Himmah Semester 1, 2014 (Bahasa Indonesia Dan Inggris)

114
5

Transcript of Himmah Semester 1, 2014 (Bahasa Indonesia Dan Inggris)

5

6

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

7

8

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

H I M M A H

Jurnal Ilmiah Keislaman

Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir

Pelindung:

Presiden PPMI Mesir 2013-2014

(Amrizal Batubara, Ss.)

Mitra Bestari:

Dr. H. Fahmy Lukman, MHum.

Pemimpin Redaksi:

Mohammad Izdiyan Muttaqin

Sekretaris:

Elva Siti Fauziyah

Dewan Redaksi:

Jauharotun Naqiyah

Ratih Ayu Muflihah Salwa

Abdul Malik

Sukron Sayyid

Tata Letak:

Shilmy Azis Hasbullah

Desain Cover:

Husni Dzahaby

Penyunting:

Zaimuddin Abdul Adzim, Lc.

Novan Hariansyah, Lc.

Irvan Prima Putra

Alamat Redaksi:

8 Wahran st. Rabea el-Adawea Nasr City Cairo Egypt

Phone & Fax (202)24048719

Email: [email protected]

9

Daftar Isi

Editorial

The Archetypal Psychology and The Creative Psyche;

Jung‘s Contribution toward Modern Psychoanalysis

Umar Abdulloh

Fiqh Awlawiyat; Konsep Rekontruksi Berfikir Umat

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

Penghianatan Di Bumi Kufah

(Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

Abdul Hamid II (1842 – 1918):

Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

Sunah dan Orientalisme dalam Sorotan

Roni Fajar Verigina

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah;

Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

iii

iv

8

22

32

42

62

80

97

DAFTAR ISI

10

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

بسم ميحرلا نمحرلا هللا

انغالو عهكى سحخ هللا ثشكبر

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada kita dua mata, Dialah yang telah

memberikan kita satu lidah dan dua bibir, dan Dia pula yang memberikan kita hidayah menuju

jalan kebenaran. Shalawat serta salam selalu kita panjatkan kehadirat Nabi Besar Muhammad

SAW. Yang telah mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya.

Senang sekali rasanya Jurnal Himmah Edisi 9 Nomor 1 Bulan Febuari 2014 ini bisa kem-

bali hadir di Masisir di tengah kondisi politik Mesir yang masih simpang siur tidak menentu.

Mesir masih hangat diterpa Revolusi, demo-demo terjadi hampir setiap hari selama kita kuliah,

namun semua itu tentu tidak menghentikan langkah kita untuk maju menyongsong masa depan

yang lebih baik. Semangat kita untuk memperbaiki diri, belajar, dan mempersiapkan diri untuk

membangun Indonesia harus senantiasa kita jaga.

Telah terjadi beberapa perubahan dalam tim redaksi, Saudara Hariyadi yang telah ber-

juang mempertahankan eksistensi Jurnal ini kini menyerahkan tanggungjawab penerbitan ini

kepada kami, sebagai tim redaksi yang baru, dan tentu saja bagi kami segenap kru redaksi,

proses penerbitan Jurnal Himmah adalah sebuah fase latihan dan pembelajaran yang tidak

boleh disia-siakan. Jurnal Himmah sebagai bentuk aktualisasi aktifitas intelektual Masisir harus

tetap hadir mengisi posisinya yang sangat penting sebagai wadah untuk berkarya bagi Masisir.

Dalam edisi kali ini kami memuat 9 buah tulisan karya Para Pelajar Indonesia di Al-

Azhar. 6 tulisan berbahasa Indonesia, 1 tulisan berbahasa Inggris, dan 2 tulisan berbahasa Arab.

Tulisan-tulisan tersebut Insya Allah akan menambah luas wawasan dan cakrawala keilmuwan

kita. Kita akan diajak menjelajah tentang kisah runtuhnya Daulah Utsmaniyah oleh al-Ustadz

Indra Gunawan, Lc. Dipl. Beliau akan mengupas kehidupan Khalifah terakhir di Dunia Islam

yang tragis nan dramatis. Kita juga akan menyimak bagaimanakah asal-muasal dan sejarah dari

perayaan Asyuro‘ yang diadakan oleh pengikut syi‘ah untuk mengenang kematian Sayyidina

Hussein, lewat sebuah artikel karya Mohammad Faiq Aziz. Ditambah lagi wawasan menarik

tentang astronomi dan asal muasal penghitungan kalender miladiyah yang kontroversial akan

diulas menarik oleh Saudara Ismail Sujono.

Dari segi Syari‘ah Islamiyah kita akan disuguhi tulisan yang sangat menggugah tentang

teknologi penataan pekerjaan atau skala prioritas dalam syari‘at islam yang sungguh penting

kita ketahui sebagai bekal kita dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi tulisan menarik karya

Saudara Roni Fajar Verigina tentang ulasan mengenai Orientalisme yang telah membuat orang-

orang barat malang melintang di Negara-negara Islam dengan dimotivasi oleh berbagai niat dan

tujuan masing-masing. Kita juga akan menemukan tulisan menarik karya Abdul Ghani

mengenai filsafat islam atau ilmu kalam yang membandingkan antara dua sesepuh dalam dunia

filsafat islam, antara pemikiran Imam Ghazali dan pemikiran Ibnu Rusyd. Dan yang tidak kalah

11

menarik adalah tulisan berbahasa Inggris kita yang ditulis oleh Umar Abdulloh tentang psikolo-

gi yang ternyata masih berhubungan dengan etika, adab, tingkah laku, dan bahkan berhubungan

dengan ruh.

Dua tulisan berbahasa Arab dalam edisi kali ini juga tidak kalah menarik. Dalam tulisan

karya al-Ustadz Anas Azizi kita akan menelaah perbedaan-perbedaan istilah antara dua madras-

ah paling masyhur di ―Dunia Nahwu‖, Bashriyah, dan kufiyah. Dan al-Ustadz Mulyadi Makoli

akan menerangkan tentang kebutuhan Umat Islam akan tafsir yang kian hari kian penting untuk

memahami al-Qur‘an yang merupakan pedoman Umat Manusia untuk mencapai kebahagiaan

di dua kehidupan, Dunia dan Akhirat

Akhirnya kami segenap kru mengucapkan selamat membaca, terima kasih karena anda

telah meluangkan waktu untuk ikut membaca dan mengapresiasi karya-karya Masisir yang ten-

tu saja merupakan benih-benih pemimpin dan ulama yang akan menghiasi Indonesia di Masa

yang akan datang. Tidak lupa kami mengucapkan maaf jika terdapat kesalahan di sana-sini,

kritik, saran dan masukan anda selalu kami tunggu, silahkan mengirimnya melalui email yang

sudah tertera di bagian depan jurnal ini. Semoga jurnal ini bermanfaat bagi kita semua, dan

Semoga kita selalu dibimbing Allah menuju jalan yang diridhoi-Nya,

انغالو عهكى سحخ هللا ثشكبر

Mohammad Izdiyan Muttaqin

12

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

ر وإن كان حدثا” العال كبي

ر وإن كان شيخا ― واجلاهل صغي

“Orang yang berpengetahuan tetap besar

walaupun masih kecil,

dan orang yang bodoh tetap kecil walau-

pun sudah besar”

13

THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE

CREATIVE PSYCHE;

Jung’s Contribution toward Modern Psychoa-

nalysis

Umar Abdulloh

Student of Department of Sharia and Law, Faculty of Islamic Sharia and Law,

Al-Azhar University, Cairo, Egypt

Email: [email protected]

ABSTRAK

Manusia hidup dalam simbol-simbol yang bertransformasi dalam banyak aspek ke-

hidupan. Entah itu muncul dalam mimpi, pikiran, refleksi, kecenderungan dan imajinasi manu-

sia memiliki makna khusus yang tidak bisa diabaikan. Dalam ilmu psikologi modern, nantinya

simbol-simbol ini juga terkait dalam pembentukan jiwa seseorang, dan jiwa yang utuh hanya

mampu tercapai saat seseorang mampu meleburkan alam bawah sadar dengan alam sadarnya.

C. G. Jung mengemukakan teori psikologi arketipe yang menggegerkan dunia psikologi klasik

yang semula sangat membedakan antara alam bawah sadar dengan alam sadar. Dia juga mem-

perkenalkan bahwa seluruh simbol dalam kehidupan memiliki fungsi dan makna secara khusus.

Kata kunci: Jung, psikologi, pola dasar, jiwa, simbol

ABSTRACT

People live inside the symbols which transformed and dissolved into the aspects of life.

These symbols which often emerge at the human‘s dream, thought, reflection, preference and

imagination are not to be underestimated. A modern psychology states that these symbols are

linked with one‘s psyche development, and a psyche could only gain its wholeness when the

conscious is able to interact with the unconscious and come to term with this counterpart. C. G.

Jung had suggested the archetypal psychology which made a stir among the whole classical

school of psychology, where they separated between the conscious and the unconscious. He

also said that every symbol has its own meaning and function in this life.

Keyword: Jung, psychology, archetype, psyche, symbol.

THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis

Umar Abdulloh

14

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

PREFACE

What is a psyche which is called by

various names so far: a soul, a life, a form of

accumulated experience, and many more. In

the ancient time, the idea of the psyche is

mostly referred to Plato‘s idea of psyche,

thus he wrote that the soul and life would be-

come immortal when they are separated. He

also stated that ‗a psyche‘ after death is able

to achieve wisdom and experience better than

which it is alive, assuming that a soul and a

body are united. When death comes, the soul

is no longer unhindered by the body.

In respond to Plato‘s concept of psy-

che, and what Medieval psychology defines a

psyche as an anima, a term which traditional-

ly means a soul but had been altered by Jung,

becomes more superstitious in some manner

later, anima is just another term inside Jung‘s

concept of psyche. For Jung, the psyche was

a many-splendored thing: fluid, multi-

dimensional, alive, and capable of creative

development. Before reaching the stage

which we could interpret Jung‘s view of the

psyche in a whole, we must understand that

Jung was no stranger to disease, psychosis

and inertia, having been an Assistant Director

of a psychiatric hospital he was. Since then,

he possessed a love for the orderly chaos of

the psyche and a trust in its integrity, not to

be confused with traditional definitions of

psyche which distinguished between the un-

conscious and conscious ones. Eventually,

Jung was drawn to mystical systems like as-

trology and alchemy, because they were to-

ward a synthetic understanding of matter and

psyche. He saw in them the unity between a

man‘s inner psychological process and his

fantasies of the workings of the biological

and physical world.

Some psychologists even said, Jung

was ahead of his time, prescient in terms of

his post-modern view of the psyche which

differs from all previous concepts, even his

tutor, Sigmund Freud. Later, this paper‘s

main purpose is to discover Jung‘s contribu-

tions in his concept of psyche, the foundation

which he laid his ideas upon, his unique view

of psychological process, the individual path

to objective awareness and the creative use of

unconscious material. Jung‘s orientation to-

ward the psyche differed from older ‗human‘

systems that functioned psychologically by

fusion, compulsion or the rudeness of fate,

but also diverted from modern rational views

oriented toward separation from the uncon-

scious, and ego control over both matter and

psyche. His entire concept toward the psyche

was ‗post-modern‘, which will be explained

thoroughly below.

JUNG’S DEFINITION OF PSYCHE

Freud‘s dictum, ―Where id was there

ego shall be‖ shortly described what the psy-

che was. Freud believed there must be three

components to define a psyche, they are: the

id, which represents the instinctual drives of

an individual and remains largely uncon-

scious; the super ego, which represents a per-

son‘s conscience and their internalization of

societal norms and morality; and last comes

the ego, which is conscious and serves to in-

tegrate the drives of the id with the prohibi-

tions of the super-ego.

The three components above must re-

main equivalent and stay in balance. When

the id slightly appears much higher than the

super ego, the wild instinct of human kicks in

and drives people aggressively, intangible,

without moral bounded from within. As vice

versa, when the super ego (or alter ego) dom-

inates the self too much then the id, human

would eventually having too much pride

15

which has too much sense of justice, and that

is not always better. Therefore comes the ego

as a bridge between those two. Thus, this

‗structural-model‘ when psyche is a battle

between the id and the super ego, and the ego

as the one to mediate between those two,

would have an important role in the history

of foundation of the archetypal psychology.

After becoming too much infatuated

with Freud‘s ideas, Jung‘s view of psyche

departs from his tutor‘s concept, but with

some alteration here and there because off his

disagreement in some of his mentor‘s per-

spective of life. Jung‘s view of psyche then

lies in his vision of interplay between inter-

nal psychic, somatic, and interpersonal phe-

nomena, with the world, and life itself. While

he obsessed so much about Medieval psy-

chology and alchemy, he often referred these

living and inseparable relationships as deriv-

ing from an unus mundus, means ‗one uni-

tary world.‘

Jung implied that all forms of existence

and experience are linked. Moreover, recent

discoveries in the technology of DNA stated

that all animate life from a petal of grass to a

human being is built from the same four

components of genetic material, differing

only by arrangement. Yet, this discovery is

just another validation for this ‗unitary

world‘ concept in a symbol which exists in

every culture throughout history: the manda-

la, or magic circle, which signifies both un-

differentiated and integrated wholeness.

In Jung‘s idea of unus mundus, everything is

interconnected, and there is no difference be-

tween psychological and physical facts, past,

present or future. This borderline state where

time, space, and eternity are united forms the

backdrop for his most basic formulation

about the structure and dynamics of the psy-

che. Thus, it could be concluded as the exist-

ence of an objective psyche or collective un-

conscious, which is the reservoir of human

experience both actual and potential, and its

components, the archetypes. Internal and ex-

ternal events are related by their subjective

meaning. There are inseparable links be-

tween psyche and matter, subject and object,

affects, images, and action are virtually iden-

tical. One most featured of Jung‘s approach

was the value given to this miraculous layer

of the psyche, and the understanding that it

never disappears, but remains the wellspring

from which all else flows.

And so, Jung always maintained the

fact of the reality of the psyche per se. It

means, psychic phenomena are related, but

not reducible to other levels of experience

such as neurons and synapses. This realiza-

tion of psychic reality per se implies that the

unconscious can never be entirely repressed,

exhausted, or emptied through reductive

analysis. Moreover, this would be harmful

for psychic health. The danger here conse-

quently is the possibility of being possessed

by it, thus created some kind of madness.

But again, Jung had suggested the solu-

tion, that he conceived the optimum relation-

ship between ego and the rest of the psyche

to be one of the continuous dialogues. The

dialogues here mean that there is an unbreak-

able link between ego and the psyche, and

they always communicate in such a never-

ending-process way. The core issue as how

the Jungian sees it, is how to maintain a dy-

namic tension and a flexible relationship be-

tween the ego and the rest of the psyche. It

has only one object: to find a way to come to

terms with the unconscious as well as deal

with future difficulties. This process, again,

consists of maintaining a continuous dia-

THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis

Umar Abdulloh

16

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

logue with the unconscious that facilitates

creative integration of psychological experi-

ence.

THE ARCHETYPE : THE OBJECTIVITY

OF THE PSYCHE AND ITS OBJECTIVE

AWARENESS

Jung felt that knowledge was entirely

experimental, probably inspired by Descartes

in his theory of ‗innate idea‘, this Germany

psychologist also has gnosis, an ‗inner know-

ing‘ which was gained through one‘s own

experience and understanding. It is more than

just consciousness, but includes the experi-

ence of meaning. Based on his personal expe-

rience gained from such a numerous psycho-

logical life where he encountered imaginary

identical from different views and religions,

he then an archetypal instinct, formed in

symbols. He argued that the archetypal sym-

bols which emerge from the unconscious are

part of the psyche‘s objective ―meaning-

making‖ instinct, but again, each symbol

must be realized subjectively within each in-

dividual.

For example, there is a human instinct

to create an image of a goldfish trapped in

some transparent container, the function of

which is to symbolize the solitary person who

judges others by his eyes while hiding inside

the harden safe-locked container within the

heart. Again, the content of this image must

vary within individuals, they are not always

the same, some differ, mostly not. But the

symbols are always universal.

Departs from the concept above, Jung

saw a need to differentiate the universal com-

ponents of consciousness in such a way as to

describe how these components work in dif-

ferent ways in different individuals. He de-

scribed two basic modes of perception: intro-

version, were the psychic is primarily stimu-

lated by the internal world, and extraversion,

where the psychic focus is on the external

world. Within these two modes, Jung de-

scribed four properties of consciousness:

thinking, feeling, intuition and sensation. The

modes of perception and the properties of

consciousness are found combined in many

ways, for those the introverted intuitive

thinking type or the extraverted ones. The

theory implies that there are various ways not

only of understanding but also of functioning

in the world. The theory which suggests the

different types of patient may require differ-

ent treatment.

The understanding of both the objectiv-

ity of the psyche and the importance of one‘s

subjective experience of it informs the learn-

ing Jungian – those who learn thoroughly the

ideas and concepts of C.G. Jung‘s archetypal

psychology – the view of the analytic pro-

cess. This process involves the uncovering of

one‘s personal history, unconscious dynam-

ics, and individual limitations, with the at-

tendant suffering and healing of unresolved

complexes. This personal material is also

considered as the objective psyche or collec-

tive unconscious, the level and content of the

unconscious which consists of archetypes.

Since all individuals experience have an ar-

chetypal core, issues from personal history

and archetypal patterns are always linked,

often needing first to be separated, and then

linked back together. Jung‘s way of looking

at consciousness was very different from a

universal theory applied indiscriminately.

Even so, he considered all subjective paths of

experience, all typologies, and all complexes,

to lead to the universal objective level of psy-

che, comprised of the archetypes.

The archetypes picture how we relate to

17

the world. They manifest as instincts and af-

fects, as the primordial images and symbols

in dreams and mythology, and in patterns of

behavior and experience. Unmerged from the

individual, these archetypes reflect universal

issues, and serve to bridge the subject or ob-

ject gap. The recognition of archetypes in-

cluding the psyche‘s personalization of sym-

bolic archetypal motifs (such as the fantasy

in everyone‘s thought that his/her mother is

either demon or an angel) must be well un-

derstood for every Jungian or every people

familiar to this concept and for people who

tend to understand themselves for gaining the

better purpose in this university of life.

This entire character of archetypes

form a theoretical background a lot more

than what Freud suggested in his trinity con-

cept of psyche, and how the psyche is such

omnipotence, idealization, fusion and separa-

tion-individuation struggles. The archetypal

psyche is the world of the unus mundus

where nothing is separated, but nothing is

sequentially connected either. Instead of con-

nections and relations, there is a substitution

and affect. Then, for people to understand

themselves and recognizing the darkness

lived within, where the conscious and the

unconscious could emerge as a whole.

THE JUNGIAN MODEL AND ITS DY-

NAMICS : HOW IT DIFFERS FROM

FREUDIAN

While the objectivity of experience is

determined by the archetypes, its subjectivity

is determined by the nature of one‘s personal

complexes. Jung was, in many ways, the fa-

ther of ―complex theory.‖ He had conducted

some experiments to prove his theory. He

once tested several people using a ‗word as-

sociation test‘ in which they responded with

associations to stimulus words. While he was

testing, he found the presence of unconscious

distractions which interfered with associa-

tions to the test words. These internal distrac-

tions were called feeling-toned complexes of

ideas, or to be shortened simply as complex-

es. This work had great bearing on the status

of psychoanalysis in the scientific communi-

ty at that time, yielding empirical indications

that an ‗association‘ could be disturbed pure-

ly from within.

The word association test suggested the

presence of many types of complex, contra-

dicting Freud‘s claim for a core sexual com-

plex. Jung also observed that these complex-

es were dissociable, they functioned autono-

mously as the unconscious capable of form-

ing separate personalities or characters. Thus

he never believed that dissociations were

necessarily caused by sexual trauma or any

trauma unlike in Freud‘s theory. For Carl

Gustav Jung, the psyche was inherently dis-

sociable, with complexes and archetypal con-

tents symbolized and functioned autono-

mously as complete secondary systems. He

visualized them as a secondary selves, not

merely unconscious drives and processes.

While Freud‘s psychoanalysis was pre-

dominantly historical, prying into someone‘s

past, Jung‘s was concerned with the present

as it illuminated the path for future develop-

ments. Jung saw the ego as prone to errors of

misguidedness and one-sidedness. He be-

lieved that the material surfacing from the

unconscious served to bring light to its fun-

damental darkness.

He considered unconscious imagery to

be symbolic, where a symbol is understood

as something that compensates the errors of

ego consciousness. The symbol has a regulat-

ing function. The essence of the teleological

position is that:

THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis

Umar Abdulloh

18

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

All symptoms and complexes have a

symbolic archetypal core

The purpose or aim of a symptoms,

complexes or defense mechanism is

more important than its causes.

In summary, a symptom develops not

because of prior history of trauma but in or-

der to express a piece of psyche or to accom-

plish a purpose. In the case of medium whom

Jung studied, her spirit guide was not reduced

to pathological hysterical complex, but con-

sidered as ‗an independent existence as au-

tonomous personality, seeking a middle way

between extremes.‖ Jung saw the figure as an

attempt to rectify her past and prepare her for

adult life; it was a numinous element in the

psyche capable of giving meaning to her life.

Jung was arguing that a complex, rather than

just repeating itself, could also function to

regulate current functioning and reorganize

the future.

The most serious kind of disease is not

the existence of complexes, but the break-

down of the psyche‘s considerable self-

regulating capacities, such as the ability to

recognize the current situation and bring it

into awareness and form an archetypal mate-

rial. Henceforth, the teleological view proved

another of Jung‘s seminal ideas: the existence

of the Self, by which he meant an ideal agen-

cy that contained structures, and directed the

development of the entire psyche, including

the ego. James Hillman, one of the most in-

fluential Jungian, stated that when the perso-

na, similar to Freud‘s super-ego could con-

quer, recognize and create an intertwining

between it and the shadow, or just like

Freud‘s id, is when the psyche could become

whole, the Self. It means that Jung suggested

the ideal concept of psyche is when people

are able to recognize their weakness and ac-

cept it as their part of self, come to terms

with it, and rather than being gullible by self-

guilty, they prefer to realize their strengths

and weaknesses come from one source, their

soul, thus to move forward is to conquer the

Selves.

But the process of understanding one‘s

Self is not that simple. The symbolic forms

emerged from the psyche when they are de-

veloping, created a double-sided mirror,

which in a person‘s dream or his view toward

an object, they must not be understood only

from what is revealed, but rather, there must

be something concealed to be extracted.

Those symbolic forms are later must be inter-

preted by understanding not only from his

traumatic history in childhood, but also how

does this person view his life as he is right

now and the potential of his psyche to react

for the future.

THE INTERPRETATION OF THE AR-

CHETYPES: THE SYMBOLIC USE OF

UNCONSCIOUS MATERIAL

Regarding to Jung, fantasies, dreams,

symptomology, self-defense mechanism and

resistance are all viewed in terms of their cre-

ative function ad teleology. The assumption

is that they reflect the psyche‘s attempts to

overcome obstacles, make meaning, and pro-

vide potential options for the future, rather

than existing only as passive responses to

past history. For example, during a period of

depression and anxiety a woman reported

―I‘d like to jump in a river.‖ Jungian ap-

proach to this disturbing fantasy reveals a

disgusting proof of this patient‘s suicidal im-

agery. Its apparent meaning and purpose will

be seen in the context of its underlying func-

tion and symbolism.

Jung‘s view of most mental illness was

19

that when the natural flow or libido (by

which he meant psychic energy, not only

sexual libido like Freud suggested) is stopped

due to one‘s inability to meet internal or ex-

ternal difficulties, and it regresses. As it re-

gresses, it activates both past internalized

images, such parents perhaps, and archetypal

symbols of libido from the objective psyche,

in this case, water. The fantasy of ‗jumping

in a river‘ is the psyche‘s image for an im-

pending regression whose quality is ‗watery‘.

The questions then asked as the libido re-

gresses and such potent symbols emerged,

they are: what is this for and where is it go-

ing? This approach is called the synthetic and

progressive method of interpretation, to dis-

tinguish it from a retrospective and personal

approach which analyzes in terms of past his-

tory and personal experience. A combination

of both methods is used by Jung in his treat-

ment.

Jung considered libido to necessarily

flow backwards or to regress. It is another of

the self-regulating mechanisms. He stated

that regression and introversion not only po-

tentially adaptive, but they turn out to be-

come such a healing potion for self if suc-

cessful. As libido regresses and turns inwards

during illness, symbols are emerging from

the unconscious. Jung felt that the purpose of

a symbol was to transform libido from one

level to another, elevate it, pointing the way

toward future development.

Symbols speak the language of the ar-

chetype as they are. They originate in the lay-

er of the psyche, where they are potentially

healing, destructive, or prophetic. Symbolic

images are truly genuine transformers of psy-

chic energy because a symbolic image

evokes the totality of the archetype it reflects.

Images evoke the aim and motivation of in-

stincts through the psychological nature of

the archetype. This holds the truth whether or

not they are rationally understood.

Fox example, the image of ‗jumping

into the river‘ means much more than the

dreamer‘s personal associations to it. It car-

ries with it all the archetypal imagery of

moving water. It represents flow vs. fixity,

immersion, containment, dissolution and pu-

rification. Water relaxes the connections be-

tween things, which results in either death or

resurrection. The sacred rivers of the world,

such as Nile, Musi, the Ganges, are all

thought to have healing and regenerative

properties. They also represent the suicidal

images which symbolize the need to dissolve

things back into their constituent parts to be

swept away into the waters of unconscious

and purified as a prelude to rebirth.

Another way in which Jungian work

uses unconscious material in creative fashion

is in its approach to the experience of oppo-

sites in psychological life. This experience

reflects the psychological fact that whatever

is in the ego complex has its mirror opposite

in the unconscious. A controlling ego will

play a role in the contrary of what in the un-

conscious. Example, a warrior is also a wolf,

while a wolf contains a potential warrior. A

beautiful woman is also a swan, and so the

swan may be a beautiful woman within. The

psyche is not a perfect homogenous entity,

rather it works to create wholeness. But dis-

orderly wolves are usually pushed into un-

conscious, forming a secondary personality

which Jung called the shadow. It is so im-

portant to bring this and the shadow into con-

scious awareness, otherwise further dissocia-

tion and neurosis will take effect.

Exploring the relationships inside the

Self the work of psychotherapy, where the

THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis

Umar Abdulloh

20

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

important questions become: how will the

wolves live if not in projection? How does

the warrior treat the wolf, and the wolf treat

the warrior? Finding answers is a process of

subjective understanding, realization of the

ego, continuous integration of shadow mate-

rial, and a subjective topic on what describes

‗good and bad‘ in psychological life.

CONCLUSION

A whole Jung‘s concept of psychology

emphasizes purposive development, a sense

of personal meaning, and creative adaptation

as operative factors inside the psyche. It ex-

plains a process continuous psychic integra-

tion, always preceded by stages of dissocia-

tion, summed up in the psychological term as

a ‗dissolve and coagulate‘ theory. The pur-

pose of analysis is to help redirect psychic

energy toward development with the help of

a symbolic experience of unconscious materi-

al.

Jung‘s major contributions were the

insistence on the symbolic and creative func-

tion of unconscious material, the healing

power of images, and the psyche‘s prospec-

tive tendency toward regression during stress

and growth. He was ahead of his time, ad-

dressing problems of dependency, regression,

and collusion which continue to undermine

the value of contemporary psychotherapy.

Moreover, less but not forgotten, his

work opened up the traditional concept of

Freud‘s psychoanalysis by exploring the ob-

jective field of archetypal dynamics. Issues

that are being explored in the older field like

the separated objects between the id, the su-

per-ego and the ego, separation individuation

struggles, dissociative disorders, and the cir-

cumstances around it, all have their roots in

the archetypal layer of the psyche.

REFERENCES

Campbell, Joseph. 1976. The Portable Jung.

New York: Penguin Books.

Freud, Sigmund. 1933. New Introductory

Lectures, London: Hograth Press.

Hillman, James. 1975. Re-visioning Psychol-

ogy. New York: Harper & Row.

____________. 1985. Archetypal Psycholo-

gy: A Brief Account. Dallas: Spring

Publications.

Jung, Carl Gustav. 1966. The Practice of

Psychotherapy. New Jersey: Princeton

University Press.

_____________. 1969. The Structure and

Dynamics of the Psyche. New Jersey:

Princeton University Press.

_____________. 1970. Mysterium Coniunc-

tionis. New Jersey: Princeton Universi-

ty Press.

_____________. 1970. On the Psychology

and Pathology of So-called Occult Phe-

nomena. New Jersey: Princeton Univer-

sity Press.

_____________. 1971. Psychological Types.

New Jersey: Princeton University

Press.

Kerr, John. 1993. A Most Dangerous Meth-

od: The Story of Jung, Freud and

Sabina Spielrein. New York: Alfred A.

Knopf.

Kugler, Paul. 1997. Psychic Imaging: a

Bridge between Subject and Object.

UK: Cambridge University Press.

Lopez-Pedraza, R. 1971. Responses and Con-

tributions. Dallas: Spring Publications.

McNeely, Deldon. 1997. ‖ The Case of Joan:

Classical, Archetypal and Developmen-

tal Approaches‖ in The Cambridge

21

Companion to Jung. UK: Cambridge

University Press.

Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra.

Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor In-

donesia.

Myers, Steve. 2009. ―The Cryptomnesic Ori-

gins of Jung‘s Dream of the Multi-

storied House‖ in The Journal of Ana-

lytical Psychology. New York, Vol 54,

No. 4.

Segal, R. A. 1992. The Gnostic Jung. NJ:

Princeton University Press.

Sherry Salman. 1997. ―The Creative Psyche:

Jung‘s Major Contributions‖ in The

Cambridge Companion to Jung. UK:

Cambridge University Press.

Shamdasany, Sonu. 2003. The Red Book of

C.G. Jung. UK: Cambridge University

Press.

Winnicott, D. W. 1965. ―True and False Self

― in The Maturational Processes and

the Facilitating Environment. New

York: International Universities Press.

Britannica Encyclopedia Ultimate Reference

Suite

www.perseus.tufts.edu

http://web.archive.org

THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis

Umar Abdulloh

22

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI

BERPIKIR UMAT

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

Mahasiswa Jurusan Syari‘at Islam,

Fakultas Syari‘at Islam dan Hukum, Universitas Al-Azhar, Kairo

Email: [email protected]

انمهخص

نبرا رأخش انغه رمذو غشى؟ زا انغؤال ك ظفزب انو نجحث عك ع دس انغه ف عصش أنف.

كأ انغه فمذا حكى ألسشذى ف يشزى. حب غشى اشزغها ف رنذ انعهو انجذذح نصهحخ عبيخ انبط رككك

حضبسرى ان ي حضبسرب ثحغت انبدخ. لذ اشزغها انغه ثئخزالفى ف أيس انجضئبد انكفكشعككخ.يكب ك انغكجكت

انز غجت رأخش انغه؟ رأخش حضبسح انغه ثغجت انغهظ ف كفخ رفكش انغه ع انحبح. نبرارأخكش؟ حكمككمكخ

اإلعالو ال رك كزانك, أل اإلعالو ضع مطخ اإلطالق نجبء حضبسح انكجشح. لذ عشفككب أ ككشح انكككضكخ اإلعكالو ركذس

انعبنى. زجخ عه رانك, احذ انحم إلصالح حضبسرب اصالح كفخ رفكشى ثزمذى يب حكمك انكزكمكذكى كؤخكش يكب حكمك

انزأخش. نزانك اخزش انكبرت انجحث ع انفم األنبد ألحذ انجذ إلصالح فكشح انغه.

: األنبد، انظش، الع، يصهحخ، يفغذحانكهمبت األسبسية

ABSTRAK

Mengapa Umat Islam terbelakang dan orang-orang non muslim justru berkembang? Soal

ini menjadi tugas kita bersama untuk memandang peranan umat muslim pada era milenium

kedua. Umat muslim seakan kehilangan kompasnya disaat melangkah, dikala orang-orang non

muslim justru sebaliknya meniti karir kejayaan. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Salah

satu sebab ketertinggalan umat Islam dari peradaban lain adalah cara umat muslim berpikir

tentang hidup. Ketika peradaban lain sibuk melahirkan karya-karya untuk kehidupan manusia,

umat muslim justru disibukkan dengan pertikaian antar saudara. Padahal, ajaran Islam telah

menetapkan batu pijakan untuk mewujudkan peradaban yang besar. Sejarah mencatat bahwa

Islam dan nilai-nilainya telah menjadi pondasi kuat dalam membangun Masyarakat yang adil

dan makmur, bahkan nilai-nilai inilah yang menjadi pondasi kebangkitan Eropa. Oleh karena

itu, salah satu solusi untuk memperbaiki peradaban umat Islam saat ini adalah dengan memper-

baiki pola pikirnya. Mengedepankan apa yang perlu untuk dikedepankan, serta mengakhirkan

apa yang perlu ditangguhkan. Maka Penulis mencoba untuk memaparkan pembahasan fiqh aw-

lawiyyât sebagai salah satu upaya rekonstruksi pemikiran umat muslim.

Kata kunci: prioritas, pertimbangan, realita, maslahat, mafsadat

23

PENGANTAR

Peradaban Islam telah memberikan

sumbangsih yang jelas bagi kebangkitan

Eropa. Melalui Andalusia dan Cordoba, Is-

lam menyatukan antara kebudayaan Timur

dan Eropa dan mengantarkan mereka pada

era renaisan.1 Hal ini ditengarai dengan

adanya transfer pengetahuan dari pelbagai

bidang seperti: kedokteran, sastra, astronomi

ke Eropa. Disamping itu, penerjemahan lit-

eratur dari berbagai wilayah yang berkem-

bang pesat pada masa itu, seperti: Yunani,

Persia, Iberia telah menggoreskan garis per-

mulaan kebangkitan di Eropa. Oleh karena

itu, peradaban Islam ikut serta berkontribusi

dalam penyelamatan Eropa dari kegelapan

abad pertengahan ke era renaisan.

Seiring berjalannya waktu, khilafah

Utsmani pun berakhir, dan sebaliknya,

peradaban Eropa pasca revolusi Perancis dan

revolusi Industri di Inggris mengalami

perkembangan yang pesat. Keruntuhan khil-

afah Utsmani tersebut sering dikatakan se-

bagai titik tolak kemunduran umat Islam. Se-

lanjutnya, umat Islam lebih terlihat

mengepigoni atau membebek pada peradaban

yang dulu diselamatkan olehnya. Tak Ayal

jika Albert Hourani2 dalam mukadimah

bukunya al-Fikr al-„Arabî fî „Asr Nahdhah

memaparkan aspek-aspek apa saja yang ha-

rus diambil dan ditinggalkan oleh umat Islam

dari peradaban Barat untuk menghidupkan

tatanan sosialnya.3 Kondisi tersebut juga di-

pertanyakan oleh Syekh Syakib Arslan,4

―apakah masih tersisa semangat pem-

bangunan Islam sebagaimana masa lalu dan

umat muslim tertinggal? Atau saat ini ajaran

Islam dipahami dan hanya dianggap sebagai

simbol saja?‖5 Pertanyaan-pertanyaan ini

semakin dikuatkan dengan pernyataan Mu-

hammad Abduh6 bahwa ia melihat kaum

muslimin di Timur tanpa kehadiran Islam,

sedangkan ia melihat Islam di Barat tanpa

kehadiran kaum muslimin.7

Terdapat beragam alasan mengenai

penyebab kemunduran umat Islam. Dari

sekian ragam penyebab yang ada, penulis

hanya mencoba menelisik tentang metode

berpikir yang menyebabkan muslim menjadi

mundur dan terbelakang, yaitu terkait runtu-

tan cara berpikir dan bertindak dengan cara

melihat pertimbangan prioritas. Inilah yang

1. Abdul Hay Al Kattani, Al-Islâm fî al-Fikri al-Gharbî, terj. Lathifah Ibrahim Khadar, (Jakarta: Gema Insani Press, cet.I, 2005), hal. 25.

2. Albert Hourani adalah seorang orientalis dan pakar sejarah dari Inggris khususnya sejarah Arab dan Timur Tengah. Ia lahir di Manchester pada tahun 1915 M dan wafat pada tahun 1993 M. Karya besarnya yang mendapat apresiasi dari dunia sejarah adalah Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939 dan A History of the Arab Peoples.

3. Albert Hourani, al-Fikr al-„Arabî fî „Asr Nahdah 1798-1939, terj. Karim Aschole, (Beirut: Dâr al-Nahâr), hal. 9. 4. Amir Syakib Arslan adalah seorang pemikir Arab yang lahir pada tahun 1869 M di Beirut. Nama Syakib dalam

bahasa Iran bermakna Seorang Penyabar. Sedangkan Arslan dalam bahasa Turki berarti harimau. Pemikirannya banyak terpengaruhi oleh gurunya yaitu Syekh Adullah al-Bustani dan ulama-ulama yang satu kurun dengan beliau, seperti: Syekh Jamaludin al-Afghani,Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridhlo, atau para penyair Arab seperti Ahmad Syauqi dan Ismail Sobri. Karya besar beliau yang semakin membuka pandangan kita tentang umat Islam adalah Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum. Beliau wafat pada tahun 1946 M.

5. Amir Syakib Arslan, Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayât, cet.II), hal. 42.

6. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di delta nil, Mesir. Beliau adalah seorang pemikir dan juga pemba-haru. Salah satu karya beliau adalah Risâlah Tawkhid. Beliau wafat pada tahun 1905

7. Ali Harb, Asilah al-Haqîqah wa Rahânat al-Fikr: Muqârabat Naqdiyyah wa Sijâliyyah, terj. Umar Bu-khory,Ghazi Mubarak, (Yogyakarta: IRCiSoD, cet.I, 2012), hal.5.

FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

24

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

biasanya disebut fikih prioritas. Aspek apa

sajakah yang harus dikedepankan oleh umat

muslim saat ini untuk mengembalikan ke-

jayaannya? Bagaimanakah cara mempriori-

taskan antara pelbagai hal yang muncul da-

lam realitas? Aspek mana yang lebih

dikedepankan dan aspek apa saja yang seha-

rusnya ditangguhkan? Pola pemikiran

demikian dianggap perlu untuk dikaji meng-

ingat banyak umat muslim kehilangan

‗timbangan personal‘ menurut bahasa penu-

lis, dalam bertata perilaku mengatur ritme

hidup yang dijalaninya. Sehingga dengan

konsep berpikir pemprioritasan atau dalam

bahasa Syekh Yusuf Qaradhawi8 disebut fiqh

awlawiyyât, umat muslim dapat melangkah

lebih proporsional dalam berpikir.

PEMBAHASAN

Definisi Fiqh Awlawiyyât (فق أنيبت(

Term fiqh awlawiyyât mulai dikenal

dipanggung dunia sejak diperkenalkan oleh

Syekh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Fî

al-Fiqhi al-Awlawiyyât. Sebelum term ini

berkembang, terdapat embrio yang melatar

belakangi terbentuknya istilah fiqh awlawiy-

yât, yaitu pembahasan beliau dalam kitab as-

Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Juhûd wa at

-Tatharruf tentang fikih tahapan-tahapan

amal (. فق مراتب األعمبل) 9 Kendati demikian,

hakikatnya konsep prioritas sudah inheren

dengan ajaran Islam itu sendiri, meskipun

secara penamaan masyhur di era kontemporer

oleh Syekh Yusuf Qaradhawi.

Definisi fiqh awlawiyyât secara etimol-

ogi berasal dari gabungan dua kata, yaitu ka-

ta فق yang bermakna pegetahuan atau

pemahaman akan sesuatu10 dan kata األنية

yang berasal dari kata yang merupakan ان

isim tafdhîl yang berarti (احق) lebih berhak

dan (احر) yang lebih utama.11 Sedangkan

secara terminologi, definisi fiqh awlawiyyat

menurut Syekh Yusuf Qaradhawi adalah me-

letakkan segala sesuatu sebagaimana posisi

semestinya dengan tidak mengakhirkan

sesuatu yang seharusnya dikedepankan dan

mengedepankan sesuatu yang seharusnya

diakhirkan serta tidak mengecilkan perkara

yang besar dan membesarkan perkara yang

kecil.12

Latar belakang Kemunculan Fiqh Aw-

lawiyyât dan Urgensitasnya di Era

Kontemporer

Menurut Muhammad al-Wakili, secara

garis besar penyebab kemunculan fiqh aw-

lawiyyât terbagi menjadi dua. Pertama, mun-

culnya kekacauan dalam runtutan amal per-

buatan, seperti lebih mengedepankan bidang

yang seharusnya ditangguhkan atau mereme-

hkan perkara-perkara yang lebih urgen.

Lebih mengedepankan simbolitas dibanding-

kan dengan esensi dari amal tersebut. Atau-

pun membuka luas pintu pertentangan dan

mewacanakan ulang khilaf yang sudah di-

maklumi terjadi di berbagai ranah yang me-

8. Syekh Yusuf Qaradhawi lahir pada tahun 1926 di Saft Turab, Mesir. Beliau merupakan seorang fakih di era ini. Salah satu karya beliau adalah fiqh zakât yang merupakan tesis beliau ketika menempuh jenjang S2 di Al-Azhar.

9. Yusuf al-Qaradhawi, Fî Fiqhi al-Awlawiyyat Dirâsatun Jadîdatun fi Dhaw` al-Qurân wa al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. IX, 2012), hal. 9.

10. Ibnu Mundzir, Lisân al -„Arab, (Kairo: Dâr al- Makrifah, tanpa cetakan, tanpa tahun), hal. 3450 . 11. Ibid, 4921. 12. Muhammad al-Wakili, Fiqh al-Awlawiyyât Dirâsatun fî Dhawâbith, (Virginia: Ma‘had al-‗Âlamî li al-Fikr al-

Islâmi, cet. I, 1997), hal. 15.

25

mang jelas dipertentangkan sejak zaman sa-

habat.13

Kedua, tuntutan keadaan untuk mem-

bentuk konsep tingkatan-tingkatan amal dan

pemprioritasan dalam amal tersebut. Di

samping itu, pola ajaran Islam sejatinya di-

ajarkan secara berangsur-angsur dan dengan

pola pemprioritasan yang terstruktur. Se-

bagaimana kita mendapati beberapa hukum

seperti meminum minuman keras, atau me-

makan harta riba yang pelarangan keduanya

berangsur-angsur. Revitalisasi konsep priori-

tas merupakan kebutuhan yang mendesak di

era ini.14

Menjalankan seluruh ajaran Islam

dengan sempurna dan tanpa cela dalam ke-

hidupan memang sulit dikarenakan kemam-

puan manusia yang terbatas. Hal ini dikuat-

kan oleh pernyataan Fahmi Huwaidi15 bahwa

ia tidak menyerukan agar umat Islam menga-

malkan seluruh amalan yang terdapat dalam

Islam atau meninggalkannya. Akan tetapi, ia

hanya menegaskan dengan melihat keterbata-

san yang dimiliki oleh manusia, seyogyanya

kita harus menggunakan konsep prioritas

atau tahapan dalam bertindak.

Mengedepankan yang lebih urgen dari yang

penting hingga mencapai tujuan dengan jelas

dan menentramkan hati. Pendapat ini di-

perkuat oleh Syekh Said Hawa16 dalam kitab-

nya Ihyâ`ar-Rabbâniyyah yang menyerukan

bahwa konsep dakwah pada saat ini membu-

tuhkan landasan prioritas untuk mencapai

tujuan yang dikehendaki dengan sedikit keru-

gian dan berlimpahnya keuntungan.17

Jejak Fikih Prioritas di Panggung Se-

jarah

Istilah fiqh awlawiyyât menjadi

masyhur pasca diterbitkannya kitab Fî al-

Fiqhi al-Awlawiyyât. Dalam kitab tersebut,

Syekh Yusuf Qaradhawi hanya merapikan

ulang konsep prioritas dan berusaha men-

stimulasi umat muslim agar tersadar dengan

konsep berpikir mereka. Sejatinya sejak za-

man Rasulullah konsep tersebut telah terap-

likasi dalam metode dakwahnya. Hal ini

ditelisik dari bentuk prioritas dari kacamata

sejarah, bentuknya berbeda-beda sesuai

dengan kondisi pada zaman tersebut. Maka

tak ayal kita temui produk fatwa berbeda-

beda dari masa ke masa hal ini tidak lepas

dari lima aspek yang disebut oleh Ibnu Qay-

yim al-Jauzi dalam kitab I‟lâmul Mu-

waqqi‟în „an Rabb al-„Âlamîn yaitu: zaman,

tempat, kondisi, niat, dan juga manfaat.18

Contoh-contoh fikih prioritas ditinjau

dari setiap masa, penulis kelompokkan men-

jadi empat :

a. Zaman Rasulullah

Banyak sekali model prioritas yang

dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.

Jika berinteraksi dengan hadis-hadis beliau

lebih mendalam, kita akan sering mendapati

sabda beliau tentang semulia-mulianya amal,

atau amal yang paling dicintai oleh Allah,

seperti :

19أحب األعمبل إن هللا أدامب إن قم

20أفضم انجبد كهمة حق عىذ إمبو جبئر

13. Ibid. 17-33. 14. Ibid. 17-33. 15. Fahmi Huwaidi merupakan kolumnis dan wartawan dari Mesir. 16. Said Hawa dilahirkan pada tahun 1935 di Suria. Beliau merupakan seorang dai dan juga mujahid. 17. Muhammad al-Wakili, Op.Cit., 35. 18. Ibnu Qayyim al-Jauzi, I‟lâmul Muwaqqi‟în „an Rabb al-„Âlamîn, vol.I, (Jedah: Dâr Ibn al-Jauzi cet.I, 2000),

hal. 41.

FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

26

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Demikian pula dalam perkara-perkara yang

tidak terpuji dan harus dijauhi, nabi Muham-

mad memberi tingkatan-tingkatan juga, sep-

erti

21أبخم انىبس: مه بخم ببنسالو

Pertanyaanya, mengapa kedua aspek baik

dan buruk beliau paparkan? Hal ini dikare-

nakan sabda-sabda nabi Muhammad di atas

menjadi kompas bagi umat muslim untuk

melangkah dan menjadi timbangan agar tidak

terjatuh pada hal-hal yang paling buruk. Ka-

rena manusia tidak luput dari kesalahan, se-

hingga sabda tersebut juga berfungsi

meminimalisir umat muslim jatuh ke jurang

keburukan yang lebih rusak.22

b. Zaman Khulafâurrâsyidîn

Pada zaman Khulafâu al-râsyidîn

corak prioritas antar personal sahabat ber-

beda-beda. Kita sering menemukan kontra-

diksi pendapat antar sahabat dalam satu

perkara seperti perintah Abu Bakar untuk

membunuh muslim yang memisahkan antara

shalat dan zakat. Hal ini dikarenakan sholat

dan zakat saling berkelit kelindan. Umar Ibn

Khattab justru berpendapat sebaliknya, kare-

na kalimat syahadat masih terpatri dalam diri

orang-orang yang memisahkan shalat dan

zakat, maka tidak diperbolehkan untuk

dibunuh. Ketika dikomparasikan antara ke-

maslahatan dan kemudharatan yang

dihasilkan, ternyata lebih besar kemaslahatan

yang tercipta. Maka konsep prioritas yang

terwujud melalui keputusan Abu Bakar ter-

sebut diterima oleh para sahabat.23

Pada zaman Umar Ibn Khattab terlihat

penerapan fikih prioritas dalam masalah

hukuman pencurian. Beliau mengambil

keputusan untuk tidak memotong pemuda

yang mencuri unta, dengan mempertim-

bangkan kondisi pada masa itu, dimana

paceklik dan kelaparan melanda dunia Arab

sehingga memaksa pemuda tersebut untuk

melakukan pencurian itu. Kondisi ini meru-

pakan pengecualian di masa Umar.24

Pada masa Utsman Ibn Affan pun kon-

sep prioritas senantiasa berlaku. Hal ini ter-

lihat ketika kodifikasi al-Quran terlaksana

pada zaman Beliau. Alasan dari dil-

aksanakannya kodifikasi adalah kek-

hawatiran akan orang-orang yang berdusta

dengan dalih perkataannya merupakan al-

Qur‘an dan as-Sunah pada era sebelum

masanya. Dengan adanya kodifikasi al-

Qur‘an ini, perselisihan antara Umat Islam

yang disebabkan oleh ketidaksamaan dalam

dialek pembacaan al-Qur‘an dapat dimini-

malisir.

Pada masa Ali Ibn Abi Thalib, penera-

pan fikih prioritas juga diterapkan. Konsep

jaminan dalam istishnâ‟25 merupakan format

baru pada masa kekhilafan Ali RA. Karena

pada asalnya istishnâ‟ tidak memerlukan

19. Hadis tersebut bermakna: Jihad yang paling utama adalah (mengungkapkan) kebenaran pada pemimpin yang sewenang-wenang.

20. Hadis tersebut bermakna: Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah (amal) yang paling konsisten (dalam mengerjakannya) meskipun sedikit.

21. Hadis tersebut bermakna: Orang yang paling tamak adalah orang yang kikir dalam (mengungkapkan) salam. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abdullah ibn Mughfil.

22. Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 11. 23. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Fiqh al-Awlâwiyyât fî Dzilâli Maqâshid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah

(Damaskus: Dâr Thayyibah, cet. I, 2008), hal. 197. 24. Ibid., hal. 212.

27

adanya barang jaminan di dalam akadnya,

dan asasnya adalah kepercayaan antar kedua

belah pihak.26

c. Masa Setelah Para Sahabat

Pada zaman pasca para sahabat, para

Salaf shaaleh meneruskan konsep prioritas

dalam mengambil tindakan terkait pan-

dangannya terhadap suatu perkara. Tindakan

yang diambil pun dilatarbelakangi oleh bi-

dang yang mereka tekuni, seperti contoh per-

masalahan ketika seseorang berada dalam

masa dan wilayah yang di dalamnya di-

penuhi maksiat dan kerusakan. Para ulama

dari tarikat Sufi memilih agar orang tersebut

pergi dari wilayah tersebut sebagai pen-

jagaan diri dan tidak terjerumus ke dalam

sumur kerusakan. Sementara para mujahid,

cenderung berpendapat untuk tinggal dan

bercampur dengan kondisi tersebut dan be-

rusaha melakukan perubahan. Sementara itu

Imam Ghazali menimbang kemaslahatan

yang didapatkan antara menetap atau

meninggalkan wilayah tersebut.27

Dari sini dapat kita lihat, pola para ula-

ma dalam melihat suatu perkara. Latar

belakang bidang yang ditekuni dan prioritas

yang dikedepankan oleh masing-masing

pihak merupakan wujud kontekstualisasi

pemahaman mereka terhadap bidang yang

mereka tekuni sebagai respon terhadap suatu

permasalahan.

d. Zaman Kontemporer

Pada era kontemporer, fikih prioritas

lebih dikemas dalam bingkai yang lebih uni-

versal dan dalam bidang tertentu. Jika pada

masa klasik umumnya prioritas ditinjau dari

permasalahan-permasalahan parsial yang

kemudian dikritisi oleh para ulama pada ma-

sa itu, pada masa kontemporer corak priori-

tas lebih mendalam dalam bidang garapan

yang universal, seperti pendidikan, jihad,

akidah, dll. Maka dari itu kita mengenal Sy-

ekh Muhammad Ibn Abdul Wahab dalam

upaya penjagaan akidah dan memerangi

khurafat di Saudi Arabia. Lantas di Sudan

dikenal Syekh Zaim Muhammad Ahmad al-

Mahdi yang corak pemprioritasan dalam bi-

dang jihad. Syekh Jamaluddin al-Afghani

dalam upaya-upaya pembangunan umat, sy-

ekh Muhammad Abduh dalam upaya pem-

bebasan dari belenggu-belenggu taklid, dan

masih banyak lagi para ulama yang tetap

memperhatikan konsep prioritas di berbagai

masa dan wilayah.28

Fiqh awlawiyyât sejak zaman Rasulu-

lah hingga pada masa kontemporer selalu

mengikuti alur kondisi para zaman tersebut.

Tujuannya adalah demi kemaslahatan manu-

sia ditengah keterbatasan yang dimiliki

olehnya, sehingga dapat memiliki timbangan

yang jelas dalam mengambil tindakan.

Korelasi Fiqh Awlawiyyât dengan

Fikih Lain

Fiqh awlawiyyât memiliki keterkaitan

dengan beberapa fikih lain, di antaranya:

1. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh

al-muwâzanah

Fiqh awlawiyyât berkaitan erat dengan

fiqh al-muwâzanah. Hal ini tidak dapat

25. Istishnâ‟ adalah akad kontrak antara pembuat sesuatu (penjual) dengan pembeli untuk membuatkan sesuatu yang dikehendaki oleh pembeli. Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âshirah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, cet.VII, 2009), hal.303.

26. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Op.Cit., hal. 233. 27. Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., 202.

FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

28

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

dipungkiri, mengingat aspek muwâzanah

(pertimbangan) merupakan bagian yang inte-

gral dalam tahapan prioritas. Adapun definisi

muwâzanah secara etimologi berasal dari ka-

ta زن yang bermakna pengetahuan terhadap

kadar sesuatu. Kata زن juga memiliki makna

lain, yaitu penaksiran dan pertimbangan. Se-

dangkan secara terminologi pengertian

muwâzanah adalah perbandingan antara

maslahat dan mafsadat yang saling berten-

tangan untuk mengedepankan atau

mengakhirkan (aspek) mana yang lebih uta-

ma untuk dikedepankan atau diakhirkan.29

Hubungan yang paling konkrit di anta-

ra fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-

muwâzanah adalah peranan pertimbangan

dan perbandingan dalam fiqh al-muwâzanah

antar entitas sebelum menetapkan bahwa en-

titas yang satu lebih utama atau lebih priori-

tas dibandingkan entitas yang lain.30

Syekh Yusuf Qaradhawi memaparkan tiga

aspek mendasar dalam muwâzanah, yaitu:31

1. Perbandingan antar kemaslahatan.32

2. Perbandingan antar kerusakan.33

3. Perbandingan antara kemaslahatan dan

kerusakan dalam satu perkara.34

pengertian maqâshid secara terminologi ada-

lah makna-makna dan hukum yang

dikehendaki oleh Allah baik didalam seluruh

aspek pensyariatan atau sebagian besar tanpa

pengkhususan pada jenis aspek syariah ter-

tentu.35

Dalam memberikan beban hukum

kepada manusia, Allah senantiasa memper-

hatikan kondisi dan kapasitas hamba-Nya

yang terbatas. Oleh karena itu, pensyariatan

selalu melangkah dalam koridor penjagaan

maqâshid al-syarî‟ah. Menurut Imam Syati-

bi, maqâshid al-syarî‟ah sebagai upaya

mengimplementasikan maslahat terbagi men-

jadi tiga bentuk. Bentuk-bentuk inilah yang

sangat berkaitan erat dengan fiqh awlawiyyât

sebagai tolak ukur untuk menimbang ke-

maslahatan dan juga kemafsadatan suatu hal.

Sehingga dengan demikian, pemprioritasan

suatu hal berangkat dari tolak ukur yang

jelas. Adapun bentuk-bentuk maqâshid al-

syarî‟ah yaitu:36

1. Dharûriyyah (primer)

28. Ibid., hal. 225. 29. Husain Ahmad Abu Ajwah, Fiqh al-Muwâzanah baina al-Mashâlih wa al-Mafâsid wa Dawruhu fi Raqqy bi al

-Da‟wati al-Islâmiyyah, (Gaza: Universitas Aqsa, 2005), hal.3. 30. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Op.Cit., hal. 34. 31. Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 25. 32. Muhammad al-Wakili menjelaskan pedoman ketika seseorang dihadapkan pada perbandingan antara dua hal

yang bermanfaat dan maslahat dalam satu waktu serta dituntut adanya prioritas di dalamnya. Adapun pedoman yang menjadi pijakan yaitu: 1. Lebih mengedepankan maslahat yang lebih besar diantara keduanya. 2. Lebih mengedepankan maslahat yang bersifat primer dibandingkan dengan maslahat yang bersifat sekunder. 3. Lebih mengedepankan maslahat sekunder dibandingkan dengan maslahat tersier. 4. Lebih mengedepankan maslahat primer yang lebih mendesak dibandingkan dengan maslahat primer yang

mendesak. Untuk pembahasan lebih mendalam antara maslahat yang bersifat primer dan sekunder, dibahasas dalam ket-erkaitan fiqh awlawiyyâh dengan fiqh maqâshid. Banyak sekali dijumpai kaidah-kaidah mengenai pengedepanan maslahat ini, seperti pengedepanan maslahat yang lebih mayoritas dibandingkan maslahat yang bersifat minoritas, pengedepanan masla-hat yang menghasilkan kebaikan lebih banyak dibandingkan sedikit, dan lain sebagainya. Lebih lengkapnya lihat Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 26.

33. Pedoman yang menjadi pijakan dalam perbandingan antara kerusakan diantaranya, yaitu: 1. Mengambil kemudharatan yang lebih kecil untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar

29

Dharûriyyah disini bermakna segala

sesuatu yang dengan wujudnya akan tercipta

kemaslahatan dunia dan agama, seperti kebu-

tuhan sandang, pangan dan papan.37

2. Khâjiyyâh (sekunder)

Khâjiyyâh bermakna segala sesuatu

yang wujudnya dibutuhkan tetapi jika tidak

terpenuhi berdampak pada kesulitan dalam

menjalani hidup, seperti keringanan untuk

berbuka puasa ketika safar.

3. Tahsîniyyâh (tersier)

Tahsîniyyâh dimaknai segala sesuatu yang

wujudnya sebagai pelengkap, dan umumnya

dalam hal tata perilaku dan akhlak, seperti

tata perilaku dalam bertindak yang baik.

Menurut Jasr Audah, maqâshid dapat

diketahui dengan kita berdilaog dengan nas-

nas syariah dengan menggunakan satu kata

yaitu ―mengapa‖ ( ؟نبرا ) Mengapa salat

termasuk rukun Islam? Mengapa Islam

mengharuskan berbuat baik pada tetangga?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lan-

dasan untuk mengetahui maqâshid al-

syarî‟ah. Langkah pemprioritasan juga ber-

pijak dari kata tersebut, karena tujuan dari

syariat itu sendiri untuk kemaslahatan manu-

sia.38

4. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh

al-wâqi‟

Fiqh al-wâqi‟ secara gamblang mem-

berikan gambaran mengenai situasi dan kon-

disi dalam penerapan suatu hukum. Hal itu

tentunya dipengaruhi oleh pergantian waktu,

tempat,adat, dan juga keadaan.39 Secara ek-

plisit, keterkaitan fiqh al-wâqi‟ dengan fiqh

awlawiyyât adalah keelastisitasan kedua fikih

tesebut dalam berdialektika dengan berbagai

hal. Oleh karena itu, prioritas setiap masa

terkadang berbeda dengan masa sepeninggal-

nya. Hal ini disesuaikan dengan keadaan re-

alita pada masa tersebut. Menurut Ahmad

Bu‘ud, pengertian fiqh al-wâqi‟ adalah

pengetahuan yang mendalam terhadap segala

sesuatu yang mencakup kehidupan manusia,

baik yang kontradiktif dengan kehidupan

manusia, maupun yang integral dengan ke-

FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

2. Mengambil kemudharatan yang berimplikasi pada minoritas personal untuk mencegah kerusakan yang ber-pengaruh pada mayoritas individu.

3. Melihat kadar hukum pelarangan perkara tersebut, apakah bersifat haram atau makruh. Kemudian mengedepankan perkara yang makruh dibandingkan perkara yang haram.

Pedoman ini hanya gambaran besarnya saja, karena para ulama berbeda pendapat mengenai hal ter-sebut. Lebih lengkapnya lihat Muhammad al-Wakili, Op.Cit., hal. 217 dan Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 28.

34. Gambaran hal ini adalah ketika suatu hal memili dua sisi mata pisau, satu sisi memberikan maslahat, disisi lain memberikan kerusakan, seperti minuman keras misalnya. Maka pedoman yang menjadi pijakan adalah mengkomparasikan kadar maslahat dan mafsadat yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana terdapat beberapa kaidah seperti mencegah kerusakan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan mendatangkan kemaslahatan, mengambil kerusakan yang sedikit untuk mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar. Lebih lengkapnya lihat Ya‘kub Ibn Abdul Wahab, al-Mufashal fî Qawâ‟id al-Fiqhiyyah , (Riyadh: Dâr Tadmuriyyah, cet. II, 2011), Hal.369.

35. Umar Luthfi Jazari, Fiqh al-Tamkîn wa atsaruhu fî Tathbîq al-Akhkâm al-Syar‟iyyah,(Gaza: Universitas Islam Gaza, 2011), hal.41.

36. Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Fiqh ditahkik oleh Abdullah Darraz ,vol.II, (Kairo: Bibliotica Alexandria,t.t), hal.8.

37. Bentuk maslahat yang bersifat individual, yang lebih dikenal dengan kulliyyah al-khamsah, yaitu: penjagaan agama,jiwa,keturunan, akal, dan juga harta. Lebih lengkapnya lihat Yusuf al-Qaradhawi, Dirâsatun fî Fiqh al-Maqâshid al-Syarî‟ah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. III, 2008), hal.29.

30

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

hidupan manusia.40

Fiqh awlawiyyât, fiqh al-muwâzanâh

dan fiqh al-maqâshid tidak dapat terwujud

tanpa peranan fiqh al-wâqi‟. Hal ini dikare-

nakan sebelum proses pemprioritasan ter-

laksana, seseorang dituntut untuk mengetahui

secara detail perkara yang ia hadapi, sehing-

ga dapat ia timbang apakah hal tersebut

sesuai dengan maqâshid al-syarî‟ah atau

justru bertentangan dengannya. Jika tidak

melalui tahapan ini, prioritas mungkin terjadi

namun tidak sesuai dan mampu menjawab

realita di lapangan demi kemaslahatan manu-

sia. Pola prioritas antar personal berbeda-

beda sesuai kondisi yang dihadapinya.41

Kesimpulan

Konsep prioritas merupakan konsep

berpikir secara matang sebelum mengambil

suatu keputusan. Keterbelakangan umat Is-

lam salah satu sebabnya berawal dari kesala-

han dalam konsep ini. Prioritas bukan berarti

menyepelekan suatu perkara dengan perkara

yang lain, seperti lebih mengedepankan ilmu

agama ketimbang ilmu sains, begitu juga se-

baliknya. Akan tetapi, prioritas di sini adalah

peta umat muslim dalam menentukan alur

langkah hidupnya dengan mengambil

manfaat terbesar di setiap keputusan hidup-

nya. Tidak terdapat unsur penyepelean di da-

lamnya, mengingat segala aspek kehidupan

saling berkelit kelindan dan umat muslim di

tengah keterbatasan sebagai manusia be-

rusaha melakukan tindakan yang terbaik.

Oleh karena itu, prioritas justru sebagai

kompas hidup dalam melangkah.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ajwah, Husain Ahmad. 2005. Fiqh al-

Muwâzanah baina al-Mashâlih wa al-

Mafâsid wa Dawruhu fi Raqqy bi al-

Da‟wati al-Islâmiyyah. Gaza: Jâmi‘ah al-

Aqsa.

Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. 2000. I‟lâmul Mu-

waqqi‟în „an Rabb al-„Âlamîn. Jedah: Dâr

Ibn al-Jauzi .

Al- Kattani, Abdul Hay. 2005. Al-Islâm fî al-

Fikri al-Gharbî, terj. Lathifah Ibrahim

Khadar. Jakarta: Gema Insani Press.

Al- Qaradhawi, Yusuf. 2008 Dirâsatun fî

Fiqh al-Maqâshid al-Syarî‟ah. Kairo:Dâr

al-Syurûq.

__________________. 2009. Mûjibât

Taghayyur al-Fatwa fî „Asrinâ. Kairo:Dâr

al-Syurûq.

__________________. 2012. Fî Fiqhi al-

Awlawiyyat Dirâsatun Jadîdatun fi Dhaw`

al-Qurân wa al-Sunnah . Kairo: Maktabah

Wahbah.

Al-Sahud , Ali Ibn Nayif . 2009. Al-

Khulâshah fî Fiqh al-Awlawiyyât. Ba-

hang: Dâr al-Ma‘mûr.

Al-Syatibi , Abu Ishaq. Al-Muwâfaqât fî

Ushûl al-Fiqh ditahkik oleh Abdullah

Darraz. Kairo:Bibliotica Alexandria

Al-Wakili, Muhammad. 1997. Fiqh al-

Awlawiyyât Dirâsatun fî Dhawâbith. Vir-

ginia: Ma‘had al-‗Âlamî li al-Fikr al-

38. Jasr Audah, Maqâsid al-Syârî‟ah Dalîl Li al-Mubtadiîn, (Virginia:Ma‘had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî, t.t), hal 14.

39. Yusuf al-Qaradhawi, Mûjibât Taghayyur al-Fatwa fî „Asrinâ, (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. II, 2009), hal.22. 40. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Op.Cit., 35. 41. Ibid.

31

FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

Islâmi.

Ali Karbuli, Abdussalam ‗Iyadah. 2008. Fiqh al-Awlâwiyyât fî Dzilâli Maqâshid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah . Damaskus: Dâr Thayyibah.

Audah, Jasr. Maqâsid al-Syârî‟ah Dalîl Li al-Mubtadiîn. Virginia:Ma‘had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî.

Audah, Jasr. 2006. Fiqh al-Maqâshid Inâthatul Akhkâm al-Syar‟iyyah bi al-Maqâshidiha. Virginia: Ma‘had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî.

Ibnu Mundzir. Lisân al -„Arab. Kairo: Dâr al- Makrifah.

Harb, Ali. 2012. Asilah al-Haqîqah wa Rahânat al-Fikr: Muqârabat Naqdiyyah wa Sijâliyyah, terj. Umar Bukhory,Ghazi Mubarak. Yogyakarta: IRCiSoD.

Hourani, Albert. al-Fikr al-„Arabî fî „Asr Nahdah 1798-1939, terj. Karim Aschole. Beirut: Dâr Nahâr.

Ibn Abdul Wahab, Ya‘kub. 2011. al-Mufashal fî Qawâ‟id al-Fiqhiyyah , (Riyadh:Dâr Tadmuriyyah.

Jazari, Umar Luthfi. 2011. Fiqh al-Tamkîn wa atsaruhu fî Tathbîq al-Akhkâm al-Syar‟iyyah. Gaza: Jâmi‘ah al-Islâmiyyah Ghazza.

Jughaim ,Nu‘man. 2001. Thuruq al-Kasyfi „an Maqhâsid al-Syâri‟. Urdun: Dâr al-Nafâis.

Syakib Arslan, Amir. Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum. Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayât

Zuhaili,Wahbah. 2009. Al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âshirah. Damaskus: Dâr al-Fikr.

32

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Penghianatan di Bumi Kufah

(Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Bahasa Arab

Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir

Email: [email protected]

انمهخص

إ ي األخ أ عشف كم يغهى حممخ يب حصم ف يلعخ كشثالء رنك نعشف كم احذ يب أ انخهفخ ضذ اث يعبخ

ال شذ لزم عذب حغ. أل انحممخ انزبسخخ رؤكذ أ انخهفخ ضذ اث يعبخ نى أيش انجش األي ثمزه ثم إ رغك

ثصخ أث ثأ عبيم أثبء اإليبو عه ثعبيهخ حغخ كب أ أجش عه أثبء عه يجهغب يعب ي انبل طال فزشح حك.

ي انجذش ثبنزكش أ عكب انكفخ ى انز أشعها شا انثسح ، حث أى ساعها اإليبو انحغ نهزبة إن انكفخ أل

جبعى أم انكفخ نكى ف بخ األيش رخبرنا ي يلفى نى غبعذا اإليبو انحغ لبفهز ف ياجخ ضغظ انحكى

األي.

انؤايشح، عبشساء، انكفخ، كشثالء، ثعخانكهمبت األسبسية:

Abstrak

Penting kiranya bagi Umat Islam untuk mengetahui peristiwa karbala, agar kita paham bahwa

Khalifah ketika itu tidak bermaksud untuk membunuh Husen RA. Karena pada faktanya kita

tidak menemukan adanya unsur kesengajaan dari pihak Khalifah Yazid, untuk membunuh

Husen RA. Hal itu dapat kita lihat dalam kebijakan-kebijakan yang di ambil dari awal oleh

Khalifah Yazid. Salah satu faktor yang sangat berperan besar dalam kejadian ini adalah faktor

penduduk Kufah. Husen RA sama sekali tidak berusaha untuk memecah belah umat. Penduduk

kufah lah yang sangat bertanggung jawab dalam hal ini.

Kata kunci: Pengkhianatan, Asyura, Kufah, Karbala, Bai’at

33

A. Pendahuluan

Banyak sekali dari kaum Muslimin,

yang membicarakan keterkaitan Khalifah

Yazid bin Muawiyah dengan terbunuhnya

Husen bin Ali RA. Banyak dari kalangan kita

tidak mengetahui hakikat sebenarnya yang

terjadi pada masa itu, baik itu kebijakan apa

saja yang di ambil oleh Khalifah dan hal-hal

yang terjadi di lapangan

Yazid bin Muawiyah merupakan Kha-

lifah Umayah kedua setelah ayahnya Muawi-

yah RA. Dalam perjalanannya ia banyak

menemui jalan yang amat terjal, terdapat be-

berapa orang yang tidak ingin membaiatnya

dan bahkan berpaling darinya. Makalah ini

akan membahas kebijakan-kebijakan yang di

ambil oleh Yazid, dan besarnya peranan

penduduk Kufah dalam menimbulkan peristi-

wa yang menyedihkan ini.

B. Profil Yazid dan Husen RA

a. Yazid bin Muawiyah

Ia lahir pada masa ke-Khalifahan Us-

man bin Affan RA, yaitu pada tahun 26 H.

menurut suatu pendapat ia lahir pada tahun

yang sama dengan kelahiran Abdul Malik bin

Marwan, yaitu pada tahun 26 H. ia bernama

lengkap Yazid bin Muawiyah bin Abu Su-

fyan bin Shukr bin Harb bin Umayyah bin

Abdus Syams al-Qursyi yang dikenal dengan

panggilan Abu Khalid.1 Ibunya bernama

Hadl al-Kalbiyah, namun ia diceraikan oleh

Muawiyah.2

Ia pernah dikirim oleh ayahnya ke

sahara di masa kecilnya kemudian ia tinggal

bersama ayahnya kembali. Muawiyah me-

nyerahkan pendidikannya kepada Daghfal

bin Hanzalah al-Sudusi. Ia Juga berguru

kepada Ubaid bin Saryah al-Jurhumi, ia be-

rasal dari Shan‘a Yaman, ia memiliki banyak

wawasan mengenai sejarah kaum Arab dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi di Arab. Ia

juga memiliki buku yang bernama, al-Amtsal

dan kitab al-Muluk Wa Akhbar al-Madhiyin.3

Tidak dapat diragukan lagi, pendidi-

kan dan pembelajaran dari para gurunya ini

banyak membentuk karakter yazid. Yazid

memiliki sebuah majlis ilmu yang dihadiri

oleh para ulama arab.4

Ia dibaiat menjadi Khalifah setelah

ayahnya meninggal pada tahun 60 H bulan

Rajab. Dia berumur 34 tahun disaat ia dia-

baiat menjadi Khalifah. Ia meneruskan be-

berapa kebijaksanaan yang dianut oleh

ayahnya, yaitu dengan tidak menurunkan pa-

ra gubernur di daerah-daerah, ini merupakan

salah satu contoh kecerdasaanya.5

b. Profil Husen bin Ali RA

Dia adalah Husen bin Ali bin Abi

Thalib bin Abdil Muthallib bin Hasyim Abu

Abdullah al-Qursyi al-Hasyimi. Lahir pada

tanggal 5 Sya‘ban tahun 4 H, sedang menurut

Qatadah, Husen lahir pada pada tahun 6 dan

5 setengah bulan dan terbunuh pada hari

Jum‘at , Asyura bulan Muharram tahun 61 H

dan umurnya 54 tahun 6 bulan setengah. Na-

bi Muhammad memberinya nama Husen,

1. Muhammad bin Razzan al-Syaibani, Mawâqif al-Muâridoh fî „Ahdi Yazid bin Muawiyah, (Riyadh: Daruttay-yibah, 2009), Cet. 2, hal. 57.

2. Ibid., hal. 59. 3. Ibid., hal. 62. 4. Ibid., hal. 64. 5. Abul Fida Ibnu Katsir, Al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, vol. 4, (Kairo: Darul Hadis, 2006), Cet. 1, hal. 144.

PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

34

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

sebelum itu Ali telah memberinya nama

Harb, dalam pendapat lain, Ali memberinya

nama Jakfar.6

Selama sekitar 5 tahun Husen mene-

mani Rasulullah dan meriwatkan hadis

darinya. Dia hidup semasa dengan nabi dan

menemaninya hingga ia meniggal ia rida

kepadanya, namun dia masih kecil. dia

pernah bergabung bersama tentara yang me-

nyerang Kostantinopel bersama Yazid bin

Muawiyah. Namun pada tahun 51, ketika

Muawiyah membaiat Yazid sebagai calon

penggantinya, Husen termasuk kedalam go-

longan yang menentangnya bersama Ibnu

Zubair, Abdurrahman bin Abu Bakr, Ibnu

Umar dan Ibnu Abbas.7

Rasulullah sangat mencintainya dan men-

doakannya, ia berdoa kepada Allah, ―Wahai

Allah aku mecintai kedua anak ini ( Hasan

dan Husen ), maka cintailah mereka ber-

dua.‖8 Sahabat Anas berkata, ―Ia ( Husen )

adalah seorang yang paling mirip dengan

Rasulullah.9

C. Husen Menolak Baiat

Perselisihan yang terjadi antara

Husen dan Yazid, sebenarnya bermula dari

ketidak setujuannya membai‘at Muawiyah.

Namun hal itu ia pendam, sebab ia menghor-

mati keputusan kakaknya Hasan RA, menye-

rahkan ke khalifahan kepada Muawiyah. Pa-

da masa kepemimpinan Muawiyah, Husen

meminta penduduk Kufah untuk tidak

menentang Muawiyah, itu karena baiat se-

luruh kaum muslim telah di ambil termasuk

di dalamnya baiat Husen sendiri. Karena

penduduk kufah tak henti-hentinya

merayunya untuk keluar dari baiat Muawi-

yah RA.10

Setelah Hasan menyerahkan ke-

Khalifahannya kepada Muawiyah, Hasan dan

adiknya Husen tinggal di Madinah. Hub-

ungan yang terjalin antara Husen dan

Muawiyah sangatlah baik. Hubungan yang

baik ini terus berlanjut diantara keduanya,

mereka berdua saling menghormati. Muawi-

yah selalu mengadakan interaksi dengan

Husen, bahkan dia selalu sigap menanggapi

beberapa permintaan dan kebutuhannya. Na-

mun ( perlu diingat juga ) hubungan yang

terjalin diantara penduduk Kufah dengan Ha-

san dan Husen, tidak pernah putus walau

mereka berdua telah pindah dari Kufah dan

menetap di Madinah.11

Muawiyah RA sangat terkenal dengan

kepandaiannya dalam berpolitik. Ia telah

memprediksi apa yang akan terjadi kelak,

ketika dia telah tiada dan di gantikan oleh

anaknya Yazid. Bagaimanapun juga, hub-

ungan yang erat antara Husen dan penduduk

Kufah, membuat Muawiyah berkeyakinan

bahwa suatu saat Husen akan benar-benar

keluar menuju Kufah dan keluar dari baiat.

Oleh karenanya, sebelum hal itu terjadi ia

berpesan kepada anaknya Yazid, mem-

berinya pengarahan akan kebijakan-

6. Ibid., hal. 146-147. 7. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakr meninggal sedang hatinya tetap bersikeras dengan pendapatnya itu. Na-

mun ketika Muawiyah meninggal pada Tahun 60 H dan Yazid di baiat menjadi Khalifah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ikut membaiatnya, sedangkan Husen dan Abdullah bin Zubair masih berpegang teguh pada pendapatnya. Lihat, Ibid., hal. 148.

.lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bâribi Syarhi Shahîh al-Bukhari, vol) انهى إ أحجب فأحجب ( .88, ditahkik oleh Abu Kutaibah Nazr Muhammad al-Fariyabi, (Riyadh: Dar Tayyibah, 2011), hal. 456-457.

.lihat: Ibid., hal. 457 ( كب أشجى ثشعل هللا ( .910. Muhammad bin Abdul Hadi, Op.Cit., hal. 217. 11. Ibid., hal. 219.

35

kebijakan apa yang harus di ambil jika hal

yang telah ia prediksi benar-benar menjadi

kenyataan. Ia berkata, ―Lihatlah Husen bin

Ali, bin Fatimah binti Rasulullah! Dia adalah

orang yang paling dicintai diantara umat,

maka pereratlah tali silaturahim dengannya

dan berlakulah baik kepadanya, niscaya hub-

ungan kalian akan baik-baik saja. Namun

jika terjadi sesuatu, aku berharap, agar

cukup bagimu ( menghukum ) orang-orang

yang membunuh ayahnya dan menelantarkan

saudaranya.‖12

D. Penduduk Kufah Mendustai Muslim

Bin Aqil

Penduduk Kufah memiliki andil yang

sangat besar dalam peristiwa ini, merekalah

yang terus membujuk Husen untuk keluar

dari baiat. Karena merekalah, Umat Islam

sekarang terpecah-pecah. Mereka tak mem-

biarkan Husen melupakan niat untuk keluar

dari baiat. Mereka gencar mengirim surat

kepadanya agar kembali kepangkuan mereka

dan berjuang bersama. Tidak akan ada asap

jika tidak ada api. Merekalah yang memiliki

andil dalam menyulut api tersebut.

Merekalah yang telah membiarkan Ali

RA terbunuh, merekalah yang telah mene-

lantarkan Hasan dan karena merekalah Husen

terbunuh. Apa sebenarnya yang mendorong

mereka berkhianat kepada mereka semua.

Apa mereka tidak pernah berpikir tentang apa

yang akan terjadi kelak jika mereka berbuat

demikian. Bukankah karena mereka muncul

kelompok yang mengklaim diri mereka se-

bagai satu-satunya kelompok yang mencintai

Ahlu bait. Ikhlaskah mereka dengan hal itu,

atau mereka memiliki dorongan lain

melakukan itu, riya‟ kah mereka?

Sekitar Lima belas hari setelah Muawi-

yah meninggal pada awal bulan Syaban, ka-

bar mengenai kematiannya tersebar di Madi-

nah.13 Husen telah banyak menerima surat

yang dikirim dari negeri Irak, memanggilnya

untuk bergabung bersama mereka,14 Abdul-

lah bin Sab‘ al-Hamadani dan Abdullah bin

Wal merupakan dua orang pertama yang

mendatanginya, dengan membawa surat yang

didalamnya terdapat ucapan salam dan

selamat atas kematian Muawiyah RA.15

Di dalam salah satu isi surat yang

mereka kirim, mereka mengabarkan kepadan-

ya, bahwa mereka bergembira atas mening-

galnya Muawiyah RA. Mereka mengabarkan

kepadanya bahwa mereka belum membai‘at

seorang pun sepeninggal Muawiyah. Oleh

karena itu mereka menunggu kedatangan

Husen di negeri mereka untuk menjadikann-

ya seorang Khalifah. Menindak lanjuti hal

tersebut, Husen berinisiatif mengirim pa-

mannya Muslim bin Aqil bin Abi Thalib16

menuju Irak, untuk melihat dan mengetahui

keadaan di Kufah.17

Sesampainya Muslim bin Aqil di

Kufah, pada hari kamis, bulan Syawwal,

tanggal 60 H.18 Ia bermalam di rumah

seseorang yang bernama, Muslim bin

Ausajah al-Asdi. Sedang menurut pendapat

lain, dia bermalam di rumah Mukhtar bin Abi

Ubaid al-Staqafi. Wallahu a‟lam. Ketika

Penduduk Kufah mendengar kabar kedatan-

12. Ibid., hal. 22. 13. Ibid 234 14. Yaitu, ketika sampai kepada mereka, kabar mengenai meninggalnya Muawiyah RA dan Yazid bin Muawiyah

dibaiat menjadi Khalifah. Perginya Husen RA dari Madinah menuju Mekah untuk melarikan diri dari perintah agar membaiat Yazid. Abul Fida Ibnu Katsir, Al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, vol. 4, hal. 148.

15. Ibid., hal. 148. 16. Dia lahir di Madinah tahun 22 H, ia termasuk dalam golongan Tabi‟i. Isterinya bernama Ruqayyah, puteri Ali

PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

36

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

gannya mereka pergi menemuinya dan mem-

baiatnya atas perintah Husen. Mereka berjan-

ji padanya akan menolongnya dengan se-

luruh jiwa dan harta mereka. Jumlah

penduduk yang membaiatnya mencapai

12.000 orang, lalu bertambah hingga 18.000

orang. Kemudian Muslim mengirimkan surat

kepada Husen untuk segera berangkat

menuju Kufah, karena para penduduk telah

membaiatnya dan keadaan di sana yang su-

dah mendukung.19

Kabar mengenai baiat penduduk Kufah

kepada Husen, terdengar hingga ke telinga

Nu‘man bin Basyir Gubernur Kufah saat itu.

Dia melarang mereka untuk berselisih dan

menyebar fitnah atau kekacauan. Mendengar

kabar pembaiatan ini, Yazid menurunkan

Nu‘man dari jabatannya dan menggantinya

dengan Ubaidillah bin Ziyad. Yazid berkata

kepadanya, ―Jika kamu telah sampai di

Kufah, carilah Muslim bin Aqil! Jika kamu

sanggup, bunuhlah ia atau potong

hidungnya!‖20

Ubaidillah bin ziyad mengintrogasi

seorang lelaki bernama Hanik di rumahnya,

kemudian mengurungnya. Kabar ini lang-

sung tersebar luas di telinga penduduk

Kufah. Mendengar hal itu Muslim bin Aqil

mengumpulkan kekuatan dari penduduk

Kufah untuk mendukung posisinya. Dan

akhirnya dia berhasil mengumpulkan 4.000

orang bersamanya. Ia berbicara kepada mere-

ka mengenai Hanik dan memperingatkan

mereka agar tidak tercerai berai. Ubaidillah

bin ziyad mengajak para pemuka kabilah un-

tuk mengajak para rakyatnya, agar mening-

galkan Muslim bin aqil.21

Pemuka kaum itu mengajak para

kaumnya untuk meniggalkan Muslim bin

Aqil dengan cara, mengirim para perempuan

untuk membujuk anak dan saudaranya, para

perempuan itu berkata kepada mereka,

―Pulanglah ke rumah! Orang-orang memusu-

himu.‖ Mereka juga mengirim para lelaki

untuk membujuk anak dan saudara mereka,

mereka berkata, ―Sepertinya kamu besok

akan mengahadapi tentara Syam, Apa yang

akan kalian perbuat untuk menga-

hadapinya?‖22

Orang-orang itu pun sedikit demi

sedikit mulai meninggalkan, menjauhi,

memutus hubungan dan pergi dari Muslim

bin Aqil, hingga jumlah yang tersisa hanya

500 orang, kemudian berkurang hingga 300

orang lalu berkurang lagi hingga tersisa 30

orang. Sampai akhirnya hanya tersisa Mus-

lim bin Aqil seorang. Ia berkata kepada

seorang perempuan seraya meminta segelas

air, ―Aku telah didustai oleh orang-orang dan

kini mereka meninggalkanku.‖23

E. Perjalanan Husen RA Menuju Kufah

Husen keluar dari Mekah menuju

Kufah pada tanggal, 8 Dzulhijjah tahun 60

Hijriah. Dia tetap mengajak keluarga dan pa-

ra pendukungnya, yang jumlahnya berkisar

70 orang. walau Ibnu Abbas RA telah

menasihatinya, untuk tidak membawa istri

bin Abi Thalib RA. Lihat: Hisyam Kamil Hamid Musa, Alul Bait, (Kairo: Darul Manar, 2011) Cet. 1, hal. 221. 17. Abul Fida Ibnu Katsir, Op.Cit., hal. 148. 18. Hisyam Kamil Hamid Musa, Op.Cit., hal. 222. 19. Abul Fida Ibnu Katsir, Op.Cit., hal. 149. 20. Sesampainya di Kufah, penduduk Kufah mengira, bahwa ia adalah Husen RA. Mereka menjawab salam Ubai-

dillah bin Ziyad, ―Wa‘alaikum salam wahai anak Rasulullah SAW, selamat datang.‖ Lihat: Ibid., hal. 149. 21. Lihat: Ibid., hal. 152.

37

dan anaknya keluar bersamanya.24

Kita perlu mengetahui hal-hal yang

mendorong Husen bersikeras untuk keluar

dari baiat Yazid dan bergerak menuju Kufah.

Sempat disinggung di awal, bahwa penging-

karan ini tak lepas dari Husen yang dengan

berat hati harus menghormati penyerahan

tongkat ke-Khilafahan dari saudaranya kepa-

da Muawiyah. Perlu diingat juga, usaha

penduduk Kufah yang terus-menerus mem-

bujuk Husen keluar dari baiat. Husen merasa

dirinya lebih berhak menjadi Khalifah ketim-

bang Yazid bin Muawiyah.

Yang mendorong Husen tidak menetap

di Mekah dan lebih memilih untuk pergi

menuju Kufah, diantaranya adalah, Husen

tidak ingin mengotori kesucian kota Mekah

jika ia terbunuh di dalamnya.25

Didalam perjalanannya, ia bertemu

dengan seorang Penyair yang datang dari

Irak, ia bernama Farzadiq. Husen bertanya

kepadanya mengenai penduduk Irak, ia men-

jawab, “Hati mereka bersamamu, namun

pedang mereka bersama Bani Umayah.”

Walau mendengar itu, Husen tetap melanjut-

kan perjalanannya. Orang-orang yang dia

temui di jalan, tidak henti-henti mem-

peringatkannya.26

Kemudian datang kabar mengenai ter-

bunuhnya Muslim bin Aqil, dikarenakan

ketegasan Gubernurnya, Ubaidillah bin

Ziyad. Husen mulai berfikir untuk kembali,

namun saudara Muslim bin Aqil berkata

kepadanya, “Kita tidak akan kembali, hingga

kita mampu membalaskan dendam kita atau

kita musti merasakan, apa yang telah dirasa-

kan saudara kita ( Muslim bin Aqil ).” Maka

Husen mengikuti pendapatnya.27

Semakin dekatnya Husen menuju

Kufah, Ubaidillah bin Ziyad mengirim seribu

pasukan kudanya yang dipimpin oleh Ibnu

Yazid at-Tamimi. Ubaidillah memerintahkan

kepada Ibnu Yazid untuk menangkap dan

mengirim Husen kepadanya. Namun

sesampainya Ibnu Yazid bertemu dengan

Husen, ia menolak untuk memeranginya. Dia

hanya meminta kepada Husen untuk tidak

melewati jalan menuju Kufah. Husen

menuruti permintaannya dan bergerak

menuju Karbala.28

F. Kebijakan yang Yazid ambil

Khalifah Yazid bin Muawiyah mengi-

kuti perkembangan perjalanan Husen semen-

jak dia berada di Madinah. Dia mengirim su-

rat ke beberapa Sahabat, diantaranya, kepada

Abdullah bin Abbas RA, untuk membu-

juknya mengurungkan niatnya, namun Husen

tetap tidak menggubrisnya. Tidak berhenti

disitu, Yazid memerintahkan Gubernurnya di

Irak, Ubaidillah bin Ziyad untuk menutup

semua akses jalan menuju Kufah. Dia juga

memerintahkan kepada Gubernurnya itu, un-

tuk mengambil langkah yang amat tegas

kepada para pendukung Husen di sana.29

Sebagai Khalifah, Yazid berusaha

menjaga persatuan umat dengan mengirim

utusannya kepada Husen RA, memintanya

agar bersedia membaiat Yazid sebagai Kha-

22. Ibid. 23. Kemudian dia juga mengirim surat kepada Husen RA, menyuruhnya untuk kembali. Lihat: Ibid., hal. 152. 24. Muhammad Ahmad Mahmud, Tarikh „Âlam al-Islâmi „Asru Daulah Umawiyyah, (Maktab al-Masi), Hal. 43. 25. Ibid., hal. 43. 26. Ibid. 27. Ibid.

PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

38

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

lifah. Tentu Yazid mengingat pesan-pesan

ayahnya sebelum ia meninggal, yaitu, ber-

buat baik kepada Husen dan jika memang

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, agar

Yazid mencukupkan dirinya untuk

menghukum penduduk Irak.

Didalam usahanya, Dia mengirim be-

berapa surat kepada para Sahabat, agar berse-

dia membujuk Husen RA untuk men-

gurungkan niatnya. Tak lupa, ia memerinta-

hkan kepada para Gubernurnya untuk

menghalanginya menuju ke Kufah. Ia be-

rusaha menutup akses-akses jalan menuju

kesana. Dia juga memerintahkan kepada Gu-

bernurnya di Irak, untuk memperingatkan

penduduknya yang bersikeras mengajak

Husen RA untuk menuju kesana. Namun

usaha-usahanya ini berujung kepada kegaga-

lan. Husen tetap berhasil melanjutkan perjal-

anannya menuju ke Kufah.

Dalam pandangan penulis, Yazid perlu

menimbang dan memperhitungkan opsi

menemui Husen secara langsung. Mungkin

kita perlu sedikit mengingat beberapa ke-

bijakan yang ditempuh oleh Khalifah Usman

bin Affan RA untuk memadamkan api fitnah

di zamannya. Usman bin Affan mengundang

dan berdialog langsung dengan pemimpin-

pemimpin kelompok-kelompok, yang

menginginkan dia turun dari tongkat ke-

Khalifahan. Walau ketika itu Usman tidak

berhasil memadamkan fitnah, namun hal ini

layak untuk di coba dan di laksanakan,

mengingat suatu masalah akan sulit

dipecahkan bila tidak adanya saling

pengertian.

Memang jika kita menilik beberapa

kebijakan yang Yazid lakukan, beberapa me-

mang tepat. Namun alangkah baiknya jika

dia mendengarkan dan saling bertukar

pikiran langsung dengan Husen. Karena tidak

ada suatu masalah yang paling mendesak dan

paling penting ketika itu kecuali memeca-

hkan masalah ini. Wallahu a‟lam.

G. Peristiwa Berdarah Di Karbala

Pada bulan Muharram tanggal 10, tahun 61

H, terjadilah Perang Karbala. Perang yang

terjadi antara tentara Umayah, yang diko-

mandai Umar bin Sa‘ad bin Abu Waqas,

mereka berjumlah 4.000 orang. Sedang tenta-

ra Husen RA hanya berjumlah, tak lebih dari

100 orang. Tidak ada yang selamat dari

mereka kecuali 5 orang saja, diantaranya, Ali

Zainul Abidin anak Husen RA, Ali anaknya

yang paling kecil, kedua anak perempuaann-

ya Fatimah dan Sakinah dan saudarinya

Zainab binti Ali. Sedang yang tewas dari

pihak Umayah berjumlah 88 orang.30

Umar bin Sa‘ad mengirim kepala

Husen RA dan kepala sahabat-sahabatnya

kepada Ibnu Ziyad. Mereka juga membawa

anak-anak Husen RA. Ketika Khalifah Zayid

melihat hal ini, ia meneteskan air mata seraya

berkata, ―Aku rida dengan ketaatan kalian

tanpa membunuh Husen, semoga Allah

melaknat anak Samiyah (Abdullah bin

Ziyad) demi Allah jika aku disana aku akan

memaafkannya.‖ Dia memuliakan anak-

anaknya, dan ia tidak makan kecuali anak-

anak husen juga ikut makan bersamanya.31

Dengan mendengar perkataan Yazid

ini kita dapat menyimpulkan bahwa sejak

dari awal ia tidak pernah bermaksud untuk

28. Ibid., hal. 44-45. 29. Ibid., hal. 44.

39

membunuh Husen RA, ia melakukan ke-

bijakan-kebijakan persis yang ayahnya ti-

tahkan kepadanya. Jika dari awal ia bermak-

sud membunuhnya, niscaya ia tidak akan

menunggu Husen mendekati kufah, sedari

awal ia akan langsung memerintahkan ten-

taranya untuk membunuhnya. Namun seper-

tinya ubaidillah bin ziyad salah mentafsirkan

perintah yang yazid berikan, ia memerinta-

hkan tentaranya untuk membunuhnya.

Jika peristiwa ini dilihat secara keseluruhan,

yang bertanggung jawab akan peristiwa ini

adalah semua orang yang terlibat. Baik itu

Khalifah Yazid bin Muawiyah, Husen Ra,

Ubaidillah bin Ziyad dan bala tentaranya.

Menurut Abdul Muiz Fadl, Khalifah Yazid

tidak banyak bersalah dalam hal ini, karena

dia yang memegang kendali pemerintahan

dan ia berhak mengatasi masalah masalah

yang muncul di pemerintahannya, terlebih ia

juga tidak memerintahkan untuk membunuh

Husen RA dan ia juga tidak terima Sayyidina

Husen dibunuh.32

Pada hakikatnya tidak semua pasukan itu

mau dan rida membunuh Husen, bahkan

Khalifah Yazid bin Muawiyah juga rida atas

hal tersebut, bahkan Yazid menyumpahi ulah

Ubaidillah. Namun ada hal yang perlu kita

ketahui, yaitu setelah Yazid menyumpah-

serapahi Ubaidillah bin Ziyad, ia tidak

menindaklanjutinya dengan menurunkan jab-

atannya atau menghukumnya ataupun mem-

permalukannya depan umum.33

Penulis memiliki keyakinan yang begitu be-

sar, bahwa dari awal Yazid tidak pernah ber-

niat membunuhnya. Namun kebijakannya

terhadap Ubaidillah bin Yizad terasa sangat

ganjil. Mungkin salah satu rahasia kenapa

Yazid tidak berbuat apa-apa kepada Ubaidil-

lah adalah untuk membuat efek jera kepada

penduduk kufah yang berusaha memecah be-

lah umat.Wallahu A‟lam.

H. Karbala di mata Ulama dan Sejara-

wan Islam

Ibnu katsir berkata mengenai peristiwa

ini, “Sudah sepatutnya, setiap kaum Muslim

sedih dengan peristiwa ini ( terbunuhnya

Husen RA ). Ia termasuk salah seorang yang

mulia diantara kaum Muslim, ia juga guru

bagi para Sahabat. Ia anak dari anak per-

empuan Rasulullah SAW yang paling mulia.

Ia merupakan hamba yang taat lagi pem-

berani, namun yang orang-orang Syiah

lakukan bukanlah perbuatan yang baik.

Mereka menampakkan keluh kesah dan

kesedihan yang mungkin mereka buat-buat

dan dimaksudkan untuk riya‟. Sedang Ali RA

ayahnya yang jelas lebih mulia daripada

Husen RA, mereka tidak mengambil hari ter-

bunuhnya sebagai upacara mereka layaknya

hari terbunuhnya Husen.”34

Terbunuhnya Husen RA memiliki

pengaruh yang begitu besar terhadap Daulah

Umayah. Peristiwa ini juga makin membuat

golongan Syiah35 semakin membara.36

Kecintaan Syiah ini barangkali terlalu dibuat-

buat, terlebih jika kita menilik hari peringatan

kematian Husen RA. Mereka tidak menjadi-

kan hari terbunuhnya Ali RA sebagai hari

yang patut untuk diperingati, sedang Ali RA

juga meniggal karena terbunuh. Barang kali

kecintaan mereka yang berlebih ini terhadap

30. Ibid., hal. 45-46. 31. Ibid., hal. 46. 32. Ibid., hal. 46-47. 33. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, hal. 196.

PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

40

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Husen dikarenakan pandangan mereka ter-

hadap keyakinan mereka terdahulu.

Mayoritas golongan Syiah berasal dari

Bangsa Persia, Sedang Bangsa Persia sendiri

masih terpengaruh oleh hukum-hukum Persia

terdahulu, yaitu ta‟zim atau memuliakan

keluarga kerajaan dan mensucikannya. Darah

( keturunan ) Raja tidak sama dengan darah

rakyat jelata. Ketika mereka masuk islam

mereka melihat Nabi layaknya seorang

Kaisar dan melihat keturunannya layaknya

keturunan Raja. Jika Nabi meninggal, maka

keturunannyalah yang paling berhak menjadi

Khalifah.37 Terlebih salah satu istri Husen

RA ―Salafah‖ merupakan puteri dari Raja

Persia terakhir yaitu, Yazdazrij.38

I. Kesimpulan

Benarlah pendapat Ibnu Katsir bahwa

setiap kaum Muslim sepatutnya sedih,

melihat Husen RA terbunuh dan yang lebih

menyedihkan lagi, kepala Husen yang telah

terbunuh dipisahkan dari badannya.

Mengenai peristiwa ini, kita sebagai orang

Muslim tidak boleh berkata, bahwa Husen

hendak memecah belah umat. Penduduk

Kufah lah yang berusaha memecah belah

umat, entah keuntungan apa yang mereka

dapat dengan memecah umat.

Dari kisah singkat ini kita dapat lebih

mengerti, bahwa Yazid bin Muawiyah tidak

berniat membunuhnya. Yazid bin Muawiyah

sudah berusaha mengerjakan perintah-

perintah yang telah ayahnya wasiatkan sebe-

lum ia wafat.

Secara garis besar apa yang penduduk Kufah

lakukan, hampir menyerupai kisah Bani Israil

yang meminta kepada Allah melalui Nabin-

ya, untuk mengirimkan kepada mereka

seorang raja agar mereka berperang bersama-

sama. Namun ketika permintaan mereka

dikabulkan hanya sedikir dari mereka yang

teguh terhadap niat awalnya. Sejarah akan

selalu berulang, sejarah tidaklah harus teru-

lang terhadap orang yang sama atau di tem-

pat yang sama. Waallahu a‟lam

J. Daftar Pustaka

Al-Syaibani, Muhammad bin Razzan,

Mawâqif al-Muâridoh fî „Ahdi Yazid

bin Muawiyah, (Riyadh: Daruttay-

yibah, 2009).

Ibnu Katsir, Abul Fida, Al-Bidâyah Wa al-

Nihâyah, vol. 4, (Kairo: Darul Hadis,

2006).

Ibnu Hajar al-Asqalani, Ahmad bin Ali,

Fathul Bâribi Syarhi Shahîh al-

Bukhari (Riyadh: Dar Tayyibah, 2011).

Mahmud, Muhammad Ahmad, Tarikh „Âlam

34. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, hal. 196. 35. Pada awalnya Syiah adalah sebuah istilah atau sebutan bagi mereka yang mengikuti dan menolong Amirul

Mukminin Ali bin Abu Thalib dan Imam-imam yang berasal dari keturunannya dan kerabat Rasulullah SAW secara umum. Dengan seiringnya zaman istilah ini dikhusukan bagi mereka yang memiliki pandangan al-Nash wa al-Wasiyyah, yaitu nash atau teks yang mengatakan bahwa Ali adalah Imam setelah Rasulullah. Sedang al-Wasiyah atau wasiat dari Rasulullah kepada Ali untuk menjadi Imam. Wasiat dan nash ini juga merambat kepada para keturunan Ali bin Abi Thalib. Lihat: Muhammad Imarah, Tayârâtul Fikri al-Islâmî, (Kairo: Dar Syuruq, 2011), Cet. 4, hal. 201.

36. Muhammad Ahmad Mahmud, Op.Cit., hal. 48. 37. Ahmad Amin, Dhuhâ al-Islam, (Kairo: al-Maktabah al-Usrah, 1999), Cet. 2, hal. 205.

38. Salafah merupakan ibu dari Zainul Abidin. Lihat: Hisyam Kamil Hamid, Alul Bait, hal. 83.

41

PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)

Muhammad Faiq Aziz

al-Islâmi „Asru Daulah Umawiyyah,

(Maktab al-Masi)

Musa, Hisyam Kamil Hamid, Alul Bait,

(Kairo: Darul Manar, 2011).

Amin, Ahmad, Dhuhâ al-Islam, (Kairo: al-

Maktabah al-Usrah, 1999).

Imarah, Muhammad, Tayârâtul Fikri al-

Islâmî, (Kairo: Dar Syuruq, 2011).

رء ي ولد عالما”

ت علم ف ليس ادل

“وليس أخو علم كمن هو جاهل

“Belajarlah, karena tidak ada manusia

yang terlahir sudah berilmu, dan para

pemilik ilmu tidak akan sama dengan

orang bodoh”

42

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya

Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Oleh: Indra Gunawan

Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Bahasa Arab

Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir

Email: [email protected]

Abstract

Abdul Hamid II is the Sultan of Ottoman Empire which is written in history in a controver-

sial way, he is the last caliphate in the history of islam who strived and fight to maintain the

unity of his empire. As a young leader he was inaugurated in the middle of the new wave of

freedom which is inspired by the Revolution of France (1830) which inspired many countries

to revolt and to emerge with the same values of freedom, modernization, and equality. Under

his authority the ottoman empire was considered as the sickman of Europe which will never

be able to compete with the changing situation. No matter what, he had done a great accom-

plishment to postpone the devastation of The Ottoman Empire for thirty years.

Keywords: Chaliphate, Secularism, Zionism, Ottoman Empire, Modernization

Abstrak

Sosok Abdul Hamid II merupakan sosok yang ditulis demikian kontroversial karena

perannya yang demikian penting dalam sejarah Daulah Utsmaniyah, karena beliau adalah Sul-

tan terakhir sekaligus khalifah umat islam terakhir yang berjuang mempertahankan persatuan

dan kesatuan Umat Islam di bawah paying Khilafah. Dan beliau muncul di tengah gemuruh

gelombang tren Negara-negara Eropa yang mengagung-agungkan kebebasan, sekularisme,

modernisasi, dan persamaan derajat dan Turki Utsmani pun dicemooh oleh Dunia Barat se-

bagai “Orang Eropa yang Sakit” yang tidak akan mampu lagi bertahan menghadapi tantangan

zaman. Namun beliau terbukti telah Berhasil memperlambat keruntuhan Daulah Turki Utsma-

ni sepanjang tiga puluh tahun. Lantas dihujat habis-habisan akibat penolakannya pada Yahudi

agar mendirikan negara Zionis di Palestina.

Kata kunci: Khilafah, Sekularisme, Zionis, Daulah Usmaniyah, Modernisasi,

43

A. PENGANTAR

Abad ke-19 Masehi adalah periode pal-

ing menyesakkan bagi kaum Muslimin. Tak

berlebihan, era itu dianggap sebagai titik na-

dir dari kemerosotan umat Islam!

Tiap zaman tentu punya kisahnya mas-

ing-masing dalam menghadapi badai an-

caman. Ketika ranah Hijaz mulai bersinar da-

lam peradaban dunia lewat kemunculan Is-

lam, terdapat dua imperium besar menge-

pung Jazirah Arabia; Persia Sasania di timur

dan Romawi Byzantium di barat. Setelah itu

Perang Salib mengobarkan permusuhan pa-

da alam Islami dari barat yang kemudian

dilanjutkan invasi Mongol dari timur.

Rentetan huru-hara itu sempat mendapat

pelipur lara ketika Muhammad al-Fatih ber-

hasil menaklukkan Konstantinopel pada

1453 M.

Sayang, era keemasan itu perlahan-

lahan mulai berakhir. Ditandai lewat

jatuhnya Granada pada 1492 M, kaum Mus-

limin dihadapkan pada musuh utama yang

menjelma jadi musuh dunia bernama koloni-

alisme dan imperialisme. Ratusan tahun

lamanya, negeri-negeri benua biru saling

bersaing menjajah Asia, Afrika, hingga

Amerika. Dan penjajahan itu mencapai pun-

caknya pada abad ke-19 M. Adalah Turki

Utsmani—kekhalifahan Islam yang tengah di

ambang kehancuran—menjadi sasaran ber-

sama. Bagi bangsa Eropa, Turki Utsmani

laiknya orang yang sedang menghadapi sa-

karatul maut, siap membagi-bagi harta war-

isannya. Ibarat kue besar, wilayah Turki

Utsmani yang luas menjadi lahan rebutan.

Betapa menyedihkan kondisi kaum Mus-

limin saat itu. Ketidak-mampuan Turki

Utsmani mengikuti perkembangan sains

membuatnya terbelakang dan wibawanya

merosot tajam. Sampai-sampai bangsa Ero-

pa menyindirnya sebagai “The Sick Man of

Europe”.

Di saat tak berdaya itu, tampil-lah

seorang pemimpin besar bernama Abdul Ha-

mid II. Wibawa Turki Utsmani dan kaum

Muslimin naik kembali pada masanya. Se-

bagai sultan dan khalifah, berbagai persoa-

lan bangsa dan umat ia hadapi dengan keya-

kinan teguh pada mulianya nilai-nilai Islam.

Kemunculannya di tengah-tengah zaman

yang semrawut sungguh merupakan anuge-

rah tak terkira, kalau tak dikatakan sebagai

keajaiban.

Tanpa jerih payahnya, bisa saja Istanbul

tak lagi menjadi bagian umat Islam. Atau Is-

lam di kawasan Balkan telah lama lenyap.

Atau Kurdistan memisahkan diri menjadi se-

buah negara dan Armenia menjelma men-

jadi pusat kekuatan Nasrani di Asia Kecil.

Atau telah berdiri negara Israel Raya dengan

wilayahnya seluruh kawasan Syam. Atau

kemungkinan-kemungkinan terburuk lainnya

yang bisa terjadi ketika itu.

Namun kiranya, keberadaan beliau ber-

hasil menghindari bencana tersebut. Ia juga

yang mampu menaikkan kembali martabat

Turki Utsmani dan mencegah keruntuhannya

sepanjang tiga puluh tahun lebih.

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

44

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Dialah Sultan Abdul Hamid II. Legenda

terakhir dari silsilah umara besar yang

pernah ada!

Gayanya memerintah dianggap kaum

sekuler sangat otoriter, namun nyatanya dia-

lah khalifah terakhir yang punya kekuasaan

sebagai pemimpin umat. Jauh dari interven-

si, tak bisa didikte atau diancam. Pendiriann-

ya amat kokoh, seteguh iman dan keya-

kinannya pada Yang Kuasa.

Namanya ditulis dengan tinta merah di buku-

buku sejarah hanya gara-gara pembangkan-

gannya pada konspirasi zionisme. Kaum Ya-

hudi yang menguasai media massa dan infor-

masi dunia mendiskreditkannya sebagai

pemimpin haus darah karena tak mengiz-

inkan berdirinya Israel di Palestina. Aki-

batnya di barat ia dijuluki sebagai “Sultan

Merah”,1 atau “Abdul Terkutuk”.2

Meski begitu, Abdul Hamid II tetaplah

dipuja di hati kaum Muslimin. Siapa saja

yang tahu duduk persoalan dan menyelami

riwayat kepemimpinan Abdul Hamid dengan

hati jujur, pasti mengakui kebesaran jiwa

dari seorang Abdul Hamid II. Bahwa beliau

tak hanya seorang pemimpin bijak dan poli-

tikus ulung, namun juga pribadi yang penya-

yang, penuh toleransi dan pejuang kaum mi-

noritas.

Rasa galau dan ketidakberdayaan yang

menghimpitnya acapkali ia tulis dalam cata-

tan harian dan surat-surat yang ia tujukan

pada kolega, sahabat, maupun gurunya.

Membaca kejujuran hatinya, membuat kita

bertanya-tanya, layak-kah tuduhan itu terse-

mat padanya? Meresapi kegelisahan yang

dia rasakan, semakin buyarlah segala hujatan

musuh-musuh Islam yang tidak senang atas

keberaniannya menyuarakan kebenaran.

B. PEMBAHASAN

Membuka Cakrawala ke Eropa

Sepeninggal ayahnya Abdul Majid I

(1839-1861), Turki Utsmani dipimpin pa-

mannya Abdul Aziz (1861-1876). Pada tahun

1867, Sultan Abdul Aziz mengadakan kunjun-

gan kenegaraan ke Eropa Barat dengan

tujuan mencari dukungan dan mempererat

kerja sama dengan Turki Utsmani. Abdul Aziz

berusaha menjalin koalisi dengan negeri-

negeri super power Eropa Barat terkait tensi

yang memanas dengan Rusia. Itu merupakan

kunjungan pertama dari Sultan Turki Utsma-

ni ke Eropa Barat.

Delegasi resmi Turki Utsmani saat itu

disertai rombongan kenegaraan, termasuk di

antaranya Abdul Hamid muda. Gairah Abdul

Hamid sangatlah besar mempersiapkan per-

jalanan jauh tersebut. Sudah sering kali ia

dengar kemajuan dan kebangkitan bangsa

Eropa. Tentang tradisi, modernisme, pers

dan kebebasan berekspresi, sistem parle-

menter, juga intervensi dan arogansi pada

negerinya. Ia mempersiapkan diri sebaik-

baiknya dengan banyak membaca dan

1. Francis McCullogh, Sultan Beaten, The New York Times, 25 April, 1909. 2. Frank S. Nugent, Sidelights on Turkish History in 'Abdul the Damned' at the Rialto, The New York Times, 11

Mei, 1936.

45

mendengar pendapat-pendapat orang-orang

sekitar. Pada mereka yang tergila-gila

dengan dunia Barat, begitu juga yang an-

tipati pada kaum kafir Eropa.

Berangkatlah iring-iringan delegasi Abdul

Aziz dari 21 Juni hingga 7 Agustus 1867. Sela-

ma itu mereka telah mengunjungi Prancis,

Britania, Belgia, dan Austria-Hongaria.3 Ab-

dul Hamid berkesempatan bertemu dengan

negarawan dan politikus Eropa seperti Napo-

leon III di Perancis, Ratu Victoria di Inggris,

Leopold II di Belgia, dan Franz Joseph I di

Austria. Saat itu usianya dua puluh lima ta-

hun.4

Dari sana terbukalah cakrawala Abdul

Hamid. Ia melihat langsung bagaimana etika

diplomasi, upacara kenegaraan, kecerdasan

negoisasi, serta konspirasi barat dan kaum

sekuler pada negerinya. Dikisahkan di sela-

sela kunjungan ini, Fuad Pasha selaku Men-

teri Besar Turki Utsmani menjawab pertan-

yaan beberapa pembesar Eropa.

“Berapa kalian jual Pulau Kreta?”

“Dengan harga yang seperti kami mem-

belinya,” jawab Fuad Pasha. (Maksudnya

Turki Utsmani menguasai Kreta selama 27

tahun dan selama itu pula penuh dengan

perang).

“Negara apa terkuat di dunia saat ini?”

“Negara terkuat adalah Turki Utsmani.

Itu karena kalian berusaha menghancur-

kannya dari luar, adapun kami dari dalam,

namun nyatanya kita sama-sama belum ber-

hasil melenyapkannya,” jawab Fuad Pasha.5

Kunjungan ke Eropa merupakan pelaja-

ran yang sangat berharga. Abdul Hamid

melihat sendiri bagaimana tradisi dan bu-

daya masing-masing negeri maju. Bahwa

modernisme rupanya berimbas pada deka-

densi moral. Ia melihat Prancis sebagai

negeri mode tempat bersenang-senang na-

mun punya industri militer yang kuat. Inggris

adalah negeri kaya pertanian dan indus-

trinya maju, ditambah bahwa angkatan

lautnya terhebat kala itu. Adapun Jerman

merupakan negara besar yang baru bangkit,

namun memiliki kedisiplinan tinggi dan

fanatisme kuat pada bangsanya. Selain itu

Abdul Hamid terpesona dengan pendidikan

militer di Jerman. Kelak, di kemudian hari

ketika ia jadi sultan, Abdul Hamid lebih

memilih Jerman sebagai sekutunya daripada

menggantungkan asa pada Inggris, Prancis,

Austria, apalagi Rusia.

Tak cukup di situ, Abdul Hamid sangat

mendukung modernisasi. Ketika berkuasa,

Abdul Hamid membeli dua kapal selam, yang

mana saat itu merupakan senjata baru yang

istimewa. Ia juga memasukkan penggunaan

telegraf, bahkan dari uang pribadinya,

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

3. Ali Muhammad Ash-Shallaby, Al-Daulah al-`Utsmâniyyah; ‘Awâmil al-Nuhûdh wa al-Suqûth, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. III, 2006), hal. 432.

4. Muhammad Harb, Al-Sulthân Abdul Hamîd al-Tsânî, (Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1990 M), hal. 33 & 58. 5. Ibid., hal. 58.

46

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

kemudian menerapkan ukuran resmi dengan

skala meter, mendirikan sekolah modern

yang bermaterikan ilmu-ilmu pasti. Pada

masanya juga penggunaan mobil dan sepeda

pertama kali diterapkan. Meski begitu,

dengan kewaspadaan tinggi ia tetap menyar-

ing pengaruh ghazw al-fikrî ke negerinya.6

Selain kunjungan ke Eropa, Sultan Abdul

Aziz dan Abdul Hamid muda juga sempat

mengunjungi Mesir. Saat itu, Mesir merupa-

kan lahan subur pergolakan. Mesir, sebagai

negeri dengan populasi warga Arab terban-

yak mau tak mau selalu jadi sorotan. Ter-

lebih lagi setelah Khediv Ismail Pasha

berkuasa. Ismail Pasha adalah cucu Muham-

mad Ali Pasha dan menjadi gubernur meng-

gantikan pamannya Said Pasha. Mengecap

pendidikannya di Paris, ia begitu tergila-gila

pada kehidupan barat.

Ismail Pasha bertekad melakukan west-

ernisasi besar-besaran di Mesir. Tahun 1879

ia membuat pernyataan mengejutkan

dengan berkata, “Negeriku bukan lagi di Afri-

ka, sekarang kita telah menjadi bagian Ero-

pa. Oleh karenanya wajar bagi kita mening-

galkan cara-cara para pendahulu, dan mulai

mangadopsi sistem baru yang lebih sesuai

dengan kondisi masyarakat kita.”

Pada masanya Terusan Suez resmi dibu-

ka pada 1869. Namun akibat dari intervensi

besar-besaran pihak asing, Mesir mengalami

resesi ekonomi yang parah. Mesir terbelit

utang yang hampir mustahil diselesaikan.

Ketika tak mampu lagi mencari pinjaman as-

ing, Ismail Pasha akhirnya menjual saham

Mesir di Terusan Suez pada Pemerintah Bri-

tania tahun 1875, hal ini kian menambah

cengkraman asing. Kesewenangan pihak as-

ing dan bobroknya pemerintahan Ismail Pa-

sha membuat kemarahan rakyat Mesir men-

jadi-jadi. Pecahlah revolusi Ahmad Arabi pa-

da 1879, yang berakhir dengan diberhenti-

kannya Ismail Pasha oleh Sultan Abdul Ha-

mid II.

Namun, jauh sebelum pergolakan besar

itu terjadi, Abdul Hamid telah melihat tanda-

tanda kerusakan di Mesir. Dua tahun sebe-

lum Terusan Suez dibuka, ia dan pamannya

melihat langsung derita rakyat Mesir pada

1867. Bagaimana hebatnya cengkraman bar-

at, juga proyek westernisasi yang digencar-

kan Ismail Pasha.7 Kunjungan itu sangat be-

rarti bagi Abdul Hamid ketika ia memegang

amanah selaku khalifah. Sekuat tenaga ia

berjuang habis-habisan menghadang de-

rasnya arus intervensi asing. Meskipun har-

ganya ia dimusuhi banyak pihak: kaum seku-

ler, penguasa Eropa, dan yang paling dahsyat

zionisme dan anteknya.

Sultan ke-34

Sedari awal, Abdul Hamid tak pernah

diprediksi bakal menjadi Sultan Turki Utsma-

ni. Dari garis nasab, meski sebagai anak Ab-

dul Majid I, namun ia bukanlah putra tertua.

6. Ibid., hal. 57. 7. Ali Muhammad Al-Shallaby, Op.cit.

47

Abangnya Murad V

lebih dulu berhak men-

jadi sultan. Namun ru-

panya takdir menetap-

kan Turki Utsmani

dipimpin Abdul Hamid

II. Bahwa di saat-saat

akhir kejatuhan Khilafah

Islamiyah, terdapat pemimpin besar yang

mampu membuat gerakan perubahan,

membangkitkan keterlenaan umat dari

belenggu penjajah.

Adalah Organisasi Turki Muda muncul

sebagai kekuatan baru di Turki Utsmani.

Gerakan ini awalnya dibentuk demi mem-

perbaiki kondisi bangsa yang carut-marut.

Cita-citanya sangatlah luhur, mewujudkan

perlakuan adil antar etnis dan ras, member-

antas korupsi, dan menaikkan taraf hidup

rakyat. Tak heran banyak pihak lantas

bergabung dan nuansa optimisme segera

terpancar.

Malangnya, organisasi ini pelan-pelan

berubah haluan. Disusupi freemasonry dan

orang-orang zionis, Turki Muda lantas disetir

demi kepentingan pihak asing. Atas dalih

kemajemukan, Turki Muda dipenuhi warga

Nasrani dan Yahudi. Kelompok ini kian lama

kian besar, dan bisa dikatakan sebagai

kekuatan tandingan di samping khalifah.

Puncaknya adalah ketika mereka berhasil

menggulingkan Sultan Abdul Aziz pada 1876.

Empat hari setelah dikudeta, Abdul Aziz

ditemukan mati bunuh diri. Namun hampir

semua meyakini, ia bukan bunuh diri melain-

kan dibunuh lewat konspirasi tingkat tinggi.

Sepeninggal Abdul Aziz, Sultan Murad

V lantas berkuasa. Putra Abdul Majid I dan

abang Abdul Hamid II ini hanya bertahta

sekitar 93 hari. Ketika mendengar ter-

bunuhnya pamannya Abdul Aziz dan juga

beberapa pembantunya, Murad V mengala-

mi guncangan hebat hingga mentalnya ter-

ganggu. Atas inisiatif Turki Muda juga, Mu-

rad V kemudian dimakzulkan dan digantikan

Abdul Hamid.

Tepat 31 Agustus 1876, Abdul Hamid II

dilantik menjadi Sultan Turki Utsmani ke-34.

Saat itu umurnya tiga puluh empat tahun.

Naiknya Abdul Hamid dirayakan dengan

meriah. Pelantikannya dihadiri para menteri,

pejabat tinggi negara, maupun petinggi mili-

ter. Di jalan-jalan rakyat berkerumun

menyambut sultan baru. Tiga hari lamanya

Istanbul benderang oleh berbagai hiasan.

Suara genderang ditabuh dan parade militer

ikut menyemarakkan penobatannya.8Abdul

Hamid menerima ucapan selamat dari

berbagai pemimpin golongan dan daerah.

Adapun menteri besar segera mengirimkan

telegraf ke seluruh negara dunia mengabar-

kan peralihan kekuasaan di Turki Utsmani.9

Midhat Pasha dan Jeratan Konstitusi

Abdul Hamid muda

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

8. Muhammad Farîd Beik, Târîkh al-Daulah al-`Aliyyah al-`Utsmâniyyah, tahqiq: Dr. Ihsan Haqqi, (Beirut: Dâr al-Nafais, cet. X, 2006), hal. 587.

9. Ismail Ahmad, Al-Daulah al-`Utsmâniyyah fî al-Târîkh al-Islâmî al-hhhhhhkknssdjasjsHadîts, (Maktabah al-`Abikan, cet. I, 1996), hal. 138.

48

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

10. Ernest E. Ramsaur, The Young Turks: Prelude to the Revolution of 1908, terj. Dr Ahmad Shalih, (Beirut: Dâr al-Maktabat al-Hayat, 1960), hal. 44.

11. Al-Sayyid Muhammad al-Daqn, Dirâsât fî Târîkh al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, (Kairo: Azhar University, 2005), hal. 111.

*Ahmad Syafiq adalah nama asli Midhat Pasha. Dilahirkan di Istanbul (1822-1883). Ia menjabat menteri besar hanya 4 bulan lamanya. Tahun 1878 bulan Februari Midhat dicopot Sultan Abdul Hamid, dan dia-singkan ke Eropa. Kemudian dipanggil lagi dan ditunjuk sebagai Gubernur Suriah kemudian Azmir. Midhat kemudian dipecat lagi dan diadakan pengadilan padanya atas peran pembunuhan Sultan Abdul Aziz. Ia terbukti bersalah dan dihukum mati. Namun akhirnya diringankan menjadi pembuangan ke Hijaz, Thaif. Di sana ia ditahan dan meninggal pada 8 Mei 1884. – Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, terj. Karim ‘Azqul, hal. 134.+

Tantangan terberat pertama yang

dihadapi Abdul Hamid adalah Organisasi Tur-

ki Muda. Kekuatan dan pengaruh Turki Muda

di tubuh Turki Utsmani sangatlah kuat,

melampaui otoritas khalifah. Mereka men-

guasai kabinet pemerintahan, kalangan mili-

ter, bahkan keluarga istana. Proyek liberali-

sasi yang diusung mereka segera mendapat

sokongan dana melimpah dari pihak asing.

Adalah Midhat Pasha selaku Menteri Be-

sar yang menjadi pemimpinnya. Keberhasi-

lan menggulingkan dua sultan sebelumnya

menaikkan popularitas Midhat. Ia begitu

dipuja pendukungnya dan dianggap sebagai

negarawan panutan dalam liberalisasi. Atas

perannya pula Abdul Hamid diangkat men-

jadi Sultan, dengan anggapan Abdul Hamid

nantinya bisa disetir dan dipengaruhi sesuai

keinginannya. Nyatalah, keberadaan Midhat

Pasha bak belati yang siap menghunjam ke

dada Abdul Hamid. Bagaimana mungkin Ab-

dul Hamid bisa nyaman bekerja dengan

orang yang telah menggulingkan dua sultan

dan membunuh pamannya?10

Pamor yang dimiliki Midhat Pasha mem-

buat Abdul Hamid tak punya pilihan selain

menunjuknya sebagai Menteri Besar pada 18

Desember 1876.11 Midhat kemudian men-

jalankan rencananya mereformasi sistem

tata negara khilafah. Ia begitu memuja barat

dan berambisi mendirikan Turki Utsmani

yang baru dengan undang-undang Eropa.

Selanjutnya ia rumuskan konstitusi pertama

bagi Turki dengan mengadopsi undang-

undang Prancis dan Belgia, setelah selesai

disodorkannya pada sultan untuk disahkan.

Abdul Hamid saat itu belumlah punya

kekuatan. Ia diangkat dalam keadaan negara

yang teramat genting. Berbagai persoalan

besar yang menumpuk diwariskan padanya.

Kas negara kosong dan Turki Utsmani terlilit

utang teramat besar. Hal mana membuat

negara asing begitu leluasa mendikte Turki

Utsmani. Belum lagi amarah dan

kekecewaan rakyat pada aparat negara yang

semena-mena memerintah. Korupsi mera-

jalela, gerakan separatis marak terjadi, dan

tensi yang terus memanas dengan Rusia. Ia

langsung dihadapkan segudang problema

yang mustahil diselesaikan sendirian.

Pada 23 Desember 1876, setelah

mengamandemen beberapa pasal, Abdul

Hamid mengumumkan diberlakukannya kon-

stitusi. Konstitusi pertama ini nantinya diang-

49

gap sebagai cikal bakal Turki Sekuler. Ada-

pun pemrakarsanya tak lain adalah Midhat

Pasha, hingga ia dijuluki Bapak Konstitusi

Turki.12 Dalam pandangan Midhat, satu-

satunya cara Turki Utsmani bangkit hanya

lewat undang-undang negara yang baru.

Yang isinya menjamin kemerdekaan berek-

spresi, mengurangi otoritas khalifah, dan

perlakuan sama antaragama dan ras di de-

pan undang-undang.13

Selanjutnya undang-undang itu diberi

nama Qanun Asasy.14 Isinya memuat falsa-

fah dasar negara, di antara muatannya: aga-

ma negara adalah Islam, bahasa ibu adalah

bahasa Turki, diterapkannya independensi

mahkamah, hak prerogatif sultan

mengangkat menteri dan memecatnya,

fungsi sultan juga sebagai panglima tertinggi

yang memutuskan perang atau damai,15 ser-

ta pasal-pasal lainnya.

Selama ini Turki Utsmani memang tak

pernah mengenal sistem parlementer. Be-

gitu juga dengan Khilafah Islamiyah. Syariah

merupakan hukum mutlak, khalifah adalah

pemegang kekuasaan tertinggi sementara

Syaikhul Islam bertugas memberi fatwa

negara sekaligus mengesahkan penobatan

khalifah. Melalui Qanun Asasy, Turki Utsma-

ni memasuki era baru dengan diperkenal-

kannya kehidupan parlemen.

Sesuai amanat konstitusi, digelarlah

pemilihan umum untuk memilih anggota de-

wan legislatif, yang dinamakan majlis al-

mab’utsani. Terpilihlah 119 anggota dengan

komposisi Muslim (71 kursi), Nasrani (44

kursi), dan Yahudi (4 kursi). Selain majlis al-

mab’utsani terdapat pula majlis al-a’yan,

majelis ini dipilih langsung oleh sultan ber-

jumlah 26 anggota, 21 di antaranya Muslim.

Konstitusi juga mengamanatkan per-

tanggungjawaban kabinet terhadap dua

majelis ini.16

Pada 29 Maret 1877, dibukalah sidang

pertama parlemen oleh Sultan Abdul Hamid.

Sultan menyampaikan pidato kenegaraan

dengan memukau. Tampil di hadapan wakil

rakyat terpilih tak membuatnya minder atau

inferior. Dengan tutur kata yang fasih beliau

jelaskan pondasi Turki Utsmani dan perjalan-

an para pendahulu membangun dinasti ini.

Tentang hakikat pemimpin dan per-

tanggungjawaban amanah pada rakyat. Pi-

datonya sangat bersahaja, penuh gelora,

menggambarkan keagungan sultan-sultan

besar Turki Utsmani.17

12. Mahmud Shalih Mansy, Harakah al-Yaqzhah al-‘Arabiyyah fî al-Syarq al-Âsiyawî, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, cet. III, 1978), hal. 53.

13. George Habib Antonius, The Arab Awakening, terj. Dr. Nashiruddin al-Asad & Dr. Ihsan ‘Abbas, Yaqzhah al-‘Arab, (Beirut: Darul ‘Ilmi li al-Malayin, cet. II, 1966), hal.130.

14. Sathi’ al-Hashri, Al-Bilâd al-‘Arabiyyah wa al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malayin, cet. II, 1960), hal. 74-75, 97.

15. Ahmad Abdurrahim Musthafa, Fî Ushûl al-Târîkh al-‘Utsmânî, (Dâr al-Syuruq, cet. II, 1986), hal.234. 16. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, terj. Karim ‘Azqul, (Beirut: Dâr al-Nahar, 1968), hal. 133. 17. Untuk naskah lengkapnya silahkan lihat di Târîkh al-Daulah al-`Aliyyah al-`Utsmâniyyah, Muhammad Farîd

Beik, tahqiq: Dr. Ihsan Haqqi, hal. 594-600.

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

50

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

18. Sathi’ al-Hashrî, Op.cit., hal. 98

19. Abdul Aziz Al-‘Umary, Al-Futûh al-Islâmiyyah ‘Abr al-‘Ushûr, (Riyadh: Dâr Isybiliyyah, cet. I, 1997), hal. 418.

Di masa itu, anggota legistlatif dari

bangsa Arab berperan aktif dalam perde-

batan di parlemen,18 bahu-membahu

memajukan Khilafah Islamiyah. Menepis

tudingan retaknya Turki-Arab yang dihem-

buskan pihak kolonial. Bukan rahasia lagi,

dari dulu hingga kini Barat sangat getol me-

mecah-belah umat lewat isu nasionalisme

maupun dikotomi negara dan agama.

Krisis Balkan dan Dibekukannya Kon-

stitusi

Konstitusi pertama Turki ini ternyata

tak bertahan lama. Krisis Balkan membuat

peta politik Turki Utsmani berubah drastis.

Tak sampai sebulan setelah digelar sidang

pertama parlemen, Rusia mengumumkan

perang terhadap Turki Utsmani pada 24 April

1877. Perang akhirnya meletus di Balkan dan

Kaukasus, berakhir pada 3 Maret 1878

dengan kekalahan Turki Utsmani.

Krisis Balkan sebenarnya sudah bergo-

lak sejak masa Abdul Aziz. Rusia begitu am-

bisius meluaskan wilayahnya di Balkan. Ada-

pun Austria-Hongaria sejak lama sudah

membidik Bosnia-Herzegovina. Mereka rutin

melakukan provokasi dengan menyuplai da-

na dan senjata kepada penduduk lokal agar

memberontak pada Turki Utsmani. Berbagai

propaganda dijalankan, baik lewat media

massa maupun organisasi rahasia. Setiap ada

celah memberontak, kontak senjata menjadi

hal yang tak terhindarkan.

Sebelumnya, Rusia telah dikalahkan Tur-

ki Utsmani sebanyak enam pertempuran be-

sar. Kekalahan bertubi-tubi yang dialami Ru-

sia membuat dendamnya kian membara.

Persiapan perang besar dimatangkan, warga

pribumi di Balkan dilatih dan dipersenjatai

laiknya tentara Rusia. Ketika meletus perang,

tentara Turki Utsmani mati-matian

menghadapi gabungan koalisi Rusia, Roma-

nia, Bulgaria, Serbia & Montenegro yang

jumlahnya tiga kali lipat. Utsman Nuri Pasha

yang terluka parah akhirnya tak kuasa mena-

han gempuran musuh di Balkan dan menye-

rah akhir tahun 1877. Sementara di sayap

timur Turki Utsmani, Ahmad Mukhtar Pasha

juga takluk setelah Rusia berhasil menekan

hingga Anatolia.19

Di tengah bayang-bayang kekalahan itu,

Turki Utsmani terpaksa menandatangani

Perjanjian Berlin 1878. Di antara isinya Turki

Utsmani merelakan lepasnya Bulgaria,

mengakui kemerdekaan Rumania, Serbia &

Montenegro, dicaploknya Bosnia-

Herzegovina oleh Austria-Hongaria, dan

51

Siprus di bawah pengawasan Britania. Turki

Utsmani juga diharuskan membayar biaya

kompensasi perang sebesar 2,5 juta Lira.20

Tak pelak kekalahan itu merupakan

musibah yang besar bagi dunia Islam. Air

mata bercucuran di penjuru negeri me-

nangisi pejuang yang gugur. Kaum Muslimin

lantas terhenyak mengetahui diusirnya ratu-

san ribu warga Muslim dari Bulgaria. Sebuah

pemandangan memilukan menatap antrian

para pengungsi, membuka luka lama akan

tragedi pengusiran Muslim di Andalusia.

Sungguh, hal yang bertolak belakang ketika

Muslim memerintah, sejarah mencatat hak

dan kehormatan ahlu dzimmah selalu dijaga.

Mereka dilindungi dan diperlakukan dengan

adil dan baik.

Kepedihan yang luar biasa itu akhirnya

berubah menjadi kemarahan. Mayoritas

Orang-orang tak puas dengan kinerja

pemerintah atas kekalahan perang. Mereka

menyalahkan para menteri dan petinggi mili-

ter yang tak becus bekerja. Puncaknya, ter-

jadi kekisruhan antaranggota dewan di par-

lemen menuntut pertanggungjawaban tiga

menteri yang tertuduh. Bahkan perten-

tangan itu mulai mengarah pada kebijakan

Sultan. Konflik yang berlarut-larut membuat

Abdul Hamid punya alasan membekukan

parlemen pada 13 Februari 1878.

Pembekuan berlangsung hingga 30 tahun

lamanya sampai tahun 1908. Jadinya usia

konstitusi pertama Turki sejak dibuka Abdul

Hamid hanya 10 bulan lebih 25 hari. Anggota

parlemen kemudian kembali ke daerahnya

masing-masing, sementara sepuluh orang

pemimpin kekisruhan diasingkan ke tempat

yang jauh.21

Adapun di antara sebab-sebab pe-

nolakan Sultan terhadap undang-undang

disebabkan majemuknya warga Turki Utsma-

ni, bahwa penerapan demokrasi model barat

justru memperparah sengketa minoritas dan

mayoritas. Beliau berkata, “Turki Utsmani

adalah negeri berkumpulnya berbagai bang-

sa, dan demokrasi di negeri seperti ini hanya

akan mematikan etnis asli dalam negeri.

Apakah ada di parlemen Britania anggota

resmi dari penduduk India, atau di parlemen

Prancis anggota dewan dari warga

Aljazair?”22

Orde Hamidi

Setelah dibekukannya konstitusi,

otomatis Abdul Hamid II memegang kendali

pemerintahan. Ia mulai mengembalikan

kembali power sultan yang telah lama

hilang. Abdul Hamid lantas melakukan

berbagai gebrakan dan terobosan baru

terkait kebijakan negara. Sejarawan

menamakan periode kepemimpinan Abdul

Hamid—sejak dibekukannya konstitusi hing-

ga lengsernya tahun 1908—dengan istilah

20. Ismail Yaghi, Al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, hal. 195. 21. Taufiq Ali Brau, Al-‘Arab wa al-Turk fi al-‘Ahdi al-Dustûr al-‘Utsmânî (1908-1914), (Kairo: Ma’had al-Dirâsât

al’-Arabiyyah al-‘Aliyyah, 1960), hal. 32. 22. Muhammad Harb, Op.cit., hal. 95 23. Al-Sayyid Muhammad al-Daqn, Op.cit., hal. 110 .

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

52

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Orde Hamidi (al-‘Ashr al-Hamîdî).23

Salah satu kebijakannya yang paling

diserang kaum sekuler adalah pembentukan

dinas intelijen atau polisi rahasia. Abdul Ha-

mid digambarkan sebagai pemimpin haus

darah dan berwatak kejam yang ringan tan-

gan menjatuhkan hukuman. Namun jika

ditelusuri dengan cermat, ada banyak alasan

kuat yang melatarbelakangi Abdul Hamid

terkait kebijakannya.

Sebagaimana diketahui, Turki Utsmani

saat itu menjadi pusat perhatian dunia. Peri-

stiwa sekecil apapun menyangkut kebijakan

pemerintah langsung menjadi santapan beri-

ta. Dengan wilayah yang meliputi Afrika

Utara, Jazirah Arabia, Syam, Asia Kecil, dan

beberapa wilayah Eropa Timur, Turki Utsma-

ni dihadapkan setumpuk problema raksasa.

Yang paling krusial tentu saja konspirasi luar-

dalam meruntuhkan khilafah. Negeri penja-

jah Eropa begitu tamak ingin merebut wila-

yah Turki Utsmani, kaum zionis menargetkan

Palestina sebagai negara barunya, Armenia

terus-menerus melancarkan provokasi, Kur-

distan dibuat membara agar melepaskan

diri, ditambah nasionalisme Arab yang di-

hembuskan kaum sekuler. Berbagai

kepentingan dan ambisi menggoyang Istan-

bul sedemikian rupa.

Tadinya Sultan tak pernah memba-

yangkan kalau Turki Utsmani dipenuhi makar

dan konspirasi. Ia baru terhenyak setelah

mengetahui menteri besar sebelumnya tern-

yata berkhianat. Duta besarnya di London

Mosorus Pasha mengadu pada Sultan bahwa

Husein Auni Pasha menerima suap yang be-

sar dari Inggris. Kemudian Sultan diberitahu

juga bahwa Turki Muda memiliki badan in-

telijen sendiri demi mendukung rencana ke-

jinya menjatuhkan khilafah.

Dihadapkan pada kondisi genting begitu,

Abdul Hamid lantas membentuk jaringan

polisi rahasia yang langsung berada di bawah

pengawasannya. Anggota intelijen ini

kemudian berkerja mencari data dan infor-

masi terkait ancaman dan bahaya terhadap

negara. Mereka bergerak laiknya mata-mata

dan berbaur dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari. Di jalan-jalan, di sekolah, di pen-

erbitan, maupun lembaga-lembaga swasta.

Hasilnya, didapatilah data-data rahasia dan

bukti-bukti keterlibatan mereka yang

melakukan makar. Baik dari aparatur negara,

kalangan militer, keluarga kerajaan, kaum

sekuler, warga Nasrani dan Yahudi, maupun

warga asing. Mereka yang bersalah meneri-

ma hukuman yang setimpal sesuai keja-

hatannya. Meski demikian tak seluruh

laporan intelijen ia terima bulat-bulat, Abdul

Hamid selalu memeriksa tiap kasus dengan

teliti sebelum memutuskan perkara.

Sultan sangat berhati-hati dalam

menaruh kepercayaannya. Bisa jadi orang

Tanda Tangan Abdul Hamid II

53

24. Zain Nuruddin Zain, Nusyû` al-Qaumiyyah al-‘Arabiyyah ma’a Dirâsah Târîkhiyyah fî al-‘Alâqât al-‘Arabiyyah al-Turkiyyah, (Beirut: Dâr al-Nahar, cet. II, 1972), hal. 56.

25. Murad V adalah abang tiri Abdul Hamid, naik tahta menggantikan Abdul Aziz. Namun Murad V terkena sakit jiwa hingga dilengserkan, setelah sembuh beberapa pendukungnya berusaha mengangkatnya kembali jadi sultan menggantikan Abdul Hamid.

26. Al-Sayyid Muhammad al-Daqn, Op.cit., hal. 116.

yang selama ini ia percaya rupanya bekerja

untuk musuh. Istanbul seakan-akan dikeli-

lingi mata-mata musuh yang siap melumat

tahtanya kapan saja. Saking mencekamnya,

pada 30 Oktober 1878, Abdul Hamid bicara

terus-terang pada atase militer di Kedutaan

Perancis di Istanbul, “Negeri ini adalah

negeri makar dan konspirasi, bagaimana

mungkin satu orang sanggup berjuang dan

melawan semua manusia?”24

Diantara beberapa peristiwa yang

mengancam kedudukannya adalah ketika

beberapa orang Turki Muda mencoba

melakukan kudeta terselubung menurunk-

annya untuk digantikan Murad V.25 Kemudi-

an pada 21 Juli 1905, atas konspirasi Zionis

dan Armenia, terjadi percobaan pembunu-

han pada Abdul Hamid saat kegiatan rutin

Shalat Jumat. Para pemberontak telah

mengamati kebiasaan Sultan dan mengatur

bom mobil sesuai waktu. Abdul Hamid II

akhirnya selamat, ia terlambat masuk ke

kendaraannya karena mengobrol dengan

Syaikhul Islam Cemalettin Affandi. Bom mo-

bil meledak, jarak waktu dengan mobilnya

hanya berkisar 1 menit 42 detik.

Selain tudingan dinas intelijen, Abdul

Hamid kerap digambarkan sebagai diktator

yang sangat otoriter. Padahal, apa yang dil-

akukan Abdul Hamid tak lain cuma mengem-

balikan haknya yang terampas sebagai pem-

impin negara. Selama ini, sultan tak punya

kebebasan menentukan kebijakan. Bagi

kaum sekuler, posisi sultan cukup sebagai

simbol agama, sebatas mengikuti rutinitas

kenegaraan tanpa punya wewenang admin-

istratif. Di tangan Abdul Hamid, posisi sultan

kembali sebagaimana mestinya. Tak hanya

berdiam diri di Istana Yildiz, Abdul Hamid

terjun langsung menangani persoalan nega-

ra. Begitulah seharusnya, Abdul Hamid

membangkitkan lagi karisma sultan-sultan

besar Turki Utsmani.

Hanya saja, mungkin apa yang diper-

juangkan Abdul Hamid tak selaras dengan

semangat zamannya. Abad ke-19 tengah

bergelora akan ruh demokrasi dan nasional-

isme. Namun sangat tak adil mendiskredit-

kan Abdul Hamid ditengah konspirasi

menggulingkan Turki Utsmani. Padahal di

Eropa maupun belahan bumi lainnya, masih

banyak yang menerapkan sistem monarki

absolut, di mana kepala negara punya

wewenang luas mengelola negerinya.

Nashiruddin Syah berkuasa mutlak di Iran,

bahkan ia yang mengusir Jamaluddin al-

Afghani dari sana ketika Afghani menuntut

diberlakukannya sistem syura. Begitu juga di

Rusia, Kaisar Rusia memerintah dengan tan-

gan besi, represif, semena-mena dan rasis.26

Sebaliknya, dengan ijtihad politik Ab-

dul Hamid, Turki Utsmani berhasil di-

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

54

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

tangguhkan keruntuhannya lebih dari 30 ta-

hun. Jeniusnya Sultan membuat musuh-

musuh Islam kewalahan menumbangkan

khilafah. Mereka menemukan lawan

tangguh yang tak mempan dibujuk rayu. Tiap

gerak-gerik mereka tercium olehnya. Pada

masanya, provokasi Nasrani Armenia tak

pernah berhasil menggerogoti kekuatan

negara, padahal Armenia didukung penuh

Rusia, zionis, dan Eropa yang ingin menjadi-

kannya Balkan kedua. Sultan juga berhasil

memenangkan pertempuran melawan

Yunani dalam mempertahankan Pulau Kreta

pada tahun 1897.

Tentu saja, tak ada pemimpin yang

sempurna. Kesewenang-wenangan yang dil-

akukan pembantunya rasanya tak patut

ditimpakan seluruhnya padanya. Beban yang

ia pikul teramat berat, hingga akhirnya be-

liau mengajak seluruh umat ikut memanggul-

nya bersama-sama. Ikhtiar yang beliau

tempuh hingga kini masih sangat terasa, yai-

tu syiar al-Jami’ah al-Islamiyah.

Al-Jami’ah al-Islamiyah

Abdul Hamid merasa cengkraman ko-

lonial teramat kuat. Satu per satu negeri Is-

lam dijajah Eropa, dieksploitasi dan dipecah-

belah. Di tengah kemerosotan Muslimin,

menghadapi kekuatan Eropa, Rusia, dan zi-

onisme sekaligus sungguh merupakan tan-

tangan yang berat. Harus ada satu kekuatan

yang mampu menaungi kaum Muslimin,

bangkit bersatu-padu mengimbangi domi-

nasi musuh-musuh Islam. Dalam pandangan

Abdul Hamid, kekuatan itu berwujud al-

Jami’ah al-Islamiyah.

Kesatuan umat haruslah diwujudkan. Ukhu-

wah Islamiah adalah senjata ampuh

menghilangkan segala perbedaan. Tiap Mus-

lim, apapun posisi dan di manapun berada,

wajib menjaga kehormatan Islam dan

menentang keras penjajahan. Seruan kesatu-

an umat ini segera mendapat dukungan luar

biasa. Para pemuka negara, kabilah, aliran

sufi, ulama, mendukung penuh syiar Kesatu-

an Islam. Di antara mereka terdapat ulama

besar pada zamannya seperti: Jamaluddin al-

Afghani, Musthafa Kamil di Mesir, Abul Huda

ash-Shayyadi di Suriah, Abdur Rasyid Ibrahim

di Siberia, dan gerakan Sanusiyah di Libya. 27

Gelisahnya Jamaluddin al-Afghani pada

derita umat sejalan dengan ide Abdul Hamid.

Harus ada yang mampu mengangkat

keterpurukan Muslimin di tengah laju imper-

alisme. Bangkit bersama-sama melawan

penjajah. Mulailah Afghani bergerak menya-

darkan umat di seluruh penjuru. Ke mana

pun ia pergi, syiar Kesatuan Umat selalu di-

perjuangkan. Perlahan tapi pasti, dengung al

-Jami’ah al-Islamiyah kian kencang. Di mana-

mana, tak henti-henti para pemuka Muslim

membicarakannya, hal mana membuat Barat

ketar-ketir.

Diantara metode syiar tersebut adalah

pengembalian status khalifah. Selama ini,

meski Sultan disebut juga khalifah kaum

Muslimin, namun gelar itu sebatas

27. Ali Muhammad Al-Shallaby, Op.cit., hal. 453.

55

28. Muhammad Harb, Op.cit., hal. 172.

pelengkap saja. Tak ada nuansa sakral dan

agung. Penyebabnya tak lain dari perangai

penguasa Turki Utsmani sendiri. Sultan-

sultan yang berkuasa jauh dari pribadi Mus-

lim sejati. Mereka lebih suka berfoya-foya,

mabuk kemewahan, sama sekali tak peduli

betapa sengsaranya rakyat. Abdul Hamid

ingin posisi khalifah diluruskan kembali. Kha-

lifah tak ubahnya Ulil Amri sebagai pem-

impin seluruh kaum Muslimin. Tulusnya Ab-

dul Hamid pelan-pelan mendapat simpati

yang besar dari berbagai kalangan.

Selain status khalifah, Abdul Hamid

juga menempuh berbagai cara demi

menggelorakan kebersamaan Islam. Ia inten-

sifkan fungsi ulama dan dai yang terbiasa

berbicara di pelosok negeri demi menyebar-

luaskan syiar ini. Memberi pemahaman dan

penyadaran segenap Muslimin segera bang-

kit mengejar ketertinggalan. Sultan kemudi-

an mendirikan sekolah-sekolah agama dan

modern, pusat-pusat studi Islam, dan

menerbitkan buku-buku penunjang. Tak lupa

pula, pembangunan dan perbaikan masjid-

masjid di mana-mana, menghidupkan kem-

bali fungsi masjid sebagai pusat pembelaja-

ran, terutama Masjidil Haram, Nabawi, dan

al-Quds. Beliau juga mulai merangkul tokoh

Arab yang sebelumnya tak banyak diikutkan

dalam pemerintahan, bahkan ia berusaha

mewujudkan bahasa Arab sebagai bahasa

resmi negara, namun gagal karena penen-

tangan pembesar Turki. Kemudian Abdul Ha-

mid membuat sekolah khusus bagi anak-

anak pemimpin masyarakat. Mengkader

mereka sebagai calon pemimpin masa de-

pan, memberi pengajaran administratif,

pengetahuan politik dunia, dan me-

nanamkan akhlak umara teladan.

Sultan juga tak menutup mata pada

tarekat sufi—mengingat jumlah besar ja-

maahnya—, para pemukanya didekati Sultan

untuk berdakwah ke seluruh lapisan. Ada-

pun dari segi sosial dan ekonomi, Abdul Ha-

mid bekerja keras membangun jalan-jalan,

jembatan, rumah sakit, serta modernisasi

sektor pelayanan publik.28 Adapun proyek

prestisiusnya adalah pembangunan Jalur

Kereta Api Hijaz yang biaya pengerjaannya

dari hasil derma kaum Muslimin.

Abdul Hamid dan Zionisme

Digdayanya Eropa menjajah dunia mau

tak mau ikut menginspirasi komunitas Ya-

hudi. Ditambah ruh nasionalisme yang

melanda abad 19 membuat hasrat Theodor

Herzl kian menggebu-gebu. Impiannya ada-

lah menyatukan warga Yahudi yang tercerai-

berai dalam wujud sebuah negara di Palesti-

na. Padahal saat itu Palestina dihuni mayori-

tas warga Arab dan beberapa minoritas Kris-

ten dan Yahudi.

Sultan Abdul Hamid adalah orang yang

paling mengerti siasat keji zionis. Berbagai

laporan intelijen maupun masyarakat mene-

gaskan bahwa zionis tak main-main dalam

makar mereka. Namun sungguh Abdul Ha-

mid adalah pemimpin kuat dan berani. Tiga

puluh tahun lebih bertahta, sekuat tenaga ia

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

56

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

berjuang mempertahankan Palestina. Meski

ia sadar, yang dihadapinya adalah zionis. Or-

ganisasi Yahudi yang menjadi momok bagi

siapa saja. Memiliki koordinasi solid, men-

guasai pers dunia, dan berlimpah harta tak

terkira. Abdul Hamid tak gentar, meskipun

karenanya ia harus membayar harga yang

sangat mahal. Kursinya digulingkan atas kon-

spirasi zionisme lewat tangan kaum sekuler.

Hal yang jauh berbeda jika kita saksikan

pemimpin Islam dan Arab sekarang. Mereka

rela menjual kehormatan umat demi me-

langgengkan kursi jabatan. Apapun akan dil-

akukan meski itu mengkhianati agama dan

Tuhannya.

Lihatlah, berkali-kali upaya membujuk

Abdul Hamid tak mempan. Abdul Hamid

selalu membangkang memberikan Palestina

meskipun godaannya tak terkira. Suatu kali

Herzl menyuap Sultan dengan iming-iming

utang Turki Utsmani akan dilunasi, benteng

pertahanan Turki akan dipercanggih, dan se-

bagai imbalannya warga Yahudi boleh

mendirikan negara di Palestina.

Namun dengan tegas Sultan menolak

dan menjawab, “Aku takkan melepaskan Pal-

estina meski sejengkal, sebab tanah itu

bukan milikku namun milik bangsaku, yang

mereka telah berjuang dan bersimbah darah

demi meraihnya. Simpanlah uang kalian. Bila

negeriku hancur suatu hari, maka kalian bisa

mengambilnya tanpa bayaran. Namun sebe-

lum itu terjadi, kalian harus merobek dulu

jasadku, dan aku takkan sudi memberikan

tubuhku selagi aku masih hidup.”29

Ketegasan Sultan termaktub dalam

keputusannya pada tahun 1888 yang

melarang migrasi warga Yahudi Eropa ke

wilayah Turki Utsmani, khususnya Palestina.

Bahkan di tahun 1900 Sultan kembali mem-

perketat izin ziarah warga Yahudi ke tanah

suci hanya tiga bulan.

Tahun 1897, Theodor Herzl terpilih se-

bagai Presiden Zionis dalam Kongres Per-

tama Zionis di Basel, Swiss. Selanjutnya ia

gunakan segala cara agar Sultan bertekuk

lutut padanya. Penolakan Sultan membu-

atnya berpaling pada Kaisar Jerman Wilhelm

II— satu-satunya sekutu Sultan di Eropa—

untuk ikut membujuk Sultan, namun upaya

itu gagal juga. Ketika merasa tak berdaya

dengan keteguhan Abdul Hamid, Herzl lantas

berkata, “Aku sudah putus asa mewujudkan

cita-cita negara Yahudi di Palestina, kita tak-

kan bisa memasuki tanah yang dijanjikan

sepanjang Sultan Abdul Hamid masih

berkuasa.”

Herzl bahkan terang-terangan

menggunakan taktik adu-domba untuk

menghancurkan khilafah, “Berdasarkan

perbincanganku dengan Abdul Hamid, tak

mungkin meruntuhkan Turki kecuali peta

politiknya berubah haluan atau Turki

terseret perang besar yang membuatnya ka-

lah telak, atau dengan cara merusak hub-

29. Ahmad Nury an-Na’imy, Al-Yahûd wa al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, (Muassasah al-Risalah Dâr al-Basyir, cet. I, 1997), hal. 120.

30. Ibid., hal. 147 & 158.

57

ungan internasionalnya, atau dengan cara

kedua-duanya sekaligus.”30

Zionis tak lagi menggunakan cara-cara

persuasif pada Istanbul, sebaliknya mereka

langsung bergerak secara rahasia di Palesti-

na. Herzl merunut agenda tersembunyi Zi-

onis dengan gamblang, “Kita harus miliki

tanah Palestina perlahan-lahan tanpa perlu

menggunakan kekerasan. Akan kita perdaya

para petani dan orang-orang miskin dari

penduduk lokal untuk memperoleh peker-

jaan memadai di luar Palestina, setelah itu

lewat agen rahasia kita, tanah-tanah Palesti-

na akan kita beli meski dengan harga selan-

git, lalu Perusahaan Dagang Yahudi akan

menguasai tanah-tanah itu untuk kaum kita

saja.”31

Di samping strategi Palestina, zionis

juga mengguncang Istanbul lewat konspirasi

tingkat tinggi. Mereka aktif menggulirkan

wacana keruntuhan khilafah. Atas nama

demokrasi dan kebebasan berekspresi, Sul-

tan Abdul Hamid harus dilengserkan. Turki

Muda disusupi kalangan zionis dan freema-

sonry yang mengaburkan identitas diri

dengan memeluk Islam. Di kemudian hari,

ketika Sultan berhasil dimakzulkan, bebera-

pa petinggi militer terang-terangan

mengakui kembali keyahudian mereka.32

Pemakzulan Abdul Hamid

Pada tahun 1900-an ide-ide liberalisme

kian menjangkiti pemuda Turki, khususnya

mahasiswa akademi militer dan sekolah-

sekolah modern. Berbagai slogan dan propa-

ganda dilancarkan, entah itu pengaktifan

kembali konstitusi, pencopotan Abdul Ha-

mid, maupun pembubaran khilafah. Gerakan

Turki Muda akhirnya berkembang pesat, tak

hanya dalam satu bentuk, namun bermacam

-macam, sesuai kecendrungan dan

kepentingannya. Yang pasti, gerakan ini

bukan dimotori pemuka Muslim pada za-

mannya, sebab Turki Muda tak mengenal

landasan agama tertentu. Hal yang jamak

diketahui bahwa para pemimpinnya banyak

yang tak memeluk agama.

Sebagian Turki Muda ada yang berafili-

asi pada Pan-Turanisme,33 yang beranggapan

ras Turki adalah ras terbaik dunia. Bangsa

Mongol, Turkistan, Cina, Persia, kawasan

Balkan, Kaukasus, dan Asia Kecil, hakekatnya

berasal dari satu rumpun yakni ras Turki.

Cita-citanya menggabungkan seluruhnya da-

lam satu imperium besar yang memerintah

dunia. Selain itu, beberapa Turki Muda ter-

masuk di antaranya penganut freemasonry,

31. Ibid., hal. 148. 32. Muhammad Jalal Kasyak, Al-Qaumiyyah wa al-Ghazw al-Fikrî, (Beirut: Dâr al-Irsyad li al-Thiba’ah wa al-Nasyr

wa al-Tauzi’, cet. II, 1970), hal. 225. 33. Dinisbatkan pada Gunung Turan di Iran sekarang.

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

58

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

aktifis zionis, dan nasionalis Armenia. Dit-

ambah juga campur tangan Eropa, banyak

dedengkot Turki Muda yang mendapat per-

lindungannya, seperti Ahmad Ridha Beik

yang kabur ke Prancis sejak 1899, juga Ibra-

him Temo yang sebagian besar waktunya

dihabiskan di Eropa demi menyebarkan

pemikiran sekulerisme dan perekrutan kader

Turki Muda.34

Apapun itu, tahun 1906, masing-

masing kelompok ini meleburkan diri dan

berganti nama menjadi Organisasi Persatuan

dan Kemajuan (Jam’iyyah al-Ittihâd wa at-

Taraqqy). Kemudian tahun 1907, Turki Muda

mengadakan kongres di Paris, yang dihadiri

tokoh-tokoh pentingnya. Agendanya adalah

menentukan langkah revolusi demi

mengakhiri jabatan Abdul Hamid serta

pengaktifan parlemen dan konstitusi. Adalah

Salonika35 di Yunani Utara, kawasan paling

subur bagi Turki Muda untuk bergerak. Dari

sana wilayah Balkan dibuat bergolak

sedemikian rupa. Muncul-lah demonstransi

besar-besaran menuntut pengaktifan kem-

bali konstitusi.

Pada 24 Juli 1908—di tengah ancaman

demonstran yang akan bergerak menuju Is-

tanbul jika tuntutan tak dikabulkan—Sultan

akhirnya memberlakukan kembali konstitusi,

yang disebut juga dalam sejarah Turki se-

bagai konstitusi kedua. Tak puas di situ, para

pemberontak lantas menggagas kerusuhan

31 Maret 1909, di mana terjadi bentrokan

antarpendukung Sultan dan kaum sekuler

yang juga menyeret aparat militer. Peristiwa

tersebut dijadikan dalih kuat untuk mengku-

deta Sultan melalui sidang parlemen. Tepat

pada 27 April 1909 Abdul Hamid digulingkan

dan digantikan saudaranya Muhammad V.

Sebuah penyesalan dilontarkan oleh

Anwar Pasha, seorang pembesar Turki Mu-

da, kepada rekannya Jamal Pasha, “Kau tahu

Jamal, apa dosa kita? Karena tak mengenal

Sultan Abdul Hamid dengan benar, akhirnya

kita dijadikan alat oleh zionis, dan

tercapailah kemauan orang-orang freema-

sonry. Kita mengeluarkan jerih payah kita

nyatanya demi zionis, inilah dosa kita

sesungguhnya.”36

Argumen bahwa zionis yang men-

dalangi penggulingan Abdul Hamid diperte-

gas oleh penuturan Abdul Hamid sendiri da-

lam surat yang ia tujukan pada gurunya

Syeikh Mahmud Abu Syamat.37

“Mereka telah menekanku agar

mengizinkan didirikannya negara Yahudi di

tanah suci. Meskipun kuatnya desakan

mereka, tetap saja kutolak permintaan itu.

34. Ali Muhammad Al-Shallaby, Op.cit., hal. 489. 35. Sekarang Thessaloniki. 36. Ahmad Nury an-Na‘imy, Op.cit., hal. 228. 37. Syeikh Abu Syamat adalah Syeikh ternama Tarekat Syadziliyyah di Damaskus. Suatu ketika ia mengunjungi

muridnya Ragib Ridha Beik, menjabat Kepala Istana Sultan, di Istanbul. Abdul Hamid akhirnya berjumpa dengan Syeikh yang membuat Abdul Hamid begitu mengaguminya. Selanjutnya Sultan diangkat murid oleh Syeikh Abu Syamat.

59

38. Ditulis tahun 1911 dari tempat pengasingan Abdul Hamid di Salonika. Surat dengan tulisan tangan ini disem-bunyikan sekian lama kemudian diterjemahkan dari bahasa Turki ke bahasa Arab oleh Syeikh Ahmad al-Qasimy, mantan Direktur Wakaf Republik Suriah. Lalu dipublikasikan oleh Said al-Afghany di majalah Araby vol. 169 Syawwal 1392/Desember 1972, hal. 155-156. Dengannya, makin teranglah alasan dicopotnya Abdul Hamid. [Al-Sayyid Muhammad ad-Daqn, Op.cit., hal. 118].

Lalu mereka membujuk dengan 150 juta lira

emas, namun kutolak juga, dan lantas kuberi

jawaban tegas, ‘Meskipun kalian bayar

dengan emas seluruh dunia, tetap saja tak

bisa kutanggung beban ini, sepanjang 30 ta-

hun aku berkhidmat pada Islam dan umat

Muhammad namun tak pernah aku men-

coreng lembaran Muslimin.’ Setelah jawa-

banku ini, mereka sepakat melengserkanku

dan mereka sampaikan padaku bahwa aku

akan diasingkan ke Salonika, maka biarlah

kuterima beban terakhir ini. Puji syukur pada

Allah aku tak membawa alam Islami dengan

aib yang kekal ini, jika saja sampai berdiri

negara Yahudi di tanah suci Palestina.”38

Sejak kudeta pada dirinya, Abdul Ha-

mid diasingkan ke Salonika, Yunani Utara.

Pada tahun 1912, karena Perang Dunia I, Ab-

dul Hamid dikembalikan ke Istanbul dan

menetap di Istana Beylerbeyi hingga

wafatnya tahun 1918. Sepeninggal beliau

Turki Utsmani dikuasai kaum sekuler, se-

mentara khalifah hanyalah simbol negara

semata. Tahun 1924, khilafah benar-benar

dibubarkan oleh Musthafa Kemal Ataturk,

suatu hal yang paling dicegah Abdul Hamid

sepanjang ia menjabat.

C. PENUTUP

Merindukan Pemimpin Berani

Lebih satu abad sudah sejak terakhir

kali Abdul Hamid memimpin kaum Muslimin.

Dunia sekarang semakin kompleks dan ben-

turan peradaban kian tak terelakkan.

Sedihnya, kondisi kaum Muslimin tengah

dilanda keterbelakangan yang akut. Bebera-

pa yang ekstrim malah melabeli predikat

Muslimin tak ubahnya beban bagi perada-

ban dunia. Dianggap tak mampu bersaing

dalam mewujudkan kemajuan.

Setelah era kolonialisme berlalu, umat

Islam dilanda badai yang lebih dahsyat.

Dunia seakan digiring menyudutkan Islam

lewat isu terorisme. Sungguh, musuh mileni-

um ketiga ini terasa amat menyakitan! Hari

ini, kebiadaban terus terjadi di Palestina, Af-

ghanistan. Irak, Kashmir, Checnya, dan

berbagai wilayah lainnya.

Adakah di antara kaum muslimin yang

bangkit menyelamatkan agama yang lembut

ini? Siapakah sosok pembaharu yang akan

mengangkat umat dari keterpurukan?

Sungguh, betapa umat merindukannya. Me-

nanti-nanti sang pembaharu yang ‘kan mem-

impin kebangkitan, mereguk kembali ke-

jayaan zaman keemasan masa silam.

Marilah kita renungi nasehat Sultan

Abdul Hamid, “Kita kuatkan ikatan seluruh

Muslimin di mana saja, masing-masing kita

saling mendekatkan, makin dekat, dan

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

60

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

makin dekat. Sebab tak ada harapan di masa

depan kecuali dengan persatuan ini. Me-

mang waktunya belum tiba, tapi dia ‘kan da-

tang, akan datang hari di mana tiap Muslim

bangkit dengan kebangkitan yang satu, dan

dipimpin seorang lelaki yang menghancur-

kan tipu daya kaum Kafir.”39

Yang pasti, apapun itu, harga mati ke-

bangkitan tak bisa tidak, selalu lahir dari

rahim intelektual dan ilmu pengetahun. Jika

itu tercapai, maka kebangkitan ekonomi, mi-

liter, dan lainnya cuma soal waktu. Semoga,

dengan tulusnya ijtihad dan doa, pemimpin

adil itu segera datang. Hingga kebangkitan

itu tak lagi utopia, namun wujudnya adalah

keniscayaan!

D. Daftar Pustaka

Ahmad, Ismail. 1996. Al-Daulah al-

`Utsmâniyyah fî al-Târîkh al-Islâmî al-

hhhhhhkknssdjasjsHadîts, Maktabah al

-`Abikan, cet. I.

al-Daqn, Al-Sayyid Muhammad. 2005.

Dirâsât fî Târîkh al-Daulah al-

‘Utsmâniyyah, Kairo: Azhar University.

al-Hashri, Sathi’. 1960. Al-Bilâd al-

‘Arabiyyah wa al-Daulah al-

‘Utsmâniyyah, Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-

Malayin, cet. II.

Al-Shallaby, Ali Muhammad. 2006. Al-Daulah

al-`Utsmâniyyah; ‘Awâmil al-Nuhûdh

wa al-Suqûth, Beirut: Dâr al-Ma’rifah,

cet. III.

Antonius, George Habib. 1966. The Arab

Awakening, terj. Dr. Nashiruddin al-

Asad & Dr. Ihsan ‘Abbas, Yaqzhah al-

‘Arab, Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malayin,

cet. II.

Beik, Muhammad Farîd. 2006. Târîkh al-

Daulah al-`Aliyyah al-`Utsmâniyyah,

tahqiq: Dr. Ihsan Haqqi, Beirut: Dâr al-

Nafais, cet. X.

Harb, Muhammad. 1410 H/1990 M. Al-

Sulthân Abdul Hamîd al-Tsânî,

Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I.

Hourani, Albert. 1968. Arabic Thought in the

Liberal Age, terj. Karim ‘Azqul, Beirut:

Dâr al-Nahar.

Kasyak, Muhammad Jalal. 1970. Al-

Qaumiyyah wa al-Ghazw al-Fikrî, Bei-

rut: Dâr al-Irsyad li al-Thiba’ah wa al-

Nasyr wa al-Tauzi’, cet. II.

Mansy, Mahmud Shalih. 1978. Harakah al-

Yaqzhah al-‘Arabiyyah fî al-Syarq al-

Âsiyawî, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, cet.

III.

McCullogh, Francis. Sultan Beaten, The New

York Times, 25 April, 1909.

Musthafa, Ahmad Abdurrahim. 1986. Fî Ush-

ûl al-Târîkh al-‘Utsmânî, Dâr al-Syuruq,

cet. II,

39. Muhammad Harb, Mudzâkkirât al-Sulthân Abdul Hamîd ats-Tsânî, hal. 24.

61

Nugent, Frank S. Sidelights on Turkish Histo-

ry in 'Abdul the Damned' at the Rialto,

The New York Times, 11 Mei, 1936.

Ramsaur, Ernest E. 1960. The Young Turks:

Prelude to the Revolution of 1908, terj.

Dr Ahmad Shalih, Beirut: Dâr Makata-

bat al-Hayat.

Zain, Zain Nuruddin. 1972. Nusyû` al-

Qaumiyyah al-‘Arabiyyah ma’a Dirâsah

Târîkhiyyah fî al-‘Alâqât al-‘Arabiyyah

at-Turkiyyah, Beirut: Dâr al-Nahar, cet.

II.

Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme

Indra Gunawan

الت نظرن ألث واب على أحد # إن رمت ت عرفه فانظر إىل األدب

إن ل يكن يف فعله و اخلالئق وما احلسن يف وجه الفت شرفا له #

“Jangan melihat pakaian seseorang, kalau kau ingin

melihat, maka lihatlah perilakunya, dan tidaklah

keindahan rupa seorang pemuda membuatnya mulia,

jika tidak ada keindahan dalam perilaku dan

perbuatannya”

62

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Di-

alektis

Oleh: Abdul Ghani1

Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin,

Universitas Al-Azhar, Kairo

Email: [email protected]

ABSTRACT

Greece philosophy infiltrated historically to Islamic world since the first century of Hijri-

yah, although has reached its culmination at Abbashid periode by massif translation of Greece

manuscript to Arabic. The first subject to infiltrate is Aristotelian logics that considered as the

‗basic‘ of every philosophies—especially enclining to Peripathetics. To response this accultura-

tion, Islamic scholars have debated and divided into two groups at least. The first, is what Al-

Ghazali, the great Islamic scholar at fifth century of Hijriyah, representates as Mutakallim and

Ushuly who has expedited many critics to this philosophy, moreover to patch a deviate label to

Peripathethics Philosophers. And the second, is Ibn Rusyd/Averroes who representates as

‗advocate‘ of Aristotelian philosophy;

Keyword: paripathetics, logics, argumentations, debated, existence

ABSTRAK

Filsaofat Yunani masuk ke Dunia Islam pada abad pertama hijriyah. Filosofi tersebut

mencapai masa puncak kegemilangannya pada masa Daulah Abbasiyah setelah digalakannya

penerjemahan secara besar-besaran, terutama pada masa Khalifah Abbasiyah al-Ma‘mun.

Filosofi Yunani yang pertama masuk ke Dunia Islam adalah Logika Aristoteles yang dianggap

sebagai pondasi dari setiap filosofi terutama menurut Para Filosof pengikut Aristoteles. Untuk

menjawab pendapat tersebut, para ilmuwan islam telah berdebat dan akhir terbagi menjadi dua

kelompok. Yang pertama adalah golongan Imam Ghazali, seorang llmuwan Besar Islam pada

tahun kelima Hijriyah, yang biasa disebut sebagai Mutakallimin atau Ushuly. Mereka menyam-

paikan kritik-kritik terhadap filsafat tersebut. Bahkan mereka memberi label bahwa para penga-

nut Filsafat Aristoteles tersebut telah golongan yang menyimpang dari kebenaran. Dan yang

kedua adalah Ibn Rusyd yang dianggap sebagai ―pengacara‖ dari Para Filosof pengikut Aristo-

teles.

Kata kunci: bergerak, logika, argumentasi, debat, keberadaan

1. Mahasiswa tingkat III, Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat, Universitas Al-Azhar. Saat ini tercatat sebagai aktivis kajian Said Aqil Siradj (SAS) Center.

63

PENGANTAR

Filsafat, dalam pergolakannya ia sering

kali ditandai dengan permainan-permainan

logika yang tak kenal letih dan tak kenal le-

lah. Tatkala sebuah tesis muncul, maka

seketika itu pula dengan sendirinya anti-tesis

ikut muncul untuk kemudian menandingi

tesis sebelumnya. Sedari hal itu terjadi,

secara tiba-tiba dalam ruang dan waktu, sadar

ataupun tak sadar, sintesa-sintesa kecil mulai

dimunculkan ke permukaan atas hasil dialek-

tika antara tesis dan anti-tesis tersebut. Na-

mun dikemudian hari sintesa-sintesa tersebut

mulai digugat oleh filosof di generasi beri-

kutnya, lantaran sintesa yang dihadirkan pada

waktu itu diaggap tidak relevan dengan sinte-

sa yang dimaksud oleh para pemukanya.

Sebuah nama yang layak untuk dihadir-

kan disini, yaitu Abu Nasir Muhammad bin

al-Farakh al-Farabi (870-950 M). Konon,

filosof kelahiran Uzbekistan ini mempunyai

sebuah tesis yang berperan sebagai jembatan

penyelamat dari jurang pemisah antara akal

dan wahyu. Tesis ini yang kemudian disebut

sebagai piranti untuk mengharmonisasikan

antara keduanya. Dalam perspektif Al-

Farabi, antara akal dan wahyu tidak ada

perbedaan jika ditinjau dari sumbernya.

Perbedaannya hanya terletak pada masing-

masing orientasi, jika agama orientasinya

memberi kepuasan, sedangkan filsafat mem-

berI keyakinan.2

Selanjutnya, dalam latar waktu yang

selalu berevolusi, dengan seketika itu pula

manusia mulai menggunakan nalar-nalar

logikanya; Abu‗Ali al-Husayn bin ‗Abdullah

bin Sina (980-1037 M), yang kita kenal

dengan dengan sapaan Ibnu Sina, mulai hadir

dan menjelma dengan ―hantu‖ pemikirannya.

Ia ikut meng-amini sintesa yang lahir dari

rahim pemikiran Al-Farabi. Ibnu Sina beru-

jar; bahwa syariat Tuhan yang mengandung

kuasa otoritatif atas manusia, mengambil hak

atas filsafat untuk menegaskan identitas

syariatnya lewat dalil-dalil rasional, begitu

juga sebaliknya: filsafat mengambil hak dari

agama, sebagai upaya memposisikan dirinya

untuk ikut andil membangun dan menguat-

kan agama Tuhan.3

Namun, sintesa-sintesa yang dimuncul-

kan atas hasil analisa kedua filosof ini,

dikemudian hari mendapat gugatan yang san-

gat kuat, bahkan tidak hanya itu, analisa dari

keduanya dianggap tidak relevan dengan apa

yang dipahami lewat pintu agama yang bersi-

fat dogmatik, kedua filosof ini terlalu mem-

posisikan akal dalam porsi yang lebih, kalau

dalam pemaknaan yang radikal, mereka terla-

lu menuhankan akal.

Disini Imam Ghazali adalah ilmuan

pertama yang menyerang filsafat lewat

bukunya “Tahâfut al-Falâsifah”, bahkan

sampai pada taraf pengkafiran. Dengan se-

mangat dan rasa keingintahuannya, ia be-

rusaha mencari jalan untuk mengembalikan

lagi akal pada posisinya. Memang, dalil-dalil

yang digunakan untuk menguatkan argumen-

tasi, tidak ada yang murni berdasar atas teks,

sekalipun ia adalah ahli kitab, semua argu-

mentasi baik yang di pakai ilmuwan mutaka-

lim atau para filosof adalah dalil rasional dan

serupa rasional yang hampir mempunyai

nilai kesamaan dengan teks (musabbah bil al

-naqli). Hal ini bisa kita identifikasi pada

pribadi Al-Ghazali, ketika ia mempelajari

2. Muhyiddin As-Shofy, Qadhiah at-Taufik baina al-din wa al-Falsafah, (Cairo: Maktabah Universitas al-Azhar, cet. II, 2010), hal 5.

3. Abu ‗Ali al-Husayn bin ‗Abdullah bin Sina, Risalah at-Thobii‟iyat li Ibnu Sina. Hal 322.

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

64

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

filsafat, ternyata ilmu kalam sudah lebih dulu

dipelajari, jadi secara otomatis ia mengkritik

habis filsafat lewat dalil rasional dan dalil

rasional yang serupa dengan teks, nash al-

Qur‘an.

Pasca diterbitkan buku Tahâfut al-

Falâsifah, memang semua orang ikut dan taat

terhadap sebuah teks yang ditulis al-Ghazali,

sehingga aktivitas filsafat di dunia timur

nyaris lumpuh, bahkan semerbaknya tidak

pernah tercium lagi.4 Dari sini timbul sebuah

pertanyaan, apakah filsafat itu benar-benar

sudah mati ketika dipukul oleh al-Ghazali,

sehingga tak ada lagi orang yang berminat

untuk menggali?

Lambat laun ternyata ia mulai me-

rangkak ke maghrib, tepatnya di Andalus fil-

safat mulai menggeliat dan menjelma kemba-

li di bawah tangan Ibnu Rusyd. Pisau ana-

lisanya yang masuk lewat pintu epistemologi,

mampu melacak sejauh mana titik kekeliruan

dalam memahami filsafat. Lewat bukunya

“Tahâfutut al-Tahâfut”, ia berusaha mencari

titik terang yang terbentang antara akal dan

wahyu, yang mana sejatinya hal ini telah ban-

yak dibincang dikalangan filosof sebelum Al-

Farabi dan setelahnya. Ibnu Rusyd melacak

permasalahan yang sengit lewat dua pintu

sekaligus, lewat bukunya Fashl al-Maqâl, ia

mengidentifikasi masalah berangkat dari akal

menuju ke wahyu, lalu lewat bukunya al-

Kasyf „an Manâhijal-Adillah fi „Aqâidal-

Millah, ia mengidentifikasi masalah

berangkat dari wahyu menuju ke rasional,

namun buku yang kedua ini lebih banyak me-

maparkan sisi epistemologinya.

Memang, Jenjang psikologis-epistemik

untuk mengkaji permasalahan yang dilalui

oleh al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadi se-

buah kewajaran apabila dilihat dari ling-

kungan disiplin keilmuan masing-masing.

Ada ada sebuah pemahaman yang menga-

takan bahwa al-Ghazali memahami filsafat

lewat ilmu kalam, kemudian Ibnu Rusyd me-

mahami filsafat lewat penggabungan dalil

antara ilmu kalam dan filsafat.Lantas,

bagaimanakah orientasi dari setiap disiplin

keilmuan itu?

PEMBAHASAN

Identifikasi Masalah Lewat Paparan

Dialektika Bahasa

Membincang persoalan orientasi dari

dialektik ilmu kalam dan filsafat adalah

merupakan problem linguistik, semiotik dan

hermeuneutik. Dalam tradisi keilmuan islam

klasik, pengetahuan mendalam tentang orien-

tasi kebahasaan adalah syarat yang mutlak

bagi seorang pengkaji. Dalam kenyataannya,

teks yang merupakan fakta-fakta linguistik

itu diberlakukan sebagai yang tak terbedakan,

bahkan emanasi dari shuhufin muthaharah,

sehingga pembacaan atau pemaknaan hanya

dimungkinkan bagi mereka yang dianggap

alim, al-râsyihûna fi al-‟ilm.

Begitu juga dengan ilmu kalam, ia ada-

lah teks bahasa arab yang telah dibakukan

kedalam bahasa Indonesia, kalau dalam

istilah Arkoun adalah telah diangkat dalam

status Corpus resmi tertutup, tidak ada yang

bisa mengintervensi lewat jalan apapun.

Ilmu kalam, atau biasa kita sebut ilmu

Ushûl al-Dîn adalah ilmu yang sangat diang-

gap penting dalam tradisi Agama Islam.Imam

Taftazani mengartikan, bahwa ilmu kalam

adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah

agama lewat piranti dalil keyakinan.5

4. Thablawy Mahmud Said, Mauqif Ibn Taimiyyah min Falsafah Ibn Rusyd, (Matba‘ah al-Amanah, 1989) hal 18.

65

Kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Sunandaji

menambahkan, bahwa ilmu kalam adalah

sesuatu yang menghubungkan kepada agama

yang dibawa oleh seorang imam—Nabi Mu-

hammad—baik itu dengan pelantara pema-

haman yang bersifat partikular atau pema-

haman yang sifatnya umum.Sama saja pema-

haman itu dari agama yang berupa kenyataan

seperti perkataan ahlul haq, atau sebaliknya;

perkataan yang sifatnya jauh dari kenyataan,

seperti itulah Abdul Qadir berujar. Dari sini,

bisa kita tarik beberapa pemahaman;

Pertama; ilmu kalam adalah ilmu yang

membahas tentang penjelasan dan penetapan

asal agama, sementara kalau dibidik dari segi

cabang, ia menetapkan kaidah-kaidah untuk

menetapkan asal agama lewat dalil-dalil

cabang. Kedua; dari yang pertama kita ambil

abtraksinya: apabila benar-benar demikian

adanya, maka ilmu kalam adalah ilmu yang

mempunyai kedudukan tertinggi atas setiap

disiplin ilmu, maka secara langsung ataupun

tak langsung, ilmu kalam harus berdialektik

(hubungan saling mempengaruhi) terhadap

semua disiplin keilmuan yang ada, karena

memang agama sifatnya mengintervensi pada

setiap disiplin keilmuan yang ada.

Lain halnya dengan filsafat, dalam

tradisi intelektual Islam bisa kita temukan

tiga istilah umum yang diperuntukan filsafat.

Pertama; istilah hikmah, yang tampaknya

sengaja dipakai agar terkesan bahwa filsafat

itu bukan barang asing, akan tetapi berasal

dari dan bermuara pada al-Qur‘an, misalnya,

menulis bahwa hikmah berasal dari Allah,

dan diantara manusia yang pertama dianugra-

hi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-

Hakim.

Demikian pula al-Kindi, yang men-

erangkan bahwa ‗falsafah‘ itu artinya hubb al

-hikmah (cinta pada kearifan).6 Sementara

Ibnu Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah

kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil

menangkap makna segala sesuatu dan mam-

pu menyatakan kebenaran dengan pikiran

dan perbuatannya sebatas kemampuannya

sebagai manusia. Siapa berhasil menggapai

‗hikmah‘ sedemikian, maka ia telah

mendapat anugerah kebaikan berlimpah.

Demikian ujar Ibnu Sina.

Sudah barang tentu tidak semua orang

setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali

termasuk yang menentangnya.Ia tidak setuju

terhadap tesis yang ditawarkan oleh Ibnu Si-

na. Menurutnya, lafaz ‗hikmah‘ telah disalah

gunakan demi kepentingan para filosof, kare-

na ‗hikmah‘ yang dimaksud dalam kitab suci

al-Qur‘an itu bukan filsafat, melainkan

Syari‗at Islam yang diturunkan Allah kepada

para nabi dan rasul.

Selanjutnya adalah istilah falsafah,

yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui

terjemahan karya-karya Yunani kuno. Defin-

isinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah

ilmu yang mempelajari hakikat segala perka-

ra sebatas kemampuan manusia.7 Filsafat te-

oritis mencari kebenaran, manakala filsafat

praktis mengarahkan pelakunya agar ikut

kebenaran, maka filsafat merupakan usaha

manusia mengenal dirinya dan

Tuhannya.Demikian tulis al-Kindi.

Kamudian ada istilah lain, yaitu „ulûm

al-awâ‟il yang artinya ‗ilmu-ilmu orang za-

man dulu‘. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari

peradaban kuno pra-Islam seperti India, Per-

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

5. Said Abdul Latif Fudah, Mauqif Ibnu Rusyd Al-Falsafi min Ilmi al-Kalam. (Yordan: Dar El-Fathliddiraasaat wa al-Nasr, cet. I, 2009), Halaman 65.

6. Ibid. Hal 70.

66

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

7. Ibid. Hal 71.

sia, Yunani dan Romawi. Termasuk dian-

taranya ilmu logika, matematika, astronomi,

fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.

Dari paparan istilah di atas, sedikit ban-

yaknya dapat memberi gambaran bagaimana

orientasi dari kedua kata tersebut. Ketika

meninjau satu permasalah dari jalan yang

berbeda, maka secara otomatis akan

menghasilkan sintesa yang berbeda pula. Na-

mun jikalau ada pertentangan antara keduan-

ya, disana terjadi beberapa kemungkinan, di-

antaranya; ketika hasil dari pemikiran ilmu

kalam yang mana adalah sebuah manifestasi

dari al-Qur‘an, dan hasilnya menjurus ke A,

kemudian filsafat ke B, bisa jadi keduanya

mempunyai nilai kebenaran, karena memang

disini tidak ada keharusan sejalan.

Seperti filsafat dalam pengertian kedua,

inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim,

yaitu filsafat yang menggiring pelakunya

kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama,

mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan se-

bagainya. Sehingga pada abad kelima Hijri-

yah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan

keras terhadap filsafat dalam karyan-

ya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau

menganggap kufur tiga doktrin filsafat: per-

tama, keyakinan filosof bahwa alam ini

kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tu-

han tidak mengetahui perkara-perkara detil;

dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap

kebangkitan jasad di hari qiyamat. Jika di-

lacak ke akar permasalahan, lantas apa yang

mendasari pemikiran al-Ghazali sehingga

sampai kepada taraf pengkafiran terhadap

para filosof?

Identifikasi Masalah Pengkafiran Al-

Ghazali Terhadap Para Filosof

Pembahasan konflik yang terjadi antara

al-Ghazali dan para filosof terbilang masalah

yang sudah tidak asing lagi dalam pendengar-

an setiap orang pengkaji filsafat, dan bisa

dikatakan sebagai permasalahan yang sudah

tidak up to date lagi.Namun ketika berangkat

dari rasa keingintahuan para pengkaji filsafat

masa kini, masalah ini seolah masih hangat

untuk senantiasa diperbincangkan, bahkan

masih memiliki nilai-nilai yang sangat auten-

tik ketika melacak langsung hingga sampai

kepada para pemukanya.

Dianggap sangat penting bagi penulis,

untuk menghadirkan pemahaman-

pemahaman yang mendapat gugatan kuat dari

filosof setelah masa itu. Namun hal ini tidak

sederhana lagi ketika melibatkan banyak

sudut pandang, apakah itu sudut pandang

agama atau murni kesemuanya lahir dari ra-

sionalitas. Disini persoalannya bukan hanya

problem yang terjadi antara umat Islam saja,

tapi cakupannya lebih luas, melibatkan in-

teraksi antara orang-orang muslim dan non-

muslim.

Persoalan disni adalah berupa percikan

api kecil yang membakar semangat umat is-

lam untuk mencari titik temu antara filsafat

dan ilmu kalam. Sejatinya, persoalan ini lahir

dari tesis para pemuka filosof yang diadopsi

oleh filosof Islam, yang mana tesis-tesis yang

diadopsi itu lahir dari rahim pemikiran filosof

lain yang notabenenya adalah non-muslim.

Disni, ketika berusaha melemparkan tesis

tersebut ke ranah yang paling eksplisit—

teologi—, maka ia harus mengambil konsek-

uensi imajinatif yang bersifat komunal, sep-

erti yang telah dipaparkan di atas, bahwa

ranah teologi yang dibangun atas ilmu kalam,

mesti berdialektika terhadap filsafat.

67

Namun, ada sesuatu yang luar biasa

dan tampaknya sangat menarik ketika penulis

melihat dan memperhatikan sosok al-Farabi.

Dalam analisanya, ia mengupayakan untuk

mencari titik temu antara akal dan wahyu. Ia

berangkat dari rasa takjubnya terhadap para

filosof Yunani—Plato dan Aristoteles—, se-

hingga membuatnya semakin terpesona un-

tuk terus mendalami filsafat. Kekagumannya

ini terabadikan dalam risalahnya al-Jam‟u

Baina Ra‟yai al-Hakîmaini;

مب انمبذعبن انفهسفة انمىشئبن ألانب أصنب انمتممبن

ألاخرب فرعب, عهيمب انمعل في قهيلهللب كلاليلرلب

انيمب انمرجع في يسيرب خطيرب, مب يصلذ علىللملب

في كم فه إومب األصم انمعتمذ عهي نخهي مه انشائلب

انكذ

―Mereka berdua-Plato dan Aristo- adalah

orang-orang yang menciptakan ilmu filsafat,

mereka menumbuhkannya dari akar-akarnya,

dan menyempurnakannya hingga ke ujung-

ujungnya, dan dari merekalah perkara-

perkara filsafat itu berasal, baik itu sedikit-

nya, banyaknya, sulitnya, ataupun mu-

dahnya‖.

Seperti itu kesimpulan al-Farabi ketika

berpendapat tentang kedua filosof beken ini,

sehingga ia berkeyakinan, persoalan apa saja

dalam filsafat yang datangnya dari kedua

filosof ini, maka itulah hakikat filsafat yang

sebenarnya. Dari sini analisa al-Farabi mulai

bermain, bagaimana caranya menarik sintesa

yang lahir dari kedua filosof ini ke ranah aga-

ma, kemudian mengharmonisasikan antara

keduaya. Bagaimana pula menyatukan nilai

kebenaran yang tampak dari dua sisi?

Hakikat murni, bahwa filsafat dan agama

mempunyai nilai kebenaran yang sama, se-

mentara kebenaran dan kebenaran itu tidak

bertentangan, akan tetapi saling menguat-

kan.8

Disini penulis berusaha melacak duduk

permasalahannya lewat konflik yang ditim-

bulkan dari pemahaman tentang alam ini

qadîm. Al-Qur‘an telah berbicara tentang

penciptaan alam, diantaranya: “Segala puji

bagi Allah Yang telah menciptakan langit

dan bumi dan mengadakan gelap dan ter-

ang…”.9 kemudian dalam surat lain; “Dia-

lah Allah yang menciptakan untuk kalian

segala yang ada di bumi, kemudian beranjak

ke langit, maka Dia menyempurnakannya

(menjadi) tujuh (lapis) langit. Dan Dia, ter-

hadap segala sesuatu, Maha Mengetahui.”10

Dan satu ayat lagi yang berbicara tentang

penciptaan langit dan bumi; “Allah Pencipta-

awal langit dan bumi, dan bila Dia berke-

hendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka

Dia hanya mengatakan kepadanya:

"Jadilah", maka jadilah ia”.11

Dari paparan ayat diatas, menunjukan

bahwa secara mutlak alam ini diciptakan,

yang terbentuk dari berbagai unsur sehingga

tergambar jelas alam seperti yang kita saksi-

kan sekarang. Bertolak dari sini, ilmuwan

teologi sepakat bahwa alam ini baru (hâdits),

yang Allah ciptakan dari ketiadaan murni.

Kiranya seperti ini petunjuk yang telah dida-

tangkan dari rahim agama islam, dan dari

setiap agama samawi pada umumnya.

Kemudian, dari sini para filosof is-

lam—seperti al-Farabi, menghadirkan sintesa

-sintesa para filosof terdahulu kedalam ranah

agama. Sebut saja Plato, ia adalah salah

seorang pegiat dan pengkaji filsafat yang no-

tabenenya seorang non-muslim. Pada abad

427 SM, ia mulai menjelma dengan tesisnya

8. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, “Fashl Al-Maql Fiima Bain al-Hikmah wa al-Syari‟ah min al-Itishol”. Tahqiq: Dr. Muhammad Imaroh, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. III), Hal 96.

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

68

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

yang berbunyi; alam ini adalah qadîm dengan

alasan bahwa alam terbuat dari materi-materi

yang mempunyai potensi qadîm. Tesis ini

hampir sama dengan bunyi tesis Aristoteles,

ia juga berpendapat demikian, namun dalam

analisanya, alam ini qadîm karena terbuat

dari materi, gambaran dan dan waktu yang

qadîm pula.12 Logika-logika semacam ini,

adalah sebuah upaya untuk memahami dan

menetapkan adanya sang pencipta, dzat

Wâjib al-Wujûd, lebih jelasnya akan dibahas

tuntas dalam studi kasus di akhir.

Dalam analisanya, Aristoteles

menggunakan dalil gerak (al-harokah). Da-

lam ilmu Fisika, segala sesuatu yang ada di

bumi adalah merupakan hasil dari adanya

energi gerak, kemudian ketika ada gerak,

maka ia senantiasa membutuhkan ruang dan

waktu. Disini seorang pengkaji dituntut untuk

terlebih dulu memahami apa itu ruang?, dan

apa itu waktu?.

Konsep ruang yang telah menjadi per-

hatian banyak filosof dan ilmuan di sepan-

jang sejarah umat manusia, digunakan secara

berbeda dalam berbagai bidang kajian, seper-

ti filsafat, matematika, astronomi, psikologi

dll. Sehingga sulit untuk memberikan suatu

definisi universal yang jelas dan tidak kontro-

versial tanpa memandang konteks yang

sesuai. Terdapat pula ketidaksepahaman

mengenai apakah ruang itu sendiri dapat

diukur atau merupakan bagian dari sis-

tem pengukuran. Ilmu sendiri menganggap

bahwa ruang adalah suatu satuan fundamen-

tal, yaitu suatu satuan yang tak dapat didefin-

isikan oleh satuan lain.

Sedangkan waktu adalah seluruh

rangkaian proses, perbuatan atau keadaansaat

berlangsung. Dalam hal ini skala waktu

merupakan interval antara dua buah keadaan

atau kejadian, atau bisa merupakan lama ber-

langsungnya suatu kejadian.

Memang, secara utuh untuk mengupas

habis permasalahan ini sedikit banyaknya

dituntut untuk membaca sains, tapi tampak-

nya hal ini terlalu melebar jika penulis papar-

kan disini. Kembali lagi ke permasalahan

pertama, yaitu pemahaman tentang gerak

(harokah). Gerak ini dalam analisa Aristo-

teles sifatnya adalah qadîm, ketika gerak itu

sendiri qadîm, maka posisi alam yang men-

jadi penggerak, adalah lebih qadîm juga dan

bersifat ajali.

Dalam memecahkan persoalan ini, ali-

ran filsafat Neoplatonis menghadirkan teori

―emanasi‖13 yang berbunyi; dari wujud Tu-

han yang maha sempurna (mabda‟al-awwal

al-kamil) kemudian memancarkan sesuatu,

kemudian mengalir menjadi materi-materi

yang ada, dengan syarat sesuatu yang

dipancarkan ini adalah merupakan akal mur-

ni. Akal ini terlepas dari mabda‟al-awwal,

dalam bahasa sederhananya ia murni kosong

dari segala aktifitas berpikir, ia sama sekali

tidak mengetahui sesuatu. Disini kita bisa

menganalogikan seperti matahari yang me-

mancarkan cahayanya, atau seperti bara api

yang memancarkan energi panas.

Dalam teori emanasi al-Farabi, kemudi-

an muncul alam semesta sebagai hasil dari

pancaran yang pertama (mabda‟al-awwal al-

9. QS. Al-An‘am, ayat 1. 10. QS. Al-Baqarah, ayat 29. 11. QS. Al-Baqarah, ayat 117. 12. Muhyiddin As-Shofy, Qadhiah at-Taufik baina al-din wa al-Falsafah, (Cairo: Maktabah Universitas al-Azhar,

cet. II, 2010), hal 27.

69

kamil). Kalau tadi dalam teori emanasi Neo-

platonis, bahwasannya akal murni (a`qlual-

awwal) hasil pancaran itu sama sekali tidak

mengetahui apa-apa, akan tetapi dalam teori

emanasinya al-Farabi, ia menjadikan akal

murni itu mengetahui dan berpikir tentang

dzat Tuhan, hasilnya dari sana kemudian

muncul akal yang kedua.

Dalam perspektif hadis qudsi, Allah

berfirman: ―Yang pertama kali aku ciptakan

adalah sang akal (pertama)‖. Pada gilirannya,

sang akal—sebagai akal—berpikir tentang

Allah, sebagai hasilnya terpancarlah Akal

kedua. Proses ini berjalan terus hingga ber-

turut-turut terciptalah akal ketiga, akal keem-

pat, akal kelima, dan seterusnya hingga akal

sepuluh. Akal Sepuluh ini adalah akal tera-

khir dan terendah dalam tingkatan wujud di

alam imaterial. Proses emanasi berhenti pada

akal kesepuluh, hal ini terkait dengan

perkembangan astronomi pada era filosof

Muslim masa itu. Dari akal kesepuluh,

kemudian terpancar akal jasmai yang meru-

pakan bagian dari manusia, kemudian lagi

bumi dengan segala unsur-unsurnya.

Demikianlah tawaran al-Farabi dalam

mengharmonisasikan antara filsafat dan ilmu

kalam. Namun filsafat dan ilmu kalam tam-

paknya tidak setuju dengan tawaran seperti

ini. Filsafat sendiri, baginya tidak dijelaskan

bagaimana perkembangan akal dari akal yang

kedua beserta penguatan bahwasannya ia

adalah akal murni.

Kemudian dari persoalan agama atau

ilmu kalam, ia tidak setuju dengan paparan

teori yang tadi, karena teori itu semata men-

jadikan Tuhan membutuhkan terhadap sesua-

tu yang lain untuk menciptakan dan menga-

dakan segala bentuk yang ada dibumi.

Berangkat dari sini dan dengan alasan seperti

tadi mengundang al-Ghazali untuk melepas-

kan pukulannya terhadap filsafat dan lebih

jauhnya menyematkan tuduhan sesat.

Sebagai asumsi penulis, bahwa persoa-

lan ini muncul karena banyaknya aktivitas

filsafat Yunani masuk ke dunia Islam, tepat-

nya dimasa Abbasiyah frekuensi penerjema-

han manunskrip Yunani kuno terbilang san-

gat gencar. Persoalan yang pertama kali

dikenalkan pada umat islam adalah tentang

logika Aristoteles. Di era ini umat islam telah

mengenal logika Aristoteles sekaligus para

penentangnya; logika stocoisme, empirisme

dan sophia.14 Maka seketika itu, pencampu-

ran filsafat dengan keilmuan islam sedikit

banyaknya menuai kontroversi.

Sikap para tokoh Islam pun kerap ber-

beda terhadap logika Aristoteles. Setidaknya

ada dua kelompok yang tampak dalam me-

nyikapi hal ini. Pertama; kelompok filosof

Islam atau pensyarah warisan filsafat Yunani

yang meyakini kebenararan logika Aristo-

teles sebagai suatu kesatuan dalam berfikir

yang komprehensif, mereka adalah para

komentator yang berusaha mengharmonisasi-

kan unsur filsafat dengan persoalan teologi,

dan dikenal sebagai para pengusung nalar

paripatetik.

Kedua: kelompok Ushûliyyîn dan Mu-

takallimîn yang cenderung menolak logika

Aristoteles secara mutlak, juga kelompok

Shûfiyah—semisal al-Syahrawardi—yang

mencipta logika baru sebagai pengganti logi-

ka Yunani.15

13. Teori emanasi sebagai basis kosmologi. Artinya bahwa alam semesta ini tercipta sebagai hasil proses emanasi yang tersusun dalam hierarki-hierarki. Kemudian, dari dzat Tuhan yang maha sempurna, secara otomatis menghasilkan pancaran, berupa segala perkara yang ada di bumi.

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

70

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Sebagaimana yang penulis kemukakan

di atas, bahwasannya nalar teologi hanya

mencapai tingkat demonstratif (jadali) lewat

dalil al-Qur‘an, sementara filsafat harus ber-

sandar pada nalaritas paripatetik (burhâni).

Pada akhirnya, relasi dialektik antara filsafat

dan ilmu kalam pada masanya menjadi fakta

empiris yang tak terbantahkan. Teologi yang

sudah tercampur postulat-postulat filsafat—

terutama logikanya—juga merembet ke ranah

disiplin ilmu keislaman lain tak hanya pada

disiplin keilmuan teologi, semisal disiplin

keilmuan ushul fikih, Imam Haramain yang

dikenal sebagai ulama dari kelompok Ush-

ûliyyîn menjadikan logika sebagai pondasi

untuk membangun Ilmu ushul fikih. Namun,

pencampuran besar-besaran terjadi ditangan

muridnya, al-Ghazali. Pembahasan beri-

kutnya akan berkonsentrasi pada logika yang

dibangun al-Ghazali sebagai manifestasi dari

aliran teologi Asy'ariyah.

Studi Kasus: Eksistensi Wâjib al-

Wujûd

a. Dekonstruksi; Upaya Pembenahan

al-Ghazali

Sejatinya, sependek pemahaman penu-

lis dalam memahami upaya al-Ghazali, kon-

disi sosio-politik pada waktu itu dianggap

sangat perlu untuk dihadirkan disini sebagai

bahan pertimbangan, biar pembaca sekalian

dapat memahami betapa tak sederhananya

posisi al-Ghazali tatkala mengamati fenome-

na keilmuan sosial yang berkembang, ter-

lebih pengaruh filosof saat itu sangat luas,

terutama pengaruh al-Farabi dan Ibnu Sina.

Masa itu diskursus filsafat sangat berwibawa

di kalangan elit ilmuwan. Logika Aristoteles

menjadi tak tertandingi di masanya, me-

nyurutkan wibawa diskursus agama di tangan

para Ulama. Sehingga psikologi al-Ghazali

merasa terpanggil untuk memperbaiki dan

membenahi kondisi sosial dengan ajaran teo-

logi yang menurutnya sesuai dengan ajaran

Islam Aswaja, khususnya menurut Asy'ari-

yah.16

Masa al-Ghazali adalah masa di mana

Dinasti Saljukiyah berkuasa. Masa itu terjadi

pergolakan cukup tegang antara tiap sekte

dalam Islam termasuk filosof. Masa itu juga

mencatat persaingan ketat Fuqahâ‘ dalam

memperebutkan posisi normatif dalam

pemerintahan. Hal ini paling tidak men-

imbulkan gejolak yang luar biasa dalam

masyarakat. Mereka semakin jauh dari tun-

tunan agama dan teologi Aswaja yang murni.

Kiranya begitu kondisi sosio-politik yang

penulis pahami dari al-Ghazali.

Kendatipun demikian, tapi dalam per-

masalahan tentang dzat Tuhan, semua sekte

dalam islam mempunyai pemahaman yang

berbanding lurus, bahwa Tuhan adalah az-

aliyyah dan qadîmah. Hanya saja untuk

menghasilkan satu konklusi semacam ini,

tiap sekte mempunyai cara observasi yang

kerap berbeda. Jikalau perdebatan kaum

filosof dalam menegakan pemahaman ini me-

lalui logika paripatetik, maka kaum Hasya-

wiyyah—sebagai sekte yang mempunyai pa-

ham bersebrangan—hanya menerima kebena-

ran ini lewat teks yang bersifat dzahir, dan

silogisme akal tidak menjadi bahan pertim-

bangan.17

Meski mereka sepakat dalam konklusi,

namun observasi (istidlal) yang berbeda men-

14. T.C De Boor, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terj. Muhammad Abdul Hadi Abu Ridah, (Kairo: Maktabah Usroh, cet. II, 2010), hal 29

15. Dr. Ali Ali Sâmi Nasysyâr, Nasyatu al-Fikru al-Falsafy Fi al-Islam, (Kairo: Dâr al-Salam, cet. I, vol I, 2008), hal 112.

71

imbulkan paham yang bervarian, varian ini

terkadang sampai pada tarap penyematan la-

bel sesat terhadap sekte lain—semisal sema-

tan sesat al-Ghazali sebagai manifestasi pa-

ham Asy‘ariyah terhadap paham para

filosof—atau sebaliknya, para filosof me-

mandang argumen al-Ghazali tak mencapai

pada tarap dalil burhani. Disini jelaslah su-

dah konflik paradigma terjadi, dan pada

saatnya nanti akan beragam paham dalam

penetapan eksistensi wâjib al-wujûd, pencip-

ta alam semesta.

Mengenai konsep wâjib al-wujûd, al-

Ghazali yang mengakui pentingnya peran

logika dalam penjabaran objek-objek keis-

laman secara hakiki, mengadopsi logika Ar-

istoteles; premis minor (muqaddimah

shughrâ), premis mayor (muqaddimah ku-

brâ), dan konklusi (natîjah). Dalam pema-

haman al-Ghazali, bahwa konsep alam se-

mesta ini adalah baru, tercipta dari ketiadaan

(hadis), dan setiap yang baru pasti memiliki

sebab. Sehingga selanjutnya dapat dipahami,

bahwa alam semesta pasti memiliki sebab.

Pemahaman al-Ghazali tentang alam

semesta, jika kita terapkan pada konsep logi-

ka Aristoteles yang ia bangun tadi, maka:

premis minornya, alam semesta ini adalah

baru, premis mayornya, setiap yang baru pas-

ti memiliki sebab dan konklusinya: alam se-

mesta pasti memiliki sebab.

Kemudian dalam menetapkan eksisten-

si Tuhan, terlebih dahulu al-Ghazali men-

jelaskan tentang apa yang dimaksud eksisten-

si. Dalam pemahaman al-Ghazali, eksistensi

adakalanya dapat ditangkap dengan panca

indera (mutahayyiz), dan sebaliknya tidak

bisa ditangkap panca indera (ghair mutahay-

yiz). Yang dimaksud mutahayyiz; jika tidak

tersusun dari beberapa bagian, dalam ilmu

mantiq disebut sebagai materi terkecil suatu

benda (jauhar fard), sementara kalau ter-

susun dari beberapa bagian, maka dinamai al

-Jismatau body. Sedangkan yang dimaksud

ghair mutahayyiz; jika membutuhkan tempat

maka dinamai al-„aradl, sebaliknya jika tidak

membutuhkan tempat, maka itulah dzat Tu-

han yang maha esa.18

Dari pemahaman di atas, ilmuwan teo-

logi menggiring logika kita, bahwa Tuhan

adalah sebagai dzat yang wâjib al-wujûd,

yang tidak membutuhkan tempat atau ghair

mutahayyiz. Sedangkan eksistensi yang

lain—selain eksistensi Tuhan—adalah mum-

kin al-wujûd, eksistensinya mempunyai po-

tensi ada atau tidak.

Sebagai analisa penulis, dari paparan di

atas bahwa premis minor; dalam pemahaman

al-Ghazali alam semesta adalah baru, dan

terkonsep melalui nalar argumentatif yang

berdasar pada dua premis. Pertama, tiap jism

tak akan pernah terlepas dari perkara yang

baru (hâdits), sementara tiap yang baru ada-

lah baru pula, tak memiliki potensi kekal.

Maka, konklusinya pada premis minor, tiap

jism adalah baru.

Sedangkan premis mayor; setiap yang

baru pasti memiliki sebab, hal ini bagi al-

Ghazali adalah sebuah badîhiyyah yang seha-

rusnya tak dapat diperdebatkan. Al-Ghazali

16. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Maqâsid al-Falâsifah, (Damaskus: Mathba‘ al-dhajah, cet. I, 2000), hal 6

17. Istilah ini dikaitkan pada jumlah dalam satu kelompok yang berpegang pada kebenaran teks yang bersifat dza-hir, yang mengarah pada tasybîh dan tajsîm, seperti menggambarkan hakikat Tuhan dengan gambaran ma-khluk.

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

72

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

meyakini perdebatan yang sengit antara ilmu-

wan teologi (kalam) dengan filosof bermula

dari pemahaman tentang makna hâdits. Da-

lam pemahaman al-Ghazali, hâdits adalah

setiap perkara yang diawali dari ketiadaan

kemudian menjelma ada sebagai eksistensi.

Eksistensi ini dalam penjelmaannya membu-

tuhkan faktor (murajjih), sebagai penguat

eksistensinya, dalam hal ini yang menjadi

faktornya adalah Dzat wâjib al-wujûd.19 Dalil

ini adalah sebagai bukti bahwa premis mayor

merupakan perkara yang tak bisa diperdebat-

kan lagi.

Frase pertama adalah premis minor,

sedang yang kedua adalah premis mayor. Da-

lam kesepakatan Mutakallimîn jika dua

premis pendahuluan telah diterima maka su-

dah barang tentu konklusi yang dicapai ada-

lah keniscayaan. Demikian pembenahan al-

Ghazali terhadap filsafat dan ilmu kalam

yang berujung pada kesimpulan bahwa alam

ini adalah baru, tidak kekal.

Rekonstruksi; Upaya Paripatetik dan

Tawaran Averroes20

Bagi Ibn Rusyd, sejumlah argumentasi

al-Ghazali diatas, dalam beberapa persoalan

partikular dianggap sangat fatal karena tak

mencapai taraf burhani atau paripatetik; tak

memuaskan akal sekaligus sukar dipahami.

Teori yang dipakai al-Ghazali yang berujung

pada kesimpulan alam ini hâdits adalah

metode yang sangat komprehensif, meski

hâdits yang dimaksud disana bukan hâdits

yang dialami di alam syahid ini21

Hal yang paling mendasar, yang

ditempuh Ibn Rusyd dalam meruntuhkan ar-

gumentasi al-Ghazali, adalah berusaha mem-

buktikan kerentanan argumentasinya, yang

mana al-Ghazali banyak menyadur metode

ilmu kalam jadalî.22 ia berkeyakinan, bahwa

argumentasi yang dibangun al-Ghazali

berangkat dari tiga premis yang tak mencapai

taraf burhani. Hal ini disebabkan—dalam

pemahaman Ibn Rusyd—karena al-Ghazali

memaksakan prosesi silogisme akal untuk

menguatkan argumennya, yaitu qiyâs al-

ghâib „ala al-syâhid: menganalogikan hal

metafisis kepada sesuatu yang empiris. Ini

merupakan sebuah prosesi yang rancu bagi

para filosof, termasuk Ibn Rusyd dan paham

Aristoteles. Dalam logika Aristoteles, upaya

untuk menggapai hal yang metafisis (mâ

warâ‟ al-thabî„ah), adalah dengan cara-

menganalogikan alam empiris dengan

menggunakan silogisme akal untuk mencapai

sesuatu yang metafisis.

Jika demikian, penggunaan al-Ghazali

terhadap logika Aristoteles dalam pemba-

sisan argumentasinya mengalami absurditas,

karena analoginya terbalik—meng-qiyas-kan

alam yang ghaib pada yang syahid.

Sejatinya, al-Ghazali berargumen

demikian demi menetapkan eksistensi Tu-

han—dzat wâjib al-Wujûd. Diawali dengan

terlebih dulu membuktikan dalil tentang ke-

hâdits-an alam semesta. Dalam pembuktiann-

ya, al-Ghazali menggunakan teori al-Jauhar

al-Fard, namun argumen tersebut dalam

pemahaman Ibn Rusyd adalah argumen yang

rentan, kerentanannya terletak pada konsep

atomik yang dikembangkan al-Ghazali. Da-

lam pemahaman Ibn Rusyd, konsep al-

Jauhar al-Fard yang dikembangkan al-

Ghazali tak dapat dibuktikan secara pa-

ripatetik. Al-Ghazali hanya mampu membuk-

18. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Cairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. VII, 2007), hal 88.

19. Ibid, hal 90.

73

tikannya dengan argumen retoris yang tak

mencapai taraf burhani, ia hanya bertumpu

pada tamtsîl bayâni.23

Semisal, analogi dari ungkapan al-

Ghazali; ukuran gajah lebih besar daripada

semut, kemudian dari ungkapan ini

mengarahkan pada pemahaman, bahwa di

dalam gajah terdapat bagian yang lebih ban-

yak daripada semut. Karena andaikata tidak

demikian, maka kita tidak sah mengatakan

bahwa bagian semut lebih sedikit daripada

gajah. Disini titik kerancuan yang didapati

Ibn Rusyd dari al Ghazali tentang konsep al-

Jauhar al-Fard. Hal ini disebabkan karena

ada pencampuran ―kuantitas terpisah‖ (al-

Kammiyah al-Munfashilah) dengan

―kuantitas yang tak terpisah‖ (al-Kammiyah

al-Muttashilah).24

Dari analogi diatas, berarti ‗kuantitas

ukuran‘ gajah atau semut, sementara yang

kedua merupakan ‗kuantitas bagian‘ dalam

tubuh gajah atau semut. Padahal, secara

aturan mantiqi mâ yashduqu „ala al-

munfashilah lâ yashduqu „ala al-

muttashilah: ―kuantitas terpisah‖ semisal

analogi pada ukuran gajah yang bagiannya

lebih banyak daripada semut, tak sebanding

lurus dengan ―kuantitas tak terpisah‖ semisal

analogi ukuran gajah lebih besar daripada

semut. Oleh karenanya, maka tidak sah jika

kita mengungkapkan dengan sudut pandang

terbalik—semisal ukuran bagian gajah lebih

banyak sebagai analogi dari ―kuantitas

terpisah‖ dibalik dan ditempatkan di

―kuantitas tak terpisah—: tidak sah dalam

sudut pandang ―kuantitas tak terpisah‖ bah-

wa ‗bagian gajah‘ lebih banyak daripada

semut, dan tidak sah pula dalam sudut pan-

dang ―kuantitas terpisah‖ bahwa gajah lebih

besar daripada semut. Dengan argumen ini

Ibnu Rusyd telah benar-benar meruntuhkan

argumen al-Ghazaliakan adanya al-jauhar al-

fard. Dalam titik ini Ibn Rusyd telah mampu

membangun premis pertama yang merancu-

kan argumen al-Ghazali.

Selanjutnya, dalam premis kedua Ibn

Rusyd berusaha meruntuhkan kembali argu-

men yang dibangun al-Ghazali, yaitu teori

qiyâs ghâib „ala al-syâhid. Al-Ghazali berar-

gumen bahwa alam semesta ini adalah

hâdits, atas dasar karena terbentuk dari be-

berapa bagian terkecil yang tak dapat ter-

pecah lagi (al-jauhar al-fard) yang poten-

sinya adalah hâdits, sehingga segala jenis

yang tersusun dari yang baru, maka hasilnya

baru juga. Dalam logika ini al-Ghazali meng-

generalisir bahwa jauhar adalah hadis.

Dalam pemaparan diatas, al-Ghazali

membagi mutahayyiz terbagi menjadi dua

bagian: yang tak dapat dipecah lagi (al-

Jauhar al-Fard) dan yang masih dapat ter-

pecah (al-Jism). Bagi Averroes, argumen ini

sangat rentan karena kita tak boleh menga-

nalogikan benda luar angkasa (ghaib) pada

benda bumi (syahid). Hal ini tentunya adalah

generalisir yang sangat tak ilmiah. Karenan-

ya konsep qiyâs al-ghâib „ala al-syâhid perlu

disangsikan kembali. Demikian langkah

20. Averroes, adalah sebuah madzhab yang menganut paham Ibn Rusyd dan banyak berkembang di barat, karena pada persoalan ini tokoh yang paling muncul dan banyak mewarnai peradaban dunia intelektual adalah al-Ghazali dan Ibn Rusyd, maka penulis memfokuskan bahasan relasi dialektis pada dua tokoh ini.

21. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, al-Kasf „an Manaahij al-Adillah fi „Aqaid al-Millah, tahqiq, Dr. Mahmud Qasim, (Kairo: Maktabah Anggelo al-Mishriyah, cet. II, t.t), hal 93.

22.Dr. ‗Athif al-‗Iraqi, al-Faylasûf Ibn Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqafah al-„Arabiyah, (t.k :Maktabah Usrah, cet. II, 2004), hal 64.

23. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Tahafut at-Tahafut, tahqiq Dr. Sulaiman Dunya, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. IV, 1968), hal 182

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

74

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

24. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, al-Kasf „an Manaahij al-Adillah fi „Aqaid al-Millah, tahqiq, Dr. Mahmud Qasim, (Kairo: Maktabah Anggelo al-Mishriyah, cet. II, t.t), hal 138.

kedua Ibnu Rusyd dalam upaya meruntuhkan

argumen al-Ghazali.

Bagi al-Ghazali, bahwa segala perkara

yang tak terlepas dari hâdits, maka ia adalah

hâdits pula. Hal ini bagi Ibn Rusyd adalah

premis yang kurang kokoh, karena secara tak

langsung ia menimbulkan pemahaman gan-

da: pertama, kemungkinan dapat diartikan:

segala hal yang tak terlepas dari jenis hâdits

itu tidak ditentukan mana yang tak terlepas

tersebut. Kedua, kemungkinan dapat dipa-

hami juga bahwa segala yang tak terlepas

dari hâdits, namun masih berkemungkinan

beberapa bagiannyaterlepas. Sehingga bagian

tersebut yang terlepas dari hâdits sama sekali

tak menutup kemungkinan ada bagian-bagian

tertentu yang tak hâdits, termasuk ―tempat‖.

Kemungkinan tempat tersebut adalah al-Jism

yang ditempati al-Aradl, atau sebaliknya

yang tak terhenti silih berganti (ghair mu-

tanâhiyah).25 Jika makna pertama yang di-

maksud, maka presmis tersebut benar secara

burhâni atau paripatetik, namun sayangnya al

-Ghazali lebih memilih kemungkinan yang

kedua.

Demikian kiranya prosesi yang ringkas

dalam upaya Ibn Rusyd melumpuhkan kon-

sep al-Jauhar al-Fard yang di aplikasikan al-

Ghazali dalam membasisi argumentasinya

untuk menetapkan ke-hâdits-an alam, untuk

selanjutnya menetapkan adanya sang Pencip-

ta alam semesta. Namun Ibn Rusyd mencoba

merekonstruksi kembali pemahaman tentang

metode untuk memahami adanya Tuhan, Ka-

rena baginya, selama tujuannya adalah demi

menetapkan eksistensi Tuhan, selayaknya

dilakukan langsung lewat alam raya ciptaan-

Nya. Bukan melalui cara rumit dengan mem-

perkirakan ke-hâdits-an alam.

Seorang Ibn Rusyd, dari pengalamann-

ya menbedah al-Qur‘an secara filosofis, ia

meramu konsep besarnya sebagai sintesa ba-

ru yang dimunculkan, yaitu dua terma besar:

dalîl „inâyah dan dalîl ikhtirâ‟.26 Selanjutnya

akan saya kupas lebih mendalam kedua ter-

ma ini, bagaimana cara seorang Ibn Rusyd

mengajukan proyek besarnya sebagai ganti

atas logika yang telah dibangun al-Ghazali.

Dalam usahanya, Ibn Rusyd mem-

bangun konsep Dalîl „Inâyah atau al-Asbâb

al-Ghâiyah, dengan menggunakan pendeka-

tan premis-konklusi. Hal ini jelas tergambar

dalam pernyataannya berikut:

―Adapaun metode pertama, maka ia

terbangun melalui dua landasan: pertama,

bahwa segala hal eksis yang ada di dunia

ini sesuai dengan karakteristik dan watak

eksistensi manusia. Kedua, kesesuaian ini

adalah kepastian (dlarûrah) di sisi Pembu-

atnya (Tuhan) yang bermotif (qâshid) dan

berkehendak (murîd). Hal ini karena tak

mungkin kesesuaian ini terjadi karena

kebetulan…‖27

Dari pernyatannya ini, sehingga

konklusi yang dicapai adalah keniscayaan

‗eksistensi Pelaku‘, yang menjadikan segala

yang eksis di dunia ini sesuai dengan manu-

sia.Pelaku disini adalah tak lain dari Dzat

Tuhan yang maha berkehendak, yakni sang

Wâjib al-Wujûd. Maksudnya, argumen yang

dibangun Ibn Rusyd ini adalah berusaha

mengenal Tuhan melalui beragam ciptaan-

Nya yang ada di bumi, seperti inilah yang

diyakini Ibn Rusyd sebagai metode yang

digunakan para filosof untuk memahami Tu-

han. Kemudian Ibn Rusyd melanjutkan:

75

25. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal Fiima Bain al-Hikmah wa al-Syari‟ah min al-Itishol, Tahqiq: Dr. Muhammad Imaroh, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. III, t.t). hal 41. 26. Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Ibn Rusyd Syiratu wa Fikru, Diraasat wa Nushus, (Libanon: Mârkaj Diraasat al-Wahidah al-Marbiyah, cet. II, 2001), hal 125. 27. Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Ibn Rusyd Syiratu wa Fikru, Diraasat wa Nushus, (Libanon: Mârkaj Diraasat al-Wahidah al-Marbiyah, cet. II, 2001), hal 125.

―Karena syariat yang khusus bagi para

Filosof adalah sebagai observasi terhadap

segala eksistensi. Hal ini karena Sang Pen-

cipta tak akan bisa disembah secara total

dengan penghambaan yang lebih mulia

kecuali dengan mengenali dulu segala cip-

taan-Nya, yang kemudian akan mampu

membawa pengenalan ini terhadap Dzat

pencipta secara hakiki, yang merupakan

bentuk termulia dari aktifitas manusia di

sisi-Nya.‖28

Dalam argumennya, Ibn Rusyd telah

berhasil mengaplikasikan konsep premis-

konklusi yang telah dibangun Aristoteles.

Metodenya ini dalam menjelaskan eksistensi

Tuhan, adalah merupakan bukti autentik

ketangguhannya dalam mempertahankan

disiplin keilmuan filsafat ditengah kecaman

para pembencinya. Bahkan—dalam pema-

haman penulis—sebagai koreksi atas usaha al

-Ghazali dalam membangun argumentasinya

dengan mengadopsi logika Aristoteles juga.

Kekeliruan al-Ghazali bukan terletak pada

logikanya, melainkan pada ―titik-tolak‖ da-

lam membangun argumen sekaligus men-

gaplikasikannya, yaitu dengan menggunakan

pendekatan qiyâs al-ghâib „ala al-syâhid,

yang mana pendekatan ini adalah sebuah

pendekatan yang tak sebanding lurus dengan

pemahaman filosof.

Jika saya lacak pernyataan Ibn Rusyd

tadi, untuk membuktikan bahwa argumenta-

sinya berbanding lurus dengan logika Aristo-

teles, maka: ungkapannya bahwa―alam se-

mesta dengan segenap isinya sesuai dengan

manusia‖ adalah premis minor. Sedang

ungkapan ―segala perkara yang sesuai

dengan setiap bagiannya dan dengan satu

karakter demi mencapai satu tujuan tertentu

yang sistematis, pastilah merupakan ciptaan‖

adalah premis mayor. Sehingga konklusi

yang dihasilkan adalah ―alam pasti dicipta

dan memiliki Pencipta, yakni Tuhan dzat

Wâjib al-Wujûd‖.

Kemudian dalil yang kedua, yang dipa-

kai Ibn Rusyd dalam mematahkan argumen

al-Ghazali adalah dengan menggunakan dalil

ikhtirâ‟, yaitu sebuah konsep yang bermuara

pada logika Aristoteles juga. Hal ini terbaca

jelas dalam ungkapannya:

―Adapun dalîl ikhtirâ‟ maka ia mencakup

penciptaan eksistensi pelbagai flora, fauna

dan angkasa raya.Metode ini terbangun

atas dua landasan yang tersimpan secara

potensial dalam fitrah setiap manusia. Per-

tama, bahwa segala eksistensi ini telah ter-

cipta. Hal ini dapat diakui secara mandiri

dalam flora dan fauna... Adapun yang

kedua, bahwa setiap ciptaan pasti mem-

iliki pencipta. Sehingga kesimpulan yang

dicapai, bahwa setiap eksistensi pasti

memiliki Pelaku dan Penciptanya...‖ 29

Dari argumentasi ini, ketika men-

imbulkan sebuah keyakinan yang mampu

mengantarkan pada kepercayaan akan eksis-

tensi Dzat Tuhan, maka sebenarnya keya-

kinan ini bersumber dari pengetahuan

mengamati segala eksistensi di dunia ini.

Artinya, dari observasi padaberbagai eksis-

tensi yang ada di alam raya, tidak hanya

dapat mengantarkan seseorang mencapai

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

76

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

28. Ibid, hal 151. 29. Ibid, hal 151.

tingkatan meyakini eksistensi Tuhan saja,

namun jauh lebih dari itu, bahkan mampu

mengenali-Nya dengan hakekat pengetahuan

yang sebenarnya.

Lewat argumennya, Ibn Rusyd telah

berhasil merekonstruksi kembali bangunan

epistemologi yang seolah telah mengalami

kekaburan pemahaman. Kritikannya tak han-

ya berhenti pada tataran argumen paripatetik,

yang mana sebagai serangan balik terhadap al

-Ghazali untuk menghancurkan argumennya,

namun ia membangun kembali ―puing-

puing‖ epistemologi yang telah hancur, se-

hingga menjadi bangunan yang lebih elegan.

Kelebihan bangunan epistemologi yang

dibangun IbnuRusyd tak hanya dari mutu dan

kualitas; karena menggunakan argumentasi

paripatetik, namun juga dari segi efisiensi;

karena dapat dipahami oleh segala tingkatan

nalar manusia, yakni dapat dipahami untuk

membuktikan eksistensi Tuhan.

Dari pemahaman diatas menyisakan

satu pertanyaan: Apakah konsep Ibnu Rusyd

ini paradoks dengan konsep Aristoteles, kare-

na yang pertama menggunakan pendekatan

Qur‘ani sedang yang kedua menggunakan

pendekatan akal? Seorang tokoh ‗Âbid al-

Jâbiri dalam hal ini sangat cantik men-

jelaskannya yang terekam dalam studinya

terhadap karya Ibnu Rusyd al-Kasyf „an

Manâhij al-Adillah. Ia menjelaskan bahwa

tak ada yang paradoks dalam hal ini. Karena

dalîl „inâyah tak lain adalah representasi kon-

sep alam (kosmos). Sedang dalîl ikhtirâ‟ ada-

lah buah dari konsep pembuatan (al-shun‟),

bukan penciptaan dari ketiadaan (al-khalq

min al-„adam) sebagaimana milik al-Ghazali.

Dalam kitab tersebut, saya kira sangat rele-

van untuk dirujuk langsung karena memuat

sedemikian banyak argumentasi yang mena-

wan; memadukan nalar dengan teks-teks al-

Quran.

KESIMPULAN

Sebagai seorang pembaca, dalam me-

nyelesaikan terma yang diusung, tentunya

sejauh mana ia membaca, maka sejauh itu

pula konklusi yang dihasilkan. Dengan

bacaan yang sangat minim, tampaknya masih

belum patut untuk menyimpulkan materi ini,

tapi mau bagaimanapun sebuah kesimpulan

sangat dibutuhkan.

Sikap al-Ghazali dalam mengadopsi

logika Aristoteles, bisa dipahami sebagai usa-

hanya untuk membentengi teologi Asy'ariyah

yang semakin surut pamornya di kalangan

elit ilmuwan. Seakan-akan ia ingin menga-

takan pada masyarakat bahwa diskursus aga-

ma—terutama teologi—tak bertentangan

dengan filsafat, meski pada akhirnya ia me-

nyerang filsafat. Namun dilain pihak, tern-

yata pemahaman al-Ghazali tak sebanding

lurus dengan apa yang dipahami Ibnu Rusyd,

terjadi kekeliruan dalam penggunaan logika

Aristoteles. Meski demikian, tak sedikitpun

menyurutkan nama besar al-Ghazali, malah

kedua tokoh ini menjadi simbol dalam kema-

juan khazanah Islam.

Pada tulisan ini, tak sedikitpun penulis

menyisakan ruang bagi sebuah keyakinan

untuk merasa paling benar; pendapat dan an-

alisis diatas sangat mungkin bisa salah. Oleh

karena itu, sebuah kritik dan masukan dari

para pembaca semua sangatlah diharapkan.

Terakhir, dianggap perlu untukmen-

gutip apa yang telah disampaikan guru fil-

safat saya, dan saya percaya sekali dengan

77

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

ungkapannya: ―janganlah engkau merasa pal-

ing benar sendiri, karena kebenaran itu tak

ada yang tak parsial. Ia ada dimana-mana,

dalam perspektif apa saja, siapa tahu yang

engkau yakini sebagai kebenaran hari ini,

lusa sudah menjadi sesuatu yang tidak benar

lagi. Siapa tahu yang engkau anggap paling

benar dalam satu bidang, ternyata dianggap

kesalahan dalam bidang yang lain. Siapa ta-

hu…!‖ Wallahu „alam bissawab[].

DAFTAR PUSTAKA

As-Shofy, Muhyiddin. 2010. “Qadhiah at-

Taufik Baina ad-din wa al-Falsafah”.

Kairo: Maktabah Universitas al-Azhar,

cet. II.

Ibn Sina, Abu‗Ali al-Husayn bin ‗Abdullah.

1998. “Risalaalah at-Thobii‟iyat li

Ibnu Sina”. Libanon: Beirut.

Fudah, Said Abdul Latif. 2009. “Mauqif Ibnu

Rusyd Al-Falsafi min Ilmi al-Kalam”.

Yordan: Dâr al-Fath liddiraasaat wa al-

Nasr, cet. I.

Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin

Ahmad bin Muhammad. “Fashl Al-

Maql Fiima Bain al-Hikmah wa al-

Syari‟ah min al-Itishol”. Tahqiq:

Imaroh, Muhammad. Kairo: Dâr al-

Ma‘arif, cet. III.

____________________________________

_________________. “al-Kasf „an

Manaahij al-Adillah fi „Aqaid al-

Millah”. Tahqiq: Qasim, Dr. Mahmud.

Kairo: Maktabah Anggelo al-

Mishriyah, cet. II.

____________________________________

_________________. 1968. “Tahafut

al-Tahafut”. Tahqiq: Dunya, Sulaiman.

Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. IV.

Mahmûd Sa‘id, Thablâwy. 1989. “Mauqif

Ibn Taimiyyah min Falsafat Ibn

Rusyd”. Matba‘ah al-Amânah, cet. I.

De Boor, T.C. 2010. “Tarikh al-Falsafah fi

al-Islam”. terj. Abu Ridah, Muhammad

Abdul Hadi. Kairo: Maktabah Usroh,

cet. II.

Nasysyâr, Ali Ali Sâmi. 2008. “Nasyatu al-

Fikru al-Falsafy Fi al-Islam”. Kairo:

Dâr al-Salam, vol I, cet. I.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Mu-

hammad. 2000. “Maqâsid al-

Falâsifah”. Damaskus: Mathba‘ al-

dhajah, cet. I

____________________________________

_________. 2007. “Tahafut al-

Falasifah”. Cairo: Dâr al-Ma‘arif, cet.

VII.

Al-Jabiri, MuhammadAbid. 2001. “Ibn

Rusyd Syiratu wa Fikru, Diraasat wa

Nushus”. Libanon: Mârkaj Diraasat al-

Wahidah al-Marbiyah, cet. II.

Al-Iraqi, ‗Athif. 2004. “al-Faylasûf Ibn

Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqafah al-

„Arabiyah”. Kairo: Maktabah Usrah,

cet. II.

Tafsir al-Qur‘an. 2013. Kementrian Agama

Republik Indonesia. Jakarta: Jam‘iyah

Quraa wa al-Hufadz.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

78

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

عاصي # شكوت إىل وكيع سوء حفظي

فأرشدن إىل ت رك ادل

ون ور هللا الي هدى لعاصي و أخب رن بأن العلم ن ور #

“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya

hafalanku, maka kemudian dia menyuruhku

untuk meninggalkan maksiat,

dan dia memberitahuku

Bahwasanya ilmu adalah cahaya,

dan cahaya Allah tidak diturunkan kepada orang

yang suka maksiat”

(Diriwayatkan dari Imam Syafi’i)

79

Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis

Abdul Ghani

ترع ذل اجلهل طول حياته من ل يذق ذل الت علم ساعة #

عليه أرب عا لوفاته ومن فاته الت عليم وقت شبابه # فكب

إذال يكونا ال اعتبار لذاته حياة الفت وهللا بالعلم والت قى #

“Barangsiapa yang belum merasakan hinanya belajar

barang sebentar, maka dia akan merasakan hinanya

kebodohan sepanjang hidupnya. Dan barangsiapa

melewatkan pembelajaran ketika masa mudanya,

maka bertakbirlah empat kali untuk kematiannya.

Kehidupan pemuda demi Allah dengan ilmu dan

ketaqwaan, jika kedua hal itu tidak ada, maka tidak

arti bagi keberadaannya”

80

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

SUNAH DAN ORIENTALISME

DALAM SOROTAN

Oleh: Roni Fajar verigina1

انمهخص

انمشآ انغخ شئب بيب ف حبح انغه ب يصذسا ارخزب انغه يشجعب ف ياجخ رحذبد انحبح.

ي انالصو أ حبفع عهب ثذساعزب رعهب انعم ثب نك جم ع اإلعالو حبضشا ف حبح انغه ف انعصس

انمبديخ. ثعذ انحشة انصهجخ انزفكك انحضبس ث انعبن اإلعالي انغح ثذأ انغح جحث ف اإلعالو

ذسط يعبن ي انمشآ انغخ رنك ثحثب ع انخهم انضعف انز ك نهغح ي خالنب أ طفئ س اإلعالو

إضعبف انجزع اإلعالي. ع انذاسع نإلعالو ي انغح انغزششل. ي انغزششل ي كزت انؤنفبد ف

انحذث انزبسخ انهغخ انعشثخ غشب. عه انشغى ي ز انجد ي لجم انغزششل عهب أ زى ثبنظشف انحطخ

ثبنغزششل حث أ رهك انؤنفبد انز كزجب ضذ لذسا ال رغزب ي انخطأ انزحشف فال ك االعزبد عهب اعزبدا

كهب

االعزششاق، انزبسخ اإلعالي، انغخانكهمبت األسبسية:

Abstrak

Al-Quran dan al-Sunnah adalah dua pedoman dari Allah yang selalu dijaga oleh Allah

dan juga Umat Islam sedunia. Dua sumber agama Islam tersebut harus selalu kita jaga, kita les-

tarikan, kita pelajari dan kita amalkan demi tetap berlangsungnya Peradaban Islam dari masa ke

masa. Di sisi lain, setelah perang salib, Dunia Kristen mengeluarkan segenap kemampuan

mereka untuk mempelajari islam demi mengetahui kelemahan Umat Islam. Dari proses tersebut

lahirlah para orientalis. Mereka mempelajari hadis, sejarah islam, al-Quran dan lain sebagainya.

Bahkan sebagian diantara mereka ada yang turut menyumbangkan kontribusi berupa buku-

buku hadis dan sejarah tentang Bangsa Arab dan Islam pada umumnya. Namun kita harus ber-

hati-hati dalam menelaah buku-buku karya orientalis tersebut menyusul beragam komentar,

respon, bahkan koreksian dari Para Ulama Islam terhadap karya-karya orientalis tersebut.

Kata kunci: orientalisme, sejarah islam, sunnah

1. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Univ. Al Azhar Ushuluddin Hadits, sedang menulis Thesis Tahqiq kitab “ Ma’ûnatul Qâri Syarah shahîh al-Bukharî ” li as-syaikh Abul Hasan al Mâliki, saran dan kritik bisa disampaikan pada email penulis: [email protected] . semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi amal salih bagi penu-lis dan orangtua penulis khususnya dan teman-teman seperjuangan. Mohon do’anya selalu.

81

PENGANTAR

Dalam konteks sumber ajaran Islam,

al-Sunnah menempati posisi kedua terpenting

setelah al-Quran dalam menetapkan hukum

Islam. Al-Sunnah2 datang sebagai penjelas,

perinci dan penguat dari hukum yang ada da-

lam al-Quran, seperti shalat yang tata caranya

hanya dijelaskan di dalam al-Sunnah. Atau-

pun perintah zakat, dimana al-Quran hanya

menyebutkan hukumnya secara umum tanpa

menjelaskan tata cara dan nisab serta hal

lainnya yang berkaitan dengan zakat,

kemudian dijelaskan oleh al-Sunnah.

Hal ini disebabkan karena al-Quran

adalah Kitab Allah yang hanya memuat ke-

tentuan-ketentuan umum, prinsip-prinsip da-

sar dan garis-garis besar masalah. Sedangkan

rinciannya dituangkan didalam Sunah Nabi.

Sebab jika tidak, sulit dibayangkan al-Quran

akan menjadi setebal apa, karena ia harus

mencantumkan semua masalah kecil dan par-

sial yang tak ada batasnya. Apalagi masalah

yang dihadapi umat manusia tak pernah ber-

henti dari waktu ke waktu. Sebagai salah satu

contoh al-Quran tidak memuat cara pembu-

atan pesawat terbang, teknik merakit komput-

er, rumus-rumus matematika. Sebab masalah-

masalah sejenis ini sifatnya temporer dan

berkembang terus menerus sesuai dengan

tingkat kemajuan peradaban umat manusia.

Akan tetapi al-Quran cukup menginforma-

sikan masalah-masalah general yang bersifat

mutlak dan tak mengalami perubahan.

Adapun masalah-masalah agama yang

tidak dirinci al-Quran, pada umumnya dapat

ditemukan di dalam Hadis Nabi. Umpamanya

aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji

yang merupakan rukun Islam, tidak dijelas-

kan rinciannya dalam al-Quran, akan tetapi

dijabarkan secara detail oleh Sunah Nabi

SAW. Demikian pula aturan muamalah dan

transaksi, pelaksanaan hukuman pidana,

aturan moral dan lainnya. Dari sini dapat di-

tangkap betapa urgennya hadis dalam ke-

hidupan berIslam ini. Tak berlebihan jika

dikatakan bahwa bagian terbesar dari konsep

Islam ini didapati dalam sunah.

Melihat urgensi Sunah dan perannya

yang esensial dalam Islam, tidak

mengherankan jika kalangan yang tidak se-

nang pada Islam berupaya dengan gigih men-

cari-cari kelemahannya, walaupun dengan

cara mengada-ada. Tujuannya adalah untuk

menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada

al- Sunnah ini. Sebab mereka memahami bet-

ul bahwa jika Sunah dapat disingkirkan dari

kehidupan umat Islam, maka otomatis Islam

tidak akan dapat tegak. Karena, mustahil

mempraktekkan Islam tanpa Sunah Nabi. Ji-

ka Sunah Nabi sudah dapat mereka sisihkan,

terbukalah peluang untuk menyimpangkanal-

Quran dan memahaminya menurut selera

masing-masing. Beginilah siasat musuh-

musuh Islam. Sebab selama ini, yang menjadi

penghalang utama mereka untuk menyim-

pangkan pemahaman al-Quran adalah petun-

juk-petunjuk Sunah yang membingkai pema-

haman terhadap al-Quran secara benar. Sela-

ma umat Islam berpegang teguh pada al-

Quran dan Sunah, maka upaya-upaya pihak

luar akan senantiasa mengalami kegagalan.

2. Yang di maksud dengan al-Sunnah disini adalah identik dengan Hadis, yaitu sesuatu informasi yang di nisbahkan kepada Nabi SAW, baik berbentuk ucapan, perbuatan, sifat, atau pengakuan. Antara Sunah dan Had-is pada hakikatnya adalah sama. Hanya saja bila ingin di bedakan, maka konotasi Sunah itu biasanya pada per-buatan Nabi SAW. Umpamanya dikatakan, berwangi-wangi dan memakai siwak adalah sunah Nabi saw. Tidak dikatakan Hadis Nabi. Sementara itu, Hadis lebih umum dari pada Sunah (lih: “Ulum al-Hadîts Wa Musthalahu-hu” oleh Dr. Subhi As-Solih, Darul-‘ilmi lil-malayin, Beirut, cet. Kesepuluh, 1978, hal. 6).

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

82

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Mereka sendiri menyadari bahwa

upaya-upaya yang mereka arahkan selama ini

-betapapun terencananya- untuk me-

lumpuhkan al-Quran akan berakhir dengan

kegagalan. Karena itu mereka ingin merubah

sasarannya kepada sumber Islam yang lain

yaitu Sunah, dengan memberikan asumsi

bahwa Sunah tidak terpelihara sebagaimana

al-Quran. Mereka lupa kalau dîn ini secara

umum dipelihara oleh Allah SWT.

Nah, kalangan yang paling berkepent-

ingan dengan masalah ini di zaman modern

ini adalah kaum orientalis (al-mustasyriqûn).

Ini terlihat dari kegigihan mereka dalam

menekuni hadis dan beberapa karya yang

mereka sumbangkan dalam disiplin Ilmu

Hadis.

PEMBAHASAN

Perang Salib dan Munculnya Oriental-

is

Berakhirnya perang salib yang ber-

langsung selama dua abad yang terjadi di

Eropa dan Asia, dan dimenangkan oleh umat

Islam, mengokohkan satu makna bagi Negara

barat, bahwa umat Islam tidak bisa dikala-

hkan dengan kekuatan militer selama mereka

berpegang teguh dengan ajaran agamanya.

Oleh karena itu para politisi barat membuat

konspirasi untuk melemahkan keyakinan

umat Islam dan menjauhkan mereka dari aga-

ma mereka yang benar. Karena itulah muncul

usaha untuk mengenal dunia Islam dan

mempelajari segala sesuatu yang berhub-

ungan dengan Islam dan Negara timur yang

kemudian dinamakan orientalisme.3

Kajian orientalisme terhadap Islam

tidak hanya terbatas pada satu atau dua bi-

dang saja. Bahkan, hampir seluruh ―rumah

tangga‖ Islam tidak luput dari riset mereka.

Ada pakar tertentu yang khusus menekuni

sistem ideologi Islam. Ada juga yang spesial-

isasinya terhadap al-Quran. Mereka

mengkritik dan menyerang al-Quran. Sebagai

contoh ialah George Sale. Orientalis yang

menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa

Inggris dan diterbitkan pada tahun 1736.

Sale, dalam mukadimah terjemahannya

mengatakan, ―adapun mengenai Muhammad,

yang pada hakikatnya sebagai penyusun al-

Quran dan penemu utamanya adalah masa-

lah yang tidak dapat di bantah, meskipun

tidak mengesampingkan bantuan yang di-

perolehnya dari orang lain yang tidak sedi-

kit. Hal ini jelas terlihat dari sikap kaumnya

yang tidak pernah diam memprotesnya

sehubungan dengan masalah tersebut.‖

Mukadimah G. Sale ini, menurut Prof. Dr.

M. Hamdi Zaqzuq, mendapat sambutan

hangat dari kalangan orientalis Barat hingga

dijiplak begitu saja oleh orientalis lainnya

yang menerjemahkan al-Quran ke bahasa

Eropa lainnya seperti Prancis pada tahun

1841. Pandangan Sale itu diyakini secara tak-

en for granted oleh orientalis dalam waktu

yang cukup panjang sebagai materi ilmiah

yang dipercaya.4

Ungkapan George Sale itu, bila kita

perhatikan tidak ubahnya seperti apa yang

dituduhkan oleh pentolan-pentolan paganis

Mekah yang diinvetarisasi oleh al-Quran sep-

erti tertera dalam surat al-Nahl ayat 103. Be-

3. Orientalisme itu sendiri berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berati terbit. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda atau isma dalam bahasa latin atau ism dalam bahasa Inggris yang berarti a doctrine, theory of system, atau pendirian ,ilmu, paham kepercayaan, dan sistem. Jadi menurut bahasa orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. (lih: kamus ilmiah popular, penerbit gita media press, cet. Pertama thn 2006, hlm. 349)

83

danya hanya dalam cara dan pola, kalau pa-

ganis Mekah melempar tuduhan itu melalui

lisan kepada Rasulullah SAW dan sahabat-

sahabatnya, sedangkan orientalis atau bisa

kita katakan ―neopaganisme Mekah‖ melon-

tarkan klaim-klaim itu melalui forum seminar

dan diskusi di ruang kuliah yang megah dan

ber-AC, melalui tulisan di dalam buku,

jurnal, leksikon, dan ensiklopedi, dengan

selubung akademik ilmiah.

Secara umum, karya-karya sebagian

orientalis yang jujur itu kita hargai dan me-

mang bermanfaat bagi sebagian peneliti, khu-

susnya pemula. Akan tetapi, porsinya harus

dilihat secara objektif tanpa dilebih-lebihkan.

Semua itu tidak ada artinya bila dibanding-

kan dengan karya ulama-ulama kita yang

klasik ataupun modern yang tidak tertampung

oleh perpustakaan manapun di dunia ini. Se-

bagai contoh beberapa karya orientalis yang

cukup bernilai adalah Ensiklopedi Hadis (al-

Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts)

yang merupakan hasil kerja kolektif sejumlah

orientalis, yang diketuai oleh A.J.

Wennsinck, dan Târîh al-Adab al-Arabî

(Sejarah Sastra Arab) karya Karl Brockel-

mann.

Karya yang pertama boleh dinilai se-

bagai hasil karya yang hebat dan dapat juga

dikatakan biasa-biasa saja. Itu tergantung

siapa penilainya. Bagi seorang peneliti pemu-

la di bidang Hadis, karya ini sudah amat

memuaskan dan cukup dikagumi, karena

disusun sedemikian rupa untuk memudahkan

peneliti atau pencari hadis untuk menemukan

hadis yang dicarinya dalam sembilan kitab

Hadis utama (Shahih Bukhari, Muslim,

Sunan Abu Dawud, Tirmidzy, Nasa`i, Ibnu

Majah, Musnad Ahmad, Muwatho` Malik,

dan Sunan Darimy). Tapi bagi sementara

ilmuan yang sudah lama bergelut dengan

Hadis, merasa tidak terlalu kaget dengan kar-

ya ini. Sebab karya semisal – dalam masalah

indeks Hadis – telah berabad-abad sebe-

lumnya disusun oleh Ulama Hadis. Dian-

taranya ensiklopedia yang cukup kesohor

Jâmi„u al-Ushûl karya Ibnu Atsir. Begitu ju-

ga sebuah karya besar Tuhfatu al-Asyrâf ka-

rangan al-Hafizh Al-Mizzy. Kitab Index

Hadis terakhir ini disusun berdasarkan urutan

perawi hadis (sahabat dan tabiin), bukan uru-

tan Abjad seperti metode ensiklopedia orien-

talis tadi. Kemudian, pada akhir tahun

delapanpuluhan, muncul ensiklopedia Hadis

baru dengan judul ―Mausû„atu Athraf al-

Hadîts‖ sebanyak duabelas jilid, karya Abu

Hajar Basiyuni Zaghlul, seorang peneliti sen-

ior di bidang Hadis dari Mesir. Ensiklopedia

yang mengumpulkan ribuan Hadis dari sera-

tus lima puluh referensi Hadis klasik dan

modern ini, memuat pangkal setiap Hadis

dengan urutan abjad. Setiap orang yang

mengetahui awal dari sebuah Hadis, akan

dapat menemukan teks hadis secara lengkap

beserta kitab yang menjadi sumber Hadis ter-

sebut.

Kemudian seperti diketahui banyak

ahli, bahwa orientalis dalam mempersiapkan

ensiklopedia itu tidak dapat melepaskan ban-

tuan para ahli Hadis dari kaum Muslimin,

khususnya al-Ustaz Muhammad Fu`ad Abdul

-Baqi, pakar Hadis terkemuka dari Mesir.

Dan hal itu diakui Wennsinck sendiri dalam

mukadimah ensiklopedi tersebut, betapa

mereka mengalami kesulitan tanpa bantuan

dan keahlian Abdul-Baqi. Selain dari itu, ma-

salah pencetakan karya tersebut pun men-

galami kesulitan, kalau tanpa ada bantuan

4. Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Istisyrâq wa al-khalfiyyâh al-fikriyyah li al-shura‘ al-Hadhâri, (Qatar: Al Ummah, cet. Kedua, 1983) hlm. 83

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

84

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

seorang ahli percetakan kitab-kitab Arab dari

India. Sebab ketika karya itu dikirim ke India

untuk dicetak -paling tidak separuhnya- di

penerbit Islam di India, Abdu Shamad Syara-

fuddin, direktur penerbit itu menemukan ban-

yak kesalahan dalam naskah ensiklopedia

yang membutuhkan keahliannya untuk mem-

perbaiki kekeliruan itu. Tegasnya, ensiklope-

dia karya orientalis di atas sulit dibayangkan

terbit seperti yang ada sekarang tanpa jerih

payah ahli-ahli Muslim baik dari segi skill

Hadisnya maupun pencetakannya. Tapi yang

menonjol ke permukaan adalah orientalisnya.

Karya tersebut itupun tidaklah luput

dari kesalahan ilmiah. Ternyata setelah diteli-

ti secara seksama oleh pakar-pakar Islam,

ditemukan kesalahan dalam jumlah yang tak

sedikit dalam karya besar itu. Dr. Sa‘ad Al-

Murshafi dari Kuwait, menginventarisasi

kesalahan itu dalam bukunya ―Adhwâ` „alâ

Akhthô` al-mustasyriqin‖ mencapai 479 tem-

pat khusus menyangkut shahih Muslim saja.

Karya-karya orientalis yang memutar-

balikan fakta, mendistorsi sejarah, menya-

lahpahami teks, menyusupkan kebohongan

dan fitnah, tidak bisa dihitung banyaknya.

Hal Itu bukan saja terjadi pada figur-figur

tertentu semisal Ignaz Goldzieher, tokoh ori-

entalis asal Yahudi Hongaria, yang selama

ini dikenal fanatisme anti Islamnya mewarnai

hampir keseluruhan karya-karyanya.5 Tapi

juga pada orientalis yang sementara ini

dikenal lebih obyektif seperti Karl Brockel-

mann, orientalis terkemuka dari Jerman yang

menggeluti karya-karya Ulama Islam. Ia ju-

ga terperangkap dalam sikap subyektif dan

tidak jujur terhadap Hadis dalam sebuah kar-

yanya ―Târîkh al-Syu`ûb al-Islamiyyah‖. Dia

dengan sengaja memberi kesan negatif ten-

tang Islam, khususnya Hadis, ketika memberi

komentar tentang ―badui‖ dengan cara me-

menggal teks sebuah Hadis dan tidak

menyajikannya secara utuh. Kekeliruan sep-

erti itu sulit dibayangkan muncul dari

seorang ilmuan seperti Brockelmann yang

sudah lama bergelut dengan kitab-kitab

klasik hingga melahirkan karya yang berhar-

ga ―Târîh al-Adab al-Arabî‖ (Sejarah

kesusastraan Arab). Hal itu terjadi karena

mereka masih menyimpan rasa dendam

―perang salib‖ yang tak kunjung surut.

Mereka hanya mampu bebas (dalam

artian tidak memihak) ketika berhadapan

dengan materi yang tidak ada hubungannya

dengan kajian ke Islaman. Sedang terhadap

kajian-kajian Islam, peneliti Barat tidak

mampu melepaskan subjektifitasnya sebagai

non-Muslim. Ini diakui sendiri oleh pemikir

mereka, seperti Gustav Lobon, filosof Pran-

cis dan ―moyang‖nya kaum sosiolog dan se-

jarawan Barat abad kesembilan belas, yang

menerangkan dalam bukunya ―Peradaban

Islam‖ bahwa, peneliti-peneliti Barat dalam

mengkaji masalah-masalah yang berhub-

ungan dengan Islam, akan menanggalkan

sikap netral dan objektifitas, Peneliti Barat

tanpa disadarinya akan memihak dan intol-

eran. Gambaran suram dan jelek tentang Is-

lam dan umatnya ini masih akan terus terjadi

sebagai suatu warisan ―hitam‖ yang meracuni

pemikiran dan hati mereka sejak perang salib

hingga saat ini.6

Kritik Metodologi dan kelemahan Fun-

damental Orientalis

Sebelum penulis berbicara lebih lanjut

5. Diantara karya-karyanya: Dirasât Islâmiyyah dan al-Aqîdah wa al-Syarî’ah fî al-Islâm (edisi bahasa arabnya diterjemahkan oleh Prof. Muhammad Yusuf Musa, Abdul Aziz Abd. Haq dan Dr. Ali Hasan Abdul Qadir.

85

mengenai beberapa syubhat terhadap sunah

yang dilontarkan oleh orientalis, ada baiknya

kita mengetahui beberapa metodologi mereka

dalam mengkaji Islam terkhusus sunnah nab-

awi yang saya kutip langsung dari analisa

Prof. Mushthafa Al-Siba‘i tentang metodolo-

gi orientalis. Analisa ini dirasa penting kare-

na tokoh yang satu ini pernah mengelilingi

Eropa: Prancis, Jerman, Inggris, Belanda,

Switzerland, dan Skotlandia. Dia mengunjun-

gi pusat-pusat orientalisme di Universitas

barat dan berdialog langsung dengan mere-

ka.7 Ciri khas analisis mereka di antaranya,

sebagai berikut:8

1. Berprasangka buruk dan salah mengerti

tentang masalah-masalah yang berkaitan

dengan Islam, baik tujuan dan motifnya;

2. Berprasangka buruk terhadap tokoh-

tokoh Islam, ulama, dan pembesar-

pembesar mereka;

3. Menggambarkan masyarakat Islam

sepanjang sejarah- khususnya periode

pertama itu- sebagai masyarakat yang

terpecah belah dan individualis;

4. Menggambarkan peradaban Islam

secara tidak realistis dengan mengecil-

kannya serta meremehkan pening-

galannya;

5. Tidak memahami watak masyarakat

Muslim yang sesungguhnya; mereka

hanya mengambil kesimpulan seputar

―rumah tangga‖ dan tradisi bangsa-

bangsa Muslim;

6. Memperlakukan informasi (teks) ilmiah

menurut kemauan mereka sendiri;

7. Memutarbalikkan nushûsh (teks)

dengan sengaja. Jika tidak menemukan

celah-celah untuk diselewengkan, mere-

ka mendistorsi makna yang ada;

8. Menggunakan referensi semaunya untuk

dijadikan sumber nukilan, misalnya

menjadikan buku-buku sastra sebagai

rujukan untuk mengetahui sejarah hadis

dan menggunakan literatur sejarah un-

tuk menentukan sejarah fikih. Mereka

menelan mentah-mentah (taken for

granted) segala yang dinukil oleh al-

Damiri dalam bukunya al-Hayawân.

Anehnya, mereka mendustakan riwayat

Malik dalam kitabnya Al Muwat-

6. Dr. Daud Rasyid, M.A, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam sorotan (Syaamil Publishing, cet. pertama, 2006) hlm. 124

7. Prof. al-Siba’i banyak menemui tokoh-tokoh orientalis dalam kunjungannya ke beberapa Negara itu. Yang per-tama ditemuinya ialah Prof. F. Anderson ketua jurusan hukum perdata yang berlaku di dunia Islam, di Institute Study Oriental,Universitas London. Anderson sendiri adalah alumni Fakultas Teologi Universitas Cambridge. Dia belajar bahasa arab dari beberapa ulama al-Azhar yang mengajar di American University di Cairo. Dia bela-jar Islam melalui ceramah yang disampaikan Thaha Husein dan Ahmad Amin (dua tokoh sekuler Mesir). Keben-ciannya terhadap Islam tampak dari sikapnya terhadap seorang mahasiswanya, alumni al-Azhar yang menempuh program doktor di Univesitas London yang tidak diluluskannya disebabkan sang mahasiswa mengajukan disertasinya tentang Hak-Hak Wanita dalam Islam. Saya (kata Prof. Al-Siba’i) terkejut mendengarnya dan saya katakan padanya, “mengapa Anda menggagalkannya padahal selama ini Anda menggembor-gemborkan kebebasan berpikir di perguruan tinggi Anda? Jawabnya, “karena si mahasiswa ber-pendapat bahwa Islam memberikan kepada wanita hak ini, hak itu.. padahal Islam menentukan untuk wanita hak tertentu saja. Apakah dia Jubir resmi atas nama Islam?.

8. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Al-Sunnah wa makânatuhâ fî al-Tasyri’ al-Islâmî, (Kairo: Dar As-salam, cet. Kelima, 2010), hlm. 178

(selengkapnya, pengalaman amat berharga ini dapat dibaca dalam mukadimah kita As-Sunnah wa makânatuhâ fî At-Tasyri’ Al Islâmi)

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

86

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

ta,padahal validitas kitab Al Muwatta

telah teruji di kalangan ahli-ahli hadis.

Dengan ruh inilah para orientalis me-

masuki dunia Islam dari berbagai sisi; se-

jarah, fikih, tafsir, hadis, adab, dan ke-

budayaan Islam. Kemudian dalam me-

nyusupkan misinya, orientalis Barat

menempuh beragam taktik. Ada yang

mengkritik Islam secara frontal dan terang-

terangan. Misalnya, A.J. Arberry, Alfred Ge-

om, Ignaz Goldzhier, Joseph Schacht, dan

lainnya, termasuk Steenbrink yang menga-

takan dengan jelas bahwa dia tidak percaya al

-Quran sebagai wahyu Allah. Adapula yang

bersikap agak halus seperti Noel J. Coulson.9

Dari segi metodologi, mereka telah memiliki

prakonsepsi yang merupakan doktrin agama

mereka yang ditanamkan sejak kecil bahwa

al-Quran bukan kalam Allah dan Muhammad

bukan Rasul Allah. Akibatnya, penelitiannya

diarahkan hanya untuk mendukung asumsi-

nya saja, bukan ingin mencari kebenaran tapi

pembenaran. Apalagi mereka lemah dari segi

materi keilmuan.

Para pengamat studi orientalis yang

jujur mengemukakan beberapa kelemahan

orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun, di

antaranya sbb:

1. Mereka tidak menguasai bahasa Arab

yang baik, sense bahasa yang lemah

dan pemahaman yang sangat terbatas

atas konteks bahasa Arab yang variatif

(dalâlât al-Arabiyyah al-

mutanawwi‟ah). Hal ini diungkapkan

oleh Syaikh Mustafa as-Siba‘i ketika

berjumpa dengan oreintalis terkenal

asal Cambridge, Ariry. Dia mengaku,

―Kami -sebagai orientalis- banyak

mengalami kekeliruan dalam kajian

kami terhadap Islam. Seharusnya

lapangan ini tidak kami masuki sebab

Anda -sebagai kaum muslimin Arab-

jauh lebih mampu dari kami.10

2. Perasaan superioritas sebagai orang

Barat. Ilmuwan Barat khususnya Ori-

entalis, senantiasa merasa bahwa barat

adalah ―guru‖ dalam segala hal, khu-

susnya dalam logika dan peradaban.

Mereka cenderung tidak mau digurui

oleh orang Timur, sehingga mengaki-

batkan timbulnya rasa egois. Memang

ada di antara mereka yang menunjuk-

kan sikap mau mendengar suara orang

lain, namun jumlahnya kecil dibanding

dengan orang-orang yang arogan terse-

but.

3. Orientalis Barat sangat memegang

teguh doktrin-doktrin mereka yang tak

boleh dikritik, bahkan sampai ke ting-

kat fanatis buta. Diantaranya dua dok-

trin inti, yaitu al-Quran bukan kalam

Allah dan Muhammad bukan Rasul

Allah. Doktrin itu sudah lebih dulu

9. Noel J. Coulson, Orientalis Inggris, guru besar Hukum Islam di Universitas London. Dalam tulisannya beliau mengakui bahwa sistem hukum Islam adalah sistem yang dinamis, applicable dan telah mengakar dalam sanubari umatnya. Namun disela-sela sanjungannya dalam buku A History of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan Sunah sebagai sumber hukum, Beliau berpendapat; bahwa Sunah sebagai pelengkap al-Quran pertama kali ditemukan oleh Imam Syafi’i. hal ini seperti kata Prof. Dr. Salim Al Owwa, bekas murid Coulson yang kemudian banyak “menelanjangi” pemikiran Coulson tentang hukum Islam, bahwa pemikiran tersebut sangat berbahaya. Di satu sisi, dia mengangkat ketokohan Syafi’I, di sisi lain dia mencoba untuk menghancurkan eksistensi Sunah pra Imam As-Syafi’I. padahal, rentang waktu dua abad itu justru merupakan pondasi bagi berdirinya bangunan al-Sunnah pada fase-fase berikutnya.

87

tertanam dalam pikiran mereka sebe-

lum meneliti (prakonsepsi). Akibatnya,

penelitiannya tidak objektif dan

―bebas‖. Sehingga peneliti Barat men-

elan mentah-mentah riwayat palsu,

menganggap syubhat (tuduhan palsu)

sebagai hujjah (argumentasi).

4. Banyak dari kajian-kajian orientalisme

yang terkait erat dengan kepentingan

Negara-negara tertentu yang mendanai

kajian tersebut. Percuma saja negara-

negara Barat menghamburkan uangnya

jutaan bahkan miliaran dolar hanya

untuk kepentingan ilmiah semata, ka-

lau bukan karena ada target-target ter-

tentu yang sangat berharga bagi

kepentingan mereka. Target itu bisa

bersifat politis, bisnis, strategis dan

lain sebagainya. Hal ini, seperti

diungkap oleh Prof. Ismail Al Faruqi11

dalam sebuah artikelnya pada majalah

The Contemporary Muslim, studi Islam

di Barat, khususnya di Amerika Seri-

kat, tidak pernah luput dari misi Zionis

dan Salibis. Orientalis yang mengajar

di jurusan tersebut, katanya, sebagian

besar orang Yahudi atau Kristen fana-

tis. Di beberapa Universitas Amerika,

studi Islam di tempatkan di fakultas

Lahut (teologi), jurusan Misionarisme

dan materinya di kenal dengan

muqâranatu al-adyân (perbandingan

agama). Dosen- dosen yang ada disana

kerjanya hanya mencari titik-titik

lemah Islam untuk diserang. Oleh ka-

rena itu, kajian-kajian mereka banyak

menyangkut aliran-aliran menyim-

pang, misalnya: Syiah, Ismailiyah, Ah-

madiyah, Bahaiyyah dll. Jika mereka

belajar al-Quran, hadis, dan fikih, Ulti-

mate goal-nya mencari titik lemah. Se-

bagai misal, pusat perbandingan agama

di Harvard berada dibawah fakultas

teologi, begitu juga di Universitas Chi-

cago.12

Ungkapan Faruqi tentu bukan sekedar asum-

si. Ia terlibat langsung dalam ―pergulatan‖

orientalisme di Amerika Serikat. Pengala-

mannya sebagai ketua jurusan Islamic Study

di Temple University dan sebagai guru besar

selama bertahun-tahun di AS dan berbagai

Universitas barat lainnya tidak diragukan

lagi. Sehingga akhirnya ia mengakhiri

hayatnya sebagai syahid bersama istrinya

dibunuh oleh agen-agen Zionis.

Sunah Dan Orientalisme

Setelah sepak terjang orientalis untuk

membuat keraguan terhadap al-Quran men-

10. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 28. 11. Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di

Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple Uni-versity, Amerika Serikat.

Pandangannya tentang Zionisme; Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dil-akukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang mengang-gap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Ismail Raji al-Faruqi

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

88

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

galami kegagalan (sebagaimana penulis sebut

di atas tadi), karena tidak menunjukan

pengaruh yang signifikan di kalangan kaum

Muslimin, orientalis Barat mencoba membi-

dik sumber Islam kedua, al-Sunnah. Orien-

talis pertama yang menyebarkan keraguan

terhadap hadis ialah Goldziher13 seorang ori-

entalis yahudi Hongaria yang di kalangan

Islamolog Barat dianggap sebagai orang

yang paling banyak mengetahui tentang had-

is. Johan Fueck, penulis ―hadis‖ dalam

―Ensiklopedi Islam‖ menyanjungnya secara

berlebihan dengan mengatakan, “Ilmu penge-

tahuan berutang banyak kepada Goldziher

karena tulisan-tulisannya tentang hadis. Dia

telah berjasa menentukan arah dan mengem-

bangkan penelitian dalam kajian ini.” Rasa

kagum orientalis terhadap Goldziher terletak

pada keberaniannya mengkritik, memuncul-

kan keraguan terhadap hadis, serta melontar-

kan tuduhan-tuduhan yang tidak pernah

terdengar di kalangan al-Muhadditsûn sela-

ma berabad-abad kecuali dari kelompok

ekstrimis Inkâru al-Sunnah. Apakah Goldzi-

her datang membawa temuan yang belum

pernah ditemukan oleh para ilmuan sebe-

lumnya, khususnya metodologi kritik hadis?

Ataukah penelitiannya hanya sebuah asumsi

saja yang cenderung apriori prakonsepsi?

Inilah yang akan dicoba dianalisis seobjektif

mungkin dalam tulisan ini. Dan akan ter-

fokus pada analisis pemikiran Goldziher ka-

rena figur ini dianggap cukup representatif

untuk mewakili pandangan-pandangan orien-

talis Barat khususnya dalam studi hadis dan

pengaruhnya pada regenerasi orientalis.

A. Pandangan Goldziher

Untuk mengetahui pandangan Goldzi-

her tentang hadis dapat dibaca dengan gam-

blang dari bukunya Dirâsât Islâmiyyah dan

al-Aqîdah wa al-Syarî‟ah fî al-Islâm. 14

1. Goldziher menuduh bahwa bagian

terbesar dari riwayat hadis tidak benar

dikatakan sebagai catatan tentang fase

awal Islam. Akan tetapi, hadis yang

terkumpul sekarang adalah hasil jerih

payah umat Islam pada fase

keemasannya yang merupakan catatan

meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya, Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.

12. Jurnal The Contemporary Moslem 13. Ignaz Goldziher lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi terpandang

dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 hanya satu tahun kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Dalam hal pemikiran, Ia sangat ter-pengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Ar-minius Vambery lah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Goldziher pernah mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama Islam, diantaranya ia pernah berkun-jung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejebat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey, Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir saat itu. Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syaikhul al-Azhar,ketika itu Syekh al'Abbasi, terbujuk. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.

Setelah beberapa lama tinggal di Mesir Goldziher pun kembali ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekreta-ris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterli-batannya di bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muham-

89

medanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Ko-ranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920).

Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena memang tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.

(lebih lengkapnya lih: Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Abdurrohman Badawi, LKis Yogyakarta 2003, hlm 129-131)

14. edisi bahasa arabnya diterjemahkan oleh Prof. Muhammad Yusuf Musa, Abdul Aziz Abd. Haq dan Dr. Ali Ha-san Abdul Qadir.

15. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 180 16. Goldziher memberi contoh tentang perkataan Mu’awiyah kepada Mughirah ibn Syu’bah:

ال تهمل في أن تسب عليا وأن تطلب الرحمة لعثمان، وأن تسب أصحاب علي وتضطهد من أحاديثهم، وعلي الضد من هذاا أن تذمذدث عذثذمذان ) وأهله وأن تقربهم وتسمع إليهم(

atas kemajuan yang dicapai Islam di

bidang agama, sejarah, dan sosial pada

abad pertama dan kedua hijrah.15

2. Goldziher berpendapat bahwa praktik

memalsukan hadis (wadh„ul hadîts) itu

telah terjadi pada fase dimana ketegan-

gan terjadi antara kelompok Umawiy-

yah dan kelompok ulama takwa (ahlul

bait), dimana kedua belah pihak mem-

buat hadis-hadis yang memuji pihaknya

masing-masing dan membuat hadis-

hadis yang menjatuhkan pihak yang

lain.16 Bahkan menurut Islamolog ya-

hudi ini, praktik memalsukan hadis

(wadh„ul hadîts) ini tidak hanya

terbatas dalam lingkup politik saja,

bahkan juga memasuki ―kawasan‖ reli-

gi, seperti melakukan perubahan-

perubahan dalam ibadah sehingga tidak

sesuai dengan praktik penduduk Madi-

nah.17 Sebagai contoh, kata Goldziher,

pelaksanaan khutbah Jum‘at yang biasa

dikenal di kalangan ahlul-Madinah dua

kali khutbah dan khatib menyam-

paikannya dalam posisi berdiri. Semua

ini diubah oleh Umawiyyah. Dasarnya

adalah riwayat Rajâ bin hay bahwa

Rasul dan para Khalifah berkhutbah

dalam keadaan duduk. Padahal Jâbir

bin Samrah telah melakukan protes, ―

Barang siapa yang memberitakan kepa-

da kalian bahwa Rasul berkhutbah sam-

bil duduk, sesungguhnya dia telah ber-

dusta‖. Disini, Goldziher sampai pada

kesimpulan bahwa tidak satupun masa-

lah yang diperselisihkan baik dalam hal

ibadah maupun ideologi mempunyai

sandaran hadis dengan isnâd yang

kuat.18

3. Tuduhan Goldziher terhadap perawi

hadis terkenal, Imam Zuhri, sebagai

orang yang dimanfaatkan oleh Dinasit

Umawi untuk memalsukan hadis sesuai

dengan keinginan mereka. Misalnya

beberapa dokumen yang tersimpan pa-

da al-Khatib al-Baghdadi. Dokumen

tersebut diriwayatkan dari beberapa

jalur yang berbeda. Dari Abdur Razzaq

(211 H), Ma‘mar ibn Rasyid (154 H).-

salah seorang yang mendengar hadis

dari Zuhri – menyebutkan bahwa kha-

lifah al-Walid bin Ibrahim pernah da-

tang kepada Zuhri membawa lembaran

hadis yang dipalsukannya. Dia

meminta kepada Zuhri agar mem-

berikan lisensi (ijazah)19 kepadanya

untuk meriwayatkan hadis yang ada

dalam lembaran yang dibawanya itu.

Lalu Zuhri membenarkannya tanpa ra-

gu-ragu. Demikianlah, menurut orien-

talis ini, rezim Muawiyah dapat mem-

peralat Imam Zuhri untuk memenuhi

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

90

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

tuntutan penguasa dengan ―baju‖ aga-

ma.20

B. Metodologi Muhadditsîn

(Ahli hadis)

Sebelum menelaah secara substansial

pandangan-pandangan Goldziher, terlebih

dahulu kita kemukakan sekilas metodologi

kritik Muhadditsîn dalam upaya memelihara

originality hadis nabi dan meletakkan suatu

kerangka metodologi kritik ilmiah guna

membersihkan hadis dari berbagai kemung-

kinan pemalsuan;

1. Melacak Isnâd (mata rantai) Hadis

Setelah Rasulullah wafat, para sa-

habat tidak pernah meragukan hadis yang

mereka dengar dari sahabat lainnya, begitu

juga para tabiin. fakta itu mulai mengerosi

setelah terjadi fitnah21 dan munculnya

seorang Yahudi, Abdullah bin Saba, yang

melakukan provokasi untuk memper-

tuhankan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Saba juga

memalsukan hadis-hadis Nabi. Sejak saat

itulah para Sahabat da Tabiin mulai berhati-

hati dalam meriwayatkan hadis. Mereka tidak

lagi menerima hadis kecuali setelah mereka

ketahui jalurnya (sanad) dan mereka percayai

perawinya.

Ibnu Sirin menceritakan hal tersebut

dan dikutip oleh Imam Muslim dalam Muk-

adimah kitab Shahîh-nya. ― Dahulu mereka

tidak mempertanyakan tentang Isnâd. Namun

setelah terjadi fitnah, mereka menuntut,

sammû lanâ rijâlukum (sebutkan sumber

hadis kamu itu!, mereka melihat ahli sunah,

lalu mereka terima hadisnya. Dan mereka

tandai ahli bid‟ah agar tidak diterima hadis

darinya.22

2. Otentifikasi (Tautsîq) Hadis

Otentifikasi Hadis sebagai salah satu

metode untuk melacak kebenaran suatu had-

is, telah diuji sejak masa sahabat dan tabiin.

Orang-orang yang menemukan hadis dapat

me-recheck-nya (mengkaji ulang) kepada

sahabat, tabiin, atau pun para Imam, khu-

susnya setelah terjadi fitnah. Otentifikasi itu

tidak hanya terbatas pada sanad (mata rantai)

suatu hadis, bahkan juga mencakup pemerik-

saan terhadap matan (isinya).

Salah satu contoh kasus otentifikasi

isnâd; seorang nenek yang datang

menghadap Abu Bakar menanyakan bagian

warisannya. Abu Bakar menjawab, “Saya

tidak menemukan bagian nenek di dalam al-

Quran ataupun di dalam Sunah Rasul SAW.

― Mughirah bin Syu‘bah berkata, “ Saya

pernah melihat Rasul SAW. Memberi bagian

nenek seperenam.” Kemudian Abu Bakar

berkata, “Adakah orang lain selain Anda?”.

Lalu Muhammad bin Maslamah al-Anshari

berdiri dan membenarkan Mughirah. Atas

dasar itu, Abu Bakar menerima dan

17. Munculnya trend pemahaman yang berorientasi kepada praktik pengamalan penduduk Madinah dalam bidang fikih, dikarenakan Madinah adalah negara pertama yang dibangun Rasul SAW. Dimana ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan ialah selama beliau berdiam dikota ini, dan para Sahabat juga generasi tabiin mewarisi tradisi hukum yang Beliau letakkan, sehingga praktik penduduk kota ini lebih terjamin orisinalitasnya.

18. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 182 19. Ijâzah adalah istilah yang dipakai ahli hadis untuk menerangkan bahwa seorang murid telah diberi izin oleh

gurunya (syeikh) untuk menyampaikan hadis yang telah diterima dari syeikh tersebut. 20. Ijâzah adalah istilah yang dipakai ahli hadis untuk menerangkan bahwa seorang murid telah diberi izin oleh

gurunya (syeikh) untuk menyampaikan hadis yang telah diterima dari syeikh tersebut.

91

21. Fitnah disini ialah tragedi yang menimpa umat Islam pada akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan yang mengakibatkan terbunuhnya beliau, disusul dengan terbunuhnya Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Pun-caknya ialah perselisihan antara kelompok Ali dan Muawiyah. Kaum orientalis mendramatisir bahwa fitnah tersebut berpengaruh negatif terhadap sunah. Namun dalam waktu yang sama fitnah itu sendiri melahirkan seperangkat metodologi hadis riwâyah dan dirâyah bagi umat Islam. (lih: Al Fikr Al Manhajî ‘inda Al Muhad-ditsîn, Dr. Hammam Abdurrahman Sa’id, Al Ummah, Qatar, 1987, hlm 56-57).

22. Lihat mukadimah Shahîh Muslim. 23. Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fî Qawânîn al-Riwâyah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîts, cet. Pertama), hlm.

66-67 24. Untuk contoh bisa dilihat di Al-Fikr al-Manhaji, Op. Cit., hlm. 55-56

melaksanakannya.23 Abu Bakar dalam kasus

itu meminta saksi lain disamping Mughirah,

bukan karena beliau tidak percaya kepada

Sahabat RA, melainkan sebagai upaya oten-

tifikasi terhadap hadis nabi. Segi matan juga

banyak ditemukan kasus otentifikasi untuk

me-recheck kebenaran isi suatu hadis.24 bila

substansi hadis dirasa kurang sejalan dengan

al-Quran maupun hadis Nabi.

3. Metode Kritik Rawi

Metode kritik rawi hadis- sebagai orang

jujur atau pendusta- merupakan media efektif

untuk membersihkan hadis-hadis Nabi dari

berbagai pemalsuan orang-orang yang

berkedok sebagai perawi. Dengan metode

tersebut, para ulama bisa membedakan hadis

shahîh dengan dha‟îf. Kitab-kitab yang

dikarang oleh para muhadditsîn yang khusus

menghimpun biografi setiap perawi lazim

dikenal dengan kutub al-Rijâl, menghimpun

sejarah hidup 500.000 (setengah juta) perawi

hadis. Fakta inilah yang dilihat oleh oreintalis

sehingga membuat merekatidak berdaya me-

nyembunyikan kebenaran sejarah. Dengan

jujur, Sprenger, orientalis Jerman yang ban-

yak mengkaji hadis, mengakui dalam muk-

adimah yang ditulisnyauntuk sebuah kitab

klasik, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah

karya Ibnu Hajar. Dia mengatakan, “Tidak

dijumpai satu umat pun yang pernah hidup di

muka bumi ini hingga sekarang, memiliki

daftar nama-nama tokoh sebanyak setengah

juta selain dari umat Islam.” 25

C. Telaah Kritis Atas Pandangan Ignaz

Goldziher

Diatas telah kita deskripsikan metod-

ologi muhadditsîn dalam membentengi hadis

Nabi sehingga tak satupun celah yang dapat

ditembus oleh orang-orang yang berniat

busuk terhadap Sunah Nabi. Sekarang kita

mencoba untuk mengkaji sejauh mana

kebenaran tuduhan Goldziher terhadap hadis

seperti yang telah kita sebutkan di atas.

1. Goldziher menuduh bahwa bagian terbesar

dari hadis adalah catatan sejarah tentang

hasil kemajuan yang dicapai Islam di bi-

dang agama, politik dan sosial pada dua

abad pertama hijrah.

Tuduhan itu secara historis dan de facto

tidak beralasan. Rasulullah SAW Mening-

gal setelah “merumahkan”al-Quran dan

sunah Nabi SAW Hal ini secara eksplisit

ditegaskan al-Quran pada ayat yang tera-

khir turun, “Pada hari ini Kusempurnakan

untukmu agamamu, Kucukupkan atasmu

nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam

sebagai agama.”26

Islam turun dengan sempurna. Demikian

pula ditegaskan oleh Rasulullah SAW,

“Telah kutinggalkan padamu dua perkara,

jika kamu berpegang teguh padanya

niscaya kamu tidak akan sesat selamanya;

Kitabullâh dan sunnahku.”

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

92

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Untuk mengetahui sejauh mana ma-

tangnya Islam sejak periode pertama,

cukup dilihat kesiapan Umar bin Khatab

menangani urusan dua imperium terbesar

di dunia waktu itu; Persia dan Romawi

yang berhasil dikuasai Islam. Umar mam-

pu menjalankan roda pemerintahan besar

itu dan memerintah keduanya dengan sis-

tem yang jauh lebih sempurna dan adil

dari pada Kisra dan Kaisar. Sekiranya Is-

lam masih dalam fase ―bayi‖, mustahil

rasanya Umar dapat memikul tugas

seberat itu dan mengendalikan dua kera-

jaan seluas itu. Peneliti yang jujur akan

mengetahui bahwa kaum Muslimin di

berbagai belahan bumi melakukan ibadah

dengan kaifiyyah yang sama, menjalankan

hukum yang substansinya sama pula.

Mereka hidup dengan sistem ibadah, mua-

malah, akidah, dan adat yang seluruhnya

sama, mulai dari utara hingga ke Selatan.

Yang ini semua menandakan akan sem-

purna dan matangnya sistem dalam Islam.

Kesimpulannya, seandainya bagian

terbesar dari hadis nabi adalah hasil kema-

juan Islam selama dua abad pertama-

seperti yang diklaim orientalis itu- tentu

saja kaifiyah ibadah Muslim yang tinggal

di berbagai belahan dunia akan tentu ber-

beda satu sama lain.

2. Goldziher menuduh bahwa ahlul bait

(ulama takwa madinah) membuat hadis

yang memuji mereka dan menjatuhkan

pihak lawan (Umawiyyah), dan begitu ju-

ga sebaliknya pihak Umawiyyah.

Ungkapan semacam ini hanya muncul dari

orang yang belum mengetahui kepribadian

ulama kita. Jangankan berdusta terhadap

Rasul SAW, dalam kehidupan mereka

sehari-hari pun sangat keras dalam mem-

basmi dusta.

Kita tidak memungkiri keutamaan para

Sahabat Nabi. Bahkan Allah SWT memuji

sebagian sahabat dalam al-Quran. Nabi

SAW juga memuji Ali bin Abi Thalib se-

bagaimana Ia memuji Abu Bakar, Umar

maupun Utsman. Hanya saja syiah

melebih-lebihkannya. Mereka mulai me-

malsukan hadis yang menyanjung ahlul

bait dan mendiskreditkan Umawiyyah dan

pendukung mereka.

Prof. Dr. Musthafa Al-Siba‘I, pakar hadis

dari Suriah, memberi komentar atas tudu-

han Goldziher tersebut dengan menga-

takan, “Kalau Goldziher ingin tahu siapa

sesungguhnya ahli bid‟ah dalam pan-

dangan ahli Hadis, silahkan merujuk

kepada referensi-referensi Arab yang

dinukil dan diputarbalikan itu. Agar

diketahui bahwa mereka itu adalah

Syi‟ah, Khawârij dan yang mengikuti pa-

ham mereka.Bagaimana mungkin ulama

kita melawan kelompok pemalsu hadis

tentang ahli bait, lalu mereka melakukan

hal serupa pula untuk maksud yang sama.

Lebih lanjut beliau mengatakan, “ yang

anehnya pada saat seorang tokoh Syi‟ah,

Ibnu Abil Hadid mengakui bahwa

Syi‟ahlah yang pertama kali mendustakan

hadis dan melebih-lebihkan keutamaan

ahlul bait, muncul Goldziher menuduh

bahwa ulama-ulama yang taqwa dari

madinah (semisal Sa‟id bin Musayyab,

Atho‟ bin rabah, Imam Zuhri dll.)-

25. Abdul Muta’al Muhammad al-Jabari, Hujajiyât al-Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. Pertama, 1986), hlm. 124

26. Q.S. Al Ma’idah, 5;3

93

menurutnya- yang memulai tindakan keji

itu. Bukankah pemalsuan fakta sejarah

semacam ini hanya dilakukan oleh orang

bejat dan berdosa.27

3. Selanjutnya, sasaran tuduhan Goldziher

diarahkannya kepada Imam terbesar dalam

sunah pada zamannya, bahkan orang yang

pertama menyusun sunah pada zaman sa-

habat, Imam Zuhri. Goldziher menuduh

Zuhri diperalat oleh dinasti Umawi karena

kedekatannya dengan khalifah. Alasan

seperti itu tidaklah cukup untuk menyim-

pulkan tuduhan yang diarahkan padanya.

Bahkan hubungan tersebut merupakan sa-

rana untuk menyampaikan kebenaran

kepada khalifah. Seperti diriwayatkan

Ibnu Asakir-dengan sanadnya dari Imam

al-Syafi‘i-bahwa khalifah Hisyam bin Ab-

dul Malik bertanya pada Sulaiman bin

Yasar tentang tafsir ayat 11 surat an-Nûr,”

Dan siapa di antara mereka yang

mengambil bagian terbesar tentang berita

bohong, baginya azab yang besar.”

Siapakah orang yang dimaksud ayat itu?

Sulaiman menjawab. “Abdullah bin Ubay

bin Salul. Hisyam berkata: Anda bohong.

Dia adalah Ali ibn Abi Thalib. Tampak-

nya Hisyam –kata Dr. Al-Siba‘i- tidak

serius dengan ucapannya itu, dia hanya

ingin menguji keberanian mereka dalam

mempertahankan kebenaran. Lalu Sulaim-

an berkata, “Amirul Mukminin lebih tahu

apa yang di ucapkannya”. Kemudian

Imam Zuhri tiba. Dan Hisyam mengulangi

perkataannya. Zuhri menjawab, “Dia ada-

lah Abdullah bin Ubay bin Salul”. Hisyam

menjawab: Anda bohong. Dia adalah Ali

bin Abi Thalib.” Dengan marah Zuhri

mengatakan, “ Anda katakan saya ber-

bohong? Celakalah Anda! Demi Allah,

sekiranya ada suara yang memanggil dari

langit menyerukan bahwa Allah telah

membolehkan dusta, niscaya aku tidak

akan berdusta. Si fulan dan si fulan

menceritakan kepadaku bahwa orang

yang mengambil bagian terbesar dalam

penyebaran berita bohong itu adalah Ab-

dullah bin Ubay bin Salul. 28

Al-Dzahabi, kritikus terkenal, menga-

takan, “Dia (zuhri) adalah simbol para

penghafal hadis. Dia adalah imam, hafi-

dzh dan hujjah, diantara muridnya ialah

imam Malik, Abu Hanifah, Atha bin Abi

Rabah, Umar bin Abdul Aziz dan yang

lainnya. Hadis-hadisnya banyak dimuat

dalam Shahîhain (kitab Shahih Bukhari

dan Muslim), kitab-kitab sunan, dan

Musnad. Hampir tidak satu bab pun dari

kitab-kitab itu yang tidak memuat hadis

Zuhri.”

Imam Nasai mengatakan,” Isnâd yang

paling bagus dari Rasul saw ada empat

jalur: Zuhri dari Ali ibn al- Hasan dari

ayahnya dari kakeknya, Zuhri dari Ubai-

dillah dari Ibnu Abbas. Dan dua isnâd

lainnya.

Intisari/ kesimpulan

Dari pembahasan di atas setidaknya kita bisa

mengambil benang merah, bahwasannya;

Allah akan selalu menjaga agama-Nya

sampai ia menang, dan Allah akan per-

siapkan rijal-Nya untuk membela agama-

Nya disetiap kurun waktu dan tempat

yang berbeda

Al-Quran dan al-Sunnah adalah dua pe-

doman umat Islam akhir zaman, yang tid-

ak akan lenyap kecuali umat itu sendiri

27. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 190

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

94

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

yang melupakannya

Al-sunnah sebagai sumber hukum kedua

setelah al-Quran, mempunyai posisi yang

sangat urgen dalam konsep hukum Islam,

kalau bukan umat Islam sendiri yang

mempelajarinya, mengamalkannya

sekaligus menjaganya maka sangat mung-

kin umat yang lain akan mengisi posisi

tersebut, sehingga bukan tidak mungkin

akan banyak hal yang diluar jalur semesti-

nya.

Betapapun kecilnya kita harus mengakui

karya-karya orientalis dalam ilmu-ilmu

Islam. Akan tetapi, seperti ditegaskan oleh

Syeikh Ahmad Syakir, seorang ulama

terkemuka di Mesir, dalam ―Mukadimah

Sunan al-Tirmizi‖nya, kita ingin menem-

patkan sesuatu seimbang dengan porsinya,

tidak melebihi dan tidak pula mengurang-

inya. Karya mereka itu belumlah seberapa

bila dibandingkan dengan karya-karya

Ulama kita yang melimpah ruah.

PENUTUP

Setelah kita analisis pandangan-

pandangan Goldziher dan Orientalis lainnya.

Tampak jelas bahwa tuduhan-tuduhan mere-

ka tidak beralasan. Kita agaknya sudah dapat

menilai motif serta bobot dari tuduhan dan

klaim yang dilontarkan oleh Goldzhier dan

orientalis lainnya, serta mampu menilai

metodologi yang mereka kembangkan dalam

mengkaji Islam terkhusus al-Quran dan al-

Sunnah. Akhirnya semoga tulisan ini menjadi

amal shalih bagi penulis dan orangtua penulis

khususnya dan teman-teman sekalian pada

umumnya. Dan semoga Allah yang selalu

Mendengar dan Melihat kita, memberikan

karunia kepada kita untuk selalu berada di

jalan-Nya, menjadikan kita berada di garda

terdepan dalam membentengi al-Quran dan

al-Sunnah dari musuh-musuh Islam. Amin.

In Urîdu illal ishlâh mastatha„tu wa mâ

taufîqi illâ billâh „alaihi tawakkaltu wa ilaihi

unîbu. Wallâhu a‟lam bis shawâb.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim.

Al-Baghdadi, Al Khatib, Al Kifâyah fî

Qawânîn Al-Riwâyah. Kairo: Dar Al

Kutub Al Hadits, cet. Pertama.

Al Jabari, Abdul Muta‘al Muhammad, 1986.

Hujajiyât Al-Sunnah. Kairo: Maktabah

Wahbah.

Al-Solih, Subhi. 1978. ‗Ulûm al-Hadîts Wa

Musthalâhuhu. Beirut : Dâr al-‗ilmi lil-

malayin, cet. Kesepuluh.

Al-Siba‘i, Mustafa. 2010. Al-Sunnah wa

makânatuhâ fî al-Tasyrî‟ al-Islâmî.

Kairo: Dar As-salam Mesir, cet.

Kelima.

Badawi, Abdurrohman. 2003. Ensiklopedi

Tokoh Orientalis. Yogyakarta: LKis.

Jurnal The Contemporary Moslem.

Kamus Ilmiah Popular, penerbit gita media

press, cet. Pertama thn 2006.

Rasyid, Daud. 2006 ― Pembaruan Islam dan

Orientalisme dalam sorotan‖, Bandung:

Syaamil Publishing, cet. Pertama.

Sa‘id, Hammam Abdurrahman. 1987. Al-

Fikr al-Manhajî „inda al-Muhadditsîn.

Qatar: Al Ummah.

Shahîh Muslim.

28. Ibid, hlm. 200-202

95

SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN

Roni Fajar verigina

Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 1983. Al-Istisyrâq

wa al-khalfiyyât al-fikriyyah li Al-

shura„ al-Hadhâri. Qatar: Al Ummah,

cet. Kedua.

نا # ب عد حق هللا يف االحتام إن للوالدين حقا علي

را # ا ناية اإلكرام أوجدانا ورب يانا صغي فاستحق

“Sesungguhnya bagi kedua orang tua ada hak

atas diri kita setelah hak Allah dalam

penghormatan… Mereka membuat kita ada dan

mendidik kita sewaktu kecil, maka mereka

berhak mendapatkan puncak penghormatan”.

96

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

فإن رفيع القوم من ي ت واضع ت واضع إذا ما نلت يف الناس رف عة #

رء من شيم العقل ت واضع إذا ما كان قدرك عاليا #

فإن اتضاع ادل

“Rendah hatilah jika engkau tidak mendapatkan

kedudukan di Masyarakat, maka sesungguhnya orang-

orang yang memiliki kedudukan adalah orang-orang

yang rendah hati. Rendah hatilah jika kemampuanmu

tidak tinggi, maka sesungguhnya rendah hatinya

seseorang merupakan

tanda kekuatan akal sehat”

97

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah;

Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode

Penanggalan

Ismail Sujono

Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin

Universitas Al-Azhar Kairo

Email: [email protected]

Abstract

Having calendar system shows a progress of a civilization. Whitout this, a nation might

fall into chaos. In the Quran has a lot of preaching to us to give attention to the time, be it based

on the movement of the sun (solar system), or the moon (lunar system), as well as the move-

ment of both (luni-solar system). For example, AD calendar is a calendar based on the solar

system, Hijra calendar is a calendar based on lunar system, while Jews calendar's using both

lunar and solar system wich called luni-solar system. Both AD calendar and Hijra calendar

have their respective functions, AD calendar could be used as a reference to various things or

terms such as trades, agreements, etc. while Hijra calendar is more to islamic calendar, mostly

used as prayer time setting, islamic holydays, begginning of the month etc.

Keywords: calendar, solar, lunar, luni-solar

Abstrak

Salah satu bentuk kemajuan peradaban suatu bangsa adalah memiliki sistem penangga-

lan.Sebuah kekacauan apabila suatu bangsa tidak memiliki sistem penanggalan.Dalam al-Quran

sendiri pun telah banyak mengabarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan waktu, baik itu

berdasarkan pergerakan matahari (solar system), bulan (lunar system) maupun pergerakan

keduanya (luni-solar system).Misalnya kalender yang berdasarkan sistem solar diantaranya kal-

ender masehi, kemudian kalender yang berdasarkan sistem lunar diantaranya kalender hijriah,

sedangkan kalender yang berdasarkan sistem luni-solar diantaranya kalender yahudi.Kalender

masehi maupun kalender hijriah memiliki fungsinya masing-masing. Kalender masehi bisa di-

jadikan acuan dalam hal perjanjian ataupun transaksi-transaksi perdagangan maupun yang

lainnya, sedangkan kalender hijriah lebih bersifat penetapan waktu ibadah maupun hari-hari

besar umat islam.

Kata kunci : kalender, solar, lunar, luni-solar

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

98

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Pengantar

كبس انكك كم اخكزكالف انكهك األسض اد ب ف خهك انغ إ

عكهك لعدا الل لبيب زكش زن األنجبة. ان بد أل

األسض سثككب يكب اد كب ك ف خكهكك انغ زفكش ى جث

زا ثبطال عجحبك فمب عزاة انبس خهمذ 1

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan

langit dan bumi, dan silih bergantinya mal-

am dan siang terdapat tanda-tanda bagi

orang-orang yang berakal (190), (yaitu)

orang-orang yang mengingat Allah sambil

berdiri atau duduk atau dalam keadan ber-

baring dan mereka memikirkan tentang pen-

ciptaan langit dan bumi (seraya berkata):

"Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau mencip-

takan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,

Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

(191)

صجبح فبنك جعم اإل م ظ عكب انه انش كش انم حغكجكبكب

نك انعضض انعهى رمذش ر2

Artinya:Dia menyingsingkan pagi dan men-

jadikan malam untuk beristirahat, dan

(menjadikan) matahari dan bulan untuk

perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang

Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.(96)

Pernahkah terbersit dalam benak kita

mengapa matahari terbit di timur yang me-

nyebabkan terjadinya siang dan terbenam di

barat yang menyebabkan terjadinya malam

atau mengapa bulan berubah-ubah bentuk

dari sabit kecil hingga purnama dan kembali

ke sabit kecil lagi?Mungkin untuk menjawab

pertanyaan tersebut bagi kita yang hidup di

zaman modern ini tidaklah terlalu sulit.Tapi

bagaimana dengan pendahulu-pendahulu kita

yang hidup ratusan tahun lalu bahkan ribuan

tahun lalu.Orang-orang dulu pernah berpikir

bahwa terbit dan terbenamnya matahari ter-

jadi karena peredaran matahari mengelilingi

bumi.Ternyata jawaban itu keliru dan salah,

malah sebaliknya bumilah yang mengelilingi

matahari yang menyebabkan terjadinya siang

dan malam atau biasa disebut dengan rotasi

bumi.

Matahari dan bulan adalah dua benda

langit yang paling dekat dengan bumi dan

yang paling gampang dilihat oleh mata

manusia.Dari dua benda langit inilah manu-

sia sejak zaman dulu menjadikan keduanya

sebagai acuan waktu.Yang mana kita ketahui

sebelum ditemukannya jam, manusia hanya

menjadikan fenomena siang dan malam se-

bagai patokan waktu.Hingga akhirnya men-

jadikan pergerakan semu matahari ini sebagai

pondasi dasar dalam penentuan kalender sa-

lah satunya kalender masehi yang dipakai

hingga saat ini.Dan juga pergerakan semu

bulan yang mengakibatkan bulan memiliki

fase-fasenya dijadikan acuan dalam penentu-

an kalender hijriah.Bahkan penggabungan

keduanya pun bisa dilakukan dalam penentu-

an kalender.

Salah satu pembahasan ilmu falak is-

lam adalah penanggalan (kalender/tarikh/

taqwim). Urgensi dalam tema kalender ini

sangatlah penting bagi umat islam. Karena

sangat berkaitan erat dengan masalah ibadah.

Bagaimana kita akan memulai puasa Rama-

dhan kalau tidak mengetahui kapan ma-

suknya bulan Ramadhan dan ibadah-ibadah

lainnya yang mana semua harus dilakukan

sesuai pada tempat dan waktunya. Yang akan

kami bahas disini perbandingan antara kalen-

der masehi dan kalender hijriah dari tinjauan

sejarah kemunculan dan metodologi dalam

penerapannya. Sebenarnya setiap bangsa

1. QS. Ali Imran (03): 190-191 2. QS. Al-An’am (06): 96

99

yang berperadaban masing-masing memiliki

sistem penanggalan, misalnya bangsa mesir,

romawi, yunani, china, jawa, dll.

Pembahasan

Sejarah Perkembangan

Kalender Masehi

Cikal bakal munculnya kalender Mase-

hidimulai sejak abad ke-VII SM (lebih

tepatnya pada tanggal 21 april 753 SM),3

kaisar Romawi pertama sekaligus pendiri

kota Roma yaitu Romulus mulai

memperkenalkan yang namanya penanggalan

(kalender).Kalender ini disebut juga dengan

kalender Romawi Kuno. Awalnya, Bangsa

Romawi menggunakan sistem kalender

warisan bangsa Albania,4 namun kalender

yang berdasarkan bintang Sirius5 ini tidak

akurat dan menimbulkan banyak kekacauan

pada perayaan-perayaan keagamaan,

sehingga kaisar Romawi memerintahkan para

Astronom untuk menata ulang kalender

dengan memperhatikan gerak Matahari dan

Bulan. Penanggalan pada masa kaisar

Romulus ini hanya mempunyai 10 bulan

dengan 304 hari dalam satu tahun. Bulan

Maret sebagai bulan awal, 10 bulan itu

adalah:6

1. Martius (artinya mars atau dewa

perang)

2. Aprilis (artinya aprilia atau dewi cinta)

3. Maius (artinya maya atau dewi

kesuburan)

4. Junius (artinya juno atau istri dewa

jupiter)

5. Quintilis (artinya kelima)

6. Sextilis (artinya keenam)

7. Septalis (artinya ketujuh)

8. Octolis (artinya kedelapan)

9. Novelis (artinya kesembilan)

10. December (artinya kesepuluh)

Namun dalam perjalanan sejarah

kalender Romawi Kuno ini terdapat banyak

koreksi dan penyempurnaan sistem

kalender.Pada masa kaisar kedua Romawi

yaitu Numa Pompilius (715-672 SM) terjadi

penambahan bulan. Jadi jumlah bulan yang

sebelumnya hanya berjumlah 10 bulan

dengan 304 hari dalam setahun menjadi 12

bulan dengan 355 hari dalam setahun. Pada

masa kekuasaan Numa Pompilius, ia

mengeluarkan beberapa keputusan-

keputusan, diantaranya:7

Menetapkan atau menambahkan bulan

Januari sebelum bulan Maret.

Menetapkan atau menambahkan bulan

Februari setelah bulan Desember.

Mengubah jumlah hari pada setiap

bulannya menjadi 29 hari dan 30 hari

hingga jumlah hari setiap tahunnya

menjadi 354 hari seperti pada bulan

Qamariah.

Menetapkan setiap 2 tahun sekali

menambahkan 22 hari dan 23 hari silih

berganti, jadi setiap 4 tahun sekali

3. Muhammad Muhammad Fiyadh, al-Taqâwîm,(Kairo: Nahdetmisr, cet. II, 2003), hal.24. 4. Dr. Ali Hasan Musa, al-Tauqît wa al-Taqwîm,(Damaskus: Daru`l Fikri, cet. II, 1998), hal.102.

5. Pada peradaban mesir kuno bintang Sirius disebut pula dengan bintang Spedt yang teradopsi dari bahasa Yunani Shotis.Dengan munculnya bintang Sirius dibagian timur pada malam-malam bulan musim panas sekitar tanggal 19 Tamuz (Juli) dan mulai bersinar diakhir bulan Ab (Agustus) bertepatan dengan datangnya banjir sungai Nil setiap tahunnya.Mesir kuno menjadikan fenomena alam ini sebagai dasar penanggalan yang terus digunakan hingga saat ini.

6. Muhammad Muhammad Fiyadh, op.cit., hal.24. 7. ibid, hal.25.

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

100

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

bertambah 45 hari, ini menjadikan setiap

tahunnya bertambah 11 ¼ hari dan total

setiap tahunnya 365 ¼ hari.

Kemudian masuk pada masa kaisar

Romawi yang terkenal Julius Caesar melihat

banyak kerancuan sistem penanggalan

romawi Kuno yang berdasarkan gerak semu

matahari dan bulan tersebut. Akhirnya Julius

Caesar memerintahkan para astronom untuk

mengoreksi penanggalan tersebut.Atas saran

Sosigenes, seorang astronom asal

Alexandria, Julius Caesar menetapkan

kalendemya menjadi 12 bulan, dengan masa

seminggu tujuh hari sebagaimana yang telah

kita ketahui. Juga ditetapkan tahun Kabisat

setiap 4 tahun sekali, berdasar panjang 1

tahun Matahari adalah 365,25 hari saat itu.

Penanggalan ini dinamakan penanggalan

Julian dan menjadi pondasi awal kalender

Masehi hingga sekarang. Dalam perjalanan

kalender ini Julius Caesar menyisipkan 90

hari ke dalam kalender tradisional Romawi

untuk lebih mendekati ketepatan pergantian

musim. Penyisipan ini sedemikian

cerobohnya sehingga bulan-bulan dalam

kalender itu tidak lagi tepat dengan

perhitungan siklus bulan, padahal dasar dari

kalender Romawi adalah "solar".

Dengan pernyataan di atas Julius

Caesar mengeluarkan maklumat penting dan

berpengaruh luas hingga kini dalam

penggunaan sistem Matahari dalam sistem

penanggalan, adapun maklumat yang

dikeluarkan oleh Julius Caesar, diantaranya:8

Membatalkan pemakaian tahun

Qamariah (pada masa Numa Pompilius)

dan berganti menggunakan tahun

Syamsiyah (Matahari) dengan 365 hari

(tahun Basitah) dan setiap 4 tahun sekali

366 hari (tahun Kabisat).

Pada tahun 708 Romawi berjalan dengan

445 hari, dinamakan dengan tahun

kebingungan (year of confusion),

mayoritas mereka sepakat terjadi pada

tahun 46 SM.

Menetapkan permulaan kalender Julian

dari bulan Januari pada tahun 709

dimulai dari kota Roma. Mayoritas

mereka sepakat awal penggunaan bulan

Januari sebagai awal tahun pada tahun 45

SM.

Menetapkan jumlah hari tiap bulannya

31 hari dan 30 hari silih berganti kecuali

bulan Februari 29 hari pada tahun

Basitah, dan 30 hari pada tahun Kabisat.

Pada tahun 44 SM, Julius Caesar

mengganti nama bulan ke 5 (Quintilis)

dengan menggunakan namanya Julius yang

Agung.9 Pada tahun 8 SM, Oktavianus

Augustus pengganti Julius Caesar

mengabadikan namanya sekaligus mengubah

bulan ke enam (sextilis) dengan namanya

Augustus yang agung. Hal ini Majlis Syurûq

(Senate) menyetujuiperubahan bulan ke 6

(Sextilis) dengan Agustus yang Mulia bagi

Caesar Augustus. Dan gelar ini yang

didapatkan Oktavianus atas kemenangannya

dari Antoniu dalam perang Actium pada

tahun 31 SM. Julius Caesar mengabadikan

namanya pada bulan ke 5 dengan 31 hari

(ganjil). Sedangkan Caesar Augustus

mengabadikan namanya pada bulan ke 6

dengan 30 hari (genap). Kemudian Majlis

Syuruq meramalkan pertanda buruk dari

perhitungan (angka genap bagi kepercayaan

orang Roma sebagai pertanda buruk)

8. Ibid., hal. 25-26. 9. Dr. Ali Hasan Musa,op.cit., hal. 105.

101

pasangannya (Caesar Augustus). Itulah yang

menyebabkan berubahnya bulan Agustus

yang awalnya 30 hari menjadi 31

hari,diambil 1 hari dari bulan Februari yang

jumlanya ketika itu 29 hari sehingga menjadi

hanya 28 hari saja.

Perubahan ini berdampak pada

terjadinya 3 bulan berturut-turut yang

berjumlah 31 hari, dimulai dari Juli, Agustus

dan September.Untuk mengobati keadaan ini

maka diputuskan mulai dari bulan September

30 hari silih berganti hingga Desember 31

hari.Ini merupakan kesalahan para pendeta

(biarawan) dalam pemakaian kalender ini.

Sesungguhnya mereka menafsirkan

penambahan hari disetiap tahun ke 4 akan

menyempurnakan penambahan ini sebelum

datangnya tahun ke 4. Oleh karena itu,

mereka menambahkan pada bulan Februari

setiap 3 tahun sekali. Dan mereka

mengetahui bahwa kaisar Augustus salah

sejak awal atas pemakaian kalender selama

36 tahun, sampai menyebabkan pergeseran

waktu sebanyak 12 hari.Untuk memperbaiki

kesalahan ini, Agustus memerintahkan untuk

meneliti ulang tahun-tahun Basitah yang

terdapat diantara tahun 37 sampai 48

Masehi.Hasilnya penambahan hari terjadi

pada tahun 48 sebanyak 12 hari.

Julius Caesar menetapkan tahun 45 SM

sebagai tahun 1 Julian yang bertepatan

dengan 709 tahun setelah berdirinya kota Ro-

ma. Kemudian pada tahun 532 M seorang

pendeta Rusia, Dionysius Exiguus, merubah

dasar kalender ini yang disesuaikan dengan

lahirnya Isa al-Masih, yaitu hari Sabtu tang-

gal 25 Desember tahun ke-28 masa kekaisa-

ran Agustus menurut riwayat Clement of Al-

exandria. Kaisar Agustus mulai naik tahta

pada tahun 727 Romawi, jadi Isa al-Masih

lahir pada tanggal 25 Desember 754 Romawi,

kemudian 1 januari 75410 Romawi ditetapkan

sebagai 1 Januari tahun 1 Julian.

Setelah diteliti lebih lanjut ternyata Di-

onysius tidak tepat, karena tahun 727 adalah

tahun dimana kaisar Octavius mendapat gelar

Agustus, sedangkan masa pemerintahannya

dimulai sejak tahun 723 Romawi. Jika Isa al-

Masih lahir di tahun ke-28 artinya ia lahir

pada tahun 75011 Romawi, berbeda 4 tahun

dengan tahun yang ditetapkan oleh Dionysi-

us.12

Jika riwayat Clement of Alexandria ini

benar, maka Nabi Isa As. lahir pada tahun

tersebut. Namun pada kenyataannya tidak

ada bukti yang bisa membuktikan kebenaran

akanhal ini. Akan tetapi kelahiran Nabi Isa

As. dapat diteliti dari sejarah hidup Raja

Herodos yang diriwayatkan oleh Yosefos,

sejarawan Yahudi.Bahwa Nabi Isa lahir pada

masa Raja Herodos, dan Raja Herodos

meninggal pada tahun ke-37 (dari masa

kekaisaran Agustus) saat Nabi Isa masih ka-

nak-kanak.

Dalam injil Lukas diceritakan bahwa Isa al-

Masih berumur 30 tahun ketika dibaptis oleh

Yahya, bertepatan pada tahun ke-15 masa

pemerintahan Raja Tiberius. Raja Tiberius

bergabung dengan raja Agustus tahun 765

Romawi, jadi tahun ke-15 adalah tahun 779,13

dan jika Isa al-Masih berumur 30 tahun

maka ia diperkirakan lahir tahun 749

Romawi.

10. Tahun yang sama dengan hari kelahiran Isa Almasih 11. Tahun 723 juga dihitung karena tahun itu belum selesai 12. Muhammad Muhammad Fayadh, op. cit., hal. 30-31

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

102

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Dari sejarah singkat diatas dapat disimpulkan

bahwa tidak ada bukti yang benar-benar

menunjukkan tahun kelahiran Nabi

Isa.Kesalahan yang terdapat pada kalender

masehi ini tidak dikoreksi bahkan masih

tetap dipercayai hingga kini.Hanya saja telah

dibedakan antara tahun kelahiran Isa al-

Masih dengan tahun Masehi.Jadi yang di-

maksud dengan SM (sebelum masehi) adalah

sebelum tahun Masehi dan bukan sebelum

kelahiran Nabi Isa As.14

Walaupun terdapat beberapa kesalahan,

kalender ini tetap digunakan oleh sebagian

besar penduduk bumi hingga tahun 1582

M.Bahkan umat Kristen Ortodoks (gereja

timur) masih menggunakannya, khususnya

untuk menentukan hari Natal.Hingga

akhirnya Pope Gregorius XIII melakukan

modifikasi pada kalender Julian.Perbedaan

kalender yang dinisbatkan kepada Pope

Gregorius XIII ini hanya terletak pada

perbedaan menit.Dalam 16 abad pemakaian

kalender Julian, titik balik surya sudah

bergeser maju sekitar 10 hari dari yang

seharusnya terjadi setiap tanggal 21 Maret

tiap tahun.Hal ini membuat kacaunya

penentuan hari raya Paskah yang bergantung

kepada daur candra dan daur surya di titik

balik tersebut. Dikhawatirkan Paskah akan

semakin bergeser tidak lagi jatuh di musim

semi untuk belahan Bumi utara, serta

semakin menjauhi peringatan hari

pembebasan zaman Nabi Musa

(penyeberangan laut merah).

Sejak hari pertama munculnya kalender

Masehi, para biarawan gereja mendapatkan

hak penuh dan bertindak sewenang-wenang

(sesuka hati) dalam memutuskan

penangguhan masa kekuasaan terhadap

kekuasaan kaisar Romawi. Pada masa Pope

Sixtus IVtahun 1474 M, dilakukan perbaikan

kesalahan yang terdapat pada kalender

Julian.Ia meminta bantuan ketika itu kepada

Astronom terkenal Regiomontanus, yang

akhirnya dapat menyelesaikan tugasnya

dengan cepat sebelum ajal menjemputnya.

Setelah itu, muncullah seorang ahli

Astronom dan ahli Fisika yang terkenal

bernama Ghiraldi dari Napoli yang

direkomendasikan sebagai pengganti

Regiomontanus untuk melanjutkan perbaikan

pada kalender Julian.15

Seiring dengan berjalannya waktu,

kalender Julian yang sudah tampak sempurna

itu lama-lama memperlihatkan

kemelesetannya juga.Apabila pada zaman

Julius Caesar jatuhnya musim semi mundur

hampir 3 bulan, kini musim semi justru

dirasakan maju beberapa hari dari patokan.

Akhirnya kemelesetan itu dapat diketahui

sebab-sebabnya, kala revolusi bumi yang

semula dianggap 365.25 hari, ternyata

tepatnya 365 hari, 5 jam, 56 menit kurang

beberapa detik, jadi ada kelebihan

menghitung 4 menit setiap tahun yang makin

lama makin banyak jumlanya.

1 tahun Julian lebih panjang dari rata-

rata 1 tahun tropis selama 0,0078 hari

(365,25 – 365,2422 = 0,0078) atau 11 menit

14 detik. Selisih tersebut dalam jangka waktu

128 tahun mencapai 23 jam 57 menit 41,76

detik atau 1 hari, dan setelah 1280 tahun

kesalahan mencapai 10 hari. Kesalahan ini

mengakibatkan bergesernya musim-musim

dari waktu sebenarnya.Tahun ke-128 menjadi

standar karena tahun tersebut memiliki sisa

13. Bukan tahun 780 karena tahun dimulainya (765) juga dihitung 14. Ibid., hal. 181-183

103

hari terkecil.

Penjelasan:

128 × 365,2425 = 46751,04

128 tahun: 128 × 0,0078 × 24 = 23,9616

dibulatkan menjadi 24 jam = 1 hari

Dalam masa 400 tahun selisih tahun

Julian dengan tahun tropis mencapai 3 hari,

(400 × 0,0078 = 3,12) artinya setiap 400 ta-

hun Julian harus dikurangi sebanyak 3 hari.

Pengurangan ini dilakukan dengan mengubah

sistem tahun kabisat.Jika suatu tahun habis

dibagi 4 tetapi tidak habis dibagi 100, terma-

suk tahun kabisat.Contohnya, tahun 1612

1704 termasuk tahun kabisat.Jika suatu tahun

habis dibagi 100, tetapi tidak habis dibagi

400, maka tahun tersebut bukan tahun

kabisat.Jika habis dibagi 400, termasuk tahun

kabisat. Jadi, tahun 1700 1800 1900 bukan

tahun kabisat, sedangkan tahun 1600 2000

2400 termasuk tahun kabisat.16

Tahun ke-400 dijadikan standar karena

pada tahun tersebut tidak memiliki sisa hari.

Penjelasan:

1 tahun pendek = 365 hari = 52 minggu + 1

hari

1 tahun kabisat = 366 hari = 52 minggu + 2

hari

1 abad = 76 tahun pendek + 24 tahun

kabisat17

1 abad = (76 × 1) + (24 × 2) = 124 hari

124 hari = 17 minggu + 5 hari

Jadi:

1 abad = (52 × 100) + 17 minggu + 5 hari

2 abad = (52 × 200) + 18 minggu + 3

hari

3 abad = (52 × 300) + 19 minggu + 1

hari

4 abad = (52 × 400) + 20 minggu + 0

hari

Dalam kalender Gregorian terdapat 97 tahun

kabisat pada setiap 4 abad. Jadi panjang rata-

rata 1 tahun Gregorian adalah 365,2425 hari

atau 365 hari 5 jam 49 menit 12 detik. Se-

dangkan panjang tahun tropis adalah 365 hari

5 jam 48 menit 46 detik. Selisihnya dalam

setahun adalah 0,0003 hari atau 26 detik,

yang berarti akan terjadi perbedaan 1 hari

setelah ±3300 tahun, dan solusi yang terbaik

untuk menanggulanginya adalah menjadikan

tahun ke 4000 menjadi tahun pendek.18

Penjelasan:

1 tahun Gregorian: 365 + (97 ’ 400) =

365,2425

1 tahun tropis : 365,2422

selisihnya : 365,2425 – 365,2422 = 0,0003

hari

0,0003 × 24 = 0,0072 jam = 25,92 detik dibu-

latkan menjadi 26 detik

0,0003 × 3300 = 0,99 hari

Dan sejak tahun 325 M hingga tahun

1582 M selisih mencapai 10 hari.Oleh karena

itu, pada tanggal 5 Oktober 1582 kalender

Julian diganti menjadi tanggal 15 Oktober

1582 Gregorian.Dan pada tanggal inilah

ditetapkannya kalender Gregorian sebagai

kalender gereja.Koreksi yang dilakukan pada

kalender ini bertujuan untuk mengembalikan

ketepatan waktu-waktu peribadatan yang

telah bergeser hingga 10 hari dari yang

semestinya. Pada tahun Julian 365,25 hari,

15. Dr. Ali Hasan Musa, op.chit, hal. 107.

16. Muhammad Muhammad Fayadh, op. cit., hal. 32-33 17. Sebenarnya 1 abad memiliki 25 tahun kabisat, namun tahun ke-100 telah disepakati bukan sebagai tahun

kabisat, oleh karena itu 1 abad hanya memiliki 24 tahun kabisat.

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

104

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

maka pada tahun gregorius mencapai

365,2422 hari, jadi perbedaan antara kalender

Julian dengan kalender Gregorian mencapai

0.0078 hari atau 11 menit 14 detik. Hal ini

membuat tahun-tahun berikutnya kacau

hingga membuat pengoreksian ulang

terhadap kalender Julian.

Atas kemelesetan itu, Paus Gregious XIII

pimpinan gereja Katolik di Roma pada tahun

1582 melakukan koreksi dan mengeluarkan

sebuah keputusan bulat:

1. Angka tahun pada abad pergantian, yakni

angka tahun yang diakhiri 2 nol, yang tid-

ak habis dibagi 400, misal 1700, 1800 dan

sebagainya, bukan lagi sebagai tahun

Kabisat (catatan: jadi thn 2000 yang habis

dibagi 400 adalah tahun Kabisat).

2. Untuk mengatasi keadaan darurat pada

tahun 1582, diadakan pengurangan

sebanyak 10 hari jatuh pada bulan Ok-

tober. Pada bulan Oktober 1582, setelah

tanggal 4 Oktober langsung ke tanggal 15

Oktober.

3. Sebagai pembaharu terakhir Paus Gregori-

us XIII menetapkan 1 Januari sebagai

awal tahun baru lagi. Berarti perhitungan

biarawan Katolik (Dionysius Exiguus)

tergusur seketika itu juga. Tahun baru

bukan lagi tanggal 25 Desember se-

bagaimana yang dipahami sebagai hari

kelahiran Nabi Isa As. (Yesus) yang lahir

pada tanggal tersebut; dan permulaan

musim semi pada tanggal 21 Maret.

Pemikiran tentang koreksi ini

sebenarnya telah mulai dipergunjingkan

dengan keluarnya tabel-tabel koreksi oleh

gereja sejak masa Paus Pius V pada tahun

1572. Dekrit rekomendasi baru dikeluarkan

oleh penggantinya, yaitu Paus Gregorius

XIII, dan disahkanlah pada tanggal 24

Februari 1582 dengan mendatangkan seorang

ahli astronomi sekaligus seorang biarawan

bernama Christopher Clavius. Isinya antara

lain tentang koreksi daur tahun Kabisat dan

pengurangan 10 hari dari kalender

Julian.Sejak tahun 325 M hingga tahun 1582

M selisih mencapai 10 hari.Oleh karena itu,

pada tanggal 5 Oktober 1582 kalender Julian

diganti menjadi tanggal 15 Oktober 1582

Gregorian.Pada tanggal inilah ditetapkannya

kalender Gregorian sebagai kalender

gereja.Tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582

tidak pernah ada dalam sejarah kalender

ini.Sejak saat itu, titik balik surya bisa

kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret

tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang

baru disahkan untuk menentukan perayaan

Paskah di seluruh dunia.

Pada mulanya yang mengikuti kepu-

tusan paus untuk mengubah kalender sudah

tentu hanyalah negara-negara Eropa yang

mayoritas Katolik.Hal ini pun menimbulkan

kegemparan di kalangan masyarakat awam.

Banyak orang yang ketakutan seandainya

usia mereka berkurang sepuluh hari, dan para

pekerja menuntut upah bagi sepuluh hari

yang dianggap hilang. Adapun negara-negara

Protestan, Anglikan dan Ortodoks tetap me-

makai kalender Julian.Mereka mencurigai

mungkin saja keputusan paus itu hanya taktik

untuk mengembalikan otoritas Katolik Roma

di bidang agama.Apalagi Paus Gregorius

XIII sangat dibenci kaum Protestan, sebab

memprakarsai pembunuhan massal orang

Protestan pada hari Santo Bartholemeus di

Paris tahun 1572.

Menjelang akhir abad ke-17, tahun

1698, seorang ilmuwan Jerman yang

18. Muhammad Muhammad Fayadh, op. cit., hal. 34

105

berwibawa saat itu, Prof. Dr. Erhard Weigel,

mengirim surat kepada raja-raja Eropa yang

beragama Protestan agar menerima kalender

Gregorian. Weigel menegaskan bahwa

pemakaian kalender itu tidaklah berarti

tunduk kepada paus. Ini masalah ketepatan

peredaran benda langit, kata Weigel, bukan

masalah agama.

Maka pada awal abad ke-18 negara-

negara Protestan menerima kalender

Gregorian. Inggris negara Anglikan mulai

mengikutinya pada tahun 1752, dengan

menyatakan bahwa setelah tanggal 2

September 1752 langsung tanggal 14

September 1752. Hal ini juga berlaku untuk

seluruh jajahan Inggris, termasuk Amerika

Utara (Amerika Serikat dan Kanada

sekarang) yang saat itu belum merdeka.

Akibatnya, George Washington, yang

nantinya menjadi presiden pertama Amerika

Serikat, terpaksa mengubah tanggal lahirnya

dari 11 Februari 1732 menjadi 22 Februari

1732.

Negara-negara Eropa Timur yang

menganut Kristen Ortodoks baru menerima

kalender Gregorian sesudah Perang Dunia I

berakhir. Rusia memberlakukannya tahun

1918 dengan menyatakan bahwa 31 Januari

langsung disusul 13 Februari. Hari

penghapusan kekaisaran Rusia yang

berlangsung tanggal 7 November 1917

(menurut kalender Gregorian) sampai

sekarang masih disebut ―Revolusi Oktober‖,

sebab hari itu di Rusia masih berlaku

kalender Julian tanggal 25 Oktober. Negara

Eropa terakhir yang menerima kalender

Gregorian adalah Yunani tahun 1923.

Di negara-negara Asia, Afrika dan

Amerika Latin, penyebaran kalender

Gregorian dilakukan oleh negara-negara

Eropa yang menjajahnya. Mesir mulai

memakai kalender ini tahun 1875 pada masa

Khadev Ismail. Dan secara resmi dipakai di

seluruh Indonesia mulai tahun 1910 dengan

berlakunya Wet op het Nederlandsch

Onderdaanschap, hukum yang

menyeragamkan seluruh rakyat Hindia

Belanda.19

Kalender Hijriah

Dimasa pra Islam, belum dikenal

penomoran tahun seperti yang kita kenal saat

ini, sebuah tahun ditandai dengan nama

peristiwa yang terjadi, seperti ―Tahun

Gajah‖ (tahun lahirnya baginda Nabi

Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi

penyerbuan Ka‘bah oleh pasukan bergajah

yang dipimpin Abrahah. Setelah datangnya

Islam, penanggalan juga senantiasa

ditetapkan berdasarkan kejadian-kejadian

yang ada, dinamakanlah tahun pertama

hijrahnya Nabi Muhammad sebagai

tahun'idzn' (izin) yaitu tahun diizinkannya

untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun

'amr' (perintah), yaitu tahun diperintahkannya

untuk berperang. Tahun ketiga disebut tahun

'tamhîsh' (ujian), tahun keempat disebut

tahun ‘tarfi’ah’, tahun kelima disebut tahun

'zilzâl' (gempa), tahun keenam disebut tahun

'isti'nâs' (keramahan), tahun ketujuh disebut

tahun 'istiqlâb' (peleburan), tahun kedelapan

disebut tahun istiwâ' (tropis), tahun

kesembilan disebut tahun

'barâ'ah' (pembebasan), tahun kesepuluh

disebut tahun 'wada'' (haji wada'), dan

sebagainya.20

Pada awalnya penamaan tahun-tahun

yang telah berlangsung lama ini tidak

terdapat masalah. Hingga pada masa

Khalifah Umar bin Khattab,beliau mendapat

surat dari sahabat Musa Al Asy‘ari, gubernur

Kuffah yang isinya:21

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

106

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

“Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari

kamu beberapa surat-surat, akan tetapi surat

-surat itu tidak ada tanggalnya”.

Setelah membaca surat tersebut terjadi

sebuah kebingungan pada surattersebut yang

hanya tercantum bulan syaban tanpa

diketahui bulan syaban tahun ini ataukah

bulan syaban tahun kemarin. Akhirnya

setelah kejadian tersebut khalifah Umar

memanggi l beberapa orang sahabat

terkemuka guna membahas permasalahan

tersebut serta mencari solusi agar tidak

terulang lagi.Dengan berbagai usulan dan

pendapat akhirnya rapat memutuskan dan

memilih awal kalender Islam dimulai dari

tahun hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari

Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan

dari sahabat Ali ra. Dinamakanlah kalender

tersebut dengan Kalender Hijriah. Sejak saat

itu, ditetapkan tahun hijrah Nabi sebagai

tahun satu, (1 Muharram 1 H) bertepatan

dengan (16 Juli 622 M). Dan tahun

dikeluarkannya keputusan itu langsung

ditetapkan sebagai tahun 17 H.

Sedangkan nama-nama bulan pada kal-

ender hijriah tetap menggunakan nama-nama

bulan yang sudah ada sejak masa pra islam

dan dikenal oleh masyarakat arab saat itu.

Adapun nama-nama bulan pada kalender hi-

jriah, diantaranya:

Muharam

Bulan Muharram merupakan bulan per-

tama pada penanggalan Hijriah. Pada ma-

sa Jahiliah, Bulan tersebut memiliki nama

bulan Safar Awal, karena saat itu terdapat

dua bulan Safar. Bulan Muharram sendiri

merupakan nama dari bulan Rajab pada

masa Jahiliah. Dari segi bahasa, Muhar-

ram memiliki arti pelarangan, yang mana

pada bulan Muharram terdapat larangan

untuk saling berperang.22

Safar

Bulan kedua dari bulan Hijriah dan ju-

ga pada zaman Jahiliah.Dari segi bahasa,

Safar berasal dari kata sifat untuk warna

emas, yaitu kuning.Hal tersebut dikare-

nakan daun-daun di dahan pohon

menguning pada saat itu, karena bulan ter-

sebut merupakan salah satu bulan pada

awal musim panas. Pada bulan safar ini

pulalah kaum Arab kembali untuk ber-

perang, dan melaksanakan kegiatan mere-

ka sebagaimana biasanya setelah

selesainya bulan Muharram yang diha-

ramkan di dalamnya untuk berperang.23

Rabiul Awal dan Rabiul Tsani

Dua bulan tersebut merupakan bulan

ketiga dan keempat dalam penanggalan

Hijriah.Rabī‟ berarti semi yaitu musim

semi terjadi pada dua bulan tersebut.Pada

zaman Jahiliah, bangsa Arab belum

mengenal pembagian empat musim da-

lam satu tahun, sehingga mereka mem-

bagi satu tahun menjadi enam musim.24

Bangsa Arab pada zaman Jahiliah mem-

beri nama bulan Rabiul Awal dengan

Khowān dan bulan Rabiul Akhir dengan

Basyān.25

19. http://maulanusantara.wordpress.com/2008/01/04/kalender-masehi-sekarang-seharusnya-tahun-2013-masehi/ (diakses tanggal 10 november 2013 pukul 17:10)

20. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, Teori Astronomi Fikih dan Praktek, (Kairo: Lembaga Penerbitan PCIM-Kairo, cet. II, 2010), hal.24.

21. Dr. Nazar Mahmud Qasim al-Syeikh, al-Ma’âyîr al-Fiqhîyah wa al-Falakîyah fî I’dâdi al-Taqâwîm al-Hijrîyah, (Beirut: Darul Basyair al-Islamiyah, 2009) hal. 128-131. Lihat juga: Prof. Dr. Susiknan Azhari, Kalender Islam ke Arah Integrasi Muhammadiyah-NU,(Yogyakarta: Museum Astronomi Islam, 2012), hal. 47.

107

Jumadil Awal dan Jumadil Akhir

Bulan kelima dan keenam dari pe-

nanggalan Hijriah. Bangsa Arab pada

zaman Jahiliah menyebutnya dengan bu-

lan Jumādal Sittah dan Jumādal sab‟ah

dan memberi julukan untuk dua bulan

tersebut dengan syaibāni atau milhāni

yang berarti dua uban dan dua garam, hal

itudisebabkan karena kedua bulantersebut

merupakan bulan di musim dingin, kare-

nanya, bulan tersebut diberi nama

jumāda yang diambil dari kata jamad

yang berarti beku.26

Rajab

Rajab merupakan bulan ketujuh dari

penanggaalan Hijriah. Bangsa Arab pada

zaman jahiliah memberinya nama dengan

al-asyommu, sebab diberinya nama terse-

but dengan diharamkannya bangsa Arab

untuk berperang pada bulan-bulan terse-

but.27

Sya‘ban

Bulan Sya‘ban merupakan bulan

kedelapan dari penanggalan Hijriah. Pada

zaman Jahiliah bulan ini memiliki na-

ma„Ādil yang berarti tidak memihak pada

satu sisi.Bulan Sya‘ban merupakan Bulan

sapi yang disucikan dan diagungkan oleh

Bangsa Sumiriyah.Ia juga merupakan

Bulan Ketuhanan bagi Bangsa Babilonia.

Selain ituia juga disebut bulan Tuhan Ke-

hidupan oleh Bangsa Yunani dan Bangsa

Romawi.28

Ramadan

Bulan Ramadan merupakan bulan

kesembilan dari penanggalan Hi-

jriah.Bulan ini merupakan bulan am-

punan yang penuh berkah, karena dalam

bulan tersebut diampuninya dosa-dosa

hamba-Nya yang bertaubat.Bulan ini

merupakan bulan kesabaran.Bulan Rama-

dan merupakan satu-satunya bulan Hijri-

yah yang disebut dalam ayat al-Quran.

Pada zaman Jahiliah, bangsa Arab mem-

berinya namaNātiq, dan pada riwayat

lainnya Nāfiq. Ramadan diambil dari kata

Ramdu, yang memiliki arti kata panas

yang sangat menyengat.29

Syawal

Bulan Syawal merupakan bulan kese-

puluh dalam penanggalan Hijriah. Pada

masa Jahiliah, bangsa Arab memberinya

nama dengan wâgil ( ) atau wa‟Il اغم(

dan setelah datang islam bulanعم(

tersebut diberi nama baru yaitu syawal.

Bulan Syawal dalam penanggalan Ba-

bilonia disebut dengan bulan Abu.30

Dzulqo‘dah

Bulan kesebelas dari penanggalan Hi-

jriah. Pada masa Jahiliah bulan ini berna-

ma Hawā‟ yang memiliki makna nikmat

yang melimpah. Kata Dzulqo‘dah berasal

dari kata Qo‟ada yang berarti duduk atau

berhenti, disebut Dzulqo‘dah karena pada

bulan tersebut kaum Arab berhenti untuk

berperang. Bulan Dzulqo‘dah dan

22. Dr. Samir Syams, Taqâwîm, (Beirut: Dar Shadir, cet. I, 2006), hal. 64-67. 23. Ibid.,hal. 67-69. 24. Adapun enam musim yang dimaksud adalah dua bulan untuk musim semi yang pertama, dua bulan untuk

musim gugur, dua bulan untuk musim dingin, dua bulan untuk musim semi yang kedua, dua bulan untuk musim panas, dua bulan untuk musim sangat panas.

25. Dr. Samir Syams, op.cit.,hal. 69-72. 26. Ibid., hal. 72-75.

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

108

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Dzulhijjah merupakan bulan untuk

berdagang dan berbelanja, karena pada

bulan tersebut merupakan bulan haji se-

hingga banyak suku-suku bangsa Arab

yang berdatangan ke kota Makkah untuk

berhaji, oleh karena itu banyak dari

masyarakat Arab yang memanfaatkannya

untuk berdagang, mereka mendirikan

pasar-pasar, contoh pasar terbesar pada

masa itu adalah yang terletak antara kota

Makkah dan Thoif.31

Dzulhijah

Bulan terakhir dari penanggalan Hi-

jriah. Pada masa Jahiliah, bangsa Arab

memberinya namaBuraka. Bulan tersebut

memiliki keutamaan tersendiri bagi bang-

sa Arab, hal tersebut dikarenakan pada

bulan Dzulhijjah ditunaikannya ibadah

haji sebagai salah satu dari rukun Is-

lam.Pada bulan ini pula diharamkan un-

tuk berperang.32

Landasandan Metode Penanggalan

Kalender Masehi

Penanggalantahun matahari, yang

dikenal juga dengan tahun tropical (sanah al

madariyah), adalah periode berakhir/

berlalunya dua kedudukan di matahari dari

titik hamal (i'tidal rabî'î) secara gerak semu

disekitar Bumi dengan masa 365 hari 5 jam

48 menit 46 detik (365,2422 hari).33 Seperti

yang telah kami paparkan diatas kalender

masehi berdasarkan pergerakan matahari atau

gerak semu matahari mengelilingi bumi.

Gerak semu matahari dibagi menjadi dua,

diantaranya:

a. Gerak Semu Matahari Harian

Matahari memiliki gerak semu harian

yang berbentuk lingkaran, disebut dengan

lingkaran ekliptika, setengah lingkaran be-

rada diatas ufuk dan sisanya dibawah ufuk.

Gerak matahari akan dimulai dari titik timur

(terbit) dan berakhir (tenggelam) di titik bar-

at, titik terbit matahari dapat berubah-ubah

sepanjang tahun, hal ini disebabkan oleh

kemiringan poros bumi terhadap cahaya ma-

tahari akibat revolusi bumi. Oleh karena itu

lingkaran ekliptika yang berada diatas ufuk

dapat berubah-ubah dan waktu siang pun

akan berubah sesuai dengan lingkaran terse-

but. Titik terbit matahari pada musim dingin

akan mendekati arah selatan, maka waktu

siang pada musim dingin akan lebih pendek

dibanding waktu siang pada musim panas

dan begitu pula sebaliknya.34

b. Gerak Semu Matahari Tahunan

Adalah gerak semu matahari yang ter-

lihat dari bumi setiap tahun akibat revolusi

bumi. Saat bumi dan benda-benda langit

lainnya bergerak mengelilingi matahari maka

benda-benda tersebut akan kembali ke posisi

awal relatif terhadap matahari, lain halnya

dengan matahari yang selalu berubah apabila

diukur dengan bintang-bintang yang tetap.

Contohnya jika hari ini matahari terlihat

berdekatan dengan rasi bintang Leo, esok

hari matahari akan terlihat berdekatan dengan

rasi bintang lainnya.35

Ada dua jenis gerak semu matahari ta-

hunan;

1. Tahun sideris (sidereal year) adalah

27. Ibid.,hal. 75-78. 28. Ibid.,hal. 78-82. 29. Ibid.,hal. 83-87. 30.Ibid.,hal. 87-89. 31. Ibid.,hal. 89-93.

109

periode yang dibutuhkan matahari un-

tuk berputar 360º pada lingkaran

ekliptika atau periode yang dibutuhkan

matahari untuk bergerak semu dimulai

dari suatu titik yang tetap dan kembali

kepada titik tersebut yaitu 365,2564

hari.

2. Tahun tropis (tropical year) adalah

periode yang dibutuhkan matahari un-

tuk bergerak semu mengelilingi bumi

dimulai dari titik equinox 136 menuju

equinox 2 dan kemudian kembali ke

equinox 1 yaitu 365,2422 hari.

Perhatikan gambar diatas, pertama ta-

hun sideris membutuhkan waktu berputar

penuh 360º mengelilingi garis ekliptika (yang

berwarna merah) dari titik awal sampai keti-

tik awal lagi dan membutuhkan waktu

365,2564 hari.Kedua, tahun tropis dimulai

dari titik equinox 1 (titik vernal equinox) ke

titik equinox 2 (titik autumnal equinox) sam-

pai akhirnya kembali ke titik equinox 1 dan

membutuhkan waktu 365,2422 hari.

Dari kedua tahun diatas, yang sering

dipakai sebagai dasar pembuatan kalender

adalah tahun tropis saja. Hal ini disebabkan

karena tahun sideris tidak sesuai dengan ak-

tivitas manusia di bumi, karena ketika ma-

tahari bergerak semu mengelilingi bumi

maka ia akan memiliki kecepatan yang tidak

tetap jika diukur berdasarkan bintang

lainnya.37

Disamping itu bumi memiliki

kemiringan 23,5º dari titik porosnya dan be-

rakibat bumi memiliki 4 musim. Salah satu

ciri kalender masehi sesuai dengan perganti-

an musim. Musim semi dimulai sejak tanggal

21/22 maret tiap tahunnya, musim panas dim-

ulai sejak tanggal 20/21 juni tiap tahunnya,

musim gugur dimulai sejak tanggal 22,23

september tiap tahunnya dan musim dingin

dimulai sejak tanggal 21/22 desember tiap

tahunnya. Lebih jelasnya silahkan perhatikan

gambar dibawah ini:

Kalender Hijriah

Penanggalan bulan (qamary) adalah

penanggalan yang didasarkan pada peredaran

Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya

dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit 3

detik (29,530589 hari)dengan kecepatan

3.700juta km/jam.38 Dari peredaran ini,

dalam 12 bulan berarti sama dengan

354,3670694 hari (354 hari, 8 jam, 8 menit,

35 detik), yang berarti lebih sedikit dari tahun

Matahari sekitar 11 hari (10 hari 21 jam).

Penanggalan Bulan dimulai dari terbenamnya

Matahari (setelah terjadinya konjungsi Bulan

dan Matahari) yang ditandai dengan

terlihatnya hilal atau dengan perhitungan

(hisab). Penanggalan ini digunakan umat

Islam dalam menentukan waktu-waktu

ibadah terutama penetapan awal Ramadan-

Syawal dan Dzulhijjah.39

Adapun dua jenis pergerakan bulan,

sebagai berikut:

1. Bulan Sideris (Siderial month): periode

yang dibutuhkan bulan untuk berputar

360° mengelilingi bumi, lamanya

27,321 hari.F

2. Bulan Sinodis (Synodic month): periode

antara satu bulan baru dengan bulan

32. Ibid.,hal. 93-98. 33. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, op.cit.,hal. 17-18., lihat juga: Dr. Ali Hasan Musa, op.cit.,hal. 99. 34. Dr. Ali Hasan Musa, op.cit., hal. 9-11 35. Ibid, hal. 11-13

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

110

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

baru lainnya, lamanya 29,53059 hari

atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.

Ada perbedaan sekitar 2 hari dengan

siderial month karena bumi juga berev-

olusi terhadap matahari pada arah yang

sama, sehingga untuk mencapai

konjungsi berikutnya memerlukan tam-

bahan waktu.F40

Perhatikan dua gambar diatas, pertama

bulan sideris adalah perputaran bulan

mengelilingi bumi dari titik awal sampai keti-

tik awal sebelumnya sebesar 360° (satu pu-

taran penuh) yang membutuhkan waktu

27,321 hari. Kedua bulan sinodis adalah per-

putaran bulan mengelilingi bumi dari titik

konjungsi41 sampai ke titik konjungsi beri-

kutnya yang membutuhkan waktu 29,53059

hari. Perputaran bulan mengelilingi bumi

yang disebut juga dengan revolusi bulan

mengelilingi bumi searah dengan revolusi

bumi mengelilingi matahari.Disamping bulan

berevolusi, bulan juga berotasi pada po-

rosnya. Rotasi bulan dan revolusi bulan sama

membutuhkan waktu 29,53059 hari. Hal ini

mengakibatkan wajah bulan yang tampak ke

bumi hanya sebagian saja (selalu sama tidak

pernah berubah) dan mengalami perubahan

bentuk bulan (fase-fase bulan), sedangkan

sebagian yang lainnya tidak akan pernah kita

bisa melihatnya dari bumi. Lebih jelasnya

fase-fase bulan perhatikan gambar dibawah

ini :

Kalender Hijriah juga memiliki tahun

panjang dan tahun pendek atau biasa disebut

dengan tahun kabisat (tahun panjang) dan

tahun basithah (tahun pendek).Pada kalender

masehi tahun kabisat itu 4 tahun sekali dan

sisanya tahun basithah atau biasa disebut

dengan 1 daur 4 tahun sekali. Sedangkan pa-

da kalender hijriah 1 daurnya selama 30 ta-

hun, dalam 1 daur terdapat 11 kali tahun

kabisat dan 19 kali tahun basithah. Pada kal-

ender masehi satu tahunnya selama 365,25

hari, untuk menggenapkan 0,25 hari hanya

dibutuhkan 4 kali putaran atau selama 4 ta-

hun, sedangkan pada kalender hijriah satu

tahunnya selama 354,3670694 hari atau 354

hari, 8 jam, 8 menit, 35 detik, untuk

menggenapkan sisa hari 8 jam, 8 menit, 35

detik tersebut membutuhkan waktu paling

cepat 30 tahun. Inilah letak perbedaan tahun

kabisat dan tahun basithah antara kalender

masehi dengan kalender hijriah. Untuk lebih

36. Equinox 1 dan 2 adalah titik perpotongan antara lingkaran ekliptika dengan lingkaran ekuator langit.Lihat: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, op.cit., hal. 18

37. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Sibâhah Fadhâiyah fî Âfâqi ‘Ilmi Falak, (Kuwait: al-Âjiry, 1999), hal. 212-213 38. Dr. Nazar Mahmud Qasim al-Syeikh, op.cit.,hal. 152.

111

39. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, op.cit.,hal. 19. 40. Abdul Aziz Bakri Ahmad, Mabâdi’ ‘Ilmi’l Falak al-Hadîts, (Kairo: Maktabah al-Dâr al-‘Arabiyah li’l Kitâb, cet. I,

2010), hal. 539. Lihat juga: Syarqawi Muhammad Shâlih al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah, vol. II (Kuwait: Mu’assasah al-Kuwait li al-Taqaddum al-‘Ilmi, t.t), hal. 1741.

41. Terjadinya konjungsi; dimana kedudukan Matahari, Bulan dan Bumi berada pada satu garis lurus bidang ekliptika. Lihat: Dr. Nazar Mahmud Qasim al-Syeikh, op.cit.,hal. 151-159.

jelasnya tahun kabisat dan tahun basithah

pada kalender hijriah perhatikan syair

bibawah ini:

كف انخهيم كف ديبو # عه كم خم حب فصبو

Tiap huruf yang bertitik menunjukkan

tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik

menunjukkan tahun basithah. Dengan

demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada

tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26

dan 29, sedangkan sisanya adalah tahun

basithah.42

Dalam hal penerapannya secara global

ada 2 cara dalam menentukan awal bulan

(diluar pro dan kontra) yaitu dengan cara

rukyat dan hisab. Pertama rukyat hilal,

secara harfiyah rukyat bermakna melihat dan

memandang dengan mata.Sedangkan hilal itu

sendiri secara harfiyah bermakna bulan sabit

muda.Menurut pengertian syariah, rukyat hi-

lal berarti melihat dengan mata telanjang

setelah terbenamnya matahari pada hari ke-

29 dari bulan yang lalu dari orang yang

mengakui telah melihat hilal dan menerima

kesaksiannya, kemudian memutuskan ma-

suknya bulan baru berdasarkan kesaksian

orang tersebut.Kedua hisab falak, secara

harfiah, hisab bermakna perhitungan, dalam

Firman Allah Swt. yang berbunyi, ―Matahari

dan bulan beredar menurut perhitungan”. 43

Kata falak itu sendiri berarti gerak edar

(orbit) bintang-bintang. Menurut istilah hisab

falak berarti ilmu yang membahas tentang

keadaan bintang-bintang dilangit, atau ilmu

yang mempelajari apa-apa yang ada dilangit,

misalnya planet-planet, matahari, bulan dan

bintang-bintang.

Simpulan

Demikian pemaparan singkat tentang

sejarah singkat perkembangan kalender

masehi dan kalender hijriah serta landasan

dan metode penerapan keduanya.Kesimpulan

dari pembahasan diatas adalah bahwa dalam

sistem penanggalan kalender Masehi terdapat

banyak sekali kerancuan dan kebingungan.

Salah satu sebab kerancuan dan kebingungan

yang terjadi adalah karena kebiasaan orang-

orang yang berkuasa dan berkepentingan

pada masa itu untuk merubah penanggalan

sesuai dengan kebutuhan dan kehendak

mereka. Tidak jauh beda dengan sstem

penanggalan, bahkan kitab suci agama

mereka pun bisa dirubah sesuai dengan

kepentingan mereka.

Sebenarnya jika ditelaah lebih

mendalam, pemakaian kalender Hijriah jauh

lebih tepat dan akurat karena tidak pernah

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

112

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

42. Dr. Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muham-madiyah, cet. II, 2007), hal. 103. Lihat juga: Dr. Muhammad Basil al-Tha’I, Ilmu Falak wa al-Taqâwîm, (Beirut: Dar al-Nafais, 2007), hal. 248.

43. QS. ar-Rahman: 5

terjadi perubahan dan pergeseran sejak awal

ditetapkannya benarlah bahwa al-Quran

dapat dijadikan bukti nyata bahwa

penggunaan kalender hijriah lebih mudah

dalam pemakaian dan lebih terjaga

ketepatannya, sedangkan di dalam kalender

masehi telah terjadi perubahan dan

pergeseran oleh tangan-tangan orang yang

tidak bertanggung jawab. Namun tidak

semua orang dapat menyadarinya. Hanya

orang-orang yang berilmulah yang dapat

mengetahuinya. Walaâhu a‟lamu bi al-

Shawâb

Daftar Pustaka

Alquran al-Karim.

Ahmad, Abdul Aziz Bakri.2010.Mabâdi’ ‘Ilmi’l

Falak al-Hadîts. Kairo: Maktabah al-Dâr

al-‘Arabiyah li’l Kitâb.

Al-Dalal, Syarqawi Muhammad Sha-

lih.t.t.Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l

Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah. Ku-

wait: Mu’assasah al-Kuwait li al-

Taqaddum al-‘Ilmi.

Al-Tha’I, Muhammad Basil. 2007. Ilmu Falak

wa al-Taqâwîm.Beirut: Dar al-Nafais.

Al-Syeikh, Nazar Mahmud Qasim.2009.al-

Ma‟âyîr al-Fiqhîyah wa al-Falakîyah fî

I‟dâdi al-Taqâwîm al-Hijrîyah.Beirut:

Darul Basyair al-Islamiyah.

Azhari, Susiknan. 2012. Kalender Islam ke

Arah Integrasi Muhammadiyah-

NU.Yogyakarta: Museum Astronomi

Islam.

-----------------. 2007.Ilmu Falak Perjumpaan

Khazanah Islam dan Sains Modern.

Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Butar Butar, Arwin Juli Rakhmadi. 2010.Teori

Astronomi Fikih dan Praktek.Kairo:

Lembaga Penerbitan PCIM-Kairo.

Muhammad, Muhammad Fiyadh. 2003.al-

Taqâwîm. Kairo: Nahdetmisr.

Musa, Ali Hasan. 1998.al-Tauqît wa al-

Taqwîm. Damaskus: Daru`l Fikri.

Sulaiman, Muhammad Ahmad. 1999.

Sibâhah Fadhâiyah fî Âfâqi „Ilmi Fa-

lak. Kuwait: al-Âjiry.

Syams, Samir. 2006.Taqâwîm. Beirut: Dar

Shadir.

113

Muhammad Faiq Aziz dilahirkan di Semarang tanggal 20

Juli 1991. Selepas lulus sekolah dasar Faiq kemudian

melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Pondok

Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Faiq sempat

merasakan bagaimana menjadi pengurus tata usaha di

pondok dan juga menjadi staf foto copy ketika di Pondok.

Faiq menjadi alumni pada tahun 2009 dan kemudian

mengabdi sebagai pengajar selama setahun di Pondok Modern Darul Ma‘rifat Gontor 3 Kediri.

Selepas mengajar selama setahun, Faiq melanjukan perjalanan intelektualnya ke Mesir dan kini

tercatat sebagai Mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Sejarah Fakultas Bahasa Arab, Universitas

Al-Azhar Kairo. Selain kuliah Faiq juga mengikuti beberapa kajian di antaranya kajian I‘jaz

tentang tafsir dan kajian Klub Sejarah. Makanan kesukaan Faiq adalah bebek goring. Dan moto

favoritnya: man jadda wajada. Anda bisa menghubungi Faiq melalui:

Facebook: Faiq Aziz No HP: 01140961212

Umar Abdulloh lahr pada tanggal 27 Mei 1991. Setelah

menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, ia melanjutkan pendidi-

kannya di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Selain suka

menulis, Umar juga menyukai Bahasa Inggris sejak di pondok hingga

akhirnya Umar dipilih menjadi salah satu staf Penggerak Bahasa

Pusat di Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM). Dan kemudian

lulus pada tahun 2007.

Selama di Mesir Umar telah malang melintang di dunia jurnalisti Masisir. Sempat men-jadi Pemimpin Redasi Bulletin Carawala IKPM, kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah la tansa IKPM, dan dirinya sempat tercatat pula sebagai tim redaksi Buletin Informatika ICMI Kairo. Makanan kesukaannya adalah yang halal, banyak, dan gratis. Dan kata-kata mutiara fa-voritnya: ―to thine own self be true‖-Hamlet, Shakespeare-. Anda bisa menghubunginya melalui Facebook: Umar Vrathdar, atau No. HP: 01141063894.

BIOGRAFI PENULIS

UMAR ABDULLOH

MUHAMMAD FAIQ AZIZ

114

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Abdul Ghani lahir di Tasikmalaya, 7 September 1991. Abdul

Ghani belajar di SDN Salacau dari tahun 1998-2004, setelah lulus

dari SD tersebut Abdul Ghani melanjutkan pendidikannya di Mts.

Cipaingeun dari tahun 2004-2007. Selanjutnya perjalanan intel-

ektualnya dilanjutkan di MAN Sukamanah dari tahun 2007-2010.

Selepas lulus Aliyah Abdul Ghani mengambil keputusan untuk merantau menimba ilmu di

salah satu Kota Metropolitan nan bersejarah di Dunia Islam, Kairo. Dia menjadi Mahasiswa di

Universitas Al-Azhar Jurusan Akidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin.

Abdul Ghani memiliki segudang pengalaman dalam dunia organisasi. Sewaktu duduk

di bangku Mts Abdul Ghani pernah menjabat sebagai ketua OSIS (2006). Dia juga pernah ter-

catat sebagai ketua IPMT (Ikatan Pelajar Muslim Tasikmalaya) pada tahun 2009. Beliau juga

sempat menjadi Pemred Majalah ―Baitu Mujahidin‖ milik Ponpes Sukamanah pada tahun

2008. Dia juga pernah menjadi penanggungjawab bidang pendidikan di Pondok Pesantren

Sukamanah (2009-2010). Dia juga merupakan penanggungjawab Departemen Sosial KPMJB

tahun 2011. Tidak hanya itu, Beliau juga pernah menjadi Reporter Majalah Afkar NU Mesir

(2011-sekarang), Koordinator LDNU Mesir (2012-sekarang), dan juga sebagai Koordinator

forum kajian SAS Center (Said Agil Siradj Center) sejak tahun 2012 hingga sekarang. Kata-

kata mutiara favoritnya: ―Tujuanku untuk meraih apa yang aku cari, aku tidak peduli dengan

kelelahan‖.

INDRA GUNAWAN

Ust. Indra Gunawan, Lc. Dipl. Adalah sosok yang tidak asing lagi

bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir. Beliau begitu aktif dalam organ-

isasi Mahasiswa Indonesia di Mesir, baik itu di IKPM (Ikatan Keluarga

Pondok Modern), ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia),

HMM (Himpunan Mahasiswa Medan), PCIM Mesir (Perwakilan

Cabang Istimewa Muhammadiyah), dan lainnya. Beliau telah me-

nyelesaikan kuliah S1nya di jurusan sejarah, dan beliau juga telah me-

nyelesaikan jenjang tamhidi dan kini tengah menyusun tesis yang mem-

bahas tentang lika liku sejarah Bangsa Mongol.

Beliau telah menikah dan dikaruniai dua anak. Beliau sering mengisi pelatihan-pelatihan

kepenulisan termasuk memberikan motivasi dalam acara-acara upgrading media cetak Masisir

(Masyarakat Indonesia di Mesir) Bagi anda yang ingin menghubungi beliau bisa melalui face-

book: indra san meazza dan email: [email protected] atau via Whatsapp:

+201159350415

ABDUL GHANI

BIOGRAFI PENULIS Jurnal HIMMAH Vol. 9 No.1 Jan. 2014

115

Muhammad Anas Azizy, lahir di Blora, tanggal 11 Juni

1987. Menamatkan pendidikan SD di SDN Ngadipurwo tahun

1998, kemudian Mts. Ma’arif 2 Blora tahun 2001. Kemudian

melanjutkan pendidikannya di MA Raudhatul Ulum Pati 2004.

Dari situ beliau memutuskan untuk langsung berangkat ke Me-

sir dan melanjutkan pendidikan tingkat menengahnya di

Ma’had Bu’us Islamiyah Kairo 2006. Setelah menyelesaikan pendidikan Tsanawi-

yahnya di Ma’had Buus, beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas Bahasa Arab

Universitas al-Azhar, Kairo.

Pendidikan S1nya bisa diselesaikan dengan lancar dan beliau lulus pada tahun

2010. Masih ingin menambah pengalaman menimba ilmu di al-Azhar, beliau pun

mendaftarkan diri dan lolos ujian masuk program S2 di Fakultas Bahasa Arab di Uni-

versitas yang sama. Dan kini beliau menyelesaikan program tamhidinya dan mulai

fokus untuk menyelesaikan tesisnya.

Hobinya sepak bola dan berburu buku terutama di pameran buku tahunan yang

biasanya diselenggarakan di Kairo pada musim dingin. Makanan kesukaannya adalah

rendang. Beliau juga aktif mengabdikan diri untuk Senat Mahasiswa Indonesia

Fakultas Bahasa Arab baik sebagai pembimbing dalam memahami diktat kuliah, mau-

pun sebagai pengurus senat. Kata-kata mutiara favorit beliau antara lain:

وإن كان في لبس الفتى شرف له فما السيف إال غمده والحمائل

Ismail Sujono lahir di Makassar tanggal 2 Juli 1988. Menamatkan jenjang menengah di Madrasah Muallimin Muham-madiyah Yogyakarta, dan sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Ju-rusan Akidah dan Filsafat di Universitas al-Azhar Kairo. Hobinya adalah memasak untuk orang yang lapar, dan hingga kini masih ak-tif di PCIM Mesir. Makanan kesukaannya adalah semua maanan yang halal dan kalau bisa pedas. Anda bisa menghubungi Ismail me-lalui Facebook: ismail sujono atau melalui Hp: 01112906578

ISMAIL SUJONO

MUHAMMAD ANAS AZIZY

116

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Roni Fajar Verigina Lc, Dipl. Lahir di Ciamis Jawa

Barat tanggal 30 Mei 1985. Ia telah menikah dan dikaruniai

dua orang putra, bernama Rijal Saeful Islam, dan Ilyas Zaki.

Setelah menamatkan jenjang S1 nya di Universitas Al-Azhar

Jurusan Ilmu Hadits, Ia melanjutkan studi S2nya di kampus

yang sama, Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Hadits Uni-

versitas Al-Azhar Cairo. Hobinya adalah membaca,

olahraga, dan muhasabah.

Pengalaman organisasinya antara lain menjadi Ketua II KPMJB (Keluarga Paguyu-

ban Mahasiswa Jawa Barat), Koordinator Keilmuwan KPMJB, Koordinator Forum

Telaah Literatur (FTL) ICMI Kairo, selain itu beliau juga tercatat sebagai anggota Pakeis

ICMI Kairo. Di antara makanan kesukaannya adalah durian, madu, dan zabib. Dan kata-

kata mutiara adalah: Belajar untuk selalu jujur akan kekurangan diri dan mau belajar dari

orang lain, dan selalu terbuka dengan siapa pun. Anda bisa menghubunginya melalui Fa-

cebook: Roni Fajar Verigina, atau via. HP: 01155574399

وإن كنت تهوى العيش فابغ توسطا فند التناهي يقصر المتطاول

توقى البدور النقص وهي أهله ويدركها النقصان وهي كوامل

Anda bisa menghubunginya melalui Facebook: Muhammad Anas Azizy, atau Hp:

+20114481488

RONI FAJAR VERIGINA

FARDAN

Muhammad Fardan Satrio, dilahirkan di Banjarnegara, 30

April 1992. Menamatkan SD di SD Negeri 1 Purwareja Klampok ,

kemudian melanjutkan jenjang menangah di Mts dan MA Mualli-

min Muhammadiyah Yogyakarta, dan kini ia tercatat sebagai Ma-

hasiswa tingkat 3 Fakultas Syari‘ah dan Hukum Jurusan Syari‘ah

Islam, Universitas Al-Azhar Cairo. Hobinya berdiskusi, dan mem-

baca dengan ditemani lagu-lagu Iwan Fals.

Fardan pernah menjadi staf Departemen Perkaderan IPM Madrasah Muallimin Mu-

hammadiyah, dan kemudian menjadi staf Departemen Perkaderan Lembaga Pers Mualli-

BIOGRAFI PENULIS Jurnal HIMMAH Vol. 9 No.1 Jan. 2014

117

min Muhammadiyah. Masakan kesukaannya adalah mendoan Banyumas dan tahu masak. Dan

kata-kata mutiara favoritnya: Meninggilah ketika kamu rendah, dan merendahlah ketika kamu

tinggi.

Anda bisa menghubungi Fardan melalui Facebook: Fardan Satrio W

atau via mobile phone: +201064524417

MULYADI MAKOLI

Pemuda asal Indramayu ini bernama lengkap Mulyadi Ma-

koli. Dan dikenal sebagai Mulyadi. Ia lahir pada tanggal 1 Febuari

1986. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ia dibesarkan

di lingkungan keluarga yang berkediaman di Desa Kliwed Rt. 11,

Rw. 02, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

Pria yang mempunyai hobi membaca buku ini memulai perjalanan pendidikannya di

SDN Kliwed Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Tahun 1999. Lalu

melanjutkan ke jenjang selanjutnya di SMP NU Tenajar Kidul, Kertasemaya, Indramayu tahun

2002. Setelah itu Mulyadi meneruskan pendidikannya di MAK Nusantara Arjawinangun, Cire-

bon, Jawa Barat dan selesai pada tahun 2005. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di

STAIN Cirebon (sekarang IAIN Syekh Nurjati) Fakultas Tarbiyah selama 4 semester hingga

tahun 2007.

Belum puas dengan itu ia kemudian pergi ke salah satu Ibu Kota Dunia Islam, Kairo dan

kemudian menuntut ilmu di Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo.

Setelah berhasil menamatkan jenjang S1nya pada tahun 2011, kini Mulyadi tercatat sebagai

Mahasiswa program magister di jurusan yang sama.

Mulyadi adalah salah satu dari segelintir Mahasiswa Asing di Al-Azhar yang pernah

mendapatkan predikat mumtaz dalam ujian tahunan di Universitas al-Azhar, nilai itu berhasil

diraihnya pada tahun 2009. Selain cemerlang dalam bidang akademis, Mulyadi juga merupakan

founder dari organisasi Markaz Kawakibul Fushaha li al-Maharah al-Lughawiyah. Hingga saat

ini Mulyadi masih aktif sebagai koordinator dari organisasi tersebut. Mulyadi tinggal di Madi-

natul Buus al-Islamiyah Imaroh 26/B/3. Jika ingin berdiskusi dengannya bisa melalui ponsel

+201110642422, atau via email: [email protected]

118

JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014

Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan

Ismail Sujono

Kami selalu siap menampung karya tulis anda,

silahkan kirim tulisan anda

melalu email: [email protected], dan anda

bisa mengkonfirmasinya dengan menghubungi: +201123068925 dengan

ketentuan umum penulisan sebagai berikut:

1. Artikel belum pernah termuat di media lain dan tidak mengandung unsur

plagiat.

2. Artikel dapat berupa hasil penelitian (lapangan maupun kepustakaan),

kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, atau resensi buku.

3. Syarat resensi adalah (a) buku yang diresensi relatif baru (satu tahun sebe-

lumnya untuk buku berbahasa Indonesia dan dua tahun sebelumnya untuk

buku berbahasa asing), (b) panjang resensi 3-5 halaman.

4. Untuk artikel ilmiah berbahasa Indonesia/Inggris, naskah diketik dengan

huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,5 pada kertas ukuran A4 dengan

jumlah halaman 10-20 halaman termasuk daftar pustaka dan tabel.

5. Untuk artikel ilmiah yang ditulis dalam bahasa Arab, naskah diketik

dengan huruf Traditional Nasakh ukuran 14, spasi 1 pada kertas ukuran A4,

dengan jumlah halaman 10-20 halaman, termasuk daftar pustaka dan tabel.

6. Judul, abstrak, dan kata-kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan baha-

sa Arab/Inggris.

7. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia/Arab/Inggris dengan format esai.