Hemoptisis Pada Anak
-
Upload
yohanes-silih -
Category
Documents
-
view
59 -
download
8
description
Transcript of Hemoptisis Pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan
pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran
napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala
penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih
teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang
dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan
segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu
kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat
mengancam jiwa.
Diagnosis hemoptisis pada anak sukar dan penuh tantangan bagi para
klinisi. Anak-anak cenderung menelan sputum yang mungkin bercampur darah.
Oleh karena itu, hemoptisis sering luput dari perhatian orang tua dan klinisi.
Kurangnya menggali riwayat penyakit dan kurangnya pemeriksaan fisik yang
dilakukan sering mempersulit klinisi menentukan penyebab yang mendasari
hemoptisis. Selain itu, hemoptisis sering menyebabkan ketakutan pada orang tua,
keluarga bahkan bagi klinisi sendiri. Sangatlah penting menentukan faktor yang
mendasari hemoptisis dan derajat hemoptisis yang terjadi, karena akan
menentukan jenis tatalaksana dan kecepatan waktu penanganan hemoptisis untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang hemoptisis
yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, cara
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
1
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal
dari saluran nafas di bawah pita suara (mulai dari glotis ke arah distal). Sinonim
batuk darah ialah haemoptoe.1
Kasus hemoptisis pediatrik jarang terjadi, akan tetapi beberapa kasus yang
terjadi merupakan keadaan gawat darurat.2
2.2 Etiologi
Etiologi hemoptisis bidang pediatrik bervariasi sebagaimana halnya pada
kasus dewasa. Secara umum, hemoptisis dapat terjadi karena:
1. Hemoptisis idiopatik/primer.
Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan antara
pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50 tahun
kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti spontan dengan suportif terapi.
2. Hemoptisis sekunder.
Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.
a. Peradangan/infeksi
- Tuberkulosis
- Pneumonia
- Bronkiektasis
- Abses paru
- Bronkitis
b. Neoplasma
c. Lain-lain
- Trombo emboli paru – infark paru.
- Mitral stenosis.
- Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat: ASD atau VSD
2
- Trauma dada.
Sedangkan pada kasus pediatrik, etiologi hemotisis terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Etiologi hemoptisis pada anak.1
Pada dewasa, hemoptisis sering disebabkan oleh infeksi dan keganasan yang
berkaitan dengan metastasis kanker ke paru. Sangat penting menanyakan riwayat
merokok, penggunaan obat-obatan antikoagulan dan riwayat keganasan.
Penyebab terpenting hemoptisis masif pada anak adalah bronkiektasis, TB,
CHD, aspirasi benda asing, kistik fibrosis, adenoma bronkial, DIC dan
trakeostomi.1
Infeksi pernapasan bawah akut, baik itu pneumonia atau TB, terjadi lebih
dari 40% kasus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Coss-Bu et al,
menyebutkan bahwa pneumonia merupakan penyebab tersering terjadinya
hemoptisis pada anak dengan prevalensi 31%. Kuman penyebab terjadinya
3
pneumonia pada anak berbeda berdasarkan rentang usia seperti yang terlihat pada
tabel 2. Infeksi yang terjadi pada paru menyebabkan kerusakan parenkim dan
erosi pembuluh darah sehingga menyebabkan terjadinya hemoptisis. Penyebab
lain adalah bronkiektasis yang biasanya terjadi berulang pada anak sehingga
terjadi infeksi bakteri kronik pada endobronkial dan inflamasi mukosa serta
kerusakan pertahanan mukosiliari yang pada akhirnya akan menyebabkan
inflamasi saluran nafas dan dilatasi bronkial. Kuman yang sering menjadi
penyebab seperti Streptococcus pneumoniae, Stapylococcus aureus, M.
Catarrhalis, klebsiella sp, atau Pseudomonas aeruginosa.1
Tabel 2. Organisme Penyebab pneumonia komuniti berdasarkan rentang usia.3
4
Penyakit jantung kongenital (Congenital Heart Disease: CHD) dapat
merupakan sumber perdarahan yang masif pada anak. Hemoptisis pada CHD
sering terjadi bersamaan dengan penyakit obstruksi pembuluh darah pulmonal,
akan tetapi bisa juga terjadi karena adanya konjungsi dengan pembesaran sirkulasi
kolateral bronkial.1
Hemoptisis pada aspirasi benda asing terjadi karena adanya trauma terhadap
epitel saluran nafas atau karena adanya reaksi inflamasi. Tom et al, menyebutkan
bahwa aspirasi benda asing merupakan penyebab kedua tersering hemoptisis.
Neoplasma pada saluran nafas anak jarang terjadi, akan tetapi tumor parenkim
paru atau endobronkial dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif. Jenis-
jenis tumor yang berkaitan dengan hemoptisis seperti karsinoid bronkial, adenoma
bronkial, metastasis endobronkial, teratoma mediastinal, tumor trakeal atau
malformasi arteri vena bronkial.1
Hemoptisis juga diketahui sering terjadi sebagai komplikasi tindakan
trakeostomi. Wetmore et al menyebutkan bahwa hemoptisis terjadi pada lebih dari
10% tindakan trakeostomi jangka panjang. Bahkan Fabian dan Smitheringale
menyebutkan bahwa trakeostomi penyebab kedua tersering terjadinya hemoptisis
pada anak (terjadi pada 15,5% kasus). biasanya, karakteristik darah yang terlihat
berwarna merah muda atau warna merah pada sputum saat suction lendir saluran
nafas.4
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Jachoon et al, yang meneliti
etiologi dan gambaran hemoptisis anak pada 40 kasus, mendapatkan bahwa kasus
tersering adalah infeksi, kemudian diikuti oleh CHD, Heiner syndrome,
neoplasma, sindrome vaskulitis dan bronkiektasis (tabel 3). Pada penelitian ini
juga membagi kejadian hemoptisis berdasarkan kelompok umur, dimana
hemoptisis sendiri sering terjadi pada kelompok usia 0-15 tahun (early childhood)
diikuti usia 11-18 tahun dan 6-10 tahun pada tempat kedua dan ketiga tersering
(tabel 4). Sedangkan berdasarkan derajat hemoptisis yang terjadi, hemoptisis
ringan (mild amount) merupakan yang paling sering terjadi, diikuti hemoptisis
masif dan hemoptisis sedang pada tempat kedua dan ketiga.2
Tabel 3. Etiologi hemoptisis anak pada 40 kasus.2
5
Tabel 4. Etiologi hemoptisis anak berdasarkan kelompok usia.2
Tabel 5. Etiologi hemoptisis berdasarkan derajat hemoptisis.2
6
.
2.3 Patogenesis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi
dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi
pada jaringan paru, juga bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam
melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen
pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptisis
masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma
Rasmussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan
percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan
pada hemoptisis.5
Mekanisme terjadinya hemoptisis adalah sebagai berikut:
a. Radang mukosa
7
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh
darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup
untuk menimbulkan batuk darah.
b. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme
pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh jamur.
c. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar
seperti pada dekompensasi kordis kiri akut dan mitral stenosis.
d. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpasture’s syndrome.
e. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal
dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari
cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan
pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi
disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal.
Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
f. Invasi tumor ganas
g. Cidera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.
2.4 Perbedaan Hemoptisis dan Hematemesis
Untuk mengetahui penyebab hemoptisis kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari
nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut
benar - benar batuk darah dan bukan muntah darah atau hematemesis.
8
Tabel 6 memaparkan perbedaan secara klinis antara hemoptisis dan
hematemesis.
Tabel 6. Perbedaan hemoptisis dan hematemesis.6
Hemoptisis dibedakan berdasarkan derajat atau keparahannya dimana dibagi
menjadi 3 derajat yang dihitung berdasarkan produksi darah dalam 24 jam
pertama, yaitu:2
a. Derajat ringan (minimal)
Jika jumlah darah yang keluar ≤ 20 cc/24 jam.
b. Derajat sedang (moderate)
Jika jumlah darah yang keluar 21 – 100 cc/24 jam.
c. Derajat berat (massive)
Jika jumlah darah yang keluar >100 cc/24 jam.
Sementara itu World Journal of Clinical Pediatrics menyebutkan kriteria
hemoptisis masif adalah > 8 cc/kgBB/24 jam.7
9
2.5 Diagnosis
Untuk mendignosis penyebab terjadinya hemoptisis diperlukan informasi
melalui riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Riwayat
Sebagaimana yang dijelaskan diatas, hal pertama yang harus dilakukan
adalah memastikan perdarahan yang terjadi berasal dari saluran nafas bawah
dan bukan berasal dari saluran nafas atas atau saluran pencernaan, seperti
ditunjukan tabel 6. Riwayat penyakit yang sistematis dapat menyingkirkan
penyebab-penyebab hemoptisis.
Pada aspirasi benda asing yang perlu ditanyakan adalah riwayat tersedak
sebelumnya, serangan batuk yang keras dan tiba-tiba, hidung tersumbat, sesak
napas, stridor, hidung berair atau beringus kental dan jika berlangsung lama
akan menyebabkan bau yang tidak sedap. Selain itu, anak yang lebih besar
akan mengeluhkan nyeri saat menelan.
Jika curiga penyakit jantung bawaan, pada bayi muda akan
memperlihatkan kesulitan makan atau menyusui dan gangguan pertumbuhan
serta mudah sesak/lelah pada anak yang lebih tua.
Pada infeksi, seperti pada TB perlu ditanyakan apakah ada kontak dengan
pasien TB, demam lebih dari 2 minggu, batuk kronis dan gangguan
pertumbuhan. Pada pneumonia, perlu dicari riwayat demam, batuk, nafas
yang cepat, sering sesak dan anak yang merintih.
Jika curiga bronkiektasis, perlu dicari riwayat batuk terutama pada pagi
hari dan memberat pada siang hari, demam dan sesak. Pada kegananasan,
ditanyakan apakah ada riwayat infeksi paru berulang, demam yang hilang
timbul serta batuk yang persisten. Hemoptisis yang disebabkan oleh trauma
sering disebabkan oleh trauma pada dada atau riwayat tindakan trakeostomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diawali dengan pemeriksaan tanda-tanda vital untuk
mencari adanya demam, takipnea, takikardia serta tanda-tanda hipoksia. Kulit
10
dan mukosa diperiksa untuk mencari adanya sianosis, pucat, ekomimosis,
telangiektasis, gingivitis dan adanya perdarahan dari mukosa nasal dan oral.
Pemeriksaan kelenjar getah bening untuk mencari adanya pembesaran.
Pemeriksaan paru dan jantung untuk mencari adanya tanda-tanda trauma,
retraksi dinding dada, hiperinflasi, stridor, wheezing, ronki dan bising
jantung. Pemeriksaan ektrimitas mencari adanya edema, sianosis atau jari
tabuh.
Tabel 7 merangkum beberapa pendekatan diagnosis berdasarkan gejala dan
pemeriksaan pada anak dengan hemoptisis.
Tabel 7. Gambaran klinis beberapa penyebab hemoptisis.8,9,10,11
Klinis SugestifRiwayat tersedak, serangan batuk keras dan tiba-tiba, sesak nafas, hidung tersumbat, berair/ingus kental dan berbau, stidor, mengi, nyeri saat menelan.
Aspirasi Benda Asing
Batuk berdahak/kering, ronki, mengi, dispneu, demam (+)/(-), hiperinflasi dinding dada, tidak respon terhadap bronkodilator.
Bronkitis-Bronkiolitis
Demam, nafas cepat, batuk, nafas cuping hidung, kepala terangguk-angguk, merintih, retraksi, ronki.
Pneumonia
riwayat kontak pasien TB, gangguan pertumbuhan, demam ≥ 2 minggu, batuk kronis, pembengkakan kelenjar KGB, pembengkakan tulang/sendi, uji tuberkulin positif.
TB
Batuk produktif terutama pada pagi memberat siang hari, demam, sesak, mengi, ronki, jari tabuh.
Bronkiektasis
sulit makan/menyusu, sianosis, bising jantung.
Penyakit Jantung Bawaan
Infeksi paru berulang, demam berulang, batuk persisten, wheezing,
Keganasan
Riwayat trauma dada, riwayat trakeostomi.
Trauma
11
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan disesuaikan dengan kecurigaan
etiologi yang mendasari terjadinya hemoptisis. Pemeriksaan darah lengkap
dilakukan pada setiap anak dengan hemoptisis. Hal ini penting dilakukan,
karena anak-anak cenderung menelan darah sehingga jumlah darah yang
keluar melalui proses batuk sering menjadi rancu. Pemeriksaan prothrombin
time dan bleeding time dilakukan jika dicurigai adanya koagulopati.
Pemeriksaan dan kultur sputum dilakukan jika dicurigai adanya infeksi.
Selain itu, pemeriksaan radiografi dada dapat membantu etiologi hemoptisis,
seperti adanya infiltrat pada infeksi, unilateral air trapping dengan
hiperinflasi pada aspirasi benda asing, dapat juga ditemukan nodul pulmonal,
adenopati hilar, efusi pleura dan kardiomegali. Jika sumber perdarahan masih
belum ditemukan, dapat dilakukan bronkoskopi. Bronkoskopi terdiri dari dua
jenis: fiberoptic bronchoscopy dan rigid brochoscopy. Fiberoptic
bronchoscopy dilakukan pada anak yang lebih tua untuk memeriksa bronkus
bagian distal. Hanya saja, tindakan ini dapat mengurangi ventilasi dan tidak
bisa mengangkat bekuan darah. Rigid bronchoscopy tidak mengganggu
ventilasi dan dapat membantu menemukan lokasi perdarahan serta dapat
mengangkat benda asing yang ada pada bronkus. Tabel 8 menunjukan
beberapa temuan dari hasil bronkoskopi.1
Tabel 8. Gambaran temuan pada bronkoskopi.4
12
Gambar 1 memaparkan algoritma dalam mendiagnosis hemoptisis.
Gambar 1. Algoritma diagnosis hemoptisis.1
2.6 Tatalaksana
Tatalaksana anak dengan hemoptisis tergantung dari 2 faktor penting yaitu:
penyebab yang mendasari dan derajat keparahan hemoptisis. Tujuan terapi
hemoptisis adalah mencegah asfiksiasi, menghentikan perdarahan yang terjadi dan
mengatasi etiologi penyebab.
a. Hemoptisis Minor
Tatalaksana hemoptisis minor bersifat suportif yaitu dengan:
- Menenangkan pasien dan meminta pasien untuk tidak menahan jika
ingin batuk.
13
- Proteksi saluran nafas dan paru yaitu dengan: membaringkan pasien
miring pada posisi yang sakit; membersihkan jalan napas dari bekuan
darah atau pemasangan pipa endotrakeal.
- Tempatkan kantong es pada dada.
- Berikan oksigen jika pasien tampak sesak.
- Pasang cairan infus jika perlu, selain untuk memberikan cairan secara
intravena, juga sebagai jalur terapi parenteral.
- Berikan agen hemostatik oral/parenteral seperti etamyslate atau asam
tranexamat.
- Pemberian obat-obat penekan refleks batuk hanya diberikan jika
terdapat batuk berlebihan dan merangsang perdarahan lebih banyak.
- Terapi penyakit yang mendasari misalnya pemberian antibiotik pada
infeksi paru, fibrosis kistik dengan antibiotik dan kortikosteroid.
Hemoptisis terkait trakeostomi diatasi dengan memodifikasi teknik
suction, tuberkulosis dengan pemberian OAT.1,12
b. Hemoptisis Masif.
Hemoptisis masif sering dengan cepat berkembang menjadi distres
pernafasan akut pada anak. Keadaan ini memerlukan prosedur multipel untuk
menstabilkan jalan nafas serta mengontrol perdarahan yang terjadi. Cairan
intravena dan transfusi darah diberikan untuk mencegah kolaps
kardiovaskular. Jika sumber perdarahan terjadi pada satu sisi paru, miringkan
pasien pada sisi tersebut untuk mencegah aspirasi darah pada paru yang sehat
dan dilakukan intubasi pada sisi paru yang sehat. Beberapa pilihan tindakan
pada hemoptisis masif adalah endoskopi dengan menggunakan balon,
vasokonstriktor topikal, laser dengan Nd-YAG atau CO2, endoskopi disertai
eksisi tumor,embolisasi transkateter dan lobektomi. Algortima tatalaksana
hemoptisis dipaparkan pada gambar 2.1
14
Gambar 2. Algoritma managemen hemoptisis.1
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu
ditentukan oleh tiga faktor : 5,11
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke
dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan :
1. Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran
napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak
anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif.
15
2. Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah
terhisap ke bagian paru yang sehat.
3. Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan
terjadi atelektasis.
4. Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila
perdarahan terjadi dalam waktu lama.
2.8 Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis : 5,11
1. Hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis < 100 cc/24 jam prognosa baik
b. Hemoptisis masif prognosa buruk.
16
BAB III
KESIMPULAN
1. Hemoptisis merupakan ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, yang
berasal dari saluran nafas di bawah yang disebabkan oleh berbagai macam
etiologi.
2. Hemoptisis pada anak sering disebabkan oleh infeksi, aspirasi benda asing,
bronkiektasis dan penyakit jantung bawaan.
3. Bakteri yang sering menyebabkan infeksi paru pada anak adalah M.
Tuberculosis, Escherichia colli, Group B streptococci, Chlamydia
trachomatis, M. pneumoniae, S. pneumoniae, Adenovirus, influenza virus dan
parainfluenza virus.
4. Patogenesis terjadinya hemoptisis berkaitan dengan pecahnya pembuluh
darah bronkial atau alveolar yang bisa disebabkan oleh radang mukosa, infark
paru, perdarahan kavitas tuberkulosa, invasi tumor dan cidera dada.
5. Pemeriksaan penunjang pada kasus hemoptisis seperti pemeriksaan darah
lengkap, prothrombin time dan bleeding time, pemeriksaan kultur sputum,
pemeriksaan radiologi dan bronkoskopi.
6. Tatalaksana hemoptisis meliputi tatalaksana suportif dan etiologis.
Tatalaksana suportif bersifat simtomatis. Tatalaksana etiologis untuk
mengatasi penyebab terjadinya hemoptisis misalnya pemasangan balon, eksisi
tumor, embolisasi transkateter dan lobektomi.
7. Komplikasi hemoptisis meliputi asfiksia, aspirasi dan syok hipovolemik.
8. Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptisis, macam
penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.
17
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Gaude, GS. Hemoptysis in children. Indian Pediatrics 2010;47:245-252.
2. Sim J, Kim H, Lee H, Ahn K, Lee SI. Etiology of hemoptysis in children: a
single institutional series of 40 cases. The Korean Academy of Asthma, Allergy
and Clinical Immunilogy 2009:41-44.
3. Ostapchuc M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia in
infants and children. The American Family Physician 2004;70:900.
4. Batra PS, Holinger LD. Etiology and management of pediatric hemoptysis.
American Medical Association 2001;127:377-382.
5. Arief N. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI. 2009.
6. Bidwell JL, Pachner RW. Hemoptysis: diagnosis and management. The
American Family Physician 2005;72:1255.
7. Singh D, Bhalia AS, Veedu PT, Arora A. Imaging evaluation of hemoptysis in
children. World Journal of Clinical Pediatrics. 2013;2:54-55.
8. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatric. Ed ke-19. Philadelphia: Elsevier, Inc; 2011. hlm. 1459,
1503.
9. WHO. Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. Jakarta:
IDAI; 2009. hlm. 85-86.
10. Rizzardi G, Bertolaccini L, Terzi A. Bronchial carcinoid in children.
European Oncology and Haematology 2011;7:196-199.
11. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto D. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed 1.
Jakarta: IDAI; 2008. hlm. 469, 483.
12. Parillo JE, Dellinger RP. Critical care medicine: Priciples of Diagnosing and
Management in the Adults. Ed ke-4. Philadelphia: Elsevier, Inc; 2013.
18