Ham

download Ham

If you can't read please download the document

Transcript of Ham

HAK ASASI MANUSIA REFLEKSI HUMANISME Hak asasi manusia sebagai bagian dari humanisme merupakan salah satu faktor pent ing untuk terciptanya kesinambungan hidup dan terjaganya stabilitas nasional mau pun internasional. Dengan terciptanya hak asasi manusia, berarti kita telah meng hormati prinsip-prinsip humanisme atau kemanusiaan. Humanisme atau kemanusiaan itu sendiri lahir dari rahim peradaban eropa.tepatnty a pada masa renasissance atau yang biasa dikenal sebagai abad pencerahan. Humani sme tergagas saat kebangkitan ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani di abad ke 15 dan 16. meskipun pada dasarnya ide-ide humanisme muncul dan berkembang dalam pe radaban manusia sebelum renaisance terjadi seperti digagaskan oleh Kon Fut Tze, Meng Tze dan Hun Tze. Di Yunani ide serupa pada abad yang sama digagaskan oleh Socrates, Plato dan Ari stoteles. Agama Islam lahir pada abad ke-7 dan berkembang pesat pada abad ke-8 1 3 M. Filosof-filosof Muslim tidak ketinggalan mengembangkan gagasan humanisme pu la. Di antaranya al-Farabi (abad ke-9 M), Ibn Sina (abad ke-10), Imam al-Ghazali (abad ke-11-12) , Ibn Rusyd (abad ke-13) dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13). Mere ka mendasarkan pemikirannya pada sumber-sumber kitab suci al-Qur an, diperkuat den gan ide-ide dari falsafah Yunani dan Persia yang berkembang sebelumnya. Terdapat persamaan, sekaligus terdapat banyak perbedaan antara humanisme yang difahami d i Eropa dengan humanisme yang difahami di Cina dan dalam Islam.[1] Terlepas dari itu semua, sebagai refleksi dari Humanisme, hak asasi manusia (HAM ) merupakan faktor penting di dalam kemanusiaan. Betapa tidak, tanpa faktor ini, sulit untuk dapat secara utuh menghiormati prinsip-prinsip kemanusiaan atau hum anisme itu sendiri. Hak asasi manusia dalam bahasa Perancis dikenal dengan istilah droit de l homme. Da lam bahasa Inggris disebut human rights, dan dalam bahasa Belanda disebut Mensen Rechten.[2] Konsep hak asasi manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada diri manusia sebaga i hak yang harus di hormati dan dilindungi pada asalnya tumbuh di tataran nasion al pada abad ke-17 dan ke-18, khususnya di Inggris, Amerika dan Perancis dengan dikeluarkannya Bill of Rights (judul lengkapnya berbunyi An Act Declaring and Lib erties of the Subjects and Settling the Succession of the Crown ), 1688 di Inggris , Virginia Declaration of Rights, 1776 (yang disusun oleh George Mason sebulan s ebelum dikeluarkannya Declaration of Independence), Declaration of Independence, 1776 (yang disusun oleh Thomas Jefferson) di Amerika Serikat, Declaration des D roits de l Homme et du Citoyen, 1789 di Prancis, dan Bill of Rights, 1791 di Ameri ka Serikat. Instrumen-instrumen nasional ini menetapkan pokok-pokok yang sekarang kita sebut human rights HAM, yang pada waktu dibuatnya pada abad ke-17 dan ke-18 belum diseb ut demikian. Pada abad ke-19 dan dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20, konsep HAM mulai ber kembang di tataran Internasional, artinya dianut oleh komunitas bangsa-bangsa da lam hubungan antara mereka, sebagaimana dapat dilihat dari perkembangan berikut: a) Pengutukan praktik perbudakan, yang mula-mula dinyatakan dalam Traktat Perdam aian Paris, 1814 antara Inggris dan Prancis, yang kemudian berkembang dari komit men dua negara menjadi komitmen komunitas internasional dengan dibuatnya sebagai konvensi yang bertujuan menghapuskan perbudakan dan perdagangan budak, yakni Sl avery Convention (Konvensi Perbudakan) pada 1926 (yang kemudian diubah dengan Pr otocol amending the Slavery Convention signed an Geneva on 25 September 1926 (Pr

otokol perubahan atas konvensi Perbudakan yang ditandatangani di Jenewa pada 25 September 1926) pada 1953 dan ditambah oleh Supplementary Convention on the Abol ition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Sla very (Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan L embaga atau Praktik Yang Sama Dengan Perbudakan) pada 1956) ; b) Pembentukan Comite International de la Croix Rouge (CICR) (Komite Internasion al Palang Merah) pada 1863, yang memprakarsai penyusunan Convention for the Amel iration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field (Konvensi bagi Pe rbaikan Kondisi Tentara yang Luka di Darat), 1864. Konvensi ini, yang hanya terd iri dari sepuluh pasal, memuat asas-asas dasar yang masih berlaku sampai sekaran g. Stelah mengalami beberapa kali penambahan, pelengkapan, dan perluasan lingkup berlakunya, perlindungan, korban perang, termasuk perlindungan penduduk sipil d alam konflik bersenjata, kemudian terangkum dalam empat Konvensi Jenewa, 1949, y ang kemudian dilengkapi lagi dengan dua protokol Tambahan pada 1977. Instrumen-i nstrumen internasional ini, yang semula terkenal sebagai Hukum Perang (Law of Wa r) (yang tertulis) yang kini disebut Hukum Humaniter (Humanitarian Law), esensin ya bertujuan melindungi hak asasi orang-orang dalam situasi konflik bersenjata, baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat di dalamnya ; c) Dengan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) pada 1919 setelah b erakhirnya Perang Dunia I, dibentuk oragnisasi perburuhan Internasional (Interna tional Labour Organization) (ILO), yang bertujuan memajukan penghormatan hak asa si kaum buruh. Di samping itu dibentuk pula Kantor Internasional Nansen untuk pe ngungsi (Nansen International Office for Refugees), yang bertugas melindungi hak asasi pengungsi. [3] Beberapa faktor yang menyadarkan komunitas Internasional tentang pentingnya Hak Asasi Manusia : a) Kekejaman Jerman Nazi selama Perang Dunia II menyadarkan komunitas Internasio nal tentang sangat pentingnya penghormatan HAM bagi umat manusia secara keseluru han. Ketetapan demikian sudah diambil sebelum usainya Perang Dunia II, yaitu ket ika pada 1 Januari 1942, di Washington, D.C., 26 bangsa melawan kekuatan poros ( Axis Powers) menandatangani Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklaras i tersebut menyatakan dalam preambulnya menyatakan, antara lain, tentang, esensia lnya mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan, dan kebebasan agama, dan meli ndungi HAM serta keadilan di dalam wilayah mereka sendiri dan juga di negeri lai n ; b) Piagam PBB, yang diterima oleh 50 bangsa dalam pertemuannya di San Fransisco pada 25 April-25 Juni 1945, mengukuhkan deklarasi PBB 1942 tersebut dalam paragr af preambuler kedua, Pasal 1 ayat 3, Pasal 55 huruf c, dan Pasal 56 Piagam PBB; c) Upaya komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan dan penghormatan HA M mencapai kulminasinya pada 10 Desember 1948 dengan diterima dan diproklamasika nnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) (DUHAM), DUHAM 1948, yang merupkan katalog HAM dan yang terdiri dari 30 pasal, dalam garis besarnya menetapkan hak dan kebebasan setiap orang yang harus diakui dan dihormati serta kewajiban setiap orang untuk dipenuhi. Hak dan kebeb asan yang ditetapkan dalam DUHAM, 1948 tersebut dapat dikelompokan dalam dua bid ang besar, yakni, pertama, hak sipil dan politik dan, kedua, hak ekonomi, sosial , dan budaya; d) Agar mempunyai daya ikat secara hukum, ketentuan-ketentuan DUHAM, 1948 kemudi an dituangkan dalam dua kovenan yang masing-masing mengelompokkan dan kebebasan di bidang sipil dan politik serta hak dan kebebasan di bidang ekonomi, sosial, d an budaya, yakni International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (K ovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), 1966 dan International Cove nant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) (Kovenan Internasional ten

tang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), 1966. Ketiga instrumen internasional indu k ini, yakni UDHR, 1948, ICCPR, 1948, dan ICESCR, 1966, yang merupakan instrumen -instrumen internasional induk di bidang HAM dikenal sebagai International Bills of Human Rights; e) Ketentuan-ketentuan DUHAM, 1948 juga dituangkan dalam berbagai instrumen inte rnasional yuridis lain yang bertujuan mengatur kategori orang atau masalah khusu s tertentu, yakni Konvensi mengenai Status Pengungsi, 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi, 1967 (penerapan HAM bagi pengungsi), Konvensi mengenai Hak Po litik Perempuan, 1952 (penjabaran Pasal 21), Konvensi UNESCO menentang Diskrimin asi dalam Pendidikan, 1960 (penjabaran Pasal 2 dan Pasal 26), Konvensi mengenai Status Orang Tanpa kewarganegaraan, 1954 (penerapan HAM bagi orang-orang tanpa k ewarganegaraan), Konvensi tentang Ketiadaan Kewarganegaraan, 1961 (penjabaran pa sal 15), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi R asial, 1965 (penjabaran Pasal 2), Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Penghukuman Tindak Pidana Apartheid, 1973 (penjabaran pasal 1 dan pasal 2), Konv ensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979 (pe njabaran pasal 2), Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984 (penjabaran pasal 5), Konvensi tentang Hak Anak, 1989 (penjabaran pasal 25 ayai (2)), dan K onvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluargannya, 1990 (penjabaran pasal 2).[4] Menurut konsideren Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yan g dimaksud dengan Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal, dan langgeng berarti terus menerus sepan jang hidupnya. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manus ia sejak lahir atas anugerah Tuhan yang maha Esa. Menurut Prof. Kuntjoro Purbapranoto, Human rights adalah hak-hak dasar manusia di samping kewajiban-kewajiban dasar manusia , yaitu khusus terhadap masyarakat, bangs a, dan negara. Pada prinsipnya setia hak yang dimiliki oleh seseorang akan memba wa kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban terhadap seluruh warga negara .[5] PENGAKUAN DAN PENEGAKAN HAM DI INDONESIA Meskipun Republik Indonesia (RI) lahir sebelum proklamasinya DUHAM beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sudah diakui dalam konstitus inya, baik hak rakyat (peoples rights) maupun hak individu (individual rights), y akni hak semua bangsa untuk merdeka (alinea pertama pembukaan), hak atas persama an di hadapan hukum dan dalam pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)), hak atas pekerja an (Pasal27 ayat (2)), hak atas penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2)), kebe basan berserikat dan berkumpul (pasal 28), kebebasan mengeluarkan pendapat (pasa l 28), kebebasan beragama (Pasal 29 ayat (2)), dan hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)). Sudah tentu pelaksanaan hak-hak individu di masa berlakunya UUD 1945 di masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) tidak berlangsungnya sebagaimana mesti nya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Beland a. Di masa hidup Republik Indonesia Serikat (RIS) (27 Desember 1949-15 Agustus 1950 ) pengakuan dan penghormatan HAM, setidak-tidaknya secara legal formal, sangat m aju dengan dicantumkannya tidak kurang dari 35 pasal dalam konstitusi RIS (KRIS) , 1950 (dari keseluruhan 197 pasal, atau sekitar 18 persen) yang mengatur HAM. S ingkatnya masa depan RIS (hanya sekitar 8.5 bulan) tidak memungkinkan dibuatnya penilaian umum penegakan HAM waktu itu. Kemajuan yang sama, secara konstitusional, juga berlangsung sekembali Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik In donesia (UUDSRI), 15 Agustus 1950-4 Juli 1959, dengan dicantumkannya 38 pasal da

lam UUDSRI, 1950 (dari keseluruhan 146 pasal, atau sekitar 26 persen) yang menga tur HAM. Di masa berlakunya UUDSRI, 1950 dapatlah dikatakan cukup baiknya penghormatan at as HAM. Patut diingat bahwa di masa itu perhatian bangsa terhadap masalah HAM ma sih belum besar. Di masa berlakunya UUDSRI, 1950 ini, sebagai tindak di tataran internasional Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya bagi Indonesia beberapa konvensi ILO yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan berlaku bagi Hi ndia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan, 1952. Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada 5 Juli 1959 bangsa Indonesia mengalami ke munduran dalam penikmatan HAM-nya. Sampai 1966 kemunduran itu terutama berlangsu ng dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Sejak 1966 sampai runtuhnya rezim otoriter dan represif yang menamakan dirinya Orde Baru , bangsa Ind onesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM-nya disemua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama 32 tahun masa hidup Orde Baru Indo nesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yak ni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 1 979 dan Konvensi tentang Hak Anak, 1989. Pada 1993 memang dibentuk Komisi Nasion al (Komnas) HAM (Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993) yang bertujuan membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perli ndungan HAM guna mendukung tujuan pembangunan nasional (Pasal 4). Meskipun Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keppres 50/1993 tersebut dinyatakan bersifat mandi ri (Pasal 3), karena para anggotanya diangkat [secara langsung] oleh Presiden (P asal 8 ayat (3)), besarnya kekuasaan Presiden secara de facto dalam kehidupan ne gara dan bangsa, kondisi objektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otorite r dan represif, pembentukan Komnas HAM di Indonesia waktu itu, yang sejak 1966 d itandai oleh pelanggaran HAM di segala bidang utama, yakni, sipil, politik, ekon omi, sosial, dan budaya. Sejak runtunya rezim otoriter dan represif Orde Baru gerakan penghormatan dan pene gakan HAM yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah (undercurrent) muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka pula. Gerakan ini memperoleh impetus denga n diterimanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tenta ng HAM, yang melampirkan antara lain, Piagam HAM yang terdiri dari Pembukaan dan 44 Pasal (Lampiran II). Upaya bangsa bagi penghormatan dan penegakan HAM berlan jut, di bidang legal-formal, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang pada hakikatnya mentransformasikan pokok-pokok Piagam HAM yang ditetapkan oleh MPR menjadi norma yuridis. Komitmen Negara RI untuk mengho rmati dan menegakan HAM meningkat menjadi komitmen konstitusional dengan Perubah an Kedua UUD 1945 yang diterima oleh MPR pada 18 Agustus 2000 dengan menambahkan sepuluh pasal baru (Pasal 28A-28J) yang mengatur pengakuan dan penghormatan HAM , yang menambah ketentuan yang sudah ada sebelumnya dalam UUD 1945. Pembuatan pe raturan-perundang-undangan sebagai perangkat lunak berlanjut dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, yang juga memungkinka n dibentuknya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat ya ng terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut 23 September 2000). Di samping peraturan perundang-undangan yang sudah ada di atas sudah tentu masih perlu dibuat peraturan perundang-undangan lain sebagai pelaksanaan atau pelengk ap yang sudah ada, seperti peraturan pemerintah tentang perlindungan korban dan saksi, peraturan pemerintah tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (seb agaimana keduanya diperintahkan pembuatannya oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2 000), undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ya ng pembentukannya diperintahkan oleh Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000, perubahan, pencabutan, atau pembuatan peraturan perundang-undangan baru untuk mengoreksi pe raturan perundang-undangan yang ada yang bertentangan atau tidak sesuai dengan p rinsip-prinsip HAM (misalnya perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undan gan yang masih ada bersifat diskriminatif termasuk pasal 6 ayat (1) dan pasal 26 ayat (1) UUD 1945), dan pengesahn instrumen-instrumen internasional yang releva

n, terutama yang bersifat dasar, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak Eko nomi, Sosial, dan Budaya 1966. Di bidang yang berkenaan dengan tugas dan fungsi lembaga negara atau yang dibent uk oleh negara patut dicatat tiga hal berikut: a) Perlunya peningkatan perhatian dan kegiatan pemerintah dalam upaya perlindung an, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, mengigat tanggung jawab utamanya di bidang ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 (Lamp iran II, Piagam HAM, Pasal 43), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (P asal 8, Pasal 71, dan Pasal 72), dan UUD 1945 (Pasal 281 ayat (4); b) Perlunya sikap proaktif Dewan Perwakilan Rakyat untuk turut serta dalam upaya bangsa dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, sesuai denga n yang ditetapkan dalm Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 (Pasal 1); dan c) Perlunya perubahan pasal-pasal terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tent ang HAM yang menyangkut Komnas HAM yang memungkinkan Komnas HAM lebih menitikber atkan tugas dan fungsinya pada masalah-masalah yang bersifat strategis dan sebag ai pengaris kebijakan sedangkan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh staf Sekreta ris Komnas HAM yang, sudah tentu, harus dipastikan profesionalisme dan dedikasin ya.[6] Di bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemasukan HAM d alam kurikulum pendidikan umum di tingkat SMU, di pelatihan pegawaian dan aparat penegak hukum, termasuk militer dan polisi, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum, misalnya para pengacara. Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dar i rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahny a penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban selur uh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transitional, y ang rezim disebut transitional justice , yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu (contohnya kasus pembunuhan aktifis HAM Munir , peristiwa Tanjung Priok, Tragedi semanggi, dll.) dapat secara realistis memperoleh keadilan Bahan Bacaan Abdul Hadi WM, Humanisme Http//www.ham.go.id Mustakim, Kewarganegaraan , Jakarta, Widya utama, 2005 ENNY SOEPRAPTO, Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia , (Makalah untuk memenuhi permintaan Dewan Perwakilan Rakyat RI sehubungan dengan pembahasan dan pemilihan Calon Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2002. Yani Pramadya Puspa, Kamus Hukum , edisi lengkap, Aneka Ilmu, Semarang. [1] Abdul Hadi WM, Humanisme Materi kajian kuliah pancasila, ICAS, 2006 edisi lengkap, Aneka Ilmu, Semarang. Materi kajian kuliah pancasila, ICAS, 2006

[2] Yani Pramadya Puspa, Kamus Hukum

[3] Enny SOEPRAPTO, Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia , (Makalah untuk memen uhi permintaan Dewan Perwakilan Rakyat RI sehubungan dengan pembahasan dan pemil ihan Calon Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2002. [4] Ibid, h.2

[5] Mustakim, kewarganegaraan , Jakarta, Widya utama, 2005. h.53 [6] www.ham.go.id