Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga dengan Subjective Well-Being Pada … · 2016. 11. 28. ·...
Transcript of Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga dengan Subjective Well-Being Pada … · 2016. 11. 28. ·...
HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN SUBJECTIVE
WELL-BEING PADA SISWA-SISWI SMA N 5 SEMARANG
OLEH
LOLLA PURPITA FIASARI NINGRUM SILALAHI
80 2009 103
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN SUBJECTIVE
WELL-BEING PADA SISWA-SISWI SMA N 5 SEMARANG
Lolla Purpita Fiasari Ningrum Silalahi
Chr. Hari Soetjiningsih
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
2015
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga
dengan subjective well-being pada siswa-siswi SMA N 5 Semarang. Teknik sampling
yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel jenuh dengan partisipan sebanyak
108 siswa-siswi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Manual for the
Multidimentional Student’ Life Satisfaction Scale (MSLSS), skala psikologis untuk
mengukur kepuasan domain, Positive Affective and Negative Affective Scale (PANAS)
dan Family Environment Scale (FES). Hubungan antara keberfungsian keluarga dengan
subjective well-being diuji dengan korelasi Pearson’s Product Moment. Koefisien
korelasi yang diperoleh sebesar 0,203 dengan nilai signifikansi 0,018, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keberfungsian
keluarga dengan subjective well-being pada siswa-siswi SMA N 5 Semarang.
Kata kunci : Keberfungsian keluarga, subjective well-being,remajaakhir
ii
ABSTRACT
The aim of this study is to find out the relationship between family functioning with
subjective well-being on students of SMA N 5 Semarang. The sampling technique used
in this study is a sampling saturated with 108 partisipants. The data was collected
usingManual for the Multidimentional Student’ Life Satisfaction Scale (MSLSS), scale
to measure satisfaction psychological domain, Positive Affective and Negative Affective
Scale (PANAS), and Family Environment Scale (FES).The relationship between family
functioning and subjective well-being tested with Pearson's product moment
correlation. The obtained correlation coefficient is at 0,203 with a significance value of
0.018, thus it can be concluded that there is a significant positive correlation between
family functioning with subjective well-being on students of SMA N 5 Semarang.
Keywords: family functioning, subjective well-being ,late adolescence
1
PENDAHULUAN
Dalam perjalanan hidupnya setiap individu pasti mengalami berbagai
macam peristiwa. Baik peristiwa menyenangkan maupun tidak menyenangkan.
Menyenangkan atau tidaknya peristiwa-peristiwa tersebut, tergantung
bagaimanacara individu tersebut menilainya. Setiap individu memiliki caranya
masing-masing dalam menyikapi setiap peristiwa. Ada individu yang mampu
mengatasi peristiwa yang tidak menyenangkan, tapi ada juga yang tak mampu
mengatasinya, dalam hal ini remaja.
Remaja merupakan suatu tahap perkembangan yang mencakup dalam
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999). Beberapa
peneliti menemukan bahwa terdapat kecenderungan rendahnya tingkat kepuasan
hidup pada orang-orang muda (Ehrlich & Isaacowitz, 2002 (Nisfiannor,
Rostiana &Triana, 2004)). Nolen-Hoeksema (1988) (Nisfiannor et. Al., 2004)
juga mengemukakan bahwa remaja memiliki level depresi yang tinggi dan orang
dewasa menunjukkan level depresi yang lebih. Selain itu, Arnett, 1999
(Nisfiannor et. Al., 2004) juga mengemukakan bahwa para remaja merasakan
self-concious dan kebingungan dua atau tiga kali lebih sering daripada orang tua
mereka dan juga cenderung merasa canggung, kesepian, cemas, dan diabaikan.
Belakangan ini, melalui media massa cetak dan elektronik makin sering
diberitakan berbagai fenomena kenakalan yang melanda remaja, seperti
perkelahian, pencurian, penghancuran, pelanggaran susila, pembangkangan
terhadap orang tua, guru, bahkan tindakan yang bisa menyengsarakan diri
sendiri seperti mengkonsumsi narkoba. Penelitian mengenai kenakalan remaja
2
yang di lakukan oleh Asfiyati (2003) mengungkapkan bahwa jelaslah bahwa
kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh keluarga walaupun faktor lingkungan
juga sangat berpengaruh.
Dari fenomena tersebut dapat dilihat bahwa anak usia remaja banyak
mengalami rasa tidak puas akan hidupnya. Rasa tidak puas yang dialami remaja
biasanya berpusat dari lingkungan keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh
Diener dan McGravran, (2008) bahwa keluarga merupakan sumber kepuasan
hidup yang paling penting. Dimana keluarga merupakan lingkungan pertama
dalam kehidupan manusia dan memiliki keberfungsian di dalamnya.
Keberfungsian keluarga pada dasarnya mengacu kepada kualitas interaksi
anggota keluarga (Moos & Moos dalam Stewart, 1998).
Dalam ikatan keluarga, orang-orang mengalami pergolakan dan
perubahan yang hebat, khususnya mereka yang tinggal di kota besar (Gunarsa,
1976). Jika melihat keluarga yang tinggal di daerah-daerah yang belum
mengalami maupun menikmati hasil kemajuan teknologi, kemajuan dalam dunia
industri dan sebagainya, maka dapat dilihat gambaran keberfungsian keluarga
yang tinggal di kota besar. Melihat masa sekarang ini banyak tuntutan yang
muncul baik dalam pekerjaan, kebutuhan dan hubungan sosial. Hal tersebut
memiliki pengaruh terhadap keberfungsian keluarga yang awalnya sebagai
keluarga utuh yang memiliki tugas dan peran yang jelas, baik dalam hal mencari
nafkah keluarga maupun dalam mengurusi kebutuhan sehari-hari. Namun yang
terjadi pada masa sekarang adalah tidak hanya ayah yang bekerja keluar untuk
mencari nafkah, namun ibu pun ikut bekerja di luar rumah.
3
Dengan kondisi tersebut maka keberfungsian keluarga dan tugas-tugas
dalam keluarga mulai mengalami perubahan (Nayana, 2013). Salah satunya
adalah kurangnya perhatian kepada anak, yang akan menimbulkan anak memilih
untuk mencari perhatian di luar lingkungan rumah. Namun menurut Crounter &
McHale (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa bekerja dapat menghasilkan
pengaruh positif dan negatif pada pengasuhan. Hal positif dari orangtua bekerja
menurut Santrock (2002) yaitu munculnya rasa sejahtera bagi orangtua yang
bekerja dan dapat menghasilkan pengasuhan positif. Namun tidak selamanya
kehidupan dalam keluarga berjalan mulus, terkadang dapat terjadi pertengkaran
yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat antar anggota keluarga, kesibukan
orang tua dalam usaha memenuhi kebutuhan ekonomi membuat waktu antara
orang tua dan anak berkurang, dst. Dengan adanya kondisi tersebut akan
memengaruhi subjective well-being atau kesejahteraan subjectif pada diri
seseorang dalam hal ini anak usia remaja.
Menurut McFarlane (dalam Van Der Aa, Boomsma, Rebollo-Messa,
Hudziak & Bartels, 2010), bila seorang remaja memiliki keberfungsian keluarga
yang negatif seperti keluarga yang tidak saling mendukung serta memiliki
banyak konflik maka menyebabkan remaja tersebut memiliki kualitas well-being
yang rendah. Penelitian lain oleh Joronen dan Kurki (2004) menemukan faktor-
faktor keluarga yang berkontribusi terhadap kepuasan remaja, yaitu rumah yang
nyaman, atmosfer emosional yang hangat, komunikasi yang terbuka,
keterlibatan keluarga, kemungkinan untuk membuka hubungan dengan orang di
luar keluarga dan perasaan bahwa diri penting dalam keluarga. Penelitian yang
di lakukan Ni Made (2001) mengenai tingkat keberfungsian keluarga dan
4
subjective well-being pada remaja menunjukan tidak ada perbedaan signifikan
pada kepuasan hidup, perasaan menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan
pada keluarga seimbang, mid-range, maupun tidak seimbang, tetapi ada
hubungan signifikan antara komunikasi ibu-anak dan ayah-anak dengan
kepuasan hidup dan perasaan tidak menyenangkan.
Banyak penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai keberfungsian
keluarga dengan subjective well-being pada remaja, namun sejauh yang peneliti
menemukan penelitian sebelumnya tidak memberikan spesifikasi keluarga yang
kedua orangtuanya bekerja formal (bekerja keluar rumah dan memiliki jam kerja
yang tetap). Kebutuhan remaja akan perhatian dari keberadaan dari orangtua
menarik peneliti untuk meneliti apakan keberfungsian keluarga memiliki
hubungan dengan subjective well-being pada remaja.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara keberfungsian keluarga
dengan subjective well-being pada siswa-siswi SMA N 5 Semarang. SMA N 5
merupakan sekolah menengah atas yang terletak di pusat kota Semarang yang
menurut peneliti sesuai dengan latar belakang penelitian ini yaitu kondisi remaja
di kota besar. Tujuan yang ingin dicapai ialah melihat hubungan antara
keberfungsian keluarga dengan subjective well-being pada siswa-siswi SMA N 5
Semarang. Penelitian tentu saja memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh
manusia. Berbagai masukan dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan secara
teoritis dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian
yang berhubungan dengan penelitian keberfungsian keluarga dan subjective
well-being pada remaja. Selain itu manfaat praktisnya adalah untuk menambah
5
pengetahuan para pembaca, khususnya mahasiswa Psikologi, pendididk serta
masyarakat yang peduli terhadap keberfungsian keluarga dan subjective well-
being pada remaja. Memberi informasi bagi anggota keluarga untuk menyikapi
keberfungsian keluarga bagi kesejahteraan subjektif anggota keluarga,
memberikan pandangan baru sehingga keluarga di kota besar khususnya dapat
mengerti akan keberfungsian keluarga dalam kehidupan berkeluarga dan
memberikan pandangan baru pada remaja dalam menyikapai kehidupan di
tengah keluarga dan lingkungan sosial.
Subjective Will Being
Subjective Well-Being didefinisikan sebagai sebuah evaluasi kognitif dan
afeksi seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk, 2003).Subjective Well-Being
merupakan istilah besar yang digunakan untuk menggambarkan level well-being
yang dialami individu menurut evaluasi subyektif atas hidup mereka sendiri.
Evaluasi ini bisa berupa positif atau negatif, termasuk penilaian dan perasaan
mengenai kepuasan hidup, minat dan keterikatan, reaksi-reaksi afektif seperti
gembira dan sedih atas peristiwa hidup, kepuasan dalam pekerjaan, hubungan,
kesehatan, hiburan, makna dan tujuan, dan bidang-bidang penting lainnya
(Diener & Ryan, 2008).
Komponen Subjective Well Being
Subjective Well-Being memiliki tiga komponen yaitu kepuasan hidup,
kepuasan domain, dan afektif (Diener et. al., 2003; Schimach, 2008; Diener,
Lucas, & Oishi, 2002). Kepuasan hidup adalah penilaian individu terhadap
kualitas kehidupannya secara global. Individu dapat menilai kondisi
6
kehidupannya, menentukan kepentingan dari kondisi itu dan mengevaluasi
kehidupannya pada skala yang berkisar dari tidak puas hingga puas.
Kepuasan domain merefleksikan eveluasi seseorang mengenai aspek
khusus dalam hidupnya. Kepuasan domain ini penting karena dengan mengukur
kepentingan domain dari kehidupan seseorang. Kepuasan domain ini dapat
memberikan informasi mengenai bagaimana seseorang menyusun penilaian
globalnya mengenai kebahagiaan dan juga memberikan informasi yang detil
tentang aspek khusus kehidupan seseorang. Kepuasan domain juga dibagi dalam
berbagai domain-domain tertentu. Diener et al. (1999) membagi kepuasan
domain menjadi pekerjaan, keluarga, waktu luang, kesehatan, diri, dan
keuangan. Schimmack, Diener, Oishi, dan Suh (dalam Eid & Larsen, 2006)
membagi tujuh domain yaitu romantis, keuangan, keluarga, pendidikan,
kehidupan sosial, rekreasi dan tempat tinggal. Lebih lanjut Schimmack dan
Oishi (dalam Eid & Larsen, 2006) menyebutkan sepuluh domain yaitu
pendidikan, rekreasi, romantis, keluarga/orang tua, persahabatan, kesehatan,
tempat tinggal, lalu lintas, cuaca, dan peningkatan tujuan. Loewe,
Bagherzadehniri, Anaya, Thieme, dan Batista-Foguet (2013) mencoba
mengkombinasikan domain-domain dari beberapa penelitan yang kemudian
menyimpulkan domain-domain yang sering disebutkan dalam beberapa
penelitian yaitu kesehatan, keuangan, sosial, diri sendiri, waktu luang, keluarga,
dan pekerjaan.
Komponen afektif terdiri dari dua indikator utama yaitu perasaan positif
dan perasaan negatif. Perasaan positif merefleksikan keadaan suasana hati yang
7
positif dari seseorang, sedangkan perasaan negatif merefleksikan keadaan
suasana hati yang negatif. Pada Positive and Negative affect Schedule Watson,
Clark, dan Tellegen (dalam Carwford, & Henry, 2004) merincikan perasaan
positif antara lain tertarik, waspada, penuh perhatian, bergairah, antusias,
bersemangat, bangga, tekun, kuat, dan aktif. Menurut Diener et al. (1999)
kesenangan, gembira, kepuasan/ kebanggaan, cinta, kebahagiaan, dan
kegembiraan yang meluap-luap merupakan afek positif atau perasaan
menyenangkan merupakan bagian dari positive affect. Selanjtunya, perasaan
negatif dapat disebut unpleasant feelings atau perasaan tidak menyenangkan
yang merupakan refleksi keadaan suasana hati yang negatif. Perasaan negatif
menurut Diener et al. (1999) menyebutkan bersalah dan malu, kesedihan,
kecemasan dan marah, stres, depresi dan iri hati merupakan perasaan negatif
atau perasaan tidak menyenangkan.
Faktor yang Memengaruhi Subjective Well-Being
Menurut Diener (1984) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
subjective well-being seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai
berikut:
a. Kepuasan Subjektif (subjective satisfaction)
Penilaian mengenai kepuasan cenderung berpengaruh pada subjective
well-being daripada kesejahteraan secara objektif. Hal ini menginformasikan
perbandingan kepuasan pada berbagai jenis domain dan kepuasan hidup
secara keseluruhan. Kepuasan seseorang terhadap domain dan kepuasan
hidup secara keseluruhan. Kepuasan seseorang terhadap domain
8
kehidupannya berpengaruh pada Subjective well being seperti yang
dijelaskan pada topdown theory, dimana kesejahteraan pada domain
mengakibatkan subjective well-being.
b. Pendapatan/Income
Kepuasan pada pendapatan juga berhubungan dengan kebahagiaan. Meski
demikian pengaruh pendapatan terhadap kesejahteraan subjektif relatif
rendah, ketika faktor-faktor lainnya terkontrol. Veen hoven (dalam Diener,
1933) mengemukakan bahwa pendapatan membantu seseorang dalam
memenuhi kebutuhannya secara universal.
c. Faktor Demografis
1. Usia/Age
Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan antara usia
dengan kesejahteraan subjektif, dimana orang muda lebih merasa
bahagia dibanding orangtua. Braun (dalam Diener, 1984) menemukan
bahwa orang muda lebih banyak melaporkan tingkatan yang lebih kuat
mengenai perasaan positif dan negatif, sedangkan orangtua melaporkan
tingkatan yang lebih baik mengenai kebahagiaan secara keseluruhan.
2. Gender
Meskipun wanita lebih sering mengalami perasaan negatif, namun
wanita nampak lebih merasakan kesenangan, hal ini menunjukan adanya
sedikit perbedaan pada kebahagiaan secara global atau kepuasan yang
biasanya ditemukan pada jenis kelamin. Meski demikian beberapa
penelitian menemukan bahwa wanita muda lebih merasa senang
dibanding pria muda, dan wanita yang lebih tua lebih merasa tidak
9
bahagia di bandingkan pria yang lebih tua. Terdapat perbedaan antara
wanita dan pria, namun tidak terlalu besar. Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Fujita (dalam Römer, Klingebiel & Tomasik, 2008)
menyebutkan bahwa wanita memiliki perasaan positif dan kepuasan
hidup yang lebih tinggi.
3. Suku Bangsa/Race
Masyarakat berkulit hitam memiliki subjective well-being yang lebih
rendah daripada kulit putih. Meski demikian , faktor-faktor lain seperti
usia, pendidikan, penghasilan dan urbanitas belum terkontrol, sehingga
dampak ras pada subjective well-being belum begitu nampak.
4. Pekerjaan/Employment
Campbell (dalam Diener, 1984) menemukan bahwa orang-orang
pengangguran adalah grup yang sangan tidak bahagia. Hal ini
dikarenakan pengangguran sangat berdampak besar pada subjective well-
being pada beberapa orang yang mengalami kesulitan finansial. Selain
itu, kepuasan kerja berdampak pada subjective well-being, karena
sebagian besar orang dewasa menghabiskan waktunya di tempat kerja
(Russell, 2008).
5. Pendidikan/Education
Beberapa penelitian menemukan bahwa pendidikan tidak berpengaruh
signifikan terhadap subjective well-being. Namun penelitian-penelitian
lain menemukan bahwa pendidikan lebih berpengaruh untuk wanita.
Meski demikian analisis yang dilakukan Campbell (dalam Diener, 1984)
menyatakan bahwa meskipun pendidikan mungkin ada sebgai akal
10
seseorang, pendidikan juga memampukan seseorang untuk meningkatkan
aspirasi dan mempersiapkan alternatif tipe kehidupan pada seseorang.
6. Agama/Religion
Kepercayaan religi berhubungan dengan mood positif. Spreitzer dan
Snyder (dalam Diener, 1984) menemukan bahwa agama memiliki
pengaruh yang signifikan pada orang-orang dibawah 65 tahun, namun
justru tidak berpengaruh pada subjek orangtua.
7. Pernikahan dan Keluarga/Marriage and Family
Banyak penelitian yang mengindikasikan bahwa orang yang menikah
dilaporkan memiliki subjective well-being yang lebih besar daripada
orang-orang yang tidak menikah. Campbell (dalam Diener, 1984) ketika
seseorang beralih dari kenyataan objektif tentang pernikahan ke
pentingnya kepuasaan pernikahan pada kebahagiaan secara global
menyebabkan pernikahan dan kepuasan keluarga menjadi salah satu
prediktor terpenting pada subjective well-being.
d. Perilaku dan Outcome
1. Kontak Sosial/Social Contact
Banyak penelitian yang menemukan korelasi antara kepuasan pada
teman atau pengukuran subjektif lain dan subjective well-being. Meski
demikian, banyak penelitian menemukan bahwa terdapat korelasi positif
antara berbagai macam pengukuran aktifitas sosial dan subjective well-
being. Sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan
kebahagiaan, merekomendasikan kontak sosial sebagai cara untuk
11
meningkatkan subjective well-being dan program tersebut berjalan
dengan efisien, Fordyce (dalam Diener, 1984).
2. Peristiwa hidup/Life Events
Bukti-bukti menuenjukan bahwa peristiwa menyenangkan dan peristiwa
buruk itu berdiri sendiri pada kehidupan individu. Peristiwa
menyenangkan hubungan dengan perasaan positif dan peristiwa buruk
berhubungan dengan perasaan negatif.
3. Aktifitas/Activities
Aktifitas cenderung menjadi perilaku dimana peristiwa-peristiwa yang
terjadi menjadi hal yang dihasilkan atau tampak. Penelitian yang
didasarkan pada sempel orangtua cenderung untuk bermacam-macam hal
seperti kontak sosial, aktifitas fisik, hobi dan partisipasi dalam organisasi
formal.
4. Kepribadian/Personality
Kepribadian dikatakan dapat mempengaruhi kebahagiaan. Ekstraversi
dan neurotisme memiliki korelasi tinggi pada subjective well-being.
Costa dan McCrae (dalam Diener, 1984) menemukan bahwa ekstraversi
berhubungan dengan perasaan positif, sedangkan neurotism berhubungan
dengan perasaan negatif.
5. Faktor Biologis
Kesehatan berhubungan dengan subjective well-being. Meski demikian
hubungan ini bersifat relatif. Kesehatan subjektif berhubungan kuat
dengan subjective well-being, sedangkan kesehatan objektif (kesehatan
12
yang diukur) memiliki hubungan yang lemah terhadap subjective well-
being.
Singkatnya, terdapat berbagai faktor yang dapat memengaruhi subjective
well-being yaitu kepuasan subjektif; pendapatan; faktor-faktor demografis
diantaranya usia, gender, ras, pekerjaan, pendidikan, agama, dan pernikahan dan
keluarga; perilaku dan outcomes antara lain kontak sosial, peristiwa hidup, dan
aktivitas; kepribadian; faktor biologis; dan faktor lainnya seperti komitmen
organisasi, faktor genetis dan budaya.
Keberfungsian keluarga
Keberfungsian keluarga pada dasarnya mengacu kepada kualitas interaksi
anggota keluarga. Secara spesifik dapat dilihat dari jumlah komunikasi, keluarga
dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi, konflik yang terjadi
dalam keluarga, dukungan dan kasih sayang antar anggota keluarga, kemampuan
mengekspresikan apa yang dirasakan dan diinginkan, menghabiskan waktu
bersama, kebebasan antar anggota keluarga, orientasi prestasi, moral,
keagamaan, dan penyelesaian masalah yang dapat dilakukan anggota keluarga
(Moos dan Moos dalam Stewart, 1998). Keberfungsian keluarga menjadi tempat
individu dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri, didalamnya terdapat rasa cinta
dan kebersamaan antara anggota keluarga. Antar anggota keluarga dapat
memberikan waktu dan dukungan antara satu dengan yang lain, peduli terhadap
keluarga dan membuat kesejahteraan anggota keluarga menjadi prioritas dalam
kehidupan. Keberfungsian keluarga juga dapat didefinisikan sebagai keluarga
13
yang telah mampu melaksanakan fungsinya, ditandai dengan terpenuhinya
karakteristik yang ada.
Menurut Shek (lestari, 2012) menyatakan bahwa secara umum
keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga, baik pada
level sistem maupun subsistem dan berkenaan dengan kesejahteraan, kompetisi,
kekuatan dan kelemahan keluarga. Keberfungsian keluarga menurut Shek dapat
dilihat dari tingkatan kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strenght)
keluarga dalam menghadapi tantangan.Kelentingan keluarga (resiliency)
merupakan kemempuan untuk bangkit dari penderitaan dengan menjadi lebih
kuat dan lebih memiliki sunber daya. Sedangkan kekukuhan keluarga
menggambarkan kualitas relasi di dalam keluarga yang menyumbang bagi
kesehatan emosi dan kesejahteraan bagi anggota keluarga di dalamnya (Shek
dalam Lestari, 2012).
Dimensi Keberfungsian Keluarga
Dimensi yang terdapat dalam keberfungsian keluarga antara lain (Moos
&Moos, 2002), antara lain;
1. Dimensi Relationship memiliki aspek sebagai berikut:
a. Cohesion : Derajat komitmen, bantuan, dan dukungan yang
diberikan anggota keluarga satu sama lainnya.
b. Expressiveness : Sejauhmana anggota keluarga diperbolehkan
untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung.
c. Conflict : Jumlah / banyaknya kemarahan dan konflik yang
diekspresikan secara terbuka diantara anggota keluarga.
14
2. Dimensi Personal Growth memiliki aspek sebagai berikut:
a. Independence : Sejauh mana anggota keluarga dapat bersikap
tegas, mampu mandiri, dan membuat keputusan sendiri.
b. Achievement Orientation : Seberapa banyak aktifitas yang termasuk
dalam kerangka / pola kerja yang berorientasi pada prestasi atau
persaingan.
c. Intellectual-Cultural Orientation : Tingkat ketertarikan anggota
keluarga terhadap hal-hal politik, intelektual, dan budaya.
d. Active-recreational Orientation : Jumlah partisipasi anggota
keluarga dalam kegiatan sosial dan rekreasi.
e. Moral-religious emphasis : Adanya penekanan pada etika
dan nilai-nilai agama.
3. Dimensi System Maintenance memiliki aspek sebagai berikut:
a. Organization : Derajat pentingnya pengaturan yang jelas dalam
merencanakan aktivitas dan tanggungjawab dalam keluarga.
b. Control : Seperangkat aturan dan prosedur yang digunakan untuk
menjalankan kehidupan keluarga.
Berdasarkan uraian mengenai dimensi keberfungsian keluarga yang
diungkapkan oleh Moos dan Moss (2002), maka disimpulkan dimensi
keberfungsian keluarga terdiri dari dimensi relationship dengan aspek saling
mendukung antar anggota keluarga, adanya kesempatan untuk mengeluarkan
pendapat, dan keterbukaan konflik yang terjadi dalam keluarga; dimensi
personal growth dengan aspek adanya kebebasan dalam menentukan keputusan
sendiri, adanya orientasi menekankan pada prestasi, anggota keluarga
15
memberikan kesempatan untuk menyukai berbagai bidang yang diinginkan,
seperti politik, ilmuan, ataupun budaya, adanya kebersamaan yang diwujudkan
melalui rekreasi ataupun aktivitas sosial, dan antar anggota keluarga
menjalankan nilai agama dan etika yang sudah diatur dalam keluarga; dimensi
system maintenance dengan aspek adanya tanggung jawab masing-masing
anggota keluarga terhadap keluarga dan adanya aturan yang mengatur setiap
anggota keluarga.
Remaja Akhir
Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin yaitu adoelscere
kata bendanya adalah adolescentia yang artinya adalah “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”. Masa remaja (adolescence) adalah suatu tahap dalam
perkembanganyang mencakup dalam kematangan mental, emosional, sosial dan
fisik. Masa remaja juga merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak
menuju dewasa baik dalam hal fisik, kognitif dan psikososial. Remaja menurut
Hurlock, 1999 merupakan individu yang berusia antara 13 sampai 18 tahun
dengan pembagian usia 13-16 tahun termasuk masa remaja awal dan usia 16-18
tahun termasuk usia remaja akhir.
16
Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (Hurlock, 1999)
adalah sebagai berikut :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
e. Mempersiapkan karier ekonomi.
f. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
g. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku - mengembangkan ideologi.
Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Subjective Well-Being
pada Remaja Akhir
Masa remaja sudah sejak dulu dianggap sebagai masa yang sulit secara
emosional (Hall dalam Santrock, 2007). Masa remaja itu berada pada tahap
peralihan yang rentan terhadap masalah. Masalah dapat berasal dari sekolah,
teman kelompok dan keluarga, dan masalah dapat menjadi sulit diatasi (Patil
dalam Aminbhavi, 2003). Banyak remaja yang ketika menghadapi masalah
memilih untuk melampiaskannya dengan merokok, minum-minuman
beralkohol, pergi dengan teman, penggunaan obat-obat terlarang, dan terlibat
17
seks bebas. Penyebab dari kenakalan tersebut sangatlah bermacam-macam, salah
satunya adalah faktor lingkungan dan faktor keluarga (Sarwono, 1989).
Dua atau lebih individu yang tergabung dalam keluarga karena adanya
ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan
emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga
(Friedman, 1998). Di dalam keluarga terbagi atas kepala keluarga (ayah), ibu,
dan anak-anak yang saling mengisi dan berbagi sebagai keluarga untuk
mewujudkan fungsi di dalamnya. Keberfungsian keluarga menjadi pengaruh
yang sangat kuat dalam mempegaruhi kesejahteraan psikologis dan subjektif
anak dan orang tua dalam menerima kebahagian sepanjang waktu.
Keberfungsian keluarga menurut Moos danMoos, (2002) mengacu pada kualitas
interaksi keluarga. Interaksi tersebut dapat dilihat dari karakteristik yang ada dari
jumlah komunikasi, dukungan dan kasih sayang anggota keluarga, dst.
Keluarga memiliki arti dan peran yang penting untuk ikut bertanggung
jawab atas setiap kebutuhan anggota keluarganya, dalam hal ini anggota
keluarga usia remaja. Ada beberapa faktor dalam keluarga yang dapat
menyebabkan remaja mudah mengalami stress atau depresi yaitu kondisi
orangtua yang mengalami stress atau depresi, orangtua yang tidak memberikan
dukungan emosional, orangtua yang memiliki konflik perkawinan, dan juga
orangtua yang memiliki masalah keuangan (Blatt, 2004; Graber, 2004; Holmes
& Holmes, 2005). Oleh sebab itu keluarga harus dapat menciptakan lingkungan
yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan penuh semangat agar
tercipta kesejahteraan (subjective well-being) bagi anggota keluarga. Subjective
well-being (SWB) merupakan konsep yang luas dalam kehidupan seseorang
18
secara keseluruhan. Subjective well-being ini dipengaruhi oleh banyak faktor,
diduga salah satunya adalah keberfungsian keluarga.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : ada hubungan korelasi positif
antara keberfungsian keluarga dengan subjective well-being pada siswa-siswi di
SMA N 5 Semarang.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional untuk
meneliti hubungan keberfungsian keluarga dengan subjective well-being pada
remaja (siswa-siswi) Sekolah Menengah Atas Negeri 5 di Semarang. Adapun
variable-variabel dalam penelitian ini variable bebas adalah keberfungsian
keluarga dan variable tergantung adalah subjective well-being.
Partisipan
Subjek dalam penelitian inia dalah remaja akhir (siswa-siswi) SMA N 5
Semarang yang memiliki usia 16-18 tahun (Hurlock, 1999) yang di mana usia
tersebut di golongkan dalam usia sekolah menengah atas pada kelas XII dan usia
mahasiswa tingkat awal.
Kriteria partisipan merupakan anak usia remaja akhir, memiliki orangtua
dan saudara, tinggal dengan orangtua dan saudara dan kedua orangtua bekerja
formal. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 108 partisipan. Teknik
19
pengambilan sample yang di gunakan adalah teknik sampling bertujuan
(purposive sampling), artinya peneliti memiliki tujuan (kriteria) bagi partisipan.
Instrumen alat ukur
Terdapat dua jenis skala psikologis untuk pengukurannya. Untuk
mengukur subjective well-being digunakan dua skala psikologis yang
dimodifikasi oleh penulis dengan mengacu pada skala Manual for the
Multidimentional Student’ Life Satisfaction Scale (MSLSS) dirancang untuk
memberikan profil multidimensi penilaian kepuasan hidup anak-anak dan remaja
yang diukur dari 5 domain (keluarga, sekolah, teman, lingkungan dan diri
sendiri) (Huebner, 2001) dan Positive and Negative Affect Schedule (PANAS)
untuk mengukur perasaan positif dan negatif dengan aitem-aitem seperti
“bermusuhan, antusias, penuh perhatian, lekas marah” (Crawford & Henry,
2004). Kedua alat ukur tersebut mengacu berdasarkan teori kepuasan diri
(subjective well-being) dari Diener. Dari skala yang digunakan, maka
terbentuklah 2 skala psikologis untuk mengukur subjective will being. Skala 1
merupakan MSLSS dengan 40 aitem untuk pengukuran domain, danskala 2 yaitu
PANAS dengan 20 aite. Sedangkan untuk mengukur keberfungsian keluarga
peneliti menggunakan Family Environment Scale (FES), dimana aitem-aitemnya
disusun berdasarkan dimensi keberfungsian keluarga yang diungkapkan oleh
Moos dan Moos (2002). Skala psikologis untuk mengukur keberfungsian
keluarga merupakan modifikasi penulis berdasarkan skala yang dibuat oleh
Moos dan Moos (2002) dalam Sari (2012).
Dalam penelitian ini uji coba skala psikologis menggunakan try out
terpakai. Dari hasil penghitungan yang dilakukan menggunakan SPSS 16.0
20
dengan standar daya diskriminasi item dinilai berdasar item-total correlation
pada program SPSS 16.0 sebesar > 0,3. Skala 1 setelah 2 kali peghitungan
terdapat 17 aitem gugur sehingga aitem yang dapat digunakan sebanyak 23
aitem . Untuk skala 2 terdapat 7 aitem gugur setelah 2 kali penghitungan
sehingga aitem yang bertahan berjumlah 13 aitem. Sedangkan untuk skala 3
menghasilakan 32 aitem dengan 2 kali penghitungan.
Setelah didapat aitem-aitem yang gugur dan aitem-aitem yang dapat
digunakan, kemudian dilakukan penghitungan dengan bantuan Alfa Cornbach
untuk mendapatkan reliabilitas skala yang digunakan sebagai alat ukur. Dari
hasil penghitungan tersebut, didapat hasil reliabilitas skala 1 yaitu kepuasan pada
siswa sebesar 0,859, skala 2 yaitu afektif sebesar 0,801, dan skala 3 yaitu
keberfungsian keluarga sebesar 0,894.
Prosedur Pengambilan Data
Penelitian ini dimulai dengan pembuatan skala psikologis. Pembuatan
skala psikologis ini mengalami proses bimbingan yang kemudian menghasilkan
tiga skala pengukuran. Skala 1 mengukur variabel SWB untuk komponen
kepuasan hidup dan kepuasan domain pada siswa dengan jumlah 40 aitem. Skala
2 berjumah 20 aitem untuk mengukur komponen afektif variabel SWB, dan
skala 3 untuk mengukur variabel keberfungsian keluarga dengan jumlah 48
aitem. Sebelum pengambilan sampel dilakukan, peneliti melakukan uji coba
bahasa terlebih dahulu kepada 10 orang responden yang memiliki kriteria yang
sama seperti partisipan dari penelitian ini yaitu siswa-siswi SMA Kristen 1
Salatiga. Saat melakukan uji bahasa kesepuluh partisipan tidak mengalami
kesulitan dalam memahami bahasa, sehingga tidak adanya perbaikan.
21
Setelah proses bimbingan menemui kesepakatan, maka penulis mendapat
ijin melakukan penelitian pada tanggal 27 November 2014. Pengambilan data
penelitian dilakukan pada tanggal 7-10 Januari 2015, dilakukan dengan metode
purposive sampling. Artinya, peneliti memiliki tujuan (kriteria) bagi partisipan.
Dari 12 kelas yang terdapat di SMA N 5 Semarang peneliti hanya diberikan 9
kelas, dikarenakan jadwal dan urusan sekolah dari guru yang mengampu mata
pelajaran bimbingan konseling. 9 kelas tersebut adalah XII IPA 1, XII IPA 2,
XII IPA 3, XII IPA 4, XII IPA 7, XII IPA 8, XII IPA 9, XII IPA 10 dan XII IPS
2. Dari masing-masing kelas didapat jumlah partisipan yang sesuai kriteria 10-
16 partisipan. Kemudian peneliti membagikan skala kepada calon partisipan
yang sesuai dengan kriteria penelitian. Terkumpul 108 partisipan yang bersedia
mengisi skala yang diberikan peneliti kepada partisipan. Setelah dilakukan
pengambilan data, maka dilakukan penghitungan reliabilitas dan korelasi antar
aitem, uji asumsi, dan uji hipotesis menggunakan bantuan program SPSS ver.
16.00.
TeknikAnalisis Data
Untuk melihat hubungan antara keberfungsian keluarga dengan
subjective well-being pada siswa-siswi SMA N 5 Semarang menggunakan uji
korelasi. Untuk menguji daya deskriminasi aitem maupun reliabilitas pada
penelitian ini menggunakan teknik Alfa Cornbach. Pengujian normalitas pada
penelitian ini menggunakan Kolmogorov-Smirnov, untuk uji linearitas
digunakan ANOVA table of linearity, sedangkan pengujian hipotesisnya
menggunakan Pearson’s product momment. Analisis data dilakukan dengan
bantuan program bantu komputer yaitu SPSS 16.0 for Windows.
22
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
a. Uji Normalitas dan Linieritas
Setelah alat ukur diuji reliabilitas serta validitasnya maka peneliti
melanjutkan ke pengujian asumsi. Langkah yang harus diambil adalah:
Melakukan uji signifikansi dengan hasil koefisien Kolmogorov-Smirnov di
dapatkan bahwa skor K-S-Z SWB dengan signifikansi sebesar 0,644 (p>0,05)
sedangkan skor K-S-Z keberfungsian keluarga dengan signifikansi sebesar 0,652
(p>0,05). Dari hasil tersebut, maka data kedua variabel dapat dikatakan
berdistribusi normal.
Uji linearitas dilakukan agar mengetahui hubungan antar variabel memiliki
hubungan secara linear atau tidak secara signifikan. Dari hasil uji linearitas yang
dilakukan dengan menggunakan ANOVA table of linearity, maka didapatkan
hasil Fbeda dengan signifikansi sebesar 0.928 (p>0,05). Artinya keberfungsian
keluarga dan SWB memiliki hubungan yang linear.
Uji Statistik Deskriptif
Setelah dilakukan uji asumsi, maka stastistik deskriptif dilakukan, untuk
mengetahui kategorisasi tiap variabel. Total aitem untuk mengukur SWB
sebanyak 36 aitem. Melalui hasil analisis statistik deskriptif, maka dilakukan
pengkategorisasian berdasarkan 5 jenjang yaitu sangat tinggi, tinggi, cukup,
rendah, dan sangat rendah. Terdapat 5 alternatif jawaban pada skala 1 dan skala
2, sehingga didapatkan kemungkinan pembagian skor tertinggi 144, sedangkan
skor terendah 0. Sama dengan pengkategorisasian pada keberfungsian keluarga,
23
dimana terdapat 5 alternatif jawaban pada skala 3. Berdasarkan penghitungan
yang dilakukan, maka kemungkinan pembagian skor tertinggi pada
keberfungsian keluarga adalah 128, sedangkan skor terendah 0. Melalui
pengkategorisasian yang dilakukan, maka SWB siswa dapat dikategorisasikan
tinggi, sedangkan keberfungsian keluarga pada siswa dapat dikategorisasikan
rendah.
Tabel 1.
Kategorisasi SWB
Interval Kategori Frekuensi % Mean SD
115,3 ≤ x ≤ 144 Sangat tinggi 8 7,4 %
100,00
10,477
86,5≤ x ≤ 115,2 Tinggi 94 87%
57,7 ≤ x ≤ 86,4 Cukup 6 5,5%
28,9 ≤ x ≤ 57,6 Rendah 0 0%
0≤ x ≤ 28,8 Sangat rendah 0 0%
Berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 1 menunjukan bahwa 8
orang (7,4%) termasuk dalam SWB yang sangattinggi, 94 orang (87%) termasuk
dalam SWB tinggi, 6 orang (5,5%) termasuk dalam SWB cukup, dan tidak ada
yang termasuk dalam SWB rendah dan sangat rendah. Hal ini dapat diartikan
bahwa sebagian besar SWB dari siswa berada dalam kategori tinggi
24
Tabel 2.
Kategorisasi Keberfungsian Keluarga
Interval Kategori Frekuensi % Mean SD
102,5 ≤ x ≤ 128 Sangat tinggi 0 0%
44,10
14,165
76,89≤ x ≤ 102,4 Tinggi 2 1,85%
51,3 ≤ x ≤ 76,8 Cukup 27 25%
25,8 ≤ x ≤ 51,2 Rendah 69 63,9%
0≤ x ≤ 25,6 Sangat rendah 10 9,25%
Berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 2 menunjukan bahwa tidak
ada yang termasuk dalam keberfungsian keluarga yang sangat tinggi, 2 orang
(1,85%) termasuk dalam SWB yang tinggi, 27 orang (25%) termasuk dalam
keberfungsian keluarga yang cukup, 69 orang (63,9%) termasuk dalam
keberfungsian keluarga yang rendah, dan 10 orang (9,25%) termasuk dalam
keberfungsian keluarga yeng sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa
sebagian besar keberfungsian keluarga dari siswa berada dalam kategori rendah.
Tabel 3.
Skor hipotetik SWB
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
SWB 108 67.49 130.99 1.0000E2 10.47740
Valid N (listwise) 108
25
Untuk skor hipotetik hasil pengujian statistik deskriptif menunjukan
bahwa total skor minimun pada variabel SWB adalah sebesar 67,49, sedangkan
total skor maksimum sebesar 130,99 dengan mean 100,00, dan standart deviasi
10,477.
Tabel 4.
Skor Hipotetik Keberfungsian keluarga
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Keberfungsian Keluarga 108 2.00 84.00 44.1019 14.16587
Valid N (listwise) 108
Hasil pengujian terhadap variable keberfungsian keluarga menunjukkan
bahwa total skor minimum pada variabel ini adalah 2, sedangkan total skor
maksimal 84, dengan mean 44,1, dan standar deviasi 14,165.
Uji Korelasi
Langkah selanjutnya setelah melakukan uji asumsi ialah melakukan uji
korelasi dengan menggunakan Pearson-Product Moment. Adapun kemudian
dihitung dengan bantuan SPSS 16.0 for Windows.
26
Tabel 3.
Correlations
Korelasi antara Keberfungsian Keluarga dan SWB
SWB
Keberfungsian
Keluarga
SWB Pearson Correlation 1 .203*
Sig. (1-tailed) .018
N 108 108
Keberfungsian Keluarga Pearson Correlation .203* 1
Sig. (1-tailed) .018
N 108 108
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
Setelah mengetahui kelayakan data yang diperoleh melalui uji asumsi
yang dilakukan, maka dilakukan uji hipotesis dengan mengggunakan Pearson’s
product momment untuk mengetahui arah korelasi kedua veriabel. Uji korelasi
yang dilakukan menemukan bahwa korelasi antara keberfungsian keluarga
dengan SWB memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,203 dengan nilai
signifikansi sebesar 0.018 (p<0,05). Dari hasil tersebut, maka hubungan yang
kecil antara keberfungsian keluarga dan SWB.
Hasil perhitungan koefisien determinan variabel (r²) diperoleh 0,041 atau
4,1% menandakan bahwa keberfungsian keluarga memiliki sumbangan yang
efektif terhadap subjective well-being sebesar 4,1%, sedangkan sisanya 95,9%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
27
PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan positif signifikan
antara keberfungsian keluarga dengan subjective well-being. Artinya, maikin
tinggi keberfungsian keluarga pada remaja, maka makin tinggi pula SWB remaja
tersebut. Sebaliknya, semakin rendah keberfungsian keluarga pada remaja
semakin rendah juga SWB remaja tersebut. Hasil tersebut selaras dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa keberfungsian
keluarga memiliki faktor pengaruh dalam kesejahteraan pada remaja. Menurut
McFarlane (Nayana, 2013) bila seorang remaja memiliki keberfungsian keluarga
yang negatif seperti keluarga yang tidak saling mendukung serta memiliki
banyak konflik maka akan menyebabkan remaja tersebut memiliki kualitas well-
being yang rendah.
Dalam penelitian ini sebagian besar (87%) siswa pada penelitian ini
memiliki SWB dengan kategori tinggi dan 63,9% siswa memiliki keberfungsian
keluarga pada kategori rendah. Dengan kondisi tersebut dapat peneliti katakan
bahwa kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
lain salah satunya lingkungan luar. Nayana (2013) menyatakan bahwa walaupun
remaja memiliki kondisi diri yang tidak stabil namun bila ia memiliki
penerimaan diri, penyesuaian diri, adaptasi yang baik dengan lingkungannya
juga akan membuatnya nyaman dengan kondisi dirinya sendiri. Gore
(Hikmatunnisa & Takwin, 2007) menyebutkan bahwa individu dengan adaptasi
yang baik akan dapat menghadapi kejadian hidup lebih baik sehingga well-being
pun menjadi lebih baik.
28
Keberfungsian keluarga dapat dikatakan sebagai salah satu bagian
penting dalam hidup seseorang, namun tidak semua individu memiliki
keberfungsian keluarga yang baik dapat mencapai SWB yang sempurna. Hal
tersebut dikarenakan banyak faktor lain yang dapat menjadi penentu kondisi
subjective well-being pada diri seseorang yang dimana faktor-faktor tersebut
tidak diteliti dalam penalitian ini. Diener & Tay (2011) menyatakan ada
beberapa kebutuhan psikis yang membuat kondisi well-being seseorang
meningkat, yaitu interaksi sosial yang baik, penguasaan dan otonomi. Hasil
perhitungan koefisien determinan variabel (r²) diperoleh 0,041 atau 4,1%
menandakan bahwa keberfungsian keluarga memiliki sumbangan yang efektif
terhadap subjective well-being sebesar 4,1%, sedangkan sisanya 95,9%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan :
1. Bahwa ada korelasi positif yang kecil antara keberfungsian keluarga dengan
subjective well-being pada remaja dengan nilai korelasi r = 0,203 dengan p =
0,018. Semakin tinggi keberfungsian keluarga pada remaja, maka semakin
tinggi pula SWB remaja tersebut. sebaliknya makin rendah keberfungsian
keluarga pada remaja, makin rendah pula SWB remaja tersebut.
2. Sebagian besar (87%) siswa pada penelitian ini memiliki SWB dengan
kategori tinggi dan 63,9% siswa memiliki keberfungsian keluarga pada
kategori rendah.
3. Hasil perhitungan koefisien determinan variabel (r²) diperoleh 0,041 atau
4,1% menandakan bahwa keberfungsian keluarga memiliki sumbangan yang
29
kecil terhadap subjective well-being sebesar 4,1%, sedangkan sisanya 95,9%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
SARAN
Dari kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan pada pihak keluarga agar:
1. Lebih memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak baik dalam
kebutuhan psikologis maupun fisik.
2. Lebih menjalin komunikasi terhadap kegiatan maupun kehidupan anak baik
di rumah maupun di luar rumah (sekolah, teman bermain anak, tempat les,
dst).
3. Meluangkan waktu untuk quality time bersama anggota keluarga
Bagi anak-anak remaja:
1. Lebih terbuka kepada orangtua mengenani kendala dan kebutuhan.
2. Lebih memperhatikan kondisi anggota keluarga (kepada orangtua, kepada
saudara).
3. Perbanyak quality time bersama anggota keluarga.
Untuk penelitian selanjutnya, penulis memberi saran agar:
1. Dapat dilakukan penelitian serupa pada remaja secara menyeluruh di kota
Semarang.
2. Dapat melihat perbedaan SWB remaja ditinjau dari keberfungsian keluarga.
3. Melihat lebih cara penghitungan dari variabel subjective well-being.
30
Datar Pustaka
Asfriyati. (2003). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan anak. Fakultas Kesehatan,
Universitas Sumatra Utara. Diunduh pada 8 November 2014, dari
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-asfriyati1.pdf
Azwar, S. (1997). Metode penelitian. Yogyakarta: PustakaPelajar.
______ (2012). Penyusunan skala psikolgi (2nd
ed).Yogyakarta: PustakaPelajar.
Charalampous, K; Kokkinos, M, C, & Panayiotou, G. (2013). The family
environment scale: resolving psychometric problems through an
examination of a Greek translation. The International Journal of
Educational and Psychological Assessment, 13(2).
Crawford, J. R., & Henry, J. D. (2004). The positive and negative affect schedule
(PANAS): Construct validity, measurement properties and normative data
in a large non-clinical sampel. British Journal of Clinical Psychology , 43,
245-265.
Diener, E. (1984). Subjective Will Being. Psychological Bulletin, 95(3), 542-575.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction with
life scale. Juornal of Personality Assessment , 49(1), 71-75.
Diener, E., & Suh, E. (1997). Meansuring quality of life: economic, social, and
subjective indicators. Social Indicator research. 189-216.
Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). “Recent findings on subjective well-being”.
Retrieved Juni 29, 2014, from http://www.psych.uiuc.edu/ ∼edie
ner/hottopic/paper1.html.
Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective well-being:
Three decade of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276-302.
Diener, E. (2000). “Subjective well-being: The science of happiness and a proposal
for national index”. American Psychology.
Diener, E., & Oishi, S. (2003). “Are scandinavians happier than asian?: Issues in
comparing nations on subjective well-being”. Retrieved Juni 21,2014 from
http://www.psych.uiuc. edu/∼ediener/hottopic/diener-oishi. Pdf.
Diener, E., Kesebir, P., & Lucas, R. (2008). Benefits of accounts of well-being—for
societies and for psychological science. Applied Psychology: An
International Review. 37-53.
Diener, M. L., & Diener McGravran, M. B. (2008). What makes people happy?: A
developmental approch to the literature on family relationship and well-
being. In M. Eid, & R. J. Larsen. The science of subjective well-being.
Guilford Press, New York.
31
Diener, E., & Tay, L. (2011). Needs and subjective well-being around the world.
American Psychological Association. Journal of Personality and Social
Psychology. 101(2), 354-356
Daradjad, Z. (1995). Remaja, Harapan dan Tantangan. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Ehrlich, B. S. & Isaacowitz, D. M, “Does subjective well-being increase with age?”,
Retrieved Juni 21, 2014, from http://www.bespin.stwing.
upenn.edu/∼upsych/ perspective/ 2002/ehrlich.pdf, 2002.
Gunarsa, D.S. (1976). Psikologi untuk keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.
Hikmatunnisa, M., & Takwin, B. (2007). Pengaruh perbedaan agama orangtua
terhadap psychological well-being dan komitmen beragama anak. Jurnal
Psikologi Sosial. 2(13), 157-165.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan-edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Huebner, S.E. (2001). Manual for the multidimensional student’s life satisfaction
scale. Department Psychology, Columbia: Universitas of Shout Carolina.
SC 29208.
Joronen, K., & Kurki, P. A (2005). Familial contribution to adolescent subjective
well-being. International Journal of Nursing Practice, II.
Kurniati, T. M. N. (2011). Tingkat Keberfungsian Keluarga dan Subjective Well
Being pada Remaja : Tinjauan Circumplex. Depok: Fakultas Psikologi,
Universitas Gunadarma. Di unduh pada 10 Februari 2014, dari
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2332/1/Tingkat%20
keberfungsian%20keluarga%20dan%20subjective%20well-
being%20pada%20remaja.pdf
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mandara, J; & Murray, B, C. (2002). Development of an Emperical Typology of
Afrian American Family Functioning. Journal of Family Psycology, 16 (3),
318-337.
Moos, R. H. dan Moos, B. S. (2002). Family Environment Scale Manual. Palo Alto,
CA: Consulting Psychologists Press.
Nayana, N.F. (2013). Kefungsian Keluarga dan Subjective Well being pada Remaja
Akhir. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal
online psikologi, 01(02). Diunduh pada 12 Februari 2014, dari
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1580/1680.
Nisfiannor, M; Rostiana; & Puspasari, T. 2004. Hubungan antara Komitmen
Beragama dan Subjective Well Being pada Remaja Akhir di Universitas
Tarumanegara. Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanegara. Jurnal
32
Psikologi, 2(1). Diunduh pada 10 Februari 2014, dari
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Psi/article/download/19/9
Pastey, Geeta dan Aminbhavi, Vijayalaxmi. (2006). Impact of emotional maturity on
stress and self confidence of adolescence. Journal of Indian Academy of
Applied Psychology. 66-73.
Raema Andreyana. 1985. ”Masalah Delinkuensi Remaja” dalam Kartini Kartono,
ed, Bimbingan bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, 1sted, CV.
Rajawali, Jakarta.
Russell, J. E. (2008). Promoting subjective SWB at work. Journal of Career
Assessment, 16(1).
Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas : Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Sari, P.I. (2011). Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Kematangan
Emosi Remaja laki-laki. Skripsi. Sumatra Utara: Fakultas Psikologi,
Universitas Sumatra Utara. Diunduh pada 15 Oktober 2014 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22798/5/Chapter%20I.pdf;
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22798/4/Chapter%20II.pdf.
Stewart, L. (1998). Measuring Functioning and Well-being. United States of
America. The Rand Corpororation.
Qudsyi, Hazhira & Gusniarti, Uly. (2007). Hubungan antara keberfungsian keluarga
dengan penalaran moral pada anak usia akhir. Jurnal Ilmiah Berkala
Psikologi.
Van der Aa, N., Boomsma, D. I, Rebollo-Mesa, I., Hudziak, J.J, Bartels, M. (2010).
Moderation of genetic factors by parental divorce in adolescents’ evaluation
of family functioning and subjective well-being. Twin Research and Human
Genetic. Journal of Cambrige. 13(2), 143-162.
Watson, D., Clark, L.A., & Tellegan, A. (1988). Development and validation of brief
measures of positive and negative affect: The PANAS scale. Journal of
Personality and Social Psychology, 54(6), 1063-1070.
Werdyaningrum, Puri. (2013). Psychological Well-Being pada Remaja yang Orang
Tua Bercerai dan yang Tidak Bercerai (Utuh). Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal Online Psikologi, 01(02).
http://ejournal.umm.ac.id