikian terangkum dalam Pasal 67 dan 68 UUBI. B. INDEPENDENSI BI Sebagai Lembaga Negara yang indepedenden, BI adalah badan hukum yang status badan hukumnya diperoleh melalui penetapan Undang-Undang (UU). BI adalah badan hukum publik, dengan kriteria: cara pendiriannya dilakukan penguasa negara berdasarkan UU, pelaksanaan tugasnya berhubungan dengan publik, diberi wewenang membuat peraturan sendiri yang mengikat masyarakat. Saat ini produk peraturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Adapun wewenang yang diberikan oleh UU kepada BI antara lain wewenang mengelola kekayaan sendiri terlepas dari APBN. Independensi BI memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BI dengan harapan akan dapat lebih besar meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugasnya. Namun di sisi lain, independensi menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, posisi BI tampaknya

dependence, subjection or control. Political independence is the attribute of a nation or state which is enterely autonomous and not subject to government, control or dictation of any exterior power. Independence: not depending on autority, self governing, not depend on something for validity or efficiency, not supported by public fund (for institution), unwilling to be under obligation to others, independent of any political aprty (for politician) (Riyanto Sastroadmodjo, 1999). Jika dikaitkan dengan Independensi Bank Sentral, maka independensi Bank Sentral seperti BI terkait hal-hal sebagai berikut: Suatu Bank Sentral yang efektif harus kuat dengan cakupan ekonomi yang luas dalam operasinya dan terlepas dari campur tangan partisan serta tekanan partai politik. Sebagai lembaga independen di lingkungan pemerintahan suatu Negara, Bank Sentral seharusnya memiliki kemampuan atau otoritas atau kewenangan judgment dalam kaitannya dengan persoalan kebijakan moneter suatu negara, namun tidak dalam arti berada dalam posisi isolasi terhadap seluruh kebijakan perekonomian suatu negara (Paul A Volcker, Ex Chairman Board of Governors FRS US 79-87). Itulah kualifikasi dan persyaratan suatu Bank Sentral yang independence. Dalam praktek negara maju,

1

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

kualifikasi dan persyaratan itu biasanya melekat dan tercermin di dalam UU yang mengaturnya. Independen diperlukan untuk pengembangan institusi dan mempertahankan jati dirinya secara bertanggung jawab. Independen sering terkait dengan prinsip politik yang dianut suatu pemerintah, secara historical maupun tradisional, terutama terletak pada masalah keuangan pemerintah. Di Amerika Serikat (United State/US ) pemberian status independen Federal Reserve ( FDR ) atau Bank Sentral Amerika terutama untuk tujuan agar FDR dapat mengatur kebijakan moneter US secara bebas dari political presures (Lash, 1987: 28) C. KEMANDIRIAN BI

2. Kemandirian Fungsi Suatu Bank Sentral dapat dinilai mempunyai kemandirian fungsi bila ia mempunyai kebebasan dalam menggunakan instrumen-instrumen kebijakan moneter seperti: penyesuaian tingkat suku bunga dan operasi pasar terbuka (OPT) dan pemberian tingkat diskonto atau pengautan tentang kebijakan perkreditan. Dalam konteks ini kemandirian BI dapat diartikan sebagai kemandirian instrumen yang menggambarkan bahwa suatu bank sentral memiliki kebebasan memilih instrumen yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran moneter yang telah ditetapkan. Hasil dari pelaksanaan kewenangan tersebut di atas,

Sebagai Lembaga Negara yang independen, maka BI dituntut mempunyai kemandirian terutama dalam 4 (empat) hal, yaitu: kemandirian institusi, kemandirian fungsi, kemandirian keuangan dan kemandirian organisasi. Masing-masing kemandirian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

sekalipun dengan biaya besar, misalnya dalam hal pelaksanaan OPT, tidak tepat jika dinilai atau dievaluasi dengan tolak ukur out put yang dicapainya. Bisa jadi tidak sebanding, namun itulah keputusan yang diambil oleh BI yang tidak boleh diintervensi. Bank Sentral yang independen harus memiliki

1. Kemandirian Institusi Kemandirian Institusi diartikan sebagai status BI secara institusi terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. BI diberi kewenangan menetapkan kebijakan moneter secara independen dan bebas dari campur tangan pemerintah. Demikian ditegaskan di dalam Pasal 4 Ayat (2) UUBI. Secara struktural kedudukan BI tidak berada di bawah atau di dalam Kabinet Pemerintah, namun mempunyai kedudukan sejajar dengan Kabinet Pemerintah. Kemandirian dalam hal menetapkan kebijakan moneter merupakan syarat kemandirian institusi. Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 8 huruf a UUBI: BI berwenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank. Kewenangan ini tidak dapat diintervensi Pemerintah. Demikian ditentukan di dalam Pasal 9 Ayat (1) UUBI.

kebebasan untuk memutuskan kapan dan dalam hal apa saja bantuan kredit atau fasilitas kredit likuiditas dapat diberikan. Pasal 10 UUBI mengatakan: BI dalam mengendalikan kebijakan moneter berwenang menggunakan instrumen-instrumen moneter yang telah ditetapkan dalam UU tanpa meminta atau memperoleh persetujuan dari Pemerintah. Oleh sebab itu, jika kemandirian fungsi ini dikaitkan dengan kebijakan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) misalnya, seharusnya kebijakan seperti KLBI ini tidak boleh ditugaskan kepada BI, karena akan mengganggu kemandirian fungsi BI. KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit program pemerintah. KLBI dikucurkan terutama untuk membiayai pengadaan pangan dan kegiatan yang menyentuh secara langsung kepada usaha kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah. Diantaranya untuk Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana dan Sangat Sederhana (KPRS/SS), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk anggotanya (KKPA), Kredit Kepada Koperasi (KKOP), Kredit Modal Kerja Kepada BPR (KMK BPR), Kredit

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

Kepada Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) (BI, 2002: 20). Oleh sebab itu tepat jika kemudian oleh UUBI di dalam Pasal 56 KLBI telah dihapuskan, karena dipandang mengganggu konsep kemandirian BI. Kalau secara kaedah fungsi BI sebagai Lembaga Negara yang mandiri, independen telah diatur secara tegas dalam UU, maka seharusnya perdebatan siapa yang harus bertanggung jawab atas kebijakan BLBI untuk mengatasi krisis tahun 1997 yang lalu tidak perlu terjadi. Sebagaimana diketahui BI adalah institusi yang paling disorot dalam kasus BLBI tersebut. Saat itu terjadi perdebatan yang berkepanjangan di Panja BLBI seputar apakah BI termasuk dalam jajaran pemerintahan/Kabinet atau tidak (Mintoraharjo, 2001: 20). Ada satu pandangan yang mengatakan BI termasuk dalam jajaran kabinet. Argumennya adalah dari segi keuangan dapat dipisahkan, namun dalam kebijakan yang dilakukan BI merupakan pelaksanaan dari kebijakan pemerintah. Pada saat itu BI tidak hanya berfungsi sebagai Bank Sentral, tapi sekaligus sebagai agent of development yang punya kaitan dengan kebijakan perekonomian pemerintah secara keseluruhan. Pandangan lain mengatakan tidak demikian. BI adalah lembaga yang independen, lembaga yang otonom berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral waktu itu. Perbedaan pandangan demikian seharusnya tidak perlu terjadi jika semua pihak benar-benar memahami fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara yang independen, mandiri dari segi fungsinya, sebagaimana kami kemukakan di atas. 3. Kemandirian Keuangan Mengacu kepada peran Pemerintah dan DPR terhadap anggaran bank sentral, maka diperlukan adanya kemandirian keuangan pada BI. Mengapa demikian, karena bila dalam masalah keuangan terdapat kontrol dari Pemerintah, hal ini akan berarti bahwa BI tidak lagi bisa memainkan peran independensinya secara optimal. Dengan adanya kontrol pemerintah akan sangat rentan intervensi atau pressure politik, khususnya berkaitan dengan kebijakan moneter. Secara teoritis mengacu pada difinisi independen sebagaimana dikemukakan di

atas, intervensi maupun pressure politik tersebut tidak boleh terjadi pada Bank Sentral seperti BI. Oleh karena itu UUBI mengatur bahwa anggaran BI adalah mandiri terpisah dari Pemerintah. Terpisah di sini mengandung arti lepas sama sekali dari induknya. Pemerintah tidak menganggarkan kebutuhan keuangan BI. Oleh sebab itulah, maka Pasal 60 UUBI mengatakan: anggaran BI ditetapkan oleh Dewan Gubernur. Tidak perlu approval DPR, tapi perlu diinformasikan kepada DPR, sebagai bentuk kontrol tidak langsung. 4. Kemandirian Organisasi Kemandirian organisasi diperlukan oleh BI karena sangat erat kaitannya dengan komposisi dari organ badan hukum BI dan sistem pengangkatan dan pemberhentian pegawai BI sebagai bank sentral. Pihak lain dilarang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI, sebaliknya BI wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak luar. Setiap pihak yang melakukan campur tangan dikenai sanksi yang tegas. Demikian dalam disimpulkan dari ketentuan Pasal 67 jo Pasal 9 UUBI. Belakangan ini independensi dan kemandirian serta kredibilitas BI diuji, karena ditengarai di dalam pelaksanaan BI sebagai Lembaga Negara yang independen, ternyata BI belum mampu menempatkan dirinya sebagaimaan dikehendaki oleh UUBI. Netralitas BI sebagai bank sentral ternyata belum sepenuhnya benar-benar mampu mandiri. Intervensi dan pressure politik masih sering mempengaruhi kinerja dan kebijakan yang dijalankan oleh BI sebagai Lembaga Negara yang independen. Akibatnya begitu BI menjalankan tugastugasnya sebagaimana diamanatkan oleh UUBI, banyak pihak kemudian mempermasalahkan landasan hukum kebijakan dalam rangka pelaksanaan tugas BI, status dan kewenangan BI. Tidak mustahil pula kemudian banyak kalangan pemerhati BI yang juga menengarai intervensi dan pressure politik tersebut sebagai upaya lain yang bertujuan merongrong pencapaian kinerja dan pelaksanaan tugas BI.

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

D. POSISI BI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

MPRMenyampaikan Laporan Keuangan BI yang telah diperiksa Lembaga Tinggi Negara

Lembaga Tertinggi Negara

Badan Pemeriksa Keuangan

Dewan Perwakilan Rakyat

PresidenKepala Negara Kepala Pemerintahan

Mahkamah Agung

Dewan Pertimbangan AgungMengambil Sumpah dan Janji Anggota Dewan Gubernur

Memeriksa Laporan Keuangan BI Lembaga Negara (UU No. 23/1999 joUU No.3/04

Informasi Tertulis Triwulan/sewaktu-waktu

Informasi Tahunan Tertulis

UU BI (UUD 45) Pimpinan BI (UUBI)

Bank Indonesia Lembaga Negara yang Independen dan Badan Hukum

Departemen

Publik (Informasi Tahunan)

Sumber : Diolah kembali dari BI dan Rahbini, 2000.

Struktur Bank IndonesiaDalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

MPR

Presiden Bank IndonesiaKepala Negara Kepala Pemerintahan

DPR

DPA

BPK

MA

1. Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter: a. Inflasi b. Nilai Tukar 2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran 3. Mengatur dan Mengawasi Bank

Peraturan Bank Indonesia

Peraturan Pemerintah

Sumber : Rahbini, 2000 : 166.

4

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

Status BI yang independen dan mandiri sebagaimana diuraikan di atas, secara legal berdasarkan UUBI, dapat dipelajari bahwa posisi BI dalam system ketatanegaraan Indonesia terlihat tidak sejajar dengan DPR, Mahkamah Agung, BPK maupun Presiden sebagai Lembaga Tertinggi Negara ( Rahbini, 2000 : 167 ). Posisi BI juga tidak sejajar atau sederajat dengan Depertemen atau Kementeraian Departemen, karena posisi BI berada di luar Pemerintahan atau Kabinet. Secara legal menurut hemat saya, pendekatan demikian yang tepat, karena berdasarkan UUBI tegas dikatakan di dalam Pasal 4 bahwa BI adalah Lembaga Negara yang independen. BI adalah Lembaga Negara bukan Lembaga Pemerintah. Pemerintah boleh menyusun kabinetnya dan setiap saat boleh diganti atau berubahubah dan oleh UU perubahan seperti itu menjadi hak prerogative Presiden, namun untuk posisi BI berdasarkan UU tidak perlu harus ikut arus perubahan seperti dalam sistem kabinet dan/atau pemerintahan. Di sinilah sebenarnya posisi BI sebagai Bank Sentral yang tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun, termasuk Pemerintah. Jadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, BI adalah Lembaga Negara yang independen. BI tidak berada dalam struktur kabinet atau struktur Pemerintahan, posisinya berada di luar strtuktur tersebut dan mandiri. Rahbini mengatakan bahwa kedudukan BI adalah sejajar dengan kedudukan Presiden. Sebagai Lembaga Negara BI dikatakan mengambil sebagian peran Presiden sebagai Kepala Negara. Kedudukan seperti ini belum dipahami oleh banyak kalangan, sehingga memerlukan sosialisasi yang lebih mendalam (Rahbini, 2000 : 167). Jika poisisi demikian dipahami kebenarannya, maka perdebatan tentang apakah BI merupakan bagian dalam Kabinet Pemerintahan atau bukan, seperti yang terjadi pada waktu-waktu yang lalu, seperti terkait dengan perdebatan tentang kasus BLBI di Panja BLBI yang lalu seharusnya tidak perlu terjadi. Jika hal ini dikaitkan dengan perbincangan tentang sudah saatnya atau belum kehadiran OJK atau LPJK untuk menggantikan peran BI sebagai Pengawas Perbankan, barangkali memerlukan perenungan atau penyimakan lebih mendalam, sebagaimana akan dibahas pada uraian di bawah, mengingat pemahaman tentang posisi atau kedudukan, kemandirian BI sebagai Bank Sentral saja oleh sementara kalangan pemerhati di bidang perbankan belum sepenuhnya benar.

E. TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA Menurut Pasal 7 UUBI, BI hanya mempunyai satu tujuan yaitu: MENCAPAI & MEMELIHARA KESTABILAN NILAI RUPIAH Pencapaian dan pemeliharaan kestabilan nilai Rupiah, tercermin pada: Terhadap barang dan jasa = inflasi Terhadap mata uang negara lain = kurs Menurut Pasal 8 UUBI, guna mencapai tujuan kestabilan nilai tukar rupiah, BI memiliki tiga tugas yaitu: Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; Mangatur dan mengawasi bank.

Tugas Penetapan dan Pelaksanaan Kebijakan Moneter Dalam rangka melaksanakan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI menetapkan sasaran inflasi dengan memperhatikan perkembangan dan prospek ekonomi makro, terutama perkembangan harga. Untuk mencapai sasaran laju inflasi, BI menetapkan sasaran besaran moneter atau likuiditas perekonomian. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen a.l. Operasi Pasar Terbuka (OPT), penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Dalam melaksanakan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI tetap mempunyai fungsi sebagai lender of the last resort yang memungkinkan BI membantu kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank. Pemberian bantuan dana kepada bank dalam rangka tugas sebagai lender of the last resort tersebut dibatasi jangka waktunya, yaitu paling lama 90 hari; Penggunaannya hanya untuk kepentingan mismatch dan harus dijamin dengan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Demikian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 11 UUBI. Berpijak dari pengalaman krisis moneter tahun 1997/98 yang lalu, menurut hemat saya seyogyanya BI tidak lagi masuk ke ranah pendanaan Bank yang menghadapi masalah insolvency. Mengapa demikian, karena menurut hemat saya jika hal ini dilakukan oleh BI, risikonya akan terlalu

5

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

besar, jika ternyata Bank yang Insolven tersebut tidak kunjung dapat disehatkan bahkan bisa jadi akan semakin kolaps dan kemudian menghadapi pailit yang sudah pasti tidak mungkin dapat diharapkan mampu mengembalikan dana bantuan tersebut. Satu-satunya jalan adalah dana bantuan pendanaan tersebut kemudian hanya akan dijadikan penyertaan.Sementara itu kebijakan penyertaan tersebut tidak boleh berlangsung terus. Pada saatnya harus dijual lagi kepada investor atau pihak ketiga yang berminat dan memadai. Disinilah persoalan akan muncul, jika ternyata hasilnya tidak juga mampu menutup dana bantuan yang telah dikeluarkan tersebut. Selanjutnya, dalam rangka menjalankan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI mempunyai wewenang untuk melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan Pemerintah atas usul BI. Tugas ini erat kaitannya dengan masalah lalulintas devisa dan system nilai tukar sebagaimana diatur dalam UU Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Di samping itu, menurut Pasal 13 UUBI, BI juga bertugas mengelola cadangan devisa negara yang ada di BI. Pengelolaan cadangan devisa tersebut dilakukan dengan memperhatikan prinsip security, liquidity, dan probity. Tugas Pengaturan dan Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Dalam menjalankan tugas pengaturan dan penyelenggaraan sistem pembayaran, menurut Pasal 15 UUBI, BI berwenang: Melaksanakan dan memberikan persetujuan serta izin penyelenggaraan jasa sistem pembayaran Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya Menetapkan penggunaan alat pembayaran

Dalam jangka pendek, kebijakan perbankan diarahkan untuk mempercepat penyehatan bank-bank agar dapat mendukung pemulihan ekonomi. Yang menjadi perhatian saat ini adalah kaitannya dengan tugas mengawasi bank. Amanat UU tugas pengawasan bank tersebut akan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang akan dibentuk dan diharapkan paling lambat akhir tahun 2010. Nama lembaga pengawas tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan, di mana Rancangan Undang-undangnya sudah disiapkan baik oleh Departemen Keuangan, DPR ataupun BI sendiri. Diharapkan pada saat pengalihan tugas pengawasan bank kepada lembaga pengawas yang baru tersebut, bank-bank yang selama ini mengalami masalah likuiditas dan masalah penyehatan akan benar-benar telah dapat disehatkan, sehingga tidak menimbulkan masalah baru dikemudian hari. F. KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) ATAU LEMBAGA PENJAMIN JASA KEUANGAN (LPJK). Jika mendasarkan pada amanat Pasal 34 UUBI sebenarnya OJK atau LPJK tersebut diharapkan sudah terbentuk pada akhir tahun 2002 .Hal tersebut berarti Undang-undang OJK sudah harus lahir pada tahun 2002 tersebut. Namun pada kenyataannya sampai saat ini UUOJK tersebut belum juga kunjung ada. Kemudian diharapkan akhir tahun 2010 UUOJK diharapkan sudah bisa disetujui dan disahkan oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Dengan hadirnya OJK, maka Lembaga keuangan Bank maupun bukan Bank nantinya akan diawasi oleh OJK tersebut. Namun demikian, saat ini masih banyak kalangan yang mempertanyakan apakah kehadiran OJK tersebut benar-benar sudah merupakan kebutuhan untuk mengawasi dalam satu atap lembaga keuangan bank maupun non bank, termasuk pasar modal dan asuransi. Saat ini justru banyak kalangan juga yang mengkawatirkan kehadiran OJK tidak akan mampu mengambil alih fungsi pengawasan tersebut, jika fakta efouria saat ini tidak mencerminkan kesiapan SDM yang memadai untuk mendukung kehadiran OJK tersebut. Coba bandingkan dengan kasus Pajak yang menghebohkan saat ini, banyak pihak menyatakan

Tugas Pengaturan dan Pengawasan Bank Selanjutnya dalam rangka tugas pengaturan dan pengawasan bank, menurut Pasal 24 UUBI, BI berwenang: Menetapkan peraturan di bidang perbankan Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan tertentu dari bank Melakukan pengawasan bank baik langsung maupun tidak langsung Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

6

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

bahwa kehadiran Pengadilan Pajak ternyata bukan solusi terbaik untuk mendukung reformasi sistem perpajakan di Indonesia. Pernyataan yang layak direnungkan saat ini adalah, persoalan sebenarnya atau persoalan substansial terkait dengan krisis perbankan selama ini yang ditengarai antara lain karena pelaksanaan fungsi pengawasan BI kurang memadai, apakah persoalan tersebut terletak pada lembaganya atau pada SDMnya ?. Bercermin pada Peradilan Pajak sebagaimana dikemukakan di atas, bukankah hal tersebut secara substansial persoalan mendasar adalah terletak pada SDMnya yang tidak kredibel, tidak qualified, tidak jujur dan mempunyai kemampuan maupun integritas yang tinggi. Jika kehadiran OJK nanti ternyata hanya akan memindahkan SDM Divisi Pengawasan BI ke lembaga baru yang bernama OJK, jika tidak dibarengi dengan SDM yang memadai, kredibel, mempunyai integritas yang tinggi, tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan yang mandiri, independen, saya kawatir hal intu hanya akan menimbulkan masalah baru dikemudian hari. Saya terus terang kawatir kehadiran OJK yang dimanatkan oleh Pasal 34 UUBI tersebut, hanya dilatar belakangi oleh sikap traumatis pembentuk UU waktu itu terhadap peristiwa krisis perbankan masa lalu yang satu diantaranya ditengarai karena pelaksanaan tugas pengawasan BI terhadap bank-bank umum di Indonesia yang kurang efektif. Jika konstatasi ini benar, maka kehadiran OJK sebenarnya belum tentu mencerminkan solusi tepat pengaturan dan pembenahan tugas dan fungsi pengawasan perbankan saat ini. Bercermin pada kasus Pajak sebagaimana saya kemukakan di atas, kehadiran Pengadilan Pajak yang hanya diisi oleh SDM dari Pegawai Pajak dan Mantan Pegawai Pajak dan/atau Konsultan Pajak dengan dalih merekalah yang mempunyai pengalaman dan keahlian dibidang pajak, ternyata tidak memberikan solusi terbaik sistem pengelolaan perpajakan di Indonesia, ternyata juga masih rentan dengan KKN yang sungguh membahayakan kepentingan publik dan keuangan negara. Jika kehadiran OJK ternyata juga hanya akan diisi oleh SDM dari BI yang dieksodus ke LPJK/OJK dan mantan

Pejabat/pensiunan BI seperti halnya pada Peradilan Pajak, maka jujur saya khawatir kasus serupa akan terjadi juga di OJK tersebut. Jika konstatasi ini benar, maka menurut hemat saya saat ini masih perlu dikaji ulang apakah mandat Pasal 34 UUBI tersebut sudah sepenuhnya tepat dan benar. Jangan-jangan mandat tersebut hanya didasari atau dilatarbelakangi oleh sikap emosional karena trauma masa lalu. Jika pandangan ini diterima, bukankah yang lebih esensial dan substansial adalah persoalan reformasi SDM bukan reformasi kelembagaannya. Secara sistem barangkali kelembagaannya sudah benar, sudah tepat berada di jajaran BI, akan tetapi SDM pemegang kunci pengambil keputusan dan/atau kebijakan di bidang tugas pengawasan yang harus direformasi dan bukan sistemnya. Saya kawatir kehadiran OJK yang mengambil fungsi pengawasan BI atas Bank-bank Umum, akan tetap tumbuh atau bertabrakan dengan fungsi pengaturan BI yang secara tidak langsung akan bersinggungan dengan fungsi pengawasan (macroprudential). G. HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, hubungan BI dengan Presiden dapat digambarkan sebagai berikut. Hubungan dengan Presiden sebagai Kepala Negara, Presiden berwenang: Mengusulkan dan mengangkat Gubernur & Deputi Senior Mengangkat Deputi Gubernur Mengusulkan calon Gubernur & Deputi Senior kepada DPR DPR menyampaikan hasil persetujuannya kepada Presiden untuk diangkat Memberikan persetujuan tertulis jika anggota Dewan Gubernur akan menjalani proses hukum. Hubungan dengan Makamah Agung, Mahkamah Agung yang bertugas mengambil sumpah/janji anggota Dewan Gubernur. Hubungan dengan Badan Pemeriksa Keuangan: Menerima dan melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan BI

7

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

Melakukan pemeriksaan khusus terhadap BI apabila diminta oleh DPR BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR.

Dalam melaksanakan tugasnya, LPJK yang akan datang mempunyai kewajiban melakukan koordinasi & kerja sama dengan BI sebagai bank sentral. Kerja sama tersebut akan di atur dalam UU LPJK atau OJK yang akan datang, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 UUBI.

Hubungan dengan Pemerintah: Hubungan dengan Kantor Menteri Sekretaris Negara untuk pemuatan PBI dalam Lembaran Negara RI. Hubungan dengan Bea & Cukai dalam hal larangan membawa uang rupiah ke luar atau ke dalam wilayah pabean RI: BI mengelola cadangan devisa milik negara Pemerintah dapat hadir dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter dengan hak bicara tanpa hak suara BI sebagai pemegang kas Pemerintah Untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan & kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar negeri Pemerintah wajib meminta pendapat dan/atau mengundang BI dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan & keuangan, atau masalah lain yang berkatan dengan tugas & wewenang BI Pemerintah wajib konsultasi dengan BI & DPR dalam penerbitan surat-surat utang negara BI dapat membantu Pemerintah dalam penerbitan surat-surat utang negara. Menerima sisa surplus hasil kegiatan BI Pemerintah dengan persetujuan DPR wajib menutup kekurangan dalam hal modal BI menjadi kurang dari Rp 2 triliun Hubungan Internasional, BI bertugas: Melakukan kerja sama dengan bank sentral negara lain, organisasi dan lembaga internasional Apabila keanggotaan suatu lembaga internasional/ multilateral dipersyaratkan adalah negara, BI dapat bertindak sebagai anggota lembaga tersebut untuk dan atas nama Negara Hubungan dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan yang Independen yang akan datang.

H. PENUTUP Dengan mendasarkan pada UUBI sebagaimana beberapa kaedahnya telah di bahas dalam uraian di atas, implikasi terhadap independensi dan posisi dalam sistem ketatanegaraan bagi pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas BI sebagai Bank Sentral RI, ternyata masih menyisakan perbedaan pemahaman diantara sebagian kalangan pemerhati BI sebagai Lembaga Negara yang independen. Secara kaedah pengaturan independensi BI sebagai Bank Sentral sebenarnya sudah cukup tegas, sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 UUBI. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa independensi tersebut masih sering tidak dapat diimplementasikan secara benar di dalam praktek karena adanya intervensi baik dari Pemerintah maupun pressure politik. Kehadiran OJK atau LPJK sebagai salah satu solusi untuk menempatkan peran pengawasan perbankan pada Institusi mandiri di luar BI, ditengarai masih menyisakan problem mendasar dikemudian hari, karena kesiapan SDM untuk itu masih mengambil atau hanya memindahkan saja Direktorat Pengawasan BI menjadi bagian dari Lembaga Pengawasan yang baru tersebut. Kajian kritis berkaitan dengan hal itu adalah apakah kehadiran OJK atau LPJK itu sudah benar-benar merupakan kebutuhan atau justru hanya merupakan efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari krisis perbankan yang berkepanjangan yang satu diantaranya adalah karena fungsi pengawasan BI tidak optimal.

8

Referensi

Bank Indonesia, 2002, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia. Lash, Nicholas, A.,1987, Banking Law and Regulations: An Economis Perspentive, Prentice-Hall Inc, USA. Mintorahardjo, Sukowaluyo, 2001., BLBI Simalakama, Resi, Jakarta. Macey, Jonathan, R and Miller, Geoffrey, P., 1992, Banking Law and Regulation, Litle Brown Company, Boston, Toronto, London. Rahbini, Didik J; Suwidi Tono, 1987, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta. UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. UU NO. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.

9

Halaman ini sengaja dikosongkan

Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas KeuanganOleh: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM**

Apabila judul makalah ini didekati dari teori hukum, maka teori hukum itu memberikan sarana kepada kita untuk merangkum dan memahami masalah implementasi Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia. (UUBI). Dengan ini dapat dipahami persoalan-persoalan yang bersifat yang hakiki dari UUBI itu. Radbruch menyatakan, bahwa tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.1 Berdasarkan itu harus diteliti antara lain sebagai berikut.2 Petama, mengapa UUBI itu berlaku? Kedua, apa dasar kekuatan mengikatnya ? Ketiga, apa yang menjadi tujuan UUBI.? Keempat, bagaimana seharusnya UUBI dipahami? UU BI merupakan derivatif dari ketentuan pasal 23 UUD 1945.

Artinya kedudukan Bank Sentral dalam struktur ketatanegaraan terpatri atau memperoleh mandat dari konstitusi yang sekaligus memberikan jaminan dari konstitusi untuk Bank Sentral yang independen. Apabila diperhatikan secara mendalam, maka penafsiran bahwa Bank Sentral ditentukan dalam pasal 23D UUD 1945 adalah Bank Indonesia, sebagaimana telah pula ditentukan dalam pasal 4 ayat (1) UU BI. Berdasarkan hukum Bank Indonesia telah ditentukan sebagai Bank Sentral dan kedudukannya diakui oleh konstitusi. Untuk itu dapat dipahami berbagai pendapat yang mengkaji kedudukan bank sentral yang independen dalam konstitusi. Seperti dikatakan oleh Arend Lijhart, bahwa A central bank can be made particularly strong if us independence is enshrined not just a central bank charter but in the constitution. Sementara itu, John Elster menyatakan pula, bahwa they cannot be change through the ordinary legislative pocess but require a more stringent procedure".3 Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok dari keseluruhan sistem aturan yang berlaku sebagai pegangan bersama dalam kehidupan warga Negara dalam suatu Negara, yang keseluruhannya membentuk suatu kesatuan sistem hukum. Karena itu, hukum dan konstitusi disuatu Negara itu haruslah menjadi sesuatu yang hidup dalam praktek kehidupan bernegara sehari-hari. Dari sinilah kita dapat meyakini the rule of law atau prinsip supremasi hukum (supremacy of law) dapat benar-benar diwujudkan dalam kenyataan. Jika tidak, niscaya prinsip the rule of law dan supremacy of law itu hanya menjadi jargon atau slogan kosong belaka.43 Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005), hal.263. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.79.

** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 20012002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang. 1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 224225.

4 2 Bandingkan. Satjipto Rahardjo, Op. Cit, halaman. 225

11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

Dalam konteks kedudukan Bank Sentral dalam konstitusi memberikan penjelasan bahwa tata urutan atau susunan hierarkis tatanan hukum berkenaan dengan kegiatan perbankan, termasuk pengawasan bank, harus bertitik tolak kepada ketentuan yang mengatur tentang Bank Sentral sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi. Sebab apabila dipostulasikan dengan norma dasar, konstitusi menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi tidak hanya menentukan organ-organ dan prosedur pembentukan undang undang, tetapi juga sampai derajat tertentu, isi dari hukum yang akan datang. Konstitusi menentukan secara negatif bahwa hukum tidak boleh memuat isi tertentu, misalnya bahwa parlemen tidak boleh mengesahkan (rancangan) undang undang yang bertentangan dengan konstitusi.5

memberikan independen kepada bank sentral sebenarnya tidak berdasar. Independensi tidak berarti bank sentral bebas menjalankan kebijakan moneter yang mereka inginkan. Independen berarti bank sentral dapat menggunakan instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur tangan dari pihak diluar bank sentral. Ini yang disebut dengan instrument independence bukan goal independence. Konsekwensi independen bagi bank sentral adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan dan kebijakan moneter yang dilakukan secara transparan. Menarik untuk dicermati bahwa meskipun pada awalnya ada keraguan dalam memberikan independensi kepada bank sentral pada akhirnya masyarakat sangat puas terhadap independensi bank sentral. Tidak ada satu negara pun yang menyesal telah memberikan independensi kepada bank sentralnya.7 Terdapat kesepakatan diantara para ahli bahwa bank sentral independen yang bebas dari campur tangan pemerintah dapat mencapai tujuan menjaga stabilitas harga dengan lebih baik. Untuk mencapai kestabilan harga dibutuhkan waktu lebih panjang dan komitmen tinggi terhadap pengawasan moneter. Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank sentral dapat berarti dua hal. Pertama, bank sentral memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya, dan kedua, keputusan-keputusan yang diambil olehnya sulit untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau lembaga pemerintahan lainnya.8 Kebebasan dalam menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama melalui suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah bahwa bank sentral memiliki diskresi yang luas mengenai bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undangundang.9

Dengan demikian, peranan dan tugas Bank Indonesia yang independen sebagai Bank Sentral sebagaimana ditentukan dalam konstitusi, harus dipertahankan kedudukannya, termasuk tidak ada undang-undang yang akan datang yang dapat mencabut fungsi dan tugas bank Indonesia. Mengingat peranan dan tugas bank Indonesia sangat penting dan berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah ekonomi, perbankan dan keuangan. Selanjutnya independensi Bank Indonesia harus dipahami juga sebagai suatu hal yang penting untuk menjamin demokrasi.6

Kedudukan Independensi Bank Indonesia Independensi merupakan salah satu isu penting dalam membahas peran Bank Sentral. Memiliki suatu bank sentral yang independen mungkin merupakan elemen proses reformasi moneter yang memicu perdebatan sengit dan dianggap sangat kontroversial pada dekade yang lalu. Secara alamiah para politisi merasa tidak nyaman memberikan independensi kepada bank sentral karena mengurangi kewenangan dalam bidang-bidang penting yang selama ini mereka miliki. Namun demikian keprihatinan para politisi

7 5 Bandingkan. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 180181. Bandingkan. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.157.

Lars Nyberg, The Framework of Modern Central Banking, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand, Hanoi, 21 March 2006 Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge: The MIT Press, 1998), hal. 54. Ibid.

8

6

9

12

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

Lebih jauh lagi, Blinder menegaskan mengapa independensi bank sentral menjadi begitu penting. Kebijakan moneter menurut Blinder memerlukan yang ia sebut sebagai long time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan10. Hal ini karena, pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu kebijakan moneter, seperti yang terkait dengan inflasi baru dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja mereka. Kedua, kebijakan-kebijakan moneter memiliki karakteristik yang sama seperti halnya aktivitas investasi, yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan mendapatkan hasil secara berkala setelah sekian waktu.11 Tetapi, orang-orang politik yang duduk di pemerintahan, bukanlah orang-orang yang memiliki kesabaran ataupun long time horizon. Kebanyakan dari mereka hanya melihat segala sesuatunya dalam short-term basis saja, tanpa mempertimbangkan long term gains.12 Dari sini dapat dilihat betapa bahayanya, apabila kebijakan moneter bank sentral yang mempengaruhi kondisi negara secara makro diintervensi secara politis. Dampak Keberlakuan Pasal 34 UU BI Pasal 34 UU BI mengamanatkan pembentukan Lembaga Pengawas Sektor Keuangan (LPJK) paling lambat pada tahun 2010. Amanat Pasal 34 tersebut sejak awal penyusunannya telah mengandung kontroversi dan perdebatan. Berdasarkan Pasal 34 UU BI fungsi BI dalam mengawasi bank dialihkan kepada LPJK. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank sentral di negara yang industri keuangannya didominasi oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan dan memicu kontroversi. Bank sentral yang diberikan tanggung jawab untuk menciptakan stabilitas nilai rupiah tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan mengawasi bank. Itu sebabnya UU BI meletakan tujuan BI dalam Pasal 7 yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan untuk mencapai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut Pasal 8 UU BI

menetapkan tiga tugas Bank Indonesia yaitu : (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta; (3) mengatur dan mengawasi bank. Oleh karena itu pelaksanaan amanat Pasal 34 berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan yang diamanatkan oleh UU BI. Pasal 34 tersebut telah mengamputasi instrumen penting yang dimiliki BI dalam mencapai tujuannya. Dari sejarah pembentukan UU BI diketahui bahwa keberadaan Pasal 34 dipenuhi kontroversi. Pasal tersebut didasarkan pada pandangan yang keliru tentang lembaga yang bertanggung jawab atas krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997/98. BI dianggap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan efektif sehingga menimbulkan krisis keuangan yang parah. Pandangan ini tidak sepenuhnya beralasan. Bila diteliti struktur pengawasan perbankan pada waktu itu akan diketahui bahwa pengawasan bank dilakukan oleh dua lembaga yaitu BI dan Departemen Keuangan. BI bertugas mengawasi bank dalam arti sempit (audit) sedangkan tugas mengatur dan memberi/mencabut ijin usaha bank ada pada Departemen Keuangan. Oleh sebab itu tidak efektifnya tugas pengawasan bank sehingga memicu terjadi krisis pada tahun 1997/1998 tentunya adalah tanggung jawab bersama kedua lembaga tersebut. Berdasarkan latar belakang seperti itu maka penerapan Pasal 34 UU BI perlu dikaji ulang secara komprehensif. Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa lembaga. Di Inggris misalnya industri keuangannya diawasi oleh Financial Supervisory Authority (FSA), sedangkan di Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa institusi. SEC misalnya mangawasi perusahaan sekuritas sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral (the Fed), FDIC, dan OCC. Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan. Dari sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku yaitu commercial banking system dan universal banking system. Commercial banking, seperti yang berlaku di negara

10 Ibid. hal.55. 11 Ibid. 12 Ibid. hal.55-56.

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

kita dan di Amerika Serikat, melarang bank dalam melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antara lain negara-negara Eropa dan Jepang yang membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti investment banking dan asuransi. Di samping alasan sistem perbankan yang berlaku yang juga menjadi dasar pertimbangan adalah seberapa dalam telah terjadi konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang dalam akan menyebabkan munculnya masalah kewenangan regulasi. Hal ini terjadi karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya sehingga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankan sehingga diregulasi oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan harus tunduk pada regulasi Bapepam. Dengan diselesaikannya kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah kewenangan regulasi tersebut akan terpecahkan. Secara empiris, survey yang dilakukan Central Banking Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal ini lebih menonjol di negara-negara sedang berkembang. Khusus untuk negara yang sedang berkembang alasannya adalah masalah sumber daya (resourches). Bank sentral dianggap memadai dalam hal sumber daya (sumber daya manusia dan dana). Dari kaca mata politik, dicabutnya kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan munculnya kecenderungan pemberian independensi kepada bank sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan independennya bank sentral, apabila bank sentral juga berwenang mengawasi bank bank sentral akan memiliki kewenangan yang sedemikian besar. Bank of England misalnya, pada tahun 1997 mendapatkan keindependenannya, namun dua minggu kemudian kewenangan pengawasan bank diambil alih dari bank sentral tersebut. Menjawab pertanyaan kapan waktu yang tepat mulai beroperasinya OJK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan ketiga alasan di atas dan memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, data menunjukkan bahwa industri keuangan kita 90% lebih di antaranya dikuasai oleh industri perbankan. Belum terjadi konvergensi yang dalam di antara industri keuangan tersebut. Kalaupun ada produk hybrid

dalam jasa keuangan sifatnya masih sederhana dan volumenya belum besar sehingga belum dapat dikatakan sebagai masalah krusial yang dapat menimbulkan masalah sistemik. Produk hybrid adalah produk yang merupakan perpaduan antara produk perbankan, asuransi atau pasar modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut masih merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga dalam hal ini bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent) dan mendapatkan komisi (fee) dari jasanya tersebut. Ambil contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, a bank that can offer banking, insurance lending and investment product to customer, Kedua, a French term referring to the selling of insurance through a banks established distribution channel. Di negara-negara Eropa yang menganut universal banking system produk ini sudah lama berkembang dan dilakukan sesuai dengan pengertian bancassurance yang pertama. Di Indonesia produk ini masih murni produk perusahaan asuransi yang ditawarkan atau dijual melalui jalur distribusi (distribution channel) perbankan sehingga lebih tepat dengan pengertian bancassurance yang kedua. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan yang melarang bank melakukan kegiatan asuransi. Larangan ini sesuai pula dengan sistem perbankan yang dianut oleh Indonesia, yaitu commercial banking system. Keuntungan bank menjual produk hybrid tersebut adalah selain menerima komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base dan menjaga loyalitas nasabah. Kedua, membentuk lembaga baru seberkuasa dan sebesar OJK tentunya membutuhkan sumber daya yang besar. Pada saat negara sedang sakit seperti saat ini pastilah lebih bijaksana apabila sumber daya yang tidak sedikit itu digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah parah. Masalah utama yang dihadapi industri keuangan khususnya perbankan saat ini bukanlah telah semakin menyatunya dengan industri keuangan lainnya, tetapi lemahnya penerapan good corporate governance. Masalah good corporate governance tidak akan selesai dengan beralihnya kewenangan pengawasan. Orang bijak mengatakan dont change your jokey in the middle of the race otherwise you will lose the game. Hal ini terbukti dalam pengalaman Jepang dalam menerapkan FSA, suatu lembaga semacam OJK, pada saat industri perbankan Jepang menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya dalam kasus Ishikawa Bank dan Masalah kredit macet dan kecurangan (fraud) masih mewarnai perbankan Jepang.13 Apabila pasal 34 UU BI diimplementasikan maka kewenangan dalam mengawasi bank oleh BI tidak akan ada lagi, padahal kewenangan mengawasi bank oleh BI merupakan tanggung jawabnya dalam menciptakan nilai rupiah yang stabil. Selanjutnya akan mengakibatkan perubahan lainnya terhadap substansi ketentuan UU BI lainnya yang pada gilirannya dapat mengganggu fungsi BI di bidang moneter, sistem pembayaran dan stabilitas keuangan. Ketentuan pengawasan bank oleh BI sebelum adanya ketentuan pasal 34 UUBI adalah merupakan suatu ketentuan yang berada dalam satu sistem hukum BI. Oleh karena itu tidak bisa kewenangan pengawasan bank oleh BI dipisahkan dengan kewenangan BI lainnya.

Dengan demikian implementasi ketentuan pasal 34 UUBI dapat merubah esensi sistem dari suatu kesatuan UUBI dan berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUBI. Seharusnya peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan seyogyanya tidak perlu diintervensi oleh lembaga manapun. Karena, tugas Bank Indonesia berfungsi juga untuk menjaga stabilitas keuangan. Hal ini sejalan dengan nafas independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh norma dasar di Indonesia. Apabila munculnya berbagai badan atau lembaga yang kewenangannya sudah merupakan kewenangan Bank Indonesia akan menjadi permasalahan dalam bidang hukum. Sebab, merupakan hal yang aneh apabila berbagai undangundang melahirkan berbagai badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan yang mirip. Hal ini dapat berpotensi dibatalkannya undang-undang

Beberapa ciri dari suatu kesatuan sebagai dalam satu kesatuan interaksi (proses).

berikut:14

yang menjadi dasar hukum pendirian badan atau lembaga tersebut, apalagi sebagai Bank Sentral telah diatur dalam UUD 1945. PENUTUP Amanat Pasal 34 UUBI bila dilaksanakan akan mengakibatkan tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas nilai rupiah sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 7 UUBI. Tujuan BI sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 7 tersebut, hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank sebagaimana ditetapkan dalam pasal 8 UUBI. Singkat kata, apabila amanat pasal 34 UUBI ingin dijalankan, maka seluruh tanggung jawab dan tugas yang diembankan kepada Bank Indonesia harus dikaji ulang, karena pasal 34 UUBI tersebut dilaksanakan akan mengamputasi salah satu pondasi Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya.

1. Sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk 2. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdepende of its parts). 3. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts). 4. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts) 5. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts canot be under-stood if considered in isolation from the whole). 6. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

13 The Economist, 30 Agustus 2003. 14 Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung: Mandar Maju, tahun 2003 ,hal. 65.

15

Daftar Pustaka

Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, Cambridge: The MIT Press, 1998. Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Lars Nyberg, The Framework of Modern Central Banking, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand, Hanoi, 21 March 2006 . Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, tahun 2003. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1998 The Economist, 30 Agustus 2003.

16

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem KeuanganOleh: Dr. Wimboh Santoso1

I.

Pendahuluan Stabilitas sistem keuangan telah menjadi sasaran yang penting dalam kebijakan ekonomi keuangan selama beberapa puluh tahun terakhir terutama paska krisis Asia pada tahun 1998. Pada tahun 1980an, deregulasi terhadap pasar keuangan terutama pemberian kredit atau pemberian fasilitas sejenisnya dari bank serta pengaturan aliran modal antar negara telah dihapuskan secara bertahap di beberapa negara. Kondisi ini telah menyebabkan adanya fondasi yang kuat untuk mengembangkan sektor keuangan sehingga lebih cepat dari pertumbuhan dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam phase ini, sistem keuangan telah berkembang secara struktural dan menjadi lebih komplek. Instrumen keuangan telah berkembang menjadi beraneka ragam, aktivitasnya lebih terdiversifikasi dan risikonya lebih rumit dengan perubahan yang sangat dinamis. Sektor keuangan juga menjadi lebih terintegrasi dan terkait erat satu sama lain dari segi dimensi industri maupun secara geographis, sehingga sulit diidentifikasi originalitasnya dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan. Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat di sektor keuangan, maka diikuti pula dengan berbagai permasalahan yang semakin sulit terdeteksi secara lebih dini. Krisis di sektor keuangan biasanya berkaitan dengan siklus "boom" dan "bust"terhadap nilai aset dan kredit. Terjadinya perkembangan pertumbuhan yang cepat harga property dan kredit konsumsi telah menjadi indikator awal permasalahan instabilitas. Pertanyaannya: apakah kebijakan moneter dapat digunakan untuk memitigasi perkembangan yang pesat tersebut? Paper ini akan mengulas beberapa pertanyaan terkait dengan: (1) Apa yang disebut stabilitas sistem keuangan?; (2) Bagaimana melakukan analisisnya agar bisa melakukan deteksi lebih dini dan mengambil kebijakan mitigasinya;

(3) Bagaimana kerja sama antar otoritas untuk mendukungnya; (4) Dengan apa kita bisa menjaga stabilitas sistem keuangan. II. Apa yang dimaksud stabilitas sistem keuangan Meskipun beberapa negara telah menaruh perhatian cukup besar terhadap stabilitas sistem keuangan, deskripsi tentang "stabilitas sistem keuangan" tetap masih menjadi diskusi yang hangat. Agar rumah tangga dan perusahaan korporasi dapat secara optimal melakukan perannya yaitu mengkonsumsi barang-barang dan juga melakukan investasi secara berkesinambungan, maka harus ada sistem keuangan yang berperan secara baik dalam hal melakukan intermediasi dari para penyimpan dana (surplus unit) dan peminjam dana (deficit unit), memberikan layanan pembayaran transaksi, dan melakukan realokasi risiko secara baik. Dalam pendekatan pemahaman yang lebih sempit atas stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan dengan mendefinisikan sebaliknya yaitu menghindari adanya "instabilitas sistem keuangan" dimana telah terjadi gangguan terhadap perekonomian. Definisi ini lebih melihat dari sisi kebalikannya dari kondisi yang stabil serta bagaimana mengupayakan untuk menghindari terjadinya instabilitas. Gangguan terhadap perekonomian ditandai dengan timbulnya biaya yang harus dibayar oleh pemerintah. Beberapa tahun terakhir terlihat bahwa biaya dari krisis ini cukup besar bila dibandingkan dengan GDP suatu negara. Dari pengalaman juga menunjukan bahwa krisis keuangan dapat terjadi baik dinegara berkembang maupun di negara maju serta dapat menimbulkan dampak ikutan ke negara lain. Begitu terdapat biaya yang menjadi beban negara untuk

1

Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia

penyelamatan sistem keuangan, maka dapat dikatakan

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

bahwa sudah terjadi instabilitas di sistem keuangan. Penyelematan oleh pemerintah dimaksudkan agar biaya yang ditimbulkan dari krisis dapat diminimalisir. Definisi stabilitas sistem keuangan yang banyak dipakai dibeberapa negara mengkombinasikan atas tiga hal yaitu: terjadi alokasi resources dengan baik sehingga proses intermediasi bisa berjalan dengan normal, berbagai indikator sistem keuangan masih memenuhi batas stabil dan belum ada dana publik yang dipakai untuk penyelamatan sistem keuangan. III. Bagaimana otoritas melakukan analisis stabilitas sistem keuangan? Setelah pemahaman stabilitias sistem keuangan dan sasaran yang akan dicapai disepakati dan dipahami oleh otoritas, maka pelaksanaan analisis simpul simpul kerawanan yang dapat menyebabkan instabilitas akan dapat dilakukan dengan mudah dalam organisasi bank sentral. Terdapat dua pendekatan yang saling melengkapi: Pertama, kita perlu memfokuskan kepada berbagai faktor risiko yang berasal dari dalam sistem keuangan itu sendiri yaitu terdiri dari lembaga keuangan, pasar keuangan dan infrastruktur keuangan seperti settlement yang dilakukan oleh bank sentral (RTGS) maupun lembaga settlement lainnya. Unsur internal sistem keuangan ini akan selalu dihadapkan kepada berbagai faktor risiko seperti risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional. Analisis atas berbagai risiko tersebut telah semakin sulit beberapa tahun terakhir ini sejalan dengan sistem keuangan yang semakin komplek dan saling berkaitan baik antar industri maupun secara geographis. Peningkatan kompleksitas sistem keuangan di tunjukan dengan pesatnya pasar di credit derivatives. Instrumen ini relatif masih baru yang bentuknya bisa beraneka ragam. Meskipun instrumen ini sangat baik untuk mitigasi risiko, namun terdapat kemungkinan bahwa tehnis penilaiannya akan rumit serta dapat menimbulkan moral hazard atau rentan terjadinya spekulasi dan fraud. Lembaga keuangan baik yang melakukan mitigasi dengan menjual risikonya kepada pihak lain masih

dapat terekspose risiko. Tanpa disadari bahwa risiko sistemik akan dapat manganulir persepsi bahwa risikonya telah dijual, sedangkan lembaga yang membeli risiko ternyata sudah terlalu besar risiko yang dibelinya dan tidak bisa dimitigasi ke lembaga lain. Kalau terjadi default atas maka hanya bailout dari otoritas yang dapat menyelesaikannya. Melakukan analisis risiko yang berasal dari dalam sistem keuangan akan lebih jelas kalau dapat dibedakan melalui dua pendekatan micro dan macroprudential. Microprudential analisis lebih mengarah kepada perkembangan dalam individu lembaga keuangan dengan lebih menaruh perhatian pada menghindari problem individual lembaga untuk melindungi kepentingan para deposan. Macroprudential analisis lebih mengarah kepada sistem keuangan secara keseluruhan dengan sasaran agar tidak terjadi permasalahan untuk menghindari biaya yang akan dibebankan kepada pemerintah (pembayar pajak). Untuk menghindari sistemic risk dilakukan analisis risiko terhadap semua unsur di sistem keuangan. Khusus untuk lembaga keuangan, analisis terhadap keterkaitan antar lembaga keuangan yang diakibatkan oleh permasalahan likuiditas maupun solvabilitas merupakan analisis macroprudential yang penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kedua, pendekatan dengan menekankan risiko yang berasal dari luar sistem keuangan. Pendekatan ini telah dipahami oleh para pengambil kebijakan beberapa tahun terakhir. Perkembangan yang pesat perdagangan instrument derivatives atas surat hutang dan harga assets, termasuk juga gangguan makro ekonomi seperti turunnya harga komoditi serta terjadinya ketidak seimbangan dalam ekonomi dunia dan pasar keuangan akan dapat menimbulkan risiko instabilitas. Untuk melakukan identifikasi dari sumber instabilitas, kita memerlukan berbagai indikator yang dapat memberikan informasi tanda-tanda terjadinya instabilitas. Dengan mendasarkan perbandingan beberapa indikator pada waktu tertentu dengan pada waktu normal, maka kita bisa melakukan analisis seberapa besar perbedaan atas indikator instabilitas tersebut. Kalau perbedaannya

18

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

besar dengan trend yang meningkat maka kita bisa mengindikasikan kondisi keuangan mengarah kepada instabilitas. Namun demikian, sering sekali mendapatkan kesulitan untuk melakukan interpretasi atas berbagai indikator instabilitas karena indikator normal kadangkadang sulit untuk ditentukan mengingat perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. Berbagai informasi yang belum secara terintegrasi dalam sistem keuangan merupakan faktor yang penting untuk dapat dijadikan judgment dalam melakukan analisis kondisi sistem keuangan.

monitor sistem keuangan. Terintegrasinya lembaga dan pasar keuangan dengan pasar global telah membuat bank sentral perlu melakukan analisis sistem keuangan global dalam laporan stabilitas sistem keuangannya yang dipublikasikan secara rutin. Pengembangan berbagai tool analisis merupakan tantangan bank sentral agar dapat menangkap simpul kerawanan secara lebih dini. IV. Bagaimana koordinasi antar otoritas untuk bersama-sama menjaga stabilitas sistem keuangan Koordinasi antar otoritas ini sangat diperlukan dalam

Analisis dampak negatif atas guncangan ekonomi makro terhadap stabilitas sistem keuangan juga dapat diterapkan. Macro stress testing merupakan pendekatan yang biasanya digunakan dalam analisis ini dengan tujuan untuk mengukur ketahanan bank atau lembaga keuangan dalam menghadapi berbagai shocks atas kondisi ekonomi dan respon kebijakan makro ekonomi yang diperlukan dari otoritas. Berbagai skenario kondisi makro ekonomi dapat disimulasikan untuk melakukan pengujian atas ketahanan bank atau lembaga keuangan termasuk dalam kondisi ekstrim, pendekatan ini sering disebut micro stress testing. Lembaga keuangan dan pasar keuangan sudah semakin terintegrasi serta sangat tinggi ketergantungannya sehingga analisis keterkaitan antar lembaga dan pasar keuangan sangat membantu untuk mengukur sejauhmana permasalahan yang mungkin timbul di lembaga atau pasar keuangan dapat menimbulkan dampak sistemik di sistem keuangan. Aliran dana masuk dan keluar di pasar keuangan telah meningkat cukup besar aktivitasnya di beberapa tahun terkahir. Transaksi oleh para pelaku pasar antar negara telah meningkat cukup pesat baik di pasar saham, obligasi dan juga financial instrumen lainnya seperti produk off-shore dan derivatives. Pemerintah di berbagai negara banyak sekali mengeluarkan surat hutang untuk membantu memperbaiki cash flow anggaran belanjanya dan banyak para pelaku pasar yang melakukan diversifikasi risikonya dengan melakukan hedging diberbagai pasar dunia. Analisis dengan mendasarkan domain domestik ternyata tidak cukup sehingga global analisis tentang pasar dan lembaga keuangan sangat diperlukan untuk melihat secara lebih akurat simpul kerawanan di sistem keuangan. Bank sentral mempunyai tanggung jawab khusus dalam melakukan analisis dan

menjaga agar terhindar dari krisis dan mempermudah dalam penyelesaian krisis apabila ternyata tidak dapat dihindari. Dalam koordinasi ini, peran dan tanggung jawab masing-masing otoritas harus jelas dan dituangkan dalam undang-undang. Tugas menjaga stabilitas sistem keuangan ini dilakukan oleh bank sentral, dengan berkoordinasi dengan pengawasan pasar keuangan dan menteri keuangan sebagai otoritas fiskal. Di negara yang otoritas pengawasan lembaga keuangan dipisahkan dari bank sentral, maka otoritas tersebut akan menjadi bagian dari otoritas yang harus melakukan koordinasi dibawah menteri keuangan. Untuk mencapai sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, maka sharing informasi antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisi normal maupun krisis. Dalam hal permasalahan disektor keuangan menyangkut bank yang operasinya secara multinasional maka koordinasi akan menyangkut otoritas antar negara dengan berbagai kerangka hukum yang berbeda. Sebagaimana yang terjadi terhadap Lehman Brothers pada tahun 2008, otoritas di sejumlah negara terlena melakukan koordinasi untuk melakukan assessment dampak penutupan lehman brothers ini terhadap lembaga keuangan lain dan pasar keuangan dinegara lain. Pandangan umum sementara ini, otoritas di suatu negara hanya bertanggung jawab pengawasan terhadap bank yang didirikan dengan badan hukum di negara tersebut, sedangkan bank disuatu negara yang didirikan dengan dasar hukum di negara lain (ie. Kantor cabang bank asing) maka tanggung jawab pengawasannya ada di home supervisory authorities. Permasalahan ini muncul apabila terdapat bank yang beroperasi secara multinational dan mengalami permasalahan di kantor pusatnya sehingga harus ditutup, maka secara legal seluruh kantor cabangnya harus

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

ditutup. Timbul permasalahan, bagaimana kalau kantor cabangnya yang tersebar di negara lain tersebut sebenarnya operasinya masih bagus? Hal ini belum ada jawabnya sampai saat ini. Koordinasi secara global dalam pencegahan dan penyelesaian banking crisis ini masih belum secara formal dibentuk. G20 pada saat ini sedang mencoba untuk merumuskan bentuk koordinasi pencegahan dan penyelesaian krisis bank yang beroperasi secara multinational, namun masih banyak kendala hukum yang dihadapi mengingat masing-masing negara mempunyai legal basis yang berbeda. Permasalahan lain juga muncul berkaitan dengan bank yang operasinya sangat besar dengan kantor diseluruh dunia baik dalam bentuk kantor cabang maupun anak perusahaan yang jumlahnya bisa mencapai sekitar 8000, dengan kondisi ini akan sangat sulit bagi kantor pusatnya untuk melakukan monitoring dan bank sentral dinegara asalnya juga mengalami kendala untuk melakukan assessment atas dampak dari permasalahan terhadap kemungkinan timbulnya krisis di negara lain. Dalam hal bank tersebut harus dilakukan penyelamatan, permasalahan muncul siapa yang akan bertanggung jawab untuk melakukan penyelamatan. Penjaminan dana nasabah juga bentuknya sangat beragam diantar negara, sehingga penataan kembali sistem keuangan secara global perlu dilakukan segera agar permasalahan krisis dapat dicegah lebih dini dan penyelesaian krisis dapat dilakukan dengan baik. V. Perangkat apa yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, bank sentral harus melakukan assessment atas kerentanan dan mengeluarkan regulasi apabila diperlukan agar dampak negatifnya dapat dihindari serta risiko sistemiknya dapat diminimalisir. Assessment atas kerentanan terhadap lembaga keuangan, pasar keuangan dan infrastrukturnya merupakan keharusan agar dapat menangkap simpul kerawanan dan melakukan mitigasi lebih dini sebelum permasalahan terjadi. Pertanyaannya yang sering muncul, bagaimana kita melakukannya dan kebijakan apa yang bisa dilakukan agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga. Bank sentral merupakan otoritas yang

mempunyai banyak perangkat kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pertama-tama peran lender of last resort dapat diterapkan pada saat terjadi permasalahan likuiditas perbankan untuk mencegah terjadinya krisis yang bersifat sistemik; Kedua, bank sentral juga dapat melakukan operasi monetar dalam bentuk intervensi di pasar valas maupun pasar likuiditas; Ketiga, secara lebih dini bank sentral juga dapat mengatur laju pertumbuhan kredit; Keempat, dalam hal pengawasan microprudential berada di bank sentral, maka pengawasan micro dapat secara mudah disinkronisasikan dengan kebijakan macroprudential. Harmonisasi langkah pencegahan terhdap krisis ini sangat panting dilakukan dalam kondisi masih normal. Dengan demikian regulasi-regulasi yang bersifat macro prudential untuk mencegah adanya sistemik risk dapat dikeluarkan oleh bank sentral untuk melaksanakan tugasnya yang menyangkut kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam hal pengawasan bank berada di bank sentral maka regulasi yang bersifat microprudential juga dapat dikeluarkan oleh bank sentral secara simultan dan harmonis. Peraturan kehatihatian diharapkan akan dapat menurunkan risiko kepada level dimana bank mampu untuk menyerap dan juga untuk meningkatkan ketahanan lembaga keuangan. Salah satu motif penerapan risk mangement dan Basel II diharapkan untuk meningkatkan efisiensi industri perbankan serta ketahanan industri perbankan agar mempunyai permodalan yang sesuai dengan risiko yang dihadapi. Peraturan kehati-hatian juga dapat dipakai oleh otoritas untuk memperlambat pertumbuhan yang terlalu cepat sehingga risikonya mudah dikendalikan oleh bank. Buffer modal yang bervariasi juga dapat diterapkan untuk mengantisipasi terjadi siklus boom dan burst akan meningkatkan ketahanan perbankan dalam menghadapi shocks. Namun demikian metodologi menentukan permodalan yang counter cyclical ini secara tehnik sangat bervariasi dan mengandung banyak

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

kelemahan, dengan kemungkinan terjadi overstated tingkat modalnya. VI. Stabilitas sistem keuangan dan kebijakan moneter Beberapa tahun terakhir ini hubungan antara kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan telah menarik banyak perhatian para pengambil kebijakan. Stabilitas moneter dan sistem keuangan merupakan dua sasaran atas kebijakan publik yang dilakukan oleh bank sentral. Dua sasaran ini saling melengkapi. Stabilitas sistem keuangan mempunyai pengaruh yang positif terhadap stabilitas harga. Pertama, stabilitas sistem keuangan akan menjamin adanya penawaran kredit yang lebih stabil dan aliran modal yang stabil, dimana kedua hal ini merupakan prasyarat untuk menjaga pertumbuhan yang sustainable; Kedua, stabilitas sistem keuangan akan membantu efektifnya transmisi kebijakan moneter. Stabilitas sistem keuangan secara implicit memberikan jalan bahwa perubahan kebijakan moneter akan mempunyai dampak terhadap suku bunga pasar sebagaimana yang diharapkan pengambil kebijakan. Dengan demikian, perubahan kebijakan moneter akan mempengaruhi rumah tangga dan perusahaan korporasi dan, pada akhirnya, inflasi serta mendorong kegiatan ekonomi. Dilain pihak, stabilitas harga juga akan mempunyai dampak positif terhadap stabilitas sistem keuangan. Keberhasilan kebijakan moneter akan sangat mempermudah tercapainya stabilitas sistem keuangan dengan hilangnya mispersepsi atas singal kebijakan moneter sehingga inflasi dapat dijaga pada tingkat yang dikehendaki sesuai target. Inflasi yang rendah dan stabil akan memberikan rumah tangga dan perusahaan korporasi mendapatkan indikasi yang jelas atas perubahan harga, sehingga bisa melakukan alokasi sumber daya yang lebih efektif. Namun demikian, stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter kadang-kadang memang tidak sejalan, pertanyaannya sejauh mana sasaran stabilitas sistem keuangan bisa dipertimbangkan dalam kebijakan stabilitas moneter. Kelihatannya telah terjadi kesepakatan diantara otoritas bank sentral bahwa dalam kondisi ekstrim, yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan, maka kebijakan moneter bisa sementara diarahkan untuk mengatasi sementara permasalahan di sektor keuangan.

Sebagai contoh, bank sentral telah melonggarkan likuiditasnya dalam kondisi krisis. Hal ini tidak pernah terjadi dalam kondisi normal. Namun demikian, risiko terhadap instabilitas yang berasal dari ketidak seimbangan di sektor keuangan (seperti capital inflow dan outflow melalui proses yang panjang). Dalam kondisi demikian, pertanyaannya kembali menyangkut apakah stabiltias sistem keuangan akan selalu dipertimbangkan secara eksplisit dalam kebijakan moneter. Persoalan ini telah menjadi perdebatan oleh para pengambil kebijakan di bank sentral setiap kali akan mengambil kebijakan moneter. Dalam kenyataannya beberapa bank sentral telah menerapkan inflation targeting yang lebih fleksibel dalam kebijakan moneternya dalam target horizon tertentu. Ini bukti bahwa terdapat kemungkinan mempertimbangkan dampak dari ketidakseimbangan di sektor keuangan terhadap proyeksi inflasi. Namun demikian perlu digaris bawahi bahwa dampak negatif dari ketidak seimbangan di sektor keuangan akan terjadi dalam waktu yang relatif lama, dan kemungkinan akan jauh lebih lama dari horizon target inflasi. Dalam kondisi demikian, maka perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya risiko apabila tidak memperhitungkan dampak imbalance di sektor keuangan ini terhadap inflasi untuk jangka waktu menengah dan panjang, terutama terhadap terjadinya turbulence perekonomian dimasa mendatang. Dalam kondisi yang paling buruk, turbulence perekonomian dapat menimbulkan krisis keuangan. Undang-undang bank sentral di New Zealand secara eksplisit mengatakan bahwa bank sentral dalam menetapkan kebijakan moneter harus mempertimbangkan efisiensi dan kesehatan sistem keuangannya. Di Norwegia juga menerapkan inflation targeting yang lebih fleksibel dengan mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dalam memformulasikan kebijakan moneternya, dengan pertimbangan bahwa ketidakseimbangan di sektor keuangan akan sangat berpengaruh terhadap inflasi dan output serta dapat menimbulkan ketidak stabilan di sistem keuangan. Seluruh bank sentral telah mendirikan unit khusus yang melakukan moitoring dan analisis terhadap kondisi sistem keuangan dan sektor riil terutama perilaku rumah tangga dan perusahaan korporasi sebagai input kebijakan moneter.

21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

VII.Tantangan kedepan Meskipun pemikiran tentang stabilitas sistem keuangan telah berkembang dan diterapkan secara formal oleh sebagian besar bank sentral di seluruh dunia, namun tetap tidak ada jaminan bahwa akan terhindar dari krisis yang bersifat sistemik. Krisis pada tahun 2008 yang baru lalu membuktikan bahwa masih banyak tantangan kedepan untuk lebih meningkatkan berbagai perhatian kita terhadap pencegahan untuk menghindari terjadinya krisis dan penyelesain atas krisis itu sendiri dengan pertimbangan bahwa sistem keuangan akan berkembang terus sehingga dimungkinkan adanya sumber kerawanan yang belum terdeteksi sebelumnya. Peningkatan peraturan yang bersifat macroprudential merupakan agenda yang penting kedepan sebagaimana yang telah dicanangkan dari berbagai program bersama dibawah G20. Perkembangan capital inflow ke beberapa negara berkembang juga akan menjadi sumber kerawanan yang perlu menjadi perhatian bersama.

22

Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem KeuanganOleh Drs. Ec Abdul Mongid, MA1

A. Pengantar Di Inggris, pada 21 Januari 2009, pada The Economist's Inaugural City Lecture, Adair Turner, Kepala OJK Inggris menyatakan bahwa model pengawasan Inggris saat ini yang memisahkan pengawasan dari bank sentral telah membuat otoritas pengawas terlalu terfokus pada lembaga per lembaga dengan perhatian pada risiko tunggal. Sementara bank sentral terlalu fokus pada kebijakan moneter yang secara sempit, yaitu mencapai target inflasi. Akibatnya semua laporan tentang kondisi sistem keuangan dan potensi risiko sistemik tidak pernah memberikan gambaran risiko yang seutuhnya. Bahkan laporan IMF yaitu Global Financial Stability mengakui secara riil mereka salah dalam menilai keadaan. Karena itu disarankan agar bank sentral dan otoritas untuk mengintegrasikan analisa ekonomi makronya dengan analisa makroprudensial dan mengintegrasikan langkah kebijakanya sebelum krisis terjadi. Independensi merupakan isu krusial bagi sebuah Bank Sentral untuk memainkan perannya secara optimal di tengah perkembangan ekonomi global yang sangat dinamis dan seringkali bergejolak. Status kelembagaan Bank Indonesia (BI) yang independen sebagaimana tercantum pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999 menjamin BI bebas dari campur tangan pemerintah dan pihakpihak luar lainnya. Dari sisi kelembagaan Independensi BI terlihat dari kedudukan kelembagaanya yang berbeda dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Menurut UU, kedudukan BI tidak sejajar dengan DPR, MA, BPK atau Presiden yang merupakan Lembaga Tinggi Negara. Kedudukan BI juga tidak sama dengan departemen karena BI berada di luar pemerintah. Masalahnya adalah ternyata independensi BI diikuti dengan upaya sistimatis untuk mengurangi kewenangan1 Dosen STIE Perbanas Surabaya

yang dimiliki BI sebagai bank sentral. Rencana pengalihan kewenangan dalam pengawasan bank menunjukan adanya upaya mengurangi kewenangan BI sehingga BI hanya berfungsi dari aspek moneter. Masalahnya adalah kalau kewenangan dalam mengawasi bank dicabut, maka secara otomatis kemampuan BI dalam menjalankan tugas moneternya terganggu karena bank merupakan lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi kebijakan moneter. Terkait dengan masalah stabilitas sistem keuangan, peran bank sentral sangat penting. Di tengah krisis keuangan global saat ini, isu tentang stabilitas keuangan menjadi topik utama diskusi ekonomi baik di tingkat regional maupun global. Krisis keuangan selalu memiliki konsekuensi kerugian bagi perekonomian Negara yang mengalaminya makanya upaya pencegahan jangan sampai krisis terjadi menjadi perhatian banyak pihak. Terlebih saat ini globalisasi sudah menjadi fakta yang tidak dapat dibantah. Globalisasi telah membawa manfaat bagi banyak negara di dunia dengan mendorong peningkatan Gross Domestic Product (GDP). Globalisasi juga membuka akses yang lebih lebar bagi negara-negara di dunia terhadap pasar global. Saat ini hampir tidak ada Negara yang tidak memiliki hubungan ekonomi internasional. Meski demikian, globalisasi yang terjadi bukan tanpa cela. Stiglitz (2006) menyatakan aturan main globalisasi cenderung tidak adil dan menguntungkan negaranegara industri maju dan hanya mengutamakan nilainilai material dibandingkan nilai-nilai lainnya, seperti perhatian terhadap aspek lingkungan. Sementara penanganan globalisasi cenderung mengurangi kedaulatan negara berkembang serta mengabaikan kemampuan negara berkembang dalam mengambil keputusan sendiri, khususnya terkait area utama yang akan mempengaruhi penduduknya. Terlebih sistem ekonomi yang dipaksakan terhadap negara sedang

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010

berkembang cenderung tidak tepat bahkan tidak menguntungkan negara tersebut. Akibatnya meski mereka yang pro globalisasi mengklaim bahwa setiap orang akan diuntungkan secara ekonomi, namun pada kenyataannya baik di negara maju maupun berkembang terdapat banyak pihak yang dirugikan.

untuk konvertasi mampu memanajemeni. Seperti diketahui arus kas investasi bisa diramalkan tetapi ketidak sesuaian suku bunga diskonto sebagai proksi inflasi tidak diketahui maka nilai riil investasi juga tidak diketahui. Begitu pentingya stabilitas uang menjadikannya sebagai

B. Independensi Bank Sentral: Perspektif Akademis Independensi bank sentral merupakan tema utama diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal tahun 1990-an. Diskusi ini menjadi sangat penting setelah kajian akademis menunjukan Negara yang memiliki bank sentral yang independen memiliki tingkat inflasi yang lebih rendah. Temuan ini menimbulkan arus baru penelitian yang mencoba mencari kaitan secara detail kenapa inflasi dapat menjadi lebih rendah. Jawabannya terletak pada perspektif kebijakan bank sentral yang berdimensi jangka panjang dan kredibilitas kebijakan yang ditempuhnya. Temuan ini menimbulkan semangat baru dalam kajian kebanksentralan karena semua ekonom percaya bahwa stabilitas harga merupakan fondasi seluruh stabilitas ekonomi yang lain. Stabilitas harga menjadi fondasi bagi berjalanya ekonomi pasar yang baik. Ini berarti stabilitas harga menjadi syarat yang harus dipenuhi agar perekonomian berjalan dengan baik. Ana Schwartz (1988) menyatakan perlunya Bank Sentral menjaga inflasi dengan kebijakan moneter yang tepat. Bank Sentral yang dapat menjaga stabilitas dan juga menjaga likuiditas perbankan melalui lender of the last resort. Krisis keuangan pada level apapun akan diperburuk dengan kenaikan tingkat inflasi. Artinya mengapa kebijakan moneter berusaha menjaga stabilitas adalah sebagai upaya tidak langsung Bank Sentral dalam menjaga jangan sampai krisis keuangan terjadi. Pandangan Schwartz ini sering disebut sebagai Schwartz Hypothesis, kebijakan moneter yang berusaha membatasi inflasi cenderung mengurangi terjadinya krisis keuangan karena kestabilan hanya akan membuat proses pemakaian investasi yang benar dapat dilakukan. Dalam bahasa lain ketidak stabilan sistem keuangan karena para investor, penabung dan peminjam kesulitan dalam menilai pendapatan potensial dan tindakannya

suatu fondasi dasar perekonomian untuk berjalan baik. Karena itu terjadi konsensus secara luas bahwa menciptakan stabilitas uang tidak bisa diserahkan kepada proses politik keseharian. Artinya terlalu berbahaya dalam jangka panjang jika masalah manajemen nilai uang diserahkan oleh kekuatan politik karena kekuatan politik memiliki perspektif jangka pendek. Stabilitas uang juga merupakan barang publik sehingga sangat wajar jika pengelolaanya dilakukan oleh lembaga yang independen dari campur tangan politik. Lembaga ini harus bebas dari kepentingan lain yang dapat membuat upaya mencapai tujuan menciptakan uang yang stabil gagal. Inilah yang menjadi latar belakang kenapa bank sentral yang independen dibentuk. Bank sentral yang independen memiliki mandat jelas dan terbatas. Ini menjadikan mandat itu jelas dan membatasi kewenangan diskresi yang dapat mengalihkan dari pencapaian tugas utama. Implikasi dari keadaan ini adalah bank sentral harus menjadi agen m