BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil...

15
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan mas dilakukan pada saat vaksinasi dan pengamatan terhadap kelangsungan hidup relatif dilakukan pascauji-tantang hingga akhir penelitian. Selama vaksinasi, tidak terjadi kematian pada ikan sehingga nilai kelangsungan hidupnya 100% pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan melalui pakan pada ikan tidak mengganggu kesehatan ikan dan terjamin tingkat keamanannya (Ellis, 1988). Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan menginjeksi filtrat KHV sebanyak 0,1 mL/ekor ikan secara intramuskular, sedangkan kontrol negatif diinjeksi dengan 0,1 mL/ekor ikan dengan larutan PBS. Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kelangsungan hidup relatif yang bervariasi pada setiap perlakuan (data selengkapnya pada Lampiran 8 ). Kelangsungan hidup relatif terendah dimiliki oleh perlakuan A sebesar 23,33±13,32% dan kelangsungan hidup relatif tertinggi dimiliki oleh perlakuan C sebesar 84,60±13,32% (P<0,05). Tabel 1. Kelangsungan hidup relatif (RPS) ikan mas yang diberi vaksin DNA anti-KHV dengan frekuensi pemberian pakan berbeda No Perlakuan Mortalitas(%) RPS (%) 1 A 33,33 ± 5,77 23,07 ± 13,32 a 2 B 20,00 ± 10,00 53,84 ± 23,07 ab 3 C 6,67 ± 5,77 84,60 ± 13,32 b 4 K 43,33 ± 5,77 - Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) Keterangan : A = Vaksinasi satu kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV B = Vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C = Vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K = Tanpa vaksin dan ikan diuji tantang dengan KHV

Transcript of BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil...

Page 1: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

8  

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS)

Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan mas dilakukan pada saat

vaksinasi dan pengamatan terhadap kelangsungan hidup relatif dilakukan

pascauji-tantang hingga akhir penelitian. Selama vaksinasi, tidak terjadi kematian

pada ikan sehingga nilai kelangsungan hidupnya 100% pada semua perlakuan. Hal

ini menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan melalui pakan pada ikan tidak

mengganggu kesehatan ikan dan terjamin tingkat keamanannya (Ellis, 1988).

Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan

menginjeksi filtrat KHV sebanyak 0,1 mL/ekor ikan secara intramuskular,

sedangkan kontrol negatif diinjeksi dengan 0,1 mL/ekor ikan dengan larutan PBS.

Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kelangsungan hidup relatif yang bervariasi

pada setiap perlakuan (data selengkapnya pada Lampiran 8 ). Kelangsungan hidup

relatif terendah dimiliki oleh perlakuan A sebesar 23,33±13,32% dan

kelangsungan hidup relatif tertinggi dimiliki oleh perlakuan C sebesar

84,60±13,32% (P<0,05).

Tabel 1. Kelangsungan hidup relatif (RPS) ikan mas yang diberi vaksin DNA anti-KHV dengan frekuensi pemberian pakan berbeda No Perlakuan Mortalitas(%) RPS (%) 1 A 33,33 ± 5,77 23,07 ± 13,32a 2 B 20,00 ± 10,00 53,84 ± 23,07ab 3 C 6,67 ± 5,77 84,60 ± 13,32b 4 K 43,33 ± 5,77 -

Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05)

Keterangan : A = Vaksinasi satu kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV B = Vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C = Vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K = Tanpa vaksin dan ikan diuji tantang dengan KHV

Page 2: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

9  

Keteranga A : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV

B : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K- : tanpa vaksinasi dan injeksi dengan PBS (K-), dan K+ : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 1. Pola kematian ikan mas selama uji tantang (30 hari) dengan KHV.

Gambar 1 menunjukkan pola kelangsungan hidup ikan mas selama uji

tantang, dari hari pertama pascauji-tantang hingga hari ke-30. Kematian ikan mas

diawali oleh perlakuan A pada hari ke-5 diikuti oleh kontrol positif, perlakuan B

serta C pada hari ke-18. Puncak kematian terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang

dengan jumlah 4 ekor dari perlakuan A, 4 ekor dari perlakuan B, 1 ekor dari

perlakuan C, dan 7 ekor dari perlakuan kontrol positif sehingga total kematiannya

sebesar 16 ekor ikan (Lampiran 8). Pada perlakuan kontrol negatif tidak terjadi

kematian hingga akhir penelitian sehingga kelangsungan hidupnya 100%.

3.1.2 Gejala Klinis

Pengamatan gejala klinis dilakukan selama vaksinasi dan pascauji-tantang

hingga akhir penelitian yaitu hari ke-30. Pengamatan dilakukan setiap 2 kali

sehari pada saat pemberian pakan, namun pengamatan secara rinci pascauji-

tantang dilakukan setiap dua hari sekali. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

tingkat stres pada ikan. Berdasarkan pengamatan tersebut, pada saat vaksinasi

ikan terlihat sehat dan tidak ada tanda-tanda ikan sakit. Pengamatan terhadap ikan

yang sakit dilihat dari nafsu makan, tingkah laku dan perubahan fisik yang tidak

Page 3: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

10  

normal pada tubuhnya. Gejala klinis yang pertama kali muncul adalah terjadinya

penurunan nafsu makan pada ikan. Penurunan nafsu makan dilihat dari jumlah

konsumsi pakan ikan pascauji-tantang (Lampiran 9). Jumlah konsumsi pakan ikan

cenderung menurun dari hari pertama hingga hari ke-21 pascauji-tantang. Ikan

yang pertama kali mengalami penurunan nafsu makan adalah ikan pada perlakuan

B, kemudian kontrol positif, perlakuan A, dan perlakuan C. Penurunan jumlah

konsumsi pakan terbesar terjadi pada perlakuan kontrol positif sebesar 45,91%

Hal ini terjadi hingga hari ke-21 dan terjadi peningkatan nafsu makan kembali

pada hari ke-22 hingga akhir penelitian.

Perubahan tingkah laku ikan muncul pada ikan yang sakit, yaitu berenang

di permukaan, kadang bergerombol di sekitar aerasi dan diam di dasar akuarium.

Perubahan tingkah laku ikan mulai muncul pada hari ke-6 pascauji-tantang. Ikan

yang pertama mengalami perubahan tingkah laku adalah ikan pada perlakuan A

dan B, kemudian disusul dengan perlakuan kontrol positif dan perlakuan C. Ikan

yang sakit juga memiliki gerak reflek yang lambat dan respons gerak yang lemah.

Pada hari ke-18, gerakan ikan sudah mencapai puncak kondisi terlemah yang

kemudian terjadi kematian. Ikan yang berhasil melewati kondisi tersebut mampu

bergerak dengan normal kembali setelah hari ke-21. Ikan yang sehat memiliki

kondisi fisik yang normal baik sisik, sirip, maupun insangnya. Insang normal

berwarna merah cerah. Ikan yang terinfeksi KHV memiliki kondisi fisik yang

tidak normal, yaitu terjadi perubahan warna kulit, kerusakan pada sirip ekor, dan

nekrosis pada insang. Perbedaan ikan sakit dan ikan sehat disajikan dalam

Gambar 2.

Abnormalitas yang terjadi pada kondisi fisik ikan yang terserang KHV

adalah produksi lendir berlebih, terjadi bercak merah pada bagian punggung yang

kemudian dilanjutkan oleh kulit melepuh disertai keluar darah dan nanah, sisik di

sekitar anal rontok, sirip ekor dan dorsal geripis, hemoragi pada pangkal sirip

ventral dan pektoral, serta anal, mata cekung, terjadi perubaan warna menjadi

lebih gelap bergaris, insang bercabang, pucat, memutih seperti borok dan akhirnya

terjadi kematian (Gambar 3).

Page 4: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

11  

Gambar 2. Kondisi fisik ikan mas pascauji-tantang dengan filtrat KHV. Badan dan insang ikan sehat (a), badan dan insang ikan terinfek KHV (b).

Perubahan fisik ikan mulai terlihat pada hari ke-5 pascauji-tantang, yaitu

nekrosis insang pada perlakuan B kemudian disusul oleh perlakuan A dan kontrol

positif pada hari ke-8. Pada hari ke-10, nekrosis mencapai 80% bagian insang

untuk perlakuan B namun sekitar 30% pada perlakuan yang lain. Bercak pada

punggung dan kerusakan sirip ekor terjadi pada hari ke-12 disertai dengan kulit

melepuh pada beberapa ekor ikan di akuarium perlakuan kontrol positif. Jumlah

ikan yang mengalami kerusakan fisik semakin bertambah hingga mengalami

puncak terparah pada hari ke-18 pascauji-tantang, ini terjadi pada perlakuan A, B,

C, dan kontrol positif. Pada perlakuan B dan C telah mengalami penyembuhan

luka pada hari ke-21 pascauji-tantang. Pada hari yang sama, masih ditemukan ikan

yang mengalami luka dengan jumlah yang cukup banyak pada perlakuan A dan

kontrol positif.

a b

b

b a

a

Page 5: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

12  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3. Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV; a) sisik terlepas, b) bercak merah, c) terjadi perubahan warna kulit, d) berenang di permukaan, e) kulit melepuh, f) sirip ekor geripis, g) mata cekung, h) kerusakan insang.

 

3.1.3. Indeks Fagositosis

Pengamatan indeks fagositosis dilakukan setiap seminggu sekali dari

mulai vaksinasi hingga minggu ketiga pascauji-tantang. Hasil pengamatan indeks

fagositosis ditunjukkan pada Lampiran 10 dan Gambar 4.

b a b

c d

e f

g h

a

Page 6: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

13  

Keterangan A : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV

B : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K- : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS, dan K+ : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 4. Indeks fagositosis pada masing-masing perlakuan pada saat pasca vaksinasi dan diuji tantang.

Gambar 4 menunjukkan aktivitas fagositosis sel darah putih pada

perlakuan A, B, C, K-, dan K+. Pada pasca vaksinasi, nilai indeks fagositosis

mengalami peningkatan pada masing-masing perlakuan hingga hari ke-21 pasca

vaksinasi dan mengalami penurunan pada hari ke-28 sebelum uji tantang.

Kenaikan aktivitas fagositosis terjadi pada hampir seluruh perlakuan hingga hari

ke-56 kecuali pada perlakuan B dan C yang mengalami penurunan sebesar 15%

pada perlakuan B dan 12% pada C.

3.1.4 Histopatologi

Gambar 5 menunjukkan histologi jaringan pada organ ginjal dan Gambar

6 menunjukkan histologi insang pada masing-masing perlakuan. Pada kontrol

negatif tidak terdapat kelainan jaringan. Pada perlakuan A, C, dan kontrol positif

ditemukan hiperplasia, hipertropi dan badan inklusi baik pada organ ginjal

maupun organ insang. Pada perlakuan B tidak ditemukan badan inklusi, namun

ditemukan kelainan berupa hipertropi dan hiperplasia pada kedua organ.

Page 7: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

14  

Keterangan A : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS (K-)

B : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (A) C : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (B) D : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (C), dan E : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 5. Histopatologi ginjal ikan; Y) hipertropi; Z) badan inklusi (Bar pada

semua Gambar=20 µm).

E

Z

Y

Y

Z

C

Y

Z

D

Z

Y

B A

Page 8: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

15  

Keterangan A : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS (K-) B : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (A) C : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (B) D : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (C), dan E : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 6. Histopatologi insang ikan; X) hiperplasia; Y) hipertropi; Z) badan

inklusi (Bar pada semua gambar =20 µm). 3.1.5 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang paling berbengaruh dan merupakan faktor

pemicu terhadap serangan KHV adalah suhu sehingga pengamatan terhadap

parameter ini dilakukan setiap dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore hari.

A B

X

Y

Z

C

X

Y

D

Z

YX

E

XZ

Y

Page 9: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

16  

Parameter kualitas air lainnya yang diamati adalah pH, DO, dan NH3-N.

Pengamatan terhadap parameter kualitas air tersebut dilakukan pada awal dan

akhir penelitian saja. Data kisaran kualitas air disajikan dalam Tabel 2, sedangkan

data pengamatan suhu harian disajikan dalam Lampiran 11.

Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan ikan mas

Parameter kualitas air Suhu (°C) pH DO(mg/L) NH3-

N(mg/L) Kisaran 17-23,5 7,9-8,3 6,6-7,2 0,04-0,06

3.2 Pembahasan

Sakit pada ikan adalah suatu kondisi dimana ikan dalam keadaan tidak

normal yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, kelainan pada respons

tubuh baik gerak, mata, ekor maupun pertahanan hingga menyebabkan kelainan

pada kondisi fisik ikan. Berdasarkan pengamatan ikan yang sakit karena infeksi

KHV menunjukkan gejala penurunan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus

dan kekurangan energi. Ikan yang kekurangan energi akan mudah terinfeksi

patogen lain atau infeksi sekunder seperti bakteri, fungi dan parasit (Mudjiutami

et al., 2006). Kondisi ini yang kemudian akan menyebabkan abnormalitas pada

tubuh ikan.

Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan dilakukan pada masa

vaksinasi (7 hari), pasca vaksinasi (28 hari), dan pascauji-tantang (30 hari). Pasca

vaksinasi dilakukan pemeliharaan selama 28 hari agar sistem imun ikan dapat

terbentuk secara sempurna. Sistem imun yang sempurna menyebabkan ikan dapat

memberikan respons tanggap kebal terhadap infeksi KHV. Pada penelitian ini,

vaksin diberikan secara oral yang dicampurkan ke dalam pakan ikan. Keuntungan

pemberian vaksin secara oral adalah dapat digunakan secara massal, digunakan

untuk berbagai ukuran ikan, dan tidak menimbulkan cekaman (Ellis, 1988). Hasil

pengamatan selama 28 hari menunjukkan tidak terjadi gejala infeksi KHV dan

tidak ditemukan adanya kematian pada msing-masing perlakuan sehingga

pemberian vaksin melalui pakan ini dapat dikatakan aman bagi ikan.

Dosis vaksin yang diberikan pada masing-masing perlakuan mengacu pada

Yulianti (2011) adalah sama, yaitu 7,6 ng dengan kepadatan bakteri 108 cfu/mL.

Sedangkan yang membedakan pada tiap perlakuan adalah frekuensi vaksin yang

Page 10: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

17  

diberikan. Pemberian vaksin satu kali dalam satu minggu untuk Perlakuan A,

pemberian vaksin dua kali dalam satu minggu untuk perlakuan B, pemberian

vaksin tiga kali dalam satu minggu untuk perlakuan C, dan kontrol tanpa

pemberian vaksin.

Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan

menginjeksi filtrat KHV dengan konsentrasi 10-2 sebanyak 0,1 mL tiap ekor ikan

pada hari ke-29 pasca vaksinasi. Kematian ikan diawali oleh perlakuan A pada

hari ke-5 dan diikuti oleh perlakuan B, C, dan kontrol positif pada hari ke-18

pascauji-tantang (Gambar 1). Kematian terbanyak terjadi pada hari ke-18

pascauji-tantang. Ini lebih lambat dari penelitian Hayati (2009) dan Zahro (2010)

yang melaporkan bahwa kematian massal ikan yang terinfeksi KHV terjadi pada

hari ke-9 dan ke-10 pascauji-tantang. Hal ini diduga karena sebelum hari ke-17

terjadi penurunan suhu air pada beberapa akuarium yang terletak tepat di bawah

AC (air conditioner), yaitu mencapai 16,5°C sehingga dapat mengurangi tingkat

virulensi virus terhadap inang (Lampiran 13). Pada hari ke-17 suhu ruangan

dinaikkan menjadi 20°C. Pokorova et al. (2005) dalam ulasannya menguatkan

bahwa KHV inaktif pada suhu di bawah 18°C dan di atas 24°C.

Kelangsungan hidup relatif ikan pada perlakuan A dengan frekuensi

pemberian satu kali dalam satu minggu memiliki nilai yang sangat kecil sebesar

23,33%. Kelangsungan hidup relatif perlakuan A lebih rendah daripada B dan C

diduga karena keberadaan vaksin pada pakan perlakuan yang diberikan tidak

dapat membangkitkan respons imun pada ikan sehingga ikan tidak dapat melawan

virus yang telah menginfeksinya. Yulianti (2011) menguatkan bahwa pemberian

pakan bervaksin 2 kali dalam satu minggu menunjukkan persistensi yang lebih

tinggi daripada pemberian pakan bervaksin satu kali dalam satu minggu sehingga

pemberian pakan bervaksin dua kali satu dalam minggu dapat menginduksi

respons imun ikan mas.

Perlakuan C dengan frekuensi vaksinasi tiga kali dalam satu minggu

memiliki nilai kelangsungan hidup relatif tertinggi sebesar 84,6%. Hal ini diduga

karena gen glikoprotein yang diberikan dapat dikenali oleh sistem imun sehingga

terbentuk antibodi dan menginduksi terbentuknya sel memori sehingga dengan

adanya sel memori ini akan mempercepat waktu pembentukan respons sekunder

Page 11: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

18  

terhadap serangan antigen yang sama. Vaksinasi melalui pakan mampu diterima

dan menunjukkan hasil yang baik. Hasil penelitian Miyazaki et al. (2008) tentang

pemberian vaksin liposom melalui pakan buatan juga mampu meningkatkan

kelangsungan hidup ikan mas hingga 74% yang dipelihara selama 21 hari. Dengan

demikian vaksinasi melalui pakan dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu efektif

dalam meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas dan dapat menjadi alternatif

pengendalian infeksi pada ikan mas dan koi pada pembudidaya dalam skala

massal.

Data yang mendukung kelangsungan hidup relatif ikan adalah gejala klinis

yang timbul pascauji-tantang, indeks fagositosis, dan histopatologi pada insang

dan ginjal ikan (Gambar 2, 3, 5, dan 6). Data tersebut berkaitan erat dengan nilai

kelangsungan hidup relatif yang didapat selama penelitian (Tabel 1).

Perubahan fisik yang terjadi pada ikan yang terinfeksi KHV adalah pada

bagian punggung terjadi bercak merah yang kemudian melepuh, beberapa sisik di

sekitar anal terkelupas, pendarahan pada sirip pektoral, ventral dan anal,

kerusakan pada sirip ekor, terjadi perubahan warna kulit menjadi kehitaman

bergaris, dan kerusakan pada lamela insang. Perlakuan C menghasilkan ikan yang

mengalami perubahan fisik dengan jumlah yang paling sedikit dibandingkan

perlakuan A, B, dan kontrol positif. Beberapa penelitian terhadap ikan yang

diinfeksi KHV pun menunujukkan gejala klinis dan perubahan fisik yang sama.

Hendrik et al. (2005) menyebutkan bahwa tanda-tanda ikan koi yang terinfeksi

KHV adalah terjadi perubahan warna tubuh, nekrosis pada filamen insang, mata

cekung, dan produksi lendir yang berlebih. Demikian juga disebutkan oleh

Sunarto et al. (2005), ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukkan gejala respons

ikan yang lemah, lesu, kehilangan keseimbangan dan megap-megap, kulit

melepuh, terjadi pendarahan pada operkulum, sirip, ekor dan perut, serta terjadi

kerusakan pada filamen insang.

Penurunan nafsu makan pada ikan uji terjadi sejak hari ke-3 pascauji-

tantang, sedangkan gejala klinis baru terlihat pada hari ke-5, yaitu peningkatan

produksi lendir dan kerusakan pada insang (perlakuan B). Masa inkubasi virus

pada penelitian ini tergolong cepat karena membutuhkan waktu hanya 5 hari.

Masa inkubasi virus KHV tergantung pada kondisi lingkungan perairannya,

Page 12: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

19  

terutama suhu air (Tabel 2). Pada penelitian ini suhu air akuarium berkisar 17-

23,5 °C. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Antychowicz et al. (2005)

bahwa gejala-gejala serangan KHV di Polandia sering terjadi pada suhu berkisar

17-24 °C, namun tidak menunjukkan adanya kematian pada suhu 17 °C. Puncak

gejala klinis terparah terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang. Nekrosis insang dan

luka-luka pada kulit punggung ikan pada saat ini mengalami puncak terparah yang

menuju pada banyaknya kematian ikan.

Indeks fagositosis merupakan ingesti bahan partikel terutama bakteri atau

virus ke dalam sitoplasma sel darah. Pola peningkatan persentase indeks

fagositosis menunjukkan adanya peningkatan total leukosit termasuk monosit

yang dapat merangsang produksi limfosit (Amrullah, 2004). Pengamatan terhadap

nilai indeks fagositosis dilakukan setiap seminggu sekali baik pada masa vaksinasi

maupun pascauji-tantang. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui kecenderungan

aktivitas fagositosis pada saat pasca vaksinasi dan pascauji-tantang. Pada pasca

vaksinasi nilai indeks fagositosis pada masing-masing perlakuan hampir sama,

mengalami peningkatan pada hari ke-21 dan mengalami penurunan pada hari ke-

28. Indeks fagositosis perlakuan A dan kontrol positif memiliki kecenderungan

peningkatan yang sama pascauji-tantang, yaitu terus mengalami kenaikan hingga

hari ke-56. Hal ini sejalan dengan kelangsungan hidupnya yang masih mengalami

penurunan hingga memasuki minggu ke-3 pascauji-tantang (Gambar1). Berbeda

dengan hal tersebut, perlakuan B dan perlakuan C mengalami penurunan pada hari

ke-56 pascauji-tantang. Indeks fagositosis perlakuan B dan C berbanding terbalik

dengan kelangsungan hidupnya yang cenderung mulai stabil pada minggu ke-3

hingga akhir penelitian (Gambar 1). Hal ini diduga karena adanya reaksi antibodi

yang timbul akibat pemberian vaksin. Nuryati (2010) melaporkan hal yang sama,

bahwa vaksinasi mampu membangkitkan kekebalan seluler maupun humoral,

yaitu antibodi.

Nilai indeks fagositosis berkaitan dengan perluasan infeksi dari suatu

penyakit. Apabila sel-sel fagosit bekerja secara optimal maka perluasan infeksi di

dalam tubuh dapat dibatasi dengan baik. Namun sebaliknya jika aktivitas

fagositosis menurun dikarenakan suatu hal, maka sifat infeksi akan menyebar ke

seluruh tubuh (Ekandaru & Tjokronegoro, 1983). Pada perlakuan B dan C, tapi

Page 13: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

20  

pada hari ke-56 mengalami penurunan, hal ini diduga karena adanya

penyembuhan luka dan sudah tidak terjadi perluasan infeksi. Sebaliknya pada

perlakuan A dan kontrol positif, pada hari ke-56 masih mengalami kenaikan

aktifitas fagositosis. Hal ini berkorelasi dengan abnormalitas ikan yang masih

terjadi hingga waktu tersebut. Berdasarkan pengamatan hingga hari ke-56, pada

perlakuan A dan kontrol positif masih ditemukan ikan yang mengalami luka pada

kulit punggung hingga akhirnya melepuh. Di samping itu ditemukan juga ikan

yang mengalami pendarahan pada sirip anal dan pektoralnya.

Mekanisme fagositosis dibagi menjadi dua tahap, yaitu attactment phase,

waktu terjadi peristiwa penempelan partikel oleh membran sel fagosit, dan

ingestion phase termasuk di sini destruksi dan intracelluler killing (Gambar 7)

(Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983). Secara terperinci fase-

fase dalam mekanisme fagositosis adalah kemotaksis sel fagosit menuju daerah

yang mengalami infeksi atau kerusakan, proses opsonisasi melalui aktivasi sistem

komplemen, penempelan organisme di sel fagosit pada C3b pada Fc-reseptor

(Gambar 8), proses mengunyah dan vakuolisasi, perubahan metabolisme

interseluler, degranulasi lisosom, dan proses mencerna serta intracellular killing.

Gambar 7. Mekanisme fagositosis memperlihatkan ingesti dan proses mencerna (Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983).

Page 14: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

21  

Gambar 8. Skema Fc dan C3b-reseptor pada permukaan sel fagosit (Bellanti,

1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983).

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan histopalogi ginjal dan insang dari

perlakuan A, B, C, kontrol positif dan kontrol negatif. Insang pada kontrol negatif

tidak menunjukkan gejala infeksi KHV atau ginjal dan insang tersebut dalam

kondisi normal. Namun pada perlauan A, B, C, dan kontrol positif ditemukan

abnormalitas pada filamen insang seperti hiperplasia, hipertropi, dan

ditemukannya badan inklusi yang mengindikasikan infeksi virus. Demikian juga

dengan hipertropi dan badan inklusi yang ditemukan pada organ ginjal. Santika

(2007) dan Giri (2008) menemukan hal yang sama pada preparat histologinya,

ikan yang terinfeksi KHV ditemukan insang yang hipertropi, hiperplasia dan

adanya badan inklusi di antara lamella insang. Menurut Sunarto et al. (2005)

pembentukan badan inklusi merupakan kondisi hipertopi pada inti yang

disebabkan oleh penumpukan virion-virion dalam inti sel.

Hiperplasia dan hipertropi pada insang dapat menyebabkan pembengkakan

antar lamela sehingga dapat mengganggu proses pertukaran gas dan terganggunya

respirasi ikan. Rusaknya insang dan kurangnya suplai oksigen akan menyebabkan

kematian ikan mas yang terinfeksi KHV (Tamba, 2007). Hipertopi pada ginjal

dapat mengganggu proses penyaringan darah sehingga menimbulkan penumpukan

zat beracun di dalam tubuh yang kemudian akan menyebabkan keracunan pada

ikan. Hipertopi pada ginjal perlakuan C ditemukan lebih sedikit daripada

Page 15: BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 8 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS) Pengamatan terhadap

22  

perlakuan lainnya hal ini berbanding lurus dengan nilai RPS yang dihasilkan oleh

perlakuan C, namun lebih tinggi dari perlakuan A, B, dan kontrol positif.

Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini adalah suhu, pH,

DO, dan NH3-N (Tabel 2 dan Lampiran 11). Berdasarkan parameter tersebut,

yang paling berpengaruh terhadap serangan infeksi KHV adalah suhu sehingga

pengamatannya dilakukan setiap hari. Nilai parameter kualitas air pada penelitian

ini masih dalam kisaran yang masih dapat ditolerir oleh ikan (SNI, 1999) dan suhu

air mampu meningkatkan virulensi KHV, yaitu oksigen terlarut, pH, NH3-N, dan

suhu berturut-turut adalah 7,9-8,3 mg/L, 6,6-7,2, 0,04-0,06 mg/L, dan 17-23,5°C.

Usaha budidaya ikan tidak terlepas dari aspek eknomi yang harus benar-

benar diperhitungkan untuk menghindari kerugian. Demikian juga dengan biaya

pengadaan vaksin jika akan diterapkan pada pembudidaya. Berdasarkan

perhitungan biaya perbanyakan vaksin (Lampiran14), untuk satu kali vaksinasi

membutuhkan biaya pengadaan vaksin sebesar Rp.68,2/mL/ekor ikan, sehingga

untuk dua kali vaksinasi membutuhkan 2 kali Rp. 68,2 atau sama dengan Rp.

136,6/ekor ikan dan untuk 3 kali vaksinasi membutuhkan biaya Rp. 204,6/ekor

ikan. Penggunaan vaksin efektif dalam meningkatkan kelangsungan hidup ikan

sehingga akan berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat. Berdasarkan

analisis usaha yang terlampir pada Lampiran 14, perlakuan C dengan

mengeluarkan tiga kali biaya pengadaan vaksin menghasilkan keuntungan paling

besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Lebih lagi jika dibandingkan

dengan ikan yang tidak divaksin, walaupun modal yang dikeluarkan lebih sedikit

karena tidak ada biaya untuk pengadaan vaksin, namun dengan asumsi

kelangsungan hidup 56,66% tidak menghasilkan keuntungan bahkan merugi

hingga lebih dari satu juta rupiah.