Hil Laporan Kasus Anestesi

45
BAB I PENDAHULUAN I. Ilustrasi Kasus A. Identitas Pasien Nama : Tn E Umur : 57 tahun Pekerjaan : Petani Agama : Islam Status : Menikah Jenis Kelamin : Laki-laki No. MR : 072710 Diagnosa : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra Tindakan : Herniorraphy B. Anamnesa - Keluhan Utama Terdapat Benjolan disekitar lipat paha sebelah kanan sejak 8 bulan yang lalu. - Riwayat Penyakit Sekarang Terdapat benjolan disekitar lipat paha sebelah kanan sejak 8 bulan yang lalu. Benjolan muncul saat beraktifitas berat seperti saat menyangkul dan dapat hilang jika pasien berbaring. Saat benjolan muncul, pasien 1

Transcript of Hil Laporan Kasus Anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

I. Ilustrasi Kasus

A. Identitas Pasien

Nama : Tn E

Umur : 57 tahun

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Status : Menikah

Jenis Kelamin : Laki-laki

No. MR : 072710

Diagnosa : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra

Tindakan : Herniorraphy

B. Anamnesa

- Keluhan Utama

Terdapat Benjolan disekitar lipat paha sebelah kanan sejak 8 bulan

yang lalu.

- Riwayat Penyakit Sekarang

Terdapat benjolan disekitar lipat paha sebelah kanan sejak 8

bulan yang lalu. Benjolan muncul saat beraktifitas berat seperti saat

menyangkul dan dapat hilang jika pasien berbaring. Saat benjolan

muncul, pasien tidak mengeluh adanya nyeri. Benjolan tidak

bertambah besar. Riwayat diurut disangkal. Riwayat BAK dan BAB

tidak terganggu. Tidak ada penurunan nafsu makan. Pasien belum

pernah berobat sebelumnya. Riwayat asma, diabetes mellitus, alergi

obat dan makanan, penggunaan gigi palsu disangkal.

- Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Pasien memiliki

riwayat hipertensi yang terkontrol. Riwayat operasi disangkal.

1

- Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini

sebelumnya.

- Riwayat Penyakit Sosial

Pasien tinggal bersama istri dan dua orang anaknya. Riwayat

merokok dan minum alkohol disangkal.

C. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan Umum

Kesan Sakit : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Status Gizi : BB : 60 kg

TB : 165 cm

- Tanda Vital

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Nadi : 80x/ menit

Pernafasan : 18x/ menit

Suhu : 370C

- Status Generalis

a. Kepala

Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas

Rambut : Beruban warna putih

b. Wajah

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat, dan tidak

ikterik

c. Mata

Konjungtiva : Tidak anemis

Sclera : Tidak ikterik

Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+

Reflek cahaya tidak langsung +/+

2

Gerakan bola mata baik

d. Telinga

Bentuk : Dalam batas normal

e. Hidung

Bagian luar : normal, tidak terdapat deformitas

Septum : terletak di tengah dan simetris

f. Mulut dan Tenggorok

Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis

Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis

Tonsil : tidak hiperemis

Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris,

uvula di tengah

Mallampati score : I pilar faring (+) uvula (+) palatum mole

(+)

Tiromental junction : 7cm

Temporomandibular junction: baik

g. Leher

Bendungan vena : tidak terdapat bendungan vena

Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan,

simetris

Trakea : di tengah

JVP : tidak meninggi

KGB : tidak membesar, tidak ada massa

h. Kulit

Warna : Sawo matang, tidak pucat

i. Thoraks

Paru

Inspeksi dan palpasi : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing

-/-

Jantung : Dalam batas normal

3

Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler

j. Abdomen

Inspeksi : abdomen simetris kiri dan kanan, datar,

jaringan parut (-), striae (-)

Palpasi : tidak teraba massa, hepar dan lien tak

teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen

Auskultasi : bising usus normal

k. Ekstremitas

Tidak tampak deformitas

Akral hangat pada keempat ekstremitas

Tidak terdapat udem pada keempat ekstremitas

l. Status Urologis

Ginjal kiri dan kanan tidak teraba, nyeri ketok -/-

Buli-buli kosong, terpasang folley catheter efektif

- Status Lokalis

Regio Inguinal dan Skrotal Dextra

Inspeksi : Terdapat benjolan di lipat paha dextra, warna seperti

warna kulit sekitarnya, tidak ada tanda-tanda radang,

tidak terdapat luka bekas operasi.

Palpasi : Teraba massa di daerah inguinal, permukaan rata,

perabaan kenyal, nyeri tekan (-), batas tegas.

D. Pemeriksaan Penunjang

Hb : 14,8 g/dl (N: 13-18)

Leukosit : 6600/mm3 (N: 5000-10.000/mm3)

Trombosit : 256.000/mm3 (N: 150.000-400.000/mm3)

Hematokrit : 40% (N:35%-45%)

BT : 1’59” (N: 1-6 menit)

CT : 3’32” (N: 2-6 menit)

4

EKG : dalam batas normal

E. Diagnosa

Hernia Inguinalis Lateralis Dextra

F. Konsul Anestesi

Konsul anestesi dilakukan tanggal 8 April 2014 pukul 09.00 WIB oleh

dr. Yalta Hasanudin, Sp.An:

Prinsif setuju tindakan anestesi, saran :

- Puasa 6 jam pre op

- Sedia darah

- Pasien ASA II

II. Permasalahan

1. Hipertensi

III. Pre-Operatif

a. Premedikasi

Premedikasi yang diberikan pada pasien yaitu Fortanest (midazolam) 6

mg. Cairan infus yang diberikan RL 1 kolf.

Tindakan sebelum premedikasi dilakukan:

- Pasien diposisikan pada posisi supine

- Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk

monitoring SpO2.

- Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan

darah.

- Memastikan cairan infus berjalan lancar.

5

IV. Durante Operatif

a. Induksi anestesi

1. Persiapan alat dan mesin anestesi

Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, face mask, tensi

meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2, N2O, Isofluran,

dan Sevofluran. Mempersiapkan STATICS:

- S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan

jantung. Laringoskop. Piih bilah dan blade yang sesuai dengan

usia pasien. Lampu harus cukup terang.

- T = Tube. ETT (endotrakeal tube) ukuran 6,5 – 7,0

- A = Airway. Orofaringeal Airway (guedel)

- T = Tape. Plester untuk fiksasi eksterna.

- I = Introducer. Mandrin atau stilet dari kawat yang mudah

dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah

dimasukkan.

- C = Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.

- S = Suctions. Penyedot ludah, lendir, dll.

2. Mempersiapkan obat anestesi yaitu :

- Propofol 120 mg

- Fentanil (Fentanyl Dehidrogenum Citrate) 60 µg

- Roculax (Rocuronium bromide) 3cc

3. Waktu anestesi dan operasi

a. Jam anestesi dimulai : 19.30 WIB

b. Jam operasi dimulai : 19.35 WIB

c. Jam anestesi selesai : 21.00 WIB

d. Jam operasi selesai : 20.50 WIB

b. Prosedur anestesi

1. General Anestesi dengan teknik intubasi

2. Lakukan pemasangan face mask. Dalamkan anestesi dengan

menggunakan gas volatile yang poten yaitu sevofluran 3 vol %, O2 2

L/ menit, N2O 2 L/ menit. selama 5-10 menit.

6

3. Periksa refleks bulu mata, jika refleks bulu mata ( - ), masukkan

obat-obat anestesi dengan cara bolus yaitu Fentanil 60 µg, kemudian

propofol 120 mg, selanjutnya roculax 30 mg.

4. Obat rocuronium bekerja ± 3 menit, perhatikan pergerakan dinding

dada simetris, kemudian segera lakukan intubasi.

5. Teknik Intubasi

- Lepaskan face mask, pegang laringoskop dengan menggunakan

tangan kiri.

- masukan laringoskop dari sisi mulut bagian kanan geser ke kiri,

sambil menelusuri lidah pasien sampai pangkal lidah, terlihat

epiglotis, di belakang epiglotis tampak plica vocalis kemudian

masukan segera ETT no. 7 sampai batas garis hitam pada ETT

(22).

- Lepaskan facemask, sambungkan ke ETT, sambil dipompa.

Pastikan ETT sudah masuk trakea dan periksa suara napas kanan

= kiri dengan stetoskop.

- Pompa balon 10 cc udara. Lakukan pemasangan guedel.

- Selanjutnya fiksasi eksterna ETT dengan plester. Hubungkan

connector dengan mesin anestesi.

- Pompa reservoar 12x/menit, dengan volume tidal sekitar 8-10

cc / kgBB (600 cc) , hingga pasien bernafas spontan.

6. Teknik Ektubasi

a. Memastikan pasien telah bernapas secara spontan

b. Melakukan suction pada airway pasien

c. Menutup sevofluran dan N2O, meninggikan O2 sampai 4-6 L/

menit

d. Mengempiskan balon, memastikan bahwa pasien sudah bangun

dengan memberikan rangsangan taktil, melepaskan plester, dan

ETT. Segera pasang face mask dan pastikan airway nya lancar

dengan triple manuver.

7

e. Setelah pasien benar – benar terbangun, lepaskan guedel lalu

pindahkan pasien ke ruang recovery room.

c. Monitoring anestesi

Perhitungan Terapi Cairan:

- Perhitungan cairan pengganti puasa: 6 jam x 2 ml/kg jam x 60 kg = 720 cc

- Maintenance: 2 ml x 60 kg = 120 cc

- Stress operasi: 6 x 60kg = 360 cc

- EBV: 75 x 60 kg = 4500 cc

- Perdarahan:

Tabung suction : 200 cc

Kassa : 5 x 10 cc = 50 cc

Kassa besar : 1 x 100 cc =100 cc

Perkiraan total perdarahan : 350 cc

- Volume urin : 150 cc

- IWL : 15 x 60 kg / 24 jam = 900/24 jam = 37,5/ jam = 38 cc/jam

Cara Pemberian:

8

- Jam 1 : (50 % x 720) + 120 + 360 = 600 cc

- Jam 2 : (25 % x 720) + 120 + 360 = 420 cc + pengganti jumlah perdarahan

(350 cc)= 420 cc + kristaloid 2-4 kali jmlh perdarahan = 420 cc + 700

cc = 1120 cc kristaloid (3 kolf kristaloid)

Perhitungan balance cairan:

- Input: 3 kolf RL = 1120 cc

- Output: Urin + IWL + perdarahan = 150 cc + 38 cc + 350 cc = 538 cc

- Balance cairan = +582 cc1

V. Post Operatif

Keadaan pasca operasi

- Novaldo 1000mg drip infus RL 500 ml

- Aldrete score : 8 (layak ditransport keruang perawatan)

1. Warna kulit : normal (2)

2. Motorik : gerak 2 anggota tubuh (1)

3. Pernafasan : spontan (2)

4. Tekanan darah : ± 20 mmHg dari pre op (2)

5. Kesadaran : bangun jika dipanggil (1)

- TD 125/80 mmHg

- Nadi 80x/mnt

- RR 20x/mnt

- Suhu 37ºC

- Pasien puasa lebih kurang 4 jam, tirah baring 1x24 jam

1 Collins, VI.1996. Fluids and Electrolytes in Physicologic and Pharmachologic Bases of Anesthesia. Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan

persiapan preoperasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya

kecelakaan anastesi.

Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dioperasi harus dilakukan,

sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan di

operasi, dapat menentukan jenis operasi yang akan digunakan, dapat

mengetahui kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya

riwayat hipertensi, asma, alergi obat, penggunaan gigi palsu. Selain itu,

dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa

menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien.

Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah

identitas dan salah operasi.

Evaluasi pre operasi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus

dilengkapi dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala The

American Society of Anaesteshesiologist (ASA) yaitu :

a. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau

psikiatri.

b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,

tanpa keterbatasan aktivitas sehari-hari.

c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi

aktivitas normal.

d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan

memerlukan terapi intensif, dengan keterbatasan serius

pada aktivitas sehari-hari.

10

e. Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan

atau tanpa pembedahan.2

Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan

kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini

tercermin dalam informed consent.

Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi

terhadap makanan dan obat-obatan, riwayat DM, riwayat asma, riwayat

hipertensi, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, juga riwayat

operasi dan anestesi sebelumnya yang bisa menunjukkan bila ada

komplikasi anestesi. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting

untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum

terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama lain.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik

setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respirasi,

suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, neurologis, dan sistem

muskuloskeletal. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.

Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher

pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan

dalam melakukan intubasi.

Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan kadar

hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum, kreatinin,

EKG, dan foto polos thoraks pada pasien.

Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed

concent informed concent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan

dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses inform consent

perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang

prosedur yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi

bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang penting dan informed

concent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan

22. Miller RD. Anesthesia. 5th ed Churcill Livingstone. Philadelphia 2000.

11

pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan

penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan

hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang

dirasakan pasien.3

Mallampati score adalah suatu klasifikasi untuk menilai tampakan

faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal,

terdiri dari 4 gradasi4 yaitu :

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum molle1 + + +2 - + +3 - - +4 - - -

a. Premedikasi anestesi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun

dari anesthesia diantaranya yaitu:

a. Meredakan kecemasan dan ketakutan

b. Memperlancar induksi anesthesia

c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

d. Meminimalkan jumlah obat anestetik

3 Miller RD. Anesthesia. 5th ed Churcill Livingstone. Philadelphia 2000.4 Latief, Said A, dkk. 2001. Anestesiologi Ed. 2.Jakarta: FKUI

12

e. Mengurangi mual muntah pasca bedah

f. Mengurangi efek yang membahayakan

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita

hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang

mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine

atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari

pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel.

Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan

alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif. Premedikasi yang diberikan

pada pasien ini adalah midazolam 6 mg.5

Midazolam merupakan golongan benzodiazepine. Midazolam

menekan ventilasi dan mengurangi tahanan vascular perifer dan tekanan

darah. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awitan

yang lebih cepat dengan reaksi local yang lebih sedikit. Awitan aksi

midazolam 30 detik-1 menit, efek puncaknya 3-5 menit, lama aksinya

15-80 menit.6

II. Durante Operatif

a. Induksi Anestesi

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan

goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering

terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.

Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan

kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting

dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping

itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari

obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi

oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.7

55 Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.

6 Omoigui, Sota. 2012. Obat-Obatan Anestesi Edisi II. Jakarta : EGC7

13

Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena

laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bias menyebabkan takikardia

dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi

akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.

Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu

meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik

dibawah ini bias dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi

untuk menghindari terjadinya hipertensi :8

1. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten

selama 5-10 menit.

2. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgbb, atau

ramifentanil 0,5-1 mikrogram/kgbb).

3. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

4. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5

mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

5. Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah

bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate,

benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk

induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot

vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium

atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai

obat induksi secara inhalasi.

Penggunaan induksi pertama dengan propofol. Dosis profopol

adalah 1-2 mg/kgBB sehingga dosis yang dibutuhkan pada pasien 120

mg (BB = 60kg). Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak

berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%. Propofol

mengurangi aliran darah otak, tekanan intracranial dan kecepatan

8 Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.

14

metabolik otak. Efek hipnotik sedative propofol menyebabkan

pemulihan lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Onset of

action dari propofol adalah 1 menit dan durasi of action 5-10 menit.9

Analgetik yang diberikan pada pasien ini adalah fentanyl 60 µg.

dosisnya adalah 1-2 µg /kgBB. Turunan fenilperidin ini merupakan

agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesic, fenatnil 25-125 kali lebih

poten dibandinngkan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang

singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dibandingkan

morfin. Stabilitas kardiovaskular dapat dipertahankan walaupun dalam

dosis besar saat digunakan sebagai anetesi tunggal. Waktu pemberian

fentanil 30 detik, onset of action 5-15 menit, durasi of action 30-60

menit. Pada pasien yang secara hemodinamik stabil, analgesic dapat

diberikan 2-4 menit sebelum laringoskopi untuk memperlemah respon

presor terhadap intubasi.10

Teknik anestesi yang dipilih adalah intubasi dengan endotrakeal

tube karena diperkirakan operasi akan berlangsung lama (lebih kurang

1jam) dan agar lebih mudah mengontrol pernafasan diberikan muscle

relaxant, karena obat ini sangat membantu dalam pelaksanaan general

anestesi serta memudahkan untuk melakukan tindakan intubasi trakea.

Muscle relaxant yang diberikan yaitu Roculax (rocuronium bromide) 30

mg, dosisnya adalah 0,5 – 1 mg/ kgbb. Sehingga yang dibutuhkan

dengan berat badan 60 kg adalah, 30 mg. Rocuronium merupakan obat

pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi steroid dengan lama aksi

serupa dengan vekoronium yaitu 15-150 menit. Tidak ada perubahan

yang secara klinis bermakna dalam parameter hemodinamik. Awitan

aksi rocuronium yaitu 45-90 detik, efek puncaknya 1-3 menit.11

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat

yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan

kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini

9 Omoigui, Sota. 2012. Obat-Obatan Anestesi Edisi II. Jakarta : EGC10 ibid11 ibid

15

merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan

anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya. Pada kasus ini

maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi

inhalasi yang dipakai adalah sevofluran 2 vol %.

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,

atau kombinasi keduanya. Cairan yang paling umum digunakan adalah

larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling

sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan menjadi cairan yang

paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah

selama durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid

sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

b. Prosedur Anestesi

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak,

tanpa” dan aesthesos , “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara

umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika

melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang

menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia digunakan

pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948.

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga

dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan

nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

reversibel. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan

operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu

pengerjaan lebih panjang.Cara kerja anestesi umum selain

menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat

amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan

anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk

meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama

operasi dilakukan.

16

Tindakan yang dilakukan pada pasien ini menggunakan general

anestesi dengan teknik intubasi trakea. Intubasi trakes adalah tindakan

memasukkan pipa trakea ke dalam trakea antara pita suara dan

bifurkasio trakea. Indikasi intubasi trakea adalah :

1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

Sedangkan kesulitan dalam melaksanakan intubasi yaitu, leher

pendek berotot, mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol,

uvula tak terlihat (mallampati score 3 atau 4), gerak sendi

temporomandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas.

Adapun komplikasi selama pelaksaaan intubasi yaitu trauma gigi

geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang saraf simpatis, intubasi

bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, dan spasme bronkus.

c. Monitoring Anestesi

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama

pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD

yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama

periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan

hipertensi pada periode preoperatif. 12 Pada hipertensi kronis akan

menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal.

Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan

aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara

tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan

menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal.

Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga

ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:13

12 Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier;� 2008.p.87-102.

13 Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http:// www. 4um.com/ tutorial/anaesthbp.htm. Accessed Aug 16th 2007.

17

- Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang

maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

- Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala

hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka

kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal,

kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral. Anestesia aman

jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan

kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile

(tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance

anesthesia) dengan analgetik + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia

total intravena bias digunakan untuk pemeliharaan anestesia.mEKG

diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine

diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan

ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang

lebih dari 2 jam.

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien

yang dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan

untuk monitor pasien selama anestesi adalah:

1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

2. Heart rate, nadi, dan tekanan darah

3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time

4. Kedalaman / stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas

reflek palpebra)

5. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

6. Pulse oximetry: saturasi oksigen, suhu.

Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien

tidak pernah < 95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 110-

130, D 70-80).

III. Post-Operatif

18

Untuk mengatasi post operatif, diberikan obat analgetik post operatif

berupa novaldo (metamizole sodium) 1000mg di drip RL 1 kolf.

Aldrete scoring

No KRITERIA SCORE1. Warna Kulit

a. Kemerahan / normalb. Pucatc. sianonis

210

2. Aktifitas Monorika. Gerak 4 anggota tubuhb. Gerak 2 anggota tubuhc. Tidak ada gerakan

210

3. Pernafasana. Nafas dalam, batuk, dan tangis kuatb. Nafas dalam dan adekuatc. Apnea atau nafas tidak adekuat

210

4. Tekanan Daraha. ±20 mmHg dari preoperasib. 20-50 mmHg dari preoperasic. +50 mmHg dari preoperasi

210

5. Kesadarana. Sadar penuh mudah dipanggilb. Bangun jika dipanggilc. Tidak ada respon

210

Ket :a. Pasien dapat pindah ke bangsal, jika score

minimal 8 pasienb. Pasien dipindah ke ICU, jika score < 8 setelah

dirawat selama 2 jam

Aldrete score pada pasien ini yaitu 8 (layak dibawa keruang perawatan.

a. Warna kulit : normal (2)

b. Motorik : gerak 2 anggota tubuh (1)

c. Pernafasan : spontan (2)

d. Tekanan darah : ± 20 mmHg dari pre op (2)

e. Kesadaran : bangun jika dipanggil (1)

IV. Hernia Inguinalis

19

Hernia merupakan penonjolan (protrusi) isi suatu rongga melalui

defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Menurut

sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat jeluar

masuk. Keluar jika berdiri atau mengedan, dan masuk lagi ketika tidur atau

didorong masuk perut. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke

dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya

disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong hernia.

Hernia ini disebut hernia akreta.

Hernia disebut hernia inkarserata atau strangulate bila isinya terjepit

oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat

kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, sering terjadi gangguan pasase

atau vaskularisasi. Secara klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk

hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan

vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulata.

Hernia inguinalis merupakan protrusi viscus (organ) dari kavum

peritoneal ke dalam canalis inguinalis. Hernia inguinalis dapat langsung

(direk) dan dapat pula tidak langsung (indirek). Kantong dari hernia

inguinalis indirek berjalan melalui anulus inguinalis profunda, lateral

terhadap pembuluh epigastrika inferior, dan akhirnya kearah skrotum.

Kantong dari hernia inguinalis direk menonjol secara langsung melalui

dasar kanalis inguinalis, medial terhadap pembuluh epigastrika inferior, dan

jarang turun ke arah skrotum.14

14 Syamsuhidayat, R dan Wim, de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta:EGC

20

V. Tata Laksana Hernia Inguinalis

Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan rasional

hernia inguinalis. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan.

Prnsip dasar operasi hernia terdiri atas herniorraphy dan hernioplastik.

Pada herniorraphy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke

lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,

kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit-ikat setingggi mungkin. Pada

hernioplastik dilakukan tindakaan memperkecil anulus inguinalis internus

dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik lebih

penting dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan

herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplastik, seperti memperkecil

anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup, dan

memperkuat fasia transversa, dan menjahit pertemuan m. transversus

internus abdominis dan m.oblikus internus abdominis.15

15 Syamsuhidayat, R dan Wim, de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

21

BAB III

PEMBAHASAN

1. Mengapa riwayat merokok perlu dipertanyakan?

Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk

eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan

beberapa hari untuk mengaktfkan kerja silia jalan pernafasan, dan 1-2 minggu

untuk mengurangi produksi sputum.16

2. Mengapa pasien harus puasa 6 jam pre operatif?

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama

pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi

harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum

induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6

jam, dan pada bayi 3-4 jam.17

3. Mengapa lebih menggunakan sevofluran daripada isofluran?

Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi

lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Keuntungan dari menggunakan

sevofluran yaitu baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas,

efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia, stelah

pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh. Sedangkan

isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik menurunkan

laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi kerugiannya meninggikan

aliran darah otak dan tekanan intrakranial.18

4. Pada kasus ini, pasien mempunyai riwayat hipertensi yang tak terkontrol,

persiapan apa yang harus dilakukan sebelum pasien dilakukan intubasi?

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita

hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa

16 Latief, Said A, dkk. 2001. Anestesiologi Ed. 2.Jakarta: FKUI17 ibid18 Miller RD. Anesthesia. 5th ed Churcill Livingstone. Philadelphia 2000.

22

menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam.

Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai

jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa teknik dibawah

ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari

terjadinya hipertensi :

a. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama

5-10 menit.

b. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil

0,5-1 mikrogram/kgbb).

c. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

d. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

e. Menggunakan anestesia topikal pada airway.19-20

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi

untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan

etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita

hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-

atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk

volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.

5. Sebutkan kesulitan-kesulitan intubasi?

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tidak terlihat (mallampati score 3 atau 4)

5. Gerak sendi temporomandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas21

19 Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-52.

20 Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In: Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier;� 2008.p.87-102.

21 Latief, Said A, dkk. 2001. Anestesiologi Ed. 2.Jakarta: FKUI

23

BAB IV

KESIMPULAN

1. Pasien dengan diagnosis hernia inguinalis lateralis dextra yang menjalani

operasi herniorraphy. Dilakukan general anestesi dengan teknik intubasi.

2. Pada penilaian preoperative, pasien memiliki faktor resiko hipertensi,

sehingga diberikan premedikasi berupa midazolam 6 mg. Alergi obat, asma,

diabetes mellitus, penggunaan gigi palsu disangkal. Mallampati score 1,

tiromental junction 7 cm, temporomandibular junction baik.

3. Pada durante operatif, induksi anestesi dengan menggunakan propofol 120

mg, fentanil 60 ug, rocuronium 30 mg. Untuk maintenance N2O 2L/ menit,

O2 2L/ menit dan sevofluran vol 3%.

4. Selama monitoring durante operatif status neurologis, kardiopulmonar,

hemodinamik, dan urologis pasien cukup stabil.

5. Post operatif menggunakan novaldo 1000mg drip infus RL 500 cc. Pada

penilaian post operatif, aldrete score pasien berjumlah 8, yang

mengidentifikasikan bahwa pasien layak dipindahkan ke ruang perawatan.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Collins, VI.1996. Fluids and Electrolytes in Physicologic and

Pharmachologic Bases of Anesthesia. Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.

2. Latief, Said A, dkk. 2001. Anestesiologi Ed. 2.Jakarta: FKUI

3. Miller RD. Anesthesia. 5th ed Churcill Livingstone. Philadelphia 2000.

4. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluationand management;

Available at: http:// www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512

5. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with

cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-

Hill; 2006.p.444-52.

6. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http:// www. 4um.com/

tutorial/anaesthbp.htm. Accessed Aug 16th 2007.

7. Omoigui, Sota. 2012. Obat-Obatan Anestesi Edisi II. Jakarta : EGC

8. Syamsuhidayat, R dan Wim, de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu

Bedah.Jakarta:EGC

9. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In:

Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing�

disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.

25

LAPORAN KASUS ANESTESI

HERNIA INGUINALIS LATERALIS DEXTRA

Disusun Oleh:

ULAN NOPUTRI

H1A009046

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2014

i

KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum, Wr, Wb

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang masih melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya selaku penulis dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “Laporan Kasus Anestesi Hernia Inguinalis Lateralis

Dextra”. Tidak lupa pula salawat dan salam saya kirimkan pada junjungan kita

Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, kelancaran, kesehatan,

dan rahmatNya.

2. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp.An dan dr. Zulki Maulub Ritonga, Sp.An

selaku dokter pembimbing koas state anestesi yang telah banyak

mengajarkan, memberikan ilmunya dan menasehati sehingga memperkuat

semangat dan kepercayaan diri.

3. dr. Zayadi Zaynuddin selaku sekretaris modul state anestesi yang telah

banyak membantu dan membimbing penulis dalam melaksanakan state

anestesi.

4. Mas Irawan, selaku sekretaris bakordik state anestesi di RSUD M. Yunus

yang telah membantu penulis selama belajar di ruang O.K RSUD M.

Yunus.

5. Kak Firdaus Dalisam, selaku penata anetesi di ruang O.K RS.

Bhayangkara Polda Bengkulu, yang sudah sangat sabar mengajari,

membimbing, memberikan ilmunya kepada penulis selama belajar di

ruang O.K RS. Bhayangkara Polda Bengkulu.

6. Seluruh penata anestesi di RSUD M Yunus yang telah membimbing

penulis selama belajar di ruang O.K RSUD M. Yunus dan ruang O.K RS.

Bhayangkara polda Bengkulu

7. Uni Deti, Mba bela, Kak Romi, Kak Boank, Kak Randi, Kak Anggi, Kak

Surya, Kak Heru, Kak Jono, Kak Heri, Kak Dodi, ayuk Lela, dan semua

ii

kakak-kakak yang ada di ruang O.K RS. Bhayangkara yang telah

membantu, mengajarkan, memberikan ilmunya kepada penulis selama

belajar di rung O.K RS. Bhayngkara Polda Bengkulu.

8. Teman-teman seperjuangan anestesi , Doni, Selvi, Arsy, Efi, dan Bayu.

Demikianlah, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita

dalam menunjang proses belajar dan menambah pengetahuan pembaca terutama

penulis mengenai Monitoring Anestesi. Dan apabila terdapat kesalahan dalam

makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya juga mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan ke depan.Terima

kasih.

Wassalamu’alaikum, Wr, Wb

Bengkulu, Mei 2014

Ulan Noputri

iii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

I. Ilustrasi Kasus................................................................................ 1

A. Identitas Pasien........................................................................ 1

B. Anamnesa................................................................................. 1

C. Pemeriksaan Fisik.................................................................... 2

D. Pemeriksaan Penunjang........................................................... 4

E. Diagnosa.................................................................................. 5

F. Konsul Anestesi....................................................................... 5

II. Permasalahan................................................................................. 5

III. Pre-Operatif................................................................................... 5

IV. Durante Operatif............................................................................ 6

V. Post Operatif.................................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 10

I. Pre-Operatif................................................................................... 10

a. Premedikasi Anestesi............................................................... 12

II. Durante Operatif............................................................................ 13

a. Induksi Anestesi....................................................................... 13

b. Prosedur Anestesi.................................................................... 16

c. Monitoring Anestesi................................................................ 17

III. Post-Operatif.................................................................................. 19

IV. Hernia Inguinalis............................................................................ 20

V. Tata Laksana Hernia Inguinalis..................................................... 21

BAB III PEMBAHASAN............................................................................... 22

BAB IV KESIMPULAN................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA

iv