Glomerulo nefritis akut pasca infeksi streptococcus

download Glomerulo nefritis akut pasca infeksi streptococcus

of 18

description

Glomerulonefritis akut pasca streptokokus didahului oleh infeksi Streptokokus β hemolitikus grup A, jarang oleh streptokokus tipe lain. Glomerulonefritis akut menyerang semua kelompok umur terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah 3 tahun.10 Kasus glomerulonefritis terdapat sekitar 10-15% dari semua penyakit glomerulus. Sebagian besar kasus (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.2 Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 60–80% pasien GNAPS yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami hipertensi ensefalopati.2,4

Transcript of Glomerulo nefritis akut pasca infeksi streptococcus

Presentasi kasus

Tugas Nephrologi

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS

Oleh :Dewi Kartika DJ G0005079/B 11 2011Fitriana NurwinarsihG0005099/B 12 2011Novi Imam PersadaG0005143/C 21 2011Teguh Tri W.G0005192/B 25 2011Triandana Budi WisesaG0005197/C 19 2011Bety Nurhajat JalanitaG0007045/C 04 2011Pramadya Vardhani M.G0007129/C 05 2011

KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDISURAKARTA2011A. PendahuluanGlomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah akut, misal glomerulonefritis akut secara klinik berarti bersifat temporer atau suatu onset yang bersifat tiba-tiba.1-3Glomerulonefritis akut pasca streptokokus didahului oleh infeksi Streptokokus hemolitikus grup A, jarang oleh streptokokus tipe lain. Glomerulonefritis akut menyerang semua kelompok umur terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah 3 tahun.10 Kasus glomerulonefritis terdapat sekitar 10-15% dari semua penyakit glomerulus. Sebagian besar kasus (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.2 Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 6080% pasien GNAPS yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami hipertensi ensefalopati.2,4

B. Definisi Glomerulonefritis adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk menunjukkan kelainan yang terutama terjadi di glomerulus, bukan pada struktur ginjal lainnya seperti tubulus, jaringan interstitial, atau sistem vaskular. Glomerulonefritis akut adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya hematuria yang timbul mendadak dan proteinuria. Manifestasi klinis lain yang dapat ditemui adalah hipertensi, edema, dan penurunan fungsi ginjal.3 Glomerulonefritis akut pasca infeksi menunjukkan adanya suatu reaksi imunologis yang disebabkan oleh suatu agen. Penyebab yang paling sering adalah infeksi streptokokus hemolitikus grup A, biasa disebut glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus (GNAPS).1 Glomerulonefritis akut pasca streptokokus merupakan glomerulonefritis sekunder yang paling sering ditemukan pada anak.11 Hubungan antara glomerulonefritis akut dengan infeksi streptokokus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah terjadinya infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptokokus beta hemolitikus golongan A, serta meningkatnya titer anti streptolisin pada serum penderita.3Pada pemeriksaan fisik dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien glomerulonefritis pasca streptokokus, dengan tingkat hipertensi beragam bahkan bisa menimbulkan hipertensi ensefalopati.8 Hipertensi ensefalopati merupakan bagian dari hipertensi krisis yaitu tekanan darah yang meningkat mendadak dan berlebihan dengan akibat terjadi disfungsi serebral. Krisis hipertensi dapat terjadi baik pada hipertensi akut misalnya pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus atau pada hipertensi kronik.2

C. EpidemiologiInsiden aktual GNAPS belum diketahui secara pasti karena tingginya persentase pasien yang tidak menunjukkan gejala, diperkirakan berkisar antara 50-85%. Kaplan dkk menemukan bahwa hampir setengah pasien GNAPS selama masa epidemik adalah asimptomatik.5-7Angka kejadian glomerulonefritis akut pasca streptokokus menurun drastis di Amerika Serikat sejak adanya kemajuan di bidang antibiotika dan kesehatan masyarakat yang makin baik, tetapi di negara berkembang, glomerulonefritis akut pasca streptokokus masih tetap merupakan penyakit yang menyerang anak. Untungnya penyakit ini merupakan penyakit yang self limiting pada sebagian besar anak dengan kesembuhan yang sempurna, meskipun pada sebagian kecil dapat mengakibatkan gagal ginjal akut .1Glomerulonefritis akut pasca streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau sporadik. Bentuk sporadik bersifat musiman dimana musim dingin dan semi dikaitkan dengan infeksi pernafasan dan musim panas serta gugur dikaitkan dengan infeksi kulit pioderma.4,5,9,12Glomerulonefritis akut menyerang semua kelompok umur terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah, dilaporkan insiden puncak pada umur 5 tahun. Meskipun kejadian GNAPS pernah dilaporkan terjadi pada bayi umur 8 bulan namun jarang menyerang anak di bawah 3 tahun. Bayi dengan edema dan proteinuria lebih mungkin ke arah idiopatik nephrosis daripada GNAPS. Hasil penelitian di multisenter di Indonesia tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di Rumah Sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada usia anak 68 tahun (40,6 %).1,8,9 Kasus glomerulonefritis terdapat sekitar 10-15% dari semua penyakit glomerulus. Sebagian besar kasus (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.3

D. EtiologiGlomerulonefritis akut pasca streptokokus didahului oleh infeksi Streptokokus hemolitikus grup A jarang oleh streptokokus tipe lain. Terdapat lebih dari 80 subtipe kuman streptokokus grup A, dengan protein M dan T di dinding sel kuman tersebut. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran nafas adalah dari tipe M 1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe M 49, 55, 57, 60. Kuman streptokokus beta hemolitikus tipe 12 dan 25, dan 49 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain tapi hal ini tidak diketahui sebabnya.1,2,7E. PatogenesisMekanisme bagaimana terjadinya jejas renal pada GNAPS sampai sekarang belum jelas, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman yang berperan.2,4Faktor HostFakta yang menunjukkan mengapa hanya 10-15% pasien yang terinfeksi kuman streptokokus grup A strain nefritogenik menderita GNAPS masih sulit dijelaskan, mungkin oleh karena faktor host yang berperan. Faktor genetik juga berperan, misalnya alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1 dan HLA-DPB1, paling sering terserang GNAPS. Jadi umur, jenis kelamin, genetik, iklim, sosial ekonomi, gizi dan sanitasi merupakan faktor resiko terjadinya GNAPS.2,4,6Faktor KumanBagian luar kuman streptokokus grup A dibungkus oleh kapsul asam hyaluronat untuk bertahan terhadap fagositosis dan sebagai alat untuk melekatkan diri pada sel epitel. Selain itu pada permukaan kuman juga terdapat polimer karbohidrat grup A, mukopeptide dan protein M. Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambut-rambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat rematogenik atau nefritogenik.2,4GNAPS berawal apabila host rentan yang terpapar kuman streptokokus grup A strain nefritogenik bereaksi untuk membentuk antibodi terhadap antigen yang menyerang. Tetapi apa saja komponen antigen streptokokus yang mampu memicu proses patologik terjadinya GNAPS sampai sekarang belum dapat diidentifikasi dengan pasti, namun paling tidak telah diketahui 7 komponen antigen streptokokus yang mungkin berperan, yaitu protein M, endostreptosin, cationic protein, streptococcal pyrogenic exotosin B, streptokinase, neuramidase, dan nephritis-associated plasmin receptor. Kemungkinan besar lebih dari 1 agen yang terlibat, yang bekerja pada stadium yang berbeda.2,4Mekanisme Imunopatogenik GNAPSTerjadinya glomerulonefritis akut diperantarai secara imunologis. Patogenesis glomerulonefritis akut pasca streptokokus berhubungan dengan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh deposisi komplek imun di sepanjang membran glomerulus.1,2,13 Glomerulonefritis akut pasca streptokokus adalah penyakit imunologik akibat reaksi antigen antibodi yang terjadi dalam sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal dipicu oleh aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase yang kemudian diikuti oleh aktivasi kaskade komplemen, deposisi kompleks antigen antibodi yang telah terbentuk sebelumnya ke dalam glomerulus, dan antibodi anti streptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan (molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai antigen streptokokkus (jaringan glomerulus yang normal yang bersifat auto antigen bereaksi dengan circulating Ab yang terbentuk sebelumnya untuk melawan Ag streptokokus).Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila terdapat deposit subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3 dan C5 yang rendah dan kadar komplemen jalur klasik (C1q, C2 dan C4) yang normal menunjukkan bahwa aktivasi komplemen melalui jalur alternatif. Deposisi IgG terjadi pada fase berikutnya yang diduga oleh karena Ab bebas berikatan dengan komponen kapiler glomerulus, membran basal atau terhadap Ag streptokokus yang terperangkap dalam glomerulus. Aktivasi C3 glomerulus memicu aktivasi monosit dan neutrofil. Infiltrat inflamasi tersebut secara histologik terlihat sebagai glomerulonefritis eksudatif. Produksi sitokin oleh sel inflamasi memperparah jejas glomerulus. Hiperselularitas mesangium dipacu oleh proliferasi sel glomerulus akibat induksi oleh mitogen lokal. Gejala glomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya berlangsung singkat. Dengan berakhirnya serangan Ag streptokokus, maka reaksi inflamasi akan mereda dan struktur glomerulus kembali normal.2,4,5,12

Gambar 1: Mekanisme imunopatogenik GNAPS4Pada keadaan normal, peredaran darah serebral senantiasa dijaga dalam batas tertentu oleh suatu sistem yang disebut autoregulasi. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik akan terjadi vasodilatasi, sedangkan sebaliknya akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah serebral. Bila tekanan darah sistemik meningkat terus maka kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah otak tidak dapat dipertahankan dan terjadilah peregangan serta vasodilatasi. Keadaan ini menyebabkan hiperperfusi jaringan otak dan perembesan cairan ke jaringan perivaskular. Akibatnya terjadi edema serebri dengan gejala hipertensi ensefalopati.2Berbeda dengan orang dewasa, pada anak hipertensi sekunder merupakan bentuk hipertensi yang paling sering ditemukan. Hampir 80% penyebabnya berasal dari penyakit ginjal.1Tekanan darah (TD) normal pada anak bervariasi, oleh karena banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan. Dengan bertambahnya umur, berat badan dan tinggi badan ikut pula bertambah sampai anak mencapai usia dewasa. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap tekanan darah anak.1 Baik tekanan darah sistolik maupun diastolik penting untuk diagnosis hipertensi. Bila ada perbedaan angka TD sistolik dan diastolik yang diambil adalah TD yang lebih tinggi. TD sistolik ditentukan pada bunyi korotkoff 1 (K1) saat detak bunyi terdengar paling awal pada stetoskop dan TD diastolik saat bunyi hilang (K5).14Pada publikasi yang keempat dari National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group on Children and Adolescent telah diadakan sedikit perubahan pada definisi dan klasifikasi hipertensi pada anak dan remaja:141. TD normal TD sistolik atau diastolik 180 mmHg atau TD diastolik >120 mmHg atau meskipun 500 mg/m2/hari), disertai hematuria mikroskopik/makroskopik, kadar C3 yang rendah lebih dari 3 bulan, hipertensi menetap > 3 bulan, sindrom nefrotik, dan peningkatan kadar kreatinin yang cepat tanpa ada resolusi. Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar penderita GNAPS.2,4,7,18,22Pada penderita hipertensi kronk, hipertensi ensefalopati (HE) timbul pada tingkat hipertensi ang lebih tinggi karena telah ada pergeseran autoregulasi pembuluh darah otak sedangkan pada anak yang normotensif gejala HE dapat timbul pada tingkat yang lebih rendah. Pemeriksaan funduskopi pada anak jarang memperlihatkan gambaran perdarahan maupun edema papil. Pemeriksaan punksi lumbal menunjukkan peninggian tekanan intrakranial tetapi komposisi cairan serebrospinal normal. Punksi lumbal tidak perlu dilakukan pada penderita HE kecuali bila dicurigai adanya perdarahan intrakranial. Pemeriksaan EEG dan foto kepala tidak membantu dalam menegakkan diagnosis HE tetapi bisa untuk menyingkirkan kelainan intrakranial yang lain. Dalam keadaan meragukan, pemeriksaan CT-Scan dan MRI dapat membantu diagnosis HE walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.14Kriteria yang paling tepat untuk diagnosis HE adalah hilangnya gejala dengan cepat setelah tekanan darah diturunkan. Bila hal ini tidak terjadi, maka diagnosis HE patut diragukan. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah perdarahan ntraserebral atau subarakhnoid, tumor intrakranial, trauma kepala, ensefalitis, ensefalopati uremik dan toksik.14Diagnosis glomerulonefritis akut pasca streptokokus ditegakkan bila ditemukan salah satu manifestasi klinis sindrom nefritis akut, yang terdiri dari penimbunan cairan (edema perifer, edema paru, gagal jantung kongestif), hipertensi, hematuria (mikroskopik atau makroskopik), proteinuria serta penurunan fungsi ginjal (anuria, oliguria, peningkatan kadar kreatinin serum), yang timbul setelah infeksi streptokokus, peningkatan kadar ASTO, serta penurunan kadar komplemen C3.1

H. PenatalaksanaanPengobatan terpenting glomerulonefritis akut pasca streptokokus adalah suportif. Pasien harus beristirahat di tempat tidur hingga gejala hematuria makroskopik, edema, dan hipertensi menghilang. Makanan rendah garam (1 gram/hari), diberikan bila ada edema, hipertensi, atau kongesti sirkulasi. Bila kadar ureum darah tinggi, atau mengatasi hipertensi yang timbul, diberikan makanan rendah protein yaitu 0,5 1 gram/kgBB/hari.1,2,9,11Balance cairan perlu dihitung setiap hari. Pengukuran berat badan merupakan indikator penting dalam balance cairan. Restriksi cairan tidak perlu dilakukan bila produksi urin kurang dari 200 300 ml.4,11Diuretik diperlukan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Hipertensi ringan diberikan furosemid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari per oral, 1-2 kali sehari.2 Jika dengan pemberian diuretik, hipertensi belum dapat teratasi, dapat diberikan inhibitor Enzim Convertase yaitu Captopril dengan dosis 0,3-2 mg/kg/hari. Sebagian besar pasien hanya memerlukan terapi anti hipertensi jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu).1Pasien dengan gejala hipertensi ensefalopati memerlukan terapi anti hipertensi yang agresif.1 Anak yang datang dengan krisis hipertensi dimana tekanan darah meningkat tinggi secara tiba-tiba (>160/120 mmHg), diberi Calsium Channel Blocker (Nifedipin Sublingual) yang diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB, dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali setiap 5 menit pada 30 menit pertama. Lalu setiap 15 menit pada 1 jam pertama, selanjutnya setiap 30 menit sampai tekanan darah stabil. Bila sudah stabil, diberikan Nifedipin rumat 0,2- 1 mg/kgBB/hari 3-4 x. Pengobatan lini kedua adalah pemberian drip Klonidin 0,002 mg/kgbb/8 jam dalam 100 ml Glukosa 5% (maksimal 0,006 mg/kgbb/8 jam), ditambah Lasix 1 mg/kgbb/kali intravena dan Captopril oral 0,3 mg/kgbb/kali (maksimal 2 mg/kgbb/kali) 2-3 kali/hari. Bila tekanan darah sudah stabil, drip Klonidin dihentikan, Captopril tetap dilanjutkan.2,17,23Dalam melakukan evaluasi penderita hipertensi ensefalopati perlu diingat bahwa yang terpenting adalah secepatnya menurunkan tekanan darah penderita. Tahapan penanggulangan hipertensi ensefalopati adalah menurunkan tekanan darah secepatnya dengan obat anti hipertensi parenteral atau oral dan bila hipertensi telah dapat diatasi dan telah stabil, pemberian obat parenteral segera diteruskan dengan obat per oral, mencari dan menanggulangi kelainan organ target yang lain misalnya kelainan jantung kongestif, dan menanggulangi etiologi hipertensi.2Antibiotik diberikan untuk mencegah penyebaran penyakit dan dapat menghindari terjadinya penularan dan wabah yang meluas. Antibiotika (Penisilin atau Eritromisin) selama 10 hari diperlukan untuk eradikasi streptokokus. Walaupun begitu pemberian terapi Penisilin 10 hari sekarang sudah bukan merupakan terapi baku emas lagi, sebab resistensi yang makin meningkat dan sebaiknya diganti dengan antibiotik golongan Sefalosporin yang lebih sensitif dengan lama terapi yang lebih singkat.2Pasien hipertensi ensefalopati yang disertai dengan kejang, memerlukan antikonvulsan. Terapi yang sudah digunakan secara luas untuk mengatasi kejang adalah Diazepam dengan dosis 0,3 mg/kgbb intravena atau Phenobarbital dengan dosis 5-7 mg/kgbb secara intramuskular.11Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Pada keadaan sembab paru atau gagal jantung kongestif akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi cairan, diuretik, dan kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.2,18Edukasi penderita dan keluarganya sangat penting. Perlu dijelaskan tentang sifat, perjalanan penyakit, dan prognosisnya. Mereka perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan, masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap bahkan memburuk.Perlu dijelaskan rencana pemantauan selanjutnya. Pengukuran tekanan darah dan urinalisis diperlukan dalam pemantauan. Pemeriksaan dilakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-4 bulan sampai proteinuria dan hematuria menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun.2

I. PrognosisGlomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya sembuh sempurna meskipun proteinuria memerlukan waktu 3-6 bulan untuk menghilang dan sampai 1 tahun untuk hematuria. Hanya sekitar 1-5% menjadi RPGN (Rapidly Progressive Glomerulonefritis, glomerulonefritis progresif cepat).2,7,20Sembab biasanya menghilang dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal dalam 2-3 minggu meskipun kadang-kadang tekanan darah menetap sampai 6 minggu dan kemudian akan kembali normal. Kadar C3 kembali normal dalam 8-10 minggu pada lebih 95% penderita.2 Kelainan urin membaik dalam waktu yang beragam. Proteinuria menghilang dalam 2-3 bulan pertama atau menurun secara pelan sampai 6 bulan. Proteinuria intermitten atau postural dapat berlangsung sampai 1-2 tahun setelah onset. Hematuria makroskopik menghilang dalam 1-3 minggu, tetapi dapat terjadi eksaserbasi karena aktivitas fisik.2Hematuria mikroskopik biasanya menghilang setelah 6 bulan, tetapi dapat menetap sampai 1 tahun, dan bahkan pernah dilaporkan adanya hematuria berkepanjangan sampai 1-3 tahun. Beberapa mengalami jejas yang hebat sehingga dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik dan progresif. Harus dipertimbangkan terjadinya kelainan ginjal kronik bila hematuria dan proteinuria menetap sampai lebih 12 bulan. Prognosis penderita glomerulonefritis akut pasca streptokokus dewasa lebih buruk daripada anak-anak.2DAFTAR PUSTAKA

1. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2002. h. 323-53.2. Noer MS. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Diajukan pada Simposium dan Workshop Sehari di Hotel Sahid Jaya Makasar tanggal 27-28 Mei 2006.3. Nini Soemyarso. Glomerulonephritis akut. Diunduh dari : www.yahoo.com pada tanggal 6 September 2007.4. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acut nephrotic syndrome. Dalam: Web NAJ, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Ed. 3. Oxford, Oxford University Press; 2003. h. 367-79.5. Travis LB. Glomerulonefritis akut pasca infeksi. Dalam: Rudolph AM, wahab samik, alih bahasa. Buku ajar pediatri. Vol 2. Jakarta, Penerbit EGC; 2007. h. 1487-94.6. Brouhard BH, Travis LB. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Edelman CM, penyuting. Pediatric kidney disease. Ed 2. Boston, Little, Brown company; 1992. h. 1200-15.7. Barnett HL Gauthier MB, Edelman CM. Clinical acute glomerulonephritis. Nephrology and urology for the pediatrician. Boston, Little, Brown company; 1988. h. 109-22.8. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta. Sari Pediatri 2003;5(2);58-63.9. Rudolph AM, Colin D. Glomerular Disease. Rudolphs Pediatric. Ed 21. McGraw-Hill; 2003. h. 6465-71.10. Data Rekam Medis IRNA D IKA. Jumlah Penderita GNAPS yang dirawat di Bangal IKA periode tahun 2002-2006. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unand/RSUP M Djamil Padang. 2006. 11. James JA. Acute glomerulonephritis. Renal disease in childhood. Saint louis, The mosby company; 1986. h. 191-211.12. Papanagnou D. Glomerulonephritis, acute. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/med/topic879.htm pada tanggal 4 Februari 2008.13. Richard AC, Schnaper HW. Glomerular disease. Dalam: Green TP, Franklin WH, Tanz RR, penyunting. Pediatrics just the facts. Norhwestern, University Feinberg scholl of medicine; 2007. h. 441-44.14. Alatas H. Hipertensi ensefalopati. Diajukan pada Simposium dan Workshop Sehari di Hotel Sahid Jaya Makasar tanggal 27-28 Mei 2006.15. Davis ID, Avner ED. Glomerulonephritis associated with infections. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelsons textbook of pediatrics. Ed. 17. Pennsylvania: Saunders; 2004. h. 1740-1.16. Andreoli SP. Chronic glomerulonephritis in childhood. Dalam: Alon US, penyunting. The pediatric clinic of north America. Vol 42. Philadelphia, Saunders company; 1995. h. 1487-99.17. Kurniawan R, Rauf S. Hypertensive encephalopathy and acute renal failure in acute post streptococcal glomerulonephritis patient. J med nus. Vol 27 No.3, Juli-September 2006. h. 177-79.18. Kei N, Tse C. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK. Practical paediatric nephrology. Singapore, national university of Singapore; 2005. h.103-8.19. Smith HW. The glomerulopathies. Dalam: Papper S, Ed 2. Boston, The little, brown company; 1988. h. 171-215.20. Pudjiastuti P. Anemia pada beberapa penyakit ginjal. Dalam: Pendekatan praktis pucat: masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta, Departemen IKA FKUI/RSCM; 2007, h. 49-58.21. Jaggi P, Shulman ST. Group A streptococcal infections. Diunduh dari: http://pedsinreview.aappublications.org pada tanggal 17 Oktober 2008.22. Cho BS. Investigation of proteinuria and haematuria. Dalam: Chiu MC, Yap HK. Practical paediatric nephrology. Singapore, National University of Singapore; 2005. h. 96-102.23. Alatas H. Diagnosis and management of hypertensive encephalopathy. Diajukan pada Simposium dan Workshop Sehari di Hotel Sahid Jaya Makasar tanggal 27-28 Mei 2006.

0