Case Hemoptisis Dewi
-
Author
fahmizar-satria-hernanda -
Category
Documents
-
view
244 -
download
1
Embed Size (px)
description
Transcript of Case Hemoptisis Dewi

BAB I
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Sunda
Alamat : Nagrak, Sukabumi
Tanggal Masuk : 21 April 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Batuk darah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak ± 3 minggu SMRS pasien mengeluh batuk-batuk. Batuk hilang timbul,
namun tidak ada dahak. 1 minggu terakhir, keluhan dirasa semakin memberat,
batuk terus-menerus dan adanya dahak berwarna putih kental. Dalam tiga hari
terakhir, pasien mengeluh batuk dengan disertai darah dimana dalam satu hari,
pasien mengaku sudah tiga kali batuk disertai darah, sebanyak ± ½ aqua gelas,
darah berwarna merah segar. Keluhan batuk disertai dengan adanya sesak napas,
pusing, lemas, dan merasa panas dingin saat malam hari. Selain itu, berat badan
pasien juga terus menurun. Pasien juga mengaku seringkali mudah lelah saat
sedang beraktivitas dan nafsu makan yang menurun.
1

Pada 4 bulan yang lalu, pasien sudah mengalami sesak dan batuk-batuk serupa
dengan keluhan yang sekarang. Lalu pasien berobat dan dianjurkan untuk
mengonsumsi obat paru secara rutin. Namun, pasien hanya meminum obat selama
dua bulan.
BAK dan BAB pasien lancar atau tidak ada gangguan. Mual (-), muntah (-),
nyeri ulu hati (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan batuk disertai darah baru pertama kali dirasakan oleh pasien.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit keganasan, hipertensi, penyakit
jantung, maupun DM.
Riwayat Pengobatan
4 bulan yang lalu pasien sempat mengkonsumsi obat paru (OAT) selama dua
bulan, namun tidak meneruskannya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat TB paru, penyakit keganasan, hipertensi, dan diabetes
mellitus dalam keluarga.
Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok dari usia 20 tahun dalam sehari menghabiskan rokok
sebanyak 1 bungkus.
2

III. PEMERIKSAAN FISIK
- Kesadaran : Composmentis
- KU : Tampak sakit sedang
- TTV :
o Tekanan darah : 130/90 mmHg
o Frekuensi nadi : 96 kali/menit
o Frekuensi napas : 24 kali/menit
o Suhu tubuh : 36,9 °C
KEPALA
- Bentuk : Normal, simetris
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor kanan
= kiri, refleks cahaya (+)
- Telinga : Bentuk normal, simetris, membran timpani intak, sekret (-)
- Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), laserasi (-), sekret (-)
LEHER
- Bentuk normal, deviasi trakhea (-), tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan
KGB.
- JVP 5+2 cm H2O
THORAKS
- Inspeksi : Bentuk dada kanan = kiri simetris, pergerakan napas kanan =
kiri, iktus kordis tampak
3

- Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri, iktus kordis teraba di sela iga V
garis midclavicula kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-), pelebaran sela iga (-)
- Perkusi : Paru → Sonor pada kedua lapang paru
→ Batas paru hati: sela iga IV garis midklavikula kanan
Jantung → Batas atas: sela iga III garis sternalis kanan
→ Batas kanan: sela iga IV garis parasternalis kanan
→ Batas kiri: sela iga V garis midklavikula kiri
- Auskultasi : Paru → Pernapasan vesikula +/+r, rhonki-/-, wheezing -/-
Jantung → Bunyi jantung I-II murni, reguler, murmur (-),
gallop (-)
ABDOMEN
- Inspeksi : Perut datar simetris, umbilikus tidak menonjol
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Shifting dullness (-)
- Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), nyeri tekan epigastrium (+), hepar
dan lien tidak terdapat pembesaran
EKSTREMITAS
- Superior : Hangat, sianosis (-/-), clubbing finger (-/-), edema (-/-)
- Inferior : Hangat, edema (-/-), sianosis (-/-)
4

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin : 13,9 g/dl 13,0-16,0
Leukosit : 8,8 103/µl 4,0-11,0
Hematokrit : 43 % 40,0-45,0
Trombosit : 256 103/µl 150-400
V. PENATALAKSANAAN
02 3 liter/menit jika pasien sesak
IVFD RL 500 cc/8 jam
Ranitidin 2x50 mg IV
Ambroxol 3x30
Cefotaxim 2x1 gram IV
Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan anjuran
- Foto Rontgen thorax
- Sputum BTA
VI. RESUME
Batuk-batuk sejak ± 3 minggu, hilang timbul tanpa dahak, 1 minggu terakhir batuk
terus-menerus dahak berwarna putih kental. Tiga hari terakhir batuk disertai darah 3x/hari,
sebanyak ± ½ aqua gelas, berwarna merah segar. Disertai sesak napas, pusing, lemas, dan
merasa panas dingin saat malam hari. Berat badan pasien terus menurun. Anoreksia (+).
Pernah batuk 4 bulan lalu tetapi minum obat paru rutin hanya 2 bulan. Pasien merokok
1bungkus/hari sejak usia 20thn. PF: konjungtiva anemis +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, nyeri
tekan epigastrium (+). LAB : dalam batas normal.
VII. DIAGNOSIS SEMENTARA
5

Hemoptisis e.c. Suspek TB Paru Putus Obat
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia Ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia Ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia Ad Bonam
BAB II
6

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran napas. Darah bervariasi dari
dahak disertai bercak/lapisan darah hingga batuk berisi darah saja.
Hemoptisis atau batuk darah ialah darah atau dahak berdarah yang dibatukkan,
berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai dari glottis kearah distal).
Hemoptisis adalah Ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran nafas dibawah
laring, atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas di bawah laring. Batuk darah lebih sering
merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologinya harus dicari melalui
pemeriksaan yang seksama.
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 1930-1960 penyebab batuk darah tersering di Amerika adalah
bronkiektasis dan tuberculosis (TB) paru. Smiddy dan Elliot melakukan pengamatan dengan
pemeriksaan BSOL (Bronkoskop serat optic lentur) pada tahun 1971-1972 menemukan
penyebab tersering batuk darah adalah bronchitis kronik atau bronkiektasis diikuti dengan
karsinoma bronkus.
Dibeberapa negara berkembang penyebab batuk darah tersering masih didominasi
oleh penyakit infeksi. Lim dkk melakukan penelitian sejak tahun 1993-1998 pada sebuah
rumah sakit di Singapura, menemukan penyebab batuk darah massif dengan laju perdarahan
> 150 ml dalam 24 jam adalah TB paru (40%), kanker paru (10%), bronkiektasis (8%) dan
sekuenstrasi paru (2%).
Di RS Persahabatan, Retno dkk pada penelitiannya terhadap 32 penderita batuk darah
mendapatkan penyabab terserig adalah TB paru (64,43%) dan bronkiektasis (16,71%)
sedangkan kanker paru sejumlah 3,4%. Hadiarto dkk mendapatkan penyebab tersering adalah
TB paru (50%), karsinoma ronkus (32%), bronchitis (8%) dan bronkiektasis (5%).
2.3 Klasifikasi/Berat Ringannya
7

Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan:
1. Bercak (Streaking)
Darah bercampur dengan sputum merupakan hal yang sering terjadi, paling umum pada
bronchitis. Volume darah kurang dari 15-20 mL/24 Jam.
2. Hemoptisis
Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah dibatukkan 20-600 mL di dalam 24 jam.
Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu, hal ini berarti perdarahan dari pembuluh
darah lebih besar dan biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia), TB
paru atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif
Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 mL- biasanya karena kanker
paru, kavitas pada TB paru atau bronkiektasis.
Batuk darah massif adalah batuk darah lebih dari 100 mL hingga lebih dari 600 mL darah
dalam 24 jam.2
Kriteria hemoptisis massif menurut RS. PERSAHABATAN(1978):
• Batuk darah sedikitnya 600 mL/24 jam
• Batuk darah < 600mL/24 jam, tapi > 250 mL/24 jam, Hb < 10 g% dan masih terus
berlangsung
• Batuk darah < 600 mL/24 jam, tapi > 250 mL/jam, Hb > 10 g%, dalam 48 jam
perdarahan belum berhanti
4. Pseudohemoptisis
Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (diatas
laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa perdarahan
buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena luka disengaja di mulut, faring
atau rongga hidung.
2.4 Etiologi
8

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hemoptisis atau batuk darah merupakan
tanda dan gejala dan penyakit yang mendasarinya. Penyakit atau keadaan yang menyebabkan
batuk darah sangat beragam sehingga anamnesis, pemeriksaan fisis serta berbagai
pemeriksaan penunjang perlu dilakukan dengan teliti agar dapat menentukan etiologinya.
Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari pendekatan massif atau
tidak masifnya hemoptisis. Pada dasarnya semua penyebab hemoptisis dapat menyebabkan
hemoptisis massif, akan tetapi penyebab terseringnya adalah infeksi (terutama tuberculosis),
bronkiektasis dan keganasan. Pada aspergiloma, fibrosis kistik serta berbagai penyakit
parenkimal paru difus umumnya terjadi hemoptisis masif bila terinfeksi. Kelainan imunologi
juga dapat menyebabkan perdarahan intrapulmonary difus yang harus dipertimbangkan pada
hemoptisis massif tanpa etiologi lain yang jelas. Fistula arteri trakeal sering terjadi sebagai
kompliasi dari trakeostomi. Sementara itu rupture arteri pulmonalis bisa terjadi pada
kateterisasi dengan pengembangan balon. Harus diingat bahwa 2 hingga 32% kasus
hemoptisis tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Hemoptisis idiopatik disebut juga
hemoptisis esensial. Hemoptisis esensial umumnya menyebabkan hemoptisis tidak massif,
walaupun pada hemoptisis massif <5% adalah idiopatik.
Sebab Insidensi
Infeksi:
Tuberkulosis, abses paru, bronkitis, bronkiektasis, infeksi jamur, parasit,
necrotizing pneumonia
60%
Neoplasma:
Ca. bronkogenik, lesi metastasis, adenoma bronkus
20%
Peny. Kardiovaskuler:
Emboli paru, Stenosis mitral, malformasi arteriovena, aneurisma aorta,
edema paru
5-10%
Lainnya: 5-10%
9

Bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom Goodpasture, terapi
antikoagulan, adenoma bronkus
sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V
Secara umum penyebab penyebab batuk darah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
2.5 Patogenesis
Patogenesis terjadinya batuk darah yang disesabkan oleh berbagai penyakit yang
mendasarinya pada prinsipnya hampir sama, yaitu bila terjadi penyakit/kelainan pada
parenkim paru, system sirkulasi bronchial atau pulmoner, maupun pleura sehingga terjadi
perdarahan pada kesua system sirkulasi tersebut.
Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi saluran nafas (dari bronkus
utama hingga bronkiolus terminalis), pleura, jaringan limfoid intra pulmonalis yang pada
dasarnya adalah membawa darah dari vena sistemik, memperdarahi jaringan parenkim paru,
termasuk brnkiolus respiratorius. Anastomosis arteri dan vena bronkopulmoner, yang
merupakan hubungan antara ke-2 sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat persambungan
10

antara bronkiolus respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini memungkinkan ke-2 sumber
darah untuk saling mengimbangi. Apabila aliran dari salah satu system meningkat maka
system yang lain akan menurun. Studi arteriografi menunjukkan bahwa 92% hemoptisis
berasal dari arteri-arteri bronkialis.
Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan. Secara umum
bila perdarahan berasal dari lesi endobronkial, maka perdarahan adalah dari sirkulasi
bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan adalah dari sirkulasi pulmoner.
Pada keadaan kronik dimana terjadi perdarahan berulang maka perdarahan sering kali
berhubungan dengan peningkatan vaskularitas di lokasi yang terlibat.
Tuberkulosis
Ekspektorasi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberculosis yang masih aktif ataupun
akibat kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang telah sembuh. Susuna parenkim
paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh penyakit ini sehingga sering terjadi bronkiektasis
dengan hipervaskularisasi, pelebarab pembuluh darah bronchial, anastomosis pembuluh darah
bronchial dan pulmoner.
Penyakit TB juga dapat mengakibatkan timbulnya kaviti dan terjadinya pneumonitis
TB akut dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis pembuluh darah di sekitarnya
dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh darah tersebut mengakibatkan ekspektorasi
darah dalam dahak, ataupun batuk darah massif.
Ruptur aneurisma Rassmussen telah diketahui sebagai penyebab batuk darah massif
pada penderita TB ataupun pada bekas penderita TB. Kematian akibat batuk darah massif
pada penderita TB berkisar antara 5-7%.
Bronkiektasis
Bronkiektasis terjadi akibat destruksi tulang rawan pada dinding bronkus akibat
infeksi ataupun penarikan oleh fibrosis alveolar. Perubaha yang terjadi ternyata juga
melibatkan perubahan arteri bronchial yaitu hipertrofi, peningkatan atau pertambahan jumlah
jarring vascular (vascular bed). Perdarahan dapat terjadi akibat infeksi ataupun proses
inflamasi. Pecahnya pembuluh darah bronchial yang memiliki tekanan sistemik dapat
berakibat fatal.
Abses paru
11

Hemoptisi dapat terjadi pada 11-15% penderita abses paru primer. Perdarahan massif
dapat terjadi pada 20-50% penderita abses paru yang mengalami hemoptisis. Mekanisme
perdarahan adalah akibat proses nekrosis pada parenkim paru dan pembuluh darahnya.
Stenosis Mitral
Sebelum maraknya valvulotomi dan operasi penggantian katup mitral, hemoptisis
dapat terjadi pada 20-50% penderita dengan stenosis mitral dan hemoptisis massif dapat
terjadi pada 9-18% penderita. Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan pleksus
submukosa vena bronchial mengalami dilatasi untuk mengakomodasi peningkatan aliran
darah. Varises pembuluh darah tersebut apabila terpajan pada infeksi saluran napas atas,
batuk atau peningaktan volume intravaskuler seperti pada kehamilan dapat menimbulkan
hemoptisis.
Neoplasma
Hemoptisis dapat terjadi akibat proses nekrosis dan infalmasi embuluh darah pada
jaringan tumor. Invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner jarang terjadi. Hemoptisis dapat
terjadi pada 7-10% penderita dengan karsinoma bronkogenik.
Penderita kanker metastasis ke paru, hemoptisis terjadi akibat lesi endobronkial.
Tumor mediastinum jug dapat menimbulkan batuk darah, terutama karsinoma esophagus
akibat penyebarannya ke pohon trakeobronkial.
Pada adenoma bronchial, perdarahan sering terjadi dari rupture pembuluh-pembuluh
darah permukaan yang menonjol.
Infeksi Jamur Paru
Angioinvasi oleh elemen jamur menimbulkan kerusakan pada parenkim dan struktur
vaskuler sehingga dapat menimblkan infark paru dan perdarahan. Meskipun demikian infeksi
jamur paru yang invasive jarang menimbulkan hemoptisis. Sebaliknya pembettukan
misetoma dapat menimbulkan hemoptisis pada 50-90% penderita misetoma.
Misetoma umumnya terbentuk pada penderita dengan penyakit paru berkaviti,
misalnya TB, sarkoidosis, cavitary lung carcinoma, infark paru, emfisema bulosa,
bronkiektasis, penyakit fibrobulosa dari arthritis rematoid dan ankylosing spondylitis, trauma
12

mekanik akibat pergerakan fungus ball di dalam kaviti, jejas vaskuler akibat endotoksin
Aspergillus, dan kerusakan vaskuler akibat reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan
beberapa teori penyebab terjadinya hemoptisis pada misetoma. Hemoptisis dapat pula terjadi
akibat bronkolitiasis dari adenopati Histoplasma yang mengalami kalsifikasi.
2.6 Diagnosis
Hal pertama yang harus diketahui dalam mengevaluasi hemoptisis adalah mengetahui
apakah perdarahan berasal dari saluran napas bawah, dari saluran napas atas (contoh epistaksis),
atau dari saluran cerna (hematemesis). Penentuan sumber perdarahan merupakan hal penting
karena akan menentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisis
sangat menentukan di dalam menentukan apakah perdarahan yang terjadi merupakan
hemoptisis, epistaksis atau hematemesis.
sumber: American Family Physician
13

Perbedaan Batuk Darah dan Muntah Darah
No Keadaan Batuk Darah Muntah Darah
1 ProdromalDarah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
Darah dimuntahkan dengan rasa
mual (Stomach Distress)
2 OnsetDarah dibatukkan, dapat disertai dengan muntah
Darah dimuntahkan, dapat
disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 IsiLekosit, mikroorganisme, hemosiderin, makrofag
Sisa makanan
6 Ph Alkalis Asam
7Riwayat penyakit dahulu (RPD)
Penyakit paruPeminum alkohol, ulcus
pepticum, kelainan hepar
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 TinjaBlood test (-) /
Benzidine Test (-)
Blood Test (+) /
Benzidine Test (+)
Anamnesis:
1. Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal tersebut dapat
mengarahkan ke suatu penyebab spesifik
2. Sumber paling umum berupa epistaksis (nasofaring). Darah menetes ke faring, mengiritasi
laring dan dibatukkan. Pasein sering dapat menjabarkan rangkaian ini, maka kesan pasien
atas sumber perdarahan umumnya benar. Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu
paru, maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-
olah darah berasal dari paru kanan atau kiri. Pastikan pasien bisa membedakan dibatukkan
dengan dimuntahkan.
14

3. Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan saluran nafas juga
dicari.
4. Gejala lainnya yang berhubungan/terkait dapat membantu dalam mendiagnosis:
a. Demam dan batuk prosuktif mengisyaratkan infeksi.
b. Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada mengindikasikan kemungkinan emboli
paru atau infark miokard yang idsertai dengan gagal jantung kongestif.
c. Kehilangan berat badan yang signifikan mengisyaratkan kanker paru atau infeksi kronik
seperti tuberculosis atau bronkiektasis.
sumber: American Family Physician
Pemeriksaan Fisis:
Pemeriksaan fisis dapat membantu diagnosis penyebab hemoptisis. Pemeriksaan
saluran nafas atas harus dilakukan dengan teliti untuk menyingkirkan kemungkinan sumber
perdarahan selain dari paru atau saluran napas bawah. Mulut juga perlu diperiksa mengenai
kemungkinan laserasi dan tumor. Pemeriksaan laringoskopi tidak langsung untuk
menyingkirkan kemungkinan perdarahan dari sekitar faring. Bunyi nafas tambahan seperti
stridor atau mengi dapat memberikan petunjuk tumor/benda asing didaerah trakeolaring.
Gambaran saddle nose atau perforasi septum dapat menunjukkan granulomatosis Wegener.
15

Jari tabuh (clubbing finger) memberikan petunjuk kemungkinan keganasan intratorakal dan
supurasi intratorakal (abses paru, bronkoektasis).
Tanda-tanda penting. Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan takikardia
merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan darah yang akut pada
hemoptisis massif atau penyakit yang menyebabkan/menyertainya: emboli paru, sepsis,
infark miokard dengan edema paru.
- Pemeriksaan nasofaring:
Ditujukan untuk mencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis massif untuk
memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka).
- Pemeriksaan jantung
Dibutukan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi paru akut (terdapat
peninggian komponen paru, suara jantung kedua), kegagalan ventrikel kiri akut (summation
gallop) atau penyakit katup jantung seperti stenosis mitral. Endokarditis sebelah kanan
dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena insufisiensi tricuspid, sering pada
penyalahgunaan obat intravena dan dapa menyebabkan hemoptisis karena emboli septic.
- Pemeriksaan dinding dan rongga dada
Kelainan disini secara tersendiri jarang mnejadi penyebab hemoptisis; akan tetapi,
temuan tertentu bisa menjadi petunjuk:
# Trauma dinding dada, coba cari adanya memar parenkim paru (pulmonary
contusion) atau laserasi bronchial.
# Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi redup/pekak
(dullness) menunjukkan adanya konsolidasi (disebabkan pneumonia, infark paru
atau atelektasis pascaobstruksi dari benda asing atau kanker paru).
# Pleural friction rub dapa didengar pada area di atas infark paru.
# Ronki merata (difus, kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya kemungkinan
edema paru kardiogenik.
16

sumber: American Family Physician
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1. Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit menunjukkan
adanya kehilangan darah yang akut. Jumlah sel darah putih yang meninggi mendukung
adanya infeksi. Trombositopenia mengisyaratkan kemungkinan koagulopati;
trombositosis mengisyaratkan kemungkinan kanker paru.
2. Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protombin (PT) dan waktu
tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai adanya koagulopati atau
apabila pasien tersebut menerima warfarin/hepatin.
3. Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien sesak yang jelas dan sianosis.
4. Pemeriksaan dahak. Pasien dengan darah bercampur dahak, pewarnaan gram, BTA atau
preparasi kalium hidroksida dapat mengungkapkan penyebab infeksi dan pemeriksaan
sitopatologik untuk kanker.
17

Sumber : American Family Physician
Pencitraan (Imaging):
1. Radiografi dada akan menunjukkan adanya massa paru, kavitas atau infiltrate yang mungkin
menjadi sumber perdarahan.
2. Arteriografi bronchial selektif dilakukan bila bronkoskopi tidak dapat menunjukkan lokasi
pedarahan massif. Embolisasi arteri bronchial selektif untuk mengendalikan perdarahan
dapat berfungsi sebagai terapi yang definitive atau sebagai tindakan antara hingga
torakotomi dapat dilakukan.
Pemeriksaan ct-scan dapat memberikan informasi yang lebih jelas dari foto thoraks, misalnya
gambaran bronkiektasis atau karsinoma bronkus yang berukuran kecil. Pemeriksaan ct-scan dengan
resolusi tinggi merupakan metode pilihan dalam diagnosis bronkiektasis. Pemeriksaan ini sebaiknya
dikerjakan sebelum pemeriksaan bronkoskopi, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan.
Bronkoskopi
Saluran nafas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku atau
fiberoptik.
1. Bronkoskopi fiberoptik dengan anastesia topical paling sering digunakan karena
instrument fleksibel ini dapat memvisualisasi bronkus subsegmental dan saluran nafas
sentral serta lebih nyaman bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah diameter tempat
18

menghisap cairan perdarahan (suction port) yang kecil (<2mm). Jika perdarahan itu besar,
maka system ini tidak dapat mengevakuasi darah dengan cepat untuk mempertahankan
system lensa ini tetap bersih. Kebanyakan benda asing tidak bisa dipindahkan dengan
instrument ini.
2. Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan hemoptisis massif dan ketika dicurigai terjadi
aspirasi benda asing. Kekurangannya adalah biasanya dibutuhkan anastesia umum dan
hanya saluran napas sentral dapat divisualisasikan.
Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang dapat bersifat diagnostic untuk
mencari penyebab batuk darah namun juga untuk terapeutik. Tindakan bronkoskopi dapat
dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi kaku atau bronkoskopi serat lentur (fiberoptic
bronkoskopi).
Sumber : American Family Physician
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Misalnya pada
penderita dengan kecurigaan gangguan pembekuan darah atau kelainan hematologi lainnya
dilakukan pemeriksaan faal hemostasis, pada penderita dengan kecurigaan penyakit autoimun
19

systemic lupus eritomateus (SLE) dilakukan pemeriksaan anti ds DNA atau ANA
(antinuclear antibody).
Arteriografi bronchial dan pulmoner dilakukan bila semua pemeriksaan diatas gagal
atau menemukan sumber perdarahan. Arteriografi dapat pula digunakan sebagai alat
terapeutik dengan melaksanaan embolisasi.
2.8 Penatalaksanaan
Hemoptisis non-masif
Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar. Penyebab tersering hemoptisis non
massif terutama yang terjadi akut adalah bronchitis, risiko pasien ringan dengan gambaran
radiologi yang normal. Penatalaksanaan kondisi pasien seperti ini dapat dengan monitoring
airway, breathing dan circulation serta pengobatan terhadap penyebabnya misalnya dengan
pemberian antibiotic bila diperlukan, tetapi bila batuk darah ini cenderung makin lama,
berlangsung terus atau sulit dijelaskan dianjurkan untuk evaluasi oleh ahli paru.
1. Terapi dasar. Pasien harus istirahat total, dengan posisi paru yang mengalami perdarahan di
bawah. Refleks batuk harus ditekan dengan kodein fosfat 30-60 mg intramuskuler setiap 4-6
jam selama 24 jam.
20

2. Terapi spesifik. Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar penyebab perdarahan
tersebut.
Hemoptisis massif
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis asif terdiri dari beberapa langkah yaitu menjaga jalan
nafas dan stabilisasi penderita, menentukan lokasi perdarahan dan memberikan terapi. Langkah
pertama merupakan prioritas tindakan awal. Setelah penderita lebih stabil, langkah kedua
ditujukan untuk mencari sumber dan penyebab perdarahan. Langkah ketiga dimulai setelah
periode perdarahan akut telah teratasi, dan ditujukan untuk mencegah berulangnya hemoptisis
dengan memberikan terapi spesifik sesuai penyebabnya, bila memungkinkan. Penderita dengan
hemoptisis massif harus dimonitor dengan ketat di instalasi perawatan intensif.
Langkah I. Menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita
Setelah diagnosis hemoptisis ditegakkan, upaya pembebasan jalan nafas dilakuak untuk
menghindari resiko aspirasi. Aspek lain yang harus diingat meliputi resusitasi cairan,
suplementasi oksigen, koreksi gangguan pembekuan darah, pemberian antitusif ringan, laksan
dan sedasi ringan diberikan sesuai indikasi. Langkah tahap ini merupakan upaya konservatif
dalam penatalaksanaan hemoptisis di RS Persahabatan, yaitu:
- Menenangkan dan mengistirahatkan penderita sehingga perdarahan lebih mudah berhenti.
Penderita perlu diberitahu agar tidak takur membatukkan darah yang ada di saluran
nafasnya.
- Menjaga jalan nafas tetap terbuka. Apabila terdapat tanda sumbatan jalan nafas perlu
dilakukan penghisapan (suction). Suction dengan bronkoskop akan lebih baik, tetapi
memerlukan keterampilan khusus. Pemberian suplementasi oksigen lebih banyak menolong
kecuali bila jalan nafas dibebaskan.
- Resusitasi cairan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid.
- Transfusi darah diberikan bila hematokrit turun di bawah nilai 25-30% atau hemoglobin (Hb)
dibawah 10 g% dan perdarahan masih berlangsung.
- Laksan (stool softener) dapat diberikan untuk menghindari kemungkinan mengedan.
- Bila batuk mencetuskan terjadinya perdarahan lebih lanjut dapat diberikan obat sedasi
ringan untuk mengurangi kegelisahan penderita dan tirah baring. Obat antitusif ringan hanya
diberikan bila terdapat batuk yang berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang
lebih banyak.
21

- Manipulasi dinding dada berlebihan harus dihindari seperti perkusi dinding dada dan
spirometri. Pemberian obat supresi reflex batuk seperti kodein dan morfin harus dihindari.
- Hipoksemia yang mengalami perburukan merupakan tanda bahwa perdarahan menganggu
pertukaran gas dan harus diberikan suplementasi oksigen.
- Bila terjadi serangan batuk darah, tergantung dari keadaan penderita:
o Penderita dengan keadaan umum dan reflex batuk baik, maka penderita duduk dan
diberikan instruksi cara membatukkan darah dengan benar.
o Penderita dengan keadaan umum berat dan reflex batuk kurang adekuat, maka
posisi penderita Trendelenberg ringan dan miring ke sisi yang sakit (lateralisasi)
untuk mencegah aspirasi darah ke sisi yang sehat.
- Bila batuk darah terus berlanjut dan terjadi perburukan hipoksemia, maka penderita perlu
diintubasi dengan pipa endotrakeal berdiameter besar agar memungkinkan penggunaan
bronkoskopi serat optic lentur untu evaluasi, melokalisir perdarahan dan tindakan
penghisapan (suctioning).
- Intubasi paru unilateral dapat dilakukan untuk melindungi paru yang sehat dari aspirasi
darah. Bila sumber perdarahan dari paru kanan, bronkoskop dimasukkan ke bronkus utama
kiri dan paru kiri diintubasi dengan bantuan bronkoskop. Bila sumber perdarahan dari paru
kiri, trakea diintubasi dengan bantuan bronkoskop, dan penderita dalam posisi lateral kiri
untuk meminimalisasi aspirasi. Kemudian kateter Fogarty nomor 14 F dimasukkan di
samping pipa endotrakeal samapi beberapa sentimeter di bawah cuff. Kateter Fogarty
diarahkan ke bronkus utama kiri dengan bantuan bronkoskop dan balon dikembangkan di
bronkus utama kiri, sehingga kateter Fogarty berada di paru kanan. Intubasi selektif di paru
kanan tidak disarankan karena memiliki resiko menutupi orifisium lobus atau paru kanan.
- Intubasi dengan kateter lumen ganda (double lumen endotracheal tubes) juga dapat
digunakan untuk mengisolasi paru yang tidak mengalami perdarahan, sehingga mengurangi
resiko aspirasi. Setelah sumber perdarahan diketahui ujung pipa endotrakea di paru yang
mengalami perdarahan ditutup (clamped), sedangkan ujung pipa endotrakea di sisi yang
tidak berdarah dihubungkan dengan ventilator untuk menjamin ventilasi. Menunjukkan pipa
endotrakeal lumen ganda yang memiliki lumen trakeal dan lumen bronchial, yang
dimasukkan ke bronkus utama kiri. Lumen trakeal tetap berada di suprakarina dan
memberikan ventilasi untuk paru kanan dan menghindari tertutupnya orifisium lobus atas
paru kanan. Pemasangan pipa endotrakea lumen ganda harus dipasang oleh operator
berpengalaman karena kemungkinan dapat terjadi obstruksi karena pipa endotrakea lumen
22

ganda tersebut sehingga menghalangi penghisapan jalan napas dan evaluasi dengan
bronkoskop.
Langkah II. Mencari sumber dan penyebab perdarahan
Jika penderita telah stabil, perlu dicari sumber dan penyebab perdarahan secepat dan
setepat mungkin. Lokasi perdarahan dan penyebabnya perlu diketahui untuk dapat memberikan
terapi spesifik. Langkah ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi (foto thoraks, ct-scan,
angiografi) dan dengan bronkoskopi (BSOL maupun bronkoskop kaku).
Langkah III. Pemberian terapi spesifik
Pemberian terapi spesifik dilakuakan untuk menghentikan perdarahan dan mencegah
berulangnya perdarahan. Pemberian terapi spesifik dapat dilakukan melalui bronkoskopi
9bronkoskopi terapeutik) dan terapi non bronkoskopik.
1. Bronkoskopi Terapeutik
a. Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin (iced saline lavage). Pemberian
larutan garam fisiologis dingin dimaksudkan untuk meningkatkan hemostasis dengan
menginduksi vasokonstriksi. Suatu studi tanpa control mengamati 23 penderita yang
diberikan pembilasan dengan aliquot 50 ml sekuansial dengan suhu 4oC (total 500
ml) melalui bronkoskop kaku. Ternyata control perdarahan dicapai pada 21
penderita.
b. Pemberian obat topical. Pemberian epinefrin topical dengan konsentrasi 1:20.000
dimaksudkan untuk vasokonstriksi pembuluh darah, namun efektivitasnya masih
dipertanyakan terutama pada hemoptisis massif. Tsukamoto dkk melakukan studi
pemberian thrombin topical dan larutan fibrinogen-trombin. Namun terapi ini masih
perlu penelitian lebih lanjut.
c. Tamponade endobronkial. Isolasi perdarahan menggunakan kateter balon
tamponade (balloon tamponade catheter) dapat mencegah aspirasi darah ke paru
kontralateral dan menjadi pertukaran gas pada hemoptisis massif.
d. Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser). FOtoterapi menggunakan laser Neodymium-
Ytrium-Aluminium-Garnet (Nd-YAD) telah digunakan sebagai terapi paliatif dengan
hasil bervariasi pada penderita hemoptisis massif. Terapi ini digunakan pada
penderita dengan perdarahan endobronkial karena kemampuan koagulasinya.
23

2. Terapi Non Bronkoskopik
a. Pemberian terapi medikamentosa
b. Vasopressin IV merupakan vasokonstriktor sistemik dengan dosis 0,2-0,4 unit/menit
telah digunakan untuk mengatasi hemoptisis massif.
c. Pemberian asam traneksamat (antifibrinolitik) untuk menghambat aktivasi
plasminogen dilaporkan dapat mengontrol hemoptisis pada penderita fibrosis kistik
yang tidak dapat terkontrol oleh embolisasi arteri bronchial.
d. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan obat sitotoksik dan plasmaferesis
mungkin dapat bermanfaat pada penderita hemoptisis massif akibat perdarahan
alveolar penyakit autoimun.
e. Pemberian gonadotropin releasing hormone agonist (GnRH) atau danazol mungkin
bermanfaat pada terapi jangka panjang penderita hemoptisis katamenial.
f. Hemoptisis karena penyakit infeksi seperti TB, infeksi jamur atau kuman lain maka
diberikan antituberkulosis, antijamur ataupun antibiotic.
g. Radioterapi untuk mengatasi hemoptisis massif pernah dilaporkan penderita
aspergiloma yang gagal diterapi dengan embolisasi. Mekanisme adalah melalui
mengurangi pembengkakan dan induksi nekrosis sumber perdarahan sehingga
menghasilkan thrombosis vaskuler dan kompresi edema perivaskuler.
3. Embolisasi Arteri Bronkialis dan Pulmoner
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber
perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi dapat dilakukan pada arteri
bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Tekhnik ini teruatma dipilih untuk penderita dengan
penyakit bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi ataupun memiliki
kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang beberapa kali untuk mengontrol
perdarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam mengontrol perdarahan (jangka
pendek) antara 64-100%. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu akibat oklusi arteri bronkialis
yaitu nyeri dada, demam maupun emboli ektopik.
4. Bedah
Pembedahan merupakan terapi definitive pada penderita hemoptisis massif yang
sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada
kontraindikasi bedah, ada kontraindikasi embolisasi arteri atau kecurigaan perforasi arteri
pulmoner dan rupture misetoma dengan kolateral arteri yang banyak.
24

Resiko utama hemoptisis massif adalah asfiksi dari darah di dalam saluran nafas.
Terapi umum:
a. Mempertahankan terbukanya saluran nafas. Pemasangan selag endotrakeal
memungkinkan kita melakukan penghisapan darah dari saluran nafas dan kemudian
menghubungakannya dengan suatu ventilator. Yang ideal adalah selang endotrakeal
dengan lumen ganda.
b. Apabila diketahui lokasi perdarahan, maka pasien harus ditempatkan dengan paru yang
mengalami perdarahan di bawah untuk melindungi paru yang baik.
c. Menekan batuk dengan kodein fosfat 30-60 mg secara intramuskuler.
d. Mempertahankan tekanan darah dengan darah segar dan plasma ekspander. Apabila
dicurigai terjadi koagulopati, maka dapat diberikan plasma segar beku (fresh-frozen
plasma).
2.9 Komplikasi
- Asfiksia
- Syok hipovolemik
- Anemia
- Atelektasis
2.10 Prognosis
Hemoptisis merupakan suatu gejala dari suatu kelainan dasar. Kebanyakan penderita
memiliki prognosis yang baik. Namun penderita hemoptisis akibat keganasan dan gangguan
pembekuan darah memiliki prognosis yang lebih buruk.
Keberhasilan terapi diartikan sebagia berhentinya perdarahan dan tidak terjadi
kekambuhan. Hasil terapi konservatif mengalami perbaikan sejak berkembangnya teknik
pengendalian perdarahan secara endobronkial dan embolisasi arteri. Angka kekambuhan pada
embolisasi arteri setelah 6 bulan pengamatan didapatkan sebesar 23%.
Pengamatan terapi konservatif yang pernah dilakukan di RS Persahabatan Jakarta
adalah terapi konservatif noninvasive (medikamentosa). Kematian akibat asfiksia terjadi pada
16 penderita dari 18 orang penderita yang meninggal, sedangkan 2 penderita lainnya
mengalami perdarahan hebat
25