makalah fortifikasi

22
FORTIFIKASI MAKANAN UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN GIZI MIKRO MAKALAH diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Gizi, Iptek, dan Kesehatan disusun oleh Elsa Sihotang (P17331112015) 2A JURUSAN GIZI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

Transcript of makalah fortifikasi

Page 1: makalah fortifikasi

FORTIFIKASI MAKANAN UNTUK MENGATASI

PERMASALAHAN GIZI MIKRO

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Gizi, Iptek, dan Kesehatan

disusun oleh

Elsa Sihotang (P17331112015)

2A

JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

TAHUN AJARAN 2013-2014

Page 2: makalah fortifikasi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang MahaKuasa, karena berkat anugerah-Nya, saya dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul Fortifikasi Makanan Untuk Mengatasi Permasalahan

Gizi Mikro. Makalah ini ditulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi, Iptek, dan Kesehatan

semester 4 (empat) Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung. Tujuan yang

lebih khusus dari penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan tentang peranan Fortifikasi

Makanan Untuk Mengatasi Permasalahan Gizi Mikro.

Akhirnya, harapan penulis semoga makalah yang berjudul Jurus-Jurus dan Rambu-

rambu dalam Berwirausaha ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa

mungkin untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik, namun penulis menyadari makalah

ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang

sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini

Cimahi, 4 April 2014

Penulis

Page 3: makalah fortifikasi

DAFTAR ISI

Page 4: makalah fortifikasi

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat

mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha   pemenuhan kebutuhan

pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Beberapa ahli bahkan

menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.

Dalam kaitan ini, penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 7  Tahun 1996

tentang Pangan, bahkan secara tegas  menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar

manusia yang  pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus   senantiasa

tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan  beragam dengan harga yang

terjangkau oleh daya beli masyarakat”.

Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient), yaitu iodium, besi, dan

vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari

kekurangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar

secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.

Di Indonesia terdapat lebih dari 100 juta orang mengalami defisiensi zat gizi mikro.

(Depkes, 2003). Berdasarkan data Riskesdas dan Survei Kesehatan Dasar Rumah Tangga

prevalensi Anemia gizi besi tertinggi di Indonesia merupakan kelompok anak usia 5 tahun

(48,1 %) dan kelompok ibu hamil (40,1%). (Tildon, 2010). Beberapa negara menetapkan

target untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari

semua program-program zat gizi mikro nasional adalah untuk menjamin bahwa zat gizi

mikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk

(terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut).

Strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan

sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi

pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan

meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi. (Siagian, 2003)

Masalah kekurangan zat gizi mikro merupakan fenomena yang sangat jelas menunjukkan

rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Untuk itu, intervensi gizi yang mampu

menjamin konsumsi makanan masyarakat mengandung cukup zat gizi mikro perlu

Page 5: makalah fortifikasi

dilakukan. Selain itu, peranan zat gizi mikro secara lengkap perlu dikembangkan untuk

daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal

untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan

terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat

dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu

upaya yang dapat dilakukan. (Siagian, 2003)

1.2 Rumusah Masalah

a. Apa yang dimakud dengan fortifikasi pangan?

b. Bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia?

c. Bagaimana klasifikasi fortifikasi pangan?

d. Apa saja jenis-jenis klasifikasi pangan?

e. Bagaimana peran industry dalam fortifikasi pangan?

1.3 Tujuana. Diketahui definisi dari fortifikasi pangan

b. Diketahui sejarah fortifikasi pangan

c. Diketahui jenis-jenis dan klasifikasi fortifikasi pangan

d. Diketahui peran industry dalam fortifikasi pangan

1.4

Page 6: makalah fortifikasi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fortifikasi Pangan

Fortifikasi pangan merupakan penambahan zat gizi pada bahan makanan dalam proses

pengolahan, untuk meningkatkan nilai gizi pangan yang bersangkutan. Penambahan zat gizi

ini biasanya berupa vitamin dan mineral. Fortifikasi pangan ini merupakan bagian dari

perbaikan gizi. (Anonim, 2010).

Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan, terdapat istilah-istilah lain

selain fortifikasi, seperti enrichment (pengkayaan), standardization, restoration, dan

supplementation. (Martianto, 2012). Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi

pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan

sebanding. Enrichment merupakan penambahan zat gizi ppada pangan untuk memenuhi

standar yang ditetapkan badan pengawas. Restoration mengacu kepada penggantian zat gizi

yang hilang selama proses pengolahan, Standardization merupakan penambahan zat gizi

pada pangan untuk mengatasi variasi alami. Dan Supplementation merupakan penambahan

zat gizi yang secara alami tidak terdapat pada zat pangan (atau ada dalam jumlah kecil

sekali), seringkali penambahannya pada konsentrasi cukup tinggi.

Dalam fortifikasi dikenal istilah double fortijication dan multiple fortification yang

digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau

campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’, sementara

zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat

diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:

Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi

akan zat gizi yang ditambahkan).

Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan

dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.

Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan

sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.

Page 7: makalah fortifikasi

Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan

pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega.

Adapun langkah-langkah dalam pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain

a. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien

b. Menentuka Segmen populasi

c. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan

d. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial

e. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan

f. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)

g. Mencari dukungan industri pangan

h. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industry pengolahan

(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)

i. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya

j. Kembangkan teknologi fortifikasi

k. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas

organoleptik dari produk fortifikasi.

l. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi

m. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan

n. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi

o. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan

p. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance

q. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

B. Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia

Perkembangan program fortifikasi di Indonesia berawal sejak tahun 1994 dengan

dikeluarkannya INPRES wajib yodisasi garam. Sebenarnya pemerintah Belanda di tahun

1927, telah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan yodisasi garam bagi garam rakyat.

Waktu itu garam hanya dihasilkan oleh satu-satunya pabrik  P.N.  Garam di Madura. Berarti

keinginan untuk fortifikasi di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda, pada saat

Page 8: makalah fortifikasi

teknologinya baru ditemukan di dunia barat. Sejak merdeka tahun 1945 dimana garam tidak

lagi monopoli P.N. Garam, peraturan itu tidak lagi dilaksanakan.

Gagasan untuk melakukan fortifikasi khususnya untuk garam dan tepung terigu

sudah menjadi wacana sejak awal tahun 1970-an, di seminar-seminar gizi dan pangan.

Dengan advokasi  UNICEF, perhatian pertama diarahkan untuk mengatasi masalah

kekurangan yodium dengan fortifikasi garam yang dikenal dengan yodisasi garam. Melalui

koordinasi Bappenas dan Departemen Kesehatan, gagasan untuk yodisasi garam rakyat

secara nasional, dibicarakan dengan Departemen Perindustrian dan Departemen

Perdagangan serta Departemen Dalam Negeri.

Dilanjutkan dengan percobaan-percobaan fortifikasi terigu dengan zat besi pada

tahun 1997 berhasil mendorong terbitnya SNI wajib fortifikasi tepung terigu tahun

2001/2002. Perkembangan kedua fortifikasi di atas diprakrasai oleh Bappenas, Departemen

Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, didukung oleh UNICEF. 

Dari sudut kebijakan, perkembangan fortifikasi di Indonesia, didukung oleh terbitnya UU

Pangan tahun 1996, dan masuknya gizi sebagai prioritas dalam REPELITA.

Tahun 2003 berdiri suatu lembaga independent non pemerintah yang mendukung

kebijakan dan program fortifikasi, dan terbentuklah Yayasan Koalisi Fortifikasi Indonesia

(KFI).  Kementerian Kesehatan dengan bantuan dana dari ADB dan dukungan teknis dari

KFI mengembangkan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A di Makassar dan Taburia

(“sprinkles”) di Jakarta Utara. Hasil kedua percobaan tersebut pada tahun 2010 sudah

ditingkatkan menjadi program nasional. Tahun 2010 dirintis pula kebijakan fortifikasi beras

RASKIN dengan zat besi yang dikoordinasi oleh Bappenas, Perum. Bulog, Kementerian

Pertanian dengan Kementerian Kesehatan dan KFI.

Menghadapi proyeksi penduduk 2025, ketersediaan pangan berkualitas menjadi

tuntutan. Tak hanya garam atau terigu, beras pun ke depan perlu difortifikasi dengan mineral

atau vitamin tertentu. Di beberapa negara, fortifikasi sedang dikembangkan. Salah satunya

adalah Golden Rice, padi yang mengandung vitamin A. Di negara-negara maju, fortifikasi

pangan merupakan strategi yang terbukti paling efektif untuk mengontrol kekurangan zat

gizi mikro. Sebagai contoh, program fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil

menghilangkan ricket di Inggris, Kanada dan Eropa Utara.

Page 9: makalah fortifikasi

C. Klasifikasi Fortifikasi Pangan

Fortifikasi bahan pangan dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu fortifikasi sukarela

(voluntary) dan Fortifikasi wajib (mandatory, dan fortifikasi khusus. Fortifikasi sukarela

dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan untuk meningkatkan nilai tambah

produknya sehingga lebih menarik konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-

undang atau peraturan pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih banyak

mengacu kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan kesehatan, meskipun dalam

promosinya segi kesehatan ini yang ditonjolkan. Produsen menentukan sendiri komoditi

makanan yang akan difortifikasi. Sasaran fortifikasi sukarela adalah semua orang yang

mampu dan mau membeli komoditi yang difortifikasi.

Fortifikasi wajib (mandatory) diharuskan oleh undang-undang dan peraturan

pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat miskin,

meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh karena itu fortifikasi

wajib lebih banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian tanggung jawabnya

untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat

gizi sebagai fortifikan yang penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium. Di

Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah wajib diberlakukan pada beberapa produk

pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu.

Pemerintah Indonesia mencanangkan fortifikasi wajib pada beberapa produk, yaitu:

1. Yodisasi Garam

Berdasarkan SKB Menkes, MenIndustri, MenDagri 1982, JSKB 4 Menteri plus

Pertanian, 1984, dan INPRES No. 64/1994. Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi

permasalahan kesehatan terkait gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)

2. Fortifikasi Tepung Terigu

Berdasarkan SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan SNI tepung terigu

tahun 2001 menyatakan bahwa semua tepung terigu yang diproduksi dan

diperdagangkan di Indonesia harus difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat,

vitamin B1, vitamin B2

3. Minyak Goreng

Misalnya harus mengandung vitamin A sebanyak 45 IU.

Page 10: makalah fortifikasi

4. Fortifikasi Beras Raskin

Harus mengandung asam folat, zat besi, zink, dan lain-lain.

Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam

penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka

prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang

digunakan sebagai tunggangan (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu oleh

seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi

fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari pangan “tunggangan” baru yang lebih umum dan

banyak dikonsumsi masyarakat.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk fortifikasi wajib, yaitu:

1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara

teratur dan terus-menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin.

2. Makanan itu diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar

mudah diawasiproses fortifikasinya.

3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih.

4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi.

5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu program

fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi

dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus.

6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang

menjadi sasaran.(Soekirman, 2012)

Fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib, hanya sasarannya kelompok

masyarakat tertentu, seperti anak-anak, balita atau anak sekolah. (Anonim.2013)

D. Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan

Fortifikasi Yodium

Fortifikasi ini dilakukan untuk mengatasi permasalah Gangguan Akibat

Kekurangan Yodium (GAKY). Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium

Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Negara-negara dengan program iodisasi

Page 11: makalah fortifikasi

garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan

prevalensi GAKI. (Siagian, 2003) Contoh : Beras Fortifikasi Iodium

Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium

untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk

ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan 150 μg/hari.

Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan

peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada

komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium.

Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan

bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut

fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung pada

kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008) .

 Fortifikasi Besi

Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi

besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi

termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang

terbesar, dan menjamin pendekatan jangka panjang (Cook and Reuser, 1983).

Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah

keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-

produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi,

yaitu mereka yang rentan mengalami defisiensi zat besi, merupakan strategi yang

aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan

pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG,

1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan

senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus

diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir

trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk

fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan

lain-lain. (Siagian, 2003)

Contoh: fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung

terigu dan tepung singkong

Page 12: makalah fortifikasi

  Fortifikasi Vitamin A

Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk

mengatasi masalah kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara

asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi

jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin

yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang

terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak

(seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution),

emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan

campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.

Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan

vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol  atau karoten (sebagai beta-

karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan

ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan

monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi  oleh vitamin A. (Siagian,

2003).

E. Peran Industri dalam Fortifikasi

Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industry

pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehatan sering tidak

dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya pemerintah tidak

melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini adalah tugas/tanggungjawab dari

perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah harus bertindak sebagai

penasehat, konsultan, koordinator, dan supervisor yang memungkinkan industri

pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara efektif dan menguntungkan.

lndustri pangan/makanan juga dapat memainkan peranan yang nyata dalam strategi

fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang dikembangkan

dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizi mikro yang tersedia

secara lokal atau sebagai fortifikan.

Spesifiknya, industri pangan (baik nasional maupun multinasional) perlu untuk:

Page 13: makalah fortifikasi

- berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan menetapkan

strategi fortifikasi yang layak,

- mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri

pangan dan sistem pemasarannya, dan organisasi non pemerintah dan

perwakilan donor,

- membantu dalam mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang

sesuai,

- menetapkan dan mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance

system),

- berpatisipasi dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai

- populasi sasaran. (Siagian, 2003)

Untuk mengatasi permasalahan gizi mikro dengan cara fortifikasi diperlukan

beberapa kerjasama dari beberapa pihak yang harus terlibat, diantaranya:

a. Pemerintah : fasilitator, regulator, Quality Control dan Pembinaan, Social

Marketing

b. Industri : Proses Produksi dan Distribusi, Quality Assurance sesuai

Standar SNI

c. Konsumen : Partisipasi Konsumsi dan Pengawasan

(Martianto, 2012)

Page 14: makalah fortifikasi

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fortifikasi pangan merupakan salah satu metode dalam penanganan masalah gizi

mikro di dunia khususnya di Indonesia dengan upaya meningkatkan mutu bahan

pangan yang sering dikonsumsi. Adapun pemilihan bahan makanan yang akan

difortifikasi harus dikaji terlebih dahulu sifat-sifatnya. Untuk berjalannya usaha

fortifikasi ini perlu dilakukan kerjasama yang baik antara Pemerintah, Industri, dan

Konsumen.

3.2 Saran

Diperlukan pengawasan dan pemilihan bahan pangan yang akan difortifikasi

(vehicle) agar masyarakat dapat terjangkau dalam pembelian bahan makanan

tersebut.

Page 15: makalah fortifikasi

DAFTAR PUSTAKA

Siagian, Albiner. 2003. “Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi MasalahKekurangan Zat Gizimikr.” http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3762/1/fkm-albiner5.pdf (diakses pada 1 April 2014, pukul 21:43 WIB)

http://seafast.ipb.ac.id/lectures/MPTP-2011/fortifikasi_pangan.pdf (diakses pada 1 April, 2001)

Anonim. 2010. Fortifikasi Pangan di Indonesia http://www.kulinologi.co.id/index1.php?view&id=98160. (diakses pada 1 April 2014, pukul 22.21 WIB)

Martianto, Drajat. 2012. Fortifikasi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Soekirman. 2011. Perkembangan Fortikasi di Indonesia. http://www.kfindonesia.org/index.php?pgid=11&contentid=12