HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... admin & la...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V... · HASIL DAN PEMBAHASAN ... admin & la...
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah
Gambaran Umum Desa Wilas
Lokasi. Desa wilas adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan
Kelumpang Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sulangkit, sebelah
timur dengan Desa Mangga, sebelah selatan dengan Desa Manggis, dan
sebelah barat dengan Kecamatan Sampanahan. Luas Desa Wilas sekitar 20
km2. Area tersebut mencakup lahan persawahan, kebun karet, ladang
pemukiman, dan sisanya masih berbentuk hutan karena belum dimanfaatkan.
Seluruh penduduk Desa Wilas adalah Suku Banjar. Jumlah penduduk
seluruhnya yang bermukim di Desa Wilas sebanyak 221 KK atau 807 warga
dengan jumlah laki-laki 403 orang dan perempuan sebanyak 404 orang.
Akses menuju ibukota kecamatan ditempuh selama 45 menit
menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 12 kilometer.
Desa Pudi sebagai Ibukota kecamatan menjadi salah satu alternatif pasar yang
biasa dikunjungi oleh warga Desa Wilas. Selain itu, pusat perdagangan lain
terletak di Desa Geronggang yang berjarak 45 kilometer melalui jalan tambang
PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Adapun akses desa menuju ibukota
kabupaten harus ditempuh melalui jalan darat baik menuju Desa Pudi maupun
Desa Geronggang yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan speed boat
ataupun kapal cepat. Umumnya warga menggunakan kendaraan roda dua
sebagai alat transportasi utama.
Sarana dan prasarana. Desa Wilas memiliki prasarana jalan yang sudah
rusak untuk akses keluar desa. Kondisi jalan utama menuju Desa Wilas ke Desa
Geronggang cukup baik. Sedangkan menuju Desa Sulangkit rusak. Adapun
menuju Desa Mangga rusak berlumpur pada satu titik. Kondisi jalan belum ada
pengerasan secara merata, masih didominasi oleh jalan tanah yang sulit dilalui
terutama pada saat hujan turun. Sarana pemerintah yang ditemui di Desa Wilas
adalah kantor desa, pasar, TPA, SD, SMP,dan Puskesdes. Pada tahun 2012,
sumber listrik untuk Desa Wilas berasal dari generator milik Perusahaan Listrik
Negara (PLN).
Gambaran Umum Desa Sulangkit
Lokasi. Desa Sulangkit merupakan desa yang berbatasan dengan Desa
Sukadana di sebelah utara. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pudi
Seberang, sebelah selatan dengan Desa Mangga, dan sebelah barat dengan
0,018jiwa/km . Jarak tempuh desa menuju ibukota kecamatan adalah 10
Jenis pekerjaan Nonprogram
25
Desa Wilas. Luas wilayah desa ini adalah 33 km2. Jumlah penduduk Desa
Sulangkit seluruhnya berjumlah 175 Jiwa dimana jumlah laki-laki 92 jiwa dan
perempuan 83 jiwa. Kepadatan penduduk Desa Sulangkit adalah 2
kilometer sedangkan ke ibukota kabupaten adalah 70 kilometer (RPJMD
Sulangkit 2011).
Sarana dan prasarana. Ruas jalan Desa yang melewati Desa Sulangkit
sepanjang ± 6 kilometer yang menghubungkan poros jalan antar Desa Sulangkit
dengan Desa Pudi dan Desa Sekandis. Panjang jalan Desa seluruhnya
berjumlah ± 9 kilometer yang terdiri dari jalan utama desa dan jalan lingkungan.
Adapun jalan lainnya adalah titian atau jembatan kayu dan jalan setapak.
Berdasarkan data Desa Sulangkit pada tahun 2011 jumlah sekolah untuk SD
sebanyak 1 buah dan TPA 1 buah.
Pekerjaan
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan pada suami/istri
di desa program (40%) dan nonprogram (58,1%) adalah petani. Suami dan istri
didesa nonprogram tidak ada yang menjadi buruh non tani (0%). Di desa
program terdapat 26,7% suami atau istri yang bekerja sebagai buruh non tani.
Kondisi ini dikarenakan di desa program memiliki jumlah penduduk yang lebih
besar sehingga warga yang akan memulai pertanian atau memanen hasilnya
cenderung meminta bantuan warga lainnya dengan upah berupa uang tunai Rp.
50.000,- per hari atau bagi hasil panen.
Tabel 4 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan suami dan istri
Program
Jumlah % Jumlah %
Petani 25 58.1 18 40.0
Buruh tani 0 0.0 12 26.7
Buruh nontani 0 0.0 0 0.0
PNS 0 0.0 1 2.2
Jasa 1 2.3 0 0.0
Pedagang 2 4.7 1 2.2
Tidak bekerja 1 2.3 0 0.0
IRT 9 20.9 6 13.3
Lainnya 5 11.6 7 15.6
Pekerjaan lainnya di desa program (15,6%) lebih tinggi dibanding desa
nonprogram (11,6%). Kondisi ini diduga karena jarak desa program lebih dekat
26
dengan perusahaan dan kontraktor tambang. Beberapa pekerjaan lainnya adalah
kontraktor thiess, kontrak dengan penanaman karet PT Arutmin Indonesia
Tambang Senakin, dan sebagian menjadi guru honorer.
Karakteristik Program Pemberdayaan Masyarakat
Kebijakan
Dasar kebijakan Community Department (CD) tercantum dalam dokumen
kebijakan, keselamatan, dan kesehatan kerja, lingkungan serta kemasyarakatan
(K3LK) yang dibuat oleh perusahaan. Dokumen tersebut mencantumkan lima
poin kebijakan yang dua poin diantaranya adalah kebijakan dasar yang
berhubungan dengan kemasyarakatan. Kebijakan tersebut adalah 1)
mengembangkan hubungan baik dengan masyarakat setempat melalui
komunikasi yang terbuka dan proaktif yang didasari atas keyakinan, saling
percaya, dan kebersamaan dan 2) mendorong keterlibatan secara aktif dari
semua pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kebijakan ini.
Komitmen perusahaan ini lebih khusus ditetapkan dalam kebijakan
mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang
dalam memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008 yang ditandatangani oleh Chief
Executive Officer (CEO) pada tahun 2008. Berikut adalah kebijakan yang terdiri
dari visi, misi, tujuan, dan strategi.
Tabel 5 Kebijakan visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan1
Komponen Uraian Visi Berdayanya masyarakat lingkar tambang menjadi mandiri dan sejahtera. Misi Memberdayakan sumber daya lokal dengan berpegang pada nilai-nilai
adat dan budaya setempat. Tujuan 1. Berpartisipasi dalam pembangunan daerah dengan membangun
struktur komunitas yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya dalam menciptakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat.
2. Menjalin hubungan yang harmonis dengan pemangku kepentingan, berdasarkan atas keyakinan, saling percaya, kebersamaan, dan saling menguntungkan.
Strategi 1. Membangun kemitraan atas dasar saling menguntungkan antara perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan mitra kerja.
2. Hidup berdampingan dengan masyarakat, harmonis, dan saling percaya dimana perusahaan beroperasi.
3. Membangun keswadayaan masyarakat dalam rangka mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal.
4. Berbasis komunitas dan sumberdaya lokal. 5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat (Community
Development). 6. Menyiapkan kemandirian masyarakat pasca tambang.
1 Sumber: memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008
Wibisono (2007) merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR
menjadi menjadi tiga yaitu pertama basa basi atau keterpaksaan, kedua upaya
27
memenuhi kewajiban (compliance), dan ketiga dorongan tulus dari dalam
(beyond compliance). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya
bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi
kelangsungan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial.
Berdasarkan pembagian tersebut, cara pandang PT Arutmin Indonesia
Tambang Senakin terhadap pelaksanaan CSR termasuk pada golongan tiga.
Perusahaan telah menyadari bahwa masyarakat sekitar daerah operasi tambang
harus mandiri dan sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan adanya komitmen
perusahaan dalam kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan yang tercantum
dalam tabel 4. Manager site Senakin, sebagai pimpinan tertinggi daerah
tambang, mempunyai prinsip bahwa jika masyarakat lokal sekitar tambang tidak
lebih mandiri setelah adanya perusahaan, maka pelaksanaan program ini
terbilang gagal. Wibisono (2007) menyatakan bahwa alasan pertama
diimplementasikannya CSR adalah komitmen pemimpinnya. Selain itu, kutipan
dari supervisor community development mengenai kewajiban CSR sebagai
berikut:
“Konsumen akan melihat predikat proper yang diberikan kementrian lingkungan hidup atas pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan ini sehingga pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat ini merupakan kesadaran perusahaan untuk investasi kesehatan dan kemajuan finansial”
Cara pandang dan prinsip ini juga sejalan dengan pernyataan Lubis (2011)
bahwa dua elemen pokok dari pemberdayaan adalah kemandirian dan partisipasi.
Berdasarkan kebijakan yang tercantum dalam tabel 4 dapat dilihat bahwa
perusahaan memiliki cita-cita untuk menjadikan masyarakat mandiri dengan
sumber daya lokal yang dimilikinya. Oleh karena itu, prinsip pemberdayaan
masyarakat telah tertuang dalam kebijakan yang diacu oleh pelaksana program
sehingga harapannya visi tersebut bisa dicapai pada akhir operasi tambang tahun
2017.
Sumber Daya Manusia (SDM)
Community Department (CD) didukung oleh sumberdaya manusia
dengan struktur seperti gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut, community
superintendent berada langsung dibawah manager PT Arutmin Tambang
Senakin. Selanjutnya dalam community department dibagi menjadi dua sub yaitu
community development (comdev) dan community relation (comrel). Masing-
kemasyarakatan Asset
28
masing sub ini dipimpin oleh seorang supervisor. Pelaksanaan kegiatan comdev
dibagi menjadi tiga bidang yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Bidang
kesehatan dan pendidikan dilaksanakan secara mandiri oleh pelaksana CD
Senakin. Adapun dalam bidang ekonomi, CD senakin membentuk LPPM dan
project karet serta bermitra dengan Dompet Duafa Corpora. Bidang infrastruktur,
sosial budaya, dan hubungan kemasyarakatan dilakukan oleh comrel. Bidang
comrel dibantu oleh seorang asset protection yang berada langsung dibawah
admin & la supraintendent.
CD Senakin bekerjasama dengan berbagai lembaga evaluasi seperti
CFCD (Corporate Forum for Community Development) dan SII (Social
Investment Indonesia) untuk melakukan evaluasi program di lapangan. Selain itu,
kerjasama dengan berbagai stakeholder ini membantu dalam perencanaan
program pemberdayaan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya.
Senakin mine manager
Superintendent Superintendent
Community Superintendent
Admin & LA
Superintendent
Community Development
Supervisor
Community Relation
Supervisor
Community Development
officer
Community
Development officer
Community
Relation Officer
Community
Relation Officer
Assisstant
project karet
Assisstant comdev
LPPM
Dompet Dhuafa
Kontrak
Protection
LCO
Gambar 2 Struktur organisasi Community Department Tambang Senakin
29
Konsep dan Strategi
PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah melaksanakan program
pemberdayaan masyarakat sekitar tambang sejak dimulai beroperasinya
tambang pada tahun 1988. Awalnya pelaksanaan program ini dipicu oleh
tuntutan masyarakat yang menuntut kompensasi dari kegiatan PT Arutmin
Indonesia Tambang Senakin. Sejak tahun 2000 program untuk masyarakat mulai
ditata dan diarahkan pada kegiatan yang mempunyai nilai-nilai pemberdayaan
masyarakat (SII 2012).
Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat disusun atas sebuah
konsep dan strategi yang dibuat untuk mencapai visi departemen. Pada
dasarnya konsep ini bertujuan untuk menguatkan sisi perekonomian masyarakat
sehingga tercapai masyarakat mandiri pada tahun 2017. Kerangka kerja
pemberdayaan masyarakat menitikberatkan pada penguatan ekonomi.
Penguatan ekonomi ini didukung oleh pelaksanaan program-program di bidang
kesehatan dan pendidikan. Selain itu, program dibidang infrastruktur dan
kegiatan sosial lainnya dilakukan untuk mencapai target masyarakat mandiri
pada akhir operasi tambang. Secara tidak langsung, bidang kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur bukan menjadi tujuan utama pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat.
Strategi yang dilakukan CD adalah membagi target pencapaian program
dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai dengan “memberi” yang dilaksanakan
pada tahun 2004-2009. Strategi ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan
usaha dengan membangun dasar-dasar ekonomi. Secara umum, konsep
pemberdayaan masyarakat ini merupakan kerjasama dari bagian community
development (comdev) dan community relation (comrel). Ruang lingkup comdev
adalah membangun dasar ekonomi, membangun dan mengembangkan potensi
sumberdaya lokal sebagai dasar menuju masyarakat yang percaya diri untuk
menjadi mandiri dan sejahtera. Sedangkan ruang lingkup comrel memberikan
dukungan kepada tim comdev dalam membangun prasarana dasar dan
mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang kondusif, harmonis, gotong
royong, jujur, dan dinamis.
Tahap kedua (2010-2013) merupakan tahap transisi menuju masyarakat
mandiri. Tahap ini dilaksanakan dengan konsep “mengajak” dimana dilakukan
program-program penguatan usaha dan membangun jaringan, serta penguatan
organisasi dan permodalan. Selanjutnya, tahap ketiga yang akan dilaksanakan
Budaya - Ring I, II, III
Budaya Kesehatan Infrastruktur - Ring I, II, III
30
pada tahun 2014-2017 berada pada tahap “membangun”. Pada tahap ini
diharapkan adanya kestabilan usaha, kepercayaan diri, adanya jaringan, dan
modal yang kuat. Target ini merupakan indikator pencapaian masyarakat mandiri
atau keterandalan masyarakat dalam bidang ekonomi pada tahun 2017.
Tabel 6 Strategi prioritas tahunan Community Department tambang senakin1
Prioritas Ke-
Strategi program
2004-2009 2010-2013 2014-2017 Mandiri
Keterangan
1 Infrastruktur Ekonomi Pertanian Pertanian Ring I dan II 2 Pendidikan Sosial Budaya Perdagangan Perdagangan Ring I, II,III
3 Kesehatan Infrastruktur Sosial
4 Ekonomi Pendidikan Pendidikan - Ring I, II, III
5 Sosial
6 Donation Donation Donation - Ring I, II, III 1 Sumber: SII (2012)
Community Department (CD) PT PT Arutmin Indonesia Tambang
Senakin Tambang Senakin menurunkan konsep tersebut menjadi program
objektif tahunan. Hasilnya adalah adanya skala prioritas pelaksanaan program
pemberdayaan yang dilakukan setiap jangka waktu yang disertakan.
Berdasarkan tabel 6, pada tahun 2011 (2010-2013) prioritas pelaksanaan
program adalah bidang ekonomi. Prioritas kedua yang dijalankan adalah bidang
sosial budaya, selanjutnya bidang infrastruktur. Sedangkan bidang pendidikan
dan kesehatan berada pada skala prioritas empat dan lima.
Pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan belum menjadi prioritas
utama karena berdasarkan kerangka kerja CD, kedua bidang ini merupakan
bidang pendukung penguatan bidang ekonomi. Selain itu, sampai saat ini belum
dilakukan pemetaan khusus mengenai bidang kesehatan dan pendidikan. Pada
Akhirnya, program-program kesehatan dan pendidikan yang dilaksanakan pada
tahun 2011 masih mengacu pada pelaksanaan program pada tahun-tahun
sebelumnya. Adapun pelaksanaan program infrastuktur dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan nyata dari masyarakat melalui proposal yang diajukan
masyarakat ke perusahaan. Kegiatan sosial budaya dilaksanakan dalam rangka
untuk mendekatkan hubungan antara pelaku usaha dengan masyarakat
setempat.
Hasil wawancara dengan salah satu staff CD menuturkan bahwa strategi
prioritas bidang ini telah dilaksanakan terlebih untuk periode kedua yaitu tahun
2010-2013. Akan tetapi, SII (2012) menunjukkan bahwa kerangka kerja dan
strategi pelaksanaan CD ini belum dapat secara jelas mendeskripsikan indikator-
31
indikator serta target pencapaian perusahaan ditiap tahap setiap tahunnya
meskipun menyertakan rencana waktu dari setiap tahapan.
Program
Rancangan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia
Tambang Senakin mengacu pada standar CSR ISO:26000, Proper lingkungan
hidup, dan mendukung percepatan Millenium Development Goals (MDG’s).
Rancangan ini tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan terutama kebutuhan
aktual masyarakat di desa sekitar tambang. Kondisi dan kebutuhan masyarakat
ini dilakukan melalui kegiatan pemetaan sosial (social mapping) yang
dilaksanakan oleh lembaga kompeten. Selain itu, pengajuan proposal dan
informasi dari masyarakat lokal menjadi sumber penting lainnya dalam
merancang program.
Program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang
Senakin dilaksanakan di 28 desa yang dibagi menjadi tiga ring atau prioritas
impelementasi program. Ring 1 merupakan desa-desa yang terkena dampak
pertambangan secara langsung. Ring 2 merupakan desa-desa yang tidak
terkena dampak pertambangan secara langsung. Ring 3 merupakan desa-desa
yang tidak terkena dampak.
Tabel 7 Lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat1
Kecamatan Desa Ring 1 Ring 2 Ring 3
Kelumpang tenga
Sebuli, tamiang bakung
Tebing tinggi, Tanah Rata, Senakin, Senakin Seberang
Tanjung Selayar, Sungai Pinang, Sungai Punggawa
Kelumpang Utara Pamukan Selatan
Mangga, Wilas, Sungai Seluang Gunung Calang, Sekandis, Talusi
Pudi, Pudi Seberang -
Sukadana -
Sampanahan Gunung Batu Besar, Besuang, Papaan
Sepapah, Sungai Betung
Sukamaju, Banjarsari, Tanjung Sari, Sampanahan
1 Sumber: SII (2012)
Lubis (2011) menjelaskan tahapan program pemberdayaan masyarakat
dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Selanjutnya, penetapan tujuan,
penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan
pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan. Evaluasi dan monitoring adalah salah
satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan
sesuai dengan yang direncanakan.
Tahap pertama adalah identifikasi potensi dan masalah. Tahap pertama
ini dilakukan oleh pihak luar seperti Corporate Forum for Community
32
Development (CFCD) setiap tiga tahun sekali. Selain itu, dilaksanakan juga oleh
tim Dompet Dhuafa menurut desa yang dijadikan sasaran program. Selanjutnya
penetapan tujuan dan rencana kerja didiskusikan dengan staf community
department (CD) karena aksi program pemberdayan masyarakat ini akan
dilaksnaakan oleh staf, supervisor, tim dompet dhuafa, dan tim LPPM.
Wibisono (2007) berpendapat bahwa pelaksanaan program CSR atau
pemberdayaan ini sedapat mungkin diupayakan memenuhi beberapa poin,
diantaranya berbasis sumberdaya lokal, berbasis pada pemberdayaan
masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan
partisipatif atau didahului oleh penilaian kebutuhan (need assessment),
dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas.
Berdasarkan hal tersebut, maka CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin
telah berupaya memenuhi semua poin tersebut.
Berbasis sumberdaya lokal telah dibuktikan PT Arutmin Indonesia
Tambang Senakin dalam kebijakan dasar perusahaan. Selain itu, penguatan
berbagai kelompok usaha masyarakat setempat dengan potensi daerahnya.
Selain itu, dilaksanakan modifikasi bibit karet yang berasal dari karet lokal yang
selanjutnya akan dipergunakan oleh masyarakat setempat.
Berbasis pada pemberdayaan masyarakat merupakan konsep CD PT
Arutmin Indonesia Tambang Senakin dalam melaksanakan tanggung jawab
sosialnya. Hal ini dibuktikan dalam memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008 bahwa
community development merupakan salah satu strategi yang harus dijalankan
dalam CSR.
Perencanaan partisipatif dilakukan CD PT Arutmin Indonesia Tambang
Senakin setiap tiga tahun sekali oleh pihak luar atau setiap akan melaksanakan
program baru seperti kegiatan pendampingan oleh Dompet Dhuafa. CD PT
Arutmin Indonesia Tambang Senakin memiliki prioritas bidang yang dijadikan
acuan. Hal tersebut merupakan bukti bahwa perusahaan tersebut
mengutamakan program yang berkelanjutan seperti pada bidang ekonomi dan
mengutamakan prioritas pada tahun strategi. Adapun hubungan dengan bisnis
inti, perusahaan melaksanakan mining tour sebagai salah satu cara
pemberdayaan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai
kegiatan pertambangan.
Tahap selanjutnya adalah aksi atau implementasi program. Implementasi
program dilaksanakan berdasarkan rencana program yang telah dibuat. Adapun
33
tahap evaluasi dilakukan secara berjangka dan tahunan. Evaluasi berjangka
dilaksanakan setiap hari untuk mengevaluasi sekaligus monitoring program yang
sedang dilaksanakan. Evaluasi tahunan dilaksanakan dengan mengundang
pihak luar seperti tim dari CFCD. Evaluasi yang dilaksanakan oleh pihak luar ini
melibatkan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tipe evaluasi pada tabel 1 oleh
Lubis (2011), evaluasi yang dilaksanakan oleh CD merupakan kombinasi dari
evaluasi konvensional dan evalusi partisipatif.
Evaluasi konvensional meliputi pelaku evaluasi adalah pihak luar
sedangkan evaluasi berjangka dilakukan oleh staf dan perangkat CD. Hal yang
dievaluasi berdasarkan indikator keberhasilan biasanya berupa kepuasan
masyarakat dan output yang dihasilkan. Evaluasi CD dilakukan dengan pola
seragam dan tergantung jadwal. Hasil dari evaluasi ini menjadi bahan
pelaksanaan anggaran biaya dan program yang akan dilaksanakan di tahun
berikutya. Evaluasi tahunan ini juga melibatkan masyarakat di ring 1 sebagai
prioritas responden sasaran program pemberdayaan masyarakat.
Potensi Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat terhadap Upaya
Peningkatan Akses Pangan di Desa Wilas
Program bidang ekonomi sebagai program inti yang berjalan di Desa
Wilas adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM) dari tim
Dompet Dhuafa sebagai mitra CD dalam pelaksanaan program pemberdayaan.
Adapun program di bidang kesehatan dijalankan di Desa Wilas adalah
pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan, bantuan peralatan
kesehatan, dan insentif bagi bidan. Program di bidang pendidikan yang
dijalankan adalah Kuliah Kerja Profesi IPB, penelitian, mining tour, pelatihan
kompetensi guru, dan kompetisi pendidikan. Bidang infrastruktur yang turut
dibantu perusahaan adalah penyediaan sarana air bersih, perbaikan sarana
jalan, penyediaan jaringan listrik, dan pembangunan sarana olahraga, bedah
rumah. Selain itu, dibidang sosial budaya, perusahaan telah melaksanakan
perayaan hari besar agama islam, pembianaan olahraga dan kesenian, kegiatan
keagamaan, dan sosialisasi seputar operasional tambang.
Tabel 8 menunjukkan potensi dampak program pemberdayaan
masyarakat berdasarkan elemen penting akses dan konsumsi pangan dalam
KUKP 2010-2014. Program yang dilaksanakan menyentuh ranah upaya
peningkatan akses pangan yaitu akses sosial, fisik, dan ekonomi pangan. Selain
itu, salah satu dampak dari bantuan makanan tambahan bisa membantu
posyandu Balita Peningkatan konsumsi pangan
KUM Peningkatan akses ekonomi
2 Insentif tenaga kemasyarakatan Umum Peningkatan akses ekonomi
2 Pembinaan olahraga dan
4 Sosialisasi seputar operasional
3 Pembangunan jalan desa Umum Peningkatan akses fisik & sosial
34
peningkatan konsumsi makanan bagi balita. Hanya saja, program tersebut tidak
dirancang menjadi program yang saling berkaitan. Hal ini dibuktikan dengan
tujuan program pemberdayaan masyarakat CD adalah membentuk masyarakat
yang mandiri ekonomi. Bidang lainnya seperti kesehatan dan pendidikan
merupakan tujuan penunjang masyarakat mandiri ekonomi.
Hal ini diduga akses pangan khususnya dan sistem ketahanan pangan
umumnya belum tersosialisasi kepada perusahaan. Rahayu (2007) menyatakan
dalam penelitiannya mengenai potensi dampak program pemberdayaan
masyarakat di PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bahwa belum konsep
ketahanan pangan belum disosialisasikan kepada perusahaan karena belum ada
peraturan yang mengikat secara khusus mengenai penerapan konsep ini.
Tabel 8 Program, sasaran, dan potensi dampak program yang dilaksanakan di
Desa Wilas tahun 2011 No Program Sasaran Potensi Dampak
A Pendidikan
1 Kompetisi pendidikan Siswa SMP -
2 Magang dan KKN & Penelitian Mahasiswa -
3 Pelatihan kompetensi guru Guru -
B Kesehatan
1 Bantuan makanan tambahan
3 Bantuan pendidikan untuk bidan Bidan -
4 Bantuan tanggap darurat Umum -
C Ekonomi
1 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM) tim dompet dhuafa
pangan
Pangan
D Sosial Budaya Dan Keagamaan
1 PHBN Umum -
kesenian Umum -
3 Kegiatan keagamaan Umum -
tambang Umum -
E Pengembangan Infrastruktur
1 Rehabilitasi sarana pendidikan Umum -
2 Air bersih Umum Peningkatan akses fisik pangan
pangan 4 Pembangunan jaringan listrik Umum Peningkatan akses fisik pangan
5 Bedah rumah Umum -
6 Pembangunan sarana olahraga Umum -
35
Program Bidang Pendidikan. Pelaksanaan program pendidikan memiliki
tujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar
tambang. Program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah 1) kuliah kerja
profesi dan penelitian, 2) kompetisi pendidikan, 3) mining tour, 4) pelatihan
kompetensi guru.
Pelaksanaan program pendidikan ini memang belum optimal
diakarenakan tidak adanya data yang mendukung mengenai kebutuhan
pendidikan masyarakat. Program yang telah dijalankan berdampak pada
peningkatan pengetahuan dan kompetensi mengajar guru menjadi lebih baik.
Selanjutnya, pengetahuan yang meningkat dapat meningkatkan kapasitas dan
kompetensi siswa. Dampak dari kompetensi mengajar guru yang baik dapat
meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar.
Dana
KKP dan penelitian
Kompetisi pendidikan
pengetahuan
baru penerima manfaat
bertambah
Meningkat- nya
pengetahuan
Peningkatan
kapasitas dan kompetensi
Mining
tour
Pelatihan kompeten
si guru
Teknik mengajar guru lebih
baik
Kompetensi
guru mengajar lebih baik
Peningka-
tan kapasitas
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI
Gambar 3 Komponen program pendidikan. DAMPAK
Program Bidang Kesehatan. Program-program dibidang kesehatan
yang dilakukan masih bersifat donasi. Program yang telah dilaksanakan adalah
pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan sekali pada saat
posyandu,bantuan pendidikan bagi bidan, dan bantuan tanggap darurat. Potensi
dampak pada peningkatan konsumsi pangan terlihat pada program pemberian
makanan tambahan (PMT).
terpercaya)
36
PMT
balita
Dana Bantuan pendidi-
kan bidan
Tanggap darurat
Meragamkan makanan
tambahaan
Bidan mendapat pendidikan
Keadaan darurat
Status gizi kurang&buruk
menurun
Terdapat bidan ahli di desa
Penurunan tingkat bahaya
Peningkatan
konsumsi
Peningkatan kesehatan
Penurunan bahaya
teratasi
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI
Gambar 4 Komponen program kesehatan DAMPAK
Program Bidang Ekonomi. Bidang ekonomi merupakan bidang utama
dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Tujuan akhir dari
bidang ekonomi adalah untuk mempersiapkan masyarakat mandiri di akhir
operasi tambang. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di Desa Wilas
dilaksanakan dengan pendampingan dalam bidang pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Pelaksanaan program inipertanian dan peternakan CD Senakin
bekerjasama dengan tim dari Dompet Dhuafa. CD Senakin membentuk Assistant
Project karet dalam bidang perkebunan. Secara umum, implementasi PPEM ini
dijelaskan dalam gambar 5 berikut ini.
TAHAP JANGKA PENDEK (2010-
2011)
Menumbuhkan kelompok
Pembentukan kelembagaan lokal
Pembuatan konsensus bersama & Perintisan usaha
kelompok
TAHAP JANGKA MENENGAH (2011-
2012)
Penguatan dan pengembangan
kelembagaan lokal
Pengembangan usaha melalui inkubasi bisnis
TAHAP JANGKA PANJANG(masa pendampingan
berikutnya)
Kelembagaan lokal menjadi motor pemberdayaan
komunitas
Usaha berkembang (menjadi pengelola
dana-dana masyarakat)
profesional dan Gambar 5 Tahapan program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Gambar 5 tersebut menunjukkan bahwa implementasi program PPEM
terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama (2010-2011) merupakan tahap
awal atau inisisasi dalam merintis usaha. Saat ini, Desa Wilas sedang berada
pada tahap dua atau periode jangka menengah. Pada tahap ini dihasilkan tujuh
Kelompok Usaha Mandiri (KUM), yaitu:
1. KUM Bina Bersama, usaha peternakan ayam kampung
37
Kelompok ini melakukan usaha penggemukan dan pembibitan ayam
kampong yang diketuai oleh Bapak Abdul Hamid. Saat ini, ada tujuh dari
delapan orang yang masih mengikuti program penggemukan ayam
kampong. Menurut laporan DD per Juni 2012 pengurus pada kelompok ini
tidak berjalan sesuai fungsinya. Seluruh keputusan dan kebijakan kelompok
diserahkan kepada anggota kelompok dan ada beberapa mitra yang belum
melaksanakan usaha karena kondisi keluarga yang belum stabil. Total dana
yang telah direalisasikan adalah Rp. 7.200.000,- dari total dana yang
diajukan sebesar Rp. 12.951.000,-. Dana tersebut digunakan untuk
membuat kandang ayam,pembelian bibit, dan pembelian disinfektan.
Kendala yang dihadappi selain adanya ketidakstabilan pengurus adalah
sulitnya mencari bibit ayam yang sesuai dengan besar rata-rata ½ kilogram.
Lokasi kandang berada di empat lokasi dengan satu lokasi bersama dengan
tiga mitra dan tiga lokasi lainnya di rumah masing-masing mitra.
2. KUM Ternak Bina Usaha, usaha itik petelur
Kelompok ini menjalankan usaha peternakan itik petelur yang diketuai oleh
Bapak M. Bakar. Saat ini hanya ada lima dari 13 orang yang masih
mengikuti usaha peternakan ini. Pelaksanaan kepengurusan pada kelompok
ini sudah berjalan sesuai fungsinya. Dana yang telah diserap dari program
ini adalah sebesar Rp. 39.025.000,- dari Rp. 45.182.000,-. dana tersebut
digunakan untuk pembuatan kandang, pembelian bibit itik, pembelian
pakan,dan pembelian disinfektan.
3. KUM Berkat Usaha Bersama, usaha pertanian jagung
Kelompok ini merupakan kelompok yang menjalankan usaha pertanian
jagung. Pelaksanaan usaha ini diketuai oleh M. Hatta yang saat ini
beranggotakan tiga orang. Kendala yang dihadapi dalam kelompok ini
adalah pengurus kelompok belum berjalan optimal, lokasi tanam, dan
pemasarannya. Sampai saat ini usaha pertanian jagung baru panen satu kali
yang menghasilkan 7000 tongkol jagung. Hasil panen dipasarkan di sekitar
Desa Wilas, pasar geronggang, kotabaru, dan pagatan. Dana yang telah
diserap yaitu Rp.6.700.000,-.
4. KUM Harapan Kami, usaha pertanian kacang tanah
Usaha pertanian Hortikultura yang dilakukan oleh kelompok ini adalah
pertanian kacang tanah. Kelompok yang diketuai oleh Bapak Sahruni ini
memiliki dua anggota kelompok dimana satu orang dari anggotanya sudah
38
bisa melaksanakan usaha dari modal sendiri. Hasil panen pertama sudah
bisa di pasarkan di sekitar Desa Wilas. Dana yang telah diserap untuk usaha
ini adalah Rp.9.563.000,-.
5. KUM Usaha Bersama, usaha pemasaran getah karet
Kelompok usaha mandiri usaha bersama ini adalah kelompok yang bergerak
dalam pemasaran getah karet. Hanya ada satu orang di desa wilas yang
mengikuti kelompok ini. Sebenarnya yang dijadikan binaan atau dampingan
adalah pengumpul getah karet. Namun, dari hasil bagi keuntungan ada
sekitar 5% bagi semua pengumpul karet yang dikumpulkan di Abdullah
mendapatkan cuka. Karet yang telah dikumpulkan ini ditimbun sampai
terkumpul dalam jumlah yang menguntungkan bagi produsen. Pemasaran
getah karet ini juga bergabung dengan pengumpul karet di desa lain yang
dijadikan desa binaan. Pemasaran getah karet ini dilakukan di Banjarmasin
dengan pembagian keuntungan 30% untuk koperasi, 10% untuk induk, 30%
untuk pengelola, 5% untuk bonus, dan 25% dijadikan tambahan modal
usaha. Kendala yang dihadapi dalam usaha pemasaran getah karet ini
adalah cuaca dan harga karet di pabrik. Dana yang sudah terserap oleh
kelompok ini adalah Rp. 26.000.000,-.
6. KUM Harapan Bersama, usaha budidaya lobster air
Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar.
Tujuan diadakan usaha budidaya ini adalah untuk menunjukkan bahwa
didaerah pertanian dan perkebunan masih bisa melaksanakan usaha
perikanan. KUM Harapan Bersama diketuai oleh Sardiansyah yang sudah
menyerap Rp. 14.688.000,- untuk permodalan dan pelatihan. Jumlah
anggota KUM Harapan Bersama berjumlah 10 orang.
7. KUM Bina Lobster Lestari, usaha budidaya lobster air tawar
Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar. KUM
Bina Lobster Lestari yang diketuai oleh Badrudin sudah menyerap dana
sebesar Rp. 16.138.000,-. KUM Bina Lobster Lestari memiliki 9 orang
anggota.
Selain PPEM, Desa Wilas juga menerima bibit karet unggul yang
dibudidayakan di sekitar desa. Pengadaan bibit karet unggul ini merupakan
inisisasi CD Senakin untuk merubah pola perkebunan karet lokal menjadi klonal
(karet unggul). Strategi yang dijalankan adalah memilih satu tim project yang
akan mengurusi perkebunan dan program-program karet kedepannya.
karet Meningkatkan
Bidan
39
Terdapat tiga program yang saat ini sedang dijalankan. Pertama adalah
pengadaan karet unggul dari hasil okulasi anakan karet lokal dengan berbagai
jenis karet unggul di kebun P4T Dahlia, Desa Tamiang Bakung. Kedua,
pengadaan bibit karet unggul dari penangkaran karet yang ada di Plehari,
Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ketiga, pengadaan bibit karet
batang atas (entres) di Desa Wilas.
Masyarakat Desa Wilas bisa mengakses bibit-bibit tersebut dengan cara
membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang anggota. Sebanyak
500 bibit diberikan pada setiap kelompok yang harus ditanam di lahan seluas 1
hektar milik masyarakat. Perbandingan produktifitas karet lokal dan karet unggul
adalah 1:3. Satu hektar lahan karet lokal dapat menghasilkan 40 kilogram karet,
sedangkan karet unggul dapat mencapai 120 kilogram.
Analisis terhadap komponen program bidang ekonomi bisa dilihat pada
gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa input berupa dana disalurkan ke
Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat (PPEM) Dompet Dhuafa dan
proyek karet. Keluaran dari dua proses ini adalah terbentuk Kelompok Usaha
Masyarakat (KUM) dan tersedianya bibit karet unggul. Dampak dari terbentuknya
KUM adalah peningkatan pendapatan masyarakat sehingga berpotensi untuk
meningkatkan ketersediaan pangan, akses, dan konsumsi atau pemanfaatan
pangan. Hasil dari proyek karet adalah tersedianya bibit karet unggul sehingga
harapannya bisa meningkatkan produksi getah karet. Bertambahnya produksi
getah karet ini berpotensi meningkatkan pendapatan atau akses ekonomi
pangan bagi petani karet yang berada di Desa Wilas.
Dana
PPEM
Terbentuk KUM
Meningkatnya pendapatan masyarakat
Meningkatkan ketersediaan,
akses,dan pemanfaatan
Karet Tersedianya bibit karet
unggul
Meningkatnya produsi getah
pangan
akses ekonomi pangan
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI DAMPAK
Gambar 6 Komponen program bidang ekonomi
Program bidang infrastruktur. Bidang infrastruktur merupakan bidang
yang ditangani oleh divisi community relation. Program-program yang dijalankan
Jalan desa dangorong- gorong
balita
olahraga Tersedia media sosial Kemudahan
40
selama tahun 2011 adalah pengadaan sarana air bersih, pembangunan jalan
desa dan gorong-gorong, pembangunan jaringan listrik, bedah rumah, dan
pembangunan sarana olahraga.
Berdasarkan gambar 7, program dibidang infrastruktur yang mendukung
terhadap peningkatan akses pangan rumahtangga adalah pembangunan jalan
desa dan gorong-gorong serta pembangunan jaringan listrik. Pembangunan jalan
ini menjadikan jalan desa menjadi lebih baik sehingga akses rumahtangga untuk
ke pasar dan mengikuti program paket pendidikan pemerintah menjadi lebih
mudah. Adapun pengadaan sarana air bersih berpotensi pada peningkatan
kualitas konsumsi air bersih. Program bedah rumah dan pembangunan sarana
olahraga dilakukan secara insidental sesuai dengan permintaan melalui proposal
warga. Kedua program tersebut tidak berpotensi langsung terhadap peningkatan
akses fisik dan konsumsi pangan.
Dana
Air bersih Tersedia
air bersih tambahaan
Terdapat jalan desa yang lebih
mudah Tersedia
Jaringan sarana listrik penerangan
Peningkatan konsumsi air
bersih
Efektifitas mobilisasi
Peningkatan
akses media
Peningkatan
kualitas konsumsi pangan
Peningkatan akses fisik dan sosial
Peningkatan informasi
elektronik
Bedah rumah
Kondisi rumah
membaik
Perbaikan
kualitas papan
Kelayakan tempat tinggal
Sarana
sarana olahraga
Bertambahnya
sosialisasi
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI
Gambar 7 Komponen program infrastruktur. DAMPAK
Program bidang sosial dan budaya. Program yang sudah dijalankan
adalah donasi bagi perayaan hari besar islam, kegiatan keagamaan, sosialisasi
seputar operasional tambang, pembinaan olahraga dan kesenian, pembinaan
budaya lokal, dan penanggulangan bencana lokal jika ada. Program-program ini
dilaksanakan dalam rangka memperlancar hubungan CD dengan massyarakat
sekitar tambang.
41
Akses Pangan Rumahtangga
Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan akses pangan sebagai
kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang
cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah
atau pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan
pangan. Akses pangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan
rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada akses sosial
dan akses ekonomi yang disesuaikan dengan program pemberdayaan yang
telah dilakukan.
Akses Sosial
Akses sosial didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga dalam
memperoleh pangan yang didasarkan pada lama pendidikan suami dan istri.
Lama pendidikan dikategorikan dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun,
sedang 10-12 tahun, dan tinggi >12 tahun (UU RI Nomor 20 Tahun 2003).
Lama pendidikan suami. Rata-rata suami di desa program mengalami
masa pendidikan selama 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan masa
pendidikan suami di desa nonprogram selama 4.87±3.00 tahun. Adapun masa
pendidikan paling lama di desa program adalah 16 tahun dan 0 tahun untuk
masa pendidikan yang paling rendah. Begitupun dengan di desa nonprogram, 0
tahun merupakan masa pendidikan yang paling rendah dan 12 tahun merupakan
masa pendidikan yang paling tinggi.
Tabel 9 Statistik lama pendidikan suami di desa program dan nonprogram
Statistik Program Nonprogram Rata-rata±standar deviasi (tahun) 5.87±4.47 4.87±3.00 Maksimum (tahun) 16 12 Minimum (tahun) 0 0
Jumlah suami dikedua desa hanya 22 orang karena satu rumahtangga
memiliki suai yang telah meninggal. Secara keseluruhan, tabel 10 menjelaskan
bahwa lama pendidikan suami didominasi (88.6%) oleh kategori dasar atau masa
pendidikan ≤ 9 tahun dan sebesar 4.5% suami yang memiliki pendidikan tinggi.
Tingkat pendidikan suami di desa program didominasi (81.8%) oleh
kategori dasar atau masa pendidikan ≤9 tahun. Namun, terdapat 9.1%
rumahtangga di desa program dengan masa pendidikan >12 tahun atau yang
tergolong tinggi. Begitupun dengan desa nonprogram, tingkat pendidikan
suaminya didominasi oleh tingkat dasar (95,7%). Hanya sebesar 4.5% suami di
desa nonprogram yang bisa mencapai tingkat pendidikan sedang.
Tingkat pendidikan Program1 Nonprogram1
42
Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami
Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Dasar (≤ 9 tahun) 18 81.8 21 95.5 39 88.6
Sedang (10-12 tahun) 2 9.1 1 4.5 3 6.8
Tinggi (> 12 tahun) 2 9.1 0 0 2 4.5 1 suami meninggal sebanyak 1 orang
Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang nyata (p>0.05) antara lama pendidikan suami di desa program dan desa
nonprogram. Hal ini diduga karena letak sekolah mengenah berada di ibukota
kecamatan. Aksesibilitas menuju ibukota kecamatan masih sulit untuk dilalui dan
jumlah kendaraan yang masih sedikit. Oleh karena itu, suami atau kepala
keluarga lebih memilih untuk bekerja dibandingan dengan sekolah.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani (2012) bahwa meskipun
tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan
komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila
dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa
mandiri pangan. Permatasari (2004) menemukan hal yang sama bahwa
sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti
(2009) juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan
formal istri dan suami yang bekerja sebagai penggarap dan buruh tani
didominasi oleh lulusan SD atau tidak tamat SD.
Kasryono (2000) menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah
pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak
tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan.
Behrman & Wolfe (1984) menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga
bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya
adalah pendidikan formal. Sukandar dkk (2009) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman
mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut. Sejalan dengan
hal tersebut, Nurlatifah (2011) menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa
tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang
pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan
selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan.
Lama pendidikan istri. Rata-rata lama pendidikan istri di desa program
tidak jauh berbeda (4.91±3.68 tahun) dengan desa nonprogram (4.35±3.05
Tingkat pendidikan istri Program Nonprogram1
43
tahun). Hanya saja di desa program terdapat istri yang sudah mencapai
pendidikan tinggi atau lama pendidikan 14 tahun, sedangkan di desa
nonprogram lama pendidikan paling tinggi adalah 9 tahun yang tergolong
pendidikan dasar. Adapun dikedua desa masih terdapat istri yang tidak
mengenyam pendidikan formal.
Tabel 11 Statistik lama pendidikan istri di desa program dan nonprogram
Statistik Program Nonprogram Rata-rata ± standar deviasi (tahun) 4.91±3.68 4.35±3.05 Maksimum (tahun) 14 9 Minimum (tahun) 0 0
Jumlah istri pada rumahtangga nonprogram sebanyak 22 orang. Hal ini
dikarenakan satu rumahtangga belum mempunyai istri. Tidak jauh berbeda
dengan lama pendidikan suami, secara keseluruhan lama pendidikan dasar juga
mendominasi (95,6%) lama pendidikan istri. Hanya sebanyak 2.2% rumahtangga
yang sampai pada tingkat pendidikan sedang dan tinggi.
Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan istri
Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Dasar (≤ 9 tahun) 21 91.3 22 100 43 95.6
Sedang (10-12 tahun) 1 4.3 0 0 1 2.2
Tinggi (> 12 tahun) 1 4.3 0 0 1 2.2 1 belum punya istri sebanyak 1 orang
Lama pendidikan istri di desa program tergolong lebih tinggi meskipun
tidak jauh berbeda dibandingkan desa nonprogram. Tabel 12 menunjukkan
bahwa sebanyak 91,3% istri rumahtangga di desa program tergolong pendidikan
dasar. Sebesar 4,3% istri rumahtangga yang tergolong memiliki lama pendidikan
kategori sedang dan tinggi. Adapun sebesar 100% ibu di desa nonprogram
termasuk kategori dasar. Hal ini didukung dengan hasil uji independent T-test
bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu yang nyata (p>0.05)
antara desa program dan desa nonprogram.
Akses menuju ibukota kecamatan pada masa pendidikan ibu masih
sangat sulit sehingga para ibu lebih memilih untuk bekerja dan menikah. Ibu
yang mengenyam pendidikan tinggi dikarenakan sebelum menikah tinggal di
ibukota kecamatan sehingga akses ke sekolah lanjutan cenderung lebih mudah.
Hasil penelitian Permatasari (2004) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar (62.9%) adalah
Sekolah Dasar, hanya sebesar 2% ibu rumahtangga yang mengenyam
44
pendidikan lanjut. Rahayu (2007) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu
rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah
(70.6%). Hasil penelitian Agustiani (2012) juga menyimpulkan bahwa tingkat
pendidikan ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan
sekolah dasar.
Cohen (1981) dalam Hardinsyah (2007) mengidentifikasi pola
pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola
istri yang dominan. Behrman & Wolfe (1984) juga menyatakan bahwa akses
pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu
karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri. Berdasarkan penelitian
tersebut, istri atau ibu memegang peranan penting untuk menyiapkan makanan
dalam rumahtangga. istri yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung
mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak (BKKBN dan community
system foundation dalam Hardinsyah 2007), sehingga aksesnya untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan gizi lebih tinggi (Hardinsyah
2007). Pada akhirnya istri atau ibu akan membuat rencana atau strategi untuk
mendapatkan pangan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Akses Ekonomi
Akses pangan selanjutnya adalah akses ekonomi. Akses ekonomi
merupakan kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang
didasarkan pada pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan.
Pengeluaran total per kapita per bulan dihitung dari jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk membeli kebutuhan pangan dan nonpangan selama satu
bulan termasuk konsumsi beras rumahtangga dari lahan sendiri yang dibagi
dengan jumlah anggota rumahtangga. Jumlah anggota rumahtangga ini penting
untuk diketahui karena pengeluaran total per kapita ditentukan oleh banyaknya
anggota rumahtangga.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sukandar (2007) menjelaskan bahwa
jumlah anggota rumahtangga adalah banyaknya anggota rumahtangga yang
terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari
pengelolaan sumberdaya yang sama. Secara operasional, jumlah anggota
rumahtangga dikategorikan menjadi rumahtangga kecil (≤ 4 orang), rumahtangga
sedang (5-6 orang), dan rumahtangga besar (≥ 7 orang).
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumahtangga di
desa nonprogram adalah 3.5±1.2, sedangkan di desa program sebesar 4.4±2.1.
Kategori Nonprogram
45
Jumlah rumahtangga kecil dikedua desa sebanyak 71,7%, rumahtangga sedang
sebanyak 21,7% dan terdapat 6,5% rumahtangga yang tergolong rumahtangga
besar. Jumlah rumahtangga kecil di desa nonprogram lebih besar (82,6%)
dibandingkan dengan jumlah rumahtangga kecil di desa program (60,9%).
Adapun jumlah rumahtangga yang tergolong sedang di desa nonprogram lebih
rendah (17,4%) dibandingkan desa program (26,1%). Sebaliknya, rumahtangga
yang tergolong besar hanya ada di desa program yaitu sebesar 13%. Hasil uji
independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
(p>0.05) antara jumlah anggota rumahtangga di desa program ataupun
nonprogram.
Tabel 13 Sebaran rumahtangga berdasarkan jumlah anggota rumahtangga
Program Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Kecil (< 4 orang) 19 82,6 14 60,9 33 71,7
Sedang (4-6 orang) 4 17,4 6 26,1 10 21,7
Besar (≥ 7 orang) 0 0,0 3 13,0 3 6,5
Rata-rata±standar deviasi 3.5±1.2 4.4±2.1 4.0±1.8
Data BPS Kotabaru (2012) mencatat bahwa jumlah penduduk di desa
program adalah 807 orang dengan 210 kepala keluarga sedangkan desa
nonprogram sebanyak 175 orang dengan 48 kepala keluarga sehingga meskipun
jumlah penduduk jauh berbeda namun rata-rata jumlah anggota rumahtangga
tidak jauh berbeda. Kondisi ini diduga karena banyak dari penduduk desa
nonprogram mencari pekerjaan diluar desa atau menjadi penduduk di desa lain.
Desa program merupakan desa dengan kepadatan penduduk yang tinggi
yaitu 36 orang /km2. Hal ini berbeda dengan desa nonprogram yang mencapai 6
orang/km2 (BPS Kotabaru 2012). Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan
yang nyata, namun di desa program sebesar 13,1% tergolong rumahtangga
besar dan 26.1% tergolong rumahtangga sedang. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa jumlah anggota rumahtangga di desa program lebih banyak
dibandingkan dengan desa nonprogram.
Pengeluaran total per kapita per bulan dibagi kedalam dua jenis yaitu
pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk nonpangan. Pengeluaran
pangan terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk beras, umbi-umbian, jagung,
lauk, sayur, buah, minyak, minuman, dan pangan lainnya. Adapun pengeluaran
nonpangan terdiri atas biaya sekolah, pakaian, bahan bakar, kesehatan, alat
(Rupiah) %
46
bersih, rokok, dan pengeluaran nonpangan lainnya. Perbandingan pengeluran
total per kapita tersebut disajikan pada tabel 14.
Tabel 14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan kelompok pengeluaran
Desa Program Desa Nonprogram
Kelompok Pengeluaran Rata-Rata
A. Pangan
1. Beras 13,884 2.7 5,572 1.3
2. Umbi-Umbian 3,741 0.7 1,123 0.3
3. Jagung 1,459 0.3 629 0.2
4. Lauk 51,229 10.1 22,374 5.3
5. Sayur 5,378 1.1 2,344 0.6
6. Buah 8,088 1.6 4,149 1.0
7. Minyak 10,136 2.0 9,438 2.3
8. Minuman 24,395 4.8 34,547 8.3
9. Jajanan 55,862 11.0 56,877 13.6
10. Lainnya 22,646 4.5 31,576 7.5
Subtotal 196,819 38.7 168,629 40.3
B. Nonpangan
1.Sekolah 52,446 10.3 5,039 1.2
2. Pakaian 20,696 4.1 11,181 2.7
3.Bahan Bakar 32,728 6.4 67,533 16.1
4. Kesehatan 4,876 1.0 5,522 1.3
5. Alat Bersih 18,370 3.6 22,305 5.3
6. Rokok 49,515 9.7 66,725 15.9
7. Lain-Lain 132,959 26.2 71,421 17.1
Subtotal 311,590 61.3 249,724 59.7
Total 508,409 100.0 418,353 100.0
Tabel 14 menunjukkan bahwa pengeluaran pangan desa program lebih
rendah (38.7%) dibandingkan desa nonprogram (40.3%). Pengeluaran pangan
tertinggi di desa program dan nonprogram adalah jajanan (11% dan 13.6%).
Adapun pengeluaran pangan total per kapita per bulan terendah dikedua desa
berasal dari pengeluaran untuk jagung. Hal ini dikarenakan jagung jarang sekali
dikonsumsi oleh rumahtangga. Kondisi ini diduga karena rumahtangga dikedua
desa program tidak menanam jagung. Meskipun rendah pengeluaran untuk
jagung lebih tinggi didesa program. Hal ini diduga berkaitan dengan program
pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di desa program, yaitu kelompok
usaha menengah Berkat Usaha Bersama yang menanam jagung.
47
Secara keseluruhan pengeluaran nonpangan lebih tinggi pada desa
program (61.3%) dibandingkan dengan desa nonprogram (59.7%). Pengeluaran
nonpangan tertinggi adalah pada kelompok lainnya baik di desa program (26.2%)
maupun desa nonprogram (17.1%). Jika dibandingkan, pengeluaran untuk
lainnya di desa program jauh lebih tinggi dibandingkan dengan desa
nonprogram. Hal ini salah satunya diduga karena di desa nonprogram ada panel
tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik dari pemerintah setempat.
Pengeluaran untuk arisan dan air juga menjadi komponen lainnya yang turut
menyumbang besarnya pengeluaran di desa program. Adapun pengeluaran
terendah adalah untuk biaya kesehatan baik di desa program (1%) maupun di
desa nonprogram (1.3%).
Secara keseluruhan pengeluaran pangan rumahtangga dikedua desa
lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran nonpangan. Menurut Novita &
Fardiana (2011), pengeluaran untuk pangan menurun seiring dengan
meningkatnya pendapatan dan hal ini bisa dijadikan indikator kesejahteraan
rumahtangga. BPS Kotabaru (2012) mencatat bahwa 64.3% dari total
pengeluaran adalah untuk pangan, sedangkan sebesar 35.7% adalah untuk
kebutuhan nonpangan. Jika dibandingkan dengan pengeluaran rumahtangga
pada tabel 14 dapat dinyatakan bahwa rumahtangga di lokasi penelitian lebih
sejahtera dibandingkan dengan rata-rata rumahtangga di seluruh Kabupaten
Kotabaru.
Pakpahan dkk (1993) juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara
porsi atau pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah
tangga. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan
pangan, semakin besar pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah
ketahanan rumah tangga yang bersangkutan. Oleh karena itu, rumahtangga
dikedua desa memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan pangan sehingga
meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga.
Kondisi ini terjadi diduga karena adanya kontribusi dari hasil pertanian
padi gogo yang dilakukan dikedua desa. Padi gogo ini merupakan komoditas
utama selain karet yang diunggulkan dikedua desa. Oleh karena itu, pengeluaran
untuk beras sebagai makanan pokok bisa dipenuhi dari hasil pertanian sendiri.
BPS Kotabaru (2012) mencatat bahwa rata-rata produksi padi gogo di
Kecamatan Kelumpang Utara adalah 28 kw/ha. Luas lahan tanamnya adalah 350
hektar, artinya pada tahun 2011 kecamatan Kelumpang Utara bisa memproduksi
48
padi gogo sebanyak 9800 kwintal atau 980.000 kilogram per tahun. Jika jumlah
penduduk Kecamatan Kelumpang Utara adalah 5.399 orang, artinya setiap orang
memiliki 181.5 kilogram beras setiap tahunnya.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) menetapkan bahwa ketersediaan
energi ideal bagi setiap orang indonesia adalah 2200 kilokalori. Berdasarkan
standar pola pangan harapan, sebesar 50% kebutuhan energi tersebut dipenuhi
dari serealia. Oleh karena itu, untuk memenuhi bobot tersebut setiap orang
Indonesia harus bisa menyediakan 300 gram beras setiap harinya atau 106.8
kilogram dalam satu tahun. Jika dibandingkan dengan ketersediaan padi gogo di
Kecamatan Kelumpang Utara, maka setiap orang di Kecamatan Kelumpang
Utara memiliki penyediaan beras yang cukup untuk satu tahun. Sejalan dengan
Ecker & Breisinger (2012) bahwa salah satu faktor utama akses pangan adalah
subsisten pangan dari lahan sendiri.
Kontribusi hasil panen padi ini bisa mengurangi 31% pengeluaran pangan
didesa nonprogram dan sebesar 25.5% didesa program. perbedaan diduga
karena tujuh rumahtangga di desa program tidak mendapatkan beras dari
ladang. Rumahtangga tersebut cenderung memilih untuk membeli di pasar. Jika
dilihat, rumahtangga yang tidak mengandalkan beras dari lahan sendiri adalah
rumahtangga yang bekerja sebagai guru, pekerja swasta, dan PNS. Adapun
rumahtangga desa nonprogram sangat mengandalkan lahan sendiri untuk
memenuhi kebutuhan berasnya. Hal ini juga diduga curahan waktu untuk bekerja
di ladang tidak cukup jika berprofesi bukan sebagai petani (PNS, guru, dan
pekerja swasta). Selain itu, berdasarkan tabel 4, sebanyak 58,1% pekerjaan
suami dan istri adalah petani sehingga potensi lahan lokal di desa nonprogram
lebih dimanfatkan berkaitan dengan pekerjaan suami dan istri.
Selanjutnya, pengeluaran total per kapita per bulan ini memasukkan
jumlah rupiah dari kontribusi padi hasil pertanian sebagai gambaran jumlah
pendapatan per kapita yang bisa didapatkan oleh rumahtangga lokasi penelitian.
Beras hasil pertanian untuk dikonsumsi setiap hari dihitung beratnya (gram)
kemudian dikalikan dengan harga beras rata-rata di kecamatan kelumpang Utara
yaitu Rp. 10.000,- sehingga diasumsikan nilai rupiah tersebut adalah biaya yang
dikeluarkan untuk membeli beras.
Tabel 15 menunjukkan bahwa rata-rata dan nilai maksimum pengeluaran
total per kapita per bulan lebih tinggi di desa program dibandingkan dengan desa
nonprogram. Hal ini diduga karena akses menuju pasar cenderung tinggi.
49
sehingga rumahtanga sering berbelanja dibanding dengan rumahtangga di desa
nonprogram. Berdasarkan hasil wawancara, rumahtangga di desa program bisa
mengakses ke pasar 1-2 kali dalam sebulan sedangkan rumahtangga di desa
nonprogram maksimal satu kali dalam satu bulan.
Tabel 15 juga menunjukkan bahwa nilai minimum pengeluaran total
perkapita per bulan lebih rendah pada desa program, padahal pengeluaran total
pada desa program lebih tinggi. Hal ini diduga dan bisa menjadi alasan bahwa
jumlah anggota rumahtangga berkaitan dengan pengeluaran total per kapita per
bulan. Pengeluaran total per kapita per bulan ini akan menjadi kecil jika jumlah
anggota rumahtangga banyak, meskipun pengeluaran totalnya besar.
Tabel 15 Statistik pengeluaran total per kapita rumahtangga dalam satu bulan Kategori Rata-rata (Rupiah) Maksimum (Rupiah) Minimum (Rupiah)
Nonprogram 492.164 871.650 287.933 Program 581.109 1.019.038 211.575
Selanjutnya, analisis akses ekonomi pangan dilakukan terhadap
pengeluaran total per kapita per bulan. Tabel 16 menunjukkan bahwa akses
ekonomi dikedua desa tergolong tinggi (95.6%). Sebanyak 100% rumahtangga
didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi. Rumahtangga
desa program masih memiliki rumahtangga dengan akses ekonomi yang rendah
(4.3%) dan akses ekonomi sedang (4.3%) meskipun masih didominasi oleh
akses pangan tinggi (91.3%). Kondisi ini diduga berkaitan dengan jumlah
anggota rumahtangga di desa program yang lebih banyak dibandingkan dengan
desa nonprogram. Akan tetapi, hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan pengeluaran total per kapita per bulan yang nyata
(p>0.05) antara rumahtangga desa program dan desa nonprogram.
Tabel 16 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan
Akses pangan ekonomi
Nonprogram Program Total
Jumlah % Jumlah % n %
Rendah - - 1 4.3 1 2.2
Sedang - - 1 4.3 1 2.2
Tinggi 23 100 21 91.3 44 95.6
Jenis pekerjaan di desa program lebih beragam dibandingkan dengan
desa nonprogram. Jika dilihat dari tabel 4, beberapa kepala rumahtangga bekerja
sebagai PNS dan pegawai swasta. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa di desa
program terdapat warga yang menjadi buruh tani. Pekerjaan ini secara langsung
50
memberikan upah yang bisa digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari.
Selain itu, rata-rata pendapatan dari PPEM berkontribusi sebesar Rp. 50.617,-
per kapita per bulan. Ketiga hal ini diduga menjadi alasan akses ekonomi di desa
program lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram.
Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani (2012) bahwa
rumahtangga yang menerima program desa mandiri pangan memiliki akses
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga bukan penerima
program. Tingginya akses ekonomi memberikan peluang yang besar bagi
rumahtangga untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan.
Ecker & Breisinger (2012) menyatakan bahwa faktor utama akses pangan
adalah pendapatan nyata rumahtangga atau akses ekonomi, pangan hasil
produksi sendiri, dan aset yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
pangan. Hasil penelitian Oloyule et al (2009) juga menyimpulkan bahwa
ketahanan pangan rumahtangga meningkat seiring dengan meningkatnya
pendapatan per bulan (pengeluaran). Artinya, rumahtangga yang memiliki
pendapatan/pengeluaran yang lebih besar cenderung memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk mendapatkan pangan sehingga bisa mencapai status tahan
pangan.
Keseluruhan Akses Pangan
Keseluruhan akses pangan merupakan gabungan dari komponen-
komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Penelitian ini membuat
variabel baru akses pangan berasal dari komponen akses sosial (pendidikan
suami dan istri) dan akses ekonomi (pengeluaran total per kapita per bulan)
dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA).
Prinsip dasar PCA ini adalah mengombinasikan variabel awal yang
banyak sekali dengan proses reduksi. Hasil dari proses reduksi ini adalah
variabel baru yang lebih sedikit tetapi masih mengandung informasi yang ter-
muat dalam data asli/awal. Variabel hasil (komposit) reduksi tersebut dinamakan
faktor. Penelitian ini menggunakan satuan yang berebeda dalam setiap
peubahnya sehingga digunakan PCA dengan matriks korelasi. Perbedaan
satuan pengukuran yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman
peubah, menjadi salah satu pertimbangan utama penggunaan matriks korelasi
(Sumertajaya 2010).
Tujuan utamanya adalah menjelaskan sebanyak mungkin jumlah varian
data asli dengan sedikit mungkin komponen utama. Komponen utama tersebut
51
ditunjukkan dengan nilai eigenvalues yang menunjukkan kepentingan relatif
masing-masing faktor dalam menghitung varians ketiga variabel yang dianalisis.
Susunan eigenvalues selalu diurutkan dari yang terbesar sampai ke yang
terkecil, dengan kriteria bahwa angka eigenvalues dibawah satu tidak digunakan
dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk (Soemartini 2008).
Terdapat beberapa keuntungan penggunaan Principal Component
Analysis (PCA) dibandingkan analisis lainnya yaitu pertama dapat
menghilangkan korelasi secara bersih (korelasi = 0) sehingga masalah
multikolinearitas dapat benar-benar teratasi secara bersih. Kedua, dapat
digunakan untuk segala kondisi data/penelitian. Ketiga, dapat digunakan tanpa
mengurangi jumlah variabel asal. Keempat, metode regresi dengan PCA ini
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi akan tetapi kesimpulan yang diberikan lebih
akurat dibandingkan dengan pengunaan metode lain.
Tabel 17 Hasil analisis PCA untuk akses pangan
Eigenanalysis of the Correlation Matrix Eigenvalue 1.7870 0.8285 0.3845 Proportion 0.596 0.276 0.128 Cumulative 0.596 0.872 1.000
Variabel PC1 PC2 PC3 Lama pendidikan suami (x1) 0.661 -0.065 0.747 Lama pendidikan istri (x2) 0.567 -0.608 -0.555 Pengeluaran total per kapita (x3) 0.491 0.791 -0.365
Tabel 17 menunjukkan bahwa eigenvalue yang lebih dari satu
mempunyai nilai kumulatif 59.6% atau 60% (dibulatkan). Hal ini menunjukkan
bahwa dengan menggunakan persamaan PC1 komponen utama akses pangan
dapat menjelaskan 60% data yang berasal dari tiga komponen sebelumnya yaitu
lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, dan pengeluaran total per kapita
per bulan. Oleh karena itu, persamaan komponen utama akses pangan
dinyatakan sebagai berikut:
Akses pangan = 0.661*X1std + 0.567*X2std + 0.491*X3 std,
Persamaan skor komponen utama akses pangan, selanjutnya disebut
sebagai akses pangan, didapatkan dengan menggunakan rumus tersebut. Nilai
X1 didapatkan dengan standardisasi dari Xn dikurangi rata-rata pada Xn dan
dibagi dengan standar deviasi X tersebut. Misalnya dalam penentuan X1 (lama
pendidikan), maka lama pendidikan suami rumahtangga ke-n dikurangi dengan
52
rata-rata lama pendidikan suami seluruhnya dibagi dengan standar deviasi dari
lama pendidikan suami ke-n. Selanjutnya, skor akses pangan rumahtangga
terlampir di lampiran 2 tabel 26
Rumahtangga dikategorikan berdasarkan skor akses pangan. Persamaan
diatas menunjukkan nilai yang positif pada setiap koefisiennya. Hal ini
menunjukkan bahwa skor akses pangan akan semakin tinggi jika nilai Xstd juga
tinggi. Artinya skor akses pangan tinggi jika pendidikan suami dan istri lebih lama
serta pengeluaran total per kapita lebih besar.
Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor komponen utama akses
pangan lebih tinggi di desa program (1.262) dibandingkan dengan desa
nonprogram (0.635). Begitupun dengan nilai maksimum di desa program jauh
lebih tinggi (4.187) dibandingkan dengan desa nonprogram (2.069). Adapun nilai
minimum dari desa program lebih tinggi (0.037) dibandingkan dengan desa
nonprogram (0.013). Hal ini menunjukkan bahwa skor akses pangan di desa
program lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Artinya,
rumahtangga di desa program cenderung memiliki suami dan istri yang
berpendidikan lebih lama serta pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram.
Tabel 18 Statistik skor akses pangan rumahtangga Nilai Program Nonprogram Rata-rata 1.262 0.635 Maksimum 4.187 2.069 Minimum 0.037 0.013
Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa komponen lama
pendidikan suami (X1) memiliki kontribusi yang besar terhadap akses pangan.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien lama pendidikan suami paling besar,
artinya lama pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap
peningkatan akses pangan. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian Nurlatifah
(2011) bahwa peubah rata-rata lama sekolah memiliki elastisitas yang paling
tinggi dalam ketahanan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa peubah rata-rata
lama sekolah merupakan peubah yang paling responsif dalam meningkatkan
persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan.Selanjutnya
pengkategorian akses pangan dibahas dalam hubungannya dengan tingkat
kecukupan energi.
Analisis komponen utama ini dilanjutkan dengan analisis regresi
menggunakan dummy. Analisis ini dilakukan untuk melibatkan akses fisik pangan
No Kelompok Pangan Standard1
53
yang merupakan komponen akses pangan akan tetapi berupa data kategorik.
Akses fisik pangan yang dilihat adalah hasil dari program pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin yang tidak
bisa diskalakan. Oleh karena itu keberadaan akses fisik pangan diberikan nilai
D=1 dan ketiadaan akses fisik pangan diberikan nilai D=0. Analisis ini melibatkan
tingkat kecukupan energi sebagai variabel yang bergantung terhadap komponen
utama akses pangan sehingga pembahasan hasil regresi dummy dilanjutkan
pada bagian hubungan akses pangan dengan tingkat kecukupan energi.
Konsumsi Pangan Rumahtangga
Konsumsi pangan rumahtangga merupakan rata-rata jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga. Pengambilan data
jumlah dan jenis pangan ini dilakukan dengan menggunakan metode food recall
1x24 jam kepada seluruh anggota rumahtangga ditanyakan mengenai jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi. Gram pangan yang diperoleh kemudian
dikonversikan ke kalori. Selanjutnya jumlah konsumsi pangan rumahtangga
adalah jumlah konsumsi kalori seluruh anggota rumahtangga dibagi dengan
jumlah anggota rumahtangga tersebut. Tingkat kecukupan energi diperoleh
dengan membandingkan rata-rata jumlah konsumsi pangan dengan rata-rata
angka kecukupan gizi rumahtangga berdasarkan angka kecukupan gizi individu
(AKG) 2004 yang dikoreksi dengan berat badan dan umur masing-masing
individu sehingga didapatkan tingkat kecukupan gizi rumahtangga.
Tabel19 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan per kapita per hari
(kkal/kapita/hari)
Energi aktual (kkal/kapita/hari)
Nonprogram Program
1 Padi-padian 1000 877 853 2 Umbi-umbian 120 11 10 3 Pangan Hewani 240 138 221 4 Minyak dan Lemak 260 90 77 5 Buah/Biji Berminyak 60 0 0 6 Kacang-kacangan 100 2 2 7 Gula 100 65 61 8 Sayur dan Buah 120 36 29 9 Lain-lain 60 20 13
Jumlah Konsumsi 2000 1267 1239 1 berdasarkan standard pola pangan harapan
Tabel 19 menunjukkan perbandingan jumlah konsumsi energi aktual
individu rumahtangga di desa program dan nonprogram dengan standar pola
pangan harapan. Jumlah konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah
(kilokalori) 1721 1708
54
(1239 kilokalori) dibandingkan dengan desa program (1267 kilokalori). Jika
dibandingkan dengan standard pola pangan harapan, maka jumlah konsumsi
setiap orang dikedua desa belum mencapai anjuran idealnya. Kondisi ini berbeda
dengan hasil dari BPS (2011) bahwa konsumsi kalori per kapita per hari
Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198 kilokalori.
Tabel 19 diatas juga menunjukkan bahwa konsumsi energi didominasi
oleh kelompok padi-padian. Kelompok pangan hewani merupakan kelompok
pangan kedua yang berkontribusi cukup besar terhadap konsumsi pangan.
Kelompok pangan yang tergolong buah/biji berminyak seperti kelapa dan santan
jarang sekali dikonsumsi oleh rumahtangga dikedua desa sehingga kontribusi
dari buah atau biji berminyak tidak ada. Adapun pemakaian santan dalam
makanan dikonsumsi ketika adanya suatu hajatan besar seperti pernikahan atau
acara perayaan hari besar islam. Hasil penelitian Latief (2000) juga masih
sejalan dengan hal ini yaitu sejak tahun 1995 penduduk lebih cenderung
mengonsumsi bahan pangan kelompok padi-padian. Hasil penelitian Purwantini
& Mewa (2008) juga menyebutkan bahwa pada umumnya pada rumahtangga
petani padi beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang
tinggi sehingga sumbangan energi terbesar adalah dari padi-padian.
Tingkat kecukupan energi (TKE) merupakan indikator yang dipakai untuk
menunjukkan seberapa besar makanan yang dikonsumsi memenuhi kecukupan
gizi idealnya. Tingkat kecukupan energi ini merupakan keluaran dari sistem
ketahanan pangan dan juga menjadi indikator pencapaian tujuan pertama
MDG’s. Asumsinya TKE merupakan pembentuk status gizi rumahtangga. TKE ini
digunakan untuk melihat apakah pangan yang dikonsumsi oleh rumahtangga
sesuai dengan kecukupan gizi ideal rumahtangga tersebut. Berikut adalah
perbandingan rata-rata tingkat kecukupan energi pada rumahtangga program
dan nonprogram.
Tabel 20 Perbandingan rata-rata konsumsi, angka kecukupan energi, dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan nonprogram
Rata-rata Program Nonprogram Konsumsi rumahtangga (kilokalori) 1280 1242 Kecukupan energi rumahtangga ideal
Tingkat kecukupan energi (%) 75 74
Tabel 20 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kecukupan energi ideal
rumahtangga di desa program adalah 1721 kilokalori sedangkan pada
55
rumahtangga desa nonprogram sebesar 1708 kilokalori. Adapun rata-rata tingkat
kecukupan energi rumahtangga di desa program lebih tinggi (75%) dibanding
dengan rumahtangga desa nonprogram (74%). Hasil uji independent t-test
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi yang
nyata (p>0.05) antara rumahtangga desa program dan desa nonprogram.
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar (52.2%) rumahtangga
memiliki tingkat kecukupan energi yang cukup. Rumahtangga ini tersebar di desa
program dan nonprogram dimana persentase cukup di desa program lebih tinggi
(56.5%) dibandingkan dengan desa nonprogram (47.8%). Kategori kurang lebih
tinggi desa nonprogram (52.2%) dibandingkan dengan desa program (43.5%).
Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
(p>0.05) tingkat kecukupan energi antara rumahtangga di desa program dan
desa nonprogram.
Tabel 21 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan energi
Tingkat Kecukupan Energi
Program Nonprogram Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
kurang (<70%) 10 43.5 12 52.2 22 47.8
Cukup (≥70%) 13 56.5 11 47.8 24 52.2
Kondisi ini diduga karena kebiasaan makan rumahtangga cenderung
homogen yaitu frekuensi makan rata-rata tiga kali sehari. Makanan pokok beras
dan lauk hewani berupa ikan sungai atau ikan laut. Ragam jenis pangan yang
tersedia pun hampir sama dikedua desa yaitu hasil perikanan sungai dan
pertanian. Ketersediaan bahan pangan di warung pun terbatas pada bahan
makanan yang memiliki daya tahan dalam jangka waktu satu sampai dua
minggu. Hasil penelitian Purwantini & Mewa (2008) juga menyebutkan bahwa
tingkat kecukupan energi 50% rumahtangga diluar pulau jawa masih dibawah
standard.
Persentase kecukupan yang tergolong kurang tersebut masih tinggi
sedangkan mata pencaharian utama dikedua desa adalah pertanian.
Pembahasan mengenai pengeluaran panganpun kedua desa bisa mencukupi
kebutuhan beras untuk seluruh anggota rumahtangga dalam satu tahun. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa beras berkontribusi meminimalisir 31%
pengeluaran pangan di desa nonprogram dan 25.5% di desa program. Hal ini
terjadi diduga karena perilaku konsumsi masing-masing individu masih rendah.
Berdasarkan hasil pengamatan, konsumsi pangan ibu yang berprofesi sebagai
P1 NP2 P1 NP
rumahtangga program; 2 rumahtangga nonprogram; 3jumlah rumahtangga
56
ibu rumahtangga dan balita cenderung sedikit. Kebiasaan konsumsi para
remajapun cenderung jauh dari kecukupan ideal. Padahal dalam masa remaja,
kebutuhan akan nutrisi cenderung lebih tinggi.
Hubungan Akses Pangan Rumahtangga Dengan Tingkat Kecukupan Energi
Dimensi akses pangan yang diuji hubungan pada penelitian ini adalah
akses sosial (pendidikan suami, pendidikan istri), akses ekonomi (pengeluaran
total per kapita), akses fisik, dan akses pangan sendiri. Tahap analisis dibagi
menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi dianalisis hubungan dengan korelasi
pearson, sedangkan akses fisik yang diwakilkan dengan penyebutan desa
program dan nonprogram dianalisis dengan regresi menggunakan dummy
terlebih dahulu.
Akses Sosial
Lama pendidikan suami. Tabel 22 menunjukkan bahwa rumahtangga di
desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan
dasar (88.9%) dan rumahtangga dengan TKE cukup memiliki suami yang
berpendidikan dasar (76.9%). Rumahtangga desa nonprogram dengan TKE
kurang seluruhnya memiliki suami yang berpendidikan dasar (100%) dan
rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan
dasar (90.9%).
Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami dan tingkat kecukupan energi
Tingkat Kecukupan Energi
Akses Sosial
Kurang Cukup 2
Total
n3 % n3 % n3 % n3 % %
Dasar 8 88.9 11 100 10 76.9 10 90.9 39 88.6
Sedang 1 11.1 0 0.0 1 7.7 1 9.1 3 6.8
Tinggi 0 0.0 0 0.0 2 15.4 0 0 2 4.5
Total 9 100 11 100 13 100 11 100 44 100 1
Tabel 22 juga menunjukkan bahwa lama pendidikan suami yang
tergolong sedang dan tinggi memiliki TKE yang cukup sedangkan lama
pendidikan yang tergolong dasar cenderung mendominasi TKE kurang. Hasil uji
korelasi pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif (p<0.05,
r=0.331) antara lama pendidikan suami dengan tingkat kecukupan energi.
Artinya, semakin lama pendidikan suami atau tergolong semakin tinggi maka
semakin besar juga tingkat kecukupan energinya. Nilai r menunjukkan kekuatan
hubungan dimana jika nilai r mendekati nilai satu maka hubungannya semakin
n3 % n3 % n3 n3 % n3 % n
1 rumahtangga program; rumahtangga nonprogram; jumlah rumahtangga
57
kuat. Tingkat pendidikan suami minimal 9 - 12 tahun bisa bekerja di kawasan
pertambangan baik di Thiess atau di PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin.
Penghasilan yang ditawarkan lebih besar dibandingkan pendapatan dari upah
sebagai petani setiap bulannya. Oleh karena itu, lama pendidikan berkaitan
dengan jenis pekerjaan dan pada akhirnya memberikan peluang yang lebih
besar untuk mengonsumsi pangan.
Menurut Apriadji (1986) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa orang
yang memiliki pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun menu
makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan
lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan
menambah pengetahuan gizinya. Selain itu, suami yang memiliki pendidikan
lebih tinggi cenderung akan mendapatkan lapangan pekerjaan dengan
penghasilan yang lebih tinggi pula sehingga kemungkinan mempunyai biaya
yang lebih untuk pangan. Hardinsyah (2007) juga menyatakan bahwa keluarga
yang memliki akses ekonomi yang cukup dan pengetahuan gizi orang tua yang
baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan
anggota rumahtangganya
Lama pendidikan Istri. Tabel 23 menunjukkan bahwa baik di desa
program maupun nonprogram, sebaran rumahtangga yang tergolong
pemenuhan energinya cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar. Hanya
sebagian kecil (7.7%) rumahtangga di desa program yang tergolong cukup
dengan pendidikan istri yang tinggi.
Tabel 23 Sebaran rumahtangga berdasarkan pendidikan istri dan tingkat kecukupan energi
Tingkat Kecukupan Energi
Akses Sosial
Kurang Cukup
P1 NP2 P1 NP2 Total
3
Dasar 10 100.0 11 100 11 84.6 11 100 43 95.6
Sedang 0 0.0 0 0.0 1 7.7 0 0.0 1 2.2
Tinggi 0 0.0 0 0.0 1 7.7 0 0.0 1 2.2
Total 10 100 11 100 13 100 11 100 45 100 2 3
Hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa lama pendidikan istri
berhubungan nyata dengan tingkat kecukupan energi (p<0.05). Artinya semakin
tinggi atau lama pendidikan istri, pemenuhan kecukupan energi pun akan
semakin baik. Hal ini ditunjukkan dnegan nilai r sebesar 0.335. Alfitri (2002)
P1 NP2 P
1 rumahtangga program; rumahtangga nonprogram; jumlah rumahtangga
58
menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat
pendidikan ibu berhubungan posititf dengan jumlah pangan yang dikonsumsi.
Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian di beberapa negara berkembang
juga menyebutkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat
pendidikan ibu dengan asupan gizi rumahtangga (Hardinsyah 2007).
Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan lebih
baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga
yang tidak mahal. Hasil analisis multivariat di negara berkembang termasuk
Indonesia tingkat pendidikan ibu dianggap sebagai determinan penting dari
asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumahtangga (Behrman & wolfe
1987; Behrman et al 1988 dalam Hardinsyah 2007). Selain itu, Nurlatifah (2011)
menyampaikan bahwa peningkatan pendidikan juga akan memberikan
pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu.
Akses Ekonomi
Program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan di desa program
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Harapannya dengan
pendapatan yang besar bisa membantu dalam peningkatan kualitas pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, hasil penelitian
menyatakan bahwa tidak semua rumahtangga di desa program tergolong akses
ekonomi tinggi.
Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi dan tingkat kecukupan energi
Tingkat Kecukupan Energi
Akses Ekonomi
Kurang Cukup 1
NP2
Total
n3 % n3 % n3 n3 % n3 % n3
Rendah 1 10 0 0 0 0 0 0 1 2.2
Sedang 0 0 0 0 1 7.7 0 0 1 2.2
Tinggi 9 90 12 100 12 92.3 11 100 44 95.7
Total 10 100 12 100 13 100 11 100 46 100.0 2 3
Tabel 24 menunjukkan sebaran rumahtangga yang memiliki akses
ekonomi tinggi di desa program yang tergolong kurang sebesar 90%, sedangkan
rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi yang tergolong cukup sebesar
92.3%. Adapun semua rumahtangga desa nonprogram tergolong akses ekonomi
tinggi yang tersebar pada kategori kurang dan cukup. Hasil uji korelasi pearson
59
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara akses ekonomi
dengan tingkat kecukupan energi.
Kondisi ini bisa saja terjadi karena beberapa faktor seperti yang
diungkapkan oleh Soekirman (2000) bahwa hubungan antara penurunan
produksi, pendapatan, dan upah terhadap konsumsi pangan rumahtangga dan
status gizi bersifat kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
redistribusi pendapatan sektor pemerintah dan swasta, akses terhadap
tabungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial
lainnya. Hardinsyah (2007) juga menyatakan bahwa faktor pengetahuan gizi dan
komposisi rumahtangga pun menjadi faktor yang berpengaruh. Purwantini (2008)
menyatakan bahwa besarnya alokasi belanja pangan tidak hanya bergantung
kepada pendapatan, tetapi pengetahuan gizi dan komposisi anggota
rumahtangga.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengeluaran total per kapita
ini melibatkan jumlah anggota rumahtangga sehingga ada kemungkinan
pengeluaran total per kapita tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan
energi. Misalnya, rumahtangga A dan B memiliki pengeluaran total per kapita
sebesar Rp.200.000,-. Jumlah anggota rumahtangga A adalah lima dan
rumahtangga B adalah dua, maka dapat dipastikan bahwa porsi biaya untuk
anggota rumahtangga B lebih tinggi sehingga kecenderungan konsumsi
panganpun lebih tinggi. Akhirnya, rata-rata konsumsi rumahtangga B lebih besar.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tingginya akses ekonomi belum tentu
berhubungan dengan konsumsi pangan.
Keseluruhan Akses Pangan
Tingkat kecukupan energi merupakan output dari akses pangan.
Baraclough S & P Utting (1987), Day & Jeniie (1984) dalam Maxwell et al (1992)
menyatakan bahwa tujuan akhir dari adanya akses pangan adalah adanya
pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi setiap individu dalam kelompok masyarakat
atau rumahtangga. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengukur
pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut adalah tingkat kecukupan energi.
Akses fisik pangan yang terdapat di desa program ini adalah hasil
program pemberdayaan masyarakat. Komponen akses fisik yang diwakilkan ini
adalah kondisi jalan, keberadaan pasar, dan keberadaan pedagang keliling.
Kondisi jalan yang baik memungkinkan pasar setiap dua kali sebulan bisa masuk
ke desa program. Hal yang sama dengan pedagang keliling yang setiap hari bisa
60
mobilisasi di desa program. Kondisi ini berpotensi pada pemenuhan kebutuhan
pangan sehari-hari.
Nurlatifah (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan
pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian
FAO (2010) dalam Nurlatifah (2011) bahwa pasar merupakan salah satu
determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan
ketahanan pangan.
Kondisi jalan menjadi faktor utama keberadaan distributor bahan pangan.
Kondisi ini berdampak pada keberadaan pedagang keliling menuju desa
nonprogram sehingga frekuensi pedagang keliling berbeda 100% dengan desa
program. Artinya, akses penghubung atau jalan menuju desa nonprogram
tergolong sulit. FAO (2010) dalam Nurlatifah (2011) menyimpulkan dari hasil
penelitiannya bahwa jalan yang memadai turut membantu kelancaran distribusi
abrang sehingga membantu memperlancar roda perekonomian di daerah
tersebut.
Nilai dummy ini juga mewakili data kategori lainnya yang berdampak
pada tingkat kecukupan energi (TKE). Berdasarkan pengolahan datanya
dihasilkan persamaan berikut ini:
TKE = 75 + 5.22 ap – 1.63 D
keterangan: ap = skor akses pangan D = dummy untuk jenis desa TKE = Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
Persamaan tersebut mempunyai nilai signifikansi p>0.05 (tabel 27).
Artinya, tidak terdapat perbedaan akses pangan antara akses pangan di desa
program dan desa nonprogram. Berlainan dengan Departemen Pertanian (2008)
yang menyatakan bahwa suatu wilayah/daerah dikatakan akses pangannya
tinggi apabila diwilayah/daerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan
pangan pokok dan jaraknya kurang dari tiga kilometer. Hal ini diduga karena
kondisi ekosistem, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian dikedua desa
tersebut hampir sama.
Berdasarkan kondisi ekosistemnya, desa nonprogram merupakan desa
dengan matapencaharian utama padi sawah dan padi gogo. Selain itu,
61
kebutuhan pangan hewani dipenuhi dari ikan di sungai dan hewan yang
diternakan oleh rumahtangga tersebut.
Persamaan regresi diatas juga menunjukkan bahwa komponen akses
pangan berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi (TKE). Hal
tersebut dibuktikan dengan nilai positif pada koefisien akses pangan sehingga
semakin besar nilai akses pangan maka tingkat kecukupan energinya akan
semakin besar. Analisis ini juga dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi
pearson dimana hasilnya menunjukkan kondisi yang sama yaitu nilai p<0.05,
r=0.404. Hasil analisis korelasi ditunjukkan pada tabel 28.