Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

38
Nama : Robi Assadul Bahri NPM : 111.000.257 Program Kekhususan : Penegakan Hukum Pidana Dosen Pembimbing : Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum Hand out Sidang Komprehensif/Kesarjanaan PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM PERKARATINDAK PIDANA NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Transcript of Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Page 1: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Nama : Robi Assadul BahriNPM : 111.000.257Program Kekhususan : Penegakan Hukum PidanaDosen Pembimbing : Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum

Hand ou

t

Sidang Komprehensif/Kesarjanaan

PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM PERKARATINDAK PIDANA NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Page 2: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

BAB IPENDAHULUAN

Page 3: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi. Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau.

Latar belakang penelitian

Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.

Menurut Alf Ross, untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

Page 4: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dewasa ini, terutama dalam Undang-undang Pidana Khusus di luar KUHP, terdapat suatu ke cenderungan menerapkan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya. Dalam hal penerapan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya, Indonesia menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu di samping pembuat tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Dalam Konsep Rancangan KUHP pengenaan sanksi tindakan bukan hanya untuk orang yang tidak mampu bertanggungjawab karena gangguan jiwa, melainkan orang yang mampu bertanggungjawab juga dapat dikenakan sanksi tindakan. Penerapan “sistem dua jalur” dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dikarenakan penerapan sanksi pidana saja selama ini dianggap belum efektif dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi di Indonesia.

Hal ini dapat terlihat jelas bahwa hanya sejumlah kecil perundang-undangan yang mencantumkan sanksi tindakan. Dari sekian banyaknya aturan perundang-undangan pidana diluar KUHP, hanya ada beberapa undang-undang yang secara tegas memuat sanksi tindakan salah satunya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Padahal jika konsisten dengan ide-ide dasar double track system, maka antara kedua jenis sanksi itu baik sanksi pidana maupun sanksi tindakan tidak saja berkedudukan sejajar tetapi juga harus dibedakan secara tegas. Dengan demikian pada tingkat kebijakan legislasi, kedua sanksi tersebut semestinya ditempatkan sebagai sanksi yang terpisah dan dalam kedudukan yang sejajar pula.

Adapun hal yang menarik untuk disimak dari pemaparan di atas adalah sejauh mana penerapan ide dasar double track system dalam perkara tindak pidana narkotika sebagai konsep pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan di Indonesia supaya terwujud manfaat dari pemidanaannya tersebut.

Page 5: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian di atas, maka untuk memecahkan permasalahan di atas penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimakah konsep double track system dalam hukum pidana ?2. Bagaimana penerapan double track system dalam tindak pidana

narkotika berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

Identifikasi Masalah

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis

konsep double track system hukum pidana.2. Untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis

penerapan double track system dalam tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Page 6: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Secara Teoritis

◦ Diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap sistem pemidanaan di Indonesia terutama mengenai ide dasar double track system sebagai sistem pemidanaan pembaharuan di Indonesia.

◦ Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana pada khususnya mengenai ruang lingkup dan penerapan ide dasar double track system dalam tindak pidana narkotika di Indonesia.

Secara Praktis ◦ Diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat tentang penerapan double track system terhadap tindak pidana

narkotika di Indonesia.◦ Diharapkan dapat dijadikan bahan pemikiran bagi aparat penegak hukum untuk membenahi dan mere-orientasikan kembali

ide dasar double track system dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

Page 7: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Berbicara mengenai pidana dan pemidanaan, tentunya akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penjatuhan jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan (strafmaat) serta bagaimana pidana itu dilaksanakan, itu semua merupakan bagian dari suatu sistem pemidanaan.

L.H.C. Hullsman mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment).

Barda Nawawi Arief menambahkan :

“Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).”

Kerangka pemikiran

Hal di atas berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Apabila pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal adanya 2 (dua) macam teori pemidanaan, yaitu :

Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke belakang berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan.

Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial.

Di dalam masyarakat modern, tampaknya ada kecenderungan untuk mengarah pada teori gabungan.

Page 8: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Dengan demikian, terdapat dua sisi/ sasaran/aspek pokok dalam tujuan pemidanaan sebagai kepentingan yang hendak dilindungi secara berimbang yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pelaku.

Hal demikian ini mencerminkan perwujudan dari asas monodualistis sekaligus individualisasi pidana guna mengakomodasi tuntutan tujuan pemidanaan yang sedang berkembang dewasa ini.

Selain teori-teori pemidanaan di atas, dikenal pula teori pemidanaan lainnya yaitu Teori Deterrence (Teori Pencegahan).

Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkin, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “ the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.

Nigel Walker manamakan aliran ini sebagai paham reduksi (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (…the justification for penalizing offences is that this reduces their frecuency). Penganut reductivism menyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggran melalui satu atau beberapa cara berikut ini :

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitator), 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, 5. Melindungi masyarakat (protecting the public),

Page 9: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan dengan dua tokoh utama yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832).

Dalam teori deterrence ini, tujuan pemidanaan terbagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu :1. Pencegahan umum2. Pencegahan khusus3. Teori Treatment (Teori Pembinaan/Perawatan)4. Teori Social Defence (Teori Perlindungan Masyarakat)

Oleh karena itu, dapatlah dilihat bahwa perkembangan tujuan pidana dan pemidanaan tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya perbaikan-perbaikan ke arah yang lebih manusiawi.

Double track system adalah sistem dua jalur tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan sanksi tindakan bersumber pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidaan itu”. Sehingga sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.

Apabila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-Undang Pidana Khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat suatu kecenderungan penggunaan double track system dalam stelsel sanksinya, yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus seperti contoh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika) adalah termasuk perundang-undangan pidana yang mulai ada kecenderungan penggunaan double track system dalam sistem sanksinya.

Hal tersebut ditandai dengan adanya rehabilitasi sebagai sanksi tindakan bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika, walaupun tidak semua orang yang melanggar UU Narkotika direhabilitasi termasuk pengedar narkotika yang hanya dikenai sanksi pidana saja. Sehingga bila ditelaah lebih dalam lagi, sistem sanksi yang terdapat pada UU Narkotika, ternyata masih sangat dipengaruhi oleh sistem sanksi yang mengarah pada single track system. Dengan demikian nampak bahwa sistem sanksi pada UU Narkotika, single track system-nya lebih mendominasi.

Page 10: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Metode penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : Spesifikasi Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan kenyataan tentang keadaan yang sebenarnya mengenai penerapan ide dasar double track system pada tindak pidana narkotika dan menganalisis ketentuan-ketentuan hukum maupun teori-teori hukum yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika khususnya masalah penerapan double track system dalam pemidanaan tindak pidana tersebut.

Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu “pendekatan atau penelitian hukum dengan menggunakan metode pendekatan/teori/konsep dan metode analisis yang termasuk dalam disiplin ilmu yang bersifat dogmatis.” Tahap Penelitian Dalam tahapan penelitian ini, jenis data yang diperoleh meliputi data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari lapangan.1. Studi kepustakaan yaitu mempelajari literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan ob jek penelitian.2. Studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan penelitian langsung di lapangan guna mendapatkan fakta-fakta yang

berhubungan dengan objek penelitian.

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berupa : 1. Penelitian kepustakaan (Library Research)

Page 11: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

1. Penelitian kepustakaan (Library Research) Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yaitu : Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan

tindak pidana narkotika yaitu : Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013, dsb.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, sepeti buku, teks, makalah, jurnal, hasil penelitian, indeks dan lain sebagainya di bidang ilmu hukum.

Bahan tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan bahan hukum sekunder, seperti eksiklopedia, bibliografi, majalah, koran, internet dan lain sebagainya.

2. Penelitian lapangan (Field Research) Penelitian lapangan ini dimaksud untuk melengkapi studi kepustakaan dan penunjang data sekunder. Wawancara langsung dengan para pihak yang memiliki kapasitas tertentu sesuai dengan topik pembahasan penelitian ini agar

mendapatkan informasi yang lengkap. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan sangat tergantung kepada teknik pengumpulan data. Dalam hal ini, peneliti menggunakan Directive Interview atau pedoman wawancara terstruktur dengan cara pencatatan secara rinci, sistematis dan lengkap.

Analisis Data Hasil penelitian akan dianalisis secara yuridis kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur dan studi lapangan. Kemudian data tersebut diolah dan dicari keterkaitan serta hubungannya antara satu dengan yang lainnya, sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian, dengan tidak menggunakan rumus matematik atau data statistik.

Page 12: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Lokasi Penelitian Perpustakaan : 1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jl. Lengkong Dalam No. 17

Bandung. 2. Perpustakaan Pusat Universitas Pasundan Bandung, Jl. Dr. Setiabudi No. 193 Bandung.3. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Jl. Imam Bonjol No. 35

Bandung. 4. Perpustakaan Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Jl Cihampelas No 8 Pasir Kaliki Bandung,

Page 13: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

kegiatan Nov Des Jan Feb Mar AprPenyusunan proposal

Seminar proposal

Penyusunan hasil penelitian ke dalam bentuk penulisan hukumSidang komprehensif

Perbaikan

Penjilidan

Pengesahan

Jadwal penelitian

Page 14: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Sistematika PenulisanBAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, Jadwal Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMIDANAAN, IDE DASAR DOUBLE TRACK SYSTEM DAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Bab ini menguraikan mengenai pengertian, jenis, teori, tujuan dan sistem pemidanaan di Indonesia. Kemudian penulis membahas mengenai definisi dan ruang lingkup ide dasar double track system. Dan selanjutnya penulis juga menguraikan beberapa hal yang menyangkut mengenai narkotika, dimulai dari golongan, pengaturan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika.

BAB III IMPLEMENTASI DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

Bab ini menguraikan mengenai eksistensi ide dasar double track system dalam sistem pemidanaan di Indonesia, kemudian membahas mengenai implementasi ide dasar double track system dalam menetapkan hukum pidana dan membahas masalah penerapan double track system dalam tindak pidana narkotika.

BAB IV PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Bab ini menguraikan tentang konsep double track system dalam hukum pidana, dan penerapan double track system dalam tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

BAB V PENUTUPBab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atas apa yang telah dikaji pada bab-bab sebelumnya, dan saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Page 15: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

BAB IIPEMIDANAAN, KONSEP DOUBLE TRACK SYSTEM, DAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Page 16: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

1. Pengertian PemidanaanPenjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan konsekuensi logis dari perbuatan

pidana atau tindak pidana yaitu berupa pidana. Pada umumnya istilah pidana dan pemidanaan artinya hampir sama, yaitu hukuman dan penghukuman/dihukum yang berupa penderitaan. Perbedaannya hanyalah, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau lebih ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Misalnya bagi anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan hakim dapat menjatuhkan tindakan berupa menyerahkan anak itu kepada orang tua atau kepada negara untuk pembinaan, adalah juga penderitaan bagi anak itu. Akan tetapi penderitaan ini masih ringan dibandingkan ia harus dipidana penjara dan menjalaninya.

Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka “strafrechts” seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

A. Perihal Pemidanaan

Page 17: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

2. Jenis Sanksi Pidana

Menurut KUHP (terdapat pada Pasal 10) :a. Pidana Pokok, yang

meliputi :◦ Pidana Mati◦ Pidana Penjara◦ Pidana Kurungan◦ Pidana Denda

b. Pidana Tambahan, yang meliputi :◦ Pencabutan hak-hak

tertentu◦ Perampasan barang-

barang tertentu◦ Pengumuman Putusan

Hakim

Menurut Rancangan KUHP (terdapat pada Pasal 60) :a. Pidana Pokok terdiri dari atas :• pidana penjara;• pidana tutupan;• pidana pengawasan;• pidana denda;• pidana kerja sosial.

b. Pidana Tambahan terdiri dari atas :• Pencabutan hak tertentu;• Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;• Pengumuman putusan hakim;• Pembayaran ganti kerugian; dan• Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.

Page 18: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

3. Sistem Pemidanaan di IndonesiaPada saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana

yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No. 1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP. Meskipun Wetboek van Strarecht (WvS) peninggalan zaman penjajahan belanda sudah tidak dipakai lagi di Negara kita, tapi sistem pemidanaannya masih tetap digunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktek pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.

Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman WvS belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP : Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya di dalam tembok penjara. Ia harus

diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan di balik tembok penjara.

Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.

Dalam KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok diancam secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan.

Page 19: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

4. Teori Pemidanaana. Teori Absolut

Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.

b. Teori Relatif Teori ini berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana ini mempunyai tiga macam sifat, yaitu: Bersifat menakut-nakuti Bersifat memperbaiki Bersifat membinasakan.

c. Teori GabunganTeori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alas an itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana

d. Teori RetributifMenurut pandangan ini seorang pelaku tindak pidana mutlak harus dipidana.

e. Teori TeleologisBerbeda dengan teori retributive yang menekankan pada pentingnya pidana sebagai pembalasan, maka menurut teori teleologis pidana digunakan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan.

f. Retributivisme TeleologisBertolak dari prinsip “utilitarian” dan “teleologis” pandangan ini menganjurkan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan fungsi pidana sekaligus baik yang bersifat retribution maupun yang bersifat utilitarian misalnya pencegahan dan rehabilitasi.

Page 20: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

5. Tujuan Pemidanaan Aliran Klasik

Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang dilakukan, aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut. secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat kebelakang.

Aliran ModernAliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif, berdasarkan pandangan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pelaku tindak pidana. Kalaupun digunakan istilah pidana, maka menurut aliran ini pidana harus diorientasikan pada sifat-sifat pelaku tindak pidana.

Aliran NeoKlasikMenurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumstances). Dengan demikian nampaklah bahwa aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual pelaku tindak pidana. Sistem pidana yang dirumuskan secara pasti (definite sentence) ditinggalkan dan diganti dengan sistem indefinite sentence.

Page 21: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

B. Perihal Double Track System1. Pengertian Double Track System

Double track system merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku.

2. Ruang Lingkup Double Track SystemDi dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia sebagian telah

menggunakan sistem dua jalur (double track system) dalam pemidanaannya, yang mana pelaku tindak pidana tidak hanya dikenakan suatu sanksi pidana melainkan juga dapat dijatuhkan beberapa sanksi tindakan sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya. Penjatuhan sanksi yang berupa tindakan ini harus disesuaikan dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.

Penjatuhan tindakan ini tidak berdasarkan atas ancaman yang ada dalam perbuatan pidananya, melainkan didasarkan terhadap keadaan dan kondisi dari pelaku. Terdapat dua kelompok pelaku yang dapat dijatuhkan tindakan, yakni pelaku yang tidak mampu bertanggung jawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan pelaku yang mampu bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Page 22: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

C. Perihal Tindak Pidana Narkotika Istilah Tindak Pidana

◦ Tindak pidana, dapat diartikan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana seperti dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini yaitu Wirjono Prodjodikoro.

◦ Peritiwa Pidana, digunakan olehh beberapa ahli hukum, misalya R.Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, A.Zainal Abidin Farid dalam buku beliau Hukum Pidana.

◦ Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini digunakan oleh Utrecht.

◦ Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam tulisan M. H. Tirtaamidjaja. ◦ Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan Karni, begitu juga Schravendijk. ◦ Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor

12/Drt Tahun 1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. ◦ Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisannya.

Pengertian NarkotikaNarkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau

pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.” Menurut Farmakologi Medis, Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih haruis di gertak) serta adiksi.”

Page 23: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Tindak Pidana Narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak pidana atau tindak kejahatan. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan beberapa tindak pidana narkotika, yakni dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Pidana juga dapat dijatuhkan pada korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha; dan/atau. pencabutan status badan hukum.

Page 24: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

BAB IIIIMPLEMENTASI KONSEP DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Page 25: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

A. Eksistensi Konsep Double Track System dalam Sistem Pemidanaan di IndonesiaDi dalam perkembangan hukum modern mengenal istilah double track system yang

bermakna adanya pemisahan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan. Perkembangan sistem hukum inilah yang memperkenalkannya tindakan (maatregel) sebagai alternatif lain dari pidana pokok terutama pidana penjara. Hal ini terjadi dikarenakan ketidakpercayaan terhadap keberhasilan “penjara” sebagai salah satu bentuk hukuman/sanksi.

Penggunaan double track system ini sudah menjadi kecenderungan internasional sebagai konsekuensi dianutnya aliran neo-klasik yang berusaha memanfaatkan kelebihan dan meninggalkan kelemahan dari kedua aliran hukum pidana lainnya, yakni aliran klasik dan aliran modern. Seperti pendekatan tradisional yang menganggap bahwa seolah-olah sistem tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab, sudah saatnya ditinggalkan.

Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan”, sedangkan sanksi tindakan bersumber pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidaan itu”. Sehingga sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.

Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar pelakunya menjadi jera, adapun fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar berubah. Sehingga sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan dan sanksi tindakan menekankan kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi pelakunya.

Perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan adalah sanksi pidana menerapkan unsur pencelaan, bukan kepada ada tidaknya unsur penderitaan, sedangkan sanksi tindakan menerapkan unsur pendidikan yang tidak membalas dan semata-mata melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat.

Page 26: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

B. Implementasi Konsep Double Track System dalam Hukum PidanaPembaharuan hukum pidana dilakukan dengan mengadakan reorientasi dan reformasi

hukum pidana, sehingga sesuai dengan nilai-nilai sentral politik, filosofi dan budaya yang terdapat pada masyarakat Indonesia. Dengan pembaharuan hukum pidana diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah sosial untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Di samping itu dengan pembaharuan hukum pidana diharapkan dapat melindungi masyarakat dari kejahatan dan memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

Dengan pendekatan nilai diharapkan pembaharuan hukum pidana dapat melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai politik, filosofi, dan budaya masyarakat yang melandasi substantif hukum pidana. Masalah pokok dalam kebijakan hukum pidana selain masalah kriminalisasi adalah sanksi yang akan dikenakan kepada pelanggar. Dalam penjatuhan pidana hendaknya mempertimbangkan efektifitas sanksi pidana itu sendiri. Sanksi pidana dikatakan efektif apabila pidana itu benar-benar dapat mencegah terjadinya tindak pidana, disamping itu pidana tersebut tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih merugikan atau berbahaya dari pada sanksi pidana tidak dijatuhkan, disamping itu tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian atau bahaya yang lebih kecil. Jeremy Bentham berpendapat bahwa pidana jangan digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable or inefficacious” (tanpa dasar, perlu, menguntungkan, tidak menguntungkan atau tidak efisien).

Perkembangan hukum pidana di Indonesia dewasa ini terutama peraturan perundang-undangan diluar KUHP, terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur atau yang biasa disebut double track sistem dalam stesel sanksinya yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus.

Page 27: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

C. Analisis Penerapan Konsep Double Track System dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No. 338/Pid. Sus/2014/PN. TSM Tanggal 28 Oktober 2014)

Pengadilan Negeri Tasikmalaya telah mengeluarkan putusan mengenai perkara ini, yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana terdapat dalam dakwaan tersebut. Terdakwa Koko Abdul Hafiz Bin Lili, tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri" dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan.

Dari putusan hakim di Pengadilan Negeri Tasikmalaya tersebut apabila ditelaan dan dikaji dengan seksama, maka putusan tersebut belum mencerminkan nilai keadilan dan kepastian hukum baik bagi diri si pelaku maupun bagi masyarakat. Pada dakwaannya, pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut dijerat dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 karena telah mengkonsumsi bagi diri sendiri narkotika golongan I tanpa adanya izin dari Departemen Kesehatan sebagai pihak yang berwenang untuk memberi izin kepada seseorang untuk mempergunakannya untuk tujuan pengobatan.

Dalam amar putusannya terdakwa Koko Abdul Hafiz Bin Lili, dijatuhi pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan, tanpa adanya rehabilitasi sebagai sanksi tindakannya. Padahal pemberian sanksi tindakan rehabilitasi tersebut telah jelas diperintahkan dalam undang-undang narkotika yaitu tercantum dalam ketentuan pasal 27 ayat (3) yang menjelaskan bahwa “dalam hal penyalah guna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Page 28: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Apabila dilihat dari bunyi pasal tersebut sudah sangat jelas sekali bahwa setiap penyalahguna narkotika haruslah menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Apalagi terdakwa tersebut telah dijerat Pasal 127 ayat (1) huruf a yang mana ayat tersebut sangatlah berhubungan dan terkait satu sama lain serta termasuk ke dalam pasal yang sama yaitu pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009.

Bunyi pasal dan ayat tersebut menurut penulis sudah sangat jelas sekali dan tidak mengandung kerancuan dalam menafsirkannya. Sebagaimana dalam penjelasan pasal dan ayat tersebut sudah dikatakan “jelas” dan tidak perlu lagi diartikan/dimaksudkan. Adapun apabila perlu untuk ditafsirkan dengan menggunakan metode penafsiran gramatikal maupun penafsiran historis, tetap maksudnya sama bahwa setiap penyalahguna narkotika wajib melaksanakan rehabilitasi baik medis maupun sosial.

Dengan demikian menurut penulis, putusan hakim di Pengadilan Negeri Tasikmalaya dengan No. 338/Pid. Sus/2014/PN. TSM sudah sangat jelas sekali bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kemudian apabila melihat konsep dari pemidanaan yang mana oleh undang-undang narkotika tersebut telah menganut konsep double track system yang mana dalam konsepnya mengajarkan bahwa antara sanksi pidana dan sanksi tindakan mengharuskan kedua sanksi tersebut harus ditegakan secara bersamaan tidak boleh diterapkan salah satu dari sanksi tersebut, maka perkara tindak pidana narkotika yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Negeri Tasikmalaya tersebut tidak sesuai dalam penerapannya konsep pemidanaan double track system. Sehingga dalam perkara ini penerapan double track system tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan dengan semestinya dan menimbulkan suatu ketidakkonsistenan antara konsep dengan pelaksanaannya.

Page 29: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

BAB IVPENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Page 30: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

A. Konsep Double Track System dalam Hukum PidanaHukum pidana Indonesia merupakan hukum pidana yang berasal dari masa Kolonialisme

Belanda. Namun setelah di keluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, maka peraturan inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (KUHP masa Kolonial Belanda) menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sekarang ini.

Menurut perspektif KUHP dalam sistem pemidanaannya juga menganut sistem dua jalur (double track system), hal ini tercantum dalam Pasal 10 KUHP yang memuat sanksi yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam Pasal 10 KUHP yang dimaksud dengan dua jalur pemidanaan yaitu selain pelaku tindak pidana dikenakan jenis sanksi pidana pokok dapat dikenakan juga jenis sanksi pidana tambahan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kemudian selain Pasal 10 tersebut, terdapat juga ketentuan Pasal 44 KUHP yang memuat sanksi tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan karena terganggu jiwanya. Namun dalam Pasal 44 KUHP tersebut, sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak di bawah umur sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP.

Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.

Page 31: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Selama ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia. Sebagai akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang tindih. RKUHP yang telah disusun ini nampaknya akan mengalami problem yang sama di mana kecenderungan adanya pencampuran konsep pemidanaan dan penetapan sanksi.

Salah satu perkembangan dalam RKUHP berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan adalah perlakukan (treatment) yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya. Jenis-jenis tindakan yang dikenakan kepada pelaku yang memenuhi ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP berupa :

Perawatan di rumah sakit jiwa;Penyerahan kepada pemerintah; atauPenyerahan kepada seseorang.

Kemudian tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok terdiri atas :Pencabutan surat izin mengemudi;Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;Perbaikan akibat tindak pidana;Latihan kerja;Rehabilitasi; dan/atauPerawatan di lembaga.

Page 32: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Penjelasan Pasal 101 RKUHP menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu di samping pembuat tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Penetapan sanksi berupa tindakan ini harus sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Ketentuan Pasal 102 RKUHP menyatakan bahwa dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 RKUHP.

Pengenaan tindakan ini bukan didasarkan atas ancaman yang terdapat dalam tindak pidananya, karena memang dalam tidak ada tindak pidana yang diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada kondisi si pelaku. Terdapat dua kelompok pelaku yang dapat dikenakan tindakan, yaitu bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan orang yang mampu bertanggung jawab dan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat.

Adapun dalam perkembangannya, perundang-undangan di luar KUHP telah menerima konsep perluasan pengenaan jenis sanksi tindakan yang juga dapat diancamkan terhadap orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, misalnya pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jenis tindakan dalam pola pemidanaan dalam beberapa regulasi di Indonesia ini hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat komplementer atau pelengkap dan tidak ada bedanya dengan jenis sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Meskipun juga telah ada sanksi tindakan yang bersifat mandiri atau sebagai sanksi alternatif, namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai argumentasi atau landasan pengenaan sanksi tindakan yang bersifat mandiri tersebut.

Page 33: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Kemudian apabila meninjau Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ternyata undang-undang tersebut menganut konsep double track system dalam stelsel sanksinya. Hal tersebut diketahui karena dalam undang-undang narkotika mengatur dua sanksi sekaligus yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan di dalamnya. Sanksi Pidana untuk tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 144 dan 147 UU Narkotika yang meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan sanksi tindakan dalam UU Narkotika yaitu Rehabilitasi yang diatur dalam Bab IX Pasal 53 sampai dengan Pasal 56 UU Narkotika. Dalam undang-undang Narkotika lebih mempertegas penerapan sanksi untuk tindak pidana narkotika, baik berupa sanksi pidana maupun sanksi tindakan berupa rehabilitasi karena semakin meningkatnya kasus tindak pidana narkotika yang terjadi di Indonesia, maka penerapan sanksinya pun harus dipertegas.

B. Penerapan Double Track System dalam Tindak Pidana Narkotika berdasarkan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Banyak sekali putusan pengadilan mengenai perkara tindak pidana narkotika seperti yang dialami oleh terpidana Koko Abdul Hafiz Bin Lili (29 Tahun) yang mana dalam amar putusannya pelaku tindak pidana penyelahgunaan narkotika diputus dengan pidana penjara, tanpa adanya pidana tindakan seperti rehabilitasi sosial atau medis. Padahal secara tegas dalam UU Narkotika tersebut dijelaskan bahwa para pelaku penyelahgunaan narkotika wajib melaksanakan tindakan rehabilitasi medis ataupun sosial dengan tujuan supaya pelaku bisa tersadarkan dan terobati dari kebiasaan melakukan penyalahgunaan narkotika. Sehingga tujuan dari pemidanaan tercapai dan bermanfaat dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.

Pada prinsipnya ide dasar tentang penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bisa kita ketahui dari Naskah Akademik undang-undang tersebut. Berdasarkan pada sinopsis dari Naskah Akademik UU Narkotika yang diterbitkan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A R.I Tahun 2005 yang menyebutkan latar belakang dibentuknya UU Narkotika menyebabkan kriminalisasi terhadap penyalahgunaan narkoba. Ketentuan pidana pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Pengelompokan kejahatan pada UU Narkotika menyangkut produksi, peredaran, penguasaan, penggunaan, pecanduan dan kejahatan lain misalnya menyangkut pengobatan dan pemusnahan. Baik UU Psikotropika maupun UU Narkotika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkotika atau korban penyalahgunaan narkotika sebagaimana telah diatur dalam Pasal 54 UU No 35 Tahun 2009yang berbunyi “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Page 34: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Berdasarkan Sinopsis naskah akademik dan Penjelasan Umum UU No 35 Tahun 2009, Ide dasar double track system yaitu penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam UU Narkotika itu diperlukan untuk menanggulangi kejahatan Narkotika. Dalam UU Narkotika sanksi pidana dibuat sangat berat untuk menanggulangi tindak pidana narkotika yang semakin hari semakin bertambah luas, supaya orang benar-benar takut untuk melakukan tindak pidana narkotika dan mengerti akan bahaya narkotika bagi kehidupan bangsa. Selain itu juga ada rehabilitasi yang diatur dalam Bab IX tentang Pengobatan dan Rehabilitasi Pasal 53 sampai dengan Pasal 59 UU No 35 Tahun 2009 dimaksudkan agar orang yang terkena narkotika baik itu pecandu, korban maupun pengedar yang mengalami ketergantngan dengan narkotika bisa benar-benar sembuh dari ketergantungan narkotika dan bisa kembali lagi ke masyarakat yang bebas dari pengaruh narkotika.

Ide dasar penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat diperlukan karena lahirnya suatu undang-undang itu berdasarkan ide dasar, karena undang-undang yang diciptakan mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Dalam UU Narkotika juga menganut double track system dalam penerapan sanksinya dan lebih tegas dan berat dalam penjatuhan sanksi pidananya bertujuan agar orang tidak akan melakukan tindak pidana narkotika dan agar orang jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, di samping itu penerapan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bertujuan supaya orang yang sudah terjerumus dengan narkotika bisa disembuhkan dari ketergantungannya terhapap narkotika sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.

Page 35: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

BAB VPENUTUP

Page 36: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

A. Simpulan 1. Menurut perspektif KUHP dalam sistem pemidanaannya juga menganut sistem dua jalur

(double track system), hal ini tercantum dalam Pasal 10 KUHP yang memuat sanksi yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam Pasal 10 KUHP yang dimaksud dengan dua jalur pemidanaan yaitu selain pelaku tindak pidana dikenakan jenis sanksi pidana pokok dapat dikenakan juga jenis sanksi pidana tambahan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kemudian selain Pasal 10 tersebut, terdapat juga ketentuan Pasal 44 KUHP yang memuat sanksi tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan karena terganggu jiwa. Namun dalam Pasal 44 KUHP tersebut, sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak di bawah umur.

Kemudian dalam pembeharuan hukum pidana sebagaimana diwujudkan dalam Rancangan KUHP juga menganut konsep double track system. Hal tersebut dalam stelsel pemidanaannya secara jelas telah adanya sanksi tindakan dalam ketentuan pasalnya. berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan yang dikenakan bagi pelaku harus memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP. Adapun Jenis-jenis tindakan yang dikenakan kepada pelaku berupa : a) Perawatan di rumah sakit jiwa, b) Penyerahan kepada pemerintah; atau c) Penyerahan kepada seseorang. Kemudian tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok terdiri atas : a) Pencabutan surat izin mengemudi, b) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, c) Perbaikan akibat tindak pidana, d) Latihan kerja, e) Rehabilitasi; dan/atau f) Perawatan di lembaga.

Page 37: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

Selain KUHP dan RKUHP terdapat konsep double track system, begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ternyata undang-undang tersebut menganut konsep double track system dalam stelsel sanksinya. Hal tersebut diketahui karena dalam undang-undang narkotika mengatur dua sanksi sekaligus yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan di dalamnya. Sanksi Pidana untuk tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 144 dan 147 UU Narkotika yang meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan sanksi tindakan dalam UU Narkotika yaitu Rehabilitasi yang diatur dalam Bab IX Pasal 53 sampai dengan Pasal 56 UU Narkotika.

2. Pada prinsipnya penerapan double track system dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bisa kita ketahui dari Naskah Akademik undang-undang tersebut. Berdasarkan pada sinopsis dari Naskah Akademik UU Narkotika yang diterbitkan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A R.I Tahun 2005 yang menyebutkan latar belakang dibentuknya UU Narkotika menyebabkan kriminalisasi terhadap penyalahgunaan narkoba. Ketentuan pidana pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Dalam UU Narkotika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkotika atau korban penyalahgunaan narkotika. Namun banyak sekali putusan pengadilan mengenai perkara tindak pidana narkotika seperti yang dialami oleh terpidana Koko Abdul Hafiz Bin Lili (29 Tahun) yang mana dalam amar putusannya pelaku tindak pidana penyelahgunaan narkotika diputus dengan pidana penjara, tanpa adanya pidana tindakan seperti rehabilitasi sosial atau medis. Padahal secara tegas dalam UU Narkotika tersebut dijelaskan bahwa para pelaku penyelahgunaan narkotika wajib melaksanakan tindakan rehabilitasi medis ataupun sosial dengan tujuan supaya pelaku bisa tersadarkan dan terobati dari kebiasaan melakukan penyalahgunaan narkotika. Sehingga tujuan dari pemidanaan tercapai dan bermanfaat dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat.

Page 38: Handout kompre Skripsi Hukum Pidana

B. SaranAdapun saran dari penulis yang ingin disampaikan terhadap permasalahan skripsi ini

adalah:1. Dengan adanya konsep double track system dalam hukum pidana, baik itu yang diatur

dalam KUHP, RKUHP atau Pembaharuan, dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Semuanya tidak akan terimplementasi dengan baik, apabila para penegak hukumnya tidak mengetahui akan hakikat pemidanaan. Sehingga tanpa mengenalnya hakikat hukum pemidanaan, maka hukum pidana akan disalahgunakan dengan adanya kepentingan para penguasa atau pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu saran penulis terhadap aparat penegak hukum, agar lebih mendalami mengenai hukum pemidanaan melingkupi teori-teori pemidanaan modern yang berlaku dan dianut oleh hukum pidana di Indonesia.

2. Penerapan double track system dalam perkara tindak pidana narkotika saat ini masih belum sesuai dengan apa yang diajarkan dan diterangkan dalam konsep double track system. Seperti masih banyaknya perkara-perkara yang tetap menggunakan single track system dalam penjatuhan pidananya. Oleh karena itu bagi aparat penegak hukum khususnya Hakim, Jaksa, dan Para Penasihat Hukum haruslah memahami mengenai konsep double track system khususnya untuk perkara tindak pidana narkotika supaya dalam penjatuhan pidana terhadap para pelaku tindak pidana narkotika khususnya bagi para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sehingga tujuan kepastian dan kemanfaat hukum dapat terealisasi dengan baik dan tidak menimbulkan sesuatu ketidakkonsistenan dalam penerapan konsep double track system di UU No. 35 Tahun 2009.