Dari MEJA REDAKSI-Agust07 - bi.go.id fileBULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN i Volume 5...

63
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN i Volume 5 Nomor 2, Agustus 2007 DARI MEJA REDAKSI Topik yang kami pilihkan dalam penerbitan Volume 5 Nomor 2, Agustus 2007 ini adalah mengenai Perda dan UMKM yang terdiri dari beberapa judul artikel yaitu Pembentukan Peraturan Daerah (Perda), Pengaruh Perda TerhadapAktivitas Ekonomi Daerah (UMKM), Peran Serta Bank Indonesia dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan Perbaikan Usaha Mikro di Kabupaten Tanah Datar Melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan. Topik tersebut sengaja kami pilih dengan pertimbangan selain materinya yang tetap menarik untuk dibahas, juga sangat relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui, UMKM memiliki karakteristik yang kuat berupa potensi pasar dan pelaku usaha yang besar untuk berkembang, berdaya tahan kuat terhadap goncangan pada saat krisis, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga sangat mendukung upaya peningkatan investasi dan perekonomian. Selanjutnya, guna memberikan pengkinian informasi Peraturan Bank Indonesia, seperti edisi sebelumnya, buletin ini juga memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Mei-Agustus 2007. Dengan informasi dan artikel-artikel yang Redaksi pilihkan, diharapkan buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Selamat membaca. Jakarta, Agustus 2007 Redaksi

Transcript of Dari MEJA REDAKSI-Agust07 - bi.go.id fileBULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN i Volume 5...

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN i Volume 5 Nomor 2, Agustus 2007

DARI MEJA REDAKSI

Topik yang kami pilihkan dalam penerbitan Volume 5 Nomor 2, Agustus 2007 ini adalah mengenai Perda dan UMKM yang terdiri dari beberapa judul artikel yaitu Pembentukan Peraturan Daerah (Perda), Pengaruh Perda TerhadapAktivitas Ekonomi Daerah (UMKM), Peran Serta Bank Indonesia dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan Perbaikan Usaha Mikro di Kabupaten Tanah Datar Melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan.

Topik tersebut sengaja kami pilih dengan pertimbangan selain materinya yang tetap menarik untuk dibahas, juga sangat relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui, UMKM memiliki karakteristik yang kuat berupa potensi pasar dan pelaku usaha yang besar untuk berkembang, berdaya tahan kuat terhadap goncangan pada saat krisis, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga sangat mendukung upaya peningkatan investasi dan perekonomian.

Selanjutnya, guna memberikan pengkinian informasi Peraturan Bank Indonesia, seperti edisi sebelumnya, buletin ini juga memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Mei-Agustus 2007. Dengan informasi dan artikel-artikel yang Redaksi pilihkan, diharapkan buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Selamat membaca.

Jakarta, Agustus 2007

Redaksi

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 2, Agustus 2007

ii

BULETIN HUKUM PERBANKAN

DAN KEBANKSENTRALAN

Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

Halaman Dari Meja Redaksi …………………………………………………

i

Daftar Isi ..................................................................................

ii-iii

Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) ………………………… 1-17 ? Drs. S. Bambang Setyadi, MSi

(Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan)

Pengaruh Perda Terhadap Aktivitas Perekonomian Daerah (UMKM) ..................................................................................

18-28

? P. Agung Pambudhi, MM (Direktur Eksekutif, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah)

Peran Serta Bank Indonesia Dalam Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah .................................................................

29-35

? Andang Setyobudi, SE (Analis Madya Senior, Biro Kredit Bank Indonesia)

Perbaikan Usaha Mikro di Kabupaten Tanah Datar Melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan ......................

36-43

? Drs. Nasruddin, MSi (Staf Ahli, Badan Koordinasi Kabupaten Seluruh Indonesia)

Resensi Buku : 44-48 Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan ...........................

? Satrio Pramono, SH (Penasehat Hukum Yunior Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Cakrawala Hukum : 49- 58

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5 Nomor 2, Agustus 2007

iii

Laporan tentang “Diskusi Dengan UNCITRAL dan Electronic Evidence & E-Discovery Forum” ...................... ? Tim Direktorat Hukum

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia Mei-Agustus 2007 ? Tim Informasi Hukum Direktorat Hukum

59-60

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

1

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH*)

Oleh: Drs. S. Bambang Setyadi, M.Si **)

I. LATAR BELAKANG

Pengertian Peraturan Daerah

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”. Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah1 adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”2.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

*) Makalah disampaikan dalam Diskusi

Panel “Kajian Terhadap Kebijakan-Kebijakan Yang Perlu Dimuat Dalam Perda Dalam Rangka Mendorong Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)”di Bank Indonesia tanggal 29 Maret 2007;

**) Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Departemen Dalam Negeri.

1 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2 Pasal 1 angka 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah3.

Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan

3 Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

2

Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah4, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda. Ada berbagai jenis Perda yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain: a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Tata Ruang Wilayah Daerah; d. APBD; e. Rencana Program Jangka

Menengah Daerah; f. Perangkat Daerah; g. Pemerintahan Desa; h. Pengaturan umum lainnya.

II. PEMBENTUKAN PERDA YANG

BAIK

1. Asas Pembentukan Perda

Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa

setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus

4 Ketentuan Pasal 15 UU Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

3

f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Di samping itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut: a. asas pengayoman, bahwa setiap

materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat5.

b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

5 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU

Nomor 10 Tahun 2004.

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

4

proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

k. asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan6.

Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

Prinsip dalam menetapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam 6 Pasal 138 UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme APBD, namun demikian untuk mencapai tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah bukan hanya melalui mekanisme tersebut tetapi juga dengan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan potensi dan keunggulan lokal/daerah, memberikan insentif (kemudahan dalam perijinan, mengurangi beban Pajak Daerah), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang di daerahnya dan memberikan peluang menampung tenaga kerja dan meningkatkan PDRB masyarakat daerahnya.

2. Proses Penyusunan Perda

Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

5

tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya.

Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: a. Proses penyiapan rancangan

Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).

b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.

c. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.

Ketiga proses pembentukan Perda tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Proses Penyiapan Raperda di

lingkungan DPRD.

Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang

dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.

b. Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah. Dalam proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

6

Gb. Bagan Penyiapan Rancangan Perda

PANITIA ANTAR UNIT & MASYARAKAT

H

S H

U

S

S

KEPALA DAERAH

S

H

X X X

H

S

KEPALA DAERAH

KEPALA DAERAH

S

H

PENGGUNDANGAN

S

U

S

DPRD

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

7

Keterangan bagan:

U : Unit Kerja/Dinas/Biro/Bagian

dalam Pemda yang mengambil

prakarsa

S : Sekretariat Daerah

H : Biro/Bagian Hukum

X : Pimpinan Unit Kerja/Dinas/Biro/

Bagian lainnya Berikut penjabaran pasal-pasal yang terkait:

Pasal 4 : Penyusunan Produk Hukum Daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan prolegda.

Pasal 5 ayat (1) : Pimpinan Satuan Kerja perangkat daerah menyusun rancangan produk hukum daerah.

Pasal 5 ayat (2) : Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum.

Pasal 5 ayat (3) : Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibentuk Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Pasal 5 ayat (4) : Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diketuai oleh Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro Hukum atau Kepala

Bagian Hukum berkedudukan sebagai sekretaris.

Pasal 6 ayat (1) : Rancangan produk hukum daerah dilakukan pembahasan dengan Biro /Bagian Hukum dan satuan perangkat daerah terkait.

Pasal 6 ayat (2) : Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip mengenai obyek yang diatur, jangkauan dan arah pengaturan.

Pasal 7 : Ketua Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk memperoleh arahan.

Pasal 8 ayat (1) : Rancangan produk hukum daerah yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum serta pimpinan satuan kerja perangkat daerah terkait.

Pasal 8 ayat (2) : Pimpinan satuan kerja perangkat daerah atau pejabat yang ditunjuk mengajukan rancangan produk hukum daerah yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana dimaksud pada

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

8

ayat (1) kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah

Pasal 9 ayat (1) : Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah yang telah diparaf koordinasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2).

Pasal 9 ayat (2) : Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

Pasal 9 ayat (3) : Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro/Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait.

Pasal 10 : Produk hukum daerah berupa Rancangan Peraturan Daerah atau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan.

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut.

Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

9

Gb. Bagan Tata Cara Pelaksanaan

Konsultasi Publik Produk Hukum Daerah

Tahap Inisiatif ( initiatif draft)

Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu satuan kerja perangkat daerah dapat mendelegasikan kepada Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah.

Penyusunan Perda/produk hukum daerah lainnya harus dilakukan melalui Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diketuai oleh pejabat pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum sebagai sekretaris tim. Setelah pembahasan rancangan produk hukum selesai, pimpinan satuan kerja perangkat daerah akan menyampaikan kepada

INISIATOR : Draft inisiatif produk hukum

daerah (D-1) 1. Latar belakang, maksud dan

tujuan pembuatan peraturan; 2. Permintaan masukan dari

masyarakat; 3. Alamat inisiator tempat

masukan masyarakat ditujukan (pos, fax, e-mail, operator)

MASYARAKAT : Masukan dari masyarakat atau

pemangku kepentingan/multi stake holders (ide, kritik, tanggapan,

dukungan, alasan penolakan, dll)

INISIATOR : 1. Mengintegrasikan masukan

masyarakat ke dalam D-1 menjadi D-2

2. Mengirim kembali ke masyarakat

MASYARAKAT : 1. Mempelajari D-2 dari inisiator 2. Mengklarifikasi input yang

diterima inisiator D-2 oleh masyarakat

INISIATOR : 1. Menyempurnakan D-2 menjadi

D-3 2. Mengirim D-3 ke masyarakat

INISIATOR/ : 1. Sosialisasi D-3 kepada seluruh

pemangku kepentingan. 2. Menyiapkan perumusan naskah

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

10

Sekretaris Daerah melalui Kepala Biro/Bagian Hukum.

Raperda yang telah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan sekaligus menunjuk Wakil Pemerintah Daerah dalam Pembahasan Raperda tersebut.

c. Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.

Pembahasan Raperda di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui beberapa tingkatan pembicaraan.

Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna.

Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing. Khusus untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.

Tabel : Pembahasan di DPRD

PEMBAHASAN TAHAP RAPERDA

DARI DPRD

RAPERDA

DARI PEMDA

RAPAT PARIPURNA

TAHAP I

Keterangan/

penjelasan

Komisi/Gab.

Komisi/

Pansus

DPRD ttg

Raperda dari

DPRD

Keterangan/

Penjelasan

Pemda ttg

Raperda dari

Pemda

RAPAT PARIPURNA

TAHAP II

-Tanggapan

Pemda thp

Raperda

dari DPRD

-Jawaban

Komisi/

Gab.

Komisi/Pan

sus DPRD

thp

tanggapan

Pemda

-pandangan

umum para

anggota

DPRD mll

fraksi thp

Raperda

dari Pemda

-Jawaban

Pemda thp

pandangan

umum dari

anggota

DPRD

RAPAT KOMISI

RAPAT GABUNGAN

KOMISI

RAPAT PANITIA KHUSUS

TAHAP III

-Pembahasan Raperda dlm

Komisi/Gab. Komisi/

Pansus bersama Pemda

- Pembahasan Raperda scr

intern dalam Komisi/Gab.

Komisi/Pansus tanpa

mengurangi Pembahasan

bersama Pemda

RAPAT PARIPURNA

TAHAP IV

-Laporan Hasil Pembicaraan

Tingkat III

-Pendapat akhir fraksi-fraksi

apabila perlu dapat

disertai catatan

-Pengambilan Keputusan

-Sambutan Pemda

PEMDA

Rapat Fraksi

Rapat Fraksi

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

11

d. Proses Pengesahan dan Pengundangan

Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan.

Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi dan dokumentasi Perda tersebut.

Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD.

Setelah Perda diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait mengetahuinya.

e. Lembaran Daerah dan Berita Daerah

1. Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat, Perda yang telah disahkan oleh Kepala Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah.

2. Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan Perda dengan penjelasannya, penjelasan atas Perda tersebut dicatat dalam Tambahan Lembaran Daerah dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda sebagaimana yang diundangkan di atas. Pejabat yang berwenang mengundangkan Perda tersebut adalah Sekretaris Daerah.

III. MEKANISME PENGAWASAN PERDA

Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

12

dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemda merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan

pengawasan yang dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri.

Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait. Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.

Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

13

Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:

a. preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

b. represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

c. fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;

d. pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;

e. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.

Mengenai jenis-jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Pengawasan Preventif

Rancangan Perda Propinsi:

a. Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Gubernur sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

b. Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerima Rancangan Perda Provinsi.

c. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d. Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.

e. Gubernur melakukan penyempurnaan bersama

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

14

dengan DPRD dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f. Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap menetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Menteri.

g. Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.

2. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:

a. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

b. Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang

Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerima rancangan Perda Kabupaten/Kota.

c. Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.

e. Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f. Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Gubernur.

g. Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

15

bersama DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.

3. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:

a. Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

b. Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu 60 hari.

c. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden.

d. Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda; Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari setelah pembatalan.

4. Pengkajian dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah

dilakukan evaluasi sebagai berikut:

a. Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

b. Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait di lingkungan Departemen Dalam Negeri.

c. komponen terkait melakukan pengkajian dan evaluasi rancangan rancangan Perda bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat Jenderal dan komponen terkait.

d. hasil pengkajian dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

e. hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

5. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:

a. Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi Menteri.

b. Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri, Biro Hukum

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

16

menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda setelah berkoordinasi dengan komponen terkait (OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).

c. Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri dilakukan klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.

d. Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan rancangan Peraturan Presiden setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan menyampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Kabinet.

e. Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perda disampaikan kepada Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

6. Perda yang sudah dibatalkan: Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 ada 663 Perda yang dibatalkan yang terdiri dari: a. Tahun 2002 sebanyak 19

(sembilan belas) Perda; b. Tahun 2003 sebanyak 105

(seratus lima) Perda;

c. Tahun 2004 sebanyak 236 (dua ratus tiga puluh enam) Perda;

d. Tahun 2005 sebanyak 136 (seratus tiga puluh enam) Perda;

e. Tahun 2006 sebanyak 117 (seratus tujuh belas) Perda;

f. Tahun 2007, sampai dengan saat ini sebanyak 60 (enam puluh) Perda.

7. Pengawasan Represif Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:

Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa Pajak Daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Pasal 238 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 238 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan, yaitu sampai dengan 15 Oktober 2006.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

17

Sepanjang Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru belum ditetapkan, ketentuan Pasal 5A ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah menyatakan bahwa dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud. Juga dalam Pasal 25A ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud.

Ketentuan di atas ditindaklanjuti dengan ketentuan Pasal 80 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah yang menyatakan bahwa dalam hal Perda tentang pajak daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan Perda dimaksud. Begitu pula dalam ketentuan Pasal 17 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah yang mengatur bahwa dalam hal Perda Retribusi Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan membatalkan Perda dimaksud.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pengalaman dalam menerapkan pengawasan kebijakan daerah yang bersifat represif, meskipun terdapat ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus yang dapat mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, dan Undang-Undang yang baru mengesampingkan Undang-Undang lama, namun apabila mengatur hal yang sama Undang-Undang yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat seyogianya harus harmonis dan tidak saling tumpang tindih.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

18

PENGARUH PERDA TERHADAP AKTIVITAS PEREKONOMIAN DAERAH (UMKM) *)

Oleh : P. Agung Pambudhi **)

I. PENDAHULUAN

Sesuai dengan judul di atas, makalah ini akan memaparkan gambaran secara singkat tentang peraturan daerah (Perda) yang keberadaan dan arti pentingnya terhadap aktivitas perekonomian daerah yang secara terbatas akan dilihat kaitannya dengan upaya peningkatan kinerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Bank Indonesia diharapkan dapat berperan dalam memperbaiki kualitas kebijakan (Perda) untuk mendukung pengembangan UMKM.

Pada dasarnya Perda adalah instrumen hukum pemerintah daerah (Pemda) dalam melaksanakan kebijakan pemerintah (pusat) dan kebijakan Pemda itu sendiri. Dalam proses penyusunannya, Perda merupakan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif (DPRD)1. Implementasi Perda ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota)

*) Bahan tayangan dalam seminar Perda

dan UMKM di Bank Indonesia pada tanggal 29 Maret 2007.

**) Direktur Eksekutif, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).

1 Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

dan/atau Surat Keputusan Kepala Daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan Perda.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan hukum Perda berada di bawah produk hukum nasional yang mempunyai hierarki sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang;

3. Peraturan Pengganti Undang-Undangan;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah;

Berdasarkan hierarki tersebut, untuk menjalankan fungsi pemerintahan, pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap keberadaan Perda agar sesuai dengan kebijakan secara nasional. Pemaparan ini tidak membahas secara teknis mengenai mekanisme pengawasannya. Namun perlu diketahui bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk meminta Pemda melakukan revisi Perda, bahkan juga berwenang untuk membatalkannya. Lebih lanjut, dalam survei tahunan yang

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

19

dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006, Peraturan Daerah sebagai wujud dari kebijakan daerah merupakan salah satu dari 14 variabel yang menentukan daya saing investasi Kabupaten/Kota seperti dalam gambar berikut.

Gambar: Hierarki Faktor dan Variabel

Pemeringkatan Daya Saing Daerah

Mengapa Perda?

Dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, terdapat 1 (satu) dari 85 (delapan puluh lima) kebijakan yang harus dilakukan yaitu “serangkaian tindakan mengenai Perda2”.

2 Presiden SBY dalam suatu kesempatan

menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perbaikan iklim investasi, yaitu: a. akses pendanaan; b. pajak; c. perizinan usaha; d. kepastian hukum; e. keamanan dan ketertiban; f. stabilitas politik; g. infrastruktur; h. tenaga kerja;

HIRARKI FAKTOR DAN VARIABEL PEMERINGKATAN

DAYA SAING INVESTASI DAERAH

KELEMBAGAAN KEAMANAN, POLITIK, SOSBUD

EKONOMI DAERAH

TENAGA KERJA INFRA STRUKTUR FISIK

? Kepastian Hukum

? Aparatur & Pelayanan

? Kebijakan Daerah

? Kepemimpinan Lokal

? Keamanan

? Politik ? Sosial

Budaya

? Potensi Ekonomi

? Struktur Ekonomi

? Ketersediaan TK

? Kualitas TK ? Biaya TK

? Ketersediaan Infrastruktur Fisik

? Kualitas Infrastruktur Fisik

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

20

Kadin juga menyebutkan pentingnya Perda sebagai salah satu hal yang harus dicermati dalam perbaikan iklim investasi di Indonesia bersama-sama dengan faktor-faktor lainnya, yaitu:

a. jaminan kepastian dan penegakan hukum;

b. perpajakan yang kompetitif;

c. ketenagakerjaan yang fleksibel;

d. infrastruktur yang memadai

e. otonomi daerah yang benar khususnya mengenai Perda.

Berbagai studi mengenai Perda yang dilakukan KPPOD pada tahun 2001-2007, SMERU (2001), dan REDI (2004) menunjukkan peran Perda terhadap aktivitas ekonomi. Dari berbagai studi tersebut dapat disimpulkan bahwa Perda yang baik akan mendukung atau setidaknya tidak menghambat aktivitas ekonomi/usaha. Demikian pula sebaliknya, bahwa Perda yang buruk akan menghambat aktivitas usaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga menurunkan daya saing produk di daerah yang bersangkutan.

Kajian Peraturan Daerah

Jenis Perda sangat beragam baik yang terkait dengan aktivitas perekonomian (usaha) secara langsung ataupun tidak langsung, termasuk UMKM yaitu:

a. Perda mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJM) Daerah, yang mencerminkan visi dan misi pimpinan daerah, di antaranya mencakup komitmen pengembangan usaha termasuk UMKM.

b. Perda mengenai Susunan Organisasi Tata Kepemerintahan yang ikut menentukan kinerja pelayanan aktivitas usaha (termasuk UMKM). Misalnya: penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang lebih memudahkan dan menyingkat waktu bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.

c. Perda mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang memuat komitmen anggaran bagi pengembangan iklim usaha dan UMKM. Misalnya: jalan, air bersih, pemasaran, keuangan.

d. Perda mengenai Perizinan Usaha yang umumnya menyatu dengan Perda Pajak dan Retribusi Daerah, apakah dinilai membebani dunia usaha dan adanya kebijakan khusus.

e. Perda mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), menentukan lokasi usaha, ragam jenis dan skala usaha.

f. Perda mengenai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), perlu ditinjau apakah akan mengambil

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

21

domain usaha swasta dan lahan UMKM.

Pembahasan perda difokuskan pada jenis-jenis perda yang secara langsung terkait dengan aktivitas perekonomian daerah dan secara khusus dibatasi pada perda mengenai pungutan pajak, retribusi, dan jenis-jenis pungutan lainnya.

Pembahasan perda pajak dan retribusi daerah tidak bisa dilepaskan dari pijakan hukum nasional yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU Pajak dan Retribusi Daerah); dan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

UU Pajak dan Retribusi Daerah tersebut mendefinisikan pajak daerah sebagai iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Dalam literatur lain menyebutkan bahwa fungsi pajak bersifat reguleren (mengatur) dan budgeter (pemasukan bagi anggaran keuangan).

Perda pajak daerah amat jelas mengemban fungsi budgeter untuk pemasukan PAD. Sesuai filosofi dasarnya, pengenaan pajak tidak mensyaratkan pemberian manfaat

langsung dari pemungut pajak (pemerintah) kepada pembayar pajak. Manfaat pungutan pajak dialokasikan untuk penyediaan barang publik yang manfaatnya diterima tidak secara langsung oleh pembayar pajak, namun bagi kepentingan umum masyarakat sehingga ketentuan pajak dapat dikenakan ke obyek pajak dan dipaksakan pada subyek pajaknya melalui peraturan perundang-undangan.

Untuk memastikan tepat tidaknya penerapan pajak sebelum dipaksakan dalam UU, beberapa kriteria penerapan pajak harus dipenuhi. Kriteria tersebut adalah:

? tax yield pajak (hasil pungutan atas pajak) harus memadai bila dibandingkan dengan biaya pungutan pajak.

? prinsip equity (keadilan) baik secara vertikal (subyek pajak yang mempunyai keadaan yang berbeda dikenakan beban pajak yang berbeda) maupun horisontal (subyek pajak yang mempunyai keadaan sama dikenakan beban pajak yang sama).

? efisiensi ekonomi, artinya pajak tidak boleh mengakibatkan dampak ekonomi negatif.

? secara politis pajak harus dapat diterima oleh masyarakat dan secara administratif harus dapat dilaksanakan.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

22

Sementara mengenai retribusi, kebanyakan literatur menyebutkannya sebagai pungutan yang dibebankan pada pihak yang menerima manfaat langsung atas jasa yang diberikan oleh pemungut retribusi (pemerintah). Dari batasan definisi tersebut jelas bahwa pungutan retribusi harus memberikan manfaat langsung bagi pembayar retribusi. Oleh karenanya, pungutan retribusi dari pemda yang semata-mata hanya membebankan pungutan dengan mengabaikan kontra prestasi berupa manfaat langsung bagi pembayar retribusi adalah tidak tepat.

Dari filosofi teoritis pajak dan retribusi daerah tersebut, yang harus dikaji secara cermat adalah fungsi reguleren yang bisa dipaksakan melalui UU untuk tujuan suatu pengaturan tertentu, apakah diterapkan secara tepat. Untuk mengukur tepat tidaknya penerapan fungsi reguleren tersebut harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya yang lebih luas termasuk di dalamnya pertimbangan sosial–kemasyarakatan dan sosial–politik.

Pada tingkat inilah kajian suatu perda sering memasuki wilayah abu-abu karena longgarnya prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan dan politik dalam konteks pungutan daerah. Hal ini yang menghasilkan kriteria ‘prinsip kepentingan umum’ sebagaimana tercantum dalam UU

Pajak dan Retribusi Daerah. Sebagai suatu pedoman analisis, memahami suatu pungutan daerah yang ‘tidak bertentangan dengan kepentingan umum’ sangat sulit karena sifat analisis bisa sangat subyektif. Oleh karenanya prinsip dasar ekonomi dan hukum sebagaimana diuraikan di atas dapat membantu untuk panduan analisis.

Berpijak pada beberapa referensi yang secara singkat diuraikan di atas tersebut, melandasi KPPOD (pada tahun 2002 dan 2006) dalam menerapkan sejumlah kriteria dalam menganalisis perda yang mengatur tentang pungutan daerah (kebanyakan pajak dan retribusi daerah).

Studi perda yang dilakukan KPPOD, menilai kualitas perda sesuai tingkat permasalahannya terhadap 14 (empat belas) kriteria berikut: 1. Relevansi acuan yuridis;

2. Up-to-date acuan yuridis;

3. Kelengkapan yuridis formal;

4. Kesesuaian tujuan perda dengan isi pasal-pasalnya;

5. Kejelasan obyek;

6. Kejelasan subyek;

7. Kejelasan hak dan kewajiban subyek pungutan;

8. Kejelasan standar pelayanan: prosedur, tarif, dan waktu;

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

23

9. Kesesuaian filosofi pungutan pajak dan retribusi;

10. Hambatan pada lalu lintas perdagangan dalam negeri;

11. Persaingan sehat;

12. Dampak ekonomi negatif (misal: adanya pungutan ganda);

13. Pelanggaran akses ekonomi masyarakat dan kepentingan umum;

14. Pelanggaran kewenangan tiap tingkat pemerintahan.

Kriteria kriteria tersebut di atas digunakan KPPOD untuk mengidentifikasi tingkat pelanggaran/ permasalahan perda terhadap kriteria-kriteria tersebut, yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok permasalahan yaitu:

a. permasalahan teknis–yuridis formal (kriteria 1-3);

b. permasalahan substansial (kriteria 4-9) dan;

c. permasalahan prinsipiil (10-14).

Di luar perda-perda yang bermasalah tersebut adalah Perda yang tidak bermasalah.

Atas dasar kriteria-kriteria penilaian tersebut di atas, studi KPPOD tahun 2006 atas 1.379 perda pungutan daerah yang diterbitkan oleh 228 pemda Kabupaten/Kota ternyata menghasilkan berbagai jenis permasalahan.

Berikut ini adalah contoh ringkasan beberapa jenis permasalahan perda pungutan daerah:

a. Perda Nomor 2 Tahun 2001 tentang Retribusi Asal Komoditas (Kabupaten Pasaman)3, beberapa hal yang perlu dicermati yaitu:

• Obyek perda: izin usaha komoditas, penjualan/ pemasaran komoditas yang masuk dan keluar daerah dengan SKA (Surat Keterangan Asal).

• Tarif:

1) izin usaha komoditas Rp.50.000,- ;

2) SKA: bervariasi tergantung komoditasnya; Perkebunan (2%), Pertanian dan Hortikultura – Peternakan – Perikanan (1/2 o/oo) dari Harga Dasar.

• Catatan: melanggar prinsip free internal trade, menjadi beban tambahan biaya yang mengakibatkan komoditas tidak kompetitif.

b. Perda Nomor 16 Tahun 2002 Kota Padang tentang Pajak Penerangan Jalan, beberapa hal yang perlu dicermati yaitu:

3 Dalam catatan KPPOD, Perda ini telah

dibatalkan oleh pemerintah.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

24

• Obyek: setiap penggunaan tenaga listrik dari PLN maupun non-PLN.

• Tarif: 10%xNJTL-Nilai Jual Tenaga Listrik (PLN), 5%xNJTL (non-PLN); untuk Industri-Pertambangan MIGAS dikenakan NJTL 30%.

• Catatan: perlu dipertimbangkan pengecualian pajak bagi Industri yang menyediakan tenaga listrik dengan investasi dan perawatan sendiri karena industri tersebut berinvestasi untuk cadangan pasokan PLN yang kurang memadai dan kualitas yang sering terganggu.

c. Perda Nomor 13 Tahun 2003 Kabupaten Serang tentang Ketentuan Penyelenggaraan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja/Buruh Perusahaan Swasta, beberapa hal yang perlu dicermati yaitu:

• Fasilitas/kesejahteraan buruh yang wajib diselenggarakan perusahaan meliputi penyelenggaraan dan penyediaan sarana adalah: sarana dan fasilitas: kesehatan, peribadatan, olah raga, transportasi, tempat makan, seragam kerja, rekreasi, koperasi, jaminan kecelakaan di luar jam kerja.

• Sanksi pelanggaran: (administrasi) teguran, peringatan tertulis, pidana selama-lamanya 6 bulan kurungan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

• Catatan: jaminan kecelakaan di luar jam kerja (ketika tidak dalam rangka tugas kerja) memberatkan dan tidak lazim dikenakan; penyediaan berbagai sarana yang dipersyaratkan akan sulit dipenuhi UKM.

d. Qanun (Perda) Nomor 14 Tahun 2004 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga (Kabupaten Nagan Raya)4, beberapa hal yang perlu dicermati yaitu:

? Mengenakan sumbangan barang yang diolah, dijual, atau diangkut ke daerah lain dengan tarif tertentu, misalnya: Kayu Dalam Rp.30.000/M3, TBS Rp.5/Kg, Vanilli Rp.500/Kg, Beras Rp.5/Kg, dan lain-lain.

• Catatan: merupakan bentuk lain dari pajak komoditi di beberapa daerah yang sudah dibatalkan karena melanggar prinsip free internal trade.

4 Dalam catatan KPPOD, Perda ini telah

dibatalkan oleh pemerintah.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

25

e. Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pelayanan & Retribusi Ketenagakerjaan (Kota Bekasi), beberapa hal yang perlu dicermati yaitu:

• Obyek: pelayanan bidang ketenagakerjaan; diantaranya: perpanjangan IKTA (Izin Kerja Tenaga Asing), pembinaan TKI (Tenaga Kerja Indonesia), pengawasan peralatan (ketel uap, lift, dll), izin penyimpangan waktu kerja, pengesahan PP, pendaftaran KKB, izin LLS, legalisasi sertifikat uji ketrampilan, dll.

• Tarif: bervariasi, misalnya: IKTA (USD 100/bulan), Lift Rp. 250.000/tahun, dll).

• Catatan:

1) berbagai pelayanan ketenagakerjaan tersebut banyak yang merupakan pelayanan umum kepemerintahan sebagai TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) dinas terkait (dinas tenaga kerja) yang dibiayai dari penerimaan umum kepemerintahan. Dengan mempertimbangkan berbagai penyediaan fasilitas di atas terkait dengan kebutuhan produksi, keselamatan

kerja, dan hubungan industrial, serta mempertimbangkan tupoksi dinas yang bersangkutan, beberapa jenis pelayanan tersebut tidak semestinya dikenakan pungutan retribusi.

2) IKTA merupakan pungutan (PNBP – Penerimaan Negara Bukan Pajak) Pemerintah Pusat bukan Pemda.

Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Usaha (UMKM)

Pungutan daerah melalui perda-perda yang bersifat distortif tersebut yang dilakukan secara legal atas perda yang berlaku yaitu perda yang tidak/belum dibatalkan pemerintah, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perda-perda tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Tidak saja terhadap UMKM, namun implementasi perda distortif juga berakibat negatif pada semua skala jenis usaha.

Meski sebagian besar pungutan yang diatur dalam perda tidak besar, kecuali untuk beberapa jenis pungutan komoditi yang cukup signifikan, pengaruhnya terhadap daya saing produk relatif besar. Hal tersebut karena beban biaya pajak dan non-pajak secara kumulatif

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

26

sudah besar dibandingkan beberapa kompetitor langsung produk-produk Indonesia. Selain beban biaya, penerapan perda yang distortif mengakibatkan opportunity cost pelaku usaha, yang seharusnya fokus pengembangan usahanya namun terpaksa harus menyisihkan energinya untuk silang pendapat dengan pemerintah akibat perda distortif tersebut.

Selain biaya resmi pungutan atas dasar perda, pelaku usaha juga menanggung sejumlah biaya ilegal. Dari studi KPPOD (2006) total biaya ilegal terhadap biaya operasional pelaku usaha kategori UMKM sebesar 6,9%. Biaya ilegal tersebut terjadi baik dalam proses perizinan usaha, pungutan di jalur distribusi produk, pungutan di lokasi usaha, dll. (biaya mendapatkan izin usaha daerah 209,4% dari biaya resmi yang dialami 87% dari 8.727 Pelaku Usaha dari 228 Kab/Kota).

Dalam hal pelayanan perizinan yang diatur dalam perda, kinerja pemda juga tidak menggembirakan karena waktu (rata-rata) mendapatkan izin usaha daerah (Izin Lokasi, SIUP, HO, IMB, TDP) adalah 33 hari dari 17 hari (rata-rata) yang tertera di ketentuan. Aspek perizinan juga perlu diperhatikan oleh UMKM karena ada beberapa manfaat dengan menjadikan UMKM sebagai usaha formal, diantaranya: meningkatnya akses ke perbankan; meningkatnya

akses pasar; mendapatkan dukungan program pemerintah; rasa nyaman berusaha. Sementara itu, pemerintah akan mendapat manfaat dari pemasukan pajak dan akses perlindungan tenaga kerja.

Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa Perda distortif dan praktek buruk dalam implementasinya menyebabkan turunnya daya saing daerah yang bersangkutan, dan menyebabkan kerugian bagi daerah itu sendiri karena mengakibatkan keengganan pelaku usaha menanamkan usahanya di daerah yang bersangkutan. Akibatnya, aktivitas perekonomian tidak meningkat dan penyerapan tenaga kerja stagnan.

Peran Bank Indonesia

Segenap unsur stakeholder pembangunan daerah dapat memainkan peran untuk memperbaiki iklim investasi daerah baik yang terkait perda maupun hal-hal lainnya. Demikian pula, Bank Indonesia juga dapat ikut mengambil peran tersebut.

Bantuan teknis bisa diberikan Bank Indonesia kepada pemda untuk meningkatkan kualitas perda. Perlu dicatat bahwa salah satu penyebab munculnya perda distortif adalah rendahnya kualitas proses penyusunan perda. Bank Indonesia diharapkan dapat membantu Pemda dalam melembagakan Regulatory

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

27

Impact Assessment/Analysis (RIA) dalam proses penyusunan Perda.

RIA adalah cost and benefit analysis, menganalisa potensi manfaat dan biaya yang akan/telah terjadi akibat suatu kebijakan dengan salah satu unsur penting yaitu adanya partisipasi publik dalam penyusunannya, di luar tahapan RIA lainnya yang dapat dilihat dalam skema berikut.

TAHAPAN REVIEW REGULASI

STEP 1

PERUMUSAN MASALAH

STEP 2

IDENTIFIKASI TUJUAN

STEP 3 IDENTIFIKASI ALTERNATIF (OPSI)

PENYELESAIAN MASALAH

STEP 4 ANALISIS MANFAAT DAN

BIAYA SETIAP OPSI

STEP 5 PENILAIAN RISIKO (RISK ASSESMENT)

STEP 6 PENENTUAN OPSI TERBAIK DALAM

MENYELESAIKAN MASALAH

STEP 7 PERUMUSAN STRATEGI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

RIA pada dasarnya adalah kerangka kerja melalui serangkaian tahap untuk melakukan penilaian tentang perlu tidaknya membuat suatu pengaturan melalui suatu kebijakan. Analisis menggunakan RIA tidak hanya untuk membuat suatu kebijakan baru namun juga dapat digunakan untuk evaluasi kebijakan misalnya perda, yang sudah berlaku.

Bank Indonesia melalui bantuan teknis juga dapat memfasilitasi Pemda dalam menyediakan anggaran untuk tenaga ahli yang mendampingi pelembagaan PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) untuk perizinan (usaha) maupun non-perizinan (masyarakat luas). Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan beberapa lembaga yang telah mempunyai cukup pengalaman mendampingi Pemda dalam melembagakan PTSP.

Bank Indonesia diharapkan juga dapat memberikan bantuan kepada Pemda dengan mensosialisasikan hasil-hasil kajian atau data-data tentang perekonomian daerah yang dibuat oleh masing masing Kantor Bank Indonesia di daerah. Sosialisasi melalui lokakarya atau pelatihan mengenai hal itu secara reguler pasti akan menjadi sarana pendidikan dalam peningkatan kapasitas personil dan lembaga Pemda.

K O M U N I K A S I

D E N G A N

S T A K E H O L D E R

K O M U N I K A S I

D E N G A N

S T A K E H O L D E R

Sumber: Takuji K, Hari S, Idgan F, 2003.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

28

Untuk lingkup yang lebih luas, secara nasional dalam rangka meningkatkan akses UMKM terhadap permodalan, sejumlah peraturan Bank Indonesia dapat lebih dioptimalkan. Bank Indonesia sebaiknya juga mengeluarkan atau mengubah sejumlah regulasi untuk lebih mendukung perkembangan UMKM.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

29

PERAN SERTA BANK INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) *)

Oleh : Andang Setyobudi, SE **)

I. PENDAHULUAN

Membangun ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan Pemerintah, lembaga-lembaga di sektor keuangan dan pelaku-pelaku usaha. Pemerintah sebagai pembuat dan pengatur kebijakan diharapkan dapat memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, sehingga lembaga keuangan baik perbankan maupun bukan perbankan serta pelaku usaha di lapangan mampu memanfaatkan kebijakan dan melaksanakan kegiatan usaha dengan lancar, yang pada akhirnya dapat mendorong percepatan pembangunan ekonomi.

Salah satu pelaku usaha yang memiliki eksistensi penting namun kadang dianggap “terlupakan” dalam percaturan kebijakan di negeri ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Padahal jika kita mengenal lebih jauh dan dalam, peran UMKM bukanlah sekedar pendukung dalam kontribusi ekonomi nasional.

UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis. Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data empiris yang mendukung

bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu:

a. Pertama, jumlah industri yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Pada tahun 2005 tercatat jumlah UMKM adalah 44,69 unit atau 99,9% dari jumlah total unit usaha1.

b. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 77,68 juta tenaga kerja atau 96,77% dari total angkatan kerja yang bekerja.

c. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 54,22% dari total PDB.

*) Makalah disampaikan dalam Seminar

tentang Perda dan UMKM pada 29 Maret 2007 di Bank Indonesia.

**) Analis Madya Senior, Biro Kredit-Bank Indonesia.

1 Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Koperasi dan UMK pada tahun 2005.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

30

Perkembangan kinerja perbankan setelah krisis ekonomi serta membaiknya country rating Indonesia sangat menunjang bagi peningkatan fungsi intermediasi perbankan, baik kepada korporasi maupun UMKM. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan penyaluran kredit pada kedua sektor tersebut dari waktu ke waktu. Selain itu dengan memperhatikan kuatnya daya tahan UMKM dalam menghadapi krisis ekonomi telah menarik minat perbankan untuk meningkatkan pembiayaannya bagi UMKM.

Kebijakan pengembangan dan pemberdayaan UMKM akan selalu melibatkan peran pemerintah, Bank Indonesia dan lembaga-lembaga lainnya yang peduli UMKM. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM bahwa banyak departeman dan kementrian yang memiliki program yang terkait dengan pengembangan UMKM, BUMN-BUMN yang memiliki program “community development” untuk UMKM, LSM-LSM, lembaga asing dan donor yang memberikan perhatian demikian banyak kepada UMKM. Namun demikian jika UMKM masih juga belum banyak berkembang dan dianggap masih jauh dari harapan, maka diperlukan kebijakan yang lebih kondusif, koordinatif dan integrated dalam membenahi sektor yang paling

banyak menyangkut hajat hidup orang banyak.

Memahami permasalahan UMKM, agar dapat meneropong dengan lebih jelas, kita harus melihat banyak dimensi dengan perspektif yang lebih luas. UMKM dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain aspek pemasaran, produksi, SDM dan manajerial, legalitas, keuangan dan permodalan, ketenagakerjaan dan aspek lainnya. Seluruh aspek tersebut selalu berkaitan dalam upaya pengembangan UMKM. Meskipun dari berbagai kajian dan kondisi di lapangan, aspek pemasaran, SDM dan permodalan atau pembiayaan sering menjadi isu terpenting dalam permasalahan yang dihadapi UMKM.

Kategori Permasalahan UMKM:

1. Permasalahan yang bersifat klasik dan mendasar pada UMKM (basic problems), antara lain berupa permasalahan modal, bentuk badan hukum yang umumnya non formal, SDM, pengembangan produk dan akses pemasaran;

2. Permasalahan lanjutan (advanced problems), antara lain pengenalan dan penetrasi pasar ekspor yang belum optimal, kurangnya pemahaman terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar, permasalahan hukum yang

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

31

menyangkut hak paten, prosedur kontrak penjualan serta peraturan yang berlaku di negara tujuan ekspor;

3. Permasalahan antara (intermediate problems), yaitu permasalahan dari instansi terkait untuk menyelesaikan masalah dasar agar mampu menghadapi persoalan lanjutan secara lebih baik. Permasalahan tersebut antara lain dalam hal manajemen keuangan, agunan dan keterbatasan dalam kewirausahaan. Dengan pemahaman atas permasalahan di atas, akan dapat ditengarai berbagai problem dalam UMKM dalam tingkatan yang berbeda, sehingga solusi dan penanganannya pun seharusnya berbeda pula.

Sementara itu, dari hasil survei tentang profil UMKM yang dilakukan oleh Bank Indonesia, terdapat permasalahan maupun kendala UMKM yang dilihat dari perspektif UMKM itu sendiri maupun dari perbankan. Dari sisi UMKM beberapa variabel penting yang masih rendah kinerjanya antara lain: ? kemudahan UMKM dalam

memperoleh ijin; ? kemampuan UMKM untuk

mengelola keuangan; ? ketepatan waktu dan jumlah

perolehan kredit dan;

? tenaga kerja yang trampil.

Sedangkan dari sisi perbankan, variabel-variabel UMKM yang berkinerja rendah di antaranya adalah:

? kemampuan pengelolaan keuangan;

? kapabilitas pemasaran; ? ketrampilan tenaga kerja;

? kontrol kualitas dalam produksi.

II. PEMBIAYAAN PERBANKAN KE

SEKTOR UMKM

Sejalan dengan kondusifnya makro ekonomi dan perubahan paradigma perbankan dalam memandang UMKM dalam beberapa tahun belakangan ini kita mencermati adanya perubahan perilaku bisnis perbankan yang lebih mengarah pada segmen UMKM. Kondisi ini sangat berbeda dengan era masa lalu di mana orientasi penyaluran kredit perbankan terlalu memusatkan pada korporasi yang dianggap lebih memberikan keuntungan besar secara ekonomis.

Sedangkan sektor UMKM kerap kali mengalami hambatan dalam memperoleh akses dana dan sering dibiayai melalui program pemerintah yang cenderung bersifat subsidi atau sumber dana relatif murah dari para donor. Dalam perkembangannya, penyaluran kredit UMKM semakin lama semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya portofolio

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

32

perbankan untuk pemberian kredit UMKM.

Perkembangan kredit UMKM yang bersumber dari kredit bank, menunjukkan baki debet pada akhir Juni 2007 telah mencapai Rp. 462,12 trilyun atau 52,5% kredit perbankan dengan komposisi: ? usaha mikro sebesar Rp. 186,52

trilyun atau 40,4%; ? usaha kecil sebesar Rp. 131,95

trilyun atau 28,6%; ? usaha menengah sebesar Rp.

143,69 trilyun atau 31,1%.

Secara keseluruhan terdapat pertumbuhan sebesar 18,4% bila dibandingkan dengan posisi yang sama pada tahun 2006 yaitu Rp. 427,99 trilyun. Sementara net NPLs kredit UMKM 3,19% dan total kredit perbankan sebesar 2,61%.

Sementara itu hingga Juni 2007 nett ekspansi kredit perbankan yang disalurkan ke sektor UMKM sebesar Rp. 34,2 trilyun atau 48,1% dari total business plan tahun 2007 telah mencapai lebih dari 19,1 juta rekening dibandingkan pada Juni 2006 yang berjumlah 18,2 juta.

Berdasarkan jenis penggunaan kredit, prosentase terbesar penggunaan kredit UMKM adalah untuk kredit konsumsi dimana per Juni 2007 adalah sebesar 66,7%, yang diikuti oleh kredit modal kerja sebesar 22% dan kredit investasi sebesar 11,3%. Besarnya prosentase

kredit konsumsi tersebut juga menunjukkan bahwa penyaluran kredit UMKM ke sektor usaha yang produktif masih perlu ditingkatkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyediaan kredit perbankan untuk mendukung pengembangan UMKM sebenarnya sudah cukup besar, karena telah mencapai separuh dari alokasi total kredit perbankan. Strategi yang sebaiknya diterapkan perbankan di masa mendatang harus lebih ekspansif untuk menggali potensi dan kemajuan sektor UMKM, untuk menunjukkan keyakinan perbankan bahwa pasar pembiayaan di sektor ini masih belum jenuh dan menjanjikan.

Apabila kita cermati, penetrasi bank-bank kepada sektor UMKM tersebut bukan hanya sekedar mengikuti trend, melainkan suatu strategi yang mendasari keputusan bisnis yang mengukuhkan bahwa UMKM merupakan sektor yang prospektif sehingga layak untuk dibiayai dan menguntungkan.

III. KEBIJAKAN BANK INDONESIA DALAM PEMBERDAYAAN UMKM

Dengan diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia dalam membantu pengembangan UMKM

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

33

mengalami perubahan paradigma yang cukup mendasar karena BI tidak dapat lagi memberikan bantuan keuangan atau Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sehingga peranan Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM berubah menjadi tidak langsung. Pendekatan yang digunakan kepada UMKM bergeser dari development role menjadi promotional role. Pendekatan yang memberikan subsidi kredit dan bunga murah sudah bergeser kepada pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kegiatan pelatihan kepada petugas bank, penelitian dan penyediaan informasi.

Dengan kondisi seperti itu, Bank Indonesia masih tetap memberikan dukungan, namun kebijakan BI baik dari sisi supply maupun sisi demand lebih difokuskan dalam rangka mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan serta untuk mendukung sistem perbankan yang sehat. Dari sisi supply, Bank Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan perbankan sehingga dapat meningkatkan pemberian kredit kepada UMKM namun tetap prudent.

Kebijakan tersebut antara lain dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil yang menganjurkan bank memberikan

sebagian kreditnya kepada usaha kecil; PBI Nomor 6/25/PBI/2004 dan SE Nomor 6/44/DPNP perihal Rencana Bisnis Bank Umum Dalam Penyaluran Kredit UMKM, sehingga diketahui komitmen bank dalam menyalurkan kredit UMKM; dan SE nomor 8/3/DPNP, dimana dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) bobot risiko untuk KUK dikenakan sebesar 85%.

Dari sisi demand, kebijakan Bank Indonesia lebih difokuskan pada penguatan lembaga pendamping UMKM melalui peningkatan capacity building dalam bentuk pelatihan dan kegiatan penelitian yang menunjang pemberian kredit kepada UMKM.

Beberapa upaya yang dilakukan antara lain:

a. pelatihan-pelatihan kepada lembaga pendamping UMKM, dalam rangka meningkatkan kemampuan kredit UMKM. Pada periode Januari-Juni 2007, Bank Indonesia telah memberikan pelatihan kepada 819 orang pendamping UMKM atau konsultan keuangan mitra bank (KKMB) dengan jumlah kredit yang berhasil dihubungkan dengan bank mencapai lebih dari Rp. 155 miliar untuk 2.582 UMKM;

b. Pendirian Pusat Pengembangan Pendamping UKM (P3UKM), sebagai pilot project di Bandung.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

34

P3UKM antara lain bertugas melakukan pelatihan dan akreditasi pendamping UKM. Pada bulan Juli 2007 lembaga sejenis telah didirikan di Kalimantan Selatan dan pada bulan September ini lembaga sejenis direncanakan juga didirikan di Sulawesi Selatan;

c. Pengembangan Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) sebagai sarana untuk lebih menyebarluaskan secara cepat hasil-hasil penelitian dan berbagai informasi lainnya. SIPUK terdiri dari Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB), Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE), Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ lending model Usaha Kecil (SILMUK), Sistem

Penunjang Keputusan Untuk

Investasi (SPKUI); dan Sistem Informasi Prosedur Memperoleh

Kredit (SIPMK). SIPUK ini dapat

diakses melalui website Bank

Indonesia di www.bi.go.id.

d. Berbagai penelitian dalam rangka memberikan informasi untuk mendukung pengembangan UMKM. Kegiatan penelitian terutama diarahkan untuk mendukung penetapan arah dan kebijakan Bank Indonesia dalam rangka pemberian bantuan teknis dan

juga dalam rangka penyediaan informasi yang berguna dalam rangka pengembangan UMKM. Penelitian tersebut disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan UMKM serta untuk menggali potensi sektor UMKM di tiap-tiap daerah di Indonesia. Dalam upaya meningkatkan peran UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pada tahun 2005 Bank Indonesia telah melakukan survei untuk memperoleh gambaran mengenai potensi dan permasalahan yang dihadapi UMKM ditinjau dari berbagai aspek. Pada tahun 2007, Bank Indonesia melakukan kajian identifikasi peraturan pusat dan daerah dalam rangka pengembangan UMKM serta kajian dan implementasi pilot project klaster pengembangan UMKM.

IV. PENUTUP

Peranan Bank Indonesia dalam pengembangan UMKM mengalami perubahan paradigma, namun bukan berarti kebijakan dan strategi untuk mendukung UMKM menjadi berkurang tetapi disesuaikan dengan perundang-undangan baru yang berlaku. Untuk itulah, kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan dan pemberdayaan UMKM adalah dalam rangka

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

35

mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan serta untuk mendukung sistem perbankan yang sehat, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Dukungan Bank Indonesia melalui kebijakan yang bersifat demand side maupun supply side bertujuan untuk lebih meningkatkan upaya-upaya akses UMKM kepada perbankan melalui mekanisme hubungan bisnis yang saling menguntungkan sehingga dapat berkesinambungan. Upaya-upaya ini diharapkan dapat membangun sinergi, karena pada dasarnya bank dan UMKM saling membutuhkan sehingga mampu menjembatani gap antara aspek kehati-hatian yang diterapkan dalam operasi perbankan dengan UMKM yang potensial namun belum bankable.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

36

PERBAIKAN USAHA MIKRO DI KABUPATEN TANAH DATAR MELALUI PEMBERIAN KREDIT TANPA AGUNAN*)

OLEH : NASRUDDIN**)

I. GAMBARAN UMUM

Kabupaten Tanah Datar yang terletak kurang lebih 103 km dari kota Padang, Ibukota Propinsi Sumatera Barat memiliki 14 kecamatan dan 75 nagari (setingkat desa) dengan luas wilayah 1333.600 ha yang terbagi atas 126.200 ha daratan dan 7400 ha pesisiran. Wilayah agraris dengan suhu udara berkisar 120-250 C dan curah hujan 2200 mm/tahun, daerah ini memiliki beberapa keuntungan alam dan kondisi perekonomian di sektor pertanian, industri, perdagangan dan jasa sebagai penopang perputaran ekonomi daerah1.

Tanah Datar berbatasan dengan Kabupaten Agam dan 50 Kota di sebelah utara, dengan Kabupaten Solok di sebelah selatan serta Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang Panjang di sebelah barat. Pola penggunaan tanah di Kabupaten Tanah Datar dipengaruhi

*) Makalah disampaikan dalam seminar

tentang Perda dan UMKM di Bank Indonesia tanggal 29 Maret 2007.

**) Anggota Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia

1 Data Badan Koordinasi Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI).

dan ditentukan oleh ekologi daerah dengan komposisi sebagai berikut:

1. Sawah : 28.910 ha (21,64%)

2. Perkampungan : 8.492 ha (6,35%)

3. Perkebunan : 18.429 ha (12,60%)

4. Pertanian Sawah Kering : 16.245 ha (13,66%)

5. Perkebunan Campuran : 5.190 ha (3,88%)

6. Tanah Tandus : 1.208 ha (0,90%)

7. Rawa dan Danau : 6.420 ha (4,81%)

8. Kolam Ikan : 863 ha (0,85%)

9. Hutan : 47.442 ha (53,51%)

a. Jumlah penduduk Tanah Datar kurang lebih 329.962 jiwa dengan tingkat kepadatan mencapai 246 jiwa per km2, dengan pertambahan penduduk sekitar 0,06% per tahun. Sebanyak 70% penduduk bekerja di sektor pertanian termasuk bidang perindustrian, perdagangan, pariwisata dan jasa yang berbasis pertanian.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

37

Berdasarkan data tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tanah Datar adalah 18.229 Kepala Keluarga. Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar (Pemerintah) untuk mengurangi dan mengentaskan kemiskinan, termasuk dengan Program Perbaikan Usaha Mikro Melalui Pemberian Kredit Tanpa Jaminan.

II. USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN TANAH DATAR

Situasi Sebelum Inisiatif

Masalah Usaha Mikro tidak dapat terlepas dari permasalahan eksternal dan internal yang mengiringinya.

a. Permasalahan internal usaha mikro:

? Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia baik dilihat dari segi penguasaan teknologi maupun ketrampilan teknis pada bidang usaha terkait.

? Faktor manajemen usaha.

? Keterbatasan akses informasi dan akses pasar.

b. Permasalahan Eksternal usaha mikro:

? Kendala sumber daya permodalan.

? Aspek legalitas atau perijinan.

Usaha mikro seringkali menghadapi kesulitan dalam hal memenuhi persyaratan jaminan dalam pengajuan kredit perbankan.

Kedua permasalahan di atas akan berdampak pada rendahnya tingkat produktivitas usaha. Oleh karena itu, pada waktu Pemerintah memperkenalkan kembali kredit tanpa agunan seperti yang dilakukan pada tahun 1970-an, secara administratif terdapat kesulitan dan kerumitan dalam praktek di lapangan. Hal ini menyebabkan modal kerja sulit terpenuhi sehingga usaha mikro sulit berkembang.

Padahal usaha mikro merupakan salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan dan penggangguran melalui wira usaha, yang banyak dijumpai di Indonesia termasuk pula di Tanah Datar. Kendala permodalan merupakan “momok” tersendiri bagi pengusaha. Kesulitan meng-akses kredit dari perbankan karena bank hanya melayani pengusaha menengah ke atas yang cenderung sudah mapan dan memiliki jaminan kredit.

Dari pihak perbankan, faktor dominan yang mempengaruhi minat bank dalam melayani pengusaha mikro adalah rendahnya laba dan tingginya risiko kredit macet karena lemahnya manajemen, kondisi usaha

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

38

serta agunan yang digunakan tidak memadai.

Kesulitan mengakses bank itulah yang menjadi alasan para pengusaha mikro di Kabupaten Tanah Datar akhirnya meminjam modal kepada rentenir meskipun dengan bunga yang sangat tinggi, sanksi yang berat, jangka waktu yang pendek dan bersifat sangat mengikat. Para rentenir menerapkan azas kepercayaan, syarat yang mudah dan pola antar jemput, tanpa proses formalitas yang berbelit-belit. Namun para pengusaha tersebut tidak mampu mengembangkan usahanya dengan baik karena beban hutang dengan sistem “gali lubang tutup lubang”.

Situasi Setelah Inisiatif

Kondisi yang memprihatinkan dan menjadi trigger (pemicu) Pemerintah Kabupaten Tanah Datar untuk melahirkan program pemberantasan gerakan rentenir yang dikenal dengan nama “Program Perbaikan Usaha Mikro melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan” pada tahun 2006.

Lahirnya program tersebut berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar yang berfokus pada program pengentasan kemiskinan melalui perbaikan usaha mikro. Selain itu Pemerintah melalui Bupati Tanah

Datar secara berkala melakukan diskusi dengan para pedagang pasar yang diwakili oleh para pengurus pedagang pasar.

Dari hasil penelitian dan diskusi berkala tersebut, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menganggap Program Perbaikan Usaha Mikro melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan merupakan solusi yang tepat. Tujuan dari program ini adalah memberantas kemiskinan khususnya untuk usaha mikro yang belum memiliki legalitas usaha dan juga memberantas praktek rentenir yang dianggap meresahkan para pengusaha mikro. Selain itu program ini bertujuan untuk mengembangkan skala usaha mikro di Kabupaten Tanah Datar.

Sasaran program ini adalah para pengusaha mikro yang termasuk kategori pedagang skala mikro yang telah mempunyai tempat permanen di pasar dan para pedagang kaki lima. Sedangkan kredit yang diberikan akan dipergunakan bagi keperluan investasi atau modal kerja usaha-usaha produktif lainnya.

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan program ini, dalam proses awal Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menjalin kerja sama dengan melibatkan instansi terkait seperti Badan Usaha Investasi Daerah (BUID), Dinas Koperasi Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

39

(Koperindagtam), Kantor Pasar, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Sekretariat Daerah, Kantor Pasar, Bank Nagari dan Persatuan Pedagang Pasar Batusangkar.

Strategi Yang Diterapkan

Dalam rangka mengoptimalkan pemberian kredit kepada para pengusaha mikro, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menjalin kerjasama melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Bank Nagari Cabang Batusangkar sebagai pelaksana penyalur pinjaman.

Pada awal peluncuran program, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menerapkan sistem pilot project kepada para pedagang yang berada di Pasar Batusangkar. Sebagai tahap awal Pemerintah menganggarkan dana pada APBD tahun 2006 sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang disetorkan kepada Bank Nagari Cabang Batusangkar (Bank Nagari).

Strategi yang diterapkan oleh Pemerintah pada daerah pilot project adalah dengan menerapkan bunga pinjaman yang cukup rendah yaitu 10% per tahun dan tanpa jaminan apapun kecuali menjadi anggota Persatuan Pedagang Pasar Batusangkar (PPPB).

Dalam hal ini PPPB akan memberikan rekomendasi kredit

kepada anggota pedagang pasar yang mengajukan kredit. Selain itu pengembalian pinjaman dapat dilakukan dengan sistem “jemput bola”, sedangkan plafon kredit yang diberikan antara Rp.500.000,00 s/d Rp.5.000.000,00 dengan jangka waktu pengembalian maksimal 5 (lima) tahun. Bank Nagari sebagai pelaksana Program penguatan usaha mikro ini mengkategorikan menjadi Dana Penguatan Modal dan merekrut serta menempatkan petugas khusus di Kantor Pasar Batusangkar dengan persetujuan Bupati.

Dalam pencairan pinjaman kepada para pengusaha mikro Pemerintah Kabupaten Batusangkar dan Bank Nagari menetapkan prosedur sebagai berikut:

1. Calon peminjam mengajukan permohonan kredit melalui petugas dengan mengisi formulir yang telah disediakan dan dilengkapi dengan foto copy bukti diri Pemohon (Kartu Tanda Penduduk/KTP dan Kartu Keluarga /KK) serta rekomendasi dari Pengurus Pedagang Pasar Batusangkar.

2. Petugas khusus melakukan kunjungan ke alamat dan lokasi usaha calon peminjam untuk wawancara, mengumpulkan data dan informasi serta melakukan penilaian terhadap

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

40

diri, usaha dan sumber pengembalian kredit oleh calon peminjam. Penilaian yang dilakukan melalui tahap ini adalah berkaitan dengan:

a. kejelasan alamat usaha dan tempat tinggal nasabah sesuai KTP dan KK.

b. Karakter calon nasabah berdasarkan informasi dari para tetangga dan rekanan usaha tentang tingkah laku dan hubungannya dengan masyarakat terutama dalam hal keuangan.

3. Petugas khusus merumuskan hasil penilaian dan menyusun rekomendasi dengan menggunakan formulir yang telah disediakan dan selanjutnya mengajukan kepada pejabat yang berwenang untuk diberi persetujuan atau ditolak.

Setelah melalui tahapan tersebut, pinjaman yang diajukan dapat diterima dalam jangka waktu 1-2 hari. Selain prosedur peminjaman tersebut, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dan Bank Nagari menetapkan Prosedur Pembayaran dan Pelunasan Kredit, yaitu:

1. Petugas Khusus secara rutin mengamati jadwal angsuran dari seluruh peminjam.

2. Petugas Khusus mendatangi seluruh peminjam yang berada di

Pasar Batusangkar, sesuai dengan jadwal angsuran baik harian, mingguan ataupun bulanan.

3. Petugas Khusus mencatat dalam pembukuan dan menyetorkannya ke Bank Nagari.

Dalam pencatatan arus kas masuk dan keluar, Bank Nagari menerapkan pembukuan off balance sheet atau di luar pembukuan Bank Nagari. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan catatan pembukuan nasabah Bank Nagari dan nasabah Program Dana Penguatan Modal.

Keuntungan dari bunga yang diperoleh akan dibagi antara Pemerintah sebesar 40% dan Bank Nagari sebesar 60% setelah dipotong 10% untuk biaya operasional termasuk honor petugas khusus. Pendapatan dari keuntungan program ini merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tanah Datar.

Hasil Yang Dicapai

Dalam kurun waktu satu tahun pelaksanaan program ini, para pengusaha mikro di pasar Batusangkar benar-benar merasakan manfaatnya. Permodalan dan pengembangan usaha mereka terpenuhi dengan baik, berdasarkan tabel jumlah pengusaha mikro yang telah mendapatkan kredit berikut.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

41

NO Klasifikasi Pedagang Jumlah (orang)

1 Sayuran 179

2 Buah-buahan 73

3 Beras/Jagung 39

4 Ikan (basah,kering), belut

99

5 Bumbu Masak 84

6 Makanan,minuman,kue 189

7 P & D 48

8 Sepatu/kain 64

9 Mainan anak-anak 8

10 Telur 19

11 Lain-lain 134

TOTAL 936

Sebagai salah satu debitur, seorang pedagang ayam di Pasar Batusangkar yaitu Ermiwati, menyatakan bahwa kredit yang diberikan sangat bermanfaat bagi pengembangan usahanya, sehingga ekonomi keluarga dan pendapatannya juga bertambah karena bunga yang diterapkan jauh lebih rendah dari bunga Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Namun menurutnya skim yang diberikan

semestinya bisa bertambah sehingga dapat lebih mendukung pengembangan usahanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Nazir Kasim, seorang pedagang kelontong di Pasar Batusangkar. Menurutnya kredit semacam ini sangat membantu pedagang bermodal kecil karena bunga yang diterapkan jauh lebih rendah dari bunga BPR sehingga debitur dapat mengatur modal belanjanya dengan leluasa. Menurut Nazir, seandainya Pemerintah Kabupaten meningkatkan skim kredit mikro ini, selain dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih besar juga terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja.

Menurut Bupati Tanah Datar, M.Shadiq Pasadigoe2 jumlah dana yang telah disalurkan hingga Januari 2007 adalah Rp. 2.490.300.000,00 (dua milyar empat ratus sembilan puluh juta tiga ratus ribu rupiah) dari dana awal Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan jumlah kredit macet sebesar 0%.

Menurut Bupati program ini sangat membantu PKL dalam mengatasi permasalahan modalnya yang selama ini tidak diminati oleh bank dan banyak terjerat rentenir. Tidak hanya di Batusangkar, Bupati juga berencana membuat program untuk 2 Bupati Kabupaten Tanah Datar.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

42

memperluas cakupan kredit PKL ini ke seluruh wilayah di Kabupaten Tanah Datar dengan bekerja sama dengan BPR.

Menurut praktisi perbankan di Batusangkar, Antonius3, sejak diluncurkannya program ini jumlah peminjam setiap bulan mengalami peningkatan. Selama bulan Agustus 2006 hingga Juli 2007 jumlah peminjam yang telah memanfaatkan program ini sebanyak 936 pengusaha Mikro.

Model seperti ini merupakan yang pertama kali diterapkan di Indonesia. Bank Nagari Sumatera Barat akan menjadikan model program ini bagi daerah lain di Sumatera Barat, dengan jumlah dana yang disediakan Bank Nagari yang cukup besar yaitu sejumlah Rp. 20 milyar.

III. PELAJARAN BERHARGA YANG DAPAT DIAMBIL

Menurut Bupati Tanah Datar program tersebut dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro dari kesulitan modal kerja dan jeratan rentenir. Pemerintah menyadari bahwa pengusaha mikro baik pedagang pasar maupun pedagang kaki lima yang ada di pusat pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan modal untuk

3 Pimpinan Cabang Bank Nagari

Batusangkar.

peningkatan usaha. Sedangkan karakteristik pengusaha mikro tidak menginginkan adanya prosedur dan persyaratan yang rumit dalam mendapatkan modal usaha. Hal yang sangat berharga dari pelaksanaan program ini adalah para pengusaha mikro sangat bisa dipercaya untuk mendapat pinjaman modal jika diciptakan manajemen kredit yang baik.

Keberlanjutan

Afendi, Ketua Pengurus Pedagang Pasar Batusangkar menyatakan bahwa rencana aksi lembaga yang dipimpinnya akan membentuk Lembaga Mikro Keuangan sebagai reaksi dari keberhasilan program yang diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. Selain itu, pengurus akan melakukan pembenahan organisasi pedagang pasar.

Sebagai kelanjutan dan kesinambungan program ini, Bupati Tanah Datar akan menyalurkan kredit dengan pola yang sama kepada 14 (empat belas) pasar yang ada di Kabupaten Tanah Datar. Pemerintah akan meningkatkan permodalan dan kualitas SDM melalui pelatihan-pelatihan. Oleh karena itu, Bupati optimis terhadap program pemberdayaan usaha mikro akan dapat terus berlanjut.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

43

IV. KESIMPULAN

Melihat kondisi usaha mikro di daerah lain di Indonesia yang memiliki sifat dan karakteristik sama dalam hal permodalan, Program Perbaikan Usaha Mikro melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, seyogianya dapat ditransfer atau diadopsi oleh daerah lain, sesuai kemampuan daerah yang bersangkutan.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007

44

RESENSI BUKU

Judul : Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan

Ekonomi di Bidang Perbankan

Penulis : M. Arief Amrullah, SH

Penerbit : Bayu Media Publishing

Oleh : Satrio Pramono, S.H.

Penasehat Hukum Yunior, Direktorat Hukum Bank Indonesia

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan

Buku yang berjudul Politik Hukum Pidana : “Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan”1 ini membahas mengenai politik (kebijakan) hukum pidana dalam rangka perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan. Dalam buku tersebut terdapat 2 (dua) isu hukum yang penting yaitu:

a. Politik hukum pidana terhadap perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana positif, meliputi:

? kedudukan korban dan;

? perlindungan korban kejahatan.

1 Merupakan disertasi M. Arief Amrullah,

SH, MHum penerbit Bayumedia Publishing, yang disusun dalam rangka memperoleh gelar doktor dalam bidang Program Pascasarjana UNAIR dan telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka pada tanggal 4 Juli 2002.

b. Politik hukum pidana terhadap perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang, yang meliputi:

? integrasi politik hukum pidana dengan kebijakan ekonomi di bidang perbankan dan;

? perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

Latar Belakang

Buku ini menguraikan permasalahan yang menyangkut perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, konsepsi perlindungan korban, baik perlindungan terhadap calon korban maupun perlindungan terhadap korban nyata, pandangan politik (kebijakan) hukum pidana sebagai upaya untuk memberikan wawasan teoritis, dan pengertian

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007

45

kejahatan dan kejahatan ekonomi di bidang perbankan, serta dampak dari kejahatan ekonomi di bidang perbankan terhadap perekonomian nasional yang juga dapat mengakibatkan timbulnya korban.

Korban akibat kejahatan ekonomi di bidang perbankan meliputi nasabah penyimpan dana, bank yang bersangkutan, bank-bank yang memberi pinjaman (bank-bank kreditor baik swasta maupun pemerintah), rakyat dalam arti abstrak, serta karyawan dan karyawati yang harus meninggalkan pekerjaannya (sebagai akibat dari adanya pemutusan hubungan kerja) karena bank tempat mereka bekerja telah bangkrut serta ekonomi yang terganggu atau rusak.

Upaya-upaya Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan

Upaya perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan tidak dapat sepenuhnya dibebankan hanya pada hukum pidana, mengingat hukum pidana merupakan sub sistem dari sistem yang lebih luas, dan keterbatasan-keterbatasan dalam hukum pidana, sehingga upaya perlindungan korban tersebut juga harus dibantu dengan sarana lain di luar hukum pidana.

Dalam menentukan kebijakan ekonomi di bidang perbankan, sejak

awal seharusnya dipikirkan dampak dari kebijakan itu, yang berupa timbulnya faktor kriminogen dan viktimogen sehingga diharapkan tercipta jalinan harmonis antara politik hukum pidana dengan kebijakan sosial (kebijakan ekonomi di bidang perbankan).

Penulis berusaha memaparkan pengalaman terkait upaya perlindungan terhadap korban kejahatan perbankan, misalnya di Amerika Serikat yang mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1960-an, perhatian terhadap korban masih hanya sebatas pada korban kejahatan kekerasan (victims of crime of violence). Pada tahun 1965 pembuat Undang-Undang di California Amerika Serikat yang mengeluarkan sebuah Undang-Undang yang berkaitan dengan bantuan keuangan terhadap korban kejahatan kekerasan. Langkah tersebut disusul oleh negara bagian New York sebagai the second victim-compensating state of the United Stated (Stephen Schafer, 1968:131-134). Pada saat itu perhatian terhadap korban tersebut telah mencakup pula pada victims of fraud and economic crime.

Terkait dengan perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, dalam hukum pidana dikenal 3 (tiga) pilar, yaitu:

a. Masalah tindak pidana (kriminalisasi)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007

46

Mengkriminalisasikan beberapa perbuatan yang berpotensi bagi timbulnya korban (potential victim and actual victim) merupakan suatu langkah preventif dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Perbuatan-perbuatan yang telah diidentifikasi tersebut antara lain meliputi fraudulent mis-representation, praktek bank dalam bank, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) belum tegas dinyatakan sebagai kejahatan, serta menyalahgunakan kewenangan baik untuk kepentingan pribadi maupun orang lain yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

b. Masalah pertanggungjawaban pidana (korporasi)

Pertanggung jawaban pidana (korporasi) bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang hukum perbankan. Namun demikian perlu diperhatikan pula mengenai pertanggungjawaban pidana terkait korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana. Hukum pidana positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam perundang-undangan lain, seperti UU Perbankan belum mengatur mengenai hal tersebut.

Namun, korporasi sebagai subyek hukum sebenarnya telah datur dalam Undang-Undang lain2, meskipun hal tersebut masih menjadi persoalan terkait doktrin dalam hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan”.

c. Masalah pidana dan pemidanaan serta perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan

Perlindungan tidak hanya terhadap potential victim atau calon korban melainkan juga terhadap actual victim, sehingga menciptakan antara pelaku dan korban, serta antara calon korban dan korban langsung.

Sehubungan dengan hal tersebut, perumusan ancaman pidana denda yang tinggi tidak akan menjamin pencegahan pihak korporasi atau bank melakukan kejahatan ekonomi di bidang perbankan, apabila tanpa

2 Undang-Undang Nomor 71 Darurat Tahun

1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007

47

dikombinasikan dengan sanksi alternatif lainnya seperti publicity sanction serta sanksi berupa penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank dan pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Dalam buku ini penulis juga memaparkan pengalaman di negara penganut Anglo Saxon yang mengenal pengecualian “tidak dicantumkannya unsur kesalahan dalam mempertanggungjawabkan pelaku kejahatan” termasuk korporasi dengan menggunakan doktrin strict liability dan vicarious liability.

Pertanggungjawaban pidana menurut Peter Gilles (1990: 78-79) dikategorikan menjadi strict apabila perbuatan yang telah dilakukan tidak lagi memperhatikan adanya kesalahan seseorang. Sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan hanya karena adanya unsur kesengajaan (consisting in intention) meskipun yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan.

Release and Discharge

Penulis menjelaskan beberapa hal menyangkut hukum pidana dalam

kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)3 terkait proses pemberian release and discharge kepada para obligor dengan alasan “demi kepentingan umum”.

Pemberian release and discharge tersebut dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: a. apakah apabila para obligor

dihukum dengan dijatuhi pidana yang seharusnya berlaku memang akan dapat menggoyahkan perekonomian nasional; atau

b. apakah apabila para obligor tidak dihukum dengan pidana yang berlaku maka kepentingan menyangkut perekonomian nasional akan cepat pulih.

Hal-hal seperti ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik, karena dalam praktek-praktek penyelesaian kasus BLBI tersebut hanya mengedepankan alasan dan pendekatan dari sisi ekonomi, sehingga seharusnya dipertimbangkan kembali untuk dikaji ulang dan diintegrasikan dengan aturan dalam hukum pidana.

Sementara itu di sisi lain, praktek seperti itu telah menciptakan sebuah 3 Dituangkan dalam INPRES Nomor 8 Tahun

2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Beditur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007

48

“ketidaktertiban hukum” atau “ketidaktaatan asas” atau bahkan menimbulkan faktor kriminogen dan viktimogen. Namun apabila dikaitkan dengan asas equality before the law (persamaan di depan hukum), juga akan menjadi sulit dimana hukum harus mempersamakan sesuatu yang memang tidak sama. Dalam hal ini adalah adanya perbedaan perlakuan hukum bagi masyarakat golongan ekonomi kuat dengan masyarakat golongan ekonomi lemah.

Penutup

Buku ini merupakan hasil penelitian secara akademik sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi dalam membangun suatu sistem hukum yang lebih baik lagi terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan ekonomi di bidang perbankan.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

49

CAKRAWALA HUKUM Oleh : Tim Direktorat Hukum

DISKUSI DENGAN UNCITRAL DAN “ELECTRONIC EVIDENCE & E-DISCOVERY FORUM”

PENDAHULUAN

Dalam rangka mendalami substansi materi dan untuk mendapatkan masukan-masukan terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), telah dilakukan beberapa kegiatan, diantaranya yaitu:

a. melakukan diskusi dengan UNCITRAL di Austria (Wina);

b. mengikuti pelaksanaan seminar dalam Electronic Evidence & E-Discovery Forum di Victoria Park Plaza Hotel London.

Kegiatan tersebut, disamping untuk penyempurnaan materi terkait pembahasan RUU ITE, juga membahas isu-isu yang terkait dengan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan data elektronik, baik dari sisi litigasi maupun penyediaan perangkat peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan bukti elektronik/digital.

Disamping itu, kegiatan tersebut terkait pula dengan pembahasan RUU lain, seperti RUU tentang Transfer Dana, RUU tentang

Perbankan, RUU tentang Perbankan Syariah, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan rencana penyusunan RUU tentang Electronic Money.

Pelaksanaan

Diskusi di Wina Austria dilakukan dengan pejabat UNCITRAL pada tanggal 20 Agustus 2007. Sedangkan dalam kegiatan Electronic Evidence & E-Discovery Forum yang dilakukan pada tanggal 19-20 September 2007 di London, para pembicara terdiri dari praktisi dan akademisi yang berasal dari berbagai perusahaan dan lembaga, yaitu Merrill Lynch & Co., Pfizer, PwC, Vodafone UK, UBS AG, Aon Risk Consulting, Ovum, Guidance Software Inc., Control Risks, Verizon Communications US, Financial Engines US, Cranfield University UK, University of London, dan London School of Economics.

A. HASIL DISKUSI DENGAN UNCITRAL

1. UNCITRAL sebagai salah satu organisasi internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

50

(PBB) mendukung dan mengembangkan pembahasan mengenai perkembangan teknologi informasi dan dampaknya terhadap perniagaan elektronik. Hasil dari UNCITRAL berupa Model Law yang bersifat tidak mengikat, namun menjadi acuan atau modal bagi negara-negara untuk mengadopsi atau memberlakukannya dalam hukum nasional masing-masing negara.

(i) UNCITRAL Model Law on E-Commerce

a. UNCITRAL telah menyusun sebuah Model Law mengenai E-Commerce yang menjadi dasar dan kerangka untuk pembentukan hukum E-Commerce di banyak negara. The Model Law on Electronic Commerce yang terakhir beserta pedoman pelaksanaannya, pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995. Satu tahun kemudian UNCITRAL menyetujui Model Law tersebut dengan Resolusi 51/162 pada tanggal 16 Desember 1996, dan telah diamandemen kembali pada bulan Juni 1998. UNCITRAL Model Law merupakan landasan untuk mengatur otentikasi, perlengkapan, dan dampak pesan elektronik berbasis komputer dalam perdagangan.

Model Law ini berisi tentang :

- Definisi kontrak elektronik dan pengaturan penerimaan dan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik;

- Pengaturan yang didasarkan pada prinsip non-diskriminasi;

- Pengaturan e-commerce secara spesifik untuk perundang-undangan nasional atau undang-undang lain yang dibuat oleh negara/negara bagian;

- Memberikan aturan yang pasti untuk transaksi yang berbasis elektronik.

b. Model Law terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal yang dibagi ke dalam dua bagian. Definisi dari “pesan data elektronik” ialah mengumpulkan, mengirimkan, menerima dan menyimpan informasi dalam bentuk elektronik, optik, atau bentuk lain seperti electronic data interchange (EDI), surat elektronik, telegram, telex atau telecopy.

Dalam Pasal 1 dan Pasal 2, definisi perdagangan dalam arti luas diinterpretasikan sebagai kegiatan bisnis dan meng-investasi-kan modal yang berasal dari berbagai macam hubungan perdagangan.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

51

c. Model Law menyatakan interpretasi peraturan ini dengan niat baik dan harus sesuai dengan:

- prinsip hukum internasional;

- persyaratan khusus untuk mendorong keseragaman dalam aplikasi (Pasal 3).

d. Dalam meratifikasi Model Law, setiap pihak dapat mengubah atau mengadopsinya sesuai dengan kebutuhan.

Sejak Model Law disetujui oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1996, banyak hal yang berkaitan dengan E-Commerce (Konvensi dan Model Law) yang dikembangkan, antara lain mengenai:

- tanda tangan elektronik;

- transaksi elektronik;

- privasi;

- keamanan informasi yang termasuk pula keamanan cyber, cyber crime and Public Key Infrastructure.

e. Kajian yang hampir diselesaikan sebagai sebuah Model Law adalah mengenai Kontrak Elektronik secara On-line (On-line Electronic Contracting). Peraturan ini berdasarkan Konvensi PBB tentang Jual Beli Barang Internasional (United Nations Sale of Goods

Convention) dan ditujukan untuk memfasilitasi arbitrase on line dan proses penyelesaian sengketa. Ini juga bertujuan menyelesaikan masalah mengenai penggunaan dokumen kertas yang makin sedikit, khususnya pada industri transportasi.

(ii) UNCITRAL Model Law on Electronic Signatures

a. The UNCITRAL Model Law on Electronic Signatures of 2001 (the 2001 Model Law) diadopsi sebagai implementasi dari UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce. Model Law 2001 ini disusun untuk membantu negara dalam mengharmonisasikan, memodernisasikan, dan menciptakan secara lebih efektif mengenai tanda tangan elektronik.

b. Salah satu dasar penyusunan adalah Pasal 7 dari UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce sebagai pemenuhan fungsi tanda tangan di dunia elektronik.

c. Tujuan dari Model Law adalah memberikan dasar hukum untuk menggunakan tanda tangan elektronik dan perlakuan yang sama terhadap dokumentasi tertulis dan informasi elektronik.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

52

d. Berdasarkan prosedur yang dijelaskan pada Model Law, negara yang menggunakan dapat menetapkan suatu ‘lingkungan yang netral secara media’ (media–neutral environment).

e. Model Law 2001 ini memperhatikan prinsip bahwa tidak adanya diskriminasi terhadap berbagai teknik yang mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau disimpannya informasi secara elektronik (technology neutrality).

(iii) UNCITRAL Model Law On International Credit Transfers

a. UNCITRAL Model Law on International Credit Transfer (MLICT) memuat ketentuan-ketentuan mengenai transfer dana yang dilakukan secara lintas batas, yakni transfer dana yang dilakukan oleh bank pengirim (sending bank) dan bank penerima (receiving bank) yang berada di negara yang berbeda.

b. MLICT mengartikan “transfer dana” secara luas, yakni serangkaian kegiatan yang diawali dari perintah pengirim mengenai pembayaran berupa sejumlah dana tertentu kepada penerima.

Kata tersebut juga mencakup setiap perintah pembayaran oleh bank pengirim asal atau setiap bank penerus guna melaksanakan perintah pembayaran dari pengirim asal.

Serangkaian kegiatan dalam cakupan transfer dana ini juga tidak terbatas pada kegiatan transfer dana yang dilakukan dari suatu komputer ke komputer lain atau kegiatan transfer yang dilakukan secara elektronik, tetapi termasuk juga serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan perintah pembayaran melalui pengurusan dokumen-dokumen perintah pembayaran.

c. MLICT bersifat terbuka dan tidak eksklusif, artinya para pihak dapat membuat ketentuan atau persyaratan-persyaratan yang mereka sepakati di samping ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam MLICT. Namun demikian terdapat pula ketentuan yang dimuat dalam MLICT dimana para pihak tidak dapat menyimpanginya.

Hal ini semata-mata karena beberapa aturan atau pasal dalam MLICT yang bersifat memaksa, yakni Pasal 5 ayat (3), 14 ayat (2) dan 17 ayat (7). Para pihak yang tunduk terhadapnya tidak terbatas pada badan hukum atau perusahaan tetapi

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

53

juga termasuk orang per orangan.

d. Perancang MLICT menyadari betul kemungkinan adanya saling keterkaitan (perselisihan) hukum yang lahir dari adanya transfer dana yang bersifat lintas batas negara ini.

Apabila terjadi konflik hukum, terdapat kebebasan para pihak untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk mengatur hak dan kewajiban mereka. Perancang MLICT dalam Artikel Y mengenai Conflict of Laws, dengan tegas menyatakan bahwa ”The rights and obligation arising out of a payment order shall be governed by the law chosen by the parties.”

e. Namun apabila para pihak tidak menentukan sendiri hukum apa yang akan berlaku, alternatif kedua yang dapat dilakukan menurut perancang MLICT yang secara tegas mengemukakan hukum yang akan berlaku adalah hukum dari (negara) bank penerima guna mengatur hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat dari adanya transfer dana internasional. Perancang MLICT menyatakan: “In the absence of agreement, the law of the State of receiving bank shall apply”.

f. Dalam artikel Y, Conflict of Laws MLICT juga menegaskan bahwa apabila suatu negara terdiri dari beberapa bagian atau beberapa wilayah di mana masing-masing memiliki hukum yang berbeda, maka setiap bagian atau setiap wilayah yang memiliki hukum masing-masing tersebut harus dianggap sebagai bagian terpisah dari negara (induk)-nya (separate state). Hal ini tampaknya semata-mata juga diciptakan agar terjadi kepastian hukum dalam menerapkan MLICT ini, yaitu bahwa MLICT ini hanya berlaku untuk transaksi transfer dana yang bersifat “lintas batas negara” saja.

g. MLICT menegaskan bahwa ketentuan-ketentuannya tidak mengatur kapan pelaksanaan suatu perintah pembayaran terhadap suatu perintah bersyarat yang diterima oleh suatu bank.

MLICT juga tidak berlaku mempengaruhi setiap hak dan kewajiban dari pengirim suatu instruksi bersyarat yang tergantung pada apakah syarat-syarat tersebut telah terpenuhi.

(iv) UNCITRAL – Draft untuk Konvensi Pembentukan Kontrak Elektronik

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

54

a. UNCITRAL Working Group tentang Electronic Commerce telah menyusun draft konvensi mengenai kontrak elektronik.

Tujuan dari draft konvensi ini ialah untuk menghapuskan hambatan hukum dalam pembentukan kontrak yang digunakan dalam komunikasi secara elektronik.

b. Draft kontrak ini tidak dimaksudkan untuk mengarah kepada masalah substansi seperti elemen materi tentang penawaran dan penerimaan, atau hak dan kewajiban dari para pihak. Draft ini cenderung ditujukan untuk memperjelas atau mengadaptasi peraturan tradisional dalam pembentukan kontrak, untuk mengakomodasi kenyataan dalam kontrak elektronik. Draft konvensi ini mengarah kepada masalah seperti lokasi para pihak, waktu terjadinya kontrak, perbedaan antara penawaran dan undangan untuk membuat penawaran, waktu dan tempat untuk menawarkan dan menerima, transaksi otomatis, dan informasi yang harus tersedia bagi para pihak.

c. Konvensi ini dapat menjadi kontribusi bagi kepastian hukum atau dugaan komersial yang dianggap sebagai instrumen

tambahan dari United Nations Convention on International Sales of Goods terutama yang berkaitan dengan segala aspek kontrak elektronik.

2. Dalam pertemuan dengan pejabat UNCITRAL tersebut, bahan diskusi yang mengemuka adalah mengenai:

a. pesatnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan transaksi elektonik.

b. hambatan-hambatan dalam penerapan transaksi elektronik yang berupa faktor keamanan penggunaan media elektronik dalam melakukan transaksi elektronik.

c. kejahatan dan kerugian yang dialami para pihak dalam transaksi elektronik.

d. pilihan hukum bagi para pelaku transaksi elektronik.

e. beberapa pengertian terkait dokumen elektronik, sistem elektronik, informasi elektronik, dan tanda tangan elektronik;

f. harapan dari UNCITRAL bahwa Indonesia dapat berperan dalam memberikan masukan terkait penyusunan kajian-kajian yang dilakukan oleh UNCITRAL.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

55

Mengenai faktor keamanan penggunaan media elektronik dalam transaksi elektronik, pihak UNCITRAL mengemukakan berbagai upaya yang telah dilakukan dalam rangka meminimalisir risiko tersebut, antara lain melalui penggunaan teknologi pengamanan yang memadai, standar-standar pengamanan yang harus dipenuhi, maupun ancaman pidana yang diterapkan oleh beberapa negara terkait dengan jenis kejahatan tersebut.

Karena bersifat lintas negara, UNCITRAL juga mengemukakan kesulitan yang dialami oleh beberapa negara terkait penanganan dan penyelesaian dalam transaksi elektronik.

B. HAL-HAL PENTING YANG DIBAHAS DALAM ELECTRONIC EVIDENCE & E-DISCOVERY FORUM.

Dalam Electronic Evidence & e-Discovery Forum yang dilaksanakan di Victoria Park Plaza Hotel London terdapat beberapa hal yang penting, yaitu:

1. Strategi dan kebijakan dalam pengelolaan data elektronik;

2. Pendeteksian dan penanganan krisis;

3. Analisis forensik;

4. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan data elektronik;

5. Manajemen dan pencegahan krisis.

Electronic Evidence & e-Discovery Forum tersebut diadakan mengingat banyaknya kasus penting (high profile cases) yang telah terjadi serta terkait pula dengan data elektronik di Amerika dan negara-negara di Eropa. Kerugian yang ditimbulkan dan biaya untuk penanganan kasus-kasus tersebut terhitung sangat besar. Disamping itu, dalam proses penanganan kasus-kasus tersebut juga menimbulkan banyak masalah bagi perusahaan atau lembaga terkait lainnya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, setiap negara seharusnya memang memiliki kebijakan yang jelas dan peraturan perundang-undangan terkait penyimpanan data elektronik untuk mencegah tindak pidana dan memberikan kepastian hukum dalam proses penanganannya.

Terkait dengan kasus-kasus tersebut di atas, selain dibutuhkan sistem hukum yang baik dan peraturan perundang-undangan yang komprehensif, dibutuhkan pula investigasi forensik terhadap data-data yang mencakup beberapa tahun sebelumnya yang jumlahnya sangat banyak.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

56

Proses investigasi tersebut dapat melibatkan multi jurisdiksi, mengingat komunikasi dan transaksi elektronik dengan melintasi batas banyak negara saat ini sudah sangat umum dilakukan. Oleh karena itu, penanganan kasus terkait data elektronik juga akan melibatkan hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara-negara yang terkait.

Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan data elektronik merupakan pekerjaan yang berat dan sulit, karena harus memperhatikan berbagai aspek hukum nasional (misalnya keterkaitan dengan Undang-Undang lain), dan harus memperhatikan aspek hukum internasional pula.

Ketiadaan peraturan perundang-undangan tentang data elektronik pada suatu negara dapat mengakibatkan tidak terlindunginya kepentingan warga negara dan/atau negara yang bersangkutan.

Keterkaitan Dengan Pembahasan RUU ITE

Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan para pembicara dalam Electronic Evidence & E-Discovery Forum tersebut, diantaranya:

1. Kebutuhan perangkat hukum yang komprehensif untuk melindungi data yang disimpan

secara elektronik (Electronically Stored Information).

Terdapat sistem dan perangkat hukum yang berbeda-beda mengingat setiap negara memiliki spesifikasi hukum masing-masing. Selain itu, setiap negara juga memiliki kebutuhan yang berbeda-beda pula, tergantung pada tingkat kemajuan teknologi dan sistem yang ada di negara yang bersangkutan. Namun demikian, peraturan perundang-undangan dimaksud tetap harus memperhatikan hukum internasional maupun konvensi yang telah diterima secara internasional, mengingat setiap negara pasti memiliki keterkaitan dengan negara lain.

2. Adanya peraturan perundang-undangan mengenai data elektronik harus dapat memberikan perimbangan antara penggunaan data elektronik dengan perlindungan terhadap data pribadi yang tersimpan secara elektronik, sehingga tujuan dari peraturan dimaksud tidak melanggar kepentingan pribadi warga negaranya.

3. Bagi suatu lembaga, dibutuhkan beberapa perangkat untuk mendukung perlindungan data elektronik, diantaranya:

a. kebijakan internal;

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

57

b. peraturan internal;

c. standar kepatuhan;

d. internal lawyer.

4. Otoritas harus mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap data elektronik di industri yang berada di bawah pengawasan otoritas dimaksud.

5. Untuk menjamin perlindungan data, terdapat 3 (tiga) faktor yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan ketentuan tentang kepatuhan, yaitu:

a. Manajemen informasi, yang mencakup proses:

? perolehan data;

? penyimpanan data;

? pencarian informasi (search) dan penarikan informasi (retrieval);

? penghapusan informasi;

? jalur kerja (workflow);

b. Analisis informasi, yang mencakup:

? proses memperoleh informasi;

? mengetahui pentingnya suatu informasi;

? penafsiran;

? penambahan data.

c. Keamanan informasi, yang mencakup:

? mencegah penyalahgunaan informasi;

? pembatasan dan pengawasan akses (role-based access control);

? pemisahan tugas;

? manajemen kebijakan;

? pemeriksaan (audit).

6. Dalam rangka perlindungan data elektronik, diperlukan data-data yang dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap pelanggaran ketentuan. Alat bukti dimaksud diperlukan untuk:

a. memitigasi dan mengontrol kerugian.

b. kepentingan asuransi.

c. menggugat pihak ketiga.

d. Mengantisipasi adanya klaim dari pihak ketiga.

e. membantu aparat penegak hukum.

7. Untuk mencegah risiko yang dapat timbul dari penyalahgunaan data elektronik, dibutuhkan Forensic Readiness Plan, antara lain dengan membuat:

a. Identifikasi ancaman terhadap organisasi;

b. Evaluasi karyawan dan kebijakan internal;

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

58

c. Skenario tentang risiko yang mungkin timbul;

d. Crisis Management Plan.

Dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan nasional di bidang cyber, setiap negara harus memperhatikan hukum internasional maupun konvensi yang telah diterima secara internasional. Hal ini terkait dengan transaksi cyber yang bersifat lintas batas (borderless) dan bersifat global. Sedangkan ketiadaan peraturan perundang-undangan bidang cyber pada suatu negara akan mengakibatkan tidak terlindunginya kepentingan warga negara dan/atau negara yang bersangkutan.

Dalam masalah pembuktian atau data-data yang dapat digunakan sebagai alat bukti, dalam forum ini diingatkan kembali tentang pentingnya pengelolaan data elektronik. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengelolaan data elektronik dalam suatu perundang-undangan menjadi hal yang dirasakan penting.

Dalam hal ini RUU ITE telah mengatur mengenai kewajiban setiap penyelenggara elektronik untuk memenuhi persyaratan minimum dalam pengelolaan data elektroniknya. Sistem elektronik tersebut harus dapat menampilkan kembali informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem

elektronik yang telah berlangsung, dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik, serta memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur.

Terkait dengan alat bukti, dapat dikemukakan bahwa peranan data-data elektronik tersebut tidak semata-mata hanya sebagai alat bukti di pengadilan yang selalu berkaitan dengan masalah ketentuan hukum/ketentuan perundang-undangan, namun peranan yang tidak kalah penting adalah dalam memitigasi risiko dan mengontrol risiko bisnis suatu perusahaan atau lembaga, yang lebih banyak terkait dengan kepentingan dan strategi bisnis dari masing-masing perusahaan atau lembaga. Dengan demikian sudah tepat bahwa materi RUU ITE yang sedang dibahas saat ini model pengaturannya bersifat komprehensif, yaitu bahwa materi yang diatur mencakup hal yang lebih luas meliputi aspek hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan hukum pembuktian.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

59

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) MEI - AGUSTUS 2007

Nomor Tanggal Satker Perihal

9/7/PBI/2007 4-5-2007

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum

9/8/PBI/2007 6-6-2007 Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan

9/9/PBI/2007 18-6-2007

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

9/10/PBI/2007 30-8-2007

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan Serta Pemusnahan Rupiah

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

60

DAFTAR SURAT EDARAN (EKSTERN) BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2007

Nomor Tanggal Satker Perihal

9/12/DPNP 30-5-2007 DPNP Pelaksanaan Good Corporate Governance

9/13/DASP 19-6-2007 DASP Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro

9/14/DPbS 21-6-2007 DPbS

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/26/DPbS tanggal 14 November 2006 perihal Kewajiban Modal Minimum bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah

9/15/DASP 29-6-2007 DASP

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/26/DASP tanggal 22 Juli 2007 perihal Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

9/16/DASP 6-8-2007 DASP

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Nomor 7/28/DASP tentang Biaya dalam PEnyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

9/17/DPbS 8-8-2007 DPbS

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/13/DPbS tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat Syariah

9/18/BKr 29-8-2007 BKr

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/13/UK tanggal September 1998 perihal Kredit Kepemilikan Rumah Sederhana dan Kredit Rumah Sangat Sederhana