Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum...

97
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004 Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Roswita Roza, Ahmad Fuad, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Hernowo Koentoadji, Musliha, Kesumawati Syafei, Indah Wulandari Dewan Redaksi Suchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Christina Sani, Rudiatin S. Djatmiko, Tini Kustini Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini akan terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Namun karena sesuatu hal, pada bulan Agustus 2004, Buletin ini belum dapat diterbitkan. Peminat yang ingin memperoleh buletin ini dapat menghubungi Tim RUU dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 10, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10100, telepon 3817416, facimile (021) 2311743, email : [email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id , pilih links kemudian publikasi”

Transcript of Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum...

Page 1: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabRoswita Roza, Ahmad Fuad, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting

Pemimpin RedaksiAgus Santoso

Sekretaris RedaksiHernowo Koentoadji, Musliha, Kesumawati Syafei, Indah Wulandari

Dewan RedaksiSuchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Christina Sani,

Rudiatin S. Djatmiko, Tini Kustini

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum BankIndonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnyatanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitupada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini akan terbit secaraberkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Namun karena sesuatu hal, pada bulanAgustus 2004, Buletin ini belum dapat diterbitkan. Peminat yang ingin memperoleh buletinini dapat menghubungi Tim RUU dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia, Gedung TipikalLt. 10, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10100, telepon 3817416, facimile (021) 2311743,email : [email protected] menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensibuku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Atas dimuatnya artikeldan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website BankIndonesia di http://www.bi.go.id , pilih links

kemudian publikasi”

Page 2: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Page 3: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

DARI MEJA REDAKSI

Demi memenuhi harapan pembaca akan suatu bacaan dan wacana yang akurat dan proporsional mengenaihukum perbankan dan kebanksentralan, maka Buletin ini terbit untuk kali kedua di tahun 2004. Selain ituRedaksi juga tetap berusaha untuk memberikan tampilan cover dan halaman Buletin yang lebih menarik agarBuletin ini mudah dikenali oleh pembaca. Konsisten mewujudkan visi Buletin, yaitu memperluas wawasandi bidang hukum perbankan dan kebanksentralan, maka sistematika isi Buletin tetap dipertahankan sebagaimanahalnya pada edisi-edisi sebelumnya.Dalam edisi kali ini Redaksi menampilkan 4 artikel yang terkait dengan likuidasi dan kepailitan bank, yangdua diantaranya merupakan penelitian hukum yang merupakan hasil kerjasama antara Direktorat HukumBank Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Fakultas Hukum Universitas Surabaya.Penelitian hukum ini terkait dengan perubahan RUU LPS dan RUU Kepailitan dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang yang baru-baru ini disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI masing-masing tanggal 24Agustus 2004 dan tanggal 22 September 2004. Oleh karena menunggu momentum yang penting inilah makavolume 2 nomor 2 yang seharusnya terbit pada bulan Agustus 2004, baru bisa diterbitkan pada bulan Oktober2004.Terkait dengan issue kepailitan dan likuidasi bank, pada rubrik Resensi Buku, edisi ini mengetengahkanjudul buku “Hukum Kepailitan (Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun1998)” yang ditulis oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. dan diterbitkan pada bulan Desember 2002,sedangkan untuk Rubrik Komentar Atas Putusan Pengadilan, Redaksi mengangkat topik “Permohonan PailitOleh PT. Bank IFI (Pemohon) Terhadap PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk (Termohon)”, yang merupakanPutusan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST.Selain itu, Buletin ini juga menampilkan hasil Asian Conference on the Regulation of Customer Credit diMalaysia dan Seminar Nasional Kepalitan dan Likuidasi Bank yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal4 Oktober 2004 yang lalu.Kemudian sebagai salah satu media informasi yang disampaikan kepada masyarakat luas, Buletin ini jugamemuat informasi tentang peraturan-peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia, yaitu berupa daftar PeraturanBank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada April –Oktober2004.Dengan informasi dan wacana yang cukup beragam, semoga Buletin ini dapat bermanfaat bagi semuapembacanyaSelamat membaca.Jakarta, Oktober 2004

Redaksi

Page 4: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Page 5: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

BULETIN HUKUM PERBANKAN

DAN KEBANKSENTRALAN

Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004

Halaman

Dari Meja Redaksi

Daftar Isi

Kewenangan Tunggal Bank Indonesia dalam Kepailitan Bank…… 1-17

− DR. Ramlan Ginting, S. H., LL. M.

Likuidasi dan Kepailitan Lembaga Perbankan……………………… 18-39

− Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia dalam

Likuidasi dan Kepailitan Bank………………………………………… 40-61

− Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Kewenangan Bank Indonesia dalam Likuidasi dan Kepailitan

Bank terkait dengan RUU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Serta RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (KPKPU)………………………………………………………… 62-74

− Agus Santoso, SH., LL.M.

Resensi Buku : Hukum Kepailitan (Memahami Faillissements-

verordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998) ……….... 75-77

− Indah Wulandari, SH.

Komentar atas Putusan Pengadilan : Permohonan Pailit oleh

PT Bank IFI terhadap PT Bank Danamon Indonesia……………… 78-83

− Arus Akbar Silondae, SH., LL.M. &

I Made Astawa, SH., LL.M.

Cakrawala Hukum : Asian Conference on the Regulation of

Customer Credit di Malaysia, dan Seminar Nasional Kepaillitan

dan Likuidasi Bank………………………………………………….. 84-87

− Redaksi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern)

Bank Indonesia April – Oktober 2004......………………………… 88-93

− Tim Administrasi dan Informasi Hukum,

Direktorat Hukum Bank Indonesia

Page 6: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Page 7: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20041

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana diketahui, UU No. 4 Tahun1998 (UU Kepailitan) memberi kewenangantunggal kepada Bank Indonesia (BI) untukmengajukan permohonan pernyataan pailitatas bank sebagai debitor. Pengaturan yangdemikian ini menunjukkan bahwa pembuatUU Kepailitan memberikan perhatiantersendiri bagi bank sebagai debitor dalampelaksanaan kepailitan1. Perhatiantersendiri ini diberikan karena bank memilikikarakter khusus yaitu bertransaksikepercayaan yang berdampak padaperekonomian nasional. Bank menghimpundana dari masyarakat, menyalurkan danakepada masyarakat dan melakukankegiatan keuangan lainnya seperti transferdan jual beli surat berharga. Kegiatan usahabank yang berkenaan dengan kepercayaanmasyarakat ini sangat penting dijaga dandipertahankan kesinambungannya,sehingga sangat tepat pengaturan undang-undang bahwa bank perlu diatur dan diawasioleh BI.

Dalam melaksanakan kewenangan BI ituada kalanya ditemukan bank bermasalah

KEWENANGAN TUNGGAL BANK INDONESIA DALAM KEPAILITAN BANK

Oleh : Dr. Ramlan Ginting, S. H., LL. M.

yang perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu alternatif penyelamatanatau pemberesan harta bank bermasalahadalah dengan mewujudkan upayakepailitan. Sayangnya, BI belum pernahmemanfaatkan upaya kepailitan dimaksud.Apa penyebabnya ?

Nampaknya, terdapat persepsi bahwabeberapa ketentuan dalam UU Kepailitan‘kurang pas’ sehingga menghambat BI untukmelaksanakan kewenangan tunggalnya itu.Ketentuan dimaksud adalah mengenaipengertian kepailitan. Dikatakan, bila debitormempunyai dua atau lebih kreditur dan tidakmembayar sedikitnya satu utang yangseharusnya telah dibayar dinyatakan pailitdengan putusan Pengadilan Niaga baik ataspermohonan debitor sendiri atau kreditur.Penggunaan ketentuan ini terhadap banksebagai debitor dianggap terlalu riskanmengingat bank memiliki banyak krediturbaik jenis maupun jumlahnya. Ketentuanlainnya adalah berkenaan denganpelaksanaan kewenangan BI. Bilapelaksanaan kewenangan BI mengikutiketentuan pengertian kepailitan makaimplikasinya sangat tidak popular bagikepercayaan masyarakat atas bank dan BI.

1 W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa pailit artinya bangkrut; misal perusahaan itu sudah bangkrut.Dan, bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko dsb). W.J.S. Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1999. Kemudian, John M. Echols dan HassanShadily mengatakan bahwa bankrupt artinya bangkrut, pailit. Dan, bankruptcy artinya kebangkrutan,kepailitan. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta 1979.Selanjutnya, David K. Linnan menamakan kepailitan sebagai liquidation in bankcruptcy. David K. Linnan,“Indonesian Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency and Economic Nationalism”, Institute ofSoutheast Asian Studies Singapore, September 1999, hal. 6. Sementara, J. Armour menyebut kepailitansebagai insolvency. Ia mengatakan: “ ’insolvency’ means inability to pay creditors”. J. Armour, “The Law andEconomics of Corporate Insolvency: A Review”, ESRC Centre for Business Research University of Cam-bridge, March 2001, hal. 3.

Page 8: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20042

Ketentuan berikutnya adalah mengenaiKurator. Dalam UU Kepailitan tidak tegasdiatur bahwa BI berhak mengusulkanKurator yang akan menangani harta pailitbank.

Selain menjajagi kemungkian penerapankepailitan atas bank sebagai debitor, perlujuga ditelaah kemungkinan BImelaksanakan kewenangannya dalamkepailitan yang melibatkan bank sebagaikreditur. UU Kepailitan memberikewenangan kepada bank sebagai kredituruntuk mengajukan permohonan pernyataanpailit atas debitornya. Namun, bila debitoritu bank maka akan terjadi perbenturankewenangan dengan BI.

Selain itu, ada kesan bahwa upaya likuidasi2

lebih tepat digunakan untuk menyelesaikanpermasalahan bank bermasalah. Kesan inididasarkan pada ketentuan UU Perbankandan kenyataan bahwa BI telah menggunakanupaya likuidasi atas sejumlah bank.

1.2. Rumusan Pokok Masalah

Berdasarkan isu-isu di atas dapatdikemukakan empat rumusan pokokmasalah yang selanjutnya akan ditelaahyaitu 1. sejauhmana ketentuan kepailitandapat diterapkan terhadap bank ?, 2.sejauhmana BI dapat melaksanakankewenangannya dalam kepailitan yangmelibatkan bank sebagai debitor dan banksebagai kreditur ?, 3. bagaimana agar BI

aman untuk melaksanakan kewenangannyadalam kepailitan ?, 4. apakah kepailitanlebih baik dari likuidasi?II. KEPAILITAN DAN KEWENANGANBANK INDONESIA2.1. Kepailitan pada Umumnyaa. Pengertian Kepailitan

Kepailitan berasal dari kata dasar pailit yangartinya bangkrut. Bangkrut artinya menderitakerugian besar hingga perusahaan jatuh.3

Kata Inggris untuk bangkrut adalahbankrupt. Menurut John M. Echols danHassan Shadily, bankrupt artinya bangkrut,pailit. Bankruptcy artinya kebangkrutan,kepailitan. Kata Inggris lain untuk bangkrutadalah insolvent yang artinya jugabangkrut, pailit. Insolvency artinyakeadaan bangkrut, keadaan tidak mampumembayar.4 Sehingga, bangkrut samaartinya dengan pailit dan dalam bahasaInggris disebut bankrupt atau insolvent .Kebangkrutan sama artinya dengankepailitan dan dalam bahasa Inggrisdinamakan bankruptcy atau insolvency.Sementara, likuidasi artinya pembubaranperusahaan sebagai badan hukum yangmeliputi pembayaran kewajiban kepadapara kreditur dan pembagian harta yangtersisa kepada para pemegang saham(persero).5 Kata Inggris untuk likuidasiadalah liquidation. Menurut John M. Echolsdan Hassan Shadily, liquidation artinyalikuidasi, pembubaran.6 Sehingga dapat

2 W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa likuidasi artinya pembubaran (perseroan dagang dsb), W.J.S.Poerwadarminta, Loc.Cit. Sementara, Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa likuidasi adalahpembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para krediturdan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham (persero). Departemen PendidikanNasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2002. Kemudian, John M. Echols danHassan Shadily mengatakan bahwa liquidation artinya likuidasi, pembubaran (of a firm). John M. Echolsdan Hassan Shadily, Loc.Cit.3 W.J.S. Poerwadarminta, Loc.Cit.4 John M. Echols dan Hassan Shadily, Loc.Cit.5 Departemen Pendidikan Nasional, Loc.Cit..6 John M. Echos dan Hassan Shadily, Loc.Cit.

Page 9: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20043

dikatakan bahwa kepailitan dan likuidasimerupakan satu rangkaian bukan duakegiatan yang terpisah.

UU Kepailitan mendefinisikan kepailitandengan rumusan bahwa debitor yangmempunyai dua atau lebih kreditur dan tidakmembayar sedikitnya satu utang yang telahjatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakanpailit dengan Putusan Pengadilan Niaga,baik atas permohonan debitor maupun ataspermintaan seorang atau lebih kreditur(Pasal 1).

Dengan demikian, setiap debitor baikperorangan maupun badan hukum yangmemiliki minimal dua kreditur dapatdinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga jikadebitor dimaksud berhenti membayarkarena tidak mampu atau tidak maumembayar sedikitnya satu utang yangseharusnya telah dibayar kepada kreditur.Permohonan pernyataan pailit dapatdiajukan oleh debitor atau kreditur. Untukkepentingan umum permohonan pernyataanpailit diajukan oleh Kejaksaan. Jika debitoradalah bank maka permohonan pernyataanpailit hanya dapat diajukan oleh BI7, dandalam hal debitor adalah perusahaan efekpermohonan hanya dapat diajukan olehBapepam. Putusan pernyataan pailit dariPengadilan Niaga adalah bersifat sertamerta, artinya putusan tersebut dapatdijalankan lebih dulu walaupun diajukanupaya hukum Kasasi atau PeninjauanKembali.

Sejak putusan pernyataan pailit dinyatakanPengadilan Niaga maka debitor (debitorpailit) secara hukum kehilangan haknyauntuk menguasai dan mengurus seluruh

hartanya (harta pailit) yang mencakup semuaharta debitor yang ada saat itu dan yangdiperoleh selama kepailitan berlangsung,kecuali harta yang bukan bagian dari hartadebitor namun berada dalampenguasaannya. Debitor tidak dapat lagimenjual, menghibahkan, menggadaikanatau mengagunkan hartanya. Kewenanganmengurus dan membereskan harta pailitkarena hukum menjadi kewenangan Kurator.

b. Jenis Kreditur dalam Kepailitan

Dalam kepailitan terdapat tiga jenis kredituryang terdiri dari:

1. Kreditur Separatis (Secured Creditor) Kreditur Separatis tidak terkena akibatputusan pernyataan pailit, artinya hakeksekusi Kreditur Separatis tetap dapatdilaksanakan seperti tidak ada kepailitanatas debitor. Kreditur Separatis ini meliputikreditur pemegang hipotik, hak tanggunganatau gadai. Hak Kreditur Separatis dapatditangguhkan selama 90 hari terhitung sejaktanggal putusan pernyataan pailitdikeluarkan. Artinya, hak Kreditur Separatisbaru dapat dilaksanakan setelah lewat waktu90 hari. Pelaksanaan hak Kreditur Separatisberlaku sampai dua bulan setelah insolvensi.2. Kreditur Preferen (Preferential Creditor) Kreditur Preferen yang disebut jugaKreditur Istimewa adalah kreditur yangmemiliki hak istimewa yang diberikan UUsehingga kedudukan kreditur dimaksudmenjadi lebih tinggi dari kreditur biasa(Kreditur Konkuren). Kreditur Preferen inidiatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149KUHPerdata.3. Kreditur Konkuren (Unsecured Creditor)

Kreditur Konkuren adalah seluruh kreditur

7 Pasal 1 ayat (3) UU Kepailitan

Page 10: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20044

yang tidak termasuk Kreditur Separatis danKreditur Preferen. Kreditur Konkurenmenerima pembayaran dari harta pailitsetelah Kreditur Separatis dan KrediturPreferen menerima pembayaran piutangnya.Kreditur Konkuren akan menerimapembayaran dari hasil penjualan harta pailitsesuai dengan besarnya piutang masing-masing.

c. K u r a t o r (Receiver)Dalam putusan pernyataan pailit harusdiangkat pengurus dan pemberes harta pailityang disebut Kurator. Kurator ini dinamakanjuga Receiver for liquidation inbankcruptcy.8 Dalam hal debitor atau krediturtidak mengusulkan Kurator kepadaPengadilan Niaga, maka Balai HartaPeninggalan akan ditunjuk sebagai Kurator.Terhitung sejak tanggal putusan pernyataanpailit yang berwenang mengurus danmembereskan harta pailit adalah Kurator,walaupun terhadap putusan pernyataan pailititu diajukan Kasasi atau PeninjauanKembali. Jika kemudian putusan pernyataanpailit dibatalkan oleh Mahkamah Agungmaka semua tindakan yang telah dilakukanKurator sebelum atau pada tanggalmenerima pemberitaan putusan pembatalantetap sah dan mengikat debitor.

Kurator dapat terdiri dari Balai HartaPeninggalan atau Kurator lainnya baikperorangan maupun persekutuan perdatayang berdomisili di Indonesia, memilikikeahlian khusus dalam mengurus dan ataumembereskan harta pailit dan terdaftar diDepartemen Kehakiman dan HAM. Dalampraktik kebanyakan Kurator adalah advokat,konsultan hukum dan akuntan publik.

Dalam melakukan pengurusan danpemberesan harta pailit Kurator tidak perlu

memperoleh persetujuan dari debitor.Kurator dapat meminjam uang dari pihakketiga untuk meningkatkan nilai harta pailit.Jika dalam melakukan pinjaman tersebutKurator perlu membebani harta pailit denganhak tanggungan atau hak gadai makapinjaman uang yang demikian itu harusterlebih dahulu memperoleh persetujuanHakim Pengawas. Pembebanan harta pailitdengan hak tanggungan atau hak gadaihanya dapat dilakukan terhadap bagianharta pailit yang belum dijadikan jaminanutang.

Kurator bertanggung jawab atas kesalahanatau kelalaiannya yang menyebabkankerugian atas harta pailit. Kurator dapatdiganti oleh Pengadilan Niaga ataspermintaan Kurator sendiri, usulan HakimPengawas atau permintaan debitor pailit.Pengadilan Niaga juga dapat mengangkatKurator lain dan atau Kurator tambahan ataspermintaan salah satu dari ketiga pihak ini.

d. Hakim PengawasSama halnya dengan Kurator, dalam putusanpernyataan pailit juga harus diangkatseorang Hakim Pengawas yang berasaldari hakim Pengadilan Niaga. HakimPengawas bertugas mengawasipengurusan dan pemberesan harta pailityang dilaksanakan oleh Kurator. Sebelummelakukan penetapan berkenaan denganpengurusan dan atau pemberesan hartapailit Pengadilan Niaga harus terlebih dahulumendengar pendapat Hakim Pengawas.Hakim Pengawas berkewenangan untukmemperoleh keterangan mengenaikepailitan, mendengar saksi ataupunmemerintahkan penyelidikan kepailitan olehahli.

8 David K. Linnan, Op.Cit., hal. 8.

Page 11: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20045

e. Pemberesan Harta PailitPutusan pernyataan pailit yang ditetapkanPengadilan Niaga mengakibatkan debitortidak berwenang lagi untuk mengurus hartapailit terhitung sejak putusan pernyataanpailit diucapkan. Keadaan ini dapat diakhirijika rencana perdamaian yang diajukandebitor disetujui para kreditur (KrediturKonkuren). Persetujuan atas rencanaperdamaian itu mengikat setelah disahkanPengadilan Niaga dalam sidang yangditetapkan untuk itu. Namun, bila rencanaperdamaian yang diajukan debitor ditolakoleh para Kreditur Konkuren maka hartapailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi(Pasal 168 UU Kepailitan).

Setelah harta pailit dinyatakan dalamkeadaan insolvensi maka Kurator harusmemulai pemberesan melalui penjualanharta pailit tanpa memerlukan persetujuandebitor. Selanjutnya, Hakim Pengawasmeminta Kurator membuat daftarpembagian yang memuat rincian mengenaipenerimaan, pengeluaran dan jumlah bagianmasing-masing Kreditur Konkuren. Setelahmendapat persetujuan Hakim Pengawasdaftar pembagian tersebut diumumkan diKepaniteraan Pengadilan Niaga selamajangka waktu yang ditetapkan HakimPengawas. Pengumuman itu bertujuan agarpara Kreditur Konkuren dapat melihat danmengajukan keberatan bila ada pembagianyang keliru (Pasal 178 dan 179 UUKepailitan).

Jika terhadap daftar pembagian tidak adaKreditur Konkuren yang berkeberatan makasetelah tenggang waktu pengumuman yangditetapkan Hakim Pengawas berakhir daftar

pembagian dimaksud memiliki kekuatanhukum tetap dan mengikat bagi para pihak(Pasal 182 UU Kepailitan). Setelah memilikikekuatan hukum tetap maka Kuratormelaksanakan pembagian harta pailitsesuai dengan daftar pembagian (Pasal 187UU Kepailitan). Setelah seluruh utangdebitor dibayarkan kepada para KrediturKonkuren sesuai daftar pembagian makakepailitan pun berakhir, dan Kurator wajibmengumumkannya dalam sekurang-kurangnya dua surat kabar yang ditetapkanHakim Pengawas (Pasal 188 ayat (1) UUKepailitan). Dalam hal kepailitan telahberakhir maka Kurator dalam waktu satubulan sejak dilakukan pembagian terakhirharus mempertanggungjawabkankepengurusan dan pemberesannya atasharta pailit kepada Hakim Pengawas.Kurator mengembalikan kepada debitorsemua dokumen yang pernah diterimanyaselama proses kepailitan berlangsung(Pasal 188 ayat (2) dan (3) UU Kepailitan).

f. Perbandingan dengan Negara lainBila dilihat pengaturan di Amerika, Inggrisdan Korea9 ternyata ketentuan kepailitan danketentuan likuidasi bagi bank di ketiganegara tersebut merupakan satu rangkaian,tidak terpisah satu sama lain. Artinya,kepailitan dilaksanakan terlebih dahulu danlikuidasi dilakukan kemudianmenindaklanjuti hasil kepailitan tersebut.Kecuali, bila perdamaian (ataureorganisasi) dapat disepakati oleh parakreditur (Kreditur Konkuren) dan debitormaka tindakan likuidasi tidak dilaksanakan.Pengaturan yang demikian ini berbeda

9 Amerika, Inggris dan Korea dijadikan pembanding karena dewasa ini hukum bisnis cenderung mengacuke Common Law System. Pengaturan Kepailitan di Amerika, Inggris dan Korea dapat dilihat dalam MarioGiovanoli and Gregor Heinrich (Editors), International Bank Insolvencies – A Central Bank Perspective,Kluwer Law International, 1999.

Page 12: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20046

dengan pengaturan di Indonesia yangmemisahkan pengaturan kepailitan danpengaturan likuidasi bank yang masing-masing diatur dalam undang-undang yangberbeda yakni UU Kepailitan dan UUPerbankan10 sehingga sebuah bank dapatdipailitkan sesuai UU Kepailitan ataudilikuidasi sesuai UU Perbankan.Pelaksanaan likuidasi menurut UUPerbankan selalu tidak didahului dengankepailitan namun selalu didahului dengantindakan-tindakan penyelamatan bank.Selain itu, di Amerika pada dasarnyakepailitan menjadi kewenangan Office of theComptroller (OCC). Sementara, Inggris danKorea sama dengan di Indonesia bahwakepailitan menjadi kewenangan pengadilan.Selanjutnya, berbeda dengan Inggris, diAmerika dan Korea tidak terdapat ketentuanyang menyatakan bahwa terhadap banksebagai debitor permohonan pernyataanpailit hanya dapat dilakukan oleh bank sentralatau otoritas perbankan. Sebagaimanahalnya Inggris,11 di Indonesia diatur bahwapihak yang dapat mengajukan permohonanpernyataan pailit terhadap bank sebagaidebitor adalah otoritas perbankan (BI).Kemudian, di Amerika penunjukan Kurator

juga merupakan kewenangan OCC.Sementara, Inggris dan Korea adalah samadengan di Indonesia yaitu kewenanganpenunjukan Kurator juga ada padapengadilan. Seterusnya, di Amerika, Inggrisdan Korea keadaan insolvensi merupakanukuran untuk mempailitkan bank.Sementara, dalam UU Kepailitan diIndonesia ukuran untuk mempailitkan banktidak diatur tegas. Pengaturan kepailitan diAmerika, Inggris dan Korea secara lebihlengkap dapat dilihat pada lampiran.

2.2. Kewenangan Bank Indonesiaa. Bank sebagai DebitorSebagaimana telah dikemukakansebelumnya, UU Kepailitan mengatur bahwadebitor yang mempunyai dua atau lebihkreditur dan tidak membayar sedikitnya satuutang (pokok atau bunga) yang telah jatuhwaktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailitdengan putusan Pengadilan Niaga baikatas permohonan debitor sendiri maupunatas permintaan seorang atau lebihkrediturnya (Pasal 1 ayat (1) danPenjelasan). Khusus untuk bank sebagaidebitor, UU Kepailitan mengatur bahwapermohonan pernyataan pailit hanya dapatdiajukan oleh BI (Pasal 1 ayat (3)).12

10 Namun dalam UU Perseroan Terbatas (UU No. 1 Tahun 1995) pengaturan kepailitan dan likuidasimerupakan satu rangkaian, artinya likuidasi didahului dengan kepailitan. Pengaturan yang demikian sejalandengan yang terdapat di Amerika, Inggris dan Korea.11 Di Inggris pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit atas bank adalah Financial ServicesAuthority (FSA) dan sebelum terbentuknya FSA dilakukan oleh Bank of England. Mario Giovanoli andGregor Heinrich, Op.Cit., hal. 238.12 Sementara, dalam RUU Kepailitan yang ada sekarang dinyatakan bahwa debitor yang mempunyai duaatau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapatditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan Niaga, baik atas permohonan debitor sendiri maupunatas permohonan satu atau lebih krediturnya (Pasal 2 ayat (1)). Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) RUUKepailitan dinyatakan bahwa ‘utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih’ adalah kewajiban untukmembayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktupenagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yangberwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbiter. Lebih lanjut, RUU Kepailitanmenyebutkan bahwa untuk bank sebagai debitor permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan olehBank Indonesia (Pasal 2 ayat (3)).

Page 13: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20047

Bila dicermati pengertian kepailitanberdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan,nampaknya upaya kepailitan ini sangat sulituntuk diberlakukan bagi bank sebagaidebitor mengingat bank mengembankepercayaan masyarakat termasukmasyarakat negara lain. Kepercayaanmasyarakat ini terutama berupakepercayaan para kreditur bank yangjumlahnya relatif banyak. Kepercayaan parakreditur ini sangat perlu dijaga dandipertahankan agar tidak sampai menurunapalagi hilang sama sekali. Kreditur bankbanyak ragamnya yang dapat terdiri darikreditur yang memberikan kredit kepadabank, kreditur yang menyimpan dana padabank, kreditur yang menyediakan fasilitaspembiayaan (credit line) kepada bank dankreditur yang menempatkan dananya padabank (reimbursing bank) untuk digunakansebagai sumber pembiayaan atas kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan olehkreditur.

Dalam melaksanakan kegiatan untukkeperluan para kreditur yang jumlahnyabanyak itu tidak tertutup kemungkinan dalampraktik sehari-hari bank melakukan‘kesalahan/wanprestasi’ yang bentuknyadapat berupa terlambat melakukanpembayaran (pokok atau bunga) kepadakreditur atau terlambat melakukanpembayaran kepada mitra bisnis kreditur.Atas kesalahan bank seperti ini apabilamemang patut atau sesuai perjanjian antarabank dan kreditur dapat dikenakan dendabunga terhadap bank tersebut.

Apabila dihubungkan dengan pengertiankepailitan baik menurut UU Kepailitanmaupun RUU Kepailitan yang baru makakesalahan dimaksud memenuhi kriteria‘tidak membayar sedikitnya satu utangpokok atau bunga yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih’. Selain itu, kriteria debitormempunyai dua atau lebih kreditur’ jugadipenuhi mengingat kreditur bank jumlahnyabanyak. Konsekuensinya, sesuai Pasal 1ayat (1) UU Kepailitan terhadap banksebagai debitor BI dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit. Apabila BImerealisasi permohonan pernyataan pailitmaka dapat dipastikan betapa seringnyabank-bank menjadi obyek kepailitan.Implikasinya adalah terjadi penurunankepercayaan masyarakat terhadap industriperbankan. Para kreditur dan juga paradebitor bank diperkirakan akan mengurangibahkan tidak tertutup kemungkinanmenghentikan transaksinya denganperbankan karena terjadinya ketidakpastianbisnis. Upaya untuk mengembalikankepercayaan masyarakat sangat besarongkosnya bagi perekonomian, sehinggamerupakan suatu hal yang sangat wajar bilaupaya kepailitan terhadap bank perludilakukan dengan sangat berhati-hati.

Sebagaimana telah dikemukakansebelumnya, sesuai dengan UU Kepailitanterhadap bank sebagai debitor telah dibuatpengaturan khusus yang berbeda denganpengaturan terhadap debitor padaumumnya. Bank sebagai debitor tidak dapatmengajukan permohonan pernyataan pailitbagi dirinya sendiri sebagaimana halnyadapat dilakukan oleh debitor pada umumnya.Kreditur bank juga tidak dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit terhadapbank sebagai debitor sebagaimana halnyadapat dilakukan kreditur terhadap debitorpada umumnya. Satu-satunya lembaga yangberwenang mengajukan permohonanpernyataan pailit terhadap bank sebagaidebitor adalah BI. Namun, UU Kepailitantidak tegas mengatur apakah kewenanganBI untuk mengajukan permohonan

Page 14: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20048

pernyataan pailit tersebut dilakukan dalamkapasitas BI sebagai otoritas perbankanatau kreditur atau otoritas perbankan dankreditur. Logikanya, untuk dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit kapasitas BIsudah seharusnya sebagai otoritasperbankan yang mewakili kepentinganperekonomian nasional. Bila kapasitas BIsebagai kreditur maka dalam mengajukanpermohonan pernyataan pailit tersebuthanya kepentingan BI saja yang akandiwakilinya dan atas hal yang demikian inirasanya tidak adil diberikan kewenangankhusus kepada BI.

b. Bank sebagai KrediturBank sebagai kreditur dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit atasdebiturnya. Kewenangan ini diperolehsesuai dengan pengertian kepailitan dalamUU Kepailitan yang menyatakan bahwadebitor yang mempunyai dua atau lebihkreditur dan tidak membayar sedikitnya satuutang yang telah jatuh waktu dan dapatditagih, dinyatakan pailit dengan putusanPengadilan Niaga baik atas permohonansendiri maupun atas permohonankrediturnya.

Permasalahan bagi bank sebagai krediturdapat timbul bila para kreditur terdiri daribank dan perusahaan bukan bank, dankreditur perusahaan bukan bank tersebutberupaya mempailitkan debitor denganmengajukan permohonan pernyataan pailitkepada Pengadilan Niaga. Bilapermohonan diterima sehingga PengadilanNiaga mengeluarkan putusan pernyataanpailit maka putusan itu dapat merugikankepentingan bank sebagai kreditur. Kreditatau pembiayaan yang telah diberikan bankkepada debitor mungkin tidak seluruhnyadapat diterima kembali oleh bank tersebut.Kemungkinan ini dapat terjadi bila kredit

atau pembiayaan yang diberikan bankkepada debitor tidak diikat dengan haktanggungan atau hak gadai sehingga statusbank hanya sebagai Kreditur Konkuren yangakan menerima haknya atas harta pailitsetelah terlebih dahulu dibayarkan hakKreditur Separatis dan Kreditur Preferen.Bank sebagai Kreditur Konkuren bersamadengan kreditur sejenis lainnya hanya akanmenerima bagian dari sisa harta pailitsecara pro rata terhadap besarnya piutangmasing-masing. Bahkan, dapat juga terjadibank sama sekali tidak menerimabagiannya karena harta pailit telah habisseluruhnya diperuntukkan bagi KrediturSeparatis dan Kreditur Preferen. Hal yangsama juga dapat terjadi pada bank bilapermohonan pernyataan pailit diajukan olehdebitor sendiri dan disetujui oleh PengadilanNiaga.

Untuk menghindari kemungkinan terjadinyakerugian bagi bank sebagai kreditur makaada baiknya bank berhati-hati dalammemberikan kredit atau pembiayaankepada debitor. Kehati-hatian ini dapatdiwujudkan dengan mengikat jaminan yangdiserahkan debitor dengan hak tanggunganatau hak gadai sehingga status banksebagai kreditur menjadi Kreditur Separatisyang haknya tetap dapat dieksekusiterlepas dari adanya kepailitan. Seandainyabank sebagai Kreditur Separatis tidakmengeksekusi sendiri haknya dalam bataswaktu yang ditetapkan UU Kepailitan yaknidua bulan setelah harta pailit dinyatakandalam keadaan insolvensi maka ataspenjualan harta pailit yang dilakukan Kuratorterhadap bank sebagai Kreditur Separatisharus didahulukan pembayaran piutangnya.

Apabila dilihat dalam hubungan bisnisantara kreditur dan debitor yang keduanyaadalah bank maka timbul isu menarik bila

Page 15: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 20049

dihubungkan dengan kewenangan tunggalBI dalam kepailitan. UU Kepailitan telahmenyatakan bahwa terhadap bank sebagaidebitor permohonan pernyataan pailit hanyadapat diajukan oleh BI. Sementara, UUKepailitan juga menyatakan bahwa banksebagai kreditur dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit atasdebiturnya. Seakan-akan UU Kepailitanmengatur kewenangan BI dan kewenanganbank secara tumpang tindih. Pengaturanyang demikian ini kiranya dipahami secarapositif dalam arti terhadap bank sebagaidebitor hanya yang dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit. Pemahamanmajemuk tidak boleh terjadi demiterciptanya kepastian hukum dalamkepailitan.

III. PELAKSANAAN KEWENANGANBANK INDONESIA DALAM KEPAILITAN3.1. Kewenangan Bank Indonesia dalamhal Bank sebagai DebitorBI sudah sewajarnya melaksanakankewenangannya dalam kepailitan untukmenunjang perekonomian nasional.Sehubungan dengan itu, dalam UUKepailitan sebenarnya perlu diatur dengantegas dalam kondisi bagaimana BI dapatmengajukan permohonan pernyataan pailitkepada Pengadilan Niaga. Oleh karenapengaturan dimaksud tidak ada makakondisi itu sebaiknya didasarkan padaukuran yang terdapat pada PembukaanPasal 37 ayat (1) UU Perbankan yaitukeadaan suatu bank mengalami kesulitanyang membahayakan kelangsungan

usahanya. Suatu bank dikatakan mengalamikesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya bila berdasarkanpenilaian BI keadaan usaha bank semakinmemburuk antara lain ditandai denganmenurunnya permodalan, kualitas aset,likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaanbank yang tidak dilakukan berdasarkanprinsip kehati-hatian dan asas perbankanyang sehat (Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPerbankan). Dengan adanya ukuran yangjelas ini maka BI akan aman dalammenggunakan kewenangan tunggalnyamengajukan permohonan pernyataan pailitke Pengadilan Niaga. Di Amerika, Inggrisdan Korea ukuran mempailitkan sebuahbank adalah jika bank tersebut beradadalam keadaan insolvensi.13

Selengkapnya, Pasal 37 ayat (1) UUPerbankan menyatakan bahwa jika menurutpenilaian Bank Indonesia suatu bankmengalami kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya, Bank Indonesiadapat melakukan tindakan agar:a. pemegang saham menambah modal,b. pemegang saham mengganti Dewan

Komisaris dan atau Direksi bank,c. bank menghapusbukukan kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariahyang macet dan memperhitungkankerugian bank dengan modalnya,

d. bank melakukan merger atau konsolidasidengan bank lain,

e. bank dijual kepada pembeli yang bersediamengambil alih seluruh kewajiban,

f. bank menyerahkan pengelolaan seluruhatau sebagian kegiatan bank kepadapihak lain,

13 Mario Giovanoli and Gregor Heinrich , Loc. Cit.

Page 16: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200410

g. bank menjual sebagian atau seluruh hartadan atau kewajibannya kepada bank ataupihak lain.

Apabila,a. tindakan di atas belum cukup untuk

mengatasi kesulitan yang dihadapi bank,dan atau,

b. menurut Bank Indonesia keadaan suatubank dapat membahayakan sistemperbankan,

Pimpinan BI dapat mencabut izin usahabank dan memerintahkan Direksi bank untuksegera menyelenggarakan Rapat UmumPemegang Saham (RUPS) gunamembubarkan badan hukum bank danmembentuk tim likuidasi.14 Dalam hal Direksibank tidak menyelenggarakan RUPS,Pimpinan BI meminta kepada pengadilanuntuk mengeluarkan penetapan yang berisipembubaran badan hukum bank,penunjukan tim likuidasi, dan perintahpelaksanaan likuidasi sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku(Pasal 37 ayat (2) dan (3) UU Perbankan).

Dalam rangka kepailitan ini, sebaiknya BImengajukan permohonan pernyataan pailitkepada Pengadilan Niaga ketika tindakan-tindakan penyelamatan bank (bank rescue)sebagaimana pada Pasal 37 ayat (1) hurufa hingga g belum berhasil untuk mengatasikesulitan yang dihadapi bank. Dansebaiknya BI tidak menunggu hinggakesulitan bank tersebut dapatmembahayakan sistem perbankan. Bilakeadaan suatu bank telah membahayakansistem perbankan maka sebenarnya adalahsuatu keterlambatan untuk melakukan

kepailitan, kecuali keadaan membahayakansistem perbankan itu terjadi seketika.Ketepatan waktu ini penting karena upayakepailitan itu sebenarnya adalah jugamerupakan upaya penyelamatan bankmelalui jalur Pengadilan Niaga.

Dalam kepailitan, penetapan putusanpernyataan pailit oleh Pengadilan Niagatidak perlu didahului dengan pencabutan izinusaha bank oleh BI dan pembubaran badanhukum bank oleh RUPS mengingat dalamkepailitan selalu diupayakan terwujudnyaperdamaian yang merupakan tindakanpenyelamatan bank berdasarkankesepakatan antara debitor dan parakreditur (Kreditur Konkuren). Bilaperdamaian tersebut dapat diwujudkan dansetelah disahkan oleh Pengadilan Niagamaka kepailitan diangkat (dicabut) dan banksebagai debitor dapat kembali berbisnisseperti biasa. Namun, jika perdamaian tidakterwujud maka harta pailit bank dinyatakanberada dalam keadaan insolvensi danKurator mulai membereskan denganmenjual harta pailit tanpa memerlukanpersetujuan debitor.

Setelah ada kejelasan ukuran bagi BI untukmelaksanakan kewenangannya atas banksebagai debitor, selanjutnya diperlukan jugakejelasan ukuran atas ‘jumlah kreditur’ dan‘utang yang telah jatuh tempo dan dapatditagih’. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUKepailitan dinyatakan bahwa agar dapatdiajukan permohonan pernyataan pailit kePengadilan Niaga maka jumlah kreditur yangdimiliki debitor minimal dua. Bagi banksebagai debitor terlalu riskan diberlakukan

14 Ukuran membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukankegiatan usaha, suatu bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehinggapada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain (Penjelasan Pasal 37 ayat (2)UU Perbankan).

Page 17: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200411

kriteria kepemilikan minimal dua krediturtersebut. Suatu hal yang tidak wajar bagibank sebagai debitor jika hanya karenadengan memiliki minimal dua kreditur dantidak membayar sedikitnya satu utang yangtelah jatuh tempo dan dapat ditagih menjadidapat dipailitkan oleh Pengadilan Niaga,mengingat ketidakwajaran ini berbedadengan perusahaan pada umumnya,dimana bank memiliki banyak kreditur.Kepentingan seluruh kreditur sudahsewajarnya menjadi pertimbangan bukanhanya sekedar kepentingan dua atau tigakreditur saja. Selain kepentingan parakreditur bank, maka kepentingan paranasabah debitor dan nasabah penggunajasa bank juga perlu menjadi pertimbangan.Dengan perkataan lain, implikasi kepailitanbagi kepercayaan masyarakat terhadapindustri perbankan perlu mendapat perhatiandalam mempailitkan bank. Oleh karena ituadalah suatu pengaturan yang tepat dalamUU Kepailitan bahwa atas bank sebagaidebitor permohonan pernyataan pailit hanyadapat diajukan oleh BI. Dalam pelaksanaankepailitan BI sudah seharusnyamengabaikan ukuran kepemilikan minimaldua kreditur tersebut.

Selanjutnya, untuk menghindari kesanbahwa mudah untuk mempailitkan debitormaka ukuran nilai atas ‘utang yang telahjatuh tempo dan dapat ditagih’ juga perlumenjadi pertimbangan. UU Kepailitan tidakmenetapkan besarnya nilai utang debitorsebagai dasar untuk melaksanakankepailitan. Artinya, berapapun nilai utangdebitor kepailitan tetap dapat dilaksanakanasal utang tersebut tidak dibayar pada saatjatuh tempo. Bagi bank sebagai debitor,ukuran nilai utang menjadi penting karenakaitannya dengan pemeliharaankepercayaan masyarakat terhadap bank.

Bila nilai utang bank hanya relatif sedikitmaka adalah suatu tindakan yang keliruuntuk mempailitkan bank,mempertimbangkan dampak kepailitan itubagi pemeliharaan kepercayaanmasyarakat. Pihak yang menentukan ukurannilai utang tersebut adalah BI sendiri sejalandengan kewenangan yang diberikan UUKepailitan kepadanya sebagai satu-satunyalembaga yang dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit atas banksebagai debitor.

3.2. Kewenangan Bank Indonesiadalam hal Bank sebagai Kreditur

UU Kepailitan hanya memberi kewenangankepada BI untuk mengajukan permohonanpernyataan pailit atas bank sebagai debitor,tidak atas bank sebagai kreditur. Namunsebenarnya dapat dikatakan bahwa setiapbank adalah sekaligus sebagai kreditur dandebitor. Dalam praktik tidak ditemukan bankyang murni hanya sebagai kreditur ataudebitor. Hal demikian ini merupakankenyataan mengingat aktivitas bankmemang melakukan transaksi keuanganbaik dengan kreditur maupun debitor sertapengguna jasa bank lainnya.

Dengan demikian, dalam konteks kepailitanbank pihak yang berupaya mempailitkanbank akan selalu BI sebab setiap bank akanselalu berstatus sebagai debitor. Ketikasebuah bank merupakan kreditur terhadapbank lainnya maka bank sebagai krediturtersebut adalah juga sebagai debitor daribank yang lain lagi, dan demikianseterusnya. Sehingga, dalam UU Kepailitansebetulnya tidak perlu ada pembedaanantara bank sebagai debitor dan banksebagai kreditur dalam kaitannya dengankewenangan BI untuk mengajukanpermohonan pernyataan pailit atas bank.

Page 18: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200412

Sesuai dengan kewenangan BI berdasarkanPasal 1 ayar (3) UU Kepailitan sebenarnyabagi bank sebagai kreditur demi hukumtelah kehilangan haknya untuk mengajukanpermohonan pernyataan pailit atasdebiturnya yang adalah bank. Denganperkataan lain, sesuai UU Kepailitan dalamkondisi bagaimanapun hanya BI yang dapatmengajukan permohonan pernyataan pailitatas bank sebagai debitor. Perwujudankewenangan BI ini adalah demi memeliharakepercayaan masyarakat terhadapperbankan. Bank tidak boleh dipailitkan olehkrediturnya sebagaimana halnyamempailitkan perusahaan pada umumnyakarena bank mengemban kepercayaanmasyarakat yang harus selalu dijaga.

3.3. Peranan Kurator dalam KepailitanBank

Keberhasilan pengurusan dan pemberesanharta pailit pada dasarnya ditentukan olehKurator. Kurator adalah pihak yangdiwajibkan UU Kepailitan untuk mengurusdan membereskan harta pailit sehingga BIperlu mengusulkan Kurator yang ahli untukmenangani harta pailit bank. Kurator harusindependen dan tidak berbenturankepentingan dengan debitor atau kreditur.15

Dalam kepailitan bank, Kurator sudahsewajarnya merupakan pihak yang ahli dibidang perbankan dan terutama berlatarbelakang akuntansi, ekonomi atau hukum.Kurator dapat ditunjuk utamanya darikalangan perbankan dan atau BI dan telahmemperoleh pendidikan sebagai Kurator.Status mereka tidak mewakili perbankan

atau BI melainkan perorangan yangprofesional.

Kendala yang ‘mungkin’ dihadapi Kuratordalam pelaksanaan kepailitan bank adalah:a. Bank sebagai debitor kurang kooperatif

sehingga inventarisasi harta pailit tidakdapat dilaksanakan dengan efektifsehingga bantuan Hakim Pengawasdiperlukan untuk memperlancarpelaksanaannya.

b. Kreditur kurang memahami UU Kepailitandan menganggap bahwa Kuratormelaksanakan kewenangannya demikepentingan kreditur.

c. Kesulitan mendapatkan informasi daripihak terkait misalnya debitor bankmenolak memberikan informasi terkinimengenai status kredit yang diterimanyadari bank sehingga bantuan HakimPengawas juga diperlukan untukmemperlancar.

d. Terdapat indikasi kreditur fiktif dalamupaya perdamaian antara bank sebagaidebitor dan para kreditur (KrediturKonkuren).

e. Koordinasi dan kesamaan pandangantara Kurator dan Hakim Pengawas‘kurang’ terwujud.16

3.4. Kepailitan versus Likuidasi

Kepailitan merupakan upaya penyelesaiankredit bermasalah di luar penyelesaianberdasarkan gugatan perdata.Penyelesaian melalui kepailitan relatif cepatkarena pada dasarnya telah ditetapkan‘timing’ untuk setiap tindakan yang akan

15 Pasal 13 ayat (3) UU Kepailitan16 Bandingkan, Marjan E. Pane, “Permasalahan Seputar Kurator”, Lokakarya, Diselenggarakan olah KHN,Jakarta 30 dan 31 Juli 2002, hal. 5-6. Bandingkan juga, Ibrahim Assegaf, “Hasil Survei Kurator dan Pengurus:Harapan Praktisi”, Lokakarya yang sama, hal. 4.

Page 19: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200413

dilakukan untuk mencapai penyelesaian.Kecepatan penyelesaian inilah sebenarnyayang menjadi tujuan utama diundangkannyaUU Kepailitan. UU Kepailitan diharapkanmembantu percepatan negara kita keluardari krisis ekonomi.17 Namun, upayakepailitan ini belum pernah dimanfaatkan BIkarena selama ini upaya likuidasi dianggaplebih pas digunakan untuk menyelesaikanhak dan kewajiban bank bermasalah.Berdasarkan undang-undang yang ada18 BIdapat menggunakan upaya kepailitan ataulikuidasi.

Terlepas dari kendala yang mungkindihadapi Kurator dalam kepailitan, biladibandingkan antara ketentuan kepailitandan likuidasi sebenarnya lebih baik bagi BImemanfaatkan upaya kepailitan dibandinglikuidasi karena kepailitan mempunyaiprospek yang lebih baik dan lebih pastidibanding dengan likuidasi. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut:a. Penyelesaian kepailitan dilakukan melalui

jalur pengadilan (Pengadilan Niaga)sehingga pruden, sementarapenyelesaian likuidasi melalui jalur di luarpengadilan.

b. Putusan pernyataan pailit oleh PengadilanNiaga segera dapat dilaksanakan, walauada upaya hukum Kasasi atau PeninjauanKembali, sementara dalam likuidasi tidakada pengaturan yang demikian sehinggatidak ada ketegasan kapan dimulaipelaksanaannya.

c. Dalam kepailitan terdapat ketentuan‘tindakan sementara’ yang dapatdimanfaatkan untuk melindungi harta yang

menjadi obyek kepailitan darikemungkinan penyalahgunaan oleh pihakyang menguasainya sebelum adanyaputusan pernyataan pailit dari PengadilanNiaga, sementara dalam likuidasi tidakada ketentuan mengenai tindakansementara tersebut.

d. Dalam kepailitan ditetapkan bahwaKurator yang menangani harta pailit harusindependen dan tidak memiliki benturankepentingan dengan debitor atau krediturdan Kurator diawasi oleh HakimPengawas, sementara dalam likuidasipenanganan harta likuidasi dilakukan olehTim Likuidasi tanpa ada Hakim Pengawasyang mengawasinya sehingga terkesankurang pruden.

e. Dalam kepailitan dikenal upayaperdamaian yang bila dapat disepakati diantara para kreditur (Kreditur Konkuren)dan debitor serta disahkan PengadilanNiaga maka kepailitan akan diangkat(dicabut) sehingga perusahaan kembaliberoperasi normal, sementara dalamlikuidasi tidak dikenal perdamaian.

f. Terkait butir e, dalam kepailitan tidak adapencabutan izin usaha bank oleh BI danpembubaran badan hukum bank olehRUPS terlebih dahulu, sementara padalikuidasi pelaksanaan kedua tindakanhukum itu terlebih dahulu merupakansyarat agar likuidasi dapat dilaksanakan.

g. Sebagai variasi butir f, dalam kepailitankemungkinan pencabutan izin usahabank oleh BI dan pembubaran badanhukum bank oleh RUPS hanyadilakukan jika harta pailit berada dalam

17Thomas Jackson mengatakan: “….. insolvency law was no more than a collective debt collectionmechanism. As such, the only goal it sought to further was the maximization of creditors’returns”. Lihatdalam J. Armour, Op.Cit., hal. 9.18 Lihat, UU Kepailitan dan UU Perbankan termasuk Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 TentangPencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.

Page 20: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200414

keadaan insolvensi yang terjadi karenagagalnya upaya perdamaian antara parakreditur (Kreditur Konkuren) dan debitor.19

h. Dalam kepailitan tanggung jawab BI lebihringan karena tidak mengawasipelaksanaan kepailitan sebab pihak yangmengawasi pengurusan dan pemberesanharta pailit adalah Hakim Pengawas,sementara dalam likuidasi BI mengawasipelaksanaan pembubaran badan hukumbank oleh RUPS dan pelaksanaanlikuidasi oleh tim likuidasi.

i. Terkait butir h, penanganan bankbermasalah melalui kepailitanmembebaskan BI dari gugatan publikkarena pelaksanaan kepailitan menjaditanggung jawab Pengadilan Niaga.

j. Bukti empiris menunjukkan bahwapenyelesaian melalui likuidasi adalah‘penyelesaian yang belum selesai’.Sebagai contoh penyelesaian likuidasi 16bank hingga sekarang belummenunjukkan hasil yang optimal walautelah melampaui 5 tahun, dan demikianjuga dengan likuidasi Bank Summa.

k. Telah ada bank yang memohon agar BImengajukan permohonan pernyataanpailit atas debiturnya yang adalah bank,namun BI belum memenuhinya.20

l. Dalam sidang kepailitan Bank IFI versusBank Danamon Indonesia sebagaidebitor, Pengadilan Niaga menolakpermohonan Bank IFI dan memutuskanbahwa pihak yang dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit terhadapbank sebagai debitor adalah BI.21

m. Di luar negeri seperti Amerika, Inggrisdan Korea ketentuan kepailitan danketentuan likuidasi atas bank merupakansatu rangkaian sehingga kepailitan akanselalu mendahului likuidasi kecualiperdamaian dapat terwujud di antara parakreditur (Kreditur Konkuren) dan debitor.

IV. P E N U T U P4.1. Kesimpulana. UU Kepailitan adalah dasar bagi BI untuk

melaksanakan kewenangannya dalamkepailitan bank. Kepailitan merupakanalternatif penyelamatan atau pemberesanharta pailit bank bermasalah melalui jalurPengadilan Niaga jika tindakan-tindakanpenyelamatan bank yang disebutkandalam Pasal 37 ayat (1) UU Perbankantidak berhasil menyelamatkan bankbermasalah. Pemanfaatan kepailitan olehBI tidak menutup kemungkinanpemanfaatan upaya likuidasi yangdinyatakan dalam Pasal 37 ayat (2) UUPerbankan.

b. BI berkewenangan mengajukanpermohonan pernyataan pailit atas banksebagai debitor termasuk atas debitorbank dari bank sebagai kreditur. Bank.

c. BI akan aman melaksanakankewenangannya untuk mempailitkan bankdengan menggunakan secara konsistenukuran yang dinyatakan dalam UUPerbankan yaitu keadaan suatu bankyang mengalami kesulitan yangmembahayakan kelangsungan usahanya.

19 Lihat juga, David K. Linnan, Op.Cit., hal 6.20 Bank IFI pada April 2001 memohon Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan pailitterhadap Bank Danamon Indonesia sebagai debitor Bank IFI, namun Bank Indonesia tidak memenuhinya.Lihat, Tempo Interaktif dan Koran Kompas masing-masing tanggal 17 Mei dan 17 April 2001.21 Korespondensi Bank Danamon Indonesia kepada Bank Indonesia Juni 2001, tidak dipublikasikan.Yunus Husein dari Bank Indonesia adalah saksi ahli dalam perkara Bank IFI versus Bank Danamon Indonesia.

Page 21: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200415

Di Amerika, Inggris dan Korea keadaaninsolvensi merupakan ukuran untukmempailitkan bank.

d. Kepailitan lebih baik dari likuidasi karenapelaksanaan kepailitan lebih prudenmelalui Pengadilan Niaga denganmenunjuk Kurator yang mengurus danmembereskan harta pailit dan HakimPengawas sebagai pengawasnyasehingga hasil penyelesaiannya pun lebihbaik dari likuidasi. Di Amerika, Inggris danKorea kepailitan dan likuidasi bankmerupakan satu rangkaian sehinggapenanganan bank bermasalah selaludimulai dengan kepailitan.

4.2. S a r a na. BI sudah saatnya menggunakan UU

Kepailitan untuk melaksanakankewenangannya dalam mempailitkanbank dan dalam pelaksanaannya agarmengabaikan ukuran jumlah kreditur bankminimal dua sebagaimana dinyatakandalam Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan.

b. BI agar menggunakan kewenangandalam kepailitan bila tindakanpenyelamatan atas bank sebagai debitor,termasuk debitor bank dari bank sebagaikreditur, sebagaimana dinyatakan dalamPasal 37 ayat (1) UU Perbankan belumberhasil menyelamatkan bank, namunsebaiknya dilakukan sebelum keadaanbank dimaksud membahayakan sistemperbankan.

c. BI agar menggunakan ukuran ‘keadaansuatu bank yang mengalami kesulitanyang membahayakan kelangsunganusahanya’ yang dinyatakan dalam Pasal37 ayat (1) UU Perbankan sebagai dasaruntuk mengajukan permohonanpernyataan pailit. Dalam permohonan ituBI agar mengusulkan Kurator terutamayang berasal dari kalangan perbankan

dan atau BI yang telah mengikutipendidikan mengenai Kurator.

Lampiran

Hukum Kepailitan Amerika, Inggris danKorea*

Berkenaan dengan hukum kepailitanAmerika, Inggris dan Korea dapatdikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Di Amerika, ketentuan kepailitan(insolvency) dan ketentuan likuidasi(liquidation) yang berlaku bagi bank berbedadengan yang berlaku bagi perusahaan padaumumnya (commercial enterprises ).Perusahaan pada umumnya dilikuidasi ataudireorganisasi berdasarkan FederalBankruptcy Code. Sementara, bagi bankberlaku ketentuan kepailitan dan ketentuanlikuidasi Hukum Federal dan HukumPerbankan Negara Bagian. BerdasarkanHukum Federal, Departemen KeuanganAmerika dalam hal ini TreasuryDepartment’s Office of the Comptroller ofthe Currency (OCC) memiliki kewenanganuntuk menetapkan insolvensi bank nasional,dan OCC juga berkewenangan menunjukReceiver untuk pemberesan (winding up)bank. Bila bank nasional tersebutdiasuransikan maka OCC wajib menunjukFederal Deposit Insurance Corporation(FDIC) sebagai Receiver.

Sesuai International Banking Act of 1978,OCC berkewenangan menunjuk Receiveruntuk melikuidasi bank asing (federalbranch and agency) yang insolven.Berdasarkan ketentuan FDIC dapatbertindak sebagai Receiver untuk bankasing, dan wajib menjadi Receiver bagicabang yang diasuransikan. Receiver akanmempailitkan cabang dan agensi bankasing termasuk mengumpulkan dan

Page 22: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200416

melikuidasi semua aset bank asingdimaksud yang ada di Amerika. Sesuaiketentuan OCC, bukan Receiver,melakukan pembayaran kepada parapenyimpan dana (depositor) dan krediturlainnya. Artinya, OCC terlibat dalam proseslikuidasi. Sementara, Federal ReserveBoard tidak memiliki peran dalam proseslikuidasi cabang dan agensi bank asing.Untuk bank yang memperoleh izin usaha darinegara bagian ketentuan kepailitan danketentuan likuidasinya tunduk pada HukumPerbankan Negara Bagian seperti New YorkBanking Law.

2. Di Inggris, ketentuan kepailitan( insolvency) dan ketentuan likuidasi(liquidation) yaitu Insolvency Act 1986 danBanking Act 1987 berlaku bagi bank danperusahaan pada umumnya. BerdasarkanBanking Act 1987 , Financial ServicesAuthority (FSA) memiliki kewenangan untukmengajukan permohonan pernyataan pailitke pengadilan (High Court) berkenaandengan lembaga keuangan yang insolvenatas dasar tidak dapat membayar utangnyapada saat jatuh tempo, atau atas dasarkenyataan bahwa nilai aset tidak cukup untukmembayar nilai kewajiban, atau bilapengadilan berpendapat bahwaberdasarkan keadilan dan kepatutanlembaga keuangan tertentu harusdipailitkan. FSA juga berkewenangan untukmengusulkan Administrator untukmengawasi manajemen dan pelaksanaanbisnis perusahaan, dan bila telah ditunjukoleh pengadilan secara teknis akanmembantu pengadilan tersebut.Administrator diawasi oleh pengadilan yangmenunjuknya. FSA juga berkewenanganmengusulkan Likuidator dan penunjukannyajuga merupakan kewenangan pengadilan.Kewenangan untuk mengajukan

permohonan pernyataan pailit danmengusulkan Administrator atau Likuidatorini sebelum FSA didirikan merupakankewenangan Bank of England.

Bagi perusahaan pada umumnya yangmengajukan permohonan pernyataan pailitatas lembaga keuangan wajibmenyampaikan copy permohonan kepadaFSA, atas kegiatan prosedural kepailitanlainnya juga wajib diberitahukan kepadaFSA misalnya pertemuan antara debitor danpara kreditur yang membahas alternatifpenyelesaian utang-piutang mereka.Deposit Protection Board tidak memilikikewenangan dalam pencegahan terjadinyakepailitan dan likuidasi bank.

3. Di Korea, ketentuan kepailitan(bankruptcy) atau ketentuan likuidasi(liquidation) yang berlaku bagi bank adalahGeneral Banking Act 1998, DepositorProtection Act 1955 dan Act concerning theStructural Improvement of the FinancialIndustry 1997. Sementara, untukperusahaan pada umumnya berlakuBankruptcy Act 1962, Commercial Code1962 dan Non-Contentious CaseProcedure Act 1991. Financial SupervisoryService (FSS) dapat melakukan segalamacam tindakan berkenaan dengan acarakepailitan atas lembaga keuangan untukkepentingan para penyimpan dana kecualipara penyimpan dana dimaksud melakukanintervensi langsung dalam acara kepailitan.Sementara, kewenangan menyatakan pailitatas lembaga keuangan merupakankewenangan pengadilan. Gubernur FSSatau bawahannya akan ditunjuk sebagaiReceiver dalam kepailitan atau Liquidatordalam likuidasi. Dan, pelaksanaan kepailitanatau likuidasi atas lembaga keuangan jugadiawasi oleh pengadilan. Namun,Pengadilan dapat menunjuk Pengawas

Page 23: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200417

(Inspector) untuk mengawasi pelaksanaanlikuidasi dan aset lembaga keuangan.Sementara, Deposit Insurance Corporationdapat melakukan segala macam tindakan

berkenaan dengan acara kepailitanlembaga keuangan untuk kepentingan parapenyimpan dana sebagaimana halnya dapatdilakukan oleh FSS.

* Mario Giovanoli and Gregor Heinrich (Editors), International Bank Insolvencies – ACentral Bank Perspective, Kluwer Law International, 1999.

Page 24: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200418

1. Pendahuluan

Dampak dari krisis perbankan mulai tahun1997 menyebabkan 16 bank dinilai olehotoritas perbankan tidak mungkin lagidipertahankan eksistensinya, sehinggadicabut ijin usahanya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, undang-undang yang mengatur perbankan waktu itu,yang memiliki kewenangan untukmenerbitkan dan mencabut ijin usaha bankadalah Menteri Keuangan berdasarkanrekomendasi dari Bank Indonesia (BI).Sebagai tindak lanjut dari pencabutan ijinusaha, pembubaran badan hukum terhadapbank tersebut dilakukan proses likuidasibank.

Likuidasi terhadap 16 bank tersebut padasaat itu ternyata menimbulkan domino effectantara lain didahului dengan adanya rush disektor perbankan, sehingga kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan nasionalmenjadi terpuruk.

Untuk mengembalikan kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan nasional,pemerintah mengeluarkan jaminankewajiban pembayaran bank umum ataudikenal dengan blanket guarantee yangmerupakan financial safety net denganKeputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.

Ada 2 Koridor hukum yang berkaitan denganexit policy di sektor perbankan dari segi

pandang hukum positif yang terdapat dalamPasal 37 UU Perbankan yaitu :

(1) Dalam hal suatu bank mengalamikesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya, BankIndonesia dapat melakukan tindakanagar:a. Pemegang saham menambah

modal;b. Pemegang saham mengganti dewan

komisaris dan/atau direksi bank;c. Bank menghapusbukukan kredit atau

pembiayaan berdasarkan PrinsipSyariah yang macet, danmemperhitungkan kerugian bankdengan modalnya;

d. Bank melakukan Merger atauKonsolidasi dengan bank lain;

e. Bank dijual kepada pembeli yangbersedia mengambil alih seluruhkewajiban;

f. Bank menyerahkan pengelolaanseluruh atau sebagian kegiatan bankkepada pihak lain;

(2) Apabila :

a. Tindakan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) belum cukup untukmengatasi kesulitan yang dihadapibank, dan/atau

b. Menurut penilaian Bank Indonesiakeadaan suatu bank dapatmembahayakan sistem perbankan;

LIKUIDASI DAN KEPAILITAN LEMBAGA PERBANKAN 1

(Fakultas Hukum Universitas Surabaya)

1 Executive Summary hasil penelitian “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia Dalam KepailitanDan Likuidasi Lembaga Perbankan”, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan BankIndonesia, 2004. Tim Peneliti terdiri atas Daniel Djoko Tarliman, Ida Sampit Karo Karo, Sylvia Janisriwati,Suhartati, Sari Mandiana, Soetrisno, Sudarsono, Marianus Yohanes Gaharpung, Sriwati.

Page 25: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200419

Pimpinan Bank Indonesia dapatmencabut izin usaha bank danmemerintahkan direksi bank untuksegera menyelenggarakan RapatUmum Pemegang Saham gunamembubarkan badan hukum bankdan membentuk tim likuidasi.

(3) Da lam ha l d i reks i bank t idakmenyelenggarakan Rapat UmumPemegang Saham sebagaimanadimaksud dalam ayat (2), PimpinanBank Indonesia meminta kepadapengadilan untuk mengeluarkanpenetapan yang berisi pembubaranbadan hukum bank, penunjukan timlikuidasi, dan perintah pelaksanaanlikuidasi sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

Selain itu juga disebutkan dalam Pasal 1ayat (3) UU Kepailitan yang menentukan :“Dalam hal menyangkut debitor yangmerupakan bank, permohonan pernyataanpailit hanya dapat diajukan oleh BankIndonesia”.

Ketentuan pasal tersebut menunjukkanbahwa BI mempunyai wewenang yangsangat menentukan tentang pernyataan pailitterhadap suatu bank. Namun dalamprakteknya, sampai saat ini BI tidak pernahmengajukan permohonan pailit terhadapsuatu bank.

Proses likuidasi terhadap 16 bank tersebutdi atas telah menimbulkan banyak persoalanhukum antara lain di bidang proses likuidasiyang menyangkut berbagai pihak, baikotoritas perbankan, pemerintah, pemilikbank, investor pasar modal, kreditur, debitoryang memiliki itikad baik dan lain-lain. Dalampenelusuran secara sepintas tampak haltersebut terjadi antara lain karena tidaklengkapnya peraturan perundang-undangan

yang melandasi dan merupakan dasarhukum dalam praktek likuidasi serta tindaklanjutnya, belum lagi perbenturan antaraberbagai kepentingan. Misalnya : jaminanhukum Tim Likuidasi, dasar hukumketentuan likuidasi dalam bentuk peraturanpemerintah yang dinilai lemah, proseslikuidasi yang berorientasi padakepentingan nasabah penyimpan dana,pemilik bank dan karyawan bank vide kasusBank Dagang Bali atau Bank Asiatic.

Pilihan exit policy yang tepat untukmemberikan dampak positif di bidangpembangunan perbankan nasional denganmemperhatikan UU Perbankan, UUBI, UUKepailitan, Undang-undang nomor 1 tahun1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian)menjadi tolok ukur bagi pilihan kebijakanhukum dalam mendukung exit policy disektor perbankan sebagai “ legalframework”.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atasmaka permasalahan yang dikemukakanadalah : “Kewenangan dan tanggung jawabBI dalam likuidasi bank dari segi pandangUU Perbankan dan peraturanpelaksanaannya, UU Kepailitan besertaalternatif penegakannya”.

2. Likuidasi Bank Dari Segi Pandang UUPerbankan Beserta PeraturanPelaksanaannya

Bentuk hukum suatu bank harus jelas karenaberkaitan dengan status kekayaan,pengesahan pendirian serta pengurus yangberwenang mewakili bank.

Page 26: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200420

Bentuk hukum suatu bank diatur dalam pasal21 UU Perbankan yang menentukan bahwaBank Umum dapat berupa :1. Perseroan Terbatas;2. Koperasi; atau3. Perusahaan Daerah.

Bentuk hukum BPR dapat berupa :1. Perusahaan Daerah;2. Koperasi;3. Peseroan Terbatas;

Bentuk lain yang ditetapkan denganperaturan pemerintah.

Bilamana bentuk hukum suatu Bank Umumatau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalahberupa perseroan terbatas maka pendirianbank tersebut harus memenuhi ketentuanUUPT yang meliputi : 1. Akta pendiriandengan akta notaris (Pasal 7 ayat 1); 2.Pengesahan oleh Menteri Kehakiman (Pasal9); 3. Akta Pendirian dan Surat Pengesahandidaftarkan pada Daftar Perusahaan (Pasal21); 4. Akta Pendirian dan SuratPengesahan Diumumkan dalam BeritaNegara R.I. (Pasal 22). Di samping harusmemenuhi ketentuan UU PT tersebut,pendirian suatu badan hukum bank harusmemenuhi ketentuan UU Perbankan.

Perihal kepengurusan serta tanggung jawabsuatu PT, Pasal 79 ayat (1) UUPTmenentukan bahwa kepengurusanperseroan dilakukan oleh Direksi.Selanjutnya menurut Pasal 82 UUPT, direksibertanggung jawab penuh atas pengurusanperseroan untuk kepentingan dan tujuanperseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan. Pasal 90ayat (2) UUPT menentukan bahwa dalam halkepailitan terjadi karena kesalahan dankelalaian direksi dan kekayaan perseroantidak cukup untuk menutup kerugian akibatkepailitan tersebut, setiap anggota direksi

secara tanggung renteng bertanggungjawabatas kerugian tersebut. Pasal 98 ayat (1)UUPT menentukan komisaris wajib denganitikad baik dan penuh tanggung jawabmenjalankan tugas untuk kepentingan danusaha perseroan. Dengan demikianterhadap komisaris secara mutatismutandis dapat diterapkan ajaran duty ofcare seperti halnya direksi. Dengan adanyaPasal 90 ayat (2) dan Pasal 98 ayat (1) UUPT, maka dalam hukum perseroan diIndonesia telah berlaku prinsip piercing thecorporate veil.

Penerapan prinsip piercing the corporateveil ke dalam tindakan suatu perseroan,menyebabkan tanggung jawab hukum tidakhanya dimintakan dari perseroan tersebut(meskipun dia berbentuk badan hukum),tetapi pertanggungjawaban hukum dapatjuga dimintakan terhadap pemegangsahamnya. Oleh karena itu pula, maka UUPTmengakui teori piercing the corporate veildengan membebankan tanggung jawabsebagai berikut:

1. Beban Tanggung Jawab dipindahkan kePihak Pemegang Saham.

2. Beban Tanggung jawab dipindahkan kePihak Direksi.

3. Beban Tanggung Jawab dipindahkan kePihak Komisaris.

Dalam likuidasi suatu bank yang berstatusbadan hukum PT sebenarnya terdapatsinkronisasi antara UU Perbankan danUUPT dalam pelaksanaannya, dalam artimasih berpedoman pada Pasal 114 danPasal 115 UUPT. Pasal 114 UUPTmenentukan bahwa Perseroan bubar karena: a) Keputusan RUPS; b) Jangka waktuberdirinya yang ditetapkan dalam AnggaranDasar telah berakhir; c) Penetapan

Page 27: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200421

Pengadilan. Sedangkan Pasal 115 UUPTmenentukan:(1) Direksi dapat mengajukan usul

pembubaran perseroan kepadaRUPS.

(2) Keputusan RUPS tentang pembubaranperseroan sah apabila diambil sesuaidengan ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) danPasal 76.

(3) Perseroan bubar pada saat yangditetapkan dalam keputusan RUPS.

(4) Pembubaran perseroan sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) diikuti denganlikuidasi oleh likuidator.

Dalam hal Bank Umum dan BPR yangberbadan hukum koperasi, makapendiriannya harus memenuhi UUPerkoperasian dan UU Perbankan. Olehkarena itu sebagaimana diatur di dalam UUPerkoperasian pendiriannya harusmemenuhi unsur-unsur yaitu : 1. Didirikanoleh minimal 20 orang (Pasal 6); 2. Aktapendirian (Pasal 7); 3. Akta pendiriandisahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 9);4. Pengesahan akta pendirian diumumkandalam Berita Negara (Pasal 10).

Pasal 46 UU Perkoperasian menentukanpembubaran koperasi dilakukanberdasarkan : a. Keputusan Rapat Anggota,atau; b. Keputusan Pemerintah. Demikianpula bagi Bank Umum dan BPR yangberbentuk Koperasi maka disampingdiperlukan izin dari Pimpinan BI juga harusmemenuhi persyaratan yang ditetapkan olehUU Perkoperasian.

Setelah membahas tentang bentuk hukumbank maka perlu dijelaskan terlebih dahuluberbagai kewenangan BI. Di dalam pasal 7UUBI menentukan: “Tujuan Bank Indonesiaadalah mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah.” Agar dapatmencapai tujuan tersebut maka BImelaksanakan kebijakan sebagaimanaditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UUBI :“Untuk mencapai tujuan sebagaimanadimaksud pada ayat (1), Bank Indonesiamelaksanakan kebijakan moneter secaraberkelanjutan, konsisten, transparan, danharus mempertimbangkan kebijakan umumpemerintah di bidang perekonomian.”

Pasal 8 UUBI menentukan : “Untukmencapai tujuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyaitugas sebagai berikut :

a. menetapkan dan melaksanakankebijakan moneter; b. mengatur danmenjaga kelancaran sistem pembayaran; c.mengatur dan mengawasi bank.

Pasal 29 ayat (1) UU Perbankanmenentukan: Pembinaan dan pengawasanBank dilakukan oleh Bank Indonesia.” Didalam hal ini nampak bahwa BI memilikikewenangan-kewenangan sebagaimanaditentukan dalam pasal 24 UUBI :

a. menetapkan peraturan ( power toregulate ) ;

Di dalam melaksanakan tugas mengaturbank, Bank Indonesia berwenangmenetapkan peraturan-peraturanperbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yang ditetapkan dengan PeraturanBank Indonesia. Ketentuan-ketentuanperbankan yang memuat prinsip kehati-hatian itu bertujuan untuk memberikanrambu-rambu bagi pelaksanaan kegiatanusaha perbankan, agar terwujud sistemperbankan yang sehat dan efisien.

b. Memberikan dan mencabut izin ataskelembagaan dan kegiatan usaha

Page 28: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200422

tertentu dari bank (power to license).Kewenangan ini meliputi:- memberikan dan mencabut izin usaha

bank;- memberikan izin pembukaan,

penutupan, dan pemindahan kantorbank;

- memberikan persetujuan ataskepemilikan dan kepengurusan bank;

- memberikan izin kepada bank untukmenjalankan kegiatan-kegiatan usahatertentu.

c. Melaksanakan pengawasan bank (powerto supervise);

Bank Indonesia dapat melakukanpengawasan langsung (on-sitesupervision) dan pengawasan tidaklangsung (off site supervision)

d. Mengenakan sanksi terhadap banksesuai dengan ketentuan perundang-undangan (power to impose sanctions)

Dalam melakukan tugas pengawasan, BImelakukan beberapa jenis pengawasanyaitu:1. Pengawasan Normal (Rutin)

Pengawasan Normal dilakukan terhadapbank yang tidak memiliki potensi atautidak membahayakan kelangsunganusahanya.

2. Pengawasan Intensif (Intensive Supervi-sion)Pengawasan Intensif dilakukan terhadapbank yang memiliki potensi kesulitan yangdapat membahayakan kelangsunganusahanya. Kriteria bank yang memilikipotensi kesulitan tersebut dituangkandalam Pasal 2 PBI nomor 6/9/PBI/2004yang menentukan:(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai

kondisi suatu bank memiliki potensikesulitan yang dapat membahayakan

kelangsungan usahanya, maka banktersebut ditempatkan dalampengawasan intesif Bank Indonesia.

(2) Bank yang dinilai memiliki potensikesulitan yang dapat membahayakankelangsungan usahanyasebagaimana dimaksud dalam ayat(1) adalah Bank yang memenuhi 1(satu) atau lebih kriteria sebagaiberikut :a.memiliki predikat kurang sehat

atau tidak sehat dalampeningkatan tingkat kesehatanBank;

b. memiliki permasalahan aktual danatau potensial berdasarkanpenilaian terhadap keseluruhanresiko (composite risk);

c. terdapat pelampauan dan ataupelanggaran Batas MaksimumPemberian Kredit dan menurutpenilaian Bank Indonesia langkah-langkah penyelesaian yangdiusulkan Bank dinilai tidak dapatditerima atau tidak mungkindicapai;

d. terdapat pelanggaran PosisiDevisi Neto dan menurut penilaianBank Indonesia langkah-langkahpenyelesaian yang diusulkan Bankdinilai tidak dapat diterima atautidak mungkin dicapai;

e. memiliki rasio Giro Wajib Minimumdalam rupiah sama dengan ataulebih besar dari rasio yangditetapkan untuk Giro Wajib Mini-mum Bank, namun Bank dinilaimengalami permasalahanlikuiditas yang mendasar;

f. dinilai memiliki permasalahanprofitabilitas yang mendasar;

g. memiliki kredit bermasalah (non-

Page 29: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200423

performing loan) secara neto lebihdari 5% (lima perseratus) dari to-tal kredit.

(3) Dalam rangka pengawasan intensifsebagaimana dimaksud dalam ayat(1), Bank Indonesia dapat melakukantindakan-tindakan antara lain :

a. meminta Bank untuk melaporkanhal-hal tertentu kepada BankIndonesia;

b. melakukan peningkatan frekuensipengkinian dan penilaian rencanakerja (business plan) denganpenyesuaian terhadap sasaranyang akan dicapai;

c. meminta Bank untuk menyusunrencana tindakan (action plan)sesuai dengan permasalahan yangdihadapi;

d. menempatkan pengawas dan ataupemeriksa Bank Indonesia padaBank (on-site supervisorypresence), apabila diperlukan.

(4) Dalam hal Bank yang ditempatkandalam pengawasan intensifmemerlukan langkah-langkahperbaikan tertentu, Bank Indonesiadapat melakukan tindakan-tindakansebagaimana dimaksud dalamPasal 5 ayat (3).

Demikian pula pasal 3 PBI nomor 6/9/PBI/2004 menentukan :(1) Bank Indonesia dapat menempatkan

Bank yang memiliki total aktiva cukupbesar dibandingkan dengan seluruh totalaktiva perbankan dalam pengawasanintensif sebagaimana dimaksud dalamPasal 2 ayat (1).

(2) Dalam rangka pengawasan intensifsebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Bank Indonesia dapat melakukan

tindakan-tindakan antara lainmenempatkan pengawas dan ataupemeriksa Bank Indonesia pada Bank(on-site supervisory presence)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (3) huruf d.

(3) Pengawasan Khusus (SpecialSurvaillance)

Pengawasan Khusus d i lakukanterhadap bank yang dinilai mengalamikesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya. Hal ini terjadibilamana Bank dalam pengawasanintensif ini tidak bertambah baik kondisikeuangan dan manajerialnya danberdasarkan analisis Bank Indonesiadiketahui bahwa bank tersebut memilikikesulitan yang dapat membahayakankelangsungan usahanya.

Untuk dapat mengetahui kriteria suatu bankmengalami kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya maka dapat dilihatpada penjelasan pasal 37 ayat (1) UUPerbankan : “Keadaan suatu bank dikatakanmengalami kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya apabilaberdasarkan penilaian BI kondisi usahabank semakin memburuk, antara lain,ditandai dengan menurunnya permodalan,kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas,serta pengelolaan bank yang tidak dilakukanberdasarkan prinsip kehati-hatian dan asasperbankan yang sehat”. Dalam ayat iniditetapkan langkah-langkah yang perludilakukan terhadap bank yang mengalamikesulitan dan membahayakan kelangsunganusahanya, agar tidak terjadi pencabutan izinusahanya dan/atau tindakan likuidasisebagaimana dimaksud dalam ayat (2).Langkah-langkah dimaksud dilakukandalam rangka mempertahankan/

Page 30: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200424

menyelamatkan bank sebagai lembagakepercayaan masyarakat.

Penjelasan lebih lanjut tentang kriteria bankyang mengalami kesulitan yangmembahayakan kelangsungan usahanyaterdapat dalam Pasal 5 PBI nomor 6/9/PBI/2004 yang menentukan:

(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatuBank mengalami kesulitan yangmembahayakan kelangsunganusahanya maka Bank tersebutditempatkan dalam pengawasan khususBank Indonesia.

(2) Bank yang dinilai mengalami kesulitanyang membahayakan kelangsunganusahanya sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) adalah Bank yangmemenuhi 1 (satu) atau lebih kriteriasebagai berikut :a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal

Minimum kurang dari 8% (delapanperseratus);

b. rasio Giro Wajib Minimum dalamrupiah kurang dari rasio yangditetapkan untuk Giro Wajib MinimumBank, dengan perkembangan yangmemburuk dalam waktu singkat atauberdasarkan penilaian BankIndonesia mengalami permasalahlikuiditas yang mendasar.

(3) Dalam rangka pengawasan khusussebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Bank Indonesia :a. memerintahkan Bank dan atau

pemegang saham Bank untukmengajukan rencana perbaikanpermodalan (capital restorationplan) secara tertulis kepada BankIndonesia selambat-lambatnya 15(lima belas) hari sejak diterimanyasurat pemberitahuan dari Bank

Indonesia yang menyatakan rasioKewajiban Penyediaan ModalMinimum kurang dari 8% (delapanperseratus);

b. memerintahkan Bank untuk memenuhikewajiban melaksanakan tindakanperbaikan (mandatory supervisoryactions) segera setelah diterimanyasurat pemberitahuan dari BankIndonesia yang menyatakan rasioKewajiban Penyediaan ModalMinimum sama dengan atau kurangdari 6% (enam perseratus);

c. dapat memerintahkan Bank dan ataupemegang saham Bank untukmelakukan tindakan antara lain :1) mengganti dewan komisaris dan

atau direksi Bank;2) menghapusbukukan kredit atau

pembiayaan berdasarkan PrinsipSyariah yang tergolong macet danmemperhitungkan kerugian Bankdengan modal Bank;

3) melakukan merger atau konsolidasidengan bank lain;

4) menjual Bank kepada pembeliyang bersedia mengambil alihseluruh kewajiban bank;

5) menyerahkan pengelolaan seluruhatau sebagian kegiatan Bankkepada pihak lain;

6) menjual sebagian atau seluruhharta dan atau kewajiban Bankkepada bank atau pihak lain; danatau

7) membekukan kegiatan usahatertentu Bank.

(4) Bagi bank yang memiliki rasio KewajibanPenyediaan Modal Minimum lebih dari6% (enam perseratus) dan kurang dari8% (delapan perseratus), selainmemenuhi ketentuan sebagaimana

Page 31: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200425

dimaksud dalam ayat (3) huruf a, bankwajib :a. melaksanakan tindakan perbaikan

sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, hurufd, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h;

b. menyampaikan laporan skedullikuiditas untuk jangka waktu 3 (tiga)bulan mendatang, yang terinci secaraharian atau berdasarkan frekuensidan periode pelaporan yangditetapkan Bank Indonesia;

c. menyampaikan laporan bulananmengenai realisasi pelaksanaantindakan sebagaimana diatur dalamhuruf a dan realisasi pelaksanaanrencana perbaikan modal (capitalrestoration plan) sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) huruf a.

(5) Apabila diperlukan terhadap Bank yangmemiliki rasio Kewajiban PenyediaanModal Minimum lebih dari 6% (enamperseratus) dan kurang dari 8% (delapanperseratus), Bank Indonesia dapatmenempatkan pengawas dan ataupemeriksa (on-site supervisorypresence) Bank Indonesia sebagaimanadimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

Bilamana bank dalam pengawasan khusustidak dapat membaik kondisinya maka BankIndonesia akan mencabut ijin usaha. Hal inisesuai dengan ketentuan Pasal 13 PBI 6/9/PBI/2004 yang menentukan :

(1) Bank Indonesia menetapkan bank selainBank sebagaimana dimaksud dalamPasal 12, untuk dicabut izin usahanyaapabila memenuhi persyaratan :a. jangka waktu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 belum terlampaui, dankondisi Bank menurun sehingga :

1) memiliki rasio KewajibanPenyediaan Modal Minimumkurang dari 2% (dua perseratus)dan dinilai tidak dapatditingkatkan menjadi 8%(delapan perseratus); atau

2) memiliki rasio Giro Wajib Minimumdalam rupiah kurang dari 0% (nolperseratus) dan tidak dapatdiselesaikan sesuai peraturanyang berlaku; atau

b. jangka waktu sebagaimana dimaksuddalam Pasal 8 terlampaui, rasioKewajiban Penyediaan ModalMinimum kurang dari 8% (delapanperseratus) dan kondisi Bank tidakmengalami perbaikan.

(2)Bank Indonesia menetapkansebagaimana dimaksud dalam Pasal 12untuk dicabut izin usahanya apabilaKomite Koordinasi merekomendasikanpencabutan izin usaha.

Hal tersebut selaras dengan Pasal 33 UUBank Indonesia yang menyatakan :Dalam hal keadaan suatu bank menurutpenilaian Bank Indonesia membahayakankelangsungan usaha bank yangbersangkutan dan/atau membahayakansistem perbankan atau terjadi kesulitanperbankan yang membahayakanperekonomian nasional, Bank Indonesiadapat melakukan tindakan sebagaimanadiatur dalam undang-undang tentangperbankan yang berlaku.

Mengingat fungsi lembaga perbankansebagai agent of development dan agentof trust, di dalam penjelasan Pasal 29 UUPerbankan menjelaskan: “Mengingat bankterutama bekerja dengan dana masyarakatyang disimpan pada bank atas dasarkepercayaan, setiap bank perlu terus

Page 32: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200426

menjaga kesehatannya dan memeliharakepercayaan masyarakat padanya.”

Oleh karena itu sebelum BI mencabut izinusaha suatu bank, melalui Pasal 37 ayat (1)UU Perbankan, BI dapat melakukantindakan-tindakan agar:1. Pemegang saham menambah modal;2. Pemegang saham mengganti dewan

komisaris dan/atau direksi bank;3. Menghapusbukukan kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsipsyariah yang macet danmemperhitungkan kerugian bank denganmodalnya;

4. Bank melakukan merger atau konsolidasidengan bank lain;

5. Bank dijual kepada pembeli yangbersedia mengambil alih seluruhkewajiban;

6. Bank menyerahkan pengelolaan seluruhatau sebagian kegiatan bank kepadapihak lain;

7. Bank menjual sebagian atau seluruhharta dan atau kewajiban bankkepada bank atau pihak lain.

Bilamana tindakan-tindakan tersebut belumcukup untuk mengatasi kesulitan yangdihadapi bank dan atau menurut penilaianBI, keadaan bank tersebut ‘membahayakansistem perbankan’ maka Pimpinan BI dapatmencabut izin usaha bank danmemerintahkan direksi bank tersebut untuksegera menyelenggarakan Rapat UmumPemegang Saham (RUPS) gunamembubarkan badan hukum bank danmembentuk tim likuidasi (pasal 37 ayat (2)

UU Perbankan). Kriteria ‘membahayakansistem perbankan’ dijelaskan dalamPenjelasan pasal 37 ayat (2) UU Perbankan:“Kriteria membahayakan sistem perbankanyaitu apabila tingkat kesulitan yang dialamidalam melakukan kegiatan usaha, suatubank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehinggapada gilirannya akan menimbulkan dampakberantai kepada bank-bank lain.”

Bilamana direksi Bank tidakmenyelenggarakan RUPS, maka PimpinanBI meminta kepada Pengadilan Negeriuntuk mengeluarkan penetapan yang berisipembubaran badan hukum bank,penunjukan tim likuidasi, dan perintahpelaksanaan likuidasi sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku(Pasal 37 ayat (3) UU Perbankan).

Setelah adanya pencabutan izin usaha danpembubaran badan hukum bank makadilakukan likuidasi. Menurut Sutan RemySjahdeini: “Likuidasi ialah tindakanpemberesan terhadap harta kekayaan atauaset (aktiva) dan kewajiban-kewajiban(passiva) suatu perusahaan sebagai tindaklanjut dari bubarnya perusahaan tersebut.”2

Rachmadi Usman mengemukakan:“Pengertian likuidasi tidak terbatas padapencabutan izin usaha bank, tetapi lebih luaslagi termasuk tindakan pembubaran(outbinding) badan hukum bank danpenyelesaian atau pemberesan (verifying)seluruh hak dan kewajiban bank sebagaiakibat dibubarkannya badan hukum banktersebut.”3

2 Sutan Remy Sjahdeini, (I) Likuidasi Bank:Akibatnya Dan Perlindungan Hukum Bagi Para NasabahPenyimpan Dana , h.1.3 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2001, h.167.

Page 33: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200427

Ketentuan dilaksanakannya likuidasi banksetelah bank dicabut ijin usahanya, diaturdalam pasal 37 UU Perbankan dankemudian dijabarkan dalam peraturanpelaksanaannya yaitu PP Nomor 25 tahun1999. Menurut ketentuan pasal 1 angka 4PP Nomor 25 tahun 1999: “Likuidasi bankadalah tindakan penyelesaian seluruh hakdan kewajiban bank sebagai akibatpencabutan izin usaha dan pembubaranbadan hukum bank.”

Likuidasi bank sebagai akibat dari adanyapencabutan ijin usaha, pembubaran badanhukum dapat terjadi karena permintaan daripemilik atau pemegang saham bank.Pemilik atau pemegang saham yang inginmembubarkan badan hukum bank danmelakukan likuidasi (self liquidation) tidakdapat langsung melainkan harus meminta BIuntuk mencabut ijin usaha terlebih dahulu.Pasal 26 PP Nomor 25 Tahun 1999menentukan :

Dalam hal para pemegang saham akanmembubarkan badan hukum bank ataskeinginan sendiri, pembubaran tersebuthanya dapat dilakukan setelah pencabutanizin usaha oleh Bank Indonesia.

Pencabutan izin usaha sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) hanya dapatdilakukan oleh Bank Indonesia apabila bankyang bersangkutan telah menyelesaikankewajibannya kepada seluruh kreditur.

Pembubaran badan hukum banksebagaimana dimaksud dalam ayat (1)wajib didaftarkan dalam Berita NegaraRepublik Indonesia.

Selanjutnya likuidasi bank dapat pula terjadikarena tindakan penyelamatansebagaimana dimaksud dalam Pasal 37ayat (1) UU Perbankan belum cukup untukmengatasi kesulitan bank dan atau karenabank membahayakan sistem perbankanketentuan ini selain diuraikan dalam pasal37 UU Perbankan, juga dijelaskan dalamPasal 3 PP no. 25 tahun 1999.

3. Kepailitan Bank Berdasarkan UUKepailitan

UU Kepailitan tidak memberikan definisimengenai apa yang dimaksud dengankepailitan. Definisi kepailitan dapatdiketahui dari pendapat sarjana diantaranyaadalah :

- Abdurahman dalam EnsiklopediaEkonomi Keuangan Perdagangandisebutkan bahwa yang dimaksuddengan pailit atau bangkrut antara lainadalah seseorang yang oleh suatupengadilan dinyatakan bangkrut danyang aktivanya atau warisannya telahdiperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.4

- Fred B.G. Tumbuan dalam tulisannya yangberjudul Pokok-Pokok Undang-UndangTentang Kepailitan sebagaimana diubaholeh Perpu Nomor 1/1998 menyebutkanbahwa kepailitan adalah sita umum yangmencakup seluruh kekayaan debitor untukkepentingan semua krediturnya. Tujuankepailitan adalah pembagian kekayaandebitor oleh kurator kepada semuakreditur dengan memperhatikan hak-hakmereka masing-masing.5

4 Munir Fuady, Hukum Pailit (1998) Dalam Teori Dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.8.5 Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah Oleh PerpuNomor 1/1998, dimuat dalam buku Rudhy A. Lontoh Dkk, Alumni, Bandung, 2001, h.125.

Page 34: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200428

Dengan adanya kepailitan maka krediturtidak dapat bertindak sendiri-sendiriberkenaan dengan tagihan-tagihan merekakarena telah diatur tata cara pembayarantagihan-tagihan para kreditur denganberpedoman pada pasal 1131 sampaidengan pasal 1149 KUHPerdata. JadiKUHPerdata dengan rinci mengaturbagaimana prioritas antara para krediturdalam rangka penyelesaian pembayaranutang jika terdapat lebih dari satu kreditur.Sedangkan UU Kepailitan mengaturbagaimana pelaksanaan ketentuanKUHPerdata dalam keadaan jika debitortelah dinyatakan pailit. Untuk kepentinganpara kreditur bersama, UU Kepailitanmemungkinkan adanya kepailitan yangmerupakan penyitaan umum atas seluruhharta pailit debitor dan eksekusi masal untukkepentingan semua kreditur dan debitor.6

Kedudukan para kreditur pada prinsipnyaadalah sama, sehingga para krediturmempunyai hak yang sama yaitu sebagaikreditur konkuren atas hasil eksekusi hartapailit sesuai dengan perbandinganprosentase besarnya tagihan merekamasing-masing. Pada umumnya UUKepailitan atau bankcruptcy law berkaitandengan utang debitor atau piutang atautagihan kreditur (claims). Seseorangkreditur mungkin saja memiliki lebih dari satupiutang atau tagihan dan piutang atautagihan yang berbeda-beda itu diperlakukanpula secara berbeda-beda di dalam proseskepailitan7

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untukmengajukan permohonan pailit diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan yang dapatdisimpulkan bahwa pada dasarnya setiapdebitor, baik perorangan maupun badanhukum dapat dinyatakan pailit olehPengadilan Niaga, apabila ia dianggap:- berada dalam keadaan tidak membayar

sedikitnya satu utang yang telah jatuhwaktu dan dapat ditagih

- memiliki dua atau lebih kreditur

UU Kepailitan membedakan antara debitorbank dan bukan bank, antara debitorperusahaan efek dan bukan perusahaanefek. Pembedaan ini dilakukan berkaitandengan ketentuan UU Kepailitan mengenaisiapa yang dapat mengajukan permohonanpernyataan pailit. Dalam hal termohon ataudebitor bukan merupakan bank atau bukanmerupakan perusahaan efek, permohonanpernyataan pailit dapat diajukan oleh : a)debitor sendiri; b) seorang atau lebihkreditur; c) kejaksaan untuk kepentinganumum

Dalam hal debitor merupakan perusahaanefek, permohonan pernyataan pailit hanyadapat diajukan oleh Badan Pengawas PasarModal.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU Kepailitanyang menentukan dalam hal menyangkutDebitor yang merupakan bank, permohonanpernyataan pailit hanya dapat diajukan olehBI. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) UUKepailitan tidak mengemukakan apa yangmenjadi dasar alasan mengapa hanya BIsaja yang dapat mengajukan permohonanpernyataan pailit apabila debitor adalahbank. Dengan demikian berkaitan dengan

6 Kartini Muljadi, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum, dimuat dalam Buku Rudhy A Lontoh dkk, Alumni,Bandung, 2001, h.78.7 Sutan Remy Sjahdeini, (II), Pengertian Utang Dalam Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12,Januari 2002

Page 35: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200429

UU Kepailitan sebenarnya bank dapatbertindak baik sebagai debitor maupunkreditur dalam kepailitan

Selanjutnya menurut Sutan Remy Sjahdeini,UU Kepailitan diadakan untuk memberikanperlindungan kepada para kreditur apabiladebitor tidak membayar utang-utangnya.Dengan UU Kepailitan, diharapkan parakreditur dapat memperoleh akses terhadapharta kekayaan dari debitor yang dinyatakanpailit karena debitor tidak mampu lagimembayar utang-utangnya. Namunperlindungan yang diberikan oleh UUKepailitan bagi kepentingan kreditur tidakboleh sampai merugikan debitor yangbersangkutan8

Oleh karena itu mekanisme permohonanpernyataan pailit oleh BI ini perlu diatur lebihspesifik, namun hak-hak masyarakat yangmenyimpan dana di bank terutama dalampengajuan permohonan pernyataan pailitbagi debitor bank tidak tertutup sama sekali.Kepercayaan yang telah diberikan kepadadunia perbankan hendaknya mendapatkanperlindungan yang memadai dan seimbangdengan keuntungan yang diperoleh bankdari dana yang dipercayakan olehmasyarakat itu sehingga kucuran dana yangmelewati Batas Maksimal Pemberian Kreditkepada anak perusahaan bank itu, sepertiyang terjadi saat ini dan mengakibatkankredit macet dapat diantisipasi9

Berkenaan dengan ketentuan pasal 1 ayat(3) UU Kepailitan yang memberikankewenangan kepada BI untuk mengajukan

permohonan pernyataan pailit sebaiknyadiubah dengan menegaskan bahwaterhadap bank tidak dapat ditempuh jalurkepailitan dengan pertimbangan bahwabank bukanlah suatu perusahaan biasa danusaha bank berkaitan dengan kepentingannasabah penyimpan dana masyarakat sertabank lainnya.

Bank merupakan suatu lembaga perantara(intermediary) yang mengerahkan danasimpanan masyarakat dan menyalurkankembali dana tersebut pada masyarakatdalam bentuk kredit. Untuk dapatberjalannya perekonomian suatu negara,bank sebagai jantung perekonomian negaratersebut, maka perlu agar tidakdisalahgunakan oleh pemilik bank hanyauntuk kepentingan pribadi para pemilik bank,maupun anak perusahaannya, yaitu hanyamelakukan kegiatan mengumpulkan danamasyarakat. Dengan demikian wajar apabilabank selaku debitor tidak boleh mengajukanpermohonan pernyataan pailit bagi dirinya.10

Alasan lain yang mendukung pemikiranbahwa terhadap bank tidak dapat ditempuhjalur kepailitan adalah mengingat BI bukanlahsebagai pihak-pihak dalam perjanjian kredit,kecuali bila kredit yang diterima berupaKredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) atauBantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).Di samping itu ketentuan dalam UUKepailitan tersebut tidak digunakan oleh BI,mengingat pernyataan pailit oleh PengadilanNiaga terhadap suatu bank selaku debitorpailit akan beresiko adanya likuidasi bank

8 Sutan Remy Sjahdeini, (III), Perlindungan Debitor & Kreditur Dampak UU Kepailitan Terhadap Perbankan,Makalah Seminar Implikasi UU Kepailitan Terhadap Perbankan, Dunia Usaha Dan KetenagaKerjaan, Jakarta 22 Oktober 19989 Ridwan Khairandy dan Siti Anisah, Perlindungan Dalam UU Kepailitan : Telaah Teoritis Terhadap ParaPihak Yang Berhak Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12, Januari2002.

Page 36: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200430

berdasarkan Putusan Pengadilan Niagadengan terhentinya kegiatan usaha banksebelum dilakukan pencabutan izin usahaoleh BI, serta pemberesan bank menjadi diluar lingkup kewenangan BI melainkan diurusoleh kurator. Hal ini tidak sejalan dengantujuan dan fungsi bank yakni untukmeningkatkan taraf hidup orang banyakmelalui dana simpanan masyarakat.

Hal ini sejalan dengan pendapat ThomasSuyatno yang mengemukakan sebagaiberikut :

Sebelum Undang Undang Nomor 4 Tahun1998 tentang Kepailitan diundangkanhampir tidak ada perundang-undangan yangsecara tegas mengatur bagaimanahubungan antara bank-bank (baca: banktidak sehat) dan masalah kepailitan.Pengaturan ini secara tegasmemperlihatkan bahwa dunia perbankantidak dapat disentuh oleh para mitrabisnisnya, kecuali oleh BI. Mengapa UUKepailitan ini memberikan pengecualian?karena memang di dunia perbankan saratdengan uang masyarakat yang harusdilindungi dan itu hanya diambil alih oleh BI.Dalam praktek, ketentuan pasal ini mustahildilaksanakan karena bertentangan denganprinsip dan kedudukan BI sebagaipengawas dan pembina perbankan. Pilihanterbaik bagi BI justru bukan mempailitkanbank, tetapi bagaimana menyehatkankembali.11

4. Alternatif Penyelesaian BankBermasalah

Exit policy bank sebagaimana ditentukandalam Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) UUPerbankan merupakan upaya terakhir yangditempuh oleh Bank Indonesia karenalikuidasi bank dapat menimbulkan dampaknegatif bagi kepercayaan masyarakatterhadap lembaga perbankan. Oleh karenaitu sebelum mencabut ijin usaha bank,terlebih dahulu dilakukan tindakan-tindakanpenyelamatan sebagaimana ditentukandalam Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan.Dengan melaksanakan tindakan-tindakantersebut diharapkan kondisi bank dapatmembaik. Namun bilamana kondisi banktersebut tidak dapat membaik maka BIberwenang menggunakan exit policy berupapencabutan izin usaha, pembubaran badanhukum dan pelaksanaan likuidasi.

Exit policy melalui UU Perbankan danperaturan pelaksanaannya merupakankoridor yang paling tepat bagi BI. UUPerbankan memberikan wewenang bagibank Indonesia untuk mencabut izin usahabank, memerintahkan RUPS untukmembubarkan badan hukum bank danmembentuk Tim Likuidasi. Namun dalammelaksanakan exit policy yang bertitik tolakdari UU Perbankan, perlu adanya ketentuanhukum yang secara khusus mengatur prosespelaksanaan likuidasi bank. Ketentuanhukum tersebut seyogyanya berbentuk

11 Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto (Editor), Penyelesaian Utang-Piutang MelaluiPailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Suatu Tinjauan Mengenai Kepailitan,Penundaan Pembayaran dan Likuidasi Khususnya Dalam Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan,Alumni, Bandung, 2001, h. 455.

Page 37: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200431

undang-undang karena pelaksanaanlikuidasi bank sangat terkait dengankepentingan masyarakat sehingga undang-undang yang dibuat oleh pemerintah danDewan Perwakilan Rakyat (DPR) akanmemberikan kekuatan hukum dan legitimasiyang kuat. Alasan yang lain yaitu walaupunPasal 25 UUBI mengatur tentang PBIsebagai produk hukum yang dapatdikeluarkan oleh BI, namun posisi PBI tidakjelas dalam TAP MPR no. 3 tahun 2000. Olehkarena itu maka ketentuan tentangpelaksanaan likuidasi bank sebaiknya tidakdidasarkan pada PBI melainkan perlu diaturdengan undang-undang.

Adanya rencana peningkatan PeraturanPemerintah tentang likuidasi bank menjadiUndang-undang yang sekarang masihberada di DPR, ini dapat menjadi lexspecialis dalam ketentuan hukum yangberkaitan dengan exit policy lembagaperbankan. Mengingat likuidasi bankmenyangkut hak-hak keperdataan dankewenangan publik, maka pengaturanmengenai likuidasi bank perlu diatur dalambentuk undang-undang, sehingga dapatmemperkokoh landasan hukum sekaligusmenjamin proses likuidasi bank yang efektifdan efisien.

Disamping itu bank merupakan badan usahayang memiliki karakteristik khususdibandingkan badan usaha pada umumnya.Oleh karena itu proses likuidasi bank tidakdapat disamakan dengan prosedur yangberlaku pada badan usaha selain bank.Dengan demikian, ketentuan undang-undang ini merupakan lex specialis terhadapketentuan yang bersifat umum. Hal tersebutdimaksudkan untuk memperkokoh landasanhukum bagi kelancaran pelaksanaanpencabutan izin usaha, pembubaran badanhukum dan likuidasi bank.

Penyempurnaan RUU Likuidasi Banktersebut harus memuat beberapa substansisebagai berikut :1. Peranan Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) untuk melindungi kepentinganNasabah

LPS merupakan salah satu upaya untukmemberikan perlindungan dana nasabahyang memiliki peran sebagai berikut :

a. Tahap Penyehatan BankSebagaimana telah ditentukan dalam Pasal37 ayat (1) UU perbankan, suatu bank yangmengalami kesulitan dalam kelangsunganusaha dapat melakukan tindakan-tindakanguna penyehatan bank. Salah satu tindakantersebut adalah menyerahkan pengelolaankepada pihak lain. Pengelolaan dialihkankarena bank tersebut insolven. BI dapatmengalihkan pengelolaan bank yangmengalami kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya. Salah satu pihakyang dapat menerima pengalihanpengelolaan bank tersebut adalah LPSkarena LPS sangat berkepentingan untukmelindungi simpanan nasabah. LPSmengambil alih pengelolaan bank atasperintah dari BI.

Pengelolaan tersebut dapat dilakukandengan cara melakukan rekapitalisasi padasaat bank mengalami kesulitan dalamkelangsungan usahanya. LPS dapatmengambil alih fungsi direksi bank tersebut.Oleh karena itu agar tidak bertentangandengan UUPT yang mengatur tentangkewenangan direksi, maka kewenanganLPS ini juga seyogyanya dimuat dalambentuk UU LPS. Pengalihan pengelolaandari pengurus bank yang insolven tersebutdimaksudkan untuk mencegah terjadinyalikuidasi bank.

Page 38: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200432

Bila dari hasil pengelolaan LPS, banktersebut tidak bisa membaik maka LPSakan memberikan rekomendasi kepada BIuntuk mencabut izin usaha bank tersebut.

b. Tahap Likuidasi BankPada saat bank sudah tidak dapatdisehatkan maka LPS memberikanrekomendasi kepada BI untuk mencabut izinusaha bank tersebut. Setelah BI mencabutizin usaha, dilakukan pembubaran badanhukum bank maka LPS dapat berperanuntuk menunjuk Tim Likuidasi atau LPSbertindak sebagai Likuidator. LPS diberikanperan dalam tahap likuidasi bank karenaLPS menggantikan kedudukan nasabahpenyimpan dana.

Marulak Pardede mengemukakan :

Apabila nantinya terjadi likuidasi atas suatubank, maka lembaga asuransi depositoyang dimaksud akan mengambil alihkedudukan nasabah penyimpan danasetelah lembaga itu membayar gantikerugian kepada nasabah penyimpan danadimaksud berdasarkan ketentuan lembagasubrogasi sebagaimana diatur oleh undang-undang.12

LPS dapat pula bertindak sebagai likuidator.Hal ini dapat dilihat di Amerika Serikatmelalui Federal Deposit InsuranceCorporation (FDIC). FDIC bertindaksebagai receiver (likuidator) untuk bank-bank yang mengalami likuidasi danmemaksa agar standar-standar perbankanyang sehat dipatuhi melalui prosespemeriksaan. Berdasarkan penilaianternyata FDIC telah menjadi scheme yangsukses. Lembaga tersebut merupakan

safety net bagi sistem keuangan AmerikaSerikat.13

Di dalam Pasal 8 ayat (1) RUU LikuidasiBank dikemukakan bahwa demi hukum LPSmengambil alih kewenangan RUPS dankepengurusan bank dalam likuidasi. Darisisi efisien dan efektifitas ketentuan inisangat tepat, namun dari aspek hukum akanmengakibatkan terjadinya perubahanterhadap Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) UUPerbankan. Tegasnya, kewenangan-kewenangan BI untuk memerintahkan direksibank menyelenggarakan RUPS dankewenangan meminta penetapan daripengadilan dalam hal RUPS tidakterselenggara harus dihapus. Perlu jugadiantisipasi dalam hubungannya denganRUU tentang LPS. Tegasnya apakah dalamRUU ini LPS menjamin simpanan nasabahpenyimpan dana saja, atau juga menjaminkreditur-kreditur dari bank. Jika fungsi LPShanya menjamin simpanan nasabahpenyimpan dana, maka ada kemungkinandalam pelaksanaannya terjadi conflict ofinterest dengan kepentingan-kepentinganpara kreditur bank di luar kepentingannasabah penyimpan.

2. Prioritas Utama Perlindungan TerhadapNasabah Penyimpan Dana

Pengembalian dana terhadap nasabahpenyimpan dana harus berada padaprioritas utama. Asas kepercayaan yangdianut oleh UU Perbankan, yaitu hubunganantara bank dan nasabah penyimpan danaadalah suatu hubungan kepercayaan ataufiduciary relationship. Oleh karena itu agar

12 Marulak Pardede, Likuidasi Bank Dan Perlindungan Nasabah, Sinar Harapan, Jakarta, 1998, h.65.13 Ibid., h. 126.

Page 39: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200433

menumbuhkan kepercayaan masyarakatterhadap perbankan maka pemerintahmemberikan ketentuan Pasal 37B UUPerbankan tentang LPS. Namun sampaisaat ini belum ada Lembaga AsuransiDeposit atau Deposit Insurance Schemesehingga masih menggunakan jaminanpembayaran dari pemerintah.

Menurut Agus Santoso : ”Dalammembangun aturan hukum likuidasi bank ini,ada doktrin lain yang juga sangatberpengaruh, yaitu diutamakannyakepentingan nasabah kecil penyimpan dana(small depositors). Oleh karena itu, ketikasuatu bank dicabut izin usahanya, makasmall depositors inilah yang terlebih dahuluterjamin keamanan dananya.”14

Dalam melindungi simpanan nasabah yangmempunyai akibat pada kelangsunganhidup perbankan,maka seluruh kalanganperbankan maupun nasabahmerekomendasikan pembentukan lembagaasuransi simpanan nasabah.15 Mengingatbelum terbentuknya LPS, programpenjaminan yang saat ini dilakukan olehpemerintah melalui Keputusan Presidenharus memuat kewajiban seluruh BankUmum dan BPR untuk mengikutinya (bersifatimperatif). Program penjaminan ini sangatberpengaruh bagi kepentingan perlindungandana nasabah. Keikutsertaan seluruh BankUmum dan BPR terhadap programpenjaminan ini dapat meningkatkankepercayaan masyarakat terhadap lembagaperbankan.

3. Penyelesaian sengketa terhadap AsetBank Dalam Likuidasi (BDL)

Sebagaimana dikemukakan bahwapencairan harta dan/atau penagihan piutangBDL yang dilakukan dalam tahappelaksanaan likuidasi bank oleh TimLikuidasi seringkali tidak dapat berjalandengan lancar. Hal ini disebabkan karenaadanya pihak ketiga yang mengajukangugatan bahwa aset-aset BDL adalahmiliknya. Kondisi ini menyebabkanterhambatnya proses pencairan aset-asetBDL yang merupakan harta dan atau piutangBDL. Proses penyelesaian sengketa dipengadilan tersebut akan berlangsung lamasementara jangka waktu Tim Likuidasisebagaimana ditentukan dalam Pasal 12ayat (1) PP Nomor 25 Tahun 1999 hanya 5tahun. Oleh karena itu perlu adanyapenyelesaian sengketa di pengadilansecara cepat dan mendapat prioritas utamamengingat jangka waktu Tim Likuidasi yanghanya 5 tahun. Hal ini dapat dilakukandengan mencantumkan hukum acara khususyang mengatur tentang penggunaan acarapemeriksaan cepat bagi pemeriksaanperkara gugatan aset BDL. Hal inimenunjukkan perlunya dukungan dari sistemperadilan terhadap pelaksanaan likuidasibank yang berorientasi dengan kepentinganmasyarakat luas dengan cara memberikankemungkinan adanya hukum acarapemeriksaan cepat dalam gugatan atauperlawanan pihak ketiga atas aset BDL.

4. Penyelesaian Aktiva Dan Pasiva SetelahBerakhirnya Jangka Waktu Tim Likuidasi

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12ayat (1) PP Nomor 25 tahun 1999, Tim

14 Agus Santoso, Karakter Khusus Ketentuan Hukum Dalam Sistem Hukum Perbankan DanKebanksentralan, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Vol. I, Jakarta, 2003, h. 65.15 Marulak Pardede, op.cit., h. 89.

Page 40: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200434

Likuidasi hanya memiliki waktu 5 (lima)tahun untuk melaksanakan likuidasi bank.Bilamana likuidasi bank tidak dapatterselesaikan dalam jangka waktu tersebutmaka menurut ketentuan Pasal 12 ayat (2)PP Nomor 25 tahun 1999, penjualan hartabank dalam likuidasi dilakukan secaralelang. Di dalam praktek dapat terjadi aktivadan pasiva BDL belum terselesaikansementara jangka waktu Tim Likuidasi telahberakhir. Hal ini disebabkan karena masihberlangsungnya proses penyelesaiansengketa terhadap aset bank dalamlikuidasi.

PP Nomor 25 Tahun 1999 tidak menjelaskantentang pihak yang akan mengelola aset BDLdalam hal berakhirnya Tim Likuidasi. AsetBDL tersebut tidak dapat dilelang karenamasih dalam proses sengketa dipengadilan. Oleh karena itu maka perludilakukan perpanjangan masa tugas TimLikuidasi untuk meneruskan tugas likuidasibank yang belum terselesaikan. Setelahselesainya sengketa di pengadilan yangmemutuskan bahwa aset tersebut adalahmilik bank dalam likuidasi maka sesuaiketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, asettersebut digunakan untuk memenuhikewajiban bank.

Mengingat pentingnya peran serta lembagaperbankan sebagai agent of developmentdan agent of trust maka jelas perlu adanyapenyempurnaan aturan bagi lembagaperbankan. Sejalan dengan hal tersebut,Anwar Nasution mengemukakan:

Ke depan, perangkat aturan sistemperbankan nasional akan disempurnakan.

Penyempurnaan ini bertujuan menciptakanindividual bank yang handal dan sistemperbankan yang sehat, efisien dan kompetitifserta terhindarnya perbankan nasional dansistemic risk. Sehubungan dengan itupenyempurnaan perbankan nasional tidakhanya akan meliputi penyempurnaankelembagaan dan kepemilikan banksemata tetapi juga meliputi penyempurnaanpengaturan ketentuan kehati-hatian(prudential regulations ) yang dilakukandengan memperhatikan pula standar-standar internasional yang berlaku.16

Penyelesaian melalui upaya kepailitan tidakdilakukan oleh BI karena adanya beberapakelemahan. Ada beberapa alasan yangdapat dikemukakan mengapa terhadapbank bermasalah tidak perlu ditempuh jalurmelalui UU Kepailitan dan pengaturanlembaga perbankan di dalam UU Kepailitanseyogyanya dikeluarkan/dihapuskan, yaitu :

1. Proses likuidasi dan insolvensi yangdiatur dalam UU Kepailitan tidakdapat diterapkan terhadap lembagaperbankan yang sudah memiliki aturantentang proses likuidasi dan insolvensitersendiri secara lebih rinci danlengkap sebagai lex specialis, olehkarena lembaga perbankan tidakdapat disamakan dengan perusahaanpada umumnya.

2. Peranan kurator dalam kepailitan bankakan menghilangkan peranan danintervensi BI terhadap bank-bankbermasalah yang dinyatakan pailit, yanguntuk penyelesaiannya membutuhkankeahlian khusus.

16 Anwar Nasution, Masalah-Masalah Sistem Keuangan Dan Perbankan Indonesia, disampaikandalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, denpasar, 14-18 Juli 2003., h. 371.

Page 41: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200435

3. Kepailitan lembaga perbankan dapatmembahayakan posisi banknya sendiridan bank bank lain bahkanmembahayakan kedudukan BI.

4. Perlindungan terhadap kepentinganmasyarakat penyimpan dana sebagaikreditur konkuren dalam kepailitanmenjadi tidak diutamakan, sehinggakepercayaan masyarakat luas terhadaplembaga perbankan menjadi berkurangdengan akibat lebih luas dapatmengganggu stabilitas keuangannegara.

5. Penerapan UU Kepailitan denganprosedur yang sangat sederhanaterhadap bank bermasalah, dapatmenimbulkan kerancuan danketidakpastian hukum, yang berakibatlebih lanjut akan menimbulkan peluangterjadinya KKN dan dapatdisalahgunakan untuk memperolehkeuntungan pribadi oleh pemilik bankyang beritikad tidak baik.

Alasan-alasan tersebut diatas dapatdijelaskan sebagai berikut :Ad.1. Likuidasi dalam kepailitan tidakberakibat langsung bubarnya suatuperusahaan, bahkan apabila kepailitan telahberakhir, perusahaan dapat hidup kembalidengan memenuhi persyaratan setelahdirehabilitasi.Hal yang demikian tidak mungkin dapatditerapkan terhadap lembaga perbankan,yang apabila izin usahanya dicabut danbanknya dibubarkan, maka otomatisbanknya tidak dapat beroperasi lagi.Demikian pula tentang konsekuensi likuidasibagi bank menurut Rudhy Prasetya:a. Bilamana menggunakan UU Perbankan

maka aset bank dicairkan semua dan

dibagikan kepada para nasabahberdasarkan urutan prioritas.

b. Bilamana menggunakan UU Kepailitanmaka aset bank yang dicairkan adalahsebagian saja yaitu sebatas danasimpanan nasabah dan tagihan dari parakrediturnya. Bank masih dapat jalan terus(tidak bubar) dan yang mengendalikanadalah kurator diawasi oleh HakimPengawas.

Oleh karena itu bila menggunakan kepailitanmaka maksud BI untuk membagikan seluruhaset bank tidak tercapai.17

Selanjutnya tentang insolvensi dalamkepailitan yang masih memungkinkanperusahaan debitor pailit untuk dilanjutkanoleh kurator dengan pengawasan HakimPengawas; hal yang demikian tidakdimungkinkan terjadi dalam prosesinsolvensi lembaga perbankan.

Ad.2. Pengurusan dan pemberesan hartapailit yang dilaksanakan oleh kurator dalamkepailitan bank, akan berakibat peranan danintervensi BI terhadap bank-bankbermasalah yang dipailitkan akan menjadihapus. Sedangkan untuk mengatasi bank-bank yang bermasalah dibutuhkan keahliankhusus, agar supaya penyelesaian bankbermasalah dapat dilaksanakan sesuaidengan prosedur yang berlaku dan yangdiharapkan.

Ad.3. Mengingat bank adalah badan usahayang menghimpun dana dari masyarakatdalam bentuk simpanan danmenyalurkannya kepada masyarakat dalambentuk pinjaman, dan karena usaha bankterkait dengan kepentingan masyarakatmaka dipailitkannya suatu bank akanmenimbulkan dampak yang sangat luas bagi

17 Hasil colloquium tanggal 17 Juni 2004

Page 42: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200436

masyarakat terutama bagi nasabahpenyimpan dana, maupun bank-banklainnya, bahkan dapat membahayakankedudukan BI .

Ad.4. Apabila masyarakat luas sebagaipenyimpan dana sudah tidak menaruhkepercayaan pada bank, maka akibatnyabank-bank di Indonesia akan mengalamikesulitan untuk berkembang. Hal yangdemikian akan membawa akibat lebih jauhyaitu stabilitas keuangan negara akanterganggu, oleh karena perbankan adalahbagian dari sistem keuangan negara.

Ad.5. Sangat sederhananya persyaratanpermohonan pailit yang diatur dalam UUKepailitan, tidak mustahil terbukanyapeluang untuk terjadinya KKN. Tidakmenutup kemungkinan bank yang masih“solven” untuk dipailitkan, semata-matauntuk kepentingan pribadi, menghindaritanggung jawabnya. Berkenaan denganmasalah kepailitan maka kepentingan bankdan terutama nasabah penyimpan danadapat terganggu, oleh karena adanyapermohonan pernyataan pailit dapatdiajukan oleh bank sebagai debitor maupunyang diajukan oleh bank sebagai kreditur.

5. Kesimpulan dan Saran

1. BI sebagai lembaga negara yangindependen sangat berperan dalammengatur dan mengawasi bank. Olehsebab itu kewenangan dan tanggungjawab Bank Indonesia adalah meliputi:Power to regulate;Power to license;Power to supervise; Power to imposesanctions.

2. Power to supervise terutama yangmenyangkut special survaillancediterapkan terhadap suatu bank yang

mengalami kesulitan yangmembahayakan kelangsunganusahanya. Langkah-langkah yangdilakukan BI dalam rangkamempertahankan/menyelamatkan bankmeliputi: Pemegang saham menambahmodal; Pemegang saham menggantiDewan Komisaris dan/atau direksi;Menghapuskan kredit; Melakukanmerger atau konsolidasi; Bank dijualkepada pembeli; Menyerahkanpengelolaan Bank sebagian ataukeseluruhan kepada pihak lain; Menjualsebagian / seluruh harta dan kewajibanbank kepada pihak ketiga.

3. Apabila menurut penilaian BI langkah-langkah tersebut tidak dapat mengatasikesulitan-kesulitan yang dihadapi bankdan atau membahayakan sistemperbankan. BI dapat mencabut izin usahadan memerintahkan direksi bank untukmenyelenggarakan RUPS gunamembubarkan badan hukum bank sertamembentuk Tim Likuidasi sesuai denganUUPT. Uraian ini menunjukkan bahwadidalam proses likuidasi yangmenyangkut pembubaran badan hukumbank dan pembentukan Tim Likuidasi, BImasih berpijak pada ketentuan-ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1995tentang PT.

4. Dalam hal RUPS tidak dapatterselenggara maka sesuai ketentuanPasal 37 ayat (3) UU Perbankan,Pimpinan BI meminta kepadapengadilan untuk mengeluarkanpenetapan yang berisi pembubaranbadan hukum bank, penunjukkan timlikuidasi, dan perintah pelaksanaanlikuidasi sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

Page 43: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200437

5. Selain pencabutan izin usaha,pembubaran badan hukum bank sertapembentukan tim likuidasi sebagaimanatersebut dalam angka 4 di atas, jugadimungkinkan terjadinya pembubaranbadan hukum bank dan likuidasi ataspermintaan sendiri dari pemegangsaham (self liquidation). Dalam hal ini BIbaru memberi izin untuk self liquidationapabila bank tersebut telah berhasilmenyelesaikan kewajiban-kewajibannyakepada kreditur.

6. Pelaksanaan likuidasi sangat terkaitdengan kepentingan dana simpananmasyarakat. Oleh karena itu perlu adanyaketentuan hukum yang secara khususmengatur tentang proses likuidasi yangberbentuk undang-undang.Pembentukan undang-undang melaluipemerintah dan DPR memberikankekuatan hukum yang legitimate. Selainitu, walaupun Pasal 25 UUBI mengaturtentang PBI sebagai produk hukum yangdapat dikeluarkan oleh BI, namun posisiPBI tidak jelas dalam TAP MPR no. 3tahun 2000. Oleh karena itu makaketentuan tentang pelaksanaan likuidasibank sebaiknya tidak didasarkan padaPBI melainkan perlu diatur denganundang-undang.

7. Pengembalian dana terhadap nasabahpenyimpan dana harus mendapatprioritas utama karena hubungan antarabank dan nasabah penyimpan danamerupakan hubungan kepercayaan.Berlakunya asas kepercayaan dalamhubungan antara bank dan nasabahpenyimpan dana mengandungkonsekuensi bahwa nasabah penyimpandana diberi jaminan untuk memperolehhak utama atas pengembalian danasimpanannya. Pemerintah telah

menyadari hal tersebut denganmemberikan ketentuan Pasal 37B UUPerbankan tentang LPS. Namun sampaisaat ini belum terbentuk LPS sehinggamasih menggunakan programpenjaminan pemerintah (blanketguarantee). Oleh karena itu, programpenjaminan yang saat ini dilakukanmelalui Keputusan Presiden harusmemuat kewajiban seluruh Bank Umumdan BPR untuk mengikutinya (bersifatimperatif).

8. LPS memiliki tujuan untuk melindungikepentingan nasabah dan sekaligusmeningkatkan kepercayaan masyarakatkepada bank. Walaupun keberadaanLPS sangat penting tetapi UU Perbankandan PP Nomor 25 Tahun 1999 tidakmenjelaskan peranan dan tugas LPSpada sebelum proses likuidasi maupunsaat proses likuidasi. Oleh karena itupada undang-undang likuidasi banknantinya perlu dijelaskan peranan LPSdalam tahap penyelamatan bank dantahap likuidasi bank. Di dalam tahappenyelamatan bank yang bermasalah,LPS dapat melakukan rekapitalisasi.Namun bila bank tersebut tidak dapatmembaik kondisinya maka LPSmemberikan rekomendasi kepada BIuntuk mencabut izin usaha bank tersebut.Selanjutnya pada tahap likuidasi bank,LPS berperan sebagai pihak yangberwenang menunjuk Tim Likuidasi ataubertindak sebagai likuidator. Olehkarena LPS dapat mengambilalihkewenangan RUPS maka LPS harusdibentuk dengan undang-undang.

9. Pencairan harta dan atau penagihanpiutang BDL yang dilakukan dalamtahap pelaksanaan likuidasi bank olehTim Likuidasi seringkali tidak dapat

Page 44: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200438

berjalan dengan lancar. Hal inidisebabkan karena adanya pihak ketigayang mengajukan gugatan bahwa aset-aset BDL adalah miliknya. Kondisi inimenyebabkan terhambatnya prosespencairan aset-aset BDL yangmerupakan harta dan atau piutang BDL.Proses penyelesaian gugatan dipengadilan tersebut akan berlangsunglama sementara jangka waktu TimLikuidasi sebagaimana ditentukandalam Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 25Tahun 1999 hanya 5 tahun. Mengingatkondisi tersebut, penyelesaian gugatandi pengadilan harus dilakukan secaracepat dan mendapat prioritas utamamengingat jangka waktu Tim Likuidasiyang hanya 5 tahun. Hal ini dapatdilakukan dengan mencantumkan hukumacara khusus yang mengatur tentangpenggunaan acara pemeriksaan cepatbagi pemeriksaan perkara gugatan asetBDL.

10. Bilamana likuidasi bank tidak dapatterselesaikan dalam jangka waktu 5tahun tersebut maka menurut ketentuanPasal 12 ayat (2) PP Nomor 25 tahun1999, penjualan harta bank dalamlikuidasi dilakukan secara lelang. Didalam praktek dapat terjadi aktiva danpasiva BDL belum terselesaikansementara jangka waktu Tim Likuidasitelah berakhir. Hal ini disebabkan karenamasih berlangsungnya prosespenyelesaian sengketa terhadap asetbank dalam likuidasi. PP Nomor 25Tahun 1999 tidak menjelaskan tentangpihak yang akan mengelola aset BDLdalam hal berakhirnya Tim Likuidasi.Aset bank dalam Likuidasi tersebut tidakdapat dilelang karena masih dalamproses sengketa di pengadilan. Padahal

sesuai ketentuan Pasal 1131KUHPerdata, aset tersebut digunakanuntuk memenuhi kewajiban bank. Olehkarena itu maka dapat dilakukanperpanjangan masa tugas Tim Likuidasi.

11. Kewenangan BI dalam kepailitan bankberdasarkan UU Kepailitan adalahsebagai pemohon satu-satunya yangmemiliki otoritas untuk mengajukanpermohonan pailit terhadap suatu bank.

12. Dalam kenyataannya BI sejak berlakunyaUU Nomor 4 Tahun 1998 tentangKepailitan sampai sekarang, tidakpernah menggunakan kewenangantersebut, mengingat penyelesaian bankbermasalah harus diselesaikan bsecarakhusus sesuai peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnyasecara lebih rinci dan lengkap sebagailex specialis , karena lembagaperbankan tidak dapat disamakandengan perusahaan pada umumnya.

13. Penyelesaian bank bermasalah melaluikoridor UU Kepailitan akan semakinmenimbulkan berbagai masalah, karenakepailitan bank menyangkut kepentinganmasyarakat luas, dan dapatmempengaruhi stabilitas keuangannegara, sehingga dalam prosespenyelesaian bank bermasalah tidakdiperlukan UU Kepailitan.

Beberapa saran yang dapat dikemukakanadalah :

1. Legal frame work dalam rangka exitpolicy likuidasi perbankan seyogianyadibentuk Undang-Undang LikuidasiBank yang merupakan lex specialisterhadap ketentuan-ketentuan yangbersifat umum. Substansi undang-

Page 45: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200439

undang likuidasi bank antara lain perlumengatur hal-hal sebagai berikut :a. Prioritas utama perl indungan

terhadap nasabah penyimpandana.

b. Peran LPS bank dalam tahappenyelamatan dan tahap likuidasibank.

c. Hukum acara khusus yang dapatmenyelesaikan sengketa terhadapaset bank dalam likuidasi secaratepat.

d. Kemungkinan perpanjangan masatugas tim likuidasi.

2. Selain undang-undang likuidasi bank,juga diperlukan undang-undang LPSyang secara substansial kedua undang-undang ini harus sinkron satu denganyang lainnya.

3. Penyelesaian terhadap bank bermasalahseyogyanya tidak perlu ditempuh melaluikoridor UU Kepailitan.

4. Dalam penyempurnaan UU Kepailitanseyogyanya ada klausula yangmenentukan bahwa “peraturan kepailitanini tidak berlaku bagi debitor lembagaperbankan”; sehingga ketentuan Pasal 1ayat (3) UU Kepailitan harus dihapuskan.

Page 46: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200440

A. Latar Belakang Masalah

Masyud Ali (2002, xxiii-xxv) menyatakankebijakan restrukturisasi perbankan nasionalyang dilakukan Indonesia pada masa krisismembuahkan beban biaya yang termahaldan terboros sepanjang sejarah perbankandunia. Sebenarnya sejak 1994, Sjahdeinidalam orasi Dies Natalis UniversitasAirlangga (Sjahdeini, 1997, 57-58)mengemukakan agar upaya penangananbank bermasalah dengan cara mencabutizin dan melikuidasinya sebaiknyadihindarkan. Alasan yang memperkuatpendirian Sjahdeini adalah implikasi yuridisyang sangat kompleks dan prosespenyelesaian yang memakan waktu lama,selain dapat menggoncangkankepercayaan masyarakat terhadap sistemperbankan, likuidasi suatu bank dapatmenimbulkan keresahan sosial danimplikasi yang sangat jauh.

Walaupun kekhawatiran Sjahdeini telahdireduksi dengan adanya peraturan khusustentang pencabutan izin, pembubaran danlikuidasi bank dan jaminan dana simpanannasabah, tetapi permasalahan belumterselesaikan. Karena dalam pelaksanaankewenangan Bank Indonesia (BI) untukmelakukan pencabutan, pembubaran danlikuidasi bank berdasar PP Nomor 25 Tahun1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,Pembubaran dan Likuidasi Bank, terdapatbeberapa hal yang belum tersentuh,misalnya berkaitan dengan kepastian hukumkeberadaan tim likuidasi yang dibatasi

selama 5 tahun pada “bank” yang telah bubarapabila masih terdapat aset bermasalah.

Berdasar pada hal di atas maka diperlukansebuah kajian untuk melengkapi hal-hal yangbelum tersentuh pengaturannya terkaitdengan kewenangan BI melakukanpencabutan, pembubaran dan likuidasibank, disamping tidak menutupkemungkinan memunculkan alternatif laindalam penanganan bank bermasalah,misalnya melalui sarana UU Kepailitan.Kepailitan bagi bank dimungkinkansebagaimana terdapat dalam pasal 9 ayat(3) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentangPerbankan, “Dalam hal bank mengalamikepailitan, semua harta yang dititipkan padabank tersebut tidak dimasukkan dalam hartakepailitan dan wajib dikembalikan kepadapenitip yang bersangkutan”. Akan tetapi UUNo. 7/1992 tidak memuat ketentuan lebihlanjut tentang kepailitan bank, sehinggaharus berdasarkan peraturan yang berlakuumum.

Dari hal inilah muncul adanya kebutuhansebuah UU khusus kepailitan bagi banksebagai suatu lex specialis dari UUKepailitan, karena apabila UU Kepailitanyang ada diterapkan belum tentu tepat,adanya berbagai kelemahan UU Nomor 4Tahun 1998 tentang Kepailitan yangberusaha disempurnakan dalam RUUKepailitan baik dari sisi materiel maupunaplikasinya, serta peran lembaga bank yangbukan sekedar badan hukum biasa.

KEWENANGAN DAN TANGGUNGJAWABBANK INDONESIA DALAM LIKUIDASI DAN KEPAILITAN BANK

(Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Page 47: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200441

Saat ini kondisi ekonomi dan perbankannasional relatif cukup membaik, danmengingat pendapat Didik J. Rachbini yangmenyatakan kegagalan mengatasi krisisperbankan terutama adalah karenakebijakan yang bersifat instan; serta adanyakebijakan BI dalam upaya menyehatkankembali dunia perbankan nasional yangdiwujudkan dalam bentuk konsep ArsitekturPerbankan Indonesia (API), makapermasalahan hukum dalam kewenangandan tanggungjawab BI berkaitan denganlikuidasi dan kepailitan bagi bankbermasalah, sangat penting untukdituntaskan.

B. Perumusan Masalah

Apa saja permasalahan hukum yangdihadapi BI dalam menerapkan kewenanganpencabutan izin usaha, pembubaran danlikuidasi bank, serta apa tindakan hukumyang tepat dalam mengantisipasi masalahyang timbul berkaitan dengan tindakantersebut ?

Apa saja permasalahan hukum yangmungkin dihadapi BI apabila menerapkankepailitan pada bank bermasalah?

Permasalahan Hukum dalam PenerapanPencabutan Izin Usaha, Pembubarandan Likuidasi Bank oleh Bank Indonesiaserta Upaya Penyelesaiannya

Dalam KUHD dan BW Belandadipergunakan istilah yang sama untuklikuidasi, yaitu pembubaran danpemberesan. Sedangkan pada sistemcommon law, dipergunakan istilah windingup disamping liquidation. Dalam UUPT No.1/1995, dengan dilikuidasinya sebuahperusahaan terjadi pemberesan aset-aset

perusahaan setelah perusahaan dibubarkan.Khusus bagi perbankan, likuidasi adalahsejak dicabutnya izin usaha bank sertadibubarkannya badan hukum bank, sedangberakhirnya likuidasi bank adalah bila telahterjadi pemberesan dimana sebuah banktidak lagi memiliki hak maupun kewajiban.

Selain hal di atas perlu adanya publikasiberupa pendaftaran dalam Tanda DaftarPerusahaan (TDP) dan Tambahan BeritaNegara Republik Indonesia (TBNRI) demikepentingan tanggung jawab publik agarpihak ketiga secara de jure mengetahuibahwa Badan Hukum tersebut akandilikuidasi, sehingga para kreditur sudahmengetahui dan siap untuk menerimaberbagai tindakan yang akan dilakukan olehtim likuidasi. Sedangkan secara de factoBadan Hukum dikatakan bubar setelahlikuidasi selesai dilaksanakan dan timlikuidasi dibubarkan.

Dari hasil menelusuri dan mengkritisi bahanhukum, ditemukan berbagai persoalanhukum, mulai dari hal yang mendasar yaitupenggunakan istilah likuidasi yang tidaktepat, sampai kepada persoalan kepastianhukum.

a. Penggunaan Istilah Likuidasi yangTidak Tepat

Masyarakat mengenal istilah likuidasi banksebagai penyebutan berbagai kasus tidakberoperasinya sebuah bank setelahdiumumkan oleh BI. Apabila ditinjau darikacamata hukum, penggunaan istilahtersebut tidak tepat, karena tidakberoperasinya sebuah bank, belum berartitelah dilikuidasinya bank tersebut. Hal inimengacu pada UU Perbankan dan PP 25/1999 dimana likuidasi adalah setelahdicabut izinnya, dan berbeda pula denganyang terdapat dalam UUPT, dimana likuidasi

Page 48: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200442

adalah proses setelah dibubarkan dandibentuknya tim likuidasi. Atas dasarpengertian likuidasi secara yuridis ini, makapengertian likuidasi bank yang selama inidikenal masyarakat barulah bermakna“Likuidasi” (Likuidasi dalam tanda petik,belum likuidasi dalam pengertian telahterpenuhinya syarat yuridis).

Dengan demikian maka “likuidasi” bankyang selama ini dikenal oleh masyarakatperlu memperoleh penjelasan untukmendudukkan posisi yang sebenarnya.Walaupun sebetulnya BI telah menggunakanistilah yang tepat yaitu Bank BekuOperasional (BBO) dan Bank BekuKegiatan Usaha (BBKU) untuk tidakberoperasinya sebuah bank, akan tetapiistilah ini kurang dikenal masyarakat, karenasebenarnya bank dalam status tersebutbelum pada tahap likuidasi bank.

Berkaitan dengan hal di atas, makadipergunakan istilah “Bank DalamLikuidasi Sementara (BDLS)” untukpenanganan bank yang bermasalah dantidak lagi melakukan kegiatan usaha atautidak beroperasi, walau belum dicabut izinusahanya, dibubarkan atau dilikuidasi.Karena istilah tersebut dianggap lebihmencerminkan keadaan yang sebenarnyaserta tidak menimbulkan kesalahaninterpretasi.

b. Permasalahan Kepastian Hukumpada BDLS

Bank dalam penyelesaian dapat berbentukPerseroan Terbatas (PT), PerusahaanDaerah (PD) maupun Koperasi, sehinggaapabila berbentuk PT maka tetap harustunduk kepada UUPT No. 1/1995, demikianjuga pada bank berbentuk PD harus tundukpada UUPD No.5/1962, sedang yangberbentuk Koperasi tunduk pada UU

Koperasi No. 25/1992. Hal di atasmenimbulkan berbagai persoalan hukum,baik tidak adanya sinkronisasi baikhorizontal maupun vertikal, serta tidakadanya kepastian hukum, khususnyadisebabkan karena terdapat berbagaibentuk badan hukum bank.

1). Permasalahan Hukum Pada PT Bank

Pada proses likuidasi sebagaimana yangdiatur dalam UU Perbankan, PP 25/1999maupun turunannya, istilah penutupansebenarnya tidak dikenal. Istilah inidipergunakan karena dalam sejarahlikuidasi bank di Indonesia terjadi BBO danBBKU yang menyebabkan bank ditutup/tidak beroperasi. Permasalahan Hukumpertama adalah berkaitan dengantanggungjawab pengelolaan PT Bankselama tenggang waktu antara penutupanbank sampai dengan dicabutnya izin usahabank oleh Tim Pengelola Sementara (TPS),dimana keberadaan tim ini tidak berdasarkepada PP 25/1999 maupun SK Direksi BI(dalam SK Direksi BI hanya disebutkan TPSdibentuk setelah dilakukannya pencabutanizin usaha bank). Kepada siapa pihak “TPS”ini akan bertanggungjawab dan bagaimanastatus Direksi PT dengan keberadaan “TPS”tersebut adalah masalah hukum yangmemerlukan jawaban.

Dalam menyelesaikan hal di atas makadiperlukan dasar keberadaan “TPS” padasaat bank ditutup/BBKU/BBO, sehinggamemberikan dasar hukum keberadaan“TPS” sebelum dicabutnya izin usaha bank.Selanjutnya membatasi kewenangan direksimaupun komisaris dalam hal melakukanperbuatan hukum, misalnya pengalihan asetbank, menyetujui fasilitas kredit, dan lain-lain.Dalam keadaan direksi dan komisarismemiliki kewenangan yang dibatasi dalam

Page 49: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200443

tenggang waktu tertentu, dan apabila tidakmelakukan kegiatan aktif, maka perludipertimbangkan dibentuknya badan khususyang berperan mengangkat tim yangmenggantikan fungsi dan peranan direksidan komisaris. Hal tersebut dapat dilakukanapabila direksi dan komisaris tidak dapatmelaksanakan tugas-tugas yang dibatasidalam waktu tertentu. Manfaat yang dapatdiperoleh dengan alternatif ini adalahterdapat kepastian hukum tentangpenanganan bank yang ditutup/BBKU/BBOdan belum dicabut izin usahanya. Alternatiflain adalah penutupan bank tidak dilakukansebelum dilakukan pencabutan izin usaha,sehingga sesuai dengan ketentuan dalamUU Perbankan maupun UUPT. Manfaat darialternatif ini adalah terdapat kepastianhukum tentang status bank apakah masihdapat beroperasi atau tidak.

Permasalahan hukum berikutnya adalahberkaitan dengan tanggungjawab pengelolaPT Bank selama tenggang waktu antarapencabutan izin usaha sampaidiselenggarakannya Rapat UmumPemegang Saham (RUPS) atau adanyaputusan Pengadilan untuk pembubaran PTBank. BI belum memberikan kepastianhukum berkaitan dengan adanya tenggangwaktu yang kosong antara pencabutan izinusaha dengan terselenggaranya RUPS.Dalam pasal 5 ayat (1) PP 25/1999 hanyadisebutkan “Direksi bank yang dicabut izinusahanya wajib menyelenggarakan RUPSuntuk memutuskan pembubaran badanhukum bank dan pembentukan TimLikuidasi, selambat-lambatnya dalam waktu60 (enam puluh) hari sejak tanggalpencabutan izin usaha”. Demikian jugaterkait dengan apabila RUPS tidak dapatdiselenggarakan dalam jangka waktusebagaimana yang telah ditentukan dalam

pasal 5 (1), dan BI meminta Pengadilanuntuk menetapkan pembubaran badanhukum dan penunjukan Tim Likuidasi, tidakterdapat penjelasan tentang tenggang waktuyang kosong diantara pencabutan SIUPsampai keluarnya penetapan Pengadilan.Adanya tenggang waktu antara keputusanBI dengan dilaksanakannya RUPS ataubelum adanya penetapan pengadilantentang pembubaran PT Bank, membawapermasalahan siapa yangbertanggungjawab atas penyelesaian Banktersebut, karena pada saat itu tim likuidasibelum terbentuk akibat belumterselenggaranya RUPS atau adanyaputusan pengadilan. Dalam praktek BI tidakpernah meminta pengadilan denganpertimbangan prosedur yang rumit, jangkawaktu yang panjang dan biaya yang besar,maka dapat diajukan alternatif solusi berupabadan baru sebagaimana tersebut dalampermasalahan pertama.

Status TPS juga menjadi persoalan hukum.TPS yang dibentuk oleh BI dengan berdasarpada pasal 9 ayat (1) SK Direksi BI yangmenjalankan fungsi direksi (kecuali untuk hal-hal tertentu) sampai dengan terbentuknyaTim Likuidasi. Keberadaan TPS yangdicantumkan dalam pasal 1 d KetentuanUmum SK Direksi BI no. 32/54/Kep/Dir/1999 tersebut bertentangan dengan UUPT;karena untuk menonaktifkan direksi harusberdasar kepada RUPS.

Apabila hal tersebut di atas tercantum dalamUU Perbankan sebagai lex spesialis, makaakan dapat diterima secara yuridis.Permasalahannya adalah tidaktercantumkannya TPS baik dalam UUPerbankan maupun PP 25/1999, dan hanyasebatas dalam SK Direksi Bank Indonesia.Seharusnya TPS sudah tercantum dalamUU atau PP, atau terdapat pasal yang terkait

Page 50: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200444

untuk menunjuk tentang adanya TPS dalamUU atau PP agar dapat menjadi dasarhukum keberadaannya, sedangkan tugas,wewenang dan tanggungjawab TPSdiuraikan secara lebih rinci dalam SKDireksi BI. Pentingnya landasan hukum bagikeberadaan TPS adalah menyangkutpermasalahan apabila terdapat pihak yangdirugikan dalam tenggang waktu tersebutakan dapat dikategorikan sebagaiperbuatan melawan hukum.

Alternatif solusi untuk permasalahan hukumini, yaitu bilamana RUPS tidakterselenggara, tidak ada penetapanpengadilan dan tidak terbentuk TimLikuidasi, maka diperlukan suatu lembagakhusus sebagai representasi pemegangsaham, yang memiliki kewenanganmembubarkan PT. Bank. Lembaga khususini difungsikan setelah melampaui tenggangwaktu 60 hari , ditambah 30 hari sebagaiperpanjangan sesuai dengan ketentuan PP25/1999 dan SK Direksi BI. Lembagakhusus inipun keberadaannya memerlukandasar hukum yang kuat, yang berbentukundang-undang - yang bersifat lex specialisterhadap UUPT - agar kewenangannyadapat dipertanggungjawabkan menuruthukum. Pembentukan lembaga khususberdasarkan UU tersebut di atas agar PTBDLS dapat segera dibubarkan.

Permasalahan hukum berikutnya adalahterkait dengan kewenangan dantanggungjawab Direksi dan Komisaris padaBDLS PT Bank sejak dicabutnya izin usahabank. Muncul berbagai pertanyaan apakahdibenarkan tindakan menonaktifkan direksidan komisaris, tanpa melalui keputusanRUPS; sementara itu kedudukan mandiri PTmensyaratkan bahwa direksi dan komisarishanya dapat diberhentikan oleh RUPS ataujika PT telah bubar.

Permasalahan timbul karena adanya duaketentuan peraturan perundang-undanganyang berbeda secara substansial maupunhirarkis yaitu UUPT dan SK Direksi BI. Agartidak timbul pertentangan maka SK Direksiperlu ditingkatkan menjadi undang-undangyang merupakan lex specialis dari UUPT.

Satu permasalahan hukum yang juga munculterkait dengan likuidasi bank adalah tentangwaktu pembubaran BDLS PT Bank. Dengantelah dibubarkannya badan hukum PT baikkarena RUPS atau penetapan Pengadilan,maka masalah yang muncul adalah kapansecara de-jure badan hukum PT tersebutdikatakan telah bubar.

Pada umumnya tanggal didaftarkannyapembubaran PT dan diumumkannyapembubaran tidak mungkin terjadi padatanggal yang sama. Sehingga secara de-jure diperlukan kepastian tanggaldibubarkannya sebuah bank sebagai badanhukum berbentuk PT. Dalam SK Direksi BIhanya menyebutkan tim likuidasi“mengumumkan pembubaran bankselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejaktanggal keputusan RUPS atau penetapanpengadilan untuk pembubaran badan hukumbank” (pasal 25 huruf d). Apabila terdapatperbedaan antara tanggal pendaftaran danpengumuman, maka tanggal yangdipergunakan sebagai dasar yang mengikatpublik adalah tanggal pengumuman, karenasecara de jure jika sudah diumumkan akanmengikat secara internal dan eksternal.

Persoalan hukum yang sangat sulitdiselesaikan adalah berkaitan dengan asetbermasalah dan batasan waktupelaksanaan BDLS PT Bank. Dalam Pasal12 PP 25/1999 disebutkan “(1) Pelaksanaanlikuidasi bank wajib diselesaikan dalamjangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun

Page 51: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200445

terhitung sejak tanggal dibentuknya Timlikuidasi, (2) Dalam hal likuidasi bank tidakdapat diselesaikan dalam jangka waktusebagaimana dimaksud dalam ayat (1),penjualan harta bank dalam likuidasidilakukan secara lelang”.

Permasalahan hukum yang timbul dari pasalini adalah bagaimana bila jangka waktuterlampaui dan lelang belum dapatdilaksanakan, disebabkan oleh karenaadanya aset bermasalah (aset dalampersengketaan). Siapa pihak yangbertanggungjawab atas penyelesaian asetbermasalah, serta sejauh mana pihak timlikuidasi harus bertanggungjawab apabilajangka waktu berakhir sedang tugas belumterselesaikan. Karena selama ini belum adaaturan yang membebaskan debitor bank darikewajiban utangnya.

Dari uraian di atas maka terdapat asumsi,bahwa apabila Tim Likuidasi dianggap telahbubar dengan berakhirnya jangka waktu 5tahun dan lelang belum terlaksana. Makasecara de facto tidak ada tim yangmenangani aset bermasalah. Secara dejure tim likuidasi telah bubar akan tetapisecara de facto belum bubar, karena masihterdapat aset bermasalah. Untukmenuntaskan bubarnya PT secara de factotetap diperlukan adanya tim atau lembagayang menangani aset bermasalah baikmelalui lelang maupun non pelelangan.Kesulitan diprediksikan akan muncul adalahberkaitan dengan waktu penyelesaian asetbermasalah, khususnya yang berproses dipengadilan, karena diperlukan waktu yangpanjang sampai putusan memperolehkekuatan hukum yang tetap. Untuk lebihmengefektifkan penyelesaian asetbermasalah sebaiknya tugas tim likuidasidiperpanjang 5 tahun.

2). Permasalahan Hukum Pada PD Bank

Permasalahan hukum pertama adalahtentang pertanggungjawaban pengurus PDBDL. Secara tegas dalam Undang-UndangPerusahaan Daerah (UUPD) diatur, bahwadalam hal terjadi likuidasi, maka PD sebagaipemilik perusahaan daerah bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh pihakketiga. Apabila kerugian tersebutdisebabkan karena neraca dan perhitunganrugi-laba yang telah disahkan tidakmenggambarkan keadaan perusahaan yangsebenarnya (pasal 29 ayat (4)). Isi pasal 29ayat (4) UUPD kurang tepat, karenapembuatan neraca dan perhitungan laba-rugi yang dibuat direksi dan menyebabkankerugian pihak ketiga, seharusnyadibebankan kepada direksi bukan kepadapemerintah daerah.

Selanjutnya adalah permasalahan hukumterkait dengan penonaktifan Direksi PDBank sejak dicabutnya izin usaha. Ketentuanpasal 4 ayat (2) PP 25/1999 bertentangandengan UU PD 5/1962 Bab V mengenaiPenguasaan dan Tata Cara Mengurus.Direksi PD hanya dapat diberhentikanberdasarkan keputusan dari Kepala Daerah,dimana proses pemberhentian tersebutdilakukan melalui permufakatan parapemegang saham serta adanyakesempatan yang diberikan oleh UUPDkepada direksi untuk diberi kesempatanuntuk membela diri dengan tenggang waktusatu bulan sejak direksi diberitahu tentangrencana pemberhentiaannya. Selamapersoalan pemberhentian belum diputusoleh Kepala Daerah, maka status direksiadalah diberhentikan sementara, tetapiapabila dalam waktu 2 (dua) bulan setelahpemberhentian sementara dijatuhkan masihbelum ada keputusan mengenaipemberhentian sementara tersebut, maka

Page 52: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200446

pemberhentian sementara menjadi batal dandireksi dapat menjalankan jabatannyaseperti semula. Ketentuan dalam UUPDdiatas tidak tepat, karena pada saatdicabutnya ijin usaha bank, tidak perlu lagikemungkinan ada peluang dari Direksi PDBank yang dapat merugikan nasabah, PDBank maupun pihak-pihak lain.

Sebagaimana pada PT Bank, pada PDBank juga terdapat permasalahan hukumterkait dengan pembubaran danpembentukan Tim Likuidasi. Dalam halpembentukan tim likuidasi UUPDmenetapkan bahwa pembubaran PD danpenunjukkan likuidaturnya melaluimekanisme penetapan PD sertamendapatkan pengesahan dari InstansiAtasan. Pada era otonomi daerahkewenangan dari Kepala Daerah dan DPRDdalam menentukan kebijakan hukumberkaitan dengan pembubaran badanperusahaan daerah merupakan produkmurni dari daerah. Hal tersebut menimbulkankesulitan bagi terlaksananya pembubarkanbadan hukum PD Bank serta membentuktim likuidasi, karena ada kecenderunganPemerintah Daerah tidak menghendakipembubaran PD bank.

Selanjutnya adalah tentang permasalahanaset bermasalah dan batasan waktupelaksanaan likuidasi PD Bank. UUPD tidakmengatur tentang waktu penyelesaian asetbermasalah, sehingga untuk menyelesaikanpermasalahan ini tetap mengacu kepadaPP 25/1999. Dalam UUPD diatur bahwapertanggungjawaban likuidasi oleh likuidatordilakukan kepada Pemerintah Daerah,sehingga aset bermasalah yang ada dapatdiselesaikan oleh likuidator tanpamemperhatikan soal waktu.

3). Permasalahan Hukum Pada BankKoperasi

Permasalahan hukum pertama adalahterkait dengan tanggungjawab pengelolaBank Koperasi pada saat dicabut izin usahasampai dengan diselenggarakannya RapatAnggota. Menurut pasal 23 UU Koperasidiatur bahwa untuk pemilihan,pengangkatan, pemberhentian pengurusharus melalui mekanisme Penetapan RapatAnggota, sehingga TPS yang dibentukberdasar PP 25/1999 dan SK Direksi BItersebut menyimpangi kewenanganPengurus Koperasi.

Permasalahan lain adalah, tanggungjawabTPS terhadap pihak-pihak yang merasadirugikan selama melaksanakan tugasnyadan juga bagaimana apabilapertanggungjawaban TPS yang mengelolakoperasi ditolak oleh Rapat Anggota, danjika timbul kerugian kepada pihak ketiga.Apabila Rapat Anggota menolakpertanggungjawaban TPS dalam mengelolaKoperasi, maka TPS yang harusbertanggung jawab terhadap kerugian yangdialami oleh pihak ketiga.

Selanjutnya adalah berkaitan dengan waktupembubaran badan hukum Bank KoperasiBDLS. Pembubaran Badan HukumKoperasi menurut pasal 46 UU Koperasidapat dilakukan berdasarkan keputusandari Rapat Anggota. Berkaitan dengan haltersebut secara teknis sulit untukmenyelenggarakan Rapat Anggota denganacara pembubaran Badan Hukum Koperasi.Jumlah Anggota Koperasi tidak sedikitsebagaimana halnya pemegang sahamdalam PT yang juga sulit menyelenggarakanRUPS untuk pembubaran PT. SepanjangRapat Anggota tidak dilaksanakan atauRapat Anggota tidak menyetujui

Page 53: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200447

pembubaran, maka pembubaran koperasibelum terjadi dan likuidasi belum dapatterlaksana.

Persoalan hukum yang terkait dengan asetbermasalah juga menjadi salah satu halpenting pada Bank Koperasi. Dampakakibat kerugian yang timbul daripembubaran Koperasi adalah, anggotahanya menanggung kerugian sebatassimpanan pokok, simpanan wajib dan modalpenyertaan yang dimilikinya (UU Koperasipasal 55). Sehingga apabila badan hukumkoperasi telah bubar tetapi masih terdapataset yang bermasalah akan timbulketidakpastian hukum kepada siapa pihakketiga yang dirugikan akan menuntut.Alternatif pemecahan masalah di atas samadengan penyelesaian masalah pada PTBank maupun PD Bank.

c. Permasalahan Perlindungan HukumBagi Nasabah

Pada dasarnya perlindungan hukumdiperlukan oleh nasabah, baik nasabahpenyimpan dana atau nasabah kreditur, juganasabah penerima kredit atau disebutnasabah debitor serta pengguna jasaperbankan. Apabila dikaitkan dengan UUPerlindungan Konsumen yang memasukkannasabah bank sebagai konsumen, makadasar hubungan hukum kedua belah pihakadalah berakar dari suatu perjanjian. Hal initampak dari pasal 2 angka 5 UU Nomor 10Tahun 1998 tentang Perubahan atas UUNomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,dimana disebutkan bahwa simpanan adalahdana yang dipercayakan oleh masyarakatkepada bank berdasarkan perjanjianpenyimpanan uang dalam bentuk giro,deposito, sertifikat deposito, tabungan danatau bentuk lainnya yang dipersamakandengan itu.

Sistem perbankan Indonesia sebenarnyatelah memberikan perlindungan hukummelalui 2 cara, baik secara implisit maupuneksplisit. Pada perlindungan hukum yangbersifat implisit, akan melindungi nasabahdari terjadinya kesalahan atau kelalaian yangterdapat pada bank yang berakibat timbulnyatanggungjawab perdata yang berhubungandengan kepengurusan bank tersebut. Bentuktanggungjawab pribadi pengurus munculapabila pengurus bank melakukan kegiatandi luar kewenangan yang telah diatur dalamanggaran dasar perusahaan, sedangkanbila tindakan pengurus telah sesuai dengankewenangannya maka merupakantanggungjawab perusahaan, dan bankbertanggungjawab terhadap kerugian yangditimbulkan oleh pengurusnya berdasarketentuan 1365 KUHPdt.

Dalam rangka memperoleh kembali danayang disimpannya juga dengan bunganyaapabila dimungkinkan, maka pada dasarnyanasabah merupakan pihak konkuren yangmendapat perhatian pertama untuk dibayardari hasil penjualan harta kekayan bank yangbersangkutan sebagaimana ditentukandalam PP 25/1999 ayat (2) huruf a. Sehingganasabah yang dirugikan oleh sebuah bankyang bermasalah dan dilikuidasi, dapatmeminta hak atas dananya denganmenggugat ke pengadilan, baik secaraclass action maupun perorangan.

Berkaitan dengan berakhirnya blanketguarantee, tampaknya Lembaga PenjaminSimpanan saat ini merupakan harapan untukperlindungan konsumen, sekaligusmeningkatkan kepercayaan masyarakatpada dunia perbankan. Dalam menerapkanLembaga Penjamin Simpanan di Indonesia,maka perlu memperoleh dasar hukum yangkuat. Sebenarnya dalam pasal 30 UU BankSentral No. 13/1968 telah disebutkan untuk

Page 54: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200448

menjamin uang pihak ketiga yangdipercayakan kepada bank, dapat diadakanasuransi deposito untuk tujuan pembinaankepercayaan masyarakat terhadapperbankan, sehingga lahirlah PP 34/1973tentang Jaminan Simpanan Uang padaBank.

Beberapa hal penting yang harusdiperhatikan berkaitan dengan penerapanLembaga penjamin Simpanan di Indonesiaadalah :

1. Besarnya premi yang harus dibayar olehtiap bank seharusnya sebanding denganbobot resiko. Dalam hal ini maka BImemiliki peran yang menentukan karenaBI mengetahui dengan pasti risikotersebut, khususnya pada bank-bankdalam kelompok berisiko.

2. Limit ganti rugi tiap negara bervariasi,sehingga harus cermat dalammenentukannya, sebab terkait denganbeban premi bagi nasabah asuransi danpada akhirnya berdampak padakenaikan suku bunga.

3. Perlu ada kewajiban bagi bank untuk ikutserta dalam asuransi deposito

Nasabah debitor seringkali dilupakan dalamhal perlindungan nasabah. Dalammelakukan penagihan piutang danpengelolaan aset kredit bermasalah,sebenarnya Badan Penyehatan Perbankannasional (BPPN) menggunakan berbagaipendekatan antara lain denganmengkategorikan debitor dalam 2kelompok, yaitu debitor kooperatif yangmasih mempunyai itikad baik dalammenyelesaikan kewajibannya, dansebaliknya ada debitor tidak kooperatif.

Terhadap debitor kooperatif maupunpemegang saham pada tahap awal diminta

kesanggupan yang dituangkan dalam Letterof Commitment yang intinya kesanggupanuntuk mengikuti dan memenuhi persyaratanrestrukturisasi utang yang akan dijalankanBPPN. Selanjutnya akan dilakukan uji tuntas(due diligence) terhadap prospek keuangan,aspek hukum dan penilaian aset.

Dalam kenyataannya ternyata perlindunganterhadap nasabah debitor yang kooperatifseringkali tidak diberikan. Beberapa kasusdi Surabaya menunjukkan banyak debitorkooperatif yang tidak terlindungi, walaupunsudah melakukan pelunasan hutang. DiPengadilan Negeri Malang terdapat 4gugatan nasabah debitor (Bank Duta)berkaitan dengan haknya yang tidakdipenuhi, antara lain surat-surat dan sertifikatyang menjadi jaminan belum dapat diambilwalaupun utang telah dibayar, atau bahkantidak ada yang menerima kewajibanpembayaran utang debitor. Dari kasustersebut ada perkara yang dimenangkanoleh pihak penggugat, akan tetapi tidakdapat dilaksanakan karena pengadilan sulituntuk menentukan kepada siapa harusdilaksanakannya keputusan tersebut,disebabkan BPPN telah dibubarkan.

Alternatif yang ditawarkan dalam mengatasimasalah karena adanya penolakan pihakpengelola sementara pada bankbermasalah untuk menerima pembayaranutang debitor yang kooperatif sehinggaberakibat kerugian debitor, makapemecahannya adalah denganmenggunakan ketentuan penawaranpembayaran tunai diikuti konsinyasi sesuaidengan pasal 1404 sampai dengan pasal1412 KUHPdt

Penawaran pembayaran tunai yang diikutioleh penyimpanan (konsinyasi) terjadiapabila dalam suatu perjanjian, kreditor tidak

Page 55: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200449

bersedia menerima prestasi yang dilakukanoleh debitor. Wanprestasi pihak kreditor inidisebut “mora kreditoris”. (Darus, 1983,171, dalam Sitorus, 1995, 61). Penawaransah bilamana telah memenuhi syarat bahwautang telah dibuat. Ini berarti bahwapenawaran hanya dikenal bila sudah adahubungan utang-piutang. Sehingga lembagakonsinyasi bersifat limitatif (Sitorus, 1994,tanpa halaman, dalam Sitorus, 1995, 61).

d. Payung Hukum bagi KemandirianBank Indonesia dan Kewenangandalam Pencabutan Izin Usaha,Pembubaran dan Likuidasi Bank

Masalah pencabutan izin usaha,pembubaran dan likuidasi bank di Indonesiaerat kaitannya dengan tugas, wewenang dantanggungjawab BI. Untuk dapatmelaksanakan berbagai tugas secaramaksimal, maka BI harus mandiri, bebasdari segala intervensi dan campur tanganpihak manapun, termasuk Pemerintah, jugadalam mengembangkan kebijakan“constructive ambiguity ”, yaitu suatukebijakan untuk mengumumkan atau tidakmengumumkan secara terbuka kondisi satuatau beberapa bank, mengambil tindakanatau tidak mengambil tindakan terhadap satuatau beberapa bank berdasarkan penilaianatau pertimbangan “bahaya atau tidaknya”tindakan yang akan diambil terhadapkelangsungan sistem perbankan. Kebijakanini sangat diperlukan dalam rangka memberikeleluasaan kepada BI untuk mengambiltindakan-tindakan tertentu yang menurutpenilaian BI sangat berguna untuk menjagakelangsungan sistem perbankan nasional.

Masalah umum ketika akan melikuidasisuatu bank, adalah apakah likuidasi bankcukup dilakukan menurut peraturanperundang-undangan yang berlaku umum

bagi pelaksanaan likuidasi sebuahperusahaan, atau perlu ada peraturantersendiri khusus bagi bank. Jika memangtelah diatur suatu peraturan yang khusustentang likuidasi bank, hal-hal apa saja yangperlu dicermati. Sebenarnya apa yangtertuang di dalam PP 25/1999 telahmemberikan landasan yang cukup untukmenampung adanya permasalahan terkaitdengan perbedaan bentuk badan hukumbank akan tetapi PP 25/1999 keberadaanyamempunyai kedudukan hukum yang lebihrendah dari undang-undang tiga badanhukum bank, yaitu UUPT, UUPD dan UUKoperasi.

PP 25/1999 apabila dicermati secaramendalam tampak menunjukkan jiwa badanhukum PT, seperti pada penggunaan istilahRUPS, Direksi dan komisaris, dimana haltersebut berbeda dengan yang diatur dalamUUPD dan UU Koperasi. Dengan demikianadalah merupakan kebijakan yang tepatuntuk dilakukan unifikasi bentuk badanhukum bank yang selama ini berbentukperusahaan daerah dan Koperasi menjadibentuk badan hukum bank yang tunggal, yaituPT.

1). Kedudukan Peraturan BankIndonesia (PBI) Dalam HirarkiPeraturan Perundang-undangan

Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalahsalah satu dari dua jenis peraturan dibidang perbankan yang lahir berdasarkanUndang-Undang No. 23/1999 tentang BI.Satu jenis peraturan lain yang juga disebutdalam undang-undang yang sama adalahPeraturan Dewan Gubernur. Oleh Undang-Undang No. 3/2004 tentang Perubahan atasUndang-Undang No. 23/1999 tentang BI,kedua jenis peraturan tersebut tidakmengalami perubahan.

Page 56: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200450

Sejak tahun 1999, BI telah menggunakanPBI sebagai instrumen hukumnya dalammenjalankan tugas dan wewenangannya.Berkembangnya PBI sebagai jenisperaturan yang digunakan oleh oleh BIdalam melaksanakan tugas danwewenangnya akhirnya menimbulkanpertanyaan hukum, khususnya ketikasengketa perbankan makin berkembang.Pertanyaan tersebut adalah bagaimanakahkedudukan PBI dalam Tata Urutan PeraturanPerundang-undangan di Indonesia ?.

Tata Urutan Peraturan PeraturanPertundang-undangan di Indonesiamemang tidak menyebutkan secaraeksplisit jenis peraturan yang disebut PBIsehingga menimbulkan persoalan tentangkedudukannya dalam tata urutan peraturanperundang-undangan. Akan tetapiberdasarkan fungsinya, PBI dapatmenempati kedudukan pada tata urutanperaturan perundang-undangan diIndonesia sederajat dengan PeraturanPemerintah (PP) dengan penjelasansebagai berikut:

1. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:”Presiden menetapkan PeraturanPemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.Ketentuan pasal ini dapat bermaknabahwa “Peraturan Pemerintah” adalahnama umum bagi peraturan yangditetapkan Presiden yang berfungsiuntuk menjalankan undang-undangsebagaimana mestinya. Untukmenjalankan undang-undangsebagaimana mestinya, Presiden harusmenetapkan peraturan pemerintah, baikyang tegas diperintahkan oleh undang-undang maupun tidak secara tegasdiperintahkan, yang berfungsi

pengaturan lebih lanjut pelaksanaanundang-undang.

2. Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalahnama peraturan yang diperintahkandengan tegas oleh Undang–Undang No.23/1999 tentang BI untuk melaksanakanundang-undang (tugas dan kewenangan)BI sebagai lembaga negara dan sebagaiBank Sentral sebagaimana mestinya.Dengan demikian, maka fungsi dari PBIadalah melaksanakan undang-undangsebagaimana mestinya, khusus dibidang perbank an sebagaimana fungsiPP melaksanakan undang-undang padaumumnya.

Dengan kata lain, PBI adalah sederajatdengan PP, khusus di bidangpelaksanaan kewenangan BI sebagaiBank Sentral sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang No. 3/2004tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23/1999 tentang BankIndonesia.

3. Sebagai lembaga negara yangindependen, bebas dari campur tanganPemerintah dan atau pihak-pihaklainnya, kecuali untuk hal-hal yang secarategas diatur dalam Undang-Undang No.23/1999 tentang BI, makakonsekuensinya di bidang pembuatanperaturan yang menjalankan undang-undang, tidak boleh pula ada campurtangan dari Pemerintah.

Agar terjaga dari campur tanganpemerintah, maka PBI harusditempatkan sederajat dengan PP.Penempatan PBI dibawah PP akanmembuka campur tangan pemerintahdalam pelaksanaan kewenangan BI.

4. Kedudukan BI sebagai Bank Sentral inidikuatkan oleh Perubahan Keempat

Page 57: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200451

UUD 1945. Ini menunjukkan bahwadimasa yang akan datang, politik hukumdi bidang perbankan akanmenempatkan BI sebagai LembagaNegara yang menjadi Bank Sentral yangmandiri bebas dari campur tanganpemerintah

2). Permasalahan Hukum Status,Tujuan, Tugas dan KewenanganBank Indonesia

Status BI, oleh Undang-Undang No. 23/1999ditetapkan pada pasal 4. Ketentuan pasalini menetapkan status BI sebagai BankSentral dan Lembaga Negara yangindependen dan sebagai Badan Hukumberdasarkan undang-undang. Bahkankedudukan Bank Sentral yang independenini dikuatkan dalam UUD 1945.

Dari status yang BI demikian ini, yaitu BIsebagai Lembaga Negara dan Bank Sentraldan merupakan badan hukum yangditetapkan dengan undang-undang, makawajar jika muncul pertanyaan yangkontroversial, “Apakah BI sebagai badanhukum dapat dimintakan pailit ?”

Untuk pertanyaan tersebut, harus melihat BIsecara tepat, proporsional dan utuh. Tidakhanya berdasar pada status BI sebagaibadan hukum, tetapi juga dari segi tujuan,tugas dan wewenangnya. Menurut pasal 7Undang-Undang No. 23/1999, BI sebagaiBank Sentral, sebagai Lembaga Negarayang independen dan sebagai BadanHukum berdasarkan undang-undang ini,tujuannya adalah untuk mencapai danmemelihara kestabilan nilai rupiah. Danuntuk mencapai tujuan tersebut, maka tugasdari BI ditetapkan.

Menurut pasal 8, BI mempunyai tugas:menetapkan dan melaksanakan kebijakan

moneter; mengatur dan menjaga kelancaransistem pembayaran; serta mengatur danmengawasi bank.

Dalam rangka melaksanakan tugasmengatur dan mengawasi banksebagaimana dimaksud dalam Pasal 8huruf c, BI berwenang, antara lain:

a. menetapkan peraturan;b. memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usahatertentu dari bank;

c. melaksanakan pengawasan Bank;d. mengenakan sanksi terhadap bank

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e. Dalam hal keadaan suatu Bank menurutpenilaian Bank Indonesiamembahayakan kelangsungan usahabank yang bersangkutan dan ataumembahayakan sistem perbankan atauterjadi kesulitan perbankan yangmembahayakan perekonomiannasional, BI dapat melakukan tindakansebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.

Kewenangan-kewenangan BI tersebut diatursecara terperinci mulai dari pasal 10 sampai35 Undang-Undang No. 23/1999 tentang BIsebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Berdasarkan gambarankewenangan sebagaimana diuraikan diatas nampak bahwa BI secara umummenjalankan tugas dan fungsi kewenanganpublik . Kewenangan tersebut sangat luasmeliputi pembuatan, pelaksanaan danpengawasan kebijakan serta penegakanperaturan. Berbagai kewenangan yangdiberikan kepada BI adalah dalam rangkapelaksanaan tugas BI sebagai Bank Sentralyang bertugas menjaga sistem perbankandan sistem perekonomian nasional. BI

Page 58: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200452

memang dinyatakan sebagai badan hukumdan melakukan tindakan-tindakan di bidanghukum privat, misalnya memberikan kreditatau pembiayaan. Namun tindakan-tindakanitu bukan semata-mata tindakan privat, tetapijuga berfungsi melaksanakan kewenanganpublik untuk menjaga sistem perbankan danperekonomian nasional.

Untuk memperkuat BI Sebagai BankSentral, eksistensi BI kemudian diatur dalamUUD 1945 hasil perubahan keempat. Pasal23D UUD 1945 menyatakan: ”Negaramemiliki suatu bank sentral yang susunan,kedudukan,kewenangan, tanggungjawabdan independensinya diatur dengan undang-undang“. Untuk melaksanakan perintah UUD1945 tersebut, maka dengan Undang-Undang No. 3/2004 tentang PerubahanUndang-Undang No. 23/1999 tentang BI,Status BI sebagai Bank Sentral danLembaga Negara yang independen, bebasdari campur tangan pemerintah, dansebagai Badan Hukum diatur lebih lanjut.Dengan demikian jelas bahwa status BIsebagai Bank Sentral, Lembaga Negaradan Badan Hukum yang diatur oleh undang-undang tentang BI tersebut adalah sebagairealisasi perintah UUD 1945. Karena itu, BItidak dapat dimintakan pailit berdasarkanalasan dan kepentingan privat sebagaimanabadan hukum privat lainnya.

2. Permasalahan Hukum yang MungkinDihadapi Bank Indonesia BilamanaMenggunakan Kepailitan pada BankBermasalah

a. Permasalahan Umum Kepailitan

Menggunakan sarana kepailitan bagi bankbukan masalah yang sederhana, karenadalam kenyataannya terdapat berbagaipermasalahan penggunaan upaya kepailitan

di Indonesia berdasar UU Kepailitan 4/1998yang berlaku secara umum, yaitu:

1). Kelemahan UU Kepailitan No. 4/1998

Dilihat dari sejarah kehadirannya yang penuhkontroversial, maka dapat dipahami apabilaUU ini memiliki beberapa kelemahan.Beberapa kelemahan tersebut adalah UUKepailitan yang berlaku saat ini merupakanproses “pencangkokan” antara peraturanlama dengan pemikiran baru dalam hukumacara yang khusus, sehingga dalampenerapannya terdapat hal-hal yang tidakjelas pengaturannya dan menimbulkanberbagai interpretasi dan bahkankekosongan hukum untuk penyelesaiannya(Lotulung, 2003, 7). Disamping itu, pasal 2ayat (1) UU No. 4/1998, yang memberikewenangan hanya kepada PengadilanNiaga untuk memeriksa dan memutuskanperkara kepailitan, juga dalam menanganikemungkinan kasus lain yang munculsetelah debitor dinyatakan pailit, akanmenimbulkan masalah yang lain.

2). Masalah prosedural dalam penerapanUU Kepailitan

Penggunaan Kepailitan dan PenundaanKewajiban Penundaan Utang (PKPU)sebenarnya telah lama diatur (sejak 1905),akan tetapi dalam praktek peraturantersebut jarang dipergunakan dandimanfaatkan oleh para pencari keadilan,sehingga pengalaman dalam mengadilikasus kepailitan sangat minim dibandingdengan kasus perdata lainnya. Hal iniberakibat perkembangan hukum kepailitandalam teori dan praktek tidak mengalamikemajuan yang berarti. Beberapapermasalahan yang terkait dengan prosedurkepailitan adalah (Lotulung, 2001, 61-62) :

Page 59: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200453

a. Berkaitan dengan ketentuan pasal 7 UUKepailitan yang menyangkut tentangadanya kemungkinan untuk memohonsita jaminan terhadap sebagian atauseluruh aset debitor selama prosesberjalan sebelum debitor dinyatakanpailit melalui putusan pengadilan.

b. Apakah dapat dilakukan ketentuanpemanggilan pihak-pihak yangbertempat tinggal jauh diluar wilayahhukum pengadilan niaga, atau di luarnegeri dengan mempergunakan hukumacara biasa yang berbeda denganprosedur acara kepailitan.

c. Berkaitan dengan ketentuan pasal 83 UUKepailitan yang menentukan bahwapelaksanaan terhadap harta pailit tetapberlaku dan mempunyai kekuatan hukumsekalipun ada upaya hukum yangkemudian membatalkan putusan tentangpernyataan pailitnya. Sehinggamenimbulkan masalah siapa yang akandigugat berkaitan dengan kerugian yangtelah terjadi, dan berupa apa perlindunganhukum kepada debitor yang dibatalkanputusannya sedang aset telah dieksekusibahkan telah dikuasai secara benar olehpihak ke-3 ?

d. Ayat (4) pasal 217 UU Kepailitan yangmenentukan tenggang waktu maksimumadalah 270 hari untuk penangguhan ataupenundaan pembayaran utang bagidebitor. Penundaan waktu dapat menjadikendala bagi upaya penjadwalankembali atau upaya lain.

3). Ketidakpercayaan pada PeradilanNiaga

Masalah pertama adalah tidak adaketentuan tentang subjek dan objeksengketa yang dapat dipersengketakan di

Pengadilan Niaga, sehingga menjadimasalah kompetensi antar pengadilan.Selain itu putusan Pengadilan Niaga seringtidak dapat dilaksanakan, karena belum adaaturan hukum yang jelas dalammenyikapinya. Seharusnya akibat kepailitanadalah dilakukannya peletakan aset debitordalam penyitaan umum, atau berpindahnyahak kepengurusan dan pemberesan asetpailit tersebut kepada kurator seketikasetelah debitor tersebut dinyatakan pailit(pasal 12 ayat (2) UU No. 4/1998), akantetapi banyak debitor tidak peduli, dan hakimpengawas tidak berjalan. Hal ini diperburuklagi dengan keengganan Pengadilan Niagauntuk menggunakan Lembaga PaksaBadan.

Pasal 284 (1) UU No. 4/1998 mengaturbahwa “kecuali ditentukan lain dengan UU,hukum acara perdata yang berlakuditerapkan pula terhadap peradilan niaga”.Dengan demikian hukum acara yangdipergunakan umum adalah Hukum AcaraPerdata yang diatur dalam HIR/RBG. Akantetapi karena telah ada 2 UU yang menunjukperadilan niaga sebagai lembagapenyelesaian sengketa, yaitu UU Kepailitandan UU tentang HAKI, maka dimungkinanterdapat perbedaan, antara lain adalahmasalah waktu.

Sistem pembuktian di Pengadilan Niagaadalah bersifat sederhana, sehingga azasyang dianut dalam menyelesaikan perkaraadalah azas cepat, adil, terbuka dan efektif.Akan tetapi hakim di Pengadilan Niagasering menolak permohonan pailit denganalasan perkara yang diajukan adalahperkara perdata biasa. Permasalahanselanjutnya adalah sering terjadi putusanyang berbeda antara putusan PeradilanNiaga dengan putusan tingkat kasasi atauPK dengan perbedaan dasar pembuktian.

Page 60: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200454

Putusan-putusan pada peradilan niagamenunjukkan bahwa asas nebis in idembelum dipermasalahkan, sehingga ditemuiadanya permasalahan yang sama diajukanke Pengadilan Niaga yang sama.

Disamping hal-hal di atas kelemahanPengadilan Niaga juga dapat ditelusuri darisisi SDM (Sumber Daya Manusia), yangmeliputi pencari keadilan, lembagaperadilan (hakim dan perangkatnya), sertapengacara.

b. Faktor yang Harus MenjadiPertimbangan bagi BI untukMengajukan Kepailitan pada Bankyang Bermasalah

UU Kepailitan telah memberi “hak khusus”bagi BI sebagai pihak yang memiliki otoritaspengajuan kepailitan pada bank. Hal diatassangat beralasan karena bank sebagailembaga perantara yang mengerahkandana masyarakat dan menyalurkannyakembali, apabila telah memiliki izin usaha,bank bukan lagi milik pemegang saham,akan tetapi juga milik masyarakat. Dalamrangka pemberian hak khusus tersebutharus dilakukan secara proposional, sebabdari hal inilah seringkali timbul permasalahankarena dalam kenyataannya bank-bank diIndonesia “kebal pailit”. Bahkan Simanjuntak(2002, 9) dengan tajam menyatakan BIbersikap arogan dan gagap dalammenyikapi permohonan pailit yang diberikanpasal 1 ayat (3) UU No. 4/1998 Kepailitankepadanya. Hal ini tampak ketika BI jelas-jelas menolak mempailitkan Bank Danamonpadahal upaya damai yang telah dirintis dandiupayakan kepada kedua bank yangbertikai tidak membuahkan hasil.

Otoritas BI untuk mengajukan permohonanpailit bagi bank bermasalah, diatur dalampasal 2 ayat (3) UU No. 4/1998, yang

menyatakan :”Dalam hal debitor adalahbank, permohonan pernyataan pailit hanyadapat diajukan oleh Bank Indonesia”.Sehubungan dengan masalah kepailitan,selanjutnya terdapat aturan tentangpemohon kepailitan, yang termasuk jugabagi BI, sebagaimana disebutkan dalampasal 9 ayat (1), “Selama putusan ataspermohonan pernyataan pailit belumdiucapkan, setiap kreditur, Kejaksaan, BankIndonesia, Badan Pengawas Pasar Modal,atau Menteri Keuangan, dapat mengajukanpermohonan kepada Pengadilan untukmeletakkan sita jaminan terhadap sebagianatau seluruh kekayaan debitor; ataupembayaran kepada kreditur, pengalihan,atau pengagunan kekayan debitor yangdalam kepailitan merupakan wewenangkurator.

Ketentuan lain yang terkait dengan kepailitanbank, dapat dijumpai pada pasal 9 ayat (3)UU No. 7/1992, yang menyatakan: “Dalamhal bank mengalami kepailitan, semua hartayang dititipkan pada bank tersebut tidakdimasukkan dalam harta kepailitan danwajib dikembalikan kepada penitip yangbersangkutan”.

Ketentuan hukum tersebut cukup kuatsebagai landasan hukum bagi BI untukmengajukan kepailitan bagi bankbermasalah. Problematika pertama yangtimbul berkaitan dengan kewenangantersebut adalah: bagaimana gambaransingkat UU Kepailitan berkaitan denganotoritas BI untuk mengajukan kepailitan bagidebitor yang merupakan bank? Selanjutnyaadalah siapa saja yang sebenarnya berhakmengajukan kepailitan bagi bank? Danpermasalahan terakhir terkait dengankewenangan tersebut adalah mengapasampai saat ini BI belum pernah mengajukankepailitan bagi bank bermasalah?

Page 61: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200455

Mengingat UU Kepailitan merupakanpencakokan (Lotulung, 2003) antaraperaturan lama dan pemikiran-pemikiranbaru dengan hukum acara yang khusus,maka penerapannya harus disinergikandengan teori atau doktrin ilmu hukum,(melalui penalaran atau legal reasoning) danketentuan yurisprudensi, secara sistematisdan runtut, sehingga dapat diketemukanpemecahan hukumnya (rechtvinding). Bilahal tersebut dapat dilakukan, maka putusanhukum dapat diterima penalarannya secarayuridis, filosofis dan sosiologis. Sayang halini tidak dapat dilakukan karena padakenyataannya yurisprudensi yang ada dalambeberapa hal, justru berbeda satu sama laindan sering berubah alur pemikirannyasehingga belum dapat menjadi pegangan,dan hal ini sering dianggap UU Kepailitanyang memiliki banyak kelemahan.

Apakah dimungkinkan pihak selain BIuntuk mengajukan kepailitan pada bankbermasalah? Dengan melihat otoritas yangdiberikan oleh UU Kepailitan No. 4/1998maka berbagai masalah yang terkait harusdituntaskan. Masalah pertama adalah yangdalam bahasa hukum dikatakan sebagaitidak sesuainya antara das sollen dengandas sein, dimana secara teori bank dapatdimohonkan pailit akan tetapi menurutpraktik bank kebal pailit. Hal ini bermaknatidak memberikan kepastian hukum atassuatu peraturan perundang-undangan.Apalagi hal ini memungkinkan adanya faktortertentu yang memanfaatkan otoritastersebut. BI tidak pernah menjadi pihakdalam perjanjian kredit antara kreditur dandebitor, kecuali BI memberikan KreditLikuiditas Bank Indonesia maupun BantuanLikuiditas Bank Indonesia (Sjahdeini, 1997,20, dalam Hariningsih, 2002, 34). Hal inidikatakan Hariningsih (2002, 34-35) sebagai

pemberlakukan standar ganda, karena UUKepailitan mengatur bank sebagai krediturdalam menghadapi debitor non bank dapatmandiri menjalankan haknya untukmengajukan permohonan pailit, akan tetapiapabila debitor adalah bank haknya menjadihilang. Untuk mengatasi permasalahandiatas, maka dengan berpedoman bahwaBI sebagai bank sentral dengan segalakewenangannya, maka sudah seharusnyahanya BI saja yang berhak untuk mengajukankepailitan bagi bank bermasalah. Akantetapi tidak menutup kemungkinan tindakanBI dilakukan atas permintaan pihak lain.

Untuk itu adalah sebuah tindakan yangbijaksana apabila dibuat sebuah daftartindakan yang memberikan pedoman kapanBI dapat mengajukan kepailitan pada bankbermasalah, baik dalam kedudukannyasebagai pihak bank sentral ataumenfasilitasi kepentingan pihak lain. Artinyaapabila bank selaku kreditur inginmempailitkan bank lain selaku debitor harusmendapat izin dari Bank Indonesia selakupemegang otoritas. Hal ini seperti yangtercantum dalam chapter 7 BankruptcyReform Act (Bankruptcy Code) yangmenyatakan bahwa bank sebagai debitormemang tidak dapat menyatakan dirinyapailit, akan tetapi suatu bank tetap dapatdimintakan pailit oleh nasabah kreditur(Hariningsih, 2002, 35).

Selanjutnya adalah sangat dimungkinkanpula apabila dikaitkan dengan kewenanganjaksa mengajukan permohonan pernyataanpailit dengan alasan untuk kepentinganumum, akan tetapi tetap dengan melewatisatu jalur yaitu izin dari BI. Dengan demikianakan mengaktifkan kegiatan pihakkejaksaan dalam melakukan pemantauanterhadap perusahaan, dalam hal ini bank,dalam menjalankan usahanya.

Page 62: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200456

Masih terkait dengan otoritas BI sebagaipihak yang berhak mengajukan kepailitan,maka adanya pengecualian untuk bank yangtelah go-public pengajuan kepailitandilakukan oleh BAPEPAM adalah hal yangkurang tepat. Sebab untuk menentukanapakah sebuah bank bermasalah dandiadakannya tindakan atas bank tersebut,hanya BI memiliki kewenangan untukdilakukannya “punishment”, sehinggakewenangan BAPEPAM akan mengurangiotoritas BI terhadap bank yang berada diwilayah pengawasan dan pembinaannya.

Mengapa sampai saat ini BI belum pernahmengajukan kepailitan bagi bankbermasalah ? Otoritas BI untuk menjadipihak yang mengajukan kepailitan bagi bankbermasalah ternyata sampai saat ini belumpernah dilakukan, sehingga memunculkanberbagai asumsi. Apakah bank-bank diIndonesia “kebal pailit” (Simanjuntak, 2002,9, adanya faktor “X”, sehingga hanya BIyang dapat memanfaatkan otoritas tersebut,atau terdapat double standard. Pertama, BItidak pernah menjadi pihak dalam perjanjiankredit antara kreditur dan debitor, kecuali BImemberikan KLBI maupun BLBI dan kedua,juga dalam ketentuan UU Kepailitan yangmengatur bank sebagai kreditur dalammenghadapi debitor non bank, dapatmandiri menjalankan haknya untukmengajukan permohonan pailit, akan tetapiapabila debitor adalah bank, haknyamenjadi hilang (Hariningsih, 2002, 34-35);ketiga, pengecualian bagi bank yang telahgo public pengajuan kepailitan olehBAPEPAM tidak tepat. Seharusnya BI lebihproaktif melindungi masyarakat dengan caramengaktualisasikan kewenangan kejaksaanmengajukan permohonan pailit denganalasan untuk kepentingan umum, dengantetap melewati satu jalur, yaitu BI.

a. Alasan Mengajukan Kepailitan PadaBank

Alasan utama untuk diajukannya kepailitanbagi perbankan adalah berkaitan dengankepentingan umum dan masyarakat.Kepentingan umum adalah kepentinganbangsa dan negara dan atau kepentinganmasyarakat luas, sehingga termasukdiantaranya adalah debitor mempunyaiutang kepada BUMN atau badan usaha lainyang menghimpun dana dari masyakat luas,atau debitor mempunyai utang yang berasaldari dari penghimpunan dana masyarakatyang luas.

Akan tetapi untuk menentukan apakahkepentingan umum dan masyarakat sudahdilanggar, perlu adanya parameter yangjelas. Untuk hal inilah maka perludipertimbangkan apakah tingkat kesehatanbank dan pelanggaran atas prinsip kehati-hatian dapat dijadikan acuan sebagaimanadalam melakukan tindakan pencabutan izinusaha, pembubaran dan likuidasi bank.

Dalam UU Kepailitan, ketentuan tentangdebitor, termasuk sebuah bank dikatakanbermasalah dapat disimpulkan dariketentuan kepailitan yang terdapat padaPasal 2 ayat (1), yang menyatakan “debitoryang mempunyai dua atau lebih kreditur dantidak membayar lunas sedikitnya satu utangyang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,dinyatakan pailit dengan putusan pengadilanyang berwenang, baik atas permohonannyasendiri maupun atas permohonan satu ataulebih krediturnya”. Unsur-unsur debitorbermasalah, sebenarnya cukup sederhana,yaitu: debitor mempunyai dua atau lebihkreditur. Atau tidak membayar lunassedikitnya satu utang yang telah jatuh waktudan dapat ditagih.

Page 63: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200457

Bilamana debiturnya sebuah bank, makaada beberapa paradigma yang perludipertimbangkan, antara lain fungsi banksebagai pihak yang menghimpun dana darimasyarakat yang memiliki kelebihan dana,serta menyalurkan kepada masyarakat yangmembutuhkannya, namun sebagai debitoryang mungkin bermasalah tentunya harusdapat dimintai pertanggungjawabannyaagar tidak menjadi preseden bagi parapengelola (banker) untuk ikut tidakbertanggungjawab.

Pertimbangan tentang fungsi bank untukmenjaga stabilitas ekonomi nasional, dimasa krisis ekonomi sebagaimana yangterjadi dewasa ini, menjadikan BImemegang prinsip kehati-hatian yang terlaluberhati-hati, sehingga mengabaikan tingkatkesehatan bank yang memang sudahsangat krisis, sehingga terkesan melindungibank sebagai debitor yang tidak mampulagi.

Bilamana diingat bahwa pengertian fallereadalah menipu, sedangkan pengertian kreditadalah kepercayaan, maka debitor harusdapat dipercaya kreditur yang telahmemberikan piutangnya. Jelas bahwa BIharus memiliki keberanian untukmelaksanakan ketentuan undang-undangdengan mengajukan permohonan kepailitanbagi debitor bermasalah, yang telah menipu(fellere = pailit), sehingga selainmemberikan pendidikan juga meningkatkankredibilitas BI sendiri selaku bank sentral.

b. K e u n t u n g a n d a n K e r u g i a nPenggunaan Kepai l i tan BagiBank

Keuntungan bagi nasabah, para kreditur ataumasyarakat umum antara lain: mengurangipraktik-praktik curang yang dilakukan olehbank, mengurangi munculnya bank-bank

baru yang hanya berorientasimengumpulkan keuntungan tanpamemperhatikan hak orang lain atau peraturanyang berlaku. Sedang bagi bank antara lain:masih memiliki kesempatan untukmeneruskan usahanya, menjaga nama baik(pemilik, pengurus dan pihak III yang secaralangsung maupun tidak langsung terlibatdalam usaha yang bersangkutan),menumbuhkan/memperkuat kepercayaanmasyarakat kepada dunia perbankan.Adapun bagi pemerintah: melalui BI dapatmenimbulkan kepercayaan akan peran danfungsi BI, sebagai sarana penegakanhukum, serta melindungi masyarakat daripermainan curang lembaga perbankan.

Adapun kerugiannya adalah: hilang ataukurangnya kepercayaan masyarakatterhadap lembaga perbankan apalagi jikapengelolaan kurang profesional.

C. Kesimpulan dan Saran

Terkait dengan likuidasi bank, maka dapatdisimpulkan:

1. Likuidasi adalah proses setelahdibubarkannya badan hukum bank,dengan demikian pengertian “likuidasi”sebagaimana yang tercantum pada PP25/1999 dan SK Direksi BI yangmenyatakan likuidasi adalah setelahpencabutan izin usaha tidak dapatdibenarkan karena bertentangan denganUUPT dan UU Perbankan. Penggunaanistilah Bank Dalam LikuidasiSementara (BDLS) dapatdipergunakan mulai saat ditutupnyaoperasional bank (dapat dengan istilahBBKU atau BBO), dicabutnya izin usaha,dibubarkannya badan hukum danpemberesan.

Page 64: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200458

2. Dalam proses likuidasi dimanakeberadaan TPS yang mengambil alihtugas pengurus/direksi dengan hanyaberdasar kepada SK Direksi BI,bertentangan dengan UUPT, UUPD danUU Koperasi.

3. Secara de jure, badan hukum bankdianggap bubar apabila memenuhipersyaratan seperti yang diatur dalamUUPT, UUPD dan UU Koperasi, dansecara de facto badan hukum bankdianggap sudah tidak ada bila timlikuidasi telah menyelesaikan semuatugasnya secara tuntas, sehingga tidakterdapat lagi hak dan kewajiban.

4. Permasalahan utama ketidakpastiandalam likuidasi bank adalah adanyaberbagai bentuk badan hukum bank,yaitu PT, PD atau Koperasi. SedangkanPP 25/1999 yang menjadi dasar bagisemua bentuk badan hukum ternyatamengarah kepada bentuk badan hukumPT, sehingga apabila diterapkan padaPD dan Koperasi akan menunjukkanketidak konsistenan. Selain hal tersebutPP 25/1999 secara hirarki memilikikedudukan yang tidak kuat karena dalambentuk PP.

5. Perlu dibentuk lembaga khusus berdasarundang-undang yang berfungsimengambil alih peranan RUPS setelahdicabut izin usaha untuk mengantisipasitidak terlaksananya pembubaranperseroan.

6. Disamping kekuatan hukum tidak kuat,materi juga belum lengkap, antara lainpada proses beracara di seluruh tingkatperadilan, sehingga menimbulkanketidakpastian dan menghambat prosespenyelesaian likuidasi bank secaratuntas.

7. Bank dengan berbagai bentuk badanhukum merupakan badan usaha yangmemiliki karakteristik khusus, sehinggalikuidasi bank tidak dapat dipersamakandengan prosedur yang berlaku umum.Diperlukan sebuah peraturanperundang-undangan khusus yangmerupakan lex specialis terhadapketentuan yang bersifat umum khususuntuk likuidasi bank, agar pelaksanaanpencabutan izin usaha, pembubaranbadan hukum, dan likuidasi bank berlakubagi semua bentuk badan hukum bankserta berjalan dengan efektif dan efisien.

8. Perlindungan hukum bagi nasabah belumtampak tertuang dalam peraturan yangterkait dengan likuidasi, sehingga harusdicari dari peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya dari UUPerlindungan Konsumen, atau segeradiundangkannya RUU LPS.

9. Selama UU mengenai likuidasi belumterbentuk, maka payung hukum bagi BIdapat menggunakan bentuk PeraturanBank Indonesia (PBI), karena PBI dapatdikategorikan sebagai bentuk khususdari PP, sehingga walau tidak tercantumdalam hirarki peraturan perundang-undangan tetap memiliki kekuatan yangsama.

Saat ini likuidasi tetap menjadi pilihan yanglebih baik dibandingkan kepailitan jikaditinjau dari :a. Aspek penyelamatan aset bankb. Kelemahan secara umum pada UU

Kepailitanc. Ketidakpercayaan pada Pengadilan

Niagad. Kualitas SDM kurang

Selain hal diatas, dapat pula disimpulkanbahwa dalam melaksanakan

Page 65: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200459

kewenangannya, BI sebagai lembaganegara yang mempunyai fungsi publik tidakdapat dipailitkan.

B. Saran

1. Segera diadakan penyempurnaan materiPP No. 25/1999 dan peningkatan dalambentuk undang-undang.

2. Segera dilaksanakannya amanat Pasal37 UU No. 10/1998 yang mengaturtentang keberadaan LPS agarditetapkan dalam bentuk UU.

3. Diperlukan adanya penyeragamanatau unifikasi bentuk badan hukum Bankmenjadi PT, karena adanya 3 bentukbadan hukum bank menimbulkanberbagai persoalan hukum.

4. BI sebaiknya tetap berhati-hati dalammenggunakan upaya kepailitan selamabelum ada perubahan pada UUkepailitan, sehingga likuidasi merupakanexit policy yang lebih tepat dibandingkanpenggunaan lembaga kepailitan.

Page 66: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200460

I. PENDAHULUAN

Sektor perbankan di Indonesia memilikiperan yang sangat strategis dalamperekonomian, mengingat peranannyasebagai lembaga intermediasi danpenunjang sistem pembayaran. Terlebih lagiperbankan masih mendominasi sektorkeuangan Indonesia. Oleh karena itu,pemerintah menaruh perhatian yang besarterhadap kebijakan pengaturan danpengawasan bank, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini, yaitu setelah terjadinyakrisis perbankan. Salah satu pelajaranpenting yang dapat ditarik dari krisisperbankan adalah bahwa kegagalan suatubank, apalagi yang berdampak sistemik,mengakibatkan tingkat kepercayaanmasyarakat kepada sistem perbankannasional menjadi sangat menurun, selain ituberakibat pula pada terganggunya kegiatanperekonomian.2

Berdasarkan Pasal 24 UUBI3, BankIndonesia adalah otoritas perbankan yangkewenangannya meliputi: menetapkanperaturan (power to regulate), memberikandan mencabut izin atas kelembagaan dankegiatan usaha tertentu dari bank (power tolicense)4, melaksanakan pengawasan bank(power to supervise) dan mengenakansanksi terhadap bank ( power to imposesanction). Selaku otoritas perbankan, makakebijakan pengaturan dan pengawasanbank yang dirumuskan dandiimplementasikan oleh Bank Indonesiabertujuan untuk mengupayakan terciptanyaindividual bank yang sehat yang padagilirannya mendukung sistem perbankanyang sehat.5 Dengan demikian, ada duadimensi yang harus tercakup dalampenyelenggaraan kebijakan perbankan,yaitu fokus terhadap individu bank dan fokusterhadap sistem perbankan nasional.6

KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM LIKUIDASI DAN KEPAILITAN BANKTERKAIT DENGAN RUU LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) SERTA RUUKEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (KPKPU)*

Oleh: Agus Santoso, S.H., LL. M.1

*) Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional “Kepailitan dan Likuidasi Bank” yangdiselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, di Surabaya, pada tanggal 4 Oktober 2004.1 Peneliti Hukum Senior pada Direktorat Hukum Bank Indonesia2 Kajian-kajian mengenai keterkaitan antara tingkat kesehatan sektor perbankan dengan kestabilanperekonomian, serta analisis yang mengemukakan rusaknya perekonomian sebagai akibat dari tidak sehatnyasektor perbankan dapat dilihat di situs IMF http//www imf.org3 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 20044 Sebelum berlakunya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, otoritas yang mempunyai power tolicense adalah Menteri Keuangan.5 Bagian yang juga sangat penting dalam rangka mengupayakan terciptanya bank dan system perbankanyang sehat adalah kualitas dan integritas pemegang saham pengendali, pengurus, dan pegawai bank,serta iklim usaha yang kondusif.6 Sistem perbankan dapat diartikan sebagai kumpulan dari lembaga, kegiatan usaha, serta cara dan prosespelaksanaan kegiatan usaha yang memungkinkan bank melaksanakan fungsinya dengan baik.

Page 67: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200461

Dalam menjalankan usahanya, tidak tertutupkemungkinan suatu bank akan menghadapipermasalahan. Dalam tulisan ini, ada 3 (tiga)permasalahan yang dihadapi bank yangakan dibahas adalah apabila permasalahanyang dihadapi bank tergolong sebagai“kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya” (vide Pasal 37ayat (1) UU Perbankan7), “keadaan suatubank yang dapat membahayakan sistemperbankan” (vide Pasal 37 ayat (2) UUPerbankan), atau “bank selaku debitor tidakmembayar utang yang telah jatuh waktu dandapat ditagih” (vide Pasal 1 ayat (1) jo ayat(3) UU Kepailitan 19988 dan Pasal 2 ayat(1) jo ayat (3) RUU KPKPU9). Dalam hal yangdemikian itu, langkah apa saja yang perluditempuh oleh Bank Indonesia?

II. PENCABUTAN IZIN USAHA DANPROSES LIKUIDASI BANK

Sesuai dengan amanat UU Perbankan danUUBI, agar sistem perbankan dapatberperan secara maksimal dalamperekonomian nasional, maka arahkebijakan di sektor perbankan bertujuan

agar hanya bank yang sehat saja yang dapatterus eksis berusaha dalam sektorperbankan nasional10, sedangkan bank yangmengalami “kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya”11 dan tidak dapatdiselamatkan lagi, dan atau “keadaan suatubank yang membahayakan sistemperbankan”12, maka bank tersebut haruskeluar dari sistem perbankan (exit policy).Dalam hal terjadi kondisi yang demikian itu,Bank Indonesia, secara atributif, diberikewenangan oleh UU untuk mencabut izinusaha bank yang bersangkutan.13

Namun demikian, dalam prakteknya,pencabutan izin usaha bank adalah pilihankeputusan yang terakhir. Pasal 37 ayat (1)UU Perbankan mengamanatkan agar BankIndonesia terlebih dahulu mengupayakantindakan penyelamatan bank yangmengalami kesulitan yang membahayakankelangsungan usahanya sebelum bank yangbersangkutan harus “exit” dari sistemperbankan. Apabila tindakan penyelamatanyang telah diupayakan belum cukup untukmengatasi kesulitan yang dihadapi bank dan

7 UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998.8 UU No.4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang.9 RUU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (KPKPU) disahkan dalam Rapat ParipurnaDPR-RI bersama Pemerintah pada tanggal 22 September 2004 untuk mencabut dan menggantikan UUKepailitan 1998.10 Lihat Pasal 29 ayat (20 UU Perbankan: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank … dstnya”.Lihat juga penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan. Pada alinea terkahir dikatakan: “Mengingat bankterutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiapbank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya”.11 Lihat Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan: “Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitanyang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usahabank semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas asset, likuiditas,dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asasperbankan yang sehat”.12 Lihat penjelasan Pasal 37 ayat (2) UU Perbankan: “Kriteria membahayakan sistem perbankan yaituapabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan usaha, suatu bank tidak mampu memenuhikewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantaikepada bank-bank lain.”13 Lihat Pasal 37 ayat (2) UU Perbankan jo Pasal 26 UU BI. Lihat juga Pasal 31 ayat (1)RUU LPS

Page 68: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200462

atau menurut penilaian Bank Indonesiakeadaan suatu bank dapat membahayakansistem perbankan, maka barulah suatu bankharus “exit” dari sistem perbankan. Bahkanpada masa masih eksisnya BadanPenyehatan Perbankan Nasional (BPPN),masih ada proses penyehatan sistemperbankan melalui tahap Bank Beku Operasi(BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha(BBKU) yang hasilnya adalah bank hasilmerger dan bank yang direkomendasikanuntuk dicabut izin usahanya. Ke depan,dengan adanya Lembaga PenjaminSimpanan (LPS)14, apabila tindakanpenyehatan yang ditempuh Bank Indonesiaatas dasar Pasal 37 ayat (1) UU Perbankantidak berhasil, maka LPS masihdimungkinkan untuk melakukan tindakanpenyelamatan terhadap bank dimaksud.

Sebagai konsekuensi yuridis dicabutnya izinusaha suatu bank, maka tamatlah sudahriwayat bank tersebut. Secara yuridis, banktersebut tidak dimungkinkan untuk hidupkembali. Sebagai tindak lanjutnya, UUPerbankan memerintahkan untukdilakukannya proses likuidasi bank danmemerintahkan direksi bank untuk segeramenyelenggarakan Rapat UmumPemegang Saham guna membubarkanbadan hukum bank dan membentuk timlikuidasi.15

Oleh karena itu, penting untuk membedakanantara kewenangan Bank Indonesia untukmencabut izin usaha bank (exit policy) dalamrangka melaksanakan otoritasnya selakupemegang power to license karena banktidak dapat memenuhi standar minimalprudential rules disatu pihak dengan proseslikuidasi yang diperintahkan oleh UUPerbankan untuk keperluan menyelesaikanseluruh hak dan kewajiban bank sebagaiakibat dari dicabutnya izin usaha danpembubaran badan hukum bank di pihaklain.16

Patut ditegaskan bahwa kewenanganmencabut izin usaha adalah kewenanganyang diatribusikan oleh UU BI jo UUPerbankan kepada Bank Indonesia yangmerupakan kewenangan diskresionerkarena suatu bank telah gagal memenuhiketentuan prudential standards yangditetapkan, sedangkan likuidasi adalah caraatau proses yang diperintahkan UUPerbankan untuk menyelesaikan hak dankewajiban bank. Jadi, pencabutan izin usahabank merupakan exercise atas kewenanganhukum publik yang diberikan UU kepadaBank Indonesia selaku otoritas perbankan.Sedangkan likuidasi dipilih oleh pembentukUU Perbankan sebagai proseskeperdataan untuk mengakhiri(membubarkan) badan hukum bank dan

14 Pembentukan LPS diamanatkan dalam Pasal 37 B UU Perbankan. Dalam pasal tersbut, LPS diamanatkanuntuk dibentuk dengan Peraturan Pemerintah, namun DPR RI dan Pemerintah kemudian berpendapatbahwa LPS perlu diatur dalam tingkatan perundangan yang lebih tinggi, yaitu UU. RUU Lembaga PenjaminSimpanan (LPS) disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI bersama Pemerintah pada tanggal 24 Agustus2004.15 Pasal 37 ayat (2) UU Perbankan jo Pasal 26 huruf (a)UU BI. Lihat juga ayat (3) pasal: “Dalam hal Direksibank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaranbadan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku”.16 Lihat Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 1999.

Page 69: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200463

menyelesaikan hak dan kewajiban bank,termasuk menjual aset, menagih piutang danmembayar utang, dengan tujuan agarnasabah penyimpan dana pada bankterlindungi haknya. Berdasarkan Pasal 37ayat (2) UU Perbankan, pencabutan izinusaha, pembubaran badan hukum bank, danproses likuidasi merupakan satu rangkaian.Perintah UU Perbankan mengenaidiberlakukannya proses likuidasi terhadapbank yang telah dicabut izin usahanyadijabarkan lebih lanjut dalam Peraturanpemerintah (PP) No.25 Tahun 1999 tentangPencabutan Izin Usaha, Pembubaran danLikuidasi Bank, dan belum lama ini pilihantentang proses likuidasi bank itu lebihdiperkuat dengan disahkannya RUU LPSdalam Sidang Paripurna DPR-RI. Padatanggal 24 Agustus 2004.

Sebagaimana dimaklumi, RUU LPSmengatur ketentuan mengenai likuidasi bankdi dalam Bab VI. Dengan dicantumkannyaproses likuidasi dalam RUU LPS, makaketentuan mengenai likuidasi bank sudahmenjadi lex specialis . Beberapa pasaldalam RUU LPS yang dapat dikemukakanantara lain:

• Pasal 53: “Likuidasi bank dilakukandengan cara: (a) pencairan asset danatau penagihan piutang kepada para

debitor diikuti dengan pembayarankewajiban bank kepada para kreditur darihasil pencairan dan atau penagihantersebut; (b) pengalihan asset dankewajiban bank kepada pihak lainberdasarkan persetujuan LPS”.

• Selanjutnya Pasal 43 mengatur pulabahwa LPS bertindak selakulikuidator 17, yaitu: “Dalam rangkamelakukan likuidasi Bank Gagal18 yangdicabut izin usahanya, LPS melakukantindakan sebagai berikut: (a) melakukankewenangan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 6 ayat (2)19; (b) memberikantalangan untuk pembayaran gaji pegawaiyang terutang dan talangan pesangonpegawai sebesar jumlah minimumpesangon sebagaimana diatur dalamperaturan perundang-undangan; (c)melakukan tindakan yang diperlukandalam rangka pengamanan asset banksebelum proses likuidasi dimulai; (d)memutuskan pembubaran badan hukumbank, membentuk tim likuidasi, danmenyatakan status bank sebagai bankdalam likuidasi, berdasarkan kewenangansebagaimana dimaksud pada huruf (a)”.

Memang, pengalaman selama inimenunjukkan bahwa penyelesaian melaluilikuidasi tidak menunjukkan hasil yang

17 Di USA, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) bertindak sebagai receiver (likuidator).18 Pasal 1 angka 7 RUU LPS memberikan pengertian Bank Gagal ( failing bank ) sebagai bank yangmengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidakdapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Bank (dalam hal ini, sebelum terbentuknya LembagaPengawas Jasa Keuangan, yang dimaksud adalah Bank Indonesia) sesuai dengan kewenangan yangdimiliki. Kewenangan Bank Indonesia termuat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan.19 Lihat Pasal 6 ayat (2): “(a) mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegangsaham, termasuk hak dan wewenang RUPS; (b) menguasai dan mengelola asset dan kewajiban BankGagal yang diselamatkan; (c) meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah setiapkontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank, dan(d) menjual dan atau mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitor dan atau kewajiban bank tanpapersetujuan kreditor”.

Page 70: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200464

optimal. Hal ini mengingat walaupun bataswaktu yang diberikan oleh PP No.25 Tahun1999 telah terlampaui, namun tugas TimLikuidasi (TL) untuk 16 Bank DalamLikuidasi (BDL) ternyata sampai saat inibelum selesai juga. Beberapa persoalanhukum berkenaan dengan tidak optimalnyalikuidasi bank20 adalah:

(1) Permasalahan yang timbul karenalamanya jangka waktu prosespenyelesaian sengketa di pengadilansehubungan dengan pencairan assetBDL yang disebabkan adanya gugatandari pihak ketiga. Sehubungan denganmasalah ini, kiranya proses peradilanyang lebih cepat perlu mendapatperhatian.

(2) Persoalan hukum berkenaan denganadanya benturan kepentingan antaraotoritas perbankan, nasabahpenyimpan, pemilik bank, karyawanbank, dan TL sendiri. Terhadappermasalahan ini, RUU LPS mencobamenjembatani, sehingga paling tidakkepentingan nasabah penyimpan yangtergolong kecil dan karyawan banksudah dapat teratasi.

(3) Ketentuan lelang sebagai alternatif untukpenyelesaian tugas TL tidak dapatdiimplementasikan, karena terhambatoleh adanya sengketa yang memakanwaktu lama. Selain itu, terkait pula

dengan belum adanya jaminankepastian hukum bagi TL, khususnyaberkenaan dengan dugaan tindakpidana korupsi, dalam hal ternyatarecovery rate tidak mencapai 100%.Oleh karena itu, perlu dipikirkan solusihukum untuk mengatasi hal ini.

(4) Tidak adanya pengaturan tentang pihakyang dapat diserahi tugas mengelolasisa asset BDL yang belumterselesaikan oleh TL ketika masa tugasTL berakhir. Untuk masa yang akandatang, permasalahan ini nampaknyadipecahkan oleh RUU LPS, karenaLPS yang akan mengambil alih (LPSselaku pengelola statuter yangmengambil alih kewenangan RUPS).21

(5) Dasar hukum likuidasi bank, yaitu PPyang kedudukannya lebih rendah dariundang-undang, sehingga tidakmemberikan landasan yang cukup.Berkenaan dengan hal ini, walaupundalam waktu dekat RUU LPS akandiundangkan, namun ketentuan RUULPS tidak memberikan solusi atasproses likuidasi 16 BDL yang masihbelum selesai, karena Pasal 98 RUULPS menyatakan bahwa proseslikuidasi yang dimulai sebelumberlakunya UU LPS tetap dilaksanakansesuai dengan ketentuan likuidasi banksebagaimana diatur dalam PP No.25

20 Hasil Kerjasama Penelitian Hukum antara Bank Indonesia dengan Fakultas Hukum UniversitasSurabaya dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tentang topik Kewenangan dan TanggungjawabBank Indonesia Dalam Likuidasi dan Kepailitan Bank, April sd Juli 2004, antara lain mengidentidikasikanpersoalan hukum yang serupa.21 Lihat Pasal 6 ayat (2) huruf (a) jo Pasal 25 jo Pasal 26 huruf (a) RUU LPS; sebagai berikut:Pasal 6 ayat (2) huruf (a): “mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegangsaham, termasuk hak dan wewenang RUPS”; Pasal 25: “…, RUPS menyerahkan hak danwewenangnya kepada LPS”; dan Pasal 26 huruf (a):”menguasai, mengelola, dan melakukan tindakankepemilikan atas asset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank”. Lihat jugaPasal 34 huruf (a) dan Pasal 40 guruf (a).

Page 71: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200465

Tahun 1999. (Pada sisi yang lainkedudukan PP No.25 secara yuridismenjadi lebih kuat karena diamanatkanoleh RUU LPS).

Walaupun untuk kasus 16 bank yang telahdicabut izin usahanya, persoalan masa laluRUU LPS tidak banyak membantu, namununtuk masa datang, kiranya keberadaan UULPS akan memperkuat industri perbankan.

Berkenaan dengan konteks penyelamatanbank di masa yang akan datang,sebagaimana telah dikemukakan di mukaLPS mempunyai kewenangan untukmenyelamatkan bank gagal (failing bank).22

Salah satu prinsip yang dianut dalam RUULPS dalam rangka mempertimbangkanuntuk dilakukannya upaya penyelamatanbank gagal adalah least cost principle, yaitubahwa perkiraan biaya penyelamatansecara signifikan lebih rendah daripadabiaya tidak melakukan penyelamatan bankdimaksud; selain itu, diperkirakan bahwasetelah diselamatkan, bank masihmenunjukkan prospek usaha yang baik23.Dalam hal persyaratan ini tidak dipenuhi atauLPS memutuskan untuk tidak melanjutkanproses penyelamatan24, maka LPS memintaLembaga Pengawas Bank (LPP) dalam halini Bank Indonesia25 untuk mencabut izinusaha bank yang bersangkutan. Dalam halizin usaha bank dicabut oleh Bank Indonesia,maka selambat-lambatnya dalam waktu 5

(lima) hari kerja sejak izin usaha banktersebut dicabut, LPS melaksanakanpembayaran klaim penjaminan kepadanasabah penyimpan (vide Pasal 16 ayat (4)jo Pasal 31 ayat (2)). Dengan demikian,diharapkan hak penabung kecil terlindungi.Hal ini penting, karena pada dasarnya dalammembangun aturan hukum berkenaandengan proses likuidasi bank, perludiperhatikan hak nasabah sampai denganRp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah),sehingga ketika suatu bank dicabut izinusahanya dan dilikuidasi, maka haknasabah sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) initerlindungi.26

Disamping itu, perlu juga dikemukakanmengenai ketentuan dalam RUU LPS yangbertujuan melindungi hak karyawan bankyang dicabut izin usahanya. Pasal 43 huruf(b) RUU LPS mengatur kewenangannyauntuk “memberikan talangan untukpembayaran gaji pegawai yang terutang dantalangan pesangon pegawai sebesar jumlahminimum pesangon sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan”. Halini penting untuk diatur secara tegas,mengingat ketidaktenangan (eks) karyawanBDL akan mengganggu proses likuidasi dantanpa aturan yang tegas, maka hampIrmustahil ada solusi, karena pemutusnya bisadipersalahkan telah melakukan pembayaran

22 Lihat Pasal 21 dan Psal 22 RUU LPS.23 Lihat Pasal 24 RUU LPS.24 Lihat penjelasan Pasal 31 ayat (1) RUU LPS: “LPS tidak melanjutkan penyelamatan apabila dalamproses penyelamatan LPS menemukan biaya penyelamatan jauh lebih besar dari perkiraan biayapenyelamatan pada saat keputusan penyelamatan ditetapkan”.25 Lihat Pasal 31 ayat (1) RUU LPS.26 Lihat Agus Santoso, Karakter Khusus Ketentuan Hukum Dalam Sistem Hukum Perbankan DanKebanksentralan, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Vol.I, No.2, Direktorat Hukum BankIndonesia, Jakarta, 2003, hal.65.

Page 72: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200466

di luar kewenangannya. Hal ini telahseringkali dialami dalam proses likuidasiBDL pada masa yang lalu, terakhir dalamproses likuidasi Bank Dagang Bali dan BankAsiatic.

Selanjutnya kiranya perlu disinggung pulaketentuan self liquidation atau likuidasi banksebagai akibat dari pencabutan izin usahakarena permintaan pemilik. PP No.25 Tahun1999 memungkinkan proses ini, namunharus seizin BI. Tentang hal ini Pasal 26 PPdimaksud mengatur:

(1) Dalam hal para pemegang saham akanmembubarkan badan hukum bank ataskeinginannya sendiri, pembubarantersebut hanya dapat dilakukan setelahpencabutan izin usaha oleh BankIndonesia;

(2) Pencabutan izin usaha hanya dapatdilakukan oleh Bank Indonesia apabilabank yang bersangkutan telahmenyelesaikan kewajibannya kepadaseluruh kreditur;

(3) Pembubaran badan hukum bank wajibdidaftarkan dalam Berita NegaraRepublik Indonesia.27

Mengenai hal yang sama RUU LPS jugamemperkenankannya, namun LPS tidakmempunyai kewajiban untuk membayarklaim penjaminan. Tentang hal ini Pasal 61RUU LPS mengatur sebagai berikut:

(1) Likuidasi bank yang dicabut izinusahanya atas permintaan pemegangsaham sendiri dilakukan olehpemegang saham yang bersangkutan;

(2) LPS tidak membayar klaim PenjaminanNasabah

III. QUO VADIS KEPAILITAN BANK?

Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UUPerbankan, bank adalah badan usaha yangmenghimpun dana dari masyarakat dalambentuk simpanan, dan menyalurkannyakepada masyarakat dalam rangkameningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Dari pengertian ini, jelas bahwa bank dapatmempunyai perikatan berupa utang-piutangdan oleh karenanya dapat bertindak selakukreditor ataupun selaku debitor.

Sebagai badan usaha yang dapatmempunyai perikatan utang-piutang, dapatterjadi bahwa suatu bank, yang bertindakselaku debitor, pada kondisi tertentumempunyai masalah utang-piutang,khususnya ketika bank dalam keadaanberhenti membayar utangnya sehinggatergolong memenuhi syarat pailit, yaitu bankmempunyai dua atau lebih kreditor dan tidakmembayar satu -atau lebih- utang yang dapatditagih.28 Dalam kondisi yang demikian itu,untuk melindungi hak kreditor, yaitu agarmempunyai akses terhadap kekayaan

27 Lihat Pasal 26 PP No.25 Tahun 1999.28 Lihat Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan 1998: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidakmembayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusanPengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri,maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”. Bandingkan dengan rumusan Pasal 2 ayat (1)RUU KPKPU: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satuutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik ataspermohonannya sendiri, maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Page 73: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200467

debitor pailit, berdasarkan UU Kepailitan(UU Kepailitan 1998 dan RUU KPKPU),sama halnya dengan badan usaha lainnya,terhadap bank, UU membuka ruang untukdapat diajukannya permohonan pernyataanpailit.

Namun, ketentuan bahwa terhadap bankdapat dimohonkan pailit itu ternyata tidaksecara serta merta dapat dilakukan olehkreditor. Sebagai badan usaha yangmempunyai karakteristik khusus, yaituselaku intermediary institution yang bekerjadengan dana masyarakat yang disimpanpada bank atas dasar kepercayaan29, makaprosedur kepailitan terhadap bank oleh UUKepailitan dibedakan dari prosedurkepailitan bagi badan usaha padaumumnya30 (Dalam hal ini adalah badanusaha yang asetnya adalah milik pemegangsaham dan bukan berasal dari danamasyarakat yang dihimpun).

Baik di dalam Pasal 1 ayat (2) UU Kepailitan1998 maupun dalam Pasal 2 ayat (3) RUUKPKPU, ditegaskan bahwa permohonanpernyataan pailit terhadap bank hanya dapatdiajukan oleh Bank Indonesia. Artinya,kreditor tidak dapat mengajukanpermohonan pailit secara langsung kepadaPengadilan Niaga terhadap debitor yangmerupakan bank. Kreditor tersebut harusmengajukan keinginannya kepada BankIndonesia dan hanya Bank Indonesia yang

dapat mengajukan permohonan pernyataanpailit terhadap bank dimaksud kePengadilan Niaga.

Mungkin ada baiknya untuk menganalisismengenai alasan dibuatnya prosedur khususkepailitan bank. Sebagaimana telahdisinggung di atas, alasannya terutamaadalah mengingat usaha bank mempunyaikarakteristik khusus, yaitu selakuintermediary institution, sehinggaterpeliharanya kepercayaan masyarakatterhadap bank yang merupakan hal yangsangat esensial bagi kelangsungan usahabank harus benar-benar dijaga. Apabilabank dengan mudah dapat dimohonkanpailit oleh setiap kreditur, maka risikonyasangat tinggi, karena pengaturan kepailitanyang sederhana terhadap bank akanmengakibatkan kepercayaan masyarakatterhadap bank bisa menjadi hilang. Dapatdibayangkan bahwa ketika terdengar kabarsuatu bank diajukan untuk dimohonkan pailitke Pengadilan Niaga, maka nasabahpenyimpan di bank tersebut akan segeraberbondong-bondong antri untuk mengambilsimpanannya (rush). Bahkan dampaklanjutan dari kondisi psikologis masyarakatini dapat menimbulkan dampak berantaikepada nasabah-nasabah bank lainnya,sehingga pada bank-bank lainnya juga dapatterjadi rush (contagion effect). Hal inilahyang menjadi perhatian pembuat undang-undang KPKPU.

29 Lihat penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan.30 Dalam RUU KPKPU, selain bank, pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi lembaga/badan lainyang mengelola dana masyarakat dan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentinganpublic juga dibedakan, yaitu hanya dapat diajukan oleh otoritasnya. Dalam hal ini, debitor tersebut adalah:perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpan dan penyelesaian yangpermohonan pernyataan pailitnya hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (vide Pasal 2ayat (4)) dan permohonan pernyataan pailit bagi debitor yang berupa perusahaan asuransi, perusahaanreasuransi, dana pensiun atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publikhanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (vide Pasal 2 ayat (5)).

Page 74: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200468

Contoh klasik berkenaan denganpelaksanaan UU Kepailitan 1998 adalahpermohonan pailit oleh PT Bank IFI terhadapPT Bank Danamon kepada PengadilanNiaga di Jakarta pada bulan April 2001.Mengenai perkara ini, Pengadilan Niaga,dengan putusan No.21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 6 Juni 2001,mengadili menolak permohonan pailit dariPT Bank IFI selaku pemohon. Salah satupertimbangan Majelis Hakim dalam perkaraini adalah bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat(2) UU No.10 Tahun 1998 jo UU No.7 Tahun1992 tentang Perbankan dan Pasal 1 ayat(3) UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan,pemohon pailit, PT Bank IFI, tidakmempunyai kapasitas sebagai pemohonpailit, karena yang berkapasitas hanyalahBank Indonesia.

Menarik untuk dikemukakan pula mengenaidalil yang digunakan oleh PT Bank IFI selakupemohon pailit, karena walaupun di dalamPasal 1 ayat (3) secara tegas mengaturbahwa”Dalam hal menyangkut debitor yangmerupakan bank permohonan pernyataanpailit hanya dapat diajukan oleh BankIndonesia”, namun pemohon pailit berupayamenggunakan Pasal 27 ayat (1) UU No.14Tahun 1970 tentang Pokok-pokokKekuasaan Kehakiman denganmengkaitkannya dengan pendapat ahli, yaituProf. Dr. Ismail Sunny yang dalamkesaksiannya mengemukakan bahwa didalam Pasal 1 ayat (3) UU Kepailitan tidakada kejelasan mengenai sanksi hukum ataskelalaian Bank Indonesia dalammenanggapi permohonan kreditur untuk

mengajukan permohonan pailit atas suatubank31 Namun, Yunus Husein, saksi ahli dariBank Indonesia, dalam persidangan antaralain mengemukakan bahwa:

• Permohonan pailit oleh Bank Indonesiaterhadap suatu bank adalahkebijaksanaan atau diskresi BankIndonesia sendiri, bukan karena adanyapermintaan pihak lain;

• Diakui bahwa PT Bank IFI melengkapisemua persyaratan yang diperlukansebagai syarat untuk permohonan pailit,akan tetapi Bank Indonesia atas dasardiskresi atau kebijaksanaannya sendiritidak memproses permohonan pailittersebut terhadap PT Bank DanamonIndonesia ke Pengadilan Niaga Jakarta;

• Bank Indonesia tidak mengajukanpermohonan pailit karena di dalam UUNo.7 Tahun 1992 tentang perbankansebagaimana telah diubah dengan UUNo.10 Tahun 1998 beserta peraturanpelaksanaannya, yaitu PP No.25 Tahun1999 tidak mengenal adanya mekanismekepailitan dan dalam rangkapenyelesaian hak dan kewajiban bankdiatur dengan cara pencabutan izin,pembubaran dan likuidasi.

Apabila putusan Pengadilan Niaga inidikaitkan dengan dalil-dalil yangdikemukakan oleh pemohon pailit dan parasaksi ahli, maka tampak jelas bahwapertimbangan hukum hakim betul-betuldidasarkan pada prosedur pengajuanpermohonan pailit (hukum acara), yaitu

31 Lihat Putusan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 6 Juni 2001 tentang Permohonan Pailit oleh PT. Bank IFI (Pemohon) terhadapPT. Bank Danamon Indonesia Tbk (Termohon).

Page 75: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200469

bahwa permohonan pernyataan pailitdiajukan oleh pihak yang tidak berwenang.32

Memang, dalam prakteknya, Bank Indonesiabelum pernah mengajukan permohonanpernyataan pailit atas suatu bank. Hal inidisebabkan ketentuan syarat kepailitandalam Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan 1998(atau pada waktunya akan diganti oleh Pasal2 ayat (1) RUU KPKPU) tidak tepat (kurangpas) untuk diterapkan pada bank. Pertama,syarat kepailitan tersebut didasarkan padapemikiran terjadinya keadaan berhentimembayar karena tidak mampu atau tidakmau membayar utang. Apabila dikaitkandengan bank sebagai debitor, maka hal inierat kaitannya pertaruhan kredibilitas bank.Secara logika awam, bagi bank yang padadasarnya hanya dapat menjalankanusahanya atas dasar kepercayaanmasyarakat, mempertaruhkan kredibilitas,misalnya mengemplang utang, tentu akansangat merugikan, sehingga sewajarnyabank akan berusaha untuk tidak dipailitkan.Kedua, tidak ada hubungan langsung(kausalitas) antara syarat pengajuanpermohonan pernyataan pailit dengantingkat kesehatan (performance) bank,artinya bank yang dapat digolongkan masukdalam criteria untuk dimohonkan pailit,belum tentu tergolong tidak viable.33 Dengandemikian, hampir-hampir mustahil rasanyabagi Bank Indonesia untuk memenuhipermohonan dari“segelintir” kreditur bankyang merasa dirugikan untuk mengajukan

permohonan pailit terhadap suatu bank yangperformance-nya tergolong baik (viablebank).

Namun, apabila terjadi kondisi bahwa suatubank memenuhi syarat untuk diajukan pailitoleh krediturnya, misalnya karena sesuatusebab bank belum membayar kewajibannyakepada 2 (dua) rekanan computer-nya,maka jalan yang lebih mudah yang dapatditempuh adalah menyelesaikan persoalanitu melalui mediasi (secara out of courtsettlement) dan tidak meminta BankIndonesia untuk mengajukan permohonanpernyataan pailit, karena Bank Indonesiaakan sangat berhati-hati untukmempertimbangkannya, mengingat untukmengajukan permohonan pailit tidak cukuphanya karena keadaan bank telahmemenuhi syarat pailit, tetapi perlumemperhatikan kondisi bank yangbersangkutan dan kondisi sistem perbankannasional.

Oleh karena itu, penegasan adanyakewenangan eksklusif Bank Indonesia yangbersifat diskresioner dan tidak perludipertanggungjawabkan dalam prosedurpengajuan permohonan pailitan bagi banksangat penting dicantumkan dalam UUKepailitan. Nampaknya pembuat UU sadarbetul untuk tidak mengambil risiko ataskemungkinan hilangnya kepercayaanmasyarakat terhadap bank hanya karenabank dapat dimohonkan pailit oleh setiapkreditur dan akan mengakibatkan terjadinya

32 Mengingat hakim berpegang teguh pada prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailitsebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Kepailitan 1998, maka tidaklah mengherankan apabila dalamkasus kepailitan asuransi Manulife dan Prudential, permohonan pernyataan pailit bagi kedua asuransitersebut dikabulkan hakim. Hal tersebut dikarenakan prosedur permohonan pernyataan pailit bagiindustri asuransi tidak diatur secara khusus dalam UU Kepailitan 1998.33 Bandingkan dengan kasus di industri asuransi, yaitu kepailitan Manulife dan Prudential yang menurutDepartemen Keuangan performance-nya tergolong viable.

Page 76: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200470

ketidakpastian bisnis. Karenanya, dalamperumusan penjelasan Pasal 2 ayat (3) RUUKPKPU (yang akan menggantikanpenjelasan rumusan Pasal 1 ayat (3) UUKepailitan 1998),dirumuskan: “Yangdimaksud dengan “bank” adalah banksebagaimana diatur dalam peraturanperundang-undangan. Pengajuanpermohonan pernyataan pailit bagi banksepenuhnya merupakan kewenangan BankIndonesia dan semata-mata didasarkan ataspenilaian kondisi keuangan dan kondisiperbankan secara keseluruhan, oleh karenaitu tidak perlu dipertanggungjawabkan.Kewenangan Bank Indonesia untukmengajukan permohonan Kepailitan ini tidakmenghapuskan kewenangan BankIndonesia terkait dengan ketentuanmengenai pencabutan izin usaha bank,pembubaran badan hukum dan likuidasibank sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Kewenangan eksklusif yang diberikankepada Bank Indonesia maksudnya tentuadalah bahwa Bank Indonesia dalamkapasitasnya selaku otoritas perbankan danmoneter yang mewakili kepentinganekonomi nasional, bukan Bank Indonesiaselaku kreditor dari bank yang bersangkutan.Dengan demikian jelas sekali terlihat bahwawalaupun ada permasalahan hukum dibidang keperdataan (utang-piutang) antarabank dengan kreditornya, makapertimbangan perlu tetap terjaganyakestabilan sistem perbankan nasional lebihdiutamakan. Selain itu, patut pula dicatat,bahwa kewenangan eksklusif BankIndonesia tersebut juga mencegah terjadinyaupaya dari bank sebagai debitor untukmengajukan permohonan pernyataan pailitbagi dirinya sendiri. Namun demikian,penting untuk dicatat bahwa di dalam UU

KPKU tetap ada ruang bagi Bank Indonesiauntuk mengajukan permohonan pailitterhadap bank dalam hal Bank Indonesiamemang menilai bahwa kewenangannya itupatut digunakan dalam rangka mengatasisuatu kondisi tertentu yang memenuhi pulapersyaratan kepailitan bagi bank.

Konsisten dengan rumusan Pasal 2 ayat (3)RUU KPKPU dan penjelasannya, dalamPasal 6 ayat (3) RUU KPKPU lebihdipertegas lagi, yaitu diaturnya dismissalprocess, bahwa Panitera wajib menolakpendaftaran permohonan pernyataan pailitbagi bank jika dilakukan tidak sesuaidengan ketentuan pasal 2 ayat (3), artinyapermohonan pernyataan pailit terhadapbank hanya dan harus diajukan oleh BankIndonesia.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kegiatan usaha bank selaku intermediaryinstitution, yaitu menghimpun danamasyarakat dan menyalurkannya kembalikepada masyarakat, dan usaha bank yanghanya dapat berlangsung apabilakepercayaan masyarakat kepada bankterjaga dengan baik, menjadikan bankmempunyai karakteristik yang berbeda daridebitor lainnya.

2. Dalam rangka menjaga tingkatkepercayaan masyarakat pada bankdan memelihara kestabilan sistemperbankan, UU Perbankanmengamanatkan perlunya upayapenyelamatan bank. Namun demikian,demi menjaga sistem perbankan yangefisien dan kompetitif, maka bank yangmengalami kesulitan yangmembahayakan kelangsunganusahanya dan telah diupayakan untuk

Page 77: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200471

diselamatkan, namun tidak dapatmengatasi kesulitan yang dihadapi bankdan atau menurut penilaian BankIndonesia keadaan suatu bank dapatmembahayakan sistem perbankan,maka Bank Indonesia dapat mencabutizin usahanya; artinya bank tersebutharus “exit” dari sistem perbankan danbank yang bersangkutan dilikuidasi.Mengenai hal ini dapat disimpulkanbahwa pencabutan izin usaha,pembubaran badan hukum, dan likuidasibank adalah merupakan satu rangkaianproses yang diamanatkan oleh UUPerbankan.

3. Pengalaman selama ini menunjukkanbahwa penyelesaian melalui likuidasibank tidak menunjukkan hasil yangoptimal. Hal ini mengingat walaupunbatas waktu yang diberikan oleh PPNo.25 Tahun 1999 telah terlampaui,namun tugas Tim Likuidasi (TL) untuk 16Bank Dalam Likuidasi (BDL) ternyatasampai saat ini belum selesai juga.

4. Dasar hukum likuidasi bank, yaitu PPNo.25 Tahun 1999 yang kedudukannyalebih rendah dari undang-undang tidakmemberikan landasan yang cukup dalampelaksanaan proses likuidasi bank.Berkenaan dengan hal ini, walaupundalam waktu dekat RUU LPS akandiundangkan, dan RUU LPS memuatketentuan tentang likuidasi bank, namunketentuan likuidasi bank dalam RUU LPStidak memberikan solusi atas proseslikuidasi 16 BDL yang masih belumselesai. Oleh karena itu, solusi terhadappenyelesaian likuidasi 16 BDL perlumendapat perhatian. Namun demikian,walaupun untuk persoalan masa lalu RUULPS tidak banyak membantu, namununtuk masa datang, kiranya keberadaan

UU LPS akan memperkuat industriperbankan.

5. Ditinjau dari keterkaitan antarakewenangan Bank Indonesia dankewenangan LPS dalam halpenyelamatan bank, RUU LPSmengatur bahwa LPS hanyamenangani bank gagal (failing bank),yaitu bank yang sudah tidak dapat lagidisehatkan lagi oleh Bank Indonesia(vide Pasal 37 ayat (1)) dan LPSmengajukan rekomendasi pencabutanizin usaha bank kepada BankIndonesia terhadap bank yang tidakbisa diselamatkan.

6. Kewenangan ekslusif Bank Indonesiauntuk mengajukan permohonanpernyataan pailit bagi debitor yangmerupakan bank sebagaimana diaturdalam Pasal 1 ayat 3 UU Kepailitan 1998tidak pernah dipergunakan. Denganadanya kesamaan persyaratankepailitan bagi debitor yang merupakanbank dalam antara Pasal 1 ayat (1) UUKepailitan 1998 dengan Pasal 2 ayat (1)RUU KPKPU, maka kewenanganeksklusif yang diberikan oleh Pasal 2ayat (3) RUU KPKPU juga akan sulit untukdipergunakan oleh Bank Indonesia. Haltersebut karena kriteria pengajuanpermohonan pernyataan pailit yanghanya didasarkan pada syaratsebagaimana diatur dalam pasal itu tidakworkable bagi bank. Oleh karena itu,masih perlu dikaji lebih lanjut sejauh manaketentuan kepailitan bisa efektif untukmenyelesaikan permasalahan yangdihadapi bank. Namun demikian. pentinguntuk dicatat bahwa di dalam UU KPKUtetap ada ruang bagi Bank Indonesiauntuk mengajukan permohonan pailitterhadap bank dalam hal Bank Indonesia

Page 78: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

memang menilai bahwa kewenangannyaitu patut digunakan dalam rangkamengatasi suatu kondisi tertentu yangmemenuhi pula persyaratan kepailitanbagi bank.

7. Self liquidation bagi bank a/d permintaanpemilik dimungkinkan sepanjang banktelah menyelesaikan seluruhkewajibannya dan diizinkan oleh BankIndonesia. Dilain pihak, permohonanpengajuan pailit bagi diri sendiri yangdimintakan oleh bank atas dasar syaratpailit nampaknya akan sulit diterima olehBank Indonesia.

8. Beberapa hal berkenaan dengan aspekhukum yang masih perlu dipikirkan dalamproses likuidasi bank adalah:

a) Kiranya proses peradilan yang lebihcepat perlu mendapat perhatian,

terutama berkenaan denganpermasalahan penyelesaiansengketa pencairan asset BDL yanglama prosesnya di pengadilan yangdisebabkan adanya gugatan daripihak ketiga.

b) Selain itu, perlu dipikirkan solusihukum untuk mengatasi belumadanya jaminan kepastian hukumbagi TL, khususnya berkenaandengan dugaan tindak pidanakorupsi, dalam hal ternyata recoveryrate tidak mencapai 100%. Apabilatidak ada solusi tentang hal ini, makaketentuan lelang sebagai alternatifuntuk penyelesaian tugas TL tidakdapat diimplementasikan.

Jakarta, 4 Oktober 2004

72

Page 79: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Kebutuhan akan adanya tulisan-tulisan yangdapat memberikan pemahaman mengenaikeseluruhan aspek Undang-undangKepailitan (UUK) merupakan hal yangmendesak. Banyak pihak yangmembutuhkan tulisan-tulisan ini, karenaselama ini belum tersedia buku peganganyang secara rinci dan komprehensifmembahas kepailitan dan pasal demi pasaldari UUK. Mungkin hal inilah yangmendorong Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini,SH. untuk menulis buku yang diberi judul“Hukum Kepailitan (MemahamiFaillissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998) ”, sebuah bukusetebal 525 halaman yang diterbitkan olehPT Pustaka Utama Grafiti, tahun 2002.

Dalam buku ini penulis, dengan gaya bahasayang sederhana, mencoba membahassemua aspek dari UUK untuk memberikanpemahaman yang rinci dan menyeluruhmengenai UUK, dan dapat menjadi bukupegangan yang praktis mengenai UUK.Dalam membahas aspek tertentu, penulismengacu pula pada ketentuan-ketentuandari UUK negara lain, terutama USBankruptcy Code. Dalam UUK, dibedakansiapa-siapa saja yang dapat mengajukanpermohonan pernyataan pailit terhadaptermohon atau debitor. Dalam UUK,

termohon atau debitor dibedakan menjadi :1. termohon atau debitor bukan bank danbukan perusahaan efek; dan 2. termohonatau debitor bank dan perusahaan efek dipihak lain. Dalam hal termohon atau debitorbukan merupakan bank atau perusahaanefek, permohonan pernyataan pailit dapatdiajukan oleh :1. debitor sendiri, seorangatau lebih kreditur, atau kejaksaan. Namundalam hal Debitor adalah bank, permohonanpernyataan pailit hanya dapat diajukan olehBank Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal1 ayat (3) UUK, meskipun dalampenjelasannya pasal ini tidakmengemukakan apa yang menjadi alasanmengapa hanya Bank Indonesia saja yangdapat mengajukan permohonan pernyataanpailit dalam hal Debitor adalah suatu bank.

Mengenai prosedur pengajuan permohonanpernyataan pailit bagi bank, Prof. Remy(penulis) berpendapat, ketentuan Pasal 1ayat (3) UUK tersebut telah memberlakukanstandar ganda (double standard) karenaketentuan tersebut telah merampas hakKreditur dari bank. Kreditur bank selain paranasabah penyimpan dana juga banyak yangberasal dari bank-bank yang memberikanfasilitas kepada bank itu melalui interbankmoney market. Meskipun penulismemahami dan sependapat dengan

RESENSI BUKU

Judul : Hukum Kepailitan (Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998)

Penulis : Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, SH.

Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti

Oleh : Indah Wulandari, SH.

73

Page 80: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

pembuat UU bahwa untuk mengajukanpermohonan pernyataan pailit dan agardapat diberikan putusan oleh pengadilanuntuk menyatakan suatu bank pailit harusmelibatkan Bank Indonesia, namun penulistidak sependapat apabila permohonanpernyataan pailit itu hanya dapat diajukanoleh Bank Indonesia saja. Hal ini karenaBank Indonesia tidak pernah menjadi pihakdalam perjanjian kredit antara Debitordengan Kreditur tersebut meskipunDebiturnya adalah bank.

Menarik sekali bahwa Prof. DR. BagirManan, SH., MCL., Ketua Mahkamah AgungRepublik Indonesia, memberikan katapengantar dalam buku ini. Paling tidak halini menunjukkan bahwa informasi dalambuku ini sangat membantu untuk lebihmemahami berbagai aspek hukum danmasalah kepailitan. Sesuai dengan pesanyang ingin disampaikan melalui judul bukuini, bab-bab selanjutnya dari buku inimenceritakan tentang latar belakangfaillissementsverordening berubah menjadiUU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan,asas-asas dan syarat-syarat kepailitan jugatentang Penundaan Kewajiban PembayaranUtang.

Dari sisi penguraian alurnya, tulisan ini dapatdikatakan telah dituangkan dengangamblang, runtut, serta menghindarkanpenggunaan istilah-istilah yang sulit ataubersifat teknis, sehingga pembaca yangawam terhadap dunia perbankan maupundunia hukum dapat menikmati isi buku initanpa harus dipusingkan dengan istilah-istilah yang sulit dipahami.

Terkait dengan UU Kepailitan No. 4 Tahun1998 (UUK), pada tanggal 22 September2004 DPR RI telah mensahkan RUUmengenai Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (RUUKPKPU) yang akan mencabut danmenggantikan UUK No. 4 Tahun 1998tersebut. Dalam RUU KPKPU tersebutantara lain dijelaskan mengapa permohonanpernyataan pailit bagi bank merupakankewenangan eksklusif Bank Indonesia yangbersifat diskresioner. Pasal 2 ayat (3) UUKPKU tersebut menyatakan : “Dalam halDebitor adalah bank, permohonanpernyataan pailit hanya dapat diajukan olehBank Indonesia”. Alasan utama mengapahanya Bank Indonesia yang dapatmengajukan permohonan pernyataan pailitbagi bank adalah karena Bank Indonesiaadalah otoritas perbankan yangberkewajiban menjaga agar individual bankbisa tetap sehat, sehingga pada gilirannyaakan terwujud sistem perbankan nasionalyang sehat dan competitive.

Hal itu dijelaskan lebih lanjut dalamPenjelasan Pasal 2 ayat (3) sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “bank” adalahbank sebagaimana diatur dalam peraturanperundang-undangan. Pengajuanpermohonan pernyataan pailit bagi banksepenuhnya merupakan kewenangan BankIndonesia dan semata-mata didasarkan ataspenilaian kondisi keuangan dan kondisiperbankan secara keseluruhan, oleh karenaitu tidak perlu dipertanggungjawabkan.Kewenangan Bank Indonesia untukmengajukan permohonan kepailitan ini tidakmenghapuskan kewenangan BankIndonesia terkait dengan ketentuanmengenai pencabutan izin usaha bank,pembubaran badan hukum dan likuidasibank sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Konsisten dengan pengaturan dalam Pasal2 ayat (3), dalam Pasal 6 ayat (3) diaturbahwa Panitera wajib menolak pendaftaran

74

Page 81: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

permohonan pernyataan pailit bagi institusisebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidaksesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayattersebut. Artinya bagi debitor yangmerupakan bank, yang berwenangmengajukan permohonan pernyataan pailithanya Bank Indonesia.

Selain itu, terkait dengan transaksi transferdana yang telah dilakukan sebelumpernyataan pailit diucapkan, Pasal 24 ayat(3) menyatakan bahwa “Dalam hal sebelumputusan pernyataan pailit diucapkan telahdilaksanakan transfer dana melalui bankatau lembaga selain bank pada tanggalputusan sebagaimana dimaksud pada ayat(1), transfer tersebut wajib diteruskan”.

Penjelasan Pasal 24 ayat (3) berbunyibahwa transfer dana melalui bank perludikecualikan untuk menjamin kelancaran dankepastian sistem transfer melalui bank.Apabila rumusan tersebut dibandingkandengan draft RUU Transfer Danasebagaimana diatur dalam Pasal 3 yangjuga mengecualikan transfer dana dariprinsip zero hour rule, maka rumusan Pasal24 ayat (3) RUU KPKPU tersebut sudahsejalan dengan rumusan draft RUU TransferDana.

Diharapkan setelah disahkannya UU KPKUini, akan ada edisi revisi terhadap buku ini,agar pemahaman masyarakat mengenaikepailitan khususnya kepailitan bank, dapatlebih baik.

75

Page 82: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Krisis ekonomi yang terjadi dipertengahantahun 1997 yang telah membawakesengsaraan bagi perekonomian nasionalkhususnya bagi dunia usaha, merupakanawal mulai populernya Hukum Kepailitan.Kepopuleran ini dimulai ketika IMF(International Monetary Fund) berhasilmendesak Pemerintah Republik Indonesiauntuk melakukan perubahan danpenambahan atas undang-undang (UU)tentang Kepailitan yang berlaku pada waktuitu yaitu Faillissementsverordening Stb1905 nomor 217 jo. Stb 1906 nomor 348,yang oleh IMF dinilai kurang efektif danmampu untuk menyelesaikan urusan utangpiutang.

Dengan dilakukannya perubahan danpenambahan atasFaillissementsverordening Stb 1905 nomor217 jo. Stb 1906 nomor 348 berdasarkanUU tentang Kepailitan No. 4 tahun 1998 joPeraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 tahun 1998, semua urusanutang piutang khususnya yang telah jatuhtempo dan dapat dibayar selanjutnyadiselesaikan berdasarkan UU ini diPengadilan Niaga.

Pro dan kontra atas diberlakukannya UUKepailitan yang telah disempurnakan initerus berlanjut, dimulai dari kasus PT Modern

Land Realty Ltd. yang dinyatakan pailitkarena tidak membayar kewajibannyakepada Drs. Husein Sani, hinggadiajukannya permohonan pailit terhadapPerusahaan Asuransi Prudential.

Dari semua permohonan pernyataan pailityang diajukan melalui Pengadilan NiagaJakarta, sebagian besar permohonandiajukan oleh Kreditur yang merupakanBank. Bagaimana jika Debitor yangmerupakan bank telah tidak membayarutang yang jatuh tempo dan dapat ditagih?Apakah kepailitan dapat dipergunakan untukmenyelesaikan perkara utang piutang?Apakah bank dapat dipailitkan? Mekanismeapa yang dapat ditempuh oleh Kreditur untukmenyelesaikan urusan utang piutangnya?

Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, marilah kitatinjau sebuah contoh kasus yaitu PutusanPengadilan Niaga Nomor 21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PST, tertanggal 6 Juni 2001,dalam Permohonan dari PT Bank IFI(Pemohon) terhadap PT Bank DanamonIndonesia Tbk. (Termohon).

Kasus Posisi

Pada tanggal 18 Desember 1996dihadapan Notaris Ahmad Abid, SH.,pengganti Notaris Sutjipto, SH., Notaris di

KOMENTAR ATAS PUTUSAN PENGADILANPUTUSAN PENGADILAN NIAGA DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT

NOMOR : 21/PAILIT/2001/PN.NIAGA.JKT.PSTTanggal 6 Juni 2001

PERMOHONAN PAILITOLEH PT. BANK IFI (PEMOHON ) TERHADAP

PT.BANK DANAMON INDONESIA, Tbk (TERMOHON)

Arus Akbar Silondae, SH., LL.M & I Made Astawa, SH., LL.M(Pusat Kajian Hukum Bisnis STIE Perbanas)

76

Page 83: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Jakarta, telah dibuat dan ditandatanganiAkta Perjanjian Pinjaman Sindikasi No. 47yang disebut Secured Transferable LoanFacilities Agreement, antara PT Riau PrimaEnergi dengan Peserta Sindikasi yaitu PTBank Danamon Indonesia, PT Bank Bira, PTBank Lippo, PT Bank Niaga, PT Bank NusaNasional, PT Pan Indonesia Bank, PT BankTiara Asia, PT Bank Duta, PT Bank PDFCI,PT Bank Jayabank Internasional, PT BankDharmala, PT Bank Indovest, PT BankAntardaerah, PT Bank MayapadaInternasional, PT Bank Rama, PT Bank Tata,PT Bank Pikko dan PT Bank Dagang danIndustri.

Guna memenuhi kewajibannya kepada PTRiau Prima Energi sebesar US$16,781,250pada tanggal 18 Desember 1996,berdasarkan Secured Transferable LoanFacilities Agreement, PT Bank NusaNasional selanjutnya mengadakanPerjanjian Sub-Participation Antara BankNusa Internasional dengan Bank IFI senilaiUS$5,000,000.

Oleh karena Perjanjian Sub-ParticipationAntara Bank Nusa Internasional denganBank IFI tersebut berlaku hanya untuk jangkawaktu 2 tahun, maka perjanjian tersebutberakhir pada tanggal 18 Desember 1998.Sehubungan dengan berakhirnya jangkawaktu perjanjian, PT Bank IFI telahmenyampaikan maksudnya untuk tidakmemperpanjang partisipasinya dalamFasilitas Sindikasi dimana Bank NusaNasional adalah salah satu pesertasindikasinya.

Berdasarkan hal tersebut diatas PT Bank IFImelakukan penagihan pembayaran kepadaPT Bank Nusa Nasional. Akan tetapisebelum tagihan PT Bank IFI kepada PTBank Nusa Nasional terpenuhi, berdasarkan

Surat Keputusan Ketua BPPN No. 347/BPPN/0300 tanggal 27 Maret 2000 tentangPelaksanaan Penggabungan Usaha(Merger) antara PT Bank DanamonIndonesia Dengan Bank-Bank DalamPenyehatan Dalam Rangka ProgramPenyehatan Perbankan Nasional, PT BankNusa Nasional dan bank-bank dalampenyehatan perbankan lainnya, yaitu PTBank Danamon Indonesia Tbk., PT BankTiara Asia, Bank Duta, PT Bank Rama, PTBank Tamara, PT Bank Pos Nusantara, PTJayabank International, dan PT Bank RisjadSalim International, telah digabungkan (di-merger) menjadi PT Bank DanamonIndonesia Tbk.

Akibat hukum dari penggabungan usahatersebut diatas adalah bahwa seluruhkewajiban bank-bank pesertapengabungan, demi hukum beralih menjadikewajiban perusahaan hasil penggabungan(surviving company) yang dalam hal iniadalah PT Bank Danamon Indonesia Tbk.Berdasarkan penggabungan usahadimaksud, maka selanjutnya PT Bank IFImengajukan tagihannya kepada PT BankDanamon Indonesia Tbk.

Sehubungan dengan tagihan yang diajukanoleh PT Bank IFI, PT Bank DanamonIndonesia Tbk. telah melakukan penawaranpembayaran, namun penawaranpembayaran dimaksud tidak diterima olehPT Bank IFI karena jumlah yang ditawarkanoleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk. tidaksesuai dengan perhitungan yang dibuat danditagihkan oleh PT Bank IFI, untuk itu PT BankDanamon Indonesia Tbk. selanjutnyamenawarkan pembayaran yang diikutidengan konsinyasi melalui PengadilanNegeri Jakarta Selatan.

77

Page 84: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Pertimbangan Majelis Hakim PengadilanNiaga Jakarta

Pertimbangan-pertimbangan Majelis HakimPengadilan Niaga dalam perkara ini adalahsebagai berikut:

- Bahwa syarat untuk mengajukanpermohonan pailit telah terpenuhi yaituadanya Debitor, mempunyai dua Kredituratau lebih dan adanya utang yang telahjatuh tempo dan dapat ditagih;

- Bahwa PT Bank Danamon Indonesia Tbk.dalam perkara ini dapat dikategorikansebagai Debitor;

- Bahwa dengan ditolaknya tawaranpembayaran yang disertai dengankonsinyasi melalui Pengadilan NegeriJakarta Selatan, Majelis Hakimberpendapat bahwa PT Bank DanamonIndonesia Tbk. masih mempunyai utangkepada PT Bank IFI;

- Bahwa unsur-unsur tersebut dalam pasal1 ayat 1 UU No. 4 tahun 1998 (UUK) telahterbukti;

- Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUNo. 10 Tahun 1998 jo UU No. 7 tahun 1992tentang Perbankan dan Pasal 1 ayat 3UUK, Pemohon Pailit, PT Bank IFI, tidakmempunyai kapasitas sebagai PemohonPailit, sedangkan yang berkapasitashanyalah Bank Indonesia (BI).

Amar Putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Berdasarkan pertimbangan-pertimbanganhukum di atas Pengadilan Niaga Jakartamengadili menolak permohonan pemohonpailit PT Bank IFI.

Analisa Hukum dan Pendapat Hukum

Manuver yang dilakukan oleh kuasa hukumPT Bank IFI, memang cukup mengejutkan.Sungguh-pun sudah jelas tertulis di dalam

Pasal 1 ayat 3 UUK dan penjelasannyabahwa dalam hal menyangkut Debitor yangmerupakan Bank, permohonan pernyataanpailit hanya dapat diajukan oleh BI, namundengan menggunakan celah hukum yangterdapat dalam Pasal 27 ayat 1 UU No. 14tahun 1970 tentang Pokok–Pokok KekusaanKehakiman dikaitkan dengan pendapat dariahli hukum Prof. Dr. Ismail Sunny, SH., LLM.,yang dalam kesaksiannya menyebutkanbahwa di dalam Pasal 1 ayat 3 UUK tidakada kejelasan mengenai sanksi hukum ataskelalaian BI dalam menanggapipermohonan Kreditur untuk mengajukanpermohonan pernyataan pailit atas suatubank, kuasa hukum tetap mengajukanpermohonan pernyataan pailit terhadap PTBank Danamon Indonesia Tbk.

Memperhatikan upaya yang dilakukan olehPT Bank IFI melalui kuasa hukumnyatersebut di atas, terlihat bahwa PT Bank IFItelah mengalami kebuntuan dalammengupayakan pemenuhan atas hak-haknya dari PT Bank Danamon IndonesiaTbk. Sepertinya segala upaya telahdilakukannya, namun dari upaya tersebut PTBank IFI merasa tidak mendapatkantanggapan yang memuaskan dari pihakyang memiliki kewenangan dan kapasitasuntuk itu, yaitu BI, sehingga denganmengandalkan Pasal 27 ayat 1 UU No. 14tahun 1970 tentang Pokok–Pokok KekusaanKehakiman yang dikaitkan dengan pendapatdari ahli hukum Prof. Dr. Ismail Sunny, SH.,LLM., PT Bank IFI berharap HakimPengadilan Niaga sebagai penegak hukumdan keadilan mau menggali danmenciptakan hukum untuk mengisikekosongan Pasal 1 ayat 3 UUK.

Keputusan Pengadilan Niaga Jakarta yangmenolak permohonan pernyataan pailitterhadap PT Bank Danamon Indonesia Tbk.,

78

Page 85: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

telah menegaskan dan memperkuatketentuan bahwa permohonan pernyataanpailit atas debitor yang merupakan bankhanya dapat dimohonkan oleh BI, walaupunsyarat-syarat untuk mengajukan permohonanpailit disyaratkan oleh UUK telah terpenuhi.

Keputusan tersebut meninggalkan beberapapertanyaan yang belum terjawab hingga kini,yaitu bagaimana jika Debitor yangmerupakan bank telah tidak membayarutang yang jatuh tempo dan dapat ditagih?Apakah kepailitan dapat dipergunakan untukmenyelesaikan perkara utang piutang?Apakah bank dapat dipailitkan? Mekanismeapa yang dapat ditempuh oleh Kreditur untukmenyelesaikan urusan utang piutangnya?Apakah peranan BI sebagai otoritasmoneter dalam permasalahan utang piutangini?

Marilah kita bahas pertanyaan tersebutdiatas satu persatu, dengan memperhatikancontoh kasus yang disajikan dalam tulisanini.

Berdasarkan UU tentang Perbankan, Bankadalah badan usaha yang menghimpun danadari masyarakat dalam bentuk simpanan,dan menyalurkannya kepada masyarakatdalam rangka meningkatkan taraf hiduprakyat banyak. Pada umumnya bank selalubertindak selaku Kreditur, namun demikian,seperti halnya dalam contoh kasus ini, bank-pun bisa menjadi Debitor layaknya debitor-debitor lainnya.

Dalam hal kepailitan, kegiatan usaha bankyang menghimpun dana dari masyarakatdan menyalurkannya kembali kepadamasyarakat, membuat bank berbeda daridebitor-debitor lainnya. Faktor–faktor sepertikepercayaan masyarakat terhadap duniaperbankan dan perlindungan danamasyarakat yang disimpan dalam bank

dimaksud akan menjadi pertimbanganutama dalam pengambilan keputusan olehBI sebagai otoritas perbankan dan moneter.

Kepercayaan masyarakat terhadap bankakan pudar apabila mengetahui bahwa bankdapat dimohonkan pailit oleh setiap Kreditur.Mereka akan khawatir untuk menempatkanuangnya di bank. Terlebih-lebih setelahdinyatakan pailit bank tidak lagi diurus olehdireksinya, melainkan akan diurus olehKurator yang notabene bukan seorangbankir.

Dalam kapasitasnya sebagai debitor,berdasarkan Pasal 1 ayat 3 UUK, terhadapbank dapat dimohonkan pernyataan pailitmelalui Pengadilan Niaga. Akan tetapipermohonan pernyataan pailit dimaksudhanya dapat dimohonkan oleh BI. Krediturtidak dapat mengajukan permohonanpernyataan pailit secara langsung terhadapDebitor yang merupakan bank. Kredituryang menghendaki kepailitan bank, dapatmengajukan keinginannya tersebut kepadaBI. Berdasarkan kewenangan yangdimilikinya, setelah mempertimbangkandampak-dampak yang mungkin terjadi, BIdapat mengajukan permohonan pailit atasbank dimaksud kepada Pengadilan Niaga.

Dalam prakteknya, BI hingga kini belumpernah mengajukan permohonanpernyataan pailit atas Debitor yangmerupakan bank. Pertimbangannya sangatbanyak, salah satunya adalah social costyang harus dibayar oleh PemerintahIndonesia. Anggaran yang dikeluarkan olehPemerintah Indonesia untuk menyehatkanperbankan nasional sudah cukup besar,tidak mungkin dikorbankan begitu sajahanya karena permohonan satu atau duakreditur.

79

Page 86: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Karena tidak mudah digunakan sebagaidasar untuk mengajukan permohonanpernyataan pailit atas Debitor yangmerupakan bank, Pasal 1 ayat 3 UUKtersebut rawan untuk digunakan sebagaitempat berlindung oleh bank–bank dariancaman kepailitan, sebab tanpa alasanyang kuat BI tidak akan mengakomodasikankeinginan kreditur–kreditur yang inginmengajukan permohonan pernyatan pailitterhadap bank. Sejalan dengan pendapatsaksi ahli BI Yunus Husein, SH, LLM.,Ricardo Simanjuntak, SH., LL.M.mencermati pemahaman Bank Indonesiatentang kewenangan yang diberikan olehPasal 1 ayat (3) UUK kepada BankIndonesia, yang ditegaskan oleh saksi faktadi bawah sumpah dari Bank Indonesiadalam persidangan di Pengadilan Niagapada Pengadilan Negeri Jakarta Pusatantara lain sebagai berikut1 :

- Bahwa permohonan pailit oleh BankIndonesia terhadap suatu bank adalahkebijaksanaan atau diskresi BankIndonesia sendiri bukan karena adanyapermintaan pihak lain;

- Bahwa saksi mengakui PT. Bank IFI(Pemohon pailit) telah mengirimkan suratkepada Bank Indonesia tanggal 12 April2001 perihal : permohonan untukmempailitkan PT. Bank DanamonIndonesia, Tbk. (Vide bukti P-28), dansurat-surat serta bukti-bukti telah diterimaoleh Bank Indonesia tanggal 16 April 2001(Vide bukti P-30);

- Bahwa saksi mengakui bahwa PT. BankIFI dengan surat tanggal 12 April 2001No.0338/0196.04/HPH-JP/SHA/yk., telah

memohon kepada Bank Indonesia agarBank Indonesia memohonkanpermohonan pernyataan kepailitanterhadap Termohon pailit kepadaPengadilan Niaga Jakarta Pusat;

- Bahwa saksi mengakui PT. Bank IFImelengkapi semua persyaratan yangdiperlukan sebagai syarat-syarat untukpermohonan pailit, akan tetapi BankIndonesia atas dasar diskresi ataukebijaksanaannya sendiri tidakmemproses permohonan pailit tersebutterhadap PT. Bank Danamon Indonesia,Tbk. (Termohon pailit) ke PengadilanNegeri Jakarta Pusat;

- Bahwa Bank Indonesia mengakui tidakmengajukan permohonan pailit tersebutke Pengadilan Niaga di PengadilanNegeri Jakarta Pusat karena didalamketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentangPerbankan yang diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 beserta peraturanpelaksanaan PP No. 25 Tahun 1999tentang Pencabutan Izin Usaha,Pembubaran dan Likuidasi Bank tidakmengenal adanya mekanisme kepailitandan dalam rangka mekanismepenyelesaian hak dan kewajiban bankdiatur dengan cara pencabutan ijin usaha,pembubaran dan likuidasi.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ternyatabahwa Debitor yang merupakan bank dapatdimohonkan pernyataan pailit, namunpermohonan dimaksud harus diajukan olehBI. Sehubungan dengan fakta tersebut,maka penyelesaian persoalan utang piutangmelalui mekanisme kepailitan dalam suatu

1 Disampaikan pada Seminar Nasional “Kepailitan dan Likuidasi Bank” tanggal 4 Oktober 2003 di Surabaya.

80

Page 87: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

perkara utang piutang dimana Debitor-nyaadalah bank, sulit untuk tercapai dandilaksanakan. Mekanisme kepailitan,bukanlah cara yang terbaik dan efektif untukmenyelesaikannya.

Merujuk pada keputusan Pengadilan Niagatersebut diatas dan Pasal 1 ayat (3) UUK,terkesan bahwa kepentingan kreditur dalamperkara kepailitan dimana Debiturnyaadalah bank, tidak terlindungi dengan baik.

Berbicara mengenai perlindungan terhadapKreditur, sistem hukum Indonesia telahmemiliki mekanisme yang cukup lengkapuntuk menyelesaikan perkara utang–piutangdan memberikan perlindungan yang cukupterhadap kreditur. Perkara utang–piutangdapat diselesaikan melalui mekanismegugatan perdata biasa. Selain itu, Krediturdapat pula mengupayakannya secara nonlitigasi atau out of court settlement melaluilembaga arbitrase maupun melaluimekanisme Alternative Dispute Resolutiondengan menggunakan metode mediasiperbankan

Peran serta BI dalam menyelesaikanperkara utang piutang dimana krediturnyaadalah bank, sepatutnya dapat lebihditingkatkan. BI dapat bertindak lebih

responsif dalam membantu bank–bank yangnotabene dibawah pengawasannya dalammenyelesaikan perkara utang-piutangsehingga upaya–upaya melalui kepailitantidak perlu ditempuh.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik daripembahasan dan analisa tersebut diatasadalah sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 1 ayat 3 UU No. 4 tahun1998 tentang Kepailitan, menunjukanbahwa bank selaku debitor dapatdimohonkan pernyatan pailit. Akan tetapipermohonan pernyataan pailit dimaksudharus diajukan oleh BI;

2. Bahwa mekanisme kepailitan, tidak efektifuntuk digunakan sebagai mekanisme untukmenyelesaikan persoalaan utang piutangdimana debiturnya adalah bank;

3. Bahwa guna melindungi kepentingankreditur, peran serta BI untuk turut sertadalam menyelesaikan permasalahanutang–piutang sangat dibutuhkan;

4. Perlu diciptakan mekanisme out of courtsettlement atau non litigasi baik denganarbitrase perbankan ataupun mediasiperbankan.

81

Page 88: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

Dalam Cakrawala Hukum kali ini Redaksimenyampaikan 2 (dua) topik seminar yangberhubungan dengan perkembangan hukumperbankan dan kebanksentralan, yaitu AsianConference on the Regulation of CustomerCredit yang diselenggarakan pada tanggal29 dan 30 Maret 2004 di Malaysia danSeminar Nasional Kepailitan dan LikuidasiBank yang diselenggarakan di Surabayapada tanggal 4 Oktober 2004.

I. Asian Conference on the Regulationof Customer Credit

Pokok-pokok pembahasan dalam seminaradalah meliputi :

1. Pada dasarnya pengaturan mengenaicustomer credit diperlukan dalam haltransparansi terhadap produkperbankan, kerahasiaan data, dankebenaran informasi, karakteristik danprofil risiko dari masing-masing produk.Dalam hal ini, point-point tersebut telahdimasukkan dalam konsep pengaturanmengenai transparansi produk daninformasi perbankan.

2. Khusus mengenai permasalahanpenyebaran informasi (advertising), dibeberapa negara hanya diatur dalambentuk ‘code’ dan bukan dalam bentuk‘law’, sehingga tidak berakibatdikenakannya sanksi apabila tidakdipenuhi.

3. Penyelesaian ‘dispute’ diantara pelakuusaha (bank) dan nasabah, dapatdilakukan melalui berbagai sarana,seperti pengadilan, tribunal (badan di

bawah pengadilan), ombudsman, mediaarbitrase. Pada umumnya perselisihanyang diselesaikan melalui media di luarpengadilan bersifat banding bagi industri(perbankan). Namun demikian dalampertemuan tersebut belum dibahassecara mendetail pola-polapenyelesaian tersebut.

Salah satu negara yang telah mempunyaiBadan Mediasi di Bidang Perbankan adalahMalaysia. Mekanisme badan tersebut antaralain sebagai berikut :

1. Badan Mediasi didirikan oleh industriperbankan dan melakukan pertemuansetiap tahun.

2. Funding (termasuk gaji mediator,sekretariat) berasal dari bank yangmenjadi anggota badan mediasitersebut.

3. Organisasi badan tersebut terdiri dari‘board of directors’ dan ‘council’.

4. ‘Board of directors’ dipilih pada saatpertemuan tahunan, beranggotakan 5-9perwakilan dari anggota.

5. ‘Council’ beranggotakan sebanyak-banyaknya 5 orang dengan masa tugasselama 2 tahun, dan terdiri dari 2anggota ‘board’. 1 perwakilan dariasosiasi konsumen, 1 perwakilan dariuniversitas (akademisi) dan 1 orangindependen di luar dari berbagaiperwakilan tersebut.

6. ‘Council’ diberikan hak dan kekuasaanuntuk menunjuk mediator dengan jangka

CAKRAWALA HUKUM

Oleh : Redaksi

82

Page 89: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

waktu minimal 2 tahun, dan batasanpengajuan klaim adalah untuk nasabahkecil dan menengah, serta nasabahdengan kuasa hukum atau tidak.

7. Mediator bertugas menyelesaikanperselisihan (claim) yang timbul antarabank dan nasabah. Mediator berhakuntuk meminta penjelasan dan segaladokumen kepada bank dalam rangkamenyelesaikan permasalahan. Disamping itu mediator juga berhakmengundang para ahli yang dapatmenyelesaikan permasalahan tersebutapabila mediator tidak mampumenyelesaikannya.

8. Putusan dari mediator akan mengikatbagi bank namun tidak bagi nasabah.

9. Sanksi yang diberikan atas adanya suatupelanggaran biasanya berupa denda.

II. Seminar Nasional Kepailitan danLikuidasi Bank

Seminar Nasional ini merupakan uji sahihdari hasil penelitian hukum yang dilakukanoleh Fakultas Hukum Universitas Surabayadan Fakultas Hukum Universitas Brawijayabekerja sama dengan Direktorat HukumBank Indonesia dengan topik yang sama,dan sekaligus sebagai ajang sosialisasiterhadap RUU Lembaga PenjaminSimpanan (RUU LPS) yang salah satusubstansinya memuat ketentuan mengenailikuidasi bank dan RUU Kepailitan danPenundaan Kewajiban Pembayaran Utang(RUU Kepailitan). Sebagaimana dimaklumi,kedua RUU ini telah disetujui oleh DPRdalam sidang paripurna pada tanggal 24Agustus 2004 dan 22 September 2004.

Pada forum Seminar Nasional tersebut,tampil 6 (enam) pembicara yang terdiri dari

Tim peneliti dari kedua fakultas hukumtersebut, Direktorat Hukum Bank Indonesia,Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,Pengacara Kepailitan, dan Perbanas JawaTimur. Seminar dihadiri dari berbagaikalangan seperti praktisi perbankan,penegak hukum, pengacara, instansipemerintah, staff pengajar perguruan tinggidari berbagai kota diseluruh Indonesia,mahasiswa dan peminat lainnya.

Terkait dengan kedua RUU yang telahdisetujui oleh DPR tersebut, secara umumdapat disimpulkan bahwa permasalahanutang-piutang yang melibatkan bank sebagaikreditur yang memenuhi kepailitandimungkinkan untuk dapat diselesaikanmelalui kepailitan dengan prosedur khusus,yaitu hanya dapat diajukan oleh BankIndonesia, sedangkan permasalahan bankyang menyangkut “kesulitan yangmembahayakan usaha bank yang tidakdapat diselamatkan” atau “kesulitan yangmembahayakan sistem perbankan”,diselesaikan dengan cara pencabutan izinusaha, pembubaran badan hukum danproses likuidasi bank. Sebagaimanadiketahui, ketentuan likuidasi bank yang duludimuat dalam produk hukum PeraturanPemerintah No. 25 Tahun 1999, sekarangini dimuat dalam RUU LPS. Denganberlakunya UU LPS yang memuat materimengenai likuidasi, maka akan lebihmemberikan kekuatan hukum dibandingkandengan pengaturan sebelumnya dalamPeraturan Pemerintah.

Hal-hal pokok yang penting untuk dicatatdalam kedua RUU tersebut yang terkaitdengan perbankan dan Bank Indonesia,antara lain sebagai berikut :

1. Substansi likuidasi bank dalam RUULembaga Penjaminan Simpanan

83

Page 90: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

a. Penanganan bank yang dilikuidasitidak lagi melibatkan Bank Indonesiasebagai pengawas Tim Likuidasiseperti selama ini, namun dengantelah disetujuinya RUU LPS ini, makapenanganan likuidasi bank akandilakukan oleh Tim Likuidasi yangbertanggung jawab kepada LPS.Sedangkan untuk pencabutan izinusaha bank tetap merupakankewenangan Bank Indonesia.

b. Pelaksanaan likuidasi bank oleh timlikuidasi harus diselesaikan dalamjangka waktu 2 (dua) tahun sejaktanggal pembentukan tim likuidasidan dapat diperpanjang oleh LPSsebanyak 2 (dua) kali masing-masingpaling lama 1 (satu) tahun.

c. Apabila asset bank telah habis dalamproses likuidasi dan masih terdapatkewajiban bank kepada pihak lain,maka kewajiban tersebut wajibdibayar oleh pemegang saham lamayang terbukti menyebabkan bankmenjadi Bank Gagal (failing bank).

d. Penyelesaian sengketa dalam proseslikuidasi diselesaikan melaluiPengadilan Niaga.

2. RUU Kepailitan dan PenundaanKewajiban Pembayaran Utang (RUUKepailitan)

Secara umum, pasal-pasal dalam RUUKepailitan yang menyangkut perbankanterdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:

a. Pasal 2 ayat (3)

Pasal ini mengatur kewenanganpengajuan permohonan pailit olehBank Indonesia dalam hal debitoradalah bank. Ketentuan dalam

a y a t i n i t i d a k m e n g a l a m iperubahan dar i UU Kepa i l i tansebelumnya, yaitu UU No. 4 Tahun1998 ten tang Pene tapanPeraturan Pemerintah PenggantiUndang-undang No. 1 Tahun 1998tentang Perubahan Atas Undang-undang t en tang Kepa i l i t anmenjadi Undang-undang. Namundemikian, terdapat penambahanPenjelasan yang pada pokoknyamenga tu r bahwa pe rmohonanpernyataan pailit terhadap “bank”hanya dapat dilakukan oleh BankIndonesia berdasarkan penilaianB a n k I n d o n e s i a a t a s k o n d i s ikeuangan bank dan kond i s iperbankan secara keseluruhan.Kewenangan tersebut tidak perlud i p e r t a n g g u n g j a w a b k a n .Kewenangan te r sebu t t i dakmenghapuskan kewenangan BankIndonesia mengenai pencabutani j i n usaha bank , pembubaranbadan hukum dan likuidasi banks e s u a i p e r a t u r a n p e r u n d a n g -undangan.

b. Pasal 6 ayat (3)

Ketentuan ini merupakan ketentuanbaru yang sebelumnya tidak diaturdalam UU Kepailitan yang lama.Dalam Pasal 6 (3) ini antara laindiatur bahwa dalam hal pengajuankepai l i tan terhadap bank t idakdi lakukan oleh Bank Indonesia,maka Pani tera waj ib menolakpendaftaran dimaksud.

c. Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3)

Pasal ini pada pokoknya mengaturbahwa untuk menjamin kelancarandan kepastian hukum sistem transfer

84

Page 91: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 2004

dana melalui bank, makapelaksanaan transfer dikecualikandari prinsip zero hour rule. Artinyapada tanggal suatu bank dinyatakanpailit maka transfer yang terjadi padahari itu wajib diteruskan dan tidakterkena ketentuan pembatalantransaksi. Namun demikian apabilaterjadi sengketa, kecurangan ataut indak pidana, maka kuratorberwenang mengajukan tuntutanmengenai hak atau kewajiban harta

pailit. Ketentuan ini juga merupakanketentuan baru yang belum adasebelumnya.

d. Pasal 223

Terkait dengan pengajuan permohonanpenundaan kewajiban pembayaranutang, dalam pasal ini diatur antara lainbahwa dalam hal debitor adalah bank,maka yang dapat mengajukanpermohonan dimaksud adalah BankIndonesia.

85

Page 92: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200486

Page 93: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200487

Page 94: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200488

Page 95: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200489

Page 96: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200490

Page 97: Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 BULETIN HUKUM … fileTim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2 Nomor 2, Agustus 200491