hasil IKM

136
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin meningkatnya pelayanan di bidang kesehatan dan tingkat sosial ekonomi masyarakat serta tingginya tingkat pengetahuan masyarakat secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup. Pada tahun 2000 usia harapan hidup di Indonesia mencapai 67 tahun dan jumlah populasi usia lanjut sebanyak 17 juta (7%). Pada tahun 2006 usia harapan hidup mencapai 66 tahun, dan jumlah usia lanjut 19 juta (8,9%). Menurut perkiraan pada tahun 2020, usia harapan hidup di Indonesia yaitu 71 tahun dan jumlah usia lanjut mencapai ±28,8 juta jiwa (11,34%). Ini merupakan peringkat tertinggi keempat setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Latin. 1,2 Sedangkan untuk provinsi Kalimantan Timur dilaporkan jumlah usia

Transcript of hasil IKM

Page 1: hasil IKM

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Semakin meningkatnya pelayanan di bidang kesehatan dan tingkat

sosial ekonomi masyarakat serta tingginya tingkat pengetahuan masyarakat

secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup.

Pada tahun 2000 usia harapan hidup di Indonesia mencapai 67 tahun dan

jumlah populasi usia lanjut sebanyak 17 juta (7%). Pada tahun 2006 usia

harapan hidup mencapai 66 tahun, dan jumlah usia lanjut 19 juta (8,9%).

Menurut perkiraan pada tahun 2020, usia harapan hidup di Indonesia yaitu 71

tahun dan jumlah usia lanjut mencapai ±28,8 juta jiwa (11,34%). Ini

merupakan peringkat tertinggi keempat setelah Republik Rakyat Cina (RRC),

India, dan Amerika Latin.1,2 Sedangkan untuk provinsi Kalimantan Timur

dilaporkan jumlah usia lanjut pada tahun 2005 yaitu 87.000 dan pada tahun

2009 meningkat menjadi 90.801 jiwa. Sementara itu jumlah usia lanjut

berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada

tahun 2010 yaitu 97.748 jiwa. Angka ini akan terus meningkat dari tahun ke

tahun.3,4

Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut di dunia khususnya

Indonesia dan Kalimantan Timur disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-

faktor tersebut antara lain: penurunan angka mortalitas, perkembangan vaksin

dan antibiotik, perbaikan gizi, perbaikan kesehatan masyarakat serta kemajuan

Page 2: hasil IKM

dalam terapi dan pencegahan penyakit kardiovaskuler. Namun ternyata

peningkatan jumlah usia lanjut ini akan membawa dampak di bidang

kesehatan, karena akan diikuti oleh bertambahnya penyakit yang berhubungan

dengan proses penuaan. Sedikitnya 80% dari usia lanjut diatas 65 tahun

mempunyai satu penyakit kronis dan banyak diantaranya mempunyai lebih

dari satu penyakit. Selain itu berbagai masalah fisik biologik, psikologik dan

sosial juga akan bermunculan pada penduduk usia lanjut.5,6

Salah satu masalah yang sering kali terjadi pada usia lanjut adalah

penurunan fungsi kognitif. Kognitif merupakan kemampuan pengenalan dan

penafsiran seseorang terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa,

memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. DSM-IV mengklasifikasikan

tiga kelompok gangguan pada fungsi kognitif yaitu Delirium, Demensia, dan

Amnestik.7

Pada sebagian orang menurunnya kemampuan kognitif sering kali

dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi pada

mereka yang berusia lanjut, padahal penurunan fungsi kognitif yang progresif

dan terus-menerus akan meningkatkan resiko seseorang menderita Demensia.

Demensia atau yang lebih dikenal dengan pikun merupakan suatu keadaan

hilangnya fungsi kognitif disertai kemunduran intelektual berat dan progresif

yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang

yang paling ditakuti saat ini.1

Demensia berpotensi mengakibatkan dampak yang dapat

menghancurkan sistem kesehatan masyarakat. Hal ini tidak hanya disebabkan

2

Page 3: hasil IKM

karena penduduk bertambah tua, tetapi juga dikarenakan Demensia adalah

suatu penyakit kronis yang menyebabkan seseorang kesulitan dalam menjalani

hidupnya. Berdasarkan data dari WHO (World Heath Organization),

disebutkan bahwa beban penyakit Demensia melebihi beban penyakit malaria,

tetanus, kanker payudara, dan penyalahgunaan obat-obatan. Disebutkan pula

bahwa beban penyakit akibat Demensia diperkirakan akan meningkat

sebanyak lebih dari 76% selama seperempat abad mendatang.8

Berdasarkan data, pada tahun 2005 penderita Demensia di kawasan

Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta jiwa dan menjelang tahun 2050 jumlah ini

diperkirakan meningkat menjadi 64,6 juta. Prevalensi dan insiden Demensia di

Indonesia (dalam ribuan) pada tahun 2005 yaitu 606,1 dan 191,4. Pada tahun

2020 prevalensi dan insiden Demensia diperkirakan akan meningkat menjadi

1.016,8 dan 314,1. Dan pada tahun 2050 diperkirakan prevalensi dan insiden

Demensia mencapai angka 3.042,0 dan 932,0.8

Melihat besarnya angka prevalensi dan insiden Demensia di Indonesia,

maka penurunan fungsi kognitif sebagai gejala dini Demensia, khususnya

pada usia lanjut, perlu untuk dideteksi sedini mungkin dan seakurat mungkin.

Hal tersebut dikarenakan kegagalan diagnosis dini Demensia dapat

menimbulkan penanganan yang tidak berguna dan pada hakikatnya akan

memberikan beban tambahan pada penderita dan keluarga. Diagnosis

Demensia yang tepat yang diikuti penatalaksanaan yang terarah akan

memberikan hasil yang optimal, mengurangi beban ekonomi, sosial dan emosi

3

Page 4: hasil IKM

serta memberi peluang yang lebih baik bagi pasien dan keluarga dalam

merencanakan kehidupannya di masa mendatang.1

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk

mengetahui ada tidaknya penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut yang

tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Nirwana Puri Samarinda,

sebagai salah satu bentuk deteksi dini terjadinya Demensia. Pemeriksaan

dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa MMSE (Mini Mental State

Examination), merupakan perangkat tes yang sering digunakan oleh klinisi

untuk mendeteksi penurunan fungsi kognitif.9 Selanjutnya penelitian ini

dikhususkan untuk memberikan gambaran mengenai faktor resiko terjadinya

penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri. Banyak

faktor yang menyebabkan tingginya resiko seseorang mengalami penurunan

fungsi kognitif diantaranya usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.

Merokok juga termasuk dalam faktor resiko, akan tetapi peranannya dalam

penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut masih terus diteliti. Keempat faktor

resiko ini lah yang nantinya akan diteliti secara langsung oleh peneliti pada

usia lanjut yang tinggal di PSTW Nirwana Puri. Peneliti tidak meneliti faktor-

faktor resiko yang lain dikarenakan keterbatasan data-data yang ada di panti

jompo tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

4

Page 5: hasil IKM

Bagaimana gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di

Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun 2010 ?

1.2.1 Sub Masalah

Bagaimana gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia

lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun

2010 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan

kebiasaan merokok usia lanjut ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum :

Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada

usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda

tahun 2010.

1.3.2 Tujuan Khusus :

Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada

usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda

tahun 2010 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan

kebiasaan merokok usia lanjut.

1.4 Manfaat Penelitian

5

Page 6: hasil IKM

1.4.1 Manfaat praktis

- Memberikan informasi mengenai status fungsi kognitif pada usia

lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda dan diharapkan dapat memberi pengetahuan untuk

mengurangi terjadinya Demensia pada usia lanjut.

- Meningkatkan derajat kesehatan usia lanjut pada khususnya,

meningkatkan derajat kesehatan dan usia harapan hidup bangsa

Indonesia pada umumnya.

- Untuk institusi terkait dalam hal ini Panti Sosial Tresna Werdha

Nirwana Puri diharapkan dapat dijadikan masukan untuk

mendapatkan informasi yang lebih luas tentang permasalahan yang

sedang dihadapi oleh usia lanjut.

- Untuk pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan dan Dinas

Sosial RI, agar dapat dijadikan salah satu acuan untuk menyusun

strategi atau kebijakan dalam upaya peningkatan kesehatan dan

kesejahteraan pada usia lanjut.

1.4.2 Manfaat ilmiah

- Memperkaya informasi dan pengetahuan kedokteran terutama di

bidang ilmu penyakit jiwa khususnya mengenai Demensia.

- Menambah informasi dan pengetahuan dibidang Geriatri-

Gerontologi.

6

Page 7: hasil IKM

- Sebagai dasar penelitian ilmiah selanjutnya dan perlu di

kembangkan dalam upaya pemecahan masalah kesehatan pada usia

lanjut untuk menunjang program kesehatan.

1.4.3 Manfaat bagi peneliti

- Sebagai sarana pembelajaran dan penerapan dari ilmu-ilmu yang

telah diperoleh selama perkuliahan khususnya ilmu penyakit jiwa.

- Meningkatkan pengalaman dan keterampilan peneliti dalam

menganalisis permasalahan yang ada di masyarakat.

- Sebagai pemenuhan tugas dalam memperoleh gelar sarjana

kedokteran.

7

Page 8: hasil IKM

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Penuaan (Aging)

2.1.1 Hipotesa tentang proses penuaan

Proses penuaan disebut senescence (dari bahasa Latin senescere,

berarti menjadi tua) dan ditandai oleh penurunan bertahap pada fungsi

semua sistem tubuh yaitu kardiovaskuler, pernafasan, genitourinarius,

endokrin, kekebalan, dan lainnya. Secara umum proses menua didefinisikan

sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik,

progresif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan

berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dan untuk dapat

bertahan hidup. Proses menua antar individu dan antar organ tidaklah sama,

hal ini dikarenakan proses menua amat dipengaruhi oleh penyakit-penyakit

degeneratif, kondisi lingkungan serta gaya hidup.5,10

Berbagai teori tentang proses menua telah banyak dikemukakan,

namun demikian data-data dan fakta berdasarkan eksperimen belakangan ini

lebih mengarah pada teori cellular based theories of aging, karena

perubahan selular dianggap menjadi dasar perubahan di tingkat sistem organ

dan populasi. Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli biologi bernama

Weissman (1891). Weissman kemudian membedakan dua jenis sel manusia,

yaitu sel tubuh (somatic cells) dan sel kelamin (germ cells). Karena

diferensiasi sel tubuh dan kegagalan untuk membelah diri, akhirnya sel

8

Page 9: hasil IKM

tubuh mengalami proses penuaan dan akhirnya terjadi kematian pada

manusia tersebut.5,11

Penelitian-penelitian mengenai proses penuaan dari tahun ke tahun

terus berkembang. Pada tahun 1960, penelitian yang dilakukan oleh

Hayflick dan Moorhead mengungkapkan bahwa sel manusia terus-menerus

akan mengalami proses proliferasi atau pembelahan sel yang cepat. Proses

tersebut pada suatu waktu akan mengalami penurunan yang disebut sebagai

proses penuaan sel disusul dengan kematian sel.11

Teori biologis tentang proses penuaan kemudian dibagi menjadi teori

intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan

usia timbul akibat penyebab di dalam sel sendiri, sedangkan teori ekstrinsik

menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi diakibatkan oleh pengaruh

lingkungan. Teori intrinsik atau teori genetik menjelaskan bahwa di dalam

tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya

proses penuaan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Weissman

serta Hayflick dan Moorhead sebelumnya. Teori genetik mengakui adanya

mutasi somatik (somatic mutation), yang mengakibatkan kegagalan atau

kesalahan di dalam penggandaan DNA. Sedangkan Teori ekstrinsik atau

teori non genetik terdiri dari berbagai teori seperti teori radikal bebas, teori

cross-link, teori glikasi, teori kekebalan (immunologic theory) serta teori

fisiologis. Teori-teori ini kemudian menjelaskan tentang mekanisme

terjadinya penuaan.5,11

9

Page 10: hasil IKM

Salah satu penyebab terjadinya proses penuaan adalah terjadinya

perubahan pada DNA, RNA, dan protein. Sebagai contoh terjadi mutasi dan

anomali kromosom terus-menerus, yang kemudian akan terakumulasi dari

tahun ke tahun. Selain mutasi dan anomali, dikatakan pula bahwa kesalahan

duplikasi DNA yang terus-menerus meningkat akibat bertambahnya usia,

akan terakumulasi. Hasil akumulasi dari kesalahan genetik ini dalam jumlah

yang bermakna akan menyebabkan penuaan.5

Teori radikal bebas dipercaya sebagai teori yang dapat menjelaskan

terjadinya proses menua. Radikal bebas merupakan molekul, fragmen

molekul atau atom dengan elektron bebas tak berpasangan. Radikal bebas

ini terjadi dalam sistem metabolik, akibat polusi asap industri atau

kendaraan bermotor, radiasi, pestisida, zat pengawet makanan, kerusakan sel

atau sel mati pada penyakit seperti hepatitis dan kanker. Karena radikal

bebas sangat aktif, zat ini mudah terikat dengan molekul lain dan fungsi

molekul berubah. Radikal bebas dapat terikat pada DNA dan RNA pada inti

sel, sehingga terbentuk protein yang abnormal dan menimbulkan gangguan

fungsi sel. Radikal bebas ini merusak sel dan mengganggu fungsi sel dan

dapat menimbulkan penyakit, degenerasi sel serta mempercepat proses

penuaan.11

Teori kekebalan atau immunologic theory menjelaskan bahwa

perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan

dalam sel T sehingga produksi antibodi dan kekebalan menurun. Hal ini

terlihat pula pada mengecilnya kelenjar thymus pada usia lanjut. Padahal,

10

Page 11: hasil IKM

sistem kekebalan terlaksana berkat berfungsinya dengan baik jaringan

kelenjar limfa, sumsum tulang, tonsil, kelenjar thymus. Hal ini kemudian

berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian

pada usia lanjut akibat penyakit infeksi tertentu seperti meningitis,

tuberkulosis, pneumonia pneumokokus, influenza, dll.11

2.1.2 Perubahan pada otak akibat proses penuaan

2.1.2.1 Perubahan fungsi otak

Otak akan mengalami proses penuaan meliputi atrofi otak

yaitu sekitar 5-10% pada usia antara 30-70 tahun. Pada usia lanjut

atrofi terutama terjadi pada daerah hipokampus yang merupakan

pusat pengaturan proses belajar, memori, dan emosi. Setiap tahunnya

otak kehilangan sekitar 100.000 neuron, hal ini dikarenakan secara

berangsur-angsur tonjolan dendrit pada neuron hilang disusul

membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif

akan terjadi fragmentasi dan kematian sel neuron. Gangguan pada

sel neuron ini meliputi penurunan fungsi saraf aferen yang

menyebabkan terjadinya penurunan penyampaian informasi sensorik

dari luar serta penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer

yang menyebabkan gangguan persepsi sensorik. Selain itu terjadi

pula gangguan pada pusat pengendalian saraf otonom (hipotalamus)

yakni bagian otak yang mengatur sekresi hormon. Medulla spinalis

ikut mengalami penurunan fungsi sehingga mempengaruhi

pergerakan otot dan sendi pada usia lanjut. Beberapa perubahan

11

Page 12: hasil IKM

fungsi ini akhirnya menimbulkan beberapa tanda klinis yang

berhubungan dengan proses penuaan, antara lain: perubahan memori,

aktivitas motor, gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas,

dingin), mood, pola tidur, dan fungsi neuroendokrin. Penurunan

kemampuan intelektual (kognitif) pun dimasukkan sebagai tanda

telah terjadinya suatu penuaan, walaupun pada sebagian orang

berusia lanjut hal tersebut tidaklah terjadi.5,9,11

2.1.2.2 Perubahan struktur otak

1. Perubahan yang terjadi di sel otak dan saraf berupa :

a. Jumlah sel menurun, dan fungsi digantikan sel yang tersisa

b. Terganggunya mekanisme perbaikan sel

c. Kontrol nukleus sel terhadap sitoplasma menurun

d. Terjadi perubahan jumlah dan struktur mitokondria

e. Degenerasi lisosom yang mengakibatkan hidrolisa sel

f. Berkurangnya butir Nissl

g. Terjadi penggumpalan kromatin

h. Terjadi penambahan pigmen lipofuscin

i. Terjadi vakuolisasi protoplasma

2. Perubahan yang terjadi di otak usia lanjut :

a. Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%, ukurannya

mengecil, terutama di bagian parasagital, frontal dan

parietal.

12

Page 13: hasil IKM

b. Jumlah neuron berkurang dan tidak dapat diganti baru.

Disamping itu terjadi penyusutan sel pyramidal cortex

cerebral dan penurunan sel non pyramidal.

c. Terjadi pengurangan neurotransmitter

Sel pyramidal: asam amino, asam glutamik dan asam

aspartik

Sel nonpyramidal: Gamma Amino Butyric Acid

(GABA), neuropeptides, somatostatin

Lain-lain: monoamines, dopamine, noradrenaline,

serotonin.

d. Terbentuknya struktur abnormal di otak dan

terakumulasinya pigmen organik-mineral seperti lipofuscin,

plak amiloid dan neurofibrillary tangles.

e. Perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak,

seperti gangguan indera telinga, mata, gangguan

kardiovaskuler, gangguan kelenjar thyroid dan

kortikosteroid.

3. Selain itu terdapat pula perubahan-perubahan pada sel dan

jaringan ketika seseorang menjadi usia lanjut :

a. Adanya perubahan genetik yang mengakibatkan

terganggunya metabolisme protein.

b. Gangguan metabolisme asam nukleat dan DNA.

13

Page 14: hasil IKM

c. Terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil yang

mengakibatkan gangguan genetik.

d. Gangguan kegiatan enzim dan sistem pembuatan enzim.

e. Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan

hati.

f. Terjadi pengurangan parenkim.

g. Terjadi penurunan sitoplasma protein.

h. Peningkatan metaplasmik protein seperti kolagen dan

elastin.11

2.2 Fungsi Kognitif pada Usia lanjut

2.2.1 Definisi Usia lanjut

Berdasarkan WHO, usia lanjut dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

usia lanjut (elderly) berusia antara 60-74 tahun, tua (old) 75-90 tahun, dan

sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.12 Menurut UU RI No.13

tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia lanjut, disebutkan bahwa usia lanjut

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.13

2.2.2 Fungsi Kognitif

Intelektual, emosi, serta tingkah laku manusia sehari-hari sangatlah

kompleks dan bervariasi, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah

gangguan dari ketiga hal tersebut dapat dijadikan indikator adanya kelainan

pada otak. Nyatanya intelektual, emosi, serta tingkah laku sehari-hari

memiliki area pengaturan yang berbeda (anatomi yang berbeda) serta

14

Page 15: hasil IKM

interpretasi yang berbeda juga (paralise sensorik dan motorik atau aphasia).

Komponen dari mental dan tingkah laku yang diamati meliputi perhatian,

persepsi dan interpretasi, daya ingat (baik jangka pendek maupun jangka

panjang), kemampuan berpikir dan memberi alasan, emosi dan mood,

inisiatif, bersosialisasi, pemahaman. Dari semua itu, perhatian serta persepsi

dan interpretasi berhubungan dengan fungsi sensorik. Daya ingat atau

memori serta kemampuan berpikir berhubungan dengan fungsi kognitif.

Emosi dan mood, afektif. Inisiatif berhubungan dengan fungsi conative,

bersosialisasi menunjukkan kemampuan seseorang berinteraksi dengan

lingkungan sekitarnya, dan pemahaman menunjukkan kapasitas seseorang

mengerti sesuatu hal. Masing-masing komponen tersebut memiliki sisi

objektif dan sisi subjektif. Objektif ditunjukkan sebagai respon tingkah laku

diproduksi oleh beberapa stimulus. Sedangkan subjektif ditunjukkan dalam

proses berpikir dan perasaan yang digambarkan oleh seseorang sebagai

bentuk respon terhadap stimulus.14

Studi proses menua yang dilakukan oleh Baltimore Longitudinal

Study menyimpulkan bahwa terjadi perubahan proses kognisi seiring dengan

bertambahnya usia, misalnya kecepatan belajar dan kecepatan memecahkan

masalah serta memori. Kemampuan visuospasial (seperti menggambar

objek tiga dimensi, menyusun suatu balok) serta kemampuan verbal (diukur

melalui kecepatan memberi nama suatu objek, menyebutkan kata yang

berlawanan dengan huruf tertentu) juga menurun seiring dengan

bertambahnya usia. Umumnya kemampuan-kemampuan yang menyangkut

15

Page 16: hasil IKM

fungsi kognitif ini mulai menurun sejak memasuki usia 60-an, dan akan

semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Namun demikian,

kemampuan verbal (seperti kosa kata, informasi, perbandingan) masih

terpelihara baik sampai usia 80 tahun.5

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat

(DSM-IV) mengklasifikasikan tiga kelompok gangguan yaitu Delirium,

Demensia, dan gangguan Amnestik ke dalam kategori gangguan kognitif.

Walaupun DSM-IV menyatakan bahwa gangguan psikiatrik lain dapat

memiliki suatu gangguan kognitif sebagai suatu gejalanya, tetap saja

gangguan kognitif merupakan gejala umum dari Delirium, Demensia, dan

gangguan Amnestik.7

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif

1. Usia

Semakin lanjut usia seseorang maka resiko untuk terjadinya

penurunan kognitif akan semakin besar. Menurut penelitian,

prevalensi Demensia adalah 3% dari populasi penduduk usia 60

tahun ke atas.15 Sedangkan menurut Asosiasi Alzheimer

Indonesia (AAzI), pada usia 65 tahun insiden Demensia

mencapai 15%, jumlah ini akan meningkat dua kali setiap

kenaikan umur 5 tahun.1 Penelitian yang lain menyebutkan

bahwa prevalensi Demensia hampir 5% pada populasi usia di

atas 65 tahun dan menunjukkan peningkatan yaitu 14% pada

usia 65-69 tahun dan 24-50% pada usia 85 tahun ke atas. Dari

16

Page 17: hasil IKM

peningkatan angka kejadian Demensia tersebut dapat diketahui

bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka fungsi kognitif akan

semakin mengalami penurunan.9,16

2. Jenis kelamin

Meski menjadi hal yang wajar akibat proses penuaan, ternyata

pikun lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria.

Namun demikian tidak ada perbedaan yang signifikan atara jenis

kelamin dan Demensia.17 Selain osteophorosis, jantung koroner

dan stroke, dampak lain dari kekurangan estrogen pada jangka

waktu lama adalah Demensia.18 Daya ingat wanita cenderung

cepat tumpul karena penurunan hormon estrogen saat

menopause, yang lebih dini dibandingkan pria. Hal ini lah yang

menyebabkan fungsi kognitif pada wanita lebih cepat menurun.

Di otak, reseptor estrogen terutama terletak pada area dimana

terdapat fungsi belajar dan mengingat, seperti hipokampus dan

amygdala.19 Salah satu penelitian menyebutkan prevalensi

wanita menderita Demensia lebih tinggi dibanding pria, karena

umumnya pria mengalami tahapan MCI (Mild Cognitive

Impairment) terlebih dahulu sebelum akhirnya mengalami

Demensia, sementara wanita langsung mengalami Demensia

bila terjadi gangguan fungsi kognitif tanpa mengalami tahapan

MCI.20

17

Page 18: hasil IKM

3. Stroke

Serangan stroke yang berturut-turut dapat menyebabkan

penurunan fungsi kognitif dan meningkatkan resiko terjadinya

Demensia sebesar 4 sampai 12 kali. Serangan-serangan stroke

ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak.

Semakin luas lesi akibat stroke yang dilihat dari CT-scan kepala

pasien, maka semakin berat pula penurunan fungsi kognitif yang

terjadi. Resiko penurunan ini meningkat sesudah serangan

stroke.21

4. Nutrisi

Vitamin B diketahui memiliki peranan dalam terjadinya

Demensia. Penelitian menyebutkan hal ini berhubungan dengan

hiperhomosisteinemia, dimana ditemukan angka kejadian

Demensia lebih tinggi pada orang dengan homosistein yang

tinggi (hiperhomosisteinemia) dibandingkan orang yang

memiliki homosistein yang lebih rendah. Hiperhomosisteinemia

ini dikarenakan defisiensi asam folat atau vitamin B6 atau

vitamin B12 berdampak pada gangguan dalam metabolisme

homosistein, sehingga homosistein tidak dapat diubah menjadi

metionin dan sistein. Pada akhirnya defisiensi vitamin B ini

pada usia lanjut berhubungan dengan lemahnya fungsi kognitif

dan rendahnya nilai kemampuan bahasa dan ekspresi.22,23

18

Page 19: hasil IKM

Salah satu jenis vitamin B, kolin, adalah bahan dasar asetilkolin

yaitu neurotransmitter yang berperan aktif dalam pembentukan

memori di saraf otak. Jenis vitamin B lain, niasin, membantu

sintesis dan perbaikan DNA. Kekurangan niasin meningkatkan

kemungkinan menderita Alzheimer sebesar 80%. Orang-orang

yang sangat kekurangan vitamin B memiliki gelombang otak

yang abnormal, menyebabkan memori yang rusak dan gangguan

psikologis lainnya.24

5. Tekanan darah

Tekanan darah yang tinggi pada usia muda atau pertengahan,

diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan fungsi

kognitif pada usia lanjut. Hasil penelitian di Honolulu

menyebutkan bahwa setiap peningkatan 10 mmHg tekanan

darah sistolik (TDS) terdapat peningkatan risiko sebesar 7%

timbulnya penurunan fungsi kognitif sedang dan 9% timbulnya

fungsi kognitif yang buruk. Selain hipertensi, hipotensi (tekanan

darah sistole <140 mmHg) dan tekanan nadi yang rendah (<70

mmHg) juga menunjukkan peningkatan resiko terjadinya

Demensia pada usia lanjut.25

6. Tingkat pendidikan

Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan antara angka

kejadian Demensia pada usia lanjut dengan tingkat pendidikan,

hal ini terlihat dari skor-skor pada pemeriksaan status fungsi

19

Page 20: hasil IKM

kognitif, sebagai contoh MMSE, berbanding lurus dengan

tingkat pendidikan usia lanjut. Ini dikarenakan beberapa

komponen dalam pemeriksaan tersebut menuntut kecakapan

usia lanjut dalam hal mengkalkulasi, berbahasa, orientasi serta

registrasi. Tentu saja keempat komponen tersebut akan sukar

dilakukan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang rendah.26

Penelitian lain menyatakan bahwa pendidikan tinggi ternyata

dapat menunda terjadinya Demensia, karena pendidikan

diketahui dapat meningkatkan memori otak dengan

meningkatkan densitas sinaps-sinaps neurokortikal.27,28

7. Pola hidup dan faktor kebiasaan

Rutin berolahraga dan rajin melakukan kegiatan-kegiatan

intelektual yang mengasah otak pada saat berusia lanjut

diketahui dapat menurunkan resiko terjadinya penurunan fungsi

kognitif. Kegiatan-kegiatan intelektual yang mengasah otak,

seperti: bermain catur, mengisi teka-teki silang, berdiskusi

mengenai topik aktual serta membaca koran harus sering-sering

dilakukan oleh para usia lanjut karena menurut penelitian,

kegiatan-kegiatan semacam ini dapat meningkatkan stimulasi

kognitif dan mendorong berkembangnya dendrit serta

meningkatnya plastisitas sistem saraf pusat, sehingga fungsi

kognitif tetap bertahan baik.15,29,30

20

Page 21: hasil IKM

Rutin berolahraga ringan bagi usia lanjut, seperti berjalan kaki

ataupun aerobik, berdampak positif terhadap perbaikan fungsi

kognitif usia lanjut yang mengidap gangguan fungsi kognitif

ringan. Hal ini dikarenakan olahraga ataupun kegiatan-kegiatan

fisik lainnya dapat meningkatkan aliran darah otak dan produksi

fakor-faktor pertumbuhan untuk saraf, sehingga lebih lanjut

mengurangi resiko terjadinya Demensia.31,32,33

8. Penurunan fungsi kognitif juga dapat terjadi setelah seseorang

mengalami trauma kepala atau cardiac arrest.34

9. Merokok

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan

sebelumnya, diketahui bahwa merokok memiliki kaitan dengan

kejadian Demensia. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa

konsumsi nikotin ternyata akan lebih meningkatkan efek yang

merugikan bagi otak maupun kesehatan jantung dan

berpengaruh terhadap penurunan fungsi kognitif serta

Demensia.35 Penelitian berbeda menyebutkan efek nikotin

meningkatkan atensi, konsentrasi, fungsi kognitif serta

memperbaiki penurunan daya ingat pada penderita Demensia

Alzheimer.36,37,38,39

Penelitian lainnya menyebutkan mereka yang dulunya merokok

dan kini sudah berhenti, memiliki resiko dua kali lipat

dibandingkan dengan mereka yang sama sekali tidak pernah

21

Page 22: hasil IKM

merokok. Dan mereka yang merokok sepanjang hidupnya akan

lebih cepat mengalami kehilangan daya ingat. Penelitian yang

sama menunjukkan bahwa merokok pada usia pertengahan

menimbulkan adanya kecenderungan penurunan daya ingat dan

perubahan fungsi ingatan dibandingkan dengan mereka yang

tidak merokok sebelum menginjak usia 60 tahun.40 Penelitian

yang dilakukan oleh Dr. Kareen J. Anstey dkk dari The

Australian National University, menyebutkan bahwa orang yang

mulai aktif merokok ketika berusia lanjut memiliki resiko

penurunan fungsi kognitif dan Demensia 40-80% lebih tinggi

dibanding usia lanjut yang tidak pernah merokok seumur

hidupnya. Namun demikian, berdasarkan penelitian tersebut

tidak ditemukan adanya peningkatan resiko Demensia dan

adanya penurunan fungsi kognitif bagi usia lanjut yang aktif

merokok selama hidupnya jika dibandingkan dengan usia lanjut

yang tidak pernah merokok sama sekali. Sedangkan untuk

mantan perokok, jika dibandingkan dengan usia lanjut yang

tidak pernah merokok, tidak ditemukan adanya peningkatan

resiko terjadinya Demensia, tetapi pada pemeriksaan MMSE

didapatkan penurunan skor MMSE tiap tahunnya.41 Penelitian

lain menyebutkan merokok tidak mempengaruhi fungsi kognitif

individu, dan tidak ditemukan adanya perbedaan yang berarti

antara usia lanjut yang merokok maupun tidak merokok

22

Page 23: hasil IKM

terhadap fungsi kognitifnya setelah disesuaikan dengan faktor

resiko lainnya seperti usia dan tingkat pendidikan.42,43

2.3 Demensia

2.3.1 Definisi

Demensia adalah sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat

kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (kortikal yang

multiple) yaitu: daya ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman,

berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, kemampuan menilai. Kesadaran

tidak berkabut, biasanya disertai hendaya fungsi kognitif, dan ada kalanya

diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi,

perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer,

pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau

sekunder mengenai otak.44

2.3.2 Epidemiologi

Dari beberapa tipe Demensia, yang terbanyak diderita oleh usia

lanjut yaitu Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Dari penelitian,

untuk kawasan Amerika dan Eropa, didapatkan hasil bahwa sekitar 50

hingga 60 persen dari total penderita Demensia, menderita Demensia

Alzheimer (Alzheimer’s diseases). 15 hingga 30 persen dari total penderita

Demensia, menderita Demensia Vaskuler.7 Angka ini berbeda dengan yang

ditemukan di kawasan Asia. Persentase kejadian Demensia Vaskuler di

kawasan Asia justru mencapai 50% dari total kejadian Demensia dan

apabila dilihat dari etiologinya Demensia Pasca-stroke merupakan 15-30%

23

Page 24: hasil IKM

dari Demensia Vaskuler, angka ini akan terus meningkat seiring dengan

bertambahnya usia.16

2.3.3 Klasifikasi Demensia

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia III (PPDGJ III), Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan

umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya.45,46

1. Menurut umur :

a. Demensia senilis (>65th)

b. Demensia prasenilis (<65th)

2. Menurut perjalanan penyakit :

a. Irreversibel

b. Reversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma,

defisiensi vitamin B, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)

3. Menurut kerusakan struktur otak :

a. Tipe Alzheimer

b. Tipe non-Alzheimer

c. Demensia vaskular

d. Demensia Jisim Lewy (Lewy Body Dementia)

e. Demensia Lobus frontal-temporal

f. Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)

g. Morbus Parkinson

h. Morbus Huntington

i. Morbus Pick

24

Page 25: hasil IKM

j. Morbus Jakob-Creutzfeldt

k. Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker

l. Prion disease

m. Palsi Supranuklear progresif

n. Multiple skeloris

o. Neurosifilis

p. Tipe campuran

4. Menurut sifat klinis :

a. Demensia proprius

b. Pseudo-demensia

Dari klasifikasi Demensia di atas, diketahui bahwa jenis-jenis Demensia

sangatlah beragam. Namun demikian, Demensia Alzheimer dan Demensia

Vaskuler merupakan dua jenis Demensia yang seringkali dijumpai dalam

masyarakat. Berikut akan dijelaskan secara ringkas mengenai kedua jenis

Demensia tersebut.

1. Demensia Alzheimer

Demensia tipe ini pertama kali digambarkan oleh Alois Alzheimer

pada tahun 1907. Digambarkan oleh Alois Alzheimer suatu kondisi dimana

seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan Demensia yang

progresif selama 4,5 tahun. Kondisi ini selanjutnya diberi nama sesuai

namanya sendiri yaitu Alzheimer.10

25

Page 26: hasil IKM

Diketahui beberapa faktor resiko dalam perkembangan Demensia

Alzheimer, yaitu: wanita, genetik (riwayat keluarga atas penyakit yang

sama), dan mempunyai riwayat cedera kepala. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa 40% dari pasien Demensia mempunyai riwayat keluarga

menderita Demensia Alzheimer, sehingga dapat disimpulkan bahwa

setidaknya dari beberapa kasus faktor genetik memang mempengaruhi

perkembangan Demensia Alzheimer. Penelitian selanjutnya diketahui

bahwa Sindroma Down juga secara karakteristik berhubungan dengan

perkembangan Demensia Alzheimer.7

Berdasarkan penelitian, dikatakan bahwa penderita Sindroma

Down (trisomi 21) mempunyai resiko lebih besar untuk terjadinya

Demensia Alzheimer. Bahkan insiden Demensia Alzheimer pada Sindroma

Down 3 sampai 5 kali lebih banyak dibanding orang normal. Selain insiden

terjadinya Demensia Alzheimer yang lebih banyak dibanding orang normal,

penderita Sindroma Down juga diketahui mengalami Demensia lebih awal.

Kisaran usia kemunculannya lebih cepat 20 tahun dibanding orang normal

pada umumnya, yaitu berkisar antara usia 30 hingga 40 tahun. Hal ini

terlihat dari 25% penderita Sindroma Down berumur di atas 35 tahun telah

menunjukkan gejala-gejala Demensia Alzheimer. Adanya ekstra gen akibat

abnormalitas kromosom ketiga (trisomi 21) pada Sindroma Down

merupakan suatu faktor penyebab berkembangnya penyakit Alzheimer lebih

dini.47

26

Page 27: hasil IKM

Diagnosa akhir Demensia Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan

neuropatologi otak penderita. Penelitian neuroanatomi otak klasik pada

pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi dengan

pendataran sulkus kortikalis dan dilatasi ventrikel serebri, dapat diketahui

pada CAT scanning.7,48

Ada tiga perubahan mikroskopis klasik dan patognomonik pada Demensia

Alzheimer, yaitu:

a. Bercak penuaan (senile atau neuritic plaque), berupa deposit

material amorf (amiloid) yang dikelilingi oleh akson dan dendrit

yang abnormal serta mikroglia dan astrosit reaktif. Komponen

utama amiloid di dalam neuritic plaque yaitu protein beta

amiloid/A4, yang merupakan neurotoksik. Hasil penelitian

menunjukkan adanya protein beta amiloid/A4 secara langsung

menyebabkan kematian sistem saraf pada penyakit Alzheimer.

Senile atau neuritic plaque ini banyak tersebar pada korteks

serebri.49

b. Neurofibrillary tangles berupa massa berbentuk simpul,

kumparan atau kekusutan serabut neuron di dalam sitoplasma

sel neuron. Pada dasarnya neurofibrillary tangles dan neuritic

plaque ditemukan pada otak normal orang dengan usia lanjut.

Tetapi ketika ditemukan jumlahnya yang meningkat pada otak,

dikatakan sebagai tanda telah terjadinya Alzheimer.50

Neurofibrillary tangles ditemukan terutama dalam girus

27

Page 28: hasil IKM

hipokampus, lainnya dalam amigdala dan lobus temporalis di

dekatnya, girus singuli lokus sereleus serta sedikit dalam

substansi nigra. Selain ditemukan pada demensia Alzheimer,

ternyata neurofibrillary tangles ini juga ditemukan pada

penyakit lain, seperti Demensia Parkinson.49

c. Degenerasi granulovakuola, terutama ditemukan pada sel-sel

piramidal dalam hipokampus, juga korteks serebri.49

2. Demensia Vaskuler

Demensia Vaskuler paling sering ditemukan pada laki-laki dengan

kisaran usia antara 60 sampai 70 tahun. Hipertensi merupakan faktor

predisposisi bagi seseorang untuk menderita Demensia tipe ini. Gangguan

terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang

yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim multipel yang

menyebar luas pada otak. Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah

oleh plaque arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain (misalnya

katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil

funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung.7,10

Penurunan fungsi kognitif pada Demensia Vaskuler tergantung

pada jenis gangguannya. Dapat akut atau tiba-tiba bila terjadi gangguan

pembuluh darah secara mendadak, dan akan menurun lagi bila serangan itu

berulang.15

28

Page 29: hasil IKM

2.3.4 Tanda dan Gejala Demensia

1. Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.

2. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.

3. Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings

4. Defisit neurologik motor & fokal

5. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang

6. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoid

7. Agnosia, apraxia, afasia

8. ADL (Activities of Daily Living) susah

9. Kesulitan mengatur penggunaan keuangan

10. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian

11. Lupa meletakkan barang penting

12. Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting

13. Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang

14. Mudah terjatuh, keseimbangan buruk

15. Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi

16. Tak dapat makan dan menelan

17. Koma dan kematian.45

2.3.5 Diagnosis

Diagnosis Demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien,

termasuk pemeriksaan status mental, dan informasi dari anggota keluarga

maupun kerabat terdekat. Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual

dan menjadi pelupa harus diperhatikan. Selain itu, dengan ditunjang

29

Page 30: hasil IKM

pemeriksaan CT scan juga MRI, sensitivitas diagnostik mencapai 85-90%.

7,49

2.3.6 Diagnosis Banding

1. Delirium

Tabel 2.1 Perbedaan klinis Delirium dan Demensia45

Gambaran Delirium Demensia

Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik

Awal Cepat Lambat laun

Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, dehidrasi, guna/putus obat

Biasanya penyakit otak kronik (spt Alzheimer, demensia vaskular)

Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun

Perjalanan sakit Naik turun Kronik progresif

Taraf kesadaran Naik turun Normal

Orientasi  Terganggu, periodic Intak pada awalnya

Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas

Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya

Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat

Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang terganggu

Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali sundowning

Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal

Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya

Atensi & kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu

Reversibilitas Sering reversible Umumnya tak reversibel

Penanganan Segera Perlu tapi tak segera

30

Page 31: hasil IKM

2.

2. De2. Depresi

Pasien dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum

memiliki gejala-gejala depresi yang mencolok, umumnya pasien

depresi lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami

daripada pasien dengan demensia.7

3. Pseudodemensia

Pada pseudodemensia terjadi perubahan tingkah laku yang tiba-

tiba (onset akut) serta penderita memiliki banyak keluhan

padahal hasil tes neuropsikologis menunjukkan tidak adanya

kelainan. Sedangkan pada Demensia onset penyakit perlahan-

lahan dan ditemukan hasil tes neuropsikologis jelek.1

4. Skizofrenia

Dibandingkan dengan Demensia, Skizofrenia memiliki gejala

psikosis dan gangguan fungsi intelektual serta gangguan pikiran

yang lebih ringan.7

5. Proses penuaan yang normal

31

Page 32: hasil IKM

Pada proses penuaan yang normal juga ditemukan adanya

penurunan fungsi kognitif. Hal ini ditandai dengan terjadinya

penurunan daya ingat (memori), hanya saja pada kondisi

penuaan yang normal penurunan daya ingat ini bersifat ringan

dan tidak sampai mengganggu ADL.7

2.3.7 Prognosis

Demensia merupakan gangguan yang perkembangannya progresif

dari tahun ke tahun dan sering berakhir dengan kematian. Hal ini diperberat

dengan riwayat keluarga serta onset dini dari Demensia. Namun demikian,

dengan deteksi dini Demensia serta terapi yang cepat dan tepat, gangguan

yang terjadi dapat diperbaiki (reversible).7

2.3.8 Terapi

Penatalaksanaan pada Demensia dititik beratkan pada :

a. Pencegahan Demensia Vaskuler, dengan pengendalian penyakit-

penyakit jantung dan pembuluh darah.

b. Mengobati penyakit-penyakit yang memperberat kejadian Demensia.

c. Mengobati gejala-gejala gangguan jiwa yang mungkin menyertai

Demensia.

d. Mengatasi masalah penyimpangan perilaku dengan obat-obatan

penenang (transquillizer dan hipnotic) serta pemberian obat-obatan

anti kejang bila perlu.

e. Pendekatan psikologi dalam mengatasi masalah perilaku.

32

Page 33: hasil IKM

f. Memberikan konseling pada keluarga penderita serta orang-orang

yang ada disekitar penderita.51

Secara umum, terapi dari Demensia terbagi dua yaitu :

1. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologi berupa45 :

a. Nootropika :

- Pyritinol (Encephabol) 1 x 100 - 3 x 200 mg

- Piracetam (Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg

- Sabeluzole (Reminyl)

b. Ca-antagonis :

- Nimodipine (Nimotop 1- 3 x 30 mg)

- Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v./i.m.

- Cinnanzine (Stugeron) 1 - 3 x 25 mg

- Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infus

- Pantoyl-GABA

c. Acetylcholinesterase inhibitor :

- Tacnne 10 mg dinaikkan lambatlaun hingga 80 mg (Hepatotoksik)

- Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase

inhibitor, 5 mg 1x /hari

- Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg

- Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg

- Memantine 2 x 5 mg 10 mg.

33

Page 34: hasil IKM

2. Terapi Non Farmakologis

Tiga bentuk utama dalam terapi non-farmakologis bagi penderita

Demensia, yaitu: managing the family, managing the environment, dan

managing the patient. Tujuan terapi non-farmakologis adalah untuk

memperbaiki orientasi realitas pasien, memodifikasi perilaku, membantu

keluarga atau pengasuh dalam pembuatan pelaksanaan program aktivitas

harian penderita, serta memberikan pelatihan yang benar pada keluarga

maupun pengasuh bagaimana menghadapi dan mengasuh penderita

Demensia.51 Termasuk dalam terapi non-farmakologis :

a. Intervensi lingkungan :

- Penyesuaian fisik (bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia)

- Penyesuaian waktu (membuat jadwal rutin)

- Penyesuaian lingkungan malam hari (mandi air hangat, tidur teratur)

- Penyesuaian indera (mata, telinga)

- Penyesuaian nutrisi (makan makanan dgn gizi seimbang).

b. Intervensi perilaku :

- Wandering

Yakinkan dimana keberadaan pasien

Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan di luar ruangan

Gelang pengenal "Hendaya Memori".

- Agitasi dan agresivitas

Hindari situasi yang memprovokasi

34

Page 35: hasil IKM

Hindari argumentasi

Sikap kita tenang dan mantap

Alihkan perhatian ke hal lain.

- Sikap dan pertanyaan yang berulang

Tenang, dengarkan dengan baik, jawab dengan penuh pengertian.

Bila masih berulang, acuhkan dan usahakan alihkan perhatian ke

hal yang menarik pasien.

- Perilaku seksual yang tidak wajar

Tenang dan bimbing pasien keruang pribadinya

Alihkan ke hal yang menarik perhatiannya

Bila didapatkan dalam keadaan telanjang, berilah baju atau

selimut untuk menutupi badannya. Bantu mengenakan baju

kembali.

c. Intervensi psikologis :

- Intervensi psikologis dapat berupa psikoterapi untuk mengurangi

kecemasan, memberi rasa aman dan ketenangan, dalam bentuk:

psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga

- Untuk pengasuh diperlukan: dukungan mental, pengembangan

kemampuan adaptasi dan peningkatan kemandirian, serta

kemampuan menerima kenyataan (realistik).

- Mengatasi mudah “lupa” lakukan: latihan terus-menerus, berulang-

ulang, tingkatkan perhatian, asosiasikan hal yang diingat dengan hal

yang sudah ada dalam otak.53

35

Page 36: hasil IKM

2.4 Mini Mental State Examination (MMSE)

Deteksi penurunan fungsi kognitif dapat dilakukan melalui

pemeriksaan status mental yang meliputi atensi, bahasa, memori jangka pendek,

visuospasial dan fungsi eksekusi serta pemeriksaan fungsi luhur untuk mengetahui

hubungan struktur dan fungsi. Secara kuantitatif untuk mendeteksi penurunan

fungsi kognitif tersebut dapat digunakan 3 jenis perangkat tes, yaitu : Mini Mental

State Examination (MMSE), Clinical Dementia Rating (CDR), Global

Deterioration Scale (GDS).9 Dari ketiga jenis perangkat tes tersebut, yang

sekarang paling sering digunakan oleh klinisi adalah MMSE. MMSE atau

pemeriksaan status mental mini merupakan salah satu pemeriksaan mental mini

yang cukup populer, yang diperkenalkan oleh Folstein et al pada tahun 1975.

MMSE secara luas digunakan sebagai pemeriksaan standar status mental di

banyak negara, dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa

Indonesia.21

MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana, mengikuti

perjalanan penyakit, dan memonitor respon pasien terhadap terapi. Gangguan

tersebut meliputi atensi, orientasi, berhitung, bahasa, ingatan segera, memori

jangka pendek, kemampuan verbal serta kemampuan pasien menulis apa yang

diinstruksikan. Tes ini tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya,

hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Akan tetapi, pada pasien dengan

tingkat pendidikan rendah dan intelegensi yang kurang, memerlukan waktu

pemeriksaan yang lebih lama.54

36

Page 37: hasil IKM

Pengelompokan skor instrumen MMSE menurut kriteria Folstein dan

Galasko, yaitu: fungsi kognitif baik bila skor 28 – 30, fungsi kognitif sedang bila

skor 24 – 27, Demensia borderline bila skor 20 – 23, dan Demensia bila skor 0 –

19.55,56

Namun demikian, total skor pada MMSE ternyata tidak sepenuhnya

menggambarkan keadaan asli individu yang diperiksa. Latar belakang pendidikan

akan turut mempengaruhi total skor pada pemeriksaan. Oleh sebab itu, tes ini

tidak digunakan untuk membuat suatu diagnosis resmi terhadap Demensia,

melainkan hanya digunakan sebagai screening test. Untuk benar-benar

mendiagnosis seseorang menderita Demensia, selain digunakan MMSE

(pemeriksaan neuropsikologis), juga harus dilakukan pemeriksaan fisik, riwayat

penyakit dan aktivitas fungsional sehari-hari.1,57

Dari pemeriksaan-pemeriksaan MMSE yang telah banyak dilakukan,

diketahui bahwa semakin tinggi nilai hasil pemeriksaan MMSE akan mengurangi

kemungkinan terjadinya Demensia sekitar 95%.14

2.5 Profil Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Nirwana Puri Samarinda adalah

satu-satunya panti jompo yang dimiliki Pemerintah yang berada di Samarinda,

berada langsung dibawah pengawasan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur.

PSTW Nirwana Puri yang terletak di Jalan Mayjen Sutoyo (ex. Jalan Remaja) No.

7 Samarinda ini didirikan pada tahun 1978, diresmikan oleh Direktur Jenderal

Bantuan Sosial Departemen Sosial. Awalnya panti ini bernama “Sasana Tresna

37

Page 38: hasil IKM

Werdha Nirwana Puri”, kemudian dengan ketetapan Menteri Sosial saat itu panti

ini berganti nama menjadi “Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda”. Dalam perkembangan selanjutnya PSTW Nirwana Puri banyak

menjalin kerjasama dengan berbagai instansi seperti RSUD AW.Sjahranie, RSJ

Atma Husada, Puskesmas Remaja, serta Poltabes Samarinda.

PSTW Nirwana Puri Samarinda memiliki luas lahan ± 20.850 m2

terdiri dari 15 wisma dengan keseluruhan daya tampung 120 orang, 1 poliklinik, 1

mushola, 1 dapur umum, kantor, serta beberapa bangunan lainnya. 15 wisma yang

membentuk komplek perumahan di area panti merupakan tempat tinggal para usia

lanjut, dimana penghuni wisma-wisma tersebut dibedakan berdasarkan jenis

kelamin, namun ada pula 1 wisma dimana seluruh penghuninya merupakan

pasangan suami istri. Masing-masing wisma dihuni oleh 5-8 usia lanjut, ditambah

dengan seorang pengasuh yang bertugas merawat serta mengawasi kegiatan para

usia lanjut setiap harinya.

Saat ini PSTW Nirwana Puri Samarinda menampung sekitar 110

orang usia lanjut, dengan jumlah penghuni perempuan yaitu 58 orang dan

penghuni laki-laki 52 orang. Para usia lanjut ini berasal dari berbagai daerah

seperti Samarinda, Balikpapan, Berau, Tarakan, Bontang, Paser, Panajam, Kutai

Kartanegara serta Kutai Timur. Untuk dapat menjadi penghuni PSTW Nirwana

Puri Samarinda ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi para usia lanjut,

antara lain:

1. Usia lanjut yang berumur 60 tahun keatas

38

Page 39: hasil IKM

2. Sehat jasmani dan rohani (dalam keadaan stabil saat masuk atau

mendaftar)

3. Terlantar atau ditelantarkan.

4. Bersedia tinggal di panti.

5. Surat keterangan tidak mampu dari aparat setempat atau desa atau

kelurahan.

6. Surat keterangan dari instansi sosial kabupaten atau kota.

39

Page 40: hasil IKM

BAB III

KERANGKA KONSEP

40

Fungsi Kognitif Demensia

Usia Jenis kelamin Stroke Nutrisi Tekanan darah Tingkat

pendidikan Pola hidup dan

faktor kebiasaan

Asam urat tinggi

Konsumsi obat Post head

injury Merokok

Pemeriksaan : MMSE (Mini

Mental State Examination )

Page 41: hasil IKM

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian deskriptif observasional.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana

Puri Samarinda pada bulan Februari 2010 sampai November 2010.

4.3 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah semua usia lanjut yang ada di

Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.

4.4 Kriteria Inklusi dan Eklusi

4.4.1 Kriteria Inklusi

- Semua penghuni panti jompo yang berusia 60 tahun atau lebih yang

tinggal dan menetap di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda periode Agustus 2010.

- Penghuni panti jompo yang bersedia untuk dijadikan responden.

41

Page 42: hasil IKM

4.4.2 Kriteria Eklusi

- Penghuni panti jompo yang berusia kurang dari 60 tahun.

- Penghuni panti jompo yang memiliki gangguan pendengaran atau

penglihatan, serta memiliki gangguan dalam berkomunikasi.

- Penghuni panti jompo yang memiliki gangguan jiwa.

4.5 Cara Pengumpulan Data

4.5.1 Data Primer

Data primer diperoleh melalui pemeriksaan atau wawancara

langsung terhadap usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna

Werdha Nirwana Puri Samarinda dengan menggunakan instrumen

MMSE.

4.5.2 Data Sekunder

Data sekunder berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan

diperoleh dari data keanggotaan usia lanjut di Panti Sosial Tresna

Werdha Nirwana Puri Samarinda.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mini Mental

State Examination (MMSE).

42

Page 43: hasil IKM

4.7 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

4.7.1 Usia lanjut

Usia lanjut adalah laki-laki atau perempuan berusia 60 tahun atau

lebih yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda.

Kriteria Objektif :

- 60 - 74 tahun

- 75 - 90 tahun

- > 90 tahun

4.7.2 Fungsi Kognitif

Merupakan kemampuan pengenalan dan penafsiran seseorang

terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa, memori,

visuospasial, dan fungsi memutuskan. Derajat dan nilai gangguan

fungsi kognitif ditentukan dari pemeriksaan status mental mini

(MMSE), dalam bentuk skor.

Kriteria Objektif :

- skor 28 – 30 : fungsi kognitif baik

- skor 24 – 27 : fungsi kognitif sedang

- skor 20 – 23 : Demensia borderline

- skor 0 – 19 : Demensia

43

Page 44: hasil IKM

4.7.3 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah jenis kelamin usia lanjut yang tinggal dan

menetap di Panti Werdha Nirwana Puri yang menjalani

pemeriksaan MMSE.

Kriteria Objektif :

- Laki-laki

- Perempuan

4.7.4 Tingkat Pendidikan

Keterangan mengenai tingkat pendidikan terakhir yang pernah

dijalani usia lanjut yang menjadi subjek penelitian.

Kriteria Objektif :

- Tidak sekolah atau tidak pernah mengenyam pendidikan

formal

- SD / SR (Sekolah Rakyat)

- SLTP / SMP atau yang sederajat

- SLTA / SMA atau yang sederajat

4.7.5 Kebiasaan Merokok

Keterangan mengenai kebiasaan merokok usia lanjut setiap harinya

hingga saat wawancara atau pemeriksaan dilakukan (perokok aktif

sekarang).

44

Page 45: hasil IKM

Kriteria Objektif :

- Merokok

- Tidak Merokok

4.8 Pengolahan dan Penyajian Data

Data hasil pemeriksaan MMSE diolah dengan menggunakan

program Excel, dan hasil yang didapat dikelompokkan berdasarkan usia,

jenis kelamin, tingkat pendidikan serta kebiasaan merokok usia lanjut, dan

disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.

4.9 Analisa Data

Pada penelitian ini digunakan analisa distribusi frekuensi untuk

analisa fungsi kognitif menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan

kebiasaan merokok usia lanjut. Hasil analisa masing-masing akan disajikan

dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.

45

Page 46: hasil IKM

Mengunjungi PSTW Nirwana Puri Samarinda

Menentukan sample usia lanjut yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi

Pengolahan data dan analisis hasil

Penilaian status fungsi kognitif pada usia lanjut dengan MMSE

4.10 Alur Penelitian

46

Page 47: hasil IKM

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Analisa data hasil penelitian

5.1.1 Data Karakteristik Responden

a. Data Usia Responden

Dari penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sempaja

tanggal 8 Oktober 2012 sampai 20 Oktober 2012 terhadap 36

pasien DM tipe 2 diketahui usia terendah subjek yang diteliti yaitu

35 tahun dan usia tertinggi yaitu 66 tahun. Variabel usia pada

penelitian kemudian dibagi ke dalam 4 kisaran usia berdasarkan

pembagian usia di Puskesmas Sempaja, yaitu: 21-35 tahun, 36-50

tahun, 51-65 tahun, dan >66 tahun. Jumlah pasien DM tipe 2 pada

kisaran usia 21-35 tahun yang diteliti yaitu 1 orang (2,8%), untuk

kisaran usia 36-50 tahun pasien DM tipe 2 yang diteliti berjumlah

13 orang (36,1%), untuk usia 51-65 tahun jumlah yang diteliti yaitu

21 orang (58,3%), dan untuk usia ≥66 tahun jumlah pasien DM tipe

2 yang diteliti yaitu 1 orang (2,8%).

47

Page 48: hasil IKM

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan kelompok usia

No Kelompok Usia (tahun)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 21-35 1 2,8

2

3

36-50

51-65

13

21

36,1

58,3

4 ≥66 1 2,8

Total 36 100

60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun0

5

10

15

20

25

30

distribusi berdasarkan kelompok usia

65,1 %

30,2 %

4,7 %

jumlah

Gambar 5.1 Distribusi responden berdasarkan kelompok usia

b. Data Jenis Kelamin Responden

Dari penelitian terhadap 36 pasien DM tipe 2 yang datang

berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan hasil pasien yang

berjenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (38,9%), sedangkan

yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 22 orang (61,1%).

48

Page 49: hasil IKM

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 Laki-laki 14 38,9

2 Perempuan 22 61,1

Total 36 100

Laki-laki

Perempuan

48,8 %

51,2 %

Gambar 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

c. Data Tingkat Pendidikan Responden

Dari penelitian yang dilakukan terhadap 36 pasien DM tipe 2,

terdapat 8 orang yang tidak bersekolah (22,2%), sedangkan sisanya

pernah mengenyam pendidikan dengan pembagian: untuk pasien

yang berpendidikan SD/SR berjumlah 15 orang (41,7%), tingkat

49

Page 50: hasil IKM

pendidikan SMP yaitu 5 orang (13,9%), tingkat pendidikan

SMA/SMK/STM berjumlah 5 orang (13,9%), dan pasien dengan

tingkat pendidikan Perguruan Tinggi berjumlah 3 orang (8,3%).

Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 Tidak sekolah 8 22,2

2 SD / SR 15 41,7

3

4

5

SMP

SMA / SMK / STM

Perguruan Tinggi

5

5

3

13,9

13,9

8,3

Total 36 100

SD / SR

SMP

SMA / SMK / STM

Tidak sekolah

44,3 %

13,9 %

27,9 %

13,9 %

Gambar 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

50

Page 51: hasil IKM

d. Data lamanya menderita DM tipe 2

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36

pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan

3 orang (8,3%) yang menderita DM tipe 2 <1 tahun, 19 orang

(52,8%) menderita DM tipe 2 selama 1-3 tahun, 6 orang (16,7%)

menderita DM tipe 2 selama 4-6 tahun, 3 orang (8,3%) menderita

DM tipe 2 selama 7-9 tahun, dan sebanyak 5 orang (13,9%)

menderita DM tipe 2 selama ≥10 tahun.

Tabel 5.4 Distribusi pasien berdasarkan lamanya menderita DM tipe 2

No Lama menderita DM tipe 2 (tahun)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1 <1 3 8,3

2

3

4

5

1-3

4-6

7-9

≥10

19

6

3

5

52,8

16,7

8,3

13,9

Total 36 100

d. Data Gula Darah Puasa (GDP) pasien

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36

pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja

didapatkan 10 orang (27,8%) yang memiliki kadar GDP

51

Page 52: hasil IKM

101-150 mg/dl, 9 orang (25%) memiliki kadar GDP 151-

200 mg/dl, sebanyak 8 orang (22,2%) memiliki GDP 201-

250 mg/dl, 7 orang (19,4%) memiliki kadar GDP 251-300

mg/dl, 1 orang (2,8%) memiliki kadar GDP 301-350

mg/dl, dan sebanyak 1 orang (2,8%) memiliki kadar GDP

>350 mg/dl. Dari 36 pasien DM tipe 2 tersebut, tidak ada

yang memiliki kadar GDP ≤100 mg/dl.

e. Data keteraturan berobat pasien

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36

pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja

didapatkan 20 orang (55,6%) yang rutin mengkonsumsi

obat DM setiap harinya, dan sebanyak 16 orang (44,4%)

yang tidak rutin mengkonsumsi obat DM.

Gambar 5.4 Distribusi responden berdasarkan kebiasaan merokok

5.1.2 Data Tingkat Depresi

a. Tingkat Depresi Pasien DM tipe 2

Dari penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sempaja

Samarinda terhadap 36 pasien, berdasarkan BDI (Beck Depression

Inventory) diperoleh hasil sebanyak 2 orang (5,6%) termasuk ke

dalam Depresi sedang, pasien DM tipe 2 yang termasuk dalam

Borderline sebanyak 14 orang (38,9%), yang termasuk ke dalam

52

Page 53: hasil IKM

gangguan mood sebanyak 18 orang (33,3%), dan sisanya yaitu 8

orang (22,2%) termasuk dalam kategori normal. Sedangkan untuk

kategori depresi berat maupun depresi sangat berat tidak

ditemukan.

Tabel 5.5 Tingkat Depresi pasien DM tipe 2

Normal Gangguan mood

Borderline Depresi

sedang

Depresi berat

Depresi sangat berat

Jumlah (orang)

Persentase (%)

8

22,2

12

33,3

14

38,9

2

5,6

0

0

0

0

Fung

si ko

gniti

f baik

Fung

si ko

gniti

f sed

ang

Demen

sia bo

rderl

ine

Demen

sia0

10

20

30

40

50persentase

Gambar 5.5 Tingkat fungsi kognitif responden

b. Data Tingkat Depresi berdasarkan Usia

Pada kisaran usia 21-35 tahun, dengan jumlah pasien DM

tipe 2 yang diteliti 1 orang, diketahui 1 orang (100%) tersebut

53

Page 54: hasil IKM

termasuk ke dalam kategori Depresi sedang. Rata-rata nilai total

BDI pada kisaran usia ini adalah 22.

Dari 13 responden yang diteliti pada kisaran usia 36-50

tahun, didapatkan sebanyak 1 orang (7,7%) termasuk dalam

kategori depresi sedang, 2 orang (15,4%) termasuk dalam

borderline dan 6 orang (46,1%) termasuk dalam kategori gangguan

mood. Sedangkan sisanya yaitu 4 orang (30,8%) termasuk dalam

kategori normal. Rata-rata nilai total BDI pada kisaran usia 36-50

tahun ini adalah 11,1.

Pada kisaran usia 51-65 tahun, didapatkan 21 pasien DM tipe

2 yang diteliti. Dari 21 orang tersebut, sebanyak 12 orang (57,1%)

termasuk dalam kategori borderline, 6 orang (28,6%) termasuk ke

dalam kategori gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (14,3%)

termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai total BDI pada

kisaran usia ini yaitu 14,8.

Terakhir pada rentang usia ≥66 tahun hanya ada 1 orang

pasien DM tipe 2 yang diteliti dan termasuk dalam kategori normal.

Rata-rata usia pasien DM tipe 2 responden yang termasuk

dalam kategori normal adalah 52,2 tahun, sedangkan yang

termasuk dalam depresi sedang rata-rata berusi 42,5 tahun.

54

Page 55: hasil IKM

Tabel 5.6 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia

Usia (tahun)

Rata-rata nilai total BDI

Kategori Tingkat Depresi

JumlahI II III IV V VI

n % n % n % n % n % n %

21-35

36-50

51-65

≥66

22

11,1

14,8

6

0

4

3

1

0

30,

8

14,

3

100

0

6

6

0

0

46,1

28,6

0

0

2

12

0

0 1 100 0 0 0 0 1

15,

41 7,7 0 0 0 0 13

57,

10 0 0 0 0 0 21

0 0 0 0 0 0 0 1

Keterangan: I : normal; II : gangguan mood; III : borderline; IV : Depresi sedang; V : Depresi berat; VI : Depresi sangat berat

60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun0

20

40

60

80

100

120

Fungsi kognitif baik

Fungsi kognitif sedang

Demensia borderline

Demensia

persentase

Gambar 5.6 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia

55

Page 56: hasil IKM

Tabel 5.7 Rata-rata usia berdasarkan tingkat fungsi kognitif responden

Normal Gangguan mood

Borderline Depresi

sedang

Depresi berat

Depresi sangat berat

Rata-rata usia (tahun)

52,2 52,2 55,3 42,5 0 0

c. Data Tingkat Depresi berdasarkan Jenis Kelamin

Dari 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas

Sempaja terdapat 14 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat

22 orang berjenis kelamin perempuan. Pada 14 pasien dengan jenis

kelamin laki-laki didapatkan hasil sebanyak 2 orang (14,3%)

termasuk dalam kategori depresi sedang. Sisanya yaitu 4 orang

(28,6%) termasuk dalam kategori borderline, 3 orang (21,4%)

termasuk dalam kategori gangguan mood, dan 5 orang (35,7%)

termasuk dalam kategori normal.

Pada 22 pasien DM tipe 2 dengan jenis kelamin perempuan

didapatkan hasil 10 orang (45,5%) termasuk dalam kategori

borderline, sebanyak 9 orang (40,9%) termasuk dalam kategori

gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (13,6%) termasuk

56

Page 57: hasil IKM

dalam kategori normal. Perbandingan rata-rata nilai total BDI laki-

laki dan perempuan adalah 12,6 : 14.

Tabel 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Rata-rata nilai total BDI

Kategori Tingkat Depresi

JumlahI II III IV V VI

n % n % n % n % n % n %

Laki-laki

Perempuan 12,6

14

5

3

35,7

13,6

3

9

21,4

40,9

4

10

28,6 2 14,3 0 0 0 0 14

45,5 0 0 0 0 0 0 22

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia

Laki-laki Perempuan0

10

20

30

40

50

60

70

Fungsi kognitif baik

Fungsi kognitif sedang

Demensia borderline

Demensia

persentase

Gambar 5.7 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin

d. Data Tingkat Depresi berdasarkan Tingkat Pendidikan

57

Page 58: hasil IKM

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 usia lanjut

yang diteliti, 19 orang diantaranya pernah mengenyam pendidikan

SD/SR. Dari 19 usia lanjut tersebut diketahui 1 orang (5,3%) tidak

memiliki gangguan fungsi kognitif sementara persentase terbanyak

42,1% termasuk dalam kategori Demensia. Rata-rata nilai total

MMSE untuk tingkat pendidikan SD/SR ini adalah 19,5.

Untuk tingkatan SMP didapatkan 1 orang (16,7%) termasuk

dalam fungsi kognitif baik, 1 orang (16,7%) termasuk dalam fungsi

kognitif sedang, 3 orang (50%) termasuk dalam Demensia

borderline, dan yang termasuk dalam Demensia berjumlah 1 orang

(16,7%). Rata-rata nilai total MMSE pada tingkatan pendidikan ini

adalah 23.

Selanjutnya untuk tingkatan SMA/SMK/STM, dengan

jumlah usia lanjut yang diteliti yaitu 6 orang, didapatkan hasil 1

orang (16,7%) termasuk dalam fungsi kognitif baik, 2 orang

(33,3%) termasuk dalam fungsi kognitif sedang serta Demensia

borderline, dan 1 orang (16,7%) termasuk dalam Demensia. Rata-

rata nilai total MMSE yang diperoleh pada tingkat ini adalah 23,5.

Untuk usia lanjut yang tidak pernah mengenyam pendidikan,

didapatkan hasil 1 orang (8,3%) memiliki fungsi kognitif yang baik

dan 10 orang (83,3%) termasuk dalam Demensia. Rata-rata nilai

total MMSE yang didapat yaitu 15,3.

58

Page 59: hasil IKM

Tabel 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan

TingkatPendidikan

Rata-rata nilai total BDI

Kategori Tingkat Depresi

JumlahI II III IV V VI

n % n % n % n % n % n %

Tidak sekolah

SD/SR

SMP

SMA/SMK/STM

14,2

14,4

14,4

14,8

3

1

1

0

37,

5

6,7

20

0

1

7

1

3

12,5

46,6

20

60

4

6

3

1

50 0 0 0 0 0 0 8

40 1 6,7 0 0 0 0 15

60 0 0 0 0 0 0 5

20 1 20 0 0 0 0 5

Perguruan Tinggi 2,6 3 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia.

Tidak seko-lah

SD / SR SMP SMA / SMK / STM

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Fungsi kognitif baik

Fungsi kognitif sedang

Demensia borderline

Demensia

persentase

Gambar 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan

59

Page 60: hasil IKM

e. Data Tingkat Depresi berdasarkan Lamanya Menderita DM tipe

2

Pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok

didapatkan rata-rata nilai total MMSE sebesar 21,7. 2 orang

(13,3%) dari 15 usia lanjut yang merokok tidak memiliki gangguan

pada fungsi kognitifnya dan 4 orang (26,7%) termasuk kedalam

Demensia.

Sedangkan pada usia lanjut yang tidak merokok, rata-rata

nilai total MMSE nya adalah 18,1. Didapatkan 28 orang yang tidak

merokok, dengan pembagian 2 orang (7,1%) dengan fungsi kognitif

baik dan 16 orang (57,1%) termasuk dalam Demensia.

Tabel 5.10 Tingkat depresi berdasarkan Lama Menderita DM Tipe 2

Lama MenderitaDM tipe 2

(tahun)

Rata-rata nilai total BDI

Kategori Tingkat Depresi

JumlahI II III IV V VI

n % n % n % n % n % n %

<1

1-3

4-6

7-9

11,3

15,2

14,6

12

1

3

0

1

33,

3

15,

8

0

33,

3

1

5

4

0

33,3

26,3

66,7

0

1

9

2

2

33,

30 0 0 0 0 0 3

47,

42 10,5 0 0 0 0 19

33,

30 0 0 0 0 0 6

66,

70 0 0 0 0 0 3

≥ 10 7,4 3 60 2 40 0 0 0 0 0 0 0 0 5

60

Page 61: hasil IKM

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : demensia borderline; IV : demensia.

Merokok Tidak merokok0

10

20

30

40

50

60

Fungsi kognitif baik

Fungsi kognitif sedang

Demensia borderline

Demensia

persentase

Gambar 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok

f. Data Tingkat Depresi berdasarkan Gula Darah Puasa (GDP)

Pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok

didapatkan rata-rata nilai total MMSE sebesar 21,7. 2 orang

(13,3%) dari 15 usia lanjut yang merokok tidak memiliki gangguan

pada fungsi kognitifnya dan 4 orang (26,7%) termasuk kedalam

Demensia.

Sedangkan pada usia lanjut yang tidak merokok, rata-rata

nilai total MMSE nya adalah 18,1. Didapatkan 28 orang yang tidak

merokok, dengan pembagian 2 orang (7,1%) dengan fungsi kognitif

baik dan 16 orang (57,1%) termasuk dalam Demensia.

Tabel 5.10 Tingkat depresi Gula Darah Puasa (GDP)

Gula Darah Puasa

Rata-rata

Kategori Tingkat Depresi JumlahI II III IV V VI

61

Page 62: hasil IKM

(mg/dl)

nilai total BDI

n % n % n % n % n % n %

< 100

101-150

151-200

201-250

0

10,6

15,2

17,5

0

4

1

0

0

40

11,

1

0

0

4

3

2

0

40

33,3

25

0

2

4

5

0 0 0 0 0 0 0 0

20 0 0 0 0 0 0 10

44,

41 11,1 0 0 0 0 9

62,

51 12,5 0 0 0 0 8

251-300 10,5 228,

63 42,8 2

28,

60 0 0 0 0 0 7

301-350 10 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

> 350 18 0 0 0 0 1 100 0 0 0 0 0 0 1

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : demensia borderline; IV : demensia.

Merokok Tidak merokok0

10

20

30

40

50

60

Fungsi kognitif baik

Fungsi kognitif sedang

Demensia borderline

Demensia

persentase

Gambar 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok

g. Data Tingkat Depresi berdasarkan Keteraturan Berobat

62

Page 63: hasil IKM

Dari 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas

Sempaja terdapat 14 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat

22 orang berjenis kelamin perempuan. Pada 14 pasien dengan jenis

kelamin laki-laki didapatkan hasil sebanyak 2 orang (14,3%)

termasuk dalam kategori depresi sedang. Sisanya yaitu 4 orang

(28,6%) termasuk dalam kategori borderline, 3 orang (21,4%)

termasuk dalam kategori gangguan mood, dan 5 orang (35,7%)

termasuk dalam kategori normal.

Pada 22 pasien DM tipe 2 dengan jenis kelamin perempuan

didapatkan hasil 10 orang (45,5%) termasuk dalam kategori

borderline, sebanyak 9 orang (40,9%) termasuk dalam kategori

gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (13,6%) termasuk

dalam kategori normal. Perbandingan rata-rata nilai total BDI laki-

laki dan perempuan adalah 12,6 : 14.

Tabel 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan keteraturan berobat

KeteraturanBerobat

Rata-rata nilai total BDI

Kategori Tingkat Depresi

JumlahI II III IV V VI

n % n % n % n % n % n %

Teratur

Tidak Teratur 11,4

16,1

6

2

30

12,

5

9

3

45

18,

8

5

9

25 0 0 0 0 0 0 20

56,2 2 12,5 0 0 0 0 16

63

Page 64: hasil IKM

Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia

Laki-laki Perempuan0

10

20

30

40

50

60

70

Fungsi kognitif baik

Fungsi kognitif sedang

Demensia borderline

Demensia

persentase

Gambar 5.7 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin

64

Page 65: hasil IKM

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia

Dari penelitian yang dilakukan pada 43 usia lanjut penghuni PSTW

Nirwana Puri diketahui kisaran usia responden yaitu 61 tahun hingga 98

tahun. Setelah usia diketahui, responden kemudian dibagi dalam 3

kelompok, yaitu usia lanjut (elderly) berusia antara 60-74 tahun, tua (old)

75-90 tahun, dan sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.12 Setelah

dibagi sesuai dengan kelompok usia, dihitung jumlah nilai pemeriksaan

MMSE per individu untuk kemudian dibagi lagi ke dalam 4 kategori fungsi

kognitif, yaitu fungsi kognitif baik (nilai MMSE 28-30), fungsi kognitif

sedang (nilai MMSE 24-27), Demensia borderline (nilai MMSE 20-23), dan

Demensia (nilai MMSE 0-19).56,57 Hasil yang didapat kemudian disajikan

dalam bentuk tabel dan grafik, beserta persentase masing-masing kategori.

Data pada tabel 5.6 dan gambar 5.6 menunjukkan bahwa angka

Demensia tinggi pada usia >90 tahun (very old). Terbukti dari dua usia

lanjut yang termasuk dalam kisaran usia di atas 90 tahun, kedua-duanya

termasuk dalam kategori Demensia (100%). Berbeda dengan usia lanjut

yang berada pada kisaran usia 60-74 tahun (elderly), usia lanjut pada kisaran

usia ini cenderung masih memiliki fungsi kognitif yang baik, walaupun

tidak dipungkiri pada kisaran usia ini juga ditemukan usia lanjut yang

termasuk dalam kategori Demensia yaitu sebesar 39,3%. Hal ini dipengaruhi

65

Page 66: hasil IKM

oleh banyak faktor antara lain penyakit (pasca stroke), hipertensi yang

dialami oleh hampir seluruh usia lanjut yang ada di PSTW Nirwana Puri,

dan mengkonsumsi obat-obatan seperti obat anti hipertensi, juga

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.1,21,32

Namun demikian persentase untuk kategori Demensia pada kisaran

usia ini (elderly) merupakan yang terendah jika dibandingkan kisaran usia

old dan very old. Dari gambar 5.6 jelas terlihat bahwa persentase Demensia,

dari persentase terendah hingga yang tertinggi, secara berurutan yaitu pada

kisaran usia elderly, old,dan very old. Hasil ini serupa dengan penelitian

yang sebelumnya pernah dilakukan, dimana pada penelitian tersebut

disebutkan bahwa prevalensi Demensia hanya sekitar 5% pada kisaran usia

65 tahun dan menunjukkan peningkatan 24-50% pada rentang usia 85 tahun

ke atas. Sama halnya dengan Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI),

menurut AAzI insiden Demensia akan meningkat dua kali lipat setiap

kenaikan usia 5 tahun.1,16

Semakin menurunnya fungsi kognitif pada usia lanjut dipengaruhi

oleh banyak faktor, salah satunya adalah usia. Semakin lanjut usia

seseorang, perubahan pada otak akan semakin terlihat. Perubahan ini

meliputi perubahan fungsi serta struktur pada otak. Studi yang dilakukan

oleh Baltimore Longitudinal Study menyebutkan bahwa ketika seseorang

telah memasuki usia 60-an kemampuan-kemampuan yang menyangkut

fungsi kognitif akan semakin menurun. Dan penurunan fungsi kognitif akan

semakin terlihat seiring dengan bertambahnya usia, misalnya kecepatan

66

Page 67: hasil IKM

belajar dan memecahkan masalah serta memori.5 Perubahan struktur otak

pun akan semakin tampak seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan

jumlah sel otak, sel neuron serta atrofi pada otak akan mempengaruhi

bagian-bagian otak yang mengatur proses belajar, memori dan emosi seperti

Hipokampus. Selain itu pada proses penuaan seringkali terdapat akumulasi

pigmen organik-mineral membentuk struktur-struktur seperti plak amiloid

dan neurofibrillary tangles yang jika ditemukan dalam jumlah yang besar

akan mengindikasikan seseorang menderita Demensia Alzheimer. Oleh

karena itu, semakin usia lanjut seseorang maka akan semakin rentan

mengalami gangguan memori atau Demensia.49

Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata nilai total MMSE juga semakin

menurun pada usia >90 tahun. Dari hasil penelitian yang tercantum dalam

tabel 5.6 diketahui rata-rata nilai total MMSE pada kisaran usia 60-74 tahun

(elderly) adalah 21,3 , sedangkan pada kisaran usia 75-90 tahun (old) dan

usia >90 tahun (very old) yaitu 17,5 dan 15. Penurunan rata-rata nilai total

MMSE ini juga dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk.

Dari hasil penelitian tersebut diketahui pada kisaran usia 65-69 tahun

didapatkan rata-rata nilai total MMSE yaitu 18,2, pada kisaran usia 70-74

tahun rata-rata nilai total MMSE 15,7 , pada kisaran usia 75-79 tahun rata-

rata nilai total MMSE yaitu 14,3, dan pada kisaran usia ≥80 tahun

didapatkan rata-rata nilai total MMSE 13,9. Dari hasil penelitian ini

diketahui peningkatan usia individu akan diikuti dengan penurunan rata-rata

nilai total MMSE.21

67

Page 68: hasil IKM

Rendahnya rata-rata nilai total MMSE dapat diartikan adanya

gangguan pada salah satu atau beberapa komponen dalam MMSE, yaitu

atensi, orientasi, berhitung, bahasa, ingatan, memori jangka pendek,

kemampuan verbal serta kemampuan untuk menulis apa yang

diinstruksikan. Namun demikian rendahnya hasil pemeriksaan MMSE tidak

mutlak mengindikasikan individu mengalami gangguan-gangguan tersebut,

karena ada faktor lain yang turut serta mempengaruhi tinggi-rendahnya hasil

pemeriksaan MMSE yaitu tingkat pendidikan.1,55

6.2 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin

Dari 43 usia lanjut yang diteliti terdapat 22 orang berjenis kelamin

laki-laki dan 21 orang berjenis kelamin perempuan. Setelah dikelompokkan

berdasarkan tingkatan fungsi kognitifnya, seperti yang terlihat pada gambar

5.7, didapatkan persentase kategori fungsi kognitif baik dan sedang pada

perempuan lebih rendah dibandingkan pada laki-laki. Bahkan masih

berdasarkan gambar 5.7, persentase Demensia pada perempuan mencapai 2

kali lipat dibanding laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori, dimana pada buku

“Sinopsis Psikiatri” disebutkan bahwa perempuan merupakan salah satu

faktor resiko dari Demensia Alzheimer.7 Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Purnakarya, kejadian Demensia pada perempuan ternyata lebih banyak

dibandingkan laki-laki. Namun demikian, tidak ada perbedaan yang

signifikan antara jenis kelamin dengan Demensia.17

68

Page 69: hasil IKM

Pada penelitian lain disebutkan bahwa tingginya prevalensi

perempuan menderita Demensia dikarenakan umumnya pada perempuan

bila terjadi gangguan fungsi kognitif akan langsung berlanjut ke tahap

Demensia, sementara pada laki-laki akan terjadi perubahan fungsi kognitif

dari yang normal atau fungsi kognitif baik ke MCI (Mild Cognitive

Impairment) terlebih dahulu sebelum akhirnya berlanjut ke tahap

Demensia.20

Tingginya angka kejadian Demensia pada perempuan salah satunya

dikarenakan hormon estrogen, dimana kekurangan hormon estrogen dalam

jangka waktu lama akan berdampak pada terjadinya Demensia. Di otak,

reseptor estrogen terutama terletak pada area dimana terdapat fungsi belajar

dan mengingat, seperti hipokampus dan amygdala. Penurunan hormon

estrogen saat menopause pada perempuan yang lebih dini dibandingkan

laki-laki inilah yang menyebabkan angka Demensia pada perempuan lebih

tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, banyaknya perempuan yang tidak

mengenyam pendidikan juga mempengaruhi penurunan fungsi kognitif lebih

dini dibanding laki-laki.18,19

Dilihat dari tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata nilai total MMSE pada

perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Seperti halnya hasil penelitian

ini, penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk pada 45 usia lanjut di Panti

Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru menunjukkan rata-rata nilai total MMSE

pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini dikarenakan lebih

69

Page 70: hasil IKM

banyak subjek laki-laki yang mendapat pendidikan formal dibandingkan

perempuan.21

6.3 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan

Berdasarkan gambar 5.8 di atas terlihat persentase Demensia pada

kelompok usia lanjut yang tidak mengenyam pendidikan formal hampir

mencapai 2 kali lipat dibandingkan persentase Demensia pada kelompok

dengan pendidikan SD, dan mencapai 5 kali lipat dibandingkan persentase

Demensia pada kelompok usia lanjut dengan pendidikan SMP dan SMA.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Khasanah di PSTW

Yogyakarta unit Abiyoso dan Budiluhur, dimana dari penelitian tersebut di

dapatkan hubungan antara Demensia dengan tinggi-rendahnya pendidikan

individu. Dimana semakin tinggi pendidikan yang diperoleh individu, maka

semakin rendah resiko mengalami Demensia di masa tua, dan sebaliknya.26

Hal ini dikarenakan pendidikan dapat meningkatkan stimulasi kognitif dan

mendorong berkembangnya dendrit serta meningkatnya plastisitas sistem

saraf pusat, sehingga fungsi kognitif tetap bertahan baik. Selain itu orang

yang berpendidikan akan terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan intelektual

yang mengasah otak sehingga menurunkan resiko terjadinya penurunan

fungsi kognitif.27,28

Hasil yang ditunjukkan pada tabel 5.9 di atas berbanding lurus dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk terhadap usia lanjut di

Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru yang menunjukkan bahwa dari

70

Page 71: hasil IKM

seluruh usia lanjut yang mengalami Demensia, 87,5% atau sekitar 28 orang

termasuk dalam tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah hingga pernah

menjalani Sekolah Dasar).21

Jika dilihat dari rata-rata nilai total MMSE usia lanjut, seperti pada

tabel 5.8, dapat diketahui bahwa usia lanjut yang tidak mengenyam

pendidikan jika dibandingkan dengan kelompok usia lanjut yang pernah

mengenyam pendidikan memiliki rata-rata nilai total MMSE yang lebih

rendah. Sedangkan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

memiliki rata-rata nilai total MMSE yang juga lebih tinggi dibandingkan

usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hal yang sama

didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Turana terhadap usia

lanjut di Jakarta, dimana menurut penelitian Turana nilai total MMSE

sebanding dengan tingginya tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada

beberapa komponen MMSE yang memang hanya bisa dikerjakan oleh usia

lanjut yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan. Komponen MMSE

tersebut antara lain orientasi, atensi-kalkulasi, registrasi dan bahasa.25

Namun demikian, tingginya nilai total MMSE pada usia lanjut tidak

selamanya menunjukkan tidak adanya gangguan pada fungsi kognitif. Latar

belakang pendidikan yang tinggi akan memudahkan usia lanjut untuk

mengerjakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada pemeriksaan status

mental mini sehingga total nilai yang dihasilkan pun tinggi, walaupun

sebenarnya individu tersebut mengalami gangguan fungsi kognitif. Begitu

juga sebaliknya, usia lanjut yang tidak memiliki latar belakang pendidikan

71

Page 72: hasil IKM

formal cenderung kesusahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan

selama pemeriksaan sehingga total nilai yang dihasilkan jauh lebih rendah,

walaupun sebenarnya individu tersebut tidak memiliki gangguan fungsi

kognitif.1

Pada penelitian kali ini, ditemukan 1 usia lanjut yang memiliki fungsi

kognitif baik walaupun termasuk dalam kelompok usia lanjut yang tidak

mengenyam pendidikan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya pada

saat itu, tetapi dengan niat belajar yang tinggi oleh individu meskipun tidak

mendapat pendidikan formal di sekolah tetapi tetap berusaha belajar

mendapatkan ilmu dari teman-teman sepermainan.

6.4 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok

Dari hasil penelitian terhadap kebiasaan merokok usia lanjut di PSTW

Nirwana Puri seperti yang terlihat pada gambar 5.9, diketahui bahwa usia

lanjut yang merokok memilik persentase Demensia yang lebih rendah

dibandingkan usia lanjut yang tidak merokok yaitu 26,7% dari keseluruhan

total usia lanjut yang Demensia, sementara yang tidak memiliki kebiasaan

merokok sebesar 57,1%.

Hasil yang didapat berbeda dengan teori yang ada, dimana

berdasarkan teori merokok dapat menurunkan kecepatan dan ketepatan

kemampuan berpikir serta menurunkan kemampuan daya ingat (memori).

Selain itu merokok dapat menurunkan IQ, menyebabkan tersumbatnya

katup pembuluh darah dalam otak, hilangnya nutrisi dan akhirnya kerusakan

72

Page 73: hasil IKM

pada jaringan otak.35 Penelitian yang dilakukan oleh Radcliffe Infirmary

Oxford University di Inggris didukung oleh riset Institute of Public Health

Cambridge University, mengungkapkan bahwa konsumsi nikotin ternyata

akan lebih meningkatkan efek yang merugikan bagi otak maupun kesehatan

jantung dan berpengaruh terhadap penurunan fungsi kognitif serta

Demensia.40

Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kareen J.

Anstey dkk dari The Australian National University menyebutkan bahwa

tidak ditemukan adanya peningkatan resiko Demensia dan adanya

penurunan fungsi kognitif bagi usia lanjut yang aktif merokok selama

hidupnya jika dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak pernah merokok

sama sekali. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya dimana disebutkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan

merokok ketika berusia lanjut memiliki resiko penurunan fungsi kognitif

dan Demensia 40-80% lebih tinggi dibanding usia lanjut yang tidak pernah

merokok seumur hidupnya.41

Penelitian lain yang dilakukan terhadap usia lanjut di Taiwan pada

tahun 2003 menyebutkan usia lanjut yang tidak merokok memiliki kinerja

fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan mereka yang merokok. Namun

demikian menurut peneliti perbedaan tersebut tidak signifikan setelah

disesuaikan dengan usia, pendidikan, hipertensi, diabetes, dan kejadian

vaskular individu.42 Penelitian lain yang dilakukan di Inggris menyebutkan

merokok tidak meningkatkan atau menurunkan fungsi kognitif individu,

73

Page 74: hasil IKM

hanya mempercepat proses patologi dalam tubuh sehingga mempercepat

proses kematian.43

Sejalan dengan yang terlihat pada gambar 5.9, rata-rata nilai total

MMSE seperti yang terlihat pada tabel 5.10 pada usia lanjut yang memiliki

kebiasaan merokok lebih tinggi dibanding dengan yang tidak merokok,

yaitu 21,7 sementara rata-rata nilai total MMSE pada usia lanjut yang tidak

merokok yaitu 18,1. Hal ini didukung oleh penelitian dari Sanyoto dkk

dimana rata-rata nilai total MMSE pada usia lanjut yang merokok yaitu 17

lebih tinggi dibanding rata-rata niai total MMSE usia lanjut yang tidak

merokok yaitu 14,9. Hasil penelitian Sanyoto dkk berdasarkan kebiasaan

merokok usia lanjut di Panti Sosial Budi Sejahtera ini menunjukkan bahwa

sekitar 75% usia lanjut dengan Demensia tidak memiliki kebiasaan

merokok, dan 66,7% lainnya memiliki kebiasaan merokok.21

Dalam suatu penelitian, memori dan kognitif telah terbukti

dipengaruhi oleh dopamine yang dihasilkan pada bagian korteks prefrontal.

Pengeluaran dopamine di daerah korteks serebral ini ditingkatkan oleh

nikotin, dan pemutusan nikotin berdampak pada penurunan fungsi

dopamine. Sejalan dengan itu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa

pemberian nikotin dapat meningkatkan atensi dan menurunkan kehilangan

memori pada penderita Schizophrenia. Hal ini berkaitan dengan reseptor

alpha-7 asetilkolin nikotinat. Gangguan pada reseptor alpha-7 ini diketahui

menyebabkan gangguan fungsi kognitif, terutama kesulitan dalam atensi.

Nikotin disebutkan dapat meningkatkan kerja dari reseptor alpha-7 sehingga

74

Page 75: hasil IKM

dapat meningkatkan fungsi kognitif terutama atensi, konsentrasi, juga dapat

membantu proses berpikir.36,37

Hipotesa serupa menyebutkan adanya hubungan antara penurunan

kolin asetiltransferase dan asetilkolin (AcH) di otak dengan tingkat

kerusakan kognitif pada pasien Demensia Alzheimer. Selain itu, reseptor

muskarinik dan nikotinat di korteks serebral mengalami penurunan pada

usia lanjut, sehingga menjadi hal yang mungkin bila diberikan agonis

reseptor kolinergik (nikotin) untuk memperbaiki sebagian penurunan fungsi

kognitif dan memori pasien. Pada penelitian ini didapatkan hasil nikotin

meningkatkan atensi serta meningkatkan kerja otak dalam memproses

berbagai informasi pada pasien Alzheimer, seperti halnya kinerja otak pada

dewasa muda sebagai kontrolnya.38

Nikotin sebagai zat yang paling banyak dikaitkan dengan ketagihan

pada rokok diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian ke

jalur adrenergik sehingga membuat perokok akan merasa lebih tenang,

nikmat, memacu sistem dopaminergik, dan merasa daya pikir lebih

cemerlang. Sementara di jalur adrenergik , zat ini akan mengaktifkan sistem

adrenergik pada bagian yang mengeluarkan neurotransmitter serotonin.

Meningkatnya serotonin inilah yang menyebabkan timbulnya rangsangan

rasa senang untuk mencari rokok lagi. Proses pembakaran rokok tidaklah

berbeda dengan proses pembakaran bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang

terbuat dari dari daun tembakau kering, kertas, zat perasa yang dapat

dibentuk oleh elemen Carbon (C) , elemen Hidrogen (H), elemen Oksigen

75

Page 76: hasil IKM

(O), elemen Nitrogen (N), elemen Sulfur (S) dan elemen-elemen lain yang

berjumlah kecil.39

Nikotin bisa benar-benar bermanfaat sebagai obat jika digunakan

dengan benar dan dosis yang akurat, namun selama ini orang menggunakan

nikotin untuk hal yang berbeda dan dalam dosis yang tinggi. Dalam

American Journal of Psychiatry diketahui bahwa reaksi nikotin dengan

oksigen dapat membentuk asam nikotinat atau niasin atau vitamin B3. Efek

dari senyawa ini bisa bermanfaat bagi tubuh manusia yaitu menenangkan,

meningkatkan suasana hati dan merangsang aktivitas otak, fungsi motorik

dan memori. Kekurangan niasin meningkatkan kemungkinan menderita

Alzheimer sebesar 80%. Orang-orang yang sangat kekurangan vitamin B

memiliki gelombang otak yang abnormal, menyebabkan memori yang rusak

dan gangguan psikologis lainnya.24,39

Berbeda dengan hasil MMSE yang didapat pada penelitian kali ini,

penelitian yang dilakukan oleh Launer dan rekan-rekan menunjukkan hasil

bahwa mereka yang tidak pernah merokok mengalami penurunan dalam

skor MMSE yakni 3 poin setiap tahunnya. Sementara pada mereka yang

merokok, skor MMSE menunjukkan penurunan sampai 16 poin setiap

tahun.41

76

Page 77: hasil IKM

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tingkat fungsi

kognitif pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri

Samarinda maka dapat disimpulkan :

- Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di

PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan usia didapatkan fungsi

kognitif baik terbanyak pada kisaran usia 60-74 tahun, sedangkan

Demensia terbanyak pada usia >90 tahun.

- Gambaran fungsi kogntif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di PSTW

Nirwana Puri Samarinda berdasarkan jenis kelamin didapatkan fungsi

kognitif baik terbanyak pada laki-laki, sedangkan Demensia terbanyak

pada perempuan.

- Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di

PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan tingkat pendidikan

didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada SMP dan

SMA/SMK/STM, sedangkan Demensia terbanyak pada usia lanjut yang

tidak sekolah.

- Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di

PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan kebiasaan merokok

didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada usia lanjut yang

77

Page 78: hasil IKM

merokok, sedangkan Demensia terbanyak pada usia lanjut yang tidak

merokok.

7.2 Saran

- Untuk pihak pemerintah yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial,

perlunya peningkatan terhadap pelayanan kesehatan dan jaminan

pemeliharaan sosial bagi usia lanjut serta selalu memonitoring

kesehatan usia lanjut tidak hanya fisik tetapi juga mental secara berkala.

- Untuk pihak PSTW Nirwana Puri, perlunya kecermatan dalam

memperhatikan kesehatan usia lanjut terutama kesehatan mental yang

seringkali gejalanya sulit dikenali dan sering terabaikan.

- Bagi pihak Pendidikan Kedokteran, perlu adanya kerjasama dengan

institusi terkait dalam suatu program untuk membekali dan

meningkatkan kompetensi mahasiswa kedokteran dalam hal kedokteran

geriatri, terkait Demensia pada usia lanjut dan permasalahan lainnya.

- Bagi usia lanjut disarankan untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan

yang dapat merangsang otak sehingga dapat mengurangi resiko

terjadinya Demensia dan disarankan para usia lanjut mengurangi

kebiasaan merokok karena bagaimanapun merokok meiliki pengaruh

buruk terhadap kesehatan.

- Bagi pihak keluarga dan masyarakat, agar tetap memberikan dukungan

moril kepada usia lanjut khususnya yg berada di PSTW Nirwana Puri

78

Page 79: hasil IKM

dengan cara melakukan kunjungan silaturahmi pada kerabat yang

berada di panti.

- Untuk peneliti lain, perlu dilakukan penelitian serupa di beberapa

tempat lain khususnya di Kalimantan sebagai pembanding hasil

penelitian mengingat minimnya data mengenai status fungsi kognitif

pada usia lanjut juga insiden Demensia pada usia lanjut di Kalimantan;

perlu dilakukan penelitian serupa namun terhadap faktor resiko lain

yang juga berpengaruh terhadap Demensia pada usia lanjut yang

nantinya menghasilkan data yang lengkap dan akurat untuk

dimanfaatkan baik oleh seluruh pihak yang membutuhkan; serta untuk

penelitian selanjutnya dapat dikembangkan menjadi penelitian analitik

untuk melihat hubungan antar variabel dengan lebih jelas dan spesifik.

79

Page 80: hasil IKM

DAFTAR PUSTAKA

1. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI). Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. Edisi 1. Jakarta: AAzI; 2003. pp. 1-3, 14-19, 61

2. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Lansia Masa Kini dan Mendatang (Online). Available from: http://www.menkokesra.go.id/content/view/2933/333/ (Accessed : 13th March 2010)

3. Badan Pusat Statistik. Penduduk 60 tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan keadaan kesehatan, Kalimantan Timur. (Online) 2005. Available from: http://www.datastatistik-Indonesia.com/component/option,com_supas/task/itemid,956/ (Accessed: 13th November 2010)

4. Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur. Peringatan Hari Lanjut Usia Tahun 2009. (Online) 2009. Available from: http://dinsos.kaltimprov.go.id/utama.php?module=detailberita&id=89 (Accessed: 13th November 2010)

5. Safithri F. Proses Menua di Otak dan Demensia Tipe Alzheimer (Alzheimer’s disease). Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran keluarga Saintika Medika 2005; 2(2): pp. 225-232

6. Dikot, Y. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Majalah Ilmiah Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani Medika Kartika 2005; 3(1): pp. 45-46

7. Kaplan HI, Benjamin JS, Jack AG. Sinopsis Psikiatri. Trans Widjaja K. Edisi 7. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. pp. 502-503, 515-532

8. Anggota Alzheimer’s Disease Internasional Asia Pasifik. Demensia di Kawasan Asia Pasifik: Sudah Ada Wabah. (Online) 2007. Available from: http://www.apreportindonesian.pdf (Accessed: 26th March 2008)

80

Page 81: hasil IKM

9. Suwono WJ. Demensia: Suatu Pendeteksian Dini dan Terapinya. Majalah Kedokteran Atma Jaya 2003; 2(1): pp. 39-44

10. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 1995

11. Hardywinoto, Tony S. Panduan Gerontologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2005

12. Setianto B. Pengetahuan Pelayanan Fisik Lanjut Usia. (Online) 2007. Available from: http://www.pjnhk.go.id (Accessed: 13th March 2010)

13. Kementrian Sosial RI. Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. (Online) 2008. Available from: http://www.depsos.go.id/modules.php?name=news&file=print&sid=773 (Accessed : 13 March 2010)

14. Ropper AH, Robert HB. Principles of Neurology. 8th edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2005. pp. 356, 381-382

15. Rachmawati E. Latih Otak, Singkirkan Demensia. Kompas. (Online) February 19, 2009. Available from: http://kesehatan.kompas.com/read/2009/02/19/22050114/latih.otak.singkirkan.demensia (Accessed: 13th February 2010)

16. Pudjonarko D. Demensia Masih Bisa Disembuhkan. Suara Merdeka. (Online) 2010. Available from: http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2010/01/21/96004/Demensia-Masih-Bisa-Disembuhkan (Accessed: 16th February 2010)

17. Purnakarya I. Peran Zat Gizi Makro terhadap Kejadian Demensia pada Lansia. (Online) 2008. Available from: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32098992.pdf (Accessed: 13th November 2010)

18. Said U. Interaksi Hormonal dan Kualitas Kehidupan pada Wanita. (Online) 2004. Available from: http://digilib.unsri.ac.id/download/INTERAKSI

81

Page 82: hasil IKM

%20HORMONAL%20%20DAN%20KUALITAS%20HIDUP%20WANITA.pdf (Accessed: 13th November 2010)

19. Yaffe K, Kathryn K, Somnath S. Cognitive Function in Postmenopausal

Women Treated with Raloxifene. The New England Journal of Medicine. (Online) 2001; 344(16). Available from: http://www.nejm.org (Accessed: 20th February 2010)

20. Petersen RC, Roberts RO, Knopman DS, Geda YE, Cha RH, Pankratz VS, Boeve BF, et al. Prevalence of Mild Cognitive Impairment is Higher in Men. Neurology. (Online) 2010; 75(10): pp. 889-897. Available from: http://www.neurology.org (Accessed: 1st December 2010)

21. Sanyoto DD, dkk. Gambaran Mini Mental State Examination (MMSE) pada Manula di Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Berkala Kedokteran 2006; 5(2): pp. 155-161

22. AAzI. Kadar Folat dan Homosistein Berhubungan dengan Insidensi Demensia. (Online) 2008. Available from: http://assosiasialzheimerindonesia.wordpress.com/2008/09/28/kadar-folat-dan-homosistein-berhubungan-dengan-insidensi-demensia-journal-of-neurology-neirosurgery-and-psychiatry-2008-79864-868/ (Accessed: 16th February 2010)

23. Conis E. Vitamin B and its role in Improving Memory. Los Angeles Times. (Online) November 8, 2010. Available from: http://www.latimes.com/health/la-he-nutriton-lab-b-vitamins-20101108,0,4113862.story (Accessed: 1st December 2010)

24. Ramadion. Ingatlah Makanan-makanan Anti Pikun. (Online) 2010. Available from: http://ruangpsikologi.com/makanan-anti-pikun (Accessed: 12th December 2010)

25. MML. Hipertensi Merupakan Faktor Resiko Terjadinya Demensia pada Orang Tua. (Online) 2006. Available from: http://www.kalbefarma.com/index.php?mn=news&tips=detail&detail=18411 (Accessed: 16th February 2010)

82

Page 83: hasil IKM

26. Turana Y. Pemeriksaan Status Mental Mini pada Usia Lanjut di Jakarta. Medika 2004; 30(9): pp. 563-8

27. Hall CB, Derby C, Levalley A, Katz MJ, Verghese J, Lipton RB. Education Delays Accelerated Decline on a Memory Test in Persons Who Develop Dementia. Neurology. (Online) 2007; 69(17): pp. 1657-1664. Available from: http://www.neurology.org (Accessed: 1st December 2010)

28. Khasanah N. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Penurunan Daya Ingat (Demensia) pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta. (Online) 2010. Available from: http://digilib.fk.umy.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=yoptumyfkpp-gdl-noviakhasa-151 (Accessed: 13th November 2010)

29. Republika Newsroom. TTS dan Catur Hindari Pikun. Republika. (Online) June 25, 2009. Available from: http://www.republika.co.id:8080/berita/58468/tts-dan-catur-hindari-pikun?quicktabs_58468=second (Accessed: 16th February 2010)

30. Meyers L. Warding off Dementia. Monitor on Psychology. (Online) 2008; 39(3): pp. 22. Available from: http://www.apa.org (Accessed: 1st December 2010)

31. Syamsuddin. Mencapai Optimum Aging pada Lansia. (Online) 2008. Available from: http://bp.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=797 (Accessed: 20th February 2010)

32. Viktor. Aktif Bergerak, Jauhkan Penyakit. (Online) 2009. Available from: http://www.dinkes-sumbar.org/index.php?file_id=14&class=news&act=read&news_id=562 (Accessed: 16th February 2010)

33. Winerman L. Exercise May Protect Against Brain-Cell Loss. Monitor on Psychology. (Online) 2005; 36(10): pp. 21. Available from: http://www.apa.org (Accessed: 1st December 2100)

83

Page 84: hasil IKM

34. Adhianingsari W. Dementia. (Online) 2006. Available from: http://fk-uii (Accessed: 20th February 2010)

35. Herdiana TR. Nikotin Merusak Otak. (Online) 2010. Available from: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2008565-nikotin-merusak-otak/ (Accessed: 13th November 2010)

36. Sacco KA, Termine A, Seyal A, Dudas MM, Vessicchio JC, et al. Effects of Cigarette Smoking on Spatial Working Memory and Attentimal Deficits in Schizophrenia: Involvement of Nicotinic Receptor Mechanism. Archives of General Psychiatry. (Online) 2005; 62(6): pp. 649-659. Available from: http://archpsyc.ama-assn.org/ (Accessed: 12th December 2010)

37. Treichel JA. Compound Improves Cognition in Schizophrenia Patients. Psychiatric News. (Online) 2006; 41(14): pp. 23. Available from: http://pn.psychiatryonline.org/ (Accessed: 12th December 2010)

38. Sahakian B, Jones G, Levy R, Gray J, Warburton D. The Effects of Nicotine on Attention, Information Processing, and Short-term Memory in Patients with Dementia of the Alzheimer Type. The British Journal of Psychiatry. (Online) 1989; 154: pp. 797-800. Available from: http://bjp.rcpsych.org/cgi/eletter-submit/154/6/797 (Accessed: 12th December 2010)

39. Bararah VF. Fakta Lain Seputar Nikotin. (Online) 2010. Available from: http://us.health.detik.com/read/2010/04/19/142254/1341126/763/fakta-lain-seputar-nikotin (Accessed: 12th December 2010)

40. Gunawan A. Merokok Mempercepat Hilangnya Daya Ingat pada Masa Tua. (Online) 2004. Available from: http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1080528075.89281. (Accessed: 16th February 2010)

41. Anstey KJ, Chwee VS, Agus S, Richard OK. Smoking as a Risk Factor for Dementia and Cognitive Decline: A Meta-Analysis of Prospective Studies. (Online) 2007. Available from: http://aje,oxfordjournals.org/misc/terms.shtml (Accessed: 6th March 2010)

84

Page 85: hasil IKM

42. Chen WT, Wang PN, Wang SJ, Fuh JL, Lin KN, Liu HC. Smoking and Cognitive Performance in the Community Elderly: A Longitudinal Study. Journal of Geriatric Psychiatry and Neurology. (Online) 2003; 16(1): pp. 18-22. Available from: http://online.sagepub.com/search/results?submit=yes&src=hw&andorexactfulltext=and&fulltext=smoking+and+dementia&x=13&y=9 (Accessed: 13th November 2010)

43. Doll R, Peto R, Boreham J, Sutherland I. Smoking and Dementia in Male British Doctors: Prospective Study. British Medical Journal. (Online) 2000; 320: pp.1097-1102. Available from: http://bmj.com/cgi/content/full/320/7242/1097 (Accessed: 13th November 2010)

44. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2003

45. Roan W. Delirium dan Demensia. (Online) 2007. Available from: http://IDI (Accessed: 26th March 2008)

46. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 1993

47. Halim H, Adhy T. Demensia Alzheimer pada Penderita Sindroma Down. Majalah Kedokteran Damianus Universitas Atma Jaya Jakarta 2009; 8(2): pp. 89-94

48. Walton SJ. 1982. Essentials of Neurology. 5th edition. London: Pitman Books Limited; 1982. pp. 139-142

49. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1999. pp. 245-248

50. Waxman SG. Correlative Neuroanatomy. 24th edition. United States of America: McGraw-Hill Companies; 2000. pp. 276-280

85

Page 86: hasil IKM

51. Yatim F. Pikun (Demensia), Penyakit Alzheimer dan Sejenisnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2003

52. Tjahyanto A, Surilena. Penatalaksanaan Non-Farmakologis Demensia. Majalah Kedokteran Damianus Universitas Atma Jaya Jakarta 2009; 8(1): pp. 7-10

53. Kuntjoro ZS. Gangguan Psikologis dan Perilaku pada Demensia. (Online) 2002. Available from: http://e-psikologi.com (Accessed: 26 March 2008)

54. Sjahrir H, Kiking R, Sumarnita T, Aldy SR, Irfan DL, Indra B. The Mini Mental State Examination in Healthy Individuals in Medan Indonesia by Age and Educational Level. (Online) 2001. Available from: http://www.neurology-asia.org/articles/20011_019.pdf (Accessed: 11 March 2010)

55. Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR. Mini Mental State. J Psychiatry Res 1975; 12: pp. 189-98

56. Galasko D, Klauber MR, Hofsteter R, Salmon DP, Lasker B, Thal LJ. The MMSE in The Early Diagnosis of Alzheimer’s Disease. Arch Neurology 1990; 47: pp. 49-52

57. Kaplan HI, Benjamin JS, Jack AG. Sinopsis Psikiatri. Trans Widjaja K. Edisi 7. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. pp. 868-872

86

Page 87: hasil IKM

Interpretasi :Skor 28 – 30 : Fungsi kognitif baik Skor 20 – 23 : Demensia borderlineSkor 24 – 27 : Fungsi kogntif sedang Skor 0 – 19 : Demensia

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

87

Page 88: hasil IKM

Lampiran 2. Master Tabel

Wisma No. NamaJenis

UsiaTingkat Kebiasaan Skor

Kelamin Pendidikan Merokok GDSMelati 1 Mth P 98 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 13 (Demensia)  2 At P 76 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 10 (Demensia)  3 Myt P 80 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 9 (DemensiaMawar 4 AM L 70 tahun SMA Merokok 25 (Kog.sedang)  5 Hrt L 70 tahun SMA Merokok 28 (Kog.baik)Tulip 6 Tgm L 96 tahun SMP Merokok 17 (Demensia)

7 AS L 86 tahun Tidak sekolah Merokok 24 (Kog.sedang)8 ASl L 75 tahun SR Tidak merokok 20 (D.borderline)

  9 Rst L 80 tahun SR Merokok 16 (Demensia) Sakura 10 Ksd L 68 tahun SMA Merokok 22 (D.borderline) Kenanga 11 SM P 68 tahun SMP Tidak merokok 22 (D.borderline) Flamboyan 12 Stn P 81 tahun SR Tidak merokok 24 (Kog.sedang)  13 Nsh P 65 tahun SMP Tidak merokok 20 (D.borderline)Seruni 14 Bkr L 70 tahun SR Tidak merokok 16 (Demensia)  15 Str L 74 tahun SMP Tidak merokok 30 (Kog.baik) Seroja 16 Lhr L 75 tahun SR Tidak merokok 24 (Kog.sedang)  17 Asw L 65 tahun STM Tidak merokok 17 (Demensia)  18 Spj L 77 tahun SR Tidak merokok 20 (D.borderline)

19 Smt P 65 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 11 (Demensia) Dahlia 20 Hry L 68 tahun SR Tidak merokok 18 (Demensia)  21 Srm L 80 tahun SR Tidak merokok 16 (Demensia)  22 Swr L 73 tahun SR Merokok 23 (D.borderline) Anggrek 23 SM P 77 tahun Tidak sekolah Merokok 13 (Demensia)  24 SK P 61 tahun SMP Tidak merokok 22 (D.borderline)  Kamboja 25 An P 70 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 14 (Demensia)

Page 89: hasil IKM

  26 Srt P 80 tahun Tidak sekolah Merokok 11 (Demensia)  27 Asm P 63 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 17 (Demensia)Bougenville 28 AS L 68 tahun SR Tidak merokok 27 (Kog.sedang)  29 Msr P 65 tahun SR Tidak merokok 20 (D.borderline)  30 Ysn P 73 tahun SR Tidak merokok 19 (Demensia)  31 Tt P 62 tahun SMP Merokok 27 (Kog.sedang)  32 Spt P 64 tahun Tidak sekolah Merokok 29 (Kog.baik)W. Kusuma 33 Hrm L 71 tahun SR Tidak merokok 28 (Kog.baik)

34 Krl L 65 tahun SR Tidak merokok 19 (Demensia)  35 Slm L 89 tahun SMA Merokok 23 (D.borderline)

36 Drn L 65 tahun SR Merokok 23 (D.borderline)   37 Lsn L 69 tahun SR Merokok 21 (D.borderline)  38 KT L 68 tahun SR Merokok 23 (D.borderline)  Teratai 39 Slt P 80 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 17 (Demensia)

40 SH P 64 tahun SMK Tidak merokok 26 (Kog.sedang)  41 Sym P 69 tahun SR Tidak merokok 4 (Demensia)  42 Mnh P 70 tahun SR Tidak merokok 10 (Demensia)

43 Ksm P 70 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 15 (Demensia)

84

Page 90: hasil IKM

Lampiran 3. Foto Penelitian

Foto 1. Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda

Foto2. Proses wawancara dengan responden

Page 91: hasil IKM

86