GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

54
17 BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1. Geomorfologi Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen adalah proses proses yang bersifat destruktif, antara lain berupa erosi, pelapukan, dan sebagainya. Proses endogen adalah proses yang bersifat konstruktif, antara lain berupa pengangkatan, perlipatan, pematahan, dan sebagainya. Dari analisis geomorfologi maka dapat diketahui bagaimana proses-proses geologi yang terjadi dan membentuk bentang alam sekarang atau hari ini. Faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentang alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi mengenai geologi bentang alam tersebut. Proses permukaan yang sedang terjadi pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan menjelaskan seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung. Proses permukaan yang sedang terjadi pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan menjelaskan seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung (Tiranda H, 2012). Pembagian satuan geomorfologi di dasarkan oleh analisis geomorfologi yang bersifat pragmatik yaitu cenderung menampilkan informasi geomorfologi yang bersifat khusus dan rinci (detail) karena peta geomorfologi pragmatik merupakan peta untuk tujuan tertentu dan khusus. Skala peta geomorfologi pragmatik adalah 1:25.000 sampai 1:5.000, sehingga unsur lahan (land element) dari aspek - aspek geomorfologi yang bersifat rinci, seperti alur erosi, arah arus sungai / pantai, arah ombak, arah sedimentasi, arah lelehan lava gunungapi, dapat tercermin pada peta geomorfologi pragmatik. Pada analisis geomorfologi ini diperlukan simbol warna untuk membedakan jenis bentang alam yang terbentuk. Simbol warna digunakan untuk aspek geomorfologi yang jelas dan memiliki arti penting di dalam peta tersebut, seperti aspek morfogenetik di dalam pemetaan geomorfologi, sehingga aspek tersebut disimbolkan dengan warna.

Transcript of GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Page 1: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

17

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1. Geomorfologi

Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan

proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen adalah proses – proses yang

bersifat destruktif, antara lain berupa erosi, pelapukan, dan sebagainya. Proses

endogen adalah proses yang bersifat konstruktif, antara lain berupa pengangkatan,

perlipatan, pematahan, dan sebagainya. Dari analisis geomorfologi maka dapat

diketahui bagaimana proses-proses geologi yang terjadi dan membentuk bentang

alam sekarang atau hari ini. Faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentang

alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi

mengenai geologi bentang alam tersebut. Proses permukaan yang sedang terjadi

pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan menjelaskan

seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung. Proses permukaan yang sedang

terjadi pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan

menjelaskan seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung (Tiranda H, 2012).

Pembagian satuan geomorfologi di dasarkan oleh analisis geomorfologi yang

bersifat pragmatik yaitu cenderung menampilkan informasi geomorfologi yang

bersifat khusus dan rinci (detail) karena peta geomorfologi pragmatik merupakan

peta untuk tujuan tertentu dan khusus. Skala peta geomorfologi pragmatik adalah

1:25.000 sampai 1:5.000, sehingga unsur lahan (land element) dari aspek - aspek

geomorfologi yang bersifat rinci, seperti alur erosi, arah arus sungai / pantai, arah

ombak, arah sedimentasi, arah lelehan lava gunungapi, dapat tercermin pada peta

geomorfologi pragmatik. Pada analisis geomorfologi ini diperlukan simbol warna

untuk membedakan jenis bentang alam yang terbentuk. Simbol warna digunakan

untuk aspek geomorfologi yang jelas dan memiliki arti penting di dalam peta

tersebut, seperti aspek morfogenetik di dalam pemetaan geomorfologi, sehingga

aspek tersebut disimbolkan dengan warna.

Page 2: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

18

Menurut Verstappen (1968) dan Van Zuidam (1985) bahwa proses endogen dan

eksogen masa lalu dan sekarang merupakan faktor - faktor perkembangan yang

paling menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan

jelas dan digunakan simbol warna. Hal ini dapat dilihat pada (Tabel III.1).

Tabel III.1 Warna rekomendasi untuk simbol satuan geomorfologi berdasarkan aspek genetik Menurut Verstappen (1968) dan Van Zuidam (1985).

KELAS GENETIK SIMBOL WARNA

Bentuk lahan asal struktural Ungu / violet

Bentuk lahan asal gunungapi Merah

Bentuk lahan asal denudasional Coklat

Bentuk lahan asal laut (marine) Hijau

Bentuk lahan asal sungai (fluvial) Biru tua

Bentuk lahan asal glasial (es) Biru muda

Bentuk lahan asal aeolian (angin) Kuning

Bentuk lahan asal karst (gamping) Jingga (Orange)

Selain melihat aspek morfogenetik Pada analisis geomorfologi yang bersifat

pragmatik ini mengaplikasikan aspek morfometri atau klasifikasi Kemiringan

lereng terutama untuk menghitung dan mengetahui tingkat erosi yang berlangsung

serta kemungkinan gerakan tanah yang akan terjadi pada lereng tersebut.

Verstappen (1968) dan Van Zuidam (1985) membagi kemiringan lereng menjadi

6 kelas lereng, yaitu (1) kelas 0o – 2o, (2) kelas 2o – 5o, (3) kelas 5o – 15o, (4)

kelas 15o – 30o, (5) kelas 30o – 55o dan (6) kelas diatas 55o (Tabel III.2)

menunjukkan berbagai kelas lereng, proses yang menjadi ciri lahan, kondisi lahan

dan simbol warna untuk lahan yang disarankan. Kelas lereng yang menunjukkan

kesamaan lahan kritis disertai dengan proses - proses pada lereng tertentu yang

menonjol. Kegiatan konservasi tertentu dapat juga dilakukan terhadap satuan

bentuklahan tertentu yang memiliki proses yang menonjol atau nilai kelas

konservasi.

Page 3: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

19

Peta geomorfologi pragmatik biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan suatu

kegiatan yang bersifat rinci (detail), seperti kegiatan penelitian teknik, lingkungan,

kebencanaan, hidrologi, dan kesesuaian lahan, sehingga penamaan peta lebih

cenderung mencerminkan maksud dan tujuan pemetaan yang bersifat khusus,

seperti peta morfokonservasi (lingkungan), peta morfohidrologi (hidrologi), peta

morfostruktur (struktur geologi), peta bahaya gunungapi, dan peta kesesuaian

lahan (land suitability map) dengan kesamaan karakteristik bentuk muka bumi

yang diamati dengan menggunakan citra SRTM, peta topografi, dan pengamatan

langsung di lapangan. Penamaan satuan geomorfologi dilakukan berdasarkan pada

bentuk morfologi (morfografi), asal-usul terbentuknya (morfogenetik), dan tingkat

kemiringan lereng (morfometri) yang mengacu pada klasifikasi bentang alam

menurut (Van Zuidam, 1985).

Tabel III.2. Hubungan kelas lereng dengan sifat – sifat proses dan kondisi lahan disertai

simbol warna yang disarankan. (sumber : Van Zuidam, 1985).

Kelas Lereng

Proses Karakteristik dan Kondisi lahan Simbol warna

Keterangan

0o – 2o (0 - 2 %)

Datar atau hampir datar, tidak ada erosi yang besar, dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering.

Hijau tua Datar -

Hampir Datar

2o – 4o (2 - 7 %)

Lahan memiliki kemiringan lereng landai, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas yang sangat dalam.

Hijau Muda

Lereng Sangat Landai

4o – 8o (7 - 15 %)

Lahan memiliki kemiringan lereng landai sampai curam, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi.

Kuning Muda

Lereng Landai

8o – 16o (15 - 30 %)

Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam, rawan terhadap bahaya longsor, erosi permukaan dan erosi alur.

Kuning Tua

Lereng Agak

Curam

16o – 35o (30 - 70 %)

Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam sampai terjal, sering terjadi erosi dan gerakan tanah dengan kecepatan yang perlahan - lahan. Daerah rawan erosi dan longsor

Merah Muda

Lereng Curam

Page 4: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

20

Kelas Lereng

Proses Karakteristik dan Kondisi lahan Simbol warna

Keterangan

350 - 550 (70 - 140 %)

Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, sering ditemukan singkapan batuan, rawan terhadap erosi.

Merah Tua Lereng Sangat

Curam

> 550 ( > 140% )

Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, singkapan batuan muncul di permukaan, rawan tergadap longsor batuan.

Ungu Tua

Lereng Curam Sekali

III.1.1. Analisis Citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM)

Berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan kombinasi citra Shuttle Radar

Topography Mission (SRTM) dan data Digital Elevation Model (DEM) daerah

penelitan yang diperoleh dari perangkat lunak aplikasi Global Mapper yang

terlihat pada (Gambar III.1) Daerah penelitian berada pada rentang elevasi 0

hingga 345 meter diatas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam

(1985) termasuk dataran hingga perbukitan. Bentuk lahan yang berkembang

adalah perbukitan tidak beraturan, beberapa ditemukan tidak menerus, dan ada

pula punggungan dengan kelurusan – kelurusan yang relatif panjang dan menerus.

Dengan metode slope shader untuk melihat rona bayangan yang terbentuk pada

citra raster DEM daerah penelitian pada perangkat lunak aplikasi Global mapper,

dari metode tersebut terlihat bahwa kemiringan lereng dari lembahan-lembahan

yang ada yaitu berbentuk V atau lembahan yang relatif curam dan sempit dan ada

juga yang berbentuk U atau lembahan yang relatif landai dan lebar.

Page 5: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

21

Gambar III. 1. Citra DEM daerah penelitian

III.1.2. Analisis Morfografi

Dari hasil analisis morfografi menggunakan perangkat lunak aplikasi Global

mapper yang dilakukan berdasarkan hubungan perbedaan ketinggian dengan

unsur morfografi menurut (van Zuidam, 1985). Daerah penelitian terbagi dalam

beberapa unsur morfografi yaitu: dataran rendah dengan ketinggian absolut kurang

dari 50 meter diatas permukaan laut, dataran rendah pedalaman dengan ketinggian

absolut 50 – 100 meter diatas permukaan laut, perbukitan rendah dengan

ketinggian absolut 100 – 200 meter diatas permukaan laut, dan perbukitan dengan

ketinggian absolut 200 – 500 meter diatas permukaan laut (Gambar III.2).

Page 6: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

22

Gambar III. 2. Peta Morfografi daerah penelitian

III.1.3. Analisis Morfometri

Dari hasil analisis morfometri menggunakan perangkat lunak aplikasi ArcGIS

yang dilakukan berdasarkan Hubungan kelas lereng dengan sifat – sifat proses dan

kondisi lahan menurut (van Zuidam, 1985). Daerah penelitian terbagi 6 satuan

kelas lereng yaitu: datar, agak landai, landai, agak curam, curam, dan sangat

curam (Gambar III.3).

III.1.4. Analisis Morfogenetik

Dari hasil morfogenetik daerah penelitian menggunakan data dari hasil analisis

sebelumnya (morfometri dan morfografi) dan klasifikasi van Zuidam dan

(Versptappen, 1983). Bahwa bentuk morfologi daerah penelitian dikontrol oleh

proses eksogen dan endogen. Proses eksogen yang mempengaruhi bentuk

morfologi daerah penelitian yaitu pelapukan, sedimentasi, dan erosi, sedangkan

proses endogen yang mempengaruhi bentuk morfologi daerah penelitian yaitu

Tektonik dan denudasional (pengikisan) (Tabel III.3).

Page 7: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

23

Gambar III. 3. Peta Morfometri daerah penelitian.

III.1.5. Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai di suatu daerah sangat dikontrol oleh struktur, litologi, dan

kemiringan lereng pada suatu wilayah. Berdasarkan pengamatan dari

kecenderungan melalui peta topografi, yakni pola aliran sungai dikontrol oleh

topografi dan ada sebagian pola aliran sungai dikontrol oleh struktur sesar dan

kekar (Howard, 1967). Berdasarkan klasifikasi sungai menurut Howard, (1967).

terlihat bahwa pola aliran sungai yang berada di daerah penelitian berupa pola

aliran sungai paralel dan subdendritik (Gambar III.4).

Pola paralel pada daerah ini dicirikan oleh aliran sungai utama dan anak sungai

mengalir pada arah yang relatif sama yang umumnya cenderung kearah barat

sampai baratdaya, kemiringan lereng yang landai sampai agak curam, dan terdapat

pada daerah bentuklahan perbukitan yang memanjang yang berada sebelah barat

daerah penelitian.

Page 8: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

24

Pola aliran subdendritik di daerah ini dicirikan dengan letaknnya yang berada di

daerah yang berkontur cenderug miring, dan selain karena kontrol resistensi

batuan pola aliran ini juga dikontrol oleh pengaruh struktur geologi seperti kekar

dan sesar.

Gambar III. 4. Peta pola aliran sungai Pada daerah Penelitian.

Page 9: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

25

III.1.7. Satuan Geomorfologi

Dalam klasifikasi ini geomorfologi daerah penelitian terbagi atas 5 satuan

geomorfologi yaitu: Satuan Dataran Fluvial, Satuan Perbukitan Denudasional

Landai, Satuan Perbukitan Struktural Landai, Satuan Perbukitan Struktural Agak

Curam, Dan Satuan Perbukitan Struktural Curam seperti terlihat pada (Gambar

III.5) dan (Tabel III.3).

Gambar III. 5. Peta Geonorfologi daerah penelitian

Page 10: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

26

Tabel III.3. Keterangan Geomorfologi Daerah Penelitian.

III.1.7.1. Satuan Dataran Fluvial

Satuan ini menempati 3 km2 atau 6% dari luas daerah penelitian, berada di sebelah

baratdaya daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan simbol berwarna biru pada

peta geomorfologi daerah penelitian, yang memiliki elevasi topografi yaitu 0 -

12,5 mdpl. Dengan morfografi berupa pola aliran sungai paralel, bentuk lembah U

dengan kemiringan lereng yang relatif datar. Proses geomorfik yang berlangsung

pada satuan ini dipengaruhi oleh sedimentasi dan erosi, satuan ini disusun oleh

bongkah kerakal dan kerikil (Gambar III.6).

Gambar III. 6. Kenampakan Dataran Fluvial

Page 11: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

27

III.1.7.2. Satuan Perbukitan Denudasional Landai

Satuan ini menempati 10 km2 atau 20% dari luas daerah penelitian, berada di

sebelah utara sampai selatan daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan

simbol berwarna coklat pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang

memiliki elevasi topografi yaitu 87,5 - 162,5 mdpl. Morfografi berupa pola

aliran sungai sub – dendritik, bentuk lembah U, dan kemiringan lereng yang

landai. Proses geomorfik yang berlangsung pada satuan ini dipengaruhi oleh

proses endogenik berupa denudasi dan proses eksogenik berupa pelapukan dan

erosi. Satuan ini disusun oleh bongkah, tuf, tonalit, dan sekis. Satuan ini

menunjukkan morfologi dataran dan perbukitan bergelombang akibat dari

proses erosi karena pelapukan batuan – batuan yang menjadi penyusun dari

tubuh perbukitan, yang membuat perbukitan di daerah ini menjadi terkikis dan

mengalami denudasi dan sebagian sudah tertutupi oleh vegetasi (Gambar III.7).

Gambar III. 7. Kenampakan perbukitan terdenudasi landai (a) dan perbukitan terdenudasi (b).

pada Satuan Bentang Alam Asal Perbukitan Denudasional Landai.

III.1.7.3. Satuan Perbukitan Struktural Landai

Satuan ini menempati 14 km2 atau 24% dari luas daerah penelitian, berada di

sebelah barat dan utara daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan simbol

berwarna ungu muda pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang memiliki

elevasi topografi yaitu 12,5 - 225 mdpl. Morfografi berupa pola aliran sungai sub

– dendritik dengan bentuk lembah U – V dengan kemiringan lereng yang landai,

proses geomorfik yang berlangsung pada satuan ini dipengaruhi oleh proses

endogenik berupa aktivitas tektonik dan proses eksogenik berupa pelapukan dan

erosi, satuan ini disusun oleh tuf dan sekis. (Gambar III.8).

a. b.

Barat daya Utara

Page 12: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

28

Gambar III. 8. Kenampakan Perbukitan Struktural Landai

III.1.7.4. Satuan Perbukitan Struktural Agak Curam

Satuan ini menempati 15 km2 atau 30% dari luas daerah penelitian, berada di

sebelah barat daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan simbol berwarna ungu

pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang memiliki elevasi topografi yaitu

125 – 175 mdpl. Morfografi berupa pola aliran sungai sub – dendritik dengan

bentuk lembah V dan kemiringan lereng yang agak curam. Proses geomorfik

yang berlangsung pada satuan ini dipengaruhi oleh proses endogenik berupa

proses tektonik dan proses eksogenik berupa pelapukan dan erosi, satuan ini

disusun oleh tuf, breksi, dan sekis (Gambar III.9).

III.1.7.5. Satuan Perbukitan Struktural Curam

Satuan ini menempati 10 km2 atau 20% dari luas daerah penelitian, berada di

sebelah baratlaut sampai selatan daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan

simbol berwarna ungu tua pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang

memiliki elevasi topografi yaitu 6,25 – 325 mdpl. Morfografi berupa pola aliran

sungai Paralel hingga sub - dendritik dengan bentuk lembah V dan kemiringan

lereng yang curam. Proses geomorfik yang berlangsung pada satuan ini

dipengaruhi oleh proses endogenik berupa proses tektonik berupa pelapukan dan

erosi, satuan ini disusun oleh tuf dan sekis (Gambar III.9).

Page 13: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

29

Gambar III. 9. Kenampakan Satuan Perbukitan Struktural Agak Curam sampai Curam.

III.1.8. Tahapan Geomorfik

Tahapan atau Proses – proses geomorfik adalah semua perubahan fisik dan kimia

yang terjadi akibat proses-proses perubahan muka bumi. Tahapan geomorfik yang

terjadi di daerah penelitian menunjukan proses – proses geomorfologi yang

berkembang yang menjadi pengontrol bentukan morfologi yang ada pada daerah

penelitian Proses – proses geomorfologi tersebut yaitu tenaga endogen seperti

tektonik atau struktur geologi, tekstur permukaan, dan jenis batuan, sedangkan

proses eksogen yang berlaku yaitu pelapukan, pengikisan, dan pengendapan.

Tahapan geomorfik pada daerah penelitian terjadi akibat adanya pengaruh dari

tenaga endogen dan tenaga eksogen serta pengaruh dari struktur geologi yang ada

pada daerah penelitian. Tenaga endogen yang dominan bekerja yaitu denudasional

dan tektonisme, daerah dengan elevasi tinggian atau perbukitan yang memiliki

kelurusan dengan arah tertentu mengindikasikan adanya kontrol tektonik atau

struktur yang membentuk morfologi perbukitan pada daerah tersebut, sedangkan

tenaga eksogen yang dominan bekerja yaitu pelapukan dan erosi. Pelapukan dan

erosi pada daerah penelitian juga menghasilkan ekspresi yang berbeda pada setiap

litologinya. Pada umumnya litologi yang lunak memberikan morfologi berupa

rendahan karena sifatnya yang kurang resisten. Sedangkan litologi yang lebih

keras umumnya memberikan dampak morfologi yang lebih tegas seperti

perbukitan karena sifatnya yang resisten terhadap pelapukan dan erosi.

Page 14: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

30

Tahapan geomorfologi yang teramati di daerah penelitian yaitu tahapan muda-tua.

Tahap geomorfik muda dicirikan oleh beberapa morfografi perbukitan dengan

lembah yang berbentuk V dan lereng yang curam yang disusun oleh litologi tuf

kristal dan breksi yang umumnya berada di sebelah barat daerah penelitian

tepatnya berada di kelurahan Ketapang Kuala (Gambar III.10). Tahapan

geomorfik tua teramati sebelah timur daerah penelitian yang dicirikan oleh

morfografi perbukitan dengan kemiringan lereng yang relatif landai sampai agak

curam dan terdapatnya lembah berbentuk U yang disusun oleh litologi tuf dan

bongkah yang terdapat di daerah Kaliasin dan Lematang (Gambar III.10).

Gambar III. 10. Kenampakan Tahapan Geomorfik Muda dengan lembah yang berbemtuk V (a) dan

Tahapan Geomorfik Tua dengan lembah yang berbentuk U (b) pada daerah penelitian.

III.2. Stratigrafi

Dalam peta geologi regional Lampung Mangga dkk., (1993) daerah penelitian

termasuk ke dalam Lembar Tanjungkarang dan termasuk ke dalam beberapa

formasi yang berumur Paleozoikum sampai Kuarter diendapkan secara tidak

selaras dari tua ke muda diantaranya yaitu, Sekis Waygalih (Pzgs) Kuarsit

Sidodadi (Pzgk), Granodiorit Sulan (Kgdsn) Formasi Tarahan (Tpot), dan

Formasi Lampung (QTl). Berdasarkan jenis batuan, keseragaman, dan ciri-ciri

fisik batuan yang dapat diamati di lapangan dan laboratorium, stratigrafi daerah

penelitian dapat dikelompokkan menjadi 6 satuan tidak resmi dari tua ke muda,

yang terpetakan pada peta geologi daerah penelitian skala 1 : 25.000 yaitu Satuan

Sekis Klorit dan Sekis Muskovit, Satuan Tonalit, Satuan Tuf Kristal, Satuan Tuf

Gelas, dan Endapan aluvial (Gambar III.11).

Utara Selatan Selatan Utara

a. b.

Page 15: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

31

Geologi daerah penelitian memiliki hubungan stratigrafi ketidakselarasan

nonconformity antara satu satuan dengan satuan lainnya, ketidakselarasan tersebut

disebabkan karena adanya jeda pengendapan dan erosi dalam jangka panjang oleh

Satuan Sekis Klorit, Satuan Sekis Muskovit dan Satuan Tonalit sebelum

pengendapan Satuan Tuf Kristal dan Satuan Tuf Gelas pengelompokkan batuan

menurut litostratigrafi menggunakan tata nama satuan tidak resmi (Sandi

Stratigrafi Indonesia, 1996) (Gambar III.12).

Gambar III. 11. Peta Geologi Daerah Penelitian.

Page 16: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

32

Gambar III. 12. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian.

III.2.1. Satuan Sekis Muskovit

III.2.1.1. Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini menempati ± 8% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan

menempati bagian utara daerah penelitian. Pada peta geologi (Lampiran A-2),

satuan ini diberi warna ungu, dengan foliasi berarah baratlaut – tenggara.

Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pengukuran ketebalan dengan penampang

geologi daerah penelitian dan disebandingkan dengan penampang geologi Lembar

Tanjung Karang oleh Mangga dkk., (1993) adalah lebih dari 800 meter.

Page 17: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

33

III.2.1.2. Ciri Litologi

Secara megaskopis satuan ini bercirikan warna segar abu – abu kehitaman dan

warna lapuk abu – abu kecoklatan dengan struktur foliasi (schistose), tekstur

lepidoblastik, ukuran mineral berkisar antara 0,5 – 0,25 mm, kondisi singkapan

lapuk hingga sangat lapuk.

Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada

perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 5 kali dan pada pengamatan

mikroskopis dicirikan dengan struktur foliasi (schistose), tekstur lepidoblastik

yaitu tekstur yang menunjukkan mineral penyusun yang berbentuk pipih seperti

muskovit dan serisit pada batuan metamorf yang terbentuk oleh kontrol tekanan

dan temperatur, ukuran mineral berkisar antara 0,5 – 0,25 mm, yang terdiri dari

mineral kuarsa yang bercirikan warna putih pada pengamatan PPL (// Nikol), XPL

(X Nikol) berwarna putih sampai abu – abu kehitaman, relief rendah tanpa

belahan, pleokroisme rendah, bentuk kristal anhedral, mineral ini hadir menyebar

dalam sayatan dengan Kelimpahan 60%. Mineral muskovit pada pengamatan

PPL bercirikan warna abu – abu kecoklatan, pada pengamatan XPL berwarna

kuning kecoklatan, relief sedang sampai tinggi, pleokroisme sedang, belahan 1

arah, subhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 30%. Mineral

serisit dalam keadaan PPL berwarna abu – abu kecoklatan, pada XPL warna

kuning kecoklatan, relief dan pleokroisme rendah, bentuk kristal dan belahan

tidak nampak, mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan

sebesar 10%. Berdasarkan hasil pengamatan ciri – ciri yang dilakukan dan

klasifikasi menurut Gillen, (1982) litologi pada satuan ini merupakan tergolong

dalam batuan sekis (Gambar III.13).

Page 18: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

34

Gambar III. 13. Kenampakan singkapan MT-10 pada satuan sekis muskovit (atas) dan kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya (bawah).

III.2.1.3. Hubungan Stratigrafi dan Lingkungan Pembentukan

Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan

ini dapat disetarakan dengan Kuarsit Sidodadi (Pzgk) yang termasuk dalam

kompleks batuan malih Gunungkasih yang berumur Paleozoikum. Lingkungan

pembentukan satuan ini berdasarkan analisis petrografi dan didukung oleh

interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili data pada lokasi

pengamatan MT-10 adalah batuan pada satuan ini terbentuk pada tekanan dan

temperatur menengah.

Page 19: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

35

Berdasarkan dari kenampakan mineral yang menjadi penyusun utama dari batuan

tersebut berupa mineral muskovit yang tergolong dalam kelompok mineral yang

hadir pada batuan asal pelitik (sedimen) dan termasuk ke dalam fasies

metamorfosa Sekis Hijau berderajat rendah sampai menengah, dimana pada

umumnya kelompok fasies ini terjadi pada daerah yang penyebarannya sangat

luas seperti zona subduksi dan sabuk pegunungan orogenik yang merupakan hasil

dari tumbukan 2 kerak bumi (Tabel III.4) fasies tersebut dikontrol pada

kedalaman antara 14 – 10 kilometer dibawah permukaan bumi dengan tekanan

sebesar 4 – 5 kilobar dan temperatur sebesar 300 – 450°C (Bucher & Grapes,

2011) (Gambar III.14).

Tabel III.4. Fasies Metamorfosa Pada Sampel MT-10.

Page 20: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

36

Gambar III. 14. Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Skinner, 1992; dalam Noor, 2012) pada Sampel

MT-10.

III.2.2. Satuan Sekis Klorit

III.2.2.1. Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini menempati ± 17% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan

menempati bagian selatan daerah penelitian. Pada peta geologi (Lampiran A-1),

satuan ini diberi warna ungu muda. Satuan ini tersingkap baik di daerah Baruranji

(stasiu pengamatan MT-68) dengan foliasi berarah baratlaut – tenggara. Satuan ini

memiliki kedudukan kontak dengan satuan tuf kristal berarah timur laut – barat

daya dengan kemiringan berkisar antara 30o – 45o. Ketebalan dari satuan ini

berdasarkan pengukuran ketebalan dengan penampang geologi daerah penelitian

dan disebandingkan dengan penampang geologi lembar Tanjung Karang Mangga

dkk, (1993) adalah lebih dari 800 meter.

III.2.2.2. Ciri Litologi

Pada sekis klorit berdasarkan analisis secara megaskopis bercirikan warna segar

abu – abu kehijauan sedangkan warna lapuknya abu – abu kehitaman, ukuran

mineral (0,5 - 0,25 mm) dengan struktur foliasi (schistose), tekstur lepidoblastik,

dan kondisi singkapan segar sampai dengan sangat lapuk.

Page 21: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

37

Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada

perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 5 kali dan pada pengamatan

terdapat struktur foliasi (schistose), dengan tekstur lepidoblastik ukuran mineral

(0,5 - 0,25 mm), yang terdiri dari mineral kuarsa yang bercirikan warna putih pada

pengamatan PPL (// Nikol), XPL (X Nikol) berwarna abu – abu kehitaman, relief

rendah tanpa belahan, pleokroisme rendah, bentuk kristal anhedral, mineral ini

hadir menyebar dalam sayatan dengan Kelimpahan 50%. Mineral klorit bercirikan

warna putih keabuan pada pengamatan PPL (// Nikol), XPL (X Nikol) berwarna

hijau kebiruan, belahan 2 arah, pleokroisme lemah, bentuk kristal subhedral,

mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan Kelimpahan 35%. Mineral

epidot bercirikan warna abu – abu kehitaman PPL (// Nikol), XPL (X Nikol)

berwarna coklat kehijauan, relief rendah, bentuk kristal subhedral, pleokroisme

dan belahan tidak nampak, mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan

kelimpahan 10%. Berdasarkan pengamatan ciri – ciri yang dilakukan dan

klasifikasi menurut Gillen, (1982) litologi pada satuan ini merupakan tergolong

dalam batuan sekis karena ditunjukan adanya struktur foliasi (Gambar III.15).

Page 22: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

38

Gambar III. 15. Kenampakan singkapan MT-68 pada satuan sekis klorit (a) dan kenampakannya

secara petrografi serta mineral penyusunnya (b).

III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi dan Lingkungan Pembentukan

Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk, (1994) satuan

ini dapat disetarakan dengan Sekis Waygalih (Pzgs) yang masih termasuk dalam

kompleks batuan malih Gunungkasih yang berumur Paleozoikum. Lingkungan

pembentukan satuan ini berdasarkan analisis petrografi dan didukung oleh

interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili data pada lokasi

pengamatan MT-68 adalah batuan pada satuan ini terbentuk pada tekanan dan

temperatur menengah berdasarkan dari kenampakan mineral yang menjadi

penyusun utama dari batuan tersebut berupa mineral klorit dan epidot.

Page 23: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

39

Kelompok mineral terebut tergolong dalam kelompok fasies metamorfosa sekis

hijau berderajat rendah sampai menengah yang termasuk ke dalam jenis batuan

asal (protolith) metabasalt (Tabel III.5). Pada umumnya kelompok fasies ini

terjadi pada daerah yang penyebarannya sangat luas seperti zona subduksi dan

sabuk pegunungan orogenik yang merupakan hasil dari tumbukan 2 kerak bumi.

Berdasarkan kehadiran mineral pada sampel batuan ini umumnya fasies ini

dikontrol pada kedalaman antara 14 - 10 kilometer dibawah permukaan bumi

dengan tekanan sebesar 4 – 5 kilobar dan temperatur sebesar 300 – 450°C

(Gambar III.16).

Tabel III.5. Fasies Metamorfosa Pada Sampel MT-68.

Page 24: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

40

Gambar III. 16. Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Skinner, 1992; dalam Noor, 2012) pada Sampel

MT-68.

Kompleks batuan malih Gunungkasih sendiri ditafsirkan sebagai bagian dari

batuan gunungapi malih dan termasuk bagian dari lempeng mikro dan terpisah

dari bagian lain di sumatera yang tersingkap setempat di daerah Lampung. Satuan

ini juga dapat disetarakan dengan Formasi Alas di Sumatera Bagian Utara

menurut Cameron dkk., (1982; dalam Mangga dkk., 1994), dengan litologi yang

mempunyai ciri khas yang sama dengan batuan gunungapi malih kompleks

Gunungkasih (Mangga dkk., 1994).

III.2.3. Satuan Tonalit

III.2.3.1. Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini menempati ± 3% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan

menempati bagian timur daerah penelitian. Pada peta geologi daerah penelitian

(Lampiran A-1), satuan ini diberi warna merah. Satuan ini tersingkap baik di

daerah Kaliasin (BK-35) dan di daerah Lematang (BK-18). Elevasi dari satuan ini

berkisar antara 100 sampai dengan 150 meter diatas permukaaan laut dan

ketebalan dari satuan ini berdasarkan pengukuran ketebalan menggunakan

penampang geologi daerah penelitian dan disebandingkan dengan penampang

geologi lembar Tanjung Karang oleh Mangga dkk., (1993) adalah lebih dari 1000

meter.

Page 25: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

41

III.2.3.2. Ciri Litologi

Satuan ini tersusun dari litologi tonalit. Pada batuan tonalit Penyebarannya

tersingkap baik pada stasiun pengamatan BK-35 yang secara megaskopis

bercirikan warna putih berbintik hitam dengan tekstur holokristalin, granularitas

fanerik, bentuk kristal euhedral, struktur masif atau pejal dengan komposisi

mineral kuarsa, plagioklas, dan mineral sekunder berupa klorit.

Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada

perbesaran okuler 5 kali dan perbesaran objektif 10 kali yang bercirikan struktur

masif, tekstur fanerik ukuran mineral kasar – halus, dengan komponen mineral

penyusun antara lain kuarsa yang bercirikan warna putih pada pengamatan PPL (//

Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) berwarna putih abu – abu kehitaman,

dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme rendah, bentuk kristal anhedral,

hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 43% yang telah dipersentase

berdasarkan klasifikasi batuan beku IUGS (1973). Kemudian mineral plagioklas

bercirikan warna putih kecoklatan pada pengamatan PPL (// Nikol), pada

pengamatan XPL (X Nikol) berwarna coklat terang, bentuk kristal subedral

sampai euhedal, belahan 1 arah, hadir menyebar dalam sayatan dengan

kelimpahan 57% yang dipersentase berdasarkan klasifikasi IUGS (1973). Hadir

juga mineral tambahan biotit bercirikan warna coklat kehijauan pada pengamatan

PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) mempunyai warna hitam dengan

struktur mata burung, belahan 1 arah, relief rendah, pleokroisme rendah, bentuk

kristal subhedral, mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan

7%. Lalu hadir mineral sekunder berupa klorit bercirikan warna hijau pada

pengamatan PPL (// Nikol), XPL (X Nikol) berwarna hitam kecoklatan, belahan

satu arah, relief sedang, pleokroisme sedang, bentuk kristal subhedral – euhedral,

mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan Kelimpahan 30%. Ada juga

mineral opak yang nampak gelap baik XPL maupun PPL, yang hadir menyebar

dalam sayatan dengan kelimpahan sebesar 3% (Gambar III.17). Dilihat dari

persentase kandungan mineral primer berupa kuarsa (43%) dan plagioklas (57%),

satuan ini termasuk dalam batuan tonalit berdasarkan diagram QAP klasifikasi

batuan beku plutonik IUGS (1973) (Gambar III.18).

Page 26: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

42

Gambar III. 17. Kenampakan singkapan tonalit BK-35 pada satuan tonalit (a) dan

kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya (b).

Gambar III. 18. Persentase kandungan mineral pada sampel BK-35 berdasarkan diagram QAP klasifikasi batuan beku plutonik IUGS

(1973).

Page 27: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

43

III.2.3.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan

ini dapat disebandingkan dengan Granodiorit Sulan yang berumur Kapur.

Lingkungan pembentukan satuan ini berdasarkan analisis petrografi yang diwakili

data satuan pada lokasi pengamatan BK-35 dan didukung oleh interprestasi dari

penelitian sebelumnya adalah bahwa batuan pada satuan ini ditafsirkan sebagai

bagian dari aktivitas plutonik berumur petengahan kapur yang menerobos satuan

sekis yang berumur Paleozoikum.

Terobosan kapur ini merupakan bagian batolit yang terluas sebarannya meluas

sampai Lembar Kotaagung yang berkaitan dengan penunjaman lempeng yang

menghasilkan granitoid busur gunungapi atau tepi benua, satuan ini menerobos

langsung satuan sekis yang merupakan formasi dari batuan kompleks

Gunungkasih. Berdasarkan bukti-bukti isotop yang ada satuan ini berumur sekitar

115-89 juta tahun yang lalu. Dengan pembuktian dari hasil penyelidikan geokimia

dan geokronologi oleh McCourth & Cobbing (1993; dalam Mangga dkk., 1994)

bahwa adanya tepi benua yang ada hubungannya dengan penunjaman lajur

granitoid berumur kapur tengah di seluruh Sumatera bagian selatan. Busur

plutonik ini terpusat di sepanjang sesar Sumatera utama (Mangga dkk., 1994).

III.2.4. Satuan Tuf Kristal

III.2.4.1. Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini menempati ± 50% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Menempati

bagian utara, barat, dan timur pada daerah penelitian. Pada peta geologi daerah

penelitian satuan ini diberi warna krim. Satuan ini tersingkap baik di daerah

Batusuluh Panjang (TF-78) dan di daerah Campang Raya (TF-22). Elevasi dari

satuan ini berkisar antara 12,5 sampai dengan 325 meter diatas permukaaan laut.

Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pengukuran ketebalan dengan penampang

geologi daerah penelitian dan disebandingkan dengan penampang geologi lembar

Tanjung Karang Mangga dkk., (1993) adalah adalah lebih dari 500 meter.

Page 28: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

44

III.2.4.2. Ciri Litologi

Satuan ini tersusun dari litologi tuf kristal halus dan tuf kristal kasar. Pada litologi

tuf kristal halus tersingkap baik pada stasiun pengamatan TF-78 yang secara

megaskopis bercirikan warna segar putih warna lapuk kuning kecoklatan, besar

butir ½ - 1/16 mm, derajat pemilahan (sortasi) terpilah baik – sedang, derajat

kebundaran membundar tanggung, kemas tertutup, struktur masif, komponen

penyusun kuarsa dan gelas vulkanik.

Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada

perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 10 kali yang bercirikan struktur

massif, ukuran butir 1/16 - 1/2 mm, sortasi sedang, derajat kebundaran

membundar tanggung, dengan komponen penyusun gelas vulkanik yang

bercirikan warna gelap baik pada pada pengamatan PPL (// Nikol) maupun pada

pengamatan XPL (X Nikol), relief dan belahan tidak nampak, pleokroisme tidak

nampak, bentuk kristal anhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan

kelimpahan 20%. Kuarsa yang bercirikan warna putih pada pengamatan PPL (//

Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) berwarna putih abu – abu kehijauan,

dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme tak nampak, bentuk kristal

anhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 45% (Gambar

III.19).

Pada persentase kelimpahan yang tekandung pada batuan tersebut maka penamaan

batuan berdasarkan klasifikasi ukuran butir menurut Fisher, (1966) termasuk

kedalam tuf atau abu. Berdasarkan komponen penyusunnya menurut Schmid,

(1981) termasuk kedalam tuf kristal (Gambar III. 20).

Page 29: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

45

Gambar III. 19. Kenampakan singkapan tuf kristal Halus pada satuan tuf kristal (atas) dan kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya (bawah).

Gambar III. 20. Diagram persentase untuk penamaan batuan tuf pada sampel TF-78 termasuk

kedalam jenis tuf kristal halus.

Page 30: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

46

Pada tuf kristal kasar tersingkap baik pada stasiun pengamatan TF-22 pemerian

dilakukan secara megaskopis yang bercirikan berwarna segar putih keabuan dan

warna lapuk kuning kecoklatan, ukuran butir 1 – 4 mm, derajat pemilahan (sortasi)

terpilah buruk derajat kebundaran membundar tanggung, dengan komponen

kuarsa, gelas vulkanik, dan fragmen tuf.

Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada

perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 5 kali yang bercirikan struktur

massif, ukuran butir 1/2 – 4 mm, sortasi sedang, derajat kebundaran membundar

tanggung, dengan komponen penyusun kuarsa yang bercirikan warna putih pada

pengamatan PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) berwarna putih abu

– abu, dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme tak nampak, bentuk kristal

anhedral sampai subhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan

55%. Gelas vulkanik yang bercirikan warna gelap baik pada pada pengamatan

PPL (// Nikol) maupun pada pengamatan XPL (X Nikol), dengan relief tidak ada

tanpa belahan, pleokroisme tidak nampak, bentuk kristal anhedral, hadir menyebar

dalam sayatan dengan kelimpahan 25%. Fragmen tuf yang bercirikan warna abu –

abu kehitaman pada pengamatan PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol)

berwarna abu – abu kehitaman, ukuran 0,5 mm dengan relief rendah tanpa

belahan, pleokroisme tak nampak, komponen penyusun ini hadir menyebar dalam

sayatan dengan kelimpahan 20% (Gambar III.21). Pada persentase kelimpahan

yang tekandung pada batuan tersebut maka penamaan batuan berdasarkan

klasifikasi ukuran butir menurut Fisher (1966) termasuk kedalam lapili.

Berdasarkan komponen penyusunnya menurut Schmid (1981) sampel sayatan

tersebut termasuk kedalam tuf kristal (Gambar III.22).

Page 31: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

47

Gambar III. 21. Kenampakan singkapan tuf kristal kasar pada satuan tuf kristal dan

kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya.

Gambar III. 22. Persentase untuk penamaan batuan tuf pada sampel TF-22

yang termasuk ke dalam jenis tuf kristal.

Page 32: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

48

Dari hasil analisis secara megaskopis menunjukkan bahwa batuan pada satuan ini

terbentuk oleh letusan eksplosif dan ciri – ciri litologi yang dianalisis pada satuan

ini termasuk kedalam jenis fasies proksimal – medial berdasarkan Bogie &

Mackenzie (1998) yang terendapkan oleh mekanisme surge (seruakan)

berdasarkan Cas & Wright (1987) dimana pada endapan jenis ini terbentuk karena

mekanisme semburan, hembusan, seruakan secara lateral dicirikan oleh material

berukuran abu – lapili, umumnya mengandung gelas vulkanik dan kristal mineral

yang disebabkan oleh letusan freatomagmatik yaitu suatu letusan gunung api

akibat dari interaksi magma dan air (Moore, 1967) (Gambar III.23).

Gambar III. 23. Tipe Fasies Gunungapi menurut Bogie & Mackenzie (1998) dan Endapan

Piroklastik menurut Cas & Wright (1987) pada Satuan Tuf Kristal ditunjukan pada kotak merah.

III.2.4.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan

ini dapat disetarakan dengan Formasi Tarahan yang berumur Tersier. Lingkungan

pengendapan satuan ini berdasarkan analisis yang dilakukan dan didukung oleh

interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili data sampel pada lokasi

pengamatan TF-78 dan TF-22 adalah bahwa batuan pada satuan ini ditafsirkan

sebagai bagian dari aktivitas vulkanik yang diendapkan di lingkungan benua atau

busur gunungapi berumur Paleosen hingga Oligosen (?).

Page 33: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

49

Secara regional satuan pada Formasi Tarahan ini dapat dikorelasikan dengan

Formasi Kikim suatu runtunan yang terdiri dari tuf, breksi, dan sedimen

vulkanoklastik yang tersingkap di Pegunungan Gumai pada Lembar Bengkulu

(Mangga dkk., 1994). Batuan gunungapi Tersier Awal ini yang tersingkap di

sepanjang baratdaya sistem sesar Sumatera paling timur, ditafsirkan sebagai bukti

sisa sisa busur gunungapi Paleogen yang tersingkap. Aktivitas gunungapi ini

disebutkan sebagai bukti penunjaman yang terus berlangsung pada pertengahan

Kapur Akhir sampai awal Oligosen Tengah di sepanjang parit sunda yang berada

dari sebelah barat Sumatera (Mangga dkk., 1994).

III.2.5. Satuan Tuf Gelas

III.2.5.1. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati ± 9% dari luas keseluruhan daerah penelitian, yang

menempati bagian utara daerah penelitian. Pada peta geologi daerah (Lampiran A-

1) satuan ini diberi warna merah muda. Satuan ini tersingkap baik di daerah

Batusuluh Panjang (TF-1). Elevasi dari satuan ini berkisar antara 87,5 sampai

dengan 125 meter diatas permukaaan laut dan ketebalan dari satuan ini

berdasarkan pengukuran menggunakan penampang geologi adalah lebih dari 100

meter.

III.2.5.2. Ciri Litologi

Satuan ini tersusun dari litologi tuf gelas. Pada satuan ini tersingkap baik pada

stasiun pengamatan TF-1 yang secara megaskopis bercirikan warna segar putih

warna lapuk kuning kecoklatan, besar butir > 2 mm, derajat pemilahan baik,

derajat kebundaran membundar tanggung, kemas tertutup, struktur masif, dan

kedudukan perlapisan N12oE/5oSE.

Page 34: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

50

Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada

perbesaran okuler 5 kali dan perbesaran objektif 5 kali yang bercirikan struktur

masif, ukuran butir 2 – > 2 mm, sortasi baik, derajat kebundaran membundar,

dengan komponen penyusun gelas vulkanik yang bercirikan warna gelap pada

pada pengamatan PPL (// Nikol, pada pengamatan XPL (X Nikol) gelap, dengan

relief tidak ada tanpa belahan, pleokroisme tidak nampak, bentuk kristal anhedral,

hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 90%. Kuarsa yang bercirikan

warna putih pada pengamatan PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol)

berwarna putih, dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme tak nampak,

bentuk kristal anhedral, komponen penyusun ini hadir menyebar dalam sayatan

dengan kelimpahan 8%. Opak yang nampak gelap baik XPL maupun PPL, yang

hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan sebesar 2% (Gambar III.24).

Pada persentase kelimpahan yang tekandung pada batuan tersebut maka penamaan

batuan berdasarkan klasifikasi ukuran butir menurut Fisher (1966) termasuk

kedalam tuf berdasarkan komponen penyusunnya menurut Schmid (1981)

termasuk kedalam tuf gelas (Gambar III.25).

Page 35: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

51

Gambar III. 24. Kenampakan singkapan tuf gelas dan kenampakannya secara petrografi serta

mineral penyusunnya.

Gambar III. 25. Persentase untuk penamaan batuan Tuf pada sampel TF-1

yang termasuk ke dalam jenis Tuf Gelas.

Page 36: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

52

Dari hasil analisis secara megaskopis menunjukkan bahwa batuan pada satuan ini

terbentuk oleh letusan eksplosif dan dari ciri – ciri litologi yang dianalisis pada

satuan ini termasuk ke dalam jenis fasies medial – distal berdasarkan fasies

gunungapi oleh Bogie & Mackenzie (1998) yang terendapkan oleh mekanisme

jatuhan berdasarkan klasifikasi tipe endapan gunungapi oleh Cas & Wright, (1987)

dimana pada endapan jenis ini terbentuk karena material piroklastik dilontarkan

secara ledakan ke udara yang selanjutnya jatuh ke sekitar gunungapi dan

terakumulasi membentuk endapan piroklastik jatuhan oleh media angin. Endapan

ini umumnya akan berlapis baik, menutup morfologi, mempunyai keseragaman

butir (sortasi) yang baik, ukuran butir dan ketebalan bergradasi secara lateral, dan

Semakin jauh dari pusat erupsi ukuran butir semakin halus (Gambar III.26).

Gambar III. 26. Tipe Fasies Gunungapi menurut Bogie & Mackenzie (1998) dan Endapan Piroklastik menurut Cas & Wright (1987) pada Satuan Tuf Gelas ditunjukan pada kotak merah.

Page 37: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

53

III.2.5.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan

ini dapat disetarakan dengan Formasi Lampung (Qtl) yang berumur Plio –

Plistosen. Lingkungan pengendapan satuan ini berdasarkan analisis petrografi dan

didukung oleh interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili oleh sampel

batuan pada lokasi pengamatan TF-01 adalah bahwa batuan pada satuan ini

ditafsirkan sebagai bagian dari aktivitas vulkanik berumur Pliosen hingga

Plistosen yang terendapkan di lingkungan teresterial (Mangga dkk., 1994), oleh

mekanisme pengendapan jatuhan berdasarkan Cas & Wright, (1987).

III.2.6. Endapan Aluvial

III.2.6.2. Penyebaran dan Kedalaman

Satuan ini menempati ± 7% dari luas keseluruhan daerah penelitian, yang

menempati bagian baratdaya daerah penelitian. Pada peta geologi daerah

(Lampiran A-1) satuan ini diberi warna abu – abu. Satuan ini terendap baik di

Panjang (Al-109) (Gambar III.27). Elevasi dari satuan ini berkisar antara 0

sampai dengan 50 meter diatas permukaaan laut dan ketebalan dari satuan ini

berdasarkan pengukuran menggunakan penampang geologi adalah kurang dari

100 meter.

Page 38: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

54

Gambar III. 27. Kenampakan Endapan Aluvial Pada stasiun pengamatan Al-109

III.2.6.2. Ciri Litologi

Satuan ini tersusun oleh material lepas berukuran pasir sampai kerakal yang terdiri

dari fragmen breksi, kuarsit, sekis, tonalit, dan tuf.

III.2.6.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan

ini dapat disetarakan dengan Endapan Aluvium (Qa) yang berumur holosen.

Lingkungan pengendapan satuan ini berdasarkan pengamatan di lapangan

terendapkan di lingkungan fluviatil. Dari ciri – ciri endapan yang diamati pada

satuan ini berupa fragmen breksi, kuarsit, sekis, tonalit, dan tuf merupakan hasil

dari pelapukan dan erosi dari litologi tersebut kemudian terendapkan di bagian

hilir sebelah baratdaya daerah penelitian.

Page 39: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

55

III.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Identifikasi struktur geologi daerah penelitan dilakukan dengan cara pengamatan

pola kelurusan dari gabungan antara citra Shuttle Radar Topography Mission

(SRTM) dan data Digital Elevation Model (DEM) daerah penelitian menggunakan

perangkat lunak Global Mapper. Kelurusan yang terdapat di daerah penelitian

dapat diartikan sebagai elemen linear geomorfologi yang merepresentasikan

struktur geologi atau kontak litologi. Kenampakan kelurusan di permukaan bumi

dicerminkan dengan adanya kelurusan morfologi yang disebabkan oleh relief,

seperti kelurusan lembah, punggungan, dan sungai. Selain itu juga kelurusan rona

yang disebabkan perbedaan kontras objek di permukaan bumi, seperti kelurusan

vegetasi, perbedaan kelembaban dan warna tanah (Sidarto, 2010). Berdasarkan

penarikan kelurusan punggungan pada peta topografi 1 : 25.000 dan SRTM di

daerah penelitian Pola kelurusan punggungan dan lembahan di daerah penelitian

mempunyai arah kelurusan yang dominan berarah baratlaut-tenggara dan

timurlaut-baratdaya (Gambar III.28).

Gambar III. 28. Pola kelurusan punggungan dan lembahan di daerah

penelitian berarah baratlaut - tenggara dan timurlaut-baratdaua berdasarkan citra SRTM dan data DEM.

Page 40: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

56

Analisis struktur geologi daerah penelitian dilakukan dengan pengukuran struktur

geologi yang teramati di lapangan seperti kedudukan lapisan dan rekahan, serta

berdasarkan interpretasi kelurusan pada peta topografi dan SRTM. Berdasarkan

hasil pengukuran dan analisis, Pada daerah penelitian terdapat dua jenis struktur

geologi, yaitu struktur primer dan struktur sekunder. Struktur primer adalah

struktur yang terbentuk bersamaan dengan terbentuknya batuan. Struktur primer

yang terdapat di daerah penelitian yaitu bedding atau perlapisan pada batuan.

Sedangkan Struktur sekunder adalah struktur yang terbentuk tidak bersamaan

dengan proses pembentukan batuan.

Pada daerah penelitian bukti struktur sekunder yang ditemukan adalah kekar gerus.

Hasil analisis dari kekar gerus kemudian dipadukan dengan analisis kelurusan

yang didapatkan pada citra SRTM yang menunjukkan adanya tegasan-tegasan

dengan arah gaya tertentu pada daerah penelitian. Bukti-bukti adanya struktur

geologi yang terbentuk di daerah penelitian adalah sebagai berikut:

III.2.1. Perlapisan (Bedding)

Struktur ini terletak di stasiun pengamatan TF-1 dan stasiun pengamatan TF-23

keduanya terletak di Bagian utara daerah penelitian. Kenampakan struktur

perlapisan di stasiun pengamatan TF-1 tersingkap di dinding sungai pada satuan tuf

gelas dengan kedudukan N12°E/5°SE dan kenampakan struktur perlapisan di

stasiun pengamatan TF-23 tersingkap di tebing pada singkapan berlitologi tuf

kristal dengan kedudukan N264°E/43°SE. struktur perlapisan pada tuf ini

diakibatkan karena material vulkanik yang jatuh ke darat melalui medium udara

selama letusan gunung berapi dengan erupsi eksplosif secara berangsur angsur

(Fisher, R.V., Schmincke, H.-U., 1984) (Gambar III.29).

Page 41: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

57

Gambar III. 29. Kenampakan struktur perlapisan di stasiun pengamatan 1 (kiri) dan 23 (kanan).

III.3.2. Kekar Gerus (Shear Fracture)

Kenampakan struktur ini terlihat berupa rekahan-rekahan pada singkapan batuan

yang nampak segar sampai lapuk. Struktur ini pada umumya bersifat tertutup dan

membentuk pola saling berpotongan membentuk sudut lancip searah gaya utama.

Kekar ini terjadi akibat stress yang cenderung mengelincir bidang satu sama

lainnya yang berdekatan (Hoobs dkk., 1976). Struktur ini terletak di beberapa

stasiun pengamatan di daerah penelitian yaitu pada stasiun 15, 23, 35, 46, 53, 75,

87, 88, 91 dan 114. Berdasarkan data hasil pengukuran di lapangan, diperoleh

beberapa nilai strike dan dip pada daerah yang terdapat kekar.

Data ini yang kemudian dimasukkan ke dalam perangkat lunak Dips 7.0 untuk

menghasilkan diagram Roset untuk mengetahui pola tegasan dari data kekar yang

didapatkan kemudian dianalisis menggunakan Principal Stress Anderson, (1951)

(Gambar III.30).

Page 42: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

58

Gambar III. 30. Klasifikasi sesar menurut Anderson, (1951).

III.3.2.1. Kekar TF-15

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di

sebelah utara daarah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi Tuf Kristal dan merupakan jenis kekar gerus

karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup.

Berdasarkan hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini

memiliki orientasi σ1 27°, 154°E, σ2 62°, 341°E, dan σ3 3°, 254°E

Berdasarkan Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan

manifestasi dari sesar mendatar karena besaran sudut plunge dominan pada σ2

(Gambar III.24).

Gambar III. 31. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-15 memiliki arah

dominan baratlaut – tenggara.

Page 43: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

59

III.3.2.2. Kekar TF-23

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di sebelah

baratlaut daarah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun pengamatan ini

terdapat pada litologi tuf kristal dan merupakan jenis kekar gerus karena

memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil

analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi σ1

03°, N223°E, σ2 29°, N126°E, dan σ3 49°, N314°E. Berdasarkan Principal Stress

menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar naik karena

besaran sudut plunge dominan pada σ3 (Gambar III.31).

Gambar III. 32. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-23 memiliki arah

dominan baratlaut-tenggara.

III.3.2.3. Kekar BK-35

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di

sebelah timurlaut daarah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi tonalit dan merupakan jenis kekar gerus

karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan

hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki

orientasi σ1 52°, N357°E, σ2 36°, N175°E, dan σ3 03°, N267°E. Berdasarkan

Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari

sesar normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.32).

Page 44: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

60

Gambar III. 33. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan BK-35 memiliki arah

dominan baratlaut-tenggara.

III.3.2.4. Kekar BRV-46

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di

sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi breksi vulkanik dan merupakan jenis kekar

gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan

hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi

σ1 74°, N161°E, σ2 15°, N334°E, dan σ3 02°, N65°E. Berdasarkan Principal

Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar

normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.33).

Gambar III. 34. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan BRV-46 memiliki arah

dominan baratlaut-tenggara.

Page 45: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

61

III.3.2.5. Kekar TF-53

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di

sebelah barat daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi tuf kristal dan merupakan jenis kekar gerus

karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil

analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi σ1

03°, N261°E, σ2 69°, N164°E, dan σ3 20°, N352°E. berdasarkan Principal Stress

menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar mendatar

karena besaran sudut plunge dominan pada σ2 (Gambar III.34).

Gambar III. 35. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-53 memiliki arah

dominan baratdaya-timurlaut

III.3.2.6. Kekar MT-75

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di

sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi sekis klorit dan merupakan jenis kekar

gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan

hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki

orientasi σ1 35°, N29°E, σ2 60°, N204°E, dan σ3 03°, N303°E. Berdasarkan

Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari

sesar mendatar karena besaran sudut plunge dominan pada σ2 (Gambar

III..35).

Page 46: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

62

Gambar III. 36. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-75 memiliki arah

dominan baratdaya-timurlaut

III.3.2.7. Kekar MT-87

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di

sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi sekis klorit dan merupakan jenis kekar

gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup.

Berdasarkan hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini

memiliki orientasi σ1 48°, N14°E, σ2 41°, N191°E, dan σ3 01°, N282°E.

Berdasarkan Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan

manifestasi dari sesar normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1

(Gambar III.36).

Gambar III. 37. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-87 memiliki arah

dominan baratdaya-timurlaut.

Page 47: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

63

III.3.2.8. Kekar MT-88

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di

sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi sekis klorit dan merupakan jenis kekar

gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan

hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi

σ1 55°, N273°E, σ2 32°, N71°E, dan σ3 09°, N167°E. berdasarkan principal

stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar

normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.37).

Gambar III. 38. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-88 memiliki arah

dominan baratlaut-tenggara.

III.3.2.9. Kekar MT-91

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di

sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi sekis dan merupakan jenis kekar gerus

karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil

analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi σ1

46°, N161°E, σ2 41°, N328°E, dan σ3 07°, N65°E. Berdasarkan Principal Stress

menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar normal

karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.38).

Page 48: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

64

Gambar III. 39. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-91 memiliki arah

dominan baratlaut-tenggara.

III.3.2.10. Kekar TF-114

Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di

sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun

pengamatan ini terdapat pada litologi tuf kristal dan merupakan jenis kekar

gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup.

Berdasarkan hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini

memiliki orientasi σ1 59°, N230°E, σ2 28°, N41°E, dan σ3 04°, N133°E.

berdasarkan Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan

manifestasi dari sesar normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1

(Gambar III.39).

Gambar III. 40. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-114 memiliki arah

dominan baratdaya - timurlaut.

Page 49: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

65

Pola arah umum kekar yang didapatkan dari setiap stasiun pengamatan tersebut

digunakan untuk penarikan kelurusan yang mengindikasikan adanya tegasan

akibat sesar. Dari hasil penarikan kelurusan, menunjukkan bahwa pola kelurusan

didominasi oleh oreantasi baratlaut – tenggara yang mungkin saja merupakan

manifestasi dari tegasan utama sesar mendatar Sinistral Panjang dan arah umum

timurlaut - baratdaya yang merupakan tegasan utama dari sesar mendatar Sinistral

Pidada.

III.3.3. Indikasi Sesar Mendatar Sinistral Pidada

Indikasi struktur ini terletak di daerah panjang tepatnya di Kelurahan Pidada yang

berbatasan dengan desa Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan.

Kenampakan struktur ini terindikasi dari kelurusan punggungan dan lembahan

pada citra SRTM daerah penelitian yang memiliki pola kelurusan kontur yang

berarah baratdaya – timurlaut dan ditunjukan adanya Offset kelurusan lembahan

yang memanjang relatif berarah utara – selatan terpotong oleh jurus baratdaya -

timurlaut ofset dari pergerakan tersebut memperlihatkan Pergerakan Sinistral

(mengiri). didukung dengan adanya kenampakan kekar gerus pada satuan

pengamatan MT-75 pada batuan sekis klorit di daerah ini dengan melakukan

pengukuran dan pengolahan data kekar yang ada menggunakan perangkat lunak

Dips 7.0, dan arah foliasi pada batuan sekis yang terletak di stasiun pengamatan

MT-75 yang berarah baratdaya – timurlaut.

Dari hasil analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-75,

didapatkan arah tegasan maksimum yang memiliki orientasi σ1 35°, 29°E, σ2

60°, 204°E, dan σ3 03°, 303°E Berdasarkan principal stress menurut

(Anderson, 1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar mendatar karena

besaran sudut plunge dominan pada σ2 (Gambar III.40).

Page 50: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

66

Gambar III. 41. Indikasi sesar pada citra SRTM dan kenampakan kekar pada singkapan dan

Analisis stereografi dari data kekar yang didapatkan pada stasiun pengamatan MT-75.

III.3.4. Indikasi Sesar Mendatar Dekstral Campang

Indikasi struktur ini terletak di sebelah utara tepatnya di Kelurahan Campangraya.

Kenampakan struktur ini terindikasi dari kelurusan punggungan dan lembahan

dari Bukit Balu pada citra SRTM daerah penelitian yang memiliki pola kelurusan

kontur yang berarah baratdaya – timurlaut dan didukung dengan adanya

kenampakan cermin sesar pada satuan pengamatan TF-27 pada batuan tuf kristal

di daerah ini dengan melakukan pengukuran dan pengolahan data cermin sesar

menggunakan perangkat lunak Dips 7.0 (Gambar III.41). Dari hasil analisis yang

dilakukan dengan kedudukan bidang sesar N39oE/68oSE, sesar tersebut termasuk

ke dalam jenis sesar mendatar dekstral menurut klasifikasi Rikard (1972) karena

mempunyai arah (trend) N37oE dan sudut penunjaman sebesar 7o bidang sesar,

besar sudut dari Rake sebesar 7o, dari besaran rake tersebut digolongkan kedalam

sesar mendatar menganan (Right Slip Fault) (Gambar III.42).

Page 51: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

67

Gambar III. 42. Kenampakan indikasi sesar pada citra SRTM dan kekar pada singkapan stasiun pengamatan TF- 27 dan kenampakan struktur gores gaaris dengan arah baratdaya pada singkapan

tuf pada stasium pengamatan TF 27.

Gambar III. 43. Analisis data gores – garis pada stasiun TF-27 menurut Klasifikasi Rikard (1972) yang menunjukkan jenis sesar dari sesar campangraya merupakan jenis sesar mendatar menganan.

Page 52: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

68

III.3.5. Indikasi Sesar Mendatar Sinistral Panjang

Indikasi struktur ini terletak di sepanjang baratdaya daerah penelitian, yang

merujuk pada penelitian terdahulu pada peta geologi lembar tanjung karang

menurut Mangga dkk., (1993) yang menafsirkan adanya sesar mendatar yang

berarah baratlaut – tenggara dengan pergerakan sinistral (cenderung mengiri) di

daerah ini. Didukung dengan penafsiran pada topografi citra DEM daerah

penelitian yang menunjukkan adanya pola kelurusan punggungan berarah

baratlaut – tenggara (Gambar III.43).

Gambar III. 44. Penafsiran pada topografi Citra DEM yang menunjukkan sesar dibagian

baratdaya daerah penelitian yang didukung dari data penelitian terdahulu oleh Mangga dkk., (1993) dan adanya pola kelurusan punggungan berarah baratlaut – tenggara.

III.3.5. Analisis Tegasan Utama dengan Pendekatan Pure Shear model

Moody & Hill (1956)

Mengacu pada penelitian terdahulu oleh Mangga dkk., (1994) bahwa struktur

struktur yang berada di Lembar Tanjungkarang umumnya mempunyai arah

baratlaut – tenggara dan timurlaut – baratdaya, arah – arah tersebut berpasangan

sehingga membentuk pola tegasan utama yang umumnya berarah utara – selatan.

Page 53: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

69

Pada sesar mendatar dekstral Campangraya dan sesar mendatar sinistral Panjang

dengan pendekatan Pure Shear oleh Moddy & Hill (1956) adalah satu sistem sesar

dengan pola tegasan barat – timur yang dimana menurut Mangga dkk., (1994)

pola tegasan tersebut berumur Plio – Plistosen (Gambar III.45). Pola tegasan

tersebut diperkirakan karena pengaruh aktivitas konvergensi di tepi barat Paparan

Sunda yang menyebabkan teraktifkannya struktur – struktur tersebut khususnya

sistem sesar Sumatera, dimana sesar – sesar dengan pola tegasan barat – timur

yang ada di daerah penelitian termasuk dalam bagian dari sistem sesar ini yang

berlangsung selama periode tersebut.

Pada sesar mendatar sinistral Pidada penulis mengaitkan sesar ini dengan sesar

yang ada di luar daerah penelitian, namun masih termasuk dalam peta geologi

regional Lembar Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994). Dengan konsep

pemodelan sesar oleh Moddy & Hill (1956) antara sesar medatar sinistral Pidada

dengan sesar regional tersebut membentuk pola berpasangan dimana pada sesar

mendatar sinistra Pidada berarah timurlaut – baratdaya dan sesar regional pada

lembar tanjungkarang tersebut memiliki arah tenggara – baratlaut. Dari

pemodelan ini diketahui bahwa kedua sesar tersebut mempunyai pola tegasan

utara – selatan, dimana pola tegasan tersebut teraktifkan pada periode Oligo –

Miosen (Mangga dkk., 1994) (Gambar III.45). Pola tegasan tersebut terjadi

akibat dari aktivitas tektonik Oligosen Akhir sampai Miosen Awal berupa gerak

tensional pada cekungan Sumatera Selatan berarah utara – selatan yang

menyebabkan pengangkatan pada tepi – tepi cekungan tersebut (Pulonggono dkk.,

1992).

Page 54: GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

70

Gambar III. 45. Pemodelan arah tegasan utama dengan pendekatan pure shear Moddy & Hill

(1956) pada daerah penelitian.