HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN...
-
Upload
truonghanh -
Category
Documents
-
view
232 -
download
1
Transcript of HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN...
i
HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN
MENURUT PENAFSIRAN IBNU KATSÎR
(SURAT AN-NISÂ: 102, DAN AL-BAQARAH: 43)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ardian Maksal Lintang NIM: 105034001166
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2010 M
ii
HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN
MENURUT PENAFSIRAN IBNU KATSÎR
(SURAT AN-NISÂ: 102, DAN AL-BAQARAH: 43)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ardian Maksal Lintang NIM: 105034001166
Pembimbing:
Dr. Faizah Aly syibromalisi, MA NIP: 1955725 200012 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2010 M
PERSETUJUAN PARA PENGUJI
Skripsi dengan judul: ” Hikmah Shalat Berjama’ah Dalam al-Qur’ân
Menurut Penafsiran Ibnu Katsîr (Surat an-Nisa:102, dan al-Baqarah:43)”,
yang ditulis oleh Ardian Maksal Lintang, NIM: 105034001166, telah diuji dan
dinyatakan lulus dengan yudisium: Cumlaude, dalam Sidang Terbuka Ujian
Promosi Sarjana di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Desember 2010. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat umtuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 20 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap anggota,
Dr. Bustamin, M.Si Muslim, S.Th.I
NIP: 19630701 199803 1 003
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Bustamin, M.Si Dra. Hermawati, MA
NIP: 19630701 199803 1 003 NIP: 19541226 198603 2 002
Pembibing,
Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA
NIP: 1955725 200012 2 001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ardian Maksal Lintang
NIM : 105034001166
Tempat/Tgl. Lahir : Cilegon, 26 Maret 1987
Program Studi : Tafsir Hadis
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul: “Hikmah
Shalat Berjama'ah Dalam Al-Qur'ân Menurut Penafsiran Ibnu Katsîr (Surat an-
Nisâ: 102, dan al-Baqarah: 43)” adalah karya ilmiah saya, kecuali kutipan-
kutipan yang disebutkan sumbernya.
Sekiranya terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 20 Desember 2010
Ardian Maksal Lintang
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحیم
Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang
selalu melimpahkan Kasih dan Sayang-Nya kepada seluruh mahluk. Dengan
kuasa-Nya kita dapat bernapas, bergerak, berpikir dan hidup dengan penuh makna
dan kebahagiaan atas nikmat yang indah. Segala puji bagi Allah SWT yang Maha
Kuasa. Maha Pengasih yang tidak pilih kasih. Maha Penyayang, yang kasih
sayang-Nya tiada terbilang oleh dimensi ruang dan waktu. Dengan penuh
keikhlasan hati, Penulis bersyukur atas kehidupan yang telah diberi.
Alhamdulillah, Allah telah memberikan kita potensi berpikir, bertindak, berusaha,
berjuang, dan berevolusi.
Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada baginda Rasulullah
Muhammad SAW. Nabi yang membawa risalah suci untuk disampaikan pada
seluruh umat manusia. Nabi yang diutus untuk menjadi rahmatan lil alamin.
Kesejahteraan dan keselamatan semoga selalu tercurahkan untuknya, para
keluarga, seluruh sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tiadalah
kemampuan melainkan apa yang telah Allah SWT berikan. Atas Ridha-Nya pula
disertai dengan kesungguhan, maka penulis dapat menyelesaikan salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menghasilkan
sebuah karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang penulis angkat dengan tema:
“Hikmah Salat Berjama'ah Dalam Al-Qur'ân Menurut Penafsiran Ibn Katsîr
(Surat an-Nisâ: 102, dan al-Baqarah: 43)”
v
Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan kendala yang
dialami penulis, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan
(data) maupun soal pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat kesungguhan
hati dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari semua pihak, maka semua
kesulitan dan kendala itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
seyogyanyalah penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya ke
hadirat Allah SWT Yang Maha Agung, dan mengucapkan terima kasih yang tiada
terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini: Dr. Faizah
Aly Syibromalisi, MA., dan A. Rifqi Muchtar, MA., yang dengan tulus ikhlas dan
penuh perhatian keduanya telah membimbing, mengarahkan dan memberi
petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat yang sangat berharga kepada penulis.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:
1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu
Dekan.
2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan
kepada Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA., selaku Sekretaris Jurusan
Tafsir Hadis.
3. Ibu Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA., selaku pembimbing penulis,
yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis khususnya dalam
bidang tafsir, serta selalu meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis dengan penuh kesabaran.
vi
4. Bapak Drs. A. Rifqi Mukhtar, MA., selaku penasehat akademik yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepala Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Nasional, Iman Jama, perpustakaan pribadi K.H. Bunyamin
dan K.H. Zuhri Yakub.
7. Kepada Ayah dan Ibu ku tercinta, Ayah. Agus Sayuti Nasution dan
Ibu. Lukis Lubis yang telah berusaha payah membesarkan dan
mengarahkan pendidikan penulis, sehingga tanpa hal tersebut sulit
kiranya penulis dapat mencapai apa yang diperoleh saat ini.
8. Kepada Kakak ku tercinta, Santi Sundari Lintang, yang selalu
mendorong dan memotivasi penulis untuk selalu sabar dan tabah
dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama yang sudah pernah
meminjamkan uang kepada penulis hingga penulis selalu lancar dalam
pembuatan skripsi ini, dan kepada adek ku yang selalu mengingatkan
penulis untuk cepat segera wisuda. Terima kasih atas dorongannya.
9. Kekasih hati…………..,, si Konyah yang dengan begitu sabar dan
tabah selalu mendorong dan mengingatkan penulis untuk menekuni
dan menyelesaikan studi ini pada waktunya. Terima kasih kekasih hati
ku atas pengertian dan perhatiannya.
10. Teman coffe break di kampus, Abdul Hasan Mughni, Muhammad
vii
Nururrahman, Ahmad Syarief Hidayatullah, Suhendri, Ubaidillah
Akbar, yang secara tidak langsung memicu penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada Ahmad Sahal yang telah
banyak membantu penulis dalam mencari tambahan data.
11. Teman kosan, Kavink, Ipink, Hasyim, yang selalu memberikan
keluangan waktunya untuk berdiskusi, khususnya kepada Qusyairi
yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi ini.
Terima kasih atas dorongannya.
12. Kepada seluruh rekan-rekan kelas TH A angkatan 2005, Muammar,
Aqib, Zaenal, Ismail, Hafidz, Agus, Marullah, Bobby, Igun, Syukri,
Rizqi, Saidah, Hifziah, Ummu, Faedah, Avina, Sofi, Fitri, Maryam,
Izu, Ratih, Aini, serta rekan-rekan lainnya yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebaikan kalian yang selalu
membuat semangat muda penulis bergejolak, layaknya pejuang yang
tak kenal lelah mencari sesuap nasi dibawah terik panasnya matahari.
Segala puji dan rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu penulis
panjatkan kepada Allah SWT, serta diiringi doa semoga amal baik tersebut di atas
diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pembalasan yang berlipat ganda.
Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin mencari yang terbaik dalam
penulisan ini. Akhirnya, sebagai kajian ilmiah, penulis sangat menyadari
keterbatasan kemampuan penulis, serta mengakui sifat kemanusiaan yang banyak
kekurangan dan kesalahan. Segala petunjuk dari para pembaca sangat diharapkan
demi pembenaran dan kesempurnaan skripsi ini dan semoga membawa manfaat
viii
khususnya bagi penulis dan para pembaca semua. Amin
Jakarta, 20 Desember 2010 Penulis
Ardian Maksal Lintang NIM: 105034001166
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
PENGESAHAN PEMBIMBING . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
PERNYATAAN KEASLIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix
PEDOMAN TRANSLITERASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xi
BAB I : PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
A. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah . . . . . . . 8
C. Kajian Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
D. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
E. Metodologi Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
F. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
BAB II : IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
A. Biografi, Pendidikan, dan Karyanya . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
B. Mengenal Tafsir Ibn Katsîr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
1. Sumber Tafsir Ibn Katsîr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
2. Metode Tafsir Ibn Katsîr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
3. Corak Tafsir Ibn Katsîr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
5. Sistematika Tafsir Ibn Katsîr . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
BAB III : TAFSIR AYAT SHALAT BERJAMA'AH MENURUT IBNU
KATSÎR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37
x
A. Pengertian Shalat Berjama'ah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37
B. Tafsir Ayat-Ayat Shalat Berjama'ah Menurut Ibnu Katsîr . . 40
1. an-Nisâ 102 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
2. al-Baqarah 43 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
BAB IV : HIKMAH SHALAT BERJAMA'AH MENURUT IBNU KATSÎR DALAM PANDANGAN MUFASSIR . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55
A. Shalat Berjama'ah Sebagai Lambang Persatuan Umat . . . . 55
B. Shalat Berjama'ah Dapat Memakmurkan Masjid-Masjd . . . 60
C. Shalat Berjama'ah Di Lipat Gandakan Pahalanya Sebanyak 27 Kali Lipat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
D. Analisis Penafsiran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 68
BAB V : PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79
B. Saran Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 80
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam datang untuk kebahagian umat manusia dan mengangkatnya ke
puncak tertinggi. Setiap kali Allah ‘Azza wa Jalla mensyari’atkan sesuatu pasti
sesuatu itu akan menghidupkan umat manusia serta memberinya kebaikan dan
manfaat di dunia serta di akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla telah mensyari’atkan shalat
berjama’ah karena hikmah-hikmah yang besar dan tujuan-tujuan yang luhur.1
Allah ‘Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat lima waktu sehari semalam dan juga
shalat jama’ah adalah untuk memaklumatkan syiar-syiar Islam, memenuhi
panggilan Allah, membuat marah musuh-musuh Islam, memperkuat hubungan
sosial antar sesama umat Islam.2
Shalat berjama’ah adalah termasuk amal yang penuh pahala bagi seorang
muslim, bahkan sejak sebelum memulai berjama’ah, karena langkah-langkah
orang yang keluar untuk shalat berjama’ah sudah suatu amal kebaikan yang ditulis
bahkan para malaikat saling berebutan untuk menulisnya. Berjalan kaki untuk
shalat berjama’ah adalah termasuk amal yang di dapatkan oleh seorang hamba
dengan karunia Allah-jaminan hidup dengan baik dan mati dengan baik. Demikian
juga shalat berjama’ah termasuk amal yang dengan melakukannya kesalahan
1 Mahir Manshur Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2007), h. 70. 2 Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, h. 81.
2
diampuni dan derajat dinaikan. Itu bukan hanya ketika berangkat ke masjid saja
melainkan demikian juga ketika pulang kembali dari masjid.3
Sesungguhnya dengan shalat berjama’ah berarti seorang muslim telah
mematuhi (salah satu) perintah Allah yang dibebankan kepada segenap hamba-
Nya yang beriman. Allah berfirman:
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43). Menjelaskan ayat diatas, Ibnu Katsîr dalam kitab Tafsirannya berkata,
“Yakni hendaklah kalian bersama orang-orang yang beriman dalam berbagai
perbuatan mereka yang terbaik, dan yang paling utama dan sempurna dari semua
itu adalah shalat. Dan banyak para ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil
bagi diwajibkannya shalat berjama’ah”.4
Ibnul Qayyim menerangkan, “Jika dikatakan (shalat berjama’ah wajib), ini
bertentangan dengan firman Allah SWT:
“Hai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Ali Imran: 43).
Ayat tersebut diatas tidak menunjukkan wajibnya perintah tersebut (shalat
berjama’ah bagi setiap wanita, tetapi perintah tersebut khusus ditunjukan kepada
Maryam. Ini berbeda dengan firmannya (yang menunjukan wajibnya shalat
3 Fadlal Ilahi, Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2004), h. 11.
4 Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, (Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi), jilid 1, h. 90. Kemudian lihat Tafsir al-Qurthubi, 1/348; Kitabush Salah oleh Ibnu Qayyim, h. 13.
3
berjama’ah bagi laki-laki. Akan tetapi Maryam memiliki kekhususan
(keistimewaan) yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, yaitu ibunya telah
menadzarkan putrinya (Maryam) menjadi hamba yang Shalih dan berkhidmat,
untuk beribadah kepada-Nya dan senantiasa berada di masjid, ia tidak pernah
meninggalkan masjid karena itu ia diperintah untuk ruku’ bersama orang-orang
yang ruku’.” 5
Hafidh Ibnu Jauzi berkata di dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Dan
ruku’lah bersama-sama orang yang ruku’.” Maksudnya adalah shalatlah bersama-
sama orang yang shalat.6 Al-Qadli Baidhawi berkata: “Maksudnya di dalam
jama’ah mereka.”7
Imam Abu Bakar Al-Kisani Al-Hanafi berkata menerangkan dalil-dalil
wajibnya shalat berjama’ah: “Adapun kitab (al-Qur’ân) adalah firman Allah SWT:
“Dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku” adalah perintah Allah untuk ruku’
bersama-sama ruku’. Perintah agar bersama-sama untuk ruku’ adalah perintah
untuk mendirikan shalat berjama’ah. Mutlak perintah adalah untuk mewajibkan
amal.8
Diantara dalil yang menunjukan wajibnya shalat berjama’ah adalah bahwa
Nabi saw memerintahkan para sahabatnya mengerjakannya. Imam Bukhari
5 Abu Abdillah Musnid al-Qahthani, 40 Manfaat Shalat Berjamaah, (Jakarta: Darul Haq,
2007), cet. Ke-6, h. 7. 6 Zadul Masir, 1/75. 7 Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma'ani fi Tafsir al-Qur’ân al-Adzhim was
Sab'ul Matsaani, (Beirut: Darul Ihya), juz 1, h. 247. Kemudian lihat Tafsirul Baidlawi, 1/59 dan lihat juga Tafsirul Qurthubi, 1/348.
8 Badaiush Shanai’Fit Tartibis Syarai’1/155, Lihat pula Kitabush Shalat karya Ibnul Qayyim, h. 66.
4
meriwayatkan dari Malik bin Huwairits Ra: Aku datang kepada Nabi saw dalam
sekelompok kaum.
ćǃǟ ɂƋȲŁȍ ʼnɄnjǤʼnȺȱǟ łǨŃɆŁǩLjǟ LjȷǠLjȭŁȿ DŽǦLjȲŃɆLjȱ ŁȸŃɅnjȀŃȊŇȝ łȻŁǼŃȺŇȝ ǠŁȺŃȶLjȩĆ ǖLjȥ ɄŇȵŃɀLjȩ ŃȸŇȵ LJȀLjȦŁȹ ɄŇȥ ŁȴƋȲŁȅŁȿ ŇȼŃɆLjȲŁȝLjȯǠLjȩ ǠŁȺŇȲŃȽLjǖŇȱ ǠŁȺLjȩŃɀŁȉ ɁLjǕŁǿ ǠʼnȶLjȲLjȥ ǠDŽȪŃɆŇȥŁǿ ǠńȶŃɆŇǵŁǿ :ŃɀƌȲŁȍŁȿ ŃȴłȽ ǟŃɀłȶƍȲŁȝŁȿ ŃȴnjȾŃɆŇȥ ǟŃɀłȹŃɀNJȮLjȥ ǟŃɀłȞnjDZŃǿŇǟ . ǟLjǽnjǚLjȥ
ŁǘłɆǐȲLjȥ NJǥǠLjȲʼnȎȱǟ ŇǧŁȀŁȒŁǵŃȴNJȭłȀŁǤǐȭLjǕ ŃȴNJȮʼnȵłǘŁɆǐȱŁȿ ŃȴNJȭłǼŁǵLjǟ ŃȴNJȮLjȱ ǐȷƍǽ. ”Aku tinggal bersama Nabi saw selama dua puluh hari dan beliau
sangatlah kasih sayang dan bersahabat. Ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda: “Kembalilah dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka, dan salatlah. Apabila telah datang waktu salat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan yang paling tua mengimami kalian.“9
Shalat berjama’ah adalah sarana terpenting dan utama untuk
memakmurkan rumah-rumah Allah. Jika bukan karena shalat berjama’ah tentu
masjid-masjid menjadi sepi.
Allah Swt Bersaksi bahwa memakmurkan masjid-masjid adalah dengan
iman dan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah
SWT pada kebenaran dan sungguh mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Allah SWT berfirman:
“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18).10
9 Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukharî, Sahih Bukhari, (Beirut: Dâr Ibnu
Katsîr, 1999), juz 2, h. 110. 10 Ibnu Katsîr ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid 2, h. 376.
5
Sebagaimana karunia Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya adalah
menjadikan pahala yang berlimpah, karena menunaikan shalat berjama’ah. Pahala
ini dimulai sejak hati tergantung di masjid, lalu berjalan ke masjid untuk
menunaikan salat berjama’ah di dalamnya sampai seorang hamba selesai
menunaikan shalat. Pahala tersebut tidak hanya berhenti disini, namun masih terus
menerus sampai hamba tersebut sampai kerumahnya. Sebagaimana Allah SWT
menjadikan pahala khusus shalat Isya, shalat Subuh, dan shalat Asar secara
berjama’ah.11
Hikmah shalat berjama’ah akan menciptakan insan pencipta yang
Rahmatan Lil ‘Alamin (pembawa rahmat bagi seluruh alam), dan menjadikan
umat yang kuat, sehat jasmani dan rohani. Sehingga mempengaruhi proses
berfikir ke arah yang baik, tidak merugikan lingkungan. Karena dengan shalat
pembinaan manusia dalam hal moral, ketaqwaan, kesesungguhan kerja serta
menanamkan solidaritas sosial. Allah SWT berfirman:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-kitab (Al-
Qur’ân) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-‘Ankabut: 45).
Persoalan ibadat, seperti shalat di atas, sebenarnya lebih kepada
kedudukannya sebagai institusi iman, atau institusi yang menengahi antara iman
11 Ilahi, Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah, h. 8.
6
dan konsekuensinya, yaitu amal perbuatan. Iman atau keimanan yang merupakan
sikap batin, memang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-
hari. Semua agama samawi atau agama langit,12 menekankan keselamatan melalui
Iman. Penekanan itu terutama terdapat pada agama-agama Ibrahim (Abrahamic
Religions), karena dari segi pokok ajaran bernenek moyang kepada ajaran Nabi
Ibrahim as., dari sekitar abad XVIII SM, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Tetapi, agama-agama itu juga sangat menekankan adanya keterkaitan atau
konsekuensi langsung antara iman dan amal perbuatan nyata manusia. Maka bagi
agama-agama samawi itu, Tuhan tidak dipahami sebagai yang “berfokus” pada
benda-benda (totemisme) atau upacara-upacara (sakramentalisme) seperti pada
beberapa agama lain, tetapi sebagai yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut
pada manusia untuk menjalani hidupnya mengikuti jalan tertentu, yang ukurannya
ialah kebaikan seluruh anggota masyarakat manusia itu sendiri. Dengan kata lain,
di samping bersifat serba tansendental dan maha tinggi, menurut persepsi agama-
agama samawi Tuhan juga bersifat “etikal”, dalam arti bahwa dia menghendaki
pada manusia tingkah laku yang akhlaqi atau etis, bermoral.13
Sebagaimana pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadah yang juga
mengandung arti pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni hal
yang secara interen terdapat pada kecenderunngan alami manusia dan alam
12 Bahasa Arab: samawi, ‘bersifat langit”, yakni berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, yang menyatakan kehendak atau ajaran-Nya melalui wahyu kepada utusan dan menghasilkan kitab suci.
13 Ini ditegaskan dengan kuatnya konsep amal saleh dalam Islam, yang hampir selalu disebutkan berbarengan dengan iman untuk menunjukan hubunngan erat, malah tak terpisahkan, antara kedua. Prinsip ini juga dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti “tali Allah” (habl minallâh) dan “tali manusia” (habl min al-nâs), taqwa dan akhlaq, bahkan sebagaimana dalam shalat, takbir (ucapan Allâhuâkbar) dan taslîm (ucapan assalâmu’alaikum). Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 60-61.
7
kejadian asalnya sendiri. Karena itu, perpindahan dari satu bentuk ke bentuk yang
lain dapat dilihat sebagai tindakan substansif belaka. Hal itu karena dalam
kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas sama sekali dari
satu bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ubudiyah atau
devotional, seperi shalat dalam Islam, yang merupakan tindakan ubudiyah tertentu
yang standar.14 Sudah menjadi kecenderungan pula bagi umat muslim untuk
menetapkannya sebagai sesuatu yang amat diperlukan bagi kehidupan, serta akan
berusaha untuk sungguh-sungguh melaksanakannya.
Umat Islam banyak yang mengungkap hikmah yang terkandung di dalam
shalat berjama’ah itu selain melaksanakan praktek ritualnya, namun tidak banyak
juga yang meninggalkan shalat berjama’ah, dan hanya cukup melaksanakan shalat
sendiri saja tanpa melihat hikmah dan manfaat serta pahala yang terkandung di
dalam shalat berjama’ah.
Melihat dengan adanya permasalahan-permasalahan di atas maka penulis
mencoba menguraikan hikmah shalat berjama’ah dalam kaca mata al-Qur’ân dan
Mufassirun, yang diwarnai berbagai penjelasan serta sikap bagaimana seharusnya
segenap kaum muslimin menyadari akan hal pentingnya dalam shalat berjama’ah
tersebut. Penulis merasa tertarik untuk membahas masalah ini dan mengajukan
sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : HIKMAH SHALAT
BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN MENURUT PENAFSIRAN IBNU
KATSÎR (Surat an-Nisa: 102, dan al-Baqarah: 43).
14 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 63.
8
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam penulisan, maka penulisan skripsi ini diberi
batasan dan rumusan masalah yang akan dibahas. Dalam skripsi ini penulis akan
membahas masalah shalat berjama’ah yang kemudian dikaitkan dengan hikmah
yang terdapat di dalam hikmah shalat berjama’ah tersebut. Untuk itu
permasalahan dalam skripsi ini dibatasi pada pembahasan shalat berjama’ah
dalam Surat An-Nisa: 102, dan Al-Baqarah: 43, dan beberapa penafsiran Ibnu
Katsîr dalam kaitannya dengan hikmah shalat berjama’ah diantara penafsiran
yaitu: a) pengertian shalat berjama’ah; b) shalat berjama'ah sebagai lambang
persatuan umat; c) shalat berjama’ah dapat memakmurkan masjid-masjid; d)
shalat berjama’ah di lipat gandakan pahalanya sebanyak 27 kali lipat; e) analisis
penafsiran.
Adapun para Mufassirin yang akan membahas hikmah shalat berjama’ah
ialah Ibnu Katsîr, M. Quraish Shihab, Hasbi ash-Shiddieqy, Hamka, dan lain-
lainnya, sehingga nantinya orang akan mengetahui hikmah shalat berjama’ah
tersebut dan merasa betapa banyak manfaatnya kalau seorang muslim selalu
menjalankan shalat berjama’ah sekalipun tidak diwajibkannya.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan yang akan diajukan
adalah sebagai berikut: bagaimana pandangan Ibnu Katsîr tentang shalat
berjama’ah pada Surat An-Nisa: 102, dan Al-Baqarah: 43, dalam al-Qur’an
sebagaimana tertuang dalam Tafsir al-Qur’ân al-Azhim.
9
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah
tersebut di atas, maka perlu adanya perumusan masalah yang harus penulis
ajukan, seperti :
1. Bagaimana penafsiran Ibnu Katsîr atas surat an-Nisa ayat 102, surat al-
Baqarah ayat 43.
2. Apakah hikmah shalat berjama’ah bagi segenap kaum muslimin.
C. Kajian Pustaka
Studi terhadap shalat, khususnya yang berhubungan dengan masalah shalat
berjama’ah yang tampaknya banyak sekali masalah sekelumit realita yang sering
kita lihat di tengah masyarakat Islam dan di tengah masjid-masjid yang banyak
bertebaran di negri ini dan negri-negri lainnya. Sudah menjadi kewajiban kita
semua untuk memperbaiki amalan-amalan kaum muslimin yang tidak sesuai
dengan sunnah Nabi Saw. Shalat berjama’ah merupakan satu wadah menciptakan
masyarakat madani yang di idam-idamkan. Masyarakat madani tidak akan
mungkin tercipta bila sarana ini di penuhi dengan bid’ah dan penyimpangan.
Menciptakan suasana shalat berjama’ah yang sesuai dengan sunnah Nabi Saw
sama artinya menciptakan masyarakat yang beriman dan bertakwa. Itulah yang
menjadi harapan kita semua, saya mengamati persoalan mengenai shalat
berjama’ah dengan lebih seksama.15
Dalam buku yang berjudul Bimbingan Lengkap Salat Berjamaah sebanyak
224 halaman, yang dikarang oleh Shalih bin Ghanim As-Sadlan . Hanya
15 Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Bimbingan Lengkap Shalat Berjamaah, (Bogor: At-
Tibyan, 2002), cet. Ke-2, h. 10.
10
menjelaskan yang menyangkut hukum dan tata cara shalat berjama’ah di atas
kendaraan, udzur-udzur yang membolehkan kita tidak menghadiri jama’ah,
hukum menyampaikan suara imam, dan lain-lain. ringkasnya hikmah shalat
berjama’ah, seperti yang kurang dipahami oleh masyarakat. Termasuk dalam
masalah shaf, mendahului bacaan imam, meluruskan barisan, dan lain-lain.16
Lain dari itu, buku yang berjudul Menggugat Kesunnatan Salat Berjamaah
sebanyak 164 halaman, yang di karang oleh Syaikh Dr. Fadlal Ilahi Menjelaskan
tentang ketidaktahuan mereka terhadap pahala besar dan balasan mulia yang
dijanjikan oleh Allah bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah, dan
ketidaktahuan mereka terhadap hukum shalat berjama’ah yang pembahasannya
begitu jelas menurut al-Qur’ân dan As-Sunnah dan lain-lain.17
Sedangkan masalah yang di angkat oleh penulis adalah masalah hikmah
shalat berjama’ah yang telah Allah syari’atkan dengan hikmah-hikmah yang besar
dan tujuan-tujuan yang luhur dan juga untuk memaklumatkan syiar-syiar Islam,
dan shalat berjama’ah juga adalah sarana terpenting dan utama untuk
menyambung silaturahmi dan pembinaan diri . Oleh sebab itu, melalui penelitian
ini diharapkan bisa memberikan sedikit kontribusi sekaligus penengah dalam
kehidupan masyarakat yang sejahtera dalam negara.
D. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ada dua nilai signifikan, yaitu aspek keilmuan dan segi
praktis. Dari aspek keilmuan, hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi
16 Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, h. 21. 17 Ilahi, Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah. h. 2.
11
pengembangan wacana tentang hikmah shalat berjamaah. Kajian mengenai
hikmah shalat berjamaah menurut Ibnu Katsîr dan para Mufassir semakin
memperkaya khazanah intelektual khususnya dalam bidang tafsir.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Ingin memperoleh pemahaman yang utuh tentang hikmah shalat
berjama’ah dalam al-Qur’ân menurut pandangan tafsir Ibnu Katsîr
beserta para mufassir.
2. Dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
agama, khususnya dalam bidang pemikiran yang akan bermanfaat di
kemudian hari.
3. Untuk memenuhi persyaratan terakhir, guna mencapai gelar kesarjanaan
dalam bidang ilmu Ushuluddin.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan karya tulis (skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kepustakaan (Library Research) sebagi landasan dalam mengumpulkan
data yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku yang berkaitan erat dengan
judul yang penulis ambil. Pendekatan secara tekstual akan digunakan dalam
skripsi ini, pada proses pengumpulan data, penulis membagi dua, pertama, data
primer, yakni penulis menggunakan Terjemahan Tafsir Ibnu Katsîr, dan kedua,
data sekunder adalah segala sumber tertulis, baik dari para pandangan mufassir,
baik dari buku, situs internet, atau tulisan lain yang relevan dengan pokok
permasalahan sebagai pendukung data primer.
12
Dalam pembahasan Skripsi ini, penulis menggunakan kajian Tafsir
Maudhû’I.18 Adapun langkah-langkah atau tata cara kerja tafsir Maudhû’I adalah
sebagai berikut:19
a. Membahas atau menetapkan masalah shalat berjama’ah yang akan
dikaji secara Maudhû’I.
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
yang akan ditetapkan, ayat makîyah dan madanîyyah.
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtun menurut kronologi masa
turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya
ayat atau asbab nuzul.
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di masing-
masing suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna, dan utuh (outline).
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadîs, bila dipandang
perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin
jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian
serupa, mengompromikan antara pengertian yang ’am dan khas,
antara yang mutlak dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang
18 Metode Maudhû’I adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki maksud yang sama dan menyusunnya berdasar kronologi serta turunnya ayat-ayat tersebut. Lihat Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, h. 36. 19 Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, h. 48.
13
lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan manshuk,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiktif atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat ke dalam makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Di samping langkah-langkah di atas penulis menggunakan kitab-kitab
penunjang tentang ayat-ayat shalat berjama’ah, penulis menggunakan al-Qur’ân
dan terjemahan yang diterbitkan oleh Depag.
Metode Komfaratif digunakan mengingat shalat tidak hanya sekedar
ibadah yang dilakukan oleh person, dengan tidak melihat pada ibadah-ibadah lain.
Shalat bukan hanya mementingkan diri si pelaku dengan tuhannya, tetapi
mempunyai keterkaitan dengan orang lain dan lingkungan di mana ia tinggal (habl
min Allâh ŵa habl min an-nâs). Shalat tidak akan berdiri sendiri, tapi ia hadir
bersama dengan ibadah lain seperti shalat berjama’ah.
Sedangkan untuk teknis penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku
”Pedoman Akademik, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, Tahun 2005/2006”.
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas beberapa sub-
bab. Untuk memudahkan pembahasannya digunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, yang merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang
masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, metodelogi penelitian serta sistematika penulisan.
14
Bab kedua, Sejarah Hidup, Pendidikannya, dan Karya-Karyanya, Telaah
Tafsir IbnU Katsîr, Sumber Penafsiran, Metode Penafsiran, Corak Penafsiran,
Karakteristik Penafsiran, dan Sistematika Penafsiran.
Bab ketiga, Pengertian Shalat Berjama’ah, Tafsir Ayat-Ayat Shalat
Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr Surat an-Nisa: 102, dan al-Baqarah: 43.
Bab keempat, Hikmah Shalat Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr Dalam
Pandangan Mufassir, Shalat Berjama’ah sebagai lambang persatuan umat, Shalat
Berjamaah dapat memakmurkan masjid-masjid, Shalat Berjama’ah 27 kali lipat
dibandingkan salat sendirian, dan Analisis Penafsiran.
Bab kelima, Merupakan penutup berupa kesimpulan dan saran penelitian,
hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus menjawab rumusan masalah,
kemudian dilampirkan daftar pustaka.
15
BAB II
IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA
A. Biografi, Riwayat Pendidikan, dan Karyanya
Nama kecil Ibn Katsîr adalah Ismâ’îl. Nama lengkapnya adalah ‘Imâd ad-
Dîn Abû al-Fidâ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr ibn Zarâ’ al-Bushra al-Dimasyqî.1
Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra (Bashrah), tahun 700 H./1301 M.
Oleh karena itu, ia mendapat predikat al-Bushrawi (orang Bushra).2
Ibn Katsîr berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya seorang ulama’
terkemuka dimasanya, Syihâb ad-Dîn Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr ibn Dhaw’ ibn
Zarâ’ al-Qurasyî, pernah mendalami madzhab Hanafi, kendatipun menganut
madzhab Syafî’î setelah menjadi khatib di Bushra.3
Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsîr diboyong
kakaknya (Kamâl ad-Dîn ‘Abd al-Wahhâb) dari desa kelahirannya ke Damaskus.
Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya.4 Karena kepindahan ini, ia
mendapat predikat ad-dimasyqî (orang Damaskus).
Hal yang sangat menguntungkan bagi Ibn Katsîr dalam pengembangan
karir keilumannya, adalah kenyataan bahwa di masa-masa pemerintahan Dinasti
Mamluk5 pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid
1 Ahmad Muhammad Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, (Mesir: Dâr al-
Ma’ârif, 1959), jilid I, h. 22. 2 ‘Umar Ridha Kahhâlah, Mu’jam al-Mu’allifîn: Tarâjum Mushannifî al-Kutub al-
‘Arabiyyah, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), jilid II, h. 283. 3 Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsîr Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah,
(Beirut: Dâr al-Fikr), jilid XIV, h. 32. 4 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46. 5 Kata mamlûk berasal dari Bahasa Arab yang berarti budak belian. Mamluk merupakan
sebutan kepada budak-budak yang berasal dari Kaukasus, daerah perbatasan Turki-Rusia. Dinasti
16
berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa
daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama’ ternama di
masa ini, yang akhirnya menjadi tempat Ibn Katsîr menimba ilmu.6
Selain di dunia keilmuan, Ibn Katsîr juga terlibat dalam urusan
kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini seperti, pada akhir tahun 741 H.
Ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi
zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya (hulûl). Tahun 752 H, ia
berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibughah ‘Urus, masa Khalifah al-
Mu’tadid. Bersama ulama’ lainnya, pada tahun 759 H, ia pernah diminta Amir
Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijaksanaan dalam memberantas korupsi,
dan beberapa peristiwa kenegaraan lainnya.7
Para ahli melekatkan beberapa gelar keilmuan kepada Ibn Katsîr, sebagai
kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang keilmuan yang ia geluti,
yaitu:
1. al-Hafizh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 hadis, matan
maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan; mengetahui hadis sahih,
serta tahu istilah ilmu ini;8
2. al-Muhaddis, orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan dirayah,
dapat membedakan cacat dan sehat, mengambilnya dari imam-
Mamlûk berkuasa di Mesir tahun 1250-1517 M., dengan 47 sultan mamluk. Pendiri dinasti ini adalah Baybars dan Izz ad-Din Aibak, yang melakukan kudeta terhadap Dinasti Ayubiyyah. Lihat: Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta:PT. Ichtiar van Hoeve, 1993), jilid III, h. 145-149.
6 Ulama’-ulama’ besar yang hidup masa Dinasti Mamlûk, karya dan wafatnya, selanjutnya lihat: Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIII, h. 46.
7 Ibnu katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46. 8 Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîs, (Beirut: Dâr al-Fikr), h. 448; Bandingkan
dengan: Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981), h. 22.
17
imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil
faedahnya;9
3. al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama’ yang ahli dalam ilmu hukum
Islam (fiqh), namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk
pada suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid;
4. al-Mu’arrikh, seorang yang ahli dalam bidang sejarah atau sejarawan;
5. al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai
perangkat-perangkatnya berupa ‘ulum al-Qur’ân dan memenuhi syarat-
syarat mufassir.
Di antara lima predikat tersebut, al-hafizh merupakan gelar yang paling
sering disandangkan pada Ibn Katsîr. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada
karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya.
Gelar-gelar tersebut dalam keadaan tertentu saling menunjang. Misalnya,
dalam tafsirnya Ibn Katsîr seakan mendemonstrasikan keahlian-keahliannya untuk
menganalisis dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar
keahlian itu nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak
disandang Ibn Katsîr merupakan suatu kelebihan.
Beberapa ulama’ yang memberikan penilaian kepada Ibn Katsîr yang
diantaranya dikemukakan oleh al-Qaththan:
9 Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, h. 23. Dalam beberapa kesempatan para ulama’
menyamarkan atau mensejajarkan pengertian antara al-muhaddis dengan al-hafizh. Namun, jumhur ulama’ muta’akhirun ahli hadis berpendapat antara keduanya berbeda dalam tingkatan dan jenjang keahliannya. Hal ini sesuai tingkatan jenjang yang mereka buat. Dinyatakan, gelar terendah ulama’ hadis adalah al-musnid, al-hafizh, al-hakim, dan yang tertinggi: amir al-mu’minin fi al-hadis, Lihat: Jalal ad-Din as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1966), jilid I, h. 43-52.
18
“......(Ibn Katsîr) adalah pakar Fiqh yang terpercaya, pakar
hadis yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang
paripurna.”10
Muhammad Husain adz-Dzahabî juga mengatakan:
“ Ibn Katsîr telah menduduki posisi yang tinggi dari sisi
keilmuan, dan para ulama’ menjadi saksi terhadap keluasan
ilmunya, (penguasaan) materinya, khususnya dalam bidang
tafsir, hadis, dan tarikh.”11
Pernyataan di atas merupakan bukti kedalaman pengetahuan Ibn Katsîr
dalam beberapa bidang keislaman, terutama hadis, fiqh, sejarah, dan studi al-
Quran. Bukti dan keahlian Ibn Katsîr dalam bidang tersebut dapat dilihat pada
karya tulisnya. Dan rupanya popularitas karya-karya tulis Ibn Katsîr dalam bidang
sejarah dan tafsirlah yang memberikan andil terbesar dalam mengangkat namanya
menjadi tokoh ilmuwan yang terkenal.12
Selama hidupnya Ibn Katsîr didampingi seorang istri yang dicintainya
bernama Zainab, putri al-Mizzi yang masih sebagai gurunya.13
Setelah menjalani dinamika kehidupan yang panjang, penuh dedikasi pada
Tuhannya, agama, negara dan dunia keilmuan, 26 Sya’ban 774 H., bertetapan
dengan bulan Februari 1373 M., pada hari Kamis, Ibn Katsîr dipanggil ke rahmat
Allah.14 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada Ibn Katsîr. Amin.
10 Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr
al-Hadîs), h. 386. 11 Muhammad Husain Adz-Dzahabî, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah
Wahbah), jilid II, h. 243. 12 A. Malik Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, (Makalah diskusi dosen tetap IAIN Sunan
Kalijaga; di-diskusikan 23 Mei 1986), h. 86. 13 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 25. 14 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 34.
19
Pendidikannya
Sejak kepindahan Ibn Katsîr bersama kakaknya ke Damaskus, 707 H., ia
mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam
mendidik, dilaksanakan oleh Kamal ad-Din ‘Abd al-Wahhab, sang kakak.15
Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah bimbingan ulama’ ternama di
masanya.
Guru utama Ibn Katsîr adalah Burhân ad-Dîn al-Fazarî (660-729 H.),
seorang ulama’ pemuka dan penganut mazhab Syafi’î; dan Kamâl ad-Dîn ibn
Qâdhi Syuhbah. Kepada keduanya dia belajar Fiqh, dengan mengkaji kitab at-
tanbîh karya asy-Syîrâzî, sebuah kitab furû’ syafî’iyyah, dan kitab Mukhtashâr Ibn
Hajib dalam bidang Ushûl al-Fiqh.16 Berkat keduanya, Ibn Katsîr menjadi ahli
Fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalm persoalan-
persoalan hukum.17
Dalam bidang hadis, ia belajar hadis dari ulama’ Hijaz dan mendapat
ijazah dari Alwani, serta meriwayatkannya secara langsung dari huffâzh
terkemuka di masanya, seperti Syeikh Najm ad-Dîn ibn al-Asqalânî dan Syihâb
ad-Dîn al-Hajjâr (w. 730 H.) yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn al-Syahnah.18
Kepada al-Hâfizh al-Mizzî (w. 742 H.), penulis kitab Tahdzîb al-Kamâl, ia belajar
bidang Rijâl al-Hadis.19 Beliau juga pernah berguru pada adz-Dzahabi
(Muhammad bin Muhammad; 1284-1348 M.), yang menjadikannya dipercaya
15 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 46. 16 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 192. 17 Nur Faizin Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, (Yogyakarta: Menara Kudus,
2002), h. 39. 18 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 149-150. 19 Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, h. 245.
20
sebagai penggantinya (1348 M.)., di Turba Umm Shalih (Lembaga Pendidikan).
Pada 756 H./1355 M. Ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah
(Lembaga Pendidikan Hadis), setelah hakim Taqiy ad-Din ash-Subhi (683-756
H.) meninggal dunia.20 Berkaitan dengan studi hadis, pada bulan Sya’ban 766 H.,
ditunjuk mengorganisir pengkajian kitab Shahih al-Bukhari.21
Dalam bidang sejarah, peranan al-Hâfizh al-Birzali (w.739 H.), sejarawan
dari kota Syam, cukup besar. Dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibn Katsîr
mendasarkan pada kitab Tarikh karya gurunya tersebut.22 Berkat al-Birzali dan
Tarikhnya, Ibn Katsîr menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan
rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam.
Pada usia 11 tahun menyelesaikan hafalan al-Qur’an, dilanjutkan
memperdalam ilmu qira’at,23 dari studi tafsir dan ilmu tafsir, dari Syaikh al-Islam
Ibn Taimiyyah (661-728 H.),24 di samping ulama’ lain. Metode penafsiran Ibn
Taimiyyah menjadi bahan acuan pada penulisan Tafsir Ibn Katsîr.25
Pada bulan Syawwal 767 H., Ibn Katsîr dianugerahi jabatan imam dan
guru besar tafsir di masjid negara (Masjid Umayyah Damaskus), oleh Gubernur
Mankali Bugha.26
Gelar al-mufassir yang disandangkan kepada Ibn Katsîr tidaklah
berlebihan, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Dawadi al-Mishri (w. 945 H.):
20 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIV, h. 148-150. 21 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 294-295. 22 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 185. 23 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 312. 24 al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 365. 25 Taqiy ad-Din Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân
al-Karim), h. 93-114. 26 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 321.
21
“Ibn Katsîr merupakan ikutan para ulama dan hafizh, dan menjadi
sandaran para ahli makna dan ahli lafazh”.27
1. Badr ad-Din az-Zarkasyi (w. 794 H.), penulis kitab al-Burhan fi ‘ulum
al-Qur’ân, kitab standar dalam ilmu tafsir.
2. Muhammad ibn al-Jazari (w. 833 H.), pengarang kitab an-Nasyr fial-
Qira’at al-’Asyr, kitab standar dalam ilmu qira’at.28
3. Al-Hafizh Abu al-Mahasin al-Husaini, penulis kitab Dzayl Tadzkirah
al-Huffazh, sebuah kitab penting dalam ilmu rijal al-hadis.29
4. Syihab ad-Din ibn Hijji (w. 816 H.), seorang penulis buku penting
dalam bidang tarikh.30
Demikianlah aktifitas dalam seluruh hayatnya, sehingga ia selalu dikenang
keharuman namanya setelah tiada.
Karya-karyanya
Sebagai penulis, Ibn Katsîr tergolong produktif. Beberapa judul karya tulis
yang ia persembahkan merupakan “juru bicara” betapa penguasaan dan
kedalaman ilmunya dalam beberapa bidang kajian.
Dalam bidang fiqh antara lain :
1. Kitab al-Ijtihad fî Thalab al-Jihâd.
Ditulis tahun 1368-1369 M. untuk meng-gerakkan semangat juang
dalam mempertahankan pantai Libanon-Syiria dari serbuan Raja Franks
27 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 28. 28 Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, h. 18. 29 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 26. 30 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 26.
22
dari Cyprus. Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn
Taimiyyah: al-Siyâsah al-Syar’iyyah.
2. Kitab Ahkâm. Kitab fiqh yang didasarkan pada al-Quran dan hadis.
3. Al-Ahkâm ‘alâ Ahwâb at-Tanbîh. Kitab ini merupakan komentar dari
kitab at-Tanbîh karya asy-Syîrâzî.
Dalam bidang hadis antara lain :
1. Al-Takmil fî Ma’rifat ats-Tsiqat wa al-Dhu’afâ wa al-Majâhil (5 jilid).
Merupakan perpaduan dari kitab Tahdzîb al-Kamâl karya al-Mizzî dan
Mîzân al-I’tidâl karya adz-Dzahabî (w. 748 H.), berisi riwayat perawi-
perawi hadis.
2. Jamî’ al-Masânid wa as-Sunan (8 jilid). Berisi para sahabat yang
meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan dari al-Kutub
as-Sittah, Musnad Ahmad, Al-Bazzâr dan Abû Ya’lâ serta Mu’jam al-
Kabîr. Disusun berdasar tertib huruf.
3. Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah
Ibn Shalah (w. 642 H./1246 M.). Karya ini kemudian disyarah oleh
Ahmad Muhammad Syâkir dengan judul: al-Bâ‘ist al-Hadis fî Ikhtishâr
‘Ulûm al-Hadis.31
4. Takhrîj Ahâdis Adillah at-Tanbîh li ‘Ulûm al-Hadis atau dikenal
dengan al-Bâ‘its al-hadis merupakan takhrîj terhadap hadis-hadis yang
digunakan dalil oleh asy-Syîrâzî dalam kitabnya at-Tanbîh.
31 Ahmad Muhammad Syâkir, Syarh Alfiyyah al-Suyûthi fî‘ilm al-Hadis, (Beirut: Dâr al-
Fikr), h. 142.
23
5. Syarh Shahîh al-Bukhârî, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-
hadis Bukhârî. Kitab ini tidak selesai, tetapi dilanjutkan oleh Ibn Hajâr
al-’Asqalânî (952 H./1449 M.).
Dalam bidang sejarah antara lain :
1. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (14 jilid). Memaparkan pelbagai peristiwa
sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
tahun 768 H. Sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian
besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat
penciptaan sampai kenabian Muhammad saw, dan kedua, sejarah Islam
mulai dari periode da’wah Nabi saw di Mekkah sampai pertengahan
abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun
kejadian.
2. Al-Fushûl fî Sirat ar-Rasûl atau as-Sîrah al-Nabawiyyah.
3. Thabaqât asy-Syâfî’iyyah.
4. Manâqib al-Imâm asy-Syâfi’i.
Dalam bidang tafsir antara lain :
1. Fadhâil al-Qur’ân, berisi ringkasan sejarah al-Quran. Pada beberapa
terbitan, kitab ini ditempatkan pada halaman akhir Tafsîr Ibn Katsîr,
sebagai penyempurna.
24
2. Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, lebih dikenal dengan nama Tafsîr Ibn
Katsîr. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid, pada tahun 1342
H./1923 M. Di Kairo.32
B. Mengenal Tafsir Ibn Katsîr
1. Sumber Tafsir Ibn Katsîr
Sumber-sumber tafsir adalah sumber-sumber yang dikutip oleh para ahli
tafsir dan diletakkan di dalam tafsir mereka, lepas dari pandangan mereka dalam
menafsirkan al-Quran.33
Secara garis besar, sumber-sumber Tafsir Ibn Katsîr dapat dibagi menjadi
dua, yakni sumber riwayah dan dirayah.
a. Sumber Riwayah
Sumber ini antara lain meliputi: al-Qur’ân, Sunnah, pendapat sahabat,
pendapat tabi’un. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam
Tafsir Ibn Katsîr. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini juga
berasal dari sumber kedua (dirayah). Karena walaupun Ibn Katsîr sebagai hafizh
dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis, dan menguasai periwayatan
tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip riwayat-riwayat penafsiran dari
kitab-kitab kodifikasi daripada menyampaikan hasil periwayatannya. Namun,
karena materi tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut
adalah sumber riwayah. Sebagai ulama’ muta’akhkhirûn yang sudah jauh rentang
masanya dengan pemilik-pemilik sumber riwayah, adalah suatu sikap yang
32 Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 34-36. 33 ‘Abd ar-Rahman al-Baghdady, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran al-Qur’ân,
terj. Abu Laila dan Muhammad Thohir, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1988), h. 29.
25
berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukkan riwayat tafsir kepada kitab
kodifikasi, sekalipun menguasai periwayatan. Hal ini tidak masalah karena
memang penekanan penulisan tafsir ma’tsûr pada masa muta’akhkhirûn adalah
pada selektifitas atau perhatian dan kepedulian pada nilai riwayat. Dikategorikan
dalam sumber riwayah karena dalam tafsir ma’tsûr sumber tersebut dikenal
sebagai sumber riwayah, dan dulu, masa mutaqaddimûn, penafsiran dengan
diriwayatkan sebagaimana diriwayatkannya hadis oleh para periwayatnya secara
tahammul dan ‘ada’.
b. Sumber Dirayah (Ijtihad Ibn Katsîr Ketika Menjelaskan)
Yang dimaksud sumber dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh
Ibn Katsîr dalam penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifikasi pada
sumber riwayah, juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari para ulama’
muta’akhkhirûn sebelum atau seangkatan dengannya. Terdapat pula pada sumber
ini karya ulama’ mutaqaddimûn.
Hal ini merupakan bukti keterbukaan Ibn Katsîr terhadap karya-karya dari
ulama’ muta’akhkhirûn yang berorientasi ra’y. maksudnya, dia tidak membatasi
diri pada kutipan karya Tafsir ma’tsûr (saja), namun juga memasukkan pendapat
para ulama’ tafsir yang lahir dari pengaruh perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
2. Metode Tafsir Ibn Katsîr
Al-Farmawi, membagi metode tafsir yang selama ini dipakai ulama’
menjadi empat metode, yaitu:
1. Metode tahliliy;
26
2. Metode ijmaliy;
3. Metode muqaran; dan
4. Maudhu’iy.34
Dari pembagian di atas, Tafsir Ibn Katsîr menunjuk kepada metode
tahliliy, suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-
Qur’ân dan seluruh aspeknya. Mufassir mengikuti susunan ayat sesuai mushhaf
(tartib mushhafi), mengemukakan arti kosakata, penjelasan arti global ayat,
mengemukakan munasabah dan membahas sabab an-nuzul, disertai Sunnah Rasul,
pendapat sahabat, tabi’un dan pendapat penafsir itu sendiri dengan diwarnai oleh
latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan
pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami
nash al-Qur’ân tersebut.35
3. Corak Tafsir Ibn Katsîr
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Tafsîr
Ibn Katsîr bercorak mat’sûr, karena dikategorikan dalam sumber riwayah yang
mempunyai pengertian bersumber pada: al-Qur’ân, Sunnah, pendapat sahabat dan
pendapat tabi’in. Kategorisasi ini hanyalah menunjukkan dominasi sumber-
sumber tersebut, tanpa menafikan sumber-sumber lain.
Sumber-sumber lain dalam Tafsîr Ibn Katsîr, diantaranya berkaitan dengan
nusansa tafsir tersebut. Sumber-sumber yang dimaksud adalah Isrâ’iliyyât dan
ra’y. Isrâ’iliyyât perlu dipertegas sebagai salah satu sumber karena terdapat bukti
adanya pemakaiannya, baik pada masa sahabat, ulama’ mutaqaddimân dan
34 ‘Abd Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, h. 10-11.
35 al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, h. 12.
27
muta’âkhkhirân, sebagai sumber tafsir. Juga, Isrâ’iliyyât nampak dijadikan
sumber tafsir oleh Ibn Katsîr, kendatipun tidak dimasukkan dalam strata sumber-
sumber tafsir yang ditulis pada muqaddimah.
Ra’y atau ijtihad sebagai sumber tafsir telah dipakai di kalangan sahabat,
tabi’in, dan ulama’ berikutnya. Kemudian, ra’y mempunyai peran besar dalam
sebuah penafsiran, apa pun coraknya.36
Tafsir Ibnu Katsîr disepakati oleh para ahli termasuk dalam kategori tafsir
bi al-ma’tsur. Kategori atau corak ma’tsur, yaitu penafsiran ayat dengan ayat;
penafsiran ayat dengan hadîs Nabi saw, yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit; atau penafsiran dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran
ayat dengan hasil ijtihad para tabi’un.37
Para ahli yang menetapkan corak ma’tsur, antara lain Manna’ Khalil al-
Qaththan, az-Zarqanî, adz-Dzahabî, al-Farmawi, Hasbi ash-Shiddieqŷ, dan Shubhi
ash-Shalih.38
Penetapan ini karena yang mendominasi dalam Tafsir Ibn Katsîr adalah
penafsiran dengan unsur-unsur atsar, sebagaimana definisi di atas. Penetapan dari
penilaian para ulama’ ini, menjadikan sumber (ma’tsur) bagi tafsir tersebut.
Adapun unsur atsar yang mendominasi sumber tafsir ini, yaitu:
a. Penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân;
b. Sunnah (Hadîs);
c. Pendapat sahabat;
d. Pendapat Tabi’un.
36 Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, h. 89. 37 al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, h. 13. 38 ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’ân/Tafsir, h. 250.
28
4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr
Sebagaimana umumnya kitab klasik atau kitab kuning, Tafsir Ibn Katsîr
termasuk kitab yang kaya materi. Di dalamnya, memuat bukan hanya materi tafsir
al-Qur’ân, namun dapat dikatakan berisi beberapa cabang ilmu keislaman lain,
seperti: hadis, fiqh, sejarah (kisah), ilmu qira’at, dan lain-lain. Karena tafsir
ma’tsur, maka hadis yang disampaikan dilengkapi dengan ilmu seluk beluk atau
perangkat-perangkat keilmuan yang berkaitan dengan hadis, misalnya, ilmu jarh
wa ta’dil, kritik hadis, rijal al-hadis dan lain-lain. Keberadaan ini tidak lepas
dengan kedudukan Ibn Katsir sebagai ahli hadis (al-muhaddis).
Untuk pembahasan fiqh, Ibn Katsîr sering kali menguraikan secara
panjang lebar. Di sini kendati dia berpegang pada satu madzhab, yaitu Syafi’î,
pendapat-pendapat dari madzhab lain, seperti Hanafi, Maliki, Hanbali, dan
pendapat-pendapat dari imam madzhab yang sudah tidak berkembang
disampaikan di antara pendapat madzhabnya. Hal ini menunjukkan
keterbukaannya dan membuka keterbukaan pembaca kitabnya untuk melihat
terhadap pendapat madzhab lain, selain madzhab yang dipegangi, agar tidak
fanatik. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan dia dalam bidang fiqh.
Dalam sejarah atau kisah, Ibn Katsîr adalah ahlinya. Namun demikian dia
tidak berlebih-lebihan dalam menguraikan kisah-kisah orang terdahulu yang
disampaikan teks al-Qur’ân. Justru pengaruh keahliannya nampak pada daya
kritisnya dalam menyampaikan kisah al-Qur’ân, dengan mengemukakan kritik
sejarah terhadap para pendahulunya yang dianggap kurang pas dalam
29
menyampaikan kisah.39 Pada bagian ini dia menambahkan kisah yang bersumber
dari Isra’iliyyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Demikian juga
bidang-bidang keislaman lain ia sampaikan secara proporsional.
Adapun karakteristik Tafsir Ibn Katsîr secara terperinci diuraikan berikut
ini:
a. Mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda
Ibn Katsîr selalu berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat yang
disampaikan para ulama’ sebelumnya. Kalau tidak mungkin, ia akan melakukan
tarjîh. Ia begitu arif dalam menyampaikan hasil pengkompromiannya itu dengan
ungkapan yang menyejukkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, ketika
menghadapi perbedaan dalam penafsiran shirat al-mustaqîm (QS Al-Fatihah [1]:
6).
Beberapa riwayat mengartikan, ȴɆȪǪȆƫǟ ȓǟȀȍ dengan:
1. Ȱȱǟ łǡǠŁǪŇȭȻĈ Kitab Allah (al-Quran)
2. ŁǵŃǤNJȰ Ĉǃǟ LjƫǟŇǪłƙ Tali (agama) Allah yanh kokoh
3. Ĉǃǟ łȸŃɅĈد Agama Allah
4. łȳ LjɎŃȅ ĈɋLjǟ Agama Islam
5. łȨŁǶǐȱLjǟ Kebenaran
6. ŇȻŇǼŃȞŁǣ ŃȸŇȵ łȻǠŁǤŇǵ ǠŁȍ Łȿ łȳ Łȋ ɂnjǤʼnȺȱǟ Nabi Saw dan dua sahabat setelahnya (Abu
Bakar dan Umar)
39 Kritik tersebut antara lain ditujukan kepada Ibn Jarir at-Thabari.
30
Dengan bijaksana sebagai hasil pemahaman yang mendalam, ia
mengkompromikan ikhtilaf itu dalam tulisnya:
Seluruhnya qaul ini adalah benar. Semuanya tetap bisa dipakai (kuat).
Karena sesungguhnya, barang siapa mengikuti Nabi Saw. Dan mengikuti 2
orang sahabat setelahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar, maka sesungguhnya
(ia) mengikuti kebenaran. Barang siapa mengikuti kebenaran , maka
sesungguhnya ia mengikuti ajaran agama Islam. Dan barang siapa
mengikuti ajaran agama Islam, maka sesungguhnya ia mengikuti al-
Qur’ân. Sedang al-Qur’ân merupakan Kitab Allah, tali (agama)-Nya yang
kokoh, dan jalan-Nya yang lurus. Semuanya adalah benar, yang
membenarkan sebagian atas sebagian yang lain.”40
Dalam mengutip berbagai macam pendapat, terutama yang mengandung
ikhtilaf, Ibn Katsîr berusaha bersikap netral, bebas dan kritis. Apabila mendukung
salah satu pendapat yang dikutipnya, ia akan mengemukakan argumen yang
menguatkan pendapat itu dari pendapat-pendapat yang lainnya.
b. Merangkum Tafsir Terdahulu
Ibnu Katsîr mengutip beberapa penafsiran dari para ulama’. Ia mengambil
pendapat-pendapat dari para ulama’ sebagai salah satu sumber tafsir. Ulama’
tersebut adakalanya dari kelompok mutaqaddimûn, namun terkadang dari
40 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, jilid I, h. 26-28.
31
muta’akhirûn. Mereka semua memiliki kontribusi besar dalam mengangkat nilai
tafsirnya.
Pandangan dari banyak ulama’ yang beragam latar belakang keahliannya
tersebut, menjadikan tafsir ini punya sudut pandang yang kompleks. Rangkuman
pendapat di dalamnya sangat luas bidang cakupannya. Dalam mengutip pendapat
tertentu Ibn Katsîr hanya menyebutkan nama kitabnya. Tanpa menyebut-nyebut
nama kitab yang dikutip, orang sudah dan atau mudah tahu karya ulama’ yang
dimaksud, karena ulama’ itu sudah terkenal dan terpercaya.
Ketika Ibnu Katsîr menulis; “Telah berkata az-Zamakhsyari...,” maka
orang akan tahu bahwa yang dimaksud tulisan itu adalah dalam Tafsir al-
Kasysyâf, bukan karya-karyanya yang lain dalam sastra atau teologi. Jika yang
disebut ath-Thabari, maka orang akan paham bahwa sumber qaul itu dari Tafsir
Jâmi’ al-Bayan fî Tafsir al-Qur’ân, bukan kitab tarikhnya. Sebab, ketika Ibn
Katsîr dalam keadaan tertentu mengutip dari karya tarikh, maka dia menulis:
”Telah berkata ath-Thabarî dalam tarikhnya:...,” demikian seterusnya.
Terhadap periwayatan hadis, Ibn Katsîr menulis, “Telah berkata Ahmad di
dalam kitab Musnad-nya..., atau “Dan dalam Musnad Ahmad...,” dan seterusnya.
Baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqh dan lain-lain, Ibn Katsîr sering menyebut
qaul ulama’ tanpa menyebutkan kitab yang menjadi sumber pengambilan. Namun
dalam keadaan tertentu, ia menyebutkan nama kitab yang dimaksud sehingga
memudahkan bagi orang yang hendak mengeceknya.
c. Tafsir yang Terpuji
32
Kritk Abduh yang menganggap kitab tafsir pada masanya dan masa-masa
sebelumnya tak lebih merupakan intelectual exercise, yang penyampainnya
terkesan gersang dan kaku,41 serta kurang bisa membawa pesan-hidayah al-
Qur’ân, adalah terarah kepada kitab-kitab tafsir yang menempuh metode ijmâli,
misalnya Tafsir Jalâlain karya dua Jalâl; Jalâl ad-Dîn al-Mahallî dan Jalal ad-Dîn
as-Suyûthî. Kitab ini misalnya, tak ubahnya sebagai tafsir mufradat. Artinya,
dalam tafsir itu si mufassir hanya menyampaikan pada kata yang lebih mudah dan
lebih dikenal dari kata-kata teks al-Qur’ân, dan membatasi menyampaikan
maksud isi al-Qur’ân. Pembacanya dipersilahkan mengambil pesan al-Qur’ân
dengan perantara pengertian-pengertian kata. Namun demikian, hal di atas
hanyalah efek negatif dari metode ijmâli, karena terdapat pengecualian dari
pandangan Abduh di atas mengenai tafsir dan penafsiran. Menurutnya, Tafsir az-
Zamakhsyarî yang sangat teliti dalam redaksional dan uraian sastrawinya; Tafsir
ath-Thabarî, Tafsir al-Qurthubî dan Tafsir Abu Muslim al-Asfahani yang
pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan tidak
melibatkan diri dalam perbedaan paham, merupakan Tafsir yang sangat baik bagi
para penuntut ilmu.42
Nah, kendati Abduh secara khusus tidak menyebut Tafsir Ibn Katsîr,
namun melihat “sifat” Tafsir yang dikecualikan atau baik bagi penuntut ilmu itu
dipunyai tafsir ini, maka ia termasuk Tafsir yang terkecualikan. Hal ini semakin
nyata jika diingat dan dihubungkan bahwa Rasyîd Ridhâ sebagai pelanjut dan
perealisir ide-ide Abduh, dalam penafsirannya sangat terpengaruh oleh Ibn Katsîr.
41 Muhammad ‘Abduh, Fatihat al-Kitab, (Kairo: at-Tahrir), h. 13. 42 Abd al-’Athi’ Muhammad Ahmad, al-Fikr as-Siyasi li al-Imam Muhammad Abduh,
(Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitab), h. 117.
33
Kekaguman itu telah mendorongnya untuk mencetak Tafsir Ibn Katsîr dan
menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia Islam.
Karya Ibnu Katsîr tersebut menekankan penukilan riwayat penafsiran dari
masa Nabi saw hingga masa atba’ at-tabi’in. Pendapat ulama’-ulama’ pasca
riwayat hanya sekedar pelengkap. Pembahasan nahwiyah kurang mendapat porsi
yang cukup. Penukilan penafsiran, misalnya, dari az-Zamakhsyarî tentang i’rab,
kendati pun dinukil namun kadarnya kecil sekali. Hal ini karena memang ciri
penafsiran masa mutaqaddimûn, masa generalisasi atsar, Tafsir ditekankan pada
pemahaman murad Allah dalam nash al-Qur’ân. Sehingga, walaupun Tafsir Ibn
Katsîr ditulis pada masa muta’akhirûn, namun karena memakai corak
mutaqaddimûn (yaitu ma’tsûr), ia tidak begitu terpengaruh oleh corak-corak tafsir
yang tumbuh setelah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, termasuk di
dalamnya ilmu tata bahasa.
Titik tekan perhatiannya bukan pada ilmu-ilmu pengetahuan yang sedang
marak berkembang pada masa itu, namun lebih memfokuskan diri pada penelitian
sanad. Sebab dengan kritik sanad itulah. Tafsir Ibn Katsîr menjadi tafsir ma’tsûr
yang bersikap Mahmûd (dipuji) dan Jaiz (dibolehkan), serta menempati
kedudukan yang tinggi di antara tafsir-tafsir ma’tsûr. Jika dalam penafsiran,
ketika itu, Ibnu Katsîr tidak mempedulikan kritik sanad maka tafsirnya akan
menjadi tafsir yang disifati madzmum (yang dicela) atau mamnû’ (dilarang),
karena riwayat-riwayat tafsir yang dikutip tidak teruji otentisitas dan validitasnya,
sehingga bisa kemasukan riwayat-riwayat palsu (maudhû’), atau minimal yang
lemah (dha’if) dan atau Isra’îliyyât dan nashrâniyyat yang tidak sesuai standar
34
kualitasnya sebagaimana yang disampaikan dalam muqaddimah, yaitu sesuai
tidaknya dengan ajaran agama Islam.
Melihat data-data di atas, adalah beralasan jika Subhi Shalih berpendapat
bahwa keistimewaan Tafsir Ibn Katsîr antara lain terletak pada ketelitian dalam
masalah sanad, kesederhanaan ungkapan yang digunakan dan kejelasan ide
pemikiran.43
5. Sistematika Tafsir Ibn Katsîr
Sistematika yang ditempuh Ibnu Katsîr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan
seluruh ayat-ayat al-Qur’ân sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’ân, ayat demi
ayat dan surat demi surat; dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Nas, maka secara sistematika tafsir ini menempuh tartib mushhafi.
Patut disyukuri oleh penikmat tafsir bahwa Ibn Katsîr telah tuntas atau
menyelesaikan sistematika di atas, dibanding mufassir lain seperti: al-Mahalli
(781-864 H.) dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H.) yang tidak
sempat menyelesaikan tafsirnya, sesuai sistematika tartib mushhafi.44
Pada muqaddimah Ibn Katsîr menulis tentang cara penafsiran yang paling
baik atau prinsip-prinsip penafsiran secara umum serta argumen-argumen yang
melatarbelakanginya, yang tempuh pada tafsirnya. Apa yang disampaikan di sini
43 Subhi ash Salih, Mabâhis fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin), h.
291. 44 Jalal ad-Din al-Mahallî memulai tafsirnya dari awal surat al-Kahfi sampai dengan surat
an-Nâs, kemudian al-Fâtihah. Tafsir ini kemudian dilanjutkan Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî (849-911 H.), mulai surat al-Baqarah hingga al-Isrâ’, sehingga sempurna 30 juz al-Quran. Berkat dua penafsir tersebut, tafsir ini dikenal dengan Tafsîr al-Jalâlain, walaupun dalam terbitannya ditulis dengan judul Tafsîr al-Quran al-’Azhim. Rasyîd Ridhâ di bawah koreksi Muhammad Abduh, mensarikan kuliah-kuliah tafsir gurunya itu dari surat al-Fâtihah sampai dengan surat an-Nisâ’ [4] ayat 125. kemudian Ridhâ pribadi melanjutkan penafsiran hingga ayat 52 surat Yusuf [12]. Tafsir al-Manâr yang dinisbahkan kepadanya (Ridhâ) tidak sempat dirampungkan, karena dia lebih dahulu dipanggil Allah.
35
sangat prinsipil dan lugas dalam kaitannya dengan tafsir ma’tsûr dan penafsiran
secara umum. Karenanya, tidak heran kalau sering dirujuk pada penulis ‘ulûm al-
Qur’ân setelahnya.
Mengawali penafsirannya, Ibnu Katsîr menyajikan sekelompok ayat yang
berurutan, yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema kecil. Cara ini
tergolong model baru pada masa itu. Pada masa sebelumnya atau semasa dengan
Ibnu Katsîr, para mufassir kebanyakan menafsirkan kata per kata atau kalimat per
kalimat.
Dalam Tafsir Ibnu Katsîr aspek arti kosakata dan penjelasan arti global,
tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu.
Atau, kadang pada suatu ayat, suatu lafazh dijelaskan arti kosakatanya, sedang
lafazh yang lain dijelaskan arti globalnya karena mengandung suatu term (istilah),
bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu
pada ayat-ayat lain nya. Misalnya, sewaktu menafsirkan kalimat (ھدى للمتقین)
dalam surat al-Baqarah [2] ayat (2). Menurut Ibn Katsîr, bahwa huda (di sini)
adalah sifat diri al-Qur’ân itu sendiri, yang dikhususkan bagi muttaqin dan
mu’minin yang berbuat baik. Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar
belakang penjelasannya tersebut, yaitu: 45
a. Fushshilat [41]: 44.
b. Al-Isra’ [17]: 82.
c. Yunus [10]: 57.
45 Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), cet. Ke-3, jilid I, h. 39.
36
Aspek asbab an-nuzul, Ibnu Katsîr tergolong ulama’ yang tidak intensif
menyampaikannya pada ayat-ayat atau surat-surat yang oleh beberapa mufassir
lain disampaikan.
Terhadap dua riwayat asbab an-nuzul atas satu ayat yang sama Ibn Katsîr
menyatakan bahwa kedua-duanya sama-sama menjelaskan asbab an-nuzul, tapi
berhubung jarak waktu terjadinya jauh, maka bentuk komprominya adalah ayat itu
diturunkan dua kali.46
Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman pada adanya
munâsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tartîb mushhafi. Dengan
begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’ân dalam satu tema
kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munâsabah antar ayat-
ayat al-Qur’ân, yang mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-
Qur’ân serta yang paling penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial
(sepotong-potong) yang bisa keluar dari maksud nash. Dari cara tersebut,
menunjukkan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibn Katsîr dalam
memahami adanya munâsabah dalam urutan ayat, selain munâsabah antar ayat
(tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân) yang telah banyak diakui kelebihannya oleh para
peneliti.
Mufassir setelahnya, misalnya Rasyîd Ridhâ dalam Tafsir al-Manâr dan
Mushthafâ al-Marâghî dalam Tafsir al-Marâghî, juga mengawali penafsirannya
dengan mengemukakan kelompok-kelompok ayat.
46 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, jilid III, h. 76.
37
BAB III
TAFSIR AYAT SHALAT BERJAMA’AH MENURUT IBNU KATSÎR
A. Pengertian Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih
secara bersama-sama dengan satu orang di depan sebagai imam dan yang lainnya
di belakang sebagai makmum.
Shalat berjama’ah minimal atau paling sedikit dilakukan oleh dua orang,
namun semakin banyak orang yang ikut shalat berjama'ah tersebut jauh lebih baik.
Shalat berjama'ah memiliki nilai 27 derajat lebih baik daripada shalat sendiri.
Oleh sebab itu setiap manusia diharapkan lebih mengutamakan shalat berjama’ah
daripada shalat sendirian saja.
Shalat atau sering ditulis (ejaan KBBI), merujuk kepada salah satu ritual
ibadat pemeluk agama Islam. Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang
memiliki arti: do'a. Ia dinamakan dengan salah satu bagiannya. Ada yang
berpendapat arti aslinya dalam bahasa adalah pengagungan. Seperti dalam firman
Allah swt:1
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan2 dan mensucikan3 mereka dan mendoalah untuk mereka.
1 Mahir Manshur Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2007), h. 24. 2 Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-
lebihan kepada harta benda
38
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103).
Yang dimaksud dari ayat di atas ialah berdoalah dan beristighfarlah untuk
mereka.4 Dan Nabi saw bersabda:
ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ ɀłǣLjǕ njȀǐȮŁǣ łȸŃǣ ɂnjǣLjǕ LjǦŁǤŃɆŁȉ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ łȌǐȦŁǵ łȸŃǣ ňǫǠŁɆŇȡ ŃȸŁȝ ŁȊŇȽLJȳǠ njȸŁȝ njȸŃǣǟ ŁȸɅnjƘŇȅ ŃȸŁȝ ɂnjǣLjǕ LjǥŁȀŃɅŁȀłȽ LjȯǠLjȩ LjȯǠLjȩ NJȯɀłȅŁǿ ŇȼƋȲȱǟ -ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȴȲȅȿ- » ǟLjǽnjǙ ŁɂŇȝłǻ ŃȴNJȭłǼŁǵLjǕ ŃǢnjDzłɆǐȲLjȥ ǐȷnjǚLjȥ LjȷǠLjȭ ǠńȶŇǝǠŁȍ ƍȰŁȎłɆǐȲLjȥ ǐȷnjǙŁȿ LjȷǠLjȭ ǟńȀŇȖǐȦłȵ ŃȴŁȞǐȖŁɆǐȲLjȥ «.
”Jika salah seorang dari kalian diundang hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang bepuasa hendaklah ia berdoa dan jika ia sedang berbuka hendaklah ia makan”.5
Yakni, hendaklah ia memintakan ampunan dan mendoakan keberkahan
untuk orang yang mengundangnya. Abul ’Aliyah berkata: Shalat dari Allah ialah
pujian-nya untuknya di hadapan para malaikat, dan shalat dari malaikat ialah
do’a.6 Imam an-Nawawi menjelaskan, ”Terdapat banyak pendapat mengenai asal
arti kata shalat. Mayoritas dari-nya batil. Terutama pendapat yang mengatakan
bahwa shalat berasal dari shallaita al-’uda ’ala an-nar idza qawwamtahu (kamu
meluruskan dahan di atas api ketika kamu bermaksud meluruskannya). Yakni,
shalat menjadikan hamba tegak berdiri dalam ketaatan. Ketidak benaran pendapat
ini sangat terang, sebab huruf terakhir dalam kata shalat adalah wawu sedangkan
3 Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka. 4 Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-
Qur’ân al-Azhim, (Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi), jilid 2, h. 386. 5 Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslîm, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz 2, h.
106. 6 Sa’id bin Ali bin Waqf al-Qahthani, Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah,
(Surakarta: Qaula, 2008), h. 17.
39
dalam shallaita adalah ya’. Sehingga, bagaimana mungkin keduanya seakan
padahal huruf asli keduanya berbeda?”7
Sedangkan shalat menurut istilah adalah sebuah kata yang digunakan
untuk mengungkapkan perbuatan-perbuatan tertentu.8 Artinya ibadah kepada
Allah yang berisikan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan yang khusus, dimulai
dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Ia disebut
shalat karena doa yang dikandungnya,9 sebelumnya ia adalah sebutan untuk setiap
doa lalu berubah menjadi sebutan untuk doa yang khusus, atau ia adalah nama
untuk doa lalu dialihkan kepada shalat yang syar’i; karena adanya kesesuaian dan
kedekatan di antara shalat dan doa. Maka jika dimutlakkan nama shalat dalam
syara’, tidak di fahami darinya kecuali shalat yang disyariatkan.10
Jama’ah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-jam’u yang bermakna
menyusun sesuatu yang tercerai berai dan menggabungkannya dengan
mendekatkannya satu sama lain. Al-Jama’ah adalah sekelompok manusia yang
berkumpul untuk satu tujuan. Kemudian digunakan juga untuk sekelompok
makhluk lainnya selain manusia. Orang arab mengatakan: jama’atus syajar
(kumpulan pepohonan), jama’atun nabat (kumpulan tanaman) dengan makna ini
kata al-jama’ah digunakan untuk kumpulan segala sesuatu yang berjumlah
banyak.11
7 Imam Muhyiddin an-Nawawi, Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dâr al-Fikr),
jilid 3, h. 2. 8 Ibnu Qudamah al-Hanbali, Al-Mughni, (Beirut: Dâr Hajar li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr
wa at-Tauzi’ wa al-‘I’lam, 1992), cet. Ke-2, jilid 2, h. 5. 9 ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mawardi, Al-Inshaf fi Ma’rifati
ar-Rajih min al-Khilaf, (Beirut: Dâr Hajar li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1993), jilid 3, h. 5. 10 al-Qahthani, Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah, h. 18. 11 Shalih bin Ghanim As-Sadlaan, Shalatul Jama’ah Hukmuha wa Ahkaamuha wat
Tanbih ‘Alaa maa Yaqa’u fiiha min Bida’ wa Akhtaa’, (Daarul Wathan)., terj. Abu Ihsan al-
40
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan di masjid, mushalah, atau
istilah lainnya. Dengan demikian, shalatnya seorang laki-laki mukallaf di rumah,
kantor atau tempat lainnya tidaklah termasuk mendapat keutamaan secara penuh
sebagaimana diterangkan oleh hadîs-hadîs Rasulullah saw.12
B. Tafsir Ayat-Ayat Shalat Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr
Istilah “Shalat Berjama’ah” tidak penulis temukan dalam al-Qur’ân
dengan ungkapan yang sama. K€endati demikian, maksud dari hal tersebut
(Shalat Berjama’ah) dapat dipahami walaupun dengan pemakaian istilah yang
berbeda.
Adapun beberapa ayat yang dapat penulis temukan berkenaan dengan tema
dimaksud, ialah:
No Ayat-Ayat Pokok Pembahasan 1 An-Nisâ: 102 Perintah mendirikan shalat bersama-sama 2 Al-Baqarah: 43 Anjuran mendirikan shalat bersama orang-orang yang
tunduk
Shalat berjama'ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para
sahabatnya. Rasulullah dan para sahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah
meninggalkannya kecuali jika ada udzur yang syar'î. Bahkan ketika Rasulullah
sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama'ah di masjid dan ketika
sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para
Maidani al-Atsari, Bimbingan Lengkap Shalat Berjama’ah Menurut Sunnah Nabi, (Solo: At-Tibyan, 2002), h. 18-19.
12 Irfan Abdul ‘Azhim, Meraup Pahala Berlimpah dengan Shalat Berjamaah, (Solo: Pustaka Iltizham, 2009), h. 24-25
41
sahabatnya. Para sahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena
sakit) untuk melaksanakan shalat berjama'ah di masjid.13
Apabila setiap manusia membaca dan memperhatikan dengan sebaik-
baiknya al-Qur’ân, as-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka
seseorang akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada umat
Islam akan wajibnya shalat berjama'ah di masjid. Di antara dalil-dalil tersebut
adalah :
1. QS. an-Nisâ: 102
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat)14, Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka
13 Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jama'ah, Shalat Berjama'ah Di Masjid,
Wajibkah, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://fdawj.atspace.org 14 Menurut Jumhur Mufassirin bila Telah selesai serakaat, Maka diselesaikan satu rakaat
lagi sendiri, dan nabi duduk menunggu golongan yang kedua.
42
denganmu15, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang sakit dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu16”. (QS. an-Nisâ: 102).
Asbab al-Nuzul
Ketika ada peperangan yang terjadi sesudah turunnya ayat 101, Nabi saw
mengerjakan shalat Zhuhur. Maka berkatalah orang-orang musyrik: ”Sungguh
Muhammad dan sahabat-sahabatnya memberi kemungkinan kepada kalian untuk
menggempur dari belakang, silahkan kalian perhebat serangan kalian terhadap
mereka!”. kemudian seorang di antara mereka ada yang berkata: ”Ambil
kesempatan lain saja, pasti mereka akan mengerjakan hal yang serupa di tempat
yang sama”. Maka Allah menurunkan ayat antara kedua waktu salat itu ”In
Khiftum an Yaftinakumulladziina Kafaruu” sampai ”Adzaaban Muhiinan”.
kemudian di turunkan pula ayat shalat khauf.17
Dikemukakan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Ad-Dalail, dari Ibnu ’Iyasy az-
Zarqi berkata: ”Kami berada bersama Rasulullah di Usfan, lalu dihadang oleh
orang-orang musyrik yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Mereka berada di
antara kami dan kiblat. Maka Nabi melakukan shalat Zhuhur bersama kami.
Berkata mereka (orang-orang musyrik): ”Mereka akan kalang kabut, kalau kita
15 Yaitu rakaat yang pertama, sedang rakaat yang kedua mereka selesaikan sendiri pula
dan mereka mengakhiri sembahyang mereka bersama-sama nabi. 16 Cara sembahyang khauf seperti tersebut pada ayat 102 Ini dilakukan dalam keadaan
yang masih mungkin mengerjakannya, bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, Maka sembahyang itu dikerjakan sedapat-dapatnya, walaupun dengan mengucapkan tasbih saja.
17 M. Abdul Mujieb, Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul: Riwayat Turunnya ayat-ayat al-Qur’an, (Rembang: Daarul Ihya, 1986), h. 185.
43
berhasil menyerang barisan depan mereka”. Kemudian yang lain berkata:
”Sekarang datang waktu mereka salat, dan mereka lebih mencintai shalat dari
pada anak-anak dan diri mereka sendiri”. Maka Malaikat Jibril turun dengan
membawa (wahyu) ayat ini di antara shalat Zhuhur dengan Asar: ”Dan apabila
kamu berada di tengah-tengah mereka, lalu kamu hendak mendirikan salat
bersama mereka ......... sampai akhir ayat”.18
Munasabah Ayat
Konteks ayat-ayat sebelum ini adalah membicarakan beberapa hukum
Jihad Fi Sabilillah, kemudian hukum-hukumnya hijrah, berpindah dari sesuatu
daerah karena hendak mencari ridha Allah. Kemudian, oleh karena salat itu
merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan dalam situasi apa pun, tidak
bisa gugur karena dalam suasana perang, di tengah-tengah hijrah ataupun dalam
perjalanan, tetapi dalam situasi perang dan perjalanan itu sering terjadi suatu
kesukaran, maka ayat-ayat di atas sengaja diturunkan untuk menerangkan cara-
cara salat dalam situasi yang menakutkan seperti itu, dengan tetap menjaga salat
ini kendati ketika berhadapan dengan musuh. Namun dalam keadaan seperti itu
diberinya rukhshah (keringanan) untuk mengqashar salat itu, buat memudahkan
hamba-hamba-Nya. Maka dengan demikian, munasabah sekali disebutkannya
hukum-hukum ini.19
18 Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzûl, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2004), cet. Ke-4, jilid 1, h. 416-17. 19 Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-
Shabuni, (Surabaya: Pustaka Bina Ilmu, 2003), cet. Ke-4, jilid 1, h. 451-452.
44
Penjelasan
Pada ayat di atas Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah Saw dan
para sahabatnya untuk melaksanakan shalat berjama’ah meskipun dalam kondisi
perang yang berkecamuk dan penuh ketakutan yang diistilahkan dengan shalat
khauf. Hal ini menunjukkan bahwasanya shalat berjama’ah merupakan ibadah
yang sangat agung dan dicintai Allah, yang tidak selayaknya seorang yang
beriman untuk melalaikannya.20 Mereka diperbolehkan berjalan dan memukul
dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan mereka dalam keadaan shalat. Jika
sekiranya seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah, niscaya para
tentara yang berbaris menghadang musuh dan orang-orang yang terancam
serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkan shalat
berjama’ah. Oleh karena hal itu tidak terjadi (tidak diperbolehkan meninggalkan
shalat berjama’ah), maka dapat diketahui bahwa shalat berjama’ah itu termasuk
kewajiban yang sangat penting, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun
meninggalkannya.21
Sebagian ulama mengatakan, diantaranya Jabir al-Hasan, Qatadah, dan al-
Hakam berdasarkan kepada hadîs Ibnu Abbas bahwa dalam keadaan perang
sedang berkecamuk, mereka melakukan shalat-nya satu rakaat saja.22
20 Admin, Memakmurkan Masjid dengan Shalat Berjamaah, artikel ini diakses pada
tanggal 20 April 2010 dari, http://www.assalafy.org 21 Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Keharusan Melaksanakan Shalat Fardhu dengan
Berjamaah, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://evisyari.wordpress.com 22 Ibnu Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid 5, h. 448.
45
Shalat Khauf banyak ragamnya, karena sesungguhnya musuh itu
adakalanya berada di arah kiblat, dan adakalanya berada di lain arah. Shalat itu
adakalanya terdiri atas empat rakaat, adakalanya tiga rakaat (seperti shalat
Maghrib), dan adakalanya dua rakaat (seperti shalat Subuh dan shalat Safar).
Kemudian adakalanya mereka melakukan shalat dengan berjama’ah, adakalanya
perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak dapat berjama’ah, melainkan
masing-masing shalat sendiri dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah
lainnya, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan. Dalam keadaan perang
sedang berkecamuk, mereka diperbolehkan berjalan dan memukul dengan
pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan mereka dalam shalatnya.23
Abu Asim Al-Abbadi meriwayatkan dari Muhammad ibnu Nasr Al-
Marwazi, bahwa ia berpendapat shalat Subuh dikembalikan menjadi satu rakaat
dalam keadaan khauf (perang).
Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan, “Adapun dalam keadaan pedang
beradu, maka cukup bagimu satu rakaat dengan cara memakai isyarat saja. Jika
kamu tidak mampu, cukup hanya dengan sekali sujud karena shalat adalah
żikrullah.”
Di antara Ulama ada yang membolehkan mengakhirkan shalat karena uzur
peperangan dan sibuk menghadapi musuh, seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw.;
beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan Asar dalam Perang Ahzab dan
mengerjakannya sesudah Maghrib. Kemudian beliau melakukan shalat Magrib
dan Isya sesudahnya. Juga seperti yang disabdakannya sesudah itu (yakni dalam
23 Ibnu Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, h. 448.
46
Perang Bani Quraizah) ketika beliau mempersiapkan pasukan kaum muslim untuk
menghadapi mereka. Nabi Saw. bersabda:24
LjǭʼnǼŁǵŁȿɂnjȺ łǼŃǤŁȝ ŇȼƋȲȱǟ łȸŃǣ ŇǼʼnȶŁǶłȵ njȸŃǣ ĆǒǠŁȶŃȅLjǕ ŊɂŇȞŁǤŊȒȱǟ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ NJǦŁɅnjȀŃɅŁɀłDZ łȸŃǣ ĆǒǠŁȶŃȅLjǕ ŃȸŁȝ LJȜŇȥǠŁȹ ŃȸŁȝ ŇǼŃǤŁȝ ŇȼƋȲȱǟ LjȯǠLjȩ ɁŁǻǠŁȹ ǠŁȺɆŇȥ NJȯɀłȅŁǿ ŇȼƋȲȱǟ -ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȴȲȅȿ- »Ljɍ ʼnȸŁɆƍȲŁȎłɅ ŅǼŁǵLjǕ ŁȀŃȾƌȚȱǟ ƋɍnjǙ ɂŇȥ ɂnjȺŁǣ LjǦLjȚŃɅŁȀNJȩ«.
“Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian salat Asar, melainkan di tempat Bani Quraizah!”. (HR. Muslim).
Waktu shalat datang ketika mereka berada di tengah jalan. Maka sebagian
dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. Hanyalah
agar kita berjalan dengan cepat, bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat
dari waktunya. Maka golongan ini mengerjakan shalat Asar tepat pada waktunya
di tengah jalan. Sedangkan golongan lain dari mereka mengakhirkan shalat Asar,
lalu mereka mengerjakannya di tempat Bani Quraizah sesudah shalat Maghrib.
Akan tetapi, Rasulullah Saw, tidak menegur salah satu dari kedua golongan
tersebut.25
Menurut pendapat jumhur ulama, semuanya itu di-mansukh oleh shalat
khauf, karena sesungguhnya ayat shalat khauf masih belum diturunkan ketika
terjadi peristiwa itu. Setelah ayat shalat khauf diturunkan, maka mengakhirkan
salat di-mansukh olehnya. Hal ini lebih jelas dalam hadîs Abu Sa’id Al-Khudri
yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan ahlus sunan.
Para jumhur ulama mengatakan bahwa shalat khauf itu disyariatkan untuk
umum, karena khithab kepada Nabi Saw. Itu juga berarti khithab untuk
ummatnya, dan kita memang diperintahkan untuk mengikutinya serta meniru
24 Al-Nisaburi. Shahih Muslîm, juz 4, h. 162. 25 Ibn Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, h. 449.
47
sunnahnya. Sedang para imam adalah khalifah-khalifahnya yang datang
sesudahnya juga menegakkan syariat dan agamanya. Karena itu tidak dapat
diterima pendapat yang menganggap, bahwa ini adalah khushusiyah (buat Nabi).26
Firman Allah SWT :
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat)27, Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu28, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang sakit dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu29”. (QS. an-Nisâ: 102).
26 Hamidy, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, h. 461. 27 Menurut Jumhur Mufassirin bila Telah selesai serakaat, Maka diselesaikan satu rakaat
lagi sendiri, dan nabi duduk menunggu golongan yang kedua. 28 Yaitu rakaat yang pertama, sedang rakaat yang kedua mereka selesaikan sendiri pula
dan mereka mengakhiri sembahyang mereka bersama-sama nabi. 29 Cara sembahyang khauf seperti tersebut pada ayat 102 Ini dilakukan dalam keadaan
yang masih mungkin mengerjakannya, bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, Maka sembahyang itu dikerjakan sedapat-dapatnya, walaupun dengan mengucapkan tasbih saja.
48
Maksudnya, apabila kamu shalat bersama mereka sebagai imam dalam
shalat khauf. Hal ini bukan seperti keadaan yang pertama tadi, karena pada
keadaan pertama shalat di-qasar-kan (dipendekkan) menjadi satu rakaat, seperti
yang ditunjukkan oleh makna hadisnya, yaitu sendiri-sendiri, sambil berjalan kaki
ataupun berkendaraan, baik menghadap kearah kiblat ataupun tidak, semuanya
sama. Kemudian disebutkan keadaan berjama’ah dengan bermakmum kepada
seorang imam, alangkah baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-
orang yang mewajibkan shalat berjama’ah berdasarkan ayat yang di mulia ini,
mengingat dimaafkan banyak pekerjaan karena jama’ah. Seandainya berjama’ah
tidak wajib, maka hal tersebut pasti tidak diperbolehkan.30
Mayoritas ulama menjawab hal ini dengan mengatakan bahwa syarat
keberadaan Nabi di tengah-tengah mereka adalah dalam rangka menjelaskan
hukum, bukan menetapkan hukum. Sehingga makna ayat tersebut, “Terangkan
kepada mereka dengan contoh darimu, karena hal itu lebih jelas daripada
perkataan”, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Arabi dan lainnya.31
Adapun orang yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa shalat khauf
di-mansukh sesudah Nabi Saw, karena berdasarkan kepada firman-Nya:
30 Ibnu Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, h. 452. 31 Zuhdi Amin, Meraih Kesempurnaan Shalat: 424 koreksi kesalahan dalam shalat,
(Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 287.
49
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat)32, Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu33, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang sakit dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu34”. (QS. an-Nisâ: 102).
Dengan pengertian ini, berarti gambaran shalat tersebut terlewatkan
olehnya, dan cara penyimpulan dalil seperti ini lemah. Dapat pula disanggah
dengan sanggahan semisal perkataan orang-orang yang tidak mau berzakat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada
kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah
menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari salim, dari ayahnya
sehubungan dengan firman Allah SWT :
32 Menurut Jumhur Mufassirin bila Telah selesai serakaat, Maka diselesaikan satu rakaat
lagi sendiri, dan nabi duduk menunggu golongan yang kedua. 33 Yaitu rakaat yang pertama, sedang rakaat yang kedua mereka selesaikan sendiri pula
dan mereka mengakhiri sembahyang mereka bersama-sama nabi. 34 Cara sembahyang khauf seperti tersebut pada ayat 102 Ini dilakukan dalam keadaan
yang masih mungkin mengerjakannya, bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, Maka sembahyang itu dikerjakan sedapat-dapatnya, walaupun dengan mengucapkan tasbih saja.
50
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat)35, Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu36, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang sakit dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu37”. (QS. an-Nisâ: 102).
Ia mengatakan, yang dimaksud adalah shalat khauf. Rasulullah Saw shalat
dengan salah satu golongan dari dua golongan yang ada sebanyak satu rakaat,
sedangkan golongan yang lain menghadap kearah musuh sambil berjaga-jaga.
Setelah itu golongan yang tadinya menghadapi musuh datang dan shalat bersama
Rasulullah Saw. Rasulullah Saw shalat satu rakaat lagi bersama mereka,
35 Menurut Jumhur Mufassirin bila Telah selesai serakaat, Maka diselesaikan satu rakaat lagi sendiri, dan nabi duduk menunggu golongan yang kedua.
36 Yaitu rakaat yang pertama, sedang rakaat yang kedua mereka selesaikan sendiri pula dan mereka mengakhiri sembahyang mereka bersama-sama nabi.
37 Cara sembahyang khauf seperti tersebut pada ayat 102 Ini dilakukan dalam keadaan yang masih mungkin mengerjakannya, bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakannya, Maka sembahyang itu dikerjakan sedapat-dapatnya, walaupun dengan mengucapkan tasbih saja.
51
kemudian salam. Sesudah itu masing-masing dari kedua golongan melakukan
shalat sendiri-sendiri masing-masing satu rakaat.38
Perintah menyandang senjata dalam shalat khauf, menurut segolongan
ulama diinterpretasikan berhukum wajib karena berdasarkan kepada makna
lahiriah ayat. Pendapat ini merupakan salah satu dari kedua pendapat yang
dikatakan oleh Imam Syafi’î. Sebagai dalilnya ialah firman Allah SWT yang
mengatakan:
.…..
……
“......... Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kalian memang sakit; dan siap siagalah kalian.........”. (An-Nisâ: 102)
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa setiap manusia harus tetap
waspada dalam keadaan shalat disaat perang sedang berkecamuk; karena sewaktu-
waktu bila diperlukan, pasti akan menyandangnya dengan mudah, tanpa susah
payah lagi.39
2. QS. al-Baqarah: 43
“Dan Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'40”. (al-Baqarah: 43).
38 Ibnu Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, h. 459-460. 39 Ibnu Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, h. 447. 40 Yang dimaksud ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada
perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
52
Asbab al-Nuzul
Dari ayat di atas, tidak mempunyai sabab al-nuzul, begitu juga tidak
semua (dari sekian banyak) sabab al-nuzul melalui periwayatan shahîh. Dalam
hal ini (al-tafsîr al-maudhû’I), jika terdapat sabab al-nuzul, maka dalam proses
penafsirannya harus mengurutkan ayat demi ayat berdasarkan urutan nuzulnya.
Namun, hal ini terkadang sulit dilakukan karena tidak semua sabab al-nuzul yang
ada, terdapat penjelasan tentang beberapa urutannya.
Munasabah Ayat
Setelah manusia diperingatkan kepada kesalahan-kesalahan dan
kecurangan manusia yang telah lalu itu, sekarang manusia diajak membersihkan
jiwa dan mengadakan ibadat tertentu kepada Allah, dengan mengerjakan shalat,
dan mengeluarkan zakat. Dengan shalat, hati terhadap Allah menjadi bersih dan
khusyu dan dengan mengeluarkan zakat, penyakit bakhil menjadi hilang dan
timbul hubungan batin yang baik dengan masyarakat, terutama orang- orang fakir-
miskin, yang selama ini hanya mereka peras tenaganya, dan mana yang terdesak
mereka pinjami uang dengan memungut riba.41
Penjelasan
Firman Allah SWT kepada Ahlul Kitab:
“Dan Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'42”. (al-Baqarah: 43).
41 Tafsir Ayat 40-46, Dakwah Kepada Bani Israel. Artikel ini diakses pada tanggal 15
Maret 2010 dari, http//tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqarah.htm 42 Yang dimaksud ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada
perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
53
Muqatil mengatakan: Allah memerintahkan orang-orang Yahudi agar
masuk Islam, untuk mendirikan shalat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Nabi Muhammad Saw, secara rinci dan yang telah disunnahkannya, suruhan ini
disampaikan setelah beriman kepada beberapa penjelasan yang dibawa oleh
Muhammad Saw. dari Rabb-nya, karena salat tidak sah tanpa keimanan.
Demikian pula halnya dengan zakat, shaum, dan haji. Keimanan kepada risalah
Muhammad saw merupakan landasan segala amal. kemudian membayar zakat
yaitu dengan menyerahkan kepada Nabi dan melakukan shalat secara Jama’ah.43
Sedangkan firman-Nya:
“Dan Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'44”. (al-Baqarah: 43).
Maksudnya, jadilah kalian bersama orang-orang mukmin dalam berbuat
yang terbaik, di antara amal kebaikan yang paling khusus dan sempurna itu adalah
shalat. Banyak ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan
kewajiban shalat berjama’ah.45 Karena dalam ritual yang dilakukan oleh orang-
orang Yahudi tidak terdapat ruku’. Ayat ini juga berisi petunjuk agar mengikuti
Jama’ah kaum Muslimin dan menta’mir masjid. Dalam masalah ini, yakni shalat
berjama’ah, Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah mu-
akkadah tetapi amat dianjurkan, bukan wajib (sedangkan pendapat yang lebih
43 Ibnu Katsȋr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid 1, h. 120. 44 Yang dimaksud ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada
perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk. 45 Ahmad bin Muhammad Ataillah, Al-Hikam, (Semarang: Toha Putra), juz 1, h.153-154.
54
kuat/râjih adalah pendapat kedua, yaitu hukumnya wajib karena banyak dan
kuatnya dalil-dalil yang dikemukakan.46
Apabila Allah telah memerintahkan untuk ber-iman kepada keesaan Allah
itu lebih di dalamkan dengan mengerjakan shalat, kemudian dengan
mengeluarkan zakat, maka akan tumbuhlah iman itu dengan suburnya. Karena ada
juga manusia yang telah mengaku beriman kepada Allah tetapi malas dalam
mengerjakan salat. Berbahayalah bagi iman itu, karena kian lama manusia akan
runtuh kembali. Dan hendaklah di didik diri bermurah hati dengan mengeluarkan
zakat karena bakhil adalah musuh yang terbesar dari iman. Apabila berperangai
bakhil, nyatalah orang itu tidak beriman.
Maksud yang kedua, arti ruku ialah khusyu'. Jangan hanya shalat asal
shalat, shalat mencukupi kebiasaan sehari-hari saja, tidak di jiwai oleh rasa
khusyu' dan ketundukan. Inilah yang diserukan kepada Bani Israil yakni agar
mereka teruskan saja agama yang diajarkan Musa a.s. kepada lanjutannya, yaitu
yang diteruskan oleh Muhamrnad Saw agar mereka menjadi Muslim, menyerah
diri kepada Tuhan, dan hiduplah sebagai Muslim yang sejati.47
46 Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Zubdatut Tafsir min Fath al-Qadîr, artikel
ini diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari, http://www.alsofwah.or.id 47 Tafsir Ayat 40-46, Dakwah Kepada Bani Israel.
55
BAB IV
HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH MENURUT IBNU KATSÎR
DALAM PANDANGAN MUFASSIR
Shalat merupakan ibadah yang penting dan utama bagi umat Islam. Begitu
pentingnya shalat sehingga untuk memberikan perintah shalat Allah SWT
berkenan memanggil sendiri Rasulullah saw untuk menghadap-Nya secara
langsung. Sedangkan untuk perintah-perintah Allah SWT yang lain selalu
disampaikan kepada Rasulullah melalui perantaraan malaikat Jibril. Karena shalat
merupakan ibadah yang terpenting bagi kehidupan umat, maka tentulah banyak
mengandung hikmah baik ditinjau secara moral (rohani) maupun fisik (jasmani).
A. Shalat Berjama’ah Sebagai Lambang Persatuan Umat
Shalat berjama’ah merupakan amalan yang paling utama. Di samping
berpahala besar, ia merupakan sarana mempertemukan dan menyatukan umat
dalam naungan cahaya ilahi. Islam datang untuk kebahagiaan umat manusia dan
mengangkatnya ke puncak tertinggi. Setiap Allah mensyariatkan sesuatu pasti
sesuatu itu akan menghidupkan umat manusia serta memberinya kebaikan dan
manfaat di dunia serta akhirat.
Allah SWT telah mensyariatkan shalat berjama’ah karena hikmah-hikmah
yang besar dan tujuan yang luhur, seperti:1
1 Abu Ubaidah, Shalat Berjama’ah, artikel ini diakses pada tanggal 20 Maret 2010 dari, http://blog.vbaitullah.or.id
56
1. Mereka saling mencintai antar sesama, karena kebersamaan dan
berkumpulnya, mereka di satu tempat, satu ibadah, satu imam.
2. Mereka akan saling mengenal, betapa banyak perkenalan dan
persahabatan yang terjalin di masjid.
3. Mereka mempunyai perasaan sama dalam ibadah, tiada perbedaan
antara si miskin dan si kaya, petinggi dan petani dan seterusnya.
4. Mereka saling membantu dan mengetahui keadaan saudaranya yang
fakir atau sakit, kemudian berusaha untuk memenuhi dan meringankan
(beban saudaranya).
Karena Allah SWT menginginkan umat Islam menjadi umat yang satu.
Sebab, Tuhannya satu, syariatnya satu, kiblatnya satu, dan tujuannya satu. Firman
Allah SWT:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama
yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku”. (QS. Al-Mu’minun: 52).
Yang dimaksud dari ayat di atas ialah agama kalian, hai para Nabi, adalah
agama yang satu dan ajaran yang satu, dan ia adalah seruan untuk menyembah
Allah SWT semata yang tidak punya seorang pun sekutu.2
Hasbi ash-Shiddieqy dalam tafsirnya berkata: ketahuilah wahai manusia,
segala yang tersebut dalam kisah para Nabi itulah agama-mu. Semua Nabi
2 Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-
Qur’ân al-Azhim, (Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi), jilid 3, h. 246.
57
menyeru umat-Nya untuk menyembah Allah, tanpa sekutu yang lain, yang
berbeda hanyalah syari’at dan hukumnya, sesuia dengan perkembangan masa dan
keadaan, berbeda hukum dan syari’at tidak berarti adanya perselisihan dalam
agama, karena dasarnya tetap satu. Firman ini memberikan pengertian bahwa
agama semua Rasul adalah satu dengan makrifat kepada Allah dan menjauhi
perbuatan maksiat, akan tetapi umat-umat itulah yang menjadikan dirinya dalam
beberapa golongan.3
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya berkata: berpegang teguhlah, yakni
upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan
tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin kamu semua tanpa kecuali. Sehingga
kalau ada yang lupa, ingatkan ia, atau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit agar
semua dapat bergantung kepada tali (agama) Allah. Kalau kamu lengah atau ada
salah seorang yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin
akan rusak. Karena itu bersatu padulah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Bandingkanlah keadaan kamu sejak
datangnya Islam dengan ketika kamu dahulu pada masa Jahiliyah bermusuh-
musuhan, yang ditandai oleh peperangan yang berlanjut sekian lama, generasi
demi generasi. Maka Allah mempersatukan hati kamu pada satu jalan dan arah
yang sama.4
Hamka dalam tafsirnya berkata: perpecahan timbul adalah karena
kebodohan, karena kesempitan paham, karena hendak benar sendiri. Salah satu
3 Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’ânul Majid An-
Nuur, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra. 2000), cet. Ke-II, jilid 3, h. 2749. 4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan,kesan dan keserasian al-Qur’ân, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. Ke-I, jilid 2, h. 551/552.
58
pokok kesalahan berpikir adalah karena yang disangka agama hanyalah perkara
hukum-hukum ijtihadiyah atau soal furu’, atau karena hendak memaksa orang
taqlid. Dan lebih celaka lagi kalau kekuasaan memerintah dipaksakan menyuruh
orang taqlid. Orang lupa bahwa agama bukanlah semata-mata membincang
hukum halal haram, bukan haram kata si anu dan makruh kata si fulan. Bukan
wajib kata Syaikh kami dan sunnat kata Syaikh engkau. Pokok agama adalah
akhlak karimah, budi yang mulia, Ukhuwwah Islamiyah, persaudaraan dalam
Islam dan dasarnya ialah tauhid Keesaan Ilahi.5
Allah swt mensyariatkan untuk hamba-hamba-nya sesuatu yang bisa
merealisasikan tujuan dan cita-cita umat yang satu itu. Dan Allah mensyari’atkan
shalat jama’ah sehari semalam lima kali. Umat Islam berkumpul di masjid
kampung dan bertemu lima kali. Kemudian Islam memperluas jangkauan
persatuan ini. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan shalat Jum’at agar
jumlah umat yang semakin besar berkumpul di Masjid Jami’ seminggu sekali
kemudian hati mereka bertemu dan saling menyayangi dalam naungan ketaatan
kepada Allah SWT.6 Rasulullah Saw bersabda:
ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ NJȷǠŁȶǐǮłȝ łȸŃǣ ɂnjǣLjǕ LjǦŁǤŃɆŁȉ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ ŅȜɆŇȭŁȿ ŃȸŁȝ ǠʼnɅnjȀLjȭŁȁ njȸŃǣ ɂnjǣLjǕ LjǥŁǼŇǝǟŁȁ ŃȸŁȝ ɂnjǣLjǕ njȴŇȅǠLjȪǐȱǟ ōɂŇȱŁǼŁDzǐȱǟ LjȯǠLjȩ łǨŃȞŇȶŁȅ LjȷǠŁȶŃȞŊȺȱǟ ŁȸŃǣ LJƘŇȊŁǣ NJȯɀNJȪŁɅ LjȰŁǤǐȩLjǕ NJȯɀłȅŁǿ ŇȼƋȲȱǟ -ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȴȲȅȿ- ɂLjȲŁȝ njȃǠʼnȺȱǟ ŇȼnjȾŃDZŁɀnjǣ LjȪLjȥLjȯǠ
»ǟɀłȶɆŇȩLjǕ ÛŃȴNJȮLjȥɀNJȦłȍ ÛŇȼƋȲȱǟŁɀLjȥ ʼnȸłȶɆŇȪłǪLjȱ ŃȴNJȮLjȥɀNJȦłȍ ŃȿLjǕ ʼnȸLjȦŇȱǠŁǺłɆLjȱ łȼƋȲȱǟ ŁȸŃɆŁǣ ŃȴNJȮnjǣɀNJȲNJȩ«.7 “Luruskanlah shaf-shaf kalian, demi Allah, kalian benar-benar akan
meluruskan shaf kalian atau Allah akan memperselisihkan di antara hati-hati kalian”. (HR. Abu Daud).
5 Prof. DR. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas. 1984), cet. Ke-I, jilid
18, h. 56. 6 Mahir Manshur Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2007), h. 71. 7 Abu Dawud Sulaiman ibn Asy’ats ibn al-Sijstani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dâr
Kutub Arabia), juz 1, h. 249.
59
Hadîs diatas mengandung makna yang sangat patut direnungkan. Dalam
hal ini ada hubungan yang sangat erat antara keadaan shaf umat Islam ketika
shalat berjama’ah dengan keadaan hati mereka. Padahal, hati itulah yang
menentukan rasa persaudaraan, persatuan, dan kesatuan umat.
Bahkan al-Qur’ân menyatakan bila hati bercerai-berai, kendatipun di luar
tampak ada persatuan, itu hanya persatuan semu. Firman Allah SWT:
“Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu,
kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti”. (QS. al-Hayr: 14)
Di antara sekian banyak pembicaraan mengenai persatuan umat Islam
dewasa ini, hampir-hampir tidak pernah di temukan ulasan atau analisis yang
menghubungkannya dengan shaf shalat. Padahal, jika ketidak sempurnaan shaf
shalat saja bisa mengakibatkan hati umat Islam terpecah-belah, tentu akan lebih
besar lagi pengaruhnya jika shalat jama’ah itu sendiri memang tidak ditegakkan
oleh umat Islam.
Persatuan merupakan satu landasan penting untuk membangun kehidupan
yang istiqamah di atas jalan Allah SWT. Tetapi kalimat benar dan mulia ini
banyak dipergunakan secara keliru oleh berbagai gerakan (firqah/kelompok) yang
dilandasi oleh berbagai ambisi dan hawa nafsu. Manusia menggunakan kalimat
60
tersebut untuk bersembunyi di balik nama perjuangan Islam, namun hakikat
tujuan yang sebenarnya adalah untuk meraup keuntungan duniawi.8
Seruan persatuan atas nama Islam namun didasari oleh kebatilan sudah
berlangsung sejak dulu. Di masa Rasulullah Saw, orang-orang musyrikin jahiliyah
pernah menawarkan kepada beliau ajaran sinkretisme, yaitu persatuan dalam
praktek ibadah antara kaum musyrikin dengan kaum muslimin.9
Kebersamaan di tengah masyarakat kini semakin hari semakin tumpul.
Ukhuwah imaniah yang tergambar begitu indah dalam Islam nyaris lenyap ditelan
oleh budaya Barat yang sangat individualistik dan materialistik. Akhirnya
keutuhan umat dengan mudah terpecah-belah oleh isu-isu yang senantiasa
digelindingkan oleh musuh-musuh Islam.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Tidak diragukan lagi, shalat
berjama’ah membawa beberapa hikmah dan kemaslahatan. Hikmah yang paling
tampak adalah sesama muslim akan saling mengenal dan membantu dalam
kebaikan, ketaqwaan dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran”.10
B. Shalat Berjamaah Dapat Memakmurkan Masjid-Masjid
Masjid merupakan sebuah tempat suci yang tidak asing lagi kedudukannya
bagi umat Islam. Masjid selain sebagai pusat ibadah umat Islam, ia pun sebagai
8 Abu ‘Utsman ‘Ali Basuki, Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para
Shahabat Nabi, artikel ini diakses pada tanggal 20 Maret 2010 dari, http://asysyariah.com 9 Hanif Yahya, Sirah Ibnu Hisyam, (Jakarta: Darul Haq, 2008), cet. Ke-IX, juz 1, h. 334. 10 Ahmad Rifa’I, Dasyatnya Shalat Berjamaah, (Jakarta: Pustaka al-Mawardi, 2008), h.
96.
61
lambang kebesaran syi’ar dakwah Islam.11 Allah SWT telah memuliakan dan
mengagungkannya dengan menyebutnya sebagai rumah-Nya.
Firman Allah SWT:
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. al-Jin: 18).
Jelaslah, masjid itu dibangun untuk mendirikan shalat, dzikrullah, tilawah
al-Qur’ân dan mendekatkan diri kepadanya. Kini kaum muslimin pun telah
terpanggil untuk bahu-membahu membangun masjid-masjid di setiap daerahnya
masing-masing. Hampir tidak dijumpai lagi suatu daerah yang mayoritasnya kaum
muslimin kosong dari masjid.
Bahkan terlihat renovasi bangunan masjid-masjid semakin diperlebar dan
diperindah serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas, agar dapat menarik dan
membuat nyaman jama’ah.
Islam menganjurkan pemeluknya agar selalu memakmurkan masjid dan
menjelaskan kepada mereka besarnya pahala memakmurkan dan mengurus
masjid. Rasulullah Saw bersabda:
ɂnjȺLjǭʼnǼŁǵ NJȷȿłǿǠŁȽ łȸŃǣ ňǼɆŇȞŁȅ ŊɂŇȲŃɅĆɉǟ łǼŁȶŃǵLjǕŁȿ łȸŃǣ ɂŁȆɆŇȝ LjɍǠLjȩ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ łȸŃǣǟ LJǢŃȽŁȿ ɂnjȹŁȀŁǤŃǹLjǕ ȿŅȀŃȶŁȝ ƋȷLjǕ ǟńȀŃɆLjȮłǣ łȼLjǭʼnǼŁǵ ƋȷLjǕ ŁȴŇȍǠŁȝ ŁȸŃǣ ŁȀŁȶłȝ njȸŃǣ LjǥŁǻǠŁǪLjȩ łȼLjǭʼnǼŁǵ łȼʼnȹLjǕ ŁȜŇȶŁȅ ŁǼŃɆŁǤłȝ ŇȼƋȲȱǟ ʼnɂnjȹLjɍŃɀŁǺǐȱǟ łȀNJȭǐǾŁɅ ʼnȹLjǕłȼ ŁȜŇȶŁȅ LjȷǠŁȶǐǮłȝ ŁȸŃǣ LjȷǠƋȦŁȝ ŁǼŃȺŇȝ njȯŃɀLjȩ njȃǠʼnȺȱǟ ŇȼɆŇȥ ŁƙŇǵ ɂŁȺŁǣ ŁǼnjDzŃȆŁȵ njȯɀłȅʼnȀȱǟ -ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȴȲȅȿ- .ŃȴNJȮʼnȹnjǙ ŃǼLjȩ ŃȴłǩŃȀLjǮǐȭLjǕ
11 Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari, Bimbingan Lengkap Shalat Jama’ah Menurut Sunnah
Nabi, (Solo: At-Tibyan, 2002), h. 60.
62
ɂōȹnjǙŁȿ łǨŃȞŇȶŁȅ LjȯɀłȅŁǿ ŇȼƋȲȱǟ -ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȴȲȅȿ - NJȯɀNJȪŁɅ »ŃȸŁȵ ɂŁȺŁǣ ǟńǼnjDzŃȆŁȵ ŇȼƋȲŇȱ LjȯǠLjȩ ɂLjȱǠŁȞŁǩ łǣŅȀŃɆLjȮ łǨŃǤĈȆŁǵ łȼʼnȹLjǕ LjȯǠLjȩ ɂŇȢŁǪŃǤŁɅ Ňȼnjǣ ŁȼŃDZŁȿ ŇȼƋȲȱǟ ɂŁȺŁǣ łȼƋȲȱǟ łȼLjȱ ǠńǪŃɆŁǣ ɂŇȥ ŇǦʼnȺŁDzǐȱǟ «.12
“Barangsiapa membangun masjid karena Allah (Bukeir berkata: “Atau beliau bersabda: “Karena mencari ridha Allah) niscaya Allah akan membangun baginya rumah di Jannah”. (HR. Muslîm).
Allah SWT akan membangunkan rumah di Jannah untuk orang yang
membangun masjid karena mencari ridha Allah, bukan karena riya’, sum’ah atau
mengharap pujian orang. Islam juga menganjurkan agar selalu memperhatikan
perawatan masjid dan memuji orang-orang yang melakukannya.13
Memakmurkan masjid ciri khas orang-orang yang beriman. Ciri khas yang
harus dimiliki oleh orang yang beriman adalah tunduk dan patuh memenuhi
panggilan-Nya. Ciri khas ini sebagai tanda kebenaran dan kejujuran imannya
kepada Allah.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,14 Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara
12 Abu al-Husayn Muslîm ibn Hajjaj ibn Muslîm ibn Ward al-Qusyairi Al-Nisaburi,
Shahih Muslîm, (Beirut: Maktabah Islamîyah), juz 2, h. 68. 13 Admin, Memakmurkan Masjid Dengan Shalat Berjama’ah, artikel ini di akses pada
tanggal 20 Maret 2010 dari, http://www.assalafy.org 14 Maksudnya: menyeru kamu berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat
membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan muslimin. juga berarti menyeru kamu kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
63
manusia dan hatinya15 dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. al-Anfâl: 24).
Allah SWT memanggil kaum muminin untuk memakmurkan masjid. Siapa
yang memenuhi panggilan Allah ini, maka Allah bersaksi atas kebenaran dan
kejujuran iman dia kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. At-Taubah: 18).
Ibnu Katsîr berkata: “Allah bersaksi atas keimanan orang-orang yang mau
memakmurkan masjid”. Sesungguhnya termasuk syi’ar Islam terbesar adalah
memakmurkan masjid-masjid dengan menegakkan shalat berjama’ah. Bila masjid
itu sepi atau kosong dari menegakkan shalat berjama’ah pertanda mulai rapuh dan
melemahnya kebesaran dan kemulian dakwah Islamiyyah.16
Masjid adalah tempat menegakkan jama’ah, supaya didalam masjid
dikerjakan sembahyang bersama-sama, sembahyang menjadi tarikan buat
berkumpul jama’ah paling penting buat mengikis hidup yang nafsi-nafsi, egoistis,
mementingkan diri sendiri sehingga putus dengan masyarakat. Kalau shalat
15 Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia. 16 Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid 4, h. 119.
64
berjama’ah tidak terdapat pada suatu kampung. Tandanya syi’ar tidak tegak,
tandanya agama akan berangsur habis.17
Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid adalah beribadat di
dalamnya dengan tekun, mengabdikan, dan mengurusnya. Mereka yang
mempunyai sifat-sifat yang mulia itulah yang mendapat petunjuk kepada
kebajikan yang berhak menerima pembalasan yang besar.18
Yang dapat memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah, yakni tidak lain
kecuali siapa yang beriman dengan benar kepada Allah dan hari kemudian, serta
tetap mendirikan shalat secara tekun, menunaikan zakat dengan sempurna dan
tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah, maka mereka itulah yang
sangat jauh lagi tinggi kedudukannya adalah orang-orang yang diharapkan
termasuk golongan orang-orang yang mendapat serta melaksanakan secara
sempurna petunjuk Allah SWT.19
C. Shalat Berjama’ah di Lipat Gandakan Pahalanya Sebanyak 27 Kali
Manusia dikaruniai oleh Allah dengan masyi’ah (kehendak). Dengan
nikmat ini, Allah memberikan hamba-Nya ’kebebasan’ memilih. Allah SWT
hanya menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan-pilihan itu. Salah satu
anugerah Allah SWT atas hambanya yakni dengan menyediakan pahala yang
sangat besar bagi shalat berjama’ah.
17 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 10, h. 131. 18 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’ânul Majid An-Nuur, jilid 2, h. 1638. 19 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan,kesan dan keserasian al-Qur’ân, juz 5, h.
551/552.
65
Manusia cerdas tentu akan selalu memilih yang terbaik buat dirinya.
Sebagai muslim ukuran terbaik adalah segala sesuatu yang bisa mendatangkan
kebaikan untuk kehidupan akhirat.
Dalam pelaksanaan shalat, Islam menyajikan dua pilihan. Yaitu shalat
berjama’ah dan shalat sendiri. Jika seorang ingin pahala yang besar dan ingin
selalu tersucikan dari dosa, maka tentu pilihan-nya akan jatuh pada shalat
berjama’ah.20 Shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat daripada shalat sendirian.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia lebih utama 25 derajat. Rasulullah Saw
bersabda:
ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ ɂŁɆŃǶŁɅ łȸŃǣ ɂŁɆŃǶŁɅ LjȯǠLjȩ łǧǐǕŁȀLjȩ ɂLjȲŁȝ ňȬŇȱǠŁȵ ŃȸŁȝ LJȜŇȥǠŁȹ njȸŁȝ njȸŃǣǟ ŁȀŁȶłȝ ƋȷLjǕ LjȯɀłȅŁǿ ŇȼƋȲȱǟ -ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȴȲȅȿ- LjȯǠLjȩ »NJǥLjɎŁȍ ŁDzǐȱǟŇǦŁȝǠŁȶ NJȰŁȒǐȥLjǕ ŃȸŇȵ ŇǥLjɎŁȍ ƍǾLjȦǐȱǟ LJȜŃǤŁȆnjǣ ŁȸɅnjȀŃȊŇȝŁȿ DŽǦŁDZŁǿŁǻ«.21
“Salat jama’ah melebihi keutamaan salat sendiri sebesar dua puluh tujuh derajat”. (HR. Muslîm).
Dalam riwayat lain disebutkan:
ǠȺǭǼǵ ǼǤȝ ǃǟ ȸǣ ȤȅɀɅ ȯǠȩ ǠȹƎǹǕ ǬɆȲȱǟ ƗǭǼǵ ȸǣǟ ǻǠƬǟ ȸȝ ǼǤȝ ǃǟ ȸǣ ǡǠǤǹ ȸȝ ŸǕ ǼɆȞȅ ɃǿǼƪǟ :ȼȹǕ ȜƧ ƑȺȱǟ ɂȲȍ ǃǟ ȼɆȲȝ ȿ ȴȲȅ ȯɀȪɅ )NJǥLjɎŁȍ ŇǦŁȝǠŁȶLjƨǐǟ NJȰłȒǐȦŁǩ LjǥLjɎŁȍ ƍǾLjȦȱǐǟ LJȄŃȶŁǺnjǣ ŁȸŃɅnjȀŃȊŇȝŁȿ DŽǦŁDZŁǿŁǻ(.22
“Salat berjama’ah itu lebih utama dua puluh lima derajat daripada salat sendirian”. (HR. Bukharî).
Dua riwayat ini bisa dikompromikan: yaitu bahwa dalam hadîs ”dua puluh
lima” disebutkan keutamaan diantara shalat sendirian dan shalat dalam
berjama’ah; dan keutamaan itu ialah dua puluh lima. Sedang hadîs “dua puluh
20 Ahmad Rifa’I, Dasyatnya Shalat Berjamaah, (Jakarta: Pustaka al-Mawardi, 2008), h.
15. 21 Abu al-Husayn Muslîm ibn Hajjaj ibn Muslîm ibn Ward al-Qusyairi Al-Nisaburi.
Shahih Muslîm, (Beirut: Maktabah Islamîyah), juz 2, h. 122. 22 Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukharî, Shahih Bukhari, (Beirut: Dâr Ibnu
Katsîr, 1999), juz 1, h. 231.
66
tujuh” disebutkan di dalamnya shalat secara sendiri, shalatnya secara berjama’ah,
dan keutamaan diantara keduanya; maka total semuanya ialah dua puluh tujuh.23
Imam an-Nawawi berkata: riwayat-riwayat itu bisa dikumpulkan dengan
tiga cara:
Pertama: bahwa tidak ada pertentangan diantara riwayat-riwayat itu;
karena menyebut yang sedikit tidak meniadakan yang banyak, dan mafhûm al-
’adad adalah batil menurut para ushûliyyûn.
Kedua: bahwa beliau pertama kali menggambarkan dengan yang sedikit,
kemudian Allah ta’âlâ memberitahu beliau dengan penambahan keutamaan maka
beliau menggambarkannya.
Ketiga: bahwa ia berbeda sesuai keadaan orang-orang yang mengerjakan
shalat itu sendiri maka sebagian mereka mendapat dua puluh lima dan sebagian
mendapat dua puluh tujuh tergantung ada kesempurnaan shalat, mejaga gerakan-
gerakannya, kekhusyu’annya, banyaknya jama’ahnya, keutamaan para jama’ah itu
dan kemuliaan tempatnya, dan semisal itu; maka inilah jawaban-jawaban yang
dijadikan sandaran (mu’tamad).24
Hadîs di atas dijadikan sebagai dalil bahwasannya seluruh shalat
berjama’ah itu sama nilai keutamaannya, baik jumlah jama’ahnya sedikit maupun
banyak. Sebab hadîs tersebut menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah secara
mutlak, dan tidak berlaku qiyas dalam bab fadhaail (keutamaan). Apabila terbukti
bahwa hadîs tersebut menunjukkan keutamaan dalam jumlah dan kadar tertentu
23 Sa’id bin Ali bin Waqf al-Qahthani, Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah,
(Surakarta: Qaula, 2008), h. 64-65. 24 Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhil al-Asqalani as-Syafi’I, Fathul Bari Syarah
Shahih Bukhari, (Beirut: Dâr Ma’rifat), juz II, h. 133-134.
67
sedangkan qiyas tidak berlaku, maka itu menunjukkan bahwa seluruh shalat
jama’ah sama nilainya, termasuk di dalamnya jumlah jama’ahnya banyak maupun
sedikit. Sebab sama-sama disebut sebagai jama’ah.25 Hal ini didukung pula oleh
sebuah penukilan dengan sanad yang shahîh dari Ibrahim an-Nakha’i bahwa ia
berkata: ”Apakah seseorang mengerjakan shalat bersama orang lain berjama’ah
maka pahala mereka berdua berhak dilipat gandakan menjadi dua puluh lima kali
lipat”.26
Al-Hafîzh Ibnu Hajar membicarakan rahasia pengutamaan shalat jama’ah
atas shalat sendirian dengan dua puluh tujuh atau dua puluh lima derajat. Beliau
menyebutkan dua puluh lima pendapat mengenai riwayat dua puluh lima derajat.
Kemudian beliau menambahkan, ”Ada dua hal yang tersisa untuk shalat jahriyah:
diam dan mendengarkan ketika imam sedang membaca dan membaca amin
bersamaan dengan aminnya iman agar bertepatan dengan aminnya malaikat.
Dengan keterangan ini menjadi jelas bahwa riwayat dua puluh tujuh khusus untuk
shalat jahriyah”.27
Para ulama telah menjawabnya dengan beragam jawaban. Rujukannya
adalah prasangka dan rekaan. Sebab tidak ada satu pun dalil atas apa yang mereka
kemukakan. Ia hanyalah simpulan-simpulan yang disimpulkan oleh imam-imam
yang mulia.
Ibnu Hajar berkata, ”Hikmah di balik jumlah tertentu ini tidak terang. Ath-
Thibi menukil dari at-Turbasti yang intinya, ’Masalah ini tidak bisa diketahui
25 Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari, Bimbingan Lengkap Shalat Jama’ah Menurut Sunnah
Nabi, (Solo: At-Tibyan, 2002), h. 41-42. 26 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, juz IV, h. 136. 27 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, juz II, h. 157.
68
dengan akal. Rujukannya adalah ilmu kenabiaan yang semua hakikatnya tidak
bisa dijangkau oleh ilmu orang-orang berakal”.28
D. Analisis Penafsiran
Shalat merupakan perkara penting dalam kehidupan manusia. Ia memiliki
pengaruh yang sangat mendalam dalam kehidupan manusia. Sehingga shalat
berjama’ah merupakan aktifitas rutin yang membahagiakan dan menyejukkan hati
serta menerangi jiwa seseorang. Hati seseorang bagaikan gulita, jika luput
mengerjakan shalat berjama’ah. Bahkan shalat berjama’ah sangatlah penting
dalam benak seseorang.29
Shalat berjama’ah merupakan ajaran agama Islam untuk umat-Nya yang
senantiasa berjama’ah. Pada intinya berjama’ah itu sudah diimplementasikan
dalam syariat-syariat Islam. Salah satunya tentang shalat berjama’ah ini. Banyak
hikmah penting yang bisa di petik dari shalat berjama’ah ini. Di antaranya:30
a. Shalat berjama’ah itu lebih banyak pahalanya dan lebih suci yang tidak
didapatkan kecuali orang-orang yang berjama’ah. Misalnya, orang yang
berjama’ah itu mandapatkan 27 derajat dibanding orang yang shalat
sendirian.
28 Al-Hafizh Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qari bi Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut:
Dâr Ihya al-‘Arabi), juz IV, h. 259. 29 Pentingnya Shalat Jama’ah dalam Kehidupan Para Salaf, artikel ini diakses pada
tanggal 20 Maret 2010 dari, http://ayoeku.multiply.com 30 Abdullah Syauqi, Hikmah Shalat Berjamaaah, artikel ini diakses pada tanggal 20
Maret 2010 dari, http://m.cybermq.com
69
b. Rasulullah mengatakan, shalatnya dua orang lebih suci dari dua orang,
shalatnya tiga orang lebih suci dari dua orang begitu seterusnya.
c. Orang yang shalat berjama’ah itu mendapatkan pahala langkah-langkah
itu. Rasulullah menyatakan, tidak seorang berwudhu secara baik
kemudian dia keluar dari rumahnya kecuali shalat, maka tidaklah dia
melangkah satu langkah kecuali Allah SWT mengangkat satu derajat
dan menghapuskan satu kesalahannya. Dan itu akan berlangsung saat
dia berangkat dan pulang.
Jadi shalat berjama’ah ini sangat penting, apalagi ini merupakan syiar
Islam yang sangat besar dan berlaku setiap hari. Banyak masjid yang di dapatkan
tidak makmur dengan shalat berjama’ah. Bahkan ada seorang Yahudi yang
mengatakan, kami tidak akan pernah takut dengan umat Islam selama shalat
subuhnya belum sama dengan shalat Jum’atnya.
Para ulama menjelaskan, berdasarkan hadîs Rasulullah Saw bahwa shalat
berjama’ah itu hukumnya wajib bagi kaum laki-laki dan bagi kaum perempuan itu
dibolehkan. Dalil yang digunakan para ulama untuk menjelaskan wajibnya shalat
jama’ah ini adalah, pertama dahulu itu ada orang yang buta datang kepada
Rasulullah. Dia mengatakan, ya Rasulullah, saya buta, rumah saya jauh dan saya
tidak ada yang mengantarkan ke masjid. Apakah boleh saya shalat di rumah.
Rasulullah bertanya, apakah kamu mendengarkan adzan. Kalau begitu, kata
Rasulullah, jawab panggilan adzan itu, Rasulullah Saw.
Perbandingan kata ulama adalah apabila shalat berjama’ah itu tidak wajib
maka tentu orang itu diizinkan untuk tidak datang ke mesjid.
70
Shalat berjama’ah termasuk dari syi’ar-syi’ar Islam yang paling nampak,
yang Allah telah wajibkan kepada segenap lelaki baligh dari kalangan kaum
muslimin, karena padanya terkandung manfaat yang sangat besar. Dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya mengerjakan shalat secara berjama’ah sangatlah banyak,
karenanya yang wajib atas seorang muslim adalah menaruh perhatian besar
mengenai urusan shalat berjama’ah dan hendaknya dia bersegera dalam
menunaikannya, sebagai realisasi dari perintah Allah dan Rasul-Nya dan agar dia
terhindar dari penyerupaan kepada orang-orang munafik.31
Sedangkan meninggalkan Shalat jama’ah adalah ciri orang munafik,
karena di zaman Nabi dan para sahabatnya, shalat jama’ah merupakan perkara
yang amat diperhatikan. Mereka takut tertimpa penyakit munafiq jika
meninggalkan shalat jama’ah, karena orang-orang munafik malas melaksanakan
shalat jama’ah. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.32 dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya33 (dengan salat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”34. (QS. An-Nisâ: 142).
31 Syauqi, Hikmah Shalat Berjamaaah. 32 Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka
dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
33 Riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.
34 Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.
71
Ibnu Katsîr berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Inilah sifatnya orang-
orang munafiqin dalam amalan yang paling mulia, paling utama, dan paling baik
yaitu shalat, jika mereka berdiri untuk shalat. Mereka berdiri dalam keadaan malas
shalat. Karena mereka tidak memiliki niat (maksud keinginan) untuk shalat, tidak
pula memiliki keimanan tentangnya, dan tidak pula mereka memiliki rasa takut
(kepada Allah), serta mereka tidak memahami maknanya”.35
Jadi, kebiasaan orang-orang munafiq adalah malas mendirikan shalat di
masjid bersama jama’ah kaum muslimin karena mereka tak memahami hakekat
shalat berjama’ah. Mereka tak tahu bahwa shalat berjama’ah merupakan jalan-
jalan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya,
Muhammad saw. Sahabat Anas bin Malik r.a. berkata:
ǐȩĆɉǟ njȸŃǣ ōɂŇȲŁȝ ŃȸŁȝ njȄŃɆŁȶłȞǐȱǟ ɂnjǣLjǕ ŃȸŁȝ LJȸŃɆLjȭłǻ łȸŃǣ NJȰŃȒLjȦǐȱǟ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ LjǦŁǤŃɆŁȉ ɂnjǣLjǕ łȸŃǣ njȀǐȮŁǣ ɀłǣLjǕ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ ɂnjǣLjǕ ŃȸŁȝ njȀŁȶłȻʼnȀŁȅ ŃȸŁȵ LjȯǠLjȩ ŇȼƋȲȱǟ ŇǼŃǤŁȝ ŃȸŁȝ njȋŁɀŃǵĆɉǟ NJǬŃɆŁǵ ŇǧǟŁɀLjȲʼnȎȱǟ ĈǒLjɍłǘŁȽ ɂLjȲŁȝ ǐȘŇȥǠŁǶłɆǐȲLjȥ ǠńȶŇȲŃȆłȵ ǟńǼLjȡ ŁȼƋȲȱǟ ɂLjȪǐȲŁɅ ǐȷLjǕ ŃȴNJȮōɆnjǤŁȺŇȱ ŁțŁȀŁȉ ŁȼƋȲȱǟ ƋȷnjǚLjȥ ʼnȸnjȾnjǣ ɁŁǻǠŁȺłɅ-ȴȲȅȿ ȼɆȲȝ ǃǟ ɂȲȍ- ŃɀLjȱŁȿ ɁŁǼłȾǐȱǟ njȸŁȺłȅ ŃȸŇȵ ʼnȸłȾʼnȹnjǙŁȿ ɁŁǼłȾǐȱǟ ŁȸŁȺłȅ
ŃȴNJȮŇǩɀłɆłǣ ɂŇȥ ŃȴłǪŃɆƋȲŁȍ ŃȴNJȮʼnȹLjǕ LjǦʼnȺłȅ ŃȴłǪǐȭŁȀŁǩ ŃɀLjȱŁȿ ŃȴNJȮōɆnjǤŁȹ LjǦʼnȺłȅ ŃȴłǪǐȭŁȀŁǪLjȱ ŇȼŇǪŃɆŁǣ ɂŇȥ łȤƍȲŁǺŁǪłȶǐȱǟ ǟLjǾŁȽ ɂƍȲŁȎłɅ ǠŁȶLjȭŁȆŁȶǐȱǟ ŇȻŇǾŁȽ ŃȸŇȵ ňǼnjDzŃȆŁȵ ɂLjȱnjǙ łǼŇȶŃȞŁɅ ʼnȴNJǭ ŁǿɀłȾƌȖȱǟ łȸĈȆŃǶłɆLjȥ łȀʼnȾLjȖŁǪŁɅ LJȰłDZŁǿ ŃȸŇȵ ǠŁȵŁȿ ŃȴłǪǐȲLjȲŁȒLjȱ ŃȴNJȮōɆnjǤŁȹ ƋɍnjǙ ŇǼnjDZǠ
ŁǢŁǪLjȭŃɅLjǕŁǿ ŃǼLjȪLjȱŁȿ DŽǦLjǞōɆŁȅ ǠŁȾnjǣ łȼŃȺŁȝ ƌȔłǶŁɅŁȿ DŽǦŁDZŁǿŁǻ ǠŁȾnjǣ łȼłȞLjȥŃȀŁɅŁȿ DŽǦŁȺŁȆŁǵ ǠŁȽɀNJȖŃǺŁɅ ňǥŁɀǐȖŁǹ ƍȰNJȮnjǣ łȼLjȱ łȼƋȲȱǟ ǠŁȵŁȿ ǠŁȺłǪłDZʼnȀȱǟ ŁȸŃɆŁǣ ɁŁǻǠŁȾłɅ Ňȼnjǣ ɂŁǩŃǘłɅ NJȰłDZʼnȀȱǟ LjȷǠLjȭ ŃǼLjȪLjȱŁȿ njȧǠLjȦōȺȱǟ łȳɀNJȲŃȞŁȵ ŅȨŇȥǠŁȺłȵ ƋɍnjǙ ǠŁȾŃȺŁȝ łȤƋȲŁǺŁǪŁɅ ɂŇȥ ŁȳǠLjȪłɅ ɂʼnǪŁǵ njȸŃɆLjȲ
ōȤʼnȎȱǟ.36 “Barangsiapa yang ingin bergembira menemui Allah besok dalam
keadaan muslim, maka jagalah salat-salat itu tatkala dikumandangkan. Karena Allah telah mensyari’atkan sunanul huda (jalan-jalan petunjuk) bagi Nabi kalian saw, dan sesungguhnya dia (salat-salat wajib) itu merupakan sunanul huda (jalan-jalan petunujuk). Andaikan kalian salat (fardhu) di rumah kalian sebagaimana orang (munafiq) yang tinggal di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan sunnah (petunjuk) Nabi kalian.
35 Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid 1, h. 743. 36 Al-Nisaburi, Shahih Muslîm, h. 124.
72
Andaikan kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, maka kalian akan sesat. Tak ada seorang pun yang bersuci, lalu ia memperbaiki bersucinya, kemudian ia ke masjid di antara masjid-masjid, melainkan Allah akan tuliskan kebaikan bagi setiap langkah yang ia ayunkan, Dia (Allah) akan mengangkat derajat orang itu dengannya, dan menghapus dosanya dengannya. Kami telah menyaksikan orang-orang diantara kami, tak ada yang tertinggal dari sholat jama’ah, kecuali orang munafiq yang nyata kemunafiqannya. Sungguh ada seorang laki-laki didatangkan sambil dipapadi antara dua orang sampai ia ditegakkan dalam shaf”. (HR. Muslîm).
Hadîs di atas menunjukkan tentang kewajiban shalat berjama’ah dan
kewajiban melakukannya di masjid-masjid yang diizinkan Allah untuk
ditinggikan dan disebutkan nama-Nya, sangat banyak sekali. Maka kewajiban
setiap muslim adalah mem-perhatikan masalah ini dan segera melakukannya serta
menganjurkan dan menasihati anak-anak, keluarga dan para tetangga serta
saudara-saudaranya yang seiman untuk melakukan perkara ini, sebagai ketaatan
kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, dan supaya terhindar dari perbuatan yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dan jauh dari sifat-sifat orang-orang munafiq
yang dinyatakan oleh Allah dengan sifat-sifat yang tercela, yang di antaranya
adalah kela-laian mereka dalam melakukan salat. Sebagaimana firman Allah
SWT:
73
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.37 dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya38 (dengan salat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.39 Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya”. (QS. an-Nisâ: 142-143).
Karena meninggalkannya dalam penunaian dengan berjama’ah adalah
sebab terbesar untuk meninggalkannya secara menyeluruh. Dan sudah diketahui
bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, sesat dan keluar dari Islam. Ini
berdasarkan sabda Nabi saw:
“Antara seseorang dan antara kekufuran dan syirik adalah meninggalkan salat”. (HR. Muslîm).40
Ayat-ayat dan hadîs-hadîs yang menerangkan tentang pengagungan
kepada masalah shalat, wajib menjaganya dan menegakkannya sebagaimana yang
disyari’atkan Allah SWT serta peringatan kepada orang yang meninggalkannya,
banyak sekali. Maka wajib atas setiap muslim untuk menjaganya pada waktunya
dan menegakkannya seperti yang disyari’atkan Allah SWT. Dan agar
menunaikannya bersama saudara-saudaranya dengan berjama’ah di rumah-rumah
Allah. Sebagai sikap taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya Saw, serta sebagai
sikap waspada dari kemurkaan Allah dan sakitnya hukuman-Nya.
37 Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka
dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
38 Riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.
39 Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.
40 Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Rasa’il fit Thoharoti wash Shalah, (Saudi Arabia: Daarul Wathan), h. 60.
74
An-Nawawiy r.a. berkata, “Dalam perkara ini semua terdapat penekanan
masalah shalat jama’ah, menanggung penderitaan dalam menghadirinya, dan
bahwa jika seorang yang sakit dan semacamnya mungkin sampai kepada shalat
jama’ah, maka dianjurkan untuk menghadirinya”.41
Sesungguhnya shalat berjama’ah adalah untuk menghapus sikap individu
di dalam jiwa, dan menghancurkan sifat-sifat perpecahan. Maka di antara hikmah
pentingnya melakukan shalat berjama’ah adalah mempererat persaudaraan yang
sudah terjalin.
Masjid merupakan tempat menghimpun masyarakat dalam shalat lima
waktu dalam sehari. Mereka duduk saling berdekatan, wajah saling bertatapan,
tangan saling berjabatan, lisan saling menyapa dan hati saling berpautan. Saling
bertemu dalam satu tujuan dan harapan.
Persatuan nama yang paling indah dan lebih dalam dari kesatuan orang
yang shalat berjama’ah. Shalat di belakang satu imam, sama-sama bermunajat
kepada Tuhan yang satu, membaca kitab suci yang satu, dan menghadap ke kiblat
yang satu “Ka’bah yang mulia” Mereka melakukan amal yang satu, ruku’ dan
sujud kepada Allah SWT.
Kesatuan ini adalah merupakan wujud dari ruh Islam yang bersumber dari
firman Allah: ما المؤمنون إخوةنإ “Sesungguhnya hanya orang berimanlah yang
bersaudara”. Pemandangan nama yang lebih indah dari pemandangan di masjid
Rasulullah di Madinah ketika Rasulullah masih hidup sampai masa sekarang ini.
Masjid Nabawi telah menghimpun berbagai macam jenis manusia yang berbeda-
41 Abu Zakaria Yahya ibn Syarif ibn Jum’ah al-Nawawi al-Dimasyqi, Syarh Shahih
Muslîm, (Beirut: Dâr Ihya Arabi), jilid 5, h. 159.
75
beda, antara hitam dan putih, asia dan afrika semua terhimpun dalam shalat
berjama’ah. Pada masa Rasulullah ada Shuhaib dari Romawi, ada Salman dari
Negeri Persia, ada Bilal dari Negeri Habasyah. Kabilah-kabilah arab yang
berbeda-beda seperti kabilah qahtan yaitu kaum anshar dan kabilah adnan seperti
kaum muhajirin disatukan bersama.42
Semua bentuk persatuan di atas merupakan kepanjangan tangan dari
gerakan teologi pluralis yang selalu ditawarkan musuh-musuh Allah kepada umat
Islam sebagai pisau bunuh diri dalam setiap masa. Perpecahan yang mengerikan
telah menimpa umat yang terdahulu sehingga mereka mendapatkan kehancuran.43
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran: 105).
Ibnu Katsîr berkata (dalam menafsirkan ayat di atas): “Allah swt melarang
umat ini untuk menyerupai umat terdahulu dalam perpecahan dan perselisihan”.44
Perpecahan merupakan sarana bagi setan untuk membelenggu kaum muslimin
agar selalu tercabik-cabik dalam permusuhan dan perpecahan, sehingga dalam
banyak ayat Allah melarang kaum muslimin untuk berpecah belah. Di antaranya
dalam ayat berikut ini:
42 Nur Fauzan Ahmad, Mengembalikan Keindahan Islam dengan Berjamaah di Masjid,
artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://www.undip.ac.id 43 Abu Aisyah, Shalat Berjamaah, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari,
http://www.indoforum.org 44 Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid I, h. 390.
76
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran: 103). Ibnu Katsîr berkata: “Telah diperintahkan kepada mereka (kaum
muslimin) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan”.45
Abu Ja’far At-Thabari berkata: “Yang dimaksud oleh Allah SWT dari ayat
tersebut adalah: Berpeganglah kalian dengan agama Allah yang telah Dia
perintahkan kepada kalian, dan dengan janji-Nya yang telah diambil atas kalian di
dalam Kitab-Nya, yaitu berkumpul di atas kalimat yang benar dan berserah
kepada kalimat Allah”.46
45 Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid I, h. 389. 46 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, (Beirut: Dâr Fikr),
jilid 3, h. 378.
77
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan,47 tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat”. (QS. al-An’am: 159).
Ibnu Katsîr menjelaskan bahwa Rasulullah tidak bertanggung jawab
(berlepas diri) dari semua yang memisahkan dari agama Allah atau yang
menyelisihinya.48 Firman Allah SWT:
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan apa yang telah di wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (QS. asy-Syura: 13).
Ibnu Katsîr berkata: “Allah telah mewasiatkan kepada seluruh nabi untuk
bersatu dan berjama’ah serta melarang mereka dari perpecahan dan ikhtilaf”.49
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Janganlah kalian berpecah belah dalam
perkara tauhid, dalam keimanan kepada Allah, ketaatan kepada Rasul-Nya, dan
dalam menerima risalahnya”.50 Allah SWT berfirman:
47 Maksudnya: ialah golongan yang amat fanatik kepada pemimpin-pemimpinnya. 48 Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid II, h. 200. 49 Ibnu Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jilid IV, h. 109. 50 Imam as-Syaukani, Tafsîr Fathul Qadir, (Beirut: Dâr Fikr), jilid 4, h. 694.
78
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka51 dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS. ar-Rum: 32). Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Di sini ada peringatan bagi
kaum Muslimin dari perselesihan, perpecahan sehingga berkubu-kubu, setiap
golongan fanatik dengan apa yang dimiliki baik yang haq dan batil, sehingga
dengannya mereka menyerupai orang-orang musyrik dalam berpecah belah. Ingat,
agama adalah satu, Rasul yang satu, dan sesembahan yang satu”.52
Ibnu Qayyim berkata: “Termasuk seruan jahiliyah adalah menyeru untuk
fanatik kepada kesukuan atau fanatisme kepada tokoh tertentu. Termasuk juga
fanatisme dengan madzhab, partai-partai, masyayikh, atau mendahulukan hawa
nafsu dan kesukuan dalam pembelaan terhadap segolongan orang bahkan
menisbatkan diri kepadanya serta menyeru kepadanya (nafsu dan kesukuan).
Demikian pula saat dia memberikan loyalitas atau permusuhan dan mengukur
manusia dengannya. Ini semua merupakan seruan jahiliyah”.53
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sungguh jelas bahwa sebab
persatuan dan keutuhan adalah mengumpulkan (menerima) semua bagian agama
dan mengamalkannya secara keseluruhan. Hal itu merupakan bentuk ibadah
kepada Allah yang Esa tidak ada sekutu baginya, yang diwujudkan secara lahir
51 Maksudnya: meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut
hawa nafsu mereka. 52 Abdurrahman As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Beirut:
Dâr Kutub al-Islamiyah), h. 590. 53 Abu ‘Utsman ‘Ali Basuki, Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para
Sahabat Nabi, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://assyariah.com
79
dan batin sebagaimana yang telah diperintahkan. Dan faedah dari berjama’ah
adalah tercurahkannya rahmat Allah, keridhaan-Nya, keselamatan, kebahagiaan
dunia dan akhirat, muka yang putih/cemerlang. Adapun buah dari perpecahan
adalah adzab Allah, laknat, muka yang hitam dan berlepas diri dari Rasulullah”.54
Dari beberapa uraian di atas telah nampak dengan jelas, bahwa
mengerjakan shalat berjama’ah akan melahirkan persatuan, kasih sayang,
persaudaraan diantara sesama muslim, akan menjadikan mereka satu barisan yang
rapih dan kokoh. Akan lahir di tengah mereka kedermawanan, kasih sayang dan
kesempakatan hati. Sekaligus akan membimbing mereka untuk hidup teratur,
disiplin dan selalu menjaga waktu.
54 Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Beirut: Dâr Fikr), jilid I, h. 17.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bagian terakhir ini, penulis mencoba untuk menyimpulkan
beberapa uraian di atas bahwa shalat berjama’ah termasuk dari syiar-syiar Islam
yang paling nampak, yang Allah SWT telah wajibkan kepada segenap lelaki balig
dari kalangan kaum muslimin, karena padanya terkandung manfaat yang sangat
besar. Dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya mengerjakan shalat secara
berjama’ah sangatlah banyak, karenanya yang wajib atas seorang muslim adalah
menaruh perhatian besar mengenai urusan Shalat berjama’ah dan hendaknya dia
bersegera dalam menunaikannya, sebagai realisasi dari perintah Allah dan Rasul-
Nya dan agar terhindar dari penyerupaan kepada orang-orang munafik.
Dalam al-Qur’ân surat an-Nisâ ayat 102, dan al-Baqarah ayat 43, yang
tertera dalam Tafsîr Ibnu Katsîr. Membenarkan pelaksanaan shalat jama’ah karena
banyak hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. Seperti mendapatkan
pahala yang besar, mendapat naungan dari Allah di hari kiamat, dapat
memakmurkan masjid, dan masih banyak lagi yang tersirat di dalamnya.
Selain itu, shalat juga membina rasa persatuan dan persaudaraan antara
sesama umat Islam. Hal ini dapat kita lihat antara lain, apabila seseorang shalat
tidak dalam keadaan yang khusus pasti selalu menghadap kiblat yaitu Ka’bah di
Masjidil Haram Mekah. Umat Islam di seluruh dunia mempunyai satu pusat titik
konsentrasi dalam beribadah dan menyembah kepada Khaliq-nya yaitu Ka’bah,
80
hal ini akan membawa dampak secara psikologis yaitu persatuan, kesatuan, dan
kebersamaan umat. Contoh lain adalah pada shalat berjama’ah, shalat berjama’ah
juga mengandung hikmah kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan
kepemimpinan dimana pada setiap gerakan shalat ma’mum mempunyai kewajiban
mengikuti gerakan imam, sedangkan imam melakukan kesalahan, maka ma’mum
wajib mengingatkan. Sehingga pada shalat berjama’ah keabsahan maupun
kebenaran dalam shalat lebih terjamin, dan diantara jama’ah akan timbul rasa
kebersamaan dan persatuan untuk menyelamatkan jama’ah mereka. Ibarat orang
berkendaraan, penumpang akan selalu ikut menjaga keamanan dan keselamatan
kendaraan yang ditumpanginya. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika shalat
berjama’ah mendapatkan tempat yang lebih dibandingkan dengan shalat sendiri.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
“Shalat berjama’ah lebih utama (pahalanya) dua puluh derajat”. (HR.
Bukharî & Muslîm).
B. Saran Penelitian
Setelah penulis memafarkan hal-hal yang berkaitan dengan Shalat
berjama’ah, selanjutnya penulis akan memberikan saran sebagai berikut:
1. Penulis hanya mengkaji masalah Shalat berjama’ah ini menurut salah
seorang mufassir dari kalangan mufassir klasik yang sudah barang
tentu ada hal-hal yang jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan ada peneliti-peneliti lain yang mengkaji masalah Shalat
81
berjama’ah ini dari mufassir-mufassir modern, atau menggabungkan
antara keduanya (klasik dan modern).
2. Meskipun adanya perbedaan pendapat mengenai Shalat berjama’ah
kewajiban Shalat berjama’ah ini, terutama dikalangan para mufassir,
maka perlu dikaji kembali ayat-ayat yang berbicara tentang Shalat
berjama’ah dalam kitab-kitab tafsir lainnya sehingga lebih luas lagi di
dalam memahami Shalat berjama’ah ini.
3. Begitu pentingnya pemahaman Shalat berjama’ah ini sehingga perlu
adanya kitab-kitab dan buku-buku lainnya, khususnya bagi pemerhati
studi tafsir. Akan tetapi langkanya literatur yang tersedia, maka
kepada pihak yang berwenang diharapkan agar melakukan pengadaan
kitab-kitab dan buku-buku lainnya untuk mempermudah proses
pemahaman para mahasiswa dan masyarakat luas terhadap kitab-kitab
tafsîr dan ilmu-ilmu lainnya.
82
DAFTAR PUSTAKA
‘Abduh, Muhammad. Fatihat al-Kitab, Kairo: at-Tahrir. Abdurraziq, Mahir Manshur. Mu’jizat Shalat Berjama’ah, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2007. Admin, Memakmurkan Masjid Dengan Shalat Berjama’ah, artikel ini di akses
pada tanggal 20 Maret 2010 dari, http://www.assalafy.org Ahmad, Abd al-’Athi’ Muhammad. al-Fikr as-Siyasi li al-Imam Muhammad
Abduh, Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitab. Ahmad, Nur Fauzan. Mengembalikan Keindahan Islam dengan Berjamaah di
Masjid, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://www.undip.ac.id
al-‘Aini, Al-Hafizh Badruddin. ‘Umdat al-Qari bi Syarh Shahih al-Bukhari,
Beirut: Dâr Ihya al-‘Arabi, juz IV. Aisyah, Abu. Shalat Berjamaah, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010
dari, http://www.indoforum.org ‘Ali Basuki, Abu ‘Utsman. Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti
Jejak Para Shahabat Nabi, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://assyariah.com
al-Alusi, Syihabuddin Sayyid Mahmud. Ruhul Ma'anî fi Tafsîr al-Qur’ân al-
Adzhim was Sab'ul Matsâânî, Beirut: Darul Ihya, juz 1. Amin, Zuhdi. Meraih Kesempurnaan Shalat: 424 koreksi kesalahan dalam shalat,
Jakarta: Darul Haq, 2008. al-Asyqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. Zubdatut Tafsîr min Fath al-Qadîr,
artikel ini diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari, http://www.alsofwah.or.id
Ataillah, Ahmad bin Muhammad. Al-Hikam, Semarang: Toha Putra, juz 1. al-Atsari, Abu Ihsan al-Maidani. Bimbingan Lengkap Shalat Jama’ah Menurut
Sunnah Nabi, Solo: At-Tibyan, 2002. ‘Azhim, Irfan Abdul. Meraup Pahala Berlimpah dengan Shalat Berjamaah, Solo:
Pustaka Iltizham, 2009.
83
al-Baghdady, ‘Abd ar-Rahman. Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran al-Qur’ân, terj. Abu Laila dan Muhammad Thohir, Bandung: PT al-Ma’arif, 1988.
Bakar, Bahrun Abu. Terjemahan Tafsîr Jalalain berikut Asbabun Nuzûl,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004, cet. Ke-4, jilid 1. Basuki, Abu ‘Utsman ‘Ali. Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti
Jejak Para Shahabat Nabi, artikel ini diakses pada tanggal 20 Maret 2010 dari, http://asysyariah.com
Baz, Abdul Aziz Bin Abdullah Bin. Rasa’il fit Thoharoti wash Shalah, Saudi
Arabia: Daarul Wathan.
- - - - - - Keharusan Melaksanakan Shalat Fardhu dengan Berjamaah, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://evisyari.wordpress.com
- - - - - - Shahih Bukhari, Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1999, jilid 2.
Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra. al-Dimasyqi, Abu Zakaria Yahya ibn Syarf ibn Jum’ah al-Nawawi. Syarh Shahih
Muslîm, Beirut: Dâr Ihya Arabi, jilid 5. ad-Dimasyqi, Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsîr al-Qurasyi.
Tafsîr al-Qur’ân al-Azhim, Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi, jilid 1.
- - - - - - Tafsîr al-Qur’ân al-Azhim, Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi, jilid 2. - - - - - - Tafsîr al-Qur’ân al-Azhim, Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi, jilid 3. - - - - - - Tafsîr al-Qur’ân al-Azhim, Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi, jilid 4.
- - - - - - Tafsîr al-Qur’ân al-Azhim, Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi, jilid 5.
- - - - - - al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dâr al-Fikr, jilid XIII. - - - - - - al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dâr al-Fikr, jilid XIV.
adz-Dzahabî, Muhammad Husain. at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah
Wahbah, jilid II. al-Farmawi, Abd Al-Hayy. Metode Tafsîr Maudhû’I, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996, cet. Ke-2.
84
al-Hanbali, Ibnu Qudamah. Al-Mughni, Beirut: Dâr Hajar li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’ wa al-‘I’lam, 1992, cet. Ke-2, jilid 2.
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’ânul Majid An-Nuur,
Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, cet. Ke-II, jilid 3, h. 2749. Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Tentang Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995. Hamidy, Mu’ammal dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsîr Ayat Ahkam Ash-
Shabuni, Surabaya: Pustaka Bina Ilmu, 2003, cet. Ke-4, jilid 1. Ibn Taimiyyah, Taqiy ad-Din. Muqaddimah fi Ushûl at-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-
Qur’ân al-Karim. Ilahi, Fadlal. Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah, Yogyakarta: Pustaka
Fahima, 2004. Kahhâlah, ‘Umar Ridha. Mu’jam al-Mu’allifîn: Tarâjum Mushannifî al-Kutub al-
‘Arabiyyah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.t., jilid II. al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjâj. Ushûl al-Hadîs, Beirut: Dâr al-Fikr. Madaniy, A. Malik. Ibn Katsîr dan Tafsirnya, Makalah diskusi dosen tetap IAIN
Sunan Kalijaga; di-diskusikan 23 Mei 1986. Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995. Maswan, Nur Faizin. Kajian Diskriptif Tafsîr Ibn Katsîr, Yogyakarta: Menara
Kudus, 2002. al-Mawardi, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad. Al-Inshaf fi
Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilaf, Beirut: Dâr Hajar li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1993, jilid 3.
Mujieb, M. Abdul. Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul: Riwayat Turunnya ayat-
ayat al-Qur’ân, Rembang: Daarul Ihya, 1986. an-Nawawi, Imam Muhyiddin. Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dâr al-
Fikr, jilid 3. al-Nisaburi, Abu al-Husayn Muslîm ibn Hajjaj ibn Muslîm ibn Ward al-Qusyairi.
Shahih Muslîm, Beirut: Maktabah Islamîyah, juz 2.
- - - - - - Shahih Muslîm, Beirut: Maktabah Islamîyah, juz 3.
- - - - - - Shahih Muslîm, Beirut: Maktabah Islamîyah, juz 4.
85
Pentingnya Shalat Jama’ah dalam Kehidupan Para Salaf, artikel ini diakses pada
tanggal 20 Maret 2010 dari, http://ayoeku.multiply.com al-Qahthani, Abu Abdillah Musnid. 40 Manfaat Shalat Berjamaah, Jakarta: Darul
Haq, 2007, cet. Ke-6. al-Qahthani, Sa’id bin Ali bin Waqf. Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah,
Surakarta: Qaula, 2008. al-Qaththân, Mannâ’ Khalîl. Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Mansyûrât al-
‘Ashr al-Hadîs. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas. 1984, cet. Ke-I, jilid 18,
h. 56. Rahman, Fatchur. Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981. Redaksi, Dewan. Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve, 1993, jilid
III. Rifa’I, Ahmad. Dahsyatnya Shalat Berjamaah, Jakarta: Pustaka al-Mawardi,
2008. As-Sa’di, Abdurrahman. Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan,
Beirut: Dâr Kutub al-Islamiyah as-Sadlan, Shalih bin Ghanim. Bimbingan Lengkap Shalat Berjamaah, Bogor: At-
Tibyan, 2002, cet. Ke-2. ash-Shalih, Shubhi. Mabâhis fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-
Malayin. al-Sijstani, Abu Dawud Sulaiman ibn Asy’ats ibn. Sunan Abi Dawud, Beirut: Dâr
Kutub Arabia, juz 1. as-Suyuthi, Jalal ad-Din. Tadrib ar-Rawi, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1966,
jilid I. as-Syafi’I, Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhil al-Asqalani. Fathul Bari
Syarah Shahih Bukhari, Beirut: Dâr Ma’rifat, juz II.
- - - - - - Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Beirut: Dâr Ma’rifat, juz IV.
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Misbah: pesan,kesan dan keserasian al-Qur’ân, Jakarta: Lentera Hati, 2002, cet. Ke-I, jilid 2, h. 551/552.
86
Syâkir, Ahmad Muhammad. ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, Mesir:
Dâr al-Ma’ârif, 1959, jilid I.
- - - - - - Syarh Alfiyyah al-Suyûthi fî‘ilm al-Hadîs, Beirut: Dâr al-Fikr. Syauqi, Abdullah. Hikmah Shalat Berjamaaah, artikel ini diakses pada tanggal 20
Maret 2010 dari, http://m.cybermq.com as-Syaukani, Imam. Tafsîr Fathul Qadir, Beirut: Dâr Fikr, jilid 4. Tafsir Ayat 40-46, Dakwah Kepada Bani Israel. Artikel ini diakses pada tanggal
15 Maret 2010 dari, http//tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqarah.htm Taimiyyah, Ibnu. Majmu’ Fatawa, Beirut: Dâr Fikr, jilid 1. ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsîr ath-Thabari, Beirut: Dâr
Fikr, jilid 3. Ubaidah, Abu. Shalat Berjama’ah, artikel ini diakses pada tanggal 20 Maret 2010
dari, http://blog.vbaitullah.or.id Yahya, Hanif. Sirah Ibnu Hisyam, Jakarta: Darul Haq, 2008, cet. Ke-IX, juz 1. Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jama'ah, Shalat Berjama'ah Di
Masjid, Wajibkah, artikel ini diakses pada tanggal 20 April 2010 dari, http://fdawj.atspace.org
Zadul Masir, 1/75.
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
xi