BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

16
5 BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian Wilayah bagian barat dan selatan Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dengan dominasi batuan sedimen tersier. Pada Formasi daerah ini merupakan lanjutan kondisi geologi Bukit Barisan yang ditandai dengan adanya struktur lipatan pada geologi daerah tersebut. Berdasarkan peta geologi regional oleh Cameron dkk. (1982) lembar Pematangsiantar, daerah penelitian tergolong kedalam Formasi Aluvium Tua (Qp) yang termasuk golongan endapan berumur kuarter. Formasi Aluvium Tua Tua (Qp) terdiri dari daerah kering (upland) dan daerah basah (basin), lapisan batuan daerah ini terdiri dari batuan lanau, lempung, pasir, dan kerikil. Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penelitian (Cameron dkk., 1982).

Transcript of BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

Page 1: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

5

BAB II DASAR TEORI

2.1 Geologi Daerah Penelitian

Wilayah bagian barat dan selatan Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dengan

dominasi batuan sedimen tersier. Pada Formasi daerah ini merupakan lanjutan

kondisi geologi Bukit Barisan yang ditandai dengan adanya struktur lipatan pada

geologi daerah tersebut.

Berdasarkan peta geologi regional oleh Cameron dkk. (1982) lembar

Pematangsiantar, daerah penelitian tergolong kedalam Formasi Aluvium Tua (Qp)

yang termasuk golongan endapan berumur kuarter. Formasi Aluvium Tua Tua (Qp)

terdiri dari daerah kering (upland) dan daerah basah (basin), lapisan batuan daerah ini

terdiri dari batuan lanau, lempung, pasir, dan kerikil.

Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penelitian (Cameron dkk., 1982).

Page 2: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

6

2.2.1 Fisiografi

Berdasarkan peta fisiografi (Gambar 2.2) daerah Rokan hilir memiliki fisiografi yang

terbagi menjadi empat tipe fisografi utama, yaitu aluvial, gambut, pasang surut, dan

lahan kering. Fisografi yang paling mendominasi pada Kabupaten Rokan Hilir yaitu

gambut dan lahan kering. Daerah penelitian tugas akhir berada pada Kecamatan Kubu

yang memiliki fisiografi dominan yaitu gambut. Fisiografi gambut ini arkeologi lahan

rawa gambut, sehingga tanah pada daerah ini mudah sekali rusak apabila tidak

dipertahankan dalam kondisi alami. Kecamatan Kubu memiliki fisiografi gambut

yang termasuk dalam kubah gambut, dimana semakin tengah lokasinya maka

semakin dalam ketebalan gambut. Untuk pemukiman pada daerah ini berada pada

pinggiran kubah dengan ketebalan gambut yang tergolong dangkal.

Fisiografi pasang surut merupakan fisografi dominan kedua pada daerah penelitian

tugas akhir. Fisiografi pasang surut dipengaruhi dinamika surut dan pasangnya air

yang berlaku harian, tidak seperti dinamika air sungai yang berlaku musiman. Daerah

fisiografi pasang surut ini termasuk arkeologi dataran rendah dengan ketinggian 83 –

86 m (di atas permukaan laut), akan tetapi yang paling dominan adalah daerah

dengan ketinggian 85 m dpl.

Fisiografi aluvial banyak dipengaruhi oleh dinamika air. Pada fisiografi ini sangatlah

dipengaruhi oleh debit aliran air sungai dan air hujan karena akan berdampak pada

siklus hidup tanaman di daerah tersebut. Pada fisiografi aluvial ini juga cenderung

memiliki jenis tanah yang subur karena merupakan hasil pengendapan dari bawaan

sungai yang merupakan hasil erosi di bagian hulu. Untuk pemukiman biasanya berada

di daerah tanggul-tanggul sungai.

Kabupaten Rokan Hilir didominasi oleh wilayah dataran. Sekitar 80% daerah pada

Kabupaten Rokan Hilir memiliki bentuk wilayah yang datar dengan kemiringan

lereng di bawah 3%. Bagan Sinembah, Kecamatan Pujud, dan Simpang Kanan,

memiliki wilayah yang bergelombang dan berombak dengan kemiringan lahan 8%

hingga 15%.

Page 3: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

7

Gambar 2.2 Peta Fisiografi Kabupaten Rokan Hilir, Riau (PT. Kuantan Graha Marga, 2013).

2.2.2 Morfologi

Kabupaten rokan hilir memiliki wilayah yang dominan yaitu dataran. Wilayah

dataran ini mengalami siklusi erosi aktif yang disebabkan oleh proses pengangkatan

sehingga membentuk lembah-lembah sempit yang menyerupai buntuk huruf V. Pada

Kabupaten Rokan Hilir ini juga ditemukan adanya pemotongan permukaan tanah

yang mengiris dataran pada kedalaman yang sangat dalam yang dapat ditemukan

pada permukaan Formasi Endapan Minas yang relatif datar. Pada daerah di atas

dataran aluvial dan rawa-rawa merupakan daerah yang menjadi bagian dari

lingkungan cekungan yang memanjang. Topografi pada daerah ini terlihat dengan

adanya pembentukan kembali sedimen tersier dengan arah Barat Laut hingga

Tenggara. Pada drainase aliran sungai memiliki pola paralel yang terdapat pada

puncak, sepanjang sinklinal bagian tengah dan bawah, serta punggung lereng yang

berbentuk cembung.

Page 4: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

8

Menurut PT. Kuantan Graha Marga (2013), wilayah Kabupaten Rokan Hilir memiliki

satuan geomorfologi sebagai berikut:

1. Dataran yang terbagi menjadi dataran banjir danau, dataran banjir bergambut,

dataran pasir paduan muara/sungai, dataran lumpur antar pasang surut, dataran

endapan bertufa yang berbukit, dataran sedimen berbatu tufa yang berombank

sampai bergelombang, dataran pasir sungai non-vulkanik pedalaman;

2. Rawa-rawa yang terbagi 2 yaitu, rawa-rawa gambut dangkal dan rawa-rawa

gambut dalam;

3. Teras-teras laut tua yang terbagi menjadi 3 yaitu yang rendah berpasir dan

bertanah liat, yang tertutup gambut, dan yang tertoreh berpasir dan bertanah liat;

4. Jalur meander sungai-sungai dengan tanggul-tanggul lebar.

2.2 Air Tanah

Air yang tersimpan di dalam permukaan tanah disebut dengan air tanah. Air tanah

dapat didefinisikan sebagai semua air yang terkandung dalam ruang batuan dasar,

atau regolith dapat juga disebut sebagai aliran air yang mengalir secara alami ke

permukaan tanah melalui pengaliran atau rembesan (Aziz, 2000). Dalam siklus

hidrologi, air tanah berasal dari air hujan yang masuk dan meresap ke dalam tanah

dan perlahan mengalir ke laut. Penyerapan air menuju bawah tanah dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya intensitas air hujan, kondisi material permukaan tanah,

dan kecuraman lereng. Air tanah yang masuk ke dalam tanah tidak semua akan

bergerak perlahan menuju laut, tetapi beberapa akan tetap berada di dalam tanah

karena gravitasi molekul dan menjadi lapisan pada partikel tanah. Air yang tertahan

oleh gravitasi molekul sebagian akan menjadi cadangan bagi tumbuhan selama tidak

turun hujan dan sisanya akan menguap lagi ke atmosfer.

Menurut Prastistho dkk. (2018), air tanah berdasarkan sumbernya terbagi menjadi

tiga, yaitu:

a. Air Meteorik (Meteoric water), merupakan air tanah yang bersumber dari air

permukaan;

Page 5: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

9

b. Air Konat (connate water), merupakan air tanah yang bersumber dari air yang

ditangkap pada saat pembentukan batuan sedimen;

c. Air Juvenil (juvenile water), merupakan air tanah yang bersumber dari aktivitas

magma.

Menurut Saputra (2019), sifat batuan dalam meloloskan dan menyimpan air tanah

terbagi menjadi empat, yaitu:

1. Akuifer

Akuifer atau lapisan pembawa air merupakan lapisan batuan atau formasi pengikat air

yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang banyak.

2. Akuitar

Akuitar atau lapisan batuan lambat air merupakan lapisan batuan atau formasi

pengikat air yang hampir sama dengan akuifer (mampu menyimpan dan meloloskan

air), namun bedanya adalah akuitar dapat meloloskan air namun dalam jumlah

terbatas.

3. Akuiklud

Akuiklud atau lapisan batuan kedap air merupakan lapisan batuan jenuh air atau

formasi yang dapat menyimpan air namun tidak dapat meloloskan air.

4. Akuifug

Akuifug atau lapisan kedap air merupakan suatu lapisan batuan atau formasi yang

tidak dapat menyimpan maupun meloloskan air.

Kondisi alami dan sebaran akuifer, akuiklud, akuitar, dan akuifug dalam sistem

geologi dikendalikan oleh litologi, startigrafi, dan struktur geologi dari material

endapan geologi dan formasi (Freeze & Cheery, 1979 dalam Kodoatie, 1996).

2.3 Sistem Akuifer

Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian dari akuifer. Todd

(1955) menyatakan bahwa akuifer berasal dari bahasa latin, yaitu aqui dari kata aqua

yang berarti air dan kata ferre yang berarti membawa, sehingga akuifer adalah lapisan

yang membawa air. Menurut Herlambang (1996), akuifer adalah lapisan tanah yang

mengandung air, dimana air bergerak di dalam tanah karena adanya ruang antar

Page 6: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

10

partikel tanah. Berdasarkan kedua pendapat para ahli, dapat kita ketahui bahwa

aikufer merupakan lapisan tanah yang mengandung air dan dapat membawa atau

meloloskan air. Tanah yang dapat meloloskan air disebut permeable dan lapisan

tanah yang tidak dapat meloloskan alir disebut impermeable. Contoh batuan pada

lapisan tanah yang bersifat permeable atau mampu meloloskan air adalah pasir,

kerikil, batu pasir, dan batu gamping rekahan.

Menurut Kodoatie (2012), akuifer (Gambar 2.3) dapat digolongkan menjadi tiga,

yaitu:

1. Akuifer Tertekan (confined Aquifer)

Akuifer tertekan atau disebut akuifer artesis adalah akuifer yang dapat menyimpan

atau terisi air pada seluruh lapisan permeable. Batas atas dan bawah lapisan ini

merupakan lapisan impermeable (confining beds). Ketinggian tekanan air di akuifer

ini disebut dengan permukaan piezometric.

2. Akuifer bebas (unconfined aquifer)

Akuifer bebas biasa disebut juga akuifer tidak tertekan, pada akuifer ini yang dapat

menyimpan atau terisi oleh air hanya sebagian dari lapisan permeable. Batas bawah

akuifer ini merupakan lapisan impermeable dan batas atasnya adalah muka air tanah

yang berada pada keadaan setimbang dengan tekanan udara

3. Akuifer Semi Tertekan ( semi confined aquifer)

Akuifer semi tertekan adalah akuifer peralihan antara akuifer bebas dan akuifer

tertekan. Akuifer ini memiliki batas bawah merupakan lapisan impermeable dan batas

atasnya merupakan lapisan semi-permeable atau dapat meloloskan air hanya dengan

jumlah yang sangat terbatas.

Page 7: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

11

Gambar 2.3 Akuifer di Bawah Permukaan (Kodoatie, 2012).

Kondisi alami dan distribusi akuifer, akuklud, dan akuitar dalam sistem geologi

dikendalikan oleh litologi, stratigrafi, dan struktur geologi dari material endapan

geologi dan formasi (Freeze & Cheery, 1979 dalam Kodoatie, 1996). Menurut

(Puradimaja & Irawan, 2012) kesamaan iklim dan kondisi geologi di suatu daerah

akan memberikan kesamaan sistem air tanah. Menurut Puradimaja (2012), sistem

akuifer berdasarkan tipologinya di Indonesia dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Sistem Akuifer Endapan Gunungapi, merupakan sistem akuifer yang terjadi pada

daerah gunung berapi. Sistem akuifer endapan ini terdiri dari kaki gunung api,

badan gunungapi, puncak dan kawah gunungapi, serta memiliki pola aliran sungai

radial;

2. Sistem Akuifer Batuan Sedimen;

3. Sistem Akuifer Endapan Aluvial;

4. Sistem Akuifer Glasial; dan

5. Sistem Akuifer Batuan Kristalin, merupakan sistem akuifer yang terdiri dari bukit

terjal, serta pola aliran sungai umumnya mengikuti lembah-lembah antar bukit

dan annular.

Page 8: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

12

2.4 Sifat Listrik Batuan

Sifat kelistrikan batuan yaitu kemampuan atau sifat dari batuan untuk menghantarkan

arus listrik. Karena ketidakseimbangan, arus listrik dapat berasal dari listrik yang

diinjeksikan ke dalam batuan atau dari listrik alam itu sendiri. Telford dkk. (1990)

mengatakaan bahwa arus listrik pada batuan atau mineral dapat dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi elektrolitik, dan konduksi

dielektrik.

a. Konduksi Elektronik

Konduksi elektronik adalah keadaan dimana terdapat sejumlah besar elektron bebas

di dalam batuan, dan arus mudah mengalir di dalam batuan. Arus juga dipengaruhi

oleh sifat atau karakteristik masing-masing batuan yang dilaluinya, salah satunya

adalah resistivitas. Contoh batuan yang mengalami konduksi elektronik adalah batuan

yang banyak mengandung unsur logam.

Berdasarkan nilai resisitivitas listriknya, batuan atau mineral dikategorikan menjadi

tiga jenis yaitu:

1. Isolator : ρ > 107 Ωm;

2. Konduktor sedang : 1 < ρ < 107 Ωm;

3. Konduktor baik : 10-8

< ρ < 1 Ωm.

b. Konduksi Elektrolit

Konduksi ini terjadi pada batuan berpori yang memiliki nilai resistivitas tinggi serta

tergolong konduktor yang buruk namun bersifat porus, dimana pori-pori batuan

tersebut diisi dengan larutan elektrolit. Akibatnya batuan tersebut bersifat konduktor

elektrolit, dimana ion-ion larutan elektrolit tersebut membawa arus listrik yang ada.

Salah satu contoh larutan elektrolit tersebut ialah air. Semakin banyak kandungan air

dalam batuan maka konduktivitasnya akan semakin besar, sebaliknya semakin sedikit

kandungan air dalam batuan maka resistivitasnya akan semakin besar, resistivitas dan

konduktivitas pada batuan juga tergantung pada volume dan susunan pori-pori

batuan.

Page 9: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

13

c. Konduksi Dielektrik

Batuan dengan elektron bebas dalam jumlah sedikit atau tidak ada sama sekali dapat

mengalami konduksi yang bersifat dielektrik terhadap aliran listrik. Hal ini

dikarenakan adanya pengaruh medan listrik dari luar, yang menyebabkan elektron-

elektron pada bahan bergerak dan berkumpul menjauhi inti, sehingga terjadi

polarisasi. Peristiwa ini tergantung pada konduksi dielektrik masing-masing batuan

yang bersangkutan..

2.5 Metode Resistivitas

Metode resistivitas merupakan salah satu metode geofisika yang bertujuan

mengetahui karakteristik fisis batuan atau benda di bawah permukaan dengan melihat

nilai resistivitas batuan tersebut. Metode resistivitas ini memiliki tujuan untuk

menggambarkan sebaran nilai resistivitas dibawah permukaan berdasarkan hasil

pengukuran yang dilakukan di permukaan bumi (Loke, 1999).

Resistivitas adalah karakteristik kemampuan batuan dalam menghambat arus listrik.

Nilai resistivitas berhubungan dengan karakteristik batuan tersebut, seperti ukuran

butir, kandungan fluida, kepadatan batauan, permeabilitas, arus listrik yang mengalir,

porositas. Gustavus E. Archie pada tahun 1942 menjelaskan hubungan antara nilai

resistivitas dengan porositas yang dikenal dengan hukum Archie, hubungan nilai

resistivitas dengan porositas pada hukum Archie dapat diformulasikan sebagai

berikut:

(2.1)

Dimana ρ adalah nilai resistivitas batuan terukur (Ωm), ρw merupakan nilai

resistivitas jenis air pengisi pori (Ωm), ф adalah porositas (%), adalah koefisien

yang mencirikan karakteristik batuan, dan m adalah koefisien sementasi.

Metode resistivitas dilakukan dengan cara menginjeksikan arus listrik kedalam

permukaan bumi dan kemudian mengukur nilai beda potensial yang dihasilkan antara

dua buah elektroda potensial. Pengukuran metode resistivitas ini didasarkan pada

karakteristik fisik batuan terhadap arus listrik, dimana setiap jenis batuan memiliki

nilai resistivitas yang berbeda-beda. Hal itu tergantung pada beberapa penyebab,

Page 10: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

14

diantaranya porositas batuan, mineral batuan, kepadatan batuan, permeabilitas batuan,

dan umur batuan.

Hukum Ohm merupakan konsep dasar metode resistivitas. Resistansi (R) adalah

parameter hubungan antara tegangan (V) dan arus (I). resistansi (R) didefinisikan

sebagai hasil bagi tegangan (V) dan arus (I), sehingga dituliskan:

(2.2)

atau

(2.3)

dimana V merupakan tegangan (V), I merupakan arus (A) dan R merupakan resistansi

bahan (Ω). Hubungan antara tegangan, resistansi, dan kuat arus ditunjukkan pada

Gambar 2.4 di bawah in:

Gambar 2.4 Rangkaian Listrik Sederhana Resistensi (Lowrie, 2007).

Konsep dasar dari metode resistivitas yaitu menggunakan arus listrik yang merambat

pada permukaan bumi yang homogen isotropis, dimana arus bergerak ke segala arah

dengan nilai yang sama. Asumsi bahwa bumi homogen adalah keadaan bumi yang

dianggap hanya memiliki satu lapisan saja padahal kenyataannya bumi memiliki

banyak lapisan, sedangkan bumi diasumsikan isotropik adalah bahwa jika gradient

panas bumi diukur maka suhunya akan sama di setiap tempat. Keadaan homogen

isotropik ini merupakan keadaan bumi yang ideal (Vebrianto, 2016). Akan tetapi,

bumi sebenarnya tersusun dari lapisan-lapisan dengan resistivitas yang berbeda,

sehingga nilai resistivitas yang diperoleh bukanlah nilai resistivitas yang sebenarnya.

Namun, resistivitas yang terukur adalah resistivitas semu (Reynolds, 2005).

Page 11: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

15

Berdasarkan Reynolds (2005), resistivitas semu dapat dinyatakan sebagai berikut

(2.4)

Dimana K adalah faktor geometri yaitu besaran koreksi posisi dua elektroda potensial

terhadap posisi kedua elektroda arus. Dengan mengukur ΔV dan I, maka nilai

resistivitas sebenarnya (ρ) dapat ditentukan (Reynolds, 2005). Nilai resistivitas batuan

dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Nilai Resistivitas Batuan (Telford dkk., 1990).

Material Resistivitas (Ωm)

Udara (Air) -

Pirit (Pyrite) 0,01 – 100

Kwarsa (Quartz) 500 – 800000

Kalsit (Calcite) 1x1012

- 1x1013

Garam Batu (Rock Salt) 30 - 1x1013

Granit (Granite) 200 – 10000

Andesit (Andesite) 1,7x102 – 45x104

Basal (Basalt) 200 – 100000

Gamping (Limestone) 500 – 10000

Batu pasir (Sandstone) 200 – 8000

Batu Tulis (Shale) 20 – 2000

Pasir (Sand) 1 – 1000

Lempumg (Clay) 1 – 100

Air tanah (Ground water) 0,5 – 300

Air asin (Sea Water) 0,2

Magnetit (Magnetite) 0,01 – 1000

Kerikil kering (Dry gravel) 600 – 10000

Aluvium (Alluvium) 10 -800

Kerikil (Gravel) 100 -600

Page 12: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

16

2.6 Vertical Electrical Sounding (VES)

Dalam survei geolistrik, terdapat dua teknik pengukuran yaitu secara sounding,

mapping, dan imaging atau tomografi. Pada teknik pengukuran mapping memiliki

tujuan untuk mengetahui litologi bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitasnya

secara horisontal, pengukuran tomografi memiliki tujuan untuk untuk mengetahui

litologi bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitasnya secara lateral dan vertikal,

sedangkan metode sounding atau disebut juga Vertical Electrical Sounding (VES)

adalah salah metode pengukuran yang bertujuan untuk mendapatkan nilai variasi

resistivitas bawah permukaan secara vertikal. Model pengukuran metode ini

menganggap bahwa lapisan bawah permukaan memiliki sifat homogen secara lateral.

Pada metode ini dalam sekali pengambilan data biasa dilakukan secara berulang-

ulang menggunakan satu titik pusat (main unit) tetap dengan menggunakan jarak

elektroda berubah – ubah dari dekat hingga jauh. Elektroda yang digunakan pada

metode ini (Gambar 2.6) menggunakan 2 elektroda potensial (elektroda M dan N) dan

2 elektroda arus (elektroda A dan B). Jarak elektroda arus (AB) merupakan

kedalaman penetrasi pengukuran, yang berarti semakin jauh jarak elektroda arus

semakin dalam penetrasi yang dihasilkan.

Teknik pengukuran Vertical Electrical Sounding (VES) umumnya menggunakan

konfigurasi Schlumberger. Pada teknik pengukuran ini akan menghasilkan resistivitas

(matching curve). Matching curve ini diperlukan untuk mengkoreksi data lapangan,

mendapatkan nilai kedalaman, dan nilai resistivitas semua. Berdasarkan bentuknya,

secara umum tipe kurva VES dibagi menjadi tipe kurva H, A, K, Q, HK, dan KH.

Tipe kurva VES ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Page 13: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

17

Gambar 2.5 Tipe Kurva Sounding (Telford dkk., 1990).

2.7 Konfigurasi Schlumberger

Metode resistivitas terdiri dari beberapa kofigurasi elektroda, salah satunya adalah

konfigurasi Schlumberger. Konfigurasi Schlumberger banyak digunakan untuk

membedakan resistivitas yang berhubungan dengan karakteristik litologi dan

hidrologi. Secara umum konfigurasi Schlumberger menggunakan 4 elektroda, dimana

elektroda A dan B adalah elektroda arus yang berfungsi sebagai media untuk

menginjeksikan arus, sedangkan elektroda M dan N adalah elektroda potensial yang

berfungsi sebagai media pengukur beda potensial. Idealnya, pada konfigurasi

Schlumberger, jarak MN dibuat sekecil mungkin, sehingga jarak MN teoritis tidak

berubah. Namun, karena sensitivitas alat ukur yang terbatas, ketika jarak AB besar,

jarak MN harus diubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari jarak

1/5 jarak AB.

Page 14: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

18

Gambar 2.6 Konfigurasi Schlumberger (Setia dkk., 2017).

Pada setiap konfigurasi metode resistivitas memiliki faktor geometri yang berbeda-

beda. Faktor geometri konfigurasi Schlumberger (Setia dkk., 2017) adalah:

(

(

)

) (2.5)

Keuntungan dari konfigurasi Schlumberger adalah ketidaksamaan sifat lapisan batuan

permukaan dapat dideteksi ketika jarak elektroda berubah dengan cara

membandingkan nilai resistivitas semu, dan pengoperasiannya sederhana, serta

efisiensinya tinggi. Kerugian dari konfigurasi Schlumberger adalah ketika AB sangat

jauh, pembacaan tegangan pada elektroda MN kecil, hampir melebihi batas

eksentrisitasnya.

2.8 Inversi Data Geolistrik 1-D

Pemodelan 1-D model bumi dianggap berlapis horizontal (Gambar 2.7) sehingga

resistivitas hanya bervariasi terhadap kedalaman. Pendekatan ini dianggap cukup

memadai untuk kondisi geologi tertentu yaitu di lingkungan sedimen sampai

kedalaman yang tidak terlalu besar. Data geolistrik diperoleh melalui pengukuran

dengan konfigurasi elektroda tertentu dengan jarak antar elektroda yang makin besar

untuk memperoleh informasi pada kedalaman yang makin besar pula (sounding)

(Grandis, 2009).

Fungsi pemodelan kedepan pada metode geolistrik dengan model 1-D diformulasikan

sebagai persamaan integral Hankel yang menyatakan resistivitas-semu ( ) sebagai

fungsi dari resistivitas dan ketebalan ( 𝑘, ℎ𝑘) tiap lapisan, 𝑘=1, …, 𝑛 dan 𝑛 adalah

jumlah lapisan:

(2.6)

Page 15: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

19

adalah setengah jarak antar elektroda arus (AB/2 untuk konfigurasi Schlumberger),

1 adalah fungsi Bessel orde-satu, dan (λ) adalah fungsi transformasi resistivitas

yang dinyatakan oleh formulasi rekursif Pekeris:

; 𝑘 𝑛 (2.7)

Perhitungan Persamaan (2.7) dapat dilakukan dengan metode filter linier yang secara umum

dinyatakan oleh persamaan berikut:

∑𝑘 (2.8)\

dimana 𝑘 adalah harga koefisien filter linier yang diturunkan oleh Ghosh (Koefeoed,

1979). Dari persamaan-persamaan tersebut di atas tampak bahwa hubungan antara

data resistivitas-semu ( ) dengan parameter model resistivitas dan ketebalan lapisan

( 𝑘, ℎ𝑘) adalah sangat tidak linier.

Dalam konteks pemodelan inversi geolistrik 1-D, data dinyatakan sebagai [ ]

yaitu resistivitas-semu dengan 𝑖 = 1,2, …, 𝑁 dan 𝑁 adalah jumlah data sesuai variabel

20 bebas AB/2. Model resistivitas bawah permukaan 1-D adalah 𝑛 karena

pada model 1-D yang terdiri dari 𝑛 lapisan terdapat 𝑛 harga resistivitas dan

harga ketebalan lapisan (lapisan terakhir dianggap memiliki ketebalan tak-hingga,

Gambar 2.7). Dengan demikian parameterisasi model bersifat tidak homogen.

Pemodelan inversi data geolistrik sounding 1-D dilakukan sesuai algoritma inversi

non-linier dengan pendekatan linier. Dalam hal ini digunakan faktor redaman dan

teknik Singular Value Decomposition (SVD) untuk menstabilkan proses inversi.

Persamaan pemodelan kedepan (forward modeling) geolistrik 1-D secara umum

dinyatakan oleh:

(2.9)

Mengingat persamaan yang menghubungkan data dengan parameter model cukup

kompleks maka turunan parsial orde pertama terhadap setiap parameter model sangat

sulit diperoleh secara analitik dan eksplisit. Oleh karena itu untuk memperoleh

Page 16: BAB II DASAR TEORI 2.1 Geologi Daerah Penelitian

20

elemen Matriks Jacobi dilakukan melalui pendekatan beda-hingga (finite-difference)

sebagai berikut:

*

+

(2.10)

Setiap elemen Matriks Jacobi memerlukan dua kali pemodelan kedepan, pertama

untuk model m dan kemudian untuk model yang sama namun dengan elemen ke- 𝑘

dari m diperturbasi dengan ∆ 𝑘. Besarnya perturbasi umumnya berkisar antara 5%

sampai 10% dari harga parameter model.

Berdasarkan Persamaan (2.10) tampak bahwa kolom matriks Jacobi ke- 𝑘 berasosiasi

dengan perubahan respons model (pada semua elemen data perhitungan dengan

indeks- 𝑖) sebagai akibat dari perturbasi suatu elemen parameter model 𝑘. Baris

matriks Jacobi ke- 𝑖 menyatakan perubahan respons model (pada satu elemen data

perhitungan ke- 𝑖) akibat perturbasi semua elemen parameter model dengan indeks-

𝑘. Matriks Jacobi secara lengkap menggambarkan variasi respons model atau data

perhitungan akibat perubahan parameter model.

Gambar 2.7 Model resistivitas 1-D (Grandis, 2009).