Fortifikasi Pangan

download Fortifikasi Pangan

of 12

description

Fortifikasi Pangan

Transcript of Fortifikasi Pangan

TUGAS TERSTRUKTURFORTIFIKASI PANGAN

FORTIFIKASI PANGAN SEBAGAIALTERNATIF PERBAIKAN GIZI

Oleh:Nisriina Raudhah BasyariahA1M011011Chandra MurnihandayaniA1M011036Nila Nor HidayahA1M012006Yuli AstutiA1M012019Annisa FitrianingsihA1M012033

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS PERTANIANPURWOKERTO2015RINGKASAN

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Tetapi muncul masalah kekurangan zat gizi mikro yang merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrient) ke dalam suatu bahan pangan. Tujuan utamanya untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi suatu populasi. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas. Selain itu juga ada defisiensi Zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan Iptek Gizi. Program perbaikan gizi direncanakan atas dasar hasil survei gizi yang menunjukkan adanya masalah kurang gizi pada sebagian besar masyarakat terhadap gizi mikro maupun makro dengan adanya analisis berbagai faktor penyebabnya. Hal ini melatarbelakangi perlu adanya kebijakan program gizi yang merupakan suatu paket kegiatan lintas sektor yang konvergen menuju satu sasaran yang sama-sama memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Fortifikasi pangan merupakan strategi yang sangat bagus untuk mengatasi defisiensi mikronutrien secara berkelanjutaan. Pemilihan pangan pembawa untuk fortifikasi pun didasari oleh beberapa criteria seperti dari bidang konsumsi, proses dan pengolahan, serta pemasarannya. Selain itu, senyawa fortifikan yang akan digunakan perlu memperhatikan beberapa hal, seperti sensorik, interaksi, biaya, bioavailabilitas, keamanan, dan persyaratan lain. Disamping itu, fortifikasi memiliki beberapa keuntungan baik dari bidang keefektifan, delivery requirement, cakupan masyarakat, kerelaan, cost (biaya pemeliharaan), maupun dari sumber daya eksternalnya.

PENDAHULUANPangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Pengertian pangan sebagai hak asasi manusia ini tidak hanya bersifat kuantitatif saja, tetapi juga mencakup aspek kualitatif. Pangan yang tersedia haruslah pangan yang aman untuk dikonsumsi, bermutu dan bergizi. Dengan demikian pembicaraan tentang pangan memang pada kenyataannya sulit dipisahkan dengan gizi. Bentuk tidak terpenuhinya hak asasi atas pangan dan gizi yang paling umum adalah kekurangan pangan alias kelaparan. Namun demikian, harus disadari bahwa kelaparan mempunyai beberapa tingkatan, yang jika terjadi secara cukup lama dan terus-menerus, akan berkontribusi pada terjadinya kemunduran atau penurunan status kesehatan, produktivitas, dan akhirnya ikut pula mempengaruhi tingkat intelektualitas dan status sosial. Tingkat-tingkat kelaparan itu sendiri antara lain dipengaruhi oleh (i) jumlah konsumsi bahan pangan, (ii) jenis dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, atau (iii) kombinasi antara kedua faktor tersebut.Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi mikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.

TINJAUAN PUSTAKASalah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi. Kurang gizi dapat mengakibatkan gagalnya pertumbuha fisik, perkembangan kecerdasan, menurunkan daya tahan tubuh yang dapat menurunkan produktifitas (Depkes RI, 2003). Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Sediaoetama, 1985).Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrient) ke dalam suatu bahan pangan. Tujuan utamanya untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi suatu populasi. Fortifikasi memiliki beberapa keunggulan dibanding suplementasi. Salah satunya adalah tidak membutuhkan kepatuhan masyarakat, karena tidak merubah pola konsumsimasyarakat, dan tidak membutuhkan pengetahuan akan manfaatproduk (Briawan, 2008). Apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil (Depkes RI, 2005). Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro adalah masalah yang utamanya disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Manifestasi dari masalah gizi makro bila terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK) adalah berat badan bayi baru lahir yang rendah (BBLR). Bila terjadi pada anak balita akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor dan selanjutnya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah.Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993, telah terungkap bahwa Indonesia mengalami masalah gizi yang artinya sementara masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh, udah muncul masalah baru, yaitu berupa gizi lebih.Disamping masalah tersebut di atas, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi Zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan Iptek Gizi.Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP, masih lebih tinggi daripada negara ASEAN lainnya.Program perbaikan gizi makro diarahkan untuk menurunkan masalah gizi makro yang utamanya mengatasi masalah kurang energi protein terutama di daerah miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan dengan meningkatkan keadaan gizi keluarga salah satunya dengan program fortifikasi pangan, meningkatkan partisipasi masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan gizi baik di puskesmas maupun di posyandu, dan meningkatkan konsumsi energi dan protein pada balita gizi buruk (Budiono, 2013).

PEMBAHASANProgram perbaikan gizi direncanakan atas dasar hasil survei gizi yang menunjukkan adanya masalah kurang gizi pada sebagian besar masyarakat terhadap gizi mikro maupun makro dengan adanya analisis berbagai faktor penyebabnya. Menurut Sokiman (2008), fortifikasi ditetapkan sebagai salah satu pilihan intervensi dalam program perbaikan gizi. Masalah gizi timbul karena faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Sebab langsung masalah gizi kurang baik makro maupun mikro adalah faktor konsumsi makan (tidak bergizi seimbang) dan faktor penyakit (infeksi). Kedua faktor penyebab secara tidak langsung merupakan dampak dari masyarakat yang komplek, yaitu faktor ekonomi, pendidikan, budaya atau adat kebiasaan, kualitas pelayanan kesehatan da sanitasi lingkungan yang rendah (kesehatan).Berbagai faktor penyebab diatas, maka perlu adanya kebijakan program gizi. Namun pada hakekatnya kebijakan program gizi merupakan suatu paket kegiatan lintas sektor yang konvergen menuju satu sasaran yang sama-sama memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Program perbaikan gizi secara universal terdiri dari empat macam yang saling mengisi (komplementer). Pertama, perbaikan konsumsi pangan keluarga, sehingga setiap anggota keluarga dapat makan yang memenuhi syarat pedoman umum gizi seimbang. Namun saat ini pedoman tersebut telah diperbaharui dengan Pedoman Gizi Seimbang permenkes RI No.41 Tahun 2014. Akan tetapi sayangnya tidak semua penduduk Indonesia dapat menikmati gizi seimbang, karena kemiskinan dan kekurangan pengetahuan. Kedua, program suplementasi. Sayangnya juga program suplementasi ini kurang efektif dalam menanggulangi perbaikan gizi, dikarenakan bukan sebagai pangan yang biasa dikonsumsi dan apabila dikonsumsi melebihi anjuran atau dosis dapat terjadi efek samping yang dapat mempengaruhi kesehatan tubuh. Ketiga, program fortifikasi pangan. Dan keempat, program terpadu yang saling mengisi dan dibutuhkan oleh masyarakan dengan ekonomi rendah.

Evaluasi empat program perbaikan gizi masyarakat tersebut menurut Venkatesh (2002) dalam Soekirman (2008), secara bertahap akan terjadi pengurangan peran program suplementasi, sedangkan program fortifikasi makin meningkat dan berkembang sejalan dengan ketiga program intervensi lainnya. Bahkan program suplemen makanan untuk balita dan ibu hamil yang kurang gizi dibanyak negara sudah ditinggalkan kecuali untuk keadaan darurat bencana. Salah satu alasan adalah biaya program suplementasi adalah mahal dan belum tentu cost-effective khususnya suplementasi makanan. Sedangkan fortifikasi memiliki beberapa kelebihan antara lain efektif dalam menanggulangi kekurangan gizi di masyarakat karena fortifikan ditambahkan pada pangan pembawa sehingga zat yang ditambahkan masuk ke tubuh bersama pangan pembawa itu sendiri. Selain itu kelebihan fortifikasi pangan, cost-effective dalam menanggulangi permasalahan kekurangan gizi.Fortifikasi pangan merupakan strategi yang sangat bagus untuk mengatasi defisiensi mikronutrien secara berkelanjutaan sehingga perlu memperhatikan pemilihan makanan pembawa (food vehicle) dan fortifikannya dengan benar agar upaya program fortifikasi dapat mengurangi usaha untuk mengubah kebiasaan makanan dan penerimaan individu secara lebih mudah. Pemilihan pangan pembawa menurut Siti Helmyati dkk (2014) didasarkan pada beberapa kriteria, antara lain:a) Konsumsi1. Mengakomodasi populasi dengan proporsi yang tinggi2. Dikonsumsi secara teratur dengan jumlah yang tetap3. Variasi minimal dalam struktur konsumsi tiap individu4. Variasi regional minimal dalam struktur konsumsi5. Ukuran porsi yang layak disesuaikan dengan keperluan asupan harian dari mikronutrien yang ditambahkan6. Konsumsi tidak berkaitan dengan status sosial-ekonomi7. Potensial rendah pada asupan berlebihan digunakan untuk menghindari masalah toksinitas8. Tidak ada perubahan dalam penerimaan konsumen setelah fortifikasi9. Tidak ada perubahan kualitas sebagai hasil tambahan mikronutrienb) Proses dan penyimpanan1. Pemrosesan yang tersentralisasi2. Teknologi yang mudah dan tepat guna3. Kemampuan sebagai penyamar yang baik, yakni warna gelap dan beraroma kuat dari media untuk menyamarkan perubahan warna dan aroma aslinya4. Stabilitas dan bioavailabilitas yang tinggi dari mikronutrien yang ditambahkan dalam produk akhir5. Segresi minimal dari fortifikan dan makanan pembawa6. Stabilitas selama penyimpanan yang baik7. Tidak berinteraksi dengan mikronutrienc) Pemasaran1. Layak dalam pengepakan dan juga berada dalam kondisi stabil2. Pelabelan sesuai standar penulisan3. Turn over rate yang cukup

Senyawa fortifikan perlu diperhatikan juga selain pangan pembawanya. Penentuan senyawa fortifikan yang akan digunakan perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain sensorik, interaksi, biaya, bioavailabilitas, keamanan, dan persyaratan lain.Upaya fortifikasi pangan adalah untuk memperkaya mutu gizi pangan tertentu dengan menambahkan zat gizi tertentu yang dibutuhkan masyarakat yang menderita masalah gizi. Zat gizi tersebut untuk Indonesia adalah zat yodium, zat besi, dan vitamin A. Beberapa upaya perbaikan gizi yang memerlukan dukungan fortifikasi adalah penanggulangan GAKY melalui fortifikasi garam dengan yodium (iodisasi garam). Fortifikasi dilaksanakan bekerja sama dengan dunia usaha terutama di sektor industri yang didukung oleh sektor lainnya yang berkaitan (Nahdliyyah, 2011).

Penyataan di atas didukung oleh Siagian (2013), fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro diketahui telah banyak berperan dalam penghilangan kekurangan vitamin dan mineral di negara-negara maju seperti Kanada, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat. Fortifikasi margarin dengan vitamin D berperan untuk menghilangkan ricket di Inggris, Kanada, dan Eropa Utara. Fortifikasi tepung terigu dengan besi di Swedia, dan Amerika Serikat menurunkan prevalensi penderita anemi gizi besi secara dramatis. Iodisasi garam, yang dimulai sejak tahun 1922, menunjukan hasil yang spektakuler. Fortifikasi pangan komersial terutama sekali menarik karena, jika dilakukan pada pangan yang tepat, cakupan yang luas akan terjamin.Berikut adalah keuntungan fortifikasi pangan sebagai alternatif perbaikan gizi (Siagan, 2013).a) Efektif untuk jangka panjang dan menengahb) Pangan pembawa (food vehicle) yang cocok dan fasilitas pengolahan yang terorganisirc) Menjangkau semua segmen dari populasi sasarand) Tidak memerlukan kerja sama yang intensif dan kerelaan masing-masing individue) Biaya rendahf) Teknologi yang memadai tersedia dan mudah ditransfer.

PENUTUPDari makalah ini dapat disimpulkan bahwa fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrient) ke dalam suatu bahan pangan dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi suatu populasi. Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi pangan muncul karena timbulnya masalah gizi yang disebabkan faktor konsumsi makan (tidak bergizi seimbang) dan faktor penyakit (infeksi). Adapun kriteria pangan pembawa yang akan digunakan untuk fortifikasi pangan harus baik dalam tingkat konsumsi, proses, penyimpanan, serta pemasarannya. Selain itu, senyawa fortifikan juga harus baik dalam segi sensorik, interaksi, biaya, bioavailabilitas, keamanan, dan berbagai persyaratan lainnya. Keuntungan fortifikasi pangan sebagai alternatif perbaikan gizi adalah efektif untuk jangka pangjang dan menengah, pangan pembawa yang cocok dan fasilitas yang terorganisir, mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat, tidak memerlukan kerja sama yang intensif, memerlukan biaya yang rendah, serta teknologi yang memadai dan mudah ditransfer.

DAFTAR PUSTAKABriawan, D., Hardinsyah, Setiawan B., Malrliyati S.A., dan Muhilal. 2008. EfikasiSuplemen Besi-Multivitamin untuk Perbaikan Status Besi RemajaWanita . Jurnal Gizi Indonesia, 30 (1): 30-36.Budiono, Irwan. 2013. Pengembangan Model Indeks Pembangunan Gizi. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kemas 8 (2) (2013) 166-175 ISSN 1858-1196.Depkes RI. 2003. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes RI.Depkes RI. 2005.Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Jakarta: Depkes RI.Helmyati, Siti, E. Yuliati, N.P. Pamungkas, dan N.Y. Hendarta. 2014. Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.Nahdliyyah, Qonitatun. 2011. Gizi Masyarakat: Fortifikasi Garam Beryodium Sebagai Alternatif Penanggulangan Masalah GAKY di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.Sediaoetama, A.D. 1985. Ilmu Gizi. Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat.Siagan, Albiner. 2013. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro. Medan: Universitas Sumatera Utara.Soekirman. 2008. Fortifikasi Pangan: Program Gizi Utama Masa Depan?. Bogor: Micronutrient Initiative.