Hubungan Radiologi Konvensional Dengan Patofisiologi Osteomielitis

31
BAB I PENDAHULUAN Osteomielitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan destruksi pada tulang yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Infeksi dapat terbatas pada satu bagian tulang maupun menyebar ke berbagai area, seperti susmsum tulang korteks, periosteum, dan jaringan lunak sekitar tulang. 1 Insidensi osteomielitis di Amerika Serikat yaitu 1: 5000 orang, dan 1 : 1000 usia bayi. Insidensi pertahun pada pasien sickle cell berkisar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah adanya trauma pada kaki bisa meningkat yaitu 16% dan 30-40% pasien diabetes, dan jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1. Angka kematian akibat osteomielitis rendah, biasanya disebabkan sepsis atau kondisi medis serius yang menyertai. 2 Berdasarkan data epidemiologis global mengenai osteomielitis sangat bervariasi, dengan insidensi tertinggi pada negara-negara berkembang. Distribusi usia penderita osteomielitis yaitu pada dewasa usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 50 tahun. 12 Di Indonesia osteomielitis masih merupakan masalah. Terapi osteomielitis yang memerlukan waktu lama dan biaya tinggi disertai dengan pengertian mengenai pengobatan yang belum baik dan tingkat higienis yang masih rendah, diduga berhubungan erat dengan kejadian osteomielitis di Indonesia. Selain itu, angka kejadian tuberkulosis masih tinggi yang tinggi di Indonesia juga turut mempengaruhi kejadian osteomielitis pada penderita tuberkulosis. 3

description

tabel hubungan radiologi-patologi pd osteomielitis

Transcript of Hubungan Radiologi Konvensional Dengan Patofisiologi Osteomielitis

BAB I

PENDAHULUAN

Osteomielitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan destruksi pada tulang

yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Infeksi dapat terbatas pada satu bagian tulang

maupun menyebar ke berbagai area, seperti susmsum tulang korteks, periosteum, dan jaringan

lunak sekitar tulang.1

Insidensi osteomielitis di Amerika Serikat yaitu 1: 5000 orang, dan 1 : 1000 usia bayi.

Insidensi pertahun pada pasien sickle cell berkisar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah

adanya trauma pada kaki bisa meningkat yaitu 16% dan 30-40% pasien diabetes, dan jika

dibandingkan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1. Angka kematian akibat osteomielitis

rendah, biasanya disebabkan sepsis atau kondisi medis serius yang menyertai.2

Berdasarkan data epidemiologis global mengenai osteomielitis sangat bervariasi, den-

gan insidensi tertinggi pada negara-negara berkembang. Distribusi usia penderita osteomielitis

yaitu pada dewasa usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 50 tahun.12 Di Indonesia osteomieli-

tis masih merupakan masalah. Terapi osteomielitis yang memerlukan waktu lama dan biaya

tinggi disertai dengan pengertian mengenai pengobatan yang belum baik dan tingkat higienis

yang masih rendah, diduga berhubungan erat dengan kejadian osteomielitis di Indonesia.

Selain itu, angka kejadian tuberkulosis masih tinggi yang tinggi di Indonesia juga tu-

rut mempengaruhi kejadian osteomielitis pada penderita tuberkulosis. Insidensi spondilitis tu-

berkulosa bervariasi di seluruh dunia danbiasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas

pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di Negara tersebut. Spondili-

tis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan

sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih meru-

pakan masalah utama.20 Defisit neurologis muncul pada 10-47%  kasus pasien dengan spondili-

tis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab pal-

ing sering untuk kondisi paraplegia nontraumatik.21

Penyebab lainnya yaitu kejadian fraktur terbuka yang datang terlambat dan sudah ter-

jadi osteomielitis. Akibat keterlambatan diagnosis umumnya berakhir dengan osteomielitis kro-

nis dimana membutuhkan penanganan yang lebih lanjut.

Osteomielitis pada fase akut hingga kronis memiliki karakteristik pencitraan radiologi

tersendiri.3 Pemeriksaan radiografi konvensional dapat menegakkan diagnosis osteomielitis un-

tuk selanjutnya dilakukan penanganan yang tepat sehingga mengurangi risiko destruksi tulang

yang lebih lanjut.4

3

Berdasarkan fakta tersebut, pencitraan radiologi berperan penting sebagai alat bantu

diagnostik kasus osteomielitis sekaligus alat uji pemantauan hasil terapi. Berbagai modalitas

pencitraan radiologi dapat digunakan dalam keperluan diagnostik osteomielitis. Radiografi kon-

vensional lebih terjangkau secara ekonomi dan tersedia di banyak fasilitas kesehatan di Indone-

sia, sehingga merupakan pilihan modalitas awal pada diagnosis osteomielitis. Oleh sebab itu,

pemahaman mengenai hubungan patofisiologi osteomielitis dengan gambaran radiologinya

menjadi penting dalam memberikan gambaran awal mengenai anatomi tulang serta kondisi pa-

tologi dari tulang serta jaringan lunak disekitarnya.5

BAB II

TINJAUAN ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG

Tulang, atau jaringan osseosa, adalah jaringan ikat yang membentuk kerangka

vertebra. Jaringan ini tersusun atas sel-sel, komponen matriks organik, mineral anorganik, dan

air. Tulang memiliki mekanisme untuk tumbuh dan berubah bentuk serta ukuran menyesuaikan

dengan stressor yang berbeda-beda sepanjang hidup manusia.

2.1. Anatomi Tulang

2.1.1. Arsitektur Tulang

Seperti jaringan penyambung atau penyokong yang lain, tulang terdiri atas sel

dan matriks ekstrasel. Sel tulang terdiri atas sel osteoprogenitor, osteoblast, osteosit dan

osteoklas. Sementara matriks ekstrasel tersusun atas komponen organik (sekitar 40%) dan

garam anorganik (sekitar 60%). Komponen matriks organik yang utama adalah serat

4

kolagen tipe I. Selain kolagen, unsur organik lainnya yaitu proteoglikan, glikoprotein,

fosfolipid dan bermacam-macam faktor pertumbuhan seperti osteocalcin, osteonectin, and

sialoprotein. Komponen matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar

terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal hidroksiapatit. Kristal –kristal

tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen. Bahan mineral lain yaitu ion sitrat, karbonat,

magnesium, natrium, dan potassium.5

Berdasarkan susunan serat-serat kolagennya, jaringan tulang dibagi lagi ke dalam

dua tipe: tulang woven/anyaman/immatur dan tulang lamellar/matur5, yang diilustrasikan

pada gambar 2.1.

Tulang imatur/ woven terdiri dari serat-serat kolagen yang tersusun secara

tidak beraturan, dengan sel-sel oasteoblast dan osteoprogenitor. Tulang ini disebut juga

tulang primitif, merupakan struktur tulang utama pada masa embrio. Namun dapat pula

ditemukan pada daerah dimana terjadi proses remodeling seperti pada fraktur tulang,

osteosarkoma, beberapa tumor tulang. Dengan demikian tulang jenis ini jika ditemukan

pada dewasa berhubungan dengan proses patogis.

Pada tulang matur di orang dewasa, berkas kolagen tersusun teratur membentuk

lamella tulang yang sejajar dan kosentris terhadap saluran vaskuler. Pada bagian korteks

tulang, lamella-lamella tersusun teratur mengelilingi saluran pembuluh yang

menutrisinya, saluran Havers, sehingga membentuk susunan kosentris berlapis-lapis (5-15

lamella) yang disebut sistem havers atau osteon. Kanalikuli pada satu sistem havers

berhubungan langsung dengan saluran haversnya dan tidak terhubung sistem

disebelahnya. Saluran-saluran havers dihubungkan satu dengan yang lain, dan dengan

pembuluh-pembuluh di periosteum melalui saluran Volkmanns yang tegak lurus terhadap

sumbu panjang tulang. Pada sekitar periosteum dan endosteum terdapat lamella-lamella

tulang tersusun sejajar dengan permukaan dan melingkar terhadap sumbu panjang tulang,

yang disebur lamellar circumferential luar dan dalam. Kanalikuli pada lamella ini

berhubungan langsung dengan periosteum dan endosteum.

5

Gambar 2.1 Diagram tulang imatur/woven dan tulang matur/lamellar

(Safadi F F, et al. Bone Structure, Development and bone biology.In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50)

Sementara itu struktur internal dari tulang, baik tulang panjang maupun pendek,

terbagi atas struktur tulang yang padat dibagian luar dari tulang yang disebut tulang

kompak atau korteks tulang. Struktur ini diperkuat dengan bagian dalam yang membentuk

jalinan tulang-tulang trabekular yang berjalan sejajar maupun tegak lurus terhadap bentuk

tulang. Keseluruhan struktur ini disebut sebagai komposit dan merupakan komponen

utama dalam mempertahankan kekuatan tulang. Struktur internal ini terlihat jelas pada

potongan sagital tulang panjang pada Gambar 2.2.

Tulang kompak atau korteks yang berstruktur keras namun relatif tipis, berperan

sebagai “cangkang” bagi struktur tulang didalamnya. Tulang kompak memiliki sedikit

rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium Carbonat)

sehingga padat. Pada tulang matur, korteks tersusun atas tulang-tulang lamellar, yang

didalamnya terdapat system Havers dan kanalis Volkmanns. Untuk lebih jelas mengenai

struktur korteks dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Di sebelah dalam dari korteks terdapat tulang trabekular atau dengan nama lain

tulang spongiosa atau tulang cancellous, yang tersusun dari spikula-spikula dan trabekula

tulang yang diantaranya terdapat rongga sumsum yang mengandung unsur hematopoietic

dan lemak. Trabekula tulang membentuk suatu jaringan yang memungkinkan untuk

dilewati oleh pembuluh-pembuluh darah yang menutrisi tulang serta efek ringan pada

tulang.

Setiap tulang, kecuali bagian sendi, diselubungi oleh jaringan ikat khusus yaitu

periosteum, Periosteum terbagi dalam dua lapisan yang tidak berbatas jelas. Lapisan luar

merupakan jaringan ikat padat fibrosa, mengandung pembuluh saraf dan pembuluh darah

yang memberi nutrisi pada tulang. Lapisan dalam tersusun atas jaringan ikat longgar,

sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey yang berkontribusi

6

dalam perlekatan periosteum pada tulang. Gambaran serat sharpeys pada periosteum

terlihat pada Gambar 2.4. Pada dewasa lapisan dalam periosteum ini mengandung sel

osteoprogenitor yang berperan dalam pembentukan dan perbaikan tulang. Serupa dengan

periosteum, endosteum merupakan lapisan yang berada diantara tulang kompak/korteks

dan tulang spongiosa

Gambar 2.2 Tulang panjang orang dewasa.

(Safadi F F, Khurana J S. Bone Structure and Function. In: Diagnostic Imaging of Musculoskeletal Diseases. New York. Springer. 2010. p:1-13)

Gambar 2.3 Diagram tulang kompak/korteks tulang

(Safadi F F, et al. Bone Structure, Development and bone biology.

In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50)

7

Gambar 2.4 Diagram serat sharpey’s sebagai lanjutan langsung serat periosteum(Bullough P G. Normal Skeletal Structure and Development.

In: Orthopaedic Pathology 5 th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39)

Berdasarkan bentuk morfologinya, tulang dapat dikategorikan menjadi tulang

panjang, tulang pendek, tulang pipih, tulang tidak beraturan, dan tulang sessamoid.

Tulang panjang berbentuk bulat, memanjang, bagian tengahnya berlubang,

seperti pipa. Di bagian dalam ujungnya terdapat sum-sum tulang berfungsi untuk

pembentukan sel darah merah. Tulang panjang terdiri atas tiga bagian, yaitu kedua ujung

yang bersendian (epifisis), bagian tengah (diafisis), dan bagian transisional diantaranya

(metafisis, selanjutmya pembagian ini dapat dilihat pada gambar 2.6 . Pada anak-

anak, dimana tulang masih mengalami pertumbuhan, epifisis dan diafisis berasal dari

pusat osifikasi yang dipisahkan oleh selapis tulang rawan, disebut sebagai cakra epifisis.

Sedangkan pada orang dewasa, cakra epifisis berupa tulang keras yang menyebabkan

epifisis dan diafisisnya menyatu, sehingga tidak lagi mengalami pertumbuhan. Sebagai

contoh: Tulang femur, tibia, ulna, dan radius.

Tulang pendek bentuknya bulat dan pendek (ruas tulang). Didalamnya juga

terdapat sumsum berfungsi untuk pembuatan sel darah merah dan sel darah putih. Sebagai

contoh tulang pendek adalah seperti pada tulang-tulang karpal, tarsal. Tulang sessamoid

sebenarnya merupakan subtype dari tulang pendek yang berada pada daerah sekitar

tendon. Contoh tulang sessamoid yaitu tulang patella, pisiforn

Tulang ini berbentuk pipih, terdiri atas lempengan tulang kompak dan tulang

spongiosa. Didalamnya terdapat sumsum merah yang berfungsi untuk pembuatan sel

darah merah dan sel darah putih. Contoh tulang pipih yaitu tulang tengkorak, sternum,

scapula.

Disebut tulang tidak beraturan demikian karena bentuknya yang tidak memiliki

bentuk yang spesifik. Sebagai contoh tulang jenis ini yaitu yang terlihat seperti pada

tulang vertebra, ethmoid.

8

Gambar 2.5 Diagram tulang panjang(F F. Safadi, et al. Bone Structure, Development and bone Biology. In: Bone Pathology, 2nd Edition. Springer. New York. 2009. p.1-50)

2.1.2. Vaskularisasi Tulang

Tulang merupakan jaringan yang kaya akan vaskularisasi yaitu sekitar 10-20%

cardiac output. Sirkulasi darah pada tulang berperan penting dalam menutrisi jaringan-jaringan

tulang, sekaligus mensirkulasikan sel-sel darah dari sumsum tulang ke seluruh tubuh. Karena

berada dalam rongga yang tertutup didalam tulang, maka pembuluh-pembuluh darah harus

selalu dalam kondisi tekanan intraoseous yang konstan. Tekanan intraoseous ini dipengaruhi

oleh kecepatan aliran darah dalam tulang. Pada saat terjadi kenaikan aliran darah akibat

hipervaskularisasi, sebagai contohnya pada proses inflamasi dimana dapat terjadi peningkatan

tekanan intraoseous. Regulasi kecepatan aliran darah merupakan peranan distensibilitas

pembuluh darah melalui proses vasodilatasi-vasokonstriksi pembuluh yang dipengaruhi oleh

jaras simpatis dan parasimpatis.6

Pada tulang panjang, pembuluh-pembuluh darah arteri yang kaya oksigen yang

memasuki tulang terbagi dalam enam grup arteri yang saling berhubungan satu sama lain dan

dinamai sesuai lokasi penetrasi ke tulang (Gambar 2.6). yaitu terbagi atas dua arteri diafisis atau

arteri nutrient, arteri metafisis superior dan inferior, arteri epifisi superior dan inferior, dan

pembuluh-pembuluh darah periosteum.yang saling beranastomosis. Selanjutnya, pembuluh

darah vena intraoseous terdiri dari sinus sentral yang besar disepanjang diafisis. Aliran dari

sinus kemudian menuju vena-vena yang parallel terhadap arterinya yaitu vena metafisis, vena

epifisis, vena sentromedular, dan vena nutrient, seperti yang terlihat pada Gambar 2.7.

Pembuluh-pembuluh vena ini kemudian keluar dari tulang melewati korteks dan menuju cabang

pembuluh vena besar sekitar tulang tersebut.6

9

Gambar 2.6 Diagram pembuluh darah arteri tulang panjang

(Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002)

Gambar 2.7 Diagram pembuluh darah vena tulang panjang

(Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002)

.

10

Sementara tulang pendek dan tulang pipih memiliki pembuluh darah superficial pada

periosteum dan ada pula yang berasal dari percabangan arteri nutrient besar yang menembus

langsung ke rongga medulla. Kedua arteri ini beranastomosis secara bebas di dalam tulang.5

Selain pembuluh darah dan limfa, pada tulang juga terdapat persarafan. Saraf

periosteal merupakan saraf sensoris yang menghantarkan rangsang nyeri. Oleh karena itu

periosteum sensitif terhadap trauma maupun tekanan. Pada saluran Havers terdapat saraf

vasomotor yang mengatur konstriksi dan dilatasi pembuluh darah. Tulang juga dipersarafi oleh

saraf-saraf simpatis. 5

2.1.3. Remodelling Tulang

2.1.3.1. Sel-sel Tulang

Remodeling tulang sangat penting dalam mempertahankan integritas struktur

tulang. Proses ini melibatkan koordinasi bermacam sel untuk memastikan proses resoprsi

tulang dan formasi tulang terjadi secara simultan pada lokasi tertentu. Sel-sel yang terlibat

dalam proses ini adalah sel oteoprogenitor, osteoblas, osteosit, dan osteoklas.

Sel Osteoprogenitor ini merupakan sel mesenkim yang memiliki kemampuan

untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel osteoblas, chondroblas, sel stromal,

sesuai dengan stimulus yang diterima oleh sel osteoprogenitor tersebut. Sel ini banyak

ditemukan pada lapisan periosteum, endosteum, batas kanalis Havers dan Volkmanns.

Sel osteoblas berasal dari sel ostoprogenitor, berbentuk kuboid atau kolumnar.

Osteoblas merupakan sel yang mengekspresikan reseptor hormone parathyroid (PTH) dan

berperan penting dalam pembentukan faktor-faktor osteoklastogenik dan protein-protein

matriks tulang serta mineralisasi tulang. Osteoblast menghasilkan reseptor nuclear factor

kappa B (RANK) ligan yang berperan penting dalam diferensiasi osteoklas. Osteoblas

menghasilkan pula kolagen tipe 1 dan protein lain seperti osteocalcin, osteopontin,

sialoprotein tulang, dan osteonectin. Hal lain yang juga dihasilkan oleh sel ini yaitu

cytokine, colony-stimulating factor (CSF) (contoh:IL-6, IL-11), serta substansi lain

seperti, transforming growth factor (TGF-β), bone morphogenetic protein (BMPs), dan

lain-lain.

Osteoklas merupakan sel berukuran besar dan berinti banyak, sekitar 3-25

nukleus. Sel ini banyak ditemukan pada matrik tulang yang mengalami resorpsi di dalam

rongga yang disebut lacuna Howship. Pada mikrograf elektron, permukaan osteoklas yang

menghadap matriks tulang memiliki banyak tonjolan sitoplasma disebut sebagai ruffled border.

Pada kondisi patologi tertentu dimana terjadi disfungsi osteoklas atau setelah proses resorpsi,

gambaran ruffled border menghilang. Osteoklas menghasilkan koalgenase dan enzim proteolitik

yang menyebabkan matriks tulang melepaskan substansi dasar yang mengapur.

Osteosit adalah sel tulang matur yang ditemukan dalam jumlah besar (sebesar 90-95%

sel tulang) di dalam lapisan matriks tulang yang telah mengalami mineralisasi. Di dalam matriks

tulang, osteosit terletak di dalam lakuna dan memiliki juluran-juluran sitoplasma di dalam

kanalikuli yang menghubungkan osteosit yang satu dengan yang lainnya serta dengan kapiler

darah. Sel ini terlibat dalam proses signaling

2.1.3.2. Proses Remodelling Tulang

Proses remodeling terjadi sebagai respons dari adanya tekanan mekanik terhadap

tulang maupun akibat reaksi sistemik (contoh: PTH). Tekanan mekanik yang merusak

tulang merangsang apoptosis osteosit, yang selanjutnya menurunkan TGFβ dan

memungkinkan terjadinya osteoclastogenesis. Sementara PTH berperan dalam

homeostasis kalsium. Ketika PTH berikatan dengan reseptornya pada permukaan

osteoblas untuk mengaktifasi jalur kalsium intrasel, hal ini juga menginduksi diferensiasi

dan aktivasi osteoklas sehingga terjadi resorpsi tulang.

Proses resorpsi tulang dimediasi oleh osteoklas. Setelah osteoklas terbentuk dan

teraktivasi, pompa proton pada ruffled border menghasilkan ion-ion hidrogen yang

menciptakan lingkungan ekstrasel yang asam. Selanjutnya, lisosom menghasilkan enzim-enzim

proteolitik dan bersama dengan lingkungan asam pada ektrasel merupakan kondisi optimal

untuk resorpsi tulang dan degradasi kolagen di dalam area yang dinamakan lakuna resorpsi

Howship.

Setelah proses resorpsi, pada lakuna Howship terdapat banyak sisa-sisa kolagen

matriks tulang. Suatu sel berinti satu, disebut sel reversal, kemudian bertugas membuang sisa-

sisa kolagen tersebut dan mempersiapkan permukaan tulang untuk selanjutnya terjadi proses

formasi tulang. Mengenai sel reversal ini belum banyak data yang dapat menjelaskan asalnya,

namun diduga berasal dari sel mesenkim yang melapisi tulang.

Tekanan mekanik dan PTH menghambat ekskresi sklerostin oleh osteosit yang

selanjutnya menghasilkan signal formasi tulang. Proses formasi tulang adalah peranan dari

osteoblas dan mediator kemotaktik osteoblas, termasuk diantaranya TGFβ, PDGF A dan B.

Setelah sel mesenkim berada di lakuna resorpsi, sel-sel tersebut berdiferensiasi dan

menghasilkan molekul-molekul tulang baru. Ketika tulang yang di resorpsi telah diganti tulang

baru, maka proses remodelling dihentikan, namun mekanismenya masih belum diketahui.

Proses resorpsi tulang dan formasi tulang terjadi secara seimbang yang diregulasi oleh

suatu proses yang dinamakan coupling. Walaupun coupling belum diketahui secara luas, namun

glikoprotein 130 diduga terlibat dalam induksi sitokin-sitokin osteoklastogenik maupun

osteoblastogenik. Mekanisme lain yang menjelaskan proses coupling yaitu pembentukan IGF I

dan II serta TGFβ, sebagai faktor stimulasi osteoblas, yang terjadi pada proses resorpsi.8

Gambar 2.8 Skema proses remodeling tulang(www.umich.edu di akses tanggal 20 Maret 2013)

BAB III

PATOFISIOLOGI OSTEOMIELITIS

DAN HUBUNGANNYA DENGAN GAMBARAN RADIOLOGI KONVESIONAL

3.1 Patofisiologi

Ketika membahas patogenesis dan patofisiologi osteomielitis, ada dua populasi yang

sangat berbeda yaitu anak dan dewasa. Pada anak, jalur infeksi utama adalah secara hematogen,

yaitu sekitar 90-95% kejadian osteomielitis. Sementara pada dewasa, sebanyak 85-90% os-

teomielitis pada dewasa berasal dari penetrasi langsung dari infeksi kulit dan fasia subkutan.

Pada dewasa yang terinfeksi secara hematogen adalah pada populasi tertentu seperti penyalah-

guna obat intravena maupun pasien dengan bakterial endokarditis dimana terdaopat inokulasi

bakteri intravaskular dalam jumlah besar.

Selain berbeda dalam jalur infeksi, kedua populasi ini pun memiliki perbedaan pada

area tulang yang terinfeksi. Pada anak yang penyebarannya secara hematogen maka area yang

paling sering terlibat adalah area tulang yang mengalami pertumbuhan pesat namun aliran darah

rendah, atau dengan kata lain pada subfiseal metafisis pada tulang femur (27%), tibia (22%),

dan humerus (12%).

Sementara itu, osteomielitis pada dewasa terjadi pada area dimana ulkus kulit sering

terjadi, yaitu pada bagian tubuh yang rentan terhadap trauma dan aliran darah yang buruk. Seba-

gai contohnya, osteomielitis dapat melibatkan kaki pada pasien dengan diabetes mellitus atau

daerah panggul pada pasien dengan paraplegia. Seperti yang telah diduga sebelumnya, keke-

balan system imun pasien meningkatkan risiko terjadinya osteomielitis. Kondisi tersebut antara

lain: diabetes mellitus, penyakit sickle cell, penderita AIDS, penyalahguna obat intravena, alco-

holisme, penyakit sendi kronik, penggunaan steroid jangka panjang, pemakaian prosthetic orto-

pedi, pembedahan ortopedi dan fraktur terbuka. 2,17

3.2 Gambaran Radiologi Konvensional

Pemeriksaan radiografi konvensional atau foto polos radiologi merupakan modalitas

awal untuk evaluasi osteomielitis, dimana berperan dalam memberikan gambaran awal anatomi

dan kondisi patologi dari tulang dan jaringan lunak disekitarnya. Selain itu, pemeriksaan foto

polos radiologi juga dapat membantu mengeksklusi diagnosis diferensial maupun kondisi patol-

ogis lain yang menjadi penyebabnya.

Gambaran osteomielitis akut pada foto polos radiologi berupa perubahan berupa

edema jaringan lunak sekitar tulang. Sementara perubahan pada tulang berupa destruksi struk-

tur tulang baru dapat terlihat pada foto polos sekitar 7-21 hari setelah onset infeksi. Pada umum-

nya, lesi berukuran minimal 1 cm dan melibatkan 30-50% dari struktur tulang baru akan menun-

jukkan perubahan pada foto polos.

1.2.1. Osteomielitis Pada Anak2,8

Mekanisme utama osteomielitis pada anak adalah secara hematogen. Daerah metafisis

tulang merupakan area predileksi karena pada area ini pembuluh arteri berkelok dan men-

galirkan darah menuju sinus (Gambar 3.1). Keadaan ini menyebabkan kecepatan aliran darah

yang lambat sehingga dapat menjadi tempat berakumulasinya bakteri patogen. Selain itu, ke-

mampuan fagosit dan fungsi RES menurun pada area loop pembuluh darah tersebut sehingga

menjadikannya rentan terjadi infeksi. Bakteri dapat melewati celah endotel pembuluh darah

menuju jaringan tulang, dimana selanjunya bakteri tersebut dapat berikatan dengan unsur-unsur

matriks tulang. Bakteri, seperti S. aureus memiliki kemampuan untuk menempel dan menembus

sel osteoblas namun tetap hidup dan berkembang di dalamnya. Osteoblas yang terinfeksi bakteri

selanjutnya menginduksi sekresi tumor necrosis factor apoptosis inducing ligand (TRAIL) yang

selanjutnya menyebabkan apoptosis osteoblas dan menghambat diferensiasi osteoblas. Proses

ini diikuti dengan peningkatan ekspresi RANKL yang berperan dalam differensiasi osteoklas

dan berparan dalam induksi resorpsi tulang yang berakibat pada destruksi tulang. Fenomena ini

akan memberikan gambaran osteolitik pada foto polos radiologi.

Tulang yang mengalami destruksi kemudian menghasilkan perubahan biomekanik

serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian merangsang aktivasi

osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada

foto polos radiologi sebagai area sklerosis.

Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui kanalis

Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara renggang terhadap tulang

jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa. Keadaan ini memungkinkan penyebaran in-

feksi ke area subperiosteum, yang menyebabkan akumulasi infiltrate (nanah) dan destruksi ko-

rteks tulang. Korteks tulang yang mengalami destruksi mengakibatkan formastulang periosteal

atau disebut reaksi periosteal. Jika infeksi bersifat agresif, maka akan menyebabkan destruksi

pada bagian sentral dari tulang baru periosteal membentuk gambaran triangular yang disebut

Codman triangle.

Gambar 3.1 Skema sirkulasi pada metafisis sebagai predileksi osteomielitis

(P G Bullough. Bone and Joint Infection. In: Orthopaedic Pathology 5 th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:109-139)

Gambar 3.2 Proyeksi AP dan Lateral dari lutut pasien osteomielitis anak

(Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography, Computed To-mography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigraphy. Seminar in Plastic Surgery.

Vol 23:2. 2009)

Tulang yang mengalami destruksi kemudian menghasilkan perubahan biomekanik

serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian merangsang aktivasi

osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada

foto polos radiologi sebagai area sklerosis.

Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui kanalis

Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara renggang terhadap tulang

jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa. Keadaan ini memungkinkan penyebaran in-

feksi ke area subperiosteum, yang menyebabkan akumulasi infiltrate (nanah) dan destruksi ko-

rteks tulang. Korteks tulang yang mengalami destruksi mengakibatkan formasi tulang periosteal

atau disebut reaksi periosteal (Gambar 3.3). Jika infeksi bersifat agresif, maka akan menye-

babkan destruksi pada bagian sentral dari tulang baru periosteal membentuk gambaran triangu-

lar yang disebut Codman triangle (Gambar 3.7).

Gambar 3.3 Proyeksi AP pada kaki pasien anak usia 13 bulan dengan osteomielitis akut

(Khan S H M, Bloem J L. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. 2005. Springer. New York. p647-659)

Pada proses infeksi kronis, akan terbentuk selubung tulang baru periosteal yang mengelilingi

tulang yang mengalami infeksi dan memberikan gambaran involukrum. Selanjutnya, jalur yang dile-

wati oleh agen infeksi menuju daerah subperiosteal akan membesar dan membentuk hubungan lang-

sung antara rongga medulla dengan jaringan lunak sekitar tulang. Gambaran ini pada foto polos radi-

ologi dikenal sebagai kloaka. Gambaran involukrum dan kloaka pada radiologi konvensional terlihat

jelas pada Gambar 3.6.

Proses infeksi dan respons inflamasi yang terus berlanjut akan meningkatkan tekanan di-

dalam jaringan tulang yang menyebabkan penurunan aliran darah balik vena dan infark tulang. Hal ini

menyebabkan terbentuknya fragmen jaringan tulang yang mati didalam jaringan tulang yang terinfeksi

atau disebut juga sequestrum. Gambaran sekuestrum terlihat pada Gambar 3.5. Keberadaan sequestra

menjadi penting untuk diketahui karena akan menentukan penanganan selanjutnya.

Gambar 3.4 Diagram proses osteomielitis kronis

(D P Lew, F A Waldvogel. Osteomyelitis. 2004 Avalaible from: www.thelancet.com Vol 364)

1.2.2. Osteomielitis pada Dewasa2,8

Proses osteomielitis pada dewasa terjadi akibat infeksi eksogen, misalnya akibat fraktur ter-

buka atau pasca tindakan bedah. Gambaran radiografi konvensional pada osteomielits dewasa

menyerupai gambaran pada anak. Namun pada dewasa perlekatan periosteum dan tulang yang sangat

erat, maka penyebaran infeksi subperiosteal jarang ditemukan.

18

Serupa dengan proses pada anak, osteomielitis kronis pada dewasa juga dapat ditemukan

proses sklerotik yang besar disertai area destruksi tulang. Gambaran sequestrum (Gambar 3.5), Cod-

mans triangle, kloaka dan involukrum juga dapat ditemukan melalui proses yang sama.

Gambar 3.5 Proyeksi Lateral Lutut: kronik osteomielitis pada pria 42 tahun

(S H M Khan, J L Bloem. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In:Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. Springer. New York. 2005. p647-659)

Gambar 3.6 Proksimal humerus proyeksi AP pada pasien osteomielitis

(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Muscu-loskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.)

19

Gambar 3.7 Digiti III proyeksi PA dan oblik pada pasien osteomielitis akut.

(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Mus-culoskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.)

1.2.3. Abses Brodie

Umumnya, tubuh akan melakukan lokalisasi tulang yang terinfeksi pada area tertentu

untuk mencegah penyebaran infeksi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya abses di dalam

rongga medulla tulang.2

Abses Brodie awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun 1832, merupakan bentuk

lokal osteomielitis subakut, dan sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi

(sekitar 40%) pada dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki. 18 Lokasi

abses sering ditemukan pada metafisis dari tibia atau tulang paha, dan memberikan gambaran

pada foto polos radiologi berupa area lusen yang dikelilingi oleh tepi sklerotik. 3

Gambar 3.7 Abses Brodie(M S Patel, F Gaillard, et al. Osteomielisis. Di akses pada 21 Maret 2013. Available from:

http://radiopaedia.org/articles/osteomyelitis)

Tabel 3.3 Hubungan Gambaran Radiologi Dengan Perubahan Patologis

(Resnick D, Nawayama G. Osteomyelitis, septic arthritis and soft tissue infection: mechanisms and situations. In: Diagnosis of Bone and Joint Disorders 3rd ed. Philadelphia. WB Saunders.

1995. p:2325-2418).

DAFTAR PUSTAKA

1. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. Avalaible from: www.thelancet.com Vol 364.

2004

2. King RW. Osteomyelitis, 2009. Available at http://www.emedicine.com. [diakses 26 Maret

2013]

3. Reinus WR. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of

Musculoskeletal Diseases.. New York. Springer. 2010. p363-405.

4. Khan SHM, Bloem JL. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: Radio-

logic-Pathologic Correlation from Head to Toe. New York. Springer. 2005. p647-659

5. Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography,

Computed Tomography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigra-

phy. Seminar in Plastic Surgery. Vol 23:2. 2009

6. Safadi FF, et al. Bone Structure, Development and bone biology. In: Bone Pathology

2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50

7. Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine.

Vol 69. pp262-269. 2002

8. Safadi FF, Khurana JS. Bone Structure and Function. In: Diagnostic Imaging of Mus -

culoskeletal Diseases. New York. Springer. 2010. p:1-13

9. P G Bullough. Normal Skeletal Structure and Development. In: Orthopaedic Pathol -

ogy 5th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39

10. Raggatt LJ, Patridge NC. Celular and Molecular Mechanisms of Bone Remodelling. The

Journal of Biological Chemistry. Vol 285:33. 2010.

11. Resnick D, Niwayama G. Osteomyelitis, septic arthritis,and soft tissue infection: mecha-

nisms and situations. In: Diagnosis of bone and joint disorders. Philadelphia. Saunders.

2004. pp 2354–2418

12. Jaramillo D. Infection: Musculoskeletal. Pediatric radiol. Vol 41. pp:8127-8134. 2011

13. Steer AC, Carapetis JR. Acute hematogenous osteomyelitis in children: recognition and

management.. Paediatric Drugs. Vol 6. pp:333–346. 2004

14. Zink B. Bone and joint infections. In: Rosen’s Emergency Medicine: Concepts and Clinical

Practice. NewYork. Mosby. 2006

15. Vaudaux HM, Pittet PE, et al. Fibronectin, fibrinogen, and laminin act as mediators of ad-

herence of clinical staphylococcal isolates to foreign material. J Infect Dis Vol:158.

pp:693–701. 1988

16. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. N Engl J Med Vol:336. pp:999–1007. 1997

17. Cierny G, Mader JT, Pennick JJ. A clinical staging system for adult osteomyelitis. Con-

temp Orthop. Vol:10. p:17-37. 1985

18. Rasjad C., Infeksi dan Inflamasi. Dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Jakarta.

Yarsif Watampone. 2007. p132- 41

19. Greenspan A. Orthopedic Radiology: A Practical Approach, 3rd ed. Philadelphia. Lippin-

cott Williams & Wilkins. 2000.

20. Craig, M. Pott’s Disease: Tuberculous Spondylitis. 2009. Available at:

www.med.un c.edu/3.30.09CraigPott'sDz.pdf   Diakses tanggal 26 Maret 2013

21. Lee, MC. Instrumentation in Patients With Spinal Infection: Discussion. 2004. Available

at: http://www .medscape.com/viewarticle/496404_4 . Diaksestanggal 26 Maret 2013