HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo ......

77
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 8, Nomor 3, September 2010 Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH) Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ? Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010

Transcript of HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo ......

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 8, Nomor 3, September 2010

Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan

dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI

Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan

Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan

Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan

Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH)

Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010

Volume 8, Nomor 3, September 2010

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabAhmad Fuad, Heru Pranoto, Agus Santoso

Pemimpin RedaksiAgus Santoso

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan RedaksiZulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih,

Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R.

Redaksi PelaksanaArief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan,

Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH, LLMDr. Inosentius Samsul, SH, LLMDr. Lastuti Abubakar, SH, MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Halaman ini sengaja dikosongkan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 3, Edisi September 2010 kembali hadir dan menyapa

pembaca sekalian.

Pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) sebagai amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia harus dilakukan

untuk membangun industri jasa keuangan yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi guna mewujudkan

perekonomian yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas

Jasa Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus dilihat

apakah dapat meningkatkan fungsi administratif kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa keuangan agar kebijakan

yang telah ditetapkan dilaksanakan secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan bebas dari berbagai penyimpangan

atau penyelewengan dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU berkaitan LPJK tidak boleh dilihat terpisah dari

UU lain yang terkait. Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU mengenai LPJK hendaknya secara sungguh mempertimbangkan

best practice dan dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan.

Menyoroti hal tersebut, dalam edisi kali ini Buletin akan khusus menghadirkan artikel berkaitan dengan rencana

pembentukan OJK, yaitu: Implikasi Landasan Hukum, Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian

Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, yang ditulis oleh Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM;

Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peran dan Fungsi Bank Indonesia di

Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, yang ditulis oleh Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM;

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Oleh Dr. Wimboh Santoso, Kepala Biro Stabilitas Sistem

Keuangan Bank Indonesia; Independensi Bank Indonesia dan Peran Baru Dalam Stabilitas Sistem Keuangan, oleh Drs. Ec.

Abdul Mongid, MA; serta Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, oleh Oka Mahendra, SH;

Sementara itu, dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan pula seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan

Sarjana Ekonomi Indonesia: RUU OJK, Adakah Solusi ?

Selanjutnya sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku: Konstitusi Ekonomi.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan

memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai dengan

Oktober 2010, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah

pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, September 2010

Redaksi

Dari Meja Redaksi

i

Halaman ini sengaja dikosongkan

Halaman

Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i

Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii

Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan

dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI....................................................................... 1 - 9

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM

Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan

Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan................................... 11 - 16

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan........................................................................ 17 - 22

Dr. Wimboh Santoso

(Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia)

Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan........................................... 23 - 36

Drs. Ec. Abdul Mongid, MA

Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan................................................................................. 37 - 43

Oka Mahendra, SH

Resensi Buku:

Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH).......................................................................................... 45 - 46

Veri Dhyatmika Adhiraharja

Cakrawala Hukum:

Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?................ 47 - 49

Redaksi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010...................... 51 -53

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010................................................................................ 55 - 70

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 8, Nomor 3, September 2010

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

A. LANDASAN DAN STATUS BANK INDONESIA

Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank

Indonesia (UUBI), Bank Indonesia adalah Lembaga

Negara yang independen. Sebagai Lembaga Negara

yang independen, Pemerintah dan/atau pihak-pihak

lainnya dilarang melakukan campur tangan terhadap

pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI).

Bahkan ditegaskan di dalam UUBI, BI wajib menolak

dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan

dari pihak-pihak yang disebutkan di muka.

Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun

terhadap kewajiban untuk menolak campur tangan,

diancam penjara minimal 2 (dua) tahun, maksimal 5 (lima)

tahun serta denda minimal Rp 2 miliar, maksimal Rp 5

miliar. Demikian terangkum dalam Pasal 67 dan 68 UUBI.

B. INDEPENDENSI BI

Sebagai Lembaga Negara yang indepedenden, BI adalah

badan hukum yang status badan hukumnya diperoleh

melalui penetapan Undang-Undang (UU). BI adalah

badan hukum publik, dengan kriteria: cara pendiriannya

dilakukan penguasa negara berdasarkan UU, pelaksanaan

tugasnya berhubungan dengan publik, diberi wewenang

membuat peraturan sendiri yang mengikat masyarakat.

Saat ini produk peraturan tersebut dituangkan dalam

Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Adapun wewenang yang diberikan oleh UU kepada BI

antara lain wewenang mengelola kekayaan sendiri

terlepas dari APBN. Independensi BI memberikan

kewenangan yang lebih besar kepada BI dengan

harapan akan dapat lebih besar meningkatkan efektivitas

pelaksanaan tugasnya. Namun di sisi lain, independensi

menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia, posisi BI tampaknya

masih merupakan bagian dari Eksekutif. Konsekuensinya

Bank Indonesia dituntut transaparan dan memenuhi

prinsip akuntabilitas kepada publik dalam menetapkan

kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh

masyarakat.

Apakah sebenarnya hakekat independen itu, apakah

independen berarti BI steril sama sekali dari segala bentuk

intervensi?. Adakah batas-batas toleransinya?. Secara

teoritis, pada hakekatnya terminologi “independensi“

itu mempunyai cakupan yang sangat luas.

Independence: “the state or condition of being free from

dependence, subjection or control. Political independence

is the attribute of a nation or state which is enterely

autonomous and not subject to government, control or

dictation of any exterior power“. Independence: “not

depending on autority, self governing, not depend on

something for validity or efficiency, not supported by

public fund (for institution), unwilling to be under

obligation to others, independent of any political aprty

(for politician) (Riyanto Sastroadmodjo, 1999).

Jika dikaitkan dengan Independensi Bank Sentral, maka

independensi Bank Sentral seperti BI terkait hal-hal

sebagai berikut: Suatu Bank Sentral yang efektif harus

kuat dengan cakupan ekonomi yang luas dalam

operasinya dan terlepas dari campur tangan partisan

serta tekanan partai politik. Sebagai lembaga independen

di lingkungan pemerintahan suatu Negara, Bank Sentral

seharusnya memiliki kemampuan atau otoritas atau

kewenangan judgment dalam kaitannya dengan

persoalan kebijakan moneter suatu negara, namun tidak

dalam arti berada dalam posisi isolasi terhadap seluruh

kebijakan perekonomian suatu negara (Paul A Volcker,

Ex Chairman Board of Governors FRS US 79-87).

Itulah kualifikasi dan persyaratan suatu Bank Sentral

yang independence. Dalam praktek negara maju,

1

Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RIOleh: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM

kualifikasi dan persyaratan itu biasanya melekat dan

tercermin di dalam UU yang mengaturnya. Independen

diperlukan untuk pengembangan institusi dan

mempertahankan jati dirinya secara bertanggung jawab.

Independen sering terkait dengan prinsip politik yang

dianut suatu pemerintah, secara historical maupun

tradisional, terutama terletak pada masalah keuangan

pemerintah.

Di Amerika Serikat (United State/US ) pemberian status

independen Federal Reserve ( FDR ) atau Bank Sentral

Amerika terutama untuk tujuan agar FDR dapat

mengatur kebijakan moneter US secara bebas dari

“political presures“ (Lash, 1987: 28)

C. KEMANDIRIAN BI

Sebagai Lembaga Negara yang independen, maka BI

dituntut mempunyai kemandirian terutama dalam 4

(empat) hal, yaitu: kemandirian institusi, kemandirian

fungsi, kemandirian keuangan dan kemandirian

organisasi. Masing-masing kemandirian tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut.

1. Kemandirian Institusi

Kemandirian Institusi diartikan sebagai status BI

secara institusi terpisah dari kekuasaan eksekutif

dan legislatif. BI diberi kewenangan menetapkan

kebijakan moneter secara independen dan bebas

dari campur tangan pemerintah. Demikian

ditegaskan di dalam Pasal 4 Ayat (2) UUBI.

Secara struktural kedudukan BI tidak berada di bawah

atau di dalam Kabinet Pemerintah, namun mempunyai

kedudukan sejajar dengan Kabinet Pemerintah.

Kemandirian dalam hal menetapkan kebijakan

moneter merupakan syarat kemandirian institusi.

Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 8 huruf a

UUBI: BI berwenang untuk menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan

menjaga kelancaran sistem pembayaran serta

mengatur dan mengawasi bank. Kewenangan ini

tidak dapat diintervensi Pemerintah. Demikian

ditentukan di dalam Pasal 9 Ayat (1) UUBI.

2. Kemandirian Fungsi

Suatu Bank Sentral dapat dinilai mempunyai

kemandirian fungsi bila ia mempunyai kebebasan

dalam menggunakan instrumen-instrumen kebijakan

moneter seperti: penyesuaian tingkat suku bunga

dan operasi pasar terbuka (OPT) dan pemberian

tingkat diskonto atau pengautan tentang kebijakan

perkreditan.

Dalam konteks ini kemandirian BI dapat diartikan

sebagai kemandirian instrumen yang menggambarkan

bahwa suatu bank sentral memiliki kebebasan memilih

instrumen yang diperlukan untuk mencapai tujuan

dan sasaran moneter yang telah ditetapkan.

Hasil dari pelaksanaan kewenangan tersebut di atas,

sekalipun dengan biaya besar, misalnya dalam hal

pelaksanaan OPT, tidak tepat jika dinilai atau dievaluasi

dengan tolak ukur out put yang dicapainya. Bisa jadi

tidak sebanding, namun itulah keputusan yang

diambil oleh BI yang tidak boleh diintervensi.

Bank Sentral yang independen harus memiliki

kebebasan untuk memutuskan kapan dan dalam

hal apa saja bantuan kredit atau fasilitas kredit

likuiditas dapat diberikan. Pasal 10 UUBI mengatakan:

”BI dalam mengendalikan kebijakan moneter

berwenang menggunakan instrumen-instrumen

moneter yang telah ditetapkan dalam UU tanpa

meminta atau memperoleh persetujuan dari

Pemerintah”. Oleh sebab itu, jika kemandirian fungsi

ini dikaitkan dengan kebijakan Kredit Likuiditas Bank

Indonesia (KLBI) misalnya, seharusnya kebijakan

seperti KLBI ini tidak boleh ditugaskan kepada BI,

karena akan mengganggu kemandirian fungsi BI.

KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit

program pemerintah. KLBI dikucurkan terutama

untuk membiayai pengadaan pangan dan kegiatan

yang menyentuh secara langsung kepada usaha

kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Diantaranya untuk Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit

Pemilikan Rumah Sederhana dan Sangat Sederhana

(KPRS/SS), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk

anggotanya (KKPA), Kredit Kepada Koperasi (KKOP),

Kredit Modal Kerja Kepada BPR (KMK BPR), Kredit

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Kepada Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) (BI, 2002:

20). Oleh sebab itu tepat jika kemudian oleh UUBI

di dalam Pasal 56 KLBI telah dihapuskan, karena

dipandang mengganggu konsep kemandirian BI.

Kalau secara kaedah fungsi BI sebagai Lembaga

Negara yang mandiri, independen telah diatur secara

tegas dalam UU, maka seharusnya perdebatan siapa

yang harus bertanggung jawab atas kebijakan BLBI

untuk mengatasi krisis tahun 1997 yang lalu tidak

perlu terjadi. Sebagaimana diketahui BI adalah institusi

yang paling disorot dalam kasus BLBI tersebut. Saat

itu terjadi perdebatan yang berkepanjangan di Panja

BLBI seputar apakah BI termasuk dalam jajaran

pemerintahan/Kabinet atau tidak (Mintoraharjo,

2001: 20). Ada satu pandangan yang mengatakan

BI termasuk dalam jajaran kabinet. Argumennya

adalah dari segi keuangan dapat dipisahkan, namun

dalam kebijakan yang dilakukan BI merupakan

pelaksanaan dari kebijakan pemerintah. Pada saat

itu BI tidak hanya berfungsi sebagai Bank Sentral,

tapi sekaligus sebagai agent of development yang

punya kaitan dengan kebijakan perekonomian

pemerintah secara keseluruhan. Pandangan lain

mengatakan tidak demikian. BI adalah lembaga yang

independen, lembaga yang otonom berdasarkan UU

No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral waktu itu.

Perbedaan pandangan demikian seharusnya tidak

perlu terjadi jika semua pihak benar-benar memahami

fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara yang

independen, mandiri dari segi fungsinya, sebagaimana

kami kemukakan di atas.

3. Kemandirian Keuangan

Mengacu kepada peran Pemerintah dan DPR

terhadap anggaran bank sentral, maka diperlukan

adanya kemandirian keuangan pada BI. Mengapa

demikian, karena bila dalam masalah keuangan

terdapat kontrol dari Pemerintah, hal ini akan berarti

bahwa BI tidak lagi bisa memainkan peran

independensinya secara optimal. Dengan adanya

kontrol pemerintah akan sangat rentan intervensi

atau pressure politik, khususnya berkaitan dengan

kebijakan moneter. Secara teoritis mengacu pada

difinisi independen sebagaimana dikemukakan di

atas, intervensi maupun pressure politik tersebut

tidak boleh terjadi pada Bank Sentral seperti BI. Oleh

karena itu UUBI mengatur bahwa anggaran BI adalah

mandiri terpisah dari Pemerintah. Terpisah di sini

mengandung arti “lepas“ sama sekali dari induknya.

Pemerintah tidak menganggarkan kebutuhan

keuangan BI. Oleh sebab itulah, maka Pasal 60 UUBI

mengatakan: “anggaran BI ditetapkan oleh Dewan

Gubernur. Tidak perlu approval DPR, tapi perlu

diinformasikan kepada DPR, sebagai bentuk kontrol

tidak langsung.

4. Kemandirian Organisasi

Kemandirian organisasi diperlukan oleh BI karena

sangat erat kaitannya dengan komposisi dari organ

badan hukum BI dan sistem pengangkatan dan

pemberhentian pegawai BI sebagai bank sentral.

Pihak lain dilarang melakukan campur tangan

terhadap pelaksanaan tugas BI, sebaliknya BI wajib

menolak dan atau mengabaikan segala bentuk

campur tangan dari pihak luar. Setiap pihak yang

melakukan campur tangan dikenai sanksi yang

tegas. Demikian dalam disimpulkan dari ketentuan

Pasal 67 jo Pasal 9 UUBI.

Belakangan ini independensi dan kemandirian serta

kredibilitas BI diuji, karena ditengarai di dalam

pelaksanaan BI sebagai Lembaga Negara yang

independen, ternyata BI belum mampu menempatkan

dirinya sebagaimaan dikehendaki oleh UUBI. Netralitas

BI sebagai bank sentral ternyata belum sepenuhnya

benar-benar mampu mandiri. Intervensi dan pressure

politik masih sering mempengaruhi kinerja dan kebijakan

yang dijalankan oleh BI sebagai Lembaga Negara yang

independen. Akibatnya begitu BI menjalankan tugas-

tugasnya sebagaimana diamanatkan oleh UUBI, banyak

pihak kemudian mempermasalahkan landasan hukum

kebijakan dalam rangka pelaksanaan tugas BI, status

dan kewenangan BI. Tidak mustahil pula kemudian

banyak kalangan pemerhati BI yang juga menengarai

intervensi dan pressure politik tersebut sebagai upaya

lain yang bertujuan merongrong pencapaian kinerja

dan pelaksanaan tugas BI.

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

D. POSISI BI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

Sumber : Diolah kembali dari BI dan Rahbini, 2000.

Sumber : Rahbini, 2000 : 166.

4

Badan Pemeriksa Keuangan

DewanPerwakilan

Rakyat

MahkamahAgung

DewanPertimbangan

Agung

Presiden

KepalaNegara

KepalaPemerintahan

DepartemenBank Indonesia

Lembaga Negara yang Independen dan Badan Hukum

Publik(Informasi Tahunan)

Mengambil Sumpah dan Janji Anggota Dewan Gubernur

UU BI (UUD 45)Pimpinan BI (UUBI)Informasi

Tahunan Tertulis

Informasi TertulisTriwulan/sewaktu-waktu

LembagaTinggi

Negara

Memeriksa Laporan

Keuangan BI

Lembaga Negara(UU No. 23/1999

joUU No.3/04

Menyampaikan Laporan Keuangan BI yang telah diperiksa

MPR Lembaga Tertinggi Negara

DPR DPA BPK MA

1. Menetapkan dan MelaksanakanKebijakan Moneter:a. Inflasib. Nilai Tukar

2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran

3. Mengatur dan Mengawasi Bank

MPR

Bank Indonesia

PeraturanBank Indonesia

PeraturanPemerintah

Struktur Bank IndonesiaDalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Presiden

KepalaNegara

KepalaPemerintahan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

5

Status BI yang independen dan mandiri sebagaimana

diuraikan di atas, secara legal berdasarkan UUBI, dapat

dipelajari bahwa posisi BI dalam system ketatanegaraan

Indonesia terlihat tidak sejajar dengan DPR, Mahkamah

Agung, BPK maupun Presiden sebagai Lembaga Tertinggi

Negara ( Rahbini, 2000 : 167 ). Posisi BI juga tidak sejajar

atau sederajat dengan Depertemen atau Kementeraian

Departemen, karena posisi BI berada di luar Pemerintahan

atau Kabinet. Secara legal menurut hemat saya, pendekatan

demikian yang tepat, karena berdasarkan UUBI tegas

dikatakan di dalam Pasal 4 bahwa BI adalah Lembaga

Negara yang independen. BI adalah Lembaga Negara bukan

Lembaga Pemerintah. Pemerintah boleh menyusun

kabinetnya dan setiap saat boleh diganti atau berubah-

ubah dan oleh UU perubahan seperti itu menjadi hak

prerogative Presiden, namun untuk posisi BI berdasarkan

UU tidak perlu harus ikut arus perubahan seperti dalam

sistem kabinet dan/atau pemerintahan.

Di sinilah sebenarnya posisi BI sebagai Bank Sentral yang

tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun, termasuk

Pemerintah. Jadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,

BI adalah Lembaga Negara yang independen. BI tidak

berada dalam struktur kabinet atau struktur Pemerintahan,

posisinya berada di luar strtuktur tersebut dan mandiri.

Rahbini mengatakan bahwa kedudukan BI adalah sejajar

dengan kedudukan Presiden. Sebagai Lembaga Negara BI

dikatakan mengambil sebagian peran Presiden sebagai

Kepala Negara. Kedudukan seperti ini belum dipahami

oleh banyak kalangan, sehingga memerlukan sosialisasi

yang lebih mendalam (Rahbini, 2000 : 167).

Jika poisisi demikian dipahami kebenarannya, maka

perdebatan tentang apakah BI merupakan bagian dalam

Kabinet Pemerintahan atau bukan, seperti yang terjadi pada

waktu-waktu yang lalu, seperti terkait dengan perdebatan

tentang kasus BLBI di Panja BLBI yang lalu seharusnya tidak

perlu terjadi. Jika hal ini dikaitkan dengan perbincangan

tentang sudah saatnya atau belum kehadiran OJK atau LPJK

untuk menggantikan peran BI sebagai Pengawas Perbankan,

barangkali memerlukan perenungan atau penyimakan lebih

mendalam, sebagaimana akan dibahas pada uraian di bawah,

mengingat pemahaman tentang posisi atau kedudukan,

kemandirian BI sebagai Bank Sentral saja oleh sementara

kalangan pemerhati di bidang perbankan belum sepenuhnya

benar.

E. TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA

Menurut Pasal 7 UUBI, BI hanya mempunyai satu tujuan

yaitu: MENCAPAI & MEMELIHARA KESTABILAN NILAI

RUPIAH

Pencapaian dan pemeliharaan kestabilan nilai Rupiah,

tercermin pada:

Terhadap barang dan jasa = inflasi

Terhadap mata uang negara lain = kurs

Menurut Pasal 8 UUBI, guna mencapai tujuan kestabilan

nilai tukar rupiah, BI memiliki tiga tugas yaitu:

• Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

• Mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran;

• Mangatur dan mengawasi bank.

Tugas Penetapan dan Pelaksanaan Kebijakan Moneter

Dalam rangka melaksanakan tugas menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter, BI menetapkan sasaran

inflasi dengan memperhatikan perkembangan dan prospek

ekonomi makro, terutama perkembangan harga. Untuk

mencapai sasaran laju inflasi, BI menetapkan sasaran

besaran moneter atau likuiditas perekonomian.

Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan

berbagai instrumen a.l. Operasi Pasar Terbuka (OPT),

penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib

minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.

Dalam melaksanakan tugas menetapkan dan melaksanakan

kebijakan moneter, BI tetap mempunyai fungsi sebagai

lender of the last resort yang memungkinkan BI membantu

kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank.

Pemberian bantuan dana kepada bank dalam rangka tugas

sebagai lender of the last resort tersebut dibatasi jangka

waktunya, yaitu paling lama 90 hari; Penggunaannya hanya

untuk kepentingan mismatch dan harus dijamin dengan

surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.

Demikian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 11 UUBI.

Berpijak dari pengalaman krisis moneter tahun 1997/98

yang lalu, menurut hemat saya seyogyanya BI tidak lagi

masuk ke ranah pendanaan Bank yang menghadapi masalah

insolvency. Mengapa demikian, karena menurut hemat

saya jika hal ini dilakukan oleh BI, risikonya akan terlalu

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

besar, jika ternyata Bank yang Insolven tersebut tidak

kunjung dapat disehatkan bahkan bisa jadi akan semakin

kolaps dan kemudian menghadapi pailit yang sudah pasti

tidak mungkin dapat diharapkan mampu mengembalikan

dana bantuan tersebut. Satu-satunya jalan adalah dana

bantuan pendanaan tersebut kemudian hanya akan dijadikan

penyertaan.Sementara itu kebijakan penyertaan tersebut

tidak boleh berlangsung terus. Pada saatnya harus dijual

lagi kepada investor atau pihak ketiga yang berminat dan

memadai. Disinilah persoalan akan muncul, jika ternyata

hasilnya tidak juga mampu menutup dana bantuan yang

telah dikeluarkan tersebut.

Selanjutnya, dalam rangka menjalankan tugas menetapkan

dan melaksanakan kebijakan moneter, BI mempunyai

wewenang untuk melaksanakan kebijakan nilai tukar

berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan Pemerintah

atas usul BI. Tugas ini erat kaitannya dengan masalah

lalulintas devisa dan system nilai tukar sebagaimana diatur

dalam UU Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Di samping itu, menurut Pasal 13 UUBI, BI juga bertugas

mengelola cadangan devisa negara yang ada di BI.

Pengelolaan cadangan devisa tersebut dilakukan dengan

memperhatikan prinsip security, liquidity, dan probity.

Tugas Pengaturan dan Penyelenggaraan Sistem

Pembayaran

Dalam menjalankan tugas pengaturan dan penyelenggaraan

sistem pembayaran, menurut Pasal 15 UUBI, BI berwenang:

• Melaksanakan dan memberikan persetujuan serta izin

penyelenggaraan jasa sistem pembayaran

• Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran

untuk menyampaikan laporan kegiatannya

• Menetapkan penggunaan alat pembayaran

Tugas Pengaturan dan Pengawasan Bank

Selanjutnya dalam rangka tugas pengaturan dan pengawasan

bank, menurut Pasal 24 UUBI, BI berwenang:

• Menetapkan peraturan di bidang perbankan

• Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan

kegiatan tertentu dari bank

• Melakukan pengawasan bank baik langsung maupun

tidak langsung

• Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan

Dalam jangka pendek, kebijakan perbankan diarahkan

untuk mempercepat penyehatan bank-bank agar dapat

mendukung pemulihan ekonomi.

Yang menjadi perhatian saat ini adalah kaitannya dengan

tugas mengawasi bank. Amanat UU tugas pengawasan

bank tersebut akan dialihkan kepada lembaga pengawasan

sektor jasa keuangan yang akan dibentuk dan diharapkan

paling lambat akhir tahun 2010. Nama lembaga pengawas

tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan, di mana Rancangan

Undang-undangnya sudah disiapkan baik oleh Departemen

Keuangan, DPR ataupun BI sendiri. Diharapkan pada saat

pengalihan tugas pengawasan bank kepada lembaga

pengawas yang baru tersebut, bank-bank yang selama ini

mengalami masalah likuiditas dan masalah penyehatan

akan benar-benar telah dapat disehatkan, sehingga tidak

menimbulkan masalah baru dikemudian hari.

F. KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

ATAU LEMBAGA PENJAMIN JASA KEUANGAN (LPJK).

Jika mendasarkan pada amanat Pasal 34 UUBI

sebenarnya OJK atau LPJK tersebut diharapkan sudah

terbentuk pada akhir tahun 2002 .Hal tersebut berarti

Undang-undang OJK sudah harus lahir pada tahun 2002

tersebut. Namun pada kenyataannya sampai saat ini

UUOJK tersebut belum juga kunjung ada. Kemudian

diharapkan akhir tahun 2010 UUOJK diharapkan sudah

bisa disetujui dan disahkan oleh DPR bersama-sama

dengan Pemerintah.

Dengan hadirnya OJK, maka Lembaga keuangan Bank

maupun bukan Bank nantinya akan diawasi oleh OJK

tersebut. Namun demikian, saat ini masih banyak

kalangan yang mempertanyakan apakah kehadiran OJK

tersebut benar-benar sudah merupakan kebutuhan

untuk mengawasi dalam satu atap lembaga keuangan

bank maupun non bank, termasuk pasar modal dan

asuransi. Saat ini justru banyak kalangan juga yang

mengkawatirkan kehadiran OJK tidak akan mampu

mengambil alih fungsi pengawasan tersebut, jika fakta

efouria saat ini tidak mencerminkan kesiapan SDM yang

memadai untuk mendukung kehadiran OJK tersebut.

Coba bandingkan dengan kasus Pajak yang

menghebohkan saat ini, banyak pihak menyatakan

6

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

bahwa kehadiran Pengadilan Pajak ternyata bukan solusi

terbaik untuk mendukung reformasi sistem perpajakan

di Indonesia.

Pernyataan yang layak direnungkan saat ini adalah,

persoalan sebenarnya atau persoalan substansial terkait

dengan krisis perbankan selama ini yang ditengarai

antara lain karena pelaksanaan fungsi pengawasan BI

kurang memadai, apakah persoalan tersebut terletak

pada lembaganya atau pada SDMnya ?. Bercermin

pada Peradilan Pajak sebagaimana dikemukakan di

atas, bukankah hal tersebut secara substansial persoalan

mendasar adalah terletak pada SDMnya yang tidak

kredibel, tidak qualified, tidak jujur dan mempunyai

kemampuan maupun integritas yang tinggi. Jika

kehadiran OJK nanti ternyata hanya akan memindahkan

SDM Divisi Pengawasan BI ke lembaga baru yang

bernama OJK, jika tidak dibarengi dengan SDM yang

memadai, kredibel, mempunyai integritas yang tinggi,

tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan yang

mandiri, independen, saya kawatir hal intu hanya akan

menimbulkan masalah baru dikemudian hari.

Saya terus terang kawatir kehadiran OJK yang dimanatkan

oleh Pasal 34 UUBI tersebut, hanya dilatar belakangi

oleh sikap traumatis pembentuk UU waktu itu terhadap

peristiwa krisis perbankan masa lalu yang satu diantaranya

ditengarai karena pelaksanaan tugas pengawasan BI

terhadap bank-bank umum di Indonesia yang kurang

efektif.

Jika konstatasi ini benar, maka kehadiran OJK sebenarnya

belum tentu mencerminkan solusi tepat pengaturan dan

pembenahan tugas dan fungsi pengawasan perbankan

saat ini. Bercermin pada kasus Pajak sebagaimana saya

kemukakan di atas, kehadiran Pengadilan Pajak yang

hanya diisi oleh SDM dari Pegawai Pajak dan Mantan

Pegawai Pajak dan/atau Konsultan Pajak dengan dalih

merekalah yang mempunyai pengalaman dan keahlian

dibidang pajak, ternyata tidak memberikan solusi terbaik

sistem pengelolaan perpajakan di Indonesia, ternyata

juga masih rentan dengan KKN yang sungguh

membahayakan kepentingan publik dan keuangan negara.

Jika kehadiran OJK ternyata juga hanya akan diisi oleh

SDM dari BI yang dieksodus ke LPJK/OJK dan mantan

Pejabat/pensiunan BI seperti halnya pada Peradilan Pajak,

maka jujur saya khawatir kasus serupa akan terjadi juga

di OJK tersebut. Jika konstatasi ini benar, maka menurut

hemat saya saat ini masih perlu dikaji ulang apakah

mandat Pasal 34 UUBI tersebut sudah sepenuhnya tepat

dan benar. Jangan-jangan mandat tersebut hanya

didasari atau dilatarbelakangi oleh sikap emosional

karena trauma masa lalu.

Jika pandangan ini diterima, bukankah yang lebih

esensial dan substansial adalah persoalan reformasi

SDM bukan reformasi kelembagaannya. Secara sistem

barangkali kelembagaannya sudah benar, sudah tepat

berada di jajaran BI, akan tetapi SDM pemegang kunci

pengambil keputusan dan/atau kebijakan di bidang

tugas pengawasan yang harus direformasi dan bukan

sistemnya.

Saya kawatir kehadiran OJK yang mengambil fungsi

pengawasan BI atas Bank-bank Umum, akan tetap

tumbuh atau bertabrakan dengan fungsi pengaturan

BI yang secara tidak langsung akan bersinggungan

dengan fungsi pengawasan (macroprudential).

G. HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN

Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, hubungan

BI dengan Presiden dapat digambarkan sebagai berikut.

Hubungan dengan Presiden sebagai Kepala Negara,

Presiden berwenang:

• Mengusulkan dan mengangkat Gubernur & Deputi

Senior

• Mengangkat Deputi Gubernur

• Mengusulkan calon Gubernur & Deputi Senior

kepada DPR

• DPR menyampaikan hasil persetujuannya kepada

Presiden untuk diangkat

• Memberikan persetujuan tertulis jika anggota Dewan

Gubernur akan menjalani proses hukum.

Hubungan dengan Makamah Agung, Mahkamah

Agung yang bertugas mengambil sumpah/janji anggota

Dewan Gubernur.

Hubungan dengan Badan Pemeriksa Keuangan:

• Menerima dan melakukan pemeriksaan atas laporan

keuangan tahunan BI

7

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

• Melakukan pemeriksaan khusus terhadap BI apabila

diminta oleh DPR

• BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada

DPR.

Hubungan dengan Pemerintah:

• Hubungan dengan Kantor Menteri Sekretaris Negara

untuk pemuatan PBI dalam Lembaran Negara RI.

Hubungan dengan Bea & Cukai dalam hal larangan

membawa uang rupiah ke luar atau ke dalam wilayah

pabean RI:

• BI mengelola cadangan devisa milik negara

• Pemerintah dapat hadir dalam Rapat Dewan

Gubernur (RDG) bulanan untuk menetapkan

kebijakan umum di bidang moneter dengan hak

bicara tanpa hak suara

• BI sebagai pemegang kas Pemerintah

• Untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima

pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta

menyelesaikan tagihan & kewajiban keuangan

Pemerintah terhadap pihak luar negeri

• Pemerintah wajib meminta pendapat dan/atau

mengundang BI dalam sidang kabinet yang

membahas masalah ekonomi, perbankan &

keuangan, atau masalah lain yang berkatan dengan

tugas & wewenang BI

• Pemerintah wajib konsultasi dengan BI & DPR dalam

penerbitan surat-surat utang negara

• BI dapat membantu Pemerintah dalam penerbitan

surat-surat utang negara.

• Menerima sisa surplus hasil kegiatan BI

• Pemerintah dengan persetujuan DPR wajib menutup

kekurangan dalam hal modal BI menjadi kurang

dari Rp 2 triliun

Hubungan Internasional, BI bertugas:

• Melakukan kerja sama dengan bank sentral negara

lain, organisasi dan lembaga internasional

• Apabila keanggotaan suatu lembaga internasional/

multilateral dipersyaratkan adalah negara, BI dapat

bertindak sebagai anggota lembaga tersebut untuk

dan atas nama Negara

Hubungan dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan

yang Independen yang akan datang.

• Dalam melaksanakan tugasnya, LPJK yang akan

datang mempunyai kewajiban melakukan koordinasi

& kerja sama dengan BI sebagai bank sentral. Kerja

sama tersebut akan di atur dalam UU LPJK atau OJK

yang akan datang, sebagaimana diamanatkan oleh

Pasal 34 UUBI.

H. PENUTUP

Dengan mendasarkan pada UUBI sebagaimana beberapa

kaedahnya telah di bahas dalam uraian di atas, implikasi

terhadap independensi dan posisi dalam sistem

ketatanegaraan bagi pencapaian tujuan dan pelaksanaan

tugas BI sebagai Bank Sentral RI, ternyata masih

menyisakan perbedaan pemahaman diantara sebagian

kalangan pemerhati BI sebagai Lembaga Negara yang

independen. Secara kaedah pengaturan independensi

BI sebagai Bank Sentral sebenarnya sudah cukup tegas,

sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8

UUBI. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa

independensi tersebut masih sering tidak dapat

diimplementasikan secara benar di dalam praktek karena

adanya intervensi baik dari Pemerintah maupun pressure

politik.

Kehadiran OJK atau LPJK sebagai salah satu solusi untuk

menempatkan peran pengawasan perbankan pada

Institusi mandiri di luar BI, ditengarai masih menyisakan

problem mendasar dikemudian hari, karena kesiapan

SDM untuk itu masih mengambil atau hanya

memindahkan saja Direktorat Pengawasan BI menjadi

bagian dari Lembaga Pengawasan yang baru tersebut.

Kajian kritis berkaitan dengan hal itu adalah apakah

kehadiran OJK atau LPJK itu sudah benar-benar

merupakan kebutuhan atau justru hanya merupakan

efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari

krisis perbankan yang berkepanjangan yang satu

diantaranya adalah karena fungsi pengawasan BI tidak

optimal.

8

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

9

Referensi

Bank Indonesia, 2002, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia.

Lash, Nicholas, A.,1987, Banking Law and Regulations: An Economis Perspentive, Prentice-Hall Inc, USA.

Mintorahardjo, Sukowaluyo, 2001., BLBI Simalakama, Resi, Jakarta.

Macey, Jonathan, R and Miller, Geoffrey, P., 1992, Banking Law and Regulation, Litle Brown Company, Boston, Toronto, London.

Rahbini, Didik J; Suwidi Tono, 1987, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta.

UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

UU NO. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.

Halaman ini sengaja dikosongkan

Apabila judul makalah ini didekati dari teori hukum, maka

teori hukum itu memberikan sarana kepada kita untuk

merangkum dan memahami masalah implementasi Pasal

34 “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.” (“UUBI”).

Dengan ini dapat dipahami persoalan-persoalan yang bersifat

yang hakiki dari UUBI itu. Radbruch menyatakan, bahwa

tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai serta

postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya

yang tertinggi.1

Berdasarkan itu harus diteliti antara lain sebagai berikut.2

Petama, mengapa UUBI itu berlaku? Kedua, apa dasar

kekuatan mengikatnya ? Ketiga, apa yang menjadi tujuan

UUBI.? Keempat, bagaimana seharusnya UUBI dipahami?

UU BI merupakan derivatif dari ketentuan pasal 23 UUD

1945.

Artinya kedudukan Bank Sentral dalam struktur

ketatanegaraan terpatri atau memperoleh mandat dari

konstitusi yang sekaligus memberikan jaminan dari konstitusi

untuk Bank Sentral yang independen.

Apabila diperhatikan secara mendalam, maka penafsiran

bahwa Bank Sentral ditentukan dalam pasal 23D UUD 1945

adalah Bank Indonesia, sebagaimana telah pula ditentukan

dalam pasal 4 ayat (1) UU BI. Berdasarkan hukum Bank

Indonesia telah ditentukan sebagai Bank Sentral dan

kedudukannya diakui oleh konstitusi.

Untuk itu dapat dipahami berbagai pendapat yang mengkaji

kedudukan bank sentral yang independen dalam konstitusi.

Seperti dikatakan oleh Arend Lijhart, bahwa “A central

bank can be made particularly strong if us independence

is enshrined not just a central bank charter but in the

constitution”. Sementara itu, John Elster menyatakan pula,

bahwa “…they cannot be change through the ordinary

legislative pocess but require a more stringent procedure".3

Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok

dari keseluruhan sistem aturan yang berlaku sebagai

pegangan bersama dalam kehidupan warga Negara dalam

suatu Negara, yang keseluruhannya membentuk suatu

kesatuan sistem hukum. Karena itu, hukum dan konstitusi

disuatu Negara itu haruslah menjadi sesuatu yang hidup

dalam praktek kehidupan bernegara sehari-hari. Dari sinilah

kita dapat meyakini “the rule of law” atau prinsip supremasi

hukum (supremacy of law) dapat benar-benar diwujudkan

dalam kenyataan. Jika tidak, niscaya prinsip “the rule of

law” dan “supremacy of law” itu hanya menjadi jargon

atau slogan kosong belaka.4

11

Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas KeuanganOleh: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM**

** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang.

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 224-225.

2 Bandingkan. Satjipto Rahardjo, Op. Cit, halaman. 225

3 Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005), hal.263.

4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.79.

Dalam konteks kedudukan Bank Sentral dalam konstitusi

memberikan penjelasan bahwa tata urutan atau susunan

hierarkis tatanan hukum berkenaan dengan kegiatan

perbankan, termasuk pengawasan bank, harus bertitik

tolak kepada ketentuan yang mengatur tentang Bank

Sentral sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi.

Sebab apabila dipostulasikan dengan norma dasar, konstitusi

menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional.

Konstitusi tidak hanya menentukan organ-organ dan

prosedur pembentukan undang undang, tetapi juga sampai

derajat tertentu, isi dari hukum yang akan datang. Konstitusi

menentukan secara negatif bahwa hukum tidak boleh

memuat isi tertentu, misalnya bahwa parlemen tidak boleh

mengesahkan (rancangan) undang undang yang

bertentangan dengan konstitusi.5

Dengan demikian, peranan dan tugas Bank Indonesia yang

independen sebagai Bank Sentral sebagaimana ditentukan

dalam konstitusi, harus dipertahankan kedudukannya,

termasuk tidak ada undang-undang yang akan datang yang

dapat mencabut fungsi dan tugas bank Indonesia. Mengingat

peranan dan tugas bank Indonesia sangat penting dan

berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa

dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah

ekonomi, perbankan dan keuangan. Selanjutnya

independensi Bank Indonesia harus dipahami juga sebagai

suatu hal yang penting untuk menjamin demokrasi.6

Kedudukan Independensi Bank Indonesia

Independensi merupakan salah satu isu penting dalam

membahas peran Bank Sentral. Memiliki suatu bank sentral

yang independen mungkin merupakan elemen proses

reformasi moneter yang memicu perdebatan sengit dan

dianggap sangat kontroversial pada dekade yang lalu. Secara

alamiah para politisi merasa tidak nyaman memberikan

independensi kepada bank sentral karena mengurangi

kewenangan dalam bidang-bidang penting yang selama ini

mereka miliki. Namun demikian keprihatinan para politisi

memberikan independen kepada bank sentral sebenarnya

tidak berdasar. Independensi tidak berarti bank sentral bebas

menjalankan kebijakan moneter yang mereka inginkan.

Independen berarti bank sentral dapat menggunakan

instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur

tangan dari pihak diluar bank sentral. Ini yang disebut

dengan ”instrument independence” bukan ”goal

independence”. Konsekwensi independen bagi bank sentral

adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan

dan kebijakan moneter yang dilakukan secara transparan.

Menarik untuk dicermati bahwa meskipun pada awalnya

ada keraguan dalam memberikan independensi kepada

bank sentral pada akhirnya masyarakat sangat puas terhadap

independensi bank sentral. Tidak ada satu negara pun yang

menyesal telah memberikan independensi kepada bank

sentralnya.7 Terdapat kesepakatan diantara para ahli bahwa

bank sentral independen yang bebas dari campur tangan

pemerintah dapat mencapai tujuan menjaga stabilitas harga

dengan lebih baik. Untuk mencapai kestabilan harga

dibutuhkan waktu lebih panjang dan komitmen tinggi

terhadap pengawasan moneter.

Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank

sentral dapat berarti dua hal. Pertama, bank sentral memiliki

kebebasan untuk menentukan bagaimana untuk mencapai

tujuannya, dan kedua, keputusan-keputusan yang diambil

olehnya sulit untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau

lembaga pemerintahan lainnya.8 Kebebasan dalam

menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan

berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri

tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu

saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama

melalui suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah

bahwa bank sentral memiliki diskresi yang luas mengenai

bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-

undang.9

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

12

5 Bandingkan. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 180-181.

6 Bandingkan. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.157.

7 Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand, Hanoi, 21 March 2006

8 Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge: The MIT Press, 1998), hal. 54.

9 Ibid.

Lebih jauh lagi, Blinder menegaskan mengapa independensi

bank sentral menjadi begitu penting. Kebijakan moneter

menurut Blinder memerlukan yang ia sebut sebagai long

time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan10. Hal

ini karena, pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu

kebijakan moneter, seperti yang terkait dengan inflasi baru

dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para

decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja

mereka. Kedua, kebijakan-kebijakan moneter memiliki

karakteristik yang sama seperti halnya aktivitas investasi,

yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan

mendapatkan hasil secara berkala setelah sekian waktu.11

Tetapi, orang-orang politik yang duduk di pemerintahan,

bukanlah orang-orang yang memiliki kesabaran ataupun

long time horizon. Kebanyakan dari mereka hanya melihat

segala sesuatunya dalam short-term basis saja, tanpa

mempertimbangkan long term gains.12 Dari sini dapat

dilihat betapa bahayanya, apabila kebijakan moneter bank

sentral yang mempengaruhi kondisi negara secara makro

diintervensi secara politis.

Dampak Keberlakuan Pasal 34 UU BI

Pasal 34 UU BI mengamanatkan pembentukan Lembaga

Pengawas Sektor Keuangan (LPJK) paling lambat pada tahun

2010. Amanat Pasal 34 tersebut sejak awal penyusunannya

telah mengandung kontroversi dan perdebatan. Berdasarkan

Pasal 34 UU BI fungsi BI dalam mengawasi bank dialihkan

kepada LPJK. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank

sentral di negara yang industri keuangannya didominasi

oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan

dan memicu kontroversi. Bank sentral yang diberikan

tanggung jawab untuk menciptakan stabilitas nilai rupiah

tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhi tanggung

jawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan

mengawasi bank. Itu sebabnya UU BI meletakan tujuan BI

dalam Pasal 7 yaitu mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah dan untuk mencapai tujuan mencapai dan

memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut Pasal 8 UU BI

menetapkan tiga tugas Bank Indonesia yaitu : (1) menetapkan

dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) mengatur dan

menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta; (3) mengatur

dan mengawasi bank. Oleh karena itu pelaksanaan amanat

Pasal 34 berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan

yang diamanatkan oleh UU BI. Pasal 34 tersebut telah

mengamputasi instrumen penting yang dimiliki BI dalam

mencapai tujuannya.

Dari sejarah pembentukan UU BI diketahui bahwa

keberadaan Pasal 34 dipenuhi kontroversi. Pasal tersebut

didasarkan pada pandangan yang keliru tentang lembaga

yang bertanggung jawab atas krisis keuangan yang terjadi

pada tahun 1997/98. BI dianggap tidak dapat menjalankan

tugasnya dengan efektif sehingga menimbulkan krisis

keuangan yang parah. Pandangan ini tidak sepenuhnya

beralasan. Bila diteliti struktur pengawasan perbankan

pada waktu itu akan diketahui bahwa pengawasan bank

dilakukan oleh dua lembaga yaitu BI dan Departemen

Keuangan. BI bertugas mengawasi bank dalam arti sempit

(audit) sedangkan tugas mengatur dan memberi/mencabut

ijin usaha bank ada pada Departemen Keuangan. Oleh

sebab itu tidak efektifnya tugas pengawasan bank sehingga

memicu terjadi krisis pada tahun 1997/1998 tentunya

adalah tanggung jawab bersama kedua lembaga tersebut.

Berdasarkan latar belakang seperti itu maka penerapan

Pasal 34 UU BI perlu dikaji ulang secara komprehensif.

Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam

hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat

aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri

keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal.

Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan

industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa

lembaga. Di Inggris misalnya industri keuangannya diawasi

oleh Financial Supervisory Authority (FSA), sedangkan di

Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa

institusi. SEC misalnya mangawasi perusahaan sekuritas

sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral

(the Fed), FDIC, dan OCC. Alasan dasar yang melatarbelakangi

kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan sistem perbankan

yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam

konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan. Dari

sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku

yaitu commercial banking system dan universal banking

system. Commercial banking, seperti yang berlaku di negara

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

10 Ibid. hal.55.

11 Ibid.

12 Ibid. hal.55-56.

kita dan di Amerika Serikat, melarang bank dalam melakukan

kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal

ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antara

lain negara-negara Eropa dan Jepang yang membolehkan

bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank

seperti investment banking dan asuransi. Di samping alasan

sistem perbankan yang berlaku yang juga menjadi dasar

pertimbangan adalah seberapa dalam telah terjadi

konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang

dalam akan menyebabkan munculnya masalah kewenangan

regulasi. Hal ini terjadi karena produk-produk yang dihasilkan

lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya

sehingga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan

tertentu dihasilkan oleh industri perbankan sehingga diregulasi

oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan

harus tunduk pada regulasi Bapepam. Dengan diselesaikannya

kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah

kewenangan regulasi tersebut akan terpecahkan.

Secara empiris, survey yang dilakukan Central Banking

Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara

yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan

pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal

ini lebih menonjol di negara-negara sedang berkembang.

Khusus untuk negara yang sedang berkembang alasannya

adalah masalah sumber daya (resourches). Bank sentral

dianggap memadai dalam hal sumber daya (sumber daya

manusia dan dana). Dari kaca mata politik, dicabutnya

kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan

munculnya kecenderungan pemberian independensi

kepada bank sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan

independennya bank sentral, apabila bank sentral juga

berwenang mengawasi bank bank sentral akan memiliki

kewenangan yang sedemikian besar. Bank of England

misalnya, pada tahun 1997 mendapatkan

keindependenannya, namun dua minggu kemudian

kewenangan pengawasan bank diambil alih dari bank

sentral tersebut.

Menjawab pertanyaan kapan waktu yang tepat mulai

beroperasinya OJK dapat dilakukan dengan

mempertimbangkan ketiga alasan di atas dan memperhatikan

hal-hal berikut. Pertama, data menunjukkan bahwa industri

keuangan kita 90% lebih di antaranya dikuasai oleh industri

perbankan. Belum terjadi konvergensi yang dalam di antara

industri keuangan tersebut. Kalaupun ada produk hybrid

dalam jasa keuangan sifatnya masih sederhana dan

volumenya belum besar sehingga belum dapat dikatakan

sebagai masalah krusial yang dapat menimbulkan masalah

sistemik. Produk hybrid adalah produk yang merupakan

perpaduan antara produk perbankan, asuransi atau pasar

modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut masih

merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga

dalam hal ini bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent)

dan mendapatkan komisi (fee) dari jasanya tersebut. Ambil

contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu

bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama,

a bank that can offer banking, insurance lending and

investment product to customer, Kedua, a French term

referring to the selling of insurance through a bank’s

established distribution channel. Di negara-negara Eropa

yang menganut universal banking system produk ini sudah

lama berkembang dan dilakukan sesuai dengan pengertian

bancassurance yang pertama. Di Indonesia produk ini masih

murni produk perusahaan asuransi yang ditawarkan atau

dijual melalui jalur distribusi (distribution channel) perbankan

sehingga lebih tepat dengan pengertian bancassurance yang

kedua. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan

yang melarang bank melakukan kegiatan asuransi. Larangan

ini sesuai pula dengan sistem perbankan yang dianut oleh

Indonesia, yaitu commercial banking system. Keuntungan

bank menjual produk hybrid tersebut adalah selain menerima

komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base

dan menjaga loyalitas nasabah.

Kedua, membentuk lembaga baru seberkuasa dan sebesar

OJK tentunya membutuhkan sumber daya yang besar. Pada

saat negara sedang ”sakit” seperti saat ini pastilah lebih

bijaksana apabila sumber daya yang tidak sedikit itu

digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah

parah. Masalah utama yang dihadapi industri keuangan

khususnya perbankan saat ini bukanlah telah semakin

menyatunya dengan industri keuangan lainnya, tetapi

lemahnya penerapan good corporate governance. Masalah

good corporate governance tidak akan selesai dengan

beralihnya kewenangan pengawasan. Orang bijak

mengatakan don’t change your jokey in the middle of the

race otherwise you will lose the game. Hal ini terbukti dalam

pengalaman Jepang dalam menerapkan FSA, suatu lembaga

semacam OJK, pada saat industri perbankan Jepang menjadi

lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term

Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi

antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya

dalam kasus Ishikawa Bank dan Masalah kredit macet dan

kecurangan (fraud) masih mewarnai perbankan Jepang.13

Apabila pasal 34 UU BI diimplementasikan maka kewenangan

dalam mengawasi bank oleh BI tidak akan ada lagi, padahal

kewenangan mengawasi bank oleh BI merupakan tanggung

jawabnya dalam menciptakan nilai rupiah yang stabil.

Selanjutnya akan mengakibatkan perubahan lainnya terhadap

substansi ketentuan UU BI lainnya yang pada gilirannya

dapat mengganggu fungsi BI di bidang moneter, sistem

pembayaran dan stabilitas keuangan.

Ketentuan pengawasan bank oleh BI sebelum adanya

ketentuan pasal 34 UUBI adalah merupakan suatu ketentuan

yang berada dalam satu sistem hukum BI. Oleh karena itu

tidak bisa kewenangan pengawasan bank oleh BI dipisahkan

dengan kewenangan BI lainnya.

Beberapa ciri dari suatu kesatuan sebagai berikut:14

1. Sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk

dalam satu kesatuan interaksi (proses).

2. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan

hubungan yang satu sama lain saling bergantung

(interdepende of its parts).

3. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu

kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan

elemen pembentuknya itu (the whole is more than the

sum of its parts).

4. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian

pembentuknya (the whole determines the nature of its

parts)

5. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika

ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari

keseluruhan itu (the parts canot be under-stood if

considered in isolation from the whole).

6. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara

mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan

(sistem) itu.

Dengan demikian implementasi ketentuan pasal 34 UUBI

dapat merubah esensi sistem dari suatu kesatuan UUBI

dan berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan

sebagaimana yang diamanatkan oleh UUBI.

Seharusnya peranan Bank Indonesia dalam menjaga

stabilitas sistem keuangan seyogyanya tidak perlu

diintervensi oleh lembaga manapun. Karena, tugas Bank

Indonesia berfungsi juga untuk menjaga stabilitas keuangan.

Hal ini sejalan dengan nafas independensi Bank Indonesia

sebagaimana ditetapkan oleh norma dasar di Indonesia.

Apabila munculnya berbagai badan atau lembaga yang

kewenangannya sudah merupakan kewenangan Bank

Indonesia akan menjadi permasalahan dalam bidang hukum.

Sebab, merupakan hal yang aneh apabila berbagai undang-

undang melahirkan berbagai badan atau lembaga yang

mempunyai kewenangan yang mirip.

Hal ini dapat berpotensi dibatalkannya undang-undang

yang menjadi dasar hukum pendirian badan atau lembaga

tersebut, apalagi sebagai Bank Sentral telah diatur dalam

UUD 1945.

PENUTUP

Amanat Pasal 34 UUBI bila dilaksanakan akan mengakibatkan

tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas

nilai rupiah sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 7

UUBI. Tujuan BI sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal

7 tersebut, hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila

Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan

kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank

sebagaimana ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.

Singkat kata, apabila amanat pasal 34 UUBI ingin dijalankan,

maka seluruh tanggung jawab dan tugas yang diembankan

kepada Bank Indonesia harus dikaji ulang, karena pasal 34

UUBI tersebut dilaksanakan akan mengamputasi salah satu

pondasi Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya.

15

13 The Economist, 30 Agustus 2003.

14 Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung: Mandar Maju, tahun 2003 ,hal. 65.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

16

Daftar Pustaka

Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, Cambridge: The MIT Press, 1998.

Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank

Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2005.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand,

Hanoi, 21 March 2006 .

Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, tahun 2003.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1998

The Economist, 30 Agustus 2003.

I. Pendahuluan

Stabilitas sistem keuangan telah menjadi sasaran yang

penting dalam kebijakan ekonomi keuangan selama

beberapa puluh tahun terakhir terutama paska krisis

Asia pada tahun 1998. Pada tahun 1980an, deregulasi

terhadap pasar keuangan terutama pemberian kredit

atau pemberian fasilitas sejenisnya dari bank serta

pengaturan aliran modal antar negara telah dihapuskan

secara bertahap di beberapa negara. Kondisi ini telah

menyebabkan adanya fondasi yang kuat untuk

mengembangkan sektor keuangan sehingga lebih cepat

dari pertumbuhan dari sektor-sektor ekonomi lainnya.

Dalam phase ini, sistem keuangan telah berkembang

secara struktural dan menjadi lebih komplek. Instrumen

keuangan telah berkembang menjadi beraneka ragam,

aktivitasnya lebih terdiversifikasi dan risikonya lebih rumit

dengan perubahan yang sangat dinamis. Sektor keuangan

juga menjadi lebih terintegrasi dan terkait erat satu sama

lain dari segi dimensi industri maupun secara geographis,

sehingga sulit diidentifikasi originalitasnya dan siapa

yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan.

Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat di sektor

keuangan, maka diikuti pula dengan berbagai

permasalahan yang semakin sulit terdeteksi secara lebih

dini. Krisis di sektor keuangan biasanya berkaitan dengan

siklus "boom" dan "bust"terhadap nilai aset dan kredit.

Terjadinya perkembangan pertumbuhan yang cepat

harga property dan kredit konsumsi telah menjadi

indikator awal permasalahan instabilitas. Pertanyaannya:

apakah kebijakan moneter dapat digunakan untuk

memitigasi perkembangan yang pesat tersebut? Paper

ini akan mengulas beberapa pertanyaan terkait dengan:

(1) Apa yang disebut stabilitas sistem keuangan?; (2)

Bagaimana melakukan analisisnya agar bisa melakukan

deteksi lebih dini dan mengambil kebijakan mitigasinya;

(3) Bagaimana kerja sama antar otoritas untuk

mendukungnya; (4) Dengan apa kita bisa menjaga

stabilitas sistem keuangan.

II. Apa yang dimaksud stabilitas sistem keuangan

Meskipun beberapa negara telah menaruh perhatian

cukup besar terhadap stabilitas sistem keuangan, deskripsi

tentang "stabilitas sistem keuangan" tetap masih menjadi

diskusi yang hangat. Agar rumah tangga dan perusahaan

korporasi dapat secara optimal melakukan perannya

yaitu mengkonsumsi barang-barang dan juga melakukan

investasi secara berkesinambungan, maka harus ada

sistem keuangan yang berperan secara baik dalam hal

melakukan intermediasi dari para penyimpan dana

(surplus unit) dan peminjam dana (deficit unit),

memberikan layanan pembayaran transaksi, dan

melakukan realokasi risiko secara baik.

Dalam pendekatan pemahaman yang lebih sempit atas

stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan dengan

mendefinisikan sebaliknya yaitu menghindari adanya

"instabilitas sistem keuangan" dimana telah terjadi

gangguan terhadap perekonomian. Definisi ini lebih

melihat dari sisi kebalikannya dari kondisi yang stabil

serta bagaimana mengupayakan untuk menghindari

terjadinya instabilitas.

Gangguan terhadap perekonomian ditandai dengan

timbulnya biaya yang harus dibayar oleh pemerintah.

Beberapa tahun terakhir terlihat bahwa biaya dari krisis

ini cukup besar bila dibandingkan dengan GDP suatu

negara. Dari pengalaman juga menunjukan bahwa

krisis keuangan dapat terjadi baik dinegara berkembang

maupun di negara maju serta dapat menimbulkan

dampak ikutan ke negara lain.

Begitu terdapat biaya yang menjadi beban negara untuk

penyelamatan sistem keuangan, maka dapat dikatakan

17

Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem KeuanganOleh: Dr. Wimboh Santoso1

1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia

bahwa sudah terjadi instabilitas di sistem keuangan.

Penyelematan oleh pemerintah dimaksudkan agar biaya

yang ditimbulkan dari krisis dapat diminimalisir.

Definisi stabilitas sistem keuangan yang banyak dipakai

dibeberapa negara mengkombinasikan atas tiga hal

yaitu: terjadi alokasi resources dengan baik sehingga

proses intermediasi bisa berjalan dengan normal,

berbagai indikator sistem keuangan masih memenuhi

batas stabil dan belum ada dana publik yang dipakai

untuk penyelamatan sistem keuangan.

III. Bagaimana otoritas melakukan analisis stabilitas

sistem keuangan?

Setelah pemahaman stabilitias sistem keuangan dan

sasaran yang akan dicapai disepakati dan dipahami

oleh otoritas, maka pelaksanaan analisis simpul simpul

kerawanan yang dapat menyebabkan instabilitas akan

dapat dilakukan dengan mudah dalam organisasi bank

sentral. Terdapat dua pendekatan yang saling

melengkapi:

Pertama, kita perlu memfokuskan kepada berbagai

faktor risiko yang berasal dari dalam sistem keuangan

itu sendiri yaitu terdiri dari lembaga keuangan, pasar

keuangan dan infrastruktur keuangan seperti settlement

yang dilakukan oleh bank sentral (RTGS) maupun lembaga

settlement lainnya. Unsur internal sistem keuangan ini

akan selalu dihadapkan kepada berbagai faktor risiko

seperti risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan

risiko operasional. Analisis atas berbagai risiko tersebut

telah semakin sulit beberapa tahun terakhir ini sejalan

dengan sistem keuangan yang semakin komplek dan

saling berkaitan baik antar industri maupun secara

geographis.

Peningkatan kompleksitas sistem keuangan di tunjukan

dengan pesatnya pasar di credit derivatives. Instrumen

ini relatif masih baru yang bentuknya bisa beraneka

ragam. Meskipun instrumen ini sangat baik untuk

mitigasi risiko, namun terdapat kemungkinan bahwa

tehnis penilaiannya akan rumit serta dapat menimbulkan

moral hazard atau rentan terjadinya spekulasi dan fraud.

Lembaga keuangan baik yang melakukan mitigasi

dengan menjual risikonya kepada pihak lain masih

dapat terekspose risiko. Tanpa disadari bahwa risiko

sistemik akan dapat manganulir persepsi bahwa

risikonya telah dijual, sedangkan lembaga yang membeli

risiko ternyata sudah terlalu besar risiko yang dibelinya

dan tidak bisa dimitigasi ke lembaga lain. Kalau terjadi

default atas maka hanya bailout dari otoritas yang

dapat menyelesaikannya.

Melakukan analisis risiko yang berasal dari dalam sistem

keuangan akan lebih jelas kalau dapat dibedakan melalui

dua pendekatan micro dan macroprudential.

Microprudential analisis lebih mengarah kepada

perkembangan dalam individu lembaga keuangan

dengan lebih menaruh perhatian pada menghindari

problem individual lembaga untuk melindungi

kepentingan para deposan.

Macroprudential analisis lebih mengarah kepada

sistem keuangan secara keseluruhan dengan sasaran

agar tidak terjadi permasalahan untuk menghindari

biaya yang akan dibebankan kepada pemerintah

(pembayar pajak). Untuk menghindari sistemic risk

dilakukan analisis risiko terhadap semua unsur di sistem

keuangan. Khusus untuk lembaga keuangan, analisis

terhadap keterkaitan antar lembaga keuangan yang

diakibatkan oleh permasalahan likuiditas maupun

solvabilitas merupakan analisis macroprudential yang

penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Kedua, pendekatan dengan menekankan risiko yang

berasal dari luar sistem keuangan. Pendekatan ini telah

dipahami oleh para pengambil kebijakan beberapa

tahun terakhir. Perkembangan yang pesat perdagangan

instrument derivatives atas surat hutang dan harga

assets, termasuk juga gangguan makro ekonomi seperti

turunnya harga komoditi serta terjadinya ketidak

seimbangan dalam ekonomi dunia dan pasar keuangan

akan dapat menimbulkan risiko instabilitas. Untuk

melakukan identifikasi dari sumber instabilitas, kita

memerlukan berbagai indikator yang dapat memberikan

informasi tanda-tanda terjadinya instabilitas. Dengan

mendasarkan perbandingan beberapa indikator pada

waktu tertentu dengan pada waktu normal, maka kita

bisa melakukan analisis seberapa besar perbedaan atas

indikator instabilitas tersebut. Kalau perbedaannya

18

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

besar dengan trend yang meningkat maka kita bisa

mengindikasikan kondisi keuangan mengarah kepada

instabilitas. Namun demikian, sering sekali mendapatkan

kesulitan untuk melakukan interpretasi atas berbagai

indikator instabilitas karena indikator normal kadang-

kadang sulit untuk ditentukan mengingat perkembangan

ekonomi yang sangat dinamis. Berbagai informasi yang

belum secara terintegrasi dalam sistem keuangan

merupakan faktor yang penting untuk dapat dijadikan

judgment dalam melakukan analisis kondisi sistem

keuangan.

Analisis dampak negatif atas guncangan ekonomi makro

terhadap stabilitas sistem keuangan juga dapat

diterapkan. Macro stress testing merupakan pendekatan

yang biasanya digunakan dalam analisis ini dengan

tujuan untuk mengukur ketahanan bank atau lembaga

keuangan dalam menghadapi berbagai shocks atas

kondisi ekonomi dan respon kebijakan makro ekonomi

yang diperlukan dari otoritas. Berbagai skenario kondisi

makro ekonomi dapat disimulasikan untuk melakukan

pengujian atas ketahanan bank atau lembaga keuangan

termasuk dalam kondisi ekstrim, pendekatan ini sering

disebut micro stress testing. Lembaga keuangan dan

pasar keuangan sudah semakin terintegrasi serta sangat

tinggi ketergantungannya sehingga analisis keterkaitan

antar lembaga dan pasar keuangan sangat membantu

untuk mengukur sejauhmana permasalahan yang

mungkin timbul di lembaga atau pasar keuangan dapat

menimbulkan dampak sistemik di sistem keuangan.

Aliran dana masuk dan keluar di pasar keuangan telah

meningkat cukup besar aktivitasnya di beberapa tahun

terkahir. Transaksi oleh para pelaku pasar antar negara

telah meningkat cukup pesat baik di pasar saham,

obligasi dan juga financial instrumen lainnya seperti

produk off-shore dan derivatives. Pemerintah di berbagai

negara banyak sekali mengeluarkan surat hutang untuk

membantu memperbaiki cash flow anggaran belanjanya

dan banyak para pelaku pasar yang melakukan

diversifikasi risikonya dengan melakukan hedging

diberbagai pasar dunia. Analisis dengan mendasarkan

domain domestik ternyata tidak cukup sehingga global

analisis tentang pasar dan lembaga keuangan sangat

diperlukan untuk melihat secara lebih akurat simpul

kerawanan di sistem keuangan. Bank sentral mempunyai

tanggung jawab khusus dalam melakukan analisis dan

monitor sistem keuangan. Terintegrasinya lembaga dan

pasar keuangan dengan pasar global telah membuat

bank sentral perlu melakukan analisis sistem keuangan

global dalam laporan stabilitas sistem keuangannya yang

dipublikasikan secara rutin. Pengembangan berbagai

tool analisis merupakan tantangan bank sentral agar

dapat menangkap simpul kerawanan secara lebih dini.

IV. Bagaimana koordinasi antar otoritas untuk

bersama-sama menjaga stabilitas sistem keuangan

Koordinasi antar otoritas ini sangat diperlukan dalam

menjaga agar terhindar dari krisis dan mempermudah

dalam penyelesaian krisis apabila ternyata tidak dapat

dihindari. Dalam koordinasi ini, peran dan tanggung

jawab masing-masing otoritas harus jelas dan dituangkan

dalam undang-undang. Tugas menjaga stabilitas sistem

keuangan ini dilakukan oleh bank sentral, dengan

berkoordinasi dengan pengawasan pasar keuangan dan

menteri keuangan sebagai otoritas fiskal. Di negara

yang otoritas pengawasan lembaga keuangan dipisahkan

dari bank sentral, maka otoritas tersebut akan menjadi

bagian dari otoritas yang harus melakukan koordinasi

dibawah menteri keuangan. Untuk mencapai sasaran

dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, maka sharing

informasi antar otoritas sangat diperlukan baik dalam

kondisi normal maupun krisis. Dalam hal permasalahan

disektor keuangan menyangkut bank yang operasinya

secara multinasional maka koordinasi akan menyangkut

otoritas antar negara dengan berbagai kerangka hukum

yang berbeda. Sebagaimana yang terjadi terhadap

Lehman Brothers pada tahun 2008, otoritas di sejumlah

negara terlena melakukan koordinasi untuk melakukan

assessment dampak penutupan lehman brothers ini

terhadap lembaga keuangan lain dan pasar keuangan

dinegara lain. Pandangan umum sementara ini, otoritas

di suatu negara hanya bertanggung jawab pengawasan

terhadap bank yang didirikan dengan badan hukum

di negara tersebut, sedangkan bank disuatu negara

yang didirikan dengan dasar hukum di negara lain

(ie. Kantor cabang bank asing) maka tanggung jawab

pengawasannya ada di home supervisory authorities.

Permasalahan ini muncul apabila terdapat bank yang

beroperasi secara multinational dan mengalami

permasalahan di kantor pusatnya sehingga harus ditutup,

maka secara legal seluruh kantor cabangnya harus

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

ditutup. Timbul permasalahan, bagaimana kalau kantor

cabangnya yang tersebar di negara lain tersebut

sebenarnya operasinya masih bagus? Hal ini belum ada

jawabnya sampai saat ini.

Koordinasi secara global dalam pencegahan dan

penyelesaian banking crisis ini masih belum secara formal

dibentuk. G20 pada saat ini sedang mencoba untuk

merumuskan bentuk koordinasi pencegahan dan

penyelesaian krisis bank yang beroperasi secara

multinational, namun masih banyak kendala hukum

yang dihadapi mengingat masing-masing negara

mempunyai legal basis yang berbeda. Permasalahan lain

juga muncul berkaitan dengan bank yang operasinya

sangat besar dengan kantor diseluruh dunia baik dalam

bentuk kantor cabang maupun anak perusahaan

yang jumlahnya bisa mencapai sekitar 8000, dengan

kondisi ini akan sangat sulit bagi kantor pusatnya untuk

melakukan monitoring dan bank sentral dinegara asalnya

juga mengalami kendala untuk melakukan assessment

atas dampak dari permasalahan terhadap kemungkinan

timbulnya krisis di negara lain. Dalam hal bank tersebut

harus dilakukan penyelamatan, permasalahan muncul

siapa yang akan bertanggung jawab untuk melakukan

penyelamatan. Penjaminan dana nasabah juga bentuknya

sangat beragam diantar negara, sehingga penataan

kembali sistem keuangan secara global perlu dilakukan

segera agar permasalahan krisis dapat dicegah lebih

dini dan penyelesaian krisis dapat dilakukan dengan

baik.

V. Perangkat apa yang dapat digunakan untuk

menjaga stabilitas sistem keuangan

Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, bank sentral

harus melakukan assessment atas kerentanan dan

mengeluarkan regulasi apabila diperlukan agar dampak

negatifnya dapat dihindari serta risiko sistemiknya dapat

diminimalisir. Assessment atas kerentanan terhadap

lembaga keuangan, pasar keuangan dan infrastrukturnya

merupakan keharusan agar dapat menangkap simpul

kerawanan dan melakukan mitigasi lebih dini sebelum

permasalahan terjadi. Pertanyaannya yang sering

muncul, bagaimana kita melakukannya dan kebijakan

apa yang bisa dilakukan agar stabilitas sistem keuangan

tetap terjaga. Bank sentral merupakan otoritas yang

mempunyai banyak perangkat kebijakan untuk menjaga

stabilitas sistem keuangan.

Pertama-tama peran lender of last resort dapat

diterapkan pada saat terjadi permasalahan likuiditas

perbankan untuk mencegah terjadinya krisis yang

bersifat sistemik;

Kedua, bank sentral juga dapat melakukan operasi

monetar dalam bentuk intervensi di pasar valas maupun

pasar likuiditas;

Ketiga, secara lebih dini bank sentral juga dapat

mengatur laju pertumbuhan kredit;

Keempat, dalam hal pengawasan microprudential

berada di bank sentral, maka pengawasan micro dapat

secara mudah disinkronisasikan dengan kebijakan

macroprudential.

Harmonisasi langkah pencegahan terhdap krisis ini

sangat panting dilakukan dalam kondisi masih normal.

Dengan demikian regulasi-regulasi yang bersifat macro

prudential untuk mencegah adanya sistemik risk dapat

dikeluarkan oleh bank sentral untuk melaksanakan

tugasnya yang menyangkut kebijakan untuk menjaga

stabilitas sistem keuangan. Dalam hal pengawasan

bank berada di bank sentral maka regulasi yang bersifat

microprudential juga dapat dikeluarkan oleh bank

sentral secara simultan dan harmonis. Peraturan kehati-

hatian diharapkan akan dapat menurunkan risiko kepada

level dimana bank mampu untuk menyerap dan juga

untuk meningkatkan ketahanan lembaga keuangan.

Salah satu motif penerapan risk mangement dan Basel

II diharapkan untuk meningkatkan efisiensi industri

perbankan serta ketahanan industri perbankan agar

mempunyai permodalan yang sesuai dengan risiko yang

dihadapi. Peraturan kehati-hatian juga dapat dipakai

oleh otoritas untuk memperlambat pertumbuhan yang

terlalu cepat sehingga risikonya mudah dikendalikan

oleh bank. Buffer modal yang bervariasi juga dapat

diterapkan untuk mengantisipasi terjadi siklus boom

dan burst akan meningkatkan ketahanan perbankan

dalam menghadapi shocks. Namun demikian metodologi

menentukan permodalan yang counter cyclical ini secara

tehnik sangat bervariasi dan mengandung banyak

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

21

kelemahan, dengan kemungkinan terjadi overstated

tingkat modalnya.

VI.Stabilitas sistem keuangan dan kebijakan moneter

Beberapa tahun terakhir ini hubungan antara kebijakan

moneter dan stabilitas sistem keuangan telah menarik

banyak perhatian para pengambil kebijakan. Stabilitas

moneter dan sistem keuangan merupakan dua sasaran

atas kebijakan publik yang dilakukan oleh bank sentral.

Dua sasaran ini saling melengkapi. Stabilitas sistem

keuangan mempunyai pengaruh yang positif terhadap

stabilitas harga. Pertama, stabilitas sistem keuangan

akan menjamin adanya penawaran kredit yang lebih

stabil dan aliran modal yang stabil, dimana kedua hal

ini merupakan prasyarat untuk menjaga pertumbuhan

yang sustainable; Kedua, stabilitas sistem keuangan

akan membantu efektifnya transmisi kebijakan moneter.

Stabilitas sistem keuangan secara implicit memberikan

jalan bahwa perubahan kebijakan moneter akan

mempunyai dampak terhadap suku bunga pasar

sebagaimana yang diharapkan pengambil kebijakan.

Dengan demikian, perubahan kebijakan moneter akan

mempengaruhi rumah tangga dan perusahaan korporasi

dan, pada akhirnya, inflasi serta mendorong kegiatan

ekonomi. Dilain pihak, stabilitas harga juga akan

mempunyai dampak positif terhadap stabilitas sistem

keuangan. Keberhasilan kebijakan moneter akan sangat

mempermudah tercapainya stabilitas sistem keuangan

dengan hilangnya mispersepsi atas singal kebijakan

moneter sehingga inflasi dapat dijaga pada tingkat

yang dikehendaki sesuai target. Inflasi yang rendah

dan stabil akan memberikan rumah tangga dan

perusahaan korporasi mendapatkan indikasi yang jelas

atas perubahan harga, sehingga bisa melakukan alokasi

sumber daya yang lebih efektif. Namun demikian,

stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter

kadang-kadang memang tidak sejalan, pertanyaannya

sejauh mana sasaran stabilitas sistem keuangan bisa

dipertimbangkan dalam kebijakan stabilitas moneter.

Kelihatannya telah terjadi kesepakatan diantara otoritas

bank sentral bahwa dalam kondisi ekstrim, yang dapat

membahayakan stabilitas sistem keuangan, maka

kebijakan moneter bisa sementara diarahkan untuk

mengatasi sementara permasalahan di sektor keuangan.

Sebagai contoh, bank sentral telah melonggarkan

likuiditasnya dalam kondisi krisis. Hal ini tidak pernah

terjadi dalam kondisi normal. Namun demikian,

risiko terhadap instabilitas yang berasal dari ketidak

seimbangan di sektor keuangan (seperti capital inflow

dan outflow melalui proses yang panjang). Dalam

kondisi demikian, pertanyaannya kembali menyangkut

apakah stabiltias sistem keuangan akan selalu

dipertimbangkan secara eksplisit dalam kebijakan

moneter. Persoalan ini telah menjadi perdebatan

oleh para pengambil kebijakan di bank sentral setiap

kali akan mengambil kebijakan moneter. Dalam

kenyataannya beberapa bank sentral telah menerapkan

inflation targeting yang lebih fleksibel dalam kebijakan

moneternya dalam target horizon tertentu. Ini bukti

bahwa terdapat kemungkinan mempertimbangkan

dampak dari ketidakseimbangan di sektor keuangan

terhadap proyeksi inflasi. Namun demikian perlu digaris

bawahi bahwa dampak negatif dari ketidak seimbangan

di sektor keuangan akan terjadi dalam waktu yang

relatif lama, dan kemungkinan akan jauh lebih lama

dari horizon target inflasi. Dalam kondisi demikian,

maka perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya

risiko apabila tidak memperhitungkan dampak

imbalance di sektor keuangan ini terhadap inflasi untuk

jangka waktu menengah dan panjang, terutama

terhadap terjadinya turbulence perekonomian dimasa

mendatang. Dalam kondisi yang paling buruk,

turbulence perekonomian dapat menimbulkan krisis

keuangan. Undang-undang bank sentral di New

Zealand secara eksplisit mengatakan bahwa bank

sentral dalam menetapkan kebijakan moneter harus

mempertimbangkan efisiensi dan kesehatan sistem

keuangannya. Di Norwegia juga menerapkan

inflation targeting yang lebih fleksibel dengan

mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dalam

memformulasikan kebijakan moneternya, dengan

pertimbangan bahwa ketidakseimbangan di sektor

keuangan akan sangat berpengaruh terhadap inflasi

dan output serta dapat menimbulkan ketidak stabilan

di sistem keuangan. Seluruh bank sentral telah

mendirikan unit khusus yang melakukan moitoring

dan analisis terhadap kondisi sistem keuangan dan

sektor riil terutama perilaku rumah tangga dan

perusahaan korporasi sebagai input kebijakan moneter.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

VII.Tantangan kedepan

Meskipun pemikiran tentang stabilitas sistem keuangan

telah berkembang dan diterapkan secara formal oleh

sebagian besar bank sentral di seluruh dunia, namun

tetap tidak ada jaminan bahwa akan terhindar dari

krisis yang bersifat sistemik. Krisis pada tahun 2008

yang baru lalu membuktikan bahwa masih banyak

tantangan kedepan untuk lebih meningkatkan berbagai

perhatian kita terhadap pencegahan untuk menghindari

terjadinya krisis dan penyelesain atas krisis itu sendiri

dengan pertimbangan bahwa sistem keuangan akan

berkembang terus sehingga dimungkinkan adanya

sumber kerawanan yang belum terdeteksi sebelumnya.

Peningkatan peraturan yang bersifat macroprudential

merupakan agenda yang penting kedepan sebagaimana

yang telah dicanangkan dari berbagai program bersama

dibawah G20. Perkembangan capital inflow ke beberapa

negara berkembang juga akan menjadi sumber

kerawanan yang perlu menjadi perhatian bersama.

22

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

A. Pengantar

Di Inggris, pada 21 Januari 2009, pada The Economist's

Inaugural City Lecture, Adair Turner, Kepala OJK Inggris

menyatakan bahwa model pengawasan Inggris saat ini

yang memisahkan pengawasan dari bank sentral telah

membuat otoritas pengawas terlalu terfokus pada

lembaga per lembaga dengan perhatian pada risiko

tunggal. Sementara bank sentral terlalu fokus pada

kebijakan moneter yang secara sempit, yaitu mencapai

target inflasi. Akibatnya semua laporan tentang kondisi

sistem keuangan dan potensi risiko sistemik tidak pernah

memberikan gambaran risiko yang seutuhnya. Bahkan

laporan IMF yaitu Global Financial Stability mengakui

secara riil mereka salah dalam menilai keadaan. Karena

itu disarankan agar bank sentral dan otoritas untuk

mengintegrasikan analisa ekonomi makronya dengan

analisa makroprudensial dan mengintegrasikan langkah

kebijakanya sebelum krisis terjadi.

Independensi merupakan isu krusial bagi sebuah Bank

Sentral untuk memainkan perannya secara optimal di

tengah perkembangan ekonomi global yang sangat

dinamis dan seringkali bergejolak. Status kelembagaan

Bank Indonesia (BI) yang independen sebagaimana

tercantum pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999 menjamin

BI bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-

pihak luar lainnya. Dari sisi kelembagaan Independensi

BI terlihat dari kedudukan kelembagaanya yang berbeda

dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia.

Menurut UU, kedudukan BI tidak sejajar dengan DPR,

MA, BPK atau Presiden yang merupakan Lembaga

Tinggi Negara. Kedudukan BI juga tidak sama dengan

departemen karena BI berada di luar pemerintah.

Masalahnya adalah ternyata independensi BI diikuti

dengan upaya sistimatis untuk mengurangi kewenangan

yang dimiliki BI sebagai bank sentral. Rencana pengalihan

kewenangan dalam pengawasan bank menunjukan

adanya upaya mengurangi kewenangan BI sehingga BI

hanya berfungsi dari aspek moneter. Masalahnya adalah

kalau kewenangan dalam mengawasi bank dicabut,

maka secara otomatis kemampuan BI dalam menjalankan

tugas moneternya terganggu karena bank merupakan

lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi

kebijakan moneter.

Terkait dengan masalah stabilitas sistem keuangan,

peran bank sentral sangat penting. Di tengah krisis

keuangan global saat ini, isu tentang stabilitas keuangan

menjadi topik utama diskusi ekonomi baik di tingkat

regional maupun global. Krisis keuangan selalu memiliki

konsekuensi kerugian bagi perekonomian Negara yang

mengalaminya makanya upaya pencegahan jangan

sampai krisis terjadi menjadi perhatian banyak pihak.

Terlebih saat ini globalisasi sudah menjadi fakta yang

tidak dapat dibantah. Globalisasi telah membawa

manfaat bagi banyak negara di dunia dengan

mendorong peningkatan Gross Domestic Product (GDP).

Globalisasi juga membuka akses yang lebih lebar bagi

negara-negara di dunia terhadap pasar global. Saat ini

hampir tidak ada Negara yang tidak memiliki hubungan

ekonomi internasional.

Meski demikian, globalisasi yang terjadi bukan tanpa

cela. Stiglitz (2006) menyatakan aturan main globalisasi

cenderung tidak adil dan menguntungkan negara-

negara industri maju dan hanya mengutamakan nilai-

nilai material dibandingkan nilai-nilai lainnya, seperti

perhatian terhadap aspek lingkungan. Sementara

penanganan globalisasi cenderung mengurangi

kedaulatan negara berkembang serta mengabaikan

kemampuan negara berkembang dalam mengambil

keputusan sendiri, khususnya terkait area utama yang

akan mempengaruhi penduduknya. Terlebih sistem

ekonomi yang dipaksakan terhadap negara sedang

23

Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem KeuanganOleh Drs. Ec Abdul Mongid, MA1

1 Dosen STIE Perbanas Surabaya

berkembang cenderung tidak tepat bahkan tidak

menguntungkan negara tersebut. Akibatnya meski

mereka yang pro globalisasi mengklaim bahwa setiap

orang akan diuntungkan secara ekonomi, namun pada

kenyataannya baik di negara maju maupun berkembang

terdapat banyak pihak yang dirugikan.

B. Independensi Bank Sentral: Perspektif Akademis

Independensi bank sentral merupakan tema utama

diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal

tahun 1990-an. Diskusi ini menjadi sangat penting

setelah kajian akademis menunjukan Negara yang

memiliki bank sentral yang independen memiliki tingkat

inflasi yang lebih rendah. Temuan ini menimbulkan arus

baru penelitian yang mencoba mencari kaitan secara

detail kenapa inflasi dapat menjadi lebih rendah.

Jawabannya terletak pada perspektif kebijakan bank

sentral yang berdimensi jangka panjang dan kredibilitas

kebijakan yang ditempuhnya.

Temuan ini menimbulkan semangat baru dalam kajian

kebanksentralan karena semua ekonom percaya bahwa

stabilitas harga merupakan fondasi seluruh stabilitas

ekonomi yang lain. Stabilitas harga menjadi fondasi

bagi berjalanya ekonomi pasar yang baik. Ini berarti

stabilitas harga menjadi syarat yang harus dipenuhi

agar perekonomian berjalan dengan baik. Ana Schwartz

(1988) menyatakan perlunya Bank Sentral menjaga

inflasi dengan kebijakan moneter yang tepat. Bank

Sentral yang dapat menjaga stabilitas dan juga menjaga

likuiditas perbankan melalui lender of the last resort.

Krisis keuangan pada level apapun akan diperburuk

dengan kenaikan tingkat inflasi. Artinya mengapa

kebijakan moneter berusaha menjaga stabilitas adalah

sebagai upaya tidak langsung Bank Sentral dalam

menjaga jangan sampai krisis keuangan terjadi.

Pandangan Schwartz ini sering disebut sebagai Schwartz

Hypothesis, kebijakan moneter yang berusaha

membatasi inflasi cenderung mengurangi terjadinya

krisis keuangan karena kestabilan hanya akan membuat

proses pemakaian investasi yang benar dapat dilakukan.

Dalam bahasa lain ketidak stabilan sistem keuangan

karena para investor, penabung dan peminjam kesulitan

dalam menilai pendapatan potensial dan tindakannya

untuk konvertasi mampu memanajemeni. Seperti

diketahui arus kas investasi bisa diramalkan tetapi

ketidak sesuaian suku bunga diskonto sebagai proksi

inflasi tidak diketahui maka nilai riil investasi juga tidak

diketahui.

Begitu pentingya stabilitas uang menjadikannya sebagai

suatu fondasi dasar perekonomian untuk berjalan baik.

Karena itu terjadi konsensus secara luas bahwa

menciptakan stabilitas uang tidak bisa diserahkan kepada

proses politik keseharian. Artinya terlalu berbahaya

dalam jangka panjang jika masalah manajemen nilai

uang diserahkan oleh kekuatan politik karena kekuatan

politik memiliki perspektif jangka pendek. Stabilitas

uang juga merupakan barang publik sehingga sangat

wajar jika pengelolaanya dilakukan oleh lembaga yang

independen dari campur tangan politik. Lembaga ini

harus bebas dari kepentingan lain yang dapat membuat

upaya mencapai tujuan menciptakan uang yang stabil

gagal. Inilah yang menjadi latar belakang kenapa bank

sentral yang independen dibentuk.

Bank sentral yang independen memiliki mandat jelas dan

terbatas. Ini menjadikan mandat itu jelas dan membatasi

kewenangan diskresi yang dapat mengalihkan dari

pencapaian tugas utama. Implikasi dari keadaan ini adalah

bank sentral harus menjadi agen masyrakat yang bertindak

sebagai prinsipal. Proses ini menuntut bank sentral juga

akuntabel ke publik. Saat ini masalah independensi bank

sentral sudah dapat diterima secara umum baik di negara

maju maupun di negara berkembang. Secara umum,

termasuk di Indonesia, kinerja bank sentral dalam

mendorong inflasi lebih rendah relatif berhasil sehingga

manfaat bagi masyarakat relatif dapat dirasakan. Dalam

sejarah ekonomi politik di Indonesia, gejolak ekonomi

selalu menjadi pemicu bagi gerakan masyarakat untuk

melalukan protes jalanan.

Diterimanya konsep independensi bank sentral tidak

lepas dari keberhasilan Bundesbank Jerman. Seperti

diketahui ekonomi Jerman pernah mengalami inflasi

yang sangat tinggi dan itu dirasakan sebagai masalah

berat dan menjadi sejarah kelam ekonomi Jerman.

Makanya pengalaman sejarah itu menjadikan masyrakat

Jerman sangat takut inflasi tinggi terulang sehingga

menjadikan Bundesbank sebagai penjaga inflasi sebagai

24

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

suatu yang tidak dapat ditawar lagi. Prinsip ini juga

menjadi dasar operasional European Central Bank (ECB),

yang diakui atau tidak, merupakan penjelmaan

Bundesbank.

Selain pengalaman Jerman, indpendensi bank sentral

juga dipopulerkan oleh penelitian akademsis terkait

dengan bias inflasi ketika kebijakan bank sentral sangat

dipengaruhi diskresi kebijakan. Dengan penerapan

kebijakan target inflasi (inflation targeting) peran ini

makin jelas dan dapat dijalankan oleh bank sentral

karena prinsip dasarnya sangat jelas (Taylor Principle).

Yang diperlukan adalah konsistensi kebijakan.

Teori kebjakan moneter optimal (The modern theory

of optimal monetary policy) yang dikembangkan oleh

Kydland and Prescott (1977) serta dilanjutkan oleh

Barro and Gordon (1983) menempatkan posisi bank

sentral sebagai perencana sosial yang berusaha

memaksimalkan kemakmuran sosial masyarakat yang

kalau diperhatikan merupakan pengembangan lebih

lanjut dari ekspektasi implisit dari kurva Philips

(expectations-augmented Phillips curve). Sebagai

perencana sosial dimana bank sentral juga bertanggung

jawab untuk menciptakan kesempatan kerja, maka

setiap pergeseran output riil dari output potensial akan

menimbulkan bias inflasi (inflation bias). Bias inflasi

inilah yang harus diatasi yang menurut Rogoff (1985)

dengan mendelegasikan kebijakan moneter kepada

bank sentral yang independen tetapi juga banker bank

sentral yang konservatif.

Pandangan ini akhirnya memberi jalan pada

perkembangan studi model ekonomi politik baru bank

sentral dengan memperhitungkan tujuan fungsional

bank sentral sebagai kompromi antara tujuan

menciptakan stablitas harga dan menciptkan

kesempatan kerja sebagaimana dinyatakan oleh

Cukierman, Kiguel and Liviatan (1992). Dalam model

ini independensi bank sentral cukup mampu mendorong

inflasi rendah walaupun studi lebih lanjut menunjukan

variasi regional yang signifikan.

Kajian mengenai ekonomi politik terkait peran bank

sentral dan kebijakan moneter menyimpulkan pentingnya

aspek politik dan kelembagaan dalam penentuan

kebijakan moneter baik di negara maju dan berkembang.

Secara umum disimpulkan bahwa peran kelompok-

kelompok sosial dan politik, bank sentral yang independen

dan preferensi sektor swasta sangat penting dalam

menentukan kebijakan bank sentral (Cukierman, Kiguel

and Liviatan : 1992). Dalam sebuah makalahnya Epstein

(2005) berpendapat bahwa bank sentral secara historis

memainkan peran aktif sebagai agen pembangunan

ekonomi karena itu nilai baru independensi bank sentral,

demokrasi, transparansi dan akuntabilitas (harus menjadi

nilai baru bank sentral dimanapun saja.

Di banyak negara, aspek politik yang kondusif mendukung

pencapaian inflasi yang rendah. Makanya Epstein (1992)

mengembangkan model ekonomi politik dari bank sentral

yang memperhitungkan berbagai kepentingan yang

saling bersaing dalam perekonomian dan efeknya pada

fungsi dan tujuan bank sentral. Kesimpulanya adalah

politik menentukan kebijakan dan disain kelembagaan

bank sentral. Dalam studi lain terkait hubungan politik

dan kebijakan moneter, Henning (1994), menunjukkan

bahwa preferensi sektor swasta memainkan peran penting

dalam formulasi kebijakan moneter dan manajemen nilai

tukar. Preferensi sektor swasta merupakan hasil hubungan

struktural antara perbankan dan industri.

Gutiérrez (2003) menyatakan bahwa rendahnya

hubungan antara independensi bank sentral secara

hukum dan inflasi mungkin tergantung pada apakah

independensi itu dijalankan secara benar atau tidak.

Artinya apakah independensi secara legal itu diterapkan

secara benar sebagaimana di Negara maju meruakan

masalah tersendiri. Karena itu memperhatikan dokumen

hokum saja tidak mencukupi. Dvorsky (2000) mengukur

derajad independensi bank sentral di Negara transisi

eropa timur meliputi Czech, Hungaria, Polandia, Slovakia

dan Slovenia menggunkan pendekatan Cukierman,

Kiguel and Liviatan menyimpulkan independensi bank

sentral tidak memadai untuk inflasi rendah tetapi perlu

reformasi ekonomi dan koordinasi antara sector moneter

dan fiscal. Sturm and de Haan (2001) menemukan

bahwa bank sentral perlu bekerjasama dengan dengan

lembaga lain untuk inflasi yang rendah dan independensi

saja tidak cukup. Hanya negara yang inflasinya sangat

tinggi saja independensi sangat efektif dalam jangka

pendek.

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Hasil empiris itu menimbulkan pertanyaan apakah

independensi bank sentral masih relevan bagi negara

sedang berkembang? Jawabnya Ya. Dari berbagai

macam literature akademis tercipta konsesnus bahwa

independensi bank sentral diperlukan walaupun semua

sepakat bahwa independensi secara legal saja tidak

cukup. Perlu ada kewenangan lain untuk mengatasi

tekanan inflasi. Harus ada perangkat kelembagaan lain

yang berfungsi mendukung peran ini.

Karena itu definisi independensi perlu dijelaskan lebih

detail antara independensi secara legal dan aktual.

Secara legal independensi adalah jaminan secara

konsitusional tentang fungsi bank sentral dan khususnya

terkait dengan hubungannya dengan pemerintah.

Aktual dimaksudkan sebagai independensi dari sisi

otonomi dalam hubungannya dengan pemerintah.

Cukierman, Kiguel and Liviatan (2007) menggunakan

istilah yang serupa yaitu independensi de jure dan de

facto. De Jure adalah independensi dari sisi legalitas

dalam undang undang dan ini digunakan sebagai proksi

untuk independensi de facto.

Grilli, Masciandaro, dan Tabellini (1991) menfokuskan

pada dua dimensi penting yaitu independensi politis dan

independensi ekonomi. Sementara Debelle dan Fisher

(1994) mengkategorikan independensi dari sisi Tujuan

(goal) dan Perangkat (instrument). Tujuan dimaksudkan

sebagai kemampuan menentukan tujuan tanpa campur

tangan langsung dari pemerintah. Independensi

instrumen dimaksudkan sebagai kemampuan bank

sentral dalam memilih kebijakan yang ingin dilakukan.

Dalam kontek Indonesia, status kelembagaan BI yang

independen yang tercantum pada pasal 4 UU No. 23

Tahun 1999. Independensi artinya bebas dari campur

tangan pemerintah dan pihak-pihak luar lainnya dalam

melakukan kebijakan moneter. Dengan UU yang baru

ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur

tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI dalam

melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan

segala bentuk campur tangan terhadap tugas BI, maupun

dewan gubernur dan pejabat BI yang tidak menolak

campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat

dan denda yang besar. Pertimbangan mendasar BI dalam

menjalankan kebijakan moneter adalah untuk tujuan

menstabilkan nilai rupiah.

C. Pengawasan Bank

Seperti diketahui amanat membuat lembaga pengawas

bank yang baru ada sejak diundangkannya UU bank

sentral nomor 23 tahun 1999. Pembentukan lembaga

pengawas yang baru ini selain memang mengikuti

trend pemisahan pengawasan bank di negara maju

seperti Inggris dan Australia, juga didorong oleh krisis

perbankan 1998. Krisis yang membuat pemerintah

mengeluarkan dana rekapitalisasi perbankan sebesar

Rp 420 triliun dipandang sebagai bukti kegagalan BI

dalam melakukan fungsi pegawasan.

26

Tabel I. Sistem Pengawasan Bank

Institusional

Functional

Integrasi

Twin Peaks

Bentuk Ciri-Ciri Umum

Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan tersebut baik dalam hal safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis

Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari perusahaan tersebut. Masing-masing lini bisnis diawasi oleh regulator masing-masing

Terdapat sebuah regulator tunggal yang melaksanakan pengawasan dalam hal safety dan soundness, begitu juga conduct of business, untuk seluruh lembaga yang berada di sektor keuangan

Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness, sementara yang lainnya fokus pada conduct of business

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

27

Setelah UU BI diamandemen melalui UU No. 3 tahun

2004, pemikiran pembentukan OJK masih ada.

Berdasarkan Pasal 34 dinyatakan tugas mengawasi bank

nantinya akan dilakukan oleh lembaga pengawasan

sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk

dengan UU. Lembaga pengawas ini selambat-lambatnya

31 Desember 2010. Sebelumnya berdasar UU 23 tahun

1999, OJK dibentuk paling lambat akhir tahun 2004.

Tapi kemudian pemerintah bersama DPR sepakat merevisi

UU 23 Tahun 1999 tentang BI menjadi UU 3/2004.

Di dunia saat ini sebenanrya ada empat sistem

pengawasan lembaga keuangan yang dapat ditemui

di dunia. Pertama, sistem pengawasan institutisional

yaitu sistem pengawasan dimana lembaga pengawas

didasarkan pada status badan hukum lembaga tersebut.

Secara umum ini sistem yang mayoritas dengan bank

sentral sebagai pengawas mendominasi diatas 70%.

Kedua, sistem pengawaan fungsional, dimana

pengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh berbagai

lembaga yang berbeda sesuai fungsi bisnis lembaga itu.

Contohnya asuransi akan diawasi lembaga pengawas

asuransi. Jika bank menjalankan bisnis asuransi, maka

bank akan diawasi lembaga pengawas asuransi juga.

Jadi sebuah lembaga keuangan akan diawasi oleh

banyak pengawas tergantung aktifitas bisnisnya.

Ketiga, sistem pengawasan terintegrasi yaitu semua

lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan

yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas

baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial

dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris,

Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian

inilah yang sedang kita gagas dengan OJK. Terakhir,

twin peak yaitu sistem pengawassan berbasis pada

tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi

safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada

praktek bisnis.

Keempat sistem itu adalah selalu punya untung dan

rugi. Artinya apakah pengawasan lembaga keuangan

yang terpisah dari bank sentral atau menyatu dalam

bank sentral adalah sama baiknya asal semuanya berfugsi

dan menjalankan fungsinya dengan baik. Pengawasan

lembaga keuangan oleh OJK akan sangat efektif ketika

lembaga keuangan saling terkait seperti ketika bank

memiliki produk yang terkait dengan pasar modal. Ada

semacam efisiensi pengawasan yang akan dapat

dinikmati karena pengawasan bank, pasar modal dan

lembaga keuangan lain ada dalam satu pengendalian.

Selain itu akan terhindar dari conflict of interest antara

macroprudential dan microprudential supervision.

Mengacu pada kasus Century Artaboga, konsolidasi

pengawasan produk bank dan non-bank menjadi lebih

efektif karena tergabung dalam satu institusi.

Sementara kalau pengawasan bank dibawah bank

sentral, koordinasi kebijakan antara sektor moneter

dan perbankan yang lebih lancar. Demikian juga dengan

akses informasi kondisi perbankan sebelum bank sentral

mengambil keputusan terkait kebijakan moneter. Dari

sisi sistem pembayaran, akan meningkatkan reliabilitas

sistem pembayaran karena BI juga merupakan

penyelenggara sistem pembayaran nasional. Terkait

dengan krisis likuiditas, keberadaan BI sebagai pengawas

akan menjamin tersedianya likuiditas bagi perbankan

ketika terjadi liquidity shortage sehingga diharapkan

mengurangi risiko sistemik karena kecepatan

pengambilan keputusan (crisis prevention).

Namun bagi negara berkembang dimana perbankan

adalah lembaga keuangan utama dalam sistem

keuangan, manfaat efisiensi pengawasan sepertinya

tidak akan diperoleh. Makanya literatur ekonomi

(Goodhard dll) menyatakan sebaiknya Negara

berkembang tidak menyatukan pengawasan perbankan

ke dalam OJK. Sayangnya pandangan pentingya bank

sentral tetap sebagai pengawas bank kurang terdengar

akhir akhir ini.

Apakah sistem keuangan kita sudah membutuhkan

pengawasan terkonsolidasi semua lembaga keuangan

dalam satu lembaga? Rasanya itu belum mendesak

karena produk keuangan kita saat ini relative sederhana.

Bahkan perbankan menguasai porsi pembiayaan lebih

dari 80%. Demikian juga dengan integrasi perbankan

dengan pasar modal sangat rendah karena pasar modal

belum cukup berkembang.

Kita menyadari masalah otoritas dan pengawasan jasa

keuangan bukan sekedar masalah efisiensi ekonomi saja

tetapi lebih banyak nuansa politis. Jabaran teori ekonomi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

politiknya adalah pemerintah sebagai lembaga politis

sebenarnya tidak rela bank sentral, yang notabene adalah

profesional terlalu menguasai keputusan ekonomi. Ingat

profesional memperoleh kekuasaan karena keahlian.

Sementara politisi memperoleh kekuasaan karena mereka

berjuang dengan kampanye dan perjuangan politis.

Politisi memiliki pendukung yang harus dipuaskan.

Sehingga kewenangan bank sentral yang besar membuat

ruang gerak politisi/pemerintah makin terbatas. Makanya

independensi diberikan tetapi pengawasan diambil

politisi.

Pengalaman membuktikan apapun struktur

pengawasannya, bank sentral atau OJK, hampir tidak

ada pengaruhnya terhadap kinerja pengawasan.

Kegagalan Nothern Rock Bank di Inggris buktinya. Studi

empiris membuktikan yang lebih penting dan lebih

menentukan kinerja pengawasan adalah suprastruktur

dan lingkungan operasional pengawas seperti

independensi operasional, akuntabilitas dan transparansi

pengawas bank dalam menjalankan tugasnya. Bukan

struktur kelembagaanya. Makanya kalau partai

Konservatif di Inggris menang dalam pemilu kedepan,

pengawassan bank akan dikembalikan ke Bank Of

England kembali.

Secara tradisional tujuan pengaturan dan pengawasan

bank adalah untuk mencapai dan menjaga agar lembaga

keuangan menjadi sehat dan aman. Artinya agar

lembaga keuangan beroperasi dengan mengindahkan

prinsip pengelolaan lembaga keuangan yang sehat dan

berhati hati. Ini untuk menjamin kepentingan nasabah

baik deposan maupun debitur. Fungsi otoritas dalam

hal ini adalah mewakili kepentingan nasabah (delegated

monitor) dengan mengawasi prilaku lembaga keuangan.

Sekarang ini terjadi pergeseran yaitu pengawasan

lembaga keuangan juga diarahkan untuk mencegah

jangan sampai lembaga keuangan menjadi sumber dari

krisis ekonomi (systemic risk). Tujuan ini sering disebut

sebagai mencapai stabilitas sistem keuangan. Seperti

diketahui krisis ekonomi merupakan situasi yang sangat

merugikan karena krisis mampu menghancurkan sendi-

sendi ekonomi yang lama dibangun suatu negara.

Ongkos penyelesaian dan dampak krisis sangat mahal

dan dapat menyeret ekonomi suatu negara mundur

sepuluh tahun kebelakang. Dari berbagai krisis ekonomi,

ternyata sumbernya beragam baik dari sisi perbankan,

nilai tukar, hutang luar negeri dan lainnya. Namun

kalau diperhatikan, mayoritas krisis berasal dari lembaga

keuangan atau ketika lembaga keuangan tidak sehat,

mereka menjadi pemicu maupun pemacu (accelerator)

krisis.

D. Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem

Keuangan

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia mengatur tentang peran dan tugas Bank

Indonesia sebagai sebagai otoritas moneter. Dalam

perkembanganya peran sebagai otorita moneter

dirasakan kurang memadai karena cakupan otoritas

moneter hanya terbatas pada aspek stabilitas harga.

Dalam perkembngan ekonomi modern yang makin

komplek seperti saat ini peran bank sentral dalam

stabilitas sistem keuangan makin diperlukan.

Konsep stabilitas sistem keuangan atau stabilitas

keuangan jauh lebih luas dari stabilitas moneter. Stabilitas

moneter hanya mengacu pada stabilitas harga (price

stability). Artinya merupakan salah satu konsep kestabilan

yang skopnya lebih kecil tetapi punya peranan penting

adalah stabilitas moneter. Stabilitas moneter (monetary

stability) didefiniskan sebagai stabilitas harga dimana

perekonomian mengalami inflasi dalam jumlah yang

relatif kecil yaitu 1-2% setahun. Deflasi juga ancaman

terhadap stabilitas moneter namun karena isu deflasi

sangat jarang terjadi maka kurang menjadi perhatian.

Kalau melihat UU No 23/99 tentang Tugas Bank

Indonesia yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah maka

secara singkat merupakan upaya mengurangi inflasi

menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi jangka

panjang yang berkelanjutan (sustainable economic

growth). Pertumbuhan ekonomi menjadi isu global

dan nasional saat ini secara politik penentu selalu

menjalankan pertumbuhan ekonomi sebagai bukti

keberhasilan dalam pembangunan.

Sementara stabilitas sistem keuangan memiliki cakupan

yang luas walaupun definisi baku stabilitas sistem

keuangan (SSK) belum disepakati. Ada banyak definisi

kestabilan sistem keuangan diantaranya:

28

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

John Chant (2003) menyatakan instabilitas adalah

keadaan pasar yang merugikan perekonomian yang

mengancam kinerja ekonomi sehingga melumpuhkan

kondisi keuangan rumah tangga, perusahaan dan

pemerintah dan membuat arus dana terbatas. Keadaan

juga mengganggu fungsi dan operasi lembaga

keuangan. Crockett (1996) mendefinisikan stabilitas

keuangan sebagai ketiadaan instabilitas. Instabilitas

sebagai situasi ekonomi yang terganggu karena fluktuasi

harga aset keuangan yang besar atau ketika lembaga

keuangan gagal memenuhi kewajiban yang sudah

diperjanjikan. Sementara Deutsche Bundesbank (2003)

menggambarkan stabilitas keuangan sebagai keadaan

seimbang sistem keuangan sehingga berfungsi efisien

dalam alokasi sumber dan mengelola risiko dan

menjalankan fungsi pembayaran, mampu mengatasi

kejutan ekonomi, kebangkrutan dan perubahan

struktural yang mendasar.

Frederick Mishkin (1999) menyatakan instabilitas

keuangan terjadi ketika kejutan terhadap sistem

keuangan karena masalah arus informasi sehingga

sistem keuangan tidak mampu menjalankan funsinya

menyalurkan dana kedalam investasi produktif.

Sementara itu, Schinasi (2006) mendefinisikan stabilitas

keuangan sebagai kondisi dimana sistem keuangan:

a. Secara efisien memfasilitasi alokasi sumber daya

dari waktu ke waktu, dari deposan ke investor, dan

alokasi sumber daya ekonomi secara keseluruhan,

b. Dapat menilai/mengidentifikasi dan mengelola risiko-

risiko keuangan.

c. Dapat dengan baik menyerap gejolak yang terjadi

pada sektor keuangan dan ekonomi.

Dari semua definisi diatas dapat diringkas secara

sederhana kestabilan keuangan adalah tidak adanya

krisis yang berarti situasi dimana ketahanan sistem

keuangan terhadap guncangan perekonomian, sehingga

fungsi intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran

risiko tetap berjalan dengan semestinya.

Dari uraian diatas terlihat keterkaitan antara Stabilitas

Moneter & Stabilitas Sistem Keuangan. Stabilitas

moneter dan stabilitas sistem keuangan ibarat dua sisi

dari satu koin yang saling mempengaruhi satu terhadap

yang lain. Namun demikian, terdapat perbedaan

mendasar antara keduanya.

29

Tabel 2. Perbandingan Stabilitas Moneter dan Stabilitas Keuangan

Definisi

Instrumen pengontrol

Struktur Proyeksi

Alat Proyeksi

Stabilitas KeuanganStabilitas Moneter

Stabilnya harga untuk mengendalikan inflasi mengendalikan deflasi

Kebijakan moneter Suku bunga Operasi pasar

Trend, Central tendency of distribution

Teknik peramalan standar

Kestabilan institusi dan pasar keuangan dan tiadanya tekanan dan pergerakan harga yang berpotensi menyebabkan guncangan perekonomian

Sangat terbatas, dan sulit untuk disesuaikan: Fasilitas Pembiayaan Darurat

Tails of distribution, Extreme event

Simulasi, Stress test

Sumber: Diadaptasi dari Aspach O, et. al. (2006) dan Schioppa (2002)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Kalau memperhatikan UU no. 23 Tahun 1999, peran

dan fungsi Bank Indonesia dalam stabilitas sistem

keuangan yang tidak secara eksplisit tercantum dalam

Undang-Undang Bank Indonesia. Beranjak dari

pengalaman krisis keuangan 1997/1998 dan juga dampak

krisis keuangan global pada perekonomian Indonesia

tahun 2008 yang lalu, Bank Indonesia memegang peran

dan fungsi sentral dalam stabilitas sistem keuangan.

Karena memandang bahwa stabilitas sistem keuangan

sebagai suatu hal yang sangat penting untuk menunjang

stabilitas makroekonomi.

Walaupun tidak secara eksplisit peran BI dalam menjaga

stabilitas sistem keuangan, namun berdasarkan

pengalaman negara-negara maju, fungsi menciptakan

stabilitas sistem keuangan merupakan fungsi yang

melekat di bank sentral. Walaupun tidak secara eksplisit

tercantum, secara implisit peran ini juga dekat dengan

peran BI sebagai bank sentral secara umum.

Dalam kaitan dengan tugas Bank Indonesia untuk

menjaga stabilitas moneter antara lain melalui

penggunaan instrumen suku bunga dalam operasi

pasar terbuka, maka secara implisit mengharuskan BI

untuk melakukan segala daya dan kewenanganya

untuk mencapai tugas itu. Dalam hal ini, Bank Indonesia

dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter

secara tepat dan berimbang melalui pengendalian suku

bunga sebagai target antara (intermediate target).

Penerapan kebijakan moneter dengan target inflasi

(inflation targeting) merupakan salah satu implementasi

dari tugas menjaga stabilitas moneter.

Sistem keuangan Indonesia secara umum didominasi

perbankan. Artinya stabilitas sistem keuangan Indonesia

sangat dipengaruhi kemampuan sistem perbankan

dalam menahan ancaman destabilisasi. Karena itu Bank

Indonesia berperan vital dalam menciptakan stabilitas

sistem keuangan yang sehat, khususnya perbankan.

Peran Bank Indonesia dalam menciptakan dan

memelihara sistem perbankan yang sehat dilakukan

melalui mekanisme kebijakan dan pengawasan yang

efektif, serta penegakan hukum (law enforcement).

Sistem pembayaran nasional merupakan tulang

punggung (backbone) kelancaran arus dana di

perekonomian. Sistem pembayaran dapat dikelompokan

dalam dua kategori yaitu sistem pembayaran berbasis

tunai atau kartal dan sistem pembayaran berbasis giral

atau elektronik. Bank Indonesia berwenang untuk

mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.

Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan

pengaturan untuk mengurangi risiko timbulnya gangguan

yang bersifat sistemik dalam sistem pembayaran yang

cenderung semakin meningkat. Berkaca dari kasus

Herstatt Bank pengaturan dalam sistem pembayaran

diarahkan jangan sampai risiko kredit dalam sistem

pembayaan berdampak pada kekacauan sistem

pembayaran nasional.

Selain BI menyediakan infrastruktur sistem pembayaran

yang terpercaya seperti sistim kliring nasional (SKN),

BI-RTGS dan BI-SSS, BI juga mengatur agar risiko kredit

dalam sistem pembayaran Nasional diminimalkan.

Kewajiban baik untuk menyediakan Cover Fund (Saldo)

yang cukup atau kewajiban menjalankan aset likuid

seperti SBI dan SUN merupakan upaya BI mencegah

jangan sampai krisis berawal dari kegagalan sitem

pembayaran.

Dalam kaitan dengan fungsi pencegahan krisis, maka

prinisip mencegah lebih baik daripada mengobati harus

menjadi filosofis dasar manajemen perekonomian

nasional. Kemamapuan dalam mendeteksi risiko yang

mungkin terjadi harus menjadi keahlian baru bank

sentral dalam fungsinya menjaga stabilitas sistem

keuangan. Saat ini Bank Indonesia sudah melakukan

riset dan pemantauan macroprudential (macroprudential

surveilance) terhadap sistem keuangan dan meneliti

potensinya dalam menyebabkan krisis. Bank Indonesia

dalam hal ini menganalisis dan memonitor kerentanan

sektor keuangan termasuk mendeteksi potensi shock

yang berdampak sistemik terhadap sistem keuangan,

selain melakukan riset untuk mengembangkan instrumen

dan indikator macroprudential guna mendeteksi

kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan

ini akan diolah menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait

dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk

meredam gangguan dalam sektor keuangan.

Untuk makin mendorong fungsi bank sentral dalam

menajga stabilitas sistem keuangan, maka bank sentral

30

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

31

Tabel 3. Perbandingan Macroprudential dan Microprudential

Proximate objective

Ultimate objective

Model of risk

Correlations and common exposures across institutions

Calibration of prudential controls

MicroprudentialMacroprudential

limit financial system-wide distress

avoid output (GDP) costs

(in part) endogenous

important

in terms of system-wide distress; top-down

limit distress of individual institutions

consumer (investor/depositor) protection

exogenous

irrelevant

in terms of risks of individual institutions; bottom-up

Attributes

Sumber: Claudio Borio (2003)

melengkapi alat berupa sistem peringatan dini. Mengingat

krisis bersumber dari berbagai sebab dan pengalaman

membuktikan bahwa pendekatan mikroprudensial

lembaga keuangan saja tidak cukup mampu memberi

nilai peramalan, maka dikembangkanlah konsep yang

dikenal dengan pengawasan makroprudensial

(macroprudential surveillance).

Kita sepakat bahwa sangat penting mencegah jangan

sampai krisis keuangan terjadi karena dampak dari

krisis sangat mahal bagi perekonomian. Pertanyaan

mendasar saat ini yang penting untuk dijawab adalah

bagaimana mencegahnya? Jawaban atas pertanyaan

ini sangat tergantung kepada pemahaman kita terhadap

ketidakstabilan, sebab utamanya dan implikasi dari

ketidakstabilan itu sendiri. Pertanyaan diatas selalu

membawa kita pada suatu konsep yang dikenal dengan

”Macroprudential”. Walaupun belum ada definisi baku

pengertian makroprundesial tetapi secara umum ada

hubungan erat dengan konsep ”Microprundential”

yang selama ini kita kenal. Komparasi konsep ini ada

di table 3.

Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa macroprudential

bertujuan membatasi risiko krisis yang terjadi pada

suatu perekonomian dengan dampak kerugian produksi

ekonomi suatu negara. Sementara microprudential

merupakan upaya untuk mencegah terjadinya krisis

pada individu lembaga keuangan yang dapat merugikan

nasabah atau investor lembaga keuangan dengan

mengabaikan dampaknya terhadap perekonomian

secara keseluruhan. Dengan demikian dapat diringkas

tujuan dari makroprudensial adalah berada pada wilayah

ekonomi makrotradisional sementara untuk

microprudential bertujuan perlindungan terhadap

nasabah lembaga keuangan. Dalam perspektif

manajemen keuangan, makroprudensial bertujuan

mencegah terjadinya kejadian ekstrim (tail event) pada

portofolio semenatara mikroprudensial diarahkan untuk

mencegah terjadinya kejadian ekstrim pada satu

sekuritas atau instrumen keuangan.

Karena itu bagi otoritas keuangan, macroprudential

merupakan alat yang dapat membantu otoritas dalam

menjaga stabilitas sistem keuangan. Walaupun tujuanya

berbeda yaitu macroprudential bertujuan menjaga sistem

sementara microprudential bertujuan menjaga lembaga

keuangan, namun keduanya memiliki keterkaitan yang

erat. Selama ini tangung jawab menjaga mikroprudensial

ada di lembaga pengawas jasa keuangan baik itu bank

sentral maupun lembaga diluar bank sentral. Satu hal

yang pasti adalah dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan, pendekatan macroprudential dan

microprudential harus menjadi kesatuan.

Peran penting yang terkait dengan stabilitas sistem

keuangan adalah yang terkait dengan fungsi penyediaan

dana likuiditas kepada perbankan. Fungsi ini merupakan

bagian dari fungsi jaring pengaman sektor keuangan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

selain perlindungan nasabah deposan lewar Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS). Bank Indonesia berperan

dalam jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi

bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).

Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia

sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna

menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank

Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard

sehingga pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan

yang ketat harus diterapkan dalam mekanisme lender

of last resort tersebut.

E. Kesimpulan dan Implikasi

Independensi bank sentral merupakan tema utama

diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal

tahun 1990-an karena negara yang memiliki bank sentral

yang independen memiliki tingkat inflasi yang lebih

rendah. Temuan ini menimbulkan arus baru penelitian

yang mencoba mencari kaitan secara detail kenapa inflasi

bias menjadi lebih rendah. Jawabanya terletak pada

perspektif kebijakan bank sentral yang berdimensi jangka

panjang dan kredibilitas kebijakan yang ditempuhnya.

Temuan ini sangat penting karena stabilitas harga

merupakan fondasi seluruh stabilitas ekonomi yang lain.

Stabilitas harga menjadi fondasi bagi berjalanya ekonomi

pasar yang baik. Ini berarti stabilitas harga menjadi syarat

yang harus dipenuhi agar pereknomian berjalan dengan

baik. Karena itu independensi bank sentral harus

diperkuat untuk menjamin kepentingan ekonomi jangka

panjang dijaga sebagai penyeimbang kepentingan politisi

yang dimensinya hanya lima tahun sesuai siklus pemilu.

Trend yang terjadi pada awal tahun 2000-an yang

memisahkan fungsi pengawasan lembaga keuangan

dari bank sentral telah menimbulkan fenomena kebijakan

kaca mata kuda (single focus policy). Otoritas bank

sentral, yang sesuai mandatnya adalah bertanggung

jawab menjaga stabilitas nilai uang, akhirnya

memfokuskan semua kebijakanya untuk mencapai

inflasi. Bank sentral menjadi kurang peduli dengan tugas

lembaga Negara yang lain bahkan dunia usaha. Selama

ada ancaman inflasi, suku bunga akan dinaikan. Selama

inflasi rendah maka kebijakan moneter yang longgar

akan dilakukan.

Dari berbagai kajian teoritis dan pengukuran empiris

membuktikan kestabilan sistem keuangan bukan

merupakan suatu hasil yang dengan sendirinya tercipta.

Kestabilan sistem keuangan merupakan hasil dari

suatu proses yang terencana dan merupakan hasil dari

sinergi bank sentral, pemerintah, lembaga keuangan

dan semua perilaku alami. Untuk mencapai dan

mempertahankan stablitas sistem keuangan, diperlukan

intervensi kebijakan. Disinilah peran baru bank sentral

yang memerlukan kekuasaan pengawasan bank yaitu

untuk memastikan kesehatan mikroprudensial. Menjaga

agar kesehatan bank terjaga sangat penting terlebih

dengan keterkaitan perbankan dalam sistem

pembayaran dan kebijakan moneter, pengawasan

perbankan sangat penting itu untuk memastikan

kebijakan yang tepat dalam mengatasi dan mencegah

terjangkitnya ketidakstabilan.

Kedepan peran bank sentral dalam pencegahan krisis

akan menjadi peran utama yang menuntut kewenangan

yang lebih besar dari sisi supervisi mikro-makroprudensial

maupun dalam regulasi risiko sistemik. Apakah

kewenangan ini akan dapat diperoleh bank sentral

mengingat kewenangan ini diberikan oleh politisi

(DPR dan Pemerintah)? Ini pertanyaan besar kita.

Terlebih, selama ini memang ada pendangan yang salah

terhadap fungsi BI sebagai bank sentral. Kesan ini

secara implisit diakui oleh Gubernur BI, yang sebelumnya

merupakan bagian pemerintah saat di Kementrian

Keuangan. Sebagai pengusul OJK, Darmin Nasution,

merasa paling bertanggung jawab dengan tarik ulur

pembentukan OJK. Setelah menjadi petinggi BI, beliau

menyadari terjadinya kesalahan dalam mempersepsi

peran bank sentral. Pemerintah selama ini melihat BI

dalam suasana “negatif” sehingga BI sering dipandang

sebagai “negara dalam Negara”. Akibatnya perspektif

negatif terhadap BI sangat kuat dan melihat isu conflict

of interest dalam penataan sektor moneter dan

perbankan sebagai masalah besar. Walaupun sebenarnya

kondisi conflict of interest ini menguntungkan karena

BI tidak akan menaikan suku bunga sangat tinggi. Aneh

kalau pemisahan pengawasan ini terkesan supaya BI

bisa bebas menaikan suku bunga. Di sisi lain kita selalu

menyerukan agar suku bunga turun.

32

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Alasan bahwa BI membutuhkan perbankan dalam mengelola

kebijakan moneter adalah fakta dan realitas. Tanpa adanya

kewenangan untuk mengawasi maka BI akan kehilangan

salah satu kaki untuk keberhasilan pengelolaan dan kebijakan

moneter. Teori saluran kredit dalam literatur moneter masih

sangat kuat karena memang perbankan masih menguasai

80% dari porsi pembiayaan nasional. Karena itu, dengan

berbagai pertimbangan tersebut, Pengawasan Bank tetap

berada di bawah Gubernur BI dikonstruksikan sebagai jalan

tengah kepentingan stabilisasi dan efektifitas pengawasan

mikroprudensial perbankan.

Sudah seharusnya akses untuk memperoleh informasi kondisi

mikroprudensial diberikan ke otoritas yang bertanggung

jawab dalam masalah makroprudensial walaupun OJK ada.

Tanpa akses yang cepat, tepat dan mudah maka tugas

makroprudential tidak akan berhasil. Kebutuhan akan

kewenangan ini harus ada dan bukan ada karena belas

kasihan lembaga lain. Terlebih ketika krisis mulai terjadi,

maka proses tarik ulur terkait akses ini bisa menghancurkan

kepercayaan pasar dan memicu permasalahan lain yang

lebih besar yaitu distrust kelembagaan. Bagaimana mau

mengatasi krisis jika antar lembaga negara yang bertanggung

jawab masalah ekonomi saling bertikai. Kalau proses ini

tidak diatur maka sekat kelembagaan akan menjadi kendala

yang serius dalam perumusan kebijakan yang tepat dan

cepat pada kritis dan implemetasi kebijakan itu di publik.

Inilah titik kritis jika RUU OJK diundangkan tanpa memberi

jaminan akses kepada BI untuk memantau langsung kondisi

perbankan.

33

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

34

Daftar Pustaka

Barro, R and D Gordon (1983), `Rules, Discretion and Reputation in a Model of Monetary Policy', Journal of Monetary

Economics.

Borio Claudio : “Towards a macroprudential framework for financial supervision and regulation?”, Monetari and Economic

Department, February 2003

Chant, J. (2003), Financial Stability as a Policy Goal , in: J. Chant, A. Lai M. Illing and F. Daniel (eds), Essays on Financial

Stability, Bank of Canada Technical Report, No. 95. Ottawa.)

Crockett, Andrew (1997) ’Why is Financial Stability a Goal of Public Policy?’, paper presented at Maintaining Financial Stability

in a Global Economy Symposium, the Federal Reserve bank of Kansas City, August 28-30.

Cukierman, A, S Edwards and G Tabellini (1990), `Seigniorage and Political Instability', CEPR Discussion Paper No. 381.

Cukierman , Kiguel and Liviatan , (1992), How much to commit to an exchange rate rule: balancing credibility and flexibility,

No 931, Policy Research Working Paper Series , The World Bank

Davies, E Philip, (2002), A Typology of Financial Instability, Financial Stability Report, No.

Deutsche, Bundesbank (2003), Report on the stability of the german financial system, Monthly report, Frankfurt, December

Dvorsky, S, (2000), Measuring Central Bank Independence in Selected Transition Countries and the Disinflation Process ,

BOFIT Discussion Paper No. 13/2000

Epstein, GA, (19920 "Political Economy and Comparative Central Banking", Review of Radical Political Economics , vol. 24(1),

Spring, pp. 1-32.

Fischer, Stanley (1994), ‘Modern Central Banking.’ In The Future of Central Banking, Forrest Capie, Charles A. E. Goodhart,

Stanley Fischer, and Norbert Schnadt, eds., Cambridge University Press, pp. 262-308.

Goodhart, C A E (1995) ‘The Central Bank and The Financial System’, MIT Press, Cambridge, MA.

Goodhart, C A E and Huang, H (1999) ‘a Model of The Lender of Last Resort’, LSE Financial Markets Group Discoussion

Paper, dp0131.

Haldane A. (2001), The Resolution of International Financial Crises : Private Finance and

Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for

International Economics.

Hoggarth, Glenn, Peter Sinclair, and Jack Reidhill (2003) Resolution of Bank Crises Failures: A Review, Financial Stability

Review, Bank of England, December.

Hoggart, Glenn, Saporta V. (2001), Cost of Banking System Instability, Financial Stability Review, Bank of England, Junne.

Kydland, F., and E. C. Prescott (1977). "Rules Rather than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans". Journal of Political

Economy: 473–492.

Lopes, Melinda, Central Bank And The Sources Of Financial Stability, Paper Presented In The 12th Annual Conference On

Pacific Basin Finance, Economics, Accounting, And Business Bangkok, Thailand August 10-11, 2004.

Mishkin, Frederick (2001), ‘Financial Policies and The Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries’, NBER

Working Paper No. 8087, January.

-______(1999), Global Financial Instability: Framework, Events, Issues, Journal of Economic Perspectives, Vol.13, No. 4

Mongid, Abdul, (2004), ‘Roads to Achieve Financial System Stability In ASEAN’, Paper for the 16th MEA Convention on

December 9, 2004 and the 29th Conference of the Federation of ASEAN Economic Associations (FAEA), Institute

Integrity of Malaysia, Persiaran Duta, Off Jalan Duta, Kuala Lumpur, Malaysia, December 10-11, 2004

Owen, E, M. Leone, M.Gill, and P. Hilbers (2000), Macroprudential Indicators of Financial System Soundness, OC Paper 192,

INTERNATIONAL MONETARY FUND Washington DC, April 2000

Rogoff, K (1985), `The Optimal Degree of Commitment to an Intermediate Monetary Target', Quarterly Journal of Economics.

Santoso, Wimboh (2007) ‘Effective Financial System Stability Framework’, The SEACEN Centre, Occasional Paper No.45,

September

Schwarts, Anna J. (1993). “ Currency Boards: Their Past, Present, and Possible Future Role,” Carnegie-Rochester Conference

Series on Public Policy, 39, 147-187.

Sinclair, P.J.N. (2000) ‘Central Banks and Financial Stability. Bank of England Quarterly Bulletin, Vol. 40, No. 4, November,

2000.

Stiglitz, Joseph (1999), ‘Lesson from East Asia’, Journal of Policy Modeling 21 (3) pp. 311-330.

______(2002), Globalization and its Discontents, W.W. Northon & Co.

Sturm , Jan-Egbert and Jakob de Haan, (2001), Inflation in Developing Countries: Does Central Bank Independence Matter?

New Evidence Based on a New Data Set,

http://www.unikonstanz.de/monec/teaching/WS04/monpol/material/sturmdehaan2001is.pdf

Sturm , Jan-Egbert and Jakob de Haan, (2001), Inflation in Developing Countries: Does Central Bank Independence Matter?

New Evidence Based on a New Data Set,

http://www.unikonstanz.de/monec/teaching/WS04/monpol/material/sturmdehaan2001is.pdf

35

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

36

Tommaso Padoa-Schioppa, (2002), ‘Central Banks and Financial Stability: Exploring a land in between’, Second ECB Central

Banking Conference, Frankfurt am Main, October.

Turner, Adair, 2009, The financial crisis and the future of financial regulation, The Economist’s Inaugural City Lecture , 21

January 2009

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Otoritas Jasa Keuangan sudah ditangan DPR RI. Tinggal menunggu

jadwal untuk dibahas bersama dengan Pemerintah. RUU tersebut terdiri dari 11 Bab, 53 Pasal yang disusun dengan sistimatika

sebagai berikut.

Bab I – Ketentuan Umum

Bab ini memuat pengertian beberapa istilah yang dipergunakan dalam RUU. Diantaranya memuat pengertian

istilah perbankan dan keuangan non bank:

a. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,

serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan

prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai perbankan.

b. Industri Keuangan Non Bank yang selanjutnya disingkat IKNB adalah kegiatan jasa keuangan yang disediakan

oleh lembaga keuangan selain bank yang mencakup Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, Lembaga

Penjaminan, Pergadaian, Perusahaan Perasuransian, dan lembaga yang menyelenggarakan program jaminan

sosial, pensiun, dan kesejahteraan yang bersifat wajib, serta industri keuangan non bank lainnya.

Bab II – Pembentukan, Tempat Kedudukan, dan Tugas

Dalam bab ini ditentukan bahwa dengan Undang-undang ini dibentuk Otoritas Jasa Keuangan. Diatur pula

pengertian Otoritas Jasa Keuangan yaitu lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.

Selanjutnya diatur pula tugas pengaturan dan pengertian Otoritas Jasa Keuangan.

Bab III – Dewan Komisioner, Komite Eksekutif, Organ Pendukung dan Kepegawaian

Bab ini mengatur kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Dewan Komisioner yang mempunyai 7 (tujuh)

orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Dewan Komisioner terdiri atas:

a. Seorang ketuamerangkap anggota;

b. 3 (tiga) orang Kepala Eksekutif merangkap anggota; dan

c. 3 (tiga) orang anggota.

Bab III terdiri dari 21 pasal.

Bab IV – Kerahasiaan Informasi

Dalam bab ini diatur larangan untuk pejabat atau orang-orang tertentu untuk menggunakan atau mengungkapkan

informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain.

Bab V – Rencana Kerja, Anggaran, dan Pembiayaan

Dalam bab ini ditentukan bahwa Dewan Komisionaris menyusun rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa

Keuangan. Selain itu diatur pula mengenai pembiayaan sebagai berikut:

37

Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa KeuanganOleh Oka Mahendra, SH. 1

1 Ahli Perancangan Peraturan Perundang-undangan

a. Otoritas Jasa Keuangan menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah

yang sedang dalam upaya penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan di bidang perbankan.

b. Otoritas Jasa Keuangan menyerahkan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik kepada Lembaga

Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

c. Dalam rangka penyelesaian dan penanganan bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik, Otoritas Jasa

Keuangan wajib menginformasikan kepada forum stabilitas sistem keuangan tentang bank gagal yang ditengarai

berdampak sistemik.

Bab VI – Pelaporan dan Akuntabilitas

Otoritas Jasa Keuangan diwajibkan menyusun laporan tahunan yang terdiri atas laporan kegiatan dan laporan

keuangan. Laporan tersebut wajib disampaikan kepada DPR dan juga kepada Presiden. Laporan tersebut diaudit

oleh BPK atau akuntan publik.

Bab VII – Hubungan dengan Lembaga Lain

Dalam bab ini diatur hubungan koordinasi kerjasama Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lain, seperti Bank

Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melalui forum stabilitas sistem keuangan.

Selain itu diatur pula peluang bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan hubungan internasional.

Bab VII– Penyidikan

Bab ini mengatur mengenai penyidik PPNS dengan kewenangannya, antara lain:

a. Pengalihan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang Perbankan dari Bank Indonesia

kepada Otoritas Jasa Keuangan dilakukan secara bertahap dan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam

waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini diundangkan.

b. Untuk 2 (dua) tahun pertama setelah tugas dan wewenang pengaturan pengawasan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) beralih, pembiayaan penyelenggaraan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di

bidang Perbankan berasal dari anggaran Bank Indonesia.

Bab IX – Ketentuan Pidana

Dalam bab ini dimuat beberapa perbuatan pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara dan denda.

Bab X – Ketentuan Peralihan

Dalam bab ini diatur kondisi-kondisi dalam masa peralihan.

Bab XI – Ketentuan Penutup

RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan didusun dengan pertimbangan antara lain:

1. Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan industri jasa

keuangan yang sehat, teratur, dan mempunyai daya saing yang tinggi.

2. Untuk itu diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan

yang berkaitan dengan tugas pengawasan tersebut.

3. Sebagai pelaksanaan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.

Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia memuat pokok pikiran sebagai berikut:

1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dengan Undang-undang.

38

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah

dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR.

3. Dalam melaksanakan tugasnya lembaga tersebut (supervisory body) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank

Indonesia.

4. Koordinasi dan kerjasama tersebut diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.

5. Lembaga pengawasan tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan

bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia, serta keterangan dan data

makro yang diperlukan.

6. Pengalihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan dilakukan secara

bertahap setelah dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang.

7. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember

2010.

8. Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, menurut Pasal 35 UU

tentang Bank Indonesia maka tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Batas waktu pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut tinggal 4 bulan lagi. Meskipun waktu

yang tersedia relatif pendek, namun pembahasan RUU tersebut harus dilakukan secara cermat dan mendalam. Berbagai aspek

perlu dipertimbangkan agar kondisi perbankan semakin membaik dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Keputusan politik yang diambil oleh pembentuk Undang-undang akan sangat menentukan format pengawasan terhadap bank

di masa mendatang. Pembentuk Undang-undang perlu belajar dari pengalaman sejarah pengawasan bank di tanah air dan

juga dari pengalaman sejarah negara lain dalam mengatur pengawasan terhadap bank. Sekiranya UU tentang Otoritas Jasa

Keuangan belum disahkan samapai tanggal 31 Desember 2010, berlaku ketentuan Pasal 35 UU tentang Bank Indonesia.

Sehubungan dengan pembahasan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan bersama ini disampaikan catatan hukum

sebagai berikut:

1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, tidak boleh mengganggu, tetapi harus mendukung peran Bank

Indonesia sebagai Bank Sentral yang antara lain berwenang merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter mengatur

dan mengawasi perbakan, serta menjalankan fungsi sebagai “lender of the last resort”.

2. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan agar dapat menciptakan kondisi kondusif untuk tumbuhnya

industri jasa keuangan yang sehat, berkelanjutan, dan berdaya saing.

3. Materi mutan yang diatur dalam Undang-undang tidak boleh mempersempit atau memperluas mandat yang didelegasikan

oleh Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia.

4. Terhadap hal-hal yang secara expersis verbis ditentukan dalam Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya,

serta pasal yang terkait harus dilaksanakan secara taat asas.

5. Mengingat pelaksanaan pengawasan terhadap bank sangat erat kaitannya dengan peran Bank Indonesia sebagai penanggung

jawab kebijakan moneter maka kerjasama dan koordinasi dengan Bank Indonesia sangat penting untuk diatur secara jelas

dalam Undang-undang.

6. Mengenai nama Undang-undang

a. Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia tidak secara jelas menentukan nama undang-undang, tetapi mengisyaratkan

nama Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK).

b. Nama Otoritas Jasa Keuangan secara etimologis bermakna otoritas tersebut diberi kewenangan yang luas.

7. Sifat lembaga

a. LPJK merupakan lembaga yang independen dalam menjalankan tugasnya.

b. Dalam Pasal 2 ayat (2) RUU ditentukan ”Otoritas Jasa Keuangan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-

undang ini”.

39

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Dalam Penjelasan Umum antara lain dikemukakan bahwa independensi Otoritas Jasa Keuangan diwujudkan dalam 2 hal,

yaitu:

a. secara kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem pemerintahan RI.

b. Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian atas jabatannya.

Independensi Otoritas Jasa Keuangan tampaknya sulit diwujudkan karena:

a. Proses pengisian anggota Dewan Komisioner sebagaimana diatur dalam Pasal 5 RUU sebagian besar diisi secara ex

officio (5 diantara 7 anggota Dewan Komisioner),yaitu 1 dari Bank Indonesia, 1 dari Kementerian Keuangan, dan 3 dari

unsur Otoritas Jasa Keuangan.

b. Karena ex officio maka masa jabatan Dewan Komisioner tersebut tergantung kepada masa jabatan pada instansi asalnya.

c. Tidak ada kesetaraan dalam proses rekrutmen. Ada yang perlu mendapat konfirmasi DPR, ada yang diusulkan melalui

Menteri Keuangan kepada Presiden dan ada yang langsung kepada Presiden, yaitu yang berasal dari Kementerian

Keuangan (periksa Pasal 6 RUU)

d. Sebagai konsekuensi proses rekrutmen seperti tersebut di atas terdapat kecenderungan bahwa anggota Dewan Komisioner

dari instansi tertentu terpengaruh oleh kebijakan instansinya.

Sehubungan dengan itu proses rekrutmen anggota Dewan Komisioner perlu diperbaiki. Ada beberpa pola yang dapat diacu,

yaitu pola rekrutmen KPK, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, atau Komisi Yudisial.

8. Jumlah Dewan Komisioner perlu dipertimbangkan untuk merampingkan agar lebih efektif dan efisien. Kiranya Dewan

Komisione cukup 5 orang. Struktur organisasi Otoritas Jasa Keuangan perlu dipertimbangkan kembali agar tidak ada kesan

Otoritas Jasa Keuangan dalam Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (4) yunto Pasal 20, dan Pasal 21, Kepala Eksekutif

mempunyai kewenangan yang luas baik dalam menetapkan kebijakan operasional pengawasan, menetapkan aturan,

melakukan pengawasan, maupun menetapkan sanksi administratif. Tiga kewenangan menumpuk di tangan Kepala Eksekutif

tanpa mekanisme kontrol yang jelas. Pasal 13 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf f RUU secara sumir menentukan bahwa

Dewan Komisioner mempunyai fungsi dan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan

oleh Kepala Eksekutif. Perlu dicatat bahwa Kepala Eksekutif adalah juga anggota Dewan Komisioner. Selain itu ketentuan

pidana yang diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan, menambah perkasa Kepala Eksekutif.

Sebab setiap orang yang sengaja mengabaikan, tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan Kepala

Eksekutif, diancam dengan pidana. Penumpukan kewenangan disatu jabatan dalam organisasi tidak sejalan dengan prinsip

pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances yang jelas. Sifat kolektif Dewan Komisioner sebagaimana

diatur Pasal 5 ayat (2) kehilangan maknanya.

9. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan di luar pemerintah. Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih selain seperti yang diatur

dalam RUU. Pilihannya antara lain kedudukannya sebagai bagian dari lembaga independen atau badan hukum publik yang

mandiri. Bila ditempatkan sebagai bagian dari lembaga independen, tentunya lembaga yang bergerak di bidang pengawasan

jasa keuangan, untuk keterpaduan pengawasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa

Keuangan dan untuk efisiensi.

10. Tugas Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan tugas Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan

dan pengawasan secara terpadu, independen, dan akuntabel terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan;

b. ..……..

c. ……….

40

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

41

Menurut Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga

pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut fungsinya

antara lain melakukan pengawasan terhadap bank …. dan seterusnya. Lembaga tersebut yang ditekankan sebagai supervisory

body dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi

dengan Bank Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan tugas pengawasan terhadap bank dalam ketentuan ini? Bila

merujuk kepada UU tentang Bank Indonesia tugas pengawasan dimaksud meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 27 s/d

Pasal 33 UU tentang Bank Indonesia sebagai berikut:

a. Pengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27).

b. Mewajibkan bank menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan (Pasal

28 ayat (1)).

b. Pemeriksaan berkala maupun setiap waktu (Pasal 29 ayat (1)).

c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan tertentu (Pasal 31).

d. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank (Pasal 32).

e. Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait perbankan yang berlaku dalam

hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkuta

dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian

nasional (Pasal 33).

Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) antara lain dikemukakan bahwa Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan

yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dngan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta

penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.

Sehubungan dengan itu rumusan Pasal 4 ayat (1)dan ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan dengan

ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya, serta pasal yang terkait. Demikian pula Penjelasan

Umum RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan yang beberapa kali mengulang pernyataan yang kurang tepat bahwa Pasal

34 UU tentang Bank Indonesia “memberikan otoritas pengaturan dan pengawasan kepada lembaga pengawasan sektor

jasa keuangan” atau untuk ”menyelenggarakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di

bidang Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB”.

11.Secara teknis perundang-undangan apakah UU tentang Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan atau membolehkan

instansi lain untuk melaksanakan tugas atau kegiatan tertentu? Periksa Pasal 37, Pasal 46 ayat (2), Pasal 48, Pasal 49 ayat

(1) dan Pasal 50 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya subyek yang diatur UU tentang Otoritas Jasa Keuangan

adalah Otoritas Jasa Keuangan. Karena itu formulasi pasal-pasal tersebut perlu disempunakan agar tidak terkesan mengatur

instansi atau lembaga lain yang tunduk kepada Undang-undang tersendiri yang menjadi dasar hukum pembentukannya

atau yang memberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang tertentu.

12.Pasal 37 ayat (2) UU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dapat

berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan bersama atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Pertanyaannya

ialah apakah pengawasan disini berupa pengawasan makro atau mikro atau keduanya? Perlu dikemukakan bahwa

kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan merupakan bagian dari fungsi Bank Indonesia sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 8 UU tentang Bank Indonesia.

13.Pasal 37 ayat (4) menentukan “dalam pengawasan bersama Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung

dan/atau tidak langsung terhadap bank”. Ayat ini mengatur kembali apa yang sebetulnya merupakan kewenangan Bank

Indonesia. Bukankah kewenangan Bank Indonesia tersebut telah diatur dalam UU tentang Bank Indonesia?

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

14.Jenis-jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Ada 3 jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:

a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2).

b. Peraturan Dewan Komisioner yang mengikat dilingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 1 angka 3).

c. Peraturan Kepala Eksekutif sebagai aturan teknis dalam rangka pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau

Peraturan Dewan Komisioner dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 4).

Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penjelasan Pasal 7 ayat (4)

memang dikenal adanya jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga yang pembentukannya

berdasarkan Undang-undang. Tetapi jenis peraturan seperti itu hanya diakui dan mengikat bila diperintahkan pembentukannya

oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi dalam hal ini tidak dikenal adanya atribusi kewenangan

pengaturan seperti ditentukan dalam UU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya hanya ada satu jenis peraturan yang

dapat dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang jelas-jelas didelegasikan

pembentukannya oleh UU tentang Otoritas Jasa Keuangan.

15.Pasal 30 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan memberi kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan

dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap pasal ini, yaitu:

a. Ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang mewajibkan industri jasa keuangan untuk membayar biaya

tertentu kepada Otoritas Jasa Keuangan? Biaya apa yang dimaksud?

b. Apakah biaya tersebut termasuk PNBP atau bukan?

c. Besaran biaya apakah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau oleh instansi lain? Apa dasarnya?

d. Perlu dicek apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang telah member kewenangan kepada instansi

lain untuk memungut biaya dimaksud?

Bila hal tersebut tidak jelas pengaturannya, dikawatirkan terjadi tumpang tindih/duplikasi pemungutan biaya yang akan

memberatkan industri jasa keuangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

16.Pelaporan dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan

dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia yang menentukan Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan

laporan kepada BPK dan DPR.

17.PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 41 apakah dapat diangkat dari Pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Otoritas Jasa

Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan? Ketentuan tentang PPNS

tersebut perlu diharmonisasikan dengan KUHAP dan UU tentang Kepegawaian.

18.Ketentuan peralihan terutama yang berkaitan dengan pengalihan status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang

melaksanakan tugas dan wewenang di bidang pengawasan bank, pengaliahan infrastruktur dan kekayaan negara pada

Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, untuk

digunakan sementara oleh Otoritas Jasa Keuangan agar dipertimbangkan dengan seksama. Jangan jangan tidak ada lagi

yang tersisa di Bank Indonesia karena semua hal tersebut merupakan infrastruktur dan kekayaan yang diguakan untuk

mendukung tugas pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Selain itu ketentuan Pasal 46 ayat

(1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu ditelaah dengan seksama terutama mengenai:

a. Apakah yang dialihkan dari Bank Indonesia tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan atau tugas yang secara

ekplisit ditentukan dalam Pasal 34 ayat (1)

UU tentang Bank Indonesia?

42

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

b. Apakah waktu 3 tahun cukup dan bagaimana agendanya secara rinci sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal

34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia?

c. Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia dikemukakan penyerahan bertahap tersebut dilaporkan

kepada DPR, tetapi RUU tidak menyinggung hal tersebut.

Satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi dan peran bank central

dalam pengawasan prudential di dunia perlu dijadikan pertimbangan. Masahiro Kawai and Michael Pomerleano (ADB

Institute No. 189, January 2010, halaman 10 antara lain mengemukakan ”Of the 84 countries listed in the table, 30 have

an integrated prudential supervisor, 20 have supervisory agencies in charge of two types of financial intermediaries, and

34 have multiple sectoral supervision. The central bank of 48 countries (57% of the total) have the authority of banking

supervision, and of these 48 countries 39 (81%) are developing and emerging economies. It is informative to note that in

countries with multiple sectoral supervisors, central bank almost always have this supervisory authority.”

Sebagai catatan akhir dapat dikemukakan satu pertanyaan yang perlu dijawab pembentuk Undang-undang, yaitu siapakah

yang mengawasi Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan cukup besar dalam mengawasi industri jasa keuangan

yang menjadi urat nadi perekonomian nasional?

43

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Halaman ini sengaja dikosongkan

Sejenak setelah membaca judul buku terbaru karya Prof.

Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, tak banyak dari pembaca yang

bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud dari ‘konstitusi

ekonomi’. Hal ini sangat wajar karena literatur/referensi

mengenai ekonomi maupun hukum yang membahas materi

‘konstitusi ekonomi (economic constitution) masih sangat

jarang baik di Indonesia maupun di dunia. Wacana tentang

konstitusi ekonomi itu sendiri dapat dikatakan memang

masih baru. Namun, usaha untuk mengaitkan konstitusi

dengan perekonomian di berbagai negara sebenarnya

sudah dimulai sejak lama. Sejak tahun 1918, Soviet-Rusia

yang bersifat komunis telah mencantumkan pasal-pasal

perekonomian dalam undang-undangnya. Sedangkan di

Jerman yang menganut paham liberal, sejak Konstitusi

Weimar 1919 telah mengadopsi ide pengaturan prinsip-

prinsip kebijakan ekonomi dalam undang-undang dasar.

Tradisi tersebut juga dikembangkan secara lebih luas oleh

Irlandia dalam Konstitusi tahun 1937 dengan memperkenalkan

konsep Directive Principles of Social Policy (DPSP) yang

kemudian ditiru oleh banyak Negara non-komunis.

Pengertian dan Pentingnya

Prof. Jimly dalam bukunya tersebut menguraikan pengertian

dan pentingnya konstitusi ekonomi di suatu Negara.Suatu

konstitusi disebut sebagai Konstitusi Ekonomi jika memuat

kebijakan ekonomi. Kebijakan-kebijakan itulah yang akan

memayungi dan memberi arahan bagi perkembangan

kegiatan ekonomi suatu negara. Pengaturannya dapat

bersifat rinci dan eksplisit maupun bersifat fleksibel atau

bahkan hanya memuat rambu-rambu filosofis yang bersifat

implisit (misalnya di Amerika Serikat, Kanada, Australia,

dan Jepang). Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dituangkan

dalam konstitusi suatu Negara tersebut bersifat mutlak

dan tidak boleh dilanggar oleh penentu kebijakan ekonomi

yang bersifat operasional. Jika kebijakan-kebijakan ekonomi

tersebut bertentangan dengan UUD, maka tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Di negara-negara demokrasi konstitusional selalu terdapat

mekanisme peradilan untuk membatalkan atau menyatakan

bahwa undang-undang atau sebagian materi undang-

undang yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat, hal inilah yang biasa disebut judicial

review, di Indonesia fungsi ini dilaksanakan oleh Mahkamah

Konstitusi.

Pada buku Prof.Jimly sebelumnya yang berjudul Green

Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (2009), beliau menguraikan

kecenderungan menuangkan kebijakan lingkungan hidup

dalam bentuk undang-undang yang dapat dipaksakan

berlakukanya secara imperatif. Namun, karena ternyata

hanya diatur dengan undang-undang saja, daya paksa

kebijakan lingkungan itu tidak cukup kuat dan efektif

menghadapi persaingan dengan kepentingan lain. Mirip

dengan hal tersebut, berbagai kebijakan ekonomi yang biasa

dituangkan dalam bentuk undang-undang sering disusun

tanpa rambu-rambu hukum yang dapat dijadikan acuan

yang mengikat. Sehingga berkembang kebutuhan untuk

menuangkan dasar-dasar kebijakan ekonomi itu dalam

konstitusi yang dapat dijadikan pegangan oleh legislatif

sebagai penentu kebijakan Negara dan pemerintahan (policy

maker) dalam menyusun suatu undang-undang di bidang

perekonomian.

Secara umum, buku karya Prof Jimly ini memusatkan

perhatian pada fenomena konstitusi ekonomi dengan

45

Resensi Buku

Judul : Konstitusi EkonomiPenulis : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SHPenerbit : Penerbit Buku Kompas, Januari 2010 (ISBN: 978-979-709-465-2)Halaman : xvi + 440 halamanOleh : Veri D. Adhiraharja

menguraikan aspek-aspek UUD 1945 sebagai konstitusi

ekonomi. Isi buku terdiri atas delapan bab, yaitu (1)

Kedudukan Konstitusi dalam Penyelenggaraan Negara, (2)

Wacana Konstitusi Ekonomi, (3) Konstitusi Ekonomi Pelbagai

Negara, (4) Konstitusi Ekonomi Indonesia Sebelum

Reformasi, (5) Konstitusi Ekonomi Indonesia Pascareformasi,

(6) Mahkamah Konstitusi dan UU tentang Perekonomian,

(7) Realisme dan Konstitusionalisme Kebijakan Ekonomi,

dan (8) Simpulan dan Penutup.

Tipe Konstitusi Ekonomi

Dari sejumlah konstitusi yang diperbandingkan dalam buku

ini, secara umum terdapat empat tipe konstitusi ekonomi,

yaitu Pertama, konstitusi Liberal-Kapitalis, seperti Amerika,

Kanada, Inggris dan Australia. Pada tipe ini memandang

bahwa soal-soal perekonomian biasa dilihat sebagai

persoalan yang timbul dan dapat diselesaikan sendiri dalam

masyarakat sesuai mekanisme pasar. Sehingga dalam

perumusan materi terkait dengan ekonomi dan keuangan

dalam konstitusinya hanya yang berhubungan dengan

moneter, fiskal dan anggaran.

Kedua, Konstitusi Ekonomi Negara komunis, seperti China,

Soviet-Rusia, Vietnam dan Korea Utara. Pada dasarnya pada

konstitusi ekonomi negara yang termasuk dalam tipe kedua

ini, menyebutkan bahwa semua sarana dan prasarana

produksi dimiliki oleh negara, organisasi masyarakat dan

koperasi. Kekayaan milik negara merupakan hak milik seluruh

masyarakat. Sehingga pemerintah mempunyai peranan utama

dalam kegiatan ekonomi di negara-negara berpaham komunis.

Tipe konstitusi ekonomi yang ketiga, Konstitusi Ekonomi

Negara-negara eks komunis, seperti Polandia, Hongaria dan

Polandia. Setelah runtuhnya komunisme, pada kelompok

ini telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar ke

arah liberalisme.

Keempat, adalah Konstitusi Ekonomi negara-negara non

komunis, seperti Perancis, Brasil, Spanyol, Filipina, dan

India. Pada tipe ini secara umum mencantumkan materi

perekonomian lebih lengkap dalam konstitusinya. Bahkan

pada konstitusi di beberapa negara memberikan

kewenangan kepada lembaga/badan independen tertentu

untuk berperan dalam pengembangan ekonomi di

negaranya, misalnya Dewan Ekonomi dan Sosial di Perancis

dan Badan Perencanaan Ekonomi di Filipina.

Namun demikian pada dasarnya semua konstitusi ekonomi

di dunia selalu mengatur sekurang-kurangnya (i) tentang

penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam

sebagai warisan kehidupan, (ii) tentang konsepsi hak milik

perorangan, dan (iii) mengenai peranan negara dan

perusahaan negara dalam kegiatan usaha. Bahkan, banyak

juga konstitusi yang mengatur kebijakan ekonomi itu secara

lebih luas dan terperinci.

UUD 1945: Konstitusi Ekonomi Indonesia

Melihat keempat tipe konstitusi ekonomi sebagaimana

disebutkan di atas, Indonesia lebih pas masuk dalam kategori

Konstitusi Ekonomi nonkomunis.Hal ini terlihat dengan jelas

setelah reformasi konstitusi di Indonesia berhasil diselesaikan

tahun 2002, rumusan baru pasal-pasal perekonomian dalam

UUD 1945 mencakup lingkup materi yang cukup luas dan

memepertegas konsepsi dasar di bidang perekonomian

dan kesejahteraan rakyat. Butir-butir ketentuan tersebut

mencakup (i) prinsip-prinsip dasar hak atas ekonomi dan

konsepsi mengenai hak milik, (ii) kebijakan dasar di bidang

perekonomian untuk kesejahteraan social, (iii) kebijakan

dasar di bidang kesejahteraan social, (iv) hal keuangan

Negara yang menyangkut kebijakan anggaran dan

perpajakan, (v) mata uang dan bank sentral, (vi) pemeriksaan

keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keenam hal

tersebut dibahas secara mendalam pada buku ini.

Penutup

Sebagai pendiri dan ketua pertama Mahkah Konstitusi

(2003-2008) serta sebagai penggerak wacana literatur

yang membahas konstitusi ekonomi, Prof. Jimly menjadikan

buku ini sebagai referensi utama untuk mengkaji konstitusi

ekonomi. Paparan Prof. Jimly pada buku ini disampaikan

secara deskriptif dan tak sedikit bersifat evaluatif, juga

mengupas tuntas sejarah konstitusi ekonomi di dunia.

Sedikit masukan kepada buku ini dari peresensi, khususnya

mengenai penjelasan konstitusi di berbagai negara terdapat

pengulangan pembahasan mengenai pemuatan kebijakan

lingkungan hidup pada konstitusi di suatu negara.

Akhirnya, peresensi juga merekomendasikan bahwa buku

ini sangat tepat dibaca oleh ahli dan praktisi hukum, pejabat

negara penentu kebijakan, civitas akademika dan masyarakat

umum.

46

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Pada tanggal 17 Juni 2010, Ikatan Sarjana Ekonomi

Indonesia (ISEI) mengadakan seminar dengan Judul “RUU

OJK, Adakah Solusi Alternatif” di Hotel Borobudur. Seminar

diselenggarakan dalam rangka memberikan masukan

terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang saat ini

sedang disusun oleh Pemerintah. Pembicara seminar adalah

AA. Oka Mahendra, Dr. Dradjad H. Wibowo, Drs Sigid

Pramono, MBA (Ketua Perbanas) dan Aviliani, SE, MSi.

Dalam pandangannya, pembicara berpendapat bahwa RUU

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disusun oleh Pemerintah

berdasarkan amanat Pasal 34 UU BI, dilakukan dengan

pertimbangan untuk membangun industri jasa keuangan

yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi

guna mewujudkan perekonomian yang mampu tumbuh

secara berkelanjutan dan stabil.

Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas Jasa

Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari

aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus

dilihat apakah dapat meningkatkan fungsi administratif

kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa

keuangan agar kebijakan yang telah ditetapkan dilaksanakan

secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan

bebas dari berbagai penyimpangan atau penyelewengan

dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU

OJK tidak boleh dilihat terpisah dari UU lain yang terkait.

Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU OJK hendaknya

secara sungguh mempertimbangkan best practice dan

dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan. Oleh

karena itu, dalam penyusunan RUU OJK perlu diperhatikan

perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi

dan peran bank sentral dalam pengawasan prudensial.

Pada dasarnya, Pasal 34 UU BI memuat janji karena baik

pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan kata “akan”

bukan “mewajibkan”atau “mengharuskan”. Dari ketentuan

Pasal 34 dan penjelasannya dapat diperoleh informasi

bahwa:

1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa

keuangan (LPJK) dibentuk dengan UU.

2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam

menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di

luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan

laporan kepada BPK dan DPR.

3. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga tersebut

melakukan koordinasi dan kerja sama dengan BI.

Koordinasi dan kerja sama tersebut diatur dalam undang-

undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.

4. Lembaga tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank

dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan dari BI,

keterangan dan data mikro yang diperlukan.

Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan harus

mendukung peran BI sebagai Bank Sentral, serta tidak boleh

memperluas atau mempersempit tugas, fungsi, dan

kewenangan LPJK, khususnya berkaitan dengan pengawasan

bank. Terhadap hal-hal yang secara tegas telah ditentukan

dalam UU BI menjadi fungsi, tugas dan wewenang lembaga

pengawasan dimaksud tidak terbuka untuk ditafsirkan lain,

hanya hal-hal yang belum jelas arahan pengaturannya

terbuka untuk ditafsirkan dengan menggunkan metode

peafsiran sesuai dengan doktrin hukum.

Dalam kesempatan tersebut, salah satu pembicara yaitu

Bp. AA Oka Mahendra secara tegas mengusulkan alternatif

solusi Pasal 34 UU BI, yaitu:

1. Dibandingkan “Otoritas”, nama yang lebih tepat

diusulkan adalah Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan seperti usulan Pemerintah

memiliki makna yang sangat luas, sebagai kekuasaan,

wewenang, hak melakukan tindakan atau hak untuk

membuat peraturan untuk memerintahkan orang lain

(Kamus Besar Bahasa Indonesia)

47

Cakrawala Hukum:Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?

2. Sifat kelembagaan independen, dengan status diluar

pemerintah.

3. Fungsi: melakukan pengawasan terhadap bank dan

perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi

asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan

perusahaan pembiayaan serta badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

4. Tugas dan wewenang :

a. Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan,

keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara

yang ditetapkan (Pasal 28 UU BI)

b. Melakukan pemeriksaan (Pasal 29 UU BI)

c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sebagian

atau seluruh transaksi tertentu apabila menurut

penilaian lembaga terhadap transaksi patut diduga

merupakan tindak pidana perbankan (Pasal 31 UU

BI)

d. Dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan

dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank

dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan BI

mengenai keterangan dan data makro yang

dibutuhkan (Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI)

5. Pimpinan: Dewan Gubernur/Dewan Komisioner/Dewan

Komisioner dan kepala Eksekutif/Dewan Direktur/Chief

Executif Officer (CEO).

6. Rekrutmen pimpinan: pemilihan oleh panitia seleksi

independen, diajukan oleh Pemerintah atau lembaga

Negara dengan rekomendasi atau persetujuan DPR.

7. Jumlah pimpinan 5-9 orang sesuai kebutuhan organisasi

agar tugas dapat dijalankan secara efektif dan efisien.

8. Pembiayaan: APBN dengan kewenangan pengelolaan

mandiri/biaya sendiri dari fee/sumber pembiayaan lain

yang sah.

Sementara itu Drajad Wibowo mengemukakan bahwa

kelahiran Pasal 34 UU BI merupakan kompromi politis dan

melahirkan pengaturan yang bersifat abu-abu. Dalam hal

ini Drajad menilai bahwa terdapat pertentangan antara

Pasal 8 dan Pasal 34 UU BI. Pasal 8 UU BI belum dicabut

dan bersifat definitif dan direktif, sementara itu sifat Pasal

34 UU BI adalah rencana, sebagaimana frasa “akan

dilakukan”. Berkaitan dengan amanat tersebut, yang

direncanakan (bukan diperintahkan) oleh Pasal 34 ayat (1)

UU BI adalah pembentukan LPJK. Batang tubuh Pasal 34

menyebutkan kata “pengawasan” bukan Otoritas.

Selanjutnya disebutkan bahwa lembaga pengawasan ini

dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan

pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi

Bank Indonesia. Ketentuan ini tidak secara otomatis

memberikan kekuasaan “pengaturan” tetapi hanya berupa

“dapat mengeluarkan ketentuan” yang bisa ditafsirkan

sebagai penjabaran peraturan.

Dari sisi ketentuan perundang-undangan, Drajad melihat

bahwa rencana pembentukan OJK bukan perintah UU BI.

Pasal 34 hanya merencanakan pembentukan LPJK, dengan

Pasal 8 butir c menyebutkan tugas BI adalah mengatur dan

mengawasi bank. Lebih lanjut Drajad mengemukakan bahwa

pengawasan Bank merupakan titik terlemah BI yang

membuat modal politik BI negatif. Kelemahan tersebut tidak

terletak pada investigasi, penemuan dan diagnosis masalah

oleh jajaran di bawah Dewan Gubernur, namun terletak

pada pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI.

Keberadaan lembaga pengawas keuangan yang bersifat

“integrated supervision” ataupun pengawasan oleh bank

sentral bukan merupakan sesuatu yang superior/mutlak.

Pengawasan bank yang terpisah dari bank sentralnya,

seperi FSA yang terpisah dengan Bank of England tidak

menjamin selamanya bahwa sistem perbankan akan aman.

Amerika Serikat dengan pengawasan oleh The Fed juga

mengalami kebobolan, malah menjadi sumber krisis

keuangan dunia pada tahun 2008 akibat kegagalan

mengawasi perilaku spekulatif bank dan inovasi produk

derivative berbasis subprime mortgage.

Berkaitan dengan krisis perbankan yang terjadi di Inggris,

karena dianggap tidak dapat melakukan koordinasi, maka

pengawasan bank yang semula dilakukan oleh FSA

dikembalikan kepada bank sentralnya (Bank of England).

Dari pertimbangan praktis, berdasarkan survey yang

dilakukan oleh perbanas, diketahui bahwa hampir 90%

bank masih menginginkan pengawasan dilakukan oleh

Bank Indonesia. Dalam hal ini Bank sebagai pelaku bisnis

selalu mempertimbangkan cost dan efisiensi dalam

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

mengelola bisnisnya, sehingga sangat menghindari adanya

premi yang dibebankan kepada industri. Bank menganggap

pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah

baik dan sangat ketat. Sementara itu dari pandangan

ekonom, Aviliani mengemukakan bahwa faktor koordinasi

dan integrasi pengawasan menjadi isu yang penting dalam

rangka antisipasi dan penanganan krisis, sehingga tidak

terlalu material apakah pengawasan bank ada di Bank

Sentral ataukah pada pembaga khusus yang akan dibentuk.

Dari pandangan pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa

tidak ada yang dapat menjamin suatu negara terluput dari

krisis apabila pengawasan bank dilakukan oleh bank sentral

maupun oleh lembaga di luar bank sentral. Namun

demikian, dalam rangka antisipasi krisis maka isu terpenting

adalah adanya koordinasi pengawasan yang dilakukan

terhadap institusi bank dan non bank.

49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Halaman ini sengaja dikosongkan

51

Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Mei - Oktober 2010

12/8/PBI/2010

12/9/PBI/2010

12/10/PBI/2010

12/11/PBI/2010

12/12/PBI/2010

12/13/PBI/2010

12/14/PBI/2010

12/15/PBI/2010

12/16/PBI/2010

12/17/PBI/2010

12/18/PBI/2010

12/19/PBI/2010

12/20/PBI/2010

12/21/PBI/2010

Tanggal Satker Perihal LN & TLNPeraturan

3-6-2010

29-6-2010

1-7-2010

2-7-2010

4-8-2010

4-8-2010

13-8-2010

23-8-2010

30-8-2010

30-8-2010

30-8-2010

4-10-2010

4-10-2010

19-10-2010

DPU

DPNP

DPD

DPM

DASP

DASP

DPU

DInt

DPD

DPM

DPM

DPNP/DKM

DKBU/DPbS

DPNP/DPbS

Perubahan Kedua atas PBI No.7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005

Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum

Perubahan Ketiga Atas PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum

Operasi Moneter

Perubahan atas PBI No.10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System

Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah

Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991

Perubahan atas PBI No.10/34/PBI/2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank Indonesia

Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah

Perubahan atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah

Perubahan atas PBI No.10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah

Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing

Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Rencana Bisnis Bank

LN 71

LN 82 TLN 5139

LN 83 TLN 5140

LN 84 TLN 5141

LN 93 TLN 5146

LN 94 TLN 5147

LN 96

LN 97

LN 106 TLN 5153

LN 107

LN 108

LN 115 TLN 5158

LN 116 TLN 5159

LN 120 TLN 5161

Halaman ini sengaja dikosongkan

12/14/DKBU

12/15/DKBU

12/16/DPM

12/17/DPM

12/18/DPM

12/19/DInt

12/20/DPM

12/22/DPM

12/23/DPM

12/24/DPM

12/25/DPM

12/26/DPM

12/27/DPNP

Tanggal Satker PerihalPeraturan

1-6-2010

11-6-2010

6-7-2010

6-7-2010

7-7-2010

22-7-2010

2-8-2010

2-8-2010

30-8-2010

30-8-2010

30-8-2010

30-8-2010

25-10-2010

DKBU

DKBU

DPM

DPM

DPM

DInt

DPM

DPM

DPM

DPM

DPM

DPM

DPNP

Pelaksanaan Pedoman Akuntansi BPR

Perubahan Kedua atas SE No.8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat

Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter

Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)

Operasi Pasar Terbuka

Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri

Perubahan atas SE BI No.5/29/DPD tnggal 18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing

Perubahan atas SE BI No.12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia

Perubahan atas SE BI No.11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)

Perubahan atas SE BI No.10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia

Perubahan Kedua atas SE BI No.10/16/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Melalui Lelang

Perubahan atas SE BI No.10/17/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repo Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia

Rencana Bisnis Bank Umum

53

Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Mei - Oktober 2010

Halaman ini sengaja dikosongkan

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI)Mei - Oktober 2010

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/8/PBI/2010 tentang Pengeluaran dan Pengedaran uang Kertas

Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005.

Ringkasan :

1. Seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang

memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan transaksi ekonomi

di masyarakat. Sehubungan dengan itu, selanjutnya dipandang perlu untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada

desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat paembayaran yang sah (legal

tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui penyempurnaan desain uang rupiah antara lain dengan perubahan

warna dan unsure pengamanan.

2. Materi pokok yang tercantum dalam ketentuan ini meliputi :

a. Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas;

b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar Rp. 10.000 (Sepuluh Ribu rupiah);

c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan sampai dengan

tahun pencetakan mulai tahun 2010, baik dari segi warna, gambar dan bahan;

d. UK rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank

Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

3. Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) untuk tahun pencetakan mulai tahun 2010 antara lain sebagai berikut:

a. Terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;

b. Bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan.

c. Tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Baharuddin II dan electrotype berupa logo BI dan

ornamen daerah Palembang;

d. Benang pengamanan yang tertanan di dalam kertas uang yang membuat tulisan “ BI10000” berulang-ulang dan

akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melakukan Aktivitas

Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum

Ringkasan :

Latar belakang diterbitkannya ketentuan ini

Dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha bank dan mempertahankan nasabah bank, bank dituntut untuk meningkatkan

operasional pelayanannya kepada nasabahnya dan mengubah strategi bisnis perbankan sehingga lebih banyak memanfaatkan

kemajuan Teknologi Informasi.

Pembelian produk keuangan luar negeri oleh nasabah merupakan hal yang dipandang perlu dilayani oleh bank untuk

meningkatkan daya saing bank dan perolehan pendapatan dari fee based transactions. Penerapan Teknologi Informasi telah

55

meningkatkan kemampuan bank dalam kegiatan operasional serta pengelolaan data bank yang bersifat mendunia seperti

melakukan penawaran, setelmen, dan pemberian informasi atas produk keuangan luar negeri kepada nasabah secara lebih

akurat dan cepat.

Disamping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, terdapat

pula risiko yang dapat merugikan bank serta nasabah seperti risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko penyelesaian transaksi.

Untuk mengatasi risiko yang dihadapi bank dan dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah, maka bank wajib

menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan operasional yang terkait penjualan produk keuangan luar

negeri kepada nasabah termasuk penerapan manajemen risiko.

Dalam hubungan dengan aktivitas terkait Produk Keuangan Luar Negeri, Bank juga wajib memperhatikan ketentuan dan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain Undang-Undang No.8

Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan Bank

Indonesia yang mengatur tentang Transaksi Derivatif, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Transparansi Informasi Produk

Perbankan dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Terorisme Bagi

Bank Umum, Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing, dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Pokok-pokok pengaturan

1. Bank di Indonesia dapat melakukan keagenan Produk Keuangan Luar Negeri yaitu instrumen investasi yang diterbitkan

oleh penerbit asing di luar negeri yang mencakup Instrumen Investasi Asing Efek dan Instrumen Investasi Asing Selain

Efek (berupa Structured Product)

2. Aktivitas keagenan tersebut dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh otoritas yang

berwenang. Aktivitas Keagenan mencakup:

a. Menindak lanjuti permintaan nasabah Bank di DN atas Produk Keuangan LN.

b. Menawarkan Produk Keuangan LN kepada nasabah/calon nasabah baik melalui penawaran secara tatap muka maupun

melalui cara-cara penawaran lainnya.

3. Prinsip dasar pengaturan keagenan Produk Keuangan LN:

a. Manajemen Risiko

b. Kehati-hatian

c. Perlindungan Nasabah

4. Manajemen Risiko: bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam melakukan aktivitas keagenan produk keuangan

LN yang minimal mencakup:

a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;

b. Kecukupan kebijakan dan prosedur;

c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko yang timbul dari aktivitas keagenan

produk keuangan LN; dan

d. Sistem pengendalian intern atas aktivitas keagenan produk keuangan LN.

5. Perlindungan Nasabah:

a. Bank wajib melakukan analisis mengenai Produk Keuangan LN yang akan ditawarkan.

b. Bank wajib memberikan informasi yang transparan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku seperti:

• penerbit, nama, jenis, spesifikasi, karakteristik, dan fitur produk;

• fungsi dan kesesuaian produk terhadap kebutuhan nasabah;

56

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

• perhitungan pendapatan atau imbal hasil (return) dari produk;

• risiko produk yang ditawarkan termasuk kemungkinan kerugian nilai investasi Nasabah akibat fluktuasi nilai

investasi sesuai kondisi pasar (market risk), kualitas aset yang mendasari (credit risk), dan risiko operasional terutama

settlement risk;

• perhitungan perkiraan kerugian terburuk yang mungkin dapat terjadi;

• syarat dan kondisi produk yang meliputi biaya-biaya, jangka waktu, cooling off period, prosedur setelmen, penghentian

sebelum jatuh waktu (early termination); dan

• mekanisme penyelesaian sengketa.

c. Bank wajib menatausahakan dokumen penawaran produk keuangan LN secara tertulis dan berbahasa Indonesia.

d. Bank wajib menyampaikan informasi kinerja investasi kepada nasabah secara transparan termasuk memberitahukan

kepada nasabah media/sarana untuk penyampaian informasi tersebut.

6. Prinsip Kehatian-hatian:

a. Bank dilarang melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan nasabah

menganggap produk keuangan LN adalah produk bank;

b. Bank wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah (KYC) sesuai ketentuan yang berlaku; dan

c. Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu menghentikan aktivitas keagenan produk keuangan LN tertentu apabila kegiatan

tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan/atau memiliki potensi risiko yang dapat membahayakan bank.

7. Bank yang dapat mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan keagenan Produk Keuangan LN harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

a. Bank Devisa.

b. Mencantumkan rencana aktivitas keagenan produk keuangan LN dalam Rencana Bisnis bank (RBB).

c. Memiliki sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh teknologi informasi yang memadai untuk dapat menjalankan

manajemen risiko atas aktivitas keagenan produk keuangan LN.

8. Kriteria Produk Keuangan LN yang dapat diageni oleh Bank di Indonesia paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Telah terdaftar dan/atau memenuhi ketentuan dari otoritas berwenang di negara asal penerbit.

b. Telah dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Untuk produk keuangan LN berupa Instrumen Investasi Asing Selain Efek wajib memenuhi persyaratan berikut ini:

c. Diterbitkan oleh bank di LN yang memiliki kantor cabang di Indonesia

d. Dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga.

e. Bukan merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif valas terhadap rupiah.

9. Kriteria Penerbit produk keuangan LN yang dapat dijadikan mitra kerjasama dengan Bank dalam aktivitas keagenan

produk keuangan LN wajib memenuhi kriteria berikut ini:

a. Terdaftar dan memiliki ijin usaha dari otoritas berwenang di negara asal tempat penerbit berkedudukan.

b. Merupakan badan yang menjadi objek pengawasan dari otoritas berwenang di negara asal.

10.Kriteria Nasabah —> Bank hanya dapat menawarkan produk keuangan LN kepada nasabah non retail sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11. Pelaporan —> Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia:

a. Setiap jenis produk keuangan LN yang akan diageni.

b. Realisasi bulanan aktivitas keagenan produk keuangan LN.

57

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

12.Ketentuan Peralihan —> Bank yang telah menjalankan keagenan produk keuangan LN sebelum ketentuan ini berlaku

wajib:

a. mengajukan permohonan ijin untuk melakukan aktivitas keagenan produk keuangan LN.

b. Melaporkan setiap produk keuangan LN yang diageni.

c. Menyesuaikan penyelenggaraan aktivitas keagenan produk keuangan LN dengan pengaturan pada regulasi ini paling

lambat 3 bulan setelah diterbitkannya ketentuan ini. Bank yang tidak menyampaikan laporan produk keuangan LN

dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dikenakan sanksi.

d. Bank yang telah mengageni instrumen Investasi Asing Efek yang telah dipasarkan namun belum mendapat ijin dari

otoritas terkait di dalam negeri wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang

pasar modal di Indonesia.

e. Bank yang pada saat Peraturan Bank Indonesia ini dikeluarkan masih menata usahakan Produk Keuangan Luar Negeri

Nasabah yang tidak sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia ini, dapat melakukan penatausahaan

Produk Keuangan Luar Negeri sampai jatuh tempo. Dalam hal produk tersebut tidak mempunyai jatuh tempo, Bank

dapat melakukan early termination atas dasar kesepakatan dengan Nasabah.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/10/PBI/2010 tentang Perubahan Ketiga PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang

Posisi Devisa Neto Bank Umum

Ringkasan :

Latar Belakang dan Tujuan

Dinamika perekonomian dewasa ini dan ke depan memunculkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter

dan sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka

panjang. Salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar

keuangan, termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik yang memungkinkan perbankan memiliki ruang gerak yang

memadai dalam pengelolaan eksposur valuta asing dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian.

Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto

Bank Umum dalam bentuk Perubahan Ketiga Atas PBI No.5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum.

Materi Pengaturan

1. Penghapusan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto untuk Neraca Bank

2. Penyempurnaan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto setiap saat dengan memberikan tenggang waktu 30 menit dan

batasan paling tinggi sebesar 20% dari modal bank.

a. PDN setiap 30 (tiga puluh) menit adalah penjumlahan antara PDN secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya

dengan posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit.

b. PDN setiap 30 menit tersebut dihitung sejak sistem tresuri dibuka sampai dengan sistem tresuri ditutup.

Contoh :

• Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal

20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 08.00 WIB dengan tenggang waktu 30

menit yaitu:

i. Pukul 08.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal

ii. Pukul 09.00 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal

iii. Pukul 09.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.

58

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

• Bank B memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 07.45 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal

20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 07.45 WIB dengan tenggang waktu 30

menit yaitu:

i. Pukul 08.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal

ii. Pukul 08.45 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal

iii. Pukul 09.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.

• Posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit merupakan selisih bersih antara transaksi

beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank pada posisi akhir 30 (tiga puluh) menit yang

bersangkutan.

• Perhitungan posisi terbuka tresuri tersebut termasuk transaksi valuta asing yang telah dilakukan (deal done) namun

belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri.

Contoh :

Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Apabila terjadi transaksi valuta asing

pada pukul 08.20 WIB namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri sampai dengan pukul 08.30 WIB, maka

transaksi dimaksud termasuk dalam perhitungan PDN setiap 30 (tiga puluh) menit pada pukul 08.30 WIB.

3. Penyempurnaan mengenai sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan PDN sebesar Rp250 juta per hari

pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender.

4. Kewajiban bagi bank untuk melaporkan (self declare) atas terjadinya pelanggaran PDN, baik untuk PDN secara keseluruhan

maupun PDN setiap 30 menit secara harian.

a. Dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan atas PDN pada akhir hari dan PDN setiap

30 (tiga puluh) menit, Bank wajib menyampaikan laporan pelanggaran dimaksud kepada Bank Indonesia.

b. Laporan pelanggaran tersebut disampaikan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya

pelanggaran dan ditandatangani paling kurang oleh pejabat eksekutif Bank.

5. Pengaturan Pengenaan Sanksi

a. Pelanggaran atas ketentuan PDN akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar

Rp250 juta per hari pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender.

b. Selain bentuk sanksi di atas, terhadap jenis pelanggaran tertentu akan dikenakan tambahan berupa dilakukan proses

fit & proper test dan/atau penilaian tingkat kesehatan bank.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter

Ringkasan :

1. Pertimbangan Penerbitan Ketentuan:

Untuk meningkatkan efektivitas Operasi Moneter dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

2. Pokok-Pokok Ketentuan

a. Operasi Moneter dilakukan dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities.

b. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sementara Standing Facilities

hanya dapat diikuti oleh Bank.

59

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

c. Kegiatan OPT meliputi:

1. Penerbitan SBI.

Terkait dengan perdagangan SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak

lain selama jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI kecuali untuk transaksi SBI oleh Peserta Operasi Moneter

dengan Bank Indonesia.

2. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga.

Dalam melakukan transasi repo dan reverse repo, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak

lain yang ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat

berharga.

3. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright.

Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright dilakukan terhadap SBN (SUN & SBSN) dan surat

berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4. Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia.

Term deposit adalah penempatan dana rupiah milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia.

Term deposit dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (early redemption) sepanjang memenuhi persyaratan tertentu

dan atas pencairan tersebut dikenakan biaya.

5. Jual beli valuta asing terhadap rupiah, yang antara lain dilakukan dalam bentuk spot, forward atau swap.

d. Kegiatan standing facilities meliputi:

1. Lending Facility

Lending facility dilakukan melalui mekanisme repo SBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan

mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2. Deposit facility

Deposit facility dilakukan tanpa penerbitan surat berharga.

3. Ketentuan Peralihan

Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang merupakan bagian dari transaksi

yang telah dilakukan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, dikecualikan dari ketentuan minimum 1 month

holding period sampai dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu.

4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,

yaitu:

a. PBI No.4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;

b. PBI No.6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002

tentang Operasi Pasar Terbuka;

c. PBI No.6/33/PBI/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;

d. PBI No.7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;

e. PBI No.10/14/PBI/2008 tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;

f. PBI No.10/21/PBI/2008 tanggal 15 Oktober 2008 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;

g. PBI No.4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia; dan

h. PBI No.6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002

tentang Sertifikat Bank Indonesia.

60

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/12/PBI/2010 tentang Perubahan atas PBI No. 10/2/PBI/2008 tentang

Bank Indonesia Scripless Securuties Settlement System

Ringkasan :

1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup:

a. penyesuaian beberapa definisi antara lain: bank, operasi moneter, koridor suku bunga, fasilitas pendanaan, dan surat

berharga;

b. penambahan pialang pasar modal sebagai peserta BI-SSSS;

c. penyesuaian terhadap istilah ‘broker’.

2. Beberapa penyesuaian definisi yang dilakukan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:

a. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di

Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah.

b. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter

melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya

disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak

lain dalam rangka Operasi Moneter.

c. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana

rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities dan penyediaan penempatan dana

rupiah (deposit facility) oleh peserta Standing Facilities di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.

d. Instrumen Operasi Moneter adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan Koridor Suku Bunga (Standing

Facilities) serta ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.

e. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana yang dapat berupa pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia

kepada Bank yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.

f. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam

mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik

Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.

g. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang

diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang

rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.

h. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.

3. Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS adalah :

a. Bank Indonesia.

b. Kementerian Keuangan.

c. Bank.

d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing.

f. Perusahaan Efek.

g. Pialang pasar modal.

h. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.

4. Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI–SSSS,

Help Desk terkait dengan operasional BI–SSSS; dan sistem layanan informasi, serta ketentuan dan prosedur baik dalam

keadaan normal, keadaaan tidak normal maupun keadaan darurat.

61

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

5. Penyelenggara melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau

Rekening Surat Berharga Peserta untuk transaksi antara lain sebagai berikut:

a. setelmen Transaksi Dengan Bank Indonesia;

b. setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta;

c. pembayaran kewajiban kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga yang jatuh waktu;

d. pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS;

e. sanksi kewajiban membayar terkait ketentuan operasi moneter;

f. kewajiban pelunasan Fasilitas Pendanaan;

g. eksekusi agunan/jaminan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai Fasilitas Pendanaan dan/atau fasilitas pemerintah

kepada Peserta; dan/atau

h. biaya lainnya.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/13/PBI/2010 tentang Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing

Terhadap Rupiah

Ringkasan :

1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup:

a. Penyesuaian beberapa definisi seperti: surat utang negara, surat berharga negara dan surat berharga syariah negara;

b. Persyaratan bagi bank umum yang dapat menggunakan FLI.

2. Beberapa definisi yang disesuaikan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:

a. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam

mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,

sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.

b. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang

diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang

rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.

c. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.

3. Persyaratan agar Bank dapat menggunakan FLI disesuaikan sebagai berikut:

a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank

peserta kliring; dan

c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.

4. Perhitungan nilai SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang digunakan Bank dalam rangka FLI ditetapkan oleh Bank

Indonesia.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/14/PBI/2010 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran

Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991

Ringkasan :

1. Uang logam (UL) pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 dicabut dan ditarik dari peredaran dengan

pertimbangan sebagai berikut:

a. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah sudah tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat dalam melakukan pembayaran;

62

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

b. Nilai intrinsik dan biaya pencetakan UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 saat ini telah lebih besar

dari nilai nominalnya.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang

Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991 meliputi:

a. Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991;

b. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 yang dicabut dan ditarik dari peredaran dinyatakan tidak

berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Agustus 2010;

c. UL rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum dalam

jangka waktu tertentu;

d. Jangka waktu dan tempat penukaran ditetapkan sebagai berikut:

1. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2015 penukaran dilakukan di Bank

Indonesia dan/atau Bank Umum;

2. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2020 penukaran hanya dapat dilakukan

di Bank Indonesia.

e. Hak untuk menuntut penukaran uang logam rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Agustus

2020.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/15/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/34/PBI/2008 Tentang

Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia

Ringkasan :

I. Latar Belakang Pengaturan:

Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/15/PBI/2010 tanggal 23 Agustus 2010 ini merupakan perubahan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 10/34/PBI/2008 tanggal 5 Desember 2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh

Bank Indonesia. Perubahan PBI dilakukan karena adanya penyempurnaan organisasi di Bank Indonesia membawa

konsekuensi pada perubahan satuan kerja yang bertugas melakukan transaksi pembelian wesel ekspor berjangka.

II. Pokok-Pokok Pengaturan:

Materi perubahan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya menyangkut satuan kerja pelaksana transaksi

pembelian Wesel Ekspor Berjangka (WEB) oleh Bank Indonesia dari semula Bank Indonesia cq. Direktorat Pengeloaan Devisa-

Biro Manjemen Devisa dan Nilai Tukar menjadi Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter-Biro Operasi Moneter.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/16/PBI/2010 tentang Sistem Monitering Transaksi Valuta Asing

Terhadap Rupiah

Ringkasan :

Latar Belakang dan Tujuan

Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global yang berjalan cukup cepat dewasa ini memunculkan sejumlah

tantangan dan risiko bagi para pelaku pasar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter berupaya untuk memitigasi segala risiko

tersebut dengan memberikan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan responsif sesuai dengan perkembangan pasar

valuta asing domestik.

63

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Dalam kerangka tersebut, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan mengenai Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap

Rupiah (SISMONTAVAR) yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan mekanisme monitoring kegiatan di pasar valuta asing

domestik, dimana informasi tentang transaksi valuta asing antarbank diperoleh melalui suatu sistem jaringan on-line. Langkah

kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap tugas Bank Indonesia dalam rangka menjaga

stabilitas moneter.

Materi Pengaturan

SISMONTAVAR diterapkan kepada Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing. Ruang lingkup

SISMONTAVAR tersebut meliputi transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan antarbank.

Kewajiban Bank Devisa dalam SISMONTAVAR meliputi:

Bank Devisa wajib memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat Bank melakukan transaksi valuta asing

terhadap rupiah.

Bank Devisa wajib melakukan Prosedur Konfirmasi pada Sistem Transaksi Valuta Asing yang terhubung dengan aplikasi

SISMONTAVAR segera setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan (deal is done). Kewajiban tersebut berlaku

pula untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan menggunakan jasa Pialang Pasar Uang.

Dalam hal terdapat kesalahan dalam informasi transaksi setelah Prosedur Konfirmasi dilakukan, Bank Devisa menyampaikan

kepada Bank Indonesia koreksi atas informasi transaksi segera setelah diketahui adanya kesalahan. Koreksi transaksi yang

disampaikan kepada Bank Indonesia tersebut dapat dilakukan melalui media faksimile.

Pengaturan Pengenaan Sanksi

Bank Devisa yang tidak memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat melakukan transaksi valuta asing

terhadap rupiah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.

Bank Devisa yang tidak segera melakukan Prosedur Konfirmasi setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan

dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.

Pengecualian terhadap sanksi di atas berlaku dalam kondisi:

a. aplikasi SISMONTAVAR terkendala;

b. jaringan data terganggu;

c. kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing; dan/atau

d. kejadian luar biasa (force majeure).

Ketentuan Peralihan

Ketentuan SISMONTAVAR tidak berlaku bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing namun pada

saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini aplikasi SISMONTAVAR belum terpasang. Kewajiban mulai berlaku pada saat

aplikasi SISMONTAVAR terpasang.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/17/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang

Operasi Moneter Syariah

Ringkasan :

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian

moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah

(OMS) khususnya Pasal 18 ayat (1) huruf b mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang

dinyatakan batal.

64

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Peserta OMS terhadap setiap Transaksi OMS yang dinyatakan batal berupa:

1). teguran tertulis; dan

2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi Operasi Moneter Syariah

yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah). Selain dikenakan sanksi tersebut di atas, Peserta OMS yang melakukan transaksi OMS yang

dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan juga dikenakan sanksi berupa penghentian

sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.

3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/18/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/11/PBI/2008 Tentang

Sertifikat Bank Indonesia Syariah

Ringkasan :

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian

moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia

Syariah (SBIS) khususnya Pasal 14 ayat (2) huruf b dan ayat (3) mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi SBIS yang

dinyatakan batal.

2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS yang dinyatakan batal berupa:

1). teguran tertulis; dan

2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit

sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk

setiap Transaksi SBIS yang dinyatakan batal.

Dengan tidak mengurangi sanksi tersebut diatas, dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau transaksi

operasi moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai

operasi moneter syariah, yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, maka BUS

atau UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter syariah selama

5 (lima) hari kerja berturut-turut.

3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank

Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing

Ringkasan :

Latar Belakang Pengaturan :

1. Tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak

pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter. Selain itu, stabilitas sektor keuangan

perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan

fungsi intermediasi perbankan.

2. Guna mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas perbankan secara

optimal, antara lain melalui kebijakan giro wajib minimum dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan serta peran

bank dalam menjalankan fungsi intermediasi.

65

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

Substansi Pengaturan :

1. Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.

2. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi terdiri dari:

a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah;

b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah; dan

c. GWM LDR sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih

antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif.

3. Ketentuan mengenai GWM Sekunder dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan.

4. GWM Primer dalam rupiah, GWM LDR dan GWM dalam valuta asing dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Bank

pada Bank Indonesia, sedangkan GWM Sekunder dalam rupiah dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess

Reserve.

5. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:

a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%.

b. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%.

c. Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter

Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target.

d. Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%)

akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih

LDR bank dari batas atas LDR target.

e. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif

(saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%

f. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas akan

dievaluasi sewaktu-waktu apabila diperlukan.

6. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per

tahun terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah.

7. Bagian tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah.

8. Jasa giro diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah.

9. Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan memperoleh kelonggaran pemenuhan GWM dalam

rupiah sebesar 1% bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah.

10.Terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan

dana, dalam rangka supervisory action Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan

GWM LDR sebagaimana diatur dalam PBI ini.

11.PBI ini mencabut PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah

dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No. 10/25/PBI/2008, namun peraturan pelaksanaan dari

PBI dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini.

66

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

12.Ketentuan mengenai GWM LDR beserta sanksi terhadap pelanggaran GWM LDR mulai berlaku pada 1 Maret 2011.

13.PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/20/PBI/2010 tentang Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan

Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Ringkasan :

Latar belakang

1. Semakin berkembangnya industri BPR dan BPRS disertai dengan perkembangan produk serta pelayanan BPR/BPRS terutama

yang berbasis teknologi informasi, maka risiko pemanfaatan BPR dan BPRS dalam pencucian uang dan pendanaan

terorisme semakin tinggi.

2. Ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan BPRS yang

berlaku selama ini perlu untuk disempurnakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara

internasional dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

Materi Pengaturan

1. BPR dan BPRS wajib menerapkan program Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme

(PPT).

2. Penggunaan istilah baru terkait dengan penerapan program APU dan PPT sebagai berikut:

a. Customer Due Diligence (CDD) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR

dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank.

b. Enhanced Due Diligence (EDD) adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR/BPRS untuk mendalami profil

calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan

pencucian uang dan pendanaan terorisme.

c. Politically Exposed Person (PEP) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik

diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki

pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik

d. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang

memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau

perjanjian

e. Walk in Customer adalah pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk

pihak yang mendapatkan perintah atau penugaasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah

tersebut.

3. Pengaturan dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris.

4. BPR dan BPRS wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai BPR dan BPRS yang bertanggung jawab

atas penerapan program APU dan PPT dan bertanggung jawab terhadap Direktur.

5. Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) kepada calon Nasabah, Nasabah, dan WIC yang terdiri dari:

67

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

a. Permintaan informasi dan dokumen kepada calon nasabah perorangan, perusahaan berbentuk bank dan non bank

termasuk nasabah berupa yayasan, perkumpulan serta Lembaga Negara. Pengaturan termasuk untuk nasabah usaha

mikro dan kecil yang lebih sederhana.

b. Permintaan informasi dan dokumen kepada WIC baik yang melakukan transaksi di atas Rp100 juta maupun untuk

WIC yang melakukan transaksi di bawah Rp100 juta.

c. Pelaksanaan verifikasi dokumen dalam rangka meneliti dan meyakini kebenaran dokumen termasuk pelaksanaan

wawancara.

d. Pemantauan dan pengkinian data

6. BPR dan BPRS wajib memelihara Daftar Teroris berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 bulan

berdasarkan data yang dipublikasikan oleh PBB.

7. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan dan memelihara profil Nasabah.

8. BPR dan BRPS wajib menatausahakan data Nasabah dan WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak

berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah atau WIC atau sejak ditemukanannya ketidak sesuaian

transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha serta wajib memelihara dokumen Nasabah dan WIC dengan

jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Dokumen Perusahaan.

9. Pengaturan mengenai pemindahan dana.

10.Kewajiban BPR dan BPRs untuk menolak transaksi, membatalkan transaksi dan atau menutup hubungan usaha dengan

Nasabah dalam hal: tidak memenuhi kelengkapan informasi dan dokumen, diketahui menggunakan identitas dan/atau

memberikan informasi yang tidak benar, BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah atau penggunaan

rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.

11.Pengaturan mengenai Beneficial Owner perorangan, perusahaan, yayasan atau perkumpulan.

12.Pelaksanaan EDD untuk calon Nasabah, Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP.

Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon nasabah

yang tergolong PEP tersebut.

13.Pengaturan mengenai CDD yang lebih sederhana dapat dilakukan terhadap calon Nasabah yang tingkat risiko terjadinya

pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah.

14. BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabah yang telah

menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. Namun demikian BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi

& verifikasi atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga dan bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan

dokumen.

15. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif yang dibuktikan dengan adanya batasan wewenang

dan tanggung jawab yang jelas untuk unit kerja atau pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT

serta pemisahan fungsi antara pelaksana penerapan program APU dan PPT dengan pegawai yang ditunjuk untuk

mengawasi efektivitas penerapan program tersebut.

68

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

16.BPR dan BPRS wajib melakukan penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, serta melaksanakan

pelatihan mengenai program APU dan PPT kepada SDM BPR dan BPRS.

17.BPR wajib menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT yang telah mendapatkan persetujuan Dewan

Komisaris paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya PBI ini dan wajib menyampaikan perubahan Pedoman

Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak perubahan tersebut kepada BI.

18.BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan

laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.

19.Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib disampaikan 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui

adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan yaitu sejak Direktur yang berwenang menyetujui transaksi tersebut

sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.

20.Sanksi keuangan diberikan kepada BPR yang terlambat menyampaikan atau tidak menyampaikan Pedoman Pelaksanaan

APU dan PPT serta BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.

21.Peraturan ini mencabut PBI No.5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer

Principles/KYC) bagi BPR tanggal 23 Oktober 2003.

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/21/PBI/2010 tentang Rencana Bisnis Bank

Ringkasan :

1. Tujuan pengaturan ini adalah :

a. Agar Bank memiliki Rencana bisnis yang disusun secara matang dan realistis berdasarkan prinsip kehati-hatian dan

penerapan manajemen risiko, dengan cakupan yang komprehensif.

b. Sebagai sarana bank dalam mengendalikan risiko strategik dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal

untuk mengarahkan kegiatan operasional bank sesuai visi dan misinya.

c. Selain itu rencana bisnis bank yang realistis diperlukan juga bagi otoritas moneter sebagai pertimbangan dalam

menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan macro prudential dan

d. Menjadi salah satu acuan bagi pengawas bank dalam menyusun rencana pengawasan berdasarkan risiko yang optimal

dan efektif.

2. Bank wajib menyusun Rencana Bisnis setiap tahun. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS), Rencana

Bisnis wajib pula memuat Rencana Bisnis khusus untuk UUS yang merupakan satu kesatuan dengan Rencana Bisnis Bank

Umum.

3. Cakupan Rencana Bisnis paling kurang meliputi:

a. Ringkasan eksekutif;

b. Kebijakan dan strategi manajemen;

c. Penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini;

d. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan;

e. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya;

f. Rencana pendanaan;

g. Rencana penanaman dana;

69

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010

h. Rencana permodalan;

i. Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);

j. Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;

k. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor;

l. Informasi lainnya.

4. Rencana Bisnis wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November sebelum tahun

Rencana Bisnis dimulai. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis

yang disampaikan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan ini.

5. Bank hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis apabila:

a. Terdapat faktor eksternal dan internal yang secara signifikan mempengaruhi operasional Bank. Perubahan ini hanya

dapat dilakukan 1 kali, paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan; dan/atau

b. Terdapat faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank, berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.

6. Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara triwulanan dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis

secara semesteran kepada Bank Indonesia.

7. Pemberian masa transisi sebagai berikut:

a. Khusus untuk Rencana Bisnis tahun 2011, Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis kepada Bank Indonesia paling

lambat pada akhir bulan Desember 2010.

b. Khusus untuk Bank yang menyampaikan Rencana Bisnis tahun 2011, namun melewati akhir Desember 2010:

1). Tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar, apabila disampaikan paling lambat akhir Januari 2011; atau

2). Dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50 juta, apabila disampaikan setelah akhir Januari 2011.

70

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010