HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang)...

163
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015 HUKUM KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015 Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia sebagai Lender Of Last Resort Kajian Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2015 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2015

Transcript of HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang)...

Page 1: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

BU

LETIN H

UK

UM

KEB

AN

KSEN

TRA

LAN

Volume 12, N

omor 2, Juli - D

esember 2015

HUKUM KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia sebagai Lender Of Last Resort

Kajian Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia

Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang)

Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2015

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2015

Page 2: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Volume 12, Nomor 2, Juli – Desember 2015

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabRosalia Suci H., Libraliana Badilangoe, Sukarelawati Permana, Imam Subarkah

Pemimpin RedaksiSukarelawati Permana

Sekretaris RedaksiPulih Widayaningrum

Dewan RedaksiAgus Susanto P., Amsal Chandra Appy, Amy Rachmi Budiati, Bambang Sukardi Putra, Endang R. Budi Astuti,

Hari Sugeng Raharjo, Panji Achmad, Pulih Widayaningrum, Rika S. Dewi, Teddy Yusuf

Redaksi PelaksanaDivisi Legislasi dan Penelitian Hukum, Departemen Hukum, Bank Indonesia

Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M., Sri Hariningsih, S.H., M.H.,

Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Sri Widiastuti, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M, Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn,

Iwan Setiawan, S.H., LL.M, Safari Kasiyanto S.H., LL.M

Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Legislasi dan Penelitian Hukum, Departemen Hukum, Bank Indonesia

Penanggung Jawab DistribusiDivisi Informasi Hukum dan Manajemen Intern, Departemen Hukum, Bank Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitian dalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Mulai tahun 2015, Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungi Divisi Informasi Hukum dan Manajemen Intern, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, email: [email protected].

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukum kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Legislasi dan Penelitian Hukum, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, email: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi, kemudian

pilih sub menu Hukum Kebanksentralan.”

Page 3: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Page 4: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

i

Pembaca Buletin Yang Berbahagia, dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa di akhir semester

kedua tahun 2015 ini Redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Volume 12 No. 2 Tahun 2015. Dalam Buletin Hukum Kebanksentralan kali ini dimuat 1 (satu) artikel dari penulis internal

Bank Indonesia yaitu Kuwat Wijayanto, S.H., M.H. dengan judul Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia

sebagai Lender of Last Resort. Selain itu, dimuat pula 3 (tiga) artikel dari penulis eksternal Bank Indonesia yaitu Kajian

Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia, yang ditulis oleh Made Oka Cahyadi Wiguna, S.H.,

M.Kn., Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) yang ditulis oleh Muhar Junef, S.H., M.H.,

dan Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia, yang ditulis oleh Nuribadah,

S.H., M.H., dan Dr. Yulia, S.H., M.H.

Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan pengkinian informasi mengenai

produk peraturan perundang-undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Juli sampai dengan Desember 2015,

yang terdiri atas Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Ekstern, beserta ringkasannya.

Besar harapan kami, informasi yang dimuat dalam Buletin ini akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka

pengembangan ilmu hukum, serta memberikan akses informasi bagi pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi

yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Desember 2015

Redaksi

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Page 6: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

iii

Halaman

Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Jaring Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia sebagai Lender Of Last Resort......... 1 - 13

Kuwat Wijayanto, S.H., M.H.

Kajian Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia ............................................. 15 - 24

Made Oka Cahyadi Wiguna, S.H.,M.Kn

Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang)......................................................... 25 - 52

Muhar Junef, S.H., M.H.

Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia........................... 53 - 64

Nuribadah, S.H., M.H., dan Dr. Yulia, S.H., M.H.

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli – Desember 2015....................... 65 - 69

Departemen Hukum, Bank Indonesia

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli – Desember 2015................. 71 - 155

Departemen Hukum, Bank Indonesia

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

VOLUME 12, NOMOR 2, JULI - DESEMBER 2015

Page 7: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Page 8: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

A. Latar Belakang

Dalam keadaan atau situasi segenting atau sedarurat

apapun fungsi-fungsi negara atau kekuasaan negara

tidak boleh absen. Kekuasaan negara harus tetap

tampil untuk melakukan tindakan yang dipandang

perlu guna menanggulangi, mengamankan dan

melindungi rakyat serta kepentingan negara itu

sendiri. Oleh sebab itu menjadi penting suatu negara

mempunyai pengaturan yang bersifat antisipatif atau

membuka ruang bagi suatu pengaturan untuk

menghadapi keadaan tidak normal atau situasi darurat

yang serba mendesak.

Terkait hal tersebut, UUD 1945 telah memberikan

ruang bagi suatu pengaturan dalam menghadapi

kondisi yang tidak normal, yaitu di dalam Pasal 12

yang mengatur bahwa “Presiden menyatakan keadaan

bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya

ditetapkan dengan undang-undang”, dan di dalam

Pasal 22 ayat (1) yang mengatur bahwa “Dalam hal

ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang”.

Dalam rumusan kedua pasal tersebut terdapat dua

terminologi hukum yang digunakan untuk

menggambarkan situasi yang tidak normal, yaitu

“keadaan bahaya” dan “hal ihwal kegentingan yang

memaksa”. Dalam praktek keseharian, kedua istilah

tersebut dapat dianggap memiliki pengertian yang

sama, namun dari sisi hukum dapat dibedakan dan

mengandung konsekuensi yang berbeda. Segala

sesuatu yang “membahayakan” (dalam suatu tatanan

negara) tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan

“kegentingan yang memaksa”, tetapi segala “hal

ihwal kegentingan yang memaksa” tidak selalu

“membahayakan”, sehingga “hal ihwal kegentingan

yang memaksa” pada dasarnya bermakna lebih luas

dari “membahayakan”. Oleh sebab itu penetapan

suatu peraturan pemerintah sebagai penganti

undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 22

ayat (1) UUD 1945 tidak harus didahului oleh suatu

deklarasi keadaan bahaya.1

Pada triwulan ke-empat tahun 2008, dengan

mempertimbangkan kondisi makro ekonomi global

dan domestik, Pemerintah memandang perekonomian

Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan.

Dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945, maka

Pemerintah menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pengganti

Undang-Undang (Perpu), yaitu:

1

IMPLIKASI PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4

TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN TERHADAP FUNGSI BANK INDONESIA

SEBAGAI LENDER OF LAST RESORT

Disusun oleh:

Kuwat Wijayanto, S.H., M.H.

1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.206

Page 9: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

1. Perpu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia. Perpu ini diterbitkan

dilatarbelakangi oleh keterbatasan kepemilikan

surat berharga perbankan sebagai secondary

reserve yang dapat diagunkan kepada Bank

Indonesia dikaitkan dengan peran sebagai Lender

of Last Resort. Untuk itu, Perpu ini mengubah

syarat agunan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek

(FPJP) sebagaimana diatur di dalam Pasal 11

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, yang semula

hanya berupa surat berharga yang bernilai tinggi

dan mudah dijual, menjadi sebagai berikut :

“...surat berharga dan/atau tagihan yang

diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum

lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan

hasil penilaian lembaga pemeringkat yang

kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah

dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai

dan aset kredit kolektibilitas lancar...”.

2. Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang

Lembaga Penjamin Simpanan. Perpu ini diterbitkan

mengingat adanya kebutuhan peningkatan

cakupan penjaminan terhadap simpanan nasabah

bank untuk menjaga kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan. Dengan Perpu ini, jumlah

simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) diubah dari Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah) juta menjadi

Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) untuk

setiap nasabah pada satu bank.

3. Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman

Sistem Keuangan. Perpu ini diterbitkan untuk

memperjelas Protokol Manajemen Krisis (PMK)

Sistem Keuangan Indonesia, terutama terkait

dengan otoritas yang berkepentingan dan

pengaturan mengenai hak dan kewajiban,

mengingat belum selesainya penyusunan

Rancangan Undang-Undang tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan. Dalam konsiderans

pertimbangan penerbitan Perpu ini disebutkan

bahwa Perpu dimaksud diterbitkan dalam upaya

menghadapi ancaman krisis keuangan yang

berpotensi membahayakan stabilitas sistem

keuangan dan perekonomian nasional atau

menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan

suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka

pencegahan dan penanganan krisis. Adanya

landasan hukum yang kuat tersebut akan

membuat mekanisme koordinasi antar lembaga

yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan

nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan

dalam tindakan pencegahan dan penanganan

krisis dapat dilakukan secara terpadu, efisien dan

efektif.2

Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah suatu

mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis

yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis,

dan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara

stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, jaring

pengaman sistem keuangan pada pokoknya

mencakup pencegahan dan penanganan krisis.

Pencegahan krisis tersebut meliputi tindakan mengatasi

permasalahan:

a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang

berdampak sistemik3;

b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas

atau kegagalan pelunasan Fasilitas Pendanaan

Darurat (FPD)4 yang berdampak sistemik; dan

c. Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang

mengalami kesulitan likuiditas dan masalah

solvabilitas yang Berdampak Sistemik.

2

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2 Konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perpu Nomor 4 Tahun 2008

3 Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional, vide Pasal 1 angka 4 Perpu No. 4 Tahun 2008.

4 Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas, vide Pasal 1 angka 5 Perpu No. 4 Tahun 2008.

Page 10: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Sementara penanganan krisis meliputi tindakan

mengatasi permasalahan:

a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau

solvabilitas yang secara individu berdampak

sistemik atau bank yang secara individu tidak

berdampak sistemik tetapi secara bersama-sama

dengan bank lain berdampak sistemik, pada

kondisi krisis5; dan

b. LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas

yang berdampak sistemik.

Untuk mencapai tujuan jaring pengaman sistem

keuangan tersebut, dibentuk Komite Stabilitas Sistem

Keuangan (KSSK) yang anggotanya terdiri dari Menteri

Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan

Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.

KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka

pencegahan dan penanganan krisis, dan

menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan

penanganan krisis kepada Presiden.

Perpu pada dasarnya merupakan produk hukum yang

bersifat “sementara” atau “belum selesai”, karenanya

harus diselesaikan menjadi sebuah Undang-Undang,

baik undang-undang yang mengesahkan Perpu (dalam

hal Perpu disetujui DPR), atau undang-undang yang

mencabut Perpu (dalam hal Perpu ditolak atau tidak

mendapat persetujuan DPR).6

Filosofi tersebut dapat dilihat pada Penjelasan Pasal

22 UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa

“…Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar

supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh

pemerintah dalam keadaan yang genting, yang

memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan

tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan

terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal

ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang

harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”

Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR lah

yang memiliki kekuasaan legislatif, dan secara obyektif

menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa.

Subyektifitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal

kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar

diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah benar

terjadi, atau akan terjadi, kegentingan yang memaksa

itu. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai

memberikan atau tidak memberikan persetujuan

(menolak). Apabila DPR memberikan persetujuan,

Perpu akan ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Namun sebaliknya, apabila DPR menolak maka Perpu

dinyatakan tidak berlaku dan harus dicabut.7

Sesuai ketentuan tersebut, Pemerintah menyampaikan

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk dibahas dalam sidang paripurna, dan

tidak mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna

tanggal 30 September 2009.8

Selanjutnya untuk memberikan kepastian hukum

dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, dalam hal Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak

mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

Presiden mengajukan rancangan undang-undang

tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang yang dapat mengatur segala akibat

hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang.

3

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

5 Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional, vide Pasal 1 angka 2 Perpu No. 4 Tahun 2008.

6 Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar RI tahun 1945, pada pokoknya mengatur bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

7 Yuli Harsono, Polemik Penolakan RUU JPSK, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b557621e5e83/polemik-penolakan-perpu-jpsk-br-oleh-yuli-harsono, diakses tanggal 6 November 2014.

8 Konsiderans Menimbang huruf b, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Page 11: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Pada tanggal 6 Agustus 2015 disahkan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pencabutan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan, yang pada pokoknya berisi dua hal:

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman

Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4907) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;

2. Keputusan yang telah ditetapkan oleh Komite

Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka

melaksanakan tugas dan wewenangnya

berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Jaring Pengaman Sistem Keuangan tetap sah dan

mengikat.

Melihat begitu pentingnya fungsi bank sentral sebagai

Lender of Last Resort, terutama untuk mencegah

terjadinya krisis di sistem keuangan, dalam tulisan ini

akan diulas mengenai implikasi pencabutan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan terhadap fungsi Bank Indonesia sebagai

Lender of Last Resort, serta konsep transparansi dan

pertanggungjawaban dalam pelaksanaan fungsi

Lender of Last Resort, dan pembagian peran dan

kewenangan masing-masing pihak yang terlibat

(Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan

dan Lembaga Penjamin Simpanan), khususnya dalam

kondisi krisis.

B. Krisis Sistem Keuangan

Dalam dua dekade terakhir, setidaknya dua krisis

keuangan besar terjadi, yaitu Krisis Keuangan Asia

Timur 1997 dan Krisis Keuangan Global 2008. Jika

krisis pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya

transparansi dan kredibilitas pemerintah yang

menyebabkan distorsi struktural dan kebijakan, gejolak

ekonomi tahun 2008 terutama dipicu oleh inovasi

yang cepat dalam produk keuangan seperti praktek

sekuritisasi9 dan “credit default swap”10. Hal ini

diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat

kredit yang tidak akurat. Pada kedua kasus,

perkembangan krisis menyebar ke benua-benua lain

dan, dalam waktu singkat, menjadi krisis global karena

efek menular di tengah sistem keuangan yang

terintegrasi secara global dan persebaran informasi

yang cepat.11

Krisis perbankan di Indonesia, selain merupakan dari

krisis nilai tukar, juga disebabkan oleh rentannya

sistem perbankan Indonesia, yang ditandai dengan

kurang kuatnya permodalan, manajemen yang kurang

menerapkan good governance, serta tidak kukuhnya

kelembagaan, lemahnya pengaturan dan pengawasan

di tengah-tengah pesatnya pertumbuhan

perekonomian dan berlangsungnya integrasi keuangan

internasional.12

Lemahnya sektor perbankan Indonesia, meskipun

telah mengalami restrukturisasi disebabkan setidak-

tidaknya oleh tiga hal: (1) pertumbuhan jumlah bank

yang amat pesat sebagai hasil kebijakan deregulasi

Tahun 1988 yang tidak disertai dengan ketentuan

prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank

4

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

9 Sekuritisasi merupakan suatu proses transformasi aset yang tidak likuid menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan sesuai dengan kebutuhan para investor. Dengan demikian, perusahaan akan mendapatkan dana dengan jaminan atau menyerahkan aset keuangan yang dimilikinya dan kemudian diterbitkan suatu surat berharga oleh pihak lain yang dikenal dengan sebutan sebagai special purpose vehicle atau entitas yang bertindak sebagai mediator antara pihak yang membutuhkan dana dengan investor (pihak-pihak yang bersedia menyerahkan dana). Walaupun sekuritisasi banyak ragamnya, namun seringkali istilah sekuritisasi di-identikkan dengan Asset Backed Securities yang di bahasa Indonesia dikenal dengan nama Efek Beragun Aset (lihat: Tim Studi Perdagangan Efek Beragun Aset - Badan Pengawas Pasar Modal, Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset, 2003).

10 credit default swap adalah jenis yang paling sederhana dari turunan kredit (credit derivatives). Ini merupakan perjanjian antara dua pihak yang secara sederhana digambarkan bahwa salah satu pihak sebagai penanggung (menjual asuransi) dan pihak lainnya membeli asuransi terhadap risiko gagal bayar (default) dari pihak ketiga (Richard K. Skora, The Credit Default Swap, 1998).

11 Arisyi F. Raz, et al, Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Oktober 2012, hal. 38

12 Kusumaningtuti SS, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal.2

Page 12: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

sentral; (2) lemahnya penerapan good governance di

sektor perbankan karena, antara lain konsentrasi

kepemilikan yang amat tinggi; dan (3) terjadinya

economic boom dan integrasi keuangan internasional

yang mengakumulasi tingkat kerentanan sistem

perbankan Indonesia.13

Di akhir tahun 2007, diskusi tentang instabilitas

finansial14 menghangat seiring dengan meningkatnya

risiko resesi ekonomi pada perekonomian Amerika

Serikat yang ditandai dengan runtuhnya perusahaan-

perusahaan keuangan besar seperti Lehman Brothers

Holdings Inc yang dinyatakan bangkrut dan beberapa

perusahaan lainnya yang mengalami kesulitan

likuiditas. Penyebabnya adalah terjadinya krisis

di pasar finansial yang bersumber dari masalah kredit

perumahan berkualitas rendah atau subprime

mortgage. Pengaruh yang ditimbulkan dari gejolak

di pasar finansial Amerika Serikat sangatlah besar

bagi dinamika perekonomian global.

Setelah bank investasi, Lehman Brothers Inc, pada 15

september 2008 mengajukan proteksi kebangkrutan,

dimana sebelumnya Pemerintah AS menolak untuk

mem-bail-out-nya, kebangkrutan masih menghantui

perusahaan-perusahaan lainnya di Wall Street. Apalagi

sejumlah perusahaan finansial yang selama ini

dipercaya kuat juga mengalami kesulitan keuangan.

Perusahaan pesaing Lehman, Merrill Lynch misalnya,

sudah diambil oleh Bank of America senilai US $ 50

Miliar (lima puluh miliar dolar Amerika). Perusahaan

raksasa lainnya, American International Group (AIG)-

salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia saat

ini, yang harga sahamnya anjlok hingga 60,8%

disuntikkan dana sebesar US $ 85 milliar dan sebagai

hasilnya 79,9% saham perusahaan asuransi itu

dikuasai Pemerintah Amerika Serikat.15

Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi stabilitas sistem finansial di Indonesia,

antara lain secara tidak langsung menurunkan

kepercayaan masyarakat terhadap lembaga

perbankan. Hal tersebut ditandai dengan

meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi

krisis, walaupun krisis dimaksud belum secara langsung

berdampak pada sektor perbankan dan pasar modal

di Indonesia. Sementara kepercayaan masyarakat

merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan

untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil.

Keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan

masyarakat sangat penting dijaga.16

C. Kerangka Hukum Penanganan Krisis Sistem

Keuangan

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan

langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi

terjadinya guncangan terhadap kinerja dan fungsi

5

13 Pangestu, Mari Elka, The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lesson and Implication for Other Developing Countries, G-24 Discussion Paper Series No.23-United Nation Conference on Trade and Development, November 2003, hal.2.

14 Instabilitas finansial (financial instability) didefinisikan sebagai perubahan drastis harga-harga aset-aset finansial. Pada dasarnya aset-aset finansial menyangkut produk-produk finansial seperti saham, obligasi, mortgage, futures, serta berbagai bentuk surat berharga dan produk derivatif (derivative products) lainnya. Instabilitas tersebut terjadi akibat fluktuasi sektor finansial yang terlalu besar sehingga menimbulkan ketidakstabilan (instabilitas) yang dapat menganggu kesinambungan sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor finansial menjadi “transmisi” yang paling efektif memunculkan gejolak dan krisis. Meskipun sumber dari krisis tidak selalu harus dimulai dari suatu masalah di pasar finansial itu sendiri. Jika krisis masih terisolasi pada sektor finansial saja, maka dapat dikatakan situasi belum menjalar pada krisis ekonomi. Sedangkan krisis adalah suatu kondisi dimana berbagai langkah pengendalian sudah tidak lagi mampu menahan gejolak pada sektor finansial, yang segera berdampak pada perekonomian secara umum dan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Secara sederhana dipahami bahwa instabilitas (finansial) bersifat permanen, dan krisis adalah konsekuensi logis dari kondisi instabilitas tersebut. (Prasetyantoko, Bencana Finansial, Stabilitas sebagai Barang Publik, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008, hal 11).

15 Widhiyanto, Fajar, Krisis Mengalir Sampai Jauh, Majalah Investor, November 2008, Vol. X. No.185, hal 31.

16 Kepercayaan masyarakat sangat penting bagi bank, paling tidak karena dua alasan : pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi, dan kedua, mencegah terjadinya bank runs and panic. Disamping itu, kepercayaan masyarakat tersebut diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar kewajibannya kepada seluruh nasabahnya sekaligus. Demikian bank terekspose kepada kemungkinan terjadinya kekurangan dana apabila nasabah penyimpan menarik simpanannya pada bank. Keinginan nasabah penyimpan menarik simpanannya tersebut terjadi apabila mereka kehilangan kepercayaannya kepada bank. (Zulkarnain Sitompul, Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum IU, Jakarta, 2002 hal. 2 dan hal 13).

Page 13: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

intermediasi perbankan dan upaya untuk menjaga

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Bahwa

pada saat ini perubahan kondisi perekonomian yang

semakin memburuk dikhawatirkan dapat mengganggu

kondisi keuangan perbankan, yang pada akhirnya

membahayakan stabilitas sistem keuangan dan

perekonomian nasional. Landasan hukum yang kuat

diperlukan sehingga mekanisme koordinasi antar

lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem

keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan

keputusan dalam tindakan pencegahan dan

penanganan krisis sehingga dapat dilakukan secara

terpadu, efisien, dan efektif.17

Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam

kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2008

Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini

ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan. Dalam Perpu ini diatur

mengenai ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem

Keuangan yang meliputi pencegahan krisis (crisis

prevention) dan penanganan krisis (crisis management).

Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan

kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas dari bank

dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang

berdampak sistemik18, yaitu antara lain dengan

memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi

bank atau LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas.

Perpu menurut Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945

adalah jenis peraturan yang memiliki hierarki setingkat

dengan Undang-Undang. Namun Perpu ini ditetapkan

oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan memaksa

yang harus segera diatasi, karena pada saat itu Presiden

tidak dapat mengaturnya dengan Undang-Undang,

yang untuk membentuknya memerlukan waktu yang

relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-

macam.19

Sebagai peraturan darurat, Perpu mengandung

pembatasan-pembatasan. Pertama: Perpu hanya

dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang

memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan

yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak

hanya terbatas pada keadaan yang mengandung

suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk

juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah

yang menentukan kegentingan yang memaksa itu?

Karena kewenangan menetapkan Perpu ada pada

Presiden, Presidenlah yang secara hukum menentukan

kegentingan yang memaksa. Kedua, Perpu hanya

berlaku untuk jangka waktu yang terbatas.

Presiden–paling lambat dalam masa sidang DPR

berikutnya- harus mengajukan Perpu ke DPR untuk

memperolah persetujuan. Apabila disetujui DPR,

Perpu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak

disetujui, Perpu tersebut harus segera dicabut.20

Undang-Undang Dasar membedakan antara Perpu

dengan Peraturan Pemerintah, karena Perpu diatur

dalam Bab tentang DPR sedangkan DPR adalah

pemegang kekuasaan untuk membentuk Undang-

Undang, maka materi Perpu seharusnya adalah materi

yang menurut UUD diatur dengan Undang-Undang

dan bukan materi yang melaksanakan Undang-

Undang sebagaimana Peraturan Pemerintah. Apabila

terjadi kekosongan Undang-Undang namun terjadi

situasi dan kondisi yang bersifat mendesak yang

membutuhkan aturan hukum in casu Undang-Undang

maka Pasal 22 UUD 1945 menyediakan pranata

6

17 Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

18 Berdampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional (Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan).

19 Kusumaningtuti. SS, Op Cit, hal. 81. 20 Nazriya, Riri, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, hal. 388.

Page 14: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

khusus dengan member wewenang kepada Presiden

untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai)

Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian Perpu

diperlukan apabila:21

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak

untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat

berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum

ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau

ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi

dengan cara membuat Undang-Undang secara

prosedur biasa karena akan memerlukan waktu

yang cukup lama sedangkan keadaan yang

mendesak tersebut perlu kepastian untuk

diselesaikan.

Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma

hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status

hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c)

akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak

Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut

tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima

atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian

sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau

menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah

dan berlaku seperti undang-undang.22

Menurut Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perpu harus

segera dimintakan persetujuan DPR dalam persidangan

yang berikut. Persetujuan DPR ini sangat penting

karena DPR lah yang memiliki kekuasaan legislatif,

dan secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan

yang memaksa. Subyektifitas Presiden dalam

menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”

yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai

DPR apakah benar terjadi, atau akan terjadi,

kegentingan yang memaksa itu. Persetujuan DPR ini

hendaknya dimaknai memberikan atau tidak

memberikan persetujuan (menolak). Apabila DPR

memberikan persetujuan, Perpu akan ditetapkan

menjadi Undang-Undang. Namun sebaliknya, apabila

DPR menolak maka Perpu dinyatakan tidak berlaku

dan harus dicabut.23

Salah satu isu krusial yaitu apa yang dimaksud dengan

“dalam persidangan DPR yang berikut”, apakah

persis masa sidang DPR setelah Perpu diterbitkan,

atau masa sidang kapan saja setelah Perpu diterbitkan.

Bila membaca pandangan AALF van Dullemen dalam

bukunya Staatsnoodrecht en Democratie, masa sidang

tersebut harusnya dimaknai sebagai masa sidang

yang dilakukan persis setelah Perpu diterbitkan.

Dalam praktik, ketentuan masa sidang itu tidak punya

acuan yang baku.24

Selanjutnya Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 mengatur

bahwa jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka

Perpu tersebut harus dicabut. UUD tidak mengatur

lebih lanjut bagaimana mekanisme pencabutan Perpu

tersebut. Dalam teori perundang-undangan, sebuah

peraturan perundang-undangan hanya dapat

dinyatakan tidak berlaku dengan peraturan setingkat

atau peraturan yang lebih tinggi atau melalui putusan

pengadilan.25

Mekanisme pencabutan Perpu lebih lanjut diatur

dalam Pasal 25 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, bahwa

“Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang ditolak DPR maka Presiden mengajukan RUU

tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula

segala akibat dari penolakan tersebut.”

Terkait dengan penyelesaian krisis masa lalu, terdapat

dua hal yang perlu dirumuskan sebagai politik hukum

7

21 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal. 19.

22 Ibid, hal. 20.

23 Yuli Harsono, Op Cit.

24 Saldi Isra, Eksistensi Perppu dalam Sistem Perundang-undangan, Bahan Presentasi, April 2011, hal. 13.

25 Ibid, hal. 15.

Page 15: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

atas upaya yang telah diambil Bank Indonesia dan

Pemerintah dalam penyelamatan sistem perbankan

nasional di masa krisis, yaitu:26

Pertama, politik hukum berkenaan dengan perlunya

penyusunan perangkat aturan yang ditujukan untuk

menanggulangi krisis atau systemic risk yang norma

hukumnya dirumuskan secara berbeda dari perangkat

aturan yang mengatur kegiatan usaha bank dalam

keadaan normal. Sebagaimana telah dikemukakan

bahwa sampai dengan saat ini Indonesia belum

memiliki perangkat aturan yang ditujukan untuk

menanggulangi krisis atau systematic risk yang

normanya berbeda dari perangkat aturan yang

mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal.

Perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan

yang ada hanya dapat digunakan sebagai aturan

dalam keadaan normal saja. Agar tindakan yang

diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi

krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,

maka selain perangkat hukum yang mengatur kondisi

normal perlu disusun pula perangkat hukum yang

melandasi kerangka kerja (framework) manajemen

krisis yang bersifat strategis (crisis strategy

management);

Kedua, politik hukum terhadap fungsi lender of last

resort oleh Bank Indonesia sebagai upaya

penyelamatan sistem perbankan dan perekonomian

nasional. Selain diperlukannya penyusunan perangkat

hukum dalam kerangka kerja manajemen krisis,

kiranya perlu dirumuskan pula komitmen politik

hukum berkenaan dengan tindakan yang telah

diambil Bank Indonesia dan Pemerintah dalam rangka

penyelamatan sistem perbankan nasional di masa

krisis. Hal ini penting agar tindakan/kebijakan yang

telah diambil yang bersifat emergency pada masa

abnormal (krisis perbankan) dengan tujuan untuk

menyelamatkan sistem perbankan/perekonomian

dapat dihilangkan sifat melawan hukumnya.

Dalam kaitannya dengan upaya menghadapi ancaman

krisis keuangan global yang dapat membahayakan

stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional,

diperlukan substansi hukum sebagai suatu landasan

hukum yang kuat sehingga mekanisme koordinasi

antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem

keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan

keputusan dalam tindakan pencegahan dan

penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu,

efisien dan efektif.

Pada waktu menghadapi ancaman krisis keuangan

global tahun 2008, landasan hukum dimaksud

ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman

Sistem Keuangan, yang bertujuan untuk menciptakan

dan memelihara stabilitas sistem keuangan.27

D. Bank Indonesia Sebagai Lender of Last Resort

Secara tradisional, salah satu tugas utama bank sentral

adalah meliputi penyediaan bantuan likuiditas kepada

sektor keuangan yang dikenal dengan Lender of Last

Resort. Sejarah Lender of Last Resort tidak terlepas

dari sejarah keberadaan bank sentral. Fungsi bank

sentral sebagai Lender of Last Resort telah dikenal

sejak akhir abad ke-19 dan peranan tersebut semakin

menonjol, terutama sejak runtuhnya sistem standar

emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods

pada tahun 1973.

Pada dasarnya Lender of Last Resort adalah pemberian

fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami

kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk menghindarkan

8

26 Nasution, Anwar, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum Dan Agenda Ke Depan”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Bank Indonesia, Vol 2, Desember 2003, hal. 9

27 Jaring Pengaman Sistem Keuangan secara umum ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan Krisis. Namun demikian, mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, serta program penjaminan simpanan telah diatur dalam Undang-Undang tersendiri maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini hanya mengatur masalah pencegahan dan penanganan Krisis. (Vide Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan).

Page 16: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

krisis keuangan yang sistemik. Mengingat resiko

sistemik yang terjadi di perbankan dapat menimbulkan

dampak negatif terhadap perekonomian, maka

terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan

suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya krisis

tersebut dengan intervensi langsung dari bank

sentral/pemerintah dengan menyediakan fasilitas

pinjaman kepada bank dalam rangka menutupi

liquidity mismatch.28

Kesulitan likuiditas dimaksud adalah berjangka pendek

dimana institusi keuangan tidak bisa memperoleh

likuiditas dengan normal dan harga yang wajar. Dalam

perkembangannya, Lender of Last Resort juga berfungsi

untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik.

Mengingat risiko sistemik yang terjadi di perbankan

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap

perekonomian, maka terdapat konsensus bahwa perlu

diciptakan mekanisme untuk mencegah terjadinya

krisis. Hal ini dilakukan melalui intervensi langsung

dari bank sentral/pemerintah dengan menyediakan

fasilitas pinjaman kepada bank dalam rangka menutupi

liquidity missmatch.

Dalam undang-undang yang mengatur mengenai

Bank Indonesia sebelumnya, yaitu Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, fungsi

Bank Indonesia sebagai lender of last resort diatur di

dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) sebagai berikut:

(3)Bank (Bank Indonesia) dapat pula memberikan

kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi

kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.

(4)Pemberian kredit bank dibatasi oleh rencana kredit

yang bersangkutan.

Aturan yang memberikan kewenangan kepada Bank

Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat

(3) dan ayat (4) di atas mensyaratkan bahwa setiap

tahun Bank Indonesia harus bisa memprediksikan

kesulitan likuiditas yang akan dihadapi oleh bank,

sehingga artinya dalam keadaan normal Bank

Indonesia harus mampu merencanakan jumlah

pemberian kredit kepada bank yang mengalami

kesulitan likuiditas. Pengaturan ini menjadikan Bank

Indonesia berada dalam situasi yang dilematis ketika

harus melaksanakan fungsinya sebagai lender of last

resort guna menghadapi bank run dalam situasi

sistemik. Hal ini terjadi pada krisis ekonomi pada

tahun 1997/1998, karena saat itu yang terjadi bukan

sekedar kesulitan likuiditas individual bank yang dapat

diprediksikan sebelumnya oleh Bank Indonesia,

melainkan penarikan dana besar-besaran dan seketika

oleh masyarakat sebagai akibat krisis kepercayaan

(domestik dan internasional) terhadap perbankan

nasional yang tidak pernah terprediksikan.

Setelah reformasi dan Bank Indonesia menjadi lembaga

bank sentral yang independen berdasarkan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia, fungsi lender of last resort diatur dalam

pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sebagai berikut:

(1)Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk

jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari

kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan

jangka pendek Bank yang bersangkutan.

(2)Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib dijamin oleh Bank penerima

dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah

dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah

kredit atau pembiayaan yang diterimanya.

(3)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan

Peraturan Bank Indonesia.

Sesuai penjelasan dari pasal 11 ayat (1), (2) dan (3),

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah kepada Bank hanya dilakukan untuk mengatasi

kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara

arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan

arus dana keluar (mismatch). Jangka waktu paling

lama 90 (sembilan puluh) hari merupakan jangka

9

28 Freixas, 1999, dalam Iman Sugema & Iskandar Simorangkir, Peranan The Lender Of Last Resort (LOLR) Terhadap Perekonomian: Suatu Kajian Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Jakarta, Juni 2004, hal. 54.

Page 17: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

waktu maksimum yang dimungkinkan termasuk

perpanjangannya. Apabila kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada

saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak

mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Agunan

berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat

berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh

Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai

peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga

pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu

dengan mudah dijual ke pasar untuk dijadikan uang

tunai.

Pembatasan jangka waktu maksimum 90 (sembilan

puluh) hari adalah untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan kredit atau pembiayaan dimaksud,

yang pada gilirannya dapat mengganggu efektifitas

pengendalian moneter. Sedangkan bank yang dapat

memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan informasi

yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang

bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka

pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila

diperlukan akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

terhadap kondisi bank tersebut.

Fungsi lender of last resort Bank Indonesia

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

23 tahun 1999 ternyata dirasakan masih terbatas

karena hanya untuk membantu mengatasi kesulitan

likuiditas bank dalam kondisi normal. Hal ini belum

mencakup fungsi lender of last resort yang dapat

digunakan dalam kondisi darurat atau krisis.

Bersamaan dengan amandemen Undang-Undang

Bank Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 3

tahun 2004, pasal yang berkaitan dengan lender of

last resort termasuk yang diamandemen dengan

menambahkan dua ayat yaitu ayat (4) dan ayat (5)

pada pasal 11, berbunyi sebagai berikut:

(4)Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan

keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi

mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem

keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan

fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya

menjadi beban Pemerintah.

(5)Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan

mengenai kesulitan keuangan Bank yang

berdampak sistemik, pemberian fasilitas

pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang

berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara diatur dalam undang-undang tersendiri,

yang ditetapkan selambatlambatnya akhir tahun

2004.

Berdasarkan pasal 11 ayat (4) tersebut, Bank Indonesia

dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang

pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal

suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang

berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan

krisis yang membahayakan sistem keuangan.

Mekanisme ini merupakan bagian dari konsep jaring

pengaman sektor keuangan (financial safety net) yang

akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Undang-

undang dimaksud adalah Undang-Undang tentang

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang

diamanatkan untuk dibentuk paling lambat akhir

tahun 2004.

Selanjutnya di dalam Pasal II Undang-Undang Nomor

3 tahun 2004 tersebut diatur bahwa sepanjang

Undang-undang sebagaimana dimaksud pada Pasal

11 ayat (5) belum ditetapkan maka pengaturan hal-

hal sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (5)

tersebut dituangkan dalam nota kesepakatan antara

Pemerintah dan Bank Indonesia.

Dalam pelaksanaannya, pada tanggal 17 Maret 2004,

Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan

menandatangani Nota Kesepakatan mengenai

ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan

terkait kesulitan keuangan bank yang berdampak

sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan

sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

10

Page 18: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

E. Implikasi Atas Pencabutan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008

Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009

mengamanatkan pengaturan lender of last resort

untuk diatur di dalam undang-undang tersendiri,

sebagai bagian dari kerangka jaring pengaman sistem

keuangan. Keberadaan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008

tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan berfungsi

sebagai dasar hukum bagi Pemerintah dan otoritas

lainnya untuk mengambil kebijakan dan langkah-

langkah pencegahan dan penanganan krisis.

Paska dicabutnya Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tersebut,

terjadi kekosongan substansi hukum sebagai dasar

bagi otoritas dimaksud untuk menetapkan dan

melaksanakan kebijakan dalam rangka pencegahan

dan penanganan krisis, terutama bagi Bank Indonesia

dalam menjalankan fungsinya sebagai lender of last

resort, terutama terkait pemberian FPD.

Kewenangan Bank Indonesia untuk memberikan FPD

diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor

10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat

Bagi Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia dimaksud

merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2008. Hal tersebut dapat dilihat pada

konsiderans Peraturan Bank Indonesia tersebut yang

mencantumkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 sebagai salah

satu dasar pertimbangannya. Selain itu, substansi

pengaturan Peraturan Bank Indonesia dimaksud

merupakan penjabaran lebih lanjut dari substansi

pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang dimaksud, antara lain:

a. FPD yang diberikan dalam rangka pencegahan

krisis diberikan oleh Bank Indonesia dan dijamin

oleh Pemerintah, sedangkan FPD dalam rangka

penanganan krisis pendanaannya berasal dari

Pemerintah yang diberikan melalui Bank Indonesia.

b. Sumber pendanaan dalam rangka pencegahan

dan penanganan krisis terkait dengan pemberian

FPD menjadi beban APBN melalui penerbitan SBN

atau tunai oleh Pemerintah.

c. Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi,

proses pengambilan keputusan dalam penetapan

dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD

kepada Bank dilakukan secara bersama (joint

decision) oleh Menteri Keuangan dan Bank

Indonesia melalui Komite Stabilitas Sistem

Keuangan.

Dengan dicabutnya Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan, Peraturan Bank Indonesia

Nomor 10/ 31 /PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan

Darurat menjadi tidak memiliki payung peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam krisis sistemik, lender of last resort harus menjadi

bagian integral dari suatu strategi manajemen krisis

yang komprehensif dan dirumuskan secara baik. Perlu

adanya pengecualian risiko sistemik dalam pemberian

lender of last resort kepada sistem perbankan. Syarat-

syarat pembayaran dapat dilonggarkan untuk

mendukung pelaksanaan program restrukturisasi bank

yang sistemik. Dalam krisis sistemik pengungkapan

proses lender of last resort dapat menjadi alat penting

manajemen krisis. Peraturan fasilitas lender of last

resort harus menetapkan dengan jelas prinsip-prinsip

pokok dan kriteria spesifik mengenai krisis sistemik

dan atau potensi kegagalan suatu bank yang dapat

mengarah pada krisis sistemik. Untuk meyakinkan

proses pengambilan keputusan yang efektif dan

akuntabilitas, harus terdapat kerangka dan prosedur

lender of last resort yang jelas. Disamping itu, untuk

meyakinkan akuntabilitas, perlu dipelihara kelengkapan

laporan dan dokumentasi.29

11

29 Batunanggar, Sukarela, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Volume 4, Nomor 3, Desember 2006, hal. 6.

Page 19: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Prosedur yang tepat, kejelasan akuntabilitas dan

kewenangan serta aturan disclosure akan

meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral

hazard, dan melindungi lender of last resort dari

pengaruh politik yang tinggi.30

Tidak adanya payung hukum setingkat undang-

undang yang mengatur mengenai jaring pengaman

sistem keuangan, berimplikasi pada kekosongan

substansi hukum yang diperlukan untuk membentuk

konstruksi yang sempurna bagi Bank Indonesia untuk

melaksanakan fungsi lender of last resort. Dengan

kondisi yang demikian, dalam hal terjadi krisis di

sistem keuangan dan terdapat bank yang mengalami

kesulitan likuiditas dan berdampak sistemik, Bank

Indonesia berada pada posisi yang sulit untuk

menjalankan fungsi sebagai lender of last resort.

Substansi pengaturan lender of last resort dalam

undang-undang harus sejalan dengan Pasal 11 ayat

(4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2009, bahwa dalam hal suatu bank mengalami

kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan

berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan

sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan

FPD yang pendanaannya menjadi beban APBN.

F. Penutup

Sebagai sebuah sistem, stabilitas keuangan harus

dilakukan secara utuh. Oleh karena itu, dalam menjaga

stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh

diperlukan kerangka kerjasama antara lembaga terkait,

yaitu Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,

Pemerintah, serta Lembaga Penjamin Simpanan.

Keberadaan kelembagaan otoritas di sistem keuangan

Indonesia saat ini dapat dikatakan masih bersifat

tambal sulam. Lahirnya suatu lembaga baru didasarkan

pada reaksi atas keadaan yang terjadi. Sehingga

diperlukan suatu cetak biru yang memuat arsitektur

sistem keuangan Indonesia terkait dengan posisi Bank

Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin

Simpanan, dan Pemerintah dalam penanganan krisis,

termasuk pertanggungjawaban keuangan negara.

Untuk mendukung konstruksi hukum penanganan

krisis sistem keuangan, diperlukan pula harmonisasi

antara peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai langkah-langkah penanganan

krisis dengan peraturan perundang-undangan lainnya

yang bersifat sebagai penunjang, antara lain undang-

undang yang mengatur mengenai keuangan Negara,

perlu untuk mengakomodir bahwa keuangan yang

digunakan dalam penanganan krisis merupakan biaya

penanganan krisis, tidak diperlakukan sebagai kerugian

negara, melainkan diperlakukan sebagai biaya yang

harus dikeluarkan demi mencegah krisis yang lebih

luas lagi.

12

30 Dong He, Emergency Liquidity Support Facilities, IMF Working Paper No. 00/79, April 2000, dalam Batunanggar, Ibid.

Page 20: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Batunanggar, Sukarela, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, Buletin Hukum Perbankan

Dan Kebanksentralan Volume 4, Nomor 3, Desember 2006.

Isra, Saldi, Eksistensi Perppu dalam Sistem Perundang-undangan, Bahan Presentasi, April 2011.

Kusumaningtuti SS, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Nasution, Anwar, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum Dan Agenda Ke Depan”, Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan, Bank Indonesia, Vol 2, Desember 2003.

Nazriya, Riri, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal

Hukum Nomor 3 Vol. 17 Juli 2010.

Pangestu, Mari Elka, The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lesson and Implication for Other Developing Countries,

G-24 Discussion Paper Series No.23-United Nation Conference on Trade and Development, November 2003.

Prasetyantoko, Bencana Finansial, Stabilitas sebagai Barang Publik, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008.

Raz, Arisyi F., Tamarind P. K. Indra, Dea K. Artikasih, Syalinda Citra, Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi:

Analisa dari Perekonomian Asia Timur, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Oktober 2012.

Sitompul, Zulkarnain, Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia,

Program Pascasarjana Fakultas Hukum IU, Jakarta, 2002.

Sugema, Iman, & Simorangkir, Iskandar, Peranan The Lender Of Last Resort (LOLR) Terhadap Perekonomian: Suatu Kajian

Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Jakarta, Juni

2004.

Widhiyanto, Fajar, Krisis Mengalir Sampai Jauh, Majalah Investor, November 2008, Vol. X. No.185.

DAFTAR PUSTAKA

13

Page 21: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Page 22: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

A. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai Negara yang memiliki berbagai

potensi kekayaan alam, budaya, dan adat istiadat

menjadikannya sebagai tujuan pariwisata dan investasi

yang menjanjikan. Dampak dari perkembangan

tersebut adalah banyaknya warga Negara asing yang

datang ke Indonesia baik untuk sekedar berwisata

maupun untuk berinvestasi.

Banyaknya Warga Negara Asing yang datang ke

Indonesia membawa dampak positif terhadap

pertumbuhan perekonomian. Namun, tidak dapat

dipungkiri bahwa kondisi tersebtut juga sekaligus

membawa dampak negatif. Salah satu dampak

negatifnya adalah meningkatnya kebutuhan terhadap

tanah guna mendukung perkembangan investasi dan

pariwisata sedangkan ketersediaan tanah tidak

sebanding dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan

nilai ekonomis dari tanah menjadi tinggi dan banyak

masyarakat lokal yang tergiur untuk menjual tanahnya

dengan bayaran yang sangat tinggi. Sebagai tujuan

pariwisata dan investasi yang baik, menyebabkan

Warga Negara Asing yang datang ke Indonesia banyak

yang ingin menetap di Indonesia dan ingin mempunyai

hak milik atas tanah yang dapat diperuntukkan sebagai

tempat tinggal maupun tempat untuk menjalankan

investasinya.

15

KAJIAN NORMATIF TERHADAP PERJANJIAN NOMINEE HAK ATAS TANAH Di INDONESIA

Disusun oleh:

Made Oka Cahyadi Wiguna, S.H.,M.Kn.1

Email : [email protected]

Abstrak

Indonesia sebagai salah satu Negara tujuan investasi dan tujuan wisata, selain memberikan dampak positif, juga

berdampak negatif. Banyak warga negara asing yang ingin datang dan tinggal serta ingin mempunyai aset berupa hak

milik atas tanah di Indonesia, yang berdasarkan hukum positif di Indonesia, keinginan tersebut tidak dibenarkan. Keinginan

tersebut acapkali diwujudkan dengan membuat perjanjian nominee hak milik atas tanah. Substansi dari perjanjian nominee

adalah pengalihan secara tidak langsung kepemilikan atas tanah kepada warga negara asing.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak

diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Perjanjian nominee bertentangan dengan ketentuan KUH

Perdata dan juga tidak sesuai dengan tujuan, konsepsi, prinsip-prinsip, sistem dan isi ketentuan UUPA sebagai hukum

positif yang mengatur mengenai pertanahan. Oleh karena itu, perjanjian tersebut bukan merupakan suatu alternatif bagi

warga negara asing untuk dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.

Kata kunci: Perjanjian Nominee, Hak Atas Tanah.

1 Pengajar di Universitas Pendidkan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar.

Page 23: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Dalam peraturan perundang-undangan, yang

dimaksud dengan warga Negara asing adalah setiap

orang yang bukan Warga Negara Indonesia

diperlakukan sebagai orang asing.2 Ketentuan

tersebut merupakan a’contrario dari siapa saja yang

dikategorikan sebagai warga Negara Indonesia

berdasarkan peraturan perundang-undangan.3

Secara normatif, Warga Negara Asing yang ingin

memiliki hak milik atas tanah di Indonesia, tidak

terakomodasi oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) mengatur bahwa hanya Warga Negara

Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Untuk

menyiasati ketentuan tersebut, banyak fenomena

Warga Negara Asing menikah dengan Warga Negara

Indonesia atau menggunakan perjanjian nominee

sebagai landasan agar Warga Negara Asing tersebut

dapat menguasai dan menggunakan tanah seolah-

olah sebagai pemilik dari tanah tersebut.

Secara umum, perjanjian nominee dikenal sebagai

perjanjian yang dibuat antara Warga Negara Asing

selaku pemilik modal dengan Warga Negara

Indonesia yang akan digunakan namanya untuk

mengatasnamakan suatu hak milik atas tanah.

Sehingga perjanjian semacam ini dikatakan suatu

perjanjian simulasi atau perjanjian yang keadaan

dalam perjanjiannya bukanlah keadaan yang

sebenarnya. Keberadaan perjanjian nominee ini

menjadi sebuah fenomena hukum empiris di

masyarakat. Fenomena ini kemudian marak dijadikan

suatu cara atau alternatif bagi Warga Negara Asing

untuk dapat memiliki tanah di Indonesia.

B. Konsep Perjanjian Nominee Ditinjau dari

KUHPerdata

Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana

seseorang atau lebih mengikatkan dirinya kepada

seseorang atau lebih lainnya, yang mana tujuan dari

pengikatan diri tersebut adalah untuk melakukan

sesuatu yang disepakati bersama dan apabila tidak

dilaksanakannya atau tidak dipenuhinya hal yang

telah disepakati akan menimbulkan suatu akibat

hukum berupa denda atau sanksi tertentu. Pada

dasarnya, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.4

Berdasarkan dari rumusan pasal tersebut, perjanjian

melahirkan kondisi dimana satu orang atau lebih

mempunyai kewajiban memenuhi prestasi (debitor)

dan satu orang atau lebih berhak atas prestasi tersebut

(kreditor).5 Perjanjian dapat dibuat secara cuma-cuma

atau atas beban.6 Perjanjian yang dibuat dengan

cuma-cuma menyebutkan hanya terdapat satu pihak

yang berprestasi sedangkan perjanjian atas beban

mensyaratkan keduabelahpihak mempunyai kewajiban

untuk berprestasi (kontraprestasi).7

Dalam membuat perjanjian, terdapat 4 (empat) syarat

yang harus dipenuhi oleh para pihak. Kesepakatan

mereka yang membuat perjanjian merupakan salah

satu unsur yang harus terpenuhi dalam membuat

suatu perjanjian. Akan tetapi, kesepakatan bukanlah

satu-satunya syarat yang harus dipenuhi untuk

membuat suatu perjanjian, karena terdapat beberapa

syarat lain yang harus dipenuhi yaitu antara lain:8

16

2 Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

3 Ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

4 Ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm.92

6 Ketentuan Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

7 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai Pasal 1456 BW, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm.64.

8 Ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Page 24: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(agreement) ;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

(capacity) ;

3. Suatu hal tertentu (certainty of terms);

4. Suatu sebab yang halal (considerations).

Syarat yang disebutkan pada no 1 dan 2 merupakan

syarat subyektif sedangkan syarat no 3 dan 4 adalah

syarat obyektif dari suatu perjanjian. Dengan adanya

ketentuan tersebut, akan menimbulkan konsekuensi

hukum apabila syarat-syarat di atas tidak dipenuhi

oleh mereka yang membuat perjanjian. Adapun

konsekuensi tersebut adalah batalnya perjanjian yang

dibuat.

Pembatalan yang dimaksud tersebut terbagi ke dalam

2 (dua) hal pokok, yaitu batal demi hukum, karena

tidak memenuhi syarat obyektif akibatnya perjanjian

atau perbuatan hukum dianggap tidak pernah terjadi

dan pembatalan yang kedua adalah dapat dibatalkan,

karena tidak memenuhi syarat subyektif namun

pembatalan ini baru dianggap batal apabila telah ada

putusan dari Hakim.9

Salah satu syarat penting yang harus dipenuhi dalam

membuat suatu perjanjian adalah suatu sebab atau

causa yang halal. Suatu sebab yang halal yang

dimaksud bukanlah apa yang menjadi penyebab atau

motivasi dari para pihak untuk membuat suatu

perjanjian, melainkan substansi dari perjanjian itu

sendiri.10 Substansi dari perjanjian merupakan

kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian

dan kehendak tersebut akan selalu berkembang

mengikuti perkembangan segala aspek kehidupan.

Perkembangan investasi yang melibatkan warga

negara asing dengan tanah misalnya, menyebabkan

substansi perjanjian mengarah kepada perjanjian

nominee yang kontroversial.

Menurut Miggi Sahabati, nominee adalah seseorang

yang ditunjuk oleh pihak lain untuk mewakilinya

dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu

sesuai dengan kesepakatan para pihak dan perbuatan

hukum yang dilakukan oleh nominee terbatas pada

apa yang telah diperjanjikan sebelumnya dengan

pihak pemberi kuasa”.11

Jika menyimak pengertian dari nominee tersebut

terdapat unsur kesepakatan di dalamnya. Kesepakatan

ini terjadi antara warga Negara asing dengan warga

Negara Indonesia. Dalam hal ini warga Negara

Indonesia selaku nominee mewakili kepentingan dari

warga Negara asing selaku pemilik modal atau

beneficial owner untuk membeli dan terbatas bertindak

hanya untuk mengatasnamakan hak milik atas tanah

di Indonesia yang dibeli oleh pihak asing tersebut.

Sedangkan untuk penguasaan dan penggunaan tanah

tersebut diberikan kepada warga Negara asing tanpa

dibatasi.

Menurut Maria S.W Sumardjono secara umum

substansi perjanjian nominee adalah sebagai berikut:12

1. Perjanjian Pemilikan Tanah (PPT) dan Pemberian

Kuasa

Dalam PPT pihak WNI mengakui bahwa tanah

HM (hak milik) yang terdaftar atas namanya

bukanlah miliknya, tetapi milik WNA yang telah

menyediakan dana untuk pembelian tanah HM

beserta bangunan. Selanjutnya pihak WNI memberi

kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada

pihak WNA untuk melakukan segala tindakan

hukum terhadap tanah HM dan bangunan.

17

9 Komariah, 2005, Hukum Perdata, Cetakan keempat, (Malang: Universitas Muhammadiyah Press), hlm.175.

10 Ibid, hlm.208-209.

11 Miggi Sahabati, 2011, “Perjanjian Nominee dalam Kaitannya Dengan Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemberi Kuasa Ditinjau Dari Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Kewarganegaraan”, (Tesis Pasca Sarjana Tidak Diterbitkan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta), hlm.25-26.

12 Maria S.W Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, (Jakarta : Kompas Media Nusantara), hlm. 15.

Page 25: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Perjanjian Opsi

Pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah

HM dan bangunan kepada pihak WNA, karena

dana untuk pembelian tanah HM dan bangunan

itu disediakan pihak WNA.

3. Perjanjian Sewa-menyewa

Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang

jangka waktu sewa berikut opsi untuk

perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak

yang menyewakan (WNI) dan penyewa (WNA).

4. Kuasa untuk Menjual

Berisi pemberian kuasa dengan hak substitusi dari

pihak WNI (pemberi kuasa) kepada pihak WNA

(penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan

hukum menjual atau memindahkan tanah HM

dan bangunan.

5. Hibah Wasiat

Pihak WNI menghibahkan tanah HM dan bangunan

atas namanya kepada pihak WNA.

6. Surat Pernyataan Ahli Waris

Istri pihak WNI dan anaknya menyatakan bahwa

walaupun tanah HM dan bangunan terdaftar atas

nama suaminya, tetapi suaminya bukanlah pemilik

sebenarnya atas tanah HM dan bangunan tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut nampak jelas adanya

motivasi dari perjanjian tersebut adalah untuk

mengalihkan hak milik atas tanah secara tidak

langsung kepada warga Negara asing. Jika dicermati

inti substansi perjanjian tersebut jelas tersurat adanya

suatu pelanggaran hukum. Dikaji secara yuridis,

substansi perjanjian nominee di atas memberikan

kewenangan kepada warga negara asing untuk

menguasai tanah selayaknya pemegang hak milik

atau dapat digolongkan memberikan hak milik atas

tanah secara tidak langsung dapat dikatakan tidak

memenuhi syarat suatu causa atau sebab yang halal.

Dengan tidak terpenuhinya syarat obyektif tersebut,

maka konsekuensi yuridis terhadap perjanjian

nominee adalah batal demi hukum. Menurut Achmad

Busro, “jika perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif

yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal

sebenarnya sejak awal perjanjian tersebut dibuat,

perjanjian tersebut telah dianggap tidak pernah lahir

atau rechts wegenietig”.13 Dikatakan batal demi

hukum karena substansinya melanggar ketentuan

yang diatur dalam UUPA yaitu:

1. Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai

Hak milik.14

2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan,

pemberian dengan wasiat dan perbuatan-

perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung

atau tidak langsung memindahkan hak milik

kepada orang asing, kepada seorang warga

Negara yang disamping kewarganegaraan

Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing

atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang

ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam

Pasal 21 ayat 2, adalah batal demi hukum dan

tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,

bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya

tetap berlangsung serta semua pembayaran yang

telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut

kembali.15

Perjanjian nominee merupakan salah satu bentuk

perjanjian tidak bernama atau perjanjian innominaat.

Dikatakan sebagai perjanjian innominaat karena tidak

diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer). Oleh karena itu, setiap orang bebas

membuat perjanjian serta sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.16 Ketentuan

tersebut memberikan peluang kepada setiap orang

dapat membuat perjanjian apapun sesuai dengan

asas pacta sunt servanda. Akan tetapi, kebebasan

yang diberikan tersebut tetap mempunyai batasan-

batasan tidak dapat bertentangan terhadap undang-

undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.17

18

13 Achmad Busro, 2012, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUHPerdata, Cetakan ke 2, (Yogyakarta: Penerbit - Percetakan Pohon Cahaya), hlm.93.

14 Ketentuan Pasal 21 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

15 Ketentuan Pasal 26 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

16 Ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

17 Ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Page 26: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

C. Perjanjian Nominee Bertentangan Dengan UUPA

Maraknya fenomena perjanjian nominee atas hak

milik atas tanah di Indonesia menjadikan bangsa

Indonesia seolah-olah sebagai orang asing di negerinya

sendiri karena banyak tanah di wilayah Indonesia

yang “dimiliki” oleh orang asing sedangkan warga

Negara Indonesia hanya menjadi pemilik di atas kertas

saja. Kenyataan tersebut bertentangan dengan hukum

positif yang berlaku. Padahal jika bertumpu pada Ius

Consitutum, orang asing tidak dapat mempunyai hak

milik atas tanah di Indonesia.

Penguasaan hak-hak atas tanah di Indonesia dapat

diartikan penguasaan secara fisik dan secara yuridis.

Penguasaan secara yuridis mempunyai pengertian

penguasaan yang dilandasi oleh suatu hak yang diatur

dalam ketentuan perundang-undangan untuk dapat

menguasai tanah secara fisik. Dalam pelaksanaan

perjanjian nominee warga Negara asing menguasai

tanah secara fisik, namun tidak dilandasi oleh suatu

hak atau batasan-batasan yang diatur secara normatif

dalam perundang-undangan.

Memberikan pemilikan tanah kepada warga Negara

asing tanpa mengacu kepada peraturan perundang-

undangan, secara tidak langsung merupakan wujud

dari penghidupan kembali keadaan pada masa sebelum

berlakunya UUPA, yaitu pada masa berlakunya hukum

agraria kolonial. Keadaan tersebut bertentangan

dengan tujuan, konsepsi, asas, sistem dan isi dari

ketentuan UUPA sebagai hukum agraria nasional.

1. Bertentangan Dengan Tujuan UUPA

Dalam pembentukannya, UUPA mempunyai tujuan

yang diharapkan dapat bermanfaaat bagi rakyat

Indonesia. Adapun tujuan yang dimaksud adalah

untuk membawakan kemakmuran bagi rakyat,

mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan dan memberikan kepastian

hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.18

Tujuan tersebut merupakan perintah langsung

dari Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia yang merupakan landasan

konstitusional pembentukan UUPA. Dimana dalam

ketentuan tersebut menegaskan Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

yang diletakkan dalam penguasaan Negara itu

digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya

kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan tujuan tersebut jelas dapat disimak

bahwa tujuan dari dibentuknya UUPA adalah

untuk memberikan kemakmuran bagi bangsa

Indonesia bukan sebaliknya seperti dalam perjanjian

nominee, yang mendapatkan kemakmuran dan

kesejahteraan adalah warga negara asing yang

menjadi beneficial owner sedangkan warga Negara

Indonesia yang menjadi nominee tidak dapat

menikmati apapun dari tanah yang diatasnamakan

menggunakan namanya. Sekali tiga uang dengan

kemakmuran rakyat yang terabaikan, maraknya

fenomena perjanjian nominee berdampak

terhadap kepastian hukum hak atas tanah juga

akan terabaikan.

2. Bertentangan Terhadap Konsepsi Hukum

Tanah Nasional

Menurut Boedi Harsono konsepsi hukum tanah

nasional adalah komunalistik religius yaitu

konsepsi yang diadopsi dari hukum adat yang

memungkinkan penguasaan tanah secara

individual, dengan hak-hak atas tanah yang

bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur

kebersamaan.19 Dalam hukum tanah nasional

seluruh tanah dalam wilayah Indonesia adalah

tanah bersama rakyat Indonesia yang merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan

konsepsi hukum tanah nasional tersebut dapat

dikonstruksikan bahwa hanya bangsa Indonesia

yang mendapatkan tempat dalam kepunyaan

19

18 Ketentuan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

19 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Jakarta: Djambatan, hlm.181.

Page 27: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

bersama atas seluruh tanah di wilayah Indonesia

dan mempunyai hubungan yang bersifat abadi.

Sedangkan dalam perjanjian nominee, secara

tidak langsung memberikan tempat bagi orang

asing untuk dapat memiliki tanah di Indonesia.

Jelas hal tersebut tidak sejalan dengan konsepsi

tersebut.

3. Bertentangan Terhadap Asas-Asas UUPA

Keberadaan perjanjian nominee di Indonesia pada

dasarnya bertentangan dengan asas yang

terkandung dalam UUPA. Dalam UUPA terdapat

azas nasionalisme yaitu asas yang menyatakan

hanya warga Negara Indonesia yang dapat

mempunyai hubungan hukum sepenuhnya

dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk

dalam asas tersebut adalah hanya warga negara

Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas

tanah di Indonesia. Asas tersebut mengharuskan

hanya warga Negara Indonesia, baik laki-laki atau

perempuan dan tidak membeda-bedakan kesukuan

maupun keturunan yang dapat mempunyai hak

milik atas tanah. Larangan pengasingan tanah di

Indonesia dan kepemilikan tanah kepada orang

asing di Indonesia disebut juga dengan asas gronds

verponding verbood.20 Disamping itu terdapat

asas kebangsaan yang menyebutkan bahwa

hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air

serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat

abadi.21 Oleh karena itu, tidak ada suatu tindakan

maupun alasan apapun yang dapat mengakhiri

hubungan yang bersifat abadi tersebut termasuk

melalui perjanjian nominee.

4. Bertentangan Dengan Sistematika Hukum

Tanah Dalam UUPA

Pembangunan hukum tanah nasional yang

berdasarkan hukum adat pada dasarnya

mempunyai semangat, jiwa dan tujuan untuk

menciptakan kesejahteraan, kebahagiaan dan

kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Oleh karena

itu sendi-sendi kolonial yang berlaku pada zaman

sebelum terbentuknya UUPA dihilangkan dalam

penyusunan UUPA. Penyusunan hukum tanah

nasional yang menggunakan hukum adat dalam

pembentukan konsepsinya telah melahirkan suatu

sistem yang disebut dengan sistematika hukum

tanah nasional.

Susunan sistematika hukum tanah nasional

tersebut menurut Boedi Harsono terlihat dari

sistem hak-hak penguasaan atas tanah dalam

hukum tanah nasional, yang dimulai dengan:

1. Hak Bangsa Indonesia;

2. Hak Menguasai dari Negara atas tanah yang

bersumber pada Hak Bangsa;

3. Hak Ulayat;

4. Hak-hak Penguasaan Individual terdiri atas:

a. Hak-hak atas tanah;

b. Wakaf;

c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut Hak

Tanggungan.22

Sistematika di atas mendeskripsikan bahwa

semangat dari UUPA adalah mengutamakan

kemakmuran dam kesejahteraan bangsa

Indonesia. Dalam hal pemberian hak milik secara

tidak langsung kepada warga Negara asing, yang

mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran

adalah warga Negara asing. Hal tersebut jelas

tidak sejalan dengan apa yang diinginkan dalam

penyusunan sistematika hukum tanah nasional.

5. Bertentangan Dengan Isi UUPA

Secara yuridis, perjanjian nominee tidak

terakomodasi dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Bahkan jika dicermati,

substansi dari perjanjian tersebut bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam UUPA.

20

20 Irma Devita, Konsekwensi Penggunaan Nama Orang Lain (Nominee Arrangement) Untuk PT Ataupun Property di Indonesia, 20 Agustus 2011, http://irmadevita.com/.

21 Ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. 22 Boedi Harsono, Op.Cit, hlm.208.

Page 28: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Ketentuan mengenai subyek hukum yang dapat

mempunyai hak milik adalah hanya warga Negara

Indonesia,23 sedangkan dalam perjanjian nominee

terdapat pemberian hak milik kepada orang asing

secara tidak langsung. Akibat hukum dari

pemberian secara tidak langsung semacam itu

adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh

kepada Negara.24

Penggunaan tanah hak milik oleh orang lain

hanya dapat dilaksanakan dengan memberikan

pembatasan-pembatasan yang telah ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan.25

Pembatasan seperti yang telah disebutkan di atas,

tidak akan pernah ditemukan dalam perjanjian

nominee. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya

semangat dan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut

adalah untuk memberikan kepemilikan tanah

kepada orang asing selaku pihak beneficial owner.

D. Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing di Indonesia

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa warga Negara

asing tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah di

Indonesia baik secara langsung maupun tidak

langsung. Akan tetapi oleh peraturan perundang-

undangan warga Negara asing yang berkedudukan

di Indonesia masih diberikan kesempatan untuk

mendapatkan suatu hak atas tanah di Indonesia dalam

bentuk Hak Sewa26 ataupun dalam bentuk Hak Pakai27

dengan jangka waktu tertentu sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Hak Pakai dapat diberikan terhadap tanah Negara

berdasarkan keputusan pemberian hak oleh pejabat

yang berwenang, terhadap tanah pengelolaan

berdasarkan pemberian hak oleh pejabat yang ditunjuk

atas usul pemegang hak pengelolaan dan terhadap

tanah hak milik dengan dasar pemberian hak oleh

pemegang hak milik.28 Dalam perkembangannya

semakin banyak orang asing yang datang ke Indonesia

dan turut serta dalam pembangunan nasional. Oleh

karena itu, pemerintah ingin mengakomodasi

kedatangan mereka terkait untuk tempat hunian

dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian

Oleh Orang Asing Berkedudukan di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan di atas, orang asing dapat

mempunyai rumah tinggal atau hunian di atas tanah

Hak Pakai tanah Negara atau yang dikuasai dengan

hak milik berdasarkan perjanjian dengan pemegang

hak atas tanah. Selain itu, orang asing juga dapat

mempunyai satuan rumah susun yang dibangun di

atas tanah Hak pakai tanah Negara.29 Menyimak

penjelasan di atas, orang asing yang berkedudukan

di Indonesia dan mempunyai pengaruh terhadap

pembangunan nasional telah diberikan pilihan hukum

untuk dapat menguasai tanah sesuai dengan haknya.

Hal tersebut ditentukan demikian adalah untuk

terwujudnya apa yang menjadi tujuan UUPA yaitu

untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi serta

merupakan wujud kepastian hukum yang diberikan

kepada warga Negara asing yang berkedudukan di

Indonesia terlebih yang mempunyai pengaruh bagi

pembangunan nasional. Dengan terwujudnya apa

yang menjadi tujuan dari UUPA, maka secara tidak

langsung dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan

hukum yaitu untuk mencapai ketertiban dan keadilan.

Terwujudnya apa yang menjadi tujuan hukum tersebut

memberikan efek positif bagi setiap orang termasuk

warga Negara asing akan merasa aman untuk

berwisata maupun berinvestasi di Indonesia.

21

23 Ketentuan Pasa 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

24 Ketentuan Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

25 Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

26 Ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

27 Ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

28 Ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996.

29 Ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996.

Page 29: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

E. SIMPULAN

Setelah mengkaji perjanjian nominee dari sudut

pandang hukum positif, berikut ini akan disampaikan

kesimpulan bahwa perkembangan investasi dan

pariwisata di Indonesia, melahirkan satu jenis perjanjian

baru, yaitu perjanjian nominee hak milik atas tanah.

Perjanjian tersebut sejatinya tidak dibenarkan oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia.

Pertentangan tersebut terkait terhadap keabsahan

perjanjian nominee ditinjau dari syarat causa yang

halal yaitu melanggar ketentuan tidak dibenarkannya

pemindahan hak milik secara langsung maupun tidak

langsung kepada warga Negara asing sebagaimana

yang disyaratkan dalam UUPA. Akibatnya, perjanjian

tersebut batal demi hukum. Disamping itu, perjanjian

nominee tidak sesuai dengan tujuan, konsepsi, asas,

sistem dan isi dari ketentuan UUPA sebagai hukum

positif yang mengatur pertanahan nasional. Warga

Negara asing yang berkedudukan di Indonesia telah

diberikan kesempatan untuk menguasai tanah di

Indonesia dengan Hak Pakai atas tanah.

22

Page 30: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika.

Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUHPerdata, Cetakan ke 2, Yogyakarta: Penerbit-Percetakan Pohon

Cahaya, 2012.

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai Pasal 1456 BW, Jakarta: Raja

Grafindo Persada).

Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan

Pelaksanaannya, Jilid 1, Jakarta: Djambatan.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Komariah, 2005, Hukum Perdata, Cetakan keempat, Malang: Universitas Muhammadiyah Press.

Maria S.W Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara

Asing dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kompas Media Nusantara).

Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cetakan I, (Jakarta: Kencana).

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan ke 11, (Jakarta: Raja Grafindo).

Miggi Sahabati, 2011, “Perjanjian Nominee dalam Kaitannya Dengan Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemberi Kuasa

Ditinjau Dari Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang

Kewarganegaraan”, (Tesis Pasca Sarjana Tidak Diterbitkan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta), hlm.25-

26.

Irma Devita, Konsekwensi Penggunaan Nama Orang Lain (Nominee Arrangement) Untuk PT Ataupun Property di Indonesia,

20 Agustus 2011, http://irmadevita.com/.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

DAFTAR PUSTAKA

2923

Page 31: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing

Berkedudukan di Indonesia.

24

Page 32: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

HUKUM PERSAINGAN USAHA (Tinjauan pada Perjanjian yang dilarang)

(Business Competition Law) (Review on the Agreement Forbidden)

Disusun oleh:

Muhar Junef

Abstrac

Business competition law in indonesia adult this is very interesting to guilty special on the agreement forbidden

because the business competition law very important to protect small and medium enterprises which suspected during

this as economic engine of indonesian micro who able to survive in the middle of a storm of economic crisis and monetary.

Business competition and businesses require strict regulation of the government so it can run in fair to all parties. The

purpose of this research is to see whether the implementation of law No.5 1999 are in compliance with the expected

or are still not as expected and factors what caused it. Methods used is normative research method. The results of research

found that the implementation of competition law venture undertaken not sufficiently effective, when viewed from

changes in the structure and unmannerly business doers that is in the industry. While the factors that affect the

implementation of a legal product, that can affect the effectiveness of competition law is a factor of the implementation

of the substance of laws and factors related to law enforcement officials as well as cultural factors law. Thus the success

of the implementation of an act of competition also a lot depends on how well the concept and the value of competition

policy related to the process of making interwoven in between the community. Need to actively in order to provide input,

to the regulations prepared by the government is contrary to the values that were in business competition in law.

Keywords: Business competition law.

Abstrak

Hukum persaingan usaha di Indonesia dewasa ini sangat menarik untuk diteliti khususnya pada perjanjian yang

dilarang, karena hukum persaingan usaha sangat penting untuk melindungi usaha kecil dan menengah yang ditengarai

selama ini sebagai motor penggerak ekonomi mikro Indonesia yang mampu bertahan di tengah badai krisis ekonomi

dan moneter. Persaingan bisnis dan usaha memerlukan peraturan yang ketat dari pemerintah agar dapat berjalan secara

adil untuk semua pihak. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah implementasi UU No.5 Tahun 1999 selama

ini telah sesuai dengan yang diharapkan ataukah masih belum sesuai dengan yang diharapkan dan faktor apa yang

menyebabkannya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil penelitian menemukan bahwa

implementasi dari hukum persaingan usaha yang dilakukan belum cukup efektif, bila dilihat dari perubahan struktur dan

prilaku pelaku usaha yang ada di dalam industri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi implementasi dari suatu produk

hukum, yang dapat mempengaruhi efektifitas dari implementasi hukum persaingan adalah faktor substansi undang-

undang dan faktor aparatur penegak hukum terkait serta faktor budaya hukum. Dengan demikian keberhasilan

implementasi suatu Undang-undang Persaingan juga banyak tergantung dari seberapa baik konsep dan nilai persaingan

terkait dengan proses pembuatan kebijakan yang terjalin di antara masyarakat. Perlu secara aktif dalam memberikan

masukan kepada perintah, agar regulasi yang disusun oleh pemerintah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat

di dalam hukum persaiangan usaha.

Kata kunci: hukum persaingan usaha.

25

Page 33: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

PENDAHULUAN

Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan

selama tiga dasawarsa ini, selain menghasilkan banyak

kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi

yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan

atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum

terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan

globalisasi perekonomian dan dinamika serta

perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.

(Tresia Elmondo Hutabarat:

http/http://tresia3lm0nd0.blogspot.com/2012/07/hukum-

persaingan-usaha.html).

Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh

penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum

membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat

berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor

ekonomi. Hal ini dikarenakan perkembangan usaha

swasta di satu sisi, dimana diwarnai oleh berbagai bentuk

kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar

menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar

perkembangan usaha swasta pada kenyataannya

merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha

yang tidak sehat atau curang. (Ibit, Tresia Elmando

Hutabarat).

Fenomena yang demikian telah berkembang dan

didukung oleh adanya hubungan antara pengambil

keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Hal ini semakin memperburuk

keadaan karena penyelenggaraan ekonomi nasional

kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945, dan cenderung menunjukkan corak yang

sangat monopolistik. Dimana para pengusaha yang dekat

dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-

kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan

kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan

sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung

oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah

satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi

menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.

(Hikmahanto Juwana, 1999:4).

Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur

persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan

oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya

masyarakat, serta instansi pernerintah. Pada tahun 1995

Partai Demokrasi Indonesia mengusulkan konsep

Rancangan Undang-undang tentang Antimonopoli.

Demikian pula Departernen Perdagangan yang bekerja

sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-

Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan.

Namun disayangkan semua usulan dan inisiatif tersebut

tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada

masa-masa itu belum ada komitmen maupun political

will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur

masalah persaingan usaha (Ibid, Hikmahanto Juwana,

1999:4).

Pada era pasar bebas saat ini, kita dituntut untuk mampu

bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih

ironis lagi, perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu

para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan

istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak

bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk

memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat

parah. Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah

mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat

kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan

pada bantuan asing, ini mengharuskan pemerintah

mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama,

semuanya meletakkan Indonesia pada posisi yang lemah.

Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal

yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri

itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi

pembuatan undang-undang yang sebenarnya sudah

lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak

akan dibentuk dalam waktu singkat, pada umumnya ini

telah terjadwal di dalam Letter/Intents antara Indonesia

dengan IMF (Muladi 1998:35-36).

Di samping itu merupakan tuntutan nasional, Undang-

Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga

merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu

yuridis dalam hubungan bisnis antarbangsa. Dari sisi

kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas

26

Page 34: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi)

kita memang sama sekali menolak praktik-praktik

monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang merugikan

rakyat. Dari sisi hubungan antarbangsa pun, apalagi

dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang

mengandung makna, semakin meningkatnya

ketergantungan antarbangsa di berbagai bidang

kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa

menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis

antarbangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA,

NAFTA, EC, dan lain sebagainya (ibid, Muladi, 1998:36).

Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan Negara

(government regulation) untuk mengembangkan dan

memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi

menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan

yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan

harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super

national of regional standards". Bahkan Masyarakat

Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus mengembangkan

apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy

Requirements Within the Framework of the GATT".

Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan

divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan

sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya

pengembangan di samping hukum persaingan nasional

dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk

hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN (opcit,

Muladi, 1998:36).

Beberapa negara sudah mengatur rambu-rambu

persaingan usaha yang sehat dalam hukum nasional

masing-masing. Amerika Serikat untuk pertama kali pada

tahun 1890 telah mengatur persaingan usaha yang sehat

dalam Act to Protect Trade and Commerce Against

Unlawful Restraints and Monopolies (Sherman Act), yang

beberapa kali telah disempurnakan, terakhir dengan

Robinson Patrnan Act tahun 1936. Demikian pula di

Jepang, untuk pertama kali pengaturan persaingan usaha

dituangkan dalam Shiteki dokusen no kinshi oyobi kosei

torihiki ni kansuru horitsu (Law concerning the prohibilition

of private monopoly and preservation offair trade), yang

beberapa kali mengalami perubahan. Bagi Negara Jerman,

pengaturan persaingan usaha dapat dijumpai dalam Act

to Unfair Competition 1909. Negara Filipina juga telah

mengatur persaingan usaha ini dalam Penal Code-nya.

Sedangkan Negara negara yang tergabung dalam

Masyarakat Ekonomi Eropa, sudah pasti tunduk dan

mengikuti kerentuan pengaturan hukum persaingan

usaha yang telah diatur bersama dalam Treaty on the

European Union. Sedangkan Indonesia, pengaturan

persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

disahkan.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut

ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi

total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,

termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala

sektor. Dibandingkan dengan proses pembentukan

undang-undang pada umumnya, proses pembentukan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak

lazim. Perbedaan ini terletak pada pihak yang mengajukan

rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik

kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan

dan diajukan oleh pemerintah untuk kemudian dibahas

bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang

mempersiapkan rancangannya adalah DPR yang kemudian

menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan

undang-undang. Rancangan Undang-Undang ini

dipersiapkan selama kurang lebih 4 bulan oleh Kelompok

Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi

Keuangan dan Industri Pembangunan dengan judul

Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik

Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat".

Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Departemen

Perindustrian dan Perdagangan, telah mempersiapkan

rancangan undang-undang yang mengatur masalah

persaingan dengan judul Rancangan Undang-Undang

tentang Persaingan Usaha. Kemudian Pemerintah dan

DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang

dipersiapkan oleh DPR itulah yang digunakan.

(Hikmahanto Juwana, 1999:4).

Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, dapat diketahui falsafah yang melatar depani

27

Page 35: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

kelahirannya dan sekaligus memuat dasar pikiran perlunya

disusun undang-undang tersebut. Setidaknya memuat

tiga hal, yaitu:

1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi

menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi

setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam

proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa,

dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien,

sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;

3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus

berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar,

sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan

kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu,

dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah

dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap

perjanjian-perjanjian internasional.

Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 juga menyatakan antara lain

"Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas,

menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali

kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat

tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar,

sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta

terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada

perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam

bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan

dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu

disusun undang-undang tentang larangan praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang

dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan

memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku

usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan

usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan

jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong

percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai

implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang

Dasar 1945".

Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan

kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada

setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara

mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan

dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana

setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan

sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti

dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat lainnya.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai

tool/social control and a tool/social engineering. Sebagai

"alat kontrol sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan

mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial",

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk

rneningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan

iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan

usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas

dan efisiensi dalam kegiatan usaha (Ayudha D. Prayoga

et al. (Ed.), 2000:52-53).

Apabila cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan

dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 akan membawa nilai positif bagi perkembangan

iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan

jauh dari kondisi ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tidak langsung

akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam

mengelola usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 juga menjamin dan memberi peluang yang

besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai

akibat dilarangnya praktik monopoli dalam bentuk

penciptaan barrier toentry). Hal ini berarti bahwa hanya

pelaku usaha yang efisienlah yang dapat bertahan di

pasar (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:53).

Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdistorsi,

sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin

besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa

28

Page 36: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan

dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika

hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih

kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti

bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi

konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas,

harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik.

Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 bukan merupakan ancaman bagi perusahaan-

perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-

undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan

tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang

oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Ayudha D.

Prayoga et al. (Ed.), 2000:53-54).

Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak

mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat

memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada

para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik.

Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak terbiasa

dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya

menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh

seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 diharapkan mampu

mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional

dalam mengatur dunia usaha di Indonesia. Di samping

itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat

meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional

terhadap Indonesia, sehingga mereka akan menarik untuk

menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan

kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk

berkompetisi secara sehat (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.),

2000:54-55).

PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian pendahuluan di atas maka

permasalahan penelitian ini adalah : (1) bagaimana

implementasi UU No. 5 tahun 1999 saat ini; (2) faktor-

faktor apa yang mempengaruhi efektifitas implementasi

undang-undang tersebut.

METODOLOGI

Berdasarkan permasalah dan latar belakang diatas maka

metode penelitian yang dilakukan menggunakan

pendekatan yuridis normatif (Soerjono Sukamto & Sri

Mamuji 1979 : 15) yakni UU Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat sebagai sumber utama, dan referensi

dokumen lain sebagai pendukung yang terkait seperti

hasil penelitian sebelumnya, serta data dari berbagai

media, baik cetak maupun elektronik. Tradisi penelitian

dengan menggunakan laporan media massa, khususnya

surat kabar dan internet, semakin berkembang pesat

selama beberapa dasawarsa terakhir, terutama dibidang

kajian tindakan kolektif dan gerakan sosial. Penggunaan

surat kabar sebagai sumber data dipandang penting

terutama dalam situasi dimana sumber-sumber alternatif,

seperti statistik yang dikeluarkan pemerintah dipandang

kurang memadai.

PEMBAHASAN

I. Implementasi Hukum Persaingan Usaha

Bagi negara berkembang seperti Indonesia,

implementasi hukum persaingan usaha (Ditha

Wiradiputra: htt://arditobhina.com) bukanlah pekerjaan

yang mudah. Terlebih masih adanya anggapan di

kalangan Negara berkembang yang mengatakan

bahwa implementasi hukum persaingan usaha yang

berlebihan dapat mengganggu aktifitas bisnis pelaku

usaha, dan kurang menguntungkan bagi perusahaan-

perusahaan nasional, ditambah biaya yang dibutuhkan

dalam proses investigasi dugaan praktek anti

persaingan juga tidaklah murah. (Won-Joo-Kim:2006).

Maria Vagliasindi (Maria Vagliasindi: 2004:6) dalam

kajiannya menyimpulkan bahwa implementasi efektif

dari hukum persaingan merupakan tugas yang sulit,

serta memerlukan tingkat pengetahuan dan keahlian

yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam

ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi, khususnya

pada negara berkembang membuat implementasi

hukum persaingan menjadi tugas yang lebih

29

Page 37: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

menantang daripada implementasi hukum persaingan

pada negara maju. Hambatan masuk yang timbul

dari konsentrasi pasar yang tinggi; kontrol dan

kepemilikan pemerintah; hambatan administratif,

semuanya tinggi di ekonomi transisi. Dan tidak hanya

itu, menurut Luis Tineo implementasi hukum

persaingan usaha juga tidak akan terlepas dari tekanan

secara politik maupun sosial. (Luis Tinie : 2000 : 5)

Selanjutnya tahun 2015 ini, usia dari Undang-undang

No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Pesaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5 Tahun

1999) telah mencapai lebih dari enam belas tahun

tahun. Sehingga alangkah baiknya jika dilakukan

suatu evaluasi terhadap bagaimana efektifitas dari

penegakkan atau implementasi UU No.5 Tahun 1999,

dan evaluasi tersebut bertujuan untuk melihat apakah

implementasi UU No.5 Tahun 1999 selama ini telah

sesuai dengan yang diharapkan ataukah masih belum

sesuai dengan yang diharapkan. Namun untuk melihat

bagaimana efektifitas dari penegakkan hukum

persaingan usaha terhadap berbagai sektor industri

yang ada bukanlah tugas yang mudah dan juga tidak

dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif

singkat.

Hukum persaingan usaha di Indonesia dewasa ini

belum sepenuhnya dapat diaplikasikan dengan baik.

Sejatinya, hukum persaingan usaha sangat penting

untuk melindungi usaha kecil dan menengah yang

ditengarai selama ini sebagai motor penggerak

ekonomi mikro Indonesia yang mampu bertahan di

tengah badai krisis ekonomi dan moneter di tahun

1997-1998. Apa yang terjadi jika sistem monopoli

terus berjalan tanpa kendali? Jawabannya, kebanyakan

dari kita (baca: para konsumen) merugi. Mengapa?

Dengan sistem monopoli, perusahaan dapat

menaikkan harga dengan membatasi jumlah keluaran

produksi. Persaingan bisnis dan usaha memerlukan

peraturan yang ketat dari pemerintah agar dapat

berjalan secara adil untuk semua pihak. Faktanya,

dalam analisis ekonomi terdapat beberapa bentuk

usaha dalam struktur pasar yang tidak menyokong

terbentuknya persaingan usaha yang sehat dan justru

berpotensi memangkas bisnis atau usaha dari pihak

lain. Inilah yang disebut dengan praktik monopoli,

bentuk usaha yang anti-kompetisi. (Tsany Ratna

Dewi,tsany(dot)trd (at)gmail(dot)com).

Pemberlakuan hukum kompetisi di beberapa negara

maju telah berjalan sangat progresif, misalnya Sherman

Act di Amerika Serikat yang telah mengatur antitrust

policy sejak tahun 1890. Di luar negeri Paman Sam,

hukum kompetisi (competition law) kawasan Uni

Eropa menjadi hukum primer yang harus ditaati semua

anggotanya. Artinya, jika terdapat hukum usaha yang

bertentangan dengan hukum kompetisi Uni Eropa,

hukum Uni Eropa-lah yang menjadi acuan utama. Di

negara Jerman, kesadaran akan pentingnya hukum

pembatasan kompetisi (dalam bahasa Jerman disebut

Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen,

selanjutnya disingkat (GWB), tumbuh subur setelah

Perang Dunia II. Sebagaimana di berbagai negara

lainnya, hukum bisnis GWB berkembang seiring

tumbuh suburnya industrialisasi. Hukum tersebut

makin dirasa penting pada masa Nationalsozialismus

(NAZI) berkeyakinan bahwa ekonomi harus terus

berjalan dalam keadaan perang, hingga berlanjut

pada tahun 1933 melalui Zwangskartellgesetz dan

di 1942 menjadi Marktaufsichtverordnung. Perjuangan

juga diwujudkan lewat hukum memerangi kartel,

Dekartellierungsgesetze di tahun 1947 yang

membebaskan kompetisi di Jerman. Pada tahun 1958,

GWB menjadi hukum persaingan usaha di Jerman

hingga saat ini.

Bagaimana di Indonesia? Di era Soeharto, undang-

undang mengenai hukum persaingan usaha tidak

mendapatkan tempat karena berpotensi mematikan

usaha-usaha yang dijalankan kroni Soeharto. Bisnis

yang dijalankan bukan dengan merit system melainkan

berdasarkan pada konsesi dan priviledge dari rezim

Soeharto semata. Pasca-reformasi, upaya penggodokan

undang-undang persaingan usaha mulai digagas.

Menilik konstelasi hukum bisnis di dunia internasional

yang demikian ketat, suatu keharusan bagi Indonesia

sebagai salah satu negara yang bergaul dalam etika

bisnis internasional untuk memiliki kode etik usaha

30

Page 38: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

yang jelas. Akhirnya, pada tahun 1999, Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

diterbitkan. Langkah berikutnya bagi Indonesia

menghadapi perdagangan bebas di masa mendatang

adalah mengharmonisasikan hukum yang mengatur

hubungan ekonomi dan bisnis antarbangsa

sebagaimana kesepakatan Final Act Uruguay Round

yang menjadi acuan dari pembentukan World Trade

Organization (WTO).

Hukum kompetisi berupaya untuk memproteksi pelaku

usaha dari praktek-praktek yang merugikan pelaku

usaha lain dan konsumen. Namun demikian, supremasi

hukum persaingan usaha tersebut masih memerlukan

sosialisasi dan kajian mendalam tentang haluan

jelasnya. Antitrust policy di Amerika berpegang teguh

pada proteksi pelaku usaha dari praktek monopoli,

sementara GWB di Jerman dirancang untuk

melindungi bisnis kecil dan menengah serta hukum

kompetisi di Uni Eropa dibuat untuk melindungi

konsumen dari perilaku anti kompetisi. Belajar dari

kekuatan hukum di wilayah-wilayah negara maju

tersebut, hukum persaingan usaha di Indonesia harus

pula memiliki garis besar haluannya sendiri yang pada

akhirnya mampu menjadi pelindung bagi pelaku

usaha sekaligus bagi konsumen. Refleksi hukum dan

ekonomi dari Uni Eropa dan Jerman mungkin dapat

menjadi pelajaran tersendiri bagi hukum persaingan

usaha di Indonesia yang terbilang masih muda.

Namun peraturan perundang-undangan yang dibuat

harus benar-benar bertitik tolak dari amanat dan

untuk kepentingan masyarakat banyak, yaitu bangsa

Indonesia sebagaimana diamanatkan pada Pembukaan

UUD 1945, sehingga peraturan perundang-undangan

yang dibuat akan memiliki politik hukum yang jelas,

tegas dan nyata, mudah dibuat, diterima, tersosialisasi

dengan baik, mempunyai daya laku efektif, mudah

penegakannya, tidak tertutup untuk perubahan sesuai

dengan kebutuhan jaman, dapat menjadi pedoman

dan ada kesesuaian antara teori dan doktrin dengan

kehidupan nyata, serta dapat dipertanggungjawabkan

dengan tingkat integritas moral yang baik.

Ada 8 (delapan) rekomendasi yang diperhatikan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan

terhadap titik pokok permasalahan dan pembangunan

hukum tersebut (Agus Brotosusilo, 2012, hal 101),

diantaranya sebagai berikut:

1. Pembangunan politik hukum yang peka, aspiratif

dan progresif, kreatif dan inovatif mewujudkan

cita-cita. Dengan politik hukum yang benar dan

tepat akan menjawab pertanyaan akan dibawa

kemana negara dan bangsa ini, dan akan dibawa

kemana produksi nasional kita.

2. Pembangunan komunikasi hukum, pemakaian

bahasa hukum dan pemanfaatan infokom yang

mutakhir secara maksimal untuk modernisasi.

Komunikasi hukum disini adalah antara masyarakat

dengan legislator, antara pemerintah dan DPR,

dan antara masyarakat, pemerintah, dan DPR.

Komunikasi hukum ini akan berlangsung secara

terus menerus sehingga akan memudahkan dalam

pengawasan penerapan dan penegakannya

sampai dengan dilakukannya revisi atau bahkan

pencabutan berlakunya kegiatan hukum tertentu.

3. Pemberdayaan fungsi legislasi dan penemuan atau

penciptaan hukum. Pemberdayaan fungsi legislasi

dimaksudkan agar lembaga legislasi dapat terus

menerus melanjutkan pembuatan hukum berikut

revisi-revisi atau amandemennya secara terus

menerus secara berkelanjutan (substansi). Sebab,

kegiatan legislasi adalah kegiatan yang terus

menerus. Memperhatikan keberadaan anggota-

anggota DPR yang secara periodik berganti-ganti,

maka keberadaan BPHN dalam menjaga

kesinambungan program legislasi sebenarnya

mempunyai kedudukan dan peran yang sangat

strategis. Agar bisa lebih maksimal sesuai dengan

namanya, BPHN sebenarnya lebih tepat jika berdiri

sendiri langsung di bawah Presiden dan menjadi

lembaga setingkat kementerian yang mempunyai

tugas pokok dan fungsi mempersiapkan semua

naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) dan

naskah akademik sekaligus sebagai mitra yang

31

Page 39: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

menjembatani hubungan lembaga legislasi dengan

masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk

kalangan akademisi sesuai bidangnya masing-

masing.

4. Peningkatan sosialisasi hukum yang merata dan

efektif. Mengingat adanya asas hukum bahwa

setiap orang dianggap taat hukum, dan tidak ada

alasan pemaaf bagi orang yang tidak tahu hukum,

maka sudah selayaknya upaya sosialisasi hukum

wajib dilakukan bukan hanya sekedar dengan

mengumumkannya dalam Lembaran Negara,

melainkan juga dalam setiap peraturan perundang-

undangan yang diterbitkan juga mengatur adanya

kewajiban untuk melakukan sosialisasi secara luas

dan memadai.

5. Penerapan hukum yang ikhlas dan cerdas serta

non diskriminatif. Untuk memastikan bahwa setiap

peraturan perundang-undangan yang dibuat dan

diundangkan akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh

para pihak perlu adanya kegiatan untuk mengawasi

penerapan hukum tersebut oleh otoritas atau

kementerian teknis yang berkaitan. Tanpa adanya

pengawasan dan kontrol lain bagi para pihak akan

menyebabkan tingkat kepatuhan hukum rendah.

Selain pengawasan penerapan hukum oleh otoritas

atau kementerian terkait, kebijakan diwajibkannya

badan-badan untuk dilakukan audit hukum oleh

auditor hukum independen perlu menjadi bagian

ketentuan peraturan setiap peraturan perundang-

undangan guna mengukur tingkat kepatuhan

hukum oleh para subyek hukum terutama yang

berbentuk badan usaha, baik yang berbadan

hukum maupun tidak berbadan hukum. Dengan

dilakukannya kewajiban audit hukum, akan

meningkatkan kualitas kepatuhan hukum (rules

compliance) dan good (corporate) governance,

dan terwujud tingkat kesadaran hukum yang

tinggi.

6. Penegakan hukum yang berkeadilan untuk

menjamin kepastian hukum dan memperbaiki

citra hukum dan para penegak hukum.

7. Pendidikan, penelitian, dan penegakan hukum.

8. Pembinaan integritas moral, spiritualitas, religi

hukum para insan yudikatif, insan hukum.

Untuk pembahasan lebih lanjut dengan batasan judul

penelitian ini akan membahas mengenai UU No. 5

Tahun 1999 mengenai masalah perjanjian yang

dilarang. Perumusan pengertian "perjanjian" dapat

dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999. Pasal 1 angka 7 Undang Undang Nomor 5

Tahun 1999 mengartikan "perjanjian" adalah suatu

perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk

mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelakuusaha

lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak

tertulis. Berdasarkan perumusan pengertian tersebut,

dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut

konsepsi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

meliputi: a. perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;

b. perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha

sebagai para pihak dalam perjanjian; c. perjanjiannya

dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis; d.

tidak menyebutkan tujuan perjanjian.

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

juga menggunakan kata "perbuatan". Pasal 1313

merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih. Para ahli menganggap rumusan perjanjian

menurut Pasal 1313 tersebut selain kurang lengkap

juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada persetujuan

atau kesepakatan di antara para pihak, bukan

persetujuan sepihak saja. Pengertian perbuatan di

sini juga tidak terbatas, mencakup perbuatan secara

sukarela dan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Dengan demikian, baik Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 sama-sama merumuskan pengertian perjanjian

dalam pengertian yang luas.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

subjek hukum di dalam perjanjian tersebut adalah

"pelaku usaha", Pasal 1 angka 5 Undang-Undang

32

Page 40: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksudkan

dengan "pelaku usaha" adalah setiap orang

perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam

bidang ekonomi. Dengan demikian, berdasarkan

perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut,

subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa orang

perseorangan atau badan usaha yang berbadan

hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta

maupun milik negara. Badan usaha dimaksud adalah

badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiaran usaha dalam wilayah hukum

Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan

usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Pasalnya, hanya badan usaha yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam

wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang

dapat dijerat dengan Undang-Undang Nornor 5

Tahun 1999. Demikian pula, baik Batang Tubuh

maupun Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tidak menjelaskan lebih lanjut apakah orang

perseorangan di sini juga harus berkedudukan atau

melakukan kegiatan usaha (bisnis) di dalam wilayah

hukum negara Republik Indonesia atau tidak. Hal ini

berbeda dengan hukum Antitrust Amerika Serikat

yang memungkinkan pelaku usaha asing terkena

hukum antitrust, kalau membuat efek negatif

terhadap perdagangan dalam negeri Amerika Serikat

(Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000:75).

Perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7

tersebut adalah perjanjian sepihak. Namun, tidak

berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Harus dipahami bahwa

perjanjian sepihak saja sudah dapat terkena Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jangkauan berlakunya

sangat menguntungkan (Ayudha D. Prayoga, et al.,

(Ed.), 2000:76).

Di Australia istilah perjanjian (contract) dalam hukum

persaingan pada prinsipnya diartikan sebagaimana

istilah contract biasa, yang mensyaratkan adanya

consideration yang berarti masing-masing pihak saling

memberikan sesuatu. Karenanya perjanjian sepihak

tidak bisa dilaksanakan. Bahkan istilah "arrangement"

dan "understanding" yang dipakai di dalam hukum

persaingannya rnengharuskan adanya meeting of the

minds antara para pihak yang berarti bukan bersifat

sepihak, walaupun artinya menunjukkan sesuatu yang

lebih ringan dari perjanjian biasa. Di Amerika Serikat

istilah "agreement" yang mencakup "contract",

"combination", atau "conspiracy" menurut Section

1 dari the Sherman Act mengharuskan adanya

tindakan bersama-sarna dari dua orang atau lebih

untuk membentuknya, sedangkan tindakan bersama

(concerted action) hanya bisa dibenarkan apabila

mereka mempunyai unity of purpose, atau

understanding, atau telah terjadi meeting of minds

di antara mereka (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),

2000:76-77).

Pengertian perjanjian sepihak menurut Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 ternyara mirip dengan

pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang juga dianggap

mempunyai kelemahan. Mungkin kelemahan di dalam

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini

dianggap tidak begitu penting, terbukti dengan tidak

adanya usaha untuk memperbaikinya. Namun

"kelemahan" pengertian perjanjian menurut Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak bisa dianggap

tidak penting, karena ia akan memungkinkan lebih

mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-

perjanjian yang per se illegal. Kalau perjanjian sepihak

tidak dilarang, keadaan ini akan disalahgunakan,

sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang ditaati

oleh pihak pihak yang sebenarnya tidak terikat yang

akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diarasi

dengan menambah suatu ketentuan lain seperti

persengkongkolan. Dengan ini, walaupun pasal

perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan

terkena ketentuan yang terakhir ini (bandingkan

Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:77).

33

Page 41: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Di Amerika Serikat, ketentuan larangan "conspiracy"

telah bias mengatasi kesukaran pembuktian ada

tidaknya perjanjian. Demikian pula di Australia, istilah

"arrangement" atau "understanding" telah bisa

mengatasi kesukaran yang serupa. Selain

menggunakan istilah "contract", Jepang juga

menggunakan istilah "agreement" atau "any other

concerted action" agar memperluas berlakunya hukum

antimonopolinya (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),

2000:77).

Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat

11 macam perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh

pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana

diatur dalam Pasal 4 sampai' dengan Pasal 16.

Perjanjian-perjanjian yang dilarang dibuat tersebut

dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha yang tidak sehat, Apabila perjanjian-

perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh

pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam

batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada,

karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian adalah

hal-hal yang tidak halal yang dilarang oleh undang-

undang. Dari Pasal 1320 dan Pasal 1337 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdara, dapat diketahui salah satu

syarat sah suatu perjanjian adalah adanya suatu sebab

yang halal, yaitu apabila tidak dilarang oleh undang-

undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan

dan ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1135 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, suatu

perjanjian yang dibuat tapi terlarang tidak mempunyai

kekuatan atau dianggap tidak pernah ada.

Perjanjian-perjanjian yang dilarang dan termasuk

"praktik monopoli" di antara Pasal 4 sampai dengan

Pasal 16 adalah perjanjian-perjanjian yang diatur

dalam Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16; selebihnya adalah

perjanjian-perjanjian yang dikategorikan melanggar

"persaingan usaha tidak sehat". Meskipun keempat

pasal di atas, yaitu Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16

termasuk perjanjian yang dianggap mengakibatkan

praktik monopoli, tetapi keempat pasal itu pun

menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat

menimbulkan "persaingan usaha tidak sehat". Tak

peduli apakah akibat yang ditimbulkan itu bersifat

kumulatif atau bersama-sama (terjadi praktik monopoli

dan persaingan usaha tidak sehat), maupun alternatif

atau salah satu dari praktik monopoli atau persaingan

usaha tidak sehat saja (Insan Budi Maulana, 2000:18).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah

merumuskan pengertian "praktik monopoli" dan

"persaingan usaha tidak sehat". Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan

pengertian "praktik monopoli" adalah pemusatan

kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha

yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau

pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu,

sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

dan dapat merugikan kepentingan umum. Dari bunyi

Pasal 1 angka 2 tersebut, jelas bahwa yang dikatakan

sebagai praktik monopoli adalah apabila ada perilaku

yang menguasai produksi tertentu sehingga

menimbulkan persaingan usaha dan hal itu dapat

menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.

Pengertian "pemusatan kekuatan ekonomi"

dikemukakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan yang nyata

atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih

pelaku usaha, sehingga dapat menentukan harga

barang dan/atau jasa. Dengan demikian dari bunyi

Pasal 1 angka 3 sudah jelas bahwa salah satu indikator

yang dapat digunakan untuk menentukan telah terjadi

suatu peristiwa pernusatan kekuatan ekonomi adalah

apabila telah terjadi "penguasaan atas suatu pasar

secara nyata", sehingga harga barang diperdagangkan

dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen

tidak lagi didasarkan pada mekanisrne pasar, melainkan

ditentukan sendiri oleh seseorang atau beberapa

pelaku usaha yang telah menguasai pasar yang

bersangkutan. Kemudian pengertian "persaingan

usaha tidak sehat" dirumuskan dalam Pasal 1 angka

6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu

persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan

kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang

dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara jujur atau

34

Page 42: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 6 jelas bahwa telah

terjadi persaingan usaha atau bisnis tidak sehat atau

keurang bila antarpelaku usaha menjalankan kegiatan

produksi dan/atau pemasaran barang dan/arau jasa

dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum, atau

menghambat persaingan usaha.

Dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa perjanjian

yang dilarang, sebagai berikut: oligopoli (Pasal 4);

penetapan harga (Pasal 5); diskriminasi harga dan

diskon (Pasal 6 sampai dengan Pasal8); pembagian

wilayah (Pasal 9); pernboikotan (Pasal 10); kartel (Pasal

11); trust (Pasal 12); oligopsoni (Pasal 13); integrasi

vertikal (Pasal14); perjanjian tertutup (Pasal 15);

perjanjian dengan luar negeri (Pasal 16).

Perjanjian Oligopoli; Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 meneantumkan larang oligopoli.

Dalam Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 5

Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk

seeara bersama-sama melakukan penguasaan produksi

dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan

Pasal 4 ayat (1) jelaslah bahwa undang-undang hanya

melarang oligopoli yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat. Indikator yang terakhir ini harus

dibuktikan. Ini berarti dengan sendirinya sepanjang

penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang

dan/atau jasa tersebut tidak mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak

sehat, maka usaha tersebut tidak dilarang oleh

undang-undang.

Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 menjelaskan pengertian penguasaan

produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

tersebut, yaitu apabila dua atau tiga pelaku usaha

atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari

75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu

jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian

berdasarkan kerentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat

disimpulkan bahwa pelaku usaha dilarang mengadakan

perjanjian secara bersama-sama untuk melakukan

penguasaan produksi dan/atau pernasaran barang

dan/atau jasa lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu,

karena perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang

dapat merugikan kepentingan umum. Dalam hal ini

pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

juga mengadakan pembedaan produk atas barang

dan jasa. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 menyatakan, barang adalah setiap

benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

Kemudian pengertian jasa dikemukakan dalam Pasal

1 angka 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang

apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per

se illegal. Hal ini menarik karena larangan oligopoli

hanya dimasukkan dalam kategori perjanjian yang

dilarang, yang dapat mempersempit eakupan larangan

tersebut mengingat keterbatasan arti perjanjian

(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat oligopoli

di samping bisa terkena Section 1 dari the Sherman

Act, juga bisa terjerat Section 2-nya yang menggunakan

ungkapan "combine or conspire to monopolize".

Penggunaan istilah "combination" atau "conspiracy"

dalam hal ini lebih realistis mengingat oligopoli banyak

dilakukan tanpa adanya contract yang formal. Oligopoli

bias terjadi dengan implicit verbal negotiation, di

samping karena adanya tacit collusion. Penggunaan

35

Page 43: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

kata combination atau conspiracy dalam hal ini lebih

bisa menjerat para oligopolis walaupun mereka juga

hams mempunyai unity of purpose atau understanding

atau telah terjadi meeting of minds di antara mereka

(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).

Perjanjian Harga Horizontal (Price Fixing): Pasal

5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang

pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan

pesaingnya untuk menetapkan harga aras suatu

barang dan/atau jasa yang harus dibayar konsumen

atau pelanggannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga

atas suatu barang dan/arau jasa yang harus dibayar

oleh konsumen atau pelanggan pada pasar

bersangkutan yang sama. Berdasarkan kerentuan

Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku usaha dilarang mengadakan

perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna

menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang

dan/atau jasa yang akan diperdagangkan pada pasar

yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan

meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha

yang mengadakan perjanjian tersebut.

Price fixing oleh Australia (Section 45A dari the Trade

Practices Act 1974) dan Amerika Serikat (Section 1

the Sherman Act 1890) dianggap sebagai "naked

restraint of trade with no purpose except the stifling

of competition". Oleh karena itu hal ini dianggap

per se illegal. Kita nampaknya rnengikuti anggapan

kedua Negara ini. Dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut

dikatakan perjanjian penetapan harga horizontal

dilarang tanpa melihat efek negatif dari perjanjian

tersebut terhadap persaingan. Karena perjanjian price

fixing ini per se illegal, tinggi-rendahnya harga yang

ditetapkan menjadi tidak relevan. Dengan kata lain,

walaupun efek negatif terhadap persaingan usaha

kecil, perjanjian price fixing tetap dilarang. Hal ini

berarti pula bahwa market power para pihak juga

tidak relevan, walaupun kenaikan harga lebih

mungkin terjadi apabila market share mereka besar

(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:7980).

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah

"konsumen akhir" dan "konsurnen antara".

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat

akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara

adalah konsumen yang menggunakan suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk

lainnya. Pengertian konsumen yang dirumuskan

dalam Undang-Undang Nomoi 5 Tahun 1999 adalah

konsumen akhir. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan, yang

dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai

dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk

kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan

pihak lain. Kemudian pengertian konsumen ini

dikemukakan pula dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu setiap orang memakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan. Berdasarkan rumusan tersebut,

maka pengertian konsumen terbatas pada pemakai

atau pengguna barang dan/atau jasa untuk

keperluannya, baik untuk keperluan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

dan tidak unruk diperdagangkan (Rachmadi Usman,

2000:202-203).

Pengertian mengenai pasar bersangkutan menjadi

sangat penting artinya dalam menentukan ada-

tidaknya monopolisasi, meskipun penentuan dari

pasar bersangkutan sangat relatif (Ahmad Yani dan

Gunawan Widjaja, 1999: 14). Dalam hal ini, Pasal 1

angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mengartikan pasar bersangkutan" sebagai pasar yang

berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran

tertentu oleh pelaku usaha atas barang dal atau jasa

yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang

dan/atau jasa tersebut.

Untuk menentukan relevansi atau kedudukan dari

suatu pasar bersangkutan, pada umumnya orang

mencoba untuk melakukan pendekatan sensitivitas

produk tersebut dalam wilayah pemasaran produk

36

Page 44: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

yang sudah berjalan. Salah satu yang dapat dipakai

adalah pendekatan elasticity of demand. Dari

pendekaran tersebut dapat diketahui sampai seberapa

jauh sensitivitas suatu produk terhadap perubahan

harga, yang dinyatakan dengan persentase perubahan

kebutuhan atau persentase perubahan harga (Ahmad

Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).

Meskipun tidak sederhana, untuk rnenilai relevansi

dan keterkaitannya dengan produk kornpetitor,

diperkenalkan konsep cross elasticity demand (CED)

antara kedua produk yang saling dikaitkan.

Nilai CED diperoleh dari nilai persentase perubahan

kebutuhan dari satu produk dibagi dengan nilai

persentase perubahan harga dari produk lain yang

sedang dibandingkan. Jika nilai CED-nya negatif

berarti kedua produk dalam pasar tersebut saling

melengkapi. Dan jika nilai CED-nya positif dengan

angka yang relatif besar, kedua produk tersebut

merupakan produk yang saling berkompetisi dalam

pasar yang ada (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,

1999:15). Adakalanya penentuan pasar bersangkutan

tidak dapat diterapkan secara an sich. Berbagai

pertimbangan, khususnya yang berhubungan dengan

"karakteristik" pasar yang berbeda satu dengan yang

lain juga sangat mempengaruhi. Oleh karena itu

dikenal pula istilah penentuan pasar geografis yang

relevan untuk menilai kompetisi produk yang ada

dalam pasar tersebut (Ahmad Yani dan Gunawan

Widjaja, 1999:15).

Untuk perjanjian tertentu seperti yang disebut dalam

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, tidak ada larangan price fixing, sepanjang hal

tersebut tidak menimbulkan persaingan usaha yang

tidak sehat dengan pesaing-pesaing bisnisnya. Pasal

5 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa ketentuan

larangan price fixing sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang

dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture),

contohnya PT X dan PT Y mengadakan suatu usaha

patungan dengan mendirikan PT A, di mana PT X

dan PT Y diperkenankan untuk menentukan sendiri

besarnya harga jual barang yang diproduksi PT A

tersebut; dan suatu perjanjian yang didasarkan

undang-undang yang berlaku, contohnya penentuan

harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan

oleh Pemerintah.

Dalam hal ini tidak dijelaskan joint venture seperti

apa yang bias dikecualikan. Memang joint venture

antara pihak-pihak yang tidak saling bersaing tidak

menyebabkan efek antikompetitif. Tetapi, bila usaha

patungan seperti ini membuat collateralrestraint

yakni perjanjian yang membatasi kompetisi di masa

datang antara para pihak usaha ini bisa menghadapi

risiko tuntutan pelanggaran hukum persaingan. Joint

venture antara para pesaing jelas dapat mengurangi

persaingan, kecuali kalau bentuk kerja sama ini dibuat

untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tidak pernah

atau tidak akan dipenuhi oleh masing-masing pihak

secara individual. Kita tidak bisa mengatakan bahwa

semua perjanjian dalam joint venture tidak akan

merugikan persaingan; perlu dijelaskan lagi, dalam

perjanjian joint venture yang bagaimana yang

dikecualikan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), ?

000:87).

Sebagai perbandingan, di Australia, Section 45A (2)

dan (4) mengecualikan perjanjian-perjanjian dalam

joint venture dari ketentuan larangan price fixing.

Pengecualiannya hanya dari larangan per se illegal-

nya. Artinya, kalau akhirnya terbukti mempunyai

tujuan atau efek yang antikompetitif perjanjian price

fixing dalam joint venture tersebut tetap dilarang.

Di samping itu, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu

untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini (Ayudha D.

Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87).

Di Amerika Serikat, menurut the Export Trading

Company Act 1982, untuk rnendapatkan imunitas

terbatas dari hukum antitrust, joint venture yang

melakukan ekspor harus memenuhi syarat tidak akan

mengurangi persaingan dan perdagangan di dalam

atau perdagangan ekspor Amerika Serikat, tidak

menaikkan, menstabilisasikan, atau menekan harga

di Amerika Serikat secara tidak wajar, tidak

37

Page 45: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

menimbulkan cara kompetisi yang tidak sehat dengan

pesaing-pesaing, dan lain-lain. Di samping itu the

Department of Justice dan the Federal Trade

Commission telah memberikan semacam guidelines

bagi joint venture tertentu lainnya yang akan

menikmati imunitas terbatas dari hukum antitrust

(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87-88)

Di Uni Eropa, joint venture pada dasarnya dianggap

selalu mengurangi dan/atau merugikan persaingan,

sehingga melanggar Pasal 85 (1) the Treaty of Rome.

Walaupun demikian, the Eropa Union Commission

bisa memberikan pengecualian menurut Pasal 85 (3)

dengan syarat bentuk usaha ini dapat memperbaiki

dan/atau mengembangkan produksi dan distribusi

barang atau jasa, atau mendorong kemajuan

teknologi dan ekonomi dengan memungkinkan

masyarakat konsumen memperoleh bagian yang adil

dari keuntungan yang dihasilkan dan yang tidak

menyebabkan terjadinya pembatasan dan hambatan

terhadap persaingan dari produk yang bersangkutan

(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:88).

Diskriminasi Harga clan Diskon: Larangan

penetapan diskriminasi (price discrimination)

disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan

pembeli yang satu harus membayar dengan harga

yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh

pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi

harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu

perjanjian dengan pelaku usaha lain yang

mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar

harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga

yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau

jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan

persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku

usaha atau dapat merusak persaingan usaha.

Pada pasar tertentu, produsen dapat menetapkan

harga yang mungkin menghasilkan laba yang jauh

lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen

hanya rnenetapkan satu harga untuk semua

konsumen. Strategi penetapan harga yang berbeda

ini juga dapat merusak persaingan usaha. Salah

satunya menerapkan diskriminasi harga. Dalam hal

ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis

diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut

informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu:

Diskriminasi harga sempurna, di mana produsen akan

menetapkan harga yang berbeda untuk setiap

konsumen. Seriap konsumen akan dikenakan harga

tertinggi yang sanggup dibayarnya. Dengan

menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap

seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai

laba yang paling tinggi. Strategi ini hanya dapat

diimplementasikan pada kasus tertentu saja, karena

menuntut produsen untuk mengetahui dengan tepat

berapa jumlah maksimum yang ingin dibayarkan

oleh konsumen untuk jumlah barang yang

ditawarkan; Pada situasi di mana produsen tidak

dapat mengindentifikasi maksimum harga yang dapat

dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi

dimana produsen tidak dapat melanjutkan struktur

harga yang sama untuk tambahan unit penjualan,

maka produsen dapat menerapkan strategi

diskriminasi tingkat harga kedua, di mana produsen

akan menerapkan sebagian dari surplus konsumen.

Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang

berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah

barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli

barang lebih banyak diberikan harga per unit yang

lebih murah. Makin sedikit barang yang dibeli, harga

per unitnya semakin mahal. Strategi ini banyak

dilakukan pada penjualan grosir atau pasar swalayan

besar; Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya

diterapkan produsen yang mengerahui bahwa

perrnintaan atas produk mereka beragam secara

sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan

kelompok demografis. Pada kondisi ini, produsen

dapat memperoleh keuntungan dengan mengenakan

tarif yang berbeda untuk setiap kelompok konsumen

yang berbeda (Ayudha D. Prayoga. et al., (Ed.), 2000:

94-95).

38

Page 46: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Demikian pula pelaku usaha dilarang menetapkan

harga di bawah biaya marginal (predatory price). Pasal

7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

dengan pe1aku usaha pesaingnya untuk menetapkan

harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan

ketentuan Pasal 7 tersebut, perjanjian penetapan

harga di bawah biaya marginal yang dilarang adalah

perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku

usaha pesaingnya dengan tujuan menetapkan harga

di bawah pasar atau di bawah biaya rata-rata, yang

membawa akibat timbulnya persaingan usaha yang

tidak sehat. Pada satu sisi, penetapan harga di bawah

biaya marginal akan menguntungkan konsumen

dalam jangka pendek, tetapi dipihak lain akan sangat

merugikan pesaing (produsen lain). Predatory pricing

ini sebenarnya merupakan hasil dari perang harga

tidak sehat antara pe1aku usaha dalam rangka

merebut pasar. Strategi yang tidak sehat ini pada

umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan

merupakan hasil kinerja peningkatan efisiensi

perusahaan.

Oleh karena itu, hal ini tidak akan segera terdeteksi

sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa

harga terendah yang sesungguhnya dapat ditawarkan

pada konsumen (di mana harga = biaya marginal).

Strategi ini akan menyebabkan produsen menyerap

pangsa pasar yang lebih besar, yang dikarenakan

berpindahnya konsumen pada penawaran harga yang

lebih rendah. Sementara produsen pesaing akan

kehilangan pangsa pasarnya. Pada jangka yang lebih

panjang, produsen pelaku predatory pricing akan

dapat bertindak sebagai monopolis (Ayudha D.

Prayoga, et al. (Ed.), 2000: 100).

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

melarang pelaku usaha untuk rnembuat perjanjian

dengan pelaku usaha lain yang rnemuat persyaratan

bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan

menjual atau memasok kembali barang dan/atau

jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih

rendah daripada harga yang telah diperjanjikan,

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan

usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 8

ini, pelaku usaha (supplier) dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain (distributor)

untuk menetapkan harga vertikal (resale price

maintenance), di mana penerima barang dan/atau

jasa selaku distributornya tidak boleh menjual atau

memasok kembali barang dan/atau jasa yang telah

diterimanya dari supplier tersebut dengan harga yang

lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan

sebelumnya antara supplier dan distributor, sebab

hal itu akan dapat menimbulkan persaingan usaha

tidak sehat. Salah satu alasan diadakan perjanjian

resale price maintenance ini adalah untuk menghindari

intra-brand competition di antara para distributor,

yang bisa mengancam stabilitas jaringan ecerannya.

Di samping itu, mungkin supplier ingin juga

mempertahankan persepsi para konsumen terhadap

kualitas produknya. Resale price maintenance bisa

juga terjadi ketika melaksanakan price fixing dari

kartel di antara para retailer. Hal ini dilakukan karena

sulit untuk melaksanakannya dengan perjanjian resale

price maintenance. Mungkin juga supplier menetapkan

resale price maintenance untuk melaksanakan

perjanjian price fixing di antara supplier ini dengan

supplier lain (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80).

Dari bunyi Pasal 8 terlihat bahwa perjanjian penetapan

harga vertikal hanya dilarang apabila dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.

Artinya, berbeda dari price fixing, ia bukan per se

illegal. Tidak diketahui mengapa ada perbedaan

semacam ini, padahal keduanya sama-sama mengenai

harga yang merupakan faktor terpenting di dalam

persaingan, dan persaingan harga merupakan tujuan

paling utama dari hukum persaingan (Ayudha D.

Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80).

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan Australia

mengkategorikan baik price fixing maupun resale

price maintenance sebagai per se illegal. Baik price

fixing maupun resale price maintenance sama-sama

merugikan persaingan dan konsumen. Salah satu

39

Page 47: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

perbedaan antara keduanya adalah di dalam resale

price maintenance ada korban yang lebih langsung,

yakni retailer yang tergeser karena tidak menyukai

resale price maintenance tersebut. Pengalaman di

Australia menunjukkan bahwa resale price maintenance

lebih mudah dibuktikan daripada price fixing, karena

biasanya retailer (yang biasanya sukar memberikan

diskon) tersebut akan melaporkan dan memberikan

bukti-bukti langsung (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),

2000:80-81).

Perjanjian Pembagian Wilayah: Perjanjian price

fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga.

Cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat

mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku

usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain.

Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran barang

atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian

wilayah ini, pertama, pelaku usaha dapat membagi

pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau

kelas pelanggan atau konsumen (misalnya wholesalers

or retailers); dan ketiga, mereka bisa membagi pasar

berdasarkan jenis produk yang dikeluarkan (misalnya

peralatan video profesional dan alat video amatir)

(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian

pembagian wilayah (market allocation), baik yang

bersifat vertikal atau horizontal. Dalam Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi

wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang

dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak

sehat.

Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah

yang terkena larangan adalah jika isi perjanjian

pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi

wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap suatu

produk barang dan/atau jasa, dimana perjanjian itu

dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang

karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi

persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau

alokasi pasar. Wilayah pemasaran di sini dapat berarti

wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah

negara Republik Indonesia, misalnya provinsi,

kabupaten/kota, atau wilayah regional yang lain.

Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar itu

berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau

memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu.

Perjanjian seperti ini dapat menimbulkan praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian

pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh

karena itu perjanjian yang demikian hanya dilarang

apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

(bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).

Hal ini berbeda dengan ketentuan di Amerika Serikat

yang menganggapnya sebagai per se illegal. Pada

umumnya memberlakukan market allocation sama

dengan price fixing. Perjanjian price fixing

memungkinkan setiap pesaing menjual produknya

pada harga monopoli tanpa rasa takut bahwa yang

lain akan menurunkan harga. Market allocation

memungkinkan hal yang sama, karena setiap pesaing

tidak menghadapi persaingan berhubungan dengan

konsumen yang dilayani, sehingga ia bebas

menetapkan harga monopoli. Sebaliknya, ada

kernungkinan pembagian wilayah pemasaran ini

membuat produksi atau pemasaran menjadi lebih

efisien. Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak

memproduksi produk-produk tertentu atau

meninggalkan wilayah-wilayah tertentu dan

memfokuskan pada produk-produk atau wilayah-

wilayah tertentu yang lain untuk mencapai economies

al scale dan spesialisasi. Dengan kata lain, efisiensi

yang lebih besar akan tercapai. Namun, efisiensi

semacam ini baru bisa tercapai dengan adanya

perjanjian antar pesaing (Ayudha D. Prayoga, et al.,

(Ed.), 2000: 81-82).

40

Page 48: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Pemboikotan: Pelaku usaha juga dilarang untuk

membuat perjanjian untuk melakukan pemboikotan

(boycott). Pemboikotan ini merupakan perjanjian

horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak

mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha

lain. Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini

diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, yang rnenetapkan: (1) Pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha

lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk

tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

(2) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual

setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain,

sehingga perbuatan tersebut: a) merugikan atau dapat

diduga merugikan pelaku usaha lain ; atau b)

membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau

membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar

bersangkutan.

Pemboikotan seperti yang diatur dalam Pasal 10

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat

menutup akses kepada input yang diperlukan oleh

pesaing-pesaing lain (bandingkan Ayudha D. Prayoga,

et al., (Ed.), 2000:84). Sebagai perbandingan, di

Australia, boycott ini-yang oleh Section 4D Trade

Practices Act 1974 disebut juga sebagai exclusionary

provisions-dilarang secara mutlak, terlepas dari

dampaknya terhadap persaingan (Ayudha D. Prayoga,

et al., (Ed.), 2000:84).

Dari bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, dapat diketahui kalau Indonesia ternyata tidak

mutlak menganutnya seperti yang dilakukan Australia.

Pasal 10 ayat (1) memang tidak mensyaratkan adanya

dampak negatif dari perjanjian pemboikotan tersebut.

Akan tetapi ayat (2) pasal yang sama mensyaratkan

adanya kerugian yang diderita pelaku usaha lain

sebagai akibat pemboikotan atau halangan

perdagangan barang dan/atau jasa di pasar

bersangkutan. Namun demikian, tidak berarti harus

ada syarat dampak negatif terhadap persaingan,

karena terpenuhinya syarat di dalam ayat (2) tersebut.

Tidak berarti persaingan pasti akan berkurang

(bandingkan Ayudha 6, Prayoga, et al., (Ed.), 2000:

84).

Kartel: Seringkali suatu industri hanya mempunyai

beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan

demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil

tindakan bersama dengan tujuan memperkuat

kekuatan ekonomi mereka dan mempertinggi

keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk

membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga

melalui kesepakatan bersama di antara mereka.

Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari

terjadinya persaingan yang merugikan mereka sendiri.

Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok

industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan

mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka

secara bersama berlaku sebagai monopolis. Dalam

praktiknya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan

melalui apa yang disebut asosiasi-asosiasi. Melalui

asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan

bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga,

wilayah pemasaran, dan sebagainya (Agus Sardjono,

1998: 26-27), yang kemudian melahirkan kartel, yang

dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan

kartel (cartel) sebagai "persekongkolan atau

persekutuan di antara beberapa produsen produk

sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi,

harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh

posisi monopoli. Dengan demikian, kartel rnerupakan

salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku

usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi,

menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas

suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka

tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat

perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang

menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang

bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur

produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau

jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

41

Page 49: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Dari Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa hukum

Negara-negara Barat tidak banyak rnempengaruhi

ketentuan pasal ini.

Di Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa, kartel

dianggap sebagai per se illegal. Di Amerika Serikat,

sebagaimana price fixing, kartel disebut sebagai

naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal

untuk mempengaruhi tingkat harga dan output.

Oleh karena itu, wajar apabila Section 1 the Sherman

Act memperlakukannya sebagai per se illegal. Artinya,

perjanjian kartel sendiri yang dilarang tanpa melihat

kewajaran tingkat harga yang disepakati, tanpa

melihat market power para pihak, bahkan tanpa

melihat apakah perjanjian kartel tersebut sudah

dilaksanakan atau belum. Negara Australia dengan

Section 45 jo. 4D (1) dan 45A (1) dari the Trade

Practices Act 1974 juga mengategorikan kartel

sebagai per se illegal. Begitu juga Uni Eropa, dengan

Article 85 dari the Treaty of Rome (Ayudha D. Prayoga,

et al. (Ed.), 2000:82).

Alasan mengapa kartel dianggap sebagai per se illegal

di negara-negara Barat terletak pada kenyataan bahwa

price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel yang lain

benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap

harga dan output jika dibandingkan dengan dampak

pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel jarang sekali

menghasilkan efisiensi, atau efisiensi yang dihasilkan

sangat kecil dibandingkan dampak negatif dari

tindakan-tindakannya.

Suatu kartel yang berhasil akan mengeluarkan

keputusan-keputusan tentang harga dan output seperti

layaknya keputusan-keputusan yang dikeluarkan

sebuah perusahaan tunggal yang memonopoli.

Akibatnya, pertama, kartel mendapatkan keuntungan-

keuntungan monopoli dari para konsumen yang terus

menerus membeli barang atau jasa dengan harga

kartel; dan kedua, terjadi penempatan sumber secara

salah yang diakibatkan oleh pengurangan output

karena para konsumen seharusnya mernbeli dengan

harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber

daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu

sendiri (Ayudha D. Prayoga, et aI., (Ed.) , 2000: 82-

83).

Pada sisi lain, kartel juga bisa memberi keuntungan,

Oleh karena itu, keberadaan dan tumbuh-kembangnya

diperbolehkan sepanjang hal ini memberikan

keuntungan bagi masyarakat banyak. Selain itu,

kartel juga dapat membentuk stabilitas dan kepastian

tingkat produksi, tingkat harga, dan wilayah

pemasaran (yang sama) di antara para pelaku usaha

yang tergantung dalam asosiasi tertentu. Dengan

sendirinya pasar menjadi tidak kornpetitif lagi dan

karenanya akan merugikan konsumen. Kalau kita

perhatikan bunyi ketentuan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel yang dilarang

adalah perjanjian tingkat produksi, tingkat harga,

dan/arau wilayah pemasaran atas suatu barang, jasa,

atau barang dan jasa, yang dapat berdampak pada

terciptanya monopolisasi dan/atau persaingan usaha

tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya.

Larangan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut

tidak mengkategorikan kartel sebagai per se illegal,

sebab kartel masih dirnungkinkan sepanjang tidak

menimbulkan praktik monopolisasi dan/atau

persaingan usaha yang tidak sehat, yang merugikan

masyarakat dan konsumen (bandingkan Ayudha D.

Prayoga, et al., (Ed.), 2000:83). Indonesia kelihatannya

mengikuti Jepang yang mensyaratkan adanya

"substantial restraint of competition" yang "contrary

to the publicinterest" di dalam larangan terhadap

kartel. Perjanjian kartel baru ilegal kalau sudah

dipraktikkan dan ternyata mengurangi persaingan

secara substansial. Namun, the Fair Trade Commission

di Jepang telah mengambil jalan tengah dengan

rnengambil tindakan ketika peserta kartel telah

melakukan langkah-langkah awal untuk

melaksanakan perjanjian kartel. Dengan begitu telah

dibuat suatu anggapan, begitu peserta mulai

melaksanakan kartel, kartel itu pasti mengurangi

persaingan secara substansial seandainya tidak

diberhentikan atau dilarang (Ayudha D. Prayoga, et.

al., (Ed.), 2000: 84).

42

Page 50: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Trust: Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

melarang pelaku usaha membuat perjanjian trust,

yang melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat. Dalam Pasal 11, Ini dinyatakan:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan

membentuk gabungan perusahaan atau perseroan

yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan

mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing

perusahaan atau perseroan anggotanya, yang

bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau

pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang dilarang

adalah perjanjian untuk rnelakukan kerja sama

dengan cara membentuk apa yang dinamakan trust,

yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau

perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga

dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-

masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan

tadi, dengan rujuan menciptakan stabilisasi dan

kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat

pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau

barang dan jasa, dan dengan sendirinya akan dapat

menciptakan monopolisasi; dengan demikian pasar

menjadi tidak kompetitif lagi, sebab di antara pelaku

usaha tidak ada persaingan usaha lagi. Dalam

persaingan yang semakin tajam dan borderless

economy yang berlaku dewasa ini, efisiensi menjadi

kunci keberhasilan suatu perusahaan berada di dalam

pasar. Atas tuntutan efisiensi, semakin banyak

perusahaan yang dapat muncul dan bertahan di

dalam pasar bila hanya mengerjakan sebagian dari

produk jadi. Karenanya, ketentuan Pasal 11 itu kurang

tegas. Akibat yang sudah dapat diperkirakan adalah

keinginan perusahaan untuk melakukan merger,

strategic alliance akan melemah, apalagi bila dengan

tindakan yang dimaksudkan untuk menguasai pangsa

pasar tersebut kemungkinan akan melanggar rambu-

rambu penguasaan pasar yang dianggap baik.

Bagaimanapun juga ketegasan dalam undang-undang

sangat dibutuhkan agar para pelaku pasar bersedia

memenuhinya (Pande Raja Silalahi, 1999: 12).

Oligopsoni: Demikian pula pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian oligopsoni, di mana keadaan

pasar yang permintaannya dikuasai oleh pelaku usaha

tertentu. Larangan ini dicantumkan dalam Pasal 12

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang

menyatakan: (1) Pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan

untuk secara bersarna-sama menguasai pembelian

atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan

harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang

bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap

secara bersamasama menguasai pembelian dan/arau

penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (riga) pelaku usaha

atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75%

(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis

barang atau jasa tertentu.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 11

tersebut, dapat disimpulkan yang terkena larangan

membuat perjanjian oligopsoni adalah perjanjian

yang dibuat pelaku usaha yang satu dengan pelaku

usaha lain, yang bertujuan: secara bersama-sarna;

menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan

atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;

dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau

barang dan jasa dalam pasar yang bersangkutan;

menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli

barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku

usaha pada pasar bersangkutan dalam kalender

tertentu; perjanjian yang dibuat tersebut ternyara

dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti

perjanjian oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang

tidak menimbulkan monopolisasi dan/atau tetap

menciptakan pasar kompetiif dan/atau tidak

merugikan masyarakat.

43

Page 51: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Integrasi Vertikal: Praktik integrasi vertikal yang

dilakukan beberapa pelaku usaha termasuk perjanjian

yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang

bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk

yang termasuk dalam rangkaian produksi barang

dan/atau jasa tertenru yang mana setiap rangkaian

produksi merupakan hasil pengolahan atau proses

lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun

tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan

masyarakat. Dari ketencuan Pasal 14 ini jelas bahwa

yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah

penguasaan produksi atas sejumlah produk, yang

termasuk dalam rangkaian proses produksi atas

barang tertentu, mulai dari hulu sampai hilir, atau

proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu

oleh pelaku usaha tertentu. Meskipun praktik integrasi

vertikal ini dapat menghasilkan barang dan/atau jasa

dengan harga murah, hal itu dapat menimbulkan

persaingan usaha tidak sehat yang dapat merusak

sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh karena

itu, praktik integrasi vertikal dilarang oleh Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 sepanjang menimbulkan

persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan

masyarakat.

Dengan adanya Pasal 14 ini, berbagai bidang usaha

yang mungkin sangat menguntungkan dan efisien

dilakukan di Indonesia justru tidak dapat dikerjakan.

Integrasi vertikal suatu usaha tidak selalu buruk,

malah sebenarnya usaha integrasi dilakukan untuk

meningkatkan efisiensi. Integrasi yang dilakukan di

masa lalu mungkin buruk dan beberapa di antaranya

merugikan masyarakat karena dalam banyak hal

integrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh

perusahaan-perusahaan tertentu-sehingga merugikan

kelompok masyarakat tertentu pula (Pande Raja

Silalahi, 1999: 12-13).

Perjanjian Tertutup: Perjanjian tertutup termasuk

perjanjian yang dilarang dibuat pelaku usaha. Pasal

15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang

pelaku usaha unruk membuat perjanjian tertutup

dengan pelaku usaha lainnya. Dalam Pasal 15

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha lain yang mernuat persyaratan bahwa

pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya

akan memasok atau tidak memasok kembali barang

dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau

pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pihak lain yang menukar

persyaratan bahwa pihak yang menerima barang

dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang

dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3)

Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian mengenai

harga atau potongan harga tertentu atas barang

dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa

pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa

dari pelaku usaha pemasok a) harus bersedia membeli

barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;

atau b) tidak akan membeli barang dan/atau jasa

yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang

menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri: Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha

untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri

jika perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri

yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat. Dari Pasal 16 ini dapat disimpulkan

bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang

dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan

perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak

wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

44

Page 52: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas

Implementasi Undang-Undang

Sebelum penelitian ini masuk pada pembahasan

efektifitas implementasi hukum persaingan usaha,

maka lebih dahulu membahas pemikiran dari

Lawrence M Friedman mengenai faktor yang dapat

mempengaruhi implementasi dari suatu produk

hukum, yang dapat mempengaruhi efektifitas dari

implementasi hukum persaingan, hal ini bisa jadi

tidak bisa diabaikan begitu saja, misalnya dari Segi

Hukum Indonesia.

Lawrence M. Friedman (Lawrence: 6-10) pernah

mengatakan bahwa efektifitas dari implementasi dari

suatu produk hukum ditentukan oleh tiga faktor,

yaitu: pertama; faktor substansi atau materi dari

undang-undangnya sendiri, dalam hal ini Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, kedua; faktor aparatur

penegak hukum yang terkait, seperti KPPU, polisi,

jaksa dan hakim, dan ketiga adalah faktor budaya

hukum yang ada di masyarakat.

1.Faktor Substansi Undang-undang.

Substansi atau materi dari suatu produk peraturan

perundangan merupakan faktor yang cukup

penting untuk diperhatikan dalam penegakkan

hukum, tanpa substansi atau materi yang baik

dari suatu peraturan perundangan rasanya sangat

sulit bagi aparatur penegak hukum untuk dapat

menegakkan peraturan perundangan secara baik

pula, dan hal tersebut sangat ditentukan atau

dipengaruhi ketika proses penyusunan suatu

peraturan perundangan dilakukan. Suatu produk

peraturan perundangan dapat dikatakan baik

apabila hal-hal yang diatur dalam peraturan

perundangan tersebut dirumuskan secara jelas,

tegas, sistematis dan mudah untuk dimengerti

oleh semua pihak, sehingga tidak menimbulkan

penafsiran yang berbeda-beda bagi setiap orang

yang membaca peraturan perundangan tersebut.

Dalam faktor substansi Undang-undang ini

terdapat beberapa hal utama yang kemungkinan

dapat mempengaruhi implementasi hukum

persaingan usaha terhadap industri ritel yaitu:

tujuan undang-undang dan perumusan pasal

undang-undang.

a. Tujuan Undang-undang

Salah satu metode yang yang biasanya

digunakan untuk melihat efektifitas

implementasi suatu produk hukum secara

sederhana adalah dengan cara melihat apakah

tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan

produk hukum tersebut telah dapat diwujudkan

dalam kenyataan ataukah tidak. Jika tujuan

yang menjadi dasar dari pembentukan suatu

produk hukum tersebut telah dapat diwujudkan

dalam kenyataan maka dapat dikatakan

implementasi dari produk hukum tersebut

telah efektif, dan sebaliknya apabila tujuan

yang menjadi dasar dari pembentukan produk

hukum tersebut belum dapat direalisasikan

maka dapat dikatakan implementasi dari

produk hukum tersebut belum cukup efektif.

Tetapi cara diatas sepertinya tidak dapat dengan

mudah digunakan untuk melihat efektifitas

dari UU No. 5 Tahun 1999, karena UU No. 5

Tahun 1999 memiliki tujuan pembentukan

yang lebih dari satu, dan terkadang antara

tujuan yang satu dengan tujuan yang lain

dapat saling bertentangan dalam prakteknya.

(R. Shyam Khemani: 1998: 4).

Sebagai gambaran, Pasal 3 UU No. 5 Tahun

1999 memiliki empat tujuan yang ingin dicapai

dari pembentukannya, yaitu: 1) menjaga

kepentingan umum dan meningkatkan

efesiensi ekonomi nasional sebagai salah satu

upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat; 2) mewujudkan iklim usaha yang

kondusif melalui pengaturan persaingan usaha

yang sehat sehingga menjamin adanya

kepastian berusaha yang sama bagi pelaku

usaha besar, pelaku usaha menengah, dan

pelaku usaha kecil; 3) mencegah praktek

45

Page 53: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha;

dan 4) terciptanya efektifitas dan efesiensi

dalam kegiatan usaha.

Kemudian antara tujuan menciptakan efesiensi

dan efektifitas dalam kegiatan usaha dengan

tujuan mewujudkan iklim usaha yang kondusif

melalui pengaturan persaingan usaha yang

sehat sehingga menjamin adanya kepastian

berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,

pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha

kecil, terkadang dalam suatu penanganan

perkara bisa dapat saling bertentangan.

Dimana perusahaan yang memiliki tingkat

efesiensi yang tinggi dalam suatu ketika dapat

menghambat pelaku usaha lain khususnya

yang lebih kecil untuk dapat masuk kedalam

pasar. Jika hal ini terjadi tidaklah mudah untuk

memilih tujuan yang mana yang harus

diprioritaskan terlebih dahulu.

b. Perumusan Pasal Undang-undang.

Sebagaimana yang telah diketahui, sebagian

besar norma hukum yang dirumuskan di dalam

pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan

secara rule of reason, dengan perumusan

pasal secara rule of reason ini dapat ditafsirkan

bahwa setiap perbuatan atau perilaku pelaku

usaha yang membatasi persaingan bukanlah

perbuatan atau perilaku yang mutlak dilarang,

(Robert H. Bork: 1979:34) atau dengan kata

lain jika merujuk kepada pasal-pasal rule of

reason dalam UU No.5 Tahun 1999, pelaku

usaha dapat melakukan perbuatan atau

perilaku yang dapat membatasi persaingan

asalkan tidak menimbulkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat. Sehingga konsekuensinya akan banyak

pelaku usaha yang akan mencoba melakukan

praktek yang diatur di dalam pasal-pasal yang

dirumuskan secara rule of reason ini, dengan

alasan bahwa praktek yang mereka lakukan

tidak mengakibatkan timbulnya praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dan kemudian adanya pelaku usaha yang

dihukum dikarenakan telah melanggar pasal-

pasal yang terdapat di dalam UU Nomor 5

Tahun 1999, tidak secara otomatis akan

membuat pelaku usaha lain yang melakukan

hal yang sama akan juga mendapatkan

hukuman. Karena pelaku usaha tersebut

melakukan hal yang sama seperti yang telah

dilakukan oleh pelaku usaha yang telah

dihukum sebelumnya, tetapi perbuatan atau

perilakunya mungkin tidak mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat.

Oleh karena itu jangan pernah berharap bahwa

semakin banyak perkara yang ditangani oleh

KPPU, dan juga semakin berat hukuman yang

dijatuhkan oleh KPPU kepada setiap pelaku

usaha yang terbukti melanggar UU Nomor 5

Tahun 1999, akan membuat semakin sedikit

pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang

terdapat di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.

2. Faktor Aparatur Penegak Hukum yang terkait

Peranan aparatur penegak hukum juga tidak

kalah pentingnya dalam menentukan tingkat

keberhasilan penegakkan suatu peraturan

perundangan, baik buruknya aparatur penegak

hukum dapat menentukan baik buruknya pula

suatu penegakkan peraturan perundangan. Suatu

peraturan perundang yang baik terkadang tidak

dapat ditegakkan secara baik, apabila yang

menegakkan peraturan perundangan tersebut

adalah aparatur penegak hukum yang tidak baik

atau cakap. Dan hal tersebut dapat dipengaruhi

oleh banyak hal, di antaranya rendahnya tingkat

pemahaman dari aparatur penegak hukum

terhadap substansi suatu peraturan perundangan.

Kemudian diberlakukannya suatu peraturan

perundang-undang yang mempunyai maksud dan

tujuan baik belum tentu memberikan suatu

manfaat yang nyata bagi masyarakat, apabila

46

Page 54: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

tidak ditegakkan secara konsisten dan bertanggung

jawab aturan-aturan hukum yang ada di dalamnya.

Karena suatu peraturan perundang-undangan

pada dasarnya hanyalah rangkaian kalimat (Aydha

D Prayoga 1999: 125) yang tidak akan memberikan

makna tanpa adanya mekanisme penegakkan

hukum yang jelas dan pelaksanaan yang konsisten

dari aparatur penegak hukumnya.(Abdul Hakim

G Nusantara dan Benny K Harman 1999:105)

Salah satu masalah utama yang sulit diatasi di

Indonesia sampai saat ini adalah masalah dalam

penegakkan hukum (law enforcement), karena

sebaik apapun suatu peraturan perundang-

undangan hanya akan menjadi ”macan kertas”

yang tidak akan membuat takut bagi siapapun

untuk tidak mematuhinya, apabila tidak ada

penegakkan hukum yang konsisten dan

bertanggung jawab dari para aparatur penegak

hukum, seperti yang telah dikemukan

sebelumnya. Sehingga sekarang Indonesia dapat

dikatakan tidak hanya sedang mengalami krisis

ekonomi yang berkepanjangan, tetapi juga sedang

mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga

penegak hukum yang ada.

3. Faktor Budaya Hukum

Selanjutnya faktor budaya hukum tidak dapat

diabaikan begitu saja dalam menentukan sukses

atau tidaknya penegakkan suatu produk peraturan

perundangan, meskipun materi suatu peraturan

perundangan itu baik, dan dilengkapi oleh aparatur

hukum yang cakap dalam menegakkannya, tanpa

adanya budaya hukum yang kondusif di masyarakat

rasanya akan sangat sulit bagi suatu produk

peraturan perundangan dapat berjalan secara

efektif. Sedangkan budaya hukum itu sendiri

tercermin dalam sikap warga masyarakat yang

sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut

oleh masyarakat. Respon masyarakat terhadap

penerapan hukum yang mengatur perilaku (dalam

hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)

akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang

dianutnya. Apabila produk hukum yang mengatur

mengacu pada sistem nilai tertentu dihadapkan

pada masyarakat yang menganut sistem nilai dan

memiliki budaya hukum yang berbeda, bukan hal

yang aneh bila penerapan produk hukum tersebut

akan mengalami kesulitan. (Ine Minara S Ruly

2004: 9) Kemudian keberhasilan implementasi

suatu Undang-undang Persaingan juga banyak

tergantung dari seberapa baik konsep dan nilai

persaingan terkait dengan proses pembuatan

kebijakan yang terjalin di antara masyarakat. Pada

tahap awal, instansi yang bertanggung jawab

dalam menegakkan undang-undang persaingan

juga dianggap perlu untuk berkonsentrasi pada

penciptaan budaya persaingan. (ibid: 7).

Salah satu contoh yang diatur dalam UU Nomor

5 Tahun 1999 adalah mengenai Perjanjian-

Perjanjian yang Dikecualikan.

Di beberapa negara, Undang-Undang Anti

monopoli kerapkali mengesampingkan beberapa

tindakan hukum sehingga tindakan tersebut tidak

dapat dikenakah sanksi. Dengan kata lain, tindakan

itu tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran

(Insan Budi Maulana, 2000:61). Demikian pula

dengan negara Indonesia. Selain mengadakan

pengecualian berlakunya pasal tertentu terhadap

ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

ternyata undang-undang ini juga mengadakan

pengecualian berlakunya semua ketentuan di

dalamnya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu.

Pengecualian dari ketentuan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 ini diatur dalam Pasal 50

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang

menyatakan bahwa pengecualian dari ketentuan

Undang-undang ini adalah a. Perbuatan dan/arau

perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; atau b.

Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas

kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek

dagang, hak cipta, desain produk industri,

rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang,

serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;

atau Perjanjian penetapan standar teknis produk

47

Page 55: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

barang dan/atau jasa yang tidak mengekang

dan/atau menghalangi persaingan; atau Perjanjian

dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat

ketentuan untuk memasok kembali barang

dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah

daripada harga yang telah diperjanjikan; atau

Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan

atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;

atau Perjanjian internasional yang telah diratifikasi

oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau Perjanjian

dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor

yang tidak menggangu kebutuhan dan/atau

pasokan dalam negeri; atau Pelaku usaha yang

tergolong usaha kecil; atau Kegiatan usaha koperasi

yang secara khusus bertujuan untuk melayani

anggotanya.

Disayangkan bahwa Penjelasan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan perjanjian-

perjanjian tersebut lebih lanjut. Padahal pasal

pengecualian ini penting, terutama bagi pelaku

usaha yang ingin mernanfaatkannya. Di samping

ketidakjelasannya, dikhawatirkan hal ini juga dapat

menibulkan penyalahgunaan (bandingkan Ayudha

D. Prayoga, et 'aI., (Ed.), 2000:85). Bahkan ada

yang mengkritiknya sebagai suatu inkonsistensi

(Hikrnahanto Juwana, 1999:28).

Pemerintah dapat saja menyalahgunakan

kekuasaan yang dimilikinya, begitu juga dengan

pelaku usaha yang berkolusi dengan pernerintah

untuk membuat ketentuan yang antipersaingan

usaha, yang kemudian oleh pernerintah

dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-

undangan. Selama Orde Baru berkuasa, praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak

sehat selalu dilegalisir melalui peraturan

perundang-undangan.

Amerika Serikat mengenal istilah "state action

doctrine", artinya peraturan antitrust hanya berlaku

dalam dunia bisnis selama tidak digunakan untuk

melaksakan peraturan Negara bagian. Namun,

peraturan negara bagian yang anti kompetitif bisa

tidak sah karena bertentangan dengan Konstirusi,

yakni mengganggu perdagangan secara tidak

wajar; Amandemen Pertarna Konstitusi; atau

undang-undang Pemerintah Federal, seperti Federal

Trade Commission Act atau Hukum Paten (Ayudha

D.Prayoga, et al. (Ed.), 2000:85).

Jika memperhatikan fakta pengecua-lian dari Pasal

50, para perancang undang-undang telah keliru

memahami perundang-undangan di bidang hak

atas kekayaan intelekrual (HaKI), sekarang disingkat

KI (Kekayaan Intelektual). Selain itu, isi pasal

tersebut tidak sesuai dengan realitas yang terjadi

di masyarakat Eropa, Jepang, dan Jerman, yang

juga rnengarur larangan-larangan perjanjian lisensi,

know how, merek, dan waralaba, apabila perjanjian

itu bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan

jujur (Insan Budi Maulana, 2000:6465). Bahkan

secara internasional posisi Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 kurang menguntungkan. Ketika

masyarakat internasional mulai curiga adanya

kemungkinan dampak negatif dari praktik-praktik

perlisensian di bidang KI terhadap persaingan,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersikap

sebaliknya, yaitu mengecualikan berlakunya

ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999

terhadap perjanjian yang berkaitan dengan KI

(Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000: 86).

Terbukti dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2)

Agreement on Related Aspects of Intellectual

Property Rights (Persetujuan TRIPs) sebagai bagian

Final Act Uruguay Round dinyatakan: (1) Members

agree that some licensing practices or conditions

pertaining to intellectual property rights which

restrain competition may have adverse effects on

trade may impede the transfer and dissemination

of technology. (2) Nothing in this Agrement shall

prevent Members from specifying in their national

legislation licencing practices or conditions that

may in particular cases constitute an abuse of

intellectual property rights having an adverse effect

on competition in the relevant market. As provided

above, a Member may adopt, consistently with

48

Page 56: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

the other provisions of this Agreement, appropriate

measures to prevent or control such practices,

which may include /or example exclusive grantback

conditions, conditions preventing challenges to

validity and coercive package licensing, in the light

of the relevant laws and regulated ofthe Member.

Dari Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Persetujuan

TRIPs tersebut, dapat diketahui negara-negara

anggota WTO sepakat bahwa beberapa praktik

perlisensian atau persyaratan-persyaratan yang

berkaitan dengan KI dapat menghambat

persaingan usaha yang dapat berakibat buruk

terhadap perdagangan dan dapat menghambat

pengalihan dan penyebaran teknologi. Karenanya

tidak tertutup kemungkinan bagi negara-negara

anggota WTO untuk menetapkan dalam peraturan

perundang-undangannya praktik-praktik

perlisensian atau persyaratan-persyaratan

perlisensian yang dalam hal-hal tertentu

merupakan penyalahgunaan KI yang berakibat

buruk terhadap persaingan dalam pasar

bersangkutan. Bahkan negara-negara anggota

WTO dapat menetapkan langkah-langkah untuk

mencegah atau mengendalikan praktik-praktik

perlisensian atau persyaratan-persyararan yang

dalam hal-hal tertentu merupakan penyalahgunaan

dari KI, seperti persyaratan untuk memberikan

hak ekskulsif secara timbal balik, persyaratan

untuk mencegah diajukannya sanggahan

mengenai keabsahan dan pemaksaan paket lisensi,

sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-

undangan terkait yang berlaku di negara-negara

anggota WTO tersebut. Dengan demikian jelaslah

bahwa pembuatan perjanjian yang berkaitan

dengan bidang KI tidak boleh berlawanan dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau

mengikuti ketentuan-ketentuan khusus perlisensian

yang telah diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan KI.

Khusus untuk kekecualian ketentuan bahwa usaha

kecil dan koperasi memang diatur oleh undang-

undang tersendiri telah mengundang perdebatan

tersendiri. Ada negara yang memang memberikan

pengecualian terhadap koperasi, misalnya di

Jepang. Tetapi usaha kecil dan menengah serta

koperasi yang dikecualikan akan menciptakan

proteksi sepihak dengan tidak mengikutsertakannya

dalam undang-undang ini. Hal itu akan

menghambat pertumbuhan usaha kecil dan

menengah itu sendiri. Di samping itu, melihat

kondisi koperasi yang ada pada saat ini di Indonesia,

hail ini juga dapat menimbulkan kerancuan dan

peluang bagi pelaku usaha untuk menggunakan

pasal pengecualian dalam berusaha; tujuannya

adalah melegalisir tindakannya dengan

bersembunyi di belakang wujud koperasi (Ayudha

D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000: 124).

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka

penulis menarik kesimpulan, dimana implementasi dari

hukum persaingan usaha secara umum dan perjanjian

yang dilarang secara khusus yang dilakukan belum cukup

efektif, bila dilihat dari perubahan struktur dan prilaku

pelaku usaha yang ada di dalam industri khususnya yang

berkaitan dengan perjanjian: oligopoli (Pasal 4); penetapan

harga (Pasal 5); diskriminasi harga dan diskon (Pasal 6

sampai dengan Pasal 8); pembagian wilayah (Pasal 9);

pernboikotan (Pasal 10); kartel (Pasal 11); trust (Pasal

12); oligopsoni (Pasal 13); integrasi vertikal (Pasal14);

perjanjian tertutup (Pasal 15); perjanjian dengan luar

negeri (Pasal 16). Sedangkan faktor yang mempengaruhi

implementasi dari suatu produk hukum, yang dapat

mempengaruhi efektifitas dari implementasi hukum

persaingan adalah faktor substansi undang-undang dan

faktor aparatur penegak hukum terkait serta faktor

budaya hukum. Dengan demikian keberhasilan

implementasi suatu Undang-undang Persaingan juga

banyak tergantung dari seberapa baik konsep dan nilai

persaingan terkait dengan proses pembuatan kebijakan

yang terjalin di antara masyarakat.

Saran

Perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai:

Pasal 4) s.d (Pasal 16) UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk

49

Page 57: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

masukan kepada perintah, agar regulasi yang disusun

oleh pemerintah tidak bertentangan dengan nilai-nilai

yang terdapat di dalam hukum persaiangan usaha.

50

Page 58: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Abdul Hakim G Nusantara dan Benny K Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli: Undang-

Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,

1999).

Agus Brotosusilo, 2012, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Peran Hukum Nasional Dalam Mendorong

Peningkatan Produk Nasional di dalam Negeri Pada Era Perdagangan Bebas. Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI Badan Pembindaan Hukum Nasional, Jakarta, 2012.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999. Monopoli. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Ayudha D Prayoga et al, ed., Persaingan Usaha Dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia (Jakarta: ELIPS, 1999).

Ayudha-D. Prayoga et al. (Ed.). 2000. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. Jakarta : Proyek

ELIPS. Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan.

Hikmahanto Juwana. 1999. "Menyambut Berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999: Beberapa Harapan dalam Penerapannya

oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha". Hukum dan Pembangunan Nomor 4 Tahun XXIX. Jakarta: Fakultas

Hukum Universitas Indonesia.

Hikmahanto Juwana. 1999. "Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum Persaingan dan UU No. 5/1999".

Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.

Hikmahanto Juwana. 1999. "Interpretasi UU No. 5/1999 dengan Menggunakan Standar Internasional", dalam Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional. Newsletter Nomor 39 Tahun

X. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.

Indonesia, Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

UU No. 5, LN No.33 tahun 1999.

Insan Budi Maulana, 2000, Catatan Singkat UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ine Minara S. Ruky, “Implementasi Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan Liberalisasi Perdagangan”,

Desertasi Doktor, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, (New York: W.W. Norton and Co.).

DAFTAR PUSTAKA

51

Page 59: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Luis Tineo, “Indonesia: Promoting Effecinet Markets Trhrough the Effective Implementation of the New Competition

Law,” (makalah disampaikan pada International Conference Competition Policy & Economic Growth: Issues &

Options, Jakarta-Surabaya, 22-23 May & 25 May 2000).

Maria Vagliasindi, “Competition Across Transition Economies: an Enterprise-level Analsis of The Main Policy and Structural

Determinants.” Working paper No. 68, European Bank. Londan, 2001. dikutif dari Ine Minara S. Ruky, “Implementasi

Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan Liberalisasi Perdagangan”, Desertasi Doktor, Program

Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Muladi. 1998. "Menyosong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah

yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.

Pande Raja Silalahi, 1999. “Marger Konsolidasi, dan Akuisisi dari Sudut Perbankan berdasarkan UU No. 5/1999”. Newsleter

Nomor 38 Tahun X Jakarta, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.

R. Shyam Khemani (project director). A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy.

Washington, D.C: World Bank, OECD, 1998.

Robert H. Bork, The Antitrust Paradox: A Policy at War with Itself (New York: Basic Books, Inc. Publishers, 1978)

Stephen Martin, Industrial Economic: Analysis and Public Policy (New Jersey: Prentice Hall, 1993) .

Ditha Wiradiputra, Mengkaji Efektifitas Implementasi Hukum Persaingan Usaha Terhadap Industri Ritel; diakses tanggal

3 Juni 2015 melalui htt://arditobhina.com.downlot.php?file.

Tresia Elmondo Hutabatat, Hukum Persaingan Usaha, diakses tanggal 3 Juni 2015 melalui http://tresia3lm0nd0.blogspot.

com/2012/07/hukum-persaingan-usaha.html.

Tsany Ratna Dewi, Supremasi Hukum Persaingan: tsany(dot)trd(at)gmail (dot)com. Diakses tgl 3 juni 2015 melalui

http://majalah1000guru.net/2013/02/supremasi-hukum/).

Won-Joon Kim, “Korea’s Experiences in Adoption & Enforcement of Competition Law and Implication for Developing

Countries,” makalah disampaikan pada 2nd ASEAN CONFERENCE ON COMPETITION LAW & POLICY yang

diselenggarakan oleh KPPU, Sekretariat ASEAN dan ASEAN Consultative Forum for Competition, di Bali pada

tanggal 14-16 Juni 2006.

52

Page 60: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

A. Latar Belakang

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945), menyebutkan bahwa, ”Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

bagi kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) tersebut

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 33 alinea 4 UUD

1945 yang berbunyi, bahwa: “Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah

pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu, harus

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”.

Aturan ini merupakan amanat pemberian kewenangan

bagi negara dalam mengatur dan mengelola

pertanahan di Indonesia. Dalam amandemen UUD

1945 menambahkan ayat (5) bagi menjelaskan

pelaksanaan ketentuan, yaitu: ”ketentuan lebih lanjut

mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-

undang”. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA),3 adalah

langkah negara dalam mengatur dan mengelola

sistem hukum tanah di Indonesia.4

53

PEMBATASAN HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA INDONESIA

Disusun oleh:

Nuribadah1, Yulia2

Abstrak

Pembatasan hak menguasai negara atas tanah diperlukan agar kewenangan negara tidak merugikan rakyatnya.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar bagi Undang-undang Pokok Agraria, telah membatasi penguasaan Negara

untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, termasuk dalam penguasaan negara atas tanah. Di samping itu juga,

UUPA disusun berdasarkan konsepsi Hukum Adat. Artikel ini mengkaji pembatasan hak menguasai Negara atas tanah

dalam UUPA, juga mengkaji konsepsi hak menguasai Negara atas tanah yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat. Hasilnya, pembatasan hak menguasai Negara telah ditegaskan dalam UUPA bahwa melalui tujuan penguasaan

tanah, hak-hak perseorangan dan badan hukum serta hak ulayat. UUPA juga telah mencerminkan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat, namun masih terdapat permasalahan nasional ketika elemen hukum adat dimasukkan dalam UUPA

karena keberagaman masyarakat hukum adat di Indonesia. Disarankan bahwa merevisi UUPA sebagai salah satu cara

mengecilkan jumlah permasalahan tanah secara nasional.

Kata Kunci: Hak Menguasai Negara, Pembatasan, Hukum Adat, Hak Ulayat

1 Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh-Lhokseumawe. Jl. Jawa Blang Pulo Lhokseumawe, Aceh, Email: [email protected].

2 Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Malikussaleh.

3 Lembaran Negara 1960-104. Ini bertumpu pada konsideran bahwa hukum agraria merupakan wujud dari ketuhanan yang maha esa, perikemanusian, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai azas kerohanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum sebagai dasar Negara dalam pembukaan UUD 1945

4 Dalam hal ini pemerintah sebagai wakil dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pertanahan di Indonesia.

Page 61: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

UUPA mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang

dalam membentuk hukum tanah nasional jangan

sampai mengabaikan akses rakyat Indonesia terhadap

tanah, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur

yang bersandar pada hukum agama.5 Hak penguasaan

negara atas tanah di dalam Pasal 2 UUPA memberikan

kewenangan pada Negara untuk: (i) mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang

angkasa; (ii) menentukan dan mengatur hubungan

hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang

angkasa; (iii) menentukan dan mengatur hubungan

hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum

mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Pasal 2 UUPA tersebut telah memberi ruang lingkup

penguasaan negara atas tanah, bahwa bagi mengatur

dan mengelola bumi, air dan ruang angkasa dalam

penggunaannya bagi rakyat Indonesia. Kewenangan

pemegang hak menguasai Negara atas tanah, pada

azasnya ada pada pemerintah pusat,6 sebagaimana

dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA, namun

dapat diberikan penguasaan kepada kepala-kepala

daerah dan masyarakat adat di dalam Pasal 4 UUPA.

Ruang lingkup pengeuasaan Negara atas tanah yang

demikian adalah suatu pembatasan hak menguasai

Negara atas tanah.

Hak menguasai Negara atas tanah dalam

kenyataannya, banyak penguasaan tanah oleh

perusahaan-perusahaan swasta dalam melakukan

usaha-usaha pertanian, pertambangan dan

perkebunan.7 Melalui hak menguasai negara atas

tanah, negara telah memberikan dan memfasilitasi

penguasaan tanah oleh perusahaan. Hal ini terlihat

perusahaan-perusahaan swasta di bidang pertanian,

pertambangan dan perkebunan yang semakin

menguasai tanah-tanah masyarakat hukum adat.

Padahal, UUPA sebagai peraturan induk agraria telah

mengatur penguasaan Negara atas tanah.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan menganalisis

pembatasan hak menguasai negara atas tanah dalam

Hukum Agraria Indonesia. Selanjutnya juga akan

menganalisis tentang konsepsi hak menguasai negara

atas tanah yang harus mencerminkan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat.

B. Pembatasan hak Menguasai Negara Dalam

Hukum Agraria Nasional

1. Makna hak menguasai negara atas tanah

Pemahaman hak menguasai Negara atas tanah

pada azasnya telah diatur dalam Pasal 33 UUD

1945 yang dijabarkan dalam UUPA. Pasal 2 telah

dengan tegas menyatakan ruang lingkup

kewenangan yang dimiliki Negara terhadap tanah.

Kewenangan ini tidak dapat dinyatakan sebagai

suatu pemilikan oleh Negara, karena Negara hanya

diberikan tugas dalam mengatur dan mengelola.

Makna “dikuasai negara” meliputi penguasaan

oleh negara secara luas yang bersumber dan

diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia

atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di

dalamnya”. UUD 1945 memberikan mandat

kepada negara untuk menjalankan fungsinya

dalam membuat kebijakan (beleid), pengaturan

(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan

pengawalan (toezichthoudensdaad) oleh negara.8

Menurut Van Vollenhoven bahwa, ”... sebenarnya

hak negara atas tanah untuk mengatur dan

sebagainya itu tidak lain daripada kekuasaan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

54

5 Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Cetakan I, 2008. hal. 19.

6 Al Marliah, Hak Menguasai tanah dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87.

7 http://www.academia.edu/6377303/hukum tanah sebagai suatu sistem hukum.

8 V. I. Williamson Nalle, ‘Hak Menguasai Negara Atas Mineral Dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerbaol’, (2012) 9(3) Jurnal Konstitusi, 473-494, hlm 491; N. Dahlan., Pemerintahan Daerah, Durat Bahagia, Jakarta, 2006; I. Saleh, Ketertiban dan Pengawasan, Haji Mas Agung, Jakarta,1998, hlm.1.

Page 62: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

negara terhadap segala sesuatu; dan tanah adalah

suatu speciment, suatu hal khusus saja; jika di

dalam hal ini kita perlu memberi bentuk lain maka

sudah barang tentu tidak boleh mengurangkan

dan mengubah kedudukan negara terhadap segala

sesuatu itu.”9

Hak menguasai negara atas tanah dapat juga kita

konstruksikan dalam pengertian politis, yaitu10:

a. Memberikan hak seseorang atau badan yaitu

melalui lembaga konversi atas tanah-tanah

bekas BW dan bekas Hukum Adat dan atas

tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah

daerah otonom ataupun dikuasai oleh

lembaga-lembaga pemerintahan.

b. Memberikan hak-hak baru yang ditetapkan

oleh UUPA seperti hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, dan hak pakai.

c. Mengesahkan sesuatu perjanjian yang dibuat

antara seorang pemegang hak milik dengan

orang lain untuk menimbulkan suatu hak lain

di atasnya, seperti yang kita kenal Hak Guna

Bangunan diatas Hak Milik dan Hak Pakai di

atas Hak Milik (Pasal 19 Peraturan Pemerintah

No. 10 Tahun 1961).

Dalam pengertian demikian, Negara dapat

mengatur dan mengelola tanah melalui pemberian

hak dan pengesahan pengalihan hak. Negara

juga mendapat amanat melalui hak bangsa dalam

rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA, bahwa seluruh

wilayah adalah kesatuan tanah air dari seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah diseluruh

wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa

Indonesia (aspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu

seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat.

Dengan demikian, hak bangsa Indonesia

mengandung 2 (dua) unsur yaitu:

a. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat

perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan

dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh

rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi

bangsa Indonesia.

b. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik

untuk mengatur dan memimpin pengguasaan

dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama

tersebut.

Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak

memerlukan campur tangan kekuasaan politik

untuk melaksanakanya, tugas kewajiban yang

termasuk hukum publik tidak mungkin

dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu,

penyelenggaraanya dilakukan oleh bangsa

Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban

amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan

kepada Negara Republik Indonesia sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat.11

Penyebutan secara tegas kewenangan negara

atas tanah dengan hak menguasai oleh negara

tetap lebih bersifat positif, karena dengan

penyebutan itu berarti dilakukan ”penegasan”

bahwa hak menguasai oleh negara melekat pada

seluruh tanah yang ada dalam lingkungan hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA secara tegas pula

dijabarkan isi kewenangan dari hak menguasai

oleh negara tersebut. Salah satu isinya adalah

’mengatur dan menyelenggarakan persediaan

tanah’. Substansi Pasal 2 ayat (2) dapat ditafsirkan

termasuk persediaan tanah bagi kelangsungan

pembangunan untuk kepentingan umum.

Pengadaan tanah bagi persediaan tanah dapat

dilakukan secara sukarela (voluntary) seperti jual

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

55

9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 13.

10 Ibid.11 Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari

Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87

Page 63: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

beli, penyerahan atau pelepasan hak; atau dapat

pula dilakukan secara wajib (compulsory) seperti

pencabutan hak dan nasionalisasi.12

Pengadaan tanah secara wajib pada hakikatnya

merupakan cara paksa (sepihak), maka pengaturan

pengadaan tanah secara wajib harus dilakukan

atas dasar undang-undang. Secara teoritis,

terjadinya hak menguasai oleh negara yang

ditegaskan dalam konstitusi adalah karena

pelimpahan unsur publik dari hak bangsa sebagai

hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam

hukum tanah nasional (Pasal 1 UUPA). Ketika yang

dilimpahkan adalah unsur publik, maka secara

otomatis isi kewenangan hak menguasai oleh

negara pun semata-mata berunsur publik

sebagaimana yang secara eksplisit tampak pada

Pasal 2 ayat (2) UUPA.

Kewenangan dalam menguasai negara melahirkan

hubungan hukum Negara dengan tanah di bawah

kekuasaannya. Kekuasaan hukum yang dijalankan

Negara terhadap tanah yang dipergunakan untuk

kepentingan umum sama halnya dengan

hubungan hukum khusus antara negara dengan

tanah-tanah ini, sama dengan kekuasaan yang

dilakukan negara terhadap tanah-tanah yang lain

secara tidak terbatas. Hubungan hukum ini

menempatkan negara mempunyai kekuatan

dalam mengatur tanah dan dapat memberikan

sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar kebijakan

pemerintah sebagai wakil negara.13

Oleh karena itu, hak menguasai negara harus

dilihat sebagai kewajiban Negara sebagai pemiliki

kekuasaan yang mengembangkan tugas

menciptakan kesejahteraan rakyat. Kedudukan

negara sebagai badan penguasa dan pemilik

kekuasaan adalah pemaknaan pola hubungan

antara individu dalam masyarakat dalam konsep

hukum adat. Jadi, di dalamnya mengandung hak

dan kewajiban yang melahirkan kekuasan,

wewenang bahkan daya paksa.14

2. Pengaturan dan Pembatasan Hak Menguasai

Negara atas Tanah dalam UUPA

Pengaturan hak menguasai negara dalam Pasal 2

ayat (2) UUPA hanya bersifat deklaratif dalam

mengelola bumi, air dan ruang angkasa

sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Itu merupakan azas penguasaan negara atas bumi,

air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam

yang terkandung didalamnya itu pada tingkat

tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat yang diatur dalam Pasal

2 ayat (1) UUPA. Pasal ini memberi wewenang

untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan

bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-

hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-

hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

Pada ayat (3) Wewenang yang bersumber pada

hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2)

pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar

kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,

kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat

dan negara hukum Indonesia yang merdeka

berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai negara

dipegang pemerintah pusat sebagaimana diatur

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

56

12 Baihaqi, Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum tentang Pengadan Tanah un tuk Kepentingan Umum, Jurnal Ilmiah Peuradeun, (2) 02, Mei 2014.

13 Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136.

14 Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136.

Page 64: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

dalam Pemikiran tentang hak menguasai negara

atas tanah berangkat dari pembaukaan alinea

ke-4 UUD 1945, dari pemahaman itu pemerintah

memiliki tangun jawab sekaligus tugas utama

untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan

seluruh tumpah darah indonesia, kata “tumpah

darah” memiliki makna “tanah air”. Tanah air

Indonesia memiliki arti, bumi, air dan kekayaan

alam yang ter kandung didalamnya. Begitu juga

Pemerintah daerah dapat mempunyai hak itu

apabila ada pelimpahan wewenang dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Ketentuan dalam penjelasan pada ayat (4) adalah

bersangkutan dengan azas ekonomi dan

medebewind dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya

dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah

Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar).

Dengan demikian maka pelimpahan wewenang

untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara

atas tanah itu adalah merupakan medebewind.

Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut

keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan nasional.

Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan

sumber keuangan bagi daerah itu.

Kekuasaan negara atas tanah, juga diperlukan

dalam bidang pertanahan untuk mengendalikan

negara dari tekanan perusahaan-perusahaan

swasta nasional atau asing. Saat ini dapat jelas

terlihat, banyak perusahaan-perusahaan swasta

nasional dan asing yang melakukan penguasaan

tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak

Guna Bangunan (HGB) sampai 80 atau 90 tahun.

Kondisi demikian, menyebabkan negara harus

bersikap tegas sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi atas tanah.

Hak menguasai negara juga dapat tercermin pada

Pasal 18 UUPA, bahwa untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak atas tanah

dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian

yang layak dan menurut cara yang diatur dengan

Undang-Undang. Oleh karena itu, tergambarkan

bahwa betapa besarnya hak menguasai Negara

dalam UUPA.

Pada sisi lainya, hak menguasai negara atas tanah

perlu dibatasi agar pemegang hak menguasai

negara terhindar dari potensi pengunaan secara

sewenang-wenang. Pembatasan tidak dimaksudkan

untuk mengkerdilkan kekuasaan negara, karena

pada prinsipnya, negara mempunyai kekuasaan

yang besar untuk menata wilayahnya termasuk

menata tugas-tugas pemerintahan di bidang

pertanahan. Jadi, termasuk pula bagi menjalankan

amanat penguasaan untuk sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat Indonesia.

UUPA telah membuat suatu pembatasan secara

umum melalui Penjelasan Umum UUPA, yaitu:

(a) tujuan dari hak menguasai oleh negara itu

sendiri;

(b)hak atas tanah seseorang dan badan hukum;

dan

(c) hak-hak ulayat masyarakat hukum adat yang

secara faktual masih eksis.

Tujuan dari hak menguasai oleh negara adalah

untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat

dalam rangka masyarakat adil dan makmur (Pasal

2 ayat (2) UUPA). Hak menguasai oleh negara

tidak diperbolehkan digunakan untuk memenuhi

kepentingan kelompok tertentu, seperti penguasa

sebagaimana ‘Domein Negara’ di zaman

Pemerintah Hindia Belanda.15 Selain itu, yang

dimaksud dengan rakyat Indonesia dalam hal ini

meliputi yang ada sekarang dan yang akan datang.

Oleh karena itu, pelaksanaan hak menguasai oleh

negara harus dalam perspektif transgenerasi dan

berkesinambungan.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

57

15 Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87.

Page 65: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Para penyelenggara negara pada masa Orde Lama

cukup konsisten pada amanat konstitusi yang

ingin mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat melalui politik agraria. Hal ini tercermin

dari kebijakan-kebijakan yang diambil bagi

kesejahteraan masyarakat, misalnya kebijakan

program landreform. Perkembangan selanjutnya,

pengaturan hak menguasai negara dalam

peraturan keagrariaan dan sumber daya alam

berlangsung tanpa arah yang jelas. Jika dicermati,

sistem pengaturan hak penguasaan atas sumber-

sumber agraria di Indonesia, berseberangan

dengan UUPA yang merupakan induk dari semua

aturan keagrariaan dan sumberdaya alam.

Sebagai contoh, hak penguasaan atas kekayaan

alam yang terkandung di dalam tubuh bumi pun

diatur di dalam Pasal 8 UUPA. Dalam Pasal 8

UUPA ditentukan: ”Atas dasar hak menguasai

dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal

2 diatur pengambilan kekayaan alam yang

terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa”.

Seharusnya, undang-undang yang mengatur

tentang pertambangan menjadikan Pasal 8 UUPA

ini sebagai landasan penyusunannya. Namun

kenyataan, hampir semua undang-undang

sektoral mengenai keagrariaan dan sumberdaya

alam disusun tanpa mengindahkan UUPA. Dengan

perkataan lain, UUPA “dipetieskan”, memang

bukan “dipetimatikan”. UUPA secara normatif

masih berlaku sebagai undang-undang bagi

keagrariaan, namun dalam praktiknya tidak diacu

dalam penyusunan undang-undang sektoral

lainnya, seperti kehutanan, perairan, dan

pertambangan. Para pendukung pemetiesan

UUPA berdalih bahwa politik perundang-

undangan Indonesia tidak mengenal “undang-

undang payung” sehingga tidak ada kewajiban

hukum untuk menjadikan UUPA sebagai acuan

penyusunan undang-undang sektoral.

Jika selama pemerintahan Orde Baru (terutama

sekitar 10 tahun menjelang berakhirnya) tampak

hak menguasai oleh negara dimanfaatkan untuk

memacu pertumbuhan ekonomi. Kebijakan Agraria

berubah seiring dengan perubahan paradigma

pembangunan yang bertumpu pada pemilik modal

(betting on the strong). Keberpihakan kepada

pemilik modal inilah maka berbagai perundang-

undangan sektoral produk Orde Baru

“dikondisikan” untuk mendahulukan kepentingan

si empunya modal daripada rakyat pada umumnya.

Kondisi ini terkesan lebih berpihak kepada para

pengusaha yang sesungguhnya merupakan

penyimpangan dari tujuan hak menguasai negara

atas tanah.16

Harapannya, keberpihakkan kepada si empunya

modal akan mendorong pada peningkatan

kesejahteraan rakyat juga (trickle down effect).

Akibatnya, politik hukum perundang-undangan

sektoral ini akhirnya berwatak pragmatis

mendukung kepentingan si pemilik modal yang

dipercaya akan menjadi pahlawan kemakmuran.

Berbagai kebijakan Pemerintah Orde Baru

ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan usaha

para pemilik modal. Meskipun pada akhirnya

catatan sejarah menunjukkan bahwa ketika

negara ini dalam keadaan ‘sangat membutuhkan’

modal pembangunan, si pemilik modal tidak

dapat membuktikan dirinya sebagai pahlawan

kemakmuran.

Pendayagunaan hak menguasai oleh negara

yang bersifat populis sekarang ini tidak boleh

mengurangi kemampuan rakyat Indonesia di

masa mendatang untuk menikmati tujuan dari

hak menguasai oleh negara. Hal ini adalah tekad

pemerintahan reformasi untuk melakukan

pemberdayaan ekonomi dengan kembali kepada

tujuan pembentukkan UUPA yang sarat dengan

semangat kerakyatan. Tujuan hak menguasai

negara yang bersifat populistik itu menjadi

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

58

16 Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136.

Page 66: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

pembatas bagi tindakan penyelenggara negara

dalam mengambil kebijakan dan pembangunan

pertanahan,17 yang mendasari pada landreform.

Hak atas tanah seseorang dan badan hukum juga

merupakan pembatasan hak menguasai negara.

Penjelasan UUPA menyatakan bahwa terhadap

tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu

hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luas dan

penuh daripada atas tanah-tanah yang sudah

dilekati hak oleh seseorang atau badan hukum.

Dengan perkataan lain, negara lebih leluasa

menjalankan kekuasaannya atas tanah yang

masih berstatus tanah negara, sedangkan bagi

tanah-tanah yang sudah dilekati hak, kekuasaan

negara atas tanah itu menjadi terbatas, misalnya:

dalam keadaan biasa tidak boleh mengambil

tanah tersebut tanpa persetujuan dari si empunya

dan dalam keadaan memaksa pencabutan hak

atas tanah harus dengan ganti-kerugian yang

layak.

Pelekatan fungsi sosial terhadap hak menguasai

negara atas adalah aturan yang rancu karena

ketentuan Pasal 6 UUPA telah menentukan bahwa

semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;

yang lahir dari konsep bahwa semua hak atas

tanah yang mempunyai kewenangan privat

berasal dari hak bangsa sebagai “Hak Bersama

Bangsa Indonesia”. Oleh karena itu, menurut

penulis azas fungsi sosial lahir dari semangat

untuk membatasi hak menguasai negara atas

tanah, maka semua hak atas tanah yang bersifat

pribadi juga dilekatkan fungsi sosial. Namun, hak

menguasai negara adalah kewenangan yang

bersifat publik pada hakikatnya memang ditujukan

untuk mewujudkan fungsi kebersamaan dari

seluruh rakyat Indonesia.

C. Konsepsi Hak Menguasai Negara dan Nilai-Nilai

dalam Masyarakat

1. Konsepsi Hukum Tanah dalam UUPA dan

Hukum Adat

Konsepsi hukum tanah nasional di dalam UUPA

merupakan konsepsi Hukum Adat. Boedi Harsono

menyebutkan konsepsi hukum tanah nasional

adalah komunalistik religius, yang memungkinkan

penguasaan tanah secara individual, dengan hak-

hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus

mengandung kesamaan.18 Konsepsi ini masih

relevan (dan harus tetap) dipertahankan untuk

masa kini maupun untuk masa yang akan datang,

oleh karena konsepsi ini merupakan penjabaran

dari sila-sila Pancasila di bidang pertanahan serta

harus dijabarkan lebih lanjut dalam politik

pertanahan nasional sebagaimana yang digariskan

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.19

Dalam Konsideran UUPA menyebutkan bahwa

Hukum Agraria Nasional berdasarkan asas Hukum

Adat, yang sederhana dan menjamin kepastian

bagi seluruh masyarakat hukum Indonesia, dengan

tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar

pada Hukum Agraria. Oleh karena itu,

pembangunan hukum tanah nasional harus

dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma

Hukum Adat dalam peraturan perundang-

undangan menjadi hukum yang tertulis. Hal ini

diperkenankan selama Hukum Adat yang

bersangkutan tetap berlaku penuh, serta

menunjukkan adanya hubungan fungsional antara

Hukum Adat dan hukum tanah nasional.

Hukum Adat yang dipakai sebagai Hukum Agraria

adalah Hukum Adat yang telah dihilangkan sifat

kedaerahannya dan diberi sifat nasional, dalam

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

59

17 Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87.

18 Budi Harsoeno, Hak Atas tanah Dalam Hukum Nasional, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 4-6.

19 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT.Sofmedia, Cetakan Pertama, 2009, hal. 45.

Page 67: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

hubungannya dengan prinsip Persatuan Bangsa

dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum

Adat yang dahulu hanya mementingkan suku

dan masyarakat dan hukumnya sendiri harus

diteliti. Boedi Harsono mengemukakan bahwa

penggunaan norma Hukum Adat sebagai

pelengkap hukum tanah yang tertulis, haruslah

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan

UUPA.20 Oleh itu, asas Hukum Adat yang disaneer,

yaitu bahwa Hukum Adat yang dipakai sebagai

dasar hukum agraria adalah Hukum Adat yang

sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya.

Menurut Soedarjanto, terdapat beberapa elemen

hukum adat yang dimasukkan dalam hukum

agrarian nasional, yaitu21:

a. Konsep tanah negara sebagai tanah ulayat

pada tingkat nasional.

b. Konsep fungsi social hak atas tanah, sampai

pada kemungkinan dicabut haknya sebagai

manifestasi hubungan masyarakat dengan

individu.

c. Badan Pertanahan Nasional yang mengambil

peran sebagai Kepala Masyarakat Adat dengan

mengambil keputusan-keputusan penting

mengenai tanah atas nama Negara, misalnya

memberikan hak, memperbaharui dan

membatalkannya.

Kedudukan tanah dalam hukum adat adalah

penting, disebabkan oleh dua hal, yaitu22:

a. Karena sifatnya, yaitu benda yang tidak

berubah wujudnya dalam keadaan tertentu

juga akan lebih menguntungkan.

b. Karena faktanya merupakan tempat tinggal

persekutuan, member penghidupan kepada

persekutuan, di mana warga persekutuan

meninggal, juga tempat tinggal roh para leluhur

persekutuan.

Demikian hal dengan kedudukan tanah dalam

UUPA, di mana juga tanah merupakan kekayaan

terpenting pembangunan nasional. Oleh karena

itu, cukup sinergis ketika UUPA melakukan

penyesuaian konsep dengan Hukum Adat dalam

melakukan unifikasi Hukum Agraria Nasional.

Namun, dalam pelaksanaanya menimbulkan

permasalahan karena karakteristik mayarakat

hukum adat pada tingkat nasional sangat berbeda,

misalnya dalam aspek hubungan masyarakat,

aspek kontrol sosial, dan sebagainya.23

2. Hak menguasai Negara dan Hak Ulayat

Langkah yang dilakukan dalam membuat unifikasi

Hukum Agraria Nasonal yang berlandaskan Hukum

Adat, maka termasuklah hak menguasai negara

berasal dari konsep hak ulayat. Hak ulayat

masyarakat hukum adat yang ditegaskan dalam

Penjelasan UUPA bahwa hak menguasai tanah

oleh negara dibatasi oleh keberadaan hak ulayat

masyarakat hukum adat yang secara faktual masih

ada. Sekiranya kepentingan umum menginginkan

hak ulayat, maka perolehan tanahnya hanya dapat

dilakukan setelah masyarakat hukum adat

pemegang hak tersebut “didengar pendapatnya”

dalam arti diajak bermusyawarah dan diberikan

recognitie. Tegasnya, dalam keadaan biasa, tidak

bisa memperoleh tanah ulayat tanpa adanya

persetujuan dari masyarakat hukum adat

pemegang hak ulayat tersebut.24

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

60

20 Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah pembentukan UUPA, isi, dan pelaksanaanya, Jilid 1 hukum tanah nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 209.

21 J. Soedarjanto, Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 8-10.

22 Suroyo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Jakarta.

23 J. Soedarjanto, Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 8-10.

24 Budi Harsoeno, Hak Atas tanah Dalam Hukum Nasional, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 4-6.

Page 68: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari

masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut

hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut

hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum

adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan

lingkungan hidup para warganya untuk mengambil

manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah

dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup

dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan

secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan

tidak terputus antara masyarakat hukum adat

tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Pasal 3 UUPA menegaskan bahwa, ‘dengan

mengingat ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA,

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dengan

itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat. Diikuti

dalam Pasal 5 UUPA, hukum agraria yang berlaku

adalah hukum adat. Seperti yang tercantum dalam

pasal 5 yaitu: Hukum agraria yang berlaku atas

bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum

dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan

perundangan lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada

hukum agama.

Dalam Penjelasan umum angka III (i) UUPA, dengan

sendirinya hukum agraria yang baru harus sesuai

dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia.

Dengan demikian hukum agraria nasional akan

didasarkan pada Hukum Adat, sebagai hukum

yang asli, yang disempurnakan yang sesuai dengan

kepentingan masyarakat dalam negara modern

dan hubungannya dengan internasional serta

disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Oleh itu,

UUPA telah dengan tegas menyebutkan pengakuan

Hukum Adat sebagai landasan penyusunan UUPA.

Langkah mengakomodir hukum adat dalam UUPA

merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat. Hukum adat adalah pedoman

masyarakat adat dalam berkehidupan yang

memberikan nilai-nilai positif dalam menjaga

hubungan-hubungan dalam masyarakat hukum

adat. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

bersifat dinamis yang berarti berkembang sesuai

dengan perkembangan zaman, akibatnya

hukumpun berkembang sesuai dengan nilai-nilai

yang hidup di dalam masyarakat. Konsep hukum

yang ada, konsep hak menguasai negara atas

tanah yang berlaku saat ini bukanlah muncul

secara tiba-tiba, melainkan hasil dari suatu proses

perkembangan terus-menerus.25 Demikian pula,

UUPA dengan mendasari pada Hukum Adat, maka

telah mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat yang terus berkembang.

C. PENUTUP

Hak menguasai negara atas yang ditegaskan dalam

konstitusi negara adalah karena pelimpahan unsur

publik dari hak bangsa sebagai hak penguasaan atas

tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional.

Oleh karena pelimpahan mengandung unsur publik,

maka secara otomatis isi kewenangan hak menguasai

negara pun semata-mata berunsur publik sebagaimana

yang secara eksplisit (Pasal 2 ayat (2) UUPA).

Hak menguasai negara atas tanah memberikan

kewenangan negara untuk mengatur dan

menyelenggarakan persediaan tanah, artinya negara

dapat membuat peraturan-peraturan pelaksana UUPA,

misalnya peraturan tentang pengadaan tanah untuk

kepentingan umum.

Mengingat luasnya hak menguasai negara atas tanah,

maka UUPA telah membatasi hak menguasai negara

atas tanah melalui tujuan penguasaan tanah, hak

atas tanah seseorang dan badan hukum, dan hak

ulayat. Sebagaimana dijabarkan dalam beberapa pasal

dan penjelasan umum UUPA. Pembatasan tersebut

2961

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

25 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978, hal. 17

Page 69: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

masih perlunya pengawasan dari berbagai elemen

yang berkepentingan, sehingga hak menguasai negara

dapat terlaksana sebagaimana amanat UUPA.

Selanjutnya, konsepsi hak menguasai negara atas

tanah di dalam UUPA juga telah sinergis dengan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat, misalnya berkaitan

hak ulayat, penguasaan tanah yang bersifat

komunalistik, di mana melalui hak menguasai negara

sebagai hak bersama bangsa Indonesia. Namun

demikian, pelaksanaan konsep hukum adat dalam

tingkat nasional mengalami permasalahan, karena

keberagaman masyarakat hukum adat di Indonesia.

Oleh itu disarankan, perlu adanya reformasi UUPA

yang berkaitan dengan penguasaan tanah yang

mampu meminimalisir permasalahan-permasalahan

tanah termasuk dalam mengakomodir konsep hukum

adat.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

62

Page 70: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87

Baihaqi, Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum tentang Pengadan Tanah un tuk Kepentingan Umum, Jurnal Ilmiah

Peuradeun, (2) 02, Mei 2014.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum

Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999.

Boedi Harsono, Hak Atas tanah Dalam Hukum Nasional, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan

(LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007.

J. Soedarjanto, Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan

(LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 8-10

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah oleh Negara, Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, Yogyakarta, 2007

Muhammad Feri Fadelai et al, Analisa Yuridis Hah menguasai Negara atas Tanah menurut UUPA, Jurnal Artikel Ilmiah

Hasil Penelitian Mahasiswa, I91) 2014, 1-18.

N. Dahlan., Pemerintahan Daerah, Durat Bahagia, Jakarta, 2006; I. Saleh, Ketertiban dan Pengawasan, Haji Mas Agung,

Jakarta,1998

Purwopranoto, Penuntut Tentang Hukum Tanah, Astana Buku “ ABEDE”, Semarang

P.M, Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik, Dalam Majalah Hukum Universitas Airlangga, Yuridika No. 6 Tahun 1994

Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978

Soekanto, Soerjano dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007

Suroyo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Jakarta

Syahrin, Alvi, Cet. I, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, 2009

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

DAFTAR PUSTAKA

2963

Page 71: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

64

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

V. I. Williamson Nalle, ‘Hak menguasai negara atas mineral dan batubara pasca berlakunya undang-undang minerbaol’,

(2012) 9 (3) Jurnal Konstitusi, 473-494.

Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum,

Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136

Yamin, Muhammad, Abdul Rahim Lubis, Cet. I, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, 2008.

Page 72: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JULI - DESEMBER 2015

65

Nomor Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)

Satker PerihalPeraturan

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing

Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional

No.

DPM

DPM

DPM

DPM

DPD

DPSP

DPSP

DPM

DKEM

LN: 201; TLN: 5736

LN: 202; TLN: 5737

LN: 223; TLN: 5743

LN: 224; TLN: 5744

LN: 264; TLN: 5753

LN: 273; TLN: 5762

LN: 274; TLN: 5763

LN: 275; TLN: 5764

LN: 286; TLN: 5769

17/13/PBI/2015

17/14/PBI/2015

17/15/PBI/2015

17/16/PBI/2015

17/17/PBI/2015

17/18/PBI/2015

17/19/PBI/2015

17/20/PBI/2015

17/21/PBI/2015

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Page 73: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Nomor Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)

Satker PerihalPeraturan

Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri

Rekening Giro di Bank Indonesia

No.

DKMP

DSta

DPTP

LN: 373; TLN: 5813

LN: 374; TLN: 5814

LN: 416; TLN: 5832

17/22/PBI/2015

17/23/PBI/2015

17/24/PBI/2015

10.

11.

12.

66

Page 74: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JULI - DESEMBER 2015

67

1. 17/19/DPUM 08-07-2015 DPUM Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

2. 17/20/DPM 28-08-2015 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

3. 17/21/DPM 28-08-2015 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

4. 17/22/DPSP 31-08-2015 DPSP Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP tanggal 20 November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

5. 17/23/DPM 30-09-2015 DPM Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

6. 17/24/DSta 12-10-2015 DSta Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/3/DSta tanggal 6 Maret 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelola Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank

7. 17/25/DKMP 12-10-2015 DKMP Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor

8. 17/26/DSta 15-10-2015 DSta Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

9. 17/27/DKMP 20-10-2015 DKMP Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank

10. 17/28/DKMP 20-10-2015 DKMP Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank

Tanggal Satker PerihalPeraturanNo.

Page 75: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

11. 17/29/DPM 26-10-2015 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka

12. 17/30/DPSP 13-11-2015 DPSP Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement

13. 17/31/DPSP 13-11-2015 DPSP Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.

14. 17/32/DPSP 13-11-2015 DPSP Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara

15. 17/33/DPSP 13-11-2015 DPSP Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari

16. 17/34/DPSP 13-11-2015 DPSP Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement

17. 17/35/DPSP 13-11-2015 DPSP Batas Nilai Nominal Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

18. 17/36/DPM 16-11-2015 DPM Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia - Electronic Trading Platform

19. 17/37/DPM 16-11-2015 DPM Operasi Pasar Terbuka

20. 17/38/DPM 16-11-2015 DPM Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter

21. 17/39/DPM 16-11-2015 DPM Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)

22. 17/40/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

23. 17/41/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

24. 17/42/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah

25. 17/43/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)

Tanggal Satker PerihalPeraturanNo.

68

Page 76: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

26. 17/44/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah melalui Lelang

27. 17/45/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah

28. 17/46/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

29. 17/47/DKEM 30-11-2015 DKEM Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional

30. 17/48/DPD 07-12-2015 DPD Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing

31. 17/49/DPM 21-12-2015 DPM Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

32. 17/50/DPM 21-12-2015 DPM Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

33. 17/51/DKSP 30-12-2015 DKSP Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

34. 17/52/DKSP 30-12-2015 DKSP Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia

Tanggal Satker PerihalPeraturanNo.

69

Page 77: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Page 78: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

71

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI)BESERTA RINGKASAN

PERIODE JULI - DESEMBER 2015

I. Latar Belakang dan Tujuan

Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap upaya pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dengan tetap mendukung aktivitas ekonomi pelaku pasar.

II. Materi Pengaturan

1. Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.

2. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

1. 17/13/PBI/2015 25-08-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Page 79: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

72

I. Latar Belakang dan Tujuan

Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap upaya pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah adanya ketidakseimbangan supply-demand di pasar valuta asing domestik di tengah tingginya tekanan terhadap nilai tukar negara-negara emerging. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik untuk menahan dampak dari ketidakseimbangan tersebut melalui upaya untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dengan tetap mendukung aktivitas ekonomi pelaku pasar.

II. Materi Pengaturan

1. Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing.

2. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).

I. Latar Belakang dan Tujuan

PBI ini diterbitkan dalam rangka mendorong peningkatan supply valas di pasar valas domestik sehingga dapat mendorong kegiatan perekonomian. Selain itu kebijakan ini juga sebagai upaya Bank Indonesia dalam mempercepat pendalaman pasar keuangan di pasar valas domestik serta sebagai respon terhadap perkembangan pasar keuangan global .

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

2.

3.

17/14/PBI/2015

17/15/PBI/2015

25-08-2015

07-10-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Page 80: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Materi Pengaturan

1. Peningkatan threshold transaksi tanpa Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual), dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta per transaksi per nasabah.

2. Penambahan jenis Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual), yaitu termasuk pula kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri.

3. Penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan Underlying Transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok secara penuh (full delivery settlement).

4. Penegasan transaksi pinjaman (loan)/kredit yang belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan, tidak termasuk sebagai Underlying Transaksi Valas terhadap Rupiah.

5. Penegasan bahwa dalam melakukan transaksi Valas terhadap Rupiah bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah.

6. Penegasan bahwa dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi.

I. Latar Belakang dan Tujuan

PBI ini diterbitkan dalam rangka mendorong peningkatan supply valas di pasar valas domestik sehingga dapat mendorong kegiatan perekonomian. Selain itu kebijakan ini juga sebagai upaya Bank Indonesia dalam mempercepat pendalaman pasar keuangan di pasar valas domestik serta sebagai respon terhadap perkembangan pasar keuangan global .

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

4. 17/16/PBI/2015 07-10-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

73

Page 81: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Materi Pengaturan

1. Peningkatan threshold transaksi tanpa Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual), dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta per transaksi per nasabah.

2. Penambahan jenis Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual) dan transfer rupiah kepada rekening yang dimiliki Pihak Asing, yaitu termasuk pula kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri.

3. Penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan Underlying Transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok secara penuh (full delivery settlement).

4. Penegasan transaksi pinjaman (loan)/kredit yang belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan, tidak termasuk sebagai Underlying Transaksi Valas terhadap Rupiah.

5. Penegasan bahwa dalam melakukan transaksi Valas terhadap Rupiah bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah.

6. Penegasan bahwa dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi.

I. Latar Belakang dan Tujuan

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.

Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing

5. 17/17/PBI/2015 10-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

74

Page 82: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Sehubungan dengan tujuan dimaksud, Bank Indonesia melaksanakan tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia terkait kebijakan moneter diperlukan penguatan cadangan devisa yang antara lain dilakukan melalui penerbitan SBBI Valas. Selain itu, penerbitan SBBI Valas diharapkan pula dapat mendukung pendalaman pasar keuangan, khususnya pada pasar valas domestik antara lain melalui pembentukan suku bunga acuan (reference rate) untuk surat berharga valas berjangka pendek, perluasan cakupan investor, dan sebagai alternatif instrumen investasi di pasar valas domestik.

II. Materi Pengaturan

1. Definisi Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.

2. Penduduk dan/atau bukan penduduk dapat memiliki SBBI Valas di Pasar Perdana melalui pengajuan pembelian SBBI Valas kepada Peserta Lelang yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia atau di Pasar Sekunder melalui mekanisme pasar.

3. Adapun ketentuan untuk Peserta Lelang SBBI Valas, diatur sebagai berikut:a. Peserta Lelang terdiri atas Bank dan/atau pihak

lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.b. Peserta Lelang dapat mengikuti transaksi lelang

SBBI Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak lain.

c. Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi Peserta Lelang.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai Peserta Lelang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia

4. Pokok-Pokok Pengaturan antara lain:a. Tujuan Penerbitan SBBI Valas;b. Karakteristik SBBI Valas;c. Mekanisme Penerbitan (Peserta Lelang,

Kepemilikan, dan Pelaksanaan Lelang);d. Penatausahaan SBBI Valas, termasuk pelunasan

pokok;e. Pengenaan Sanksi

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

75

Page 83: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang

1. Adanya menyempurnakan penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dalam rangka peningkatan efisiensi dan kemampuan mitigasi risiko dengan menerapkan prinsip-prinsip pada Principles for Financial Market Infrastructures (PFMI’s) yang dikeluarkan oleh Committee on Payment and Financial Market Infrastructures dan International Organization of Securities Commission (CPMI-IOSCO).

2. Memperkuat infrastruktur sistem pembayaran dan sistem keuangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia melalui implementasi Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) yang terintegrasi dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS).

3. Menyempurnakan pengaturan mengenai kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dalam meneruskan perintah transfer dana melalui Sistem BI-RTGS serta kewajiban dan tanggung jawab Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabahnya dalam rangka pengingkatan perlindungan kepada nasabah penguna Sistem BI-RTGS.

Untuk memberikan landasan hukum yang komprehensif dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.

II. Materi Pengaturan

1. Penyelenggaraan transaksi, penatausahaan Surat Berharga, dan setelmen dana seketika dilakukan melalui 3 (tiga) sistem yaitu Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS.

2. Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP antara lain sebagai berikut:

Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika

6. 17/18/PBI/2015 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

76

Page 84: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

a. Sistem BI-ETP merupakan infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan secara elektronik.

b. Transaksi melalui Sistem BI-ETP terdiri atas:1) Transaksi Dengan Bank Indonesia, yaitu

transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau transaksi Surat Berharga Negara untuk dan atas nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia.

2) Transaksi Pasar Keuangan, yaitu transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam rangka transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder.

c. Penyelenggara Sistem BI-ETP adalah Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter.

d. Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP adalah Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank, perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, perusahaan efek, dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.

3. Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan BI-SSSS antara lain sebagai berikut:a. BI-SSSS merupakan infrastruktur yang

digunakan sebagai sarana penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia, penatausahaan Transaksi Pasar Keuangan, dan penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik.

b. Kegiatan penatausahaan melalui BI-SSSS mencakup kegiatan pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan nilai pokok/nominal atas hasil transaksi Surat Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

77

Page 85: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

c. Penyelenggara BI-SSSS adalah Bank Indonesia c.q. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran.

d. Pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS adalah Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bank, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.

4. Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS antara lain sebagai berikut:a. Sistem BI-RTGS merupakan infrastruktur yang

digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual.

b. Penyelenggara BI-SSSS adalah Bank Indonesia c.q. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran.

c. Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank Indonesia, Bank, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggaraan setelmen, dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.

d. Dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada nasabah pengguna Sistem BI-RTGS, antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:1) menetapkan batas paling banyak biaya

transaksi yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah;

2) adanya kewajiban Peserta pengirim untuk mengirimkan instruksi Setelmen dana paling lama 1 (satu) jam sejak Peserta pengirim melakukan pengaksepan atas perintah transfer dana dari nasabah.

3) adanya kewajiban Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabah penerima sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak instruksi Setelmen dana diterima oleh Peserta penerima.

e. Dalam rangka memitigasi risiko penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, di dalam Sistem BI-RTGS menyediakan fasilitas pengelolaan risiko likuiditas dan risiko kredit untuk Peserta Sistem BI-RTGS.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

78

Page 86: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

79

5. Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif berupa (i) teguran tertulis; (ii) kewajiban membayar; dan/atau (iii) penurunan status kepesertaan, apabila Peserta tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam PBI ini.

6. Terdapat beberapa ketentuan dalam PBI ini yang akan diberlakukan pada tahun 2016, yaitu:a. Kewajiban penyampaian laporan berkala oleh

Peserta dan sanksi atas kewajiban penyampaian laporan berkala mulai berlaku untuk periode laporan tahun 2016.

b. Ketentuan mengenai sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran:1) Batas waktu pengiriman instruksi Setelmen

dana oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima;

2) Batas waktu penerusan dana oleh Peserta penerima kepada nasabah penerima; dan

dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.

c. Ketentuan batas paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraa Sistem BI-RTGS mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahan kedua atas PBI Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, yang sebelumnya telah diubah dengan PBI Nomor 15/9/PBI/2013.

2. Perubahan PBI ini dilakukan untuk mengakomodasi penggunaan infrastruktur yang dikembangkan oleh Bank Indonesua dalam rangka mendukung peran Bank Indonesia sebaga agen lelang.

3. Pokok-pokok perubahan dalam PBI ini meliputi:a. Perluasan pihak yang dapat menjadi Sub-Registry

yaitu dengan menambahkan Bank Indonesia sebagai pihak yang dapat menjadi Sub-Registry; dan

b. Perubahan sarana pelaksanaan lelang Surat Berharga Negara yang sebelumnya menggunakan sarana Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) menjadi menggunakan sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

c. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara

7. 17/19/PBI/2015 16-11-2015

Page 87: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang

Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka mengakomodasi upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia serta mendukung efektifitas dan keselarasan pengaturan kebijakan moneter dan sistem pembayaran.

II. Materi Pengaturan

1. Penambahan pengaturan terkait dasar perhitungan pengenaan sanksi kewajiban membayar atas batalnya transaksi Operasi Moneter dilakukan berdasarkan nilai transaksi pada saat first leg.

2. Penambahan pengaturan bahwa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter tidak berlaku untuk transaksi Repo Lending Facility Peserta Operasi Moneter yang berasal dari transaksi Fasilitas Likuiditas Intrahari yang tidak lunas.

3. Perubahan terminologi Pialang Pasar Modal menjadi Perusahaan Efek.

I. Latar Belakang

1. Kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin baik dan laju inflasi yang terkendali memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran moneter.

2. Namun tantangan dari sisi eksternal masih tinggi seiring dengan ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama karena kemungkinan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate) dan keberagaman kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Sentral Eropa, Jepang, dan Tiongkok.

3. Mengingat tantangan eksternal tersebut, maka ruang pelonggaran kebijakan moneter dimanfaatkan melalui penurunan GWM Primer dalam Rupiah yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pembiayaan perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional

8.

9.

17/20/PBI/2015

17/21/PBI/2015

12-11-2015

01-12-2015

80

Page 88: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Materi Pengaturan

1. Penurunan rasio kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah menjadi sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah.

2. Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi tetap sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) berubah menjadi sebesar 6,5% (enam koma lima persen).

3. Penurunan bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah yang mendapat jasa giro menjadi sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. Adapun jasa giro tetap sebesar 2,5% (dua koma lima persen) yang merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate).

Latar Belakang Pengaturan:

- Dalam rangka mencegah peningkatan risiko sistemik dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan menyerap kerugian yang dapat ditimbulkan, diperlukan adanya tambahan modal sebagai penyangga berupa countercyclical buffer;

- Untuk memperjelas pengaturan mengenai countercyclical buffer sebagai salah satu instrumen makroprudensial.

Substansi Pengaturan:

1. Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer mulai 1 Januari 2016.

2. Bank Indonesia menetapkan besaran Countercyclical Buffer dalam kisaran antara 0% sampai dengan 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko bank. Besaran Countercyclical Buffer yang ditetapkan Bank Indonesia

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer

10. 17/22/PBI/2015 23-12-2015

81

Page 89: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

tersebut wajib dibentuk oleh bank bersama dengan pembentukan penyangga modal lainnya yaitu Capital Conservation Buffer dan Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) yang telah diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM).

3. Bank Indonesia dapat menetapkan besaran kisaran Countercyclical Buffer yang berbeda dari kisaran sesuai dengan perkembangan kondisi makroekonomi, sistem keuangan di Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global.

4. Untuk pertama kali, besaran Countercyclical Buffer ditetapkan sebesar 0% mulai 1 Januari 2016.

5. Pembentukan tambahan modal berupa Countercyclical Buffer wajib dipenuhi dengan komponen Modal Inti Utama (Common Equity Tier 1).Khusus bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, pembentukan Countercyclical Buffer wajib dipenuhi dengan komponen pembentukan capital conservation buffer yang berlaku bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank.

6. Bank Indonesia melakukan evaluasi besaran Countercyclical Buffer paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

7. Hasil evaluasi menjadi dasar untuk menetapkan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer, yang dapat berupa:a. Tetap pada besaran Countercyclical Buffer yang

berlaku; ataub. Perlunya penyesuaian besaran Countercyclical

Buffer.8. Pengumuman besaran Countercyclical Buffer

a. Dalam hal berdasarkan evaluasi ditetapkan bahwa besaran Countercyclical Buffer tidak berubah maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (website) Bank Indonesia.

b. Dalam hal berdasarkan evaluasi perlu ditetapkan perubahan Countercyclical Buffer maka Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perubahan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer.

9. Bank Indonesia menetapkan penyesuaian Countercyclical Buffer sebagai berikut:

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

82

Page 90: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

a. Kenaikan besaran Countercyclical Buffer berlaku paling cepat 6 (enam) bulan dan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkan.

b. Penurunan besaran Countercyclical Buffer berlaku sejak ditetapkan.

10.PBI ini berlaku sejak tanggal diundangkan.

1. Latar BelakangDiperlukan penguatan pemantauan atas kegiatan penarikan devisa utang luar negeri dalam rangka meningkatkan pemanfaatan devisa utang luar negeri sebagai sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional.

2. Pokok-pokok Perubahana. Ketentuan terkait kewajiban penerimaan DULN:

1) Penambahan ketentuan dimana nilai setiap penarikan ULN harus sama dengan nilai setiap DULN yang diterima melalui bank devisa dalam negeri. Ketentuan nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama dengan nilai komitmen ULN tetap berlaku.

2) Penambahan ketentuan yang mengharuskan pelapor menginformasikan secara benar penerimaan DULN-nya ke bank devisa dalam negeri.

3) Memperjelas cakupan ULN yang termasuk dalam kewajiban penerimaan DULN.

b. Ketentuan terkait sanksi:1) Penambahan sanksi administratif berupa

teguran tertulis dan/atau pemberitahuan kepada kreditur/instansi berwenang.

2) Sanksi terkait ketentuan nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama dengan nilai komitmen ULN dihapuskan, yang digantikan dengan sanksi terkait ketentuan nilai setiappenarikan ULN harus sama dengan nilai setiap DULN yang diterima melalui bank devisa dalam negeri.

3) Penambahan ketentuan pembebasan sanksi denda jika pelapor dapat membuktikan DULN telah diterima melalui bank devisa dalam negeri dalam batas waktu yang ditentukan Bank Indonesia.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri

11. 17/23/PBI/2015 02-01-2016

83

Page 91: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

4) Dihapuskannya sanksi keterlambatan bagi pelapor DULN yang terlambat menyampaikan dokumen pendukung berupa bukti penarikan DULN.

5) Ketentuan terkait sanksi mulai berlaku untuk penarikan ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 Maret 2016.

c. Penambahan ketentuan yang memungkinkan BI mengambil kebijakan tertentu jika terjadi permasalahan dalam penerapan kewajiban penerimaan DHE dan DULN yang berdampak strategis.

d. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini tetap mengacu pada PBI No.16/10/PBI/2014 sampai dengan berakhirnya perjanjian ULN dimaksud, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah berlakunya PBI ini.

Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2016.

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan PBI yang mencabut PBI Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern yang telah mengalami empat kali perubahan pada tahun 2001, 2004, 2005 dan 2009. Perubahan PBI dimaksud sebagai berikut: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000

tanggal 17 November 2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 tanggal 20 Juni 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000;

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/16/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

Rekening Giro di Bank Indonesia

12. 17/24/PBI/2015 30-12-2015

84

Page 92: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/48/PBI/2005 tanggal 16 November 2005 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;

e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/32/PBI/2009 tanggal 30 September 2009 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern.

2. PBI ini diterbitkan untuk mengakomodir beberapa pengaturan yang belum diatur dalam PBI sebelumnya (PBI Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern) dan untuk merumuskan kembali pengaturan mengenai rekening giro sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.

3. Pokok-pokok dalam PBI ini meliputi:1) ketentuan Umum; 2) kepemilikan rekening giro; 3) hubungan hukum 4) kewajiban dan tanggung jawab pemilik rekening giro; 5) fasilitas rekening giro; 6) sarana penyetoran dan penarikan; 7) pembukaan rekening giro; 8) penyetoran ke rekening giro; 9) penarikan rekening giro; 10) perubahan terkait rekening giro; 11) pembatasan kegiatan terkait rekening giro; 12) penutupan rekening giro; 13) laporan; 14) biaya; 15) keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat; 16) lain-lain; 17) sanksi; dan 18) ketentuan penutup.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku

85

Page 93: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Page 94: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

87

DAFTAR SURAT EDARAN BANK INDONESIA BESERTA RINGKASAN

PERIODE JULI - DESEMBER 2015

Substansi Pengaturan:

I. Pokok-pokok pengaturan terdiri dari:a. Penyusunan rencana pemberian Kredit

atau Pembiayaan UMKMb. Pencapaian rasio dan kualitas Kredit atau

Pembiayaan UMKM.c. Insentif dalam rangka mendorong

penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM.

d. Tata cara penilaian pemberian penghargaan dalam rangka pemberian insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM

e. Pelatihan kepada pelaku UMKM oleh bank Umum syariah

f. Penyampaian laporan.g. Tata cara pengenaan sanksi.

II. Penyusunan rencana pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM.Bank Umum menyusun rencana pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM dengan memperhatikan tahapan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan yang telah ditetapkan, sebagai berikut:a. Tahun 2015, paling rendah 5% (lima

persen); b. Tahun 2016: paling rendah 10% (sepuluh

persen); c. Tahun 2017: paling rendah 15% (lima

belas persen); dan d. Sejak tahun 2018 : paling rendah 20%

(dua puluh persen).

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

1. 17/19/DPUM 08-07-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPUM

Page 95: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

88

III.Pencapaian rasio dan kualitas Kredit UMKM Digunakan dalam Perhitungan Giro Wajib Minimum Loan to Funding Ratio (GWM LFR)Pencapaian rasio pemberian Kredit UMKM yang disertai kualitas kredit yang terjaga oleh Bank Umum konvensional dapat menjadi faktor untuk memperoleh kelonggaran batas atas loan to funding ratio target atau pengurangan jasa giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing bagi Bank Umum konvensional.

IV. Insentif dalam rangka mendorong penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKMInsentif diberikan kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM dalam bentuk pelatihan untuk Pejabat Kredit/Account Officer, pelatihan kepada Pendamping/Pembina Usaha Mikro dan Usaha Kecil (UMK), fasilitasi Pemanfaatan Pemeringkatan Kredit (Credit Rating) untuk Usaha Kecil dan Usaha Menengah (UKM), serta publikasi dan pemberian penghargaan (award).

V. Tata cara penilaian pemberian penghargaan dalam rangka pemberian insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan kredit atau pembiayaan UMKMBank Indonesia memberikan penghargaan kepada Bank Umum yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Memiliki pencapaian rasio Kredit atau

Pembiayaan UMKM sesuai dengan tahapan yang ditetapkan;

b. Memiliki rasio NPL/NPF total Kredit atau Pembiayaan kurang dari 5% (lima persen);

c. Memiliki rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM kurang dari 5% (lima persen); dan

d. Memenuhi tema dan kriteria yang ditetapkan.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

Page 96: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Untuk proses penilaian pemberian penghargaan dalam rangka pemberian insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan kredit atau pembiayaan UMKM, Bank Indonesia dapat membentuk tim penilai, atau bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai pendukung penilaian.

Proses penilaian dilakukan sebagai berikut:a. Penetapan tema dan periode penilaian

oleh Bank Indonesia;b. Pengumuman tema dan periode penilaian

oleh Bank Indonesia;c. Pembentukan tim penilai atau penunjukan

pihak ketiga sebagai pendukung penilaian;d. Proses penilaian oleh Bank Indonesia atau

tim penilai; dane. Penetapan dan pengumuman pemenang

oleh Bank Indonesia.

VI.Pelatihan kepada pelaku UMKM oleh Bank Umum syariahBank Umum Syariah yang tidak mencapai realisasi Pembiayaan UMKM sesuai rasio yang ditetapkan wajib menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku UMKM. Jumlah dana yang dialokasikan dalam rangka pelatihan paling sedikit 2% (dua persen) dari selisih antara kewajiban pencapaian rasio Pembiayaan UMKM dengan realisasi pencapaian rasio Pembiayaan UMKM pada setiap akhir tahun berjalan, dengan jumlah paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Penyelenggaraan pelatihan kepada UMKM dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 September tahun berikutnya. Topik pelatihan yang dapat diselenggarakan oleh Bank Umum syariah antara lain mengenai aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek produksi, dan aspek kelembagaan, dengan metode pelatihan dalam bentuk klasikal, magang, studi banding, promosi, atau pendampingan.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

89

Page 97: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

VII.Penyampaian laporanBank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline melalui sarana elektronik berupa email (secured email) setiap triwulan untuk posisi Maret, Juni, September, dan Desember dan diterima Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya triwulan bersangkutan. Penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline dilakukan sampai dengan tersedianya sistem pelaporan secara online. Adapun penyampaian laporan dimaksud, diatur sebagai berikut:a. Pelaporan realisasi pemberian Kredit atau

Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline dinyatakan terlambat apabila laporan diterima Bank Indonesia setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah batas waktu tersebut:

b. Dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing belum diterima Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan.

c. Dalam hal penyampaian laporan melalui email tidak dapat dilakukan, Bank Umum menyampaikan laporan dalam bentuk hardcopy dan softcopy (compact disc/USB).

d. Bank Umum menyampaikan secara tertulis data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerjasama pola executing paling lambat tanggal 15 Juli 2015.

e. Bank Umum melakukan pengkinian terhadap perubahan data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

90

Page 98: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

f. Laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagai berikut:1) Posisi akhir bulan Maret digunakan

untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Mei, Juni, dan Juli.

2) Posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Agustus, September, dan Oktober.

3) Posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan November, Desember, dan Januari.

4) Posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Februari, Maret, dan April.

5) Untuk pertama kali penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline dilakukan untuk posisi Juni 2015, yang selambat-lambatnya disampaikan tanggal 31 Juli 2015.

g. Kewajiban penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline berakhir setelah adanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.

VIII.Tata cara pengenaan sanksiTata cara pengenaan sanksi dilakukan sebagai berikut:a. Informasi mengenai pengenaan sanksi

disampaikan kepada Bank Umum yang bersangkutan dengan tembusan kepada otoritas pengawas bank.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

91

Page 99: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

b. Apabila penerimaan laporan secara offline dari Bank Umum melampaui batas waktu keterlambatan, maka Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan yang pengenaannya tidak diakumulasikan dengan sanksi kewajiban membayar karena keterlambatan pelaporan.

c. Pengenaan sanksi kewajiban membayar oleh Bank Umum dilakukan dengan cara pendebetan rekening giro Bank Umum yang ada di Bank Indonesia.

I. Latar Belakang dan Tujuan

Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Dalam merespons tantangan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.

II. Materi Pengaturan

Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

2. 17/20/DPM 28-08-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

92

Page 100: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang dan Tujuan

Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Dalam merespons tantangan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.

II. Materi Pengaturan

Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini merupakan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No.15/46/DPSP tanggal 20 November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara.

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP tanggal 20 November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

3.

4.

17/21/DPM

17/22/DPSP

28-08-2015

31-08-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

DPSP

93

Page 101: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Perubahan dalam SEBI ini dilakukan terkait penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.118/PMK.08/2015 tentang Penjualan Surat Utang Negara dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik dengan cara Private Placement, yang mencabut PMK No.192/PMK.08/2O13 tentang Penjualan Surat Utang Negara Dengan Cara Private Placement Di Pasar Perdana Domestik.

3. Dalam PMK No.118/PMK.08/2015, penjualan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing dapat dilakukan secara private placement, sehingga dalam rangka penatausahaan SUN dalam valuta asing perlu diatur mengenai mekanisme pelaksanaan setelmen hasil penjualan SUN dalam valuta asing dengan cara private placement.

4. SEBI ini mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan setelmen hasil penjualan SUN dalam valuta asing secara private placement, sebagai berikut: a. Peserta Transaksi atau Bank Pembayar

dapat melakukan penyediaan dana dengan melakukan penyetoran dana dalam denominasi Dollar Amerika Serikat (USD) ke rekening giro di bank koresponden Bank Indonesia di New York (Federal Reserve Bank of New York) paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal setelmen SUN dalam valuta asing.

b. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Peserta Transaksi dan/atau Bank Pembayar serta mengkredit Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen.

c. Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta Transaksi dan/atau Sub-Registry sebesar total nilai nominal SUN dalam valuta asing.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

94

Page 102: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang dan Tujuan

Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Dalam merespons tantangan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.

II. Materi Pengaturan

1. Penegasan terkait threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. Sedangkan untuk threshold pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi derivatif tidak berubah yaitu sebesar USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.

2. Threshold transaksi valas terhadap Rupiah diberlakukan secara terpisah berdasarkan jenis transaksi, yaitu spot atau derivatif.

Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

5. 17/23/DPM 30-09-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

95

Page 103: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang dan Tujuan

a. Penyelarasan dengan ketentuan Kewajiban Penggunaan Rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (PBI 17/3/PBI/2015 dan SE No. 17/11/DKSP).

b. Mengakomodasi praktik kegiatan usaha yang umum terkait kegiatan project financing dan struktur kepemilikan usaha.

II. Pokok-pokok Perubahan

a. Penambahan pengaturan pelaporan terkait Piutang Usaha, dimana untuk Piutang Usaha kepada Penduduk yang kontrak atau perjanjiannya ditandatangani sejak tanggal 1 Juli 2015 dapat diakui sebagai Aset Valuta Asing sepanjang:1) Berkaitan dengan proyek infrastruktur

strategis dan mendapatkan surat persetujuan Bank Indonesia; atau

2) Transaksi yang mendasarinya diperkenankan dilakukan dalam Valuta Asing sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Penambahan pengaturan pelaporan terkait Kewajiban Valuta Asing:1) Kewajiban Valuta Asing yang sedang

dalam proses rollover, revolving, atau refinancing dapat tidak diperhitungkan sebagai Kewajiban Valuta Asing sepanjang transaksi yang mendasarinya sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

2) Kewajiban Valuta Asing dalam rangka project financing yang akan jatuh waktu sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan dapat tidak diperhitungkan sebagai Kewajiban Valuta Asing selama telah dibiayai oleh penarikan ULN

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/3/DSta tanggal 6 Maret 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank

6. 17/24/DSta 30-12-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DSta

96

Page 104: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

dalam Valuta Asing dan transaksi yangmendasarinya sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c. Penyesuaian klasifikasi Kewajiban Valuta Asing untuk utang sewa pembiayaan (financial lease) dari kelompok kewajiban valuta asing lainnya menjadi pinjaman (loan agreement).

d. Penyesuaian pengaturan pelaporan informasi Peringkat Utang untuk korporasi joint venture yang baru berdiri, dimana pemenuhan Peringkat Utang dapat menggunakan Peringkat Utang pemegang saham terbesar yang memiliki hubungan kepemilikan langsung (direct shareholders).

e. Penyesuaian pedoman pelaporan sesuai perubahan yang disebutkan pada poin a s.d. d di atas.

f. Penyesuaian Prosedur Atestasi terhadap Laporan KPPK sesuai perubahan yang disebutkan pada poin a s.d. c di atas.

Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12 Oktober 2015.

I. Latar Belakang Pengaturan:

SEBI ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa perlu diatur ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5706) dalam bentuk SEBI.

II. Substansi Pengaturan:

1. Pokok-pokok pengaturan SE mengenai LTV/FTV dan Uang Muka meliputi beberapa hal berikut:

Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor

7. 17/25/DKMP 12-10-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DKMP

97

Page 105: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

98

a. Besaran rasio LTV untuk Kredit Properti (KP) dan rasio FTV untuk Kredit Properti (KP) Syariah sebagaimana tabel berikut:

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

I

Tipe Properti(m2) II III

Rumah Tapak

Tipe > 70 80% 70% 60%

Tipe 22 - 70 - 80% 70%

Tipe ² 21 - - -

Rumah Susun

Tipe > 70 80% 70% 60%

Tipe 22 - 70 90% 80% 70%

Tipe ² 21 - 80% 70%

Ruko/Rukan - 80% 70%

KP & KP Syariah

Kredit Properti & Kredit Properti Syariah Akad Murabahah & Istishna

I

Tipe Properti(m2) II III

Rumah Tapak

Tipe > 70 85% 75% 65%

Tipe 22 - 70 - 80% 70%

Tipe ² 21 - - -

Rumah Susun

Tipe > 70 85% 75% 65%

Tipe 22 - 70 90% 80% 70%

Tipe ² 21 - 80% 70%

Ruko/Rukan - 80% 70%

KP & KP Syariah

Kredit Properti Syariah Akad MMQ & IMBT

Page 106: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

99

b. Besaran uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor (KKB dan KKB Syariah) sebagaimana tabel berikut:

2. Persyaratan penerapan rasio LTV/FTV yang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sebagai berikut:• Bank harus memiliki rasio

kredit/pembiayaan bermasalah terhadap total kredit/pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5%;

• Bank harus memiliki rasio kredit/pembiayaan properti terhadap total kredit/pembiayaan properti secara bruto (gross) kurang 5%; dan

• Bank harus memiliki rasio kredit/pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah terhadap total kredit/pembiayaan bermotor secara bruto (gross) kurang dari 5%.

3. Apabila Bank tidak dapat memenuhi persyaratan rasio kredit/pembiayaan bermasalah, maka rasio LTV/FTV dan uang muka menjadi sebagai berikut:

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

KonvensionalJenis Kendaraan

Syariah

Roda 2 20% 20%

Roda 3 atau lebih non produktif 25% 25%

Roda 3 atau lebih produktif 20% 20%

Bank

Page 107: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

100

Sementara, besaran uang muka untuk kredit/pembiayaan bermotor menjadi sebagai berikut:

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

I

Tipe Properti(m2) II III

Rumah Tapak

Tipe > 70 70% 60% 50%

Tipe 22 - 70 - 70% 60%

Tipe ² 21 - - -

Rumah Susun

Tipe > 70 70% 60% 50%

Tipe 22 - 70 80% 70% 60%

Tipe ² 21 - 70% 60%

Ruko/Rukan - 70% 60%

KP & KP Syariah

Kredit Properti & Kredit Properti Syariah Akad Murabahah & Istishna

I

Tipe Properti(m2) II III

Rumah Tapak

Tipe > 70 80% 75% 60%

Tipe 22 - 70 - 80% 70%

Tipe ² 21 - - -

Rumah Susun

Tipe > 70 80% 75% 60%

Tipe 22 - 70 90% 80% 70%

Tipe ² 21 - 80% 70%

Ruko/Rukan - 80% 70%

KP & KP Syariah

Kredit Properti Syariah Akad MMQ & IMBT

KonvensionalJenis Kendaraan

Syariah

Roda 2 25% 25%

Roda 3 atau lebih non produktif 30% 30%

Roda 3 atau lebih produktif 20% 20%

Bank

Page 108: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

4. Tata cara penilaian agunan a. Tata cara penilaian agunan ditetapkan

sebagai berikut:1) Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk

1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan

2) Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen.

b.Proyek yang sama adalah properti yang berada pada area yang sama dan dibangun oleh pengembang yang sama, yaitu Rumah Tapak, Rumah Susun, Rumah Kantor atau Rumah Toko, dihitung untuk masing-masing unit.

5. Dalam hal Bank akan memberikan KP atau KP Syariah dengan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh maka terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian.

6. Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

101

Page 109: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

7. Dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan adalah dana yang ditahan di Bank atas nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti.

8. Laporan Perkembangan Pembangunan Properti a. Dalam hal Bank memberikan KP atau KP

Syariah dengan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh maka pencairan KP atau KP Syariah dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai.

b.Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan Properti yang berasal dari: 1)Pengembang, apabila Kredit atau

Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau

2)Penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

9. Perhitungan Rasio Kredit Bermasalah (NPL) atau Rasio Pembiayaan Bermasalah (NPF) dan Rasio Kredit Properti Bermasalah (NPL KP) atau Rasio Pembiayaan Properti Syariah Bermasalah (NPF KPS)

10.Mengingat LBU dan LSMK belum dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung rasio KP bermasalah dan rasio KP Syariah bermasalah, Bank menyampaikan laporan offline mengenai KP/KP Syariah kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

102

Page 110: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

11.Bank yang melanggar ketentuan mengenai besaran Rasio LTV atau Rasio FTV dan Uang Muka KKB atau KKB Syariah, pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka, pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Properti yang dibiayai belum tersedia secara utuh dan tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action plan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

I. Latar Belakang

Perubahan atas SEBI No.15/5/DSM dilatarbelakangi oleh penyesuaian terhadap aplikasi pelaporan LLD-LBB yang telah diselesaikan tahun 2014. Penyesuaian ini bersifat teknis dan tidak merubah cakupan laporan/informasi yang disampaikan. Inti perubahan aplikasi ini adalah adanya notifikasi pada aplikasi yang memberikan informasi keterkaitan antara data yang disampaikan dalam satu form dengan data di form lainnya.

2. Pokok-pokok Perubahan

a. Ditambahkannya aturan mengenai keterkaitan antar form pelaporan di pedoman pelaporan kegiatan lalu lintas devisa selain utang luar negeri dalam lampiran V, seperti keterkaitan antara form C0002 (Transaksi Perdagangan Barang dan Jasa, serta Transaksi Internasional Lainnya) dengan form C0005-C0006 (Piutang Usaha), serta antara form C0002 (Transaksi Perdagangan Barang dan Jasa, serta Transaksi Internasional Lainnya) dengan form C0021-C0022 (Ekuitas).

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

8. 17/26/DSta Sejak periode laporan bulan Mei 2016 yang disampaikan bulan Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DSta

103

Page 111: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

b. Ditambahkannya tata cara pelaporan bagi pelapor baru dimana pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan harus menyampaikan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III dan melengkapi data profil Pelapor LLD sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV.

c. Ditambahkannya Cakupan Umum profil pelapor dalam batang tubuh SE. Hal ini selaras dengan detil penjelasan yang ada di pedoman pelaporan kegiatan lalu lintas devisa selain utang luar negeri dalam Lampiran V dimana profil pelapor dijelaskan secara rinci sebelum penjelasan mengenai jenis laporan.

d. Penyesuaian deskripsi sandi transaksi di pedoman pelaporan kegiatan lalu lintas devisa selain utang luar negeri dalam Lampiran V sehingga sejalan dengan deskripsi sandi tujuan transaksi dalam pelaporan lalu lintas devisa bank.

e. Penyesuaian alamat laporan dan koreksinya secara offline serta nomor telepon helpdesk sesuai dengan struktur organisasi BI yang berlaku saat ini.

Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak periode laporan bulan Mei 2016 yang disampaikan pada bulan Juni 2016.

I. Latar Belakang dan Tujuan

Dalam rangka memberikan pengaturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia No.17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia tentang Instrumen PUAS berupa Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA). Surat Edaran ini memberikan informasi antara lain mengenai karakteristik serta mekanisme penerbitan dan penyelesaian transaksi SIMA.

Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank

9. 17/27/DKMP 20-10-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DKMP

104

Page 112: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Materi Pengaturan

1. Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang membutuhkan likuiditas dapat menerbitkan Instrumen PUAS berupa SIMA kepada peserta PUAS (Bank Umum Konvensional/BUK, BUS atau UUS lainnya).

2. SIMA diterbitkan dalam rupiah maupun valuta asing menggunakan Akad Mudharabah yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight) sampai 1 (satu) tahun, dengan nominal maksimal sebesar nilai aset yang menjadi dasar penerbitannya (aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap maupun aset yang memiliki imbal hasil tetap).

3. SIMA diterbitkan tanpa warkat dan tidak dapat dialihkan sebelum jatuh waktu.

4. BUS atau UUS yang menerbitkan SIMA menginformasikan nilai nominal, jangka waktu investasi, nisbah bagi hasil, jenis aset yang menjadi dasar penerbitan SIMA, indikasi imbal hasil, dan waktu pembayaran imbal hasil kepada peserta PUAS yang membeli SIMA.

5. Penyelesaian transaksi SIMA baik pada saat pembelian SIMA, pembayaran kembali nominal SIMA, dan pembayaran imbal hasil SIMA dilakukan melalui transfer dana.

6. Transaksi SIMA dapat dilakukan secara langsung atau melalui Perusahaan Pialang Pasar Uang.

7. Transaksi SIMA wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

105

Page 113: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang dan Tujuan

Dalam rangka memberikan pengaturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia No.17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia tentang Instrumen PUAS berupa Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank (SiKA). Surat Edaran ini memberikan informasi antara lain mengenai karakteristik serta mekanisme penerbitan dan penyelesaian transaksi SiKA.

II. Materi Pengaturan

1. Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang membutuhkan likuiditas dapat menerbitkan Instrumen PUAS berupa SiKA kepada peserta PUAS (Bank Umum Konvensional/BUK, BUS atau UUS lainnya).

2. SiKA diterbitkan atas dasar transaksi jual beli kepemilikan komoditi menggunakan akad Murabahah yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight) sampai 1 (satu) tahun, dengan nominal maksimal sebesar nilai perdagangan komoditi yang menjadi dasar penerbitannya yang dibuktikan dengan Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT).

3. SiKA diterbitkan dalam rupiah, tanpa warkat, tidak dapat dialihkan sebelum jatuh waktu, dan didasarkan pada komoditi yang halal dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

4. Komoditi dalam hal ini adalah komoditi selain indeks dan valuta asing yang telah dipastikan ketersediaannya untuk ditransaksikan di Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange).

5. BUS atau UUS yang menerbitkan SiKA menginformasikan nilai nominal perdagangan komoditi sesuai SPAKT, marjin, dan jangka waktu pembayaran.

Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank

10. 17/28/DKMP 20-10-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DKMP

106

Page 114: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

6. Penyelesaian transaksi SiKA dilakukan melalui transfer dana.

7. Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung atau melalui Perusahaan Pialang.

8. Transaksi SiKA wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.

III.Latar Belakang dan Tujuan

1. Penyempurnaan aturan Minimum Holding Period (MHP) Sertifikat Bank Indonesia (SBI)Di tengah kondisi berkurangnya supply valuta asing di domestik, perlu diberikan tambahan insentif penanaman modal guna meningkatkan minat non-residen untuk menanamkan modal asing di Indonesia yang pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai MHP SBI dalam rangka mengelola aliran masuk modal asing

2. Pengaturan terkait Transaksi Forward dengan Metode LelangPeningkatan permintaan transaksi valuta asing di pasar forward di tengah kondisi supply forward yang terbatas telah memberikan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar Rupiah di pasar spot. Dalam rangka menyeimbangkan supply dan demand di pasar forward, maka perlu dilakukan pengaturan terkait transaksi forward yang dilakukan dengan metode lelang untuk mendukung upaya mengelola persepsi pelaku pasar terhadap pergerakan nilai tukar ke depan.

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka

11. 17/29/DPM 26-10-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

107

Page 115: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

IV.Materi Pengaturan

1. Menurunkan MHP SBI dari yang semula 1 bulan (28 hari) menjadi 1 minggu (7 hari).

2. Pengaturan terkait MHP SBI 1 minggu meliputi:a. Pemilik SBI dilarang mentransaksikan

SBI yang dimiliki dengan pihak lain dalam jangka waktu 1 minggu, yaitu 7 hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian.

b. Pelarangan transaksi SBI selama periode MHP berlaku antara lain untuk transaksi repo, transaksi outright, hibah, dan pengagunan, kecuali transaksi tersebut dilakukan dengan Bank Indonesia.

c. Untuk transaksi SBI yang memiliki second leg, berlaku ketentuan sebagai berikut:1) Untuk transaksi tanpa perpindahan

kepemilikan misalnya transaksi repo collateralized borrowing, pengagunan (pledge) dan securities lending and borrowing, pemilik SBI dapat langsung mentransaksikan kembali SBI tersebut setelah jatuh waktu second leg.

2) Untuk transaksi dengan perpindahan kepemilikan misalnya transaksi repo sell and buyback, diatur:a. Dalam hal second leg transaksi

repo sell and buyback berhasil dilakukan, SBI dapat ditransaksikan kembali oleh penjual repo 1 minggu atau 7 hari kalender sejak tanggal setelmen second leg.

b. Dalam hal second leg transaksi repo sell and buyback tidak berhasil dilakukan, SBI dapat ditransaksikan kembali oleh pembeli repo 1 minggu atau 7 hari kalender sejak tanggal setelmen first leg.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

108

Page 116: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

d. Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Surat Edaran ini yang merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum Surat Edaran ini berlaku, tunduk pada ketentuan mengenai MHP SBI selama 1 bulan atau 28 hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian sampai dengan transaksi tersebut jatuh waktu sebagaimana diatur pada Surat Edaran BI No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka.

9. Transaksi Forward dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

10.Karakteristik Transaksi Forward adalah:a. Menggunakan valuta asing Dolar

Amerika Serikat;b. Waktu penyerahan dana (tenor)

dilakukan lebih dari 2 hari kerja dan paling lama 12 bulan yang dinyatakan dalam hari, dihitung 1 hari setelah tanggal transaksi sampai dengan tanggal setelmen.

c. Kurs spot yang digunakan adalah JISDOR.

11.Transaksi Forward dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana dealing system dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender)

12.Transaksi Forward dapat dilakukan pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia dengan window time antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB yang diumumkan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lainnya.

13.Transaksi Forward dapat diajukan paling banyak 2 kali untuk masing-masing tenor yang ditawarkan dan dapat diajukan secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara dengan pengajuan penawaran paling sedikit sebesar USD 1 juta dan selebihnya dengan kelipatan USD 1 juta.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

109

Page 117: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

14.Koreksi atas pengajuan penawaran Transaksi Forward hanya dapat dilakukan sebanyak 1 kali dalam window time transaksi. Informasi nama Peserta OPT dan tenor Transaksi Forward tidak dapat dilakukan koreksi.

15.Peserta OPT dan Lembaga Perantara dilarang membatalkan penawaran yang telah diajukan kepada Bank Indonesia.

16.Bank Indonesia dapat menolak penawaran Transaksi Forward apabila Peserta OPT tidak memiliki counterparty limit yang cukup.

17.Bank Indonesia dapat menetapkan bahwa tidak ada pemenang lelang Transaksi Forward.

18.Pengumuman hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lainnya.

19.Peserta OPT dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Operasi Moneter apabila Peserta OPT terlambat menyelesaikan kewajiban setelmen Transaksi Forward.

20.Setelmen Transaksi Forward dilakukan pada hari kerja berikutnya apabila pada tanggal setelmen Transaksi Forward ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah.

I. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) agar lebih aman dan efisien, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas penyelenggaraan Sistem BI-RTGS yang telah digunakan sejak tahun 2000. Penyempurnaan Sistem BI-RTGS dilakukan antara lain dalam rangka:a. Meningkatkan pengelolaan likuiditas bagi

Peserta agar lebih efisien;b. Menyediakan layanan Setelmen Dana atas

transaksi dalam valuta asing;

Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement

12. 17/30/DPSP 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPSP

110

Page 118: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

c. Adanya kebutuhan untuk standardisasi agar dapat terhubung dengan infrastruktur lain di pasar/sistem keuangan domestik maupun cross-border.

Dengan adanya penyempurnaan tersebut, Bank Indonesia mengatur kembali ketentuan penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dengan menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.17/30/DPSP perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (SEBI Sistem BI-RTGS) yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.

II. Materi Pengaturan

1. Materi yang diatur dalam SEBI Sistem BI-RTGS mencakup kepesertaan, operasional Sistem BI-RTGS, biaya, penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, pemantauan kepatuhan Peserta, dan sanksi.

2. Pokok-pokok penyempurnaan ketentuan yang ditur dalam SEBI Sistem BI-RTGS ini, antara lain sebagai berikut:a. Penambahan fasilitas manajemen

likuiditas dalam rangka meningkatkan efisiensi dalam penggunaan likuiditas Peserta.

b. Pelaksanaan setelmen dalam valuta asing antara lain dalam rangka mengakomodir penyelesaian transaksi surat berharga dalam valuta asing.

c. Penetapan standardisasi platform dengan mengacu standar yang berlaku secara internasional, untuk mempersiapkan standardisasi agar dapat terhubung dengan infrastruktur lain di pasar/sistem keuangan domestik maupun cross-border.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

111

Page 119: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

d. Penambahan kewajiban Peserta dalam penyediaan jaringan komunikasi data dari back-up site ke Bank Indonesia dan penambahan lokasi guest bank oleh Penyelenggara sebagai sarana back-up bagi Peserta, sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.

e. Penetapan batas maksimal biaya transfer dana melalui Sistem BI-RTGS yang dapat dibebankan kepada nasabah, dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap nasabah pengguna Sistem BI-RTGS.

3. Dengan diberlakukannya SE Sistem BI-RTGS ini maka:a. Surat Edaran Bank Indonesia

No.10/9/DASP tanggal 5 Maret 2008 perihal Prinsip-prinsip Penyelenggaraan dan Pengawasan Sistem BI-RTGS;

b. Surat Edaran Bank Indonesia No.12/1/DASP tanggal 21 Januari 2010 perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement sebagaimana diubah dengan SEBI No.16/18/DPSP tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/1/DASP Tanggal 21 Januari 2010 perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; dan

c. Surat Edaran Bank Indonesia No.10/12/DASP tanggal 5 Maret 2008 perihal Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Dalam Rangka Penerapan Treasury Single Account, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

4. SEBI Sistem BI-RTGS ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

112

Page 120: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) agar lebih aman dan efisien, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas penyelenggaraan BI-SSSS yang telah digunakan sejak 2004. Penyempurnaan BI-SSSS antara lain dalam rangka:a. Mengakomodasi kebutuhan Peserta dalam

mengelola likuiditas dalam rangka efisiensi likuiditas.

b. Mengakomodasi kebutuhan penatausahaan dan setelmen atas transaksi Surat Berharga dalam valuta asing;

c. Mengakomodasi kebutuhan penambahan mekanisme setelmen transaksi melalui BI-SSSS;

d. Mengakomodasi kebutuhan Peserta dalam mengelola Surat Berharga yang dijadikan sebagai jaminan (collateral management);

e. Mengakomodasi dinamika di pasar/sistem keuangan global/domestik termasuk perubahan kebijakan dari BI dan Pemerintah;

f. Mengakomodasi kebutuhan untuk terhubung dengan infrastruktur lain di pasar/sistem keuangan baik domestik maupun cross-border; dan

g. Meningkatkan penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.

Dengan adanya penyempurnaan tersebut, Bank Indonesia mengatur kembali ketentuan penyelenggaraan BI-SSSS dengan menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.17/ /DPSP perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (SEBI BI-SSSS) yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 17/ /PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.

Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.

13. 17/31/DPSP 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPSP

113

Page 121: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Materi Pengaturan

1. Materi yang diatur dalam SEBI BI-SSSS mencakup kepesertaan, operasional BI-SSSS, biaya, penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, pemantauan kepatuhan Peserta, dan sanksi.

2. Pokok-pokok penyempurnaan ketentuan yang diatur dalam SEBI BI-SSSS ini, antara lain sebagai berikut:a. Pelaksanaan setelmen transaksi melalui

BI-SSSS dilakukan berdasarkan tingkat prioritas dalam rangka efisiensi likuiditas.

b. Pelaksanaan penatausahaan dan setelmen transaksi Surat Berharga dalam valuta asing antara lain dalam rangka mengakomodasi penyelesaian transaksi Surat Berharga dalam valuta asing.

c. Penambahan mekanisme setelmen transaksi melalui BI-SSSS secara Delivery versus Delivery.

d. Penambahan fasilitas collateral management bagi Peserta.

e. Penambahan jenis transaksi yang pelaksanaan setelmennya melalui BI-SSSS dalam rangka mengakomodir perkembangan transaksi di pasar/sistem keuangan.

f. Penetapan standardisasi dengan mengacu standar yang berlaku secara internasional, untuk mempersiapkan keterhubungan baik domestik maupun cross-border.

g. Penambahan kewajiban Peserta dalam penyediaan jaringan komunikasi data dari back-up site ke Bank Indonesia dan penambahan lokasi guest bank sebagai sarana back-up bagi Peserta, sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

114

Page 122: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

3. Dengan diberlakukannya SEBI BI-SSSS ini maka:a. SEBI No.12/28/DASP tanggal 10

November 2008 perihal Penyelenggaraan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; dan

b. SEBI No.13/32/DASP tanggal 23 Desember 2011 perihal Perizinan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

4. SEBI BI-SSSS ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015.

I. Latar Belakang

Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari PBI No.17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No.10/13/PBI/2008 Tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, serta dalam rangka mengakomodasi kebutuhan bisnis dalam implementasi Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia-Scripless Securites Settlement System (BI-SSSS) serta Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP).

II. Materi Pengaturan

1. Penyederhanaan ketentuan dengan menggabungkan materi 2 (dua) ketentuan terkait lelang dan penatausahaan Surat Berharga Negara (SBN) yaitu;a. SEBI No.15/46/DPSP tanggal 20

November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan SEBI No.17/22/DPSP tanggal 31 Agustus 2015; dan

Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara

14. 17/32/DPSP 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPSP

115

Page 123: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/14/DASP tanggal 18 April 2012 perihal Tata Cara Penerbitan dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara,

ke dalam satu SEBI perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara.

2. Penyesuaian materi pengaturan antara lain sebagai berikut:a. Menyempurnakan beberapa definisi;b. Menambahkan mekanisme

penatausahaan SUN Valas pada BI-SSSS;

c. Mengakomodasi penggunaan infrastruktur yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk pelaksanaan lelang dan transaksi SBN dalam Rupiah dan transaksi operasi moneter di Bank Indonesia yang semula menggunakan BI-SSSS menjadi menggunakan Sistem BI-ETP; dan

d. Mengakomodasi perubahan nomenklatur organisasi Kementerian Keuangan.

3. Penataan ulang (re-grouping) pengaturan agar struktur SEBI lebih sistematis.

Pokok-pokok pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah sebagai berikut:1. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya

disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS dan/atau pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.

2. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat mengunakan FLI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari

15. 17/33/DPSP 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPSP

116

Page 124: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

a. Memiliki Surat Berharga berupa:• Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat

Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan/atau Surat Berharga Negara (SBN) dalam mata uang Rupiah, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank Umum; dan

• Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam mata uang Rupiah, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

b. Berstatus aktif sebagai Bank Peserta Sistem BI-RTGS, Peserta BI-SSSS. dan Bank Peserta SKNBI.

3. Pengunaan FLI dilakukan melalui mekanisme transaksi repurchase agreement (repo) dengan menggunakan Surat Berharga milik Bank yang bersangkutan yang tercatat pada BI-SSSS dalam Rekening Surat Berharga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4. Surat Berharga yang direpokan dalam rangka penggunaa FLI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Tidak sedang diagunkan kepada Bank

Indonesia atau pihak lain; b. Memiliki sisa jangka waktu jatuh tempo

(maturity date) sebagai berikut:1) Untuk SBI, SBIS, dan SDBI, memiliki

sisa jangka waktu paling singkat 5 (lima) hari kalender pada saat penggunaan FLI; dan

2) Untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 6 (enam) hari kalender pada saat penggunaan FLI.

5. Pelunasan FLI dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Bank Peserta Sistem BI-RTGS harus

melunasi penggunaan FLI pada hari penggunaan FLI.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

117

Page 125: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

b. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat melakukan pelunasan untuk setiap penggunaan FLI sepanjang jam operasional sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS, yang dilakukan melalui BI-SSSS sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan BI-SSSS.

c. Dalam hal sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS Bank Peserta Sistem BI-RTGS belum melunasi FLI, Bank Indonesia menerbitkan instruksi Setelmen dana dalam rangka pelunasan FLI pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.

6. Bank Indonesia mengenakan biaya atas penggunaan FLI yang dibebankan ke Rekening Setelmen Dana milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS pada hari kerja berikutnya setelah penggunaan FLI.

7. Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang tidak dapat melunasi penggunaan FLI, terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi tersebut diberlakukan sebagai transaksi lending/financing facility dengan Bank Indonesia.

1. Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.17/18/PBI/2015 tanggal 12 November 2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.

2. Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain memuat materi pengaturan sebagai berikut: a. Tata cara pengisian perintah transfer dana. b. Tanggung jawab Peserta pengirim.c. Tanggung jawab Peserta penerima.d. Kewajiban pembayaran jasa, bunga, atau

kompensasi kepada nasabah.e. Pengumuman biaya dan jam layanan

nasabah; danf. Tata cara pengenaan sanksi.

3. Dalam rangka peningkatan perlindungan kepada nasabah pengguna Sistem BI-RTGS, dalam Surat Edaran ini ditetapkan:

Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement

16. 17/34/DPSP 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPSP

118

Page 126: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

a. Batas waktu meneruskan instruksi Setelmen Dana oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima, yaitu sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana; dan

b. Batas waktu meneruskan dana oleh Peserta penerima kepada nasabah penerima, yaitu sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak instruksi Setelmen Dana diterima oleh Peserta penerima.

4. Peserta pengirim/Peserta penerima yang tidak mematuhi ketentuan mengenai batas waktu penerusan perintah transfer dana atau penerusan dana sebagaimana dimaksud pada angka 3, Peserta pengirim/Peserta penerima dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika.

Pokok-pokok pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah sebagai berikut:1. Dalam rangka menjaga kelancaran

penyelesaian transfer dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam masa awal implementasi penyempurnaan Sistem BI-RTGS, terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan 30 Juni 2016 nilai nominal transfer dana antar Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah dibatasi di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana.

2. Penerapan kebijakan batas nilai nominal transfer dana antar Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah tidak akan mengurangi kecepatan layanan transfer dana kepada masyarakat. Hal ini mengingat mulai tanggal 16 November 2015 sampai dengan 30 Juni 2016, nilai nominal transfer dana melalui SKNBI tidak dibatasi. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat menerima dana secara cepat karena setelmen dana dalam layanan

Batas Nilai Nominal Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

17. 17/35/DPSP 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPSP

119

Page 127: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

transfer dana melalui SKNBI dilakukan sebanyak 5 kali per hari yakni pada pukul 09.00 WIB, 11.00 WIB, 13.00 WIB, 15.00 WIB, dan 16.15 WIB.

3. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2016, batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI ditetapkan sebagai berikut:a. Batas nilai nominal transfer dana antar

Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah adalah di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana.

b. Batas nilai nominal transfer dana antar Peserta yang dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana dalam SKNBI dibatasi paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus jura rupiah) per transaksi.

4. Dengan berlakunya SEBI ini maka:a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

7/47/DASP tanggal 13 Oktober 2005 perihal Batasan Nilai Nominal Per Transaksi Antar Bank untuk Kepentingan Nasabah melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement Sehubungan dengan Hari Libur Nasional Tertentu; dan

b. Ketentuan mengenai batas nilai nominal transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana melalui SKNBI sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.5 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/13/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal Oleh Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ringkasan:1. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading

Platform (Sistem BI-ETP) adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Transaksi yang dilakukan secara elektronik.

2. Transaksi melalui Sistem BI-ETP mencakup:a. Transaksi Dengan Bank Indonesia, yaitu

transaksi dilakukan oleh Penyelenggara Sistem BI-ETP secara lelang atau nonlelang dalam rangka kegiatan Operasi Moneter,

Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform

18. 17/36/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

120

Page 128: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

Operasi Moneter Syariah, dan/atau transaksi SBN untuk dan atas nama Pemerintah.

b. Transaksi Pasar Keuangan, yaitu transaksi yang dilakukan oleh Peserta dengan mekanisme bilateral antar-Peserta antara lain:1) Transaksi Surat Berharga yang dilakukan

dalam rangka pasar uang dan/atau transaksi surat berharga di pasar sekunder yang antara lain terdiri dari transaksi Repurchase Agreement (Repo) dengan perpindahan kepemilikan Surat Berharga atau tanpa perpindahan kepemilikan Surat Berharga, transaksi jual beli Surat Berharga secara putus (outright), dan transaksi pinjam meminjam Surat Berharga (transaksi securities lending and borrowing);

2) Transaksi pinjam meminjam tanpa menggunakan surat berharga yang dilakukan dalam rangka pasar uang.

3. Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP, yaitu:a. Bank Indonesia;b. Kementerian Keuangan;c. Lembaga Penjamin Simpanan;d. Bank;e. Perusahaan pialang pasar uang Rupiah

dan valuta asing; f. Perusahaan efek; dang. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank

Indonesia, sepanjang kepesertaan lembaga lain tersebut antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia.

4. Untuk dapat menjadi Peserta, pihak bersangkutan harus memiliki peran sebagai berikut:1. Penerbit Surat Berharga;2. Peserta Operasi Moneter atau peserta

Operasi Moneter Syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan operasi moneter syariah;

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

121

Page 129: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Peserta Operasi Moneter atau peserta Operasi Moneter Syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan operasi moneter syariah;

3. Lembaga perantara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah;

4. Peserta transaksi SBN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar perdana domestik dan penerbitan dan penjualan surat berharga syariah negara di pasar perdana dalam negeri dengan cara lelang;

5. Peserta Transaksi Pasar Keuangan; dan/atau6. Peran lain yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia dan/atau pertimbangan teknis.

5. Prosedur untuk memperoleh persetujuan sebagai Peserta 1. Permohonan menjadi Peserta

Calon Peserta menyampaikan surat permohonan tertulis untuk menjadi Peserta kepada Penyelenggara Sistem BI-ETP.

2. Pemberian persetujuan prinsip Penyelenggara Sistem BI-ETP dapat melakukan pemeriksaan lokasi calon Peserta untuk memastikan kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dan kesiapan infrastruktur Sistem BI-ETP serta memberikan persetujuan prinsip atau penolakan atas permohonan yang diajukan calon Peserta.

3. Pemenuhan persyaratan administrasi Calon Peserta yang telah memperoleh persetujuan prinsip menyampaikan kelengkapan dokumen administrasi.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

122

Page 130: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

4. Persiapan penggunaan Sistem BI-ETP1) Penandatanganan Perjanjian 2) Instalasi Aplikasi dan Pelatihan3) Pengujian Kesiapan Penggunaan

Sistem BI-ETP4) Persetujuan Operasional Sistem BI-ETP5) Dalam hal calon Peserta telah

memenuhi seluruh persyaratan Penyelenggara Sistem BI-ETP memberikan persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta dan tanggal efektif operasional sebagai Peserta melalui surat untuk Peserta yang bersangkutan.

6. Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP bagi Peserta dibedakan menjadi:a. Aktif

Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh kegiatan operasional Sistem BI-ETP sesuai dengan peran Peserta yang bersangkutan.

b. Dibekukan 1) Peserta dengan status dibekukan tidak

dapat mengirimkan perintah Transaksi melalui Sistem BI-ETP.

2) Peserta dengan status dibekukan tetap memperoleh informasi yang terdapat dalam Sistem BI-ETP.

3) Perubahan status menjadi dibekukan antara lain dapat dilakukan sebagai persiapan penutupan kepesertaan Sistem BI-ETP.

c. Ditutup 1) Peserta dengan status ditutup tidak

dapat melakukan seluruh kegiatan operasional Sistem BI-ETP karena telah dihentikan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP.

2) Peserta dengan status ditutup tidak bisa diaktifkan kembali sebagai Peserta.

7. Waktu operasional Sistem BI-ETPa. Penyelenggara Sistem BI-ETP menetapkan

waktu operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP yang mencakup hari operasional dan jam operasional.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

123

Page 131: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

b. Hari operasional Sistem BI-ETP adalah setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh Penyelenggara Sistem BI-ETP.

c. Jam operasional Sistem BI-ETP sebagai berikut:1) Jam buka Sistem BI-ETP pada pukul

06.30 WIB.2) Jam Transaksi:

a) Transaksi Dengan Bank Indonesia mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang antara lain mengatur mengenai operasi moneter, operasi moneter syariah, lelang surat berharga negara di pasar perdana dan penatausahaan surat berharga negara.

b) Transaksi Pasar Keuangan pada pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB, dengan pengaturan sebagai berikut:(1)Transaksi dengan underlying

surat berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS:(a) Dalam hal setelmen

dilakukan pada hari yang sama dengan tanggal transaksi, maka transaksi paling lambat dilakukan sampai dengan pukul 16.30 WIB;

(b)Dalam hal setelmen dilakukan setelah tanggal transaksi, maka transaksi paling lambat dilakukan sampai dengan pukul 17.30 WIB;

(2)Transaksi tanpa underlying surat berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS paling lambat dilakukan sampai dengan pukul 17.30 WIB;

(3) Jam tutup Sistem BI-ETP pada pukul 18.30 WIB atau sama dengan jam tutup BI-SSSS.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

124

Page 132: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

8. Peserta melakukan pengoperasian Sistem BI-ETP berdasarkan kewenangan level user Sistem BI-ETP yang terdiri dari level administrator, operator dan supervisor.

9. Penyelenggara Sistem BI-ETP memberikan 1 (satu) Digital Certificate Hard Token untuk setiap user Digital Certificate Hard Token yang dilengkapi antara lain dengan user name dan personal identification number (PIN). Peserta menggunakan Digital Certificate Hard Token untuk mengakses dan melakukan transaksi melalui Sistem BI-ETP. Masa aktif Digital Certificate Hard Token ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif berlakunya.

10.Penyelenggara Sistem BI-ETP mengenakan biaya terhadap Peserta atas penggunaan Sistem BI-ETP yang meliputi antara lain: a. Biaya Transaksi b. Biaya penggunaan Administrative Message c. Biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank d. Biaya penambahan atau penggantian

Digital Certificate Hard Token.11.Penyelenggara Sistem BI-ETP melakukan

pemantauan kepada Peserta secara berkesinambungan. Pemantauan dapat dilakukan dengan metode pemantauan langsung dan/atau pemantauan tidak langsung.

12.Penyelenggara Sistem BI-ETP dapat mengenakan sanksi terkait Penyelenggaraan Sistem BI-ETP terhadap Peserta berupa sanksi teguran tertulis, sanksi kewajiban membayar, dan sanksi perubahan status kepesertaan.

1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).

2. Operasi Pasar Terbuka (OPT) dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia melalui :- Penerbitan SBI;- Penerbitan SDBI;- Transaksi Repo;

Operasi Pasar Terbuka19. 17/37/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

125

Page 133: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

- Transaksi Reverse Repo;- Transaksi pembelian dan penjualan SBN

secara outright di pasar sekunder;- Transaksi valas terhadap SBN;- Transaksi Term Deposit Rupiah;- Transaksi Term Deposit valas;- Transaksi Swap dengan metode lelang;

dan- Transaksi Forward dengan metode lelang

3. Peserta OPT adalah Bank yang memenuhi persyaratan sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter.

4. SBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan. Lelang SBI dilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia.

5. SDBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan.

6. Bank Indonesia melakukan monitoring, pengawasan tidak langsung, dan/atau pengawasan langsung atas pelaksanaan ketentuan terkait minimum holding period (MHP) SBI oleh Peserta OPT dan Sub-Registry serta terkait larangan memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI yang dimiliki dengan pihak selain Bank. Minimum holding period (MHP) SBI ditetapkan 1 (satu) minggu, yaitu 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian.

7. Transaksi Repo dilakukan dalam rangka injeksi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. Transaksi Repo dapat dilakukan dengan menggunakan underlying Surat Berharga dalam Rupiah atau Surat Berharga dalam valuta asing.

8. Transaksi Reverse Repo dilakukan dalam rangka absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

126

Page 134: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

9. Transaksi pembelian dan penjualan SBN dilakukan dalam rangka injeksi/absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang serta dalam rangka menjaga ketersediaan SBN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter dalam pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan SBN secara outright dengan mekanisme lelang atau non lelang.

10.Transaksi valas terhadap SBN dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

11.Transaksi Term Deposit Rupiah dilakukan dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan.

12.Transaksi Term Deposit valas dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. Lelang Term Deposit valas dilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia.

13.Transaksi Swap dengan metode lelang dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 1 tahun.

14.Transaksi Forward dengan metode lelang dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dengan waktu penyerahan dana (tenor) dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12 (dua belas) bulan.

15.Transaksi OPT dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia.

16.Sanksi dikenakan terhadap:a. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi

kewajiban setelmen transaksi OPT dalam Rupiah.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

127

Page 135: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

b. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT dalam valuta asing.

c. Bank dan/atau Sub-Registry yang tidak memenuhi ketentuan kewajiban minimum holding period (MHP) SBI.

d. Bank dan/atau Sub-Registry yang melanggar ketentuan terkait larangan memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI dengan pihak selain Bank.

17.Surat Edaran terdahulu beserta perubahannya, yaitu:a. Surat Edaran Bank Indonesia

No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka;

b. Surat Edaran Bank Indonesia No.17/8/DPM tanggal 20 Mei 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka; dan

c. Surat Edaran Bank Indonesia No.17/29/DPM tanggal 26 Oktober 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

I. Latar Belakang

Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.

II. Materi Pengaturan

1. Kriteria Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia, tercatat di BI-SSSS dan tidak sedang diagunkan.

Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter

20. 17/38/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

128

Page 136: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Kriteria Surat Berharga dalam valuta asing yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memiliki kerjasama dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral arrangement, sesuai denominasi asal negara penerbit, tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati, memiliki peringkat investasi (investment grade) dan tidak sedang diagunkan.

3. Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria untuk dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah SBI, SDBI, SBN dan Surat berharga jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond).

4. Harga SBI dan SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI dan SDBI.

5. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN serta surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond).

6. Haircut SBI dan SDBI ditetapkan sebesar 0% (nol persen), haircut SUN ditetapkan sebesar 5% (lima persen), haircut SBSN ditetapkan sebesar 6,5% (enam koma lima persen), haircut surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond) sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan transaksi.

7. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti Operasi Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter, harus

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

129

Page 137: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

memiliki rekening giro di Bank Indonesia dan harus memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.

8. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti transaksi Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa yang tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter, harus memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dan/atau harus memiliki rekening surat berharga di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, untuk transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank Indonesia.

9. Lembaga perantara yang dapat melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta Operasi Moneter adalah pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama.

10.Persyaratan lembaga perantara adalah berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP dan tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.

Latar Belakang

Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.

Materi Pengaturan

1. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (Lending Facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (Deposit Facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.

Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)

21. 17/39/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

130

Page 138: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Standing Facilities disediakan Bank Indonesia pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia.

3. Pengajuan transaksi Standing Facilities dilakukan melalui Sistem BI-ETP, dengan mekanisme sebagai berikut:a. Lending Facility dilakukan dengan cara

repurchase agreement surat berharga sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dengan mekanisme nonlelang.

b. Deposit Facility dilakukan dengan cara penempatan dana Rupiah oleh Bank secara berjangka di Bank Indonesia dengan mekanisme nonlelang.

4. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.

5. Window time Standing Facilities diatur sebagai berikut:a. Lending Facility dari pukul 16.00 WIB

sampai dengan pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

b. Deposit Facility dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

6. Terhadap pembatalan transaksi Standing Facility, Bank dikenakan sanksi berupa:a. Teguran tertulis, dengan tembusan kepada

Otoritas Jasa Keuangan;b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu

per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Bank yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal transaksi memiliki second leg, maka nilai transaksi yang dinyatakan batal yang dijadikan dasar perhitungan sanksi

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

131

Page 139: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

kewajiban membayar adalah nilai transaksi pada saat first leg;

c. sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut apabila transaksi Operasi Moneter, yang meliputi transaksi Operasi Pasar Terbuka dan transaksi Standing Facilities, batal untuk ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan.

7. Setelmen Standing Facilities dilakukan pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.

8. Setelmen Standing Facilities jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.

Ringkasan:

1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).

2. Transaksi Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) SBSN merupakan transaksi pembelian Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) oleh Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Bank sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Transaksi ini dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka absorpsi perbankan syariah dalam rangka Operasi Moneter Syariah.

3. Transaksi Reverse Repo SBSN dilakukan dengan menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Bank kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk menjual kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.

Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

22. 17/40/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

132

Page 140: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

4. Transaksi Reverse Repo SBSN dapat dilakukan dengan menggunakan SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN Jangka Pendek pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan.

5. Untuk dapat mengikuti Transaksi Reverse Repo SBSN, Bank harus memenuhi persyaratan antara lain:a. Memiliki Financing to Deposit Ratio (FDR)

paling kurang 80%;b. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-

ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;c. Tidak sedang dikenakan sanksi

penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;

d. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan

e. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS

6. Selain memenuhi persyaratan di atas, Bank harus menandatangani Janji (Wa’d) Untuk Menjual Kembali SBSN Dalam Rangka Transaksi Reverse Repo SBSN yang dilengkapi dokumen-dokumen pendukung yang disyaratkan.

7. Transaksi Reverse Repo SBSN dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender).

8. Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Reverse Repo SBSN paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.

9. Bank dapat mengajukan penawaran Transaksi Reverse Repo SBSN secara langsung untuk kepentingan diri sendiri dan/atau melalui Lembaga Perantara melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan.

10.Bank mengajukan penawaran meliputi nilai nominal transaksi untuk lelang dengan metode fixed rate tender atau nilai nominal transaksi dan Marjin Transaksi Reverse Repo SBSN untuk lelang dengan metode variable rate tender.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

133

Page 141: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

11.Pengajuan penawaran kuantitas dari Bank dan Lembaga Perantara paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan pengajuan penawaran Marjin Transaksi Reverse Repo SBSN dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu).

12.Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Reverse Repo SBSN setelah window time ditutup.

13.Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Reverse Repo SBSN dan Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi untuk setelmen first leg.

14.Pada tanggal Transaksi Reverse Repo SBSN jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS dan Bank wajib memiliki jenis dan seri SBSN yang mencukupi dalam Rekening Surat Berharga untuk setelmen second leg.

15.Dalam hal Bank gagal melakukan setelmen second leg maka Transaksi Reverse Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi pembelian secara outright oleh Bank dan Bank Indonesia tidak membayarkan Marjin Transaksi Reverse Repo SBSN kepada Bank.

16.Dalam hal terjadi pembatalan setelmen Transaksi Reverse Repo SBSN, Bank dikenakan sanksi berupa: a. Teguran tertulis, b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu

per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi Reverse Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

134

Page 142: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

c. Dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.

17.Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Reverse Repo SBSN second leg dan dalam hal harga pasar SBSN pada saat second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, Bank dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.

18.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/27/DPM tanggal 1 Desember 2011 perihal Tata Cara Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ringkasan:

1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).

2. Repurchase agreement (Repo) SBSN Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas perbankan syariah dalam rangka Operasi Moneter Syariah (OMS).

3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN OPT Syariah adalah akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.

4. Repo SBSN OPT Syariah dapat dilakukan pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia dengan jangka waktu Repo SBSN OPT Syariah paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari.

Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

23. 17/41/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

135

Page 143: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

5. Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui mekanisme lelang, baik lelang fixed rate tender maupun variable rate tender.

6. Bank dapat mengikuti Repo SBSN OPT Syariah untuk kepentingan sendiri, dengan memenuhi syarat : a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-

ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. Tidak sedang dikenakan sanksi

penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;

c. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan

d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.

7. Bank dapat mengajukan penawaran Repo SBSN OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara.

8. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing, dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk kepentingan Bank dan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-

ETP; dan b. Tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin

usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.

9. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut: a. SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN

Jangka Pendek; b. Tercatat di BI-SSSS; c. Tidak sedang diagunkan; dan d. Memiliki sisa jangka waktu paling singkat

3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN OPT Syariah.

10.Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Repo SBSN OPT Syariah melalui Sistem BI-ETP paling lambat sebelum window time dengan pelaksanaan lelang dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB.

11.Pengajuan penawaran Repo SBSN OPT Syariah antara lain meliputi:

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

136

Page 144: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

a. Nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan, untuk lelang dengan metode fixed rate tender; atau

b. Nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dan Marjin Repo SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.

12.Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Repo SBSN OPT Syariah setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU dan/atau sarana lainnya.

13.Setelmen Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS dengan ketentuan sebagai berikut : a. Setelmen first leg

Bank wajib memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen first leg yang dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pengumuman hasil lelang.

b. Setelmen second leg 1) Setelmen second leg dilakukan secara

otomatis di BI-SSSS pada tanggal Repo SBSN OPT Syariah jatuh waktu (second leg), sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut off warning Sistem BI-RTGS.

2) Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk setelmen second leg.

14.Dalam hal Bank gagal melakukan setelmen second leg, maka transaksi Repo SBSN OPT Syariah diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright oleh Bank.

15.Atas pembatalan Repo SBSN OPT Syariah karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, Bank dikenakan sanksi: a. Sanksi teguran tertulis; b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu

per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN OPT Syariah yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

137

Page 145: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

c. Dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan

d. Sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg.

16.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/32/DPM tanggal 7 November 2012 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).

2. Transaksi Repurchase Agreement (Repo) SBSN merupakan transaksi penjualan SBSN oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Bank sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka Standing Facilities Syariah.

3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.

4. Repo SBSN dilakukan melalui mekanisme non lelang, dengan jangka waktu Repo SBSN adalah 1 hari kerja (overnight).

5. Bank dapat mengikuti Repo SBSN, dengan memenuhi persyaratan: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-

ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;b. Tidak sedang dikenakan sanksi penghentian

sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;

Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah

24. 17/42/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

138

Page 146: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

c. Harus memiliki Rekening Gir di Bank Indonesia; dan

d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.

6. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut: a. SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN

Jangka Pendek; b. Tercatat di BI-SSSS; c. Tidak sedang diagunkan; dan d. Memiliki sisa jangka waktu paling singkat

3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN.

7. Window time Repo SBSN adalah pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB pada setiap hari kerja. Bank dapat mengajukan Repo SBSN melalui Sistem BI-ETP yang meliputi antara lain nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan.

8. Atas Repo SBSN, Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN yaitu tingkat keuntungan (profit rate) dalam setahun (per annum) yang disepakati oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal transaksi ditambah marjin tertentu.

9. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut : a. Setelmen first leg

1) Setelmen first leg dilakukan pada tanggal transaksi (sameday settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.

2) Bank wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.

b. Setelmen second leg 1) Setelmen second leg dilakukan pada

tanggal Repo SBSN jatuh waktu (second leg) dan BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut off warning Sistem BI-RTGS.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

139

Page 147: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2) Bank wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah yang cukup untuk setelmen second leg.

10.Dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second leg, transaksi Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright oleh Bank.

11.Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, Bank dikenakan sanksi: a. Sanksi teguran tertulis; b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu

per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

c. Dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan

d. Sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dalam hal harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg.

12.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/28/DPM tanggal 27 September 2012 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

I. Latar Belakang Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.

Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)

25. 17/43/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

140

Page 148: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

II. Materi Pengaturan

1. FASBIS merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorbsi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.

2. Peserta transaksi FASBIS adalah Bank.3. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan

transaksi FASBIS sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem

BI-ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;b. Tidak sedang dikenakan sanksi

penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;

c. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan

d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.

4. Bank mengajukan transaksi FASBIS melalui Sistem BI-ETP.

5. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.

6. FASBIS dilakukan dengan mekanisme nonlelang pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia.

7. Window time transaksi FASBIS ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

8. Bank Indonesia melakukan setelmen dana transaksi FASBIS pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.

9. Setelmen transaksi FASBIS jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

141

Page 149: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang

Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.

II. Materi Pengaturan

1. SBIS merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.

2. Bank secara langsung dan/atau melalui Pialang mengajukan penawaran pembelian SBIS kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan.

3. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.

4. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan penawaran pembelian SBIS kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Memiliki FDR paling kurang 80%

(delapan puluh per seratus) berdasarkan perhitungan Otoritas Jasa Keuangan yang diterima oleh Bank Indonesia;

b. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;

c. Tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;

d. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan

e. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.

Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah melalui Lelang

26. 17/44/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

142

Page 150: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

5. Persyaratan Pialang yang dapat mengajukan penawaran pembelian SBIS untuk kepentingan Bank adalah sebagai berikut : a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem

BI-ETP; danb. Tidak sedang dikenakan sanksi terkait

izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.

6. Window time lelang SBIS dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

7. Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SBIS paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pengumuman hasil lelang SBIS.

8. Setelmen pelunasan SBIS jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu SBIS, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.

I. Latar Belakang

Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.

II. Materi Pengaturan

1. Repo SBIS merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.

2. Repo SBIS dilakukan dengan mekanisme non lelang pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP.

Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah

27. 17/45/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

143

Page 151: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

3. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.

4. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan Repo SBIS sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem

BI-ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;b. Tidak sedang dalam masa pengenaan

sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;

c. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan

d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.

5. Window time Repo SBIS ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

6. Setelmen first leg dilakukan pada hari transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off sistem BI-RTGS.

7. Setelmen second leg dilakukan pada tanggal Repo SBIS jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.

1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).

2. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) secara outright di pasar sekunder dalam rangka absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas serta dalam rangka menjaga ketersediaan SBSN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter Syariah (OMS) dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia.

Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

28. 17/46/DPM 16-11-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

144

Page 152: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

3. Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) yang dapat mengikuti transaksi, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-

ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. Tidak sedang dikenakan sanksi

penghentian sementara untuk mengikuti OMS;

c. Harus memiliki Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia; dan

d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS

4. Bank Indonesia dapat melakukan transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia, melalui mekanisme lelang atau non lelang, serta mencakup SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN Jangka Pendek. a. Transaksi Lelang

1) Transaksi secara lelang dilakukan melalui Sistem BI-ETP dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender) antara pukul 08.00-16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia sesuai dengan pengumuman Bank Indonesia.

2) Pengajuan penawaran lelang dilakukan melalui Sistem BI-ETP secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara. Penawaran yang diajukan Lembaga Perantara hanya untuk kepentingan Bank. Penawaran dimaksud mencakup nilai nominal, untuk lelang dengan metode fixed rate tender atau nilai nominal dan yield atau harga SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.

3) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan pembelian SBSN setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP (mencakup nilai nominal dan yield atau harga yang dimenangkan) dan secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

145

Page 153: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

dan/atau sarana lainnya (berupa nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, SOR dan/atau rata-rata tertimbang tingkat yield)

b. Transaksi Non LelangTransaksi dilakukan oleh Bank Indonesia dengan counterparty Bank atau Lembaga Perantara melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia.

5. Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk setelmen pembelian SBSN secara outright di pasar sekunder dari Bank Indonesia atau memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder kepada Bank Indonesia.

6. Setelmen transaksi dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS secara delivery versus payment (DVP) dengan mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross).

7. Dalam hal Bank tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga atau tidak memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder yang dilakukan sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, transaksi dinyatakan batal dan Bank dikenakan sanksi berupa:a. Teguran tertulis;b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu

per sepuluh ribu) dari nilai transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

146

Page 154: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

c. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.

8. Surat Edaran terdahulu, yaitu: Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/6/DPM tanggal 13 Februari 2012 perihal Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Latar Belakang Pengaturan:

Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/21/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.

Substansi Pengaturan:

1. Perubahan Bagian II Tata Cara Perhitungan GWM Primer, dimana kewajiban GWM Primer dalam Rupiah diturunkan dari 8% menjadi sebesar 7,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah. Perubahan ini juga berdampak pada beberapa contoh perhitungan GWM dalam Lampiran.

2. Perubahan Lampiran III mengenai Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar.

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional

29. 17/47/DKEM 01-12-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DKEM

147

Page 155: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

• Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 8% menjadi 7,5% dari DPK dalam Rupiah.

• Penyesuaian contoh perhitungan jasa giro bagi bank yang dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah dan contoh perhitungan sanksi bagi bank yang tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam Rupiah.

3. Perubahan Lampiran IV mengenai Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang Melakukan Merger. Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 8% menjadi 7,5% dari DPK dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger, baik sebelum merger maupun setelah merger berlaku efektif.

I. Latar Belakang dan Tujuan:

Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5753), perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai penerbitan, tata cara lelang, dan penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.

II. Ringkasan:

1. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta

Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing

30. 17/48/DPD 07-12-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPD

148

Page 156: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.

2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing.

3. Peserta Lelang adalah Bank yang memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai berikut:a. Tidak sedang dikenakan sanksi

penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan transaksi Lelang SBBI Valas;

b. Harus memiliki akses sistem Lelang SBBI Valas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

c. Harus memiliki Rekening Giro Valas di Bank Indonesia;

d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; dan

e. wajib menyediakan dana yang cukup di Rekening Giro Valas untuk penyelesaian kewajiban pada waktu penyelesaian transaksi.

4. Materi yang diatur mencakup, antara lain:a. Penerbitan SBBI Valas;b. Tata Cara Lelang SBBI Valas yang

mencakup ketentuan dan persyaratan, pelaksanaan lelang SBBI Valas, penetapan pemenang lelang SBBI Valas, pengumuman hasil lelang, dan kondisi gangguan di Peserta Lelang;

c. Tata Cara Penatausahaan SBBI Valas yang mencakup ketentuan dan persyaratan, pelaksanaan setelmen di pasar perdana dan pasar sekunder, dan pelunasan pokok SBBI Valas;

d. Tata Cara Pengenaan Sanksi.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

149

Page 157: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

I. Latar Belakang dan Tujuan:

Perkembangan terkini pasar keuangan global dan pasar valuta asing domestik menjadi tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah. Untuk itu, melalui penerbitan PBI No.17/15/PBI/2015 tanggal 7 Oktober 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik, Bank Indonesia berupaya untuk mendorong keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar valas domestik dalam rangka mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.

II. Materi Pengaturan:

1. Peningkatan threshold penjualan valuta asing melalui transaksi forward tanpa underlying transaksi, dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta atau ekuivalennya per transaksi per nasabah. Sementara threshold penjualan valuta asing melalui transaksi option tetap sebesar USD 1 juta.

2. Pelarangan investasi dalam bentuk Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai underlying pembelian valuta asing terhadap Rupiah baik melalui transaksi spot dan/atau transaksi derivatif.

3. Penjabaran pengaturan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dan transfer Rupiah kepada pihak asing dengan underlying transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri.

4. Penjabaran pengaturan transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan underlying transaksi berupa pemberian kredit.

Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik

31. 17/49/DPM 21-12-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

150

Page 158: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

5. Penjabaran atas penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan underlying transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri yang wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok.

6. Penegasan dan penjabaran atas kewajiban untuk memenuhi ketentuan penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

7. Pengaturan agar bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen.

8. Penyempurnaan jenis dokumen underlying transaksi.

I. Latar Belakang dan Tujuan:

Perkembangan terkini pasar keuangan global dan pasar valuta asing domestik menjadi tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah. Untuk itu, melalui penerbitan PBI No.17/16/PBI/2015 tanggal 7 Oktober 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing, Bank Indonesia berupaya untuk mendorong keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar valas domestik dalam rangka mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.

II. Materi Pengaturan:

1. Peningkatan threshold penjualan valuta asing melalui transaksi forward tanpa underlying transaksi, dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta atau ekuivalennya per transaksi per pihak asing maupun per posisi (outstanding) per bank.

Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing

32. 17/50/DPM 21-12-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DPM

151

Page 159: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Pelarangan investasi dalam bentuk Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai underlying pembelian valuta asing terhadap Rupiah baik melalui transaksi spot dan/atau transaksi derivatif.

3. Penjabaran pengaturan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dan transfer Rupiah kepada pihak asing dengan underlying transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri.

4. Penjabaran pengaturan transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan underlying transaksi berupa pemberian kredit.

5. Penjabaran atas penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan underlying transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri yang wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok

6. Penegasan dan penjabaran atas kewajiban untuk memenuhi ketentuan penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

7. Pengaturan agar bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen.

8. Penyempurnaan jenis dokumen underlying transaksi.

1. Ketentuan ini merupakan perubahan ketiga terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

2. Terdapat dua besaran materi perubahan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yaitu mengenai batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat digunakan untuk bertransaksi (transfer dan tarik tunai) melalui mesin ATM serta penggunaan teknologi magnetic stripe pada kartu ATM dan/atau Kartu Debet tertentu.

Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

33. 17/51/DKSP 30-12-2015

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

DKSP

152

Page 160: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

153

3. Terkait batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat digunakan untuk bertransaksi melalui mesin ATM, dilakukan perubahan sebagai berikut: a. Batas paling banyak nilai nominal dana

yang dapat digunakan untuk bertransaksi melalui mesin ATM baik menggunakan Kartu ATM atau Kartu Kredit adalah sebesar:1. Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

tiap rekening dalam 1 (satu) hari untuk Kartu ATM atau Kartu Kredit yang menggunakan teknologi magnetic stripe; atau

2. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) tiap rekening dalam 1 (satu) hari untuk Kartu ATM atau Kartu Kredit yang menggunakan teknologi chip.

b. Batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat ditransfer antara Penerbit Kartu ATM melalui mesin ATM adalah sebesar:1. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta

rupiah) tiap rekening dalam satu hari untuk Kartu ATM yang menggunakan teknologi magnetic stripe, atau

2. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tiap rekening dalam satu hari untuk Kartu ATM yang menggunakan teknologi chip.

4. Terkait penggunaan teknologi magnetic stripe untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia, diatur bahwa teknologi magnetic stripe hanya dapat digunakan untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan atas dasar rekening simpanan tertentu.

1. Ketentuan ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.13/22/DASP tanggal 18 Oktober 2011 perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia sebagaimana telah diubah dengan SEBI No.14/23/DASP tanggal 31 Agustus 2012.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia

34. 17/52/DKSP 30-12-2015 DKSP

Page 161: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

2. Dua besaran materi ketentuan yang diatur dalam SEBI ini adalah penerapan standar nasional teknologi chip dan PIN online 6 (enam) digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, serta kepemilikan dan pengelolaan standar nasional tersebut.

3. Terkait penerapan standar nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, diatur sebagai berikut:a. Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara

Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib menggunakan standar nasional teknologi chip dan PIN online 6 (enam) digit.

b. Penerbitan kartu dengan teknologi magnetic stripe hanya dapat dilakukan untuk rekening yang diperjanjikan memiliki saldo paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah).

c. Batas waktu pelaksanaan kewajiban penggunaan standar nasional teknologi chip untuk seluruh Kartu ATM, Kartu Debet, terminal ATM, terminal Electronic Data dan/atau kartu Debet dengan magnetic stripe, dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember 2021.

d. Batas waktu penggunaan PIN online 6 (enam) digit sebagai berikut: - Untuk Kartu ATM/Debet yang

menggunakan teknologi magnetic stripe, kewajiban penggunaan PIN online 6 (enam) digit paling lambat 30 Juni 2017.

- Untuk Kartu ATM/Debet yang menggunakan teknologi chip, kewajiban penggunaan PIN online 6 (enam) digit paling lambat 31 Desember 2021.

e. Untuk memastikan pelaksanaan implementasi dapat berjalan dengan baik, diatur tahapan implementasi yang harus dilakukan sebagai berikut:

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

154

Page 162: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015

f. Mulai 1 Januari 2022 seluruh transaksi Kartu ATM dan/atau Kartu Debet domestik wajib diproses dengan menggunakan standar nasional dan PIN online 6 (enam) digit, kecuali untuk kartu yang masih diperbolehkan menggunakan magnetic stripe.

g. Pemrosesan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet internasional dapat dilakukan di Indonesia sesuai dengan teknologi dan sarana autentifikasi yang berlaku untuk kartu tersebut.

4. Terkait kepemilikan dan pengelolaan standar nasional, diatur sebagai berikut:a. Dalam rangka melindungi kepentingan

publik dalam penggunaan standar nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, kepemilikan standar nasional tersebut berada di Bank Indonesia.

b. Bank Indonesia menunjuk pihak lain yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk mengelola standar nasional teknologi chip Kartu ATM dan/atau Kartu Debet.

Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker

155

• Persiapan host & back and system selesai.

• Pengadaan terminal ATM/EDC baru dapat wajib memproses standar nasional dan PIN online 6 digit

• Kartu ATM/Debit yang menggunakan teknologi magnetic stripe wajib menggunakan PIN online (enam) digit.

• Seluruh kartu ATM/Debit

serta terminal ATM dari

FDC telah mengampretasi

standart nasional dan PIN

online 6 digit.

• Teknologi magnetic stripe

hanya untuk kartu

ATM/Debit tertentu.

• Kartu ATM/Debit

• Kartu internasional dapat

diproses dengan jaringan

internasional.

30 Juni 2017 1 Jan 2019 1 Jan 2021

1 Jan 2020 31Des 2021

Tahapan Migrasi Kartu (min) dan PIN online 6 (enam) digit

30% kartu

50% kartu

80% kartu

Page 163: HUKUM KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia