BULETIN -...
Embed Size (px)
Transcript of BULETIN -...
-
BULETIN Pengkajian Pertanian
Vol. 7, No. 1, 2018
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian
-
BULETIN PENGKAJIAN PERTANIAN
@ 2018, BPTP MALUKU UTARA
Volume 7, No. 1, 2018.
Penanggung Jawab :
Bram Brahmantiyo
Dewan Redaksi :
Wawan Sulistiono, A. Yunan Arifin, Chris Sugihono, Slamet Hartanto
Redaksi Pelaksana :
Herwan Junaidi
Himawan Bayu Aji
Bayu Suwitono
Penerbit :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara,
Komplek Pertanian Kusu No. 1 Oba Utara Kota, Tidore Kepulauan
Fax : (021) 29490482
email : [email protected]
PRAKATA
Buletin Vol. 7, No. 1, 2018. merupakan buletin hasil pengkajian yang
diterbitkan oleh BPTP Maluku Utara, yang memuat makalah review dan hasil
pengkajian/penelitian primer yang dilakukan tahun 2013-2018. Makalah tersebut
telah diseleksi dan dikoreksi oleh tim redaksi baik dari segi bahasa maupun bentuk
penyajiannya.
Penerbitan buletin Vol. 7, No. 1, 2018. ini diterbitkan dengan memuat
artikel yang tidak harus berasal dari penyajian dalam suatu seminar, tetapi lebih
ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak peneliti dan penyuluh, tim
redaktur, aparat penunjang lainnya yang telah membantu memperlancar proses
penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari
pembaca selalu kami nantikan.
Redaksi
Tulisan yang dimuat adalah yang telah diseleksi dan disunting oleh tim redaksi dan belum pernah
dipublikasikan pada media cetak manapun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis
(lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.
-
BULETIN Pengkajian Pertanian
Vol. 7, No. 1, 2018
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian
-
BULETIN PENGKAJIAN PERTANIAN
@ 2018, BPTP MALUKU UTARA
Volume 7, No. 1, 2018.
Penanggung Jawab :
Bram Brahmantiyo
Dewan Redaksi :
Wawan Sulistiono, A. Yunan Arifin, Chris Sugihono, Slamet Hartanto
Redaksi Pelaksana :
Herwan Junaidi
Himawan Bayu Aji
Bayu Suwitono
Penerbit :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara,
Komplek Pertanian Kusu No. 1 Oba Utara Kota, Tidore Kepulauan
Fax : (021) 29490482
email : [email protected]
PRAKATA
Buletin Vol. 7, No. 1, 2018. merupakan buletin hasil pengkajian yang
diterbitkan oleh BPTP Maluku Utara, yang memuat makalah review dan hasil
pengkajian/penelitian primer yang dilakukan tahun 2013-2018. Makalah tersebut
telah diseleksi dan dikoreksi oleh tim redaksi baik dari segi bahasa maupun bentuk
penyajiannya.
Penerbitan buletin Vol. 7, No. 1, 2018. ini diterbitkan dengan memuat
artikel yang tidak harus berasal dari penyajian dalam suatu seminar, tetapi lebih
ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak peneliti dan penyuluh, tim
redaktur, aparat penunjang lainnya yang telah membantu memperlancar proses
penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari
pembaca selalu kami nantikan.
Redaksi
Tulisan yang dimuat adalah yang telah diseleksi dan disunting oleh tim redaksi dan belum pernah
dipublikasikan pada media cetak manapun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis
(lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 1, 2018
1
PENGARUH PEMUPUKAN NPK TERHADAP KOMPONEN HASIL UMBI BEBERAPA
VARIETAS UBI KAYU DI LAHAN KERING BACAN, HALMAHERA SELATAN
Wawan Sulistiono dan Bram Brahmantiyo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara
Kompleks Pertanian Kusu NO. 1 Kec. Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan.
ABSTRAK
Budidaya ubi kayu di Maluku Utara secara umum menggunakan varietas lokal dan tidak dipupuk.
Pengaruh pemupukan terhadap peningkatan produktivias umbi belum banyak diketahui oleh petani.
Tujuan percobaan ini adalah mengetahui pengaruh pemupukan terhadap produksi umbi klon lokal
Bacan yaitu jumlah umbi per tanaman, bobot umbi pertanaman dan produktivitas dibanding varietas
nasional. Penelitian ini dilakukan di lahan kering desa Tuokona, Bacan, Kabupaten Halmahera Seletan
pada bulan September 2017-Juni 2018. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok faktorial. Faktor pertama adalah jenis ubi kayu, terdiri 4 jenis yaitu lokal Bacan, Adira-1,
Mentega, Ubi Kuning. Faktor kedua adalah dosis pemupukan NPK, terdiri 3 jenis taraf dosis yaitu
100% dosis, 50% dosis, dan kontrol-nol dosis- (tanpa pemupukan). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemupukan NPK dengan dosis 100% tidak nyata meningkatkan bobot umbi per tanaman pada
semua varietas. Namun demikian klon lokal Bacan, memiliki respon tertinggi terhadap pemupukan
yang menaikkan jumlah umbi per tanaman sebesar 23,8 % dibanding perlakuan hanya pupuk kandang.
Kata Kunci: Ubi kayu, pemupukan NPK, umbi, lahan kering, Bacan
PENDAHULUAN
Ubi kayu merupakan tanaman pangan penting di Halmahera Selatan-Maluku Utara. Produksi
ubi kayu di Maluku Utara sebagian besar, 33,85% dihasilkan dari luas panen ubi kayu Halmahera
Selatan (BPS, 2017). Secara umum, di Maluku Utara ubi kayu dihasilkan dari sistem pertanaman
konvensional yang salah satu cirinya tanaman tidak dipupuk (Sulistiono dkk, 2010). Hasil ubi kayu di
Maluku Utara dengan sistem tanam konvensional tersebut masih mencapai 12, 21 ton/ha (BPS, 2017).
Hasil ini masih dibawah rata-rata produktivitas nasional dengan pengelolaan optimal mencapai 30-40
ton/ha (Suryana, 2007; Badanlitbang, 2008). Oleh karena itu diperlukan teknologi budidaya yang
dapat meningkatkan produktivitas umbi pada teknologi yang belum petani terapkan yaitu pemupukan.
Hasil pengkajian BPTP Malut pada pengelolaan PTT ubi kayu menunjukkan bahwa
pemupukan meningkatkan berat umbi. Klon Ternate dan Tidore menghasilkan produktivitas tinggi
berturut turut 48,37 ton/ha dan 62,10 ton/ha pada umur panen 7 bulan dengan pengelolaan tanaman
terpadu (Sulistiono dkk, 2008). Pemupukan Urea, SP-36 dan KCl masing-masing dengan dosis 100
kg:100 kg, dan 100 kg, meningkatkan produktivitas umbi lokal di bacan mencapai 76,9 ton/ha
(Sulistiono dkk, 2010). Wahyuningsih dan sundari (2013) melaporkan bahwa pemupukan ubi kayu
dengan dosis Urea, SP-36, dan KCl berturut-turut sebesar 200 kg/ha, 100 kg/ha, 100 kg/ha
menghasilkan produktivitas 39,4-49,2 ton/ha. Dosis Urea yang lebih tinggi diberikan pada varietas
Adira 1 sebanyak 200 kg/ha sedangkan pupuk SP-36 dan KCl untuk memunculkan potensi genetisnya
yaitu 40 ton/ha (Sutrisno dan Sundari, 2013).
Berdasarkan hasil peningkatan umbi segar pada pengaruh pemupukan. Diperlukan upaya
teknologi peningkatan produktivitas ubi kayu di Maluku Utara, Bacan. Salah satu teknologinya adalah
pemupukan. Perlakuan pemupukan diharapkan secara nyata meningkatkan umbi segar. Oleh kerena
itu dilakukan penelitian pengaruh pemupukan NPK hasil umbi lokal Bacan Halmahera Selatan. Tujuan
penelitian ini disamping untuk mengingkatan produktivitas umbi segar juga mengetahui dosis yang
tepat untuk budidaya ubi kayu di Maluku Utara.
-
2 Pengaruh pemupukan NPK terhadap komponen hasil umbi beberapa varietas ubi kayu di lahan kering Bacan, Halmahera Selatan
BAHAN DAN METOIDE
Penelitian ini dilakukan di Desa Tuokona Bacan Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi
Maluku Utara. Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2017-Juli 2018. Tanah lokasi
penelitian adalah jenis tanah Andosol dengan pH 5,5-7. Curah hujan tahunan dua tahun berturut-turut
adalah 1.286-2.274 mm/tahun (2016-2017). Suhu harian berkisar 25-30°C.
Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap Faktorial. Faktor
pertama adalah jenis ubi kayu yang terdiri atas empat (4) jenis yaitu: (1) Adira 1, (2) Mentega, (3) Ubi
Kuning, dan (4) Lokal Bacan. Faktor ke dua adalah dosis pupuk an organik yaitu Urea, SP-36, KCl
dengan 3 taraf: (1) dosis 100% yaitu 100:100:100kg/ha, (2) dosis 50% yaitu 50:50:50kg/ha, (3) tanpa
pemupukan pupuk an organik (kontrol). Terdapat 12 kombinasi perlakuan. Tiap kombinasi perlakuan
menggunakan luas petak 5x6m dengan jarak tanam antar stek tanam 1x0,9m. Tiap kombinasi
perlakuan diulang tiga (3) kali.
Pengamatan dilakukan pada jumlah umbi pertanaman, bobot umbi pertanaman dan diameter
umbi. Pengamatan dilakukan pada saat panen pada umur 10 bulan. Pengamatan dilakukan dengan
menimbang umbi, mengitung umbi pada tanaman contoh masing-masing unit perlakuan 3 tanaman
dan menghitung produktivitas rerata secara total per ha. Data paremeter pengamatan yang dihasilkan
dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada faktor perlakuan rancangan acak
lengkap kelompok menggunakan SAS 9.4 program for windows. Jika terdapat interaksi perlakuan
antar faktor, dilakukan pembandingan pengaruh antar interaksi. Kemudian pengaruh perlakuan
tersebut dibandingkan berdasarkan uji Tukey’s studentized range (HSD) test dengan p ≤0.05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Bobot umbi per tanaman
Berdasarkan sidik ragam bobot umbi per tanaman nyata ditentukan oleh perlakuan perbedaan
dosis pupuk Urea, SP-36, dan KCl (p
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 1, 2018
3
Tabel 2. Pengaruh dosis pemupukan Urea, SP-36, dan KCl dan varietas terhadap bobot umbi per
tanaman umur 9 bulan di lahan kering Bacan, Halmahera Selatan.
Bobot umbi per tanaman (kg) umur 9 bulan pada beberapa
varietas Perlakuan
Dosis pupuk Urea, SP-36 dan KCl
100:100:100kg/ha 2,64 b
50:50:50kg/ha 2,67 b
0 (Tanpa pemupukan) 4,00 a
Varietas
Adira 1 2,67 bc
Ubi Kuning 3,62 ab
Mentega 4,03 a
Lokal Bacan 2,08 c
Ket.: Angka yang diikuti huruf sama pada perlakuan dosis pemupukan dan varietas tidak berbeda
nyata pada uji Tukey 5%. (+) menunjukkan terdapat interaksi antar perlakuan berdasarkan
analisis sidik ragam.
Jumlah umbi per tanaman
Berdasarkan sidik ragam jumlah umbi per tanaman nyata ditentukan oleh interaksi dosis Urea,
SP-36, dan KCl dan varietas pada umur 9 bulan (p
-
4 Pengaruh pemupukan NPK terhadap komponen hasil umbi beberapa varietas ubi kayu di lahan kering Bacan, Halmahera Selatan
Tabel 4. Pengaruh dosis pemupukan Urea, SP-36, dan KCl terhadap diameter umbi per tanaman umur
9 bulan di lahan kering Bacan, Halmahera Selatan.
Diameter umbi per tanaman umur 9 bulan pada beberapa varietas
Dosis pupuk/varietas Adira 1 Ubi Kuning Mentega Lokal Bacan
Dosis pupuk Urea, SP-36
dan KCl
100:100:100kg/ha 5,83 b 6,67 ab 5,00 b 6,33 ab
50:50:50kg/ha 6,17 b 6,17 b 7,33 ab 5,00 b
0 (Tanpa pemupukan) 5,00 b 6,33 ab 8,67 a 6,67 ab
(+)
Ket.: Angka yang diikuti huruf sama pada semua kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata pada uji
Tukey 5%. (+) menunjukkan terdapat interaksi antar perlakuan berdasarkan analisis sidik
ragam.
Pembahasan
Bobot umbi, jumlah umbi, dan diameter umbi adalah komponen hasil umbi ubi kayu. Bobot
umbi sangat nyata ditentukan oleh faktor dosis pemupukan kimia (NPK) dan jenis varietas (Tabel 1).
Pada faktor tanah, bobot umbi tertinggi nyata dihasilkan dari tanah tanpa pemupukan kimia. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Edet et al. (2013) bahwa pada penanaman ubi kayu tanpa pemberian
pupuk, namun berdasarkan residu pupuk tanam pertama (Organomineral Fertilizer: 2,5-6 ton/ha)
memberikan hasil umbi/ha sama dengan musim tanam sebelumnya. Tanah di lokasi penelitian tersebut
menunjukkan pH netral yaitu 5,5-7,0. Kisaran pH tersebut memberikan pertumbuhan yang optimal
untuk perkembangan ubi kayu karena unsur hara optimal tersedia (Ande, 2011). Faktor lingkungan
menurut Danquah et al. (2017) berperan menentukan berat umbi segar sebesar 37 %, sedangkan
menurut Aina et al. (2009) sebesar 70,3%.
Faktor genetis berupa jenis varietas ubi kayu sangat nyata menentukan bobot umbi per
tanaman (Tabel 1). Jenis ubi kayu Mentega menunjukkan jenis ubi kayu yang secara genetis memiliki
bobot umbi tertinggi berbeda nyata dengan varietas Adira 1 dan lokal Bacan. Hal ini mengindikasikan
klon lokal Bacan merupakan jenis ubi kayu yang potensi hasilnya sedang seperti Adira 1 yaitu sekitar
30-45 ton /ha (Badan Libang: Balitkabi, 2008). Faktor genetis tersebut yang menentukan bobot umbi
sejalan dengan hasil penelitian Denquah et al. (2017) bahwa peran genotif ubi kayu menentukan berat
umbi segar sebesar 51 %.
Jumlah umbi nyata ditentukan oleh interaksi varietas dan dosis pemupukan NPK (p
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 1, 2018
5
yang stabil di beberapa lingkungan tumbuh. Faktor lingkungan tumbuh yang menentukan hasil ubi
kayu seperti ketinggian tempat, suhu, serta curah hujan (Noerwijayanti and Budianto, 2015).
Ubi kayu jenis Mentega memiliki potensi untuk meningkatkan diameter umbi pada tingkat
kesuburan tanah yang sesuai (Tabel 4). Sementara itu klon lokal Bacan memiliki potensi mengalami
peningkatan daya hasil umbi berupa jumlah umbi per tanaman pada perlakuan pemupukan. Peran
kesuburan tanah tersebut, berupa pemberian pupuk kimia atau alami, sangat penting menentukan
pertumbuhan tanaman ubi kayu (Abah and Petja, 2017). Tanah yang optimal menentukan
pertumbuhan tanaman ubi kayu terutama pada umur 4-6 bulan setelah tanam yang nyata meningkatkan
berat segar umbi saat panen di umur 12 bulan (Edet et al., 2015). Peran kesuburan tanah tersebut
dilaporkan juga oleh (Njoku et al., 2010) bahwa tanah yang subur dan gembur yang terdapat tanaman
legum, sangat nyata memberikan hasil umbi pada perlakuan pemupukan.
KESIMPULAN
Pemberian pupuk kimia Urea-SP36 dan KCL hingga 100 kg/ha tidak nyata meningkatkan
komponen hasil umbi pada semua jenis varietas di tanah jenis Andosol Bacan. Namun pada klon lokal
Bacan perlakuan pemupukan tersebut menghasilkan peningkatan jumlah umbi tertinggi sebesar 23,8
%. Klon Mentega menunjukkan potensi hasil umbi tertinggi dan dapat beradaptasi lebih baik. Varietas
Adira 1, memiliki kestabilan hasil umbi tertinggi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada Haryanti Koostanto SP selaku fasilitator
CIAT/FoodSTAR+ dan Mansur Arif, S.P di Dinas Pertanian Halamhera Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abah R. C., and Petja B.M. 2016. Crop Suitability Mapping for Rice, Cassava, and Yam in North
Central Nigeria. Journal of Agricultural Science 9(1): 96-108.
Adriko J., Sserubombwe W.S., Adipala E., Bua A., Thresh J. M., and Edema R. 2011. Response of
improved cassava varieties in Uganda to cassava mosaic disease (CMD) and their inherent
resistance mechanisms. African Journal of Agricultural Research 6(3):521-531.
Aina O.O., Dixon A.G.O., Paul I., and Akinrinde E.A. 2009. G×E interaction effects on yield and
yield components of cassava (landraces and improved) genotypes in the savanna regions of
Nigeria. African Journal of Biotechnology 8 (19):4933-4945.
Ande O.T. 2011. Soil suitability evaluation and management for cassava production in the derived
savanna area of Southwestern Negeria. International Journal of Soil Science 6 (2): 142-149.
Badan Litbang. Balitkabi. 2008. Prospek dan arah pengembangan agribisnis ubi kayu. Jakarta.
BPS 2017. Maluku Utara dalam angka. Badan Pusat Statistik. Ternate. 408 hal.
Danquah J.A., Aduening J.A., Gracen V.E., Asante I.K., and Offei S.K. AMMI Stability Analysis and
Estimation of Genetic Parameters for Growth and Yield Components in Cassava in the Forest
and Guinea Savannah Ecologies of Ghana. International Journal of Agronomy 2017: 1-16.
Edet M.A., Tijani-Eniola H., Lagoke S.T.O.,Tarawali G. 2015. Relationship of Cassava Growth
Parameters with Yield, Yield Related Components and Harvest Time in Ibadan, Southwestern
Nigeria. Journal of Natural Sciences Research 5 (9): 87-92.
Edet M.A, Tijani-Eniola H., and Okechukwu R. 2013. Residual effects of fertilizer application on
growth and yield of two cassava varieties in Ibadan, South-Western Nigeria. African Journal of
Root and Tuber Crops, 10(1): 33-40.
-
6 Pengaruh pemupukan NPK terhadap komponen hasil umbi beberapa varietas ubi kayu di lahan kering Bacan, Halmahera Selatan
Macalou S., Mwonga S., Musandu A. 2018. Performance of Two Cassava (Manihot Escculenta
Crantz) Genotypes to NPK Fertilizer in Ultisols of Sikasso Region. International Journal of
Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR)38 (2):189-206 .
Munyahalia B.W., Pypersc P., Swennend E.R., Walangululub J., Vanlauwec B., Merckxa R. 2017.
Responses of cassava growth and yield to leaf harvesting frequency and NPK fertilizer in South
Kivu, Democratic Republic of Congo. Field Crops Research 214:194-201.
Mwila N., Nuwamanya E, Odong T .L., Badji A., Agbahoungba S, Ibanda P.A., Mwala M., Sohati P.,
yamanywa S., Rubaihayo P.R. 2018. Genotype by Environment Interaction Unravels Influence
on Secondary Metabolite Quality in Cassava Infested by Bemisia tabaci. Journal of Agricultural
Science 10(8): 192-209.
Njoku D.N., Afuape S.O., and Ebeniro, C.N. 2010. Growth and yield of cassava as influenced by
grain cowpea population density in Southeastern Nigeria. African Journal of Agricultural
Research 5(20): 2778-2781.
Noerwijati K., and Rohmad Budiono R., 2014. Yield and Yield Components Evaluation of Cassava
(Manihot esculenta Crantz) Clones In Different Altitudes. Conference and Exhibition Indonesia
- New, Renewable Energy and Energy Conservation. (The 3rd Indo-EBTKE ConEx 2014).
Energy Procedia 65:155 – 161.
Sulistiono W., Kulle M.S.S., Hidayat Y., Sugihono C., Saleh R., Marliani, Heru I., Ode H.R.,
Musyadik, Ponco H.W. 2010. Uji Kemantapan genetik ubi kayu varietas lokal Ternate dan
Tidore pada 3 Agroekosistem yang berbeda di Maluku Utara. Laporan Akhir Tahun.
Balitbangda Prov. Maluku Utara dan BPTP Maluku Utara. Sofifi. 55 hal.
Sulistiono W., Mejaya J.M., Syahbudin H., Ponco W., Sugihono C., Musyadik. 2008. Pengkajian
introduksi varietas unggul nasional UJ-5 dan varietas lokal Ternate dan Tidore dengan sistem
pengelolaan tanam terpadu (PTT) di Tidore. BPTP Maluku Utara. Sofifi. 30 hal.
Suryana A. 2007. Kebijakan penelitian dan pengembangan ubi kayu untuk agroindustri dan ketahanan
pangan. Prosiding: Prospek strategi dan teknologi pengembangan ubi kayu untuk agroindustri
dan ketahanan pangan. Badan Litbang Deptan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
Sutrisno dan Sundari T. 2013. Potensi hasil klon harapan ubi kayu pada tiga umur panen berbeda.
Peningkatan daya saing dan implementasi pengembangan komoditas kacang dan umbi
mendukung pencapaian empat sukses pengembangan pertanian. Prosiding seminar nasional
hasil penelitian tanaman aneka kacang dan umbi tahun 2012: 537-544.
Wahyuningsih S., dan Sundari T. 2013. Evaluasi klon-klon harapan ubi kayu untuk karakter hasil
umbi dan pati. Peningkatan daya saing dan implementasi pengembangan komoditas kacang dan
umbi mendukung pencapaian empat sukses pengembangan pertanian. Prosiding seminar
nasional hasil penelitian tanaman aneka kacang dan umbi tahun 2012: 528-536.
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 1, 2018
7
KELAYAKAN USAHA INTEGRASI KELAPA-JAGUNG MANIS-SAPI DI LAHAN KERING
MALUKU UTARA
Slamet Hartanto dan Yayat Hidayat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
ABSTRAK
Integrasi kelapa dengan tanaman pangan dan ternak diperlukan untuk mengurangi risiko usaha
monokultur kelapa. Pengkajian sistem integrasi kelapa dilaksanakan pada tahun 2014 di desa
Tafasoho, kecamatan Malifut, kabupaten Halmahera Utara. Satu hektar tanaman kelapa berumur 15
tahun diintegrasikan melalui penanaman jagung manis (Zea mays L. Saccharata) dilahan sela
dibandingkan dengan 1 hektar tanaman kelapa monokultur. Tiga ekor sapi berumur 1,2-1,5 tahun
diberi pakan 1 kg dedak dan limbah tebon jagung manis 3% dari bobot badan. Analisis input-output
(B/C) dan nisbah peningkatan keuntungan bersih (NKB) digunakan menguji kelayakan usaha integrasi
tanaman kelapa dengan jagung manis dan ternak sapi. Hasil yang diperoleh menunjukan produksi
tanaman jagung manis dibawah naungan kelapa teridenfikasi mengalami penurunan, akan tetapi
penanaman jagung manis mampu meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sebesar 50%. Selain itu,
pemanfaatan limbah tebon jagung manis dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi yang dipelihara
secara intensif. Berdasarkan analisis finansial, sistem integrasi kelapa-jagung manis-sapi mampu
meningkatkan 60,58% keuntungan yaitu 2.984.000,- per tahun dibandingkan tanaman monokultur
kelapa dengan nilai B/C 1,38 dan nilai NKB 1,15. Sistem integrasi tanaman kelapa-jagung manis-sapi
menunjukan hasil yang positif, tetapi untuk pengembangan dalam skala besar diperlukan pengkajian
menyeluruh dan multi-lokasi di Maluku Utara.
Kata kunci: integrasi, kelapa, jagung, sapi, kelayakan usaha
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan penggerak utama perekonomian di Maluku Utara dengan
sumbangan terhadap distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) terbesar di Maluku Utara yaitu
36,37 %. Pertanian lahan kering berkontribusi paling besar dalam pembangunan sektor pertanian di
Maluku Utara. Tanaman perkebunan kelapa, cengkeh dan pala merupakan usahatani lahan kering yang
banyak dilakukan oleh petani di Maluku Utara. Maluku Utara merupakan salah satu sentra produksi
kelapa di Indonesia dengan luas lahan 223.108 Ha. Luas lahan perkebunan kelapa sebesar 69% dari
total luas lahan perkebunan di Maluku Utara (BPS Maluku Utara, 2014).
Tanaman kelapa merupakan komoditas unggulan di Maluku Utara tetapi nilai ekonomi dari
tanaman kelapa masih rendah karena produktivitas rendah dan diusahakan secara monokultur (BPTP
Maluku Utara, 2015). Produktivitas rata-rata tanaman kelapa di Maluku Utara 1,2 ton/ha/tahun (BPS
Maluku Utara, 2014). Sebagian besar lahan di antara tanaman kelapa di Maluku Utara merupakan
lahan marginal dan petani umumnya belum melakukan upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Kondisi tersebut menyebabkan produktivitas kelapa masih rendah. Usaha agribisnis pertanian yang
bersifat monokultur juga telah terbukti rentan mengalami kerugian, karena harga jual produk pertanian
bersifat fluktuatif dari waktu ke waktu.
Diversifikasi (penganekaragaman) usaha secara vertikal maupun horisontal diperlukan untuk
mengurangi resiko terhadap usaha monokultur. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu inovasi
teknologi yang sesuai untuk diintegrasikan dalam usaha pokok, dengan mengoptimalkan sumberdaya
yang tersedia, dan secara teknis, ekonomi dan sosial budaya layak dan dapat diterima oleh masyarakat
pelaku usaha secara berkelanjutan. Crops Livestock System (CLS) atau Sistem Integrasi Tanaman
Ternak (SITT) merupakan pola diversifikasi usaha yang diperkirakan bisa sebagai solusi jangka
mailto:[email protected]
-
8 Kelayakan usaha integrasi kelapa-jagung manis-sapi di lahan kering Maluku Utara
panjang yang harus dikembangkan sebagai kunci menemukan pakan ternak dari beragam limbah
pertanian dan sumberdaya tanaman tahunan, bukan untuk mengganti pakan konvensional, melainkan
untuk memperkuat ketahanan pangan dalam ekosistem lahan kering (Nataatmaja, 2004).
SITT dengan pola Kelapa – Jagung Manis - Sapi merupakan usaha yang sangat layak
dikembangkan sebagai solusi untuk pengembangan peternakan dan perkebunan serta menjaga
ketahanan pangan lahan kering di Maluku Utara. Manfaat SITT Kelapa-Jagung Manis- Sapi yaitu
dengan adanya jagung manis sebagai tanaman sela diperkirakan mampu meningkatkan produktivitas
tanaman kelapa, meningkatkan pendapatan petani, dan menyediakan hijauan pakan ternak dari limbah
tanaman jagung (zero waste). Perlakuan pengolahan tanah dan pemupukan untuk usaha tanaman
jagung pada lahan marginal diantara tanaman kelapa dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga
produktivitas kelapa meningkat. Malia et. al. (2010) menyatakan produktivitas kelapa di Desa
Tawaang meningkat dari 6 menjadi 12 butir per tandan pada integrasi kelapa dengan jagung Srikandi
kuning. Jagung manis juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan cocok dikembangkan di Maluku
Utara sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani diluar usaha perkebunan kelapa. Manfaat lain
SITT yaitu ternak sapi akan menghasilkan berlimpah kotoran yang dapat diolah menjadi kompos dan
sumber energi berupa sumber biogas (Hasnudi, 1991 dalam Elly et al., 2008).
Pengkajian SITT Kelapa- Jagung Manis- Sapi dengan tujuan untuk mendapatkan paket
teknologi SITT Kelapa- Jagung Manis- Sapi dan menguji kelayakan sistem integrasi tanaman dengan
ternak.
BAHAN DAN METODE
(a) Lokasi dan Waktu Pengkajian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Waktu pelaksanaan Januari – Desember
2014. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu berdasarkan
pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan penelitian. Lokasi yang dipilih adalah desa Tafasoho,
Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera Utara dengan pertimbangan wilayah yang masyarakatnya
banyak membudidayakan tanaman kelapa, beternak sapi dan tanaman jagung.
(b) Tanaman Kelapa Dua hektar tanaman kelapa berumur 15 tahun didesain untuk mendapatkan perlakuan
pengkajian dengan 1 hektar untuk sistem integrasi dan 1 hektar untuk usaha monokultur. Paket
teknologi yang diintroduksikan pada tanaman kelapa adalah penanaman jagung manis diantara
tegakan kelapa.
(c) Jagung Manis (Zea mays L. Saccharata) Varietas yang digunakan adalah varietas unggul Bonanza F1. Penanaman dilakukan dengan
cara ditugal ditugal 2-3 cm, dengan jarak tanam 75x40 cm (2 biji/lubang). Dosis pupuk yang
diberikan yaitu 300 kg/ ha urea, 400 kg/ ha NPK dan 1.000 kg/ ha pupuk kandang. Pemupukan
pertama (saat tanam), ditugal dekat barisan tanaman ( + 5 cm dari batang tanaman dengan kedalaman
5-7 cm. Pada pemupukan pertama, pupuk urea dan NPK diberikan ½ dosis dari pupuk yang
digunakan. Pemupukan kedua dilakukan pada saat 14 HST. Pemupukan kedua dengan cara membuat
larikan 5 cm diantara tanaman dan diberikan ½ dosis atau ½ dari kekurangan. Pupuk kandang
diberikan sekali pada saat penanaman dan sebagai penutup lubang tanam dengan dosis 1.000 kg/ ha.
(d) Ternak Sapi Tiga ekor sapi Bali betina umur 1,2-1,5 tahun. Sapi dikandangkan secara intensif pada
kandang individu. Pakan yang diberikan 1 kg dedak halus dan limbah tebon jagung diberikan 3% dari
bobot badan. Air minum diberikan secara adlibitum.
(e) Pengumpulan Data Data pengamatan jumlah butir kelapa dilaksanakan 2 kali setiap 4 bulan. Jumlah butir dihitung
secara manual dengan pengamatan visual setiap pohon. Pertambahan bobot badan dilakukan dengan
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 1, 2018
9
menghitung selisih bobot badan setiap bulan selama 4 bulan. Perhitungan bobot badan dilakukan
dengan estimasi bobot badan dengan metode perhitungan lingkar dada (Zurahmah dan The, 2011).
Data tanaman jagung manis yang diamati jumlah tongkol, berat batang dan daun (limbah) jagung.
Data usaha tani yang diambil adalah biaya input usahatani dan besarnya output usahatani.
(f) Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode input-output analysis (B/C) (Price, 1972)
untuk menguji kelayakan usahatani.
NPT
B/C =--------
BT
Dimana:
B/C = Nisbah penerimaan dan biaya, NPT = Nilai produksi kotor (Rp/ha/th), BT = Nilai biaya total
(Rp/ha/th), Dengan keputusan:
B/C>1, usahatani secara ekonomi menguntungkan; B/C=1, usahatani secara ekonomi berada pada titik
impas (BEP); B/C
-
10 Kelayakan usaha integrasi kelapa-jagung manis-sapi di lahan kering Maluku Utara
hingga 45% akan terjadi penurunan hasil. Limbah brangkas (daun dan batas) yang dihasilkan oleh
jagung manis juga cukup tinggi yaitu 1.120 kg/ ha.
Jumlah buah kelapa per tandan meningkat 50 % setelah adanya tanaman jagung manis, yaitu
dari 6 buah per tandan menjadi 8-9 buah pertandan. Hal ini sesuai Kaat dan Dawis (1986) yang
menyatakan penanaman tanaman sela mampu meningkatkan jumlah bunga betina dan buah kelapa tiap
pohon. Dilaporkan Paat et. al. (2006), bahwa penerapan sistem integrasi kelapa dengan jagung di
Kabupaten Minahasa Utara berkorelasi positif terhadap peningkatan produksi kelapa per tandan dari 5
buah menjadi 9 buah per tandan.
Tabel 1. Keragaan tanaman jagung manis, ternak sapi dan tanaman kelapa
No Parameter Volume
1. Tanaman jagung manis:
- Jumlah tongkol (buah/ ha) - Berat limbah/ brangkasan (kg/ ha)
8.240
1.120
2. Kelapa:
- Jumlah buah pertandan (buah/ tandan)
8-9
3. Sapi:
- PBBH1) (kg/ hari)
0,416 1)PBBH, pertambahan bobot badan harian
Sistem pemeliharaan sapi secara intensif pada SITT juga meningkatkan PBBH yaitu 0,416
kg/ekor/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan semi intensif dan ektensif. Dilaporkan
Hendaru et. al. (2011), PBBH sapi Bali yang dipelihara secara semi intensif 0,221 kg/ekor/hari,
sedangkan secara ekstensif menjadi 0,126 kg/ekor/hari.
Kelayakan usahatani SITT kelapa- jagung manis- sapi
Untuk melakukan usahatani terintegrasi kelapa-jagung manis-sapi, diperlukan biaya tetap
sebesar Rp 2.832.000,- untuk membeli sapi, susut kandang dan susut peralatan. Modal kerja sebagai
biaya variabel sebesar Rp. 17.935.000,- diasumsikan hanya 2 musim tanam jagung per tahun.
Keuntungan dengan penerapan SIIT, tidak ada modal kerja untuk pembersihan lahan karena dengan
adanya pemeliharaan tanaman sela lahan diantara tanaman kelapa terlihat bersih. Untuk usahatani
kelapa monokultur, modal kerja yang dibutuh Rp. 1.075.000,- untuk upah tenaga panen dan
pembersihan lahan sebanyak 2 kali dalam setahun.
Penerapan SITT kelapa-jagung manis-sapi mampu meningkatkan 60,58% pendapatan petani
yaitu sebesar Rp. 2.984.000,-/ tahun dibandingkan system usaha tani monokultur. Berdasarkan analisis
finansial, keuntungan dari SITT yaitu Rp. 7.909.000,-/ha/tahun dengan nilai B/C 1,38. Keuntungan
dari usahatani monokultur hanya sebesar Rp. 4.925.000,-. Penerimaan SITT diperoleh dari penjualan
jagung manis sebanyak 16.480 buah dengan harga jual Rp. 1.000,-/ buah, penjualan sapi, pejualan
kopra sebanyak 2.000 kg dengan harga Rp. 3.000/ kg dan penjualan pupuk kandang sebanyak 2.880
kg dengan harga jual Rp. 200,-/ kg.
Tabel 2. Analisis kelayakan usahatani kelapa-jagung manis-sapi
Uraian SITT Kelapa-Jagung
Manis-Sapi Monokultur
(Rp.) (Rp.)
A. BIAYA TETAP 2.832.000 -
Tanah - -
Bibit sapi 2.622.000 -
Susut kandang 100.000 -
Susut peralatan 10.000 -
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 1, 2018
11
Peralatan olah pakan 100.000 -
B. MODAL KERJA 17.935.000 1.075.000
Saprodi:
Benih jagung (25 kgx 2 musim) 2.500.000 -
Pupuk urea (300 kgx 2 musim) 2.100.000 -
Pupuk NPK (400 kgx 2 musim) 3.600.000 -
Pupuk kandang (1.000 kgx 2 musim) 400.000 -
Obat-obatan/ herbisida dll (2 musim) 300.000 -
Pakan tambahan dan obat
( Dedak halus+ obat) 360.000 -
Upah tenaga kerja:
Olah tanah (2 musim) 1.800.000 -
Penanaman (2 musim) 1.000.000 -
Pemupukan (2 musim) 600.000 -
Pemeliharaan (2 musim) 1.600.000 -
Panen dan pasca panen (2 musim) 1.800.000 -
Pemeliharaan sapi (pengolahan
pakan
dan pemeliharaan) 1.200.000 -
Pembersihan lahan (2 kali) - 400.000
Panen dan pascapanen kelapa (3 x
150 pohon) 675.000 675.000
C. PENERIMAAN 28.676.000 6.000.000
Penjualan jagung manis 16.480.000 -
Penjualan sapi 5.620.000 -
Penjualan kopra 6.000.000 6.000.000
Penjualan pupuk kandang 576.000 -
PENDAPATAN BERSIH 7.909.000 4.925.000
B/C 1,38
NKB 1,15
Nilai NKB dari penerapan SITT kelapa-jagung manis-sapi yaitu 1,15. Ini berarti penerapan
SITT mampu meningkatkan keuntungan petani kooperator. Dengan demikian, secara finansial
teknologi SITT kelapa-jagung manis-sapi layak diterapkan karena nilai B/C dan NKB lebih dari 1.
KESIMPULAN
Sistem integrasi tanaman kelapa-jagung manis-sapi menunjukan hasil yang positif, tetapi
untuk pengembangan dalam skala besar diperlukan pengkajian menyeluruh dan multi-lokasi di
Maluku Utara.
-
12 Kelayakan usaha integrasi kelapa-jagung manis-sapi di lahan kering Maluku Utara
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa. 1995. Model Keuntungan Kompetitif Sebagai Alat Analisis Dalam
Memilih Komoditas Unggulan Pertanian. Informatika Penelitian. Vol 5(2): 251-258
BPS. 2014. Maluku Utara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku Utara.
BPTP Maluku Utara. 2009. Gelar Teknologi Jagung Hibrida Bima 5 di Maluku Utara. Laporan Akhir.
BPTP Maluku Utara. 2015. Kajian Agribisnis Tanaman Kelapa (Teknologi Budidaya, Pengendalian
OPT, dan Produk Olahan Kelapa). Laporan Akhir.
Elly, FH., Sinaga, BM., Sri Utami Kuntjoro, AU., dan Nunung Kusnadi. 2008. Pengembangan Usaha
Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(2), 2008. Tersedia pada:
http://www.pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3272084.pdf
Fisher, K.S. dan A.F.E. Palmer. 1984. Jagung Tropik. CIMMYT, Mexico. Dalam R. Goigworthy dan
N.M. Fisher (Ed.).Terjemahan Tohari, Penyunting Soedharoedjian. Fisiologi Tanaman
Budidaya Tropika. Gadjah Mada University Press. hlm. 305-307.
Hadi, Rustan. 2009. Teknik Optimalisasi Pemanfaatan Lahan di Antara Tanaman Kelapa di Daerah
Pasang Surut Jambi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 14 No. 1, 2009: 40-43.
Hendaru, Indra H. et. al. 2011. Laporan Akhir Kegiatan Prima Tani Kabupaten Halmahera Barat.
BPTP Maluku Utara.
Kaat, H dan S.N. Dawis. 1986. Pengaruh Tanaman Sela Terhadap Produksi Kelapa. Jurnal Penelitian
Kelapa (1): 34-36.
Malia, IE., Paat, PC., Aryanto, dan Bahtiar. 2006. Kelayakan Sistem Usahatani Jagung-Ternak Sapi-
Kelapa di Sulawesi Utara. Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010. Ha; 607-618. ISBN : 978-
979-8940-29-3.
Nataatmaja, H. 2004. Studi Pelaksanaan Pengembangan Sistem “Crop-Livestock” melalui BLM.
Zurahman, N dan The, E. 2011. Pendugaan Bobot Badan Calon Pejantan Sapi Bali Menggunakan
Dimensi Ukuran Tubuh. Buletin Peternakan Volume 35(3): 160-164.
Paat, PC., dan Taulu, LA. 2006. Potensi dan Peluang Pengembangan Sistem Integrasi Jagung – Sapi di
Sulawesi Utara. Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi
Tanaman –Ternak. Hal 99-106.
Price GJ 1972, Economic analysis of agricultural project. The economic development institute,
Interbational Bank for reconstruction and development, The John Hopkins University Press,
Baltimore and London. 221 p.
Zuraida, R. 2010. Usaha tani Padi dan Jagung Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk Mendukung
Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan
(Kasus di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru). Prosiding Pekan Serealia Nasional,
2010. Hal; 597-601. ISBN : 978-979-8940-29-3.
http://www.pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3272084.pdf
-
13
STATUS PERKEMBANGAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
MALUKU UTARA
Ahmad Yunan Arifin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara.
Jl. Komp. Pertanian Kusu Kec. Oba Utara Kota idore Kepulauan Maluku Utara
Email: [email protected]
ABSTRAK
Saat ini telah terjadi kecenderungan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap struktur
perekonomian di setiap wilayah. Kondisi ini disebabkan adanya fokus kebijakan dan implementasi
pada kegiatan non pertanian pada struktur pembangunan wilayah. Kajian ini bertujuan untuk a).
Mengidentifikasi karakteristik subsektor pertanian dalam pembangunan wilayah dan b). Menyusun
strategi dalam mengoptimalisasi peran subsektor pertanian dalam pembangunan wilayah. Kajian
dilakukan pada bulan Januari – April 2009 di provinsi Maluku Utara menggunakan data sekunder
yang tersedia. Data dianalisis menggunakan pendekatan Shift Share Analysis (SSA) dan tipologi
Klassen untuk mengidentifikasi kontribusi subsektor pertanian dalam pembangunan wilayah serta
analisis deskriptif untuk mengetahui situasi dan permasalahan pembangunan pertanian. Hasil kajian
menunjukkan adanya 7 (tujuh) akar permasalahan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap
struktur perekonomian wilayah, yaitu a). keterbatasan infrastruktur dasar dan pertanian; b). Rendahnya
produktivitas usaha tani; c). Rendahnya kapasitas kolektif petani; d). Rendahnya produktivitas kerja
petani akibat akses pendidikan dan kesehatan yang rendah; e). Minimnya lapang usaha dan
keterbatasan kemampuan pemanfataan peluang usaha; f). Pendekatan pembangunan birokratik dan
sentralistik; dan g). Pelaksanaan manajemen pembangunan perdesaan bersifat egosektoral. Dalam hal
ini, pendekatan kawasan berbasis gugus pulau diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya alam dan penyediaan sumberdaya buatan untuk peningkatan produktivitas usaha
pertanian. Pengembangan gugus pulau memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan ekologis,
karakterisitik dan potensi pertanian wilayah, pengembangan pusat pertumbuhan dan pelayanan sarana
ekonomi sosial, serta keterkaitan potensi masing-masing pulau secara fungsional dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan kehidupan ekonomi masyarakat pada suatu gugus pulau.
PENDAHULUAN
Hingga saat ini, pertanian dipandang sebagai suatu subsektor yang memilki kemampuan
khusus dalam memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) di tingkat wilayah.
Dalam hal ini, kesejahteraan masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan dan kesenjangan perdesaan-
perkotaan dapat dikurangi melalui optimalisasi pembangunan subsektor pertanian. Dengan demikian,
keberhasilan pembangunan subsektor pertanian memiliki peran vital dalam mengurangi kemiskinan
dan kesenjangan antar wilayah. Hal ini disebabkan pertumbuhan sektor pertanian memiliki
kemampuan khusus untuk mengurangi kemiskinan. Berdasarkan estimasi lintas negara menunjukkan
bahwa pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dipicu oleh subsektor pertanian, minimal
memiliki dua kali lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan daripada pertumbuhan yang disebabkan
oleh sektor di non pertanian (Bank Dunia, 2008). Pertumbuhan di sektor pertanian diyakini pula
memiliki efek pengganda (multiplier effects) yang tinggi karena pertumbuhan di sektor ini mendorong
pertumbuhan yang pesat di sektor-sektor perekomonian lain, misalnya di sektor pengolahan (agro-
industry) dan jasa pertanian (agro-services).
Ironisnya, saat ini telah terjadi kecenderungan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap
struktur perekonomian di Maluku Utara. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya beberapa titik lemah
dalam kebijakan dan implementasi yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk
pertanian). Pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan pembangunan sektor pertanian seperti
-
14
pembangunan pertanian terpadu, pembangunan pertanian berwawasan lingkungan, dan pembangunan
pertanian berwawasan agroindustri. Namun, upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan
pencapaian yang optimal. Dengan demikian, diperlukan sebuah pendekatan pemberdayaan alternatif
yang mampu memberdayakan masyarakat pedesaan secara holistik dan sinergis. Berimbang antara
aspek ekonomi, infrastruktur, sosial dan kelembagaan serta lingkungan hidup lewat pengembangan
kawasan yang melingkupinya yang mampu membuka peluang melakukan sinergitas beragam kegiatan
lebih yang dinamis dan produktif yang melibatkan partisipasi berbagai pihak dalam merespon
ketidakberdayaan dan kemiskinan akut. Asumsi ini sejalan dengan pandangan dan pengalaman
empirik bahwa partisipasi adalah jalan mencapai pemberdayaan (Sajogyo, 1977) yang tentu akan lebih
efektif apabila didekati melalui kebijakan pengembangan kawasan perdesaan berbasis komunitas atau
masyarakat.
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka tujuan kajian ini sebagai berikut: a).
Mengidentifikasi karakteristik subsektor pertanian dalam pembangunan wilayah dan b). Menyusun
strategi dalam mengoptimalisasi peran subsektor pertanian dalam pembangunan wilayah.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Kajian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan April 2009 dengan menganalisis data
sekunder terkait di wilayah Maluku Utara.
Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder yang terdiri dari dokumen instansi terkait
dan data Biro Pusat Statistik.
Analisa Data
Shift Share Analysis (SSA) merupakan suatu analisis ekonomi wilayah yang mengidentifikasi potensi
dan daya saing perkembangan suatu program pembangunan wilayah. Persamaan yang digunakan
adalah:
∆ 𝑌𝑖 = 𝑃𝑅𝑖𝑗 + 𝑃𝑃𝑖𝑗 + 𝑃𝑃𝑊𝑖𝑗
Atau secara rinci dapat dinyatakan;
𝑌′𝑖𝑗 − 𝑌𝑖𝑗 = ∆𝑌𝑖𝑗 = 𝑌𝑖𝑗 (𝑅𝑎 − 1) + 𝑌𝑖𝑗(𝑅𝑖 − 𝑅𝑎) + 𝑌𝑖𝑗 (𝑟𝑖 − 𝑅𝑖) ∆𝑌𝑖𝑗 = 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑖 𝑘𝑒 − 𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑘𝑒 − 𝑗 Yij = PDRB subsektor pertanian ke-i pada provinsi ke-j pada tahun dasar analisis
Y’ij = PDRB subsektor pertanian ke-i pada provinsi ke-j pada tahun akhir analisis
Yi = PDRB subsektor pertanian ke i di seluruh wilayah penelitian pada tahun dasar
analisis
Y’i = PDRB subsektor pertanian ke i di seluruh wilayah penelitian pada tahun akhir
analisis
Y.. = PDRB seluruh subsektor pertanian pada tahun dasar analisis
Y’.. = PDRB seluruh subsektor pertanian pada tahun akhir analisis
Ra = Y’.. / Y..
Ri = Y’i. / Yi.
ri = Y’ij / Yij
Tipologi Klassen. Analisis ini digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola pertumbuhan
ekonomi daerah dengan klasifikasi sebagai berikut: (a) wilayah maju dan tumbuh cepat (ri > r dan yi <
y); (b) wilayah maju dan tertekan (ri < r dan yi > y); (c) wilayah sedang tumbuh (ri > r dan yi < y); dan
(d) wilayah yang relatif tertinggal (ri < r dan yi < y).
Keterangan:
ri = Laju pertumbuhan ekonomi PDRB wilayah i
yi = PDRB perkapita wilayah i
-
15
r = Laju pertumbuhan PDRB wilayah referensi
y = PDRB perkapita wilayah referensi
HASIL PEMBAHASAN
Kebijakan Pembangunan Maluku Utara
Pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhannya merupakan salah satu kebutuhan dalam
rangka membangun perekonomian di daerah. Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) merupakan
salah satu indikator yang lazim digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan ekonomi wilayah.
Maluku Utara memiliki nilai PDRB sebesar 2.6 trilyun dengan rata-rata laju pertumbuhan selama
periode tahun 2001 – 2008 yang cukup tinggi, yaitu 5,9%/th. Namun demikian, laju pertumbuhan ini
tidak diiringi dengan perkembangan kualitas pembangunan ekonomi dan manusia yang cukup baik.
Hal ini terlihat adanya ketimpangan ekonomi dan efisiensi pengelolaan sumber daya dalam
pelaksanaan pembangunan di wilayah Maluku Utara.
Ketimpangan Pembangunan
Dalam hal distribusi ketimpangan pembangunan ekonomi, dapat diidentifikasi menurut
aspeknya, yaitu dimensi sektoral, spasial, distribusi pendapatan dan pengeluaran. Dari dimensi
sektoral, pada tahun 2008, sektor pertanian mampu memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB
Maluku Utara, yaitu sebesar 39,5 %. Namun demikian, sebagian besar laju pertumbuhan ini
disumbang oleh sektor pertambangan (10.8%), bangunan (10.3%), serta pengangkutan dan komunikasi
(8.9%). Sektor pertanian hanya memiliki laju pertumbuhan sebesar 4.7%. Seiring dengan tingginya
jumlah keluarga pra sejahtera di perdesaan yang mencapai 96% dari total keluarga pra sejahtera (BPS,
2008), fenomena ini menunjukkan adanya indikasi perhatian pemerintah daerah yang lebih besar pada
subsektor non-pertanian, khususnya pertambangan, perdagangan, bangunan, serta pengangkutan dan
komunikasi.
Beradasarkan aspek spasial, kota Ternate merupakan penyumbang sumbangan terbesar dalam
pembentukan PDRB Maluku Utara Tahun 2007 (19,3%), diikuti dengan kabupaten Halmahera Selatan
(19,2%), Halmahera Utara (16,7%), Kep. Sula (11,4%), Tidore Kep. (9,1%), Halmahera Timur
(8,3%), Halmahera Barat (8,0%), dan Halmahera Tengah (7,9%).
Senada dengan hal tersebut, tipologi Klassen berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita memberikan informasi terkait pola pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Hasil
analisis memberikan gambaran bahwa tingginya ketimpangan pertumbuhan antar kabupaten/kota.
Hanya Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Timur yang masuk dalam Wilayah Maju dan Tumbuh
Cepat sedangkan Halmahera Tengah, Selatan, Utara, dan Tidore Kepulauan (Wilayah Maju Tetapi
Tertekan) serta Halmahera Barat dan Kep Sula (Wilayah Relatif Tertinggal). Dalam teori ekonomi,
adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar kabupaten/kota yang besar menyebabkan pengaruh
yang merugikan (backwash effects) terhadap pertumbuhan wilayah provinsi Maluku Utara. Perbedaan
pertumbuhan wilayah yang cukup besar menyebabkan adanya perbedaan ketersediaan sumber daya
yang dimiliki setiap wilayah sehingga pemilik modal (investor) cenderung memilih wilayah dengan
pertumbuhan cepat karena tersedinya berbagai fasilitas pendukung usaha, meliputi prasarana
perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, dan ketersediaan tenaga
terampil.
Efisiensi Pembangunan Sumberdaya
Pembangunan ekonomi dalam kerangka otonomi daerah menghendaki adanya pengelolaan dan
penggunaan sumberdaya yang efisien untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi daerah
berdasarkan potensi dan karakteristik. Efisiensi pengelolaan sumberdaya dapat diuraikan dari efisiensi
pendayagunaan sumberdaya fisik dan manusia serta sumberdaya alam.
Penilaian efisiensi pendayagunaan aspek sumberdaya fisik menggunakan metode Shift Share
Analysis (SSA) untuk memperoleh gambaran secara umum terkait efisiensi pendayagunaan
sumberdaya fisik dan manusia di tingkat wilayah (Tabel 1). Metode SSA mengukur kegiatan ekonomi
-
16
pada seluruh sektor dengan memberikan asumsi adanya perubahan pendapatan dan produksi wilayah
menurut tiga komponen pertumbuhan, yaitu pertumbuhan regional, proporsional, dan pangsa pasar.
Tabel 1. Hasil Analisis SSA Wilayah Pusat Pertumbuhan Maluku Utara (Kota Ternate)
N
o
Sektor Ternate Maluku Utara Pertumbuhan Pertum
b
Pangsa
Pasar
Th
2005
Th
2007
Th
2005
Th
2007
Region
-al
Propor
si-onal
1 Pertanian 55.717 61.745 792.67 870.19 6.585 -1.137 580
2 Pertambangan
dan Penggalian
3.807 4.512 106.62 123.40 450 149 106
3 Industri
Pengolahan
26.731 29.388 343.32 370.48 3.159 -1.045 542
4 Listrik, Gas,
dan Air
6.447 6.725 11.177 12.625 762 73 -557
5 Bangunan 13.662 16.657 33.574 40.704 1.615 1.287 94
6 Perdagangan,
Hotel, dan
Resto
141.25 161.08 540.69 619.28 16.695 3.837 -701
7 Pengangkutan
dan Kominukasi
57.660 76.728 157.73 185.63 6.815 3.384 8.869
8 Keuangan &
Persewaan
29.869 32.560 74.071 83.695 3.530 351 -1.190
9 Jasa-jasa 79.941 89.260 176.92 195.14 9.448 -1.215 1.086
TOTAL 415.08 478.65 2.236.
8
2.501.
1
49.060 5.684 8.828
Sumber: BPS, 2008
Kota Ternate, sebagai wilayah pusat pertumbuhan di Maluku Utara, memiliki pertumbuhan
regional dan proporsional paling tinggi berada pada sektor perdagangan-perhotelan-restoran. Namun
demikian, sektor pertanian termasuk dalam kategori pertumbuhan regional yang cepat tetapi masuk
dalam kategori pertumbuhan proporsional yang tidak maju. Kedepannya, diperlukan pembenahan dan
penguatan sistem agribisnis yang didukung dengan kebijakan yang kondusif, meliputi aspek
pemasaran, kelembagaan, perpajakan dan subsidi untuk memajukan sektor pertanian Maluku Utara.
Penilaian efisiensi pengelolaan aspek sumberdaya alam, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
di Maluku Utara telah menimbulkan dampak negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan
kualitas lingkungan akibat kurang diperhatikannya faktor produksi, sosial, dan ekologi dalam
pengelolaan SDA. Sebagai gambaran dapat diuraikan pengurasan tambang (dalam hal ini nikel) dan
kayu sebagai primadona sumberdaya alam Maluku Utara. Berdasarkan Laporan Triwulan IV Bank
Indonesia, terdapat peningkatan ekspor tambang nikel yang cukup signifikan selama tahun 2009
hingga mencapai 43% di Maluku Utara. Diperkirakan ekspor ini akan terus meningkat seiring
masuknya invetasi baru maupun ekspansi usaha dari dua perusahaan tambang besar yang ada, yaitu
PT. NHM dan PT. Antam. Kedepannya, pertanian di kedua wilayah tersebut akan dihadapkan dengan
permasalahan meningkatnya kerusakan lahan, menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan,
meluasnya lahan kritis, serta berkurangnya daya dukung lingkungan.
Dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas bagi Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai
pelaksana dan promotor pembangunan di daerah untuk mengatur dan menentukan sendiri kegiatan
pembangunan wilayah yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat setempat. Strategi
pembangunan yang dilaksanakan harus mengacu pada karakteristik yang dimiliki daerah sehingga
mampu mendayagunakan potensi sumber daya manusia, sumber-sumber fisik serta kelembagaan local,
baik formal maupun non formal.
-
17
Permasalahan Pembangunan Perdesaan
Pada dasarnya, pembangunan yang efisien dan efektif dapat tercapai apabila mampu
memanfaatkan sumberdaya yag terbatas untuk memberikan hasil yang maksimal, bermanfaat bagi
masyarakat, dan merupakan upaya pemecahan masalah yang mendasar dan permanen sehingga dapat
landasan yang kuat untuk pembangunan ke depan. Dalam hal ini, pembangunan di subsektor pertanian
menghadapi permasalahan yang cukup kompleks, meliputi aspek sumberdaya alam, ekonomi, sosial,
budaya, kelembagaan, pendidikan, kesehatan, dan politik. Atas dasar hal ini, perlu dilakukan
penelusuran akar permasalahan dan kemudian membangun mulai dari akar permasalahan.
Membangun dari akar permasalahan diharapkan dapat mengoptimalkan sumberdaya yang terbatas
secara tepat untuk mendukung prioritas pembangunan yang memberikan manfaat secara luas.
Menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di “permukaan” hanya bersifat sementara dan
tidak menyelesaikan akar permasalahan sehingga cenderung menimbulkan masalah baru yang lebih
kompleks. Mengingat kompleksitas permasalahan, maka permasalahan pembangunan perdesaan
dikelompokkan berdasarkan unsur-unsur di dalamnya, yaitu petani, pertanian, dan pelaksanaan
pembangunan perdesaan.
Petani
• Sektor pertanian sebagai sumber penghasilan 82% keluarga di Maluku Utara belum mampu secara optimal memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani. Terbukti, hampir
sebagian besar jumlah penduduk miskin di Maluku Utara (73% dari total penduduk miskin) berada
di desa (BPS, 2007). Selain itu, terdapat kecenderungan tingginya rata-rata angka pengangguran
di tingkat desa, yaitu sebesar 30 orang/desa (BPS, 2003).
• Sektor pertanian yang identik sebagai sumber penghasilan utama di perdesaan, tidak mampu memberikan jaminan kelangsungan hidup bagi masyarakat. Data menunjukkan bahwa rata-rata
jumlah penduduk yang “keluar” desa (urbanisasi) sebanyak 3 orang/desa/tahun. Kota Ternate
sebagai wilayah pusat pertumbuhan di Maluku Utara, merupakan daerah tujuan utama urbanisasi
dengan rata-rata jumlah penduduk yang datang per kelurahan di kota Ternate, sebanyak 22 org
dalam kurun waktu 1 tahun (2008). Hal ini menggambarkan sektor pertanian tidak mampu
memberikan jaminan kelangsungan lapangan kerja sehingga seiring dengan terjadinya urbanisasi,
maka terjadi perubahan sumber penghasilan utama masyarakat dari petani ke non pertanian (BPS,
2008).
• Kualitas SDM dapat diukur melalui Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan mempertimbangkan hubungan antara faktor penghasilan dan kesejahteraan. Nilai Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Maluku Utara selama kurun waktu 3 tahun (2006-2008) cukup
rendah, yaitu 67,82-68,8 dengan rata-rata nasional sebesar 70,1-71,2 (BPS, 2008). Kondisi ini
menjadi penyebab rendahnya produktivitas kerja sebagian besar masyarakat, termasuk didalamnya
petani, cukup rendah.
• Tingkat produktivits kerja dipengaruhi oleh status kesehatan dan kemampuan askses masyarakat terhadap pendidikan. Dalam hal ini, masyarakat Maluku Utara memiliki tingkat kerentanan yang
tinggi terhadap berbagai wabah penyakit (muntaber,demam berdarah, dan TBC) dengan rata-rata
penderita berjumlah 2,5 orang/desa/th (BPS, 2008). Selain itu, berdasarkan pola pengeluaran
pendapatan masyarakat, hanya sebagian kecil pendapatan masyarakat di perdesaan yang
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, yaitu sebesar 4.4%. Dengan
demikian, perlu adanya upaya peningkatan pendapatan masyarakat dalam rangka mewujudkan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia di tingkat masyarakat, khususnya di perdesaan (Susenas,
2005).
Produktivitas Pertanian
• Keragaan produktivitas seluruh komoditas pertanian di Maluku Utara masih jauh dibawah standar nasional, kecuali tanaman cengkeh. Standar produktivitas nasional tanaman cengkeh adalah 480 –
800 kg/ha sedangkan tingkat produktivitas cengkeh di Maluku Utara sebesar 547 kg/ha. Ironisnya,
produktivitas cengkeh yang merupakan tanaman asli Maluku Utara ini memiliki nilai yang lebih
rendah dibandingkan provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yaitu sebesar 632 kg/ha.
-
18
• Hal yang sama terlihat dari rendahnya pola diversifikasi usaha tani. Secara nasional. Rata-rata jumlah industri pengolahan makanan skala kecil/rumah tangga di tingkat desa sangat rendah, yaitu
3 vs 9 industri/desa (BPS, 2008) . Dengan demikian, produktivitas usaha tani yang rendah diikuti
dengan aktivitas nilai tambah yang juga rendah akibat kegiatan agroindustri di perdesaan yang
belum optimal.
• Produktivitas usaha tani memerlukan kemudahan akses terhadap invasi teknologi di wilayah perdesaan sehingga mampu membuka kesempatan bagi penyaluran informasi ke komunitas
pedesaan, memperbaiki hubungan antar penelitian dan penyuluhan, serta mendukung
pengembangan daerah pedesaan. Ketersediaan kelembagaan petani dan media informasi
masyarakat desa yang relatif rendah, yang terlihat dengan keberadaan kegiatan penyuluhan yang
hanya berada di 137 desa (17,8%); keberadaan kelompok tani 412 desa (53,6%); dan keberadaan
kegiatan sosial-keagamaan 474 desa (61,7%) (BPS, 2003). Kondisi ini berakibat lemahnya upaya
dukungan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi tantangan dan peluang di tingkat
desa. Selain itu, masih minimnya penerapan inovasi teknologi pertanian memerlukan upaya khusus
peningkaatan adopsi inovasi teknologi melalui berbagai saluran diseminasi yang tersedia di tingkat
wilayah.
Pembangunan Perdesaan
• Terdapat indikasi perhatian pemerintah yang lebih besar pada sektor non-pertanian, khususnya pertambangan, bangunan, serta pengangkutan dan komunikasi. Provinsi Maluku Utara memiliki
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 2.6 trilyun pada tahun 2008 dengan
subsektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 37,5%. Namun demikian, sebagian besar laju
pertumbuhan ini disumbang oleh sektor pertambangan (10.8%), bangunan (10.3%), serta
pengangkutan dan komunikasi (8.9%). Subsektor pertanian hanya memiliki laju pertumbuhan
sebesar 4.7%.
• Keterbatasan infrasturktur dasar dan infrastruktur pertanian (jaringan irigasi, modal dan pemasaran produksi) mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat petani secara ekonomi. Kondisi
infrastruktur dasar, dalam hal ini jalan dan listrik di tingkat perdesaan menunjukkan hanya sebesar
62% jenis jalan utama desa merupakan jalan aspal dan 38% merupakan jenis jalan batu maupun
tanah. Jumlah keluarga yang mampu mengakses listrik untuk mendukung kegiatan ekonomi dan
kebutuhan dasar keluarga hanya sebesar 59%. Kondisi infrastruktur pertanian, dalam hal ini
jaringan irigasi, hanya sebesar 20% lahan sawah merupakan lahan berpengairan teknis. Kondisi ini
menunjukkan minimnya ketersediaan infrastruktur yang dapat mendukung aktivitas ekonomi
masyarakat.
• Kemampuan dan kemudahan akses petani terhadap permodalan dan pasar juga cukup rendah, yang ditunjukkan dengan kecilnya jumlah desa yang menerima fasilitas kredit untuk petani (KKP, KUK,
KPR, dll), yaitu hanya sebesar 36% dari seluruh desa yang ada; kecilnya jumlah keberadaan
lembaga keuangan di tingkat desa, yaitu 8% dari seluruh desa yang ada; dan rata-rata jarak desa ke
pasar cukup jauh, yaitu sebesar 26,3 km (BPS, 2008). Dari aspek sarana produksi (mesin produksi),
rata-rata jumlah kepemilikan mesin pengolah hasil pertanian di tiap desa (mesin pengolah padi,
jagung, dan atau ubi kayu) hanya sebesar 2 unit/desa (BPS, 2003).
• Tersebarnya program/kegiatan antar sektor di berbagai wilayah desa di Maluku Utara sehingga dampak masing-masing program/kegiatan terhadap pertumbuhan wilyah/desa tidak optimal.
Berbagai program/kegiatan telah masuk di tingkat desa, dengan rincian program/kegiatan dari
pemerintah kabupaten/kota; pemerintah pusat; serta sumber dana luar negeri, swasta dan sumber
lainnya masing-masing 90%; 33%; 43%; serta 27% dari seluruh desa yang ada di Maluku Utara
(BPS, 2008).
Strategi Optimalisasi Subsektor Pertanian
Merujuk kondisi diatas, dapat dipastikan masyarakat dan desa akan terus menghadapi
ketidakberdayaan dalam pembangunan pertanian. Dalam hal ini, pembangunan di subsektor pertanian
menghadapi permasalahan yang cukup kompleks, meliputi aspek sumberdaya alam, ekonomi, sosial,
budaya, dan kelembagaan. Atas dasar hal ini, maka strategi optimalisasi subsektor pertanian dalam
pembangunan wilayah diharapkan mampu mempertimbangkan akar permasalahan pembangunan
-
19
pertanian dan perdesaan. Menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di “permukaan” hanya
bersifat sementara sehingga cenderung menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks. Oleh karena
itu, membangun dari akar permasalahan diharapkan dapat mengoptimalkan sumberdaya yang terbatas
secara tepat untuk mendukung prioritas pembangunan yang memberikan manfaat secara luas.
• Pertama, masyarakat dan desa menghadapi terbatasnya ketersediaan infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian sehingga masyarakat relatif kurang mampu memanfaatkan peluang usaha
yang ada. Diperlukan upaya pemberdayaan wilayah berbasis gugus pulau dalam penyediaan
infrastruktur pendukung usaha di tiap wilayah.
• Kedua, produktivitas dan produksi usaha tani di tingkat petani sangat rendah di seluruh subsektor pertanian. Kondisi ini menyebabkan rendahnya tingkat penerimaan pendapatan petani yang
diterima oleh petani. Diperlukan upaya peningkatan produktivitas usaha tani melalui penerapan
inovasi teknologi dan peningkatan nilai tambah petani melalui pemanfaatan peluang diversifikasi
usaha. Peningkatan adopsi inovasi teknologi dilakukan dengan mengintensifkan penyuluhan
berbasis potensi dan permasalahan pertanian di tiaap wilayah.
• Ketiga, masyarakat petani di perdesaan dengan kondisi perekonomian yang belum baik, sangat rentan terhadap berbagai penyakit, gizi buruk dan sekarang semakin sangat tidak berdaya untuk
akses kepada pendidikan dan kesehatan dasar. Kondisi ini berpengaruh terhadap kinerja dan
produktivitas petani di perdesaan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan pelayanan pendidikan
dan kesehatan yang baik hingga ke tiap wilayah. Seiring dengan meningkatnya aksesibilitas antar
wilayah melalui pendekatan pembangunan berbasis gugus pulau maka layanan pendidikan dan
kesehatan dapat disediakan pada pusat-pusat pertumbuhan yang terdapat pada setiap gugus pulau.
• Keempat, kapasitas kolektif masyarakat desa terus menurun dalam merespon tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada di desa. Gejala yang tumbuh adalah kecenderungan masyarakat
tidak berminat menemukenali dan mengelola potensi sumberdaya yang ada di desa tempat
tinggalnya secara kreatif dan produktif untuk kesejahteraan bersama. Masyarakat cenderung
meninggalkan desa menuju wilayah perkotaan yang berimplikasi pada perubahan sumber
penghasilan dari pertanian sebagai basis keahlian ke non pertanian. Oleh karena itu, diperlukan
penguatan kelembagaan petani melalui pemberdayaan kelompok tani yang telah tumbuh di tingkat
masyarakat, seperti kelompok pengajian, perkumpulan PKK, dan kelembagaan adat. Dalam hal ini,
peningkatan kemampuan petani dilakukan secara kolektif agar mampu memahami potensi dan
permasalahan serta rencana aksi secara bersama dalam meningkatkan produktivitas usaha pertanian
di tiap wilayah.
• Kelima, terjadi degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya alam. Kondisi ini berakibat menurunnya daya dukung wilayah dalam memenuhi
kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Diperlukan upaya program pertanian
padat karya yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja di perdesaan. Hal ini diharapkan
dapat mengurangi tingkat urbanisasi yang relatif tinggi di Maluku Utara.
• Keenam, pendekatan pembangunan birokratik dan sentralistik melalui bantuan program/kegiatan di tingkat desa, menyebabkan masyarakat desa memiliki ketergantungan pada pihak luar dalam
melaksanakan aktivitas usaha. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, pola pembangunan ini telah
melemahkan kearifan lokal dan pranata sosial (kelembagaan adat) yang mampu memberikan solusi
dalam pemecahan berbagai persoalan di tingkat desa. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
pembangunan pertanian partisipatif sehingga petani dapat melaksanakan program pembangunan
pertanian sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat serta monitoring pelaksanaan kegiatan
melalui kelembagaan lokal yang ada di tingkat masyarakat.
• Ketujuh, pelaksanaan manajemen pembangunan perdesaan masih bersifat egosektoral. Belum adanya mekanisme pengaturan intervensi berbagai pihak dalam mendukung pengembangan
perdesaan, khususnya untuk subsektor pertanian. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan
pertanian berbasis gugus pulau diharapkan dapat mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya yang
ada pada instansi yang berbeda. Dengan demikian, diharapkan dapat tercapai efisiensi pemanfataan
sumberdaya utama dan pendukung dalam mendukung kegiatan pertanian di tiap wilayah.
-
20
KESIMPULAN
Kualitas dan kuantitas pertumbuhan ekonomi wilayah cenderung mengalami penurunan akibat
terjadi penurunan kontribusi subsektor pertanian terhadap struktur perekonomian di wilayah Maluku
Utara. Kondisi ini disebabkan adanya kelemahan dalam kebijakan dan implementasi yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi, termasuk subsektor pertanian. Dengan demikian, diperlukan sebuah
pendekatan pemberdayaan alternatif yang mampu memberdayakan masyarakat pedesaan secara
sinergis antara aspek ekonomi, infrastruktur, sosial dan kelembagaan melalui pengembangan kawasan
sehingga petani mampu mengoptimalkan peluang usaha pertanian yang produktif. Dalam hal ini,
pendekatan kawasan berbasis gugus pulau diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya
alam dan penyediaan sumberdaya buatan untuk peningkatan produktivitas usaha pertanian.
Pengembangan gugus pulau memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan ekologis, karakterisitik
dan potensi pertanian wilayah, pengembangan pusat pertumbuhan dan pelayanan sarana ekonomi
sosial, serta keterkaitan potensi masing-masing pulau secara fungsional dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan kehidupan ekonomi masyarakat pada suatu gugus pulau.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), 2012. Maluku Utara Dalam Angka. BPS. Ternate.
Badan Pusat Statistik (BPS), 2011. Potensi Desa. BPS. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS), 2003. Potensi Desa. BPS. Jakarta.
Bulohlabna, C. 2008. Tipologi dan pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan
timur indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chambers, R. 1995. “Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?” IDS Discussion Paper 347,
1995.
Cheyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave. 1998. Social Policy in Aotearoa New
Nealand: A Critical Introduction, Auckland: Oxford University Press. Hal 91 dan 97).
Delis, A. 2008. Peran infrastruktur sebagai pendorong dinamika ekonomi sektoral dan regional
berbasis pertanian. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Edi Suharto. “Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Konsep dan Strategi
Pengentasan Kemiskinan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial”.
(http://www.policy.hu/suharto/makIndo15.html, 11 april 2005).
Hardono, S.G., 2002. Dampak perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumah
tangga pertanian. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
La Ode Samsul Barani. 2009. Analisis Spasial Untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan
Pulau-Pulau Kecil. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Manafi R. 2003. Rancangbangun pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis pemanfaatan ruang. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Renata Lok-Dessallien. “Review of Poverty Concepts and Indicators”.
(http://www.undp.org/poverty/publications/pov_red/Review_of_Poverty_Concepts.pdf., 11 Mei
2005).
Rustiadi, E. 2001. Perencanaan Wilayah Di Dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan Dan Disparitas
Antar Wilayah Di Era Otonomi Daerah1. Makalah. Diskusi Program Certification, Environment
Justice And Natural Asset. Lembaga Alam Tropika Indonesia. Bogor.
Sajogyo. 1977. Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa. Majalah Prisma No. 3
Maret 1977. Hal. 10-17.
Sumarto, Sudarno, Syaikhu Usman, and Sulton Mawardi (1997) Peran Sektor Pertanian dalam
Penanggulangan Kemiskinan: Mengikutsertakan Petani dalam Proses Penyusunan Kebijakan;
dalam Agriculture Sector Strategy Review. Jakarta: Ministry of Agriculture Republic of Indonesia
http://www.policy.hu/suharto/makIndo15.html,%2011%20april%202005http://www.undp.org/poverty/publications/pov_red/Review_of_Poverty_Concepts.pdf
-
home | Error! No text of specified style in document. 21
PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MELALUI OPTIMALISASI
LAHAN PEKARANGAN
DI KELURAHAN SASA, KOTA TERNATE
Agus Hadiarto1) dan Chris Sugihono1) 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara
Komplek Pertanian Kusu No. 1, Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kota Ternate sebagai Kota perdagangan dan merupakan salah satu daerah di Provinsi Maluku Utara
yang membutuhkan perhatian yang sangat serius untuk mengatasi ketergantungan pangan yang tinggi
seperti daging ayam, telur, sayuran, dan beras dari wilayah lain. konsidi cuaca yang buruk di lautan
mengakibatkan pasokan komoditas pangan terganggu dan berdampak pada kenaikan harga pangan
yang tinggi, sehingga dapat memicu gangguan stabilitas pangan di Kota Ternate. Model Kawasan
Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan salah satu program Kementerian Pertanian yang dapat
mewujudkan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga.
Kegiatan pengembangan KRPL Kota Ternate berlangsung pada bulan Januari - Desember 2012.
Lokasi kegiatan dilaksanakan di Kelurahan Sasa, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate. Ruang
lingkup kegiatan meliputi: (1) Persiapan dengan melakukan survey dan koordinasi kegiatan dengan
instansi terkait; (2) Sosialisasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL); (3) Pembentukan
kelompok dan pemilihan komoditas secara partisipatif; (4) Pembangunan kebun bibit desa (KBD) dan
pembuatan media tanam di KBD; (5) Pembuatan media tanam untuk pekarangan RPL; (6) Pelatihan
teknis budidaya; (7) Penataan landscape pekarangan RPL berdasarkan strata; (8) Pendampingan
perawatan tanaman dan lahan pekarangan; (9) Musyawarah untuk mengatasi masalah dan menemukan
solusi bersama; (10) Pendampingan pemasaran hasil pertanian; (11) Replikasi model.
Pola pengembangan kegiatan terbagi menjadi tiga kelompok sasaran yaitu rumah tangga dengan luas
pekarangan kurang dari 120 m2, antara 120 sampai 400 m2, dan lebih dari 400 m2. Kegiatan KRPL
Ternate 2012 diikuti oleh 25 orang petani kooperator yang rumahnya saling berdekatan dalam satu
kawasan RT 003, Kelurahan Sasa. Hasil survey penentuan lokasi, RT 003 Kelurahan Sasa terpilih
sebagai tempat lokasi, karena masyarakatnya memiliki kemauan yang tinggi untuk mengembangkan
pola KRPL. Kebun bibit KRPL Kota Ternate seluas 3,5 x 7 m2 digunakan secara maksimal dengan
rumah naungan pembibitan seluas 3 x 4 m2. Tanaman yang diusahakan oleh RPL terdiri dari 12 jenis
komoditas tanaman sayuran, 3 komoditas tanaman pangan, 10 komoditas tanaman buah, dan 2
komoditas peternakan.
Tiga masalah utama yang membatasi kegiatan dan telah diatasi adalah (1) adanya kambing yang
berkeliaran di sekitar pekarangan; (2) Curah hujan terlalu banyak yang menyebabkan banyak penyakit;
dan (3) kesulitan mendapatkan tanah sebagai media tanam di polibag. Hama dan penyakit yang
umumnya menyerang adalah hama ulat penggorok daun, hama thrips dan tungau, hama ulat grayak,
penyakit bercak daun akibat jamur, dan penyakit akibat virus. KRPL Kota Ternate telah tereplikasi
secara luas di Kota Ternate yang didukung dengan Surat Keputusan Walikota Ternate No. 1 Tahun
2012 dan adanya kunjungan Menteri Pertanian RI.
Kata kunci: Optimalisasi lahan, KRPL, Kebun bibit, pekarangan
PENDAHULUAN
Kota Ternate merupakan salah satu daerah di Provinsi Maluku Utara yang membutuhkan
perhatian untuk mengatasi masalah pangan. Sebagai Kota perdagangan, saat ini Ternate masih sangat
tergantung dari daerah atau wilayah lainnya untuk ketersediaan daging ayam, telur, sayuran, dan beras.
Pasokan komoditas pangan tersebut diperoleh melalui jalur transportasi laut yang sangat dipengaruhi
-
oleh faktor cuaca dan musim. konsidi cuaca yang buruk di lautan mengakibatkan pasokan komoditas
pangan terganggu dan berdampak pada kenaikan harga pangan yang tinggi, bahkan ketersediaan suatu
komoditas dapat mencapai titik nol.
Menurut BPS Maluku Utara (2008), sektor pertanian di Kota Ternate hanyalah sektor pendukung
bagi struktur perekonomian Kota Ternate yang didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa yang
berkontribusi sebesar 32,06 % dan 19,75%, sedangkan sektor pertanian menempati posisi ke-4
sebesar 13,14%. Walaupun hanya sektor pertanian sebagai sektor pendukung, gangguan pada
ketersediaan komoditas pangan dapat mengakibatkan gangguan stabilitas ekonomi secara keseluruhan,
karena berkaitan dengan permasalahan pangan dan kehidupan masyarakat Kota Ternate.
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan salah satu program Kementerian
Pertanian yang merupakan solusi untuk mewujudkan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga.
Melalui pemanfaatan pekarangan yang ada disekitar rumah dengan komoditas pangan seperti sayuran,
buah-buahan, peternakan ayam, perikanan kolam, serta tanaman obat diharapkan mampu
meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.
Budaya bertanam di pekarangan rumah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi
keluarga. Pemanfaatan pekarangan untuk bertanam sayuran maupun pangan lainnya juga menambah
estetika rumah. Selain itu, hasil panen di pekarangan rumah dapat mengurangi belanja rumah tangga,
bahkan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga. Jika pemanfaatan pekarangan dikelola secara
kelompok melalui kelembagaan yang ada, maka secara tidak langsung dalam jangka panjang produksi
pangan di pekarangan dapat memenuhi kebutuhan pangan di Kota Ternate (Agus Hadiarto dkk, 2012).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara pada Tahun 2011 melaksanakan
kegiatan M-KRPL di Kota Tidore Kepulauan. Tahun 2012 kegiatan M-KRPL dikembangkan menjadi
8 lokasi terdiri dari Kota Tidore Kepulauan, Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Utara, Kab.
Halmahera Barat, Kab. Halmahera Tengah, Kab. Halmahera Timur, Kab. Halmahera Selatan, dan
Kab. Morotai. Model KRPL di Kota Ternate secara khusus ditempatkan di Kelurahan Sasa, di
Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate yang secara teknis sumberdaya lahan masih relatif cukup
baik untuk dikembangkan kawasan rumah pangan lestari agar mendukung ketahanan pangan serta
peningkatan gizi dan pendapatan rumah tangga.
Konsep dan Pemahaman
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL)
M-KRPL adalah sebuah model pengembangan himpunan rumah pangan lestari (RPL). RPL
merupakan rumah penduduk yang memanfaatkan lahan pekarangan secara intensif dengan prinsip
ramah lingkungan dan berkelanjutan. RPL dirancang untuk menjamin penyediaan bahan pangan
keluarga yang bergizi dan beragam serta untuk mengurangi pengeluaran belanja rumah tangga dan
sekaligus meningkatkan pendapatan keluarga.
Untuk mencapai kesinambungan pemanfaatan pekarangan, kawasan tersebut dilengkapi dengan
Kebun Bibit Desa (KBD) untuk menyediakan bibit bagi RPL yang dikelola oleh masyarakat secara
partisipatif dengan dukungan kelembagaan KBD, unit pengolahan hasil, dan unit pemasaran.
Kawasan Rumah Pangan Lestari menganut prinsip-prinsip yaitu pemanfaatan lahan pekarangan
sesuai dengan kondisi lahan setiap rumah tangga, pemanfaatan potensi kawasan yang belum digarap,
namun secara teknis menguntungkan, mengintroduksikan teknologi baru untuk mengatasi beberapa
keterbatasan tertentu yang ada pada rumah tangga, selain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi keluarga, pengembangan RPL tetap mempertimbangkan efisiensi. Sebab, jika efisiensi
diabaikan, dikhawatirkan faktor “lestari” akan sulit dicapai, atau secara laten merugikan rumah
tangga/masyarakat dalam kawasan, arahan pemanfaatan lahan pekarangan yang diberikan bersifat
dinamis, partisipatif dan berwawasan kawasan, disesuaikan dengan keinginan atau pandangan
anggota rumah tangga, serta dinamika sosial-ekonomi setempat, dan perlu dibarengi dengan
pembangunan/penguatan infrastruktur sosial (kelompok, forum, dan pemasaran hasil).
Tujuan pengembangan model KRPL adalah: (a) Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi
keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfataan pekarangan secara lestari; (b)
Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan di
perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat
-
home | Error! No text of specified style in document. 23
keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah
tangga menjadi kompos; (c) Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan dan; (d)
Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan
keluarga dan menciptakan lingkungan hijau, bersih, dan sehat secara mandiri. Sementara sasaran yang
ingin dicapai model KRPL ini adalah peningkatan kemampuan keluarga dan masyarakat secara
ekonomi dan sosial dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan
masyarakat yang sejahtera (Kementerian Pertanian, 2011).
METODOLOGI
Kegiatan pengembangan kawasan RPL dilaksanakan selama Januari - Desember 2012. Lokasi
kegiatan dilaksanakan Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara pada suatu kelurahan yang akan
ditetapkan setelah melakukan survey dan penetapan calon anggota RPL dan calon lokasi kegiatan.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini terbagi dalam 4 bagian besar yaitu benih, pupuk,
obat-obatan, dan bambu atau kayu. Benih yang digunakan ditentukan oleh calon anggota RPL secara
partisipatif. Pupuk yang digunakan terdiri dari urea, NPK, pupuk organik, zat pengatur tumbuh (ZPT),
dan pupuk cair. Obat-obatan yang digunakan ditentukan berdasarkan kebutuhan dengan konsep
pengendalian hama terpadu (PHT). Bambu atau kayu digunakan untuk membuat vertikultur, kebun
bibit desa (KBD), dan pagar pekarangan.
Peralatan yang digunakan seperti parang, cangkul, handsprayer, minisprayer, gergaji, paku,
meteran, paranet atau kofo, meteran, GPS, kamera, cetok, ember, dan alat tulis kantor.
Ruang lingkup kegiatan meliputi: (1) Persiapan dengan melakukan survey dan koordinasi
kegiatan dengan instansi terkait; (2) Sosialisasi Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL);
(3) Pembentukan kelompok dan pemilihan komoditas secara partisipatif; (4) Pembangunan kebun bibit
desa (KBD) dan pembuatan media tanam di KBD; (5) Pembuatan media tanam untuk pekarangan
RPL; (6) Pelatihan teknis budidaya; (7) Penataan landscape pekarangan RPL berdasarkan strata; (8)
Pendampingan perawatan tanaman dan lahan pekarangan; (9) Musyawarah untuk mengatasi masalah
dan menemukan solusi bersama; (10) Pendampingan pemasaran hasil pertanian; (11) Replikasi model.
Persiapan Kegiatan
Persiapan kegiatan meliputi Survey lokasi, koordinasi kegiatan dengan instansi terkait, dan
penentuan calon kawasan. Survey di Kota Ternate dilakukan di enam tempat, yaitu Kel. Jambula, Kel.
Sasa, Kel. Gambesi, Kel. Tobololo, Kel. Tarau, dan Kel. Salero. Seluruh tempat yang telah disurvey
menunjukkan rumah yang memiliki karakteristik pekarangan dengan strata rata-rata tidak lebih dari
120 m2. Penduduk di Kota Ternate tidak selalu memiliki pagar untuk membatasi pekarangan
rumahnya. Akan tetapi pekarangan rumah-rumah di Ternate terlihat bersih dan rapih.
Dari keenam lokasi yang disurvey, Kel. Sasa memiliki potensi lahan untuk dimanfaatkan
sebagai tempat kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Di Kel. Sasa, ada gabungan
kelompok tani (Gapoktan) Tumpang Sari yang memiliki anggota berjumlah 300 orang. Di antaranya
terdapat 61 orang petani yang bergabung mengelola usahatani sayuran (bayam, caisim, dan kangkung)
dalam satu hamparan lahan seluas 4 ha.
Koordinasi dengan instansi terkait dilakukan pada empat institusi yaitu (1) Dinas Pertanian,
Perkebunan, dan Kehutanan Kota Ternate, (2) Tim Penggerak PKK Pokja III Kota Ternate yang
memiliki program yang sama menyangkut optimalisasi lahan pekarangan di tiap rumah, (3) Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kota Ternate sekaligus Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) Ternate Selatan, Kota Ternate, (4) Pemerintah Kelurahan Sasa, Kota
Ternate. Seluruh instansi tersebut mendukung KRPL Kota Ternate dilaksanakan di Kelurahan Sasa,
Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate.
Berdasarkan hasil survey lokasi dan dukungan instansi terkait, Kelurahan Sasa, Kecamatan
Ternate Selatan, Kota Ternate ditetapkan sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Kota
Ternate Tahun 2012 dengan memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Kelurahan Sasa memiliki letak
-
yang mudah dijangkau dengan akses jalan dan sarana transportasi yang memadai; (2) Seluruh rumah
memiliki pekarangan dengan pendekatan berbasis perdesaan berdasarkan luas pekarangan; (3)
Antusiasme masyarakat untuk mengoptimalkan lahan pekarangannya; (4) Lokasi yang dipilih berada
pada satu kawasan yang berada di RT 003, Kelurahan Sasa, Kota Ternate; (5) Sebagian besar
pekarangan sudah dibuatkan pagar yang dapat melindungi tanaman pekarangan dari gangguan
binatang ternak; (6) Masyarakat yang belum memiliki pagar pada lahan pekarangannya bersedia untuk
membuat pagar sendiri; (7) Adanya dukungan yang besar dari instansi terkait; dan (8) Adanya
dukungan kelembagaan, seperti gapoktan, toko saprodi milik gapoktan, pedagang pengumpul, dan
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).
Karakteristik Lokasi Kegiatan
Lokasi Kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Kota Ternate Tahun 2012 berada di
RT 003, Kelurahan Sasa, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate. Kelurahan Sasa dengan luas
wilayah 436,48 km2 berbatasan sebelah timur dengan Selat Ternate, sebelah barat dengan Gunung
Gamalama, sebelah Utara dengan Kelurahan Gambesi, dan sebelah Selatan dengan Kelurahan
Jambula.
Kelurahan Sasa didominasi oleh tanah jenis regosol dan tekstur tanah vulkanis dan ketinggian
sampai 700 m dpl. Kedalaman air tanah cukup dangkal antara 2 sampai 10 m. Curah hujan tergolong
tinggi sebanyak 1798 mm per tahun dan curah hujan yang tertinggi terjadi pada bulan Januari
sebanyak 263 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebanyak 77 mm.
Gambar 1. Grafik Curah Hujan Kelurahan Sasa Tahun 2011
Sumber : Monografi Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian Kel. Sasa, Ternate, 2012
Total Luas Lahan di Kelurahan Sasa yang digunakan adalah seluas 417,48 Ha. Sejumlah lahan
tersebut digunakan untuk pekarangan dan bangunan 60 Ha, ladang & tegalan 127,75 Ha, tanaman
hutan 20 Ha, perkebunan 155 ha, dan lain-lain 54,73 Ha.
Penduduk Kelurahan Sasa berjumlah 4187 jiwa yang terdiri dari 2031 jiwa laki-laki dan 2156
jiwa perempuan. Penduduk berusia 17-30 tahun mendominasi Kelurahan Sasa yang menandai di
wilayah ini terdapat banyak mahasiswa yang tinggal sementara untuk pendidikan, karena di kelurahan
ini terdapat 2 perguruan tinggi. Penduduk yang bekerja, sebagian besar memiliki mata pencaharian
sebagai pegawai pemerintah (PNS/TNI/Polri), berikutnya sebagai buruh bangunan, petani, dan
pengusaha.
Petani di Kelurahan Sasa tergabung dalam keanggotaan Gapoktan Tumpang Sari dengan ketua
Haidir Ola dan keanggotaan Gapoktan terbagi menjadi 4 kelompok tani, yaitu Kelompok tani Tanjung
Selatan I dengan komoditas perikanan, Tanjung Selatan II dengan komoditas hortikultura, Campang
Sari dengan komoditas hortikultura, dan Ake Sanoto dengan komoditas perkebunan.
Kelembagaan di Kelurahan Sasa cukup banyak, yaitu kios saprodi milik Gapoktan Tumpang
Sari, BRI unit desa, kelompok capir, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kec. Ternate Selatan, UPP
263
100
182210 200
12177
113 98 82
237
115
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Bulan
-
home | Error! No text of specified style in document. 25
Peternakan, Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan), dan 2 perguruan Tinggi swasta (Universitas
Muhammadiyah Maluku Utara dan Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Ternate). Kios
saprodi milik Gapoktan selain berfungsi menyediakan kebutuhan saprodi juga berfungsi sebagai
lembaga keuangan, yaitu dengan memberikan kemudahan bagi petani untuk membayar saprodi setelah
petani memanen hasil pertanian.
Sarana dan prasarana di Kelurahan Sasa dinilai cukup baik. Kondisi jalan aspal halus yang
menghubungkan Kelurahan Sasa dengan ibukota kecamatan bahkan pusat kota Ternate sangat baik.
Sarana komunikasi berupa telephone ataupun handphone sudah hampir dimiliki oleh seluruh
masyarakat, sehingga tidak ada batas masyarakat untuk komunikasi dengan pihak luar. Prasarana
untuk pemasaran juga sangat baik. Pasar untuk tempat menjual hasil pertanian masih mudah
dijangkau oleh penduduk, bahkan petani dapat dengan mudah menjual hasil