Hipertensi
-
Upload
yuni-fajar-esti -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
description
Transcript of Hipertensi
-
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan
tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14.3 % dan meningkat
menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai pen yebab penyakit jantung di Indonesia.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi
primer (hipertensi esensial atau hipertensi idopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang
dapat ditentukan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai
prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan
terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan pusat rujukan dapat mencapai
sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu
gangguan sekresi hormone dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal
dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi), juga dapat
menyebabkan stroke, gagal ginjal, dan gangguan retina mata.
Menurut kabo (2010) hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis di mana
tekanan darah meningkat di atas tekanan darah yang disepakati normal. Hipertensi adalah
faktor penyebab utama kematian karena stroke dan faktor yang memperberat infark miokard.
Hipertensi merupakan gangguan asimptomatik yang sering terjadi dengan peningkatan
tekanan darah secara persisten. Diagnosa hipertensi pada orang dewasa dibuat saat
peningkatan diastolik, paling sedikit dua kunjungan berikut adalah 90mmHg atau lebih tinggi
atau bila tekanan darah sistolik meningkat dari dua atau lebih kunjungan berikutnya secara
konsisten lebih tinggi dari 140mmHg. (Potter & Perry, 2005).
Di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia
menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk
mendapatkan komplikasi kardiovaskuler. Data yang diperoleh dari Framingham Heart Study
menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan
deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur (Joint National
Committee,JNC VII). Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta
orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang
dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka
cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui
faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan
-
kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1972, 1986, dan 1992 menunjukkan
peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskuler yang menyolok sebagai penyebab kematian
dan sejak tahun 1993 diduga sebagai penyebab kematian nomor satu. Penyakit tersebut
timbul karena berbagai faktor risiko seperti kebiasaan merokok, hipertensi, disiplidemia,
diabetes melitus, obesitas, usia lanjut dan riwayat keluarga. Hal ini memberikan perhatian
kepada tenaga kesehatan khususnya keperawatan untuk meningkatkan pengetahuan yang
mendalam terhadap penyakit degenerative, penyakit hipertensi merupakan penyakit yang
banyak di alami masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data diruang
perawatan penyakit dalam khususnya ruang Jabal Rahmah Rumah Sakit Islam Samarinda
selama enam bulan terakhir tahun 2011. Hipertensi menempati urutan pertama, yaitu 190
kasus,dengan jumlah pasien laki-laki 88 orang dan perempuan 102 orang.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu
hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari
seluruh pasien hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh disebabkan oleh hipertensi
sekunder. Hanya 50% dari golongan hipertensi sekunder dapat di ketahui penyebabnya dan
dari golongan ini hanya beberapa persen yang dapat diperbaiki kelainannya. Oleh karena itu
upaya penaggulanan hipertensi terhadap hipertensi primer baik menggenai patogenesis
maupun tentang penggobatannya Saat ini banyak penderita hipertensi yang tidak tahu
ataupun tidak mengerti penyakitnya bahkan banyak yang tidak tahu resiko dari penderita
hipertensi apabila tidak di atasi. Beberapa komplikasi penyakit yang sering terjadi akibat
penyakit hipertensi yang tidak cepat di atasi adalah stroke, insomnia dan vertigo. Komplikasi
yang paling sering terjadi pada penderita hipertensi adalah penyakit jantung, yang sering
dikenal dengan nama penyakit jantung hipertensi. Penyakit jantung hipertensi adalah istilah
yang diterapkan untuk menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left
ventricle hyperthrophy (LVH) atau hipertrofi ventrikel kiri (HVK), gagal jantung, miokard
infark dan penykait katup jantung, yang disebabkan kerana peningkatan tekanan darah, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Mengingat berbagai masalah yang bisa terjadi pada penderita hipertensi, maka dari itu
penulis mengangkat tema refrat mengenai penyakit jantung hipertensi sehingga dapat
membantu para pelaksana kesehatan dalam menangani kasus hipertensi yang di harapkan
nantinya dapat berguna bagi seluruh masyarakat maupun para penderita hipertensi.
-
BAB II
LATAR BELAKANG
2.1 Hipertensi
2.1.1.Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit
parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat-obatan.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat
1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah.
Tabel 1.Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan
Darah
TDS (mmHg) TDD (mmHG)
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2
-
1) Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya
seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin,
defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas,alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer
biasanya timbul pada umur 30 50 tahun.
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.
2.1.3. Kerusakan Organ Target
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah :
1. Penyakit ginjal kronis
2. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokardium
c. Gagal jantung
3. Otak
a. Stroke
b. Transient Ischemic Attack (TIA)
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
-
Gambar 1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut
dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek
tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI angiotensin II, stress
oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain
juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar
dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat
meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-).
2.1.4. Evaluasi Hipertensi
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien,
riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.
Tujuan evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan
pengobatan.
Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.
-
2.2. Penyakit Jantung Hipertensi
2.2.1. Definisi Penyakit Jantung Hipertensi
Hypertensive heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk menyebutkan
penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy (LVH) atau
hipertrofi ventrikel kiri (HVK), gagal jantung, miokard infark dan penyakit katup jantung,
yang disebabkan kerana peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak
langsung. ( Braverman, E.R. 2009 )
2.2.2. Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung
memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang meningkat,
ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac
output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan makin terlihat. ( Braverman, E.R.
2009 ).
Tekanan darah tinggi adalah faktor risiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai
darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan
jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpengaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah yang
akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan terakumulasi
pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
Penyakit jantung hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi.
(Ali, W. 1996).
2.2.3. Patofisiologi
Patofisiologi dari PJH adalah hal yang kompleks dari faktor hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, sellular, dan molekular. Di satu sisi, faktor-faktor tersebut memainkan
peranan penting pada munculnya hipertensi dan komplikasinya. Di sisi lain, peningkatan
tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor ini. Peningkatan tekanan darah
dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 jalan, yaitu secara
langsung dengan meningkatkan afterload dan tidak langsung dengan perubahan vaskular dan
neurohormonal.
-
a. Left Ventricular Hypertrophy (LVH)
Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% memiliki LVH. Risiko LVH meningkat 2 kali
lipat diasosiasikan dengan obesitas. Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara
level dan durasi peningkatan tekanan darah dan LVH.
LVH, didefinisikan sebagai peningkatan massa di ventrikel kiri, disebabkan oleh respon
myosit pada stimulus yang bermacam-macam yang menemani peningkatan tekanan darah.
Hipertrofi myosit dapat muncul sebagai respon kompensasi pada peningkatan afterload.
Stimulus mekanik dan neurohormonal yang muncul seiring dengan hipertensi dapat
menyebabkan aktivasi dari myocardial cell growth, ekspresi gen, dan karena itu
menimbulkan LVH. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin, melalui kerja
angiotensin II pada reseptor angiotensin I, menyebabkan pertumbuhan interstitium dan
komponen sel matriks. Kesimpulannya, timbulnya LVH dikarakterisasi dengan hipertrofi
myosit dan ketidakseimbangan antara myosit dan interstitium dari struktur miokardium.
Pola bervariasi dari LVH telah dideskripsikan, termasuk remodeling konsentrik, LVH
konsentrik, dan LVH eksentrik. LVH konsentrik adalah peningkatan ketebalan dan massa
ventrikel kiri disertai peningkatan volume dan tekanan diastolik ventrikel kiri, biasa
ditemukan pada orang dengan hipertensi. LVH eksentrik adalah peningkatan ketebalan
ventrikel kiri tidak menyeluruh tetapi pada tempat tertentu seperti septum. LVH awalnya
memainkan peran protektif sebagai respon dari peningkatan tekanan dinding untuk
mempertahankan cardiac output yang adekuat..
b. Atrium kiri yang abnormal
Perubahan struktural dan fungsional dari atrium kiri sangat sering ditemui pada pasien
hipertensi tetapi tidak terlalu diperhatikan. Peningkatan afterload mempengaruhi atrium kiri,
yaitu karena peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel kiri sekunder dari peningkatan
tekanan darah menyebabkan gangguan atrium kiri, penambahakan ukuran dan ketebalan
atrium. Sebagai tambahan dari perubahan-perubahan struktural tersebut, pasien memiliki
faktor risiko terhadap fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dengan hilangnya kontribusi atrium
pada keadaan disfungsi diastolik akan menyebabkan gagal jantung.
c. Penyakit katup jantung (valvular disease)
Walaupun penyakit katup jantung tidak menyebabkan PJH, hipertensi yang kronik dan
parah dapat menyebabkan dilatasi aorta, menuju pada insuffisiensi signifikan dari aorta.
-
Selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan mempercepat proses
sklerosis pada aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.
d. Gagal jantung
Gagal jantung adalah komplikasi yang biasa terjadi pada peningkatan tekanan darah
kronik. Pasien dengan hipertensi ada yang asimtomatik tetapi memiliki risiko untuk menjadi
gagal jantung, ada juga yang simtomatik gagal jantung. Hipertensi sebagai penyebab gagal
jantung kronik biasanya tidak disadari, karena pada saat terjadi gagal jantung, disfungsi
ventrikel kiri tidak mampu untuk menaikkan tekanan darah, karena itu mengaburkan etiologi
gagal jantung.
e. Myocardial ischemia
Pasien dengan angina mempunyai prevalensi hipertensi yang tinggi. Hipertensi adalah
faktor risiko yang melipatgandakan kemungkinan munculnya CAD. Munculnya iskemi pada
pasien hipertensi adalah multifaktorial. Faktor stress yang berasosiasi dengan hipertensi dan
hasilnya adalah disfungsi endotel, menyebabkan gangguan sintesis dan pelepasan poten
vasodilator nitric oxide (NO). Penurunan level NO memicu timbulnya dan mempercepat
arteriosclerosis dan pembentukan plaque. Morfologi plaque nya identik dengan pada pasien
tanpa hipertensi.
2.2.4. Gambaran radiologis
Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat karena hipertrofi konsentrik
ventrikel kiri. Pada keadaan lanjut, apeks jantung membesar ke kiri dan bawah. Aortic knob
membesar dan menonjol disertai klasifikasi. Aorta ascenden dan descenden melebar dan
berkelok ( pemanjangan aorta/elongasio aorta) ( Peter L. 2004 ).
2.2.5. Gambaran klinik
Pada stadium dini hipertensi, tampak tanda-tanda akibat rangsangan simpatis yang
kronis. Jantung berdenyut cepat dan kuat. Terjadi hipersirkulasi yang mungkin sebagai akibat
aktivitas neurohormonal yang meningkat disertai dengan hipervolemia. Pada stadium
selanjutnya, timbul mekanisme kompensasi pada otot jantung berupa hipertorfi ventrikel kiri
yang difus, tahanan pembuluh darah perifer meningkat. Gambaran klinik seperti sesak napas,
salah satu dari gejala gangguan fungsi diastolik, tekanan pengisian ventrikel meningkat,
walaupun fungsi sistolik masih normal. Bila berkembang terus, terjadi hipertrofi yang
-
eksentrik dan akhirnya menjadi dilatasi ventrikel, dan timbul gejala payah jantung. Stadium
ini kadangkala disertai dengan gangguan pada factor koroner. Adanya gangguan sirkulasi
pada cadangan aliran darah koroner akan memperburuk kelainan fungsi mekanik atau pompa
jantung yang selektif. ( Peter L. 2004 ).
2.2.6. Penatalaksanaan
Perubahan gaya hidup
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik
pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang
meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai
tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensi. Intervensi-intervensi ini harus diarahkan
untuk mengatasi risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari
intervensi gaya hidup pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan
hipertensi, pada uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah
terbukti mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensi, bahkan jika
intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang cukup untuk
menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang diperlukan untuk kontrol
tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara efektif mengurangi tekanan darah
adalah penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl, peningkatan masukan kalium,
pengurangan konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara keseluruhan.
Tabel 2. Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI
-
Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi tekanan
darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan penurunan berat
badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan peningkatan sensitivitas
insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3.1 mmHg telah diamati terjadi dengan
reduksi berat badan rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan
berat badan, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit
kardiovaskular. Tekanan darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama
30 menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih
dan frekuensi kurang.
Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variasi
ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis, penurunan tekanan
darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-7.4 g (75-125 mEq)
menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada individu hipertensif
dan reduksi yang lebih rendah pada individu normotensif. Diet yang kurang mengandung
kalium, kalsium, dan magnesium berkaitan dengan tekanan darah yang lebih tinggi dan
prevalensi hipertensi yang lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadap-kalium urin memiliki
hubungan yang lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding natrium atau kalium saja.
Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek antihipertensif moderat yang tidak
konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah, suplementasi kalium mungkin
berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke. Penggunaan alkohol pada individu yang
mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari (satu gelas standar mengandung ~14 g etanol)
berhubungan dengan tekanan darah yang lebih tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol
berkaitan dengan reduksi tekanan darah. Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau
alkohol dapat mempengaruhi tekanan darah masihlah belum diketahui.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu, diet
yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak mengurangi tekanan
darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau hipertensi ringan. Reduksi
masukan NaCl harian menjadi
-
Terapi farmakologis
Golongan obat
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), betabloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin
converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya
candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan
alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan
antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk
keadaan krisis hipertensi.
-
1. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan
darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,
meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi
langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama.
Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek
diuretik tiazid terjadi dalam waktu 12 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 1224
jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari.
Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan
manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada
tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat
untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia,
hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi
kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia,
sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus hatihati. Diuretik tiazid juga dapat
mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan
resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia,
menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang
mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian
tiazid dihentikan.
2. Beta-blocker
Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor
beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta2
banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta2 juga
dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta1 juga dapat dijumpai pada ginjal.
Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer
akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf
simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak meningkatkan heart
rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan renin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin aldosteron. Efek
-
akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan
sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan betablocker akan
mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Betablocker
yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective betablockers), misalnya bisoprolol,
bekerja pada reseptor beta1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta1 saja oleh karena itu
penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati.
Betablocker yang nonselektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta1 dan beta2.
Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas
simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulanbeta pada saat
aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada
saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan
karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa betablocker, misalnya labetolol,
dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,
mempunyai efek agonis beta2 atau vasodilator. Betablocker diekskresikan lewat hati atau
ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obatobat yang diekskresikan
melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang
diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga
dapat diberikan sekali dalam sehari. Betablocker tidak boleh dihentikan mendadak
melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi
fenomena rebound.
Efek samping
Blokade reseptor beta2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan
jika digunakan betabloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan
kontraktil miokard, dan tangakaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade
reseptor beta2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala
hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena betablocker
memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk memberi peringatan jika
terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas
pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan betablocker yang
larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Betablockers nonselektif juga
menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.
-
3. ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada
darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan
vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan
perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika
sistem angiotensinreninaldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium,
atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga
bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek
vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih
kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat
diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk
menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama
ACEi harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin
terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
4. Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon
farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh
karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui
ACE. Oleh karena itu memblok sistem reninangitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1
dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor
angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak
mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada
stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang
hanya berfungsi satu.
Efek samping ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar
elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua
golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat
menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan produksi aldosteron, sehingga suplementasi
-
kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapi
ACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan
efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak
menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.
5. Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard,
selsel dalam sistem konduksi jantung, dan selsel otot polos pembuluh darah. Efek ini
akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls
elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot
polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion
kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin);
fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat
vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan
diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan
mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati.
Efek samping
Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki seringn
dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga
sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu
CCB sering mengakibatkan gangguan gastrointestinal, termasuk konstipasi.
6. Alpha-blocker
Alpha blocker (penghambat adrenoseptor alfa) memblok adrenoseptor alfa1 perifer,
mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah.
Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
Efek samping
Alpha blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian
dosis pertama kali. Alpha blocker bermanfaat untuk pasien laki-laki lanjut usia karena
memperbaiki gejala pembesaran prostat.
-
7. Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan
darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerja sentral
(misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha2 atau reseptor
lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal,
sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus
dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga
diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan
hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien wanita. Obat-obat kerja sentral
tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat
seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai
mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat menyebabkan efek samping pada
sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.