Laporan Kasus Anestesi 1

30
BAB I LAPORAN KASUS TEKNIK ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDIKTOMI 1.1 RESUME Pasien datang ke RS. UKI pada tanggal 10 November 2015 dengan keluhan nyeri perut kanan. Keluhan sudah dirasakan sejak pagi hari 1 hari sebelumnya, awalnya nyeri dirasakan di uluhati, pasien juga muntah 2 kali, tidak ada gangguan buang air besar dan kecil. Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien mengalami appendicitis dan direncanakan untuk dilakukan operasi appendiktomi laparatomi. Operasi dilakukan pada tanggal 11 November 2015 dengan teknik General anestesi, dengan lama operasi dan lama anestesi selama ± 2 jam 15 menit. Sebelum operasi, pasien dikonsulkan ke bagian Interna. Dari hasil konsul pasien toleransi untuk dilakukan operasi. Pada premedikasi diberikan obat Midazolam dan Fentanyl, untuk induksi diberikan Recofol, maintenance dengan Isoflurane + N 2 O + O 2 dan relaksan dengan Ecron. Obat- obatan yang diberikan selama operasi adalah recofol, ecron, fentanyl, ondansentron, sulfas atropin dan prostigmin. Setelah operasi, pasien dirawat di ruang recovery. 1.2 KASUS Identitas Pasien 1

description

ini adalah laporan awal

Transcript of Laporan Kasus Anestesi 1

Page 1: Laporan Kasus Anestesi 1

BAB I

LAPORAN KASUS

TEKNIK ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDIKTOMI

1.1 RESUME

Pasien datang ke RS. UKI pada tanggal 10 November 2015 dengan keluhan nyeri

perut kanan. Keluhan sudah dirasakan sejak pagi hari 1 hari sebelumnya, awalnya nyeri

dirasakan di uluhati, pasien juga muntah 2 kali, tidak ada gangguan buang air besar dan kecil.

Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa pasien mengalami

appendicitis dan direncanakan untuk dilakukan operasi appendiktomi laparatomi. Operasi

dilakukan pada tanggal 11 November 2015 dengan teknik General anestesi, dengan lama

operasi dan lama anestesi selama ± 2 jam 15 menit. Sebelum operasi, pasien dikonsulkan ke

bagian Interna. Dari hasil konsul pasien toleransi untuk dilakukan operasi. Pada premedikasi

diberikan obat Midazolam dan Fentanyl, untuk induksi diberikan Recofol, maintenance

dengan Isoflurane + N2O + O2 dan relaksan dengan Ecron. Obat-obatan yang diberikan

selama operasi adalah recofol, ecron, fentanyl, ondansentron, sulfas atropin dan prostigmin.

Setelah operasi, pasien dirawat di ruang recovery.

1.2 KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 11 November 1966

Agama : Islam

Usia : 48 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Cipinang Indah No.32

Diagnosa Pra Bedah : Appendicitis

Jenis Pembedahan : Appendiktomi Laparoskopi

1

Page 2: Laporan Kasus Anestesi 1

Diagnosa Pasca Bedah : Post laparatomi Appendicitis

Jenis Anestesi : General anestesi

Lama Operasi : 2 jam 5 menit

Lama Anestesi : 2 jam 15 menit

Keadaan Pra Bedah:

Suhu : 36,80C

Nadi : 88 x/menit

Tensi : 130/80 mmHg

Berat Badan : 60 kg

Tinggi Badan : 154 cm

Gol. Darah : O

Hb : 13,6 g/dl

Ht : 41,3 %

Leukosit : 10,4 ribu/UL

Trombosit : 325 ribu/UL

Airway/Respiratory :

Clear; snoring (-), gurgling (-), crowing (-), BND vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, gigi

bolong (-), gigi palsu (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-), mallampati 1.

Sirkulasi :

Akral hangat, CRT < 2”, sianosis (-), BJ I & II reguler, ,urmur (-), gallop (-),

riwayat penyakit jantung (-), riwayat hipertensi (-).

Saraf :

Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, riwayat kejang (-), riwayat stroke (-),

riwayat penyakit saraf (-).

2

Page 3: Laporan Kasus Anestesi 1

Gastro Intestinal :

Mc Burney (+), nyeri tekan kanan bawah (+), mual-muntah (-), riwayat maag (-).

Renal : Kateter (-), CVA -/-

Metabolik : Riwayat DM (-), GDS 92 mg/dl

Hati : Riwayat hepatitis (-), SGOT : 21 U/L, SGPT: 17 U/L

Status fisik : ASA 1

Medikasi pra bedah : IVFD : I RL/24 jam, puasa 6 jam pre op.

Intraoperatif

Anestesi dengan :

Premedikasi : Midazolam, Fentanyl

Induksi : Recofol

Maintenance : O2, N2O, Isofluran.

Relaksasi dengan : Ecron

Teknik Anestesi : Pasien di induksi, kemudian dilakukan intubasi, ETT

no. 6,5, king-king, cuff (+), guedel no. 3.

Respirasi : Kontrol respirasi, TV 460 ml, RR 12 x/menit

Posisi : Supine

Infus : RL

Komplikasi selama pembedahan : Tekanan darah meningkat

Keadaan akhir pembedahan : Kesadaran kompos mentis, TD: 143/82 mmHg,

N: 72 x/menit, SpO2 100%.

Hipersensivitas/ alergi : (-)

Penggunaan obat-obatan selama operasi :

Premedikasi Medikasi

Midazolam 3 mg Recofol 100 mg Ecron 10 mg

Fentanyl 50 mcg Ecron 30 mg Fentanyl 50 mcg

Pemberian : IV Fenatanyl 50 mcg Sulfas atropin 0,25 mg

Efek : mengantuk Ondancentron 4 mg Prostigmin 0,5 mg

3

Page 4: Laporan Kasus Anestesi 1

Pemantauan selama operasi

Jumlah Medikasi Jumlah Cairan Transfusi Pendarahan

Midazolam 3 mg

Recofol 100 mg

Ecron 40 mg

Fentanyl 200 mcg

Ondancentron 4 mg

Sulfas atropin 0,25 mg

Prostigmin 0,5 mg

Cairan pre-op : 200cc

Cairan durante op : 650 cc

Total : 850 cc

± 30 cc

4

Page 5: Laporan Kasus Anestesi 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendisitis Akut

Appendisitis akut adalah peradangan pada appendiks vermiformis yang terjadi secara

akut. Appendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6–9 cm), menghasilkan lendir 1-

2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke

sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah

timbulnya appendicitis. Hingga saat ini fungsi appendiks belum diketahui dengan pasti. 1

2.2 Patogenesis

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan

sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi

mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding

appendiks memounya keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.

Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang menyebabkan edema,

diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang

ditandai dengan nyeri epigastrium.

5

Page 6: Laporan Kasus Anestesi 1

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan

nyeri di kuadran kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu, akan terjadi infark dinding appendiks yang

diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding

yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate

appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding

appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi

karena telah ada gangguan pembuluh darah.2

2.3 Diagnosis

Diagnosis appendisitis akut harus dilakukan secara cermat dan teliti. Kesalahan

diagnosis lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena pada

wanita sering timbul nyeri yang menyerupai appendisitis akut, mulai dari alat genital (karena

proses ovulasi, menstruasi), radang di panggul atau penyakit kandungan lainnya. Hal ini

6

Page 7: Laporan Kasus Anestesi 1

sering menjadi penyebab terlambatnya diagnosis sehingga lebih dari separuh penderita baru

dapat didiagnosis setelah perforasi.

Untuk mengurangi kesalahan diagnosis, saat berada di rumah sakit dilakukan

observasi pada penderita tiap 1-2 jam. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan

peningkatan jumlah sel darah putih yang melebihi normal. 1

2.4 Tata Laksana

Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat adalah tindakan operatif. Ada

dua teknik operasi yang biasa digunakan :1

1. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah kanan

perut. Sayatan akan lebih besar jika appendisitis sudah mengalami perforasi.

2. Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar 1-4 buah. Satu di dekat pusar, yang lainnya di

seputar perut. Laparoskopi dilakukan dengan kamera yang akan dimasukkan melalui

sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan

pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan

peralatan yang diperlukan untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat

lain. Pengangkatan appendiks, pembuluh darah, dan bagian dari appendiks yang

mengarah ke usus besar akan diikat.

3.5 Teknik Laparoskopi

a. Definisi Laparoskopi

Laparoskopi adalah prosedur untuk melihat rongga perut melalui sebuah teleskop

yang dimasukkan melalui dinding perut. Prosedur pembedahan pada laparoskopi

menggunakan alat-alat yang juga dimasukkan melalui dinding perut. Melalui teleskop,

prosedur pembedahan lebih jelas terlihat karena bisa dilakukan pemaparan yang lebih baik

pada rongga panggul dan efek pembesaran dari teleskop.3

Pada tahun 1902, Georg Keling, di Dresden, Saxony melakukan tindakan laparoskopi

pertama pada anjing. Tahun 1910, Hans Christian Jacobaeus di Swedia melaporkan operasi

laparoskopi dilakukan pertama kalinya terhadap manusia. Dengan ditemukannya chip

komputer pada kamera TV, innovasi laparoskop lebih berkembang lagi. Dengan adanya alat

ini, dapat dilakukan pembesaran lapangan operasi yang terlihat di monitor.3

7

Page 8: Laporan Kasus Anestesi 1

Operasi laparoskopi adalah salah satu alat diagnostik dan terapeutik yang paling

penting di era bedah ini. Sejak tahun 1987, ketika kolesistektomi laparoskopi pertama

berhasil dilakukan oleh Phillipe Mouret, yang kini telah menjadi standar emas. Manfaat dari

teknik ini adalah akses minimal termasuk rasa sakit kurang, mobilisasi dini, bekas luka

minimal dan waktu yang singkat dirawat di rumah sakit. Prosedur invasif minimal ini

menyebabkan pneumoperitoneum yang berfungsi untuk visualisasi dan manipulasi operasi.

Perubahan sistemik, perubahan cardiopulmonary tertentu, juga tergantung pada tekanan intra-

abdomen dan gas yang digunakan. Masalah utama selama operasi laparoskopi berkaitan

dengan efek cardiopulmonary dari pneumoperitoneum, penyerapan karbon dioksida sistemik,

emboli gas vena, cedera yang tidak disengaja dengan struktur intra-abdominal dan posisi

pasien.4

b. Keuntungan Teknik Laparoskopi

Laparoskopi, yang merupakan revolusi besar di bidang ilmu bedah, kini banyak

dipilih karena prosedurnya yang mudah serta waktu operasi yang relatif singkat dan lama

pemulihan pasca operasi yang lebih singkat ketimbang konvensional. Ukuran lubang yang

diperlukan untuk operasi kurang lebih 0,5-1,5 cm, jauh lebih kecil dibandingkan ukuran

lubang untuk operasi konvensional. Karena alasan inilah maka operasi laparoskopi disebut

juga bandaid surgery atau keyhole surgery. Operasi ini disebut juga minimal invasive, karena

bagian tubuh dibuka dengan sedikit sayatan saja. Di samping itu, nyeri pasca operasi,

komplikasi terhadap peristaltik usus dan luka operasi (infeksi luka operasi atau terbukanya

luka operasi) juga lebih rendah. Khusus mengenai pemulihan peristaltik usus, laparoskopi

memungkinkan hal ini lebih cepat terjadi mengingat organ (usus) tidak perlu dikeluarkan dari

perut atau pun dipegang dokter.3

c. Kerugian Teknik Laparoskopi

Biaya yang dibutuhkan untuk operasi ini relatif lebih mahal karena operasi ini

memerlukan peralatan-peralatan yang canggih seperti sistim kamera, sistim lampu. Selain itu

operasi laparoskopi ini relatif lebih lama dibandingkan laparotomi tetapi jika dilakukan oleh

seorang operator laparoskopi yang terlatih dan terampil maka lama operasi tidak berbeda jauh

dengan laparotomi.

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam

8

Page 9: Laporan Kasus Anestesi 1

pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan

menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest.3

d. Indikasi Laparoskopi 3

Indikasi Diagnostik

· Diagnosis diferensiasi patologi genetalia interna

· Infertilitas primer dan atau sekunder

· Second look operation,apabila diperlukan tindakan berdasarkan operasi sebelumnya

· Mencari dan mengangkat translokasi AKDR.

· Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi

Indikasi terapi

· Kistektomi ,miomektomi dan histerektomi

· Hemostasis perdarahan  pada perforasi uterus akibat tindakan sebelumnya.

Indikasi operatif

· Fimbrioplasti ,salpingostomi,salpingolisis

· Koagulasi lesi endometriosis.

· Aspirasi cairan dari suatu konglomerasi untuk diagnostik yang terapeutik.

· Salpingektomi pada kehamilan ektopik

· Kontrasepsi mantap (oklusi tuba)

· Rekontruksi tuba atau reanastromosis tuba pascatubectomi

· Pungsi folikel matang pada program fertilisasi in-vitro

· Biopsi ovarium pada keadaan tertentu( kelainan kromosom atau bawaa, curiga

keganasan).

· Kistektomi antara lain ada kista coklat (endometrioma), kista dermoid, dan kista

ovarium lain

· Ovariolisis, pada perlekatan periovarium

· Lisis perlekatan oleh omentum dan usus.

. Kolesistektomi

. Appendiktomi

9

Page 10: Laporan Kasus Anestesi 1

e. Kontraindikasi Laparoskopi 3

Kontraindikasi absolut

·    Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi

·    Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas , disertai dengan

distensi dinding perut, sebab kelainan ini merupakan kontraindikasi untuk

melakukan pneumoperitonium.

. Kelainan faktor pembekuan darah yang tidak dapat dikoreksi

Kontraindikasi relatif

·    Tumor abdomen yang sangat besar,sehingga sulit untuk memasukkan trokar

kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat melukai tumor tersebut.

·   Hernia abdominalis, dikawatirkan dapat melukai usus pada saat memasukkan

trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat hernia pada saat dilakukan 

pneumoperitonium.kini kekhawatiran ini dapat di hilangkan dengan modifikasi

alat pneumoperitonium otomatic

·    Kelainan atau insufisiensi paru paru, jantung,hepar,atau kelainan pembuluh darah

vena porta,goiter atau kelainan metabolisme lain yang sulit menyerap gas CO2.

f. Perubahan Fisiologis Selama Pembedahan Laparoskopi

Perubahan fisiologis selama operasi laparoskopi terjadi terutama karena dua alasan: a)

penciptaan pneumoperitoneum dan b) posisi pasien selama operasi.4

Operasi laparoskopi intra-abdomen memerlukan pneumoperitoneum dengan

insufisiensi karbon dioksida untuk memungkinkan visualisasi yang mencukupi pada prosedur

yang akan dilakukan. Hal ini menyebabkan peningkatan volume abdomen, elastisitas dinding

abdomen berkurang dan tekanan intra-abdomen (IAP) meningkat. Ketika IAP melebihi

ambang batas fisiologis, sistem organ menjadi terganggu, yang berpotensi meningkatkan

morbiditas dan mortalitas pasien, terutama pada pasien dengan komorbiditas yang relevan.7

Gas yang paling umum digunakan untuk pembuatan pneumoperitoneum adalah

karbon dioksida (CO2). Gas CO2 yang diberikan kedalam rongga peritoneum sebesar 12-15

mmHg. CO2-induce pada pneumoperitoneum memberikan efek fisiologis melalui dua

mekanisme yang berbeda:

Efek mekanik yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intraperitoneal.

Efek kimia dari CO2 digunakan untuk insuflasi.4

10

Page 11: Laporan Kasus Anestesi 1

Efek Pada Respiratory

Pneumoperitoneum menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen dengan elevasi

diafragma. Hal ini menyebabkan runtuhnya jaringan basal paru yang akhirnya menyebabkan

penurunan kapasitas fungsional residual (FRC), rasio ventilasi perfusi (V / Q) mismatch,

meningkatkan shunting intrapulmonary darah yang mengarah ke hipoksemia. Konsekuensi

ini dapat dikelola dengan mekanisme peningkatan frekuensi ventilasi ringan tekanan positif

akhir ekspirasi (PEEP) dan juga dengan meningkatkan fraksi terinspirasi oksigen (FiO2)

selama operasi laparoskopi.4

Efek Pada Cardiovaskuler

Perubahan kardiovaskular terjadi selama prosedur laparoskopi karena efek mekanik

dan kimia CO2 yang disebabkan pneumoperitoneum. Efek mekanik dari pneumoperitoneum

adalah kompresi vena cava inferior, yang menyebabkan penurunan aliran balik vena yang

menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena sentral, mengakibatkan

peningkatan resistensi pembuluh darah dalam sirkulasi arteri. Efek ini harus dikelola dengan

menanamkan cairan yang cukup selama intraoperatif. Efek lain adalah takikardia, yang

merupakan efek sekunder akibat peningkatan debit simpatik, hiperkarbia dan penurunan

aliran balik vena. Hiperkarbia, asidosis, stimulasi simpatis dari penurunan aliran balik vena

dan stimulasi vagal dengan peregangan dari peritoneum juga mengganggu irama jantung.

Sedangkan pada hiperkarbia parah dapat menghasilkan kontraksi ventrikel prematur,

takikardia ventrikel dan bahkan fibrilasi ventrikel. Stimulasi vagal juga dapat menyebabkan

bradyarrythmia. Efek ini dapat dicegah dengan meminimalkan tekanan intra-abdomen (tidak

di atas 12 mmHg) dan hidrasi pra operasi yang tepat dan memonitor end-tidal CO2 (et-CO2)

dan memonitor dengan arterial line.4

Arterial Line

Kanula intra-arteri pada arteri radial digunakan untuk pengukuran invasif tekanan

darah arteri (IABP) dan kalkulasi darah untuk analisis. Arteri radial adalah arteri yang dipilih

untuk penyisipan karena tingkat komplikasi yang rendah. Garis arteri adalah standar emas

untuk pengukuran tekanan darah yang akurat. Arteri ini dapat digunakan dalam perawatan

dan ketergantungan yang tinggi di intensif unit dan pada pasien dibius yang menjalani

prosedur bedah. 5

11

Page 12: Laporan Kasus Anestesi 1

Indikasi arterial line:

1. Berkelanjutan, lebih akurat dibandingkan pengukuran tekanan darah. Contohnya

termasuk pasien di unit perawatan intensif (ICU) memerlukan dukungan inotropik, atau

pasien dengan penyakit jantung menjalani operasi berat.

2. Analisa gas darah arteri pada pasien dengan gagal napas, atau gangguan asam / basa

parah.

Arterial line mengukur tekanan darah sistolik sekitar 5 mmHg lebih tinggi dan

diastolik BP sekitar 8 mmHg lebih rendah dibandingkan non-invasif BP (NIBP) teknik

pengukuran.5

Keuntungan pengukuran dengan arterial line

Perekaman tekanan darah terus menerus.

Perekaman tekanan darah akurat bahkan ketika pasien mendalam hipotensi.

Memperoleh nformasi lainnya dari jejak arteri seperti 'ayunan arteri', indikasi

kontraktilitas miokard.5

End Tidal CO2

Karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari

metabolisme dan kembali ke paru-paru melalui perfusi, di mana ia kemudian dihapus

melalui ventilasi alveolar. Gradien atau perbedaan antara karbon dioksida arteri tekanan

parsial (PaCO2) dan akhir tidal karbon dioksida tekanan parsial (ETCO2) adalah hasil dari

hubungan antara ventilasi (V); aliran udara ke alveoli, dan perfusi (Q); aliran darah ke

kapiler paru. Hal ini disebut sebagai pencocokan ventilasi-perfusi atau V / Q. Menghitung

gradien membutuhkan sampel gas darah simultan dan pengukuran EtCO2. Dalam normal,

paru-paru yang sehat ada kecocokan yang baik ventilasi alveolar dan perfusi ke kapiler

paru mengakibatkan ETCO2 yang erat. Oleh karena itu, PaCO2 dapat diperkirakan dengan

menggunakan pengukuran EtCO2 aktual pada pasien tanpa gangguan kardio-paru yang

signifikan. Sebagai contoh, jika P (a-et) nilai CO2 adalah 5 mmHg dan pengukuran EtCO2

adalah 43 mmHg, maka PaCO2 diperkirakan akan 48 mmHg. Perkiraan tersebut umumnya

dapat diandalkan jika tren ETCO2 stabil. Pada pasien sehat dengan pencocokan ventilasi-

perfusi normal, radient adalah 2-5 mmHg; dengan ETCO2 menjadi lebih rendah dari dua.6

Diagram of processes influencing CO2 6

12

Page 13: Laporan Kasus Anestesi 1

End tidal CO2

Efek Neurologis

IAP tinggi menyebabkan peningkatan tekanan intra-serebral (ICP) oleh karena

terbatasnya drainase vena serebral sebagai akibat dari peningkatan tekanan intra-toraks. Pada

studi klinis menunjukkan bahwa tekanan perfusi serebral dipertahankan oleh peningkatan

tekanan arteri rata-rata yang terjadi pada peningkatan IAP, peningkatan ICP dapat

menyebabkan edema serebral. Ini memberikan kontribusi terjadinya disfungsi neurologis

pada pasien yang mengalami prosedur laparoskopi yang berkepanjangan.7

Efek Akibat Pengaruh Posisi Pasien

Selama prosedur laparoskopi posisi pasien baik dalam Trendelenburg atau Reverse

Trendelenburg. Posisi ini berdampak pada fungsi kardiopulmoner. Dalam posisi

Trendelenburg, ada peningkatan preload akibat peningkatan aliran balik vena dari ekstremitas

bawah. Posisi ini menyebabkan organ dalam abdomen bergeser ke arah cephalad, yang

meningkatkan tekanan pada diafragma. Dalam kasus posisi Reverse-Trendelenburg, fungsi

paru cenderung meningkat karena organ-organ dalam abdomen bergeser ke arah caudal, yang

meningkatkan volume tidal oleh penurunan tekanan pada diafragma. Posisi ini juga

menurunkan preload pada jantung dan menyebabkan penurunan aliran balik vena yang

menyebabkan hipotensi. 4,7

3.10 Pengelolaan Anestesi

13

Page 14: Laporan Kasus Anestesi 1

Tujuan dari manajemen anestesi dari pasien yang menjalani operasi laparoskopi dengan

perubahan fisiologis selama operasi dengan efek minimal pada sistem vital dan pemulihan

yang cepat dari anestesi dengan efek residual minimal. Semua perubahan ini dapat dideteksi

dini dengan memantau elektrokardiogram, tekanan arteri noninvasif (NIBP), tekanan udara,

oksimeter pulsa (SpO2), konsentrasi et-CO2, stimulasi saraf perifer dan suhu tubuh. Output

urine juga harus dipantau pada pasien dengan fungsi kardiopulmoner yang dikompromikan.

Kateterisasi urin juga meminimalkan risiko cedera kandung kemih selama pelabuhan

penyisipan.4

a. Manajemen Perioperatif

Airway

Teknik yang paling umum untuk manajemen jalan napas adalah Cuffed Oral

Tracheal Tube (COTT), relaksasi neuromuscular, dan ventilasi tekanan positif. Tindakan

ini melindungi terhadap aspirasi asam lambung, memungkinkan kontrol optimal CO2.

Disarankan ventilasi dengan bag mask sebelum intubasi harus diminimalkan untuk

menghindari distensi lambung dan penggunaan tabung nasogastrik mungkin diperlukan

untuk mengempiskan perut, dan juga untuk menghindari cedera lambung pada

penyisipan trochar. Penggunaan laringeal mask airway (LMA) pada operasi laparoskopi

masih kontroversial karena peningkatan risiko aspirasi dan kesulitan untuk

mempertahankan transfer gas yang efektif ketika tekanan jalan napas yang tinggi selama

pneumoperitoneum.7

Ventilasi

Pneumoperitoneum dan posisi Trendelenburg yang curam menghambat ventilasi yang

efektif selama operasi laparoskopi. Modalitas kontrol volume secara tradisional

menggunakan aliran konstan untuk memberikan volume tidal yang telah ditetapkan dan

memastikan volume/menit yang memadai dengan mengorbankan peningkatan risiko

barotrauma dan inflasi tekanan tinggi, terutama pada pasien obesitas.7

Analgetik

Keuntungan utama dari operasi laparoskopi adalah berkurangnya waktu tinggal pasca

operasi dan kebutuhan analgesia kualitas tinggi sangat penting untuk mencegah rasa

nyeri pasca operasi. Dengan sifat operasi invasif yang minimal, nyeri yang dirasakan

singkat, namun intens, dan sampai 80% dari pasien akan memerlukan analgesia opioid

pada tahap perioperatif. 7

14

Page 15: Laporan Kasus Anestesi 1

Antiemetik

Operasi laparoskopi memiliki insiden tinggi terjadinya mual dan muntah pasca

operasi dan ini bisa memperburuk nyeri, dan memperpanjang periode masuk rumah sakit

untuk pasien. Oleh karena itu, profilaksis penting, terutama pada pasien dengan faktor

risiko lain. Seperti operasi terbuka, regimen seperti ondansetron, cyclizine, dan

deksametason tampaknya paling efektif selain tindakan umum seperti pengempisan isi

perut. 7

b. Manajemen Post-operatif

Nyeri biasanya dirasakan selama 2 jam pertama pasca-prosedur operasi dan durasi

dapat berkepanjangan jika kemungkinan terjadi komplikasi tambahan. Pasca operasi

laparoskopi sering terjadi nyeri bahu yang merupakan hal yang umum terjadi tetapi dapat

dikurangi jika dokter bedah mengeluarkan sebanyak banyaknya gas dari rongga

peritoneum. Semua pasien harus menerima oksigen sementara dalam pemulihan untuk

mengurangi dampak dari pneumoperitoneum pada fungsi pernapasan.8

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan anestesi

umum (anestesi general). Tindakan laparoskopi dilakukan dengan cara memasukkan gas ke

dalam rongga abdomen (pneumoperitoneum) untuk mengembangkan rongga abdomen

sehingga area kerja di dalam rongga abdomen menjadi lebih luas. Gas yang digunakan adalah

CO2 (insuflasi CO2) karena tidak mengganggu sistemik, mudah diserap, mudah dikeluarkan

oleh tubuh (difusi atau pertukaran gas), dan tidak mengendap (sehingga resiko terjadinya

emboli udara sangat kecil sebab tinggi derajat kelarutannya). 9

Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan menekan

diafragma ke arah cephalad, pengembangan paru menjadi terhambat sehingga difusi CO2 ke

15

Page 16: Laporan Kasus Anestesi 1

luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi ini akan menyebabkan hiperkarbia

dan hipoksia. Hiperkarbia akan merangsang sistem saraf simpatis, yang akan meningkatkan

tekanan darah, denyut jantung, dan kemungkinan disritmia. Kondisi ini harus dicegah dengan

cara menjaga keseimbangan antara O2 dan CO2, yaitu dengan memberikan O2 tinggi,

respiratory rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar (karena jika

volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan paru yang cukup

maka dapat terjadi pneumotoraks). Jika hiperkarbia sudah terjadi, kondisi ini dapat

dikompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau respiratory rate sehingga terjadi

peningkatan tekanan intra-thoracic, yang akan diikuti dengan peningkatan tekanan rata-rata

arteri pulmonal. 4,9

Tekanan insuflasi CO2 yang tidak terlalu tinggi biasanya menyebabkan sedikit

peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena sentral, atau curah

jantung. Tekanan insuflasi yang tinggi cenderung menyebabkan penekanan organ-organ di

sekitarnya, antara lain kolaps vena utama abdomen (inferior vena cava) dan aorta

abdominalis, yang akan menyebabkan penurunan venous return, yang akan diikuti dengan

penurunan curah jantung pada beberapa pasien.9 Karena itu, sebelum penekanan oleh CO2

berlangsung, vaskuler harus terisi penuh sehingga menjaga aliran darah balik agar adekuat.

Caranya adalah dengan pemberian infus cairan.

Pada saat laparoskopi, biasanya pasien diposisikan pada posisi Trendelenburg (head-

down position), posisi ini menyebabkan organ-organ di rongga abdomen dan diafragma

berpindah ke arah cephalad yang akan menyebabkan pasien sesak napas jika pasien sadar

pada anestesi regional.9

Tindakan laparoskopi juga memerlukan relaksasi otot agar visualisasi menjadi lebih

baik dan tekanan insuflasi yang diperlukan lebih rendah, sehingga diperlukan relaksan otot.

Relaksan otot ini bekerja pada otot rangka, sehingga terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot

interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas. Kondisi ini tidak memungkinkan

pasien untuk bernapas spontan karena otot pernapasan lumpuh, sehingga diperlukan teknik

ventilasi yang menjamin zat anestesi inhalasi dan O2 masuk ke trakea dengan benar.10

Karena banyaknya risiko yang berhubungan dengan terhambatnya pernapasan dan

vaskular, maka perlu dilakukan anamnesa pre-operatif yang tepat mengenai penyakit sistemik

atau penyakit tertentu yang mengganggu fungsi paru-paru maupun jantung.

16

Page 17: Laporan Kasus Anestesi 1

Manajemen Pre-Operatif

Sebelum tindakan laparoskopi, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk

mencegah efek-efek insuflasi CO2 yang tidak diinginkan ke organ-organ sekitarnya, seperti

penekanan gas ke arah cephalad menekan diafragma, ke kaudal menekan vesika urinaria, ke

anterior menekan peritoneum, dan ke posterior menekan vena cava inferior dan aorta

abdominalis. Efek penekanan yang dapat dicegah adalah kolaps vena cava inferior yang dapat

menyebabkan penurunan venous return dan curah jantung. Untuk mencegahnya, maka

pembuluh-pembuluh darah tersebut harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan sehingga

pembuluh darah memiliki tahanan (tidak obstruksi karena penekanan). Pada pasien ini

diberikan infus RL.

Kebutuhan cairan pre operasi diperoleh dari rumus Holiday-Segar :

10 kg pertama dikalikan 4

10 kg kedua dikalikan 2

10 kg selanjutnya dikalikan 1

Setelah diperoleh hasilnya, kemudian dikalikan dengan lama puasa

Sehingga dari rumus ini diperoleh kebutuhan cairan pasien sebanyak 600 cc/6 jam. Namun

pada operasi ini tidak diberikan sejumlah cairan yang dibutuhkan pasien, cairan yang

diberikan hanya sebanyak ± 200 cc.

Manajemen Intra-Operatif

Tindakan laparoskopi dibutuhkan anestesi umum (anestesi general) karena tindakan

ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan pasien untuk

bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh,

respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat

(hiperventilasi) dan volume tidal yang tidak terlalu besar, dipasang arterial line dan di

monitoring dengan monitor yang mampu mengukur et-CO2. Namun pada operasi ini tidak

dilakukan pemasangan arterial line dan monitoring et-CO2 akibat keterbatasan biaya. Adapun

pemberian obat-obatan pada pasien ini selama operasi adalah sebagai berikut :

- Midazolam 3 mg untuk sedasi, menenangkan pasien (anxiolitik), dan

menciptakan amnesia.

17

Page 18: Laporan Kasus Anestesi 1

- Recofol (1,5–2,5 mg/kgBB: 100 mg ) sedasi, menurunkan refleks saluran

napas, inhibisi transmisi sinaps melalui efek terhadap reseptor GABA,

pemulihan cepat, menurunkan rasa muntah dan mual, memiliki efek

bronkodilatasi.

- Ecron (0,1-0,2 mg/kgBB: 4 mg) relaksan otot non-depolarisasi durasi

kerja sedang (60 menit). Dipilih karena onsentya cepat (1-3 menit).

- Fentanyl (2-10 mcg/kg: 100 mcg) bekerja pada reseptor (paling efektif

untuk menghasilkan analgesia), terdapat efek depresi napas, penurunan

denyut jantung, dan aliran darah ke otak.

- Ondansentron (4 mg) anti mual-muntah, diberikan karena sering terjadi

mual dan muntah paska operasi terutama karena penggunaan opioid.

Obat-obat reverse yang digunakan: Prostigmin® (Neostigmine-antikolinesterase)

0,5 mg dan Sulfas Atropin 0,25 mg (antikolinergik).

Manajemen Post-Operatif

Pasien post-laparaskopi harus diamati perubahan hemodinamiknya, karena perubahan

hemodinamik sangat mungkin terjadi akibat pneumoperitoneum.

Pasien post-laparoskopi biasanya akan mengalami mual dan muntah karena distensi

dari rongga peritoneum dan untuk mengatasinya pasien dapat diberikan anti-mual dan anti-

muntah. Pasien juga akan merasakan nyeri pada bahu akibat iritasi diafragma, nyeri ini dapat

berlangsung selama 4 hari, hal ini dapat diatasi dengan pemberian analgesik. Untuk

mencegah terjadinya infeksi, dapat pula diberikan antibiotik profilaksis.

18

Page 19: Laporan Kasus Anestesi 1

BAB IV

KESIMPULAN

Teknik anestesi dan manajemen perioperatif yang dilakukan pada tindakan

laparaskopi pada pasien ini belum sesuai dengan teori yang ada. Berdasarkan teori pada

preoperasi dilakukan pemenuhan kebutuhan cairan untuk mencegah terjadinya kompresi vena

cava inferior akibat tekanan CO2 saat pembedahan, dari penghitungan dengan rumus

Holiday-Segar kebutuhan cairan pasien sebanyak 600cc preoperasi namun pada pasien ini

cairan yang diberikan preoperasi hanya sebanyak 200cc. Pada intraoperatif, berdasarkan

teori dilakukan pemasangan arterial line dan monitor et-CO2 untuk dapat memonitor dan

mengetahui apabila terjadi perubahan fisiologis dengan cepat, namun pada kasus ini tidak

dilakuakn tindakan tersebut akibat keterbatasan biaya. Pada postoperatif sudah sesuai dengan

teori yang ada yaitu dilakukan monitoring hemodinamik pasien. Setelah dirawat di recovery

room hingga kesadaran membaik, tanda vital normal dengan tekanan darah 128/76 mmHg,

nadi 78 x/menit, frekuensi nafas 18 x/menit, suhu 36,4OC, SpO2 99% pasien dipindahkan ke

bangsal dan setelah 2 hari pasien dipulangkan dengan kondisi membaik. Teknik laparoskopi

19

Page 20: Laporan Kasus Anestesi 1

keuntungan untuk rawat inap yang singkat, yaitu satu hari setelah pembedahan pasien dapat

dipulangkan. Pada kasus ini pasien pulang 2 hari pasca operasi, hal ini terjadi atas permintaan

pasien sendiri

DAFTAR PUSTAKA

1. Price S, Wilson L. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit, ed 6 vol (1).

Jakarta: EGC buku kedokteran. 2006. 448-9.

2. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3, cet. 1. Jakarta: Media

Aesculapius. 2000.

3. Fuadi A. Laparoskopi: Teknologi Canggih dalam Pengelolaan Pembedahan. J of

Medicine and Health. 2010; 2(1): 97-105.

4. O’Malley C, Cunningham AJ. Physiologic changes during laparoscopy. Anesthesiol

Clin North America.2001;19:1–19.

5. Duncan Y, Burderr. Radial Arterial Line. British Journal of Hospital Medicine. 2006;

67(5): 2-5

6. Jamess, Cheifetz T. Understanding the Arterial to End Tidal CO2 Gradient; P(a-

et)CO2. Article of Oridion Capnography. 2009.

7. Hayden P, Cowman S. Anaesthesia for laparoscopic surgery. J Revalidation from

anesthetic (RCA). 2015 (I); 177-180.

20

Page 21: Laporan Kasus Anestesi 1

8. Phelps P, Cakmakkaya OS, Apfel CC et al. A simple clinical maneuver to reduce

laparoscopy induced shoulder pain: a randomized controlled trial. Obstet Gynaecol.

2008; 111: 1155–60.

9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, ed 3. McGraw-Hill.

2006.

10. Amornyotin S. Anesthetic Consideration For Laparoscopic Surgery. International

Journal of Anesthesiology & Research (IJAR). 2013;1(1).3-7.

21