home visit.doc

26
BAB I PENDAHULUAN Salah satu sasaran prioritas dalam pembangunan di bidang kesehatan adalah penurunan angka kematian ibu, bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran. Berdasarkan Survei Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) dan data Biro Pusat statistic (BPS), angka kematian ibu dalam kehamilan dan persalinan diseluruh dunia mencapai 515 ribu jiwa pertahun. Ini berarti seorang ibu meninggal hampir setiap menit karena komplikasi kehamilan dan persalinan (dr. Nugraha, 2007). Anggorodi, Rina., Dukun Bayi Dalam Persalinan Oleh Masyarakat Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol. 13, No. 1, Juni 2009: 9-14. Kondisi nyata di Indonesia menunjukkan Angka, Menurut SDKI tahun 2002/2003 AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup dengan jumlah kasus perdarahan 45,5%, eklampsia 12,9%, aborsi 11,1%, sepsis post partum 9,6%, partus lama 6,5%, anemia 1,6% dan penyebab tidak langsung 14,1%.http://grahacendikia.wordpress.com/2009/04/29/hubungan- pengetahuan-tentang-pertolongan-persalinan-oleh-tenaga- kesehatan-dengan-sikap-ibu-hamil-terhadap-persalinan-oleh- tenaga-kesehatan-di-desa-xx/ . Angka kematian Ibu untuk kabupaten di Jawa Barat meliputi 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2003), sementara pada tahun 2010 ditargetkan menjadi 125/100.000 kelahiran hidup sehingga upaya penurunan AKI dijadikan sebagai program prioritas. Profil Kesehatan kabupaten Bandung tahun 2005. Dinas Kesehatan Bandung.2005.

description

public health

Transcript of home visit.doc

BAB IPENDAHULUANSalah satu sasaran prioritas dalam pembangunan di bidang kesehatan adalah penurunan angka kematian ibu, bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran. Berdasarkan Survei Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) dan data Biro Pusat statistic (BPS), angka kematian ibu dalam kehamilan dan persalinan diseluruh dunia mencapai 515 ribu jiwa pertahun. Ini berarti seorang ibu meninggal hampir setiap menit karena komplikasi kehamilan dan persalinan (dr. Nugraha, 2007). Anggorodi, Rina., Dukun Bayi Dalam Persalinan Oleh Masyarakat Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol. 13, No. 1, Juni 2009: 9-14. Kondisi nyata di Indonesia menunjukkan Angka, Menurut SDKI tahun 2002/2003 AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup dengan jumlah kasus perdarahan 45,5%, eklampsia 12,9%, aborsi 11,1%, sepsis post partum 9,6%, partus lama 6,5%, anemia 1,6% dan penyebab tidak langsung 14,1%.http://grahacendikia.wordpress.com/2009/04/29/hubungan-pengetahuan-tentang-pertolongan-persalinan-oleh-tenaga-kesehatan-dengan-sikap-ibu-hamil-terhadap-persalinan-oleh-tenaga-kesehatan-di-desa-xx/. Angka kematian Ibu untuk kabupaten di Jawa Barat meliputi 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2003), sementara pada tahun 2010 ditargetkan menjadi 125/100.000 kelahiran hidup sehingga upaya penurunan AKI dijadikan sebagai program prioritas. Profil Kesehatan kabupaten Bandung tahun 2005. Dinas Kesehatan Bandung.2005.

Persalinan di rumah dan ditolong oleh dukun, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masih tingginya AKI di Indonesia. Data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas kesehatan 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2%. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1387-lima-strategi-operasional-turunkan-angka-kematian-ibu.html. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu adalah dengan mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap Ibu yang membutuhkan. Untuk itu sejak tahun 1990 telah ditempatkan bidan di desa dengan polindesnya. Dengan penempatan bidan di desa ini diharapkan peranan dukun makin berkurang sejalan dengan makin tingginya pendidikan dan pengetahuan masyarakat dan tersedianya fasilitas kesehatan, namun pada kenyataanya masih banyak persalinan yang tidak ditolong oleh bidan melainkan oleh dukun. Departemen kesehatan RI memperkirakan bahwa pertolongan persalinan oleh dukun masih mendominasi terutama didaerah pedesaan yaitu mencapai 75% sampai 80% (Manuaba 1998). Meskipun kunjungan antenatal pertama (K1) mencapai 90% dari ibu hamil, hanya 60% kelahiran yang dilakukan oleh tenaga terampil.Masih banyaknya pengguna jasa dukun disebabkan beberapa faktor yaitu lebih mudahnya pelayanan dukun bayi, terjangkau oleh masyarakat baik dalam jangkauan jarak, ekonomi atau lebih dekat secara psikologi, bersedia membantu keluarga dalam berbagai pekerjaan rumah tangga serta berperan sebagai penasehat dalam melaksanakan berbagai upacara selamatan (Manuaba, 1998).

Suprapto, Agus. Pola Pertolongan Persalinan 5 Tahun Terakhir Hubungannya dengan Faktor Sosial Ekonomi Di Indonesia. Internet, http://digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 26 September 2006

Program Linakes yang dijalankan di wilayah kerja Puskesmas Cihampelas sudah mencapai target, tetapi masih ada beberapa desa yang belum terpenuhinya target dalam program linakes, karena masih banyaknya pertolongan persalinan oleh paraji. Di wilayah kerja Puskesma Cihampelas sendiri dari bulan Januari-Agustus telah terjadi satu angka kematian ibu dimana persalinannya dilakukan oleh paraji. Walaupun program-program dan penyuluhan telah dijalankan oleh Puskesmas Cihampelas, masih terdapatnya keluarga atau ibu yang lebih memilih melakukan persalinan di paraji menggunakan pelayanan kesehatan yang telah ada dengan segala pertimbangan yang ada.1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menggambarkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ibu bersalin lebih memilih ke paraji dan tidak ke tempat pelayanan kesehatan.

1.3.2. Tujuan Penelitian

1.3.1.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi ibu bersalin lebih memilih ke paraji daripada ke tempat pelayanaan kesehatan.

1.3.1.2. Tujuan KhususTujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor pengetahuan, faktor lingkungan ekonomi, geografi dan sosial budaya, faktor persepsi terhadap peranan bidan dan paraji terhadap ibu bersalin lebih memilih ke paraji daripada ke tempat pelayanan kesehatan.1.4. Manfaat Penelitian

Bagi ilmu pengetahuan :

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan khususnya mengenai pentingnya kesehatan ibu bersalin.

Bagi penentu kebijakan :

Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dan Puskesmas Lembang dalam penentuan arah kebijakan program meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ibu bersalin.BAB IIISI

1. 1. Definisi PersalianPersalinan ialah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hapir cukup bulan, disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh ibu.Sastrawinata S: et all. Obstetri Fisiologi, Percetakan Eleman, Bandung : 1983.1.2. Tenaga Penolong Persalian

1.2.1 Tenaga Medis

Cara-cara Pertolongan Oleh Tenaga Non-medisTak berbeda dengan seorang bidan, dukun beranak melakukan pemeriksaan kehamilan melalui indri raba (palpasi). Biasanya perempuan yang mengandung, sejak mengidam sampai melahirkan selalu berkonsultasi kepada dukun, bedanya dibidan perempuan yang mengandunglah yang datang ketempat praktek bidan untuk berkonsultasi. Sedangkan dukun ia sendiri yang berkeliling dari pintu ke pintu memeriksa ibu yang hamil. Sejak usia kandungan 7 bulan control dilakukan lebih sering. Dukun menjaga jika ada gangguan, baik fisik maupun non fisik terhadap ibu dan janinnya. Agar janin lahir normal, dukun biasa melakukan perubahan posisi janin dalam kandungan dengan cara pemutaran perut (diurut-urut)disertai doaKetika usia kandungan 4 bulan, dukun melakukan upacara tasyakuran katanya janin mulai memiliki roh.hal itu terasa pada perut ibu bagian kanan ada gerakan halus. Pada usia kandungan 7 bulan, dukun melakukan upacara tingkeban. Katanya janin mulai bergerak meninggalkan alam rahim menuju alam dunia, melalui kelahiran. Calon ibu mendapat perawatan khusus, selain perutnya dielus-elus, badannya juga dipijat-pijat, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Malah disisir dan di bedaki agar ibu hamil tetap cantik meskipun perutnya makan lama makin besar. 1.2.2. Non MedisPertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan non-medis seringkali dilakukan oleh seseorang yang disebut sebagai dukun bayi, dukun bersalin atau paraji (Prawirohardjo, 2005). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengenal dukun bayi atau dukun beranak sebagai tenaga pertolongan persalinan yang diwariskan secara turun temurun (Koentjaraningrat, 1992).12Dukun Bayi adalah orang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak sesuai kebutuhan masyarakat ( DepKes RI, 1993). 15Ciri-ciri dukun bayi menurut Sarwono Prawiroharjo (1999) adalah : Dukun bayi umumnya berumur 40 tahun keatas. Dukun bayi biasanya seorang wanita, hanya dibali terdapat dukun bayi pria.

Dukun bayi biasanya orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Dukun bayi biasanya mempunyai banyak pengalaman dibidang sosial, perawatan diri sendiri, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.

Dukun bayi biasanya bersifat turun menurun.15Kriteria dukun bayi adalah :

1) Dukun terlatih

Dukun terlatih yaitu orang atau tenaga non medis yang memiliki kemampuan untuk menolong persalinan dan mendapatkan pembinaan dan pelatihan pertolongan persalinan mencakup pelaksanakan perawatan kehamilan, menyebutkan tanda-tanda hamil muda dan hamil tua, dapat melaksanakan anamnese, periksa raba dan menentukan usia kehamilan dan letak janin. Dukun terlatih juga mampu mempersiapkan pertolongan persalinan yang aman dengan tehnik sederhana dan mampu merawat tali pusat dan mampu melaksanakan rujukan ke puskesmas atau ke rumah sakit. Menurut Manuaba (2002) dukun terlatih mendapatkan pembinaan dan pelatihan melalui :

Pendidikan dukun yang berkaitan dengan : Tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta postpartum Tehnik pertolongan persalinan sederhana tetapi bersih dan legeartis

Perawatan dan pemotongan tali pusat Perawatan ibu postpartum Meningkatkan kerjasama dalam bentuk rujukan ke bidan/ puskesmas Diikut sertakan dalam gerakkan KB :

Membagikan kondom Membagikan pil Melakukan rujukan KB Memberikan kesempatan untuk melakukan persalinan dengan resiko rendah

Meningkatkan sistim rujukan yang mantap dengan menempatkan bidan di desa atau masyarakat serta diharapkan peranan dukun bayi akan makin berkurang sejalan dengan makin tingginya pendidikan dan pengetahuan masyarakat dan terjadinya fasilitas kesehatan dengan bagitu diharapkan pula angka kematian ibu bayi bisa berkurang 2. Dukun tidak terlatih.

Dukun tidak terlatih adalah orang atau tenaga non-medis yang memiliki kemampuan untuk menolong persalinan tetapi tidak mendapatkan pembinaan dan pelatihan pertolongan persalinan dan melakukan pertolongan persalinan secara tradisional atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus (Ridha, 2008). 15Selaras dengan keterampilannya, dukun bayi memiliki 2 macam fungsi, ialah fungsi utama dan fungsi tambahan. Fungsi utama dukun bayi ialah melaksanakan pertolongan persalinan secara benar dan aman. Untuk mendukung fungsi utamanya, maka fungsi tambahan dapat dikembangkan setempat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan pelayanan kesehatan. Dalam kerangka program KIA, fungsi dukun bayi meliputi: Perawatan ibu hamil normal

Pengenalan dan rujukan ibu hamil dengan resiko tinggi dan penyulit kehamilan

Rujukan ibu hamil untuk mendapat suntikan TT

Persalinan yang aman

Perawatan masa nifas

Pengenalan dan rujukan ibu masa nifas dan bayi untuk diimunisasi. 13Agar dukun bayi dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Diharapkan mereka terlibat secara aktif di posyandu setempat. Jenis dan derajat keterlibatan dukun bayi di posyandu diserahkan kepada dukun bayi sendiri dan pengaturan dukun bayi di masyarakat.14Peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk didalamnya penurunan kematian bayi dan anak, akan lebih berhasil bila mengikutsertakan masyarakat dan dukun bayi adalah salah satu warga masyarakat yang sangat potensial dalam upaya tersebut. 14Dalam mutu pelayanan tidak dipenuhinya standar minimal medis oleh para dukun bayi, seperti dengan praktek yang tidak steril (memotong tali pusat dengan sebilah bambu dan meniup lubang hidung bayi baru lahir dengan mulut). 14Peran dukun sangat sulit ditiadakan karena masih mendapat kepercayaan masyarakat. Terdapat kelebihan dan kekurangan persalinan yang ditolong oleh dukun antara lain :

a. Kelebihan

Dukun bayi merawat ibu dan bayinya sampai tali pusatnya putus.

Kontak ibu dan bayi lebih awal dan lama

Persalinan dilakukan di rumah

Biaya murah dan tidak ditentukan. 15b. Kekurangan

Dukun belum mengerti teknik septic dan anti septic dalam menolong persalinan.

Dukun tidak mengenal keadaan patologis dan kehamilan, persainan, nifas dan bayi baru lahir.

Pengetahuan dukun rendah sehingga sukar ditatar dan di ikut sertakan dalam program pemerintah (Pedoman Supervise Dukun Bayi, 1992). 15Layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan non-medis misalnya:

1) Dukun bayi mau mendatangi setiap ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.

2) Dukun bayi mematok harga murah, kadang bisa disertai atau diganti dengan sesuatu barang misalnya beras, kelapa, dan bahan dapur lainnya.

3) Dukun bayi dapat melanjutkan layanan untuk 1-44 hari pasca melahirkan dengan sabar memanjakan ibu dan bayinya misalkan dia mencuci dan membersihkan ibu setelah melahirkan. Dukun menemani anggota keluarga agar bisa beristirahat dan memulihkan diri, sebaliknya bidan seringkali tidak bersedia saat dibutuhkan atau bahkan tidak mau datang saat dipanggil. 12II.3. Faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih tenaga persalinan 1. Usia ibu hamil

Usia ibu hamil yang terlalu muda atau terlalu tua ( 35 tahun merupakan faktor penyulit kehamilan, sebab ibu yang hamil terlalu muda keadaan tubuhnya belum siap menghadapi kehamilan, sedangkan di atas 35 tahun apabila mengalami komplikasi maka risiko mengalami kematian lebih besar (Hany , 1996; Meiwita, 1998; Djaswadi, dkk, 2000).

http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/2. Tingkat Pendidikan Ibu Hamil terhadap Pemilihan Penolong Persalinan

Tingkat pendidikan ibu juga berpengaruh pada pemilihan penolong persalinan dan perawatan selama kehamilan. http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/ Pada faktor pendidikan, terbukti bahwa ibu/bapak yang berpendidikan SMA ke atas lebih baik pencapaiannya (di atas 80%) ke nakes. Kelompok ibu yang pernah berKB diasumsikan sudah dapat menerima/ memahami pelayanan kesehatan yang adekuat dan pada kenyataannya memang pencapaian lebih baik pertolongan nakesnya (63.6%). Pada kelompok rumah tangga yang memiliki asuransi dan jaminan dari kantor, penggunaan pelayanan persalinan nakes sangat baik, di atas 80%. Hal ini dapat menjadi cermin bahwa keberadaan jaminan pembiayaan sangat berarti. Pada faktor jarak pencapaian ke PKM/ Poliklinik sangat berpengaruh di perdesaan. Di perkotaan, jarak tersebut tidak begitu mempengaruhi dan pemanfaatannya sudah cukup bagus untuk semua kelompok.

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-res-2002-agus-832-penolongPrawirahardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP

Pada penelitian yang diadakan di Lima-Peru pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sebanyak 82% wanita berpendidikan memilih pelayanan tenaga kesehatan (NAKES) dan wanita tidak berpendidikan yang memilih tenaga NAKES hanya 62% (World Bank, 1994: 42). http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/Tingkat pendidikan merupakan faktor yang sangat berperan dalam pemilihan penolong persalinan, karena tingkat pendidikan dapat menunjukkan tingkat status kesehatan seseorang (Basov, 2002: 2; Folland, et al, 2001: 116). Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar kepedulian terhadap kesehatan. Dengan pendidikan yang baik memberikan pada wanita kekuasaan dan kepercayaan diri untuk mengambil tanggung jawab atas wanita itu sendiri (Soemanto, 1990). Prawirahardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP

Studi di Mexico yang dilakukan oleh National Safe Motherhood pada tahun 1990-an menunjukkan bahwa kasus kematian pada saat persalinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, sosial ekonomi, budaya, status kesehatan, dan pendidikan. Wanita yang miskin dan minim pendidikan mengalami keterbatasan kekuasan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan proses kehamilan dan persalinan sehingga lebih banyak yang mengalami kematian, karena tidak mendapat perawatan yang semestinya (Ana Langer, 1999; DepKes RI, 2000a). http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/3. Jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan

Menurut Nasrin (2001) salah satu penyebab keterlambatan ibu bersalin untuk mendapatkan pelayanan yang tepat adalah akibat jarak yang tidak terjangkau. Jarak yang terlampau jauh dan tidak tersedianya sarana transportasi menyebabkan ibu hamil memilih persalinan di rumah dengan bantuan dukun, sehingga apabila mengalami komplikasi saat persalinan tidak segera mendapatkan pertolongan yang memadai. Hal ini sering menyebabkan kematian ibu dan bayi.

Di Nigeria, ibu hamil yang mengalami perdarahan pada saat persalinan, sering mengalami kematian di perjalanan menuju pusat layanan kesehatan modern. Hal ini sering disebabkan oleh jarak yang terlampau jauh dan tidak tersedianya sarana transportasi (Essien,1997). http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/4. Pendapatan Keluarga

Berdasarkan laporan akhir UNICEF Juli 1999 hampir 24 % dari seluruh penduduk Indonesia atau hampir 50 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Enam puluh persen dari ibu hamil dan anak sekolah kekurangan zat besi/anemia. Hal ini menunjukkan sebagian besar pendapatan penduduk Indonesia masih sangat rendah. Sehingga mengurangi akses ke perawatan kesehatan, karena pada masyarakat miskin pedesaan rata-rata pengeluaran per harinya kurang dari Rp. 5000,00 (US$ 0,60). Kondisi ini berpengaruh terhadap pemilihan penolong persalinan yaitu pesalinan yang ditolong oleh NAKES sebesar 38.5% tahun 1992 dan 43,2 % tahun 1997. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar persalinan masih ditolong dukun bayi (Dursin, 2000). http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/5. Biaya Persalinan

Hasil penelitian Djaswadi, dkk (2000) menunjukkan bahwa mahalnya biaya persalinan dan alasan kenyamanan sebagian besar ibu hamil di Kabupaten Purworejo lebih memilih melahirkan di rumah dengan pertolongan dukun.

Sebagai contoh saat ini biaya untuk kelahiran normal di kamar kelas tiga di rumah sakit swasta sekitar Rp. 390.000,00 sedangkan biaya untuk pelayanan gawat darurat sekitar 16 sampai 20 juta rupiah (Marzolf, 2002: 36). http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/Tersedianya berbagai jenis pelayanan public serta persepsi tentang nilai dan mutu pelayanan merupakan faktor penentu apakah rakyat akan memilih kesehatan atau tidak. Biasanya, perempuan memilih berdasakan penyedia layanan tersebut, sementara laki-laki menentukan pilihan mereka berdasarkan besar kecilnya biaya sejauh dijangkau oleh masyarakat miskin.Sekitar 65% dari seluruh masyarakat miskin yang diteliti menggunakan penyesia layanan kesehatan rakyat seperti bidan di desa, puskesmas atau puskesmas pembantu(pustu), sementara 35% sisanya menggunakan dukun beranak yang dikenal dengan berbagai sebutan. Walaupun biaya merupakan alasan yang menentukan pilihan masyarakat miskin, ada sejumlah faktor yang membuat mereka lebih memilih layanan yang diberikan oleh dukun. Biaya pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa untuk membantu persalinan lebih besar daripada penghasilan RT miskin dalam satu bulan. Disamping itu, biaya tersebut pun harus dibayar tunai. Sebaliknya, pembayaran terhadap dukun lebih lunak secara uang tunai dan ditambah barang. Besarnya tariff dukun hanya sepersepuluh atau seperlima dari tariff bidan dea. Dukun juga bersedia pembayaran mereka ditunda atau dicicil(Suara Merdeka, 2003).6. Pengambilan Keputusan Kolektif dalam Keluarga

Pada kenyataannya banyak kasus kematian ibu melahirkan sering disebabkan oleh keterlambatan suami dalam mengambil keputusan rujukan ke pelayanan kesehatan (Elizabeth and Nancy, 2002). Berdasarkan hasil SUSENAS 1995, sebagian besar suami (51 %) memilih dukun saat istrinya melahirkan dengan alasan, murah (biaya terjangkau), lebih nyaman dan dapat membantu perawatan bayi sampai 35 hari (Meiwita, 1998).

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa peran suami sangat dominan dalam pengambilan keputusan, sehingga berpengaruh terhadap akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada. Dengan demikian ibu hamil perlu mempunyai keberanian dan rasa percaya diri untuk berpendapat menentukan penolong persalinan profesional yang diinginkan (Susana, 2000; Mercy, 2003). http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/7. Keberhasilan pertolongan persalinan sebelumnya

Menurut Dinas Kesehatan (1999b) dan Djaswadi, dkk (2000) selain faktor usia, ibu hamil yang pertama kali dan ibu yang telah hamil lebih dari tiga kali mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi bila mengalami komplikasi obstetri.

Menurut Read (1959) dalam Hudono, (1979) ketakutan merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa nyeri pada persalinan yang seharusnya tanpa rasa nyeri. Akibatnya rasa takut dapat mempunyai pengaruh tidak baik terhadap lancarnya his dan pembukaan. Hal ini biasanya dialami oleh wanita yang mempunyai pengalaman tidak menyenangkan dalam kehamilan sebelumnya. Dengan demikian urutan kelahiran keberhasilan persalinan sebelumnya sangat berpengaruh terhadap pemilihan penolong persalinan pada anak berikutnya. Oleh sebab itu untuk kehamilan yang berisiko besar disarankan agar ditangani oleh NAKES yang profesional dengan peralatan yang lebih lengkap.

http://rahmanbudyono.wordpress.com/2010/01/27/pengaruh-tingkat-pendidikan-ibu-hamil-terhadap-pemilihan-penolong-persalinan/8.Kultur budaya masyarakatMasyarakat kita terutama di pedesaan, masih lebih percaya kepada dukun beranak daripada kepada bidan apalagi dokter. Rasa takut masuk rumah sakit maih melekat pada kebanyakan kaum perempuan. Kalaupun terjadi kematian ibu atau kematian bayi mereka terima sebagai musibah yang bukan ditentukan manusiaSelain itu masih banyak perempuan terutama muslimah yang tidak membenarkan pemeriksaan kandungan, apalagi persalinan oleh dokter atau para medis laki-laki. Dengan sikap budaya dan agama seperti itu, kebanyakan kaum perempuan di padesaan tetap memilih dukun beranak sebagai penolong persalinan meskipun dengan resiko sangat tinggi.

9. Masih langkanya tenaga medis di daerah-daerah pedalamanSekarang dukun di kota semakin berkurang meskkipun sebetulnya belum punah sama sekali bahkan disebagian besar kabupaten, dukun beranak masih eksis dan dominant. Menurut data yang diperoleh Dinas Kesehatan Jawa Barat jumlah bidan jaga di Jawa Barat sampai tahun 2005 ada 7.625 orang. Disebutkan pada data tersebut, junlah dukun di perkotaan hanya setengah jumlah bidan termasuk di kota Bandung. Namun, di 9 daerah (kabupaten) jumlah dukun lebih banyak (dua kali lipat) jumlah bidan. Malah di Jawa Barat masih ada 10 kabupaten yang tidak ada bidan (Ketua Mitra Peduli/Milik Jabar).

BAB IVANALISIS DATA

Identitas Pasien Nama Istri : Ny. Dewi Mirawati

Usia Ibu :19 thn

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pedagang Sayur

Nama Suami : Aggi Irawan

Usia : 20 thn

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pedagang Buah

Paritas : 1

3.1 Analisis Lingkungan

Menurut Nasrin (2001) salah satu penyebab keterlambatan ibu bersalin untuk mendapatkan pelayanan yang tepat adalah akibat jarak yang tidak terjangkau. Jarak yang terlampau jauh dan tidak tersedianya sarana transportasi menyebabkan ibu hamil memilih persalinan di rumah dengan bantuan dukun, sehingga apabila mengalami komplikasi saat persalinan tidak segera mendapatkan pertolongan yang memadai. Hal ini sering menyebabkan kematian ibu dan bayi.

Jarak antara rumah pasien dengan tenaga pelayanan kesehatan adalah 700 meter, juga merupakan pertimbangan pasien untuk memilih untuk melakukan persalinan pada paraji, ada kekhawatiran dari pasien dan keluarga dimana kondisi ibu saat mendekati persalinan sangat memperhatinkan. Untuk pergi ke tenaga kesehatan, pasien harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan resiko kekecewaan untuk kembali ke rumah lagi bila ternya persalinan yang dirasakan itu bukan tanda persalinan sebenarnya. Ini membuat tidak ada pilihan lain selain memilih paraji yang dapat menolong persalinan di rumah pasien.Pasien pun pernah memiliki pengalaman mengantar kakak perempuanya untuk pergi kebidan ketika akan melahirkan dan kakak pasiren disuruh untuk pulang kembali.

3.2. Analisis Faktor Pendidikan

Pendidikan pasien dan suami terakhir, yaitu sekolah menengah atas, dimana dianggap memiliki pengetahuan yang luas yang baik, tetapi pasien tidak mengerti dan tidak mengetahui tentang persalinan yang baik dan juga komplikasi yang akan terjadi bila melakukan persalinan dengan bantuan paraji. Pasien tidak mengetahui bahwa ketika melakukan persalinan harus menggunakan alat-alat steril. Pasien dianggap oleh keluarga memiliki pendidikan yang tinggi sehingaa pasien memiliki kekuasaan dan kepercayaan diri untuk mengambil tanggung jawab atas diri sendiri3.3. Analisis Faktor Keluarga

Pasien dan suaminya tinggal bersama ddalam satu rumah denagn bapak dan ibu pasien, dimana dalam keluarga pasien pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama. Ibu pasien memiliki ibu yang memiliki enam anak yang selama proses persalinannya ditolong oleh paraji dan tidak pernah mengalami kesulitan selama proses melahirkan. Keluarga pasien percaya terhadap kiemampuan ari seorang paraji yang telah melakuan praktek persalinan secara turun-menurun, jadi ketika akan melahirkan keluarga memperbolehkan pasien untuk lebih memilih persalian oleh paraji, terlebih lagi suami pasien menyerahkan segala keputusan tentang penolongan persalianan kepada pasien, dengan demikian pasienmempunyai keberaniandan rasa percaya diri untuk berpendapat menentukan penolong persalinan yang diinginkan.

3.4. Analisis Faktor Sosial dan Budaya

Pasien merupakan masyarakat di pedesaan, yang masih lebih percaya kepada paraji daripada kepada bidan apalagi dokter. Rasa takut masuk ke pelayanan rumah sakit maih melekat pada pasien dan rasa takut ketika selesai persalianan akan ada bagian tubuh pasien yang akan di jahit oleh bidan. Kalaupun terjadi kematian ibu atau kematian bayi pasien dan keluarga menanggap hal tersebut sebagai musibah yang bukan ditentukan manusia dan pasien beranggapan selama masih banyak ibu-ibu yang melahirkan di paraji selama dan tanpa mengalami komplikasi maka persalinan oleh paraji masih dianggap aman, walaupun persalinaan yang aman menurut para ibu yang melahirkan belum tentu memenuhi kriteria aman menurut kesehatan. Hal itu juga didukung dengan pengalaman ibu pasien yang melahirkan keenam anaknya di paraji yang dirasakan lancar dan percaya begitu saja apa yang di katakan paraji sebagai sesepuh tertua yang dipercaya dalam persalinan. Pasien merasakan mendapat perlakuan khusus dari paraji dimana setelah melahirkan pasien mendapatkan perawatan berupa kunjungan paraji berupa pemijitan badan pasien tiga hari setelah melahirkan dan 1 minggu kemudian selama tiga bulan berturut-turut. Pasien berpendapat bila nanti ketika pada saat persalinan berikutnya di paraji terjadi kesulitan dan takut terjadi hal yang tidak diinginkan pasien akan melahirkan anak selanjutnya pada bidan desa. Dengan sikap budaya seperti itu, pasien tetap memilih paraji sebagai penolong persalinan meskipun dengan resiko sangat tinggi.3.5. Faktor Ekonomi

Pasien dan Suami bekerja sebagai penjual sayuran di pasar dengan pendapatan dalam satu hari mencapai Rp 250.000,00, Biaya persalinan di bidan desa sebesar Rp 700.000,00 dan biaya persalinan paraji sebesar 400.000,00, pasien mengaku biaya yang di keluarkan untuk biaya persalina oleh bidan desa terhitung berat karena pasien mengaku masih memiliki hutang yang terhitung besar, sehingga diusahakan menekan biaya persaliana seminimal mungkin dan ini menjadi pertimbangan bagi keluarga dalam memilih paraji sebagai penolong persalinan. Pasien tidak mengetahui adanya program dari pemerintah berupa Jaminan Persalinan. 3.6. Faktor Pemeriksaan KehamilanPasien melakukan pemeriksaan kehamilan secara lengkap sebanyak 4 kali kunjungan selama kehamilan berupa pemeriksaan kehamilan setiap bulan pada trismester pertama dan kedua serta dua minggu sekali pada trismester terakhir di bidan desa yaang berada di wilayah Cihampelas. Jarak antara rumah denga bidan desa tempat melakukan pemeriksaan sejauh 200 meter. Pasien dalam pemeriksaan persalinan mendapatkan pelayanan Timbang badan, Suntuk Vaksin Tetanus, Tablet Besi, Pengukuran Tensi. Dan pasien melakukan pemeriksaan ultrasonografi ke dokter sebanyak 2 kali pada bulan ke-4 dan ke-7. Pasien mendapatkan penyuluhan kesehatan kehamilan dan juga penyuluhan pertolongan persalinan. Dari data diatas, pasien mengaku percaya pada tenaga kesehatan yang ada yaitu bidan desa, tetapi hal faktor tersebut kalah oleh faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan pasien dan keluarga dalam pemilihan pelayanan pertolongan persalinan.