Presus Lupus Nefritis Draft

53

Transcript of Presus Lupus Nefritis Draft

Problem diagnostik dan tatalaksana penderita SN dengan dugaan lupus nefritis (judul)Pendekatan diagnostik dan tatalaksana pada penderita dengan dugaan lupus nefritisPendahuluan: SN: definisi, epidemiologi (prevalensi insidens), angka morbiditas dan mortalitas (data Indo). Diagnosis berdasarkan (biopsi ginjal, resiko paling berat), alasan kenapa ditampilkan(alasan highcost, high mortality, high volume ?, diagnostik sulit ?). lalu lupus nefritis, dd kemungkinan lupus atau bukan.Bab II: kasus seorang penderita laki2 (nama tidak usah) umur datang dengan keluhan.....Planning : diagnostik, terapi, edukasiPembahasan: LN, definisi, berdasarkan, kriteria , pada pasien ini belum dilakukan biopsi, clinical diagnosis. Tidak biopsi terapi jadi tidak sesuaiPrognosis , ckd , komplikasi, tatalaksana komplikasiARIAL font 12, gambar lampiran tabel terpisah. Patof boleh dimasukin.DAFTAR ISI

DAFTAR ISI2STATUS PASIEN3I.IDENTITAS PASIEN3II.ANAMNESIS3III.PEMERIKSAAN FISIS5IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG7V.RESUME11VI.DAFTAR MASALAH12VIII.DIAGNOSIS BANDING:13IX.PENATALAKSANAAN13X.PROGNOSIS13ANALISA KASUS14I.MANIFESTASI KLINIS14II.DASAR DIAGNOSIS20III.TERAPI27IV.PROGNOSIS37DAFTAR PUSTAKA38

9

13

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIENNama : DMSJenis kelamin: PerempuanUmur: 33 tahunStatus: MenikahAgama : Islam Suku Bangsa: JawaAlamat : Jl. GA Manulang PadalarangMRS: 18 Mei 2015No. CM: 44.47.41

II. ANAMNESISAutoanamnesis, pada 30 Mei 2015, pukul 06.00 WIBKeluhan utama: perut bengkak sejak 1 minggu SMRSKeluhan tambahan: Kencing keruh, rambut rontok, sariawan tanpa sakit, mudah lelah

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke RSPAD Gatot Soebroto pada tanggal 18 Mei 2015 dengan keluhan bengkak pada badan, kaki, tangan kanan dan wajah yang memburuk sejak 1 minggu SMRS, bengkak tidak nyeri dan kulit tidak kemerahan. Bengkak terutama pada pagi hari setelah bangun tidur dan kaki menjadi terasa berat untuk digerakkan. Wajah dan perut terlihat sembab sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengatakan buang air kecil menjadi keruh dan berbusa seperti pada awal sakit.Pasien mengaku rambut mudah rontok dan sering sariawan namun tidak sakit sejak sekitar 8 bulan SMRS. 7 bulan SMRS (Oktober 2014) pasien dirujuk dari RS Dustira dengan diagnosis sindrom nefrotik. Saat itu pasien datang dengan keluhan bengkak yang dimulai dari kaki, tangan, badan dan kemudian wajah, perut membesar disertai peningkatan berat badan. Pasien juga mengeluh buang air kecil keruh dan berbusa terutama pada pagi hari, kencing tidak merah, jumlah sama dengan sebelum sakit dan tidak disertai nyeri. Pasien mudah lelah sejak sakit namun tidak terlalu menganggu aktifitas sehari-hari, pasien masih dapat berlari dan naik tangga tanpa diikuti sesak nafas. BAB tidak ada keluhan.Pasien mengatakan sempat dilakukan biopsi ginjal namun jaringan hancur. 6 bulan SMRS pasien mendapat Metilprednisolon 4mg 8 tablet pada pagi hari dan 4 tablet pada malam hari. Pasien mendapat CellCept (Mikofenolat mofetil) 2 x 2 tablet, furosemide dan spironolakton. Kemudian setelah beberapa bulan keluhan bengkak menghilang. Pasien mengaku tekanan darah pasien mulai tinggi sejak bengkak muncul, pasien mengatakan sekitar 180/100 mmHg, sedangkan sebelum sakit tekanan darah paling tinggi 110/70 mmHg dan pasien mengaku mendapat obat adalat oros (nifedipine extended release). Pasien minum obat simvastatin 1 x 20mg karena kolestrol pasien tinggi sejak terdiagnosis sindrom nefrotik. Berat badan pasien sebelum sakit 50 kg, pada saat bengkak dan dirawat pertama kali 68 kg dan sekarang 52 kg, nafsu makan dan porsi sekali makan kurang lebih sama dengan sebelum sakit. Terdapat stretch marks pada perut bagian samping dan kedua betis pasien. Pasien mengeluh sering demam dalam beberapa bulan terakhir, dalam 1 bulan sekitar 2 kali, demam rata-rata berlangsung selama 2 hari dengan suhu sekitar 38oC terkadang disertai batuk tidak berdahak dan tidak ada nyeri tenggorokan.Pasien mengeluh sejak pemberian metilprednisolon wajah pasien menjadi lebih bulat, pasien tidak mengalami kesulitan berdiri dari posisi duduk. Pasien tidak ada keluhan nyeri pada sendi jari tangan dan kaki. Tidak ada bercak-bercak kemerahan pada kulit, tidak muncul bercak kemerahan apabila terpapar matahari. Tidak ada nyeri perut, mual ataupun muntah. Keluhan sesak nafas atau nyeri dada tidak ada. Gangguan penglihatan tidak ada. Tidak ada kelemahan pada tungkai maupun lengan dan tidak ada rasa baal atau kesemutan.Tidak ada perubahan pada pola BAB pasien semenjak sebelum sakit hingga sekarang. Tidak ada perubahan pada siklus menstruasi (30 hari), jumlah (ganti 3 pembalut per hari) dan lama menstruasi (5 hari). Riwayat Diabetes Mellitus disangkal.Riwayat penyakit dahulu :1. Riwayat Tuberkulosis paru disangkal2. Riwayat sakit maag disangkal3. Riwayat keganasan disangkal4. Riwayat trauma atau jatuh disangkal

Riwayat penyakit keluarga :1. Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama.2. Riwayat keganasan disangkal3. Diabetes Melitus disangkal.4. Hipertensi disangkal

Riwayat Kebiasaan : 1. Minum alkohol (-)2. Merokok (-)

III. PEMERIKSAAN FISISPemeriksaan fisis dilakukan pada 30 Mei 2015, pukul 06.00 WIBKeadaan umum: Baik Kesadaran: Compos mentisKeadaan gizi: Tinggi badan 155 cm, berat badan 52 kg, IMT = 21.6 kg/m2 (Normoweight)Tanda vital: Tekanan darah = 140/90 mmHgNadi = 82 x/menit, isi cukup, regulerRR = 19 x/menit, thorakoabdominal, reguler, cukup dalamSuhu = 36.7 0CKulit: Sawo matang, ikterik (-), lembabKepala: Normosefal, rambut hitam dan distribusi merata.Wajah: Simetris, ekspresi simetris Mata: Edema palpebra +/+, conjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor +/+, 4mm, refleks cahaya langsung +/+, tidak langsung +/+, gerakan bola mata baik ke segala arahTelinga: Gangguan pendengaran (-/-), bentuk telinga normal, simetris, liang telinga lapang, serumen (-/-)Hidung: Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, rongga hidung lapang, sekret tidak ada, konka inferior tidak edema.Mulut: Mukosa bibir lembab, ulkus (+), faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1 tenangLeher: Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi trakea, tidak teraba pembesaran KGB, JVP 5-2 cmH2O, buffalo hump (-)Thoraks: Pulmo :Inspeksi = Normochest, gerak nafas simetris, tidak ada yang tertinggal, retraksi tidak ada, sela iga tidak melebar, spider naevi tidak ada.Palpasi = Taktil fremitus simetris pada kedua lapang paru, chest expansion simetrisPerkusi = Sonor pada kedua lapangan paru. Batas paru hati pada linea midclvavicula dekstra ICS VAuskultasi = Suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-) , Wheezing (-/-)Cor :Inspeksi = Iktus cordis tidak terlihatPalpasi = Iktus cordis teraba pada linea midklavikula ICS IV sinistra, thrill & heave tidak adaPerkusi= Batas atas ICS III linea parasternal sinistraBatas kiri ICS IV linea midklavikula sinistraBatas kanan ICS IV linea parastemal dextraAuskultasi= Bunyi jantung S1 dan S2 normal reguler, Murmur tidak ada, S3 dan S4 tidak adaAbdomen:Inspeksi=Cembung, caput medusa (-),massa (-)Auskultasi=Bising usus (+) normal, 9x/menitPerkusi=Timpani pada regio tengah abdomen, shifting dullness (+)Palpasi =Dinding perut supel, turgor kulit baik, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba pembesaran. Pemeriksaan Fluid wave (+) Ekstremitas :Akral hangat, edema lengan (+/-) pitting edema tungkai (+/+) pitting, CRT 68 kg, ini disebabkan oleh retensi cairan dan transudasi. Pada SN terjadi balans nitrogen negatif (oleh karena proteinuria) dan katabolisme namun berkurangnya massa otot terselubung karena adanya edema. Berat badan pasien kemudian turun 68 kg -> 52 kg, ini dapat dijelaskan karena efek dari pengobatan yang menekan reaksi imun dan inflamasi yang menyebabkan proteinuria berkurang serta perbaikan albumin dan diuretik untuk membuang cairan yang berlebih. Pasien mengalami demam berulang, hal ini bisa disebabkan karena SN sendiri dimana cairan dalam jumlah besar dalam beberapa lokasi memfasilitasi bakteri untuk bertumbuh, kulit nefrotik rapuh sehingga menyediakan port d entree untuk kuman serta edema mendilusi faktor humoral lokal.2 Hilangnya IgG dan komplemen faktor B (alternative pathway) dalam urin menurunkan kemampuan untuk melawan organisme dengan kapsul (seperti pneumococci). Zinc dan transferrin juga dibuang lewat urin dimana zat tersebut berperan pada fungsi limfosit normal. Terdapat juga gangguan fungsi neutrofil-fagosit dan disfungsi sel T.2 Selain itu pasien juga mendapat terapi imunosuppresif (mikofenolat mofetil) serta kortikosteroid yang meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi.Pada laboratorium ditemukan anemia normositik normokrom, pada pasien ini dianjurkan untuk memeriksa morfologi dengan SADT, hitung retikulosit dan coombs test, pada pasien ini dicurigai SLE, kelainan hematologi pada SLE dapat bermanifestasi sebagai anemia penyakit kronis (retikulosit rendah),anemia autoimun hemolitik (retikulosit tinggi), aplasia sel darah merah (retikulosit rendah) atau insufisiensi ginjal karena keterlibatan ginjal, pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dilakukan ialah eritropoietin.6 Salah satu penyebab lainnya adalah hemolitik mikroangiopati yang dapat disebabkan oleh TTP (asosiasi dengan SLE) atau keadaan Disseminated intravascular coagulation, dimana dapat dilakukan SADT dan dapat ditemui echinocytes dan fragmented RBC, lactate dehydrogenase (LDH) yang meningkat serta perubahan PT dan aPTT.7 Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi. Ditemukan hipoalbuminemia yang pada SN disebabkan oleh proteinuria yang masif. Didapati hiperkolestrolemia dengan penurunan high density lipoprotein (HDL) dan peningkatan low density lipoprotein (LDL) serta hipertrigliseridemia. Ada beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan temuan ini, yaitu meningkatnya sintesis LDL, VLDL dan lipoprotein(a) sekunder terhadap hipoalbuminemia (hipoproteinemia dan menurunnya tekanan onkotik), gangguan aktivitas lipoprotein lipase perifer sehingga menyebabkan tingginya VLDL dan terbuangnya HDL melalui urin.2 Lipiduria merupakan komponen ke 5 dari pentad SN, dimanifestasikan oleh akumulasi lipid yang refractile dalam debris seluler dan silinder (badan lemak oval dan silinder lemak) yang tidak ada pada pasien ini. Pada pasien dengan SN memiliki resiko kematian oleh karena penyakit jantung koroner 5 kali lebih tinggi.2 Bukti eksperimental, statin memperlambat progresi kerusakan ginjal.8

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Pada pasien SN terdapat perubahan jumlah pada protein kaskade koagulasi , selain itu agregasi platelet meningkat.9 Hiperkoagulabilitas juga diperparah oleh imobilitas, infeksi dan hemokonsentrasi apabila terdapat volume plasma yang sedikit. Pada pasien ini terjadi infeksi serta penurunan mobilisasi karena kaki pasien bengkak. Sehingga hiperkoagulabilitas ini disertai dengan dislipidemi menyebabkan meningkatnya resiko kejadian serebrovaskular dan penyakit jantung koroner. Kejadian tromboembolik meningkat secara besar pada pasien dengan konsentrasi albumin dibawah 2g/dL. Hipoproteinemia dan disproteinemia menyebabkan peningkatan LED, sehingga LED tidak dapat menjadi marker dari respons fase-akut pada pasien SN. Trombosis vena renalis merupakan komplikasi penting dari SN, angka secara klinis adalah 8% dari pasien SN, namun apabila ditelusuri lebih lanjut dengan USG atau venografi kontras, angka meningkat menjadi 10-50%.2 Hal ini dapat bermanifestasi sebagai nyeri pinggang dan hematuria, AKI (trombosis bilateral) atau gejala yang minimal oleh karena pembentukan pembuluh darah kolateral. Emboli paru merupakan manifestasi yang penting.10 Fibrinogen meningkat pada pasien dengan NS karena hipoalbuminemia yang meningkatkan sintesis fibrinogen oleh hepar yang kemudian meningkatkan aktifitas platelet dan agregasi sel darah merah.2 d-Dimers merupakan derivat hubungan silang terakhir yang berhubungan dengan fragmen E pada kompleks yang terbentuk ketika sistem fibrinolitik endogen mendegradasi fibrin, d-dimers dapat meningkat pada pasien nefrotik11. Pada pasien ini terdapat peningkatan d-dimers dan fibrinogen yang dapat merupakan tanda dari penyakit SN. Pada pasien ini terdapat infeksi dan gangguan mobilisasi, maka ada kemungkinan peningkatan d-dimers terjadi karena komplikasi tromboembolisme (trombosis vena renalis, DVT) atau disseminated intravascular coagulation pada pasien ini, juga terdapat penurunan trombosit 444.000 (5-5-15) menjadi 162.000(18-5-15) disertai anemia normositik normokrom. Pada pasien ini tidak ada nyeri pada kaki maupun sesak nafas.

Pada pasien ini terdapat Albumin/Creatinine ratio 6706, proteinuria +++ hal ini disebabkan oleh. Proteinuria nephrotic-range adalah proteinuria >3.5 g/24 jam atau rasio protein-kreatinin > 3g/g, proteinuria nephrotic-range secara absolut merupakan kelainan glomerulus.2 Ekskresi protein yang meningkat dapat disebabkan oleh perubahan pada permeabilitas glomerular atau penyakit tubulointerstitial, meskipun hanya pada penyakit glomerular, proteinuria akan berada pada nephrotic range. eGFR pada pasien ini ialah 41.05 mL/menit (moderate decrease GFR) dengan kelainan lain ginjal (proteinuria) maka terdapat penyakit ginjal yang kemungkinan kronis (harus dibuktikan melalui USG dan pengukuran eGFR beberapa bulan kedepan) atau acute-on-chronic mengingat proses lupus nefritis yang sedang berjalan. Hampir semua penyebab sindrom nefrotik (kecuali minimal change disease) dihubungkan dengan resiko gagal ginjal progresif. Salah satu faktor resiko terbesar untuk progresi ialah gagal ginjal. Progresi jarang apabila proteinuria 5g/hari. Resiko ini kemungkinan karena proteinuri menandakan cedera glomerular yang berat, meskipun bukti eksperimental dan klinis juga menunjukan bahwa proteinuria itu sendiri toksik terutama pada tubulointerstitium.2 Pada model eksperimental, tindakan yang mengurangi proteinuria (contoh: ACE inhibitor) juga mencegah penyakit tubulointerstitial dan gagal ginjal progresif. Sindrom nefrotik juga dihubungkan dengan AKI melalui berbagai mekanisme.2

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Pada pasien ini terdapat leukosituri dan bakteriuria serta kultur menunjukan Staphylococcus aureus dengan pola resistensi terlampir. Hal ini disebabkan oleh infeksi saluran kemih, dimana pasien SN rentan terkena infeksi.Hipokalemia terjadi kemungkinan karena pemakaian furosemide, pada kondisi pasien SN terjadi aktivasi dari ENaC channel sehingga terjadi retensi sodium dan ekskresi potassium, namun terjadi down-regulation dari Renal Outer Medullary Potassium (ROMK) channel sehingga mencegah eliminasi dari potassium, hal ini mempertahankan keadaan sehingga tidak terjadi hipokalemi. Furosemide merupakan loop diuretic yang menghambat NaK2Cl pada TALH, pengaruh ini karena peningkatan penghantaran (konsentrasi) sodium pada tubulus distal,menaugmentasi depolarisasi dari membran luminal dan meningkatkan lumen-negative voltage dan memfasilitasi ekskresi kalium, mekanisme lainnya ialah flow-dependent enchancement dari sekresi ion pada collecting duct dan aktivasi RAAS.3,12Pemeriksaan ANA ditemukan pada lebih dari 90% dari pasien yang tidak diobati, dan merupakan metode screening yang sangat sensitif untuk pasien dengan SLE, nnamun tidak spesifik dan dapat ditemui pada kelainan reumatologi lainnya.13,14,15 Auto antibodi terhadap dsDNA lebih spesifik namun kurang sensitif (ditemukan pada 75% pasien dengan lupus yang tidak diobati). Pada pasien ini ANA positif sementara anti ds-DNA negatif. Serum total dari komplemen C3 dan C4 sering menurun pada pasien dengan SLE yang tidak diobati, terutama pada pasien dengan lupus nefritis.II. DASAR DIAGNOSISSindrom nefrotik et causa lupus nefritis: dari anamnesis dan pemeriksaan fisis didapatkan edema anasarca, serum albumin 2.0 g/dL dan total kolestrol 379 mg/dL (pasien mengkonsumsi obat statin) serta proteinuria +++, ACR: 6706 ug/mg kreatinin (758.6 mg/mmol) yang menandakan proteinuria nephrotic-range.16Dari: Renal.org

Pasien telah memenuhi kriteria diagnostik sindrom nefrotik. Kriteria diagnostik untuk sindrom nefrotik (semua harus terpenuhi)17

Proteinuria diatas 3-3.5 g / 24 jam atau rasio protein:kreatinin urin > 300-350 mg/mmol

Serum albumin 386 mg/dL [10 mmol/L] ) sering terjadi

Diagnosis lupus nefritis: Diagnosis lupus nefritis pada pasien dengan SLE memerlukan adanya1. Proteinuria persisteni. Protein > 0.5 g/hariii. Protein >3+ pada urin dipstikiii. Spot rasio protein/kreatinin >0.52. Cellular castsiv. RBCv. Hbvi. Granularvii. Renal tubularviii. Mixed3. Sedimen urin aktif ( >5 RBC/LPK, >5 WBC/LPK pada keadaan tanpa infeksi atau cellular casts (RBC dan WBC) Biopsi ginjal yang menunjukan glomerulonefritis immune-complex mediated yang cocok dengan lupus nefritis Lupus nefritis diklasifikasi dengan patologi glomerulus dengan International Society of Nephrology/Renal Pathology Society (ISN/RPS) classification.

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Pada pasien ini terdapat proteinuria nephrotic-range, terdapat leukosituria dan RBC pada urin. Namun pasien ini menderita ISK yang telah dibuktikan oleh kultur sehingga leukosituria dan RBC tidak dapat dipakai. Pada pasien ini diagnosis SLE belum tegak, maka diagnosis lupus nefritis belum dapat ditegakan meskipun dengan adanya proteinuria nephrotic-range. Pada pasien ini disarankan pemeriksaan biopsi ginjal untuk klasifikasi ISN/RPS untuk prognosis dan terapi.18Suspek Systemic Lupus Erythematosus: Kriteria American College of Rheumatology (ACR) untuk klasifikasi SLE. Memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.19 Pada pasien ini ditemukan ulkus mulut, gangguan renal dan hasil tes ANA positif, maka pada pasien ini sangat mungkin SLE. Pada pasien ini terdapat anemia normositik normokrom, namun belum dievaluasi lebih lanjut. Maka dianjurkan pemeriksaan coombs test, LDH dan hitung retikulosit pada pasien ini untuk menentukan apakah terjadi proses hemolisis. Apabila terbukti ada proses hemolisis maka pasien ini telah memenuhi 4 dari 11 kriteria dan memiliki kemungkinan 95% mengidap SLE.

Dari: Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik (PAPDI)

Hipertensi grade II sekunder tidak terkontrol et causa suspek lupus nefritis: Hipertensi grade II atas dasar tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 100 mmHg.

Dari: JNC 7 Physician Reference CardSekunder karena hipertensi muncul bersamaan dengan gejala dan temuan yang sugestif lupus nefritis.Chronic Kidney Disease sebagai komplikasi LN atas dasar marker dari kerusakan ginjal (albuminuria), eGFR CG 41.05 mL/min (moderate decrease of GFR) dan pemeriksaan pada tanggal yang berbeda menunjukan Creatinine Clearance 45.21 mL/min (referensi lab yang berbeda). Dianjurkan pemeriksaan ultrasonografi ginjal untuk melihat tanda-tanda penyakit ginjal kronis. Temuan ini tidak diketahui apakah sudah lebih dari 3 bulan atau belum. Pasien sedang dalam flare lupus nefritis sehingga ada kemungkinan eGFR pada saat keadaan remisi tidak serendah yang sekarang. Diagnosis differensialnya adalah chronic kidney disease stage III apabila seandainya eGFR pasien memang sekitar angka yang terukur.

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Dari: Harrisons Principles of Internal Medicine 18th edition

Infeksi saluran kemih et causa Staphylococcus aureus: atas dasar temuan leukosit pada urin disertai dengan kultur positif untuk Staphylococcus aureus.Hipokalemi et causa loop diuretik: kalium pada pasien ini 2.7 mmol/L. Dapat dilakukan pemeriksaan kalium pada urin untuk memastikan bahwa terdapat renal loss. Pada pasien ini terdapat pemakaian furosemide yang dapat menyebabkan hipokalemia. Pemakaian spironolakton seperti pada pasien ini dapat mengurangi pembuangan kalium.

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

III. TERAPIPada pasien ini diberikan KSR (Potassium Chloride), berisi 600 mg KCL yang ekuivalen dengan 8 mEq kalium dan 8 mEq klorida. Setiap 20 mEq/dosis akan meningkatkan [K+] sebanyak 0.25 mEq/L. Pada pasien hipokalemi yang stabil, penggantian secara oral lebih dipilih karena lebih aman (karena ada sistem regulasi absorpsi gastrointestinal).20

Dari: Manual of Nephrology, 8th edition

Resiko progresi pada penyakit ginjal dengan proteinuria dipercepat dengan hipertensi tidak terkontrol maka kontrol tekanan darah yang adekuat merupakan landasan dari pengobatan. Pada Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) study, pasien dengan proteinuria (>1 g/hari) memiliki hasil yang lebih baik apabila tekanan darah dikurangi sampai 125/75 mmHg dibanding dengan standar pada umumnya (140/90 mmHg). 21,22,23 Guideline CKD (Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) merekomendasikan tekanan darah target dibawah 130/80 mmHg pada pasien dengan proteinuria.24 ACE inhibitor dan ARB merupakan obat pilihan pertama, kebanyakan studi menunjukan kehilangan fungsi ginjal dapat dihindari apabila proteinuria dapat dikurangi dibawah 0.5 mg/hari. Ini karena tindakan untuk mengurangi ekskresi protein juga mengurangi hipertensi glomerular yang juga berkontribusi terhadap gagal ginjal progresif, hal ini dicapai melalui menghambat konstriksi arteriole efferent atau melalui penurunan dari tekanan preglomerular.25,26,27 Namun ada bukti bahwa proteinuria juga toksik terhadap tubulointerstitium.28 Mengurangi proteinuria berujung pada peningkatan serum protein dan perbaikan dari komplikasi metabolik SN. Calcium Channel Blocker (CCB) nondihidropiridine memiliki efek yang menguntungkan terhadap proteinuria dan tekanan darah, namun, sebaliknya, CCB dihidropiridine dapat memperberat proteinuria melalui dilatasi arteriole afferent ginjal, namun dianggap aman apabila pasien mendapatkan ACE inhibitor atau ARB.2 Efek antiproteinurik dari obat penghambat RAS dapat dinaikan dengan kombinasi dengan diuretik. Restriksi protein dalam diet pada angka 0.6 0.8 g/kgBB/hari (sumber lain: 0.8-1.0 g/kgBB/hari) mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal pada penyakit ginjal dengan proteinuria.21,22Karbohidrat tinggi dapat diberikan untuk memaksimalkan pengunaan dari protein. Pada pasien dengan proteinuria berat (>10 g/hari) dianjurkan tetap mengkonsumsi protein dengan jumlah yang dekat dengan RDA yakni 0.8 g protein/kgBB/hari (sumber lain: jumlah protein yang terbuang di urin harus ditambahkan kedalam diet).2,21 Restriksi sodium sedang menjadi 2 3 g/hari dapat memfasilitasi kontrol tekanan darah dan mengurangi proteinuria dan edema.2

Atas dasar ini maka pasien diberikan ramipril yang merupakan golongan ACE inhibitor dan disarankan untuk mengkonsumsi protein dengan jumlah 0.8g/kgBB/hari dan menambahkan karbohidrat dalam diet. Serta restriksi sodium sedang menjadi 2 3 g/hari.Pasien nefrotik resisten terhadap diuretik meskipun GFR normal, hal ini disebabkan karena loop diuretik harus mencapai tubulus renal untuk menjadi efektif, dan transport dari kapiler peritubular memerlukan ikatan protein (yang menurun pada hipoalbuminemia). Ketika obat mencapai tubulus ginjal akan terikat pada protein pada urin sehingga menjadi kurang efektif.2 Diuretik secara oral, 2 kali sehari lebih dipilih karena memberikan efek terapeutik lebih panjang dibanding intravena. Kombinasi dengan thiazide atau metolazone dapat megatasi resisten diuretik. Hipovolemi signifikan merupakan masalah yang jarang, dengan syarat pengeluaran cairan terkontrol dan perlahan.2 Berat badan merupakan alat ukur terbaik, secara ideal tidak boleh turun lebih dari 1 2 kg/hari. Secara bertahap obat diberikan, apabila target tidak tercapai maka obat ditambahkan.2Pada pasien ini diberi furosemide dan spironolakton karena pasien ini mengalami hipokalemia yang dicurigai karena furosemide, untuk rawat jalan dapat diberikan furosemid 40 mg, 2 kali sehari ditambah dengan spironolakton 50 - 200 mg per hari atau suplementasi kalium. Diuretik juga dapat berperan sebagai agen antihipertensi.

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Resiko kejadian trombotik menjadi semakin penting ketika serum albumin berkurang menjadi dibawah 2.5 g/dL. Imobilisasi karena edema atau penyakit penyerta dapat meningkatkan resiko. Antikoagulasi profilaksis dosis rendah seperti heparin 5000 Unit subkutan 2 kali sehari diindikasikan pada saat resiko tinggi, seperti imobilisasi saat dirawat di RS dan albumin 2 2.5 g/dl. Antikoagulasi dosis penuh dengan LMWH atau warfarin harus dipertimbangkan apabila serum albumin dibawah 2g/dl, dan suatu keharusan apabila terdapat diriwayat thrombosis ato emboli paru.9,28 Warfarin dengan target INR 2 3 merupakan pilihan jangka panjang terbaik.9,29Terapi terhadap hiperlipidemia (atau hiperkolestrolemia) untuk mengurangi resiko kardiovaskular. Direkomendasikan pemakaian statin (HMG-CoA reduktase inhibitor). Terapi dengan statin juga melindungi dari penurunan GFR meskipun belum terbukti secara kuat.2 Efek samping seperti rhabdomyolysis yang dapat diprovokasi oleh fibrat, terjadi lebih sering pada pasien dengan gagal ginjal. Restriksi diet sendiri hanya berdampak kecil terhadap hiperlipidemia pada penyakit glomerular . Atas dasar itu pasien ini diberikan simvastatin 1 x 20 mg per hari.Sindrom nefrotik merupakan manifestasi dari penyakit sistemis yang mendasari atau dicetuskan oleh obat. Oleh karena itu evaluasi untuk penyakit yang mendasari penting.21

Lebih dari setengah pasien dengan lupus memiliki masalah ginjal yang dapat dilihat secara klinis.21Lupus disebabkan oleh hilangnya toleransi terhadap self-antigens dan pembentukan autoantibodi. Kebanyakan autoantibodi bereaksi dengan antigen yang ada di dalam nukleus sel (DNA,RNA dan histone). Kompleks imun yang terbentuk dapat terdeposisi di ginjal atau antigen dan antibodi dapat terdeposisi secara terpisah. Terdapat juga bukti bahwa beberapa autoantibodi bereaksi silang dengan protein yang diekspresikan didalam ginjal. Antibodi yang terdeposisi didalam ginjal atau pada struktur glomerulus dapat menyebabkan cedera pada sel sekitar melalui aktivasi dari sistem komplemen atau melalui sinyal lewat reseptor Fc. Pada pasien dengan lupus, kompleks imun dapat terlihat pada mesangium, ruang subendotel dan ruang subepitel. Lokasi dari deposit imun seringkali berkorelasi dengan presentasi klinis. Deposit subepitel dapat menyebabkan cedera yang secara klinis dan histologis mirip dengan MN (membranous nephropathy), seringkali datang dengan sindrom nefrotik. Deposisi mesangial dan subendotel menyebabkan inflamasi glomerulus dan sindrom nefritik. Imunofluoresensi dapat memperlihatkan C3, IgG, IgM, IgA dan C1q dan terlihat seperti lumps and bumps.21

Penting untuk membagi pengobatan pada pasien lupus nefritis menjadi fase inisial dan fase maintenance. Fase initial terfokus pada penyakit akut yang mengancam nyawa atau organ. Fase maintenance terfokus pada manajemen jangka panjang dari penyakit kronis, proteksi dari efek samping terapi, mencegah flares dan memperlambat progresi dari gagal ginjal.30 Pada umumnya pasien dengan ISN class I dan class II tidak memerlukan terapi karena memiliki outcome yang jinak, dan pemberian obat memiliki rasio risk-benefit yang buruk. Manifestasi ekstrarenal harus diberikan terapi imunosupresi apabila diindikasikan. Pengecualian ialah pada pasien dengan cedera podosit yang berespon dengan baik terhadap kortikosteroid dosis tinggi jangka pendek. Pada pasien dengan active focal proliferative lupus nephritis (ISN class IIIA dan IIIA/C), active diffuse proliferative LN (ISN class IVA dan IVA/C) dan membranous lupus (ISN class V) kombinasi kortikosteroid dan terapi imunosupresif digunakan. Definisi remisi berbeda pada studi yang berbeda, namun pada umumnya memerlukan penurunan proteinuria hingga dibawah 0.5 g/24 jam atau rasio protein-kreatinin urin dibawah 0.5 g/g, tidak ada hematuria glomerular atau silinder RBC dan normalisasi atau stabilisasi GFR. Flare didefinisikan sebagai proteinuric apabila terjadi kenaikan (isolated) dari proteinuria, pada umumnya minimal dua kali lipat dan lebih dari 1g/24jam, atau nephritic apabila kenainkan kreatinin minimal 30% (atau GFR turun minimal 10%) dan urin sedimen aktif dengan kenaikan hematuri glomerular lebih dari 10 RBC/lapang pandang kuat.31 Seluruh pasien dengan lupus nefritis harus mendapatkan terapi hydroxychloroquine kecuali apabila ada kontraindikasi, karena dihubungkan dengan penurunan jumlah flare dibanding plasebo.2,32 Proliferative lupus nephritis :Fase inisial

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Kortikosteroid digunakan berbarengan dengan obat imunosupresif lainnya, dimulai dengan dosis tinggi.Prednison/prednisolon dengan dosis 0.5 1 mg/kgBB/hari berat badan ideal (tidak lebih dari 80 mg/hari), lalu diturunkan bertahap menjadi sekitar 10 mg/hari pada 3 6 bulan. Pada penyakit berat, kortikosteroid oral dapat diberikan sebelum pemberian infus metilprednisolon ( 0.5 sampai 1 g perhari untuk 1 sampai 3 hari). Efek samping kosmetik, resiko ulserasi gastrointestinal, osteonekrosis, hipertensi,psikosis dan resiko infeksi menyebabkan minimalisasi jangka waktu terapi kortikosteroid dosis tinggi pada pasien lupus.30 Beberapa RCT menunjukan bahwa MMF secara oral ditambah dengan kortikosteroid selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan terapi maintenance, setidaknya sama efektif dan pada beberapa kasus lebih efektif dibanding cyclophosphamide (6 bulan pulse) ditambah kortikosteroid dan dilanjutkan dengan terapi maintenance.33,34,35 Tidak ada keuntungan dalam jumlah mortalitas atau infeksi berat namun resiko amenorrhea lebih rendah dan toksisitas gastrointesinal lebih tinggi. Studi secara jangka panjang menemukan tidak ada perbedaan dalam outcome ginjal.36 Mencapai remisi dari nephritis lupus memprediksi outcome jangka panjang. Pada suatu studi angka kehidupan sekitar 95% dan 94% untuk kelompok yang mecapai remisi dan 69% dan 45% untuk yang tidak mencapai remisi.37 Respons komplit dan parsial oleh ginjal terhadap MMF atau cyclophosphamide sekitar 18% 85% pada 6 bulan dan 32% - 85% pada 12 bulan. 33,34,38,39 ,40-44 Pada umumnya, sekitar setengah dari pasien yang diterapi mencapai respons komplit atau parsial dalam 1 tahun dan tambahan 25% pada 2 tahun. 34,40-46

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th edition

Proliferative lupus nephritis: maintenanceTerapi maintenance berlanjut untuk jangka panjang untuk mencegah renal flares dan CKD. Cyclophosphamide lebih superior dibanding kortikosteroid sendiri.30 Pemberian Azathioprine atau MMF sama efektif dengan penurunan morbiditas dan peningkatan survival.47 Kortikosteroid diturunkan dari terapi inisial dan pada umumnya dilanjutkan dalam periode maintenance namun dalam dosis terbatas (prednisone 5 15 mg/hari), regimen perhari atau selang-seling telah digunakan. Tidak ada konsensus untuk durasi optimal dari terapi kortikosteroid. 2 RCT membandingkan AZA (2mg/kgBB/hari) dan MMF (2g/hari) sebagai obat maintenance. Pada studi 227 pasien multietnik, MMF secara signifikan lebih baik dalam mencegah renal flares dan ESRD dan mempertahankan fungsi ginjal dalam 3 tahun setlah terapi awal dengan cyclophosphamide atau MMF.36 Pada studi 105 pasien, AZA dan MMF sama efektif dalam mencegah renal flares dalam 4 tahun dari terapi inisial dengan cyclophosphamide dosis rendah. Meskipun MMF terlihat sebagai obat maintenance pilihan pada hampir semua pasien lupus nefritis, terapi harus bergantung terhadap individu. Pada beberapa pasien, AZA dapat lebih baik, contoh pada pasien dengan remisi komplit yang ingin hamil. Terapi maintainence harus dilanjutkan minimal 3-4 tahun kecuali ada kontraindikasi. Hydroxychloroquine harus digunakan pada setiap pasien lupus kecuali ada kontraindikasi. Selain antimalaria, agen lainnya seperti (NSAID, androgen, minyak ikan) tidak menunjukan keuntungan pada pasien lupus nefritis.48

Membranous lupus nephropathyTerapi pada lupus ISN/RPS class V murni masih kontroversial. Remisi parsial atau lengkap lebih banyak pada kelompok dengan cyclophosphamide atau cyclosporine dibanding dengan prednisone (sendiri). Remisi lebih cepat pada kelompok cyclosporine namun relapse lebih sedikit pada kelompok cyclophosphamide.49 Remisi, relaps dan perjalanan kurang lebih sama pada pasien yang diberikan cyclophosphamide IV dan MMF oral. Pada pasien dengan proteinuria subnefrotik dan GFR yang baik direkomendasikan untuk terapi konservatif dengan ACEI atau ARB dan statin atau steroid jangka pendek atau CNI (calcineurin inhibitor). Untuk pasien nefrotik dan resiko progresi yang tinggi, MMF atau CNI dan cyclophosphamide disimpan untuk kasus yang refrakter.Pada pasien ini diberikan metilprednisolon dan MMF sebagai terapi untuk lupus nefritis. Omeprazole diberikan untuk mencegah pembentukan/progresi ulkus karena pemberian kortikosteroid dosis tinggi.Monitoring jangka panjangAngka relaps untuk lupus nefritis sekitar 35% - 60%, tergantung populasi, kriteria untuk relaps dan terapi maintenance yang digunakan. 50-52 Anti-dsDNA yang normal berarti resiko relaps lebih rendah setelah pengurangan terapi atau withdrawal pada fase kronis dari terapi maintenance.53 GFR yang stabil tanpa proteinuria juga berhubungan dengan pemberhentian obat imunosupresan yang berhasil. Tekanan darah, GFR/serum kreatinin, proteinuria dan sedimen urin harus dimonitor setiap 3 bulan.18 Serologi C3 dan C4 serta anti-dsDNA juga dimonitor setiap 3 atau 6 bulan. Biopsi ulang dapat dilakukan pada flare untuk mengkonfirmasi diagnosis dan pergantian dari class histologi.Sekitar 10 15 % pasien lupus nefritis mengalami ESRD dan lupus hanya merupakan 1 2 % pasien ESRD.54 Lupus ekstrarenal seringkali menjadi tidak aktif ketika mencapai ESRD, namun beberapa masih dapat mengalami penyakit ekstrarenal yang aktif yang membutuhkan imunosupresi sembari mendapatkan terapi pengganti ginjal. Harapan hidup pasien lupus-on-dialysis kurang lebih sama dengan penyakit primer ginjal lainnya.54

Dari: Comprehensive Clinical Nephrology, 5th editionIV. PROGNOSISQuo Ad Vitam: dubia ad bonamAtas dasar angka 5-year survival lupus (95-100%), lupus nefritis (95-100%) dan Class IV nefritis (90-95%), namun 10-15% pasien lupus nefritis mengalami ESRD.30,54Quo Ad Functionam: dubia ad bonamPerbaikan proteinuria dan pengunaan diuretik untuk edema berarti pasien akan dapat beraktifitas dengan gangguan yang minimal. Namun resiko infeksi karena penyakit SN sendiri serta pengunaan steroid dan imunosupresan membuat pasien menjadi rentan sakit yang akan menganggu aktifitas sehari-hari.Quo Ad Sanationam: dubia ad malamAngka relaps lupus nefritis dengan pengobatan ialah 35-60%, merupakan angka yang sangat tinggi.30

Terapi konservatif CKD

DAFTAR PUSTAKA 1. Humphreys MH. Mechanisms and management of nephrotic edema. Kidney Int. 1994;45:266-281.2. Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J. Comprehensive clinical nephrology.5th edition. Philadelphia: Saunders; 2015.p.184-1973. Pontus BP. Potassium homeostasis during nephrotic syndrome: signalling via filtered protein ?. J Physiol. 2011 Jul 15; 589(Pt 14): 3417.4. Rodriguez-Iturbe B, Herrera-Acosta J, Johnson RJ. Interstitial inflammation, sodium retention, and the pathogenesis of nephrotic edema: A unifying hypothesis. Kidney Int. 2002;62:1379-1384.5. Kyu KK, et al. Clinical significance of subjective foamy urine. Chonnam Med J. 2012 Dec; 48(3): 164168.6. Schur PH, et al. Hematologic manifestations of systemic lupus erythematosus in adults. UpToDate. 2013.7. Bunn, Furie. Acquired Coagulation Disorders. In: Bunn, Aster, editors. Pathophysiology of blood disorders. 1st edition. New York: McGraw-Hills; 2011.p.183-1868. Navaneethan SD, Pansini F, Perkovic V, et al. HMG CoA reductase inhibitors (statins) for people with chronic kidney disease not requiring dialysis. Cochrane Database Syst Rev. 2009;CD0077849. Glassock RJ. Prophylactic anticoagulation in nephrotic syndrome: A clinical conundrum. J Am Soc Nephrol. 2007;18:2221-2225.10. Aibek E,et al. Primary Nephrotic Syndrome in Adults as a Risk Factor for Pulmonary Embolism: An Up-to-Date Review of the Literature.International Journal of Nephrology, vol. 2014, Article ID 916760, 9 pages, 2014. doi:10.1155/2014/91676011. Sexton DJ, et al. Serum D-Dimer Concentrations in Nephrotic Syndrome Track with Albuminuria, Not Estimated Glomerular Filtration Rate. Am J Nephrol 2012;36:55456012. Jackson EK. Diuretics. In: Goodman & Gilmans the pharmacological basis of therapeutics. 11th edition.Newy York: McGraw-Hills;2006.p.737-76613. Daugas E, Nochy D, Huong DL, et al. Antiphospholipid syndrome nephropathy in systemic lupus erythematosus. J Am Soc Nephrol. 2002;13:42-52.14. Tektonidou MG. Renal involvement in the antiphospholipid syndrome (APS)-APS nephropathy. Clin Rev Allergy Immunol. 2009;36:131-140.15. Tektonidou MG, Sotsiou F, Moutsopoulos HM. Antiphospholipid syndrome nephropathy in catastrophic, primary, and systemic lupus erythematosus related APS. J Rheumatol. 2008;35:1983-1988.16. The Renal Association (UK). Proteinuria [Internet]. Renal Association; 2009 August [updated 2009 August 10; cited 2015 June 5]. Available from: http://www.renal.org/information-resources/the-uk-eckd-guide/proteinuria#sthash.ctbeDqvU.dpbs17. Hull RP, Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in adults. BMJ. 2008 May 24336(7654):1185918. Hahn BH, McMahon MA, Wilkinson A, et al. American College of Rheumatology guidelines for screening, treatment, and management of lupus nephritis. Arthritis Care Res (Hoboken). 2012 Jun64(6):797808 fulltext19. Kasjmir YI, et al. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia;2011.20. Wittler MA. Fluid, electrolytes and acid-base disorders. In: Cline DM, et al.Tintinallis Emergency medicine manual. New York: McGraw-Hills;2012.pg.36-3721. Panzer SE, Thurman JM. The patient with glomerular disease or vasculitis. In: Schrier RW,et al. Manual of nephrology.Philadelphia;2015.pg.180-200.22. Klahr S, Levey AS, Beck GJ, et al. The effects of dietary protein restriction and blood-pressure control on the progression of chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study group. N Engl J Med. 1994;330:877-884.23. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003;289:2560-257224. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Disease: Improving Global Outcomes. Kidney Int. 2013;3(suppl 1):1-150.25. Maschio G, Alberti D, Janin G, et al. Effect of the angiotensin-convertingenzyme inhibitor benazepril on the progression of chronic renal insufficiency. The Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibition in Progressive Renal Insufficiency Study Group. N Engl J Med. 1996;334:939-945.26. GISEN. Randomised placebo-controlled trial of effect of ramipril on decline in glomerular filtration rate and risk of terminal renal failure in proteinuric, non-diabetic nephropathy. Gruppo Italiano di Studi Epidemiologici in Nefrologia. Lancet. 1997;349:1857-1863.27. Jafar TH, Schmid CH, Landa M, et al. Angiotensin-converting enzyme inhibitors and progression of nondiabetic renal disease: A meta-analysis of patient level data. Ann Intern Med. 2001;135:73-87.28. Remuzzi G, Benigni A, Remuzzi A. Mechanisms of progression and regression of renal lesions of chronic nephropathies and diabetes. J Clin Invest. 2006;116:288-29629. Sarasin FP, Schifferli JA. Prophylactic oral anticoagulation in nephrotic patients with idiopathic membranous nephropathy. Kidney Int. 1994;45: 578-585.30. Appel GB, Jayne D, Rovin BH. Lupus nephritis. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J. Comprehensive clinical nephrology.5th edition. Philadelphia: Saunders; 2015.p.303-31631. Bertsias GK, Tektonidou M, Amoura Z, et al. Joint European League Against Rheumatism and European Renal Association-European Dialysis and Transplant Association (EULAR/ERA-EDTA) recommendations for the management of adult and paediatric lupus nephritis. Ann Rheum Dis. 2012;71:1771-1782.32. Tsakonas E, Joseph L, Esdaile JM, Choquette D, Sencal JL, Cividino A, et al. A long-term study of hydroxychloroquine withdrawal on exacerbations in systemic lupus erythematosus. The Canadian Hydroxychloroquine Study Group.Lupus. 1998;7(2):80-533. Chan TM, Li FK, Tang CSO, et al. Efficacy of mycophenolate mofetil in patients with diffuse proliferative lupus nephritis. N Engl J Med. 2000;343:1156-1162.34. Chan TM, Tse KC, Tang CSO, et al. Long-term outcome of patients with diffuse proliferative lupus nephritis treated with prednisolone and oral cyclophosphamide followed by azathioprine. Lupus. 2005;14:265-272.35. Rovin BH, Parikh SV, Hebert LA, et al. Induction therapy in severe lupus nephritis: Can MMF be considered the drug of choice? Clin J Am Soc Nephrol. 2013;8:147-153.36. Dooley MA, Jayne D, Ginzler EM, et al. Mycophenolate versus azathioprine as maintenance therapy for lupus nephritis. N Engl J Med. 2011;365:1886-189537. Chen YE, Korbet SM, Katz RS, et al. Value of a complete or partial remission in severe lupus nephritis. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:46-53.38. Mok CC, Ho CTK, Chan KW, et al. Outcome and prognostic indicators of diffuse proliferative lupus glomerulonephritis treated with sequential oral cyclophosphamide and azathioprine. Arthritis Rheum. 2002;46:1003-1013.39. Contreras G, Pardo V, Leclercq B, et al. Sequential therapies for proliferative lupus nephritis. N Engl J Med. 2004;350:971-980.40. McKinley A, Park E, Spetie DN, et al. Oral cyclophosphamide for lupus glomerulonephritis: An under-utilized therapeutic option. Clin J Am Soc Nephrol. 2009;4:1754-1760.41. Houssiau FA, Vasconcelos C, DCruz D, et al. Immunosuppressive therapy in lupus nephritis: The Euro-Lupus Nephritis Trial, a randomized trial of low-dose versus high-dose intravenous cyclophosphamide. Arthritis Rheum. 2002;46:2121-2131.42. Grootscholten C, Ligtenberg G, Hagen EC, et al. Azathioprine/methylprednisolone versus cyclophosphamide in proliferative lupus nephritis. A randomized, controlled trial. Kidney Int. 2006;70:732-742.43. Appel GB, Contreras G, Dooley MA, et al. Mycophenolate mofetil versus cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. 2009;20:1103-1112.44. Mok CC, Ho CTK, Siu YP, et al. Treatment of diffuse proliferative lupus glomerulonephritis: A comparison of two cyclophosphamide-containing regimens. Am J Kidney Dis. 2001;38:256-264.45. Bao H, Liu ZH, Xie HL, et al. Successful treatment of class V+IV lupus nephritis with multitarget therapy. J Am Soc Nephrol. 2008;19:2001-2010.46. Ioannidis JPA, Boki KA, Katsorida ME, et al. Remission, relapse, and re-remission of proliferative lupus nephritis treated with cyclophosphamide. Kidney Int. 2000;57:258-264.47. Contreras G, Pardo V, Leclercq B, et al. Sequential therapies for proliferative lupus nephritis. N Engl J Med. 2004;350:971-98048. Pons-Estel GJ, Alarcon GS, McGwin G Jr, et al. Protective effect of hydroxychloroquine on renal damage in patients with lupus nephritis. LXV. Data from a multiethnic US cohort. Arthritis Rheum. 2009;61:830-83949. Austin HA, Illei GG, Braun MJ, Balow JE. Randomized, controlled trial of prednisone, cyclophosphamide, and cyclosporine in lupus membranous nephropathy. J Am Soc Nephrol. 2009;20:901-911.50. Illei GG, Takada K, Parkin D, et al. Renal flares are common in patients with severe proliferative lupus nephritis treated with pulse immunosuppressive therapy: Long-term follow-up of a cohort of 145 patients participating in randomized controlled studies. Arthritis Rheum. 2002;46:995-1002.51. Mosca M, Bencivelli W, Neri R, et al. Renal flares in 91 SLE patients with diffuse proliferative glomerulonephritis. Kidney Int. 2002;61:1502-1509.52. Ponticelli C, Moroni G. Flares in lupus nephritis: Incidence, impact on renal survival and management. Lupus. 1998;7:635-638.53. Moroni G, Gallelli B, Quaglini S, et al. Withdrawal of therapy in patients with proliferative lupus nephritis: Long-term follow-up. Nephrol Dial Transplant. 2006;21:1541-154854. Nossent HC. End-stage renal disease in the patient with SLE. In: Lewis EJ, Schwartz MM, Korbet SM, eds. Lupus Nephritis. New York: Oxford University Press; 2009:284-304.