hasil IKM
-
Upload
tatik-handayani -
Category
Documents
-
view
96 -
download
1
Transcript of hasil IKM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Semakin meningkatnya pelayanan di bidang kesehatan dan tingkat
sosial ekonomi masyarakat serta tingginya tingkat pengetahuan masyarakat
secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup.
Pada tahun 2000 usia harapan hidup di Indonesia mencapai 67 tahun dan
jumlah populasi usia lanjut sebanyak 17 juta (7%). Pada tahun 2006 usia
harapan hidup mencapai 66 tahun, dan jumlah usia lanjut 19 juta (8,9%).
Menurut perkiraan pada tahun 2020, usia harapan hidup di Indonesia yaitu 71
tahun dan jumlah usia lanjut mencapai ±28,8 juta jiwa (11,34%). Ini
merupakan peringkat tertinggi keempat setelah Republik Rakyat Cina (RRC),
India, dan Amerika Latin.1,2 Sedangkan untuk provinsi Kalimantan Timur
dilaporkan jumlah usia lanjut pada tahun 2005 yaitu 87.000 dan pada tahun
2009 meningkat menjadi 90.801 jiwa. Sementara itu jumlah usia lanjut
berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada
tahun 2010 yaitu 97.748 jiwa. Angka ini akan terus meningkat dari tahun ke
tahun.3,4
Peningkatan jumlah penduduk usia lanjut di dunia khususnya
Indonesia dan Kalimantan Timur disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-
faktor tersebut antara lain: penurunan angka mortalitas, perkembangan vaksin
dan antibiotik, perbaikan gizi, perbaikan kesehatan masyarakat serta kemajuan
dalam terapi dan pencegahan penyakit kardiovaskuler. Namun ternyata
peningkatan jumlah usia lanjut ini akan membawa dampak di bidang
kesehatan, karena akan diikuti oleh bertambahnya penyakit yang berhubungan
dengan proses penuaan. Sedikitnya 80% dari usia lanjut diatas 65 tahun
mempunyai satu penyakit kronis dan banyak diantaranya mempunyai lebih
dari satu penyakit. Selain itu berbagai masalah fisik biologik, psikologik dan
sosial juga akan bermunculan pada penduduk usia lanjut.5,6
Salah satu masalah yang sering kali terjadi pada usia lanjut adalah
penurunan fungsi kognitif. Kognitif merupakan kemampuan pengenalan dan
penafsiran seseorang terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa,
memori, visuospasial, dan fungsi memutuskan. DSM-IV mengklasifikasikan
tiga kelompok gangguan pada fungsi kognitif yaitu Delirium, Demensia, dan
Amnestik.7
Pada sebagian orang menurunnya kemampuan kognitif sering kali
dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi pada
mereka yang berusia lanjut, padahal penurunan fungsi kognitif yang progresif
dan terus-menerus akan meningkatkan resiko seseorang menderita Demensia.
Demensia atau yang lebih dikenal dengan pikun merupakan suatu keadaan
hilangnya fungsi kognitif disertai kemunduran intelektual berat dan progresif
yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang
yang paling ditakuti saat ini.1
Demensia berpotensi mengakibatkan dampak yang dapat
menghancurkan sistem kesehatan masyarakat. Hal ini tidak hanya disebabkan
2
karena penduduk bertambah tua, tetapi juga dikarenakan Demensia adalah
suatu penyakit kronis yang menyebabkan seseorang kesulitan dalam menjalani
hidupnya. Berdasarkan data dari WHO (World Heath Organization),
disebutkan bahwa beban penyakit Demensia melebihi beban penyakit malaria,
tetanus, kanker payudara, dan penyalahgunaan obat-obatan. Disebutkan pula
bahwa beban penyakit akibat Demensia diperkirakan akan meningkat
sebanyak lebih dari 76% selama seperempat abad mendatang.8
Berdasarkan data, pada tahun 2005 penderita Demensia di kawasan
Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta jiwa dan menjelang tahun 2050 jumlah ini
diperkirakan meningkat menjadi 64,6 juta. Prevalensi dan insiden Demensia di
Indonesia (dalam ribuan) pada tahun 2005 yaitu 606,1 dan 191,4. Pada tahun
2020 prevalensi dan insiden Demensia diperkirakan akan meningkat menjadi
1.016,8 dan 314,1. Dan pada tahun 2050 diperkirakan prevalensi dan insiden
Demensia mencapai angka 3.042,0 dan 932,0.8
Melihat besarnya angka prevalensi dan insiden Demensia di Indonesia,
maka penurunan fungsi kognitif sebagai gejala dini Demensia, khususnya
pada usia lanjut, perlu untuk dideteksi sedini mungkin dan seakurat mungkin.
Hal tersebut dikarenakan kegagalan diagnosis dini Demensia dapat
menimbulkan penanganan yang tidak berguna dan pada hakikatnya akan
memberikan beban tambahan pada penderita dan keluarga. Diagnosis
Demensia yang tepat yang diikuti penatalaksanaan yang terarah akan
memberikan hasil yang optimal, mengurangi beban ekonomi, sosial dan emosi
3
serta memberi peluang yang lebih baik bagi pasien dan keluarga dalam
merencanakan kehidupannya di masa mendatang.1
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk
mengetahui ada tidaknya penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut yang
tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Nirwana Puri Samarinda,
sebagai salah satu bentuk deteksi dini terjadinya Demensia. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa MMSE (Mini Mental State
Examination), merupakan perangkat tes yang sering digunakan oleh klinisi
untuk mendeteksi penurunan fungsi kognitif.9 Selanjutnya penelitian ini
dikhususkan untuk memberikan gambaran mengenai faktor resiko terjadinya
penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut di PSTW Nirwana Puri. Banyak
faktor yang menyebabkan tingginya resiko seseorang mengalami penurunan
fungsi kognitif diantaranya usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
Merokok juga termasuk dalam faktor resiko, akan tetapi peranannya dalam
penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut masih terus diteliti. Keempat faktor
resiko ini lah yang nantinya akan diteliti secara langsung oleh peneliti pada
usia lanjut yang tinggal di PSTW Nirwana Puri. Peneliti tidak meneliti faktor-
faktor resiko yang lain dikarenakan keterbatasan data-data yang ada di panti
jompo tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
4
Bagaimana gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di
Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun 2010 ?
1.2.1 Sub Masalah
Bagaimana gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia
lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda tahun
2010 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan
kebiasaan merokok usia lanjut ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum :
Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada
usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
tahun 2010.
1.3.2 Tujuan Khusus :
Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada
usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
tahun 2010 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan
kebiasaan merokok usia lanjut.
1.4 Manfaat Penelitian
5
1.4.1 Manfaat praktis
- Memberikan informasi mengenai status fungsi kognitif pada usia
lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri
Samarinda dan diharapkan dapat memberi pengetahuan untuk
mengurangi terjadinya Demensia pada usia lanjut.
- Meningkatkan derajat kesehatan usia lanjut pada khususnya,
meningkatkan derajat kesehatan dan usia harapan hidup bangsa
Indonesia pada umumnya.
- Untuk institusi terkait dalam hal ini Panti Sosial Tresna Werdha
Nirwana Puri diharapkan dapat dijadikan masukan untuk
mendapatkan informasi yang lebih luas tentang permasalahan yang
sedang dihadapi oleh usia lanjut.
- Untuk pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan dan Dinas
Sosial RI, agar dapat dijadikan salah satu acuan untuk menyusun
strategi atau kebijakan dalam upaya peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan pada usia lanjut.
1.4.2 Manfaat ilmiah
- Memperkaya informasi dan pengetahuan kedokteran terutama di
bidang ilmu penyakit jiwa khususnya mengenai Demensia.
- Menambah informasi dan pengetahuan dibidang Geriatri-
Gerontologi.
6
- Sebagai dasar penelitian ilmiah selanjutnya dan perlu di
kembangkan dalam upaya pemecahan masalah kesehatan pada usia
lanjut untuk menunjang program kesehatan.
1.4.3 Manfaat bagi peneliti
- Sebagai sarana pembelajaran dan penerapan dari ilmu-ilmu yang
telah diperoleh selama perkuliahan khususnya ilmu penyakit jiwa.
- Meningkatkan pengalaman dan keterampilan peneliti dalam
menganalisis permasalahan yang ada di masyarakat.
- Sebagai pemenuhan tugas dalam memperoleh gelar sarjana
kedokteran.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Penuaan (Aging)
2.1.1 Hipotesa tentang proses penuaan
Proses penuaan disebut senescence (dari bahasa Latin senescere,
berarti menjadi tua) dan ditandai oleh penurunan bertahap pada fungsi
semua sistem tubuh yaitu kardiovaskuler, pernafasan, genitourinarius,
endokrin, kekebalan, dan lainnya. Secara umum proses menua didefinisikan
sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik,
progresif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dan untuk dapat
bertahan hidup. Proses menua antar individu dan antar organ tidaklah sama,
hal ini dikarenakan proses menua amat dipengaruhi oleh penyakit-penyakit
degeneratif, kondisi lingkungan serta gaya hidup.5,10
Berbagai teori tentang proses menua telah banyak dikemukakan,
namun demikian data-data dan fakta berdasarkan eksperimen belakangan ini
lebih mengarah pada teori cellular based theories of aging, karena
perubahan selular dianggap menjadi dasar perubahan di tingkat sistem organ
dan populasi. Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli biologi bernama
Weissman (1891). Weissman kemudian membedakan dua jenis sel manusia,
yaitu sel tubuh (somatic cells) dan sel kelamin (germ cells). Karena
diferensiasi sel tubuh dan kegagalan untuk membelah diri, akhirnya sel
8
tubuh mengalami proses penuaan dan akhirnya terjadi kematian pada
manusia tersebut.5,11
Penelitian-penelitian mengenai proses penuaan dari tahun ke tahun
terus berkembang. Pada tahun 1960, penelitian yang dilakukan oleh
Hayflick dan Moorhead mengungkapkan bahwa sel manusia terus-menerus
akan mengalami proses proliferasi atau pembelahan sel yang cepat. Proses
tersebut pada suatu waktu akan mengalami penurunan yang disebut sebagai
proses penuaan sel disusul dengan kematian sel.11
Teori biologis tentang proses penuaan kemudian dibagi menjadi teori
intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan
usia timbul akibat penyebab di dalam sel sendiri, sedangkan teori ekstrinsik
menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi diakibatkan oleh pengaruh
lingkungan. Teori intrinsik atau teori genetik menjelaskan bahwa di dalam
tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya
proses penuaan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Weissman
serta Hayflick dan Moorhead sebelumnya. Teori genetik mengakui adanya
mutasi somatik (somatic mutation), yang mengakibatkan kegagalan atau
kesalahan di dalam penggandaan DNA. Sedangkan Teori ekstrinsik atau
teori non genetik terdiri dari berbagai teori seperti teori radikal bebas, teori
cross-link, teori glikasi, teori kekebalan (immunologic theory) serta teori
fisiologis. Teori-teori ini kemudian menjelaskan tentang mekanisme
terjadinya penuaan.5,11
9
Salah satu penyebab terjadinya proses penuaan adalah terjadinya
perubahan pada DNA, RNA, dan protein. Sebagai contoh terjadi mutasi dan
anomali kromosom terus-menerus, yang kemudian akan terakumulasi dari
tahun ke tahun. Selain mutasi dan anomali, dikatakan pula bahwa kesalahan
duplikasi DNA yang terus-menerus meningkat akibat bertambahnya usia,
akan terakumulasi. Hasil akumulasi dari kesalahan genetik ini dalam jumlah
yang bermakna akan menyebabkan penuaan.5
Teori radikal bebas dipercaya sebagai teori yang dapat menjelaskan
terjadinya proses menua. Radikal bebas merupakan molekul, fragmen
molekul atau atom dengan elektron bebas tak berpasangan. Radikal bebas
ini terjadi dalam sistem metabolik, akibat polusi asap industri atau
kendaraan bermotor, radiasi, pestisida, zat pengawet makanan, kerusakan sel
atau sel mati pada penyakit seperti hepatitis dan kanker. Karena radikal
bebas sangat aktif, zat ini mudah terikat dengan molekul lain dan fungsi
molekul berubah. Radikal bebas dapat terikat pada DNA dan RNA pada inti
sel, sehingga terbentuk protein yang abnormal dan menimbulkan gangguan
fungsi sel. Radikal bebas ini merusak sel dan mengganggu fungsi sel dan
dapat menimbulkan penyakit, degenerasi sel serta mempercepat proses
penuaan.11
Teori kekebalan atau immunologic theory menjelaskan bahwa
perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan
dalam sel T sehingga produksi antibodi dan kekebalan menurun. Hal ini
terlihat pula pada mengecilnya kelenjar thymus pada usia lanjut. Padahal,
10
sistem kekebalan terlaksana berkat berfungsinya dengan baik jaringan
kelenjar limfa, sumsum tulang, tonsil, kelenjar thymus. Hal ini kemudian
berhubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian
pada usia lanjut akibat penyakit infeksi tertentu seperti meningitis,
tuberkulosis, pneumonia pneumokokus, influenza, dll.11
2.1.2 Perubahan pada otak akibat proses penuaan
2.1.2.1 Perubahan fungsi otak
Otak akan mengalami proses penuaan meliputi atrofi otak
yaitu sekitar 5-10% pada usia antara 30-70 tahun. Pada usia lanjut
atrofi terutama terjadi pada daerah hipokampus yang merupakan
pusat pengaturan proses belajar, memori, dan emosi. Setiap tahunnya
otak kehilangan sekitar 100.000 neuron, hal ini dikarenakan secara
berangsur-angsur tonjolan dendrit pada neuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif
akan terjadi fragmentasi dan kematian sel neuron. Gangguan pada
sel neuron ini meliputi penurunan fungsi saraf aferen yang
menyebabkan terjadinya penurunan penyampaian informasi sensorik
dari luar serta penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer
yang menyebabkan gangguan persepsi sensorik. Selain itu terjadi
pula gangguan pada pusat pengendalian saraf otonom (hipotalamus)
yakni bagian otak yang mengatur sekresi hormon. Medulla spinalis
ikut mengalami penurunan fungsi sehingga mempengaruhi
pergerakan otot dan sendi pada usia lanjut. Beberapa perubahan
11
fungsi ini akhirnya menimbulkan beberapa tanda klinis yang
berhubungan dengan proses penuaan, antara lain: perubahan memori,
aktivitas motor, gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas,
dingin), mood, pola tidur, dan fungsi neuroendokrin. Penurunan
kemampuan intelektual (kognitif) pun dimasukkan sebagai tanda
telah terjadinya suatu penuaan, walaupun pada sebagian orang
berusia lanjut hal tersebut tidaklah terjadi.5,9,11
2.1.2.2 Perubahan struktur otak
1. Perubahan yang terjadi di sel otak dan saraf berupa :
a. Jumlah sel menurun, dan fungsi digantikan sel yang tersisa
b. Terganggunya mekanisme perbaikan sel
c. Kontrol nukleus sel terhadap sitoplasma menurun
d. Terjadi perubahan jumlah dan struktur mitokondria
e. Degenerasi lisosom yang mengakibatkan hidrolisa sel
f. Berkurangnya butir Nissl
g. Terjadi penggumpalan kromatin
h. Terjadi penambahan pigmen lipofuscin
i. Terjadi vakuolisasi protoplasma
2. Perubahan yang terjadi di otak usia lanjut :
a. Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%, ukurannya
mengecil, terutama di bagian parasagital, frontal dan
parietal.
12
b. Jumlah neuron berkurang dan tidak dapat diganti baru.
Disamping itu terjadi penyusutan sel pyramidal cortex
cerebral dan penurunan sel non pyramidal.
c. Terjadi pengurangan neurotransmitter
Sel pyramidal: asam amino, asam glutamik dan asam
aspartik
Sel nonpyramidal: Gamma Amino Butyric Acid
(GABA), neuropeptides, somatostatin
Lain-lain: monoamines, dopamine, noradrenaline,
serotonin.
d. Terbentuknya struktur abnormal di otak dan
terakumulasinya pigmen organik-mineral seperti lipofuscin,
plak amiloid dan neurofibrillary tangles.
e. Perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak,
seperti gangguan indera telinga, mata, gangguan
kardiovaskuler, gangguan kelenjar thyroid dan
kortikosteroid.
3. Selain itu terdapat pula perubahan-perubahan pada sel dan
jaringan ketika seseorang menjadi usia lanjut :
a. Adanya perubahan genetik yang mengakibatkan
terganggunya metabolisme protein.
b. Gangguan metabolisme asam nukleat dan DNA.
13
c. Terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil yang
mengakibatkan gangguan genetik.
d. Gangguan kegiatan enzim dan sistem pembuatan enzim.
e. Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan
hati.
f. Terjadi pengurangan parenkim.
g. Terjadi penurunan sitoplasma protein.
h. Peningkatan metaplasmik protein seperti kolagen dan
elastin.11
2.2 Fungsi Kognitif pada Usia lanjut
2.2.1 Definisi Usia lanjut
Berdasarkan WHO, usia lanjut dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
usia lanjut (elderly) berusia antara 60-74 tahun, tua (old) 75-90 tahun, dan
sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.12 Menurut UU RI No.13
tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia lanjut, disebutkan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.13
2.2.2 Fungsi Kognitif
Intelektual, emosi, serta tingkah laku manusia sehari-hari sangatlah
kompleks dan bervariasi, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah
gangguan dari ketiga hal tersebut dapat dijadikan indikator adanya kelainan
pada otak. Nyatanya intelektual, emosi, serta tingkah laku sehari-hari
memiliki area pengaturan yang berbeda (anatomi yang berbeda) serta
14
interpretasi yang berbeda juga (paralise sensorik dan motorik atau aphasia).
Komponen dari mental dan tingkah laku yang diamati meliputi perhatian,
persepsi dan interpretasi, daya ingat (baik jangka pendek maupun jangka
panjang), kemampuan berpikir dan memberi alasan, emosi dan mood,
inisiatif, bersosialisasi, pemahaman. Dari semua itu, perhatian serta persepsi
dan interpretasi berhubungan dengan fungsi sensorik. Daya ingat atau
memori serta kemampuan berpikir berhubungan dengan fungsi kognitif.
Emosi dan mood, afektif. Inisiatif berhubungan dengan fungsi conative,
bersosialisasi menunjukkan kemampuan seseorang berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya, dan pemahaman menunjukkan kapasitas seseorang
mengerti sesuatu hal. Masing-masing komponen tersebut memiliki sisi
objektif dan sisi subjektif. Objektif ditunjukkan sebagai respon tingkah laku
diproduksi oleh beberapa stimulus. Sedangkan subjektif ditunjukkan dalam
proses berpikir dan perasaan yang digambarkan oleh seseorang sebagai
bentuk respon terhadap stimulus.14
Studi proses menua yang dilakukan oleh Baltimore Longitudinal
Study menyimpulkan bahwa terjadi perubahan proses kognisi seiring dengan
bertambahnya usia, misalnya kecepatan belajar dan kecepatan memecahkan
masalah serta memori. Kemampuan visuospasial (seperti menggambar
objek tiga dimensi, menyusun suatu balok) serta kemampuan verbal (diukur
melalui kecepatan memberi nama suatu objek, menyebutkan kata yang
berlawanan dengan huruf tertentu) juga menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Umumnya kemampuan-kemampuan yang menyangkut
15
fungsi kognitif ini mulai menurun sejak memasuki usia 60-an, dan akan
semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Namun demikian,
kemampuan verbal (seperti kosa kata, informasi, perbandingan) masih
terpelihara baik sampai usia 80 tahun.5
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat
(DSM-IV) mengklasifikasikan tiga kelompok gangguan yaitu Delirium,
Demensia, dan gangguan Amnestik ke dalam kategori gangguan kognitif.
Walaupun DSM-IV menyatakan bahwa gangguan psikiatrik lain dapat
memiliki suatu gangguan kognitif sebagai suatu gejalanya, tetap saja
gangguan kognitif merupakan gejala umum dari Delirium, Demensia, dan
gangguan Amnestik.7
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif
1. Usia
Semakin lanjut usia seseorang maka resiko untuk terjadinya
penurunan kognitif akan semakin besar. Menurut penelitian,
prevalensi Demensia adalah 3% dari populasi penduduk usia 60
tahun ke atas.15 Sedangkan menurut Asosiasi Alzheimer
Indonesia (AAzI), pada usia 65 tahun insiden Demensia
mencapai 15%, jumlah ini akan meningkat dua kali setiap
kenaikan umur 5 tahun.1 Penelitian yang lain menyebutkan
bahwa prevalensi Demensia hampir 5% pada populasi usia di
atas 65 tahun dan menunjukkan peningkatan yaitu 14% pada
usia 65-69 tahun dan 24-50% pada usia 85 tahun ke atas. Dari
16
peningkatan angka kejadian Demensia tersebut dapat diketahui
bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka fungsi kognitif akan
semakin mengalami penurunan.9,16
2. Jenis kelamin
Meski menjadi hal yang wajar akibat proses penuaan, ternyata
pikun lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria.
Namun demikian tidak ada perbedaan yang signifikan atara jenis
kelamin dan Demensia.17 Selain osteophorosis, jantung koroner
dan stroke, dampak lain dari kekurangan estrogen pada jangka
waktu lama adalah Demensia.18 Daya ingat wanita cenderung
cepat tumpul karena penurunan hormon estrogen saat
menopause, yang lebih dini dibandingkan pria. Hal ini lah yang
menyebabkan fungsi kognitif pada wanita lebih cepat menurun.
Di otak, reseptor estrogen terutama terletak pada area dimana
terdapat fungsi belajar dan mengingat, seperti hipokampus dan
amygdala.19 Salah satu penelitian menyebutkan prevalensi
wanita menderita Demensia lebih tinggi dibanding pria, karena
umumnya pria mengalami tahapan MCI (Mild Cognitive
Impairment) terlebih dahulu sebelum akhirnya mengalami
Demensia, sementara wanita langsung mengalami Demensia
bila terjadi gangguan fungsi kognitif tanpa mengalami tahapan
MCI.20
17
3. Stroke
Serangan stroke yang berturut-turut dapat menyebabkan
penurunan fungsi kognitif dan meningkatkan resiko terjadinya
Demensia sebesar 4 sampai 12 kali. Serangan-serangan stroke
ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak.
Semakin luas lesi akibat stroke yang dilihat dari CT-scan kepala
pasien, maka semakin berat pula penurunan fungsi kognitif yang
terjadi. Resiko penurunan ini meningkat sesudah serangan
stroke.21
4. Nutrisi
Vitamin B diketahui memiliki peranan dalam terjadinya
Demensia. Penelitian menyebutkan hal ini berhubungan dengan
hiperhomosisteinemia, dimana ditemukan angka kejadian
Demensia lebih tinggi pada orang dengan homosistein yang
tinggi (hiperhomosisteinemia) dibandingkan orang yang
memiliki homosistein yang lebih rendah. Hiperhomosisteinemia
ini dikarenakan defisiensi asam folat atau vitamin B6 atau
vitamin B12 berdampak pada gangguan dalam metabolisme
homosistein, sehingga homosistein tidak dapat diubah menjadi
metionin dan sistein. Pada akhirnya defisiensi vitamin B ini
pada usia lanjut berhubungan dengan lemahnya fungsi kognitif
dan rendahnya nilai kemampuan bahasa dan ekspresi.22,23
18
Salah satu jenis vitamin B, kolin, adalah bahan dasar asetilkolin
yaitu neurotransmitter yang berperan aktif dalam pembentukan
memori di saraf otak. Jenis vitamin B lain, niasin, membantu
sintesis dan perbaikan DNA. Kekurangan niasin meningkatkan
kemungkinan menderita Alzheimer sebesar 80%. Orang-orang
yang sangat kekurangan vitamin B memiliki gelombang otak
yang abnormal, menyebabkan memori yang rusak dan gangguan
psikologis lainnya.24
5. Tekanan darah
Tekanan darah yang tinggi pada usia muda atau pertengahan,
diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan fungsi
kognitif pada usia lanjut. Hasil penelitian di Honolulu
menyebutkan bahwa setiap peningkatan 10 mmHg tekanan
darah sistolik (TDS) terdapat peningkatan risiko sebesar 7%
timbulnya penurunan fungsi kognitif sedang dan 9% timbulnya
fungsi kognitif yang buruk. Selain hipertensi, hipotensi (tekanan
darah sistole <140 mmHg) dan tekanan nadi yang rendah (<70
mmHg) juga menunjukkan peningkatan resiko terjadinya
Demensia pada usia lanjut.25
6. Tingkat pendidikan
Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan antara angka
kejadian Demensia pada usia lanjut dengan tingkat pendidikan,
hal ini terlihat dari skor-skor pada pemeriksaan status fungsi
19
kognitif, sebagai contoh MMSE, berbanding lurus dengan
tingkat pendidikan usia lanjut. Ini dikarenakan beberapa
komponen dalam pemeriksaan tersebut menuntut kecakapan
usia lanjut dalam hal mengkalkulasi, berbahasa, orientasi serta
registrasi. Tentu saja keempat komponen tersebut akan sukar
dilakukan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang rendah.26
Penelitian lain menyatakan bahwa pendidikan tinggi ternyata
dapat menunda terjadinya Demensia, karena pendidikan
diketahui dapat meningkatkan memori otak dengan
meningkatkan densitas sinaps-sinaps neurokortikal.27,28
7. Pola hidup dan faktor kebiasaan
Rutin berolahraga dan rajin melakukan kegiatan-kegiatan
intelektual yang mengasah otak pada saat berusia lanjut
diketahui dapat menurunkan resiko terjadinya penurunan fungsi
kognitif. Kegiatan-kegiatan intelektual yang mengasah otak,
seperti: bermain catur, mengisi teka-teki silang, berdiskusi
mengenai topik aktual serta membaca koran harus sering-sering
dilakukan oleh para usia lanjut karena menurut penelitian,
kegiatan-kegiatan semacam ini dapat meningkatkan stimulasi
kognitif dan mendorong berkembangnya dendrit serta
meningkatnya plastisitas sistem saraf pusat, sehingga fungsi
kognitif tetap bertahan baik.15,29,30
20
Rutin berolahraga ringan bagi usia lanjut, seperti berjalan kaki
ataupun aerobik, berdampak positif terhadap perbaikan fungsi
kognitif usia lanjut yang mengidap gangguan fungsi kognitif
ringan. Hal ini dikarenakan olahraga ataupun kegiatan-kegiatan
fisik lainnya dapat meningkatkan aliran darah otak dan produksi
fakor-faktor pertumbuhan untuk saraf, sehingga lebih lanjut
mengurangi resiko terjadinya Demensia.31,32,33
8. Penurunan fungsi kognitif juga dapat terjadi setelah seseorang
mengalami trauma kepala atau cardiac arrest.34
9. Merokok
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan
sebelumnya, diketahui bahwa merokok memiliki kaitan dengan
kejadian Demensia. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa
konsumsi nikotin ternyata akan lebih meningkatkan efek yang
merugikan bagi otak maupun kesehatan jantung dan
berpengaruh terhadap penurunan fungsi kognitif serta
Demensia.35 Penelitian berbeda menyebutkan efek nikotin
meningkatkan atensi, konsentrasi, fungsi kognitif serta
memperbaiki penurunan daya ingat pada penderita Demensia
Alzheimer.36,37,38,39
Penelitian lainnya menyebutkan mereka yang dulunya merokok
dan kini sudah berhenti, memiliki resiko dua kali lipat
dibandingkan dengan mereka yang sama sekali tidak pernah
21
merokok. Dan mereka yang merokok sepanjang hidupnya akan
lebih cepat mengalami kehilangan daya ingat. Penelitian yang
sama menunjukkan bahwa merokok pada usia pertengahan
menimbulkan adanya kecenderungan penurunan daya ingat dan
perubahan fungsi ingatan dibandingkan dengan mereka yang
tidak merokok sebelum menginjak usia 60 tahun.40 Penelitian
yang dilakukan oleh Dr. Kareen J. Anstey dkk dari The
Australian National University, menyebutkan bahwa orang yang
mulai aktif merokok ketika berusia lanjut memiliki resiko
penurunan fungsi kognitif dan Demensia 40-80% lebih tinggi
dibanding usia lanjut yang tidak pernah merokok seumur
hidupnya. Namun demikian, berdasarkan penelitian tersebut
tidak ditemukan adanya peningkatan resiko Demensia dan
adanya penurunan fungsi kognitif bagi usia lanjut yang aktif
merokok selama hidupnya jika dibandingkan dengan usia lanjut
yang tidak pernah merokok sama sekali. Sedangkan untuk
mantan perokok, jika dibandingkan dengan usia lanjut yang
tidak pernah merokok, tidak ditemukan adanya peningkatan
resiko terjadinya Demensia, tetapi pada pemeriksaan MMSE
didapatkan penurunan skor MMSE tiap tahunnya.41 Penelitian
lain menyebutkan merokok tidak mempengaruhi fungsi kognitif
individu, dan tidak ditemukan adanya perbedaan yang berarti
antara usia lanjut yang merokok maupun tidak merokok
22
terhadap fungsi kognitifnya setelah disesuaikan dengan faktor
resiko lainnya seperti usia dan tingkat pendidikan.42,43
2.3 Demensia
2.3.1 Definisi
Demensia adalah sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat
kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (kortikal yang
multiple) yaitu: daya ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman,
berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, kemampuan menilai. Kesadaran
tidak berkabut, biasanya disertai hendaya fungsi kognitif, dan ada kalanya
diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi,
perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer,
pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau
sekunder mengenai otak.44
2.3.2 Epidemiologi
Dari beberapa tipe Demensia, yang terbanyak diderita oleh usia
lanjut yaitu Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Dari penelitian,
untuk kawasan Amerika dan Eropa, didapatkan hasil bahwa sekitar 50
hingga 60 persen dari total penderita Demensia, menderita Demensia
Alzheimer (Alzheimer’s diseases). 15 hingga 30 persen dari total penderita
Demensia, menderita Demensia Vaskuler.7 Angka ini berbeda dengan yang
ditemukan di kawasan Asia. Persentase kejadian Demensia Vaskuler di
kawasan Asia justru mencapai 50% dari total kejadian Demensia dan
apabila dilihat dari etiologinya Demensia Pasca-stroke merupakan 15-30%
23
dari Demensia Vaskuler, angka ini akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya usia.16
2.3.3 Klasifikasi Demensia
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (PPDGJ III), Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan
umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya.45,46
1. Menurut umur :
a. Demensia senilis (>65th)
b. Demensia prasenilis (<65th)
2. Menurut perjalanan penyakit :
a. Irreversibel
b. Reversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma,
defisiensi vitamin B, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
3. Menurut kerusakan struktur otak :
a. Tipe Alzheimer
b. Tipe non-Alzheimer
c. Demensia vaskular
d. Demensia Jisim Lewy (Lewy Body Dementia)
e. Demensia Lobus frontal-temporal
f. Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)
g. Morbus Parkinson
h. Morbus Huntington
i. Morbus Pick
24
j. Morbus Jakob-Creutzfeldt
k. Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
l. Prion disease
m. Palsi Supranuklear progresif
n. Multiple skeloris
o. Neurosifilis
p. Tipe campuran
4. Menurut sifat klinis :
a. Demensia proprius
b. Pseudo-demensia
Dari klasifikasi Demensia di atas, diketahui bahwa jenis-jenis Demensia
sangatlah beragam. Namun demikian, Demensia Alzheimer dan Demensia
Vaskuler merupakan dua jenis Demensia yang seringkali dijumpai dalam
masyarakat. Berikut akan dijelaskan secara ringkas mengenai kedua jenis
Demensia tersebut.
1. Demensia Alzheimer
Demensia tipe ini pertama kali digambarkan oleh Alois Alzheimer
pada tahun 1907. Digambarkan oleh Alois Alzheimer suatu kondisi dimana
seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan Demensia yang
progresif selama 4,5 tahun. Kondisi ini selanjutnya diberi nama sesuai
namanya sendiri yaitu Alzheimer.10
25
Diketahui beberapa faktor resiko dalam perkembangan Demensia
Alzheimer, yaitu: wanita, genetik (riwayat keluarga atas penyakit yang
sama), dan mempunyai riwayat cedera kepala. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa 40% dari pasien Demensia mempunyai riwayat keluarga
menderita Demensia Alzheimer, sehingga dapat disimpulkan bahwa
setidaknya dari beberapa kasus faktor genetik memang mempengaruhi
perkembangan Demensia Alzheimer. Penelitian selanjutnya diketahui
bahwa Sindroma Down juga secara karakteristik berhubungan dengan
perkembangan Demensia Alzheimer.7
Berdasarkan penelitian, dikatakan bahwa penderita Sindroma
Down (trisomi 21) mempunyai resiko lebih besar untuk terjadinya
Demensia Alzheimer. Bahkan insiden Demensia Alzheimer pada Sindroma
Down 3 sampai 5 kali lebih banyak dibanding orang normal. Selain insiden
terjadinya Demensia Alzheimer yang lebih banyak dibanding orang normal,
penderita Sindroma Down juga diketahui mengalami Demensia lebih awal.
Kisaran usia kemunculannya lebih cepat 20 tahun dibanding orang normal
pada umumnya, yaitu berkisar antara usia 30 hingga 40 tahun. Hal ini
terlihat dari 25% penderita Sindroma Down berumur di atas 35 tahun telah
menunjukkan gejala-gejala Demensia Alzheimer. Adanya ekstra gen akibat
abnormalitas kromosom ketiga (trisomi 21) pada Sindroma Down
merupakan suatu faktor penyebab berkembangnya penyakit Alzheimer lebih
dini.47
26
Diagnosa akhir Demensia Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan
neuropatologi otak penderita. Penelitian neuroanatomi otak klasik pada
pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi dengan
pendataran sulkus kortikalis dan dilatasi ventrikel serebri, dapat diketahui
pada CAT scanning.7,48
Ada tiga perubahan mikroskopis klasik dan patognomonik pada Demensia
Alzheimer, yaitu:
a. Bercak penuaan (senile atau neuritic plaque), berupa deposit
material amorf (amiloid) yang dikelilingi oleh akson dan dendrit
yang abnormal serta mikroglia dan astrosit reaktif. Komponen
utama amiloid di dalam neuritic plaque yaitu protein beta
amiloid/A4, yang merupakan neurotoksik. Hasil penelitian
menunjukkan adanya protein beta amiloid/A4 secara langsung
menyebabkan kematian sistem saraf pada penyakit Alzheimer.
Senile atau neuritic plaque ini banyak tersebar pada korteks
serebri.49
b. Neurofibrillary tangles berupa massa berbentuk simpul,
kumparan atau kekusutan serabut neuron di dalam sitoplasma
sel neuron. Pada dasarnya neurofibrillary tangles dan neuritic
plaque ditemukan pada otak normal orang dengan usia lanjut.
Tetapi ketika ditemukan jumlahnya yang meningkat pada otak,
dikatakan sebagai tanda telah terjadinya Alzheimer.50
Neurofibrillary tangles ditemukan terutama dalam girus
27
hipokampus, lainnya dalam amigdala dan lobus temporalis di
dekatnya, girus singuli lokus sereleus serta sedikit dalam
substansi nigra. Selain ditemukan pada demensia Alzheimer,
ternyata neurofibrillary tangles ini juga ditemukan pada
penyakit lain, seperti Demensia Parkinson.49
c. Degenerasi granulovakuola, terutama ditemukan pada sel-sel
piramidal dalam hipokampus, juga korteks serebri.49
2. Demensia Vaskuler
Demensia Vaskuler paling sering ditemukan pada laki-laki dengan
kisaran usia antara 60 sampai 70 tahun. Hipertensi merupakan faktor
predisposisi bagi seseorang untuk menderita Demensia tipe ini. Gangguan
terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang
yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim multipel yang
menyebar luas pada otak. Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah
oleh plaque arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain (misalnya
katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil
funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung.7,10
Penurunan fungsi kognitif pada Demensia Vaskuler tergantung
pada jenis gangguannya. Dapat akut atau tiba-tiba bila terjadi gangguan
pembuluh darah secara mendadak, dan akan menurun lagi bila serangan itu
berulang.15
28
2.3.4 Tanda dan Gejala Demensia
1. Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
2. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
3. Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
4. Defisit neurologik motor & fokal
5. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
6. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoid
7. Agnosia, apraxia, afasia
8. ADL (Activities of Daily Living) susah
9. Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
10. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
11. Lupa meletakkan barang penting
12. Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
13. Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
14. Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
15. Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
16. Tak dapat makan dan menelan
17. Koma dan kematian.45
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis Demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien,
termasuk pemeriksaan status mental, dan informasi dari anggota keluarga
maupun kerabat terdekat. Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual
dan menjadi pelupa harus diperhatikan. Selain itu, dengan ditunjang
29
pemeriksaan CT scan juga MRI, sensitivitas diagnostik mencapai 85-90%.
7,49
2.3.6 Diagnosis Banding
1. Delirium
Tabel 2.1 Perbedaan klinis Delirium dan Demensia45
Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, dehidrasi, guna/putus obat
Biasanya penyakit otak kronik (spt Alzheimer, demensia vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik progresif
Taraf kesadaran Naik turun Normal
Orientasi Terganggu, periodic Intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat
Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya
Atensi & kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversible Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
30
2.
2. De2. Depresi
Pasien dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum
memiliki gejala-gejala depresi yang mencolok, umumnya pasien
depresi lebih menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami
daripada pasien dengan demensia.7
3. Pseudodemensia
Pada pseudodemensia terjadi perubahan tingkah laku yang tiba-
tiba (onset akut) serta penderita memiliki banyak keluhan
padahal hasil tes neuropsikologis menunjukkan tidak adanya
kelainan. Sedangkan pada Demensia onset penyakit perlahan-
lahan dan ditemukan hasil tes neuropsikologis jelek.1
4. Skizofrenia
Dibandingkan dengan Demensia, Skizofrenia memiliki gejala
psikosis dan gangguan fungsi intelektual serta gangguan pikiran
yang lebih ringan.7
5. Proses penuaan yang normal
31
Pada proses penuaan yang normal juga ditemukan adanya
penurunan fungsi kognitif. Hal ini ditandai dengan terjadinya
penurunan daya ingat (memori), hanya saja pada kondisi
penuaan yang normal penurunan daya ingat ini bersifat ringan
dan tidak sampai mengganggu ADL.7
2.3.7 Prognosis
Demensia merupakan gangguan yang perkembangannya progresif
dari tahun ke tahun dan sering berakhir dengan kematian. Hal ini diperberat
dengan riwayat keluarga serta onset dini dari Demensia. Namun demikian,
dengan deteksi dini Demensia serta terapi yang cepat dan tepat, gangguan
yang terjadi dapat diperbaiki (reversible).7
2.3.8 Terapi
Penatalaksanaan pada Demensia dititik beratkan pada :
a. Pencegahan Demensia Vaskuler, dengan pengendalian penyakit-
penyakit jantung dan pembuluh darah.
b. Mengobati penyakit-penyakit yang memperberat kejadian Demensia.
c. Mengobati gejala-gejala gangguan jiwa yang mungkin menyertai
Demensia.
d. Mengatasi masalah penyimpangan perilaku dengan obat-obatan
penenang (transquillizer dan hipnotic) serta pemberian obat-obatan
anti kejang bila perlu.
e. Pendekatan psikologi dalam mengatasi masalah perilaku.
32
f. Memberikan konseling pada keluarga penderita serta orang-orang
yang ada disekitar penderita.51
Secara umum, terapi dari Demensia terbagi dua yaitu :
1. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi berupa45 :
a. Nootropika :
- Pyritinol (Encephabol) 1 x 100 - 3 x 200 mg
- Piracetam (Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
- Sabeluzole (Reminyl)
b. Ca-antagonis :
- Nimodipine (Nimotop 1- 3 x 30 mg)
- Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v./i.m.
- Cinnanzine (Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
- Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infus
- Pantoyl-GABA
c. Acetylcholinesterase inhibitor :
- Tacnne 10 mg dinaikkan lambatlaun hingga 80 mg (Hepatotoksik)
- Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase
inhibitor, 5 mg 1x /hari
- Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
- Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
- Memantine 2 x 5 mg 10 mg.
33
2. Terapi Non Farmakologis
Tiga bentuk utama dalam terapi non-farmakologis bagi penderita
Demensia, yaitu: managing the family, managing the environment, dan
managing the patient. Tujuan terapi non-farmakologis adalah untuk
memperbaiki orientasi realitas pasien, memodifikasi perilaku, membantu
keluarga atau pengasuh dalam pembuatan pelaksanaan program aktivitas
harian penderita, serta memberikan pelatihan yang benar pada keluarga
maupun pengasuh bagaimana menghadapi dan mengasuh penderita
Demensia.51 Termasuk dalam terapi non-farmakologis :
a. Intervensi lingkungan :
- Penyesuaian fisik (bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia)
- Penyesuaian waktu (membuat jadwal rutin)
- Penyesuaian lingkungan malam hari (mandi air hangat, tidur teratur)
- Penyesuaian indera (mata, telinga)
- Penyesuaian nutrisi (makan makanan dgn gizi seimbang).
b. Intervensi perilaku :
- Wandering
Yakinkan dimana keberadaan pasien
Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan di luar ruangan
Gelang pengenal "Hendaya Memori".
- Agitasi dan agresivitas
Hindari situasi yang memprovokasi
34
Hindari argumentasi
Sikap kita tenang dan mantap
Alihkan perhatian ke hal lain.
- Sikap dan pertanyaan yang berulang
Tenang, dengarkan dengan baik, jawab dengan penuh pengertian.
Bila masih berulang, acuhkan dan usahakan alihkan perhatian ke
hal yang menarik pasien.
- Perilaku seksual yang tidak wajar
Tenang dan bimbing pasien keruang pribadinya
Alihkan ke hal yang menarik perhatiannya
Bila didapatkan dalam keadaan telanjang, berilah baju atau
selimut untuk menutupi badannya. Bantu mengenakan baju
kembali.
c. Intervensi psikologis :
- Intervensi psikologis dapat berupa psikoterapi untuk mengurangi
kecemasan, memberi rasa aman dan ketenangan, dalam bentuk:
psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga
- Untuk pengasuh diperlukan: dukungan mental, pengembangan
kemampuan adaptasi dan peningkatan kemandirian, serta
kemampuan menerima kenyataan (realistik).
- Mengatasi mudah “lupa” lakukan: latihan terus-menerus, berulang-
ulang, tingkatkan perhatian, asosiasikan hal yang diingat dengan hal
yang sudah ada dalam otak.53
35
2.4 Mini Mental State Examination (MMSE)
Deteksi penurunan fungsi kognitif dapat dilakukan melalui
pemeriksaan status mental yang meliputi atensi, bahasa, memori jangka pendek,
visuospasial dan fungsi eksekusi serta pemeriksaan fungsi luhur untuk mengetahui
hubungan struktur dan fungsi. Secara kuantitatif untuk mendeteksi penurunan
fungsi kognitif tersebut dapat digunakan 3 jenis perangkat tes, yaitu : Mini Mental
State Examination (MMSE), Clinical Dementia Rating (CDR), Global
Deterioration Scale (GDS).9 Dari ketiga jenis perangkat tes tersebut, yang
sekarang paling sering digunakan oleh klinisi adalah MMSE. MMSE atau
pemeriksaan status mental mini merupakan salah satu pemeriksaan mental mini
yang cukup populer, yang diperkenalkan oleh Folstein et al pada tahun 1975.
MMSE secara luas digunakan sebagai pemeriksaan standar status mental di
banyak negara, dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa
Indonesia.21
MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana, mengikuti
perjalanan penyakit, dan memonitor respon pasien terhadap terapi. Gangguan
tersebut meliputi atensi, orientasi, berhitung, bahasa, ingatan segera, memori
jangka pendek, kemampuan verbal serta kemampuan pasien menulis apa yang
diinstruksikan. Tes ini tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya,
hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Akan tetapi, pada pasien dengan
tingkat pendidikan rendah dan intelegensi yang kurang, memerlukan waktu
pemeriksaan yang lebih lama.54
36
Pengelompokan skor instrumen MMSE menurut kriteria Folstein dan
Galasko, yaitu: fungsi kognitif baik bila skor 28 – 30, fungsi kognitif sedang bila
skor 24 – 27, Demensia borderline bila skor 20 – 23, dan Demensia bila skor 0 –
19.55,56
Namun demikian, total skor pada MMSE ternyata tidak sepenuhnya
menggambarkan keadaan asli individu yang diperiksa. Latar belakang pendidikan
akan turut mempengaruhi total skor pada pemeriksaan. Oleh sebab itu, tes ini
tidak digunakan untuk membuat suatu diagnosis resmi terhadap Demensia,
melainkan hanya digunakan sebagai screening test. Untuk benar-benar
mendiagnosis seseorang menderita Demensia, selain digunakan MMSE
(pemeriksaan neuropsikologis), juga harus dilakukan pemeriksaan fisik, riwayat
penyakit dan aktivitas fungsional sehari-hari.1,57
Dari pemeriksaan-pemeriksaan MMSE yang telah banyak dilakukan,
diketahui bahwa semakin tinggi nilai hasil pemeriksaan MMSE akan mengurangi
kemungkinan terjadinya Demensia sekitar 95%.14
2.5 Profil Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Nirwana Puri Samarinda adalah
satu-satunya panti jompo yang dimiliki Pemerintah yang berada di Samarinda,
berada langsung dibawah pengawasan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur.
PSTW Nirwana Puri yang terletak di Jalan Mayjen Sutoyo (ex. Jalan Remaja) No.
7 Samarinda ini didirikan pada tahun 1978, diresmikan oleh Direktur Jenderal
Bantuan Sosial Departemen Sosial. Awalnya panti ini bernama “Sasana Tresna
37
Werdha Nirwana Puri”, kemudian dengan ketetapan Menteri Sosial saat itu panti
ini berganti nama menjadi “Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri
Samarinda”. Dalam perkembangan selanjutnya PSTW Nirwana Puri banyak
menjalin kerjasama dengan berbagai instansi seperti RSUD AW.Sjahranie, RSJ
Atma Husada, Puskesmas Remaja, serta Poltabes Samarinda.
PSTW Nirwana Puri Samarinda memiliki luas lahan ± 20.850 m2
terdiri dari 15 wisma dengan keseluruhan daya tampung 120 orang, 1 poliklinik, 1
mushola, 1 dapur umum, kantor, serta beberapa bangunan lainnya. 15 wisma yang
membentuk komplek perumahan di area panti merupakan tempat tinggal para usia
lanjut, dimana penghuni wisma-wisma tersebut dibedakan berdasarkan jenis
kelamin, namun ada pula 1 wisma dimana seluruh penghuninya merupakan
pasangan suami istri. Masing-masing wisma dihuni oleh 5-8 usia lanjut, ditambah
dengan seorang pengasuh yang bertugas merawat serta mengawasi kegiatan para
usia lanjut setiap harinya.
Saat ini PSTW Nirwana Puri Samarinda menampung sekitar 110
orang usia lanjut, dengan jumlah penghuni perempuan yaitu 58 orang dan
penghuni laki-laki 52 orang. Para usia lanjut ini berasal dari berbagai daerah
seperti Samarinda, Balikpapan, Berau, Tarakan, Bontang, Paser, Panajam, Kutai
Kartanegara serta Kutai Timur. Untuk dapat menjadi penghuni PSTW Nirwana
Puri Samarinda ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi para usia lanjut,
antara lain:
1. Usia lanjut yang berumur 60 tahun keatas
38
2. Sehat jasmani dan rohani (dalam keadaan stabil saat masuk atau
mendaftar)
3. Terlantar atau ditelantarkan.
4. Bersedia tinggal di panti.
5. Surat keterangan tidak mampu dari aparat setempat atau desa atau
kelurahan.
6. Surat keterangan dari instansi sosial kabupaten atau kota.
39
BAB III
KERANGKA KONSEP
40
Fungsi Kognitif Demensia
Usia Jenis kelamin Stroke Nutrisi Tekanan darah Tingkat
pendidikan Pola hidup dan
faktor kebiasaan
Asam urat tinggi
Konsumsi obat Post head
injury Merokok
Pemeriksaan : MMSE (Mini
Mental State Examination )
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif observasional.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana
Puri Samarinda pada bulan Februari 2010 sampai November 2010.
4.3 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah semua usia lanjut yang ada di
Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
- Semua penghuni panti jompo yang berusia 60 tahun atau lebih yang
tinggal dan menetap di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri
Samarinda periode Agustus 2010.
- Penghuni panti jompo yang bersedia untuk dijadikan responden.
41
4.4.2 Kriteria Eklusi
- Penghuni panti jompo yang berusia kurang dari 60 tahun.
- Penghuni panti jompo yang memiliki gangguan pendengaran atau
penglihatan, serta memiliki gangguan dalam berkomunikasi.
- Penghuni panti jompo yang memiliki gangguan jiwa.
4.5 Cara Pengumpulan Data
4.5.1 Data Primer
Data primer diperoleh melalui pemeriksaan atau wawancara
langsung terhadap usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna
Werdha Nirwana Puri Samarinda dengan menggunakan instrumen
MMSE.
4.5.2 Data Sekunder
Data sekunder berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan
diperoleh dari data keanggotaan usia lanjut di Panti Sosial Tresna
Werdha Nirwana Puri Samarinda.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mini Mental
State Examination (MMSE).
42
4.7 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
4.7.1 Usia lanjut
Usia lanjut adalah laki-laki atau perempuan berusia 60 tahun atau
lebih yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri
Samarinda.
Kriteria Objektif :
- 60 - 74 tahun
- 75 - 90 tahun
- > 90 tahun
4.7.2 Fungsi Kognitif
Merupakan kemampuan pengenalan dan penafsiran seseorang
terhadap lingkungannya berupa perhatian, bahasa, memori,
visuospasial, dan fungsi memutuskan. Derajat dan nilai gangguan
fungsi kognitif ditentukan dari pemeriksaan status mental mini
(MMSE), dalam bentuk skor.
Kriteria Objektif :
- skor 28 – 30 : fungsi kognitif baik
- skor 24 – 27 : fungsi kognitif sedang
- skor 20 – 23 : Demensia borderline
- skor 0 – 19 : Demensia
43
4.7.3 Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah jenis kelamin usia lanjut yang tinggal dan
menetap di Panti Werdha Nirwana Puri yang menjalani
pemeriksaan MMSE.
Kriteria Objektif :
- Laki-laki
- Perempuan
4.7.4 Tingkat Pendidikan
Keterangan mengenai tingkat pendidikan terakhir yang pernah
dijalani usia lanjut yang menjadi subjek penelitian.
Kriteria Objektif :
- Tidak sekolah atau tidak pernah mengenyam pendidikan
formal
- SD / SR (Sekolah Rakyat)
- SLTP / SMP atau yang sederajat
- SLTA / SMA atau yang sederajat
4.7.5 Kebiasaan Merokok
Keterangan mengenai kebiasaan merokok usia lanjut setiap harinya
hingga saat wawancara atau pemeriksaan dilakukan (perokok aktif
sekarang).
44
Kriteria Objektif :
- Merokok
- Tidak Merokok
4.8 Pengolahan dan Penyajian Data
Data hasil pemeriksaan MMSE diolah dengan menggunakan
program Excel, dan hasil yang didapat dikelompokkan berdasarkan usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan serta kebiasaan merokok usia lanjut, dan
disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.
4.9 Analisa Data
Pada penelitian ini digunakan analisa distribusi frekuensi untuk
analisa fungsi kognitif menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan
kebiasaan merokok usia lanjut. Hasil analisa masing-masing akan disajikan
dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.
45
Mengunjungi PSTW Nirwana Puri Samarinda
Menentukan sample usia lanjut yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi
Pengolahan data dan analisis hasil
Penilaian status fungsi kognitif pada usia lanjut dengan MMSE
4.10 Alur Penelitian
46
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisa data hasil penelitian
5.1.1 Data Karakteristik Responden
a. Data Usia Responden
Dari penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sempaja
tanggal 8 Oktober 2012 sampai 20 Oktober 2012 terhadap 36
pasien DM tipe 2 diketahui usia terendah subjek yang diteliti yaitu
35 tahun dan usia tertinggi yaitu 66 tahun. Variabel usia pada
penelitian kemudian dibagi ke dalam 4 kisaran usia berdasarkan
pembagian usia di Puskesmas Sempaja, yaitu: 21-35 tahun, 36-50
tahun, 51-65 tahun, dan >66 tahun. Jumlah pasien DM tipe 2 pada
kisaran usia 21-35 tahun yang diteliti yaitu 1 orang (2,8%), untuk
kisaran usia 36-50 tahun pasien DM tipe 2 yang diteliti berjumlah
13 orang (36,1%), untuk usia 51-65 tahun jumlah yang diteliti yaitu
21 orang (58,3%), dan untuk usia ≥66 tahun jumlah pasien DM tipe
2 yang diteliti yaitu 1 orang (2,8%).
47
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan kelompok usia
No Kelompok Usia (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 21-35 1 2,8
2
3
36-50
51-65
13
21
36,1
58,3
4 ≥66 1 2,8
Total 36 100
60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun0
5
10
15
20
25
30
distribusi berdasarkan kelompok usia
65,1 %
30,2 %
4,7 %
jumlah
Gambar 5.1 Distribusi responden berdasarkan kelompok usia
b. Data Jenis Kelamin Responden
Dari penelitian terhadap 36 pasien DM tipe 2 yang datang
berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan hasil pasien yang
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 14 orang (38,9%), sedangkan
yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 22 orang (61,1%).
48
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 Laki-laki 14 38,9
2 Perempuan 22 61,1
Total 36 100
Laki-laki
Perempuan
48,8 %
51,2 %
Gambar 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
c. Data Tingkat Pendidikan Responden
Dari penelitian yang dilakukan terhadap 36 pasien DM tipe 2,
terdapat 8 orang yang tidak bersekolah (22,2%), sedangkan sisanya
pernah mengenyam pendidikan dengan pembagian: untuk pasien
yang berpendidikan SD/SR berjumlah 15 orang (41,7%), tingkat
49
pendidikan SMP yaitu 5 orang (13,9%), tingkat pendidikan
SMA/SMK/STM berjumlah 5 orang (13,9%), dan pasien dengan
tingkat pendidikan Perguruan Tinggi berjumlah 3 orang (8,3%).
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 Tidak sekolah 8 22,2
2 SD / SR 15 41,7
3
4
5
SMP
SMA / SMK / STM
Perguruan Tinggi
5
5
3
13,9
13,9
8,3
Total 36 100
SD / SR
SMP
SMA / SMK / STM
Tidak sekolah
44,3 %
13,9 %
27,9 %
13,9 %
Gambar 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
50
d. Data lamanya menderita DM tipe 2
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36
pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja didapatkan
3 orang (8,3%) yang menderita DM tipe 2 <1 tahun, 19 orang
(52,8%) menderita DM tipe 2 selama 1-3 tahun, 6 orang (16,7%)
menderita DM tipe 2 selama 4-6 tahun, 3 orang (8,3%) menderita
DM tipe 2 selama 7-9 tahun, dan sebanyak 5 orang (13,9%)
menderita DM tipe 2 selama ≥10 tahun.
Tabel 5.4 Distribusi pasien berdasarkan lamanya menderita DM tipe 2
No Lama menderita DM tipe 2 (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1 <1 3 8,3
2
3
4
5
1-3
4-6
7-9
≥10
19
6
3
5
52,8
16,7
8,3
13,9
Total 36 100
d. Data Gula Darah Puasa (GDP) pasien
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36
pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja
didapatkan 10 orang (27,8%) yang memiliki kadar GDP
51
101-150 mg/dl, 9 orang (25%) memiliki kadar GDP 151-
200 mg/dl, sebanyak 8 orang (22,2%) memiliki GDP 201-
250 mg/dl, 7 orang (19,4%) memiliki kadar GDP 251-300
mg/dl, 1 orang (2,8%) memiliki kadar GDP 301-350
mg/dl, dan sebanyak 1 orang (2,8%) memiliki kadar GDP
>350 mg/dl. Dari 36 pasien DM tipe 2 tersebut, tidak ada
yang memiliki kadar GDP ≤100 mg/dl.
e. Data keteraturan berobat pasien
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa dari 36
pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Sempaja
didapatkan 20 orang (55,6%) yang rutin mengkonsumsi
obat DM setiap harinya, dan sebanyak 16 orang (44,4%)
yang tidak rutin mengkonsumsi obat DM.
Gambar 5.4 Distribusi responden berdasarkan kebiasaan merokok
5.1.2 Data Tingkat Depresi
a. Tingkat Depresi Pasien DM tipe 2
Dari penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sempaja
Samarinda terhadap 36 pasien, berdasarkan BDI (Beck Depression
Inventory) diperoleh hasil sebanyak 2 orang (5,6%) termasuk ke
dalam Depresi sedang, pasien DM tipe 2 yang termasuk dalam
Borderline sebanyak 14 orang (38,9%), yang termasuk ke dalam
52
gangguan mood sebanyak 18 orang (33,3%), dan sisanya yaitu 8
orang (22,2%) termasuk dalam kategori normal. Sedangkan untuk
kategori depresi berat maupun depresi sangat berat tidak
ditemukan.
Tabel 5.5 Tingkat Depresi pasien DM tipe 2
Normal Gangguan mood
Borderline Depresi
sedang
Depresi berat
Depresi sangat berat
Jumlah (orang)
Persentase (%)
8
22,2
12
33,3
14
38,9
2
5,6
0
0
0
0
Fung
si ko
gniti
f baik
Fung
si ko
gniti
f sed
ang
Demen
sia bo
rderl
ine
Demen
sia0
10
20
30
40
50persentase
Gambar 5.5 Tingkat fungsi kognitif responden
b. Data Tingkat Depresi berdasarkan Usia
Pada kisaran usia 21-35 tahun, dengan jumlah pasien DM
tipe 2 yang diteliti 1 orang, diketahui 1 orang (100%) tersebut
53
termasuk ke dalam kategori Depresi sedang. Rata-rata nilai total
BDI pada kisaran usia ini adalah 22.
Dari 13 responden yang diteliti pada kisaran usia 36-50
tahun, didapatkan sebanyak 1 orang (7,7%) termasuk dalam
kategori depresi sedang, 2 orang (15,4%) termasuk dalam
borderline dan 6 orang (46,1%) termasuk dalam kategori gangguan
mood. Sedangkan sisanya yaitu 4 orang (30,8%) termasuk dalam
kategori normal. Rata-rata nilai total BDI pada kisaran usia 36-50
tahun ini adalah 11,1.
Pada kisaran usia 51-65 tahun, didapatkan 21 pasien DM tipe
2 yang diteliti. Dari 21 orang tersebut, sebanyak 12 orang (57,1%)
termasuk dalam kategori borderline, 6 orang (28,6%) termasuk ke
dalam kategori gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (14,3%)
termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai total BDI pada
kisaran usia ini yaitu 14,8.
Terakhir pada rentang usia ≥66 tahun hanya ada 1 orang
pasien DM tipe 2 yang diteliti dan termasuk dalam kategori normal.
Rata-rata usia pasien DM tipe 2 responden yang termasuk
dalam kategori normal adalah 52,2 tahun, sedangkan yang
termasuk dalam depresi sedang rata-rata berusi 42,5 tahun.
54
Tabel 5.6 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia
Usia (tahun)
Rata-rata nilai total BDI
Kategori Tingkat Depresi
JumlahI II III IV V VI
n % n % n % n % n % n %
21-35
36-50
51-65
≥66
22
11,1
14,8
6
0
4
3
1
0
30,
8
14,
3
100
0
6
6
0
0
46,1
28,6
0
0
2
12
0
0 1 100 0 0 0 0 1
15,
41 7,7 0 0 0 0 13
57,
10 0 0 0 0 0 21
0 0 0 0 0 0 0 1
Keterangan: I : normal; II : gangguan mood; III : borderline; IV : Depresi sedang; V : Depresi berat; VI : Depresi sangat berat
60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun0
20
40
60
80
100
120
Fungsi kognitif baik
Fungsi kognitif sedang
Demensia borderline
Demensia
persentase
Gambar 5.6 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia
55
Tabel 5.7 Rata-rata usia berdasarkan tingkat fungsi kognitif responden
Normal Gangguan mood
Borderline Depresi
sedang
Depresi berat
Depresi sangat berat
Rata-rata usia (tahun)
52,2 52,2 55,3 42,5 0 0
c. Data Tingkat Depresi berdasarkan Jenis Kelamin
Dari 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas
Sempaja terdapat 14 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat
22 orang berjenis kelamin perempuan. Pada 14 pasien dengan jenis
kelamin laki-laki didapatkan hasil sebanyak 2 orang (14,3%)
termasuk dalam kategori depresi sedang. Sisanya yaitu 4 orang
(28,6%) termasuk dalam kategori borderline, 3 orang (21,4%)
termasuk dalam kategori gangguan mood, dan 5 orang (35,7%)
termasuk dalam kategori normal.
Pada 22 pasien DM tipe 2 dengan jenis kelamin perempuan
didapatkan hasil 10 orang (45,5%) termasuk dalam kategori
borderline, sebanyak 9 orang (40,9%) termasuk dalam kategori
gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (13,6%) termasuk
56
dalam kategori normal. Perbandingan rata-rata nilai total BDI laki-
laki dan perempuan adalah 12,6 : 14.
Tabel 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Rata-rata nilai total BDI
Kategori Tingkat Depresi
JumlahI II III IV V VI
n % n % n % n % n % n %
Laki-laki
Perempuan 12,6
14
5
3
35,7
13,6
3
9
21,4
40,9
4
10
28,6 2 14,3 0 0 0 0 14
45,5 0 0 0 0 0 0 22
Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia
Laki-laki Perempuan0
10
20
30
40
50
60
70
Fungsi kognitif baik
Fungsi kognitif sedang
Demensia borderline
Demensia
persentase
Gambar 5.7 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin
d. Data Tingkat Depresi berdasarkan Tingkat Pendidikan
57
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 usia lanjut
yang diteliti, 19 orang diantaranya pernah mengenyam pendidikan
SD/SR. Dari 19 usia lanjut tersebut diketahui 1 orang (5,3%) tidak
memiliki gangguan fungsi kognitif sementara persentase terbanyak
42,1% termasuk dalam kategori Demensia. Rata-rata nilai total
MMSE untuk tingkat pendidikan SD/SR ini adalah 19,5.
Untuk tingkatan SMP didapatkan 1 orang (16,7%) termasuk
dalam fungsi kognitif baik, 1 orang (16,7%) termasuk dalam fungsi
kognitif sedang, 3 orang (50%) termasuk dalam Demensia
borderline, dan yang termasuk dalam Demensia berjumlah 1 orang
(16,7%). Rata-rata nilai total MMSE pada tingkatan pendidikan ini
adalah 23.
Selanjutnya untuk tingkatan SMA/SMK/STM, dengan
jumlah usia lanjut yang diteliti yaitu 6 orang, didapatkan hasil 1
orang (16,7%) termasuk dalam fungsi kognitif baik, 2 orang
(33,3%) termasuk dalam fungsi kognitif sedang serta Demensia
borderline, dan 1 orang (16,7%) termasuk dalam Demensia. Rata-
rata nilai total MMSE yang diperoleh pada tingkat ini adalah 23,5.
Untuk usia lanjut yang tidak pernah mengenyam pendidikan,
didapatkan hasil 1 orang (8,3%) memiliki fungsi kognitif yang baik
dan 10 orang (83,3%) termasuk dalam Demensia. Rata-rata nilai
total MMSE yang didapat yaitu 15,3.
58
Tabel 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan
TingkatPendidikan
Rata-rata nilai total BDI
Kategori Tingkat Depresi
JumlahI II III IV V VI
n % n % n % n % n % n %
Tidak sekolah
SD/SR
SMP
SMA/SMK/STM
14,2
14,4
14,4
14,8
3
1
1
0
37,
5
6,7
20
0
1
7
1
3
12,5
46,6
20
60
4
6
3
1
50 0 0 0 0 0 0 8
40 1 6,7 0 0 0 0 15
60 0 0 0 0 0 0 5
20 1 20 0 0 0 0 5
Perguruan Tinggi 2,6 3 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia.
Tidak seko-lah
SD / SR SMP SMA / SMK / STM
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Fungsi kognitif baik
Fungsi kognitif sedang
Demensia borderline
Demensia
persentase
Gambar 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan
59
e. Data Tingkat Depresi berdasarkan Lamanya Menderita DM tipe
2
Pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok
didapatkan rata-rata nilai total MMSE sebesar 21,7. 2 orang
(13,3%) dari 15 usia lanjut yang merokok tidak memiliki gangguan
pada fungsi kognitifnya dan 4 orang (26,7%) termasuk kedalam
Demensia.
Sedangkan pada usia lanjut yang tidak merokok, rata-rata
nilai total MMSE nya adalah 18,1. Didapatkan 28 orang yang tidak
merokok, dengan pembagian 2 orang (7,1%) dengan fungsi kognitif
baik dan 16 orang (57,1%) termasuk dalam Demensia.
Tabel 5.10 Tingkat depresi berdasarkan Lama Menderita DM Tipe 2
Lama MenderitaDM tipe 2
(tahun)
Rata-rata nilai total BDI
Kategori Tingkat Depresi
JumlahI II III IV V VI
n % n % n % n % n % n %
<1
1-3
4-6
7-9
11,3
15,2
14,6
12
1
3
0
1
33,
3
15,
8
0
33,
3
1
5
4
0
33,3
26,3
66,7
0
1
9
2
2
33,
30 0 0 0 0 0 3
47,
42 10,5 0 0 0 0 19
33,
30 0 0 0 0 0 6
66,
70 0 0 0 0 0 3
≥ 10 7,4 3 60 2 40 0 0 0 0 0 0 0 0 5
60
Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : demensia borderline; IV : demensia.
Merokok Tidak merokok0
10
20
30
40
50
60
Fungsi kognitif baik
Fungsi kognitif sedang
Demensia borderline
Demensia
persentase
Gambar 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok
f. Data Tingkat Depresi berdasarkan Gula Darah Puasa (GDP)
Pada usia lanjut yang memiliki kebiasaan merokok
didapatkan rata-rata nilai total MMSE sebesar 21,7. 2 orang
(13,3%) dari 15 usia lanjut yang merokok tidak memiliki gangguan
pada fungsi kognitifnya dan 4 orang (26,7%) termasuk kedalam
Demensia.
Sedangkan pada usia lanjut yang tidak merokok, rata-rata
nilai total MMSE nya adalah 18,1. Didapatkan 28 orang yang tidak
merokok, dengan pembagian 2 orang (7,1%) dengan fungsi kognitif
baik dan 16 orang (57,1%) termasuk dalam Demensia.
Tabel 5.10 Tingkat depresi Gula Darah Puasa (GDP)
Gula Darah Puasa
Rata-rata
Kategori Tingkat Depresi JumlahI II III IV V VI
61
(mg/dl)
nilai total BDI
n % n % n % n % n % n %
< 100
101-150
151-200
201-250
0
10,6
15,2
17,5
0
4
1
0
0
40
11,
1
0
0
4
3
2
0
40
33,3
25
0
2
4
5
0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 10
44,
41 11,1 0 0 0 0 9
62,
51 12,5 0 0 0 0 8
251-300 10,5 228,
63 42,8 2
28,
60 0 0 0 0 0 7
301-350 10 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
> 350 18 0 0 0 0 1 100 0 0 0 0 0 0 1
Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : demensia borderline; IV : demensia.
Merokok Tidak merokok0
10
20
30
40
50
60
Fungsi kognitif baik
Fungsi kognitif sedang
Demensia borderline
Demensia
persentase
Gambar 5.9 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok
g. Data Tingkat Depresi berdasarkan Keteraturan Berobat
62
Dari 36 pasien DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas
Sempaja terdapat 14 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat
22 orang berjenis kelamin perempuan. Pada 14 pasien dengan jenis
kelamin laki-laki didapatkan hasil sebanyak 2 orang (14,3%)
termasuk dalam kategori depresi sedang. Sisanya yaitu 4 orang
(28,6%) termasuk dalam kategori borderline, 3 orang (21,4%)
termasuk dalam kategori gangguan mood, dan 5 orang (35,7%)
termasuk dalam kategori normal.
Pada 22 pasien DM tipe 2 dengan jenis kelamin perempuan
didapatkan hasil 10 orang (45,5%) termasuk dalam kategori
borderline, sebanyak 9 orang (40,9%) termasuk dalam kategori
gangguan mood, dan sisanya yaitu 3 orang (13,6%) termasuk
dalam kategori normal. Perbandingan rata-rata nilai total BDI laki-
laki dan perempuan adalah 12,6 : 14.
Tabel 5.8 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan keteraturan berobat
KeteraturanBerobat
Rata-rata nilai total BDI
Kategori Tingkat Depresi
JumlahI II III IV V VI
n % n % n % n % n % n %
Teratur
Tidak Teratur 11,4
16,1
6
2
30
12,
5
9
3
45
18,
8
5
9
25 0 0 0 0 0 0 20
56,2 2 12,5 0 0 0 0 16
63
Keterangan: I : fungsi kognitif baik; II : fungsi kognitif sedang; III : Demensia borderline; IV : Demensia
Laki-laki Perempuan0
10
20
30
40
50
60
70
Fungsi kognitif baik
Fungsi kognitif sedang
Demensia borderline
Demensia
persentase
Gambar 5.7 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin
64
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan usia
Dari penelitian yang dilakukan pada 43 usia lanjut penghuni PSTW
Nirwana Puri diketahui kisaran usia responden yaitu 61 tahun hingga 98
tahun. Setelah usia diketahui, responden kemudian dibagi dalam 3
kelompok, yaitu usia lanjut (elderly) berusia antara 60-74 tahun, tua (old)
75-90 tahun, dan sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.12 Setelah
dibagi sesuai dengan kelompok usia, dihitung jumlah nilai pemeriksaan
MMSE per individu untuk kemudian dibagi lagi ke dalam 4 kategori fungsi
kognitif, yaitu fungsi kognitif baik (nilai MMSE 28-30), fungsi kognitif
sedang (nilai MMSE 24-27), Demensia borderline (nilai MMSE 20-23), dan
Demensia (nilai MMSE 0-19).56,57 Hasil yang didapat kemudian disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik, beserta persentase masing-masing kategori.
Data pada tabel 5.6 dan gambar 5.6 menunjukkan bahwa angka
Demensia tinggi pada usia >90 tahun (very old). Terbukti dari dua usia
lanjut yang termasuk dalam kisaran usia di atas 90 tahun, kedua-duanya
termasuk dalam kategori Demensia (100%). Berbeda dengan usia lanjut
yang berada pada kisaran usia 60-74 tahun (elderly), usia lanjut pada kisaran
usia ini cenderung masih memiliki fungsi kognitif yang baik, walaupun
tidak dipungkiri pada kisaran usia ini juga ditemukan usia lanjut yang
termasuk dalam kategori Demensia yaitu sebesar 39,3%. Hal ini dipengaruhi
65
oleh banyak faktor antara lain penyakit (pasca stroke), hipertensi yang
dialami oleh hampir seluruh usia lanjut yang ada di PSTW Nirwana Puri,
dan mengkonsumsi obat-obatan seperti obat anti hipertensi, juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.1,21,32
Namun demikian persentase untuk kategori Demensia pada kisaran
usia ini (elderly) merupakan yang terendah jika dibandingkan kisaran usia
old dan very old. Dari gambar 5.6 jelas terlihat bahwa persentase Demensia,
dari persentase terendah hingga yang tertinggi, secara berurutan yaitu pada
kisaran usia elderly, old,dan very old. Hasil ini serupa dengan penelitian
yang sebelumnya pernah dilakukan, dimana pada penelitian tersebut
disebutkan bahwa prevalensi Demensia hanya sekitar 5% pada kisaran usia
65 tahun dan menunjukkan peningkatan 24-50% pada rentang usia 85 tahun
ke atas. Sama halnya dengan Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI),
menurut AAzI insiden Demensia akan meningkat dua kali lipat setiap
kenaikan usia 5 tahun.1,16
Semakin menurunnya fungsi kognitif pada usia lanjut dipengaruhi
oleh banyak faktor, salah satunya adalah usia. Semakin lanjut usia
seseorang, perubahan pada otak akan semakin terlihat. Perubahan ini
meliputi perubahan fungsi serta struktur pada otak. Studi yang dilakukan
oleh Baltimore Longitudinal Study menyebutkan bahwa ketika seseorang
telah memasuki usia 60-an kemampuan-kemampuan yang menyangkut
fungsi kognitif akan semakin menurun. Dan penurunan fungsi kognitif akan
semakin terlihat seiring dengan bertambahnya usia, misalnya kecepatan
66
belajar dan memecahkan masalah serta memori.5 Perubahan struktur otak
pun akan semakin tampak seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan
jumlah sel otak, sel neuron serta atrofi pada otak akan mempengaruhi
bagian-bagian otak yang mengatur proses belajar, memori dan emosi seperti
Hipokampus. Selain itu pada proses penuaan seringkali terdapat akumulasi
pigmen organik-mineral membentuk struktur-struktur seperti plak amiloid
dan neurofibrillary tangles yang jika ditemukan dalam jumlah yang besar
akan mengindikasikan seseorang menderita Demensia Alzheimer. Oleh
karena itu, semakin usia lanjut seseorang maka akan semakin rentan
mengalami gangguan memori atau Demensia.49
Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata nilai total MMSE juga semakin
menurun pada usia >90 tahun. Dari hasil penelitian yang tercantum dalam
tabel 5.6 diketahui rata-rata nilai total MMSE pada kisaran usia 60-74 tahun
(elderly) adalah 21,3 , sedangkan pada kisaran usia 75-90 tahun (old) dan
usia >90 tahun (very old) yaitu 17,5 dan 15. Penurunan rata-rata nilai total
MMSE ini juga dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui pada kisaran usia 65-69 tahun
didapatkan rata-rata nilai total MMSE yaitu 18,2, pada kisaran usia 70-74
tahun rata-rata nilai total MMSE 15,7 , pada kisaran usia 75-79 tahun rata-
rata nilai total MMSE yaitu 14,3, dan pada kisaran usia ≥80 tahun
didapatkan rata-rata nilai total MMSE 13,9. Dari hasil penelitian ini
diketahui peningkatan usia individu akan diikuti dengan penurunan rata-rata
nilai total MMSE.21
67
Rendahnya rata-rata nilai total MMSE dapat diartikan adanya
gangguan pada salah satu atau beberapa komponen dalam MMSE, yaitu
atensi, orientasi, berhitung, bahasa, ingatan, memori jangka pendek,
kemampuan verbal serta kemampuan untuk menulis apa yang
diinstruksikan. Namun demikian rendahnya hasil pemeriksaan MMSE tidak
mutlak mengindikasikan individu mengalami gangguan-gangguan tersebut,
karena ada faktor lain yang turut serta mempengaruhi tinggi-rendahnya hasil
pemeriksaan MMSE yaitu tingkat pendidikan.1,55
6.2 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan jenis kelamin
Dari 43 usia lanjut yang diteliti terdapat 22 orang berjenis kelamin
laki-laki dan 21 orang berjenis kelamin perempuan. Setelah dikelompokkan
berdasarkan tingkatan fungsi kognitifnya, seperti yang terlihat pada gambar
5.7, didapatkan persentase kategori fungsi kognitif baik dan sedang pada
perempuan lebih rendah dibandingkan pada laki-laki. Bahkan masih
berdasarkan gambar 5.7, persentase Demensia pada perempuan mencapai 2
kali lipat dibanding laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori, dimana pada buku
“Sinopsis Psikiatri” disebutkan bahwa perempuan merupakan salah satu
faktor resiko dari Demensia Alzheimer.7 Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Purnakarya, kejadian Demensia pada perempuan ternyata lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Namun demikian, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan Demensia.17
68
Pada penelitian lain disebutkan bahwa tingginya prevalensi
perempuan menderita Demensia dikarenakan umumnya pada perempuan
bila terjadi gangguan fungsi kognitif akan langsung berlanjut ke tahap
Demensia, sementara pada laki-laki akan terjadi perubahan fungsi kognitif
dari yang normal atau fungsi kognitif baik ke MCI (Mild Cognitive
Impairment) terlebih dahulu sebelum akhirnya berlanjut ke tahap
Demensia.20
Tingginya angka kejadian Demensia pada perempuan salah satunya
dikarenakan hormon estrogen, dimana kekurangan hormon estrogen dalam
jangka waktu lama akan berdampak pada terjadinya Demensia. Di otak,
reseptor estrogen terutama terletak pada area dimana terdapat fungsi belajar
dan mengingat, seperti hipokampus dan amygdala. Penurunan hormon
estrogen saat menopause pada perempuan yang lebih dini dibandingkan
laki-laki inilah yang menyebabkan angka Demensia pada perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, banyaknya perempuan yang tidak
mengenyam pendidikan juga mempengaruhi penurunan fungsi kognitif lebih
dini dibanding laki-laki.18,19
Dilihat dari tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata nilai total MMSE pada
perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Seperti halnya hasil penelitian
ini, penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk pada 45 usia lanjut di Panti
Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru menunjukkan rata-rata nilai total MMSE
pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini dikarenakan lebih
69
banyak subjek laki-laki yang mendapat pendidikan formal dibandingkan
perempuan.21
6.3 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan tingkat pendidikan
Berdasarkan gambar 5.8 di atas terlihat persentase Demensia pada
kelompok usia lanjut yang tidak mengenyam pendidikan formal hampir
mencapai 2 kali lipat dibandingkan persentase Demensia pada kelompok
dengan pendidikan SD, dan mencapai 5 kali lipat dibandingkan persentase
Demensia pada kelompok usia lanjut dengan pendidikan SMP dan SMA.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Khasanah di PSTW
Yogyakarta unit Abiyoso dan Budiluhur, dimana dari penelitian tersebut di
dapatkan hubungan antara Demensia dengan tinggi-rendahnya pendidikan
individu. Dimana semakin tinggi pendidikan yang diperoleh individu, maka
semakin rendah resiko mengalami Demensia di masa tua, dan sebaliknya.26
Hal ini dikarenakan pendidikan dapat meningkatkan stimulasi kognitif dan
mendorong berkembangnya dendrit serta meningkatnya plastisitas sistem
saraf pusat, sehingga fungsi kognitif tetap bertahan baik. Selain itu orang
yang berpendidikan akan terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan intelektual
yang mengasah otak sehingga menurunkan resiko terjadinya penurunan
fungsi kognitif.27,28
Hasil yang ditunjukkan pada tabel 5.9 di atas berbanding lurus dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanyoto dkk terhadap usia lanjut di
Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru yang menunjukkan bahwa dari
70
seluruh usia lanjut yang mengalami Demensia, 87,5% atau sekitar 28 orang
termasuk dalam tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah hingga pernah
menjalani Sekolah Dasar).21
Jika dilihat dari rata-rata nilai total MMSE usia lanjut, seperti pada
tabel 5.8, dapat diketahui bahwa usia lanjut yang tidak mengenyam
pendidikan jika dibandingkan dengan kelompok usia lanjut yang pernah
mengenyam pendidikan memiliki rata-rata nilai total MMSE yang lebih
rendah. Sedangkan usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
memiliki rata-rata nilai total MMSE yang juga lebih tinggi dibandingkan
usia lanjut dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hal yang sama
didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Turana terhadap usia
lanjut di Jakarta, dimana menurut penelitian Turana nilai total MMSE
sebanding dengan tingginya tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada
beberapa komponen MMSE yang memang hanya bisa dikerjakan oleh usia
lanjut yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan. Komponen MMSE
tersebut antara lain orientasi, atensi-kalkulasi, registrasi dan bahasa.25
Namun demikian, tingginya nilai total MMSE pada usia lanjut tidak
selamanya menunjukkan tidak adanya gangguan pada fungsi kognitif. Latar
belakang pendidikan yang tinggi akan memudahkan usia lanjut untuk
mengerjakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada pemeriksaan status
mental mini sehingga total nilai yang dihasilkan pun tinggi, walaupun
sebenarnya individu tersebut mengalami gangguan fungsi kognitif. Begitu
juga sebaliknya, usia lanjut yang tidak memiliki latar belakang pendidikan
71
formal cenderung kesusahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
selama pemeriksaan sehingga total nilai yang dihasilkan jauh lebih rendah,
walaupun sebenarnya individu tersebut tidak memiliki gangguan fungsi
kognitif.1
Pada penelitian kali ini, ditemukan 1 usia lanjut yang memiliki fungsi
kognitif baik walaupun termasuk dalam kelompok usia lanjut yang tidak
mengenyam pendidikan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya pada
saat itu, tetapi dengan niat belajar yang tinggi oleh individu meskipun tidak
mendapat pendidikan formal di sekolah tetapi tetap berusaha belajar
mendapatkan ilmu dari teman-teman sepermainan.
6.4 Tingkat fungsi kognitif berdasarkan kebiasaan merokok
Dari hasil penelitian terhadap kebiasaan merokok usia lanjut di PSTW
Nirwana Puri seperti yang terlihat pada gambar 5.9, diketahui bahwa usia
lanjut yang merokok memilik persentase Demensia yang lebih rendah
dibandingkan usia lanjut yang tidak merokok yaitu 26,7% dari keseluruhan
total usia lanjut yang Demensia, sementara yang tidak memiliki kebiasaan
merokok sebesar 57,1%.
Hasil yang didapat berbeda dengan teori yang ada, dimana
berdasarkan teori merokok dapat menurunkan kecepatan dan ketepatan
kemampuan berpikir serta menurunkan kemampuan daya ingat (memori).
Selain itu merokok dapat menurunkan IQ, menyebabkan tersumbatnya
katup pembuluh darah dalam otak, hilangnya nutrisi dan akhirnya kerusakan
72
pada jaringan otak.35 Penelitian yang dilakukan oleh Radcliffe Infirmary
Oxford University di Inggris didukung oleh riset Institute of Public Health
Cambridge University, mengungkapkan bahwa konsumsi nikotin ternyata
akan lebih meningkatkan efek yang merugikan bagi otak maupun kesehatan
jantung dan berpengaruh terhadap penurunan fungsi kognitif serta
Demensia.40
Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kareen J.
Anstey dkk dari The Australian National University menyebutkan bahwa
tidak ditemukan adanya peningkatan resiko Demensia dan adanya
penurunan fungsi kognitif bagi usia lanjut yang aktif merokok selama
hidupnya jika dibandingkan dengan usia lanjut yang tidak pernah merokok
sama sekali. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya dimana disebutkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan
merokok ketika berusia lanjut memiliki resiko penurunan fungsi kognitif
dan Demensia 40-80% lebih tinggi dibanding usia lanjut yang tidak pernah
merokok seumur hidupnya.41
Penelitian lain yang dilakukan terhadap usia lanjut di Taiwan pada
tahun 2003 menyebutkan usia lanjut yang tidak merokok memiliki kinerja
fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan mereka yang merokok. Namun
demikian menurut peneliti perbedaan tersebut tidak signifikan setelah
disesuaikan dengan usia, pendidikan, hipertensi, diabetes, dan kejadian
vaskular individu.42 Penelitian lain yang dilakukan di Inggris menyebutkan
merokok tidak meningkatkan atau menurunkan fungsi kognitif individu,
73
hanya mempercepat proses patologi dalam tubuh sehingga mempercepat
proses kematian.43
Sejalan dengan yang terlihat pada gambar 5.9, rata-rata nilai total
MMSE seperti yang terlihat pada tabel 5.10 pada usia lanjut yang memiliki
kebiasaan merokok lebih tinggi dibanding dengan yang tidak merokok,
yaitu 21,7 sementara rata-rata nilai total MMSE pada usia lanjut yang tidak
merokok yaitu 18,1. Hal ini didukung oleh penelitian dari Sanyoto dkk
dimana rata-rata nilai total MMSE pada usia lanjut yang merokok yaitu 17
lebih tinggi dibanding rata-rata niai total MMSE usia lanjut yang tidak
merokok yaitu 14,9. Hasil penelitian Sanyoto dkk berdasarkan kebiasaan
merokok usia lanjut di Panti Sosial Budi Sejahtera ini menunjukkan bahwa
sekitar 75% usia lanjut dengan Demensia tidak memiliki kebiasaan
merokok, dan 66,7% lainnya memiliki kebiasaan merokok.21
Dalam suatu penelitian, memori dan kognitif telah terbukti
dipengaruhi oleh dopamine yang dihasilkan pada bagian korteks prefrontal.
Pengeluaran dopamine di daerah korteks serebral ini ditingkatkan oleh
nikotin, dan pemutusan nikotin berdampak pada penurunan fungsi
dopamine. Sejalan dengan itu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
pemberian nikotin dapat meningkatkan atensi dan menurunkan kehilangan
memori pada penderita Schizophrenia. Hal ini berkaitan dengan reseptor
alpha-7 asetilkolin nikotinat. Gangguan pada reseptor alpha-7 ini diketahui
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, terutama kesulitan dalam atensi.
Nikotin disebutkan dapat meningkatkan kerja dari reseptor alpha-7 sehingga
74
dapat meningkatkan fungsi kognitif terutama atensi, konsentrasi, juga dapat
membantu proses berpikir.36,37
Hipotesa serupa menyebutkan adanya hubungan antara penurunan
kolin asetiltransferase dan asetilkolin (AcH) di otak dengan tingkat
kerusakan kognitif pada pasien Demensia Alzheimer. Selain itu, reseptor
muskarinik dan nikotinat di korteks serebral mengalami penurunan pada
usia lanjut, sehingga menjadi hal yang mungkin bila diberikan agonis
reseptor kolinergik (nikotin) untuk memperbaiki sebagian penurunan fungsi
kognitif dan memori pasien. Pada penelitian ini didapatkan hasil nikotin
meningkatkan atensi serta meningkatkan kerja otak dalam memproses
berbagai informasi pada pasien Alzheimer, seperti halnya kinerja otak pada
dewasa muda sebagai kontrolnya.38
Nikotin sebagai zat yang paling banyak dikaitkan dengan ketagihan
pada rokok diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian ke
jalur adrenergik sehingga membuat perokok akan merasa lebih tenang,
nikmat, memacu sistem dopaminergik, dan merasa daya pikir lebih
cemerlang. Sementara di jalur adrenergik , zat ini akan mengaktifkan sistem
adrenergik pada bagian yang mengeluarkan neurotransmitter serotonin.
Meningkatnya serotonin inilah yang menyebabkan timbulnya rangsangan
rasa senang untuk mencari rokok lagi. Proses pembakaran rokok tidaklah
berbeda dengan proses pembakaran bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang
terbuat dari dari daun tembakau kering, kertas, zat perasa yang dapat
dibentuk oleh elemen Carbon (C) , elemen Hidrogen (H), elemen Oksigen
75
(O), elemen Nitrogen (N), elemen Sulfur (S) dan elemen-elemen lain yang
berjumlah kecil.39
Nikotin bisa benar-benar bermanfaat sebagai obat jika digunakan
dengan benar dan dosis yang akurat, namun selama ini orang menggunakan
nikotin untuk hal yang berbeda dan dalam dosis yang tinggi. Dalam
American Journal of Psychiatry diketahui bahwa reaksi nikotin dengan
oksigen dapat membentuk asam nikotinat atau niasin atau vitamin B3. Efek
dari senyawa ini bisa bermanfaat bagi tubuh manusia yaitu menenangkan,
meningkatkan suasana hati dan merangsang aktivitas otak, fungsi motorik
dan memori. Kekurangan niasin meningkatkan kemungkinan menderita
Alzheimer sebesar 80%. Orang-orang yang sangat kekurangan vitamin B
memiliki gelombang otak yang abnormal, menyebabkan memori yang rusak
dan gangguan psikologis lainnya.24,39
Berbeda dengan hasil MMSE yang didapat pada penelitian kali ini,
penelitian yang dilakukan oleh Launer dan rekan-rekan menunjukkan hasil
bahwa mereka yang tidak pernah merokok mengalami penurunan dalam
skor MMSE yakni 3 poin setiap tahunnya. Sementara pada mereka yang
merokok, skor MMSE menunjukkan penurunan sampai 16 poin setiap
tahun.41
76
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tingkat fungsi
kognitif pada usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri
Samarinda maka dapat disimpulkan :
- Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di
PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan usia didapatkan fungsi
kognitif baik terbanyak pada kisaran usia 60-74 tahun, sedangkan
Demensia terbanyak pada usia >90 tahun.
- Gambaran fungsi kogntif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di PSTW
Nirwana Puri Samarinda berdasarkan jenis kelamin didapatkan fungsi
kognitif baik terbanyak pada laki-laki, sedangkan Demensia terbanyak
pada perempuan.
- Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di
PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan tingkat pendidikan
didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada SMP dan
SMA/SMK/STM, sedangkan Demensia terbanyak pada usia lanjut yang
tidak sekolah.
- Gambaran fungsi kognitif berdasarkan MMSE pada usia lanjut di
PSTW Nirwana Puri Samarinda berdasarkan kebiasaan merokok
didapatkan fungsi kognitif baik terbanyak pada usia lanjut yang
77
merokok, sedangkan Demensia terbanyak pada usia lanjut yang tidak
merokok.
7.2 Saran
- Untuk pihak pemerintah yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial,
perlunya peningkatan terhadap pelayanan kesehatan dan jaminan
pemeliharaan sosial bagi usia lanjut serta selalu memonitoring
kesehatan usia lanjut tidak hanya fisik tetapi juga mental secara berkala.
- Untuk pihak PSTW Nirwana Puri, perlunya kecermatan dalam
memperhatikan kesehatan usia lanjut terutama kesehatan mental yang
seringkali gejalanya sulit dikenali dan sering terabaikan.
- Bagi pihak Pendidikan Kedokteran, perlu adanya kerjasama dengan
institusi terkait dalam suatu program untuk membekali dan
meningkatkan kompetensi mahasiswa kedokteran dalam hal kedokteran
geriatri, terkait Demensia pada usia lanjut dan permasalahan lainnya.
- Bagi usia lanjut disarankan untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan
yang dapat merangsang otak sehingga dapat mengurangi resiko
terjadinya Demensia dan disarankan para usia lanjut mengurangi
kebiasaan merokok karena bagaimanapun merokok meiliki pengaruh
buruk terhadap kesehatan.
- Bagi pihak keluarga dan masyarakat, agar tetap memberikan dukungan
moril kepada usia lanjut khususnya yg berada di PSTW Nirwana Puri
78
dengan cara melakukan kunjungan silaturahmi pada kerabat yang
berada di panti.
- Untuk peneliti lain, perlu dilakukan penelitian serupa di beberapa
tempat lain khususnya di Kalimantan sebagai pembanding hasil
penelitian mengingat minimnya data mengenai status fungsi kognitif
pada usia lanjut juga insiden Demensia pada usia lanjut di Kalimantan;
perlu dilakukan penelitian serupa namun terhadap faktor resiko lain
yang juga berpengaruh terhadap Demensia pada usia lanjut yang
nantinya menghasilkan data yang lengkap dan akurat untuk
dimanfaatkan baik oleh seluruh pihak yang membutuhkan; serta untuk
penelitian selanjutnya dapat dikembangkan menjadi penelitian analitik
untuk melihat hubungan antar variabel dengan lebih jelas dan spesifik.
79
DAFTAR PUSTAKA
1. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI). Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. Edisi 1. Jakarta: AAzI; 2003. pp. 1-3, 14-19, 61
2. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Lansia Masa Kini dan Mendatang (Online). Available from: http://www.menkokesra.go.id/content/view/2933/333/ (Accessed : 13th March 2010)
3. Badan Pusat Statistik. Penduduk 60 tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan keadaan kesehatan, Kalimantan Timur. (Online) 2005. Available from: http://www.datastatistik-Indonesia.com/component/option,com_supas/task/itemid,956/ (Accessed: 13th November 2010)
4. Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur. Peringatan Hari Lanjut Usia Tahun 2009. (Online) 2009. Available from: http://dinsos.kaltimprov.go.id/utama.php?module=detailberita&id=89 (Accessed: 13th November 2010)
5. Safithri F. Proses Menua di Otak dan Demensia Tipe Alzheimer (Alzheimer’s disease). Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran keluarga Saintika Medika 2005; 2(2): pp. 225-232
6. Dikot, Y. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Majalah Ilmiah Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani Medika Kartika 2005; 3(1): pp. 45-46
7. Kaplan HI, Benjamin JS, Jack AG. Sinopsis Psikiatri. Trans Widjaja K. Edisi 7. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. pp. 502-503, 515-532
8. Anggota Alzheimer’s Disease Internasional Asia Pasifik. Demensia di Kawasan Asia Pasifik: Sudah Ada Wabah. (Online) 2007. Available from: http://www.apreportindonesian.pdf (Accessed: 26th March 2008)
80
9. Suwono WJ. Demensia: Suatu Pendeteksian Dini dan Terapinya. Majalah Kedokteran Atma Jaya 2003; 2(1): pp. 39-44
10. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 1995
11. Hardywinoto, Tony S. Panduan Gerontologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2005
12. Setianto B. Pengetahuan Pelayanan Fisik Lanjut Usia. (Online) 2007. Available from: http://www.pjnhk.go.id (Accessed: 13th March 2010)
13. Kementrian Sosial RI. Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. (Online) 2008. Available from: http://www.depsos.go.id/modules.php?name=news&file=print&sid=773 (Accessed : 13 March 2010)
14. Ropper AH, Robert HB. Principles of Neurology. 8th edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2005. pp. 356, 381-382
15. Rachmawati E. Latih Otak, Singkirkan Demensia. Kompas. (Online) February 19, 2009. Available from: http://kesehatan.kompas.com/read/2009/02/19/22050114/latih.otak.singkirkan.demensia (Accessed: 13th February 2010)
16. Pudjonarko D. Demensia Masih Bisa Disembuhkan. Suara Merdeka. (Online) 2010. Available from: http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2010/01/21/96004/Demensia-Masih-Bisa-Disembuhkan (Accessed: 16th February 2010)
17. Purnakarya I. Peran Zat Gizi Makro terhadap Kejadian Demensia pada Lansia. (Online) 2008. Available from: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32098992.pdf (Accessed: 13th November 2010)
18. Said U. Interaksi Hormonal dan Kualitas Kehidupan pada Wanita. (Online) 2004. Available from: http://digilib.unsri.ac.id/download/INTERAKSI
81
%20HORMONAL%20%20DAN%20KUALITAS%20HIDUP%20WANITA.pdf (Accessed: 13th November 2010)
19. Yaffe K, Kathryn K, Somnath S. Cognitive Function in Postmenopausal
Women Treated with Raloxifene. The New England Journal of Medicine. (Online) 2001; 344(16). Available from: http://www.nejm.org (Accessed: 20th February 2010)
20. Petersen RC, Roberts RO, Knopman DS, Geda YE, Cha RH, Pankratz VS, Boeve BF, et al. Prevalence of Mild Cognitive Impairment is Higher in Men. Neurology. (Online) 2010; 75(10): pp. 889-897. Available from: http://www.neurology.org (Accessed: 1st December 2010)
21. Sanyoto DD, dkk. Gambaran Mini Mental State Examination (MMSE) pada Manula di Panti Sosial Budi Sejahtera Banjarbaru. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Berkala Kedokteran 2006; 5(2): pp. 155-161
22. AAzI. Kadar Folat dan Homosistein Berhubungan dengan Insidensi Demensia. (Online) 2008. Available from: http://assosiasialzheimerindonesia.wordpress.com/2008/09/28/kadar-folat-dan-homosistein-berhubungan-dengan-insidensi-demensia-journal-of-neurology-neirosurgery-and-psychiatry-2008-79864-868/ (Accessed: 16th February 2010)
23. Conis E. Vitamin B and its role in Improving Memory. Los Angeles Times. (Online) November 8, 2010. Available from: http://www.latimes.com/health/la-he-nutriton-lab-b-vitamins-20101108,0,4113862.story (Accessed: 1st December 2010)
24. Ramadion. Ingatlah Makanan-makanan Anti Pikun. (Online) 2010. Available from: http://ruangpsikologi.com/makanan-anti-pikun (Accessed: 12th December 2010)
25. MML. Hipertensi Merupakan Faktor Resiko Terjadinya Demensia pada Orang Tua. (Online) 2006. Available from: http://www.kalbefarma.com/index.php?mn=news&tips=detail&detail=18411 (Accessed: 16th February 2010)
82
26. Turana Y. Pemeriksaan Status Mental Mini pada Usia Lanjut di Jakarta. Medika 2004; 30(9): pp. 563-8
27. Hall CB, Derby C, Levalley A, Katz MJ, Verghese J, Lipton RB. Education Delays Accelerated Decline on a Memory Test in Persons Who Develop Dementia. Neurology. (Online) 2007; 69(17): pp. 1657-1664. Available from: http://www.neurology.org (Accessed: 1st December 2010)
28. Khasanah N. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Penurunan Daya Ingat (Demensia) pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta. (Online) 2010. Available from: http://digilib.fk.umy.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=yoptumyfkpp-gdl-noviakhasa-151 (Accessed: 13th November 2010)
29. Republika Newsroom. TTS dan Catur Hindari Pikun. Republika. (Online) June 25, 2009. Available from: http://www.republika.co.id:8080/berita/58468/tts-dan-catur-hindari-pikun?quicktabs_58468=second (Accessed: 16th February 2010)
30. Meyers L. Warding off Dementia. Monitor on Psychology. (Online) 2008; 39(3): pp. 22. Available from: http://www.apa.org (Accessed: 1st December 2010)
31. Syamsuddin. Mencapai Optimum Aging pada Lansia. (Online) 2008. Available from: http://bp.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=797 (Accessed: 20th February 2010)
32. Viktor. Aktif Bergerak, Jauhkan Penyakit. (Online) 2009. Available from: http://www.dinkes-sumbar.org/index.php?file_id=14&class=news&act=read&news_id=562 (Accessed: 16th February 2010)
33. Winerman L. Exercise May Protect Against Brain-Cell Loss. Monitor on Psychology. (Online) 2005; 36(10): pp. 21. Available from: http://www.apa.org (Accessed: 1st December 2100)
83
34. Adhianingsari W. Dementia. (Online) 2006. Available from: http://fk-uii (Accessed: 20th February 2010)
35. Herdiana TR. Nikotin Merusak Otak. (Online) 2010. Available from: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2008565-nikotin-merusak-otak/ (Accessed: 13th November 2010)
36. Sacco KA, Termine A, Seyal A, Dudas MM, Vessicchio JC, et al. Effects of Cigarette Smoking on Spatial Working Memory and Attentimal Deficits in Schizophrenia: Involvement of Nicotinic Receptor Mechanism. Archives of General Psychiatry. (Online) 2005; 62(6): pp. 649-659. Available from: http://archpsyc.ama-assn.org/ (Accessed: 12th December 2010)
37. Treichel JA. Compound Improves Cognition in Schizophrenia Patients. Psychiatric News. (Online) 2006; 41(14): pp. 23. Available from: http://pn.psychiatryonline.org/ (Accessed: 12th December 2010)
38. Sahakian B, Jones G, Levy R, Gray J, Warburton D. The Effects of Nicotine on Attention, Information Processing, and Short-term Memory in Patients with Dementia of the Alzheimer Type. The British Journal of Psychiatry. (Online) 1989; 154: pp. 797-800. Available from: http://bjp.rcpsych.org/cgi/eletter-submit/154/6/797 (Accessed: 12th December 2010)
39. Bararah VF. Fakta Lain Seputar Nikotin. (Online) 2010. Available from: http://us.health.detik.com/read/2010/04/19/142254/1341126/763/fakta-lain-seputar-nikotin (Accessed: 12th December 2010)
40. Gunawan A. Merokok Mempercepat Hilangnya Daya Ingat pada Masa Tua. (Online) 2004. Available from: http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1080528075.89281. (Accessed: 16th February 2010)
41. Anstey KJ, Chwee VS, Agus S, Richard OK. Smoking as a Risk Factor for Dementia and Cognitive Decline: A Meta-Analysis of Prospective Studies. (Online) 2007. Available from: http://aje,oxfordjournals.org/misc/terms.shtml (Accessed: 6th March 2010)
84
42. Chen WT, Wang PN, Wang SJ, Fuh JL, Lin KN, Liu HC. Smoking and Cognitive Performance in the Community Elderly: A Longitudinal Study. Journal of Geriatric Psychiatry and Neurology. (Online) 2003; 16(1): pp. 18-22. Available from: http://online.sagepub.com/search/results?submit=yes&src=hw&andorexactfulltext=and&fulltext=smoking+and+dementia&x=13&y=9 (Accessed: 13th November 2010)
43. Doll R, Peto R, Boreham J, Sutherland I. Smoking and Dementia in Male British Doctors: Prospective Study. British Medical Journal. (Online) 2000; 320: pp.1097-1102. Available from: http://bmj.com/cgi/content/full/320/7242/1097 (Accessed: 13th November 2010)
44. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2003
45. Roan W. Delirium dan Demensia. (Online) 2007. Available from: http://IDI (Accessed: 26th March 2008)
46. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 1993
47. Halim H, Adhy T. Demensia Alzheimer pada Penderita Sindroma Down. Majalah Kedokteran Damianus Universitas Atma Jaya Jakarta 2009; 8(2): pp. 89-94
48. Walton SJ. 1982. Essentials of Neurology. 5th edition. London: Pitman Books Limited; 1982. pp. 139-142
49. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1999. pp. 245-248
50. Waxman SG. Correlative Neuroanatomy. 24th edition. United States of America: McGraw-Hill Companies; 2000. pp. 276-280
85
51. Yatim F. Pikun (Demensia), Penyakit Alzheimer dan Sejenisnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2003
52. Tjahyanto A, Surilena. Penatalaksanaan Non-Farmakologis Demensia. Majalah Kedokteran Damianus Universitas Atma Jaya Jakarta 2009; 8(1): pp. 7-10
53. Kuntjoro ZS. Gangguan Psikologis dan Perilaku pada Demensia. (Online) 2002. Available from: http://e-psikologi.com (Accessed: 26 March 2008)
54. Sjahrir H, Kiking R, Sumarnita T, Aldy SR, Irfan DL, Indra B. The Mini Mental State Examination in Healthy Individuals in Medan Indonesia by Age and Educational Level. (Online) 2001. Available from: http://www.neurology-asia.org/articles/20011_019.pdf (Accessed: 11 March 2010)
55. Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR. Mini Mental State. J Psychiatry Res 1975; 12: pp. 189-98
56. Galasko D, Klauber MR, Hofsteter R, Salmon DP, Lasker B, Thal LJ. The MMSE in The Early Diagnosis of Alzheimer’s Disease. Arch Neurology 1990; 47: pp. 49-52
57. Kaplan HI, Benjamin JS, Jack AG. Sinopsis Psikiatri. Trans Widjaja K. Edisi 7. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. pp. 868-872
86
Interpretasi :Skor 28 – 30 : Fungsi kognitif baik Skor 20 – 23 : Demensia borderlineSkor 24 – 27 : Fungsi kogntif sedang Skor 0 – 19 : Demensia
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
87
Lampiran 2. Master Tabel
Wisma No. NamaJenis
UsiaTingkat Kebiasaan Skor
Kelamin Pendidikan Merokok GDSMelati 1 Mth P 98 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 13 (Demensia) 2 At P 76 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 10 (Demensia) 3 Myt P 80 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 9 (DemensiaMawar 4 AM L 70 tahun SMA Merokok 25 (Kog.sedang) 5 Hrt L 70 tahun SMA Merokok 28 (Kog.baik)Tulip 6 Tgm L 96 tahun SMP Merokok 17 (Demensia)
7 AS L 86 tahun Tidak sekolah Merokok 24 (Kog.sedang)8 ASl L 75 tahun SR Tidak merokok 20 (D.borderline)
9 Rst L 80 tahun SR Merokok 16 (Demensia) Sakura 10 Ksd L 68 tahun SMA Merokok 22 (D.borderline) Kenanga 11 SM P 68 tahun SMP Tidak merokok 22 (D.borderline) Flamboyan 12 Stn P 81 tahun SR Tidak merokok 24 (Kog.sedang) 13 Nsh P 65 tahun SMP Tidak merokok 20 (D.borderline)Seruni 14 Bkr L 70 tahun SR Tidak merokok 16 (Demensia) 15 Str L 74 tahun SMP Tidak merokok 30 (Kog.baik) Seroja 16 Lhr L 75 tahun SR Tidak merokok 24 (Kog.sedang) 17 Asw L 65 tahun STM Tidak merokok 17 (Demensia) 18 Spj L 77 tahun SR Tidak merokok 20 (D.borderline)
19 Smt P 65 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 11 (Demensia) Dahlia 20 Hry L 68 tahun SR Tidak merokok 18 (Demensia) 21 Srm L 80 tahun SR Tidak merokok 16 (Demensia) 22 Swr L 73 tahun SR Merokok 23 (D.borderline) Anggrek 23 SM P 77 tahun Tidak sekolah Merokok 13 (Demensia) 24 SK P 61 tahun SMP Tidak merokok 22 (D.borderline) Kamboja 25 An P 70 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 14 (Demensia)
26 Srt P 80 tahun Tidak sekolah Merokok 11 (Demensia) 27 Asm P 63 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 17 (Demensia)Bougenville 28 AS L 68 tahun SR Tidak merokok 27 (Kog.sedang) 29 Msr P 65 tahun SR Tidak merokok 20 (D.borderline) 30 Ysn P 73 tahun SR Tidak merokok 19 (Demensia) 31 Tt P 62 tahun SMP Merokok 27 (Kog.sedang) 32 Spt P 64 tahun Tidak sekolah Merokok 29 (Kog.baik)W. Kusuma 33 Hrm L 71 tahun SR Tidak merokok 28 (Kog.baik)
34 Krl L 65 tahun SR Tidak merokok 19 (Demensia) 35 Slm L 89 tahun SMA Merokok 23 (D.borderline)
36 Drn L 65 tahun SR Merokok 23 (D.borderline) 37 Lsn L 69 tahun SR Merokok 21 (D.borderline) 38 KT L 68 tahun SR Merokok 23 (D.borderline) Teratai 39 Slt P 80 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 17 (Demensia)
40 SH P 64 tahun SMK Tidak merokok 26 (Kog.sedang) 41 Sym P 69 tahun SR Tidak merokok 4 (Demensia) 42 Mnh P 70 tahun SR Tidak merokok 10 (Demensia)
43 Ksm P 70 tahun Tidak sekolah Tidak merokok 15 (Demensia)
84
Lampiran 3. Foto Penelitian
Foto 1. Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
Foto2. Proses wawancara dengan responden
86